Anda di halaman 1dari 16

Institusi Pendidikan Tinggi Sebagai Ideological State Apparatus: Penyebab Pragmatisme Mahasiswa Indonesia

Oleh: M. Ghurron Muhajjalin (1006711031)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

A. LATAR BELAKANG Mahasiswa Indonesia identik dengan pergerakan. Pergerakan adalah tindakan konkrit mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Gerakan mahasiswa ini mengalami tentunya mengalami berbagai perubahan baik arah maupun model dari gerakannya. Seperti pada era orde baru dimana gerakan mahasiswa tertuju pada kontrol kebijakan pemerintah Indonesia. Sebagai gerakan politik berbasiskan mahasiswa, gerakan mahasiswa kemudian menjadi penyambung lidah antara pemerintah sebagai penguasa dengan masyarakat sebagai rakyat. Kontrol politik gerakan mahasiswa terhadap kinerja maupun kebijakkan pemerintah ini telah memposisikan gerakan mahasiswa pada wilayah penting bagi masyarakat. Khususnya pada masa Orde Baru, peran gerakan mahasiswa menjadi media sangat penting bagi masyarakat untuk menyuarakan segala aspirasinya. Terkungkung oleh kekuatan Orde Baru masyarakat tidak memiliki power dalam menyuarakan aspirasinya dalam konteks politik, sehingga sebagai kumpulan kaum intelektual gerakan mahasiswa dirasa mampu untuk membawa kepentingan masyarakat menuju ranah kekuasaan. Namun pasca reformasi gerakan mahasiswa semakin kabur. Mahasiswa Indonesia sekarang banyak mengarah ke pragmatisme. Kampus sebagai sumber dari gerakan mahasiswa kini semakin menjauh dari peranan sebenarnya. Perubahan paradigma di mana kampus pada sejatinya sebagai tempat mencetak intelektual bermental humanistik berubah menjadi tempat mencetak intelektual yang berorientasi pada karir. Standarisasi mutu pendidikan adalah idealisme kampus, kuantitas lulusan (semakin banyak meluluskan mahasiswa tepat pada waktunya) merupakan suatu keberhasilan bagi kampus tanpa melihat dampak pada proses dialektika (pendidikan) mahasiswa itu sendiri. Semakin mahalnya biaya pendidikan tentunya merubah pandangan mahasiswa terhadap proses pendidikannya untuk sesegera mungkin dapat menyelesaikan tanpa harus melihat setelah ia selesai; apakah bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya apa sebaliknya. Hal ini (problema kampus) telah memunculkan pragmatisme di kalangan mahasiswa. Pragmatisme ini telah merubah orientasi mahasiswa, di mana sebelumnya dunia akademik ini dijadikan sebagai media gerakan untuk dapat peka terhadap segala realitas sosial kini berubah pada orientasi akademis semata. Hal ini dikarenakan tidak berlandasankan terhadap ideologi, sehingga kepekaan terhadap kondisi sosial tidak ada.

B. TEORI DAN KONSEP Reproduksi dari Kondisi Produksi Marx mengatakan, bahwa setiap anak pasti tahu bahwa formasi sosial yang bukan merupakan reproduksi dari kondisi produksi di saat formasi tersebut diciptakan, tidak akan bertahan lebih dari setahun. Maka dari itu, tujuan akhir dari kondisi produksi adalah reproduksi dari kondisi produksi tersebut. hal inilah yang sering diabaikan. Suatu sudut pandang produksi dan bahkan praktek produksi yang ada telah sangat terintegrasi kedalam kesadaran sehari-hari sehingga sangat sulit untuk memberikan kesadaran akan adanya sudut pandang reproduksi itu sendiri. Bahkan, segala hal yang berada diluar sudut pandang ini dianggap abstrak. Sebagai simplifikasi dari penjelasan Althusser, perlu diasumsikan bahwa seluruh formasi sosial lahir dari proses produksi yang dominan, kemudian proses produksi yang ada mengarahkan tenaga produktif yang ada untuk bekerja pada relasi produksi tertentu. Maka dari itu, untuk mempertahankan keberadaannya, setiap formasi sosial harus mereproduksi kondisi dari produksi persis seperti saat formasi tersebut dibuat, agar proses produksi dapat tetap berjalan. Dua hal yang harus direproduksi adalah tenaga produktif dan relasi produksi yang telah terbangun sebelumnya.

