Anda di halaman 1dari 63

Laporan Kasus:

Atresia Bilier
Leecarlo Millano
Penyaji:

Identitas
Nama : AP Usia : 2 bulan Alamat : Jember No RM : 157 61 55 Masuk RSS : 20 Maret 2012 Dikonsulkan ke bedah anak: 22 Maret 2012 Tindakan operasi : 5 April 2012 Pasien dipulangkan : 20 April 2012

Keluhan Utama
Kuning seluruh tubuh (Konsulan dari UPA dengan kolestasis ec. Suspek atresia bilier)

Riwayat Penyakit Sekarang


Pada saat bayi berusia 5 hari, bayi terlihat kuning di wajah, oleh ortu dijemur, tetapi karena kuning tidak berkurang, dibawa ke spesialis anak, dan tidak ditemukan kelainan saat diperiksa, sehingga pasien tidak dimondokkan. BAB dalam batas normal, warna kuning, BAK dalam batas normal, warna kuning jernih

Pada saat usia 1,5 bulan, keluhan kuning di seluruh badan kembali muncul, BAB berwarna pucat, frekuensi 3-5 kali sehari, konsistensi padat, ampas (+), BAK kadang berwarna kuning seperti teh. Demam yang naik turun disangkal. Oleh ortu kembali dibawa ke spesialis anak, dan diperiksa darahnya, dengan hasil hiperbilirubinemia (bilirubin total 13,35, bilirubin direk 6,66).

Anak kemudian dirujuk ke Surabaya. Dari Surabaya, di RS swasta tipe B, pasien kemudian dirujuk ke RSS. Di RSS ditangani oleh bagian UPA, kemudian dikonsulkan ke bagian Bedah Anak dengan diaagnosis kolestasis ec. Suspek atresia bilier.

Pasien lahir dari ibu P1A0, usia ibu saat melahirkan 31 tahun, cukup bulan, ditolong dokter, langsung menangis, BBL 3300 gram, PBL 50 cm, A/S 8/9, mekonium keluar <24 jam pertama, BAK (+), tidak ditemukan adanya kelainan kongenital mayor yang menyertai.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


ANC : kontrol rutin di bidan dan SpOG, riw. perdarahan(-), riwayat muntah berlebihan (-), riwayat hipertensi (-), riwayat sakit panas (-), riwayat keputihan (-), TT 2x. NC : lahir di rumah sakit secara spontan, ditolong SpOG, langsung menangis, AS 8/9, BBL:3300 gr, PB: 50 cm

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa disangkal Riwayat alergi disangkal Riwayat hipertensi disangkal Riwayat DM disangkal Kesan: Tidak ada penyakit keluarga yang diturunkan

Pemeriksaan Fisik
Kesan umum : KU sedang, menangis kuat, gerak aktif. Tanda utama : Frekuensi Nadi : 120 x/menit Frekuensi Napas : 30-38 x/menit teratur Suhu aksila : 36,6 0C

Status Lokalis
Kepala : Sklera Ikterik (+), Konjungtiva anemis (-) Leher : JVP tidak meningkat, limfonodi tidak teraba Thorax : I : Pergerakan simetris P : Sonor pada kedua lapangan paru P : Stemfremitus kanan = kiri A : Ronki basah kasar pada kedua lapangan paru

Abdomen: I : Distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-), Venektasi (-), kulit dinding abdomen berwarna kekuningan P : Timpani P : Supel, defans muskuler (-), nyeri tekan (-), teraba hepar 4 cm dibawah arkus kosta kanan, lien tidak teraba membesar A : Peristaltik (+) normal

RT : TMSA dalam batas normal, ampulla kolaps, mukosa licin, Sarung Tangan : faeses (-), darah (-), lendir (-)

Sistem Integumen: warna kekuningan seluruh tubuh, sampai ke telapak kedua kaki (Kramer IV)
Ekstremitas : dalam batas normal

Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 9,6 g/dl * AL : 8.300/L AT : 439.000/L PPT : 12,3 (13,9) APTT : 35,1 (32,0) Na : 130 meq* K : 3,9 meq Cl : 94 meq Bilirubin indirek: 6,66* Bilirubin Total: 13,35* SGOT/SGPT: 272*/129 Albumin : 2,84 g/dl* BUN : 8,3 Creatinine : 0,5

Pemeriksaan Radiologi
Thorax : Jantung dan paru dalam batas normal

Diagnosis Praoperasi
Kolestasis ec suspek atresia bilier

Rencana Tindakan
Kolangiografi intraoperatif sampai dengan kemungkinan hepatiko portoenterostomi (Kasai prosedur)

