Anda di halaman 1dari 10

Menyusui dan Risiko terjadinya Demam Setelah Imunisasi

Apa yang diketahui pada penelitian ini: Respon kekebalan terhadap beberapa vaksin berbeda antara bayi yang mendapatkan ASI dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan ASI. Apa yang didapatankan pada penelitian ini: Bayi yang mendapatkan ASI kurang cenderung mendapatkan demam setelah mendapatkan imunisasi rutin.

Abstrak
TUJUAN: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek menyusui pada risiko terjadinya demam setelah imunisasi rutin. METODE: Sebuah studi kohort prospektif dilakukan pada anak yang divaksinasi di Naples, Italia. Para ibu dari bayi yang dijadwalkan menerima imunisasi rutin diinstruksikan tentang bagaimana mengukur dan merekam suhu bayi pada sore hari setelah vaksinasi dan pada 3 hari berikutnya. Informasi tentang kejadian demam diperoleh melalui telepon pada hari ketiga setelah vaksinasi. Risiko relatif untuk demam sehubungan dengan jenis menyusui dihitung dengan analisis multivariat yang disesuaikan dengan dosis vaksin, pendidikan ibu , perilaku merokok, dan jumlah anak yang lain dalam rumah tangga. HASIL: Sebanyak 460 bayi direkrut, dan informasi mengenai hasil yang diperoleh dari 450 bayi (98%). Demam dilaporkan untuk 30 (25%), 48 (31%), dan 94 (53%) dari bayi yang mendapat ASI eksklusif, ASI sebagian, atau tidak sama sekali, masing-masing (P< .01). Risiko relatif untuk demam antara bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dan sebagian ASI adalah 0,46 (95% confidence interval: 0,33-0,66) dan 0,58 (95% confidence interval: 0,44-0,77), masing-masing. Peran ASI sebagai protektor dapat menjadi bias yang potensial. KESIMPULAN: Dalam studi ini, menyusui dikaitkan dengan penurunan kejadian demam setelah imunisasi KEY WORDS : breastfeeding, fever, immunization AUTHORS: Alfredo Pisacane, MD,a Paola Continisio, PhD,aOrsola Palma, RN,b Stefania Cataldo, RN,a Fabiola D eMichele, MD,b and Ugo Vairo, MDbaDipartimento di Pediatria, Universita` Federico II, Napoli, Italy; and bAzienda Sanitaria Locale, Napoli 1 Centro, Napoli, Italy

Demam adalah salah satu efek samping yang terjadi setelah imunisasi bayi, 1,2 dan hal itu dipicu oleh respon imun dan inflamasi terhadap komponen vaksin. Demam yang berhubungan dengan vaksinasi biasanya bersifat ringan dan singkat, namun akan sangat berguna untuk mengetahui langkah pencegahan resiko terjadinya demam. Bayi yang mendapatkan ASI memiliki respon imune yang berbeda terhadap penyakit, sama halnya vaksin,3,4 apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI. Respon yang berbeda tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor anti-inflamasi dan imunomodulator yang ada dalam ASI, 5,6. Namun demikian, karena tidak ada data yang telah dipublikasikan pada reactogenicity untuk vaksin berdasarkan kebiasaan makan, tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki kejadian demam setelah imunisasi antara bayi yang mendapat ASI dan bayi non ASI.

I.