Reproduksi dari Alat Produksi Marx telah membuktikan secara gamblang bahwa tidak ada produksi yang mungkin terjadi tanpa adanya reproduksi kondisi material dari produksi tersebut: yaitu reproduksi dari alat produksi. Para pakar ekonomi dan kapitalis pada umumnya telah mengetahui bahwa sangat penting untuk meramalkan apa yang dibutuhkan untuk mengganti apa yang telah digunakan dalam produksi setiap tahunnya. Seperti bahan mentah, bangunan, instrumen produksi dll. Namun kita tahu bahwa reproduksi dari kondisi material tidak akan bisa dipikirkan dalam tingkatan perusahaan, karena hal ini tidak benar-benar nyata pada kondisi riil-nya. Yang terjadi pada level perusahaan hanyalah efek yang kemudian memberi ide perlunya reproduksi, tapi tidak memberi ruang bagi kondisi dan mekanismenya untuk dipikirkan.

Cotoh sederhananya adalah seperti sebuah perusahaan kapitalis X yang harus mereproduksi bahan/ alat produksinya agar proses produksi dapat tetap berjalan. Dia kemudian membeli bahan alat produksi yang ia butuhkan pada perusahaan kapitalis Y. Perusahaan Y ini tentunya juga membutuhkan alat produksi yang kemudian ia dapat dari perusahaan lain. Begitu pula seterusnya. Kebutuhan akan alat produksi akan dipenuhi oleh supply. Mekanisme yang kemudian menjadi sebuah alur yang tidak berujung ini merupakan bagian dari prosedur global Marx.

Reproduksi dari Tenaga Buruh Tenaga produksi juga menjadi sesuatu yang harus direproduksi (selain alat produksi) untuk mempertahankan eksistensi suatu firma/ atau perusahaan. Cara yang digunakan oleh perusahaan kapitalis untuk memastikan terjadinya reproduksi tenaga buruh adalah melalui gaji. Sesuatu yang akan membuat para buruh mampu mereproduksi dirinya sendiri. Karena gaji hanya merepresentasikan bagian dari nilai yang diproduksi dari pengeluaran untuk tenaga kerja yang sangat diperlukan Gaji merupakan pengeluaran untuk tenaga kerja yang sangat diperlukan untuk proses reproduksi: sangat dibutuhkan oleh tenaga buruh (yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga mereka bisa terus menjadi tenaga buruh dalam durasi maksimal), dan juga sangat dibutuhkan untuk mengasuh dan mendidik anak dimana kaum proletariat mereproduksi dirinya sendiri sebagai tenaga buruh. Besaran suatu gaji merupakan bagian dari perjuangan kelas proletariat (melawan penambahan durasi kerja dan pengurangan gaji). Namun hal ini belum mampu memastikan bahwa reproduksi yang dilakukan menghasilkan tenaga buruh yang mampu memenuhi kondisi material. Suatu tenaga buruh haruslah kompeten dan sesuai dengan bagian kerjanya dalam sistem produksi yang kompleks. Perkembangan proses produksi juga memaksa para kapitalis untuk memproduksi tenaga buruh dengan kemampuan berbeda-beda. Reproduksi dari kemampuan buruh umumnya dilakukan diluar produksi, melalui sistem edukasi kapitalis, oleh instansi dan institusi lain. Semua yang dipelajari di sekolah (dan

institusi lain) tidak lain adalah untuk menciptakan tenaga buruh yang kompeten dan berkualitas; dan untuk mempertahankan dominasi sosial. Jadi reproduksi tenaga buruh bukan hanya sebatas reproduksi kemampuan mereka, tetapi juga reproduksi terhadap kepatuhan akan ideologi yang berkuasa atau praktek dari ideologi tersebut.

Infrastruktur dan Suprastruktur Marx telah memaparkan struktur dari setiap masyarakat yang terdiri dari tingkatan tertentu yaitu infrastruktur, atau dasar ekonomi (kesatuan tenaga produksi dan relasi produksi) dan juga suprastruktur, yang di dalamnya terdapat dua bagian yaitu politiklegal (hukum dan negara) dan ideologi. Suprastruktur yang menjadi bangunan atas sangat dipengaruhi oleh efektifitas dari dasarnya (infrastruktur). Oleh karena itu, sangat penting mengetahui determinasi atau tingkat efektifitas infrastruktur untuk memberi penilaian pada keseluruhan sistem. Oleh karena itu, sebelumnya harus diketahui arti sebuah konsep yang disebut Marx sebagai negara. Negara dapat diartikan sebagai aparat represif. Negara merupakan mesin represi yang membuat kelas yang berkuasa mampu memastikan dominasi mereka atas kelas pekerja. Negara ini kemudian oleh para Marxis klasik juga disebut sebagai aparat negara (state apparatus).