Laporan Tindakan
Dalam stadium anestesi dilakukan aseptik antiseptik medan operasi Dilakukan insisi transversal infra arkus kosta dekstra sepanjang 2 cm Diperdalam lapis demi lapis, identifikasi vesika felea Dilakukan kolangiografi intraoperatif, dengan hasil: pasase kontras tidak lancar, disimpulkan sebagai atresia bilier

Dilakukan kolesistektomi, yang diikuti dengan tindakan Kasai Prosedur Roux en Y Kavum abdomen dicuci dengan NaCl 0,9% hangat Pasang drain no 12 Tutup luka operasi lapis demi lapis Operasi selesai

Diagnosis Pascaoperasi
Atresia Bilier Tipe III

Keterangan
Pascaoperasi, pasien dirawat di bagian PICU, selama 10 hari, kemudian dipindahkan ke bangsal perawatan anak. Pasien diperbolehkan rawat jalan setelah 15 hari pascaoperasi

Pendahuluan

Atresia Bilier kondisi obstruksi saluran bilier yang sangat jarang ditemukan Insidensi 1:10.000 sampai 1:67.000 kelahiran hidup Perempuan:laki-laki = 1,4-1,7:1

Dua (2) bentuk Atresia Bilier:


Sindrom Atresia Bilier (tipe embrionik) Berhubungan dengan anomali kongenital lain, seperti: sindrom polisplenia, malrotasi intestinal, situs inversus, defek kardiak. Variasi 10-20% dari keseluruhan kasus. Non-Sindrom Atresia Bilier (tipe perinatal) Kelainan anomali yang berdiri sendiri, dan terjadi pada lebih dari 90% kasus

Etiologi dan Patogenesis


Sistem bilier berasal dari divertikulum hepatik pada foregut di usia 4 minggu gestasi, dan mengalami diferensiasi ke kranial dan kaudal.
Kranial membentuk duktus ekstrahepatik ke arah proksimal dan paling banyak membentuk sistem bilier intrahepatik. Kaudal membentuk kantong empedu, duktus sistikus, dan CBD (common bile duct)/ duktus kholedokus

Tan, et al, menyatakan bahwa atresia bilier berasal dari kegagalan remodeling struktur dasar (plate) duktus, antara minggu ke-11 dan 13 gestasi ikatan mesenkimal tidak adekuat disekeliling hilus duktus bilier, yang berpotensi menjadi ruptur pada saat awal aliran empedu keluar, di minggu ke-12 dan 13 gestasi

Klasifikasi

Gejala Klinis
Seluruh derajat atau tipe atresia bilier akan memperlihatkan gejala:
Jaundice/ikterik, oleh karena peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi/ bilirubin direk Clay-clored stool (acholic stools) dengan urin berwarna pekat seperti teh Pembesaran hepar (hepatomegali)

Dengan gejala tambahan lain, seperti:


Failure to thrive (gagal tumbuh) Koagulopati Anemia

Jika kondisi semakin berat dan lanjut


Ascites Hernia umbilikal Prominent abdominal veins Respiratory discomfort

Kebanyakan pasien yang tidak segera mendapatkan penanganan, akan meninggal dalam 1 tahun kehidupannya. Berdasarkan rata-rata usia, <60 hari, 5% gejala akan terlihat, 60-90 hari, 40% gejala klinis tampak, 90-120 hari, 30%, dan >120 hari, 25% pasien memperlihatkan gejala klinisnya

Diagnosis
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang, seperti laboratorium dan radiologi pencitraan

Laboratorium
Adanya peningkatan kadar bilirubin dalam darah (terutama bilirubin direk). Peningkatan kadar -GT (gamma-glutamyl transferase) Peningkatan kadar SGOT dan SGPT Adanya serum Lipoprotein-X (Lp-X) yang positip diseluruh kasus atresia bilier (lebih dari 300 mg/dl), merupakan tanda khas pada atresia bilier

Ultrasonografi
Untuk menilai normal kantong empedu (panjangnya >1,5 cm), puasa minimal 4 jam sebelum dilakukan USG. Jika kantong empedu mengecil atau tidak tervisualisasi, maka diagnosis atresia bilier dapat dicurigai. Ditemukannya triangular cord tanda yang khas dan sangat spesifik pada temuan USG akan adanya atresia bilier

Pencitraan
Penggunaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiografi) Penggunaan Laparoscopy-guided cholangiography PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiography) CIO (Cholangiography Intra-Operative)

Penatalaksanaan
Ada 2 (dua) fase: Fase I: Mempertahankan fungsi hati pasien dengan melakukan tindakan Kasai prosedurportoenterostomi Fase II: Jika aliran empedu tidak adekuat, maka dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hepar. Hal ini juga dapat ditentukan berdasarkan sistem skoring pasca Kasai portoenterostomi