METODE

Desain Penelitian Kami melakukan studi kohort untuk membandingkan kejadian demam selama 3 hari setelah imunisasi antara bayi yang diberi ASI dan yang tidak. Tempat dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan di vaksinasi center Distrik 49 Napoli antara 1 Oktober 2008 dan 31 Mei 2009. Subjek penelitian Semua bayi yang dijadwalkan untuk menerima dosis pertama atau kedua dari hexavalen kombinasi vaksin (difteri, tetanus, Pertusis, hepatitis B, virus polio yang tidak aktif, dan Haemophilus influenzae tipe b), dipakai bersamaan dengan vaksin pneumokokus heptavalent konjugasi,yang telah terdaftar. Bayi dikeluarkan dari penelitian ketika berat lahir mereka adalah <2500 g, ketika mereka memiliki cacat kongenital berat atau penyakit kronis serius, dan ketika mereka punya penyakit demam akut pada minggu sebelum vaksinasi. Tidak ada bayi yang dimasukkan dua kali selama periode penelitian. Setelah menginformasikan kepada orang tua dan memperoleh persetujuan tertulis mereka, Data dikumpulkan tentang karakteristik sosial ekonomi, dan jenis pemberian makan bayi diawasi selama 24-jam. Kemudian ibu diinstruksikan tentang bagaimana cara mengukur suhu rektal bayi dan untuk mencatatnya pada kartu harian. Orang tua diminta untuk mengukur suhu tubuh pada malam vaksinasi dan dua kali sehari untuk 3 hari berikutnya, sekali di pagi hari dan sekali pada sore hari sebelum makan, 7,8 dan kapanpun dicurigai terjadi demam. Termometer standar (Pic-Artsana, Como, Italia) dan kartu demam harian diberikan kepada ibu. Salah satu penulis, yang tidak menyadari kebiasaan makan dari bayi, menghubungi semua keluarga melalui telepon pada Tiga hari setelah vaksinasi. Studi ini telah disetujui oleh review kelembagaan dewan Napoli ASL

Definisi Paparan Kami menggunakan metode dietary recall 24-jam. Metode yang direkomendasikan oleh WHO untuk mendefinisikan menyusui eksklusif (tidak ada makanan atau cairan yang diberikan) dan parsial (makanan dan cairan nutrisi, termasuk susu formula, ditambahkan ke ASI).9 Definisi dan Penilaian hasil Hasil utama dari penelitian ini adalah demam, yang didefinisikan sebagai suhu tubuh 38C, saat suhu diperoleh dengan rute rektum dan menggunakan termometer yang diberikan kepada keluarga oleh tim studi. Para ibu dihubungi melalui telepon dan diminta untuk membacakan informasi yang telah dicatat pada kartu harian. Untuk setiap bayi, informasi diperoleh dari berapa kali pengukuran suhu yang telah dicatat, bagaimana dan kapan itu diukur, dan besarnya dalam derajat celcius. Potensi pembaur Dalam studi ini yang dianggap sebagai pembias adalah tingkat pendidikan ibu, ibu yang merokok, jumlah anak-anak lain dalam rumah tangga, dan dosis vaksin juga dapat menjadi potensi bias dari hubungan antara menyusui dan demam. Informasi tentang variabel tersebut diperoleh dari ibu pada saat vaksinasi. Vaksin dan vaksinator Vaksin yang digunakan adalah Infanrix hexa (GlaxoSmithKline) dan Prevnar (Wyeth Lederle Vaksin SA). Vaksin diberikan melalui injeksi intramuskular ke dalam anterolateral paha dengan menggunakan jarum 16-mm. Dokter spesialis anak (Dr Michele De) dan seorang perawat anak (Ms Palma) selama periode penelitian. Analisis Statistik Perbandingan antara kelompok dilakukan melalui X2 test. resiko relatif dengan interval kepercayaan 95% (CI) digunakan untuk membandingkan kejadian demam antara kelompok pemberian ASI. Analisis bertingkat dilakukan untuk menyelidiki peran pengganggu dan efek modifikasi variabel yang dianggap sebagai potensi pembias atau pengubah efek dari hubungan antara menyusui dan demam. Seperti dalam penelitian ini prevalensi dari hasil yang tinggi (>10%), untuk memperkirakan risiko relatif atau rasio risiko disesuaikan untuk pembaur potensial,kami menggunakan software SAS PROC GENMODs log-binomial regresi. Ukuran Sampel Data awal yang tidak dipublikasikan dari klompok ini adalah kejadian demam setelah imunisasi heptavalent pada bayi yang tidak mendapatkan ASI adalah 40%. Sebesar 20% keluar dari follow up, dibutuhkan 110 bayi dalam setiap klompok perlakuan untuk

mengetahui penurunan secara statistik yang signifikan sebesar 50% (= 0.05, 1- = 80%) pada angka terjadinya demam setelah imunisasi.
Pasangan ibu-bayi yang layak untuk dinilai n=485 excluded n = 25 BBLR: n = 19, demam pada minggu sebelumnya: n = 6 Jumlah subjek yang diambil = 460

Data yang tersedia untuk analisis: n =450

Keluar dari penelitian = 10 Tidak menjawab telepon : 4 Tidak diukur Suhu tubuh : 6

II.