Esensi dari Teori Negara Marxis Negara (dan bentuk eksistensinya dalam aparat) memiliki satu makna yaitu kekuasaan. Seluruh perjuangan kelas terjadi dalam negara. kita juga tentunya mengetahui bahwa aparat negara dapat selamat walaupun terjadi suatu peristiwa politik yang mempengaruhi kekuasaan tanpa merakan pengaruh atau perubahan. Walaupun setelah revolusi, seperti tahun 1998 di Indonesia, aparat negara mampu bertahan setelah pengambilalihan kekuasaan oleh kaum proletar. Maka dari itu, untuk merankum teori Negara dari Marxis, dapat dikatakan bahwa (1) negara adalah aparat represif, (2) kekuasaan negara dan aparat negara harus dibedakan, (3) tujuan dari perjuangan kelas adalah untuk memperoleh kekuasaan negara, sehingga

berimbas pada penguasaan atas aparat negara, (4) kaum proletar harus memegang kekuasaan negara jika ingin menghancurkan aparat negara.

Ideological State Apparatuses Dalam teori Marxis, aparat negara (State Apparatus) terdiri dari: Pemerintah, administrasi, militer, polisi, pengadilan, penjara dll, yang kemudian oleh Althusser disebut sebagai Repressive State Apparatus (Aparat Represif Negara). Louis Althusser kemudian juga mengemukakan tentang Ideological State Apparatuses yang terdiri dari institusi-institusi yang berbeda dengan represive state apparatus. Berikut adalah institusi yang tergolong dalam Ideological State Apparatus (ISA) menurut Louis Althusser: Religious ISA (contoh: gereja) Educational ISA (seluruh sekolah baik yang bersifat publik maupun prifat) Family ISA Legal ISA Political ISA (sistem politik, termasuk partai politik) Trade-Union ISA Communication ISA (press, radio, televisi dll,)

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa repressive state apparatus berbeda dengan ideological state apparatus. Perbedaan pertama adalah terdapat keragaman/ pluralitas dalam Ideological State Apparatus. Selain itu, repressive state apparatus bergerak dalam domain publik dan memiliki cakupan yang lebih besar dari ISA. Sedangkan Ideological State Apparatus bergerak pada domain privat. Namun, perbedaan dasar yang paling esensial antara repressive state apparatus dan ideological state apparatus adalah: repressive state apparatus dijalankan/ digerakkan oleh kekerasan, sedangkan ideological state apparatus digerakkan oleh ideologi. Memang seluruh aparat negara (state apparatus) baik represif maupun ideologis, keduanya digerakkan oleh kekerasan dan ideologi. Namun repressive state apparatus

digerakkan secara masif dan dominan oleh kekerasan, sedangkan ideologi memiliki peran sekunder. Namun, ideological state apparatus digerakkan secara masif dan dominan oleh ideologi, dan kekerasan memiliki peran sekunder. Seperti sekolah yang selalu memiliki metode tertentu dalam memberikan hukuman, pengeluaran, dan seleksi. Tidak akan ada aparat yang murni represif ataupun murni ideologis. Maka dari itu, aparat negara memiliki dua bagian, yaitu bagian dari institusi yang merepresentasikan Repressive State Apparatus dan di sisi lain terdapat bagian dari institusi yang merepresentasikan Ideological State Apparatus. Ideologi-lah (ideologi yang dimaksud adalah ideologi penguasa) yang menjadi pemersatu sebuah ideological state apparatus walaupun terdapat keberagaman dan kontradiksi di dalamnya. Ideological State Apparatus ini sangat penting. Althusser mengatakan bahwa tidak ada kelas yang dapat mempertahankan kekuasaan mereka atas negara dalam periode yang lama tanpa mempertahankan hegemoni mereka melalui Ideological State Apparatuses. Kelas (atau aliansi kelas) yang berkuasa tidak bisa hanya mengandalkan hukum dalam ISA seperti yang dilakukan pada Repressive State Apparatus. Alasan utamanya adalah karena adanya resistensi dari kelas yang tereksploitasi yang mampu makna dan kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka, atau memenangkan perjuangan kelas mereka.

Reproduksi Relasi Produksi Menurut Althusser cara yang digunakan untuk memastikan terjadinya reproduksi dari relasi produksi adalah melaui pengaruh kekuasaan negara terhadap aparat negara, baik yang represif maupun ideologis. Dalam memahami reproduksi relasi produksi, perlu dipahami tiga poin berikut terlebih dahulu:

1. Seluruh aparat negara digerakkan oleh represi dan ideologi. Dalam repressive state apparatus, represi menggerakkan secara masif dan dominan, sedangkan dalam ideological state apparatus, ideologi menggerakkan secara masif dan dominan.

2. Repressive State Apparatus seluruhnya diatur oleh satu perintah, yaitu oleh kelas penguasa. Sedangkan Ideological State Apparatus terdiri dari banyak institusi yang relatif berdiri sendiri. 3. Repressive State Apparatus dipertahankan dan dipersatukan dalam satu organisasi dibawah kepemimpinan pihak representatif dari kelas penguasa, sedangkan keberagaman Ideological State Apparatus dipertahankan oleh ideologi penguasa.

Peran dari repressive state apparatus adalah untuk mempertahankan kondisi politik dari reproduksi relasi produksi melalui kekuatan (fisik dan lainnya). repressive state apparatus mempertahankan kondisi politik melalui represi agar Ideological State Apparatuses dapat berjalan. Louis Althusser kemudian mengemukakan thesis bahwa Ideological State Apparatus yang menempati posisi dominan dalam masyarakat kapitalis dewasa sebagai hasil dari perjuangan kelas dalam ranah politik maupun ideologis terhadap Ideological State Apparatus lampau, adalah Educational Ideological Apparatus. Berikut adalah argumen Althusser terhadap thesisnya tersebut:

1. Seluruh ideological state apparatuses, berkontribusi untuk hasil yang sama: reproduksi relasi produksi. Seperti relasi eksploitasi oleh kapitalis. 2. Tiap-tiap ISA berkontribusi dalam sebuah hasil sesuai spesifikasi mereka. Aparat politik bertujuan untuk mengarahkan individu pada ideologi politis negara, aparat komunikasi bertujuan memberikan nilai-nilai nasionalisme, moralisme,

liberalisme dll setiap harinya melalui televisi, radio dan semacamnya. 3. Reproduksi relasi produksi ini dilakukan melalui penanaman nilai dan ideologi seperti nasionalisme, moralisme, dan ekonomisme yang menjadi peran utama dalam proses reproduksi. 4. Ideological State Apparatus yang memegang peran dominan ini adalah sekolah yang menanamkan keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi tenaga produksi dan menanamkan ideologi dalam bentunya yang paling murni (etika, filosofi dll.)

Ideologi Di Indonesia saat ini, istilah ideologi secara umum digunakan secara netral sebagai seperangkat gagasan yang relatif lengkap tentang dunia dan masyarakat (pandangan dunia), yang dimiliki kelompok tertentu. Jadi, kita dapati adanya ideologi kapitalis, sosialis, nasionalis, Islam, dsb. Namun, sebagian kalangan Marxis, termasuk Marx sendiri dalam The German Ideology, tidak menggunakan istilah ideologi dengan arti seperti itu, melainkan dengan arti yang negatif, yaitu sebagai gagasan-gagasan imajiner (tidak sesuai dengan kenyataan) yang melanggengkan tatanan sosial yang ada. Biasanya, sebagai tandingan dari ideologi, mereka memajukan ilmu pengetahuan. Althusser juga meneruskan tradisi ini, tapi ia memberikan pengertian yang berbeda dengan apa yang menurutnya merupakan pengertian Marx, yang diambil dari Feuerbach, tentang ideologi. Jadi, kalau menurut Marx, apa yang direpresentasikan secara imajiner dalam ideologi adalah kondisi keberadaan riil manusia atau relasi-relasi riil di mana manusia hidup, maka menurut Althusser, yang direpresentasikan dalam ideologi terutama bukanlah hal tersebut, melainkan relasi imajiner individu dengan relasi-relasi riil di mana mereka hidup. Adapun distorsi terhadap relasi-relasi riil itu terjadi karena adanya relasi imajiner kita dengan relasi-relasi riil tersebut. Sebenarnya agak samar apa yang dimaksud Althusser dengan relasi imajiner di atas. Namun, berdasarkan pembahasan Althusser mengenai ideologi sebagai konstruksi subyek, penafsiran saya adalah bahwa relasi imajiner ini terbentuk akibat konstruksi individu sebagai subyek. Sebagai subyek, kita merasa sebagai individu bebas, berperilaku dan bertindak sesuai apa yang kita pikirkan, sehingga tindakan dan perilaku kita tampak sebagai efek dari gagasan kita. Akibatnya, kita juga melihat secara imajiner bahwa kondisi riil kita adalah efek dari diri kita. Padahal, menurut Althusser, kenyataannya adalah yang sebaliknya, gagasan kita itu hanya merupakan efek dari tindakan kita, yang diatur oleh ritual-ritual yang ditentukan oleh ISA. Cara ideologi mengkonstruksi subyek ini disebut Althusser sebagai interpelasi atau pemanggilan (hailing). Karena prosesnya memang sama seperti ketika kita dipanggil oleh seseorang di jalan, di mana terjadi pengenalan atau penyematan atas diri kita, sifat sebagai subyek yang unik dan berbeda dari yang lainkita benar-benar tahu bahwa yang dipanggil adalah diri kita, bukan orang lain. Adapun kapitalisme mengkonstruksi kita sebagai subyek dalam proses reproduksinya, agar ketika kita memainkan peran kita dalam

reproduksi kapitalis, kita tidak merasa dipaksa dari luar, tapi merasakannya sebagai sesuatu yang memang kita lakukan dengan suka rela. Louis Althusser yang melihat bahwa, ideologi merepresentasikan relasi imajiner seorang individu pada kondisi eksistensi riil mereka.Althusser melakukan revisi atas term ideologi dari asosiasinya dengan false consciousness. Bagi Althusser, ideologi bukanlah refleksi sederhana dari kondisi dunia, terlepas apakah palsu atau tidak. Ideologi merupakan representasi penting melalui pengalaman kita dalam mempersepsi realitas. Dengan term imajiner, Althusser tidak lagi menekankan pada palsu atau tidak, ia malah menjelaskan psikoanalisis untuk menekankan bahwa ideologi merupakan serangkaian gagasan dan keyakinan, yang dipertajam melalui unconscious, dalam hubungannya dengan kekuatan sosial lainnya. Althusser menyatakan bahwa kita dibujuk oleh ideologi yang merekrut kita sebagai author dan subjek esensial mereka. Ia menyebut fenomena ini sebagai interpellation, yakni proses dimana kita dikonstruksi oleh ideologi yang berbicara pada kita setiap hari melalui bahasa dan citra. Dalam term Althusser, kita bukanlah individu unik melainkan subjek yang selalu siap diajak bicara oleh diskursus ideologi melalui interpelasi. Konsep ideologi Althusser sangat berpengaruh, namun dapat pula dilihat sebagai tindakan melemahkan. Jika kita didefinisikan sebagai subjek, melalui interpelasi, maka kita tidak dapat berbuat banyak selain mengikuti ideologi yang ditawarkan melalui interpelasi tersebut. Dengan kata lain, jika kita telah dikonstruksi sebagai subjek maka secara tidak sadar potensi kita untuk melakukan perubahan akan diarahkan dan digiring pada konstruksi yang dibangun oleh para produser. Untuk memahami interpelasi, kita harus memahami konsep ideologi yang dimaksudkan oleh Althusser. Dalam pandangan Althusser, semua ideologi mengkonstitusi subjek, meskipun ia berbeda dalam ideologi tertentu. Lebih jauh, Althusser mengungkapkan dua tesis mengenai ideologi.Pertama, Ideology represents the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence. Tesis pertama ini menawarkan anggapan familiar di kalangan pengikut Marxis bahwa ideologi memiliki fungsi untuk menutupi susunan eksploitatif yang didasarkan pada kelas sosial. Kedua, Ideology has a material existence. Tesis kedua ini memposisikan bahwa ideologi tidak berada dalam bentuk ide atau representasi kesadaran dalam pikiran

seorang individu. Alih-alih, ideologi terdiri dari tindakan dan perilaku yang dikuasi oleh penempatan mereka dalam material apparatuses. Selain itu, Althusser juga mengakui peranan dari apa yang disebutnya

sebagai Repressive State Apparatus. Ketika individu dan kelompok menjadi ancaman bagi penguasa dominan, negara akan melibatkan Repressive State Apparatus. Yang dimaksudkan Althusser dengan Repressive State Apparatus adalah penguasa yang melibatkan aparat militer yang melakukan tindakan-tindakan represif untuk mengekalkan hegemoni kekuasaan. Bagi Althusser, ideologi merupakan salah satu dari tiga unsur atau level primer dari formasi sosial. Jadi, ideologi relatif otonom dari level yang lain, misalnya ekonomi. Dengan begitu, ideologi dalam sistem representasinya dipahami sebagai praktik yang dijalani dan mentransformasikan dunia materi. Paling tidak, inti pandangan Althusser tentang ideologi dapat diidentifikasi sebagai berikut: Ideologi memiliki fungsi umum untuk membentuk subjek Ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu Ideologi sebagai pemahaman yang keliru tentang kondisi nyata eksistensi adalah palsu Ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasinya dengan kekuasaan.

C. PEMBAHASAN Dari sini, bisa dikatakan bahwa pendidikan tinggi sebenarnya bertujuan untuk mereproduksi relasi produksi yang ada. Proses reproduksi ini dilakukan dengan cara pemberian keahlian pada peserta didik (untuk memenuki kebutuhan akan tenaga buruh) dan juga melalui penanaman norma, nilai dan cara pandang penguasa ke dalam diri mahasiswa untuk mentransmisikan dan melestarikan ideologi kelas penguasa. Inilah yang menjadi penyebab utama pragmatisme mahasiswa/ output dari pendidikan tinggi. Jadi bisa dikatakan bahwa Undang-Undang negara yang mengatur tujuan pendidikan tinggi di Indonesia hanya menjadi sebuah hegemoni yang berusaha menciptakan sebauh kesadaran palsu untuk menjamin terlaksananya reproduksi relasi produksi. Undang-undang tersebut dianggap sebagai sebuah hegemoni karena pada praktiknya, sistem pendidikan yang dibuat tidak sejalan dengan tujuan yang disebutkan dalam konstitusi. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia jelas hanya berorientasi untuk mencetak tenaga kerja yang dibutuhkan para kapitalis. Dalam relasi negara dan warga negara pihak utama yang memiliki kepentingan ideologis dan politis tersebut tentu adalah negara itu sendiri, termasuk pemerintah atau rezim berkuasa. Inilah yang disebut oleh Louis Althusser dengan gagasannya mengenai aparatus ideologis negara (ideological state apparatuses) dan aparatus represif negara (repressive state apparatuses). Althusser menyatakan bahwa tugas dari sistem ekonomi apapun adalah mereproduksi kondisi produksi. Termasuk di dalamnya adalah memproduksi orang-orang yang akan dapat berpartisipasi dalam proses produksi. Di sinilah, dalam konteks negara kapitalis modern, untuk melanggengkan kondisi produksi kapitalis tersebut digunakanlah aparatus ideologis negara dan aparatus represif negara. Aparatus ideologis negara antara lain adalah ikatan keluarga, partai politik, dan yang terpenting adalah pendidikan, sedangkan aparatus represif negara antara lain adalah Polisi, tentara, pengadilan, dan hukum. Perbedaan antara aparatus ideologis negara adalah ia dilakukan dengan ideologis, sedangkan aparatus represif negara dilakukan dengan kekerasan. Di sinilah kebijakan negara merupakan bagian dari aparatus represif negara dan pendidikan bagian dari aparatus ideologis negara. Keduanya, dalam negara kapitalis modern merupakan alat atau apparatus negara dalam melanggengkan hegemoni politik, ideologi dan ekonomi. Dalam hal ini terjadilah relasi saling menguntungkan antara negara

dan kaum borjuis kapitalis. Negara diuntungkan dengan dukungan modal dari kaum kapitalis agar selalu dapat mempertahankanstatus quo mereka, sedangkan para kapitalis diuntungkan dengan persetujuan dikeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin

memperlebar dominasi kapitalisme mereka. Namun, terlepas dari analisis Althusser tersebut, dapat dikatakan bahwa negara memang pada dasarnya bersifat hegemonik, dan penguasa negara selalu berupaya untuk tetap mempertahankan kekuasaannya selama mungkin, karena posisi strategis dalam pemerintahan telah menjadikan oknum-oknum dan golongan berkuasa mendapatkan keuntungan berlebih, terutama kekuasaan dan harta kekayaan. Oleh karena itu, menjadi wajar jika mereka dengan beragam cara berupaya untuk menguatkan rezim, membuat citra bagus rezim, berupaya mengontrol dan mengendalikan warga negara agar tidak merongrong rezim berkuasa, agar turut menguatkan fondasi kekuasaan rezim. Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan pemerintah merupakan aparatus represif negara yang tepat, ditunjang oleh pendidikan sebagai aparatus ideologis negara. Bisa saja terdapat kepentingan rezim berkuasa atau kaum borjuis kapitalis yang menyusup lewat kebijakan-kebijakan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan yang secara ideologis, filosofis, dan konseptual dirasa tidak sesuai dengan visi ideologis kerakyatan, kebangsaan, dan keindonesiaan mesti dikaji secara kritis. Apalagi ketika sudah terbukti bahwa kebijakan tersebut, bahkan pada level inisiasinya saja telah menimbulkan pro-kontra di masyarakat dan berbuah pada kerusakan sistematis, juga berakibat kesenjangan yang makin jauh antara cita ideal dan realita. Di sisi lain, UUD 1945, Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang

meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.". hal ini tentunya sangat berlawanan dengan tujuan yang disebutkan sebelumnya. H.A.R. Tilaar menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam konteks Indonesia, pencapaian kedua pesan konstitusi untuk pendidikan nasional, yakni pendidikan yang

mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat, dijabarkan dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut direncanakan dapat diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga sosial (social institution) atau organisasi sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal. Namun ketika kenyataannya kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut banyak yang menyimpang dari visi yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, maka efeknya juga besar karena turut disebarkan melalui ranah pendidikan yang memang begitu strategis sebagai aparatus ideologis negara. Kebijakan-kebijakan yang kemudian mesti dilaksanakan oleh institusi sosial dan institusi pendidikan tersebut antara lain adalah kebijakan dalam arah dan tujuan pendidikan nasional, yang kemudian berimbas pada kebijakan kurikulum pendidikan nasional, standard penilaian hasil belajar, kebijakan organisasi sekolah, profesionalisme guru, dan lainnya. Berdasarkan konsep Althusser, lembaga pembuat kebijakan (dalam hal ini DPR) merupakan bagian dari Repressive State Apparatus yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi terlaksananya tujuan dari pendidikan tinggi, yaitu untuk mereproduksi relasi produksi. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Pemerintah melalui DPR berusaha menciptakan Undang-Undang yang tentunya memihak kaum kapitalis borjuis dan menjadi pelindung bagi perguruan tinggi untuk melancarkan hegemoninya. Pemerintahlah yang merancang sistem pendidikan agar sejalan dengan ideologi kelas penguasa. Berikut beberapa argumen yang mendukung pernyataan tersebut: Mahasiswa didorong untuk berprestasi secara akademis agar mampu bersaing di dunia kerja Mahasiswa didorong untuk lulus tepat waktu dengan dalam sistem kurikulum yang cukup padat (dorongan ini semakin diperkuat dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi) Materi dalam pendidikan tinggi dapat dikategorikan dalam dua jenis. Yang pertama adalah materi yang menanamkan keahlian yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan yang kedua adalah materi yang menanamkan nilai dan norma dari ideologi kelas penguasa untuk mempertahankan relasi produksi yang ada

Faktor-faktor ini kemudian memunculkan anggapan bahwa pendidikan tinggi hanyalah sarana mobilisasi sosial. Padahal sebenarnya hakekat pendidikan tinggi adalah untuk menunjang peradaban dan kesejahteraan warga negara. yang dimaksud kesejahteraan disini tentunya bukan hanya dalam konteks materi, namun juga berarti bebas dari eksploitasi kaum borjuis kapitalis.

DAFTAR PUSTAKA Althusser, Louis. (1971). Lenin and Philosophy and Other Essays. Monthly Review Press: New York Althusser, Louis. (1969). For Marx. The Penguin Press

Anda mungkin juga menyukai