Skoring prediktor transplantasi hepar pasca prosedur Kasai

Skor berdasarkan penjumlahan keseluruhan 9 faktor tersebut. Jika nilai skor 8, memiliki sensitivitas yang tinggi (96,9%) dan spesifitas (89,5%) untuk memprediksikan perlunya transplantasi hepar pasca Kasai portoenterostomi

Penanganan preoperatif
Pemberian vitamin K, beberapa hari sebelum operasi, dengan dosis 1-2 mg/kg, secara intramuskular Pemberian antibiotik spektrum luas preoperasi

Penanganan operatif
1. Insisi transversal supraumbilikal, diagnosis dikonfirmasi dengan inspeksi pada jaringan hepar dan saluran bilier. Kebanyakan kasus, terdapat komplit ekstrahepatik atresia bilier, dimana kantong empedu mengecil dan fibrotik (gambar 1). Jika kantong empedu masih paten, atau jika terdapat kista pada hilus hepar, warnanya dicatat dan dilakukan tindakan kolangiografi intraoperatif.

Kantong empedu mengecil dan fibrotik

Gambar 1

2. Hepar dikeluarkan dari rongga abdomen dengan menyisihkan ligamentum falsiformis dan ligamentum triangulare kanan dan kiri. Keseluruhan cabang duktus bilier dipisahkan, termasuk jaringan fibrotik, untuk memberikan tempat antara bagian kanan dan kiri vena porta.

3. Suatu loop Roux-en-Y, dipersiapkan, dengan panjang 40-50 cm, dan dilewatkan melalui mesokolon menuju hilus hepar. 4. Dilakukan anastomosis antara tepi jaringan yang didiseksi di hilus hepatis dengan sisi antimesenterium loop dari Roux (intestinal) (gambar 2) 5. Dilakukan biopsi hepar

Gambar 2. A. Menunjukkan skema roux-en-y pada prosedur Kasai Portoenterostomi, B. Teknik penjahitan antara yeyunum dengan hilus hepatis

Penanganan Pascaoperatif

Pada beberapa sentra penelitian, diberikan metilprednisolon intravena sebesar 20 mg-hari pertama pasca operasi. Dan dosis ini dikurangi 2,5 mg perharinya. Sampai dosis mencapai 5 mg per hari dan pasien sudah seluruhnya mendapatkan diet, prednisolon oral dapat diberikan dengan dosis 5 mg per harinya, selama periode 1 (satu) minggu

Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid ini biasanya dimulai dengan metilpredinisolon intravena, mulai sejak hari pertama pasca operasi sampai 710 hari setelahnya, dan diikuti dengan pemberian prednisolon per oral dan pengurangan dosis secara perlahan selama 2-3 minggu

Alasan mengapa perlu pemberian kortikosteroid pasca prosedur Kasai?


Kortikosteroid dapat meningkatkan aliran empedu (bile) dengan cara:
menurunkan edema dan deposisi kolagen, menghambat migrasi monosit dan limfosit, menghambat terbentuknya jaringan parut, memiliki efek kloretik dengan cara menstimulasi aliran empedu melalui fraksi garam bebas empedu, yang diinduksi oleh adanya aktivitas pompa Na+, KATPase

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi segera pasca Kasai, seperti kolangitis, perdarahan, anastomosis leakage, jaundice yang memanjang, dan obstruksi intestinal. Komplikasi lambat pasca Kasai, adalah berhentinya aliran empedu, kolangitis yang berulang, hipertensi portal, ascites, sindrom hepato-pulmonari, dan bendungan empedu di dalam hati dan juga sirosis

Kolangitis
30% - 50% pasien pasca Kasai dalam dua tahun pertamanya Demam atau hipotermia, muntah-muntah, ikterik, hepatosplenomegali, nyeri perut/distensi abdomen dan feses yang pucat Peningkatan serum bilirubin, leukositosis dengan pergeseran ke kiri, peningkatan kadar dari Creactive protein (CRP), peningkatan kadar alkali fosfatase, gamma-GT, dan transaminase

Disebabkan oleh adanya infeksi pada vena porta, rusaknya saluran drainase pada limfatik porta hepatis, dan infeksi langsung yang melalui fistula bilier internal porta hepatis Penanganan: resusitasi cairan, pemberian antibiotik spektrum luas secara intravena (pada beberapa tempat penelitian menggunakan steroid) selama 7-10 hari pascaoperasi

Hipertensi Portal
Berkisar 75% setelah prosedur Kasai dilakukan, walaupun terdapat aliran empedu yang sudah baik Manifestasi:
perdarahan varises esofagus (20%-60%), hipersplenisme (16%-35%), dan ascites.