HASIL

Subjek Penelitian Sebanyak 485 pasangan ibu bayi dinilai untuk kelayakan. Di antara mereka, 25 dikeluarkan (19 bayi yang lahir berat badan rendah, dan 6 mengalami demam dalam seminggu sebelum imunisasi). Semua ibu direkrut (n 460) diterima untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan data untuk analisis yang tersedia untuk 450 (98%; Gambar 1). Sepuluh ibu hilang untuk tindak lanjut: 4 dari mereka tidak menjawab panggilan telepon 3x berturutturut, dan 6 tidak mengumpulkan dan mencatat informasi pada suhu bayi tubuh. Dari 10 anak, 2 mendapatkan ASI eksklusif, 4 ini sebagian ASI, dan 4 tidak disusui. Karakteristik subjek penelitian Tabel 1 menunjukkan beberapa karakteristik awal dari ibu dan bayi yang terdaftar dalam penelitian ini. Sebanyak 206 bayi (46%) menerima dosis vaksin pertama dan 244 (54%) yang kedua; usia rata-rata adalah 101 hari (SD: 90 hari) dan 176 hari (SD: 86 hari). Bayi yang menerima dosis pertama secara bermakna lebih banyak mendapatkan ASI ekslusif dibandingkan dengan mereka yang menerima dosis kedua.( 41% vs 15%; P<.01)

Karakteristik Jumlah Jenis kelamin L/P 220/230 Kehadiran anak lain dalam rumah tangga. N 224 (50%) (%) Pendidikan ibu 8 th. n (%) 172 (38%) Ibu merokok, n (%) 118 (26%) Demam pada anggota keluarga dalam 3 hari 14(3%) sebelum imunisasi, n(%) Dosis vaksin pertama, n(%) 206(46) Usia, rerata (SD) 101(90) Pemberian ASI, n(%) ASI ekslusif 84 (41%) ASI sebagian 60(29%) Non ASI 62(30%) Dosis vaksin kedua n(%) 224(54%) Usia, rerata (SD) 176(86) Pemberian ASI, n(%) ASI ekslusif 36 (15%) ASI sebagian 94 (38%) Non ASI 114 (47%) Tabel 1.karakteristik bayi yang termasuk dalam penelitian Potensial Pembias Tabel 2 memberikan informasi mengenai distribusi beberapa potensi pembias antara kelompok-kelompok makan. ibu yang merokok dan pendidikan ibu, jumlah anak-anak lain dalam rumah tangga, dan dosis vaksin dikaitkan dengan menyusui (Tabel 2), juga dengan demam (Tabel 3), dan kemudian bisa mengacaukan hubungan antara menyusui dan demam. Tabel 2. Asosiasi Beberapa potensi pembias Dengan Paparan Karakteristik ASI ekslusif ASI parsial Non ASI P (n=120) (n=154) (n=176) Pendidikan ibu 8 th 44(28%) 44(28%) 94(53%) <0.01 Ibu merokok 14(12%) 30(19%) 74 (42%) <0.01 Anak lain dalam 54 (45%) 70(54%) 100(57%) <0.05 keluarga Dosis vaksin pertama 84 (70%)a 60 (39%) 62 (35%) <0.01 a ASI eksklusif tapi tidak ASI parsial dikaitkan dengan dosis vaksin

Tabel 3.Asosiasi Beberapa potensi pembias Dengan outcome Karakteristik Pendidikan Ibu 8 (n=172) >8 (n=278) Ibu merokok Ya ( n=118) Tidak ( n=332) Anak lain didalam keluarga Ya ( n=224) Tidak ( n=226) Dosis vaksin pertama (n=206) Dosis vaksin kedua (n=244) Bayi dengan demam (n=172) 77(45%) 95 (34%) 59 (50%) 113 (34% 98 (44%) 74 (33%) 54 (26%) 118 (48%) <0.05 p

<0,01

<0.01

<0.01

Data Outcome Tabel 4 menunjukkan frekuensi demam antara kelompok-kelompok makan. Di antara bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, sebagian dan tidak disusui, kejadian demam adalah, masing-masing, 25%, 31%, dan 53% (P 01?). Dibandingkan dengan bayi yang tidak disusui, mereka yang diberikan AS secara ekslusif memiliki risiko relatif untuk demam dari 0,46 (95% CI: 0,33-0,66) dan mereka yang sebagian dari 0,58 (95% CI: 0,44-0,77). Tak satu pun dari variabel yang diteliti ternyata baik sebagai pengubah efek (Tabel 5) atau suatu perancu dari hubungan antara menyusui dan demam; sebenarnya, penyesuaian risiko relatif, ketika mempertimbangkan semua potensi pembias, menghasilkan 0,38 (95% CI: 0,21-0,73) dan 0,46 (95% CI: 0,27-0,84), masing-masing, untuk eksklusif dan menyusui ASI parsial (Tabel 4). Tabel 6 menunjukkan distribusi dari pengukuran suhu dan suhu puncak rata-rata pada hari pertama setelah vaksinasi. Pemilihan hari ini disarankan oleh pengamatan bahwa, untuk 155 (90%) dari 172 bayi, demam dilaporkan telah terjadi selama hari pertama setelah vaksinasi. Demam untuk anak-anak sebagian besar durasi pendek (75% bayi memiliki durasi 1-hari demam), dan durasi tidak berhubungan dengan jenis makanan. Suhu tubuh 39,0 C terjadi pada 8 (1,7%) bayi; 4 pada ASI parsial , dan 4 Non ASI. Tabel 4. Distribusi demam berdasarkan jenis pemberian ASI Jenis pemberian ASI ASI ekslusif (n=120) ASI parsial (n=154) Non ASI (n=176) Bayi dengan demam , n (%) 30 (25) 48 (31) 94 (53) RR (95% CI) 0.46 (0.33 to 0.66) 0.58 (0.44 to 0.77) 1,0 RR yang disesuaikain (95% CI) a 0.38 (0.21 to 0.73) 0.46 (0.27 to 0.84)

Risiko disesuaikan dengan pendidikan ibu, merokok, kehadiran anak-anak lain dalam rumah tangga, dan dosis vaksin Tabel 5. Asosiasi Antara Menyusui dan Demam dikelompokkan berdasarkan potensi pembias Pembias Ibu merokok Ya Tidak Anak lain dalam keluarga Ya Tidak Pendidikan ibu 8 th Ya Tidak Dosis vaksin pertama Ya ASI Resiko Relatif Demam 0.23 0.57 0.56 0.64 0.66 0.56 0.30 0.62 0.51 0.40 0.49 0.73 95% CI

Ekslusif Parsial Ekslusif Parsial Ekslusif Parsial Ekslusif Parsial Ekslusif Parsial Ekslusif Parsial

0.07 to 0.80 0.33 to 0.97 0.38 to 0.81 0.45 to 0.89 0.44 to 0.97 0.37 to 0.83 0.16 to 0.56 0.42 to 0.91 0.30 to 0.88 0.23 to 0.70 0.31 to 0.77 0.51 to 1.00

Ekslusif 0.48 0.30 to 0.80 Parsial 0.42 0.22 to 0.79 Tidak Ekslusif 0.60 0.40 to 1.00 Parsial 0.66 0.49 to 0.88 Mantel-Haenszel rasio risiko yang disesuaikan untuk pemberian ASI eksklusif = 0,50 (95% CI: 0,42-0,60); Breslow day tes untuk interaksi lebih strata: P = 0,48. Mantel-Haenszel rasio risiko disesuaikan untuk menyusui parsial = 0,59 (95% CI: 0,52-0,68); Breslow day tes untuk interaksi lebih strata: P = 0 .66. Tabel 6. Frekuensi temperatur yang terekam dan stelah vaksinasi berdasarkanjenis pemberian ASI Parameter ASI ekslusif (n=120) Jumlah suhu yang terekam 5-6 105 (88%) 3-4 12 (10%) 1-2 3(2%) Rerata temperatur puncak (SD) 37.10 (0.84) Ca a analysis of variance F= 8.74, p<0.001 rerata suhu puncak pada hari pertama ASI parsial Non ASI (n=154) (n=176) 129 (84%) 18(12%) 7(4%) 37.20 (0.88) 150 (85%) 24 (14%) 2 (1%) 37.50 (0.89)

III.

DISKUSI

Penelitian ini menunjukkan bahwa bayi yang disusui kurang cenderung mengalami demam setelah imunisasi dibandingkan dengan mereka yang tidak diberikan ASI. Sebenarnya, perbedaan resiko yang signifikan tetap ada setelah mengendalikan beberapa potensial pembias, dan juga suhu puncak rata-rata berbeda di antara kelompok makan pada hari pertama setelah vaksinasi. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya adalah bahwa suhu tubuh diambil oleh ibu bukan oleh profesional kesehatan. Walaupun ibu dilatih untuk mengukur suhu rektal scara akurat, disediakan termometer standar, dan itu memenuhi standar pengambilan dan merekam temperatur, tidak mungkin untuk mengecualikan bias dalam penilaian demam. Sebenarnya, ibu menyusui yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi bisa lebih akurat dalam mendeteksi demam, namun demam kurang sering terjadi pada bayi yang disusui, dan tidak mungkin bahwa ibu yang berpendidikan lebih rendah dapat melaporkan suhu tubuh secara sistematis . Keterbatasan kedua adalah bahwa demam setelah imunisasi bisa menjadi sebuah episode infektif. walaupun itu tidak mudah untuk menangani hal ini potensial pembias, demam yang biasanya berlangsung singkat dan terjadi selama 24 jam setelah imunisasi sebagian besar digolongkan sebagai infeksi, namun, keterbatasan penelitian yang umum untuk penyelidikan lain dilakukan pada topik ini dan mencerminkan kesulitan memperoleh data hasil dengan cara yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional. Setiap penjelasan untuk hubungan antara menyusui dan demam setelah imunisasi bersifat dugaan. Perbedaan respon terhadap Haemophilus influenzaetipe b dan pneumococcal 3, 4 serta vaksin measles-mumps-rubela 12 telah dilaporkan antara bayi yang diberi ASI dibandingkan dengan mereka yang tidak diberi ASI, kemudian dapat dibayangkan bahwa reactogenitas dapat berbeda juga.5, 6 Karena sitokin proinflamasi bertindak sebagai pirogen endogen, beberapa komponen antimikroba atau anti-inflamasi ASI bisa mengurangi demam dengan mengurangi produksi interleukin atau dari toll-like receptor dan pengaruhnya terhadap jaringan pembuluh darah yang memasok ke pusat termoregulasi di hipotalamus anterior.13,14 Produksi sitokin pro inflamasi dapat dikurangi tidak hanya oleh komponen ASI tetapi juga oleh pemberian ASI itu sendiri. Sebenarnya, ASI memenuhi fungsi memenuhi kebutuhan emosional bayi ', dan dapat dibayangkan bahwa bayi yang sakit sering disusui untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan mendapatkan dukungan emosional dari kontak intim dengan ibu mereka. Ini bisa menjadi alasan bahwa asupan kalori yang berkurang setelah imunisasi telah dilaporkan di antara bayi yang tidak disusui tetapi tidak di antara mereka yang disusui. Asupan kalori yang berkurang tersebut telah dikaitkan dengan peningkatan leptin serum dan interleukin 1 proinflamasi dan tumor necrosis factor 15 dan bisa menjadi salah satu alasan bahwa bayi yang tidak disusui lebih berisiko untuk demam, namun, bayi yang disusui kurang rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh anoreksia juga karena adanya asam docosahexaenoic dalam ASI.16

IV.

KESIMPULAN

Menyusui tampaknya dikaitkan dengan penurunan risiko untuk terjadinya demam setelah imunisasi, diperlukan penelitian yang lebih terorganisir. Desain studi tersebut harus mencakup metode penelitian yang lebih objektif, seperti pengukuran yang dilakukan oleh

para tenaga kesehatan profesional pada saat yang sama, siang atau malam, dan harus mengevaluasi munculnya infeksi ringan dengan pemantauan medis

V.

REFERENCES

1. Knuf M, Habermehl P, Cimino C, Petersen G, Schmitt HJ. Immunogenicity, reactogenicity and safety of a heptavalent pneumococcal conjugate vaccine (PCV7) concurrently administered with a DPTa-HBV-IPV/Hib combination vaccine in healthy infants. Vaccine. 2006;24(22):4727 4736 2. Pichichero ME, Bernstein H, Blatter MM, Schuerman L, Cheuvart B, Holmes SJ. Immunogenicity and safety of a combination diphtheria, tetanus toxoid, acellular pertussis, hepatitis B, and inactivated poliovirus vaccine coadministered with a heptavalent pneumococcal conjugate vaccine and a Haemophilus influenzae type b conjugate vaccine. J Pediatr. 2007;151(1):43 49 3. Pabst HF, Spady DW. Effect of breastfeeding on antibody response to conjugate vaccine. Lancet. 1990;336(8710):269 270 4. Silfverdal SA, Ekholm L, Bodin L. Breastfeeding enhances the antibody response to Hib and pneumococcal serotype 6B and 14 after vaccination with conjugate vaccine. Vaccine. 2007;25(8):14971502 5. Goldman AS, Thorpe LW, Goldblum RM, Hanson LA. Anti-inflammatory properties of human milk. Acta Paediatr Scand. 1986;75(5): 689695 6. Goldman AS. The immune system of human milk: antimicrobial, anti-inflammatory and immunomodulating properties. Pediatr Infect Dis J. 1993;12(8):664671 7. Lodemore M, Petersen SA, Wailoo MP. Development of night time temperature over the first six months of life. Arch Dis Child. 1991; 66(4):521524 8. Anderson ES, Petersen SA, Wailoo MP. Factors influencing the body temperature of 3 4 month old infants at home during the day. Arch Dis Child. 1990;65(12):1308 1310 9. Division of Diarrhoeal and Acute Respiratory Disease Control. Indicators for Assessing Breastfeeding Practices. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1991 10. Michael Marcy S, Kohl KS, Dagan R, et al. Fever as an adverse effect following immunization: case definition and guidelines of data collection, analysis, and presentation. Vaccine. 2004;22(5 6):551556 11. Wacholder S. Binomial regression in GLIM: estimating risk ratios and risk difference. Am J Epidemiol. 1986;123(1):174 184 12. Pabst HF, Spady DW, Pilarski LM, Carson MM, Beeler JA, Krezolek MP. Differential modulation of the immune response by breast or formula feeding in infants. Acta Paediatr. 1997;86(12):12911297 13. Conti B, Tabarean I, Andrei C, Bartfai T. Cytokines and fever. Front Biosci. 2004;9: 1433 1449 14. Dinarello CA. Infection, fever, and exogenous and endogenous pyrogens: some concepts have changed. J Endotoxin Res. 2004; 10(4):201222 15. Lo pez-Alarcon M, Garza C, Habicht JP, Martinez L, Pegueros V, Villalpando S. Breastfeeding attenuates reductions in energy intake induced by a mild immunologic stimulus represented by DPTH immunization: possible roles of interleukin-1beta, tumor necrosis factor-alpha and leptin. J Nutr. 2002;132(6):12931298

16. Lo pez-Alarco n M, Garza C, Del Prado M, Garcia-Zuniga PA, Barbosa L. Breastfeedings protection against illness-induced anorexia is mediated partially by docosahexaenoic acid. Eur J Clin Nutr. 2008;62(1): 3238

Anda mungkin juga menyukai