Penanganan kasus ini simtomatik, dan perlu penanganan lanjut berupa transplantasi hepar

Sindroma Hepato-Pulmonari
Oleh karena difusi cairan dari shunting arteriovena intrapulmoner dan hipertensi pulmonari, pada beberapa pasien setelah bertahun-tahun pasca prosedur Kasai Hipoksia, sianosis, dispneu dan clubbing fingers transplantasi hepar

Prognosis
1. Pengalaman operator dan infrastruktur tempat dimana operasi ini dilakukan 2. Luasnya kerusakan hepar sebelum di operasi 3. Frekuensi terjadinya kejadian kolangitis 4. Pasien-pasien dengan sindrom atresia bilier (BASM= Biliary Atresia Sphlenic Malformation), prognostik buruk, dibandingkan dengan yang bukan sindrom.

5. Usia saat dilakukan operasi. Dalam hal ini, beberapa peneliti menyatakan sebagai berikut angka kesintasan 10 tahun pasca prosedur Kasai, jika dikerjakan:
sebelum 60 hari = 68% 61 70 hari = 39% 71 90 hari = 33% diatas 91 hari = hanya 15%

6. Persiapan preoperasi, yang adekuat, turut mendukung prognostik pasien pasca tindakan Kasai. Seperti pemberian antibiotik spektrum luas sesaat sebelum operasi, pemberian vitamin K, beberapa hari sebelum operasi, dan diet dengan menggunakan susu MCT (Medium Chain Trygliceride)

Pembahasan Kasus

Riwayat pasien ini, kuning seluruh tubuh sejak usia 5 hari sampai saat dikonsul berusia 2 bulan yang tidak berkurang, riwayat BAB berwarna pucat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran hepar sampai 4 cm dibawah arkus kosta sebelah kanan

Pada pemeriksaan laboratorium mendukung kearah peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, maka diagnosis sementara yang bisa ditegakkan adalah kecurigaan adanya atresia bilier

Direncanakan tindakan kolangiografi intraoperatif sampai dengan kemungkinan dilakukannya prosedur Kasai. Selama persiapan sebelum operasi, pasien diberikan diet yang mengandung MCT, dan diberikan antibiotik spektrum luas selama beberapa hari, dan juga pemberian vitamin K

Durante operasi, hasil kolangiografi: pasase kontras tidak lancar, disimpulkan sebagai atresia bilier, dan temuan fisik intraoperatif, kantong empedu fibrotik, tidak berkembang dengan sempurna, namun kondisi fisik hepar masih baik, kemerahan, tidak ada tanda-tanda fibrotik pada hepar dilakukan kolesistektomi yang diikuti dengan prosedur Kasai.

Diagnosis pasca operasi ditentukan sebagai Atresia Bilier tipe III Pascaoperasi, pasien dirawat di PICU, selama 10 hari, kemudian dipindahkan ke bangsal perawatan anak. Selama di bangsal, pasien mendapatkan antibiotik spektrum luas dan untuk kuman anaerob, pemberian kortikosteroid, dan asam ursodeksikolat.

Pasien diperbolehkan rawat jalan setelah 15 hari pascaoperasi Prognostik pada pasien ini, apakah masih diperlukan tindakan transplantasi hepar nantinya akan ditentukan saat pasien sudah kembali kontrol, dan disesuaikan dengan skor yang sudah dinyatakan pada pembahasan sebelumnya

Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sinha CK, Davenport M. Biliary atresia. J Indian Assoc Pediatr Surg 2008;13(Issue 2):49-56 Yamataka A, Kato Y, Miyano T. Biliary tract disorders and portal hypertension. In: Holcomb III GW, Murphy JP, Ostlie DJ, editors. Aschrafts Pediatric Surgery 5th ed. Saunders Elsevier.; 2010.p.557-77 Altman RP, Butchmiler TL. The jaundiced infant: biliary atresia. In: Grossfeld JL, ONeill Jr JA, Fonkalsrud EW, Coran AG, editors. Pediatric Surgery 6th ed. Mosby Inc.; 2006.p.1603-19 Khalil BA, Thamara M, Perera PR, Mirza DF. Clinical practice: management of biliary atresia. Eur J Pediatr 2010;169:395-402 Chardot C. Biliary atresia. Orphanet Journal of Rare Disease 2006;1(28):1-9 Hadzic N. Biliary atresia. Acta Medica Academica 2009;38:92-103 Mieli-Vergani G, Vergani D. Biliary atresia. Semin Immunopathol 2009;31:371-81 Jiang CB, Lee HC, Yeung CY, Sheu JC, Chang PY, Wang NL, et al. A scoring system to predict the need for liver transplantation for biliary atresia after Kasai portoenterostomy. Eur J Pediatr 2003;162:603-6 Ohi R. Surgery for biliary atresia. Liver 2001;21:175-82 Willot S, Uhlen S, Michaud L, Briand G, Bonnevalle M, Sfeir R, et al. Effect of ursodeoxycholic acid on liver function in children after successful surgery for biliary atresia. Pediatrics 2008;122:e1236-41

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai