Anda di halaman 1dari 198

LEMBAR PERSETUJUAN

Penelitian dengan judul:

Laporan hasil penelitian ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA Telah mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan Jakarta, 14 Juni 2013

Menyetujui, Pembimbing

(Rumiarti, SKp, MARS)

Mengetahui, Kepala Prodi S1 Keperawatan

(Lenny Rosbi Rimbun, SKp, M.Si)

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan hasil penelitian dengan judul Pengaruh Kompres Hangat Dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013, ini telah diujikan dan dinyatakan Lulus dalam ujian sidang dihadapan Tim Penguji pada tanggal 14 juni 2013

Penguji I

(Rumiarti, SKp, MARS)

Penguji II

(Wasijati, S.Kp, M.Si)

Penguji III

(Lenny Rosbi Rimbun, S.Kp, M.Si)

ii

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA PROGAM S1 KEPERAWATAN Riset, 14 Juni 2013 ITJMI AYOE FERYANI Pengaruh Kompres Hangat Dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 VII+...Halaman+...Tabel+....Lampiran

ABSTRAK Penuaan dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. Salah satu penuaan yang terjadi secara fisiologis adalah perubahan pada sistem muskuloskeletal, yaitu sendi yang dapat menimbulkan gangguan berupa nyeri. Beberapa terapi dapat digunakan untuk mengurangi nyeri sendi, salah satunya adalah terapi nonfarmakologis seperti kompres hangat dan stretching. Kompres hangat selain memberi efek menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini meningkatkan aliran darah dalam jaringan. Sedang stretching membuat otot dan sendi tetap lentur sehingga lansia dapat beraktivitas dengan optimal. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kompres hangat dan stretching pada lansia dengan nyeri sendi untuk mengurangi skala nyeri sendi yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Kontrol Group Design. Jumlah sampel dalam penelitian ini 36 orang dengan ketentuan 18 orang kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 April 2013 sampai 23 Mei 2013 di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompres hangat dan stretching berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur (p = 0,000), sedangkan usia tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,941), jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,878), dan lokasi nyeri sendi tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 1,000). Berdasarkan hasil penelitian, perawat diharapkan dapat memberikan kompres hangat dan stretching sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk mengurangi nyeri sendi. Kepada penelitian selanjutnya perlu diteliti variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi nyeri. Kata Kunci : Lansia, Nyeri Sendi, Stretching, Kompres hangat,

Daftar Pustaka : 33 (2000 2012)

iii

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA PROGAM S1 KEPERAWATAN Riset, 14 Juni 2013 ITJMI AYOE FERYANI Pengaruh Kompres Hangat Dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 VII+...Halaman+...Tabel+....Lampiran

ABSTRAK Penuaan dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. Salah satu penuaan yang terjadi secara fisiologis adalah perubahan pada sistem muskuloskeletal, yaitu sendi yang dapat menimbulkan gangguan berupa nyeri. Beberapa terapi dapat digunakan untuk mengurangi nyeri sendi, salah satunya adalah terapi nonfarmakologis seperti kompres hangat dan stretching. Kompres hangat selain memberi efek menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini meningkatkan aliran darah dalam jaringan. Sedang stretching membuat otot dan sendi tetap lentur sehingga lansia dapat beraktivitas dengan optimal. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kompres hangat dan stretching pada lansia dengan nyeri sendi untuk mengurangi skala nyeri sendi yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Kontrol Group Design. Jumlah sampel dalam penelitian ini 36 orang dengan ketentuan 18 orang kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 April 2013 sampai 23 Mei 2013 di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompres hangat dan stretching berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur (p = 0,000), sedangkan usia tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,941), jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,878), dan lokasi nyeri sendi tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 1,000). Berdasarkan hasil penelitian, perawat diharapkan dapat memberikan kompres hangat dan stretching sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk mengurangi nyeri sendi. Kepada penelitian selanjutnya perlu diteliti variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi nyeri. Kata Kunci : Lansia, Nyeri Sendi, Stretching, Kompres hangat,

Daftar Pustaka : 33 (2000 2012)

iv

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama Nim Mahasiswi S1 Keperawatan/Angkatan : Itjmi Ayoe Feryani : 09028 : STIKes PERTAMEDIKA/II

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan Laporan Penelitian Mata Ajaran Riset Keperawatansaya yang berjudul: PENGARUH KOMPRES HANGAT DAN STRETCHING TERHADAP

PENURUNAN SKALA NYERI SENDI PADA LANSIA DI WILAYAH RW 03, KELURAHAN PULOGEBANG, KECAMATAN CAKUNG, JAKARTA TIMUR TAHUN 2013 Apabila suatu saat terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sangsi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, 14 Juni 2013 Yang Membuat Pernyataan

(Itjmi Ayoe Feryani)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA (STIKes PERTAMEDIKA, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Institusi Jenis Karya : Itjmi Ayoe Feryani : 09028 : S1 Keperawatan : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non exclusive Royalty Free Right) atas Skripsi saya yang berjudul: PENGARUH KOMPRES HANGAT DAN STRETCHING TERHADAP

PENURUNAN SKALA NYERI SENDI PADA LANSIA DI WILAYAH RW 03, KELURAHAN PULOGEBANG, KECAMATAN CAKUNG, JAKARTA TIMUR TAHUN 2013 Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Nonekslusif ini STIKes PERTAMEDIKA berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (Database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Pada tanggal

: Jakarta : 14 Juni 2013

Yang menyatakan

(Itjmi Ayoe Feryani)


vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Tempat/Tgl. Lahir Alamat

: Itjmi Ayoe Feryani : Jakarta, 17 Febuari 1992 : Asrama Palad GUPUSMU III RT 01/03 No. D13, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Kode Pos 13950

Riwayat Pendidikan

: 1. 2. 3.

SDN 011 Pagi Pulogebang SMP Negeri 172 Jakarta SMK Kesehatan Kesdam Jaya

Lulus Tahun 2003 Lulus Tahun 2006 Lulus Tahun 2009

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunianya sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul Pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013. Proposal penelitian ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian tugas akhir pada Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

PERTAMEDIKA. Peneliti menyadari banyak pihak yang turut membantu sejak awal penyusunan sampai selesainya proposal penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. DR. Mardjo Soebiandono, SpB selaku Direksi PERTAMEDIKA dan Pembina Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA. 2. DR. Dany Amrul Ichdan, SE, MSc selaku Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA. 3. Widiyo Weni Wigati, SKM, MARS selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 4. Lenny Rosbi Rimbun, SKp selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 5. Rumiarti, SKp, MARS selaku Pembimbing yang dengan kesabaran dan kebaikannya telah membimbing penulis selama proses penelitian ini. 6. Para Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.

viii

7. 8.

Para Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. Bapak Moh. Taufik dan Ibu Puji Rahayu selaku orang tua saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.

9.

Keluarga besar saya yang senantiasa membantu dan mendoakan saya, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.

10. Dona Ari Sunandar yang selalu memotivasi dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 11. Kakak saya Fajri Marindra S. yang selalu memotivasi dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 12. Bapak Slamet selaku Ketua RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang turut membantu, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 13. Ibu Siswoyo selaku pengurus senam lansia di wilayah Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang turut membantu, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 14. Bapak Ketua RT 01 RT 18 di wilayah RW 03 Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang turut membantu, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 15. Para responden atas keikutsertaan dan kerjasamanya, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.

ix

16. Teman-teman satu bimbingan saya Ita Wulandari, Erma Dian, Hesti Setyoningsih, Erna Astika, dan Lela Purnamasari yang sudah turut membantu dalam proses penyelesaian proposal ini tepat pada waktunya. 17. Teman-teman saya Riska Indarwati, Reza Anissa Dina, dan Nur Ardhila yang selalu memotivasi dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 18. Teman-teman S1 Reguler 2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 19. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut berpartisipasi sehingga selesainya penelitian ini. Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan penelitian ini banyak sekali

kekurangannya, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan penulisan dan penyusunan hasil penelitian di masa mendatang.

Jakarta, 14 Juni 2013 Peneliti

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................................ii ABSTRAK ....................................................................................................................... iii SURAT PERNYATAAN................................................................................................... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................................vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................................................................vii KATA PENGANTAR ................................................................................................... viii DAFTAR ISI .....................................................................................................................xi DAFTAR TABEL ...........................................................................................................xiv DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................xvii DAFTAR SKEMA ....................................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................xix

BAB I

PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah .................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 7 1. 2. Tujuan Umum...................................................................................... 7 Tujuan Khusus ..................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 8 1. Pelayanan Keperawatan ...................................................................... 9

xi

2.

Perkembangan Ilmu Keperawatan....................................................... 9

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN ....................................................................... 10 A. Teori dan Konsep Terkait ......................................................................... 10 1. 2. 3. 4. 5. Lansia ................................................................................................ 10 Persendian ......................................................................................... 22 Nyeri Sendi ........................................................................................ 34 Kompres Hangat ................................................................................ 61 Stretching (Peregangan) .................................................................... 72

B. Penelitian Terkait...................................................................................... 85

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL .................................................................. 88 C. Kerangka Konsep ..................................................................................... 88 D. Hipotesis ................................................................................................... 90 E. Definisi Operasional ................................................................................. 91

BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................................ 95 A. Desain Penelitian ...................................................................................... 95 B. Populasi dan Sampel................................................................................. 97 C. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 101 D. Etika Penelitian ....................................................................................... 101 E. Alat Pengumpulan Data .......................................................................... 104 F. Prosedur Pengumpulan Data .................................................................. 105
xii

G. Pengolahan dan Analisa Data ................................................................. 106

BAB V

HASIL PENELITIAN ................................................................................... 110 A. Gambaran Tempat dan Responden Penelitian ........................................ 111 B. Analisis Data .......................................................................................... 111

BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................ 123 A. Interpretasi dan Diskusi Hasil ................................................................ 123 B. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 144

BAB VII PENUTUP ..................................................................................................... 145 A. Kesimpulan ............................................................................................. 145 B. Saran ....................................................................................................... 147

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 149 LAMPIRAN ................................................................................................................... 152

xiii

DAFTAR TABEL

1. 2.

Tabel 3.2 Definisi Operasional........................................................................... 92 Tabel 4.1 Rancangan Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design ............................................. 97

3.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Responden di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 113

4.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 113

5.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lokasi Nyeri Sendi Responden di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 114

6.

Tabel 5.4 Distribusi Rata-Rata Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................ 115

7.

Tabel 5.5 Distribusi Rata-Rata Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri Setelah Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................ 116

xiv

8.

Tabel 5.6 Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 118

9.

Tabel 5.7 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................ 119

10. Tabel 5.8 Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 119 11. Tabel 5.9 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Usia Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................ 120 12. Tabel 5.10 Pengaruh Jenis Kelamin Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 121 13. Tabel 5.11 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Jenis Kelamin Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................ 121
xv

14. Tabel 5.12 Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................................................. 122 15. Tabel 5.13 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 ................................ 123

xvi

DAFTAR GAMBAR

1. 2.

Gambar 2.1 Skala Nyeri ........................................................................................ 39 Gambar 2.3 Stretching Lansia............................................................................... 86

xvii

DAFTAR SKEMA

1. Skema 2.1 Rentang Skala Nyeri ........................................................................... 39 2. Skema 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 90

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8

Surat Data Awal Surat Izin Penelitian Penjelasan Penelitian Surat Persetujuan Responden Kuesioner Penelitian Modul Kompres Hangat dan Stretching Waktu Penelitian Output Data SPSS

xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tibatiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir (Lilik Marifatul Azizah, 2011).

Institute for Ageing and Health University of Newcastle, pada 23 April 2007 memberikan pernyataan yang mengejutkan. Pada salah satu konfrensi Changing Expectation of Life, dilaporkan bahwa setiap harinya umur harapan hidup bertambah rata-rata 5 jam untuk negara-negara Eropa (Azwar Agoes, 2010).

Disadari atau tidak ternyata Indonesia telah memasuki era pertambahan jumlah penduduk lansia. (Azwar Agoes, 2010: 1).

2 Tahun 1990 jumlah lansia 6,3 persen (11,3 juta orang), pada tahun 2015 jumlah lansia diperkirakan mencapai 24, 5 juta orang, dan akan melewati jumlah balita yang pada saat itu diperkirakan mencapai 18,8 juta orang. Laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1995 jumlah lansia 60 tahun ke atas sebesar 7,5 persen atau 15 juta jiwa dibanding tahun 1986. Tahun 2020 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan akan menempati urutan ke 6 terbanyak di dunia dan melebihi jumlah lansia di Brazil, Meksiko dan Negara Eropa. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003)

Perbandingan indeks pembangunan manusia dan komponen menurut provinsi tahun 2009 2010 dalam Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 mencatat angka harapan hidup Warga Negara Indonesia pada tahun 2009 adalah 69,21 tahun dan pada tahun 2010 adalah 69,43 tahun. Jakarta menempati posisi pertama dalam hal harapan hidup pada tahun 2009 dan tahun 2010 yaitu 73,05 tahun dan 73,20 tahun. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 juga mencatat estimasi jumlah penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2011 berjumlah 241.182.182 jiwa dengan jumlah usia 60 tahun 16.713.926 jiwa yang berarti 6,9% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, dan majunya pengetahuan dan teknologi terutama ilmu kesehatan, promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan pelayananan kesehatan mengakibatkan meningkatnya umur harapan hidup manusia (life expectancy). Akibatnya jumlah orang lanjut usia akan bertambah dan ada kecenderungan akan meningkat dengan cepat. Peningkatan jumlah penduduk lanjut

3 usia akan membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, baik bagi individu lansia itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Apa artinya umur yang panjang apabila penuh dengan penderitaan, masalahnya tidak hanya how to add more years to life tetapi juga menjadi how to add lives to years. Implikasi ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk lanjut usia adalah peningkatan ratio ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Ketergantungan lanjut usia disebabkan kemunduran fisik, psikis dan sosial lanjut usia yang dapat digambarkan melalui tiga tahap, yaitu kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran akibat proses menua (aging process) (Lilik Marifatul Azizah, 2011).

Penuaan itu sendiri dapat terjadi secara alamiah/fisiologis atau patologis. Salah satu penuaan yang terjadi secara fisiologis adalah perubahan pada sistem

muskuloskeletal, yaitu sendi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003).

Kemunduran kartilago sendi, sebagian besar terjadi pada sendi-sendi yang menahan berat, dan pembentukan tulang di permukaan sendi merupakan hal yang umum terjadi. Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen yang terdapat yang terdapat pada jaringan penyambung meningkat secara progresif yang jika tidak dipakai lagi mungkin menyebabkan inflamasi nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan deformitas (Mickey Stanley, 2006).

4 Kelainan akibat perubahan sendi yang banyak terjadi pada lansia antara lain osteoartritis, artritis rheumatoid, gout, dan pseudogout. Kelainan ini dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatasan luas gerak sendi, gangguan berjalan, dan aktivitas keseharian lainnya (Sri Surini Pudjiastuti, 2003).

Melihat keragaman masalah kesehatan pada lansia, upaya pencegahan harus diutamakan. Masalah kesehatan lansia tidak terjadi seketika itu saja, tetapi melalui proses kemunduran yang panjang. Proses itu dapat dihambat atau dalam beberapa hal tertentu dapat dicegah bila upaya pencegahan dilakukan sejak dini, terpadu, terus-menerus dan berkesinambungan. Pertimbangan lain adalah tingginya biaya pelayanan kesehatan sehingga upaya pencegahan akan jauh lebih hemat dan murah daripada upaya pengobatan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003).

Salah satu upaya untuk mengatasi nyeri adalah dengan melakukan kompres hangat dan teknik distraksi taktil berupa stretching (peregangan). Kompres hangat selain dapat menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan (Anas Tamsuri, 2006).

Stretching (peregangan) itu sendiri membuat otot tetap lentur, membuat anda siap bergerak, dan membantu anda beralih dari aktivitas kurang gerak ke aktivitas banyak gerak tanpa menimbulkan ketegangan (Bob Anderson, 2008).

5 Hasil penelitian Yohana Pamungkas pada tahun 2010 yang berjudul Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri, didapatkan data sebelum diberikan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 7 responden (20%) dengan nyeri ringan, 20 responden (51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri parah. Setelah dilakukan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 33 responden (94,2%) yang mengalami penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah. Hasil uji statistik Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kemaknaan p = 0,00, hal ini berarti terdapat pengaruh latihan gerak kaki (stretching) terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia di posyandu lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri.

Hasil penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara Muda tahun 2012 yang berjudul Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012, didapatkan data mengenai tingkat nyeri rematik pada lansia sebelum dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 2,45, yaitu nyeri lebih menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 11 responden (55%) kemudian nyeri lebih menyakitkan lagi dengan skala nyeri 3 sebanyak 9 responden (45%). Setelah dilakukan kompres hangat, tingkat nyeri rematik pada lansia sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0,20 menjadi tidak nyeri dengan skala nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%). Berdasarkan uji statistik menunjukkan (p value = 0.000, = 0,05), maka didapatkan ada perbedaan yang signifikan antara

6 pengukuran tingkat nyeri sebelum dilakukan kompres hangat dengan pengukuran nyeri sesudah dilakukan kompres hangat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan kompres hangat yang dilakukan sesuai dengan aturan dapat menurunkan tingkat nyeri pada lansia yang mengalami nyeri rematik.

Studi pendahuluan dilakukan saat senam lansia berlangsung di Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur dengan jumlah lansia sebanyak 131 orang. Berdasarkan hasil survei, didapatkan bahwa belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi, sedangkan hasil wawancara dari 10 orang lansia diketahui bahwa 7 lansia diantaranya mempunyai keluhan nyeri sendi. Hasil survei penelitian dengan bantuan ketua RT dan RW setempat di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, tercatat 103 orang lansia, dengan 57 orang lansia menderita nyeri sendi. Rasa nyeri timbul secara tiba-tiba dan tanpa sebab di pagi hari atau saat beraktivitas maupun setelah beraktivitas sehingga lansia terkadang harus membatasi aktivitasnya.

Berdasarkan latar belakang, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

7 B. Perumusan Masalah Berdasarkan Fenomena yang terjadi di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur maka rumusan masalah ini adalah apakah ada pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta timur tahun 2013?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui adanya pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta timur tahun 2013.

2.

Tujuan Khusus a. Diketahuinya jumlah responden penderita nyeri sendi berdasarkan usia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. b. Diketahuinya jumlah responden penderita nyeri sendi berdasarkan jenis kelamin di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. c. Diketahuinya jumlah responden penderita nyeri sendi berdasarkan lokasi nyeri di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

8 d. Diketahuinya skala nyeri sendi sebelum diberikan kompres hangat dan stretching pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. e. Diketahuinya skala nyeri sendi setelah diberikan kompres hangat dan stretching pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. f. Diketahuinya pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. g. Diketahuinya pengaruh usia terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. h. Diketahuinya pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. i. Diketahuinya pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian Melihat dari penelitian yang akan dilakukan maka dikemukakan manfaat penelitian ditinjau dari:

9 1. Pelayanan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya penurunan nyeri sendi pada lansia khususnya di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 sehingga dapat menurunkan angka kesakitan pada lansia dan dapat mengoptimalkan lansia yang sehat.

2.

Perkembangan Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat, khususnya di bidang keperawatan gerontik mengenai manfaat penatalaksanaan nonfarmakologis nyeri berupa kompres hangat dan stretching sebagai penurun skala nyeri sendi pada lansia tanpa mengkhawatirkan efek samping yang bermakna terhadap faal tubuh lainnya.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Teori dan Konsep Terkait 1. Lansia Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dikutip oleh R. Boedhi Darmojo, 2000: 4).

Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Lilik Marifatul Azizah, 2011: 1).

Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, Sp.Kj., menyatakan bahwa batas usia dewasa sampai lanjut usia dikelompokan menjadi : a. b. c. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20 25 tahun, Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas usia 25 60/56 tahun, Lanjut usia (geriatric age) usia >65/70 tahun, terbagi atas:

10

11 1) Young old (usia 70 75 tahun) 2) Old (usia 75 80 tahun) 3) Very old (usia >80 tahun) (Kushariyadi, 2010: 2)

WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia (old) usia 75 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Sedangkan Nughroho (2000) menyimpulkan pembagian umur berdasarkan pendapat beberapa ahli bahwa yang disebut lansia adalah orang yang telah berumur 65 tahun ke atas (Lilik Marifatul Azizah, 2011: 2).

a.

Teori Penuaan Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya dikelompokan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan psikologis. Penelitian yang telibat dengan jalur biologi telah memusatkan perhatian pada indikator yang dapat dilihat dengan jelas pada proses penuaan, banyak pada tingkat seluler, sedangkan ahli teori psikososial mencoba untuk menjelaskan bagaimana proses tersebut dipandang dalam kaitan dengan kepribadian dan perilaku (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 11).

12 1) Teori Biologis Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, perkembangan, panjang usia, dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh, termasuk perubahan molekuler dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi faktor panjang, perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 11 12). Teori biologis diidentifikasikan oleh para ahli dengan 5 karakteristik, antara lain: a) Teori Genetika Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur jaringan (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 12). b) Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak) Teori Wear and Tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Radikal bebas adalah contoh dari produk sampah metabolisme yang menyebabkan kerusakan ketika

13 akumulasi terjadi. Karena laju metabolisme terkait secara langsung pada pembentukan radikal bebas, sehingga ilmuan memiliki hipotesis bahwa tingkat kecepatan produksi radikal bebas berhubungan dengan penentuan waktu rentang hidup (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 12). c) Teori Lingkungan Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, taruma, dan infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 13). d) Teori Imunitas Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Seiring dengan berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh. Selain itu, tubuh kehilangan

kemampuannya untuk meningkatkan responnya terhadap sel asing, terutama bila menghadapi infeksi (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 13). e) Teori Neuroendokrin Para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang

14 mempunyai dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal, dan reproduksi. Penelitian terbaru menyatakan bahwa walaupun kepercayaan telah diberikan pada jam biologis yang dapat diprediksi yang mengendalikan fertilitas. Tetapi terdapat hal yang dapat dipelajari lebih jauh dari penelitian tentang sistem neuroendokrin dalam hubungan dengan proses penuaan sistemik yang dikendalikan oleh suatu jam tubuh (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 13 - 14).

2) Teori Psikososiologis Teori psikososiologis memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 14). Teori psikologis diidentifikasikan oleh para ahli dengan 6

karakteristik, antara lain: a) Teori Kepribadian Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan

psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Jung mengembangkan suatu teori pengembangan

kepribadian orang dewasa yang memandang kepribadian sebagai ekstrovert atau introvert (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 14).

15 b) Teori Tugas Perkembangan Beberapa ahli teori terkenal sudah menguraikan proses maturasi dalam kaitannya dengan tugas yang harus dikuasai pada berbagai tahap sepanjang rentang hidup manusia. Tugas perkembangan adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penemuan yang sukses (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 15). c) Teori Pembebasan (Disengagement Theory) Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakan dan kemunduran individu dengan individu lainnya (Nugroho, 2000). Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepas diri dari kehidupan sosial atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda atau triple loss, yakni: (1) Kehilangan peran atau (loss of role). (2) Hambatan kontak sosial (restriction of contacts and relationship). (3) Berkurangnya komitmen (reduced commitment of sosial mores and values). (Lilik Marifatul Azizah, 2011: 11)

16 d) Teori Aktivitas Lawan langsung dari teori disengagement adalah teori aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara aktif (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 15). e) Teori Kontinuitas Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada saat orang tersebut bertambah tua (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 15).

b. Perubahan Fisiologis Penuaan Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003: 8 17) pada penuaan terjadi perubahan fisiologis, antara lain: 1) Sistem muskuloskeletal a) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada

17 jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, tensile strenght dan kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 8 9). Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan, dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). b) Kartilago Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata.

Selanjutnya, kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya, dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif, tidak

18 hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, dapat diberikan teknik perlindungan sendi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). c) Tulang Berkurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi, adalah bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali. Sebagai akibat dari perubahan itu, jumlah tulang spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan terjadi adalah penurunan estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Harvesi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan dan kekakuan tulang

menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9 10). Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan

osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, dan fraktur (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10).

19 d) Otot Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi.

Penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10). Secara morfologis, perubahan otot pada penuaan, antara lain: (1) Penurunan jumlah serabut otot. (2) Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lain. (3) Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch). (4) Penumpukan liposfusin. (5) Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung. (6) Adanya ringbinden. (7) Adanya badan sitoplasma. (8) Degenerasi miofibril. (9) Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10) Dampak perubahan morfologis otot adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10). e) Sendi Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen, dan fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago,

20 dan jaringan periartikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10).

2) Sistem saraf Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik dan susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleks, proprioseptis, perubahan postur, dan peningkatan waktu reaksi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 11).

3) Sistem kardiovaskular dan respirasi a) Sistem kardiovaskular Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan tekanan sistole dan penurunan perfusi jaringan. Penurunan sensitifitas baroreseptor menyebabkan terjadinya hipotensi

postural. Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penggumpalan

21 darah (pooling of blood) menurun sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal (VO2 maks.) berkurang sehingga kapasital vital paru menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 12). b) Sistem respirasi Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru. Kalsifikasi kartilago kosta mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk sehingga ekspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 12).

4) Sistem indra a) Sistem penglihatan Sistem penglihatan erat kaitannya dengan presbiopi (old sight) (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 14). b) Gangguan pendengaran Pada lansia umumnya disebabkan koagulasi cairan yang terjadi selama otitis media atau tumor seperti kolesteatoma. Penyebab gangguan pendengaran lainnya, seperti sindrom Menir dengan gejala seperti vertigo, mual, muntah, telinga terasa penuh, tinnitus, dan hilangan daya pendengaran dan aquostic neuroma. Hal yang sering terjadi pada lansia adalah hilangnya high pitch terutama konsonan. Apabila berbicara dengan lansia sebaiknya jelas, pelan, selalu memelihara kontak mata, dan berhadapan sehingga lansia

22 dapat melihat gerak bibir sewaktu kita berbicara (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 15).

5) Sistem integumen Pada lansia, kulit mengalami atrofi, kendur, dan tidak elastis, kering, dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula sebasea dan glandula sudorifera. Menipisnya kulit ini tidak terjadi pada epidermisnya, tetapi pada dermisnya karena terdapat perubahan dalam jaringan kolagen serta jaringan elastisnya. Bagian kecil pada kulit menjadi mudah retak dan menyebabkan cechymosen. Timbul pigmen berwarna coklat pada kulit, dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain angin dan sinar matahari, terutama sinar ultra violet (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 16).

2.

Persendian Persambungan tulang atau sendi (artikulasi) adalah pertemuan dua buah tulang atau beberapa tulang kerangka. Artrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang persendian (Syaifuddin, 2006: 70). Stabilitas sendi bergantung pada: a. Permukaan sendi, bentuk tulang memegang peranan penting pada stabilitas sendi.

23 b. Ligamentum, ligamentum fibrosa mencegah pergerakan sendi secara berlebihan. Kalau regangan terus berlangsung lama, ligamentum fibrosa akan teregang. Ligamentum elastis sebaliknya mengembalikan panjang asal setelah teregang, misalnya tulang pergerakan memegang peranan aktif dalam menyokong sendi dan membantu mengembalikan tulang pada posisi asal setelah melakukan pergerakan. c. Tonus otot, pada kebanyakan sendi tonus otot merupakan faktor utama yang mengatur stabilitas. (Syaifuddin, 2006: 70 71)

a.

Jenis-jenis Sendi Menurut Evelyn C. Pearce (2010: 104 107) terdapat tiga jenis sendi utama, antara lain: 1) Sendi fibrus atau sinartroses adalah sendi yang tidak dapat bergerak atau merekat ikat, maka tidak mungkin ada gerakan diantara tulangtulangnya, antara lain: a) Sutura atau sela antara tulang pipih tengkorak. b) Sendi kaitan dan sendi kantong gigi di dalam kantongnya. c) Sindesmoses, tempat permukaan persendian dihubungkan mebran, seperti pada sendi tibio-fibuler inferior. 2) Sendi tulang rawan atau amfiartroses adalah sendi dengan gerakan sedikit, dan permukaan persendiannya dipisahkan-bahan antara dan hanya mungkin sedikit gerakan, misalnya:

24 a) Simfisis atau persendian yang dapat bergerak sedikit, sedangkan ujung-ujung tulang dipisahkan sebuah bantalan tulang rawan fibrotik, seperti Simfisis pubis, tempat sebuah bantalan tulang rawan mempersatukan kedua tulang pubis dan sendi intervetebral dengan cakram intervetebral tulang rawan fibro. b) Sendi antara manubrium dan badan sternum. c) Sendi temporer (sementara) atau sendi tulang rawan primer dijumpai antara diafisis dan efisis tulang-tulang pipa sebelum pertumbuhan penuhnya sempurna. 3) Sendi sinovial atau diartroses adalah persendian yang bergerak bebas dan terdapat banyak ragamnya. Ciri-ciri sendi yang bergerak bebas: a) Ujung tulang-tulang yang masuk dalam formasi persendian ditutupi tulang rawan hialin. b) Ligamen diperlukan untuk mengikat tulang-tulang bersama. c) Sebuah rongga persendian: rongganya terbungkus sebuah kapsul jaringan fibrus yang biasanya diperkuat ligamen. Terdapat enam jenis sendi sinovial, sebagai berikut: (1) Sendi datar atau sendi geser. Dua permukaan tulang saling meluncur, misalnya sendi karpus dan tarsus. (2) Sendi putar, tempat sebuah ujung bulat tepat masuk di dalam sebuah rongga cawan tulang lain, yang mengizinkan gerakan ke segala jurusan, seperti bola di dalam lubang berbentuk cawan, misalnya sendi panggul dan sendi bahu.

25 (3) Sendi engsel, satu permukaan bundar diterima yang lain sedemikian rupa sehingga hanya mungkin gerakan dalam satu bidang, seperti gerakan engsel. Contoh yang baik adalah sendi siku. (4) Sendi kondiloid mirip sendi engsel, tetapi dapat bergerak dalam dua bidang lateral, ke belakang dan ke depan, sehingga fleksi dan ekstensi, abduksi dan aduksi (ke samping dan ke tengah), dan sedikit sirkumduksi, seperti pada pergelangan tangan tetapi bukan rotasi (perputaran). (5) Sendi berporos atau sendi putar ialah yang hanya mungkin perputaran, seperti pada gerakan kepala, tempat atlas yang berbentuk cincin berputar sekitar prosesus yang berbentuk paku dari aksis (servikal ke dua atau epistrofeus), contoh lain ialah gerakan radius sekitar ulna waktu pronasi (putar ke depan) dan supinasi (putar ke belakang) lengan bawah. (6) Sendi pelana atau sendi yang timbal-balik menerima, misalnya sendi amtara trapezium (multangulum mayus) dan tulang metakarpal pertama ibu jari, memberi banyak kebebasan bergerak, memungkinkan ibu jari berhadapan dengan jari-jari lainnya.

b. Pergerakan Sendi Gerak-gerik yang terjadi pada sendi-sendi kerangka dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu:

26 1) Gerakan meluncur, tempat dua permukaan ceper bergerak saling bergeseran, seperti dalam gerakan antara tulang-tulang karpal dan tarsal. 2) Gerakan bersudut (anguler), yang diterangkan sesuai dengan arah gerakan, misalnya fleksi, lenturan atau pelipatan; ekstensi (pelurusan atau penguluran), yang terjadi sekitar sebuah sumbu yang terpasang melintang. Dalam hal sendi mata kaki, istilah dorso-fleksi dan plantorfleksi digunakan. Aduksi adalah gerakan ke arah medial badan, dan abduksi ke arah menjauh medial badan, ke duanya memutari sumbu yang memanjang dalam arah anteroposterior (dari depan ke belakang). 3) Gerakan rotasi adalah satu tulang bergerak mengitari tulang lain atau di dalam tulang lain, seperti pada sendi putar, misalnya rotasi radius mengelilingi ulna. Hal itu juga terjadi pada bahu dan agak terbatas pada sendi panggul. (Evelyn C. Pearce, 2010: 107)

Sirkumduksi adalah istilah untuk melukiskan kombiasi rotasi dan gerakan anguler (bersudut), berputar dalam lingkaran, misalnya membawa lengan ke depan, ke atas, ke belakang, dan ke bawah; termasuk fleksi, abduksi, ekstensi, aduksi, dan beberapa rotasi (Evelyn C. Pearce, 2010: 107).

Pembatasan gerakan sendi dalam banyak hal disebabkan bentuk permukaan persendian, misalnya pelurusan siku dibatasi prosesus olekranon ulna yang membentur pada humerus. Dalam hal lain gerakan dibatasi simpai-simpai

27 kuat ligamen, seperti ligamen ilio-femoral di depan sendi panggul yang membatasi pelurusan paha. Fleksi siku dan tungkai di atas paha dibatasi bagian lunak yang tersentuh (Evelyn C. Pearce, 2010: 107 108).

c.

Persendian Menurut Tempat Menurut Evelyn C. Pearce (2010: 108 118) persendian menurut tempatnya terbagi atas: 1) Sendi anggota atas a) Sendi sterno-klavikuler adalah sendi meluncur yang dibentuk ujung besar di sebelah sternum klavikula dan yang bersendi dengan faset untuk klavikula di atas sternum. b) Sendi akromio-klavikuler dibentuk ujung luar klavikula yang bersendi dengan prosesus akromion skapula. Gerakan bahu. Gerakan sedikit meluncur dapat terjadi antara klavikula dan skapula. Peran skapula terhadap dinding dada sebegitu jauh hanya berarti sebagai penambah kebebasan gerak humerus di dalam gelang bahu c) Sendi bahu atau humero-skapuler adalah sendi sinovial variasi sendi putar. Kepala humerus yang berbentuk sepertiga bola, bersendi di dalam rongga glenoid skapula. Rongga diperdalam karena terpasang lapisan tebal tulang rawan fibrus, yaitu labrum glenoidal. Tulang-tulangnya dipersatukan ligamen yang

membentuk kapsul yang sangat longgar.

28 Tingkat dan pembatasan gerakan di sini sebagaian besar tergantung otot-otot yang mengelilinginya dan tekanan atmosfer yang menahan tulang-tulang dalam kedudukannya, sedangkan kelonggaran ligamen berupa kapsul memberi kebebasan gerakan kesemua jurusan, abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi medial dan lateral, dan sirkumduksi. d) Sendi siku adalah sendi engsel antara permukaan troklear di atas ujung bawah humerus dan lekukan troklear ulna. Semua ini merupakan bagian utama sendi, yaitu sendi humero-ulnaris. Kepala radius bersendi dengan kapitulum humeri, membentuk sendi humero-radialis dan empat permukaan persendian ini berada di dalam kaspsul persendian. Dalam gerakan sendi itu radius diangkat ke belakang dan ke depan bersama dengan ulna. Gerakan yang terjadi pada siku adalah fleksi dan ekstensi. Sudut siku yang dibuat bila siku lurus, lengan bawah, dan tangan dalam supinasi adalah kira-kira 170 derajat dengan lengan atas. Hal ini disebabkan letak oblik permukaan persendian antara humerus dan ulna. Keuntungan sudut yang dibuat ini adalah barang-barang dapat diangkat dan diulurkan dengan baik. e) Sendi radio-ulnaris. Antara radius dan ulna terdapat dua buah sendi yang dapat bergerak, yaitu sendi radio-ulnaris superior dan inferior. Membran interosa (antar tulang) membentuk sendi ke tiga, yaitu sendi radio-ulnaris tengah. Membran ini juga

29 memisahkan otot-otot yang ada di depan dari yang ada di belakang lengan bawah. Gerakan radius di atas ulna adalah bebas. Karena kepala radius berotasi di dalam ligamen pembatas sendi radio-ulnaris superior, ujung bawah radius berotasi di atas kepala ulna pada sendi radioulnaris inferior dan tangan di bawah serta dalam gerakan pronasi dan supinasi dengan lengan bawah. Pronasi adalah rotasi radius di atas ulna sampai tapak tangan menghadap ke belakang. Gerakan ini dilaksanakan otot-otot yang disebut pronator dan terletak di depan lengan bawah antara radius dan ulna. Supinasi adalah gerakan sebaliknya. Kalau memulai dengan lengan bawah dalam pronasi, rotasinya dari dalam ke arah luar sampai radius dan ulna terletak paralel dan tangan terletak dengan tapaknya ke depan. Supinasi dilaksanakan dua otot supinator yang berada di sebelah belakang lengan bawah, antara radius dan ulna dan juga otot bisep yang berkait ke dalam tuberoksitas radii. Gerakan ini perlu kalau memutar masuk skrup memakai obeng, atau memutar knop pintu. f) Sendi pergelangan tangan atau sendi radio-karpal adalah sendi kondiloid antara ujung bawah radius dan diskus persendian di bawah kepal ulna, yang bersama-sama membentuk permukaan konkaf (cekung) untuk menerima sisi atas skafoid (navikular

30 lunar, dan tulang-tulang trikuetrum). Gerakan fleksi, abduksi, dan adduksi terjadi di atas sendi ini. 2) Sendi tangan dan jari a) Sendi karpal. Permukaan persendian antara tulang-tulang karpal adalah ceper dan halus. Permukaan ceper ini dengan mudah saling bergeser dan membentuk persendian meluncur antara berbagai tulang itu. Tulang karpal tersusun berdempet rapat, sehingga hanya gerakan meluncur terbatas yang mungkin, tetapi dapat melaksanakan jumlah gerakan yang cukup banyak jika semua tulang bergerak bersama-sama. b) Sendi karpo-metakarpal adalah sendi meluncur yang terbentuk antara sisi distal baris bawah tulang-tulang karpal -- setiap tulang dari lima tulang metakarpal. Sendi karpol-metakarpal ibu jari, yaitu sendi pelana, terbentuk antara basis metakarpal pertama dan trapezium (multangulum mayus). Sendi intermetakarpal dibentuk antara basis tulang-tulang metakarpal; permukaan persendian lateral membentuk sendi datar atau sendi meluncur antara tulangtulang ini. c) Sendi metakarpo-falangeal adalah sendi jenis kondiloid. Kepala lima tulang metakarpal ini diterima dalam permukaan persendian pada basis falang proksimal. Gerak fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi berlangsung pada sendi-sendi ini. d) Sendi interfalangeal adalah sendi engsel. Sendi ini terbentuk oleh kepala falang proksimal yang diterima dalam permukaan

31 persendian di atas basis falang distal. Gerakannya adalah fleksi dan ekstensi. 3) Sendi panggul Sendi panggul adalah sendi sinovial varietas sendi putar. Kepala femur diterima ke dalam asetabulum tulang koksa. Asetabulum diperdalam kaitan labrum asetabular yang mengelilinginya. Ligamen ini sebenarnya sebuah pinggiran tulang rawan fibrus yang memperdalam dan menambah kemampuan menerima permukaan yang dibentuk asetabulum guna menerima kepala femur. Ligamen kapsuler sendi panggul adalah tebal dan kuat dan membatasi gerak sendi ke semua jurusan. Ligamennya juga diperkuat secara khusus oleh simpai-simpai dari serabut di dalam beberapa bagian. Salah satu yang terpenting dari simpai-simpai ini terletak di depan sendi ini yaitu ligamen iliofemoral. Ligamen ini membatasi ekstensi pada sendi, maka dengan demikian membantu mempertahankan sikap tegak tubuh kalau berdiri. Gerakan yang terjadi pada sendi panggul adalah fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, serta rotasi medial dan lateral. Kombinasi semua gerakan ini disebut sirkumduksi. 4) Sendi lutut Sendi lutut adalah sendi engsel dengan perubahan dan yang dibentuk kedua kondil femur yang bersendi dengan permukaan superior kondilkondil tibia. Patela terletak di atas permukaan pateler yang halus pada femur dan di atas itu patela meluncur sewaktu sendi bergerak. Patela

32 berada di depan bagian-bagian persendian yang utama, tetapi tidak masuk ke dalam formasi sendi lutut. Struktur interartikuler. Beberapa struktur penting berada di dalam sendi lutut. Tulang rawan semilunaris terletak di atas permukaan persendian yang berupa dataran tinggi tibia guna memperdalamnya untuk penerimaan kondiler femur. Ligamen bersilang berjalan dari puncak kondil tibial ke arah permukaan dasar di atas takik interkondiloid femur. Ligamen-ligamen ini bertujuan membatasi gerak sendi lutut dan mengikat tulang-tulangnya bersama dengan lebih kuat. Ligamen kapsuler sendi lutut sangat tebal dan diperkuat lagi oleh ekspansi (perlebaran) otot-otot dan tendon-tendon yang mengelilingi dan berjalan di atas sendi. Membran sinovial sendi lutut adalah terbesar dalam tubuh. Selain melapisi struktur sendi, membran itu juga membentang ke atas dan ke bawah sampai di bawah ligamen patela, dan membentuk beberapa bursa (kantong) sekitar sendi. Tentang gerakan, fleksi, ekstensi, dan rotasi medial yang ringan. 5) Sendi tibio-fibuler Sendi-sendi ini dibentuk antara ujung atas dan ujung bawah kedua tulang tungkai bawah. Batang tulang-tulang itu digabung oleh sebuah ligamen interosa (antar tulang), yang membentuk sebuah sendi ketiga antara tulang-tulang ini seperti pada lengan bawah. 6) Sendi pergelangan kaki Sendi pergelangan kaki adalah sendi engsel yang dibentuk antara ujung bawah tibia beserta maleolus medialisnya, dan maleolus lateralis

33 fibula, yang bersama-sama membentuk sebuah lubang untuk menerima badan talus. Kapsul sendi diperkuat ligamen-ligamen penting yang bersangkutan. Ligamen deltoid di siai medial berjalan dari maleolus medial ke tulang-tulang tarsal yang mendampinginya dan sering mengalami robek yang parah bila pergelangan kaki terkilir. Gerakan sendi pergelangan kaki adalah fleksi dan ekstensi atau lebih biasa disebut dorsi-fleksi dan plantar-fleksi. 7) Sendi telapak kaki Sendi antara berbagai tulang tarsal adalah sendi luncur. Tulangtulangnya disatukan ligamen dorsal, plantar, dan interosa. Ligamen interosa yang diletakkan di antara permukaan bawah talus dan permukaan atas kalkaneus adalah tebal dan kuat, serta membuat giligili dalam permukaan persendian tulang-tulang ini. Gerakan sendi. Sedikit gerakan mengayun dapat dilakukan pada seni talokalkaneus yang mirip aduksi dan abduksi. Sendi antara kepala talus dan mavikular dan sendi antara kalkaneus dan kuboid disebut sendi mediotarsal atau sendi subtaloid. Pada sendi-sendi inilah terjadi gerakan inversi dan eversi. Pada inversi tepi dalam, kaki diangkat ke atas dan telapaknya ditarik ke dalam. Pada eversi tepi samping, kaki diangkat ke atas dan telapaknya agak ditarik ke samping. Gerakan ini sedikit disertai aduksi dan abduksi yang terjadi pada sendi talo-kalkaneus. Sendi pada tarsometatarsus, metatarso-falang, dan interfalang serupa dengan yang telah diuraikan pada tangan.

34 3. Nyeri Sendi International Association for Study of Pain (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 2).

Menurut Mc Caffery (1979), nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Anas Tamsuri, 2006: 1).

Majalah kesehatan online (2011) menyatakan bahwa banyak sebab mengapa persendian sakit. Nyeri sendi dapat merupakan gejala tunggal atau menjadi bagian banyak gejala lain yang Anda alami. Manifestasi nyeri sendi dapat bervariasi, seperti kelembutan atau tidak nyaman ketika disentuh,

pembengkakan, peradangan, kekakuan, atau pembatasan gerakan. Rasa sakit di sendi tentu saja hanyalah gejala dari masalah yang sebenarnya.

Beberapa kelainan akibat perubahan sendi yang banyak terjadi pada lansia antara lain osteoartritis, artritis reumatoid, gout, dan pseudogout. Kelainan tersebut dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatasan luas gerak sendi, gangguan jalan, dan aktivitas keseharian lainnya (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 11).

35 a. Tipe dan Karakteristik Nyeri Menurut Lukman dan Nurna Ningsih (2012: 16 19) nyeri terbagi menjadi lima, yaitu nyeri berdasarkan durasi, nyeri berdasarkan intensitas, nyeri berdasarkan transmisi, nyeri berdasarkan sumber atau asal nyeri, dan penyebab nyeri. 1) Nyeri berdasarkan durasi a) Nyeri akut Menurut Anas Tamsuri (2006: 13) nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari satu detik sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sampai dengan berat). Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk mengindikasi adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri jenis ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan penyembuh (Anas Tamsuri, 2006: 13). Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti: peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang, kesakitan, mengerutkan wajah, atau menyeringai. Klien akan melaporkan secara verbal adanya ketidaknyamanan

36 berkaitan dengan nyeri yang dirasakan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 22). Reccurent acute pain diidentifikasikan dengan nyeri yang mempunyai periode yang berulang-ulang dan dirasakan sepanjang hidup klien. Contoh dari nyeri Reccurent acute adalah migrain, sickle cell pain, nyeri angina pectoris yang berhubungan dengan hipoksia pada miokardium (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 22). b) Nyeri kronis Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari nyeri akut, intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 22). Nyeri kronis pada umumnya timbul tidak teratur, intermiten atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu nyeri kronis maligna dan nyeri kronis nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun, pada beberapa kasus sulit ditemukan) (Anas Tamsuri, 2006: 15). Tanda dan gejala yang tampak pada nyeri kronis sangat berbeda dengan yang diperlihatkan oleh nyeri akut. Tanda-tanda vital sering kali dalam batas normal dan tidak disertai dengan dilatasi pupil. Tanda dan gejala lainnya yang tampak pada nyeri kronis adalah keputusasaan klien terhadap penyakitnya, kelesuan, penurunan libido dan berat badan, perilaku menarik diri, mudah tersinggung, marah, klien sedikit bertanya tentang nyeri yang ia

37 alami pada petugas kesehatan, dan tidak tertarik pada aktivitas fisik, dimana tanda dan gejala yang muncul hampir sama dengan apa yang nampak pada klien yang mengalami depresi. Klien mungkin akan melaporkan adanya kelemahan dan kelelahan. Mengerang, menangis, dan menjerit kesakitan mungkin tidak dijumpai seperti pada nyeri akut (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 24).

2) Berdasarkan intensitas Berdasarkan intensitas, nyeri digolongkan nyeri berat, nyeri sedang, dan nyeri ringan. Untuk mengukur intensitas nyeri yang dirasakan seseorang, dapat digunakan alat bantu yaitu dengan skala nyeri. Skala nyeri yang umum digunakan adalah cara Mc. Gill dengan menggunakan skala 0 5 (0 = tidak ada nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = tidak menyenangkan, 3 = nyeri sedang, 4 = menakutkan, 5 = sangat menakutkan). Skala ini disebut dengan The Present Pain Intensity (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012: 17). Pengkajian yang lebih sederhana dan mudah dilakukan adalah menggunakan skala 0 10, yaitu analog visual skala dengan cara menyatakan sejauh mana nyeri yang dirasakan klien (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012: 17).

38

Tidak ada Nyeri 0

Nyeri ringan

Nyeri sedang

Nyeri berat

Nyeri tidak terkontrol 9 10

Skema 2.1 Rentang Skala Nyeri Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003: 62 64) pemeriksaan nyeri dilakukan dengan cara: a) Verbal Analog Scale (VAS) Pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk satu titik pada garis skala nyeri (0 10 cm). Satu ujung menunjukan tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukan nyeri hebat. Panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukan besarnya nyeri. Besarannya dalam satuan milimeter, misalnya 10 20 30 mm (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 62 63).

Skema 2.2 Skala Nyeri b) Verbal Descriptive Scale (VDS) Cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian, yaitu nilai:

39 1 2 3 4 5 6 7 = tidak nyeri = nyeri sangat ringan = nyeri ringan = nyeri tidak begitu berat = nyeri cukup berat = nyeri berat = nyeri hampir tak tertahan

(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 63) c) Skala lima tingkat Skala lima tingkat merupakan parameter pengukuran derajat nyeri dengan memakai 5 skala, yaitu derajat: 0 = tidak nyeri; tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan aktivitas. 1 = minimal; istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul sewaktu bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat terasa sakit. 2 = ringan; rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit. 3 = sedang; keluhan seperti pada derajat 2, ditambah keluhan tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu. 4 = berat; nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.

40 (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 63 64)

3) Berdasarkan transmisi a) Nyeri sebar (radiasi) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan (Anas Tamsuri, 2006: 16). b) Nyeri alih (reffered pain) Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang ditimbulkan akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medula spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. Nyeri yang timbul biasanya pada beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 17 18).

4) Berdasarkan sumber atau asal nyeri a) Nyeri superfisial Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan bagiannya. Nyeri jenis ini

41 memiliki durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam (Anas Tamsuri, 2006: 15).

b) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan iskemia (Anas Tamsuri, 2006: 15). c) Nyeri viseral Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul (Anas Tamsuri, 2006: 15 16).

5) Berdasarkan penyebab Menurut penyebabnya, nyeri dibagi menjadi enam kriteria seperti berikut ini: a) Termik, disebabkan oleh perbedaan suhu yang ekstrem. b) Kimia, disebabkan oleh bahan/zat kimia. c) Mekanik, disebabkan oleh trauma fisik/mekanik. d) Elektrik, disebabkan oleh aliran listrik. e) Psikogenik, nyeri yang tanpa diketahui adanya kelainan fisik, bersifat psikologis. f) Neurologik, disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf.

42 (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012: 18)

b. Respon Tubuh Terhadap Nyeri 1) Respon fisik Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan respons tubuh terhadap stress (Anas Tamsuri, 2006: 19). Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight) dengan merangsang sistem saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Anas Tamsuri, 2006: 19).

2) Respon psikologis Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman yang positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Anas Tamsuri, 2006: 21).

43 3) Respon perilaku Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Meinhart & Mc. Caffery (1983) menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu antisipasi, sensasi, dan fase pasca nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 22). Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting karena pada fase ini merupakan penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri, untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini, klien dipersiapkan untuk belajar bagaimana

mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul, dan juga klien diajarkan bagaimana tindakan klien jika terapi/tindakan yang dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi, klien juga belajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peningkatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan/atau tindakan ulang yang dilakukan oleh klien untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif (Anas Tamsuri, 2006: 22). Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang dapat diungkapkan oleh seorang klien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari. Perilaku klien dalam merespons nyeri ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk menoleransi nyeri dan juga oleh beratringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadang kala klien tidak mau

44 mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena

menganggap dirinya adalah orang yang cengeng atau ia akan berpandangan bahwa perawat akan menyebut klien sebagai pasien yang cerewet (Anas Tamsuri, 2006: 22 23) Pada fase pasca nyeri, klien mungkin mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil (Anas Tamsuri, 2006: 23).

c.

Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Menurut McCaffery dan Pasero (1999) dikutip dari Sigit Nian Prasetyo (2010: 33 37) menyatakan bahwa hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap nyeri, antara lain: 1) Usia Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 33 34).

45 2) Jenis kelamin Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa seseorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan esterogen meningkatkan pengenalan/sensitifitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).

3) Kebudayaan Setiap individu memiliki cara berespon terhadap nyeri yang berbeda. Seorang klien berkebangsaan Mexico-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengaharapkan perawat melakukan intervensi (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35).

4) Makna nyeri Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara

46 berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul suaminya (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35).

5) Lokasi dan tingkat keparahan nyeri Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35).

6) Perhatian Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon nyeri (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 36).

7) Ansietas (kecemasan) Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 36).

47 8) Keletihan Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 36).

9) Pengalaman sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 36).

10) Dukungan keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali mebutuhkan dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 37).

d. Pengkajian Nyeri Pengkajian nyeri menurut Lukman dan Nurna Ningsih (2012: 19), antara lain: P : Titik nyeri berasal Pada bagian mana nyeri mulai terasa?

48 Kapan rasa nyeri mulai terasa? Apa yang Anda kerjakan pada saat nyeri mulai terasa? Apakah rasa nyeri menyebar? A : Faktor-faktor yang mempengaruhi Apakah yang dapat membuat rasa nyeri semakin berkurang? Apakah yang membuat nyeri semakin terasa nyeri? Apakah nyeri yang serupa pernah terjadi sebelumnya? Bila ya, apa yang terjadi? Apakah Anda meminum obat-obatan penghilang rasa nyeri? Apakah Anda merasa cemas saat merasa nyeri? I : Intensitas Bagaimana dengan skala nyeri yang Anda rasakan? N : Sifat dari rasa nyeri Gambaran rasa nyeri: tidak nyaman, distres, rasa terbakar, tegang, patah, dan kram.

e.

Penatalaksanaan Nyeri pada Lansia Mc. Caffery dalam Anas Tamsuri (2006: 43), berbagai tindakan dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri. Namun, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan perawat ketika memberi intervensi keperawatan untuk mengatasi nyeri, yaitu: 1) Membentuk hubungan saling percaya. 2) Menggunakan berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri.

49 3) Melakukan tindakan untuk mengatasi nyeri sebelum nyeri menjadi lebih parah. 4) Mempertimbangkan kemampuan klien untuk berpartisipasi dalam upaya mengatasi nyeri. 5) Menentukan jenis teknik untuk mengatasi nyeri berdasarkan perilaku yang ditunjukan oleh klien. 6) Melakukan teknik-teknik yang oleh klien dianggap efektif. 7) Mendorong klien untuk mencoba melakukan kembali teknik mengatasi nyeri, jika terapi yang dilakukan sebelumnya tidak efektif. 8) Membuka wawasan dan pengetahuan terhadap cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri klien. 9) Melindungi klien. 10) Beri penjelasan kepada klien tentang nyeri yang timbul/dirasakan klien.

Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmakologis) dan tindakan

nonfarmakologis (tanpa pengobatan). Menurut stimulasi yang dibedakan, nyeri dapat di kelompokan dalam stimulasi tingkat tinggi (pada otak) dan stimulasi tingkat rendah (pada spinotalamikus). Stimulasi pada otak adalah tindakan yang memungkinkan otak bekerja untuk mengurasi nyeri; sedangkan stimulasi tingkat spinotalamikus adalah pemberian sejumlah rangsangan pada tubuh untuk memengaruhi sensasi nyeri sebelum sampai

50 di otak. Tindakan rangsangan pada tingkat spinotalamikus sesuai dengan teori gerbang kendali nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 44). a. Penatalaksanaan farmakologis Tiga jenis pengobatan yang biasa digunakan untuk mengendalikan nyeri: analgesik non opioid, opioid, dan adjuvan. Adjuvan bukan merupakan analgesik yang sebenarnya, tetapi zat tersebut dapat membantu jenis-jenis nyeri tertentu, terutama nyeri kronis (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 293). a) Non opioid Asetaminofen (Tylenol) dan aspirin adalah dua jenis analgesik non opioid (non narkotik) yang paling sering digunakan. Obat-obat ini bekerja terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi nyeri. Efek analgesik dari obat-obat tersebut sama tetapi efek antiinflamasinya bervariasi. Asetaminofen biasanya tidak dapat membantu menangani nyeri inflamasi seperti artritis reumatoid atau osteoartritis karena asetaminofen hanya memiliki sedikit efek anti inflamasi. Asetaminofen memiliki efek samping utama yaitu hepatotoksik (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 293 - 294). Aspirin adalah salah satu obat anti inflamasi non steroid atau NonSteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)). Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) berkerja dengan menghambat sintesis prostaglandin. Obat-obat Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) sangat efektif dalam menurunkan nyeri dan

51 inflamasi pada banyak kondisi umum yang terjadi pada lansia: artritis reumatoid, osteoartritis, nyeri punggung dan leher, nyeri pasca operasi, sakit gigi, dan nyeri yang bermetastasis pada tulang. Efek samping Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) yang paling sering adalah gangguan pada gastrointestinal. Kemungkinan efek samping yang lain termasuk perdarahan gastrointestinal, retensi cairan, dan komplikasi ginjal (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 294). Banyak jenis dan kelas Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) yang tersedia (merujuk America Pain Society). Beberapa NSAID dianjurkan untuk lansia karena obat-obat tersebut kurang menyebabkan iritasi gastrointestinal: salsalat (Disalcid), kolin magnesium trisalisilat (Trilisate), diflunisal (Dolobid), dan nabumeton (Relafen) (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 294). Piroksikam (Feldene) adalah NSAID dengan waktu paruh panjang yang dapat menimbulkan akumulasi masalah, terutama pada orang yang mengalami disfungsi hepar atau ginjal. Indometasin (Indocin) adalah NSAID lain yang tampaknya memiliki

peningkatan efek pada ginjal. Ke dua NSAID ini tidak dianjurkan pada lansia (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 294).

52 b) Opioid Analgesik opioid (narkotik) bekerja dengan cara melekatkan diri pada reseptor-reseptor nyeri spesifik di dalam SSP. Opiod direkomendasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Terdapat dua jenis opioid analgesik agonis murni (jenis morfin) dan campuran agonis-antagonis pentazocin (Talwin), nalbufin (Nubain), dan butorfanol (Stadol) (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 295). Campuran agonis-antagonis (Talwin, Nubain, Stadol) harus dihindari bagi lansia karena akan memicu putus obat bagi pengguna agonis murni, memiliki insidensi yang sangat tinggi untuk terjadinya efek samping psikotomimetik (konfusi, kejang, atau agitasi), dan satu-satunya agonis-antagonis yang tersedia secara oral adalah pentazocin (Talwin) yang memiliki insidensi efek psikotomimetik paling tinggi (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 295). Morfin, oksikodon (Oxycotin), dan hidromorfon (Dilaudid) dianjurkan diberikan secara oral untuk lansia yang sedang dalam keadaan nyeri berat. Fentanil (koyo Duragesic) sangat berguna untuk pasien rawat inap yang memiliki penyakit berat atau kronis yang tidak dapat menelan. Kodein dan oksikodon (Percodan, Tylox) dianjurkan untuk nyeri ringan sampai sedang (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 295).

53 Dolofin (Methadone) dan levorfanol (Levodromoran) harus dihindari untuk lansia karena obat-obat ini memiliki waktu paruh yang panjang dan dapat berakumulasi dan menyebabkan sedasi berlebihan dan masalah-masalah SSP yang lain. Meperidin (Demerol) juga harus dihindari bagi lansia karena metabolit aktifnya (normeperidin) dapat terakumulasi dengan pengulangan dosis, yang menyebabkan toksisitas pada SSP (misalnya kedutan, mati rasa, konfusi, halusinasi, dan kejang). Akumulasi ini lebih cenderung terjadi pada lansia karena penurunan eliminasi obatobatan di dalam ginjal (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 295). c) Adjuvan Adjuvan adalah obat yang bukan merupakan analgesik tetapi masih memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri. Obat-obat ini dianjurkan terutama untuk nyeri kronis. Antidepresan trisiklik efektif untuk nyeri neuropati, yang disebabkan oleh kerusakan saraf pada SSP, seperti nyeri fantom pada tungkai, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, kausalgia, dan nyeri pascastroke. Tipe nyeri neuropati yang lain yang sering terjadi pada lansia adalah neuralgia pascaherpetik atau herpes zoster. Obat

antikovulsan karbamazepin (Tegretol) telah diketahui efektif dalam menangani nyeri neuropati (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 298).

54 Antidepresan trisiklik harus diberikan sekali sehari pada jam-jam tidur karena sedasi adalah efek samping yang sering terjadi. Efek samping lain dari antikolinergik yang dapat terjadi adalah pandangan kabur, mulut kering, retensi urine, dan hipotensi. Nortriptilin (Pamelor) menyebabkan sedikit sedasi dan doksepin (Sinequan) memiliki lebih sedikit efek antikolinergis daripada trisiklik, sehingga ke dua obat antidepresan ini direkomendasikan untuk lansia. Gunakan Endep dan Elavil secara hati-hati, karena lebih banyak efek antikolinergik yang terlihat (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 298 299).

b.

Penatalaksanaan non farmakologis Penatalaksanaan Non Farmakologis menurut Anas Tamsuri (2006: 50 66) meliputi: a) Stimulasi fisik Penanganan nyeri dengan tindakan fisik dilakukan dengan tujuan meningkatkan kenyamanan, memperbaiki adanya disfungsi fisik, mengubah respon fisiologik, dan menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan imobilitas karena nyeri atau adanya pembatasan aktivitas (Anas Tamsuri, 2006: 51). Stimulasi fisik menurut Anas Tamsuri (2006: 51 60) meliputi: (1) Stimulasi kulit Stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunkan nyeri yang efektif. Tindakan ini mengalihkan perhatian klien sehingga

55 klien berfokus pada stimulus taktil dan mengabaikan sensasi nyeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan persepsi nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 51). Teknik stimulasi kulit meliputi: (a) Masase Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot, sehingga mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri. Masase kulit dapat dilakukan dengan menggunakan ointment (balsem gosok) atau liniment (obat cair gosok) yang mengandung mentol untuk membantu mencapai pengurangan nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 52). (b) Kompres panas atau kompres dingin Kompres panas atau kompres dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses

penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan (Anas Tamsuri, 2006: 54). (c) Akupuntur Acupressure dikembangkan dari ilmu pengobatan kuno Cina dengan menggunakan sistem akupunktur. Terapis memberikan tekanan jari-jari pada berbagai titik organ tubuh seperti pada akupunktur (Anas Tamsuri, 2006: 51). Akupunktur adalah terapi pelengkap menggunakan jarum kecil untuk memulihkan kembali aliran energi (chi)

56 dalam tubuh. Akupunktur dapat meredakan keluhan otot, termasuk linu pinggul dan fibromialgia (Kim Daves, 2007: 200). (d) Stimulasi kontralateral Stimulasi kontralateral adalah memberi stimulasi pada daerah kulit di sisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri. Stimulasi kontralateral dapat berupa garukan pada daerah yang berlawanan jika terjadi gatal, menggosok (masase) jika kram (kejang), atau pemberian kompres dingin atau panas serta pemberian balsem atau obat cair gosok. Metode ini mungkin berguna jika daerah yang mengalami nyeri tidak dapat disentuh karena hipersensitif, tertutup perban atau gips atau ketika terjadi nyeri bayang atau fantom (phantom pain) (Anas Tamsuri, 2006: 56 57). (2) TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) Simulasi saraf elektris transkutan menggunakan satu unit peralatan yang dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, getaran, atau mendengung pada area kulit tertentu (Anas Tamsuri, 2006: 57). (3) Plasebo Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai obat seperti kaplet,

57 kapsul, cairan injeksi, dan sebaginya. Plasebo umumnya terdiri atas gula, larutan salin normal, dan atau air biasa. Plasebo tidak memiliki efek farmakologik, obat ini hanya memberikan efek karena dikeluarkannya produk alamiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden; sehingga menimbulkan efek penurunan nyeri. Harapan klien yang positif terhadap pengobatan dapat meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Semakin sering klien mendapatkan informasi tentang keefektifan suatu terapi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Hubungan perawat klien yang positif juga dapat memberi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Anas Tamsuri, 2006: 59 60). b) Perilaku Kognitif Perilaku kognitif menurut Anas Tamsuri (2006: 61 66) meliputi: (1) Distraksi Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien). Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat

merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang

58 dirasakan oleh klien menjadi berkurang (Anas Tamsuri, 2006: 61). Macam-macam distraksi antara lain: (a) Distraksi visual Distraksi visual, antara lain melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat

pemandangan dan gambar (Anas Tamsuri, 2006: 61). (b) Distraksi pendengaran Distraksi pendengaran, antara lain mendengarkan musik yang disukai, atau suara burung serta gemercik air. Individu dianjurkan untuk memilih musik yang tenang dan disukai, dan diminta untuk berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukan jari atau kaki (Anas Tamsuri, 2006: 62 63). (c) Distraksi pernafasan Anjurkan klien untuk memAndang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan dari satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan sambil menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkonsentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi

59 ketenangan. Lanjutkan teknik ini hingga terbentuk pola pernafasan yang ritmik (Anas Tamsuri, 2006: 62). (d) Distraksi intelektual Distraksi intelektual, antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko dan menulis cerita (Anas Tamsuri, 2006: 62). (e) Distraksi taktil Distraksi taktil merupakan latihan fisik, seperti senam dan peregangan (Anas Tamsuri, 2006: 69). (f) Teknik pernafasan Teknik pernafasan seperti bermain, menyanyi,

menggambar, atau sembahyang (Anas Tamsuri, 2006: 62). (g) Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang menyenangkan, dan

mengkonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari perhatian terhadap nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 63). (2) Relaksasi Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya

pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stres. Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

60 merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 63 64). (3) Umpan balik tubuh (biofeedback) Umpan balik tubuh (biofeedback) adalah teknik mengatasi nyeri dengan memberikan informasi kepada klien tentang repons fisiologis tubuh terhadap nyeri yang dialami klien (misalnya tekanan darah atau ketegangan otot serta EEG) dan cara untuk mengendalikan secara involunter respons tersebut. Dengan memberi informasi yang akurat tentang tekanan darah, ketegangan otot, atau melihat monitor poligraf, klien akan berusaha untuk mencapai relaksasi yang optimal, sehingga nyeri yang dirasakan klien berkurang (Anas Tamsuri, 2006: 65). (4) Hipnosis Teknik hipnosis termasuk dalam psikoterapi. Psikoterapi dapat menurunkan nyeri klien, terutama pada klien yang sangat sulit untuk mengontrol nyeri, klien yang mengalami depresi, atau pada klien yang pernah mempunyai riwayat psikiatri. Salah satu model pendekatan psikiatrik adalah dengan membangun kerangka pikiran yang positif pada klien, sebuah pendekatan kembali yang mengajarkan yang klien untuk dengan

membingkai

masalah

dihadapi

meningkatkan kesadaran sehingga dapat berespon terhadap masalah tersebut (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 73).

61 (5) Sentuhan terapeutik Teknik yang digunakan adalah perawat melakukan meditasi dalam waktu singkat sebelum kontak dengan klien. Pada periode ini, perawat menyembunyikan tingkat energi internal, kemudian meraba klien dan mentransmisikan energi

penyembuhan (Anas Tamsuri, 2006: 65). Teknik ini dilakukan pada saat klien tidak merasa atau sedikit merasa nyeri. Penjelasan yang diberikan dapat membantu klien mengendalikan kecemasan dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 66).

4.

Kompres Hangat Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang memerlukannya (Mery Fanada dan Widyaiswara Muda, 2012).

a.

Manfaat Kompres Hangat Penggunaan panas, selain memberi efek mengatasi atau menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis antara lain: 1) Meningkatkan respons inflamasi. 2) Meningkatkan aliran darah dalam jaringan. 3) Meningkatkan pembentukan edema. (Anas Tamsuri, 2006: 54)

62 Menurut Audrey Berman (2009: 402) Efek fisiologis kompres panas, antara lain: 1) Vasodilatasi. 2) Meningkatkan permeabilitas kapiler. 3) Meningkatkan metabolisme selular. 4) Melaksasi otot. 5) Meningkatkan inflamasi; meningkatkan aliran darah ke suatu area. 6) Meredakan nyeri dengan merelaksasi otot. 7) Efek sedatif. 8) Mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan sinovial.

b. Variabel yang Mempengaruhi Toleransi Fisiologi Terhadap Panas Variabel yang mempengaruhi toleransi fisiologi terhadap panas menurut Audrey Berman (2009: 404), antara lain: 1) Bagian tubuh. Bagian punggung tangan dan kaki adalah bagian yang tidak terlalu sensitif terhadap suhu. Sebaliknya, bagian dalam dari pergelangan tangan dan lengan bawah, leher, dan area perineum adalah bagian yang sensitif terhadap suhu. 2) Ukuran bagian tubuh yang terpajan. Semakin besar area yang terpajan oleh panas, seakin rendah toleransinya. 3) Toleransi perseorangan. Individu yang sangat muda dan sangat tua umumnya memiliki toleransi yang paling rendah. Individu yang

63 memiliki kerusakan neurosensori mungkin memiliki toleransi yang tinggi, tetap resiko cederanya juga lebih besar. Suhu yang direkomendasikan untuk kompres panas menurut Audrey Berman (2009: 403), yaitu: a) Hangat kuku (27 370C) : mandi spons-alkohol. b) Hangat (37 400C) : mandi dengan air hangat, bantalan akuatermia. c) Panas (40 460C) : berendam dalam air panas, irigasi, kompres panas. d) Sangat panas (> 460C) : kantong air panas untuk orang dewasa.

4) Lama pajanan. Individu paling merasakan kompres panas saat awal kompres diberikan. Setelah jangka waktu tertentu, toleransi akan meningkat. Panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam 20 30 menit; melanjutkan kompres melebihi 30 34 menit akan mengakibatkan kongesti jaringan, dan pembuluh darah kemudian berkontriksi (Audrey Berman, 2009: 403). 5) Keutuhan kulit. Area kulit yang cedera lebih sensitif terhadap variasi suhu.

c.

Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan Kompres Hangat Menurut Audrey Berman (2009: 403) Indikasi pilihan kompres panas (indikasi terhadap efek panas), antara lain:

64 (1) Spasme otot : merelaksasikan kontraktilitasnya. (2) Inflamasi (3) Nyeri : meningkatkan aliran darah, melunakkan eksudat. : meredakan nyeri, kemungkinan dengan meningkatkan relaksasi otot, meningkatkan sirkulasi, meningkatkan relaksasi psikologis, dan merasa nyaman; bekerja sebagai conterirritant. (4) Kontraktur : mengurangi kontraktur dan meningkatkan rentang pergerakan sendi dengan lebih memungkinkan otot dan meningkatkan

terjadinya distensi otot dan jaringan penyambung. (5) Kaku sendi : mengurangi kaku sendi dengan menurunkan viskositas cairan sinovial dan meningkatkan distensibilitas jaringan.

Kondisi yang merupakan kontraindikasi pemberian kompres panas, yaitu: (1) 24 jam pertama setelah cedera traumatik. Panas akan meningkatkan perdarahan dan pembengkakan. (2) Perdarahan aktif. Panas menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan perdarahan. (3) Edema noninflamasi. Panas meningkatkan permeabilitas kapiler dan edema. (4) Tumor ganas terlokalisasi. Karena panas mempercepat metabolisme sel, pertumbuhan sel, dan meningkatkan sirkulasi, panas dapat mempercepat metastase (tumor sekunder).

65 (5) Gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau melepuh. Panas dapat membakar atau menyebabkan kerusakan kulit lebih jauh. (Audrey Berman, 2009: 405)

Menurut Anas Tamsuri (2006: 54) penggunaan panas (aplikasi kompres panas) sebaiknya dilakukan pada: a. b. c. d. e. f. Trauma yang lebih dari 48 jam. Sistitis. Haemoroid. Nyeri punggung. Artritis. Bursitis.

Penggunaan kompres panas dikontraindikasikan pada: a. b. c. d. Trauma 12 24 jam pertama. Perdarahan/edema. Gangguan vaskular. Pleuritis.

(Anas Tamsuri, 2006: 54)

Kondisi yang mengindikasi perlunya tindakan kewaspadaan khusus selama pemberian kompres panas, yaitu:

66 (1) Kerusakan neurosensori. Individu yang memiliki kerusakan sensori tidak mampu merasakan bahwa panas tersebut merusak jaringan dan beresiko mengalami luka bakar. (2) Gangguan status mental. Individu mengalami konfusi atau perubahan tingkat kesadaran membutuhkan pemantauan dan supervisi selama pemberian kompres untuk memastikan keamanan terapi tersebut bagi klien. (3) Gangguan sirkulasi. Individu yang memiliki penyakit pembuluh darah perifer, diabetes, atau gagal jantung kongestif kurang memiliki kemampuan untuk menghilangkan panas melalui sirkulasi darah, yang membuat mereka beresiko mengalami kerusakan jaringan akibat kompres panas. (4) Luka terbuka. Jaringan di sekitar luka terbuka lebih sensitif terhadap panas. (Audrey Berman, 2009: 405)

d. Pedoman Kompres Hangat Pemahaman tentang respons adaptif reseptor termal, fenomena rebound, efek sistemik, toleransi terhadap panas, dan kontraindikasi merupakan hal yang penting ketika memberikan kompres panas (Audrey Berman, 2009: 402). 1) Adaptasi reseptor termal Reseptor termal beradaptasi terhadap perubahan suhu. Ketika reseptor hangat terpajan suhu yang tiba-tiba tinggi, pada awalnya reseptor

67 terstimulasi dengan kuat. Stimulasi yang kuat ini menurun dengan cepat selama beberapa detik pertama dan kemudian menjadi lebih lambat selama setengah jam berikutnya atau lebih karena reseptor beradaptasi terhadap suhu yang baru (Audrey Berman, 2009: 402). Perawat perlu memahami respons adaptif ini ketika memberikan kompres panas. Klien mungkin ingin mengubah suhu pada kompres tersebut karena adanya perubahan sensasi termal setelah adaptasi. Meningkatkan suhu kompres panas setelah adaptasi terjadi dapat menyebabkan luka bakar yang serius (Audrey Berman, 2009: 402). 2) Fenomena rebound Fenomena rebound terjadi pada saat efek terapeutik maksimal dari kompres panas telah dicapai dan kemudian efek yang berlawanan terjadi. Misalnya, panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam 20 30 menit; melanjutkan kompres melebihi 30 34 menit akan mengakibatkan kongesti jaringan, dan pembuluh darah kemudian berkontriksi dengan alasan yang tidak diketahui. Apabila kompres panas terus dilanjutkan, klien beresiko mengalami luka bakar, karena pembuluh darah yang berkontriksi tidak mampu membuang panas secara adekuat melalui sirkulasi darah. Kompres harus dihentikan sebelum fenomena rebound terjadi (Audrey Berman, 2009: 402 403). 3) Efek sistemik Kompres panas diberikan pada area tubuh lokal, terutama pada area tubuh yang luas, dapat meningkatkan curah jantung dan ventilasi paru. Peningkatan tersebut adalah hasil vasodilatasi perifer yang berlebihan,

68 yang mengalihkan sejumlah besar suplai darah dari organ dalam dan menghasilkan penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah yang signifikan dapat menyebabkan klien pingsan. Klien yang memiliki penyakit jantung atau paru serta yang memiliki gangguan sirkulasi seperti arteriosklerosis akan lebih retan terhadap efek kompres ini dibanding orang sehat (Audrey Berman, 2009: 403 404). 4) Toleransi dan kontraindikasi Berbagai bagian tubuh memiliki toleransi panas yang berbeda. Toleransi fisiologis individu juga berbeda. Kondisi tertentu merupakan kontraindikasi penggunaan kompres panas. Selain itu, beberapa kondisi memerlukan tindakan kewaspadaan ketika memberikan terapi kompres panas (Audrey Berman, 2009: 404).

e.

Metode Kompres Hangat Metode penggunaan kompres panas, antara lain: 1) Handuk waslap dicelupkan ke dalam air hangat dan diletakkan pada bagian tubuh (handuk ditutup dengan plastik di sekitar daerah kompres agar panas tidak menyebar keluar). 2) Menggunakan kantung atau buli-buli panas. 3) Mandi air panas. 4) Berjemur di sinar matahari.

5) Menggunakan selimut hangat, bantal panas.

69 6) Menggunakan lampu penghangat, yaitu lampu 60 watt dengan leher angsa yang diletakkan pada jarak 45 60 cm di daerah yang akan diberikan aplikasi hangat. (Anas Tamsuri, 2006: 55)

Perlu diketahui apabila suhu yang diaplikasikan terlalu tinggi akan menimbulkan rasa tidak nyaman dan kurang memberikan efek penurunan nyeri pada klien. Untuk itu, suhu perlu diatur, yaitu sekitar 520C pada dewasa normal dan 40,5 460C pada klien dewasa yang tidak sadar (Anas Tamsuri, 2006: 55).

f. Teknik Pemberian Kompres Hangat Teknik pemberian kompres hangat menurut Audrey Berman, (2009: 404 408) yang sesuai dengan proses keperawatan kompres panas, antara lain: 1) Pengkajian Kaji: a) Kemampuan klien untuk mengenali kapan rasa dapat

menyebabkan cedera. Kaji apakah klien menyadari rasa panas serta dapat membedakan suhu yang terlalu panas untuk tubuh. b) Tingkatkan kesadaran dan kondisi fisik umum klien. Klien yang sangat muda, sangat tua, tidak sadar, atau yang lemah tidak dapat menoleransi panas dengan baik. c) Area yang akan dikompres dengan memeriksa:

70 (1) Perubahan integritas kulit, seperti adanya edema, memar, kemerahan, lesi terbuka, adanya rabas dan perdarahan. (2) Status sirkulasi (warna, suhu, dan sensasi). Jaringan yang terasa dingin, berwarna pucat atau kebiruan, dan kurangnya sensasi atau mati rasa mengindikasikan kerusakan sirkulasi. (3) Tingkat ketidaknyamanan dan rentang pegerakan sendi jika spasme otot atau nyeri sedang diterapi. d) Denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Faktor ini penting dikaji sebelum kompres panas diberikan pada area tubuh yang luas.

2) Perencanaan Sebelum memberikan kompres panas tentukan: a) Apakah klien perlu menandatangani surat persetujuan tindakan (jika surat persetujuan diperlukan, periksa surat tersebut pada catatan klien). b) Tipe kompres panas yang akan digunakan, suhu, dan durasi serta frekuensi kompres (periksa program dokter jika perlu). c) Protokol institusi tentang tipe perlengkapan yang digunakan, suhu yang direkomendasikan, dan durasi kompres (periksa program dokter jika perlu). d) Waktu kompres diberikan.

71 3) Implementasi a) Jelaskan kepada klien apa yang akan Anda lakukan, mengapa hal tersebut diperlukan, dan bagaimana klien dapat bekerjasama. Diskusikan bagaimana hasilnya akan digunakan untuk

merencanakan perawatan atau terapi selanjutnya. b) Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi yang tepat. c) Berikan privasi klien. d) Berikan kompres panas. Lokasi : Persendian tubuh (terutama persendian tubuh yang sakit). Suhu : Suhu air yang diberikan untuk klien dewasa normal 46 520C (Audrey Berman, 2009: 406). Durasi : Panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam 20 30 menit; melanjutkan kompres melebihi 30 34 menit akan mengakibatkan kongesti jaringan, dan pembuluh darah kemudian berkontriksi. (Audrey Berman, 2009: 403) Waktu : Dilakukan sebelum stretching. Berikan perhatian khusus saat mengkaji area yang akan diterapi dan ketika mengevaluasi efek terapi karena lansia memiliki banyak kondisi yang merupakan presidposisi terjadinya cedera pada pemberian kompres (Audrey Berman, 2009: 408).

72 e) Letakkan kemasan pemanas pada tempatnya hanya selama jangka waktu yang telah ditentukan guna menghindari fenomena rebound. f) Dokumentasikan pemberian kompres panas dan respon klien pada catatan klien dengan menggunakan format atau daftar titik yang disertai catatan narasi jika perlu.

4) Evaluasi Lakukan pemeriksaan lanjutan pada klien untuk mengkaji efektivitas terapi dan mengkaji adanya komplikasi. Hubungkan hasil yang didapat dengan data pengkajian sebelumnya jika tersedia.

5.

Stretching (Peregangan) Stretching merupakan bentuk dari penguluran dan peregangan pada otot-otot disetiap anggota badan biasanya dilakukan sebelum atau setelah berolahraga. Kegiatan ini bertujuan membuat otot dan persendian menjadi fleksibel dan elastik. Sehingga menjadi lebih mudah pada saat melakukan pergerakan dan dapat mengurangi dampak cidera yang timbul saat berolahraga (Ukas Danaria, 2011).

Peregangan adalah penghubung penting antara kehidupan statis dan kehidupan aktif. Peregangan membuat otot tetap lentur, membuat Anda siap bergerak, dan membantu Anda beralih dari aktivitas kurang gerak ke aktivitas banyak gerak tanpa menimbulkan ketegangan. Hal ini terutama penting bila Anda berlari,

73 bermain tenis, atau melakukan olahraga keras lainnya, karena aktivitas seperti ini bisa menyebabkan otot kaku. Melakukan peregangan sebelum dan sesudah olahraga akan membuat otot Anda tetap lentur dan dapat mencegah cedera yang umum terjadi, seperti masalah pada lutut akibat lari dan nyeri bahu atau siku akibat bermain tenis (Bob Anderson, 2008: 11).

a.

Manfaat Peregangan Karena dapat merelaksasikan pikiran dan menyegarkan tubuh, peregangan semestinya menjadi bagian dari keseharian Anda. Anda kan mengetahui bahwa peregangan yang teratur akan membuahkan hasil-hasil sebagai berikut: 1) Mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks. 2) Membantu koordinasi dengan melakukan gerakan yang lebih bebas dan lebih mudah. 3) Memperluas rentang gerak. 4) Membantu mencegah cedera seperti kram otot. (Otot yang kuat dan lentur dapat menahan beban lebih baik daripada otot kuat tapi kaku.) 5) Membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis, berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena peregangan akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas; ini merupakan cara memberi tahu otot bahwa sebentar lagi ia akan digunakan. 6) Membantu mempertahankan tingkat kelenturan Anda, sehingga dengan berjalannya waktu, Anda tidak akan menjadi semakin kaku.

74 7) Membangun kesadaran akan tubuh Anda; ketika meregangkan berbagai bagian tubuh, Anda akan terfokus pada bagian-bagian tersebut dan berkomunikasi dengannya; Anda mulai mengenali diri sendiri. 8) Membantu mengendurkan kendali pikiran atas tubuh, sehingga tubuh bergerak demi dirinya sendiri dan bukan untuk kompetisi atau ego. 9) Merasa nyaman. (Bob Anderson, 2008: 14)

b. Tahapan Peregangan pada Lansia Menurut Bob Anderson (2008: 15) metode peregangan antara lain: 1) Peregangan ringan Lakukan peregangan ringan selama 10 15 detik. Lakukan dengan memakai tenaga, bukan sekedar menggerakan tubuh. Lakukanlah hingga Anda merasakan tegangan ringan dan relakslah saat menahan regangan. Otot yang terasa menegang seharusnya mereda saat Anda menahan posisi tersebut. Jika tidak, kendurkan sedikit dan lakukan sampai Anda merasakan tegangan yang nyaman. Peregangan ringan akan mengurangi kekakuan dan ketegangan otot serta mempersiapkan jaringan otot untuk peregangan lanjutan (Bob Anderson, 2008: 15). 2) Peregangan lanjutan Setelah peregangan ringan, majulah perlahan ke peregangan lanjutan. Sekali lagi, lakukan dengan memakai tenaga. Bergeraklah beberapa sentimeter lebih jauh hingga Anda merasakan lagi tegangan ringan dan

75 tahan selama 10 15 detik. Tetap jaga kendali gerakan Anda. Sekali lagi, ketegangan harus mereda; jika tidak, kendurkan sedikit. Ingat: jika ketegangan meningkat saat Anda menahan regangan dan atau berubah menyakitkan berarti Anda melakukan peregangan secara berlebihan. Peregangan lanjutan menyiapkan otot dan meningkatkan kelenturan (Bob Anderson, 2008: 15).

c.

Dosis Latihan Dosis yang akan dibahas adalah FITT yang meliputi pengaturan frekuensi (frequency), intensitas (intencity), durasi (time), dan macam (type) latihan. Secara umum dosis dijabarkan sebagai berikut: 1) Frekuensi. Tiga atau lima kali perminggu. 2) Intensitas. Intensitas didasarkan atas beban latihan dan merupakan faktor yang penting dalam program latihan. Bagi pemula dianjurkan dengan intensitas lima puluh sampai enam puluh persen dari VO2 maks. 3) Durasi. Untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi kebugaran jantung paru, harus berlatih pada zona latihan selama lima sampai sepuluh menit dan diakhiri dengan pendinginan selama lima sampai sepuluh menit. 4) Macam. Untuk mendapatkan kebugaran jasmani yang adekuat, jenis latihan harus disesuaikan dengan manfaat yang diharapkan. Latihan yang menggerakkan sebagian otot-otot besar pada panggul kaki secara

76 ritmis dan berkesinambungan, sangat bermanfaat bagi kebugaran jantung dan paru. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 104 105)

d. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Selama Latihan Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003: 106) hal-hal yang perlu diperhatikan selama latihan, antara lain: 1) Pilih program latihan yang cukup bermanfaat, aman dan sesuai dengan kebutuhan atau tingkat kebugaran. 2) Mulai dengan perlahan, ringan, kemudian semakin ditingkatkan. 3) Jangan berlatih jika merasa tidak sehat. 4) Latihan fisik jangan dilakukan satu sampai dua jam setelah makan, jangan pada cuaca panas dan kelembaban tinggi. Hindari kram dengan banyak minum ditambah garam dapur. 5) Hentikan kebiasaan merokok dan minuman keras. 6) Jangan duduk segera setelah latihan. 7) Jangan mandi air dingin setelah berlatih.

e.

Teknik Stretching bagi Lansia 60 tahun Kurang lebih 7 menit. Berikut ini rangkaian peregangan untuk membantu memulihkan dan menjaga kelenturan menurut Bob Anderson (2008: 136 137). 1) Peregangan untuk punggung bawah, pinggul, pangkal paha dan paha belakang dengan Teknik PNF: Kontraksikan Relaksasikan

77 Regangkan. Kemudian, berdiri dengan posisi lutut tertekuk dan tumit datar, jari kaki mengarah lurus ke depan, dan ke dua telapak kaki terpisah selebar bahu. Tahan selama 30 detik. Pada posisi lutut tertekuk ini, Anda mengkontraksikan paha depan (quadriceps) dan merelaksasi paha belakang (hamstring). Fungsi utama paha depan adalah untuk menegakkan kaki. Fungsi utama paha belakang adalah untuk menekuk lutut. Karena ke dua otot ini menjalankan fungsi yang berlawanan, mengkontraksikan paha depan akan merelaksasi paha belakang (Bob Anderson, 2008: 65). Saat Anda menahan posisi lutut tertekuk ini, rasakan perbedaan antara bagian depan dan belakang paha Anda. Paha depan akan terasa keras dan kencang, sementara paha belakang akan terasa lembut dan relaks. Paha belakang akan lebih mudah diregangkan bila di relaksasikan terlebih dahulu. Lakukan 10 30 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 65). 2) Setelah menahan posisi lutut tertekuk, berdirilah dan kemudian membungkuk lagi dengan lutut sedikit menekuk (2,5 cm). Jangan tergesa. Anda kini mungkin sudah mengalami kemajuan. Tahan selama 10 15 detik (Bob Anderson, 2008: 65). Ingatlah untuk selalu menekuk lutut ketika bangkit. Ini mengurangi ketegangan di punggung bawah. Anda harus berada dalam posisi nyaman dan stabil saat melakukan peregangan (Bob Anderson, 2008: 66).

78 Anda akan merasakan bahwa lebih mudah menahan regangan ini jika bobot tubuh dapat didistribusikan ke lengan dan kaki. Jika Anda tidak mampu menyentuh ibu jari kaki (atau pergelangan) dengan lutut sedikit menekuk (banyak orang tidak bisa), gunakan tangga atau bangku pendek, atau tumpuan buku untuk menaruh tangan Anda. Temukan keseimbangan antara tangan dan kaki sehingga Anda dapat relaks. Lakukan 10 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 65). 3) Untuk meregangkan betis, berdirilah agak jauh dari penyangga dan menyandarlah padanya dengan lengan depan, sementara kepala bersandar di tangan. Tekuk satu kaki dan letakkan telapaknya di lantai di depan Anda, sementara kaki yang lain lurus. Perlahan-lahan gerakkan pinggul ke depan sambil menjaga punggung bawah tetap rata. Pastikan tumit kaki yang liris tetap berada di lantai, dengan jari kaki mengarah ke depan atau agak miring ke dalam. Tahan regangan ringan selama 10 15 detik. Jangan tergesa. Sekarang regangkan kaki lainnya. Lakukan 10 20 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 82). 4) Untuk meregangkan paha belakang dan lutut, pegang ujung telapak kaki kanan dengan tangan kiri dan perlahan-lahan tarik tumit kearah bokong. Lutut menekuk ke dalam sudut alami saat Anda memegang kaki dengan tangan yang berlawanan. Gerakan ini baik dipakai untuk mengatasi masalah lutut. Tahan selama 10 20 detik untuk masingmasing kaki (Bob Anderson, 2008: 86). Variasi: Peregangan ini juga dapat dilakukan dengan tengkurap. Pastikan peregangan ini tidak menyakitkan. Jangkau tangan ke

79 belakang dan peganglah ujung telapak kaki lawannya di antara sendi pergelangan kaki dan jari kaki. Dengan lembut tarik tumit ke arah tengah bokong. Tahan selama 10 15 detik. Lakukan 10 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 68). 5) Berdirilah di ambang pintu dan letakkan ke dua tangan setinggi bahu di kedua sisi ambang pintu. Gerakkan badan atas ke depan hingga terasa regangan yang nyaman di ke dua lengan dan dada. Jaga dada dan kepala tetap tegap dan lutut sedikit menekuk ketika melakukan peregangan ini. Tahan selama 15 detik. Lakukan 15 20 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 57). 6) Teknik PNF: Kontraksikan relaksasikan Regangkan. Berdirilah dengan lutut sedikit menekuk dan kaki di buka selebar bahu. Pegang siku kanan dengan tangan kiri. Gerakkan siku kanan ke arah bawah sambil melawan gerakan ini dengan tangan kiri (kontraksi isometrik) selama 3 4 detik. Setelah relaks beberapa saat, perlahan tarik siku ke samping, di belakang kepala, hingga terasa regangan ringan di lengan belakang atas seperti pada peregangan sebelumnya. Tahan selama 10 15 detik. Ulangi pada sisi yang lain (Bob Anderson, 2008: 54). Mulailah dengan posisi berdiri dan lutut sedikit menekuk. Tekuk siku kanan dan letakkan lengan di belakang kepala. Pegang siku kanan dengan tangan kiri. Untuk meregangkan daerah ketiak dan bahu, gerakkan kepala ke belakang ke arah lengan kanan, hingga terasa sedikit regangan. Tahan selama 10 15 detik. Lakukan untuk ke dua sisi. Lakukan 8 10 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 54).

80 7) Sekarang jalin jari-jari tangan di atas kepala. Dengan telapak menghadap ke atas, dorong ke dua lengan sedikit ke belakang dan ke atas. Rasakan regangan pada lengan, bahu, dan punggung atas. Tahan selama 15 detik. Jangan menahan nafas. Peregangan ini baik dilakukan di mana saja, kapan saja, dan sangat baik untuk bahu yang merosot. Bernafaslah dalam-dalam. Lakukan 10 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 56). 8) Cara lain untuk meregangkan pangkal paha yang kaku adalah dengan duduk menyandar pada dinding atau kursi; apa pun yang dapat menyangga. Dengan punggung lurus dan ke dua telapak kaki menangkup, gunakan tangan untuk mendorong lembut bagian paha dalam (bukan di lutut, tetapi di atasnya). Dorong perlahan sampai terasa regangan yang enak dan merata. Relaks dan tahan selama 20 30 detik. Lakukan 10 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 65). 9) Tangkupkan telapak kaki dan berpeganglah pada jari-jari kaki Anda. Pelan-pelan dorong tubuh ke depan, condongkan dari pinggul hingga Anda merasakan regangan yang enak di pangkal paha. Anda juga mungkin merasakan regangan di punggung. Tahan selama 20 detik. Jangan memulai gerak dari kepala dan bahu saat melakukan regangan ini. Mulailah gerakan dari pinggul. Jagalah siku agar tetap di sisi luar kaki agar Anda stabil dan seimbang. Kontraksikan otot perut Anda secara perlahan saat miring ke depan; ini akan meningkatkan

81 kelenturan Anda untuk mencondongkan tubuh ke depan (Bob Anderson, 2008: 68). Jika Anda sulit mencondongkan tubuh Anda ke depan, tumit Anda mungkin terlalu dekat dengan pangkal paha. Jika demikian, kaki menjauh ke hadapan Anda. Ini memungkinkan Anda menggerakkan tubuh ke depan dari pinggul (Bob Anderson, 2008: 69). Variasi jika Anda kaku di daerah pangkal paha. Peganglah telapak kaki dengan satu tangan, taruh siku di sisi dalam betis untuk menahan dan menstabilkan kaki. Sekarang, dengan menggunakan tangan lain yang disisi dalam betis (bukan di lutut), perlahan-lahan tekan kaki ke bawah untuk meregangkan sisi pangkal paha ini. Jika bagian pangkal paha Anda yang kaku, ini adalah peregangan yang baik yang akan melenturkan daerah ini dan membuat lutut jauh lebih alami ke bawah. Lakukan untuk ke dua kaki. Tahan selama 10 15 detik. Lakukan 10 20 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 69). 10) Duduklah dengan kaki kanan lurus. Tekuk lutut kiri menyilang keluar lutut kanan. Tarik lutut melintasi tubuh ke arah bahu yang berlawanan hingga Anda merasakan rengangan ringan di pinggul samping. Tahan 20 30 detik. Lakukan di ke dua sisi (Bob Anderson, 2008: 71). Duduklah dengan kaki kanan lurus. Tekuk lutut kiri menyilang keluar lutut kanan. Tarik lutut melintasi tubuh ke arah bahu yang berlawanan hingga Anda merasakan rengangan ringan di pinggul samping. Tahan 20 30 detik. Lakukan di ke dua sisi. Lakukan 10 20 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 71).

82 11) Duduklah dengan ke dua kaki lurus dan telapak kaki mengarah ke atas, tumit terpisah tidak lebih dari 15 cm. Membungkuklah dari pinggul untuk merasakan regangan ringan. Tahan selama 10 15 detik. Anda mungkin akan merasakan regangan tepat di belakang lutut dan paha bawah. Anda juga mungkin merasakan regangan di punggung bawah jika punggung Anda kaku (Bob Anderson, 2008: 66). Jangan menundukan kepala ke depan saat memulai peregangan ini. Jagalah pinggul agar tidak melengkung ke belakang. Condongkan tubuh dari pinggul tanpa membuat punggung atas melengkung (Bob Anderson, 2008: 67). Anda mungkin harus duduk menyandar ke dinding untuk menjaga agar punggung tetap rata. Posisi ini sendiri mungkin sudah merupakan peregangan yang memadai jika badan Anda sangat kaku. Jika Anda sulit relaks saat melakukan peregangan ini, gunakan handuk sebagai alat bantu. Tarik tubuh ke depan (perlahan) dari pinggul hingga titik dimana Anda dapat merasakan relaks dan tetap merasakan peregangan. Gunakan tangan untuk menarik tubuh ke depan. Temukan regangan yang pas. Berhati-hatilah, jangan meregang berlebihan (Bob Anderson, 2008: 67). Jika sulit melakukan peregangan ini dengan posisi duduk, lakukan peregangan yang sama dengan cara berbaringlah dan angkat kaki ke atas dengan sudut 900 dari sendi paha. Jaga punggung tetap rata dilantai. Tahan selama 15 20 detik. Ulangi pada kaki yang lain. Jika perlu berpeganglah pada paha belakang untuk menghasilkan regangan.

83 Atau taruh handuk melingkari telapak kaki dan tarik dengan lembut. Regangkan sampai terasa nyaman. Anda juga dapat meletakkan bantal di bawah kepala agar lebih nyaman. Lakukan 10 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 68). 12) Biarkan tubuh relaks, dengan ke dua lutut menekuk dan telapak kaki menangkup. Posisi nyaman ini akan meregangkan pangkal paha Anda. Tahan selama 30 detik. Biarkan tarikan gravitasi meregangkan tubuh Anda. Anda boleh menaruh bantal kecil di belakang kepala agar nyaman. Lakukan 20 30 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 32). 13) Untuk mengurangi ketegangan di leher: Sambil berbaring di lantai, Anda dapat meregangkan tulang belakang (spine) atas dan leher. Jalin jari-jari tangan di belakang kepala, kira-kira sejajar dengan telinga. Perlahan tarik kepala ke depan hingga terasa sedikit regangan di leher belakang. Tahan 3 5 detik, kemudian perlahan kembali ke posisi awal. Lakukan ini 3 4 kali untuk melonggarkan tulang belakang bagian atas dan leher secara bertahap. Biarkan rahang Anda relaks (gigi belakang sedikit terpisah) dan tetaplah bernafas. Lakukan 3 5 detik 2 kali untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 34). 14) Berbaring, tarik kaki kiri ke arah dada. Jaga bagian kepala belakang tetap di matras jika memungkinkan, tetapi jangan tegang. Jika Anda tidak dapat melakukannya dengan kepala di bawah, letakkan bantal kecil di bawah kepala. Jaga kaki yang lain selurus mungkin, tanpa mengunci lutut. Tahan selama 30 detik. Lakukan di ke dua sisi. Ini

84 akan melemaskan otot punggung dan paha belakang. Lakukan 20 30 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 73). 15) Angkat kedua lutut, telapak kaki di lantai. Jalin jari-jari tangan di belakang kepala dengan lengan di lantai. Sekarang angkat kaki kiri ke atas kaki kanan. Kemudian, gunakan kaki kiri untuk menarik kaki kanan ke arah lantai hingga terasa regangan di sepanjang pinggul samping atau punggung bawah. Relaks, jaga agar punggung atas, kepala belakang, bahu, dan siku menempel di lantai. Tahan selama 10 20 detik. Tujuannya bukanlah untuk menyentuh lantai dengan lutut kanan, tetapi melakukan peregangan semampu Anda. Ulangi peregangan ke sisi yang lain: silangkan kaki kanan ke atas kaki kiri dan tarik ke kanan. Keluarkan nafas ketika Anda akan melakukan peregangan, kemudian bernafaslah secara teratur saat sedang melakukan peregangan. Lakukan 10 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 32 33). 16) Peregangan memanjang: Rentangkan ke dua lengan di atas kepala dan luruskan kaki. Kemudian panjangkan sejauh mungkin ke dua tangan dan kaki Anda ke arah berlawanan namun tetap nyaman. Tahan regangan ini selama 5 detik, kemudian relaks (Bob Anderson, 2008: 37).

85

Gambar 2.1 Stretching Ekstremitas Bawah

B. Penelitian Terkait Penelitian ini terkait dengan jurnal STIKes RS. Baptis Volume 3, Edisi 1 Juli 2010, berjudul Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri oleh Yohanita Pamungkas. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 7 responden (20%) dengan nyeri ringan, 20 responden (51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri parah. Setelah dilakukan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 33 responden (94,2%) yang mengalami penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah. Hasil uji statistik Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kemaknaan p = 0,00, hal ini berarti terdapat pengaruh latihan gerak kaki (stretching) terhadap

86 penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah pada lansia di posyandu lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri.

Penelitian ini juga terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang oleh Afifka Dyah Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa senam lansia efektif untuk mengatasi nyeri lutut pada lansia. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa lansia dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 9 lansia (60%) dan laki-laki sebanyak 6 lansia (40%). Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukkan bahwa lansia dengan usia 61-75 tahun sebanyak 12 lansia (80%) dan lansia dengan usia 55 60 tahun sebanyak 3 lansia (20%). Hasil penelitian sesudah dilakukan terapi senam lansia menunjukkan bahwa sebesar 86,7% lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33% lansia mempunyai skala nyeri 1 atau skala nyeri ringan. Hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti sig<=(0,05). Nilai signifikansi 0,001 < 0,05 artinya hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian terapi senam lansia efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia. Pemberian terapi senam lansia ini dapat digunakan oleh siapapun tanpa mengeluarkan uang. Sebagai perawat komunitas terapi senam lansia dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan kesehatan lansia di suatu instansi. Terapi senam lansia efektif dalam mengurangi nyeri lutut pada lansia.

87 Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada danWidyaiswara Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Pati Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden rematik diketahui yang tidak sekolah yaitu 35% dan berpendidikan rendah yaitu 65%, yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan dengan yang bekerja yaitu 85%, dan umur responden semua 60 tahun, serta karakteristik jenis kelamin laki-laki 40% dan perempuan 60%. Tingkat nyeri rematik pada lansia sebelum dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 2,45, yaitu nyeri lebih menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 11 responden (55%) kemudian nyeri lebih menyakitkan lagi dengan skala nyeri 3 sebanyak 9 responden (45%). Tingkat nyeri rematik pada lansia sesudah dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0,20, yaitu tidak nyeri dengan skala nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%). Berdasarkan uji statistik menunjukkan (p value = 0.000, = 0.05), maka didapatkan ada perbedaan yang signifikan antara pengukuran tingkat nyeri sebelum dilakukan kompres hangat dengan pengukuran nyeri sesudah dilakukan kompres hangat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan kompres hangat yang dilakukan sesuai dengan aturan dapat menurunkan tingkat nyeri pada lansia yang mengalami nyeri rematik.

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka dikembangkan suatu kerangka konsep penelitian. Pada bab ini akan dibahas kerangka konsep penelitian yang terdiri dari: variabel dependen, variabel independen, variabel perancu (confounding), hipotesis dan definisi operasional.

C. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus. Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 100).

Pada penelitian ini akan dikaji tentang pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

88

89

Variabel Independen Kompres hangat dan stretching

Variabel Dependen Skala nyeri sendi

Variabel Perancu (Confounding): - Usia - Jenis kelamin - Lokasi nyeri Skema 3.1 Kerangka Konseptual

Variabel penelitian Variabel independen (bebas) adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak pada variabel dependen. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variable lain. Dalam ilmu keperawatan, variabel bebas biasanya merupakan stimulus atau intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkah laku klien (Nursalam, 2009: 97). Variabel independen dalam penelitian ini adalah kompres hangat dan stretching.

Variabel dependen variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-variabel lain. Dalam ilmu tingkah laku variabel terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati dari suatu organisme yang dikenai stimulus. Dengan kata lain, variabel terikat adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan adanya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2009: 98).

90

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah skala nyeri sendi.

Variabel perancu (confounding) adalah variabel yang nilainya ikut menentukan variabel baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Nursalam, 2009: 98). Variabel perancu (confounding) dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri.

D. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. Hasil suatu penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Jadi hipotesis di dalam penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (Setiadi, 2007: 119).

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ho : Tidak ada pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. Ha : Ada pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

91

E. Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana caranya menentukan variabel dan mengukur suatu variabel, sehingga definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (Setiadi, 2007: 165).

Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut: No 1. Variabel Variabel dependen Skala sendi nyeri Perubahan respon responden terhadap rasa nyeri sendi pada awal dan akhir penelitian. Peneliti mengisi lembar observasi kelompok perlakuan dan lembar observasi kelompok kontrol (pre/post) yang berisi respon fisiologis yang ditampilkan oleh klien secara objektif. Lembar Jika jawaban: Ordi observa 1. Menurun: nal si terdapat kelomp penurunan ok skala nyeri perlaku menurut an dan skala lima lembar tingkat observa 2. Tetap: tidak si terdapat kelomp penurunan ok skala nyeri kontrol menurut (pre/po Skala lima st). tingkat 3. Meningkat: terdapat peningkatan skala nyeri menurut Skala lima tingkat Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala ukur

92

3.

Variabel independen Kompres hangat Teknik stimulasi kulit terhadap nyeri sendi pada responden yang dilakukan dengan cara mengkompres sendi (terutama sendi yang sakit) menggunakan handuk kecil hangat selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 20 menit sebelum memulai stretching dengan suhu 460C. Teknik distraksi taktil pada responden nyeri sendi yang dilakukan selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 7 menit. Peneliti melakukan perlakuan kompres hangat pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Termo meter air Melakukan kompres hangat -

Stretching

Peneliti melakukan perlakuan stretching pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam

Melakukan stretching

93

kriteria eksklusi. 3. Variabel perancu (confounding) Usia Lama hidup responden sejak lahir hingga ulang tahun terakhir yang dinyatakan dalam tahun Responden diminta mengisi kuesioner secara pasif untuk semua pertanyaan pada kuesioner, bila ada yang kurang jelas responden diminta mengkonfirmasi pada penelitian. Responden diminta mengisi kuesioner secara pasif untuk semua pertanyaan pada kuesioner, bila ada yang kurang jelas responden diminta mengkonfirmasi pada penelitian Responden diminta mengisi kuesioner secara pasif untuk semua pertanyaan pada kuesioner, bila ada yang kurang jelas responden diminta mengkonfirmasi pada penelitian. Kuesio ner Menurut WHO Ordi (1999) jika nal jawaban: 1. Elderly: 60 74 tahun 2. Old: 75 90 tahun 3. Very old: >90 tahun

Jenis Kelamin

Kondisi perbedaan gender responden yang dibawa sejak lahir

Kuesio ner

Jika jawaban: 1. Laki-laki 2. Perempuan

Nomi nal

Lokasi nyeri

Letak atau tempat atau bagian dimana sendi terasa nyeri.

Kuesio ner

Jika jawaban: Ordin 1. Sendi al ekstremitas atas : sendi leher, sendi bahu, sendi siku, sendi pergelangan tangan, sendi tangan dan jari-jari tangan. 2. Sendi estremitas bawah : sendi

94

panggul, sendi lutut, sendi mata kaki, sendi pada telapak dan jari-jari kaki. Tabel 3.2 Definisi Operasional

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk mencapai tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan tersebut. Desain penelitian membantu peneliti untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang sahih, objektif, akurat serta hemat (Setiadi, 2007: 127).

Rancangan atau desain yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis rancangan penelitian Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design atau disebut juga Non Randomized Control Group Pretest-Posttest Design, dengan tujuan mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan ke dua kelompok ini tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok subjek yang telah terbentuk secara wajar (teknik rumpun), sehingga sejak awal bisa saja ke dua kelompok subjek telah memiliki

95

96 karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata ke dua kelompok itu berbeda, mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena sejak awal kelompok awal sudah berbeda. Dalam rancangan ini, kelompok eksperimental diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada ke dua kelompok perlakuan diawali dengan pra-tes, dan setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran kembali (pasca-tes) (Nursalam, 2009: 86 87).

Adapun bentuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut: Subjek K-A K-B Pra O O Time 1 Perlakuan I Time 2 Pasca-tes O1-A O1-B Time 3

Tabel 4.1 Rancangan Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group Design Keterangan : K-A K-B : Subjek (lansia) perlakuan. : Subjek (lansia) control. : aktivitas lainnya (selain kompres hangat dan stretching yang telah diprogramkan). O : Observasi skala nyeri sendi ekstremitas bawah sebelum kompres hangat dan stretching. I : Intervensi (kompres hangat dan stretching).

O1 (A+B) : Observasi skala nyeri sendi ekstremitas bawah setelah kompres hangat dan stretching (kelompok perlakuan dan kontrol).

97 B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti. Populasi dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu populasi target, yaitu seluruh unit populasi dan populasi survey, yaitu sub unit dari populasi target. Sub unit dari populasi survei untuk selanjutnya menjadi sampel penelitian (Setiadi, 2007: 175)

Populasi dalam penelitian ini adalah para lansia penderita nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. Jumlah lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 sebanyak 103 orang lansia, dengan 57 orang lansia menderita nyeri sendi (55,3%)

2.

Sampel Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dengan kata lain, sampel adalah elemenelemen populasi yang dipilih berdasarkan kemampuan mewakilinya (Setiadi, 2007: 177).

Sampel dalam penelitian ini adalah para lansia penderita nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.

98 a. Kriteria sampel 1) Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2009: 92). a) Penderita nyeri sendi dengan usia 60 tahun yang ditemui pada saat penelitian. b) Penderita nyeri sendi yang bersedia untuk menjadi responden. c) Penderita nyeri sendi yang dapat memberikan informasi untuk melengkapi data dalam penelitian.

2) Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel dapat memenuhi kriteria tidak diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam, 2009: 92). a) Penderita nyeri sendi dengan gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi berat, stroke, dekompensasio kordis, kelainan katup jantung, dan angina pektoris. b) Penderita nyeri sendi yang mengalami komplikasi, seperti fraktur, tumor ganas terlokalisasi, perdarahan aktif, edema non inflamasi, gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau melepuh, dan deformitas. c) Penderita nyeri sendi yang sedang menjalani terapi medis maupun tradisional. d) Penderita nyeri sendi yang mengkonsumsi obat pereda nyeri.

99 b. Besar sampel A. Aziz Alimul Hidayat (2011: 80) menyatakan rumus yang dapat digunakan dalam penelitian eksperimental adalah : ( t-1 ) ( n-1 ) 15

Keterangan: t = banyak kelompok perlakuan n = jumlah sampel

Penghitungan : ( t-1 ) ( n-1 ) 15 = = = = = ( 2-1 ) ( n-1 ) 15 1 ( n-1 ) 15 ( n-1 ) 15 n n 15 + 1 16

Heru Subaris Kasjono dan Yasril (2009: 104) menyatakan untuk menghindari dropout, loss of follow up, atau subjek yang tidak taat, maka perlu dilakukan koreksi terhadap besar sampel yang dihitung, dengan menambahkan sejumlah subjek agar besar sampel tetap terpenuhi dengan formula: n = n/(1-f)

100 Keterangan: n = besar sampel yang dihitung f = perkiraan proporsi drop out

Sebagai contoh peneliti mengambil perkiraan proporsi drop out 10%, jadi perhitungan jumlah sampel:

n = n/(1-f) = 16/(1-0,1) = 17,8 = 18 orang sampel

Total sampel yang digunakan sebanyak 18 orang untuk masing-masing kelompok.

c.

Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik non probability sampling dengan metode purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2009: 94).

101 C. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena tempat tersebut memiliki kriteria sampel penelitian, disamping itu lokasi ini mudah dijangkau peneliti.

2.

Waktu penelitian Waktu yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini terdiri dari 8 tahapan yaitu penyusunan proposal, penyusunan instrumen, persiapan lapangan, uji coba instrumen, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan penyusunan laporan (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 88).

Tahap penyusunan proposal dilakukan pada awal bulan September 2012, tahap penyusunan instrumen, tahap persiapan lapangan, dan uji coba instrumen dilakukan pada awal bulan Maret 2013, sedangkan tahap pengumpulan data dilakukan pada akhir bulan Maret dan awal bulan April 2013, pengolahan data dilakukan pada bulan April 2013 dan analisis data serta penyusunan laporan dilakukan pada akhir bulan April hingga pertengahan bulan Mei 2013.

D. Etika Penelitian Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian tersebut.

102 Etika penelitian ini mencangkup juga perilaku peneliti atau perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 202).

Soekidjo Notoatmodjo (2010: 203) menyatakan secara garis besar, dalam pelaksanaan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh, yakni: dalam melaksanakan sebuah penelitian ada 4 prinsip yang harus dipegang teguh (Milton, 1999 dalam Bondan Palestin), yakni : 1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity) Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut. Disamping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi (berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti

menghormati harkat dan martabat subjek penelitian, peneliti seyogjanya mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform concent) yang mencakup : a. b. c. d. Penjelasan manfaat penelitian. Penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Penjelasan manfaat yang akan didapatkan. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan dengan prosedur penelitian. e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian kapan saja. f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang diberikan oleh responden.

103 2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and confidentiality) Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab itu, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan identitas subjek. Peneliti seyogianya cukup menggunakan coding sebagai pengganti identitas responden. 3. Keadilan dan inklusivitas / keterbukaan (respect for justice and inclusiveness) Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran, keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan

menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa membedakan jender, agama, etnis dan sebagainya. 4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits) Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek. Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian harus dapat mencegah atau paling tidak mengurangi rasa sakit, cidera, stress, maupun kematian subjek penelitian. Mengacu pada prinsip-prinsip penelitian tersebut, maka setiap penelitian yang dilakukan oleh siapa saja, termasuk para peneliti kesehatan hendaknya :

104 a. Memenuhi kaidah keilmuan dan dilakukan berdasarkan hati nurani, moral, kejujuran, kebebasan dan tanggung jawab. b. Merupakan upaya untuk mewujudkan ilmu pengetahuan, kesejahteraan, martabat dan peradaban manusia, serta terhindar dari segala sesuatu yang menimbulkan kerugian atau membahayakan subjek penelitian atau masyarakat pada umumnya.

Pada penelitian ini, sebelum penelitian dilakukan peneliti mengajukan permohonan kepada ketua jurusan untuk dibuatkan surat permohonan melakukan penelitian, mengajukan surat permohonan di tempat yang akan menjadi tempat penelitian untuk melakukan penelitian, serta kepada responden diberikan surat persetujuan bersedia untuk menjadi responden.

E. Alat Pengumpulan Data Instrumen atau alat penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Informed concent Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti. Berisi kesediaan responden untuk dilakukan intervensi selama penelitian

dilangsungkan. 2. Tensimeter Alat ukur tekanan darah yang akan digunakan untuk mengetahui tekanan darah responden. 3. Termometer air Alat ukur suhu air yang akan digunakan untuk kompres hangat.

105 4. Lembar kuesioner demografi Berupa pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui identitas responden, ada atau tidaknya nyeri sendi, lokasi nyeri, penanganan saat nyeri sendi timbul, dan ada atau tidaknya penyakit penyerta nyeri sendi pada lansia. 5. Lembar observasi kelompok eksperimen 1 dan 2 (pre/post) Berupa pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui skala nyeri sebelum dan setelah dilakukannya perlakuan kompres hangat dan stretching pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 selama 15 menit untuk pertanyaan skala nyeri. Lembar eksperimen 1 untuk subjek perlakuan dan lembar eksperimen 2 untuk subjek kontrol. 6. Kompres hangat Teknik stimulasi kulit terhadap nyeri sendi pada responden yang dilakukan dengan cara mengkompres sendi (terutama sendi yang sakit) menggunakan handuk kecil hangat selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 20 menit sebelum memulai stretching dengan suhu 460C. 7. Stretching Teknik distraksi taktil pada responden nyeri sendi yang dilakukan selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 7 menit.

F. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Mengajukan permohonan izin kepada institusi pendidikan (Program Studi S1 Keperawatan STIKes Pertamedika).

106 b. Mengirim permohonan izin yang diperoleh ke ketua RW 03 Kelurahan Pulogebang, Jakarta Timur. c. Mengumpulkan data lansia melalui RT setempat di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur setelah mendapatkan izin melakukan penelitian di wilayah tersebut. d. Menjelaskan kepada calon responden dan keluarga responden tentang tujuan dan manfaat penelitian. e. Melakukan intervensi sesuai dengan waktu penelitian yang telah ditentukan.

G. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan data Pengolahan data yang dilakukan secara statistik komputer dengan langkah sebagai berikut: a. Editing Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner. b. Coding Coding yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan. c. Entry data atau processing Entry data yaitu jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program atau software komputer.

107 d. Cleaning (pembersihan data) Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinankemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 176 178)

2.

Analisa data Peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan program komputer (Statistical Product and Solution). Dalam penelitian ini ada dua tahap teknik analisis data yang digunakan, yaitu: a. Analisis univariat Analisis univariat bertujan untuk menjelasakan atau mendeskripsikan karakteristik dan menghasilkan distribusi frekuensi (Soekidjo

Notoatmodjo, 2010: 182). Pada penelitian ini yang telah digambarkan dalam bentuk distribusi frekuensi adalah karakteristik penderita nyeri sendi pada lansia yang meliputi: usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri sendi. b. Analisis bivariat Apabila telah dilakukan analisis univariat tersebut di atas, hasilnya akan diketahui karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 183).

108 Analisis bivariat ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 serta pengaruh variabel confounding (usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri sendi) terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 dengan menggunakan uji statistik, yaitu Uji Chi Square dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% dan tingkat kemaknaan = 0,05 dengan rumus: [ ]

Keterangan: : Nilai chi-kuadrat : Frekuensi yang diharapkan : Frekuensi yang diperoleh/diamati (Laboratorium Gunadarma, 2010: 12)

Jika nilai

hitung>

tabel

atau nilai p-value<0,05 maka Ha diterima dan


hitung tabel

tidak terdapat perbedaan jika diterima. (Andi Wijayanto, 2009)

atau p>0,05 maka Ho

Aturan yang berlaku pada Chi Square adalah sebagai berikut:

109 1) Bila pada tabel 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang digunakan adalah Fishers Excat Test. 2) Bila tabel 2 x 2, dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang dipakai sebaiknya Continuity Correction () 3) Bila tabelnya lebih dari 2 x 2, misalnya 3 x 2, 3 x 3, dan sebagainya, maka digunakan uji Pearson Chi Square. (Sutanto Priyo Hastono, 2010)

Salah satu syarat Uji Chi Square adalah setiap sel paling sedikit berisi frekuensi harapan sebesar 1 (satu) dan sel yang mempunyai expected count kurang dari 5 maksimal berjumlah 20%. (Malonda Gaib, 2011). Apabila distribusi frekuensi datanya normal, biasanya digunakan analisis atau uji statistik parametrik. Tetapi bila asumsi datanya tidak normal, biasanya menggunakan analisis uji statistik nonparametrik. (Soekidjo Notoadmodjo, 2010: 182).

BAB V HASIL PENELITIAN

Bab ini menyajikan data hasil penelitian mengenai pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. Semua responden yang dijadikan sampel berhasil dihimpun datanya secara lengkap melalui penyebaran angket data demografi (kuesioner) dan pengukuran skala nyeri sendi sebelum dan setelah kompres hangat dan stretching.

Penelitian ini menggunakan desain Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Kontrol Group Design atau disebut juga Non Randomized Kontrol Group PretestPosttest Design, dalam penelitian lapangan, biasanya lebih dimungkinkan untuk membandingkan hasil intervensi program kesehatan disuatu kontrol yang serupa, tetapi tidak perlu kelompok yang benar-benar sama, pengelompokkan anggota sampel pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dilakukan secara random atau acak (Setiadi, 2013: 156).

110

111 A. Gambaran Tempat dan Responden Penelitian Penelitian ini mulai dilakukan pada 10 April 2013 hingga 23 Mei 2013 di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 18 orang pada kelompok intervensi dan 18 orang pada kelompok kontrol dengan pengukuran skala nyeri sendi sebelum dan setelah dilakukan kompres hangat dan stretching selama dua minggu sebanyak lima kali seminggu pada pagi hari.

B. Analisis Data Hasil pengumpulan dan pengolahan data telah dianalisis dalam dua bagian, yaitu: 1) Analisis univariat yang menggambarkan distribusi frekuensi, 2) Analisis bivariat untuk melihat pengaruh antara variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel responden yaitu usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri. Sedangkan, analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

112 1. Analisis Univariat a. Gambaran Karakteristik Usia Responden Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Responden di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Usia ( Tahun) Elderly (60 74 tahun) Old (75 90 tahun) Very old (>90 tahun) Total N 23 11 2 36 % 63,9 30,6 5,6 100

Tabel 5.1 Menunjukan bahwa dari total 36 responden, dari total 36 responden, 23 responden (63,9%) dengan kategori elderly yang berusia antara 60 74 tahun, 11 responden (30,6%) dengan kategori old yang berusia 75 90 tahun, dan 2 responden (5,6%) dengan kategori very old yang berusia > 90 tahun.

b.

Gambaran Karakteristik Jenis Kelamin Responden Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total N 12 24 36 % 33,3 66,7 100

113 Tabel 5.2 Menunjukkan bahwa dari total 36 responden, 24 responden (66,7%) berjenis kelamin perempuan dan 12 responden (33,3%) berjenis kelamin laki-laki.

c.

Gambaran Karakteristik Lokasi Nyeri Sendi Responden Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lokasi Nyeri Sendi Responden di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Lokasi Nyeri Sendi Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah Total N 4 32 36 % 11,1 88,9 100

Tabel 5.3 Menunjukkan bahwa dari total 36 responden, 32 responden (11,1%) mengalami nyeri sendi ektremitas bawah dan 4 responden (88,9 %) mengalami nyeri sendi ekstremitas atas.

114 d. Gambaran Karakteristik Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching. Tabel 5.4 Distribusi Rata-rata Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Skala Nyeri Kelompok N % Mean Med Sd Min Max Sendi 0 = Tidak Nyeri 1 = Minimal Intervensi 2 = Ringan 3 = Sedang 4 = Berat Total 0 = Tidak Nyeri 1 = Minimal Kontrol 2 = Ringan 3 = Sedang 4 = Berat Total 0 0 7 10 1 18 0 0 7 10 1 18 0 0 38,9 55,6 5,6 100 0 0 38,9 55,6 5,6 100 2,67 3 0,594 2 4 2,67 3 0,594 2 4

Tabel 5.4 Menunjukan bahwa dari total 36 responden, 18 responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala sedang 10 responden (55,6%), sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-masing 7 responden (38,9%) dan 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan. Pada kelompok kontrol dengan total 18 responden, 10 responden (55,6%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-

115 masing 7 responden (38,9%) dan 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.

e.

Gambaran Karakteristik Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri Setelah Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching. Tabel 5.5 Distribusi Rata-rata Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri Setelah Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013

Kelompok Skala Nyeri Sendi 0 = Tidak Nyeri 1 = Minimal Intervensi 2 = Ringan 3 = Sedang 4 = Berat Total Kontrol (tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching) 0 = Tidak Nyeri 1 = Minimal 2 = Ringan 3 = Sedang 4 = Berat Total

N 0 10 3 4 1 18 0 0 2 15 1 18

% 0 55,6 16,7 22,2 5,6 100 0 0 11,1 83,3 5,6 100

Mean

Med

Sd

Min Max

1,78

1,003

2,94

0,416

Tabel 5.5 Menunjukan bahwa dari total 36 responden, 18 responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala minimal 10 responden (55,6%), sedangkan untuk skala sedang, ringan dan berat masing-masing 4 responden (22,2%), 3 responden (16,7%), dan 1

116 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 1,78 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 1 atau minimal. Pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching dengan total 18 responden, 15 responden (83,3%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-masing 2 responden (11,1%) dan 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,94 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.

2.

Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk menjelaskan pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri responden, serta untuk menjelaskan pengaruh antara variabel independen dengan variabel confounding yang meliputi usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri. Analisis bivariat menggunakan uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan (level of significance) 5% berdasarkan ketentuan sebagai berikut: berpengaruh dikatakan bermakna jika pvalue < 0,05 dan tidak berpengaruh jika p-value > 0,05. Bila data tidak memenuhi syarat uji Chi-Square, maka digunakan uji Kolmogorov-Smirnov.

117 a. Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Tabel 5.6 Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Skala Nyeri Sendi Kelompok Menurun N Intervensi Kontrol Total 13 0 13 % 72,2 0 36,1 Tetap N 4 13 17 % 22,2 72,2 47,2 Meningkat N 1 5 6 % 5,6 27,8 16,7 18 18 36 100 100 100 Total %

Tabel 5.6 Menunjukan bahwa pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada kelompok intervensi dengan total 18 responden, sebanyak 13 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (72,2%), 4 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (22,2%), dan 1 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (5,6%). Sedangkan pada kelompok kontrol dengan total 18 responden yang tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching, sebanyak 0 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 13 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (72,2%), dan 5 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (27,8%).

118

Tabel 5.7 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Kolmogorov-Smirnov Asymp. Sig. (2-tailed) Kategori 0,000

Tabel 5.7 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,000 (p value < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.

b.

Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Tabel 5.8 Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Skala Nyeri Sendi Usia Elderly (60 74 tahun) Old (75 90 tahun) Very old (>90 tahun) Total Menurun N 9 4 0 13 % 39,1 36,4 0 36,1 Tetap N 8 7 2 17 % 34,8 63,6 100 47,2 Meningkat N 6 0 0 6 % 26,1 0 0 16,7 23 11 2 36 100 100 100 100 Total %

Tabel 5.8 Menunjukan bahwa pengaruh usia responden terhadap penurunan skala nyeri sendi pada kelompok usia elderly (60 74 tahun) dengan total

119 23 responden, sebanyak 9 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (39,1%), 8 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (34,8%), dan 6 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (26,1%). Pada kelompok usia old (75 90 tahun) dengan total 11 responden, sebanyak 4 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (36,4%), 7 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (63,6%), dan 0 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%). Sedangkan pada kelompok usia very old (>90 tahun) dengan total 2 responden, sebanyak 0 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 2 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (100%), dan 0 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%). Tabel 5.9 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Kolmogorov-Smirnov Asymp. Sig. (2-tailed) Kategori 0,941

Tabel 5.9 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,941 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh usia terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

120 c. Pengaruh Jenis Kelamin Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi. Tabel 5.10 Pengaruh Jenis Kelamin Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Skala Nyeri Sendi Kelompok Menurun N Laki-laki Perempuan Total 6 7 13 % 50% 29,2 36,1 Tetap N 3 14 17 % 25% 58,3 47,2 Meningkat N 3 3 6 % 25% 12,5 16,7 12 24 36 100 100 100 Total %

Tabel 5.10 Menunjukan bahwa pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi pada laki-laki dengan total 12 responden, sebanyak 6 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (50%), 3 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (25%), dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (25%). Sedangkan pada perempuan, sebanyak 7 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (29,2%), 14 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (58,3%), dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (12,5%). Tabel 5.11 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Jenis Kelamin Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Kolmogorov-Smirnov Asymp. Sig. (2-tailed) Kategori 0,878

121 Tabel 5.11 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,878 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

d.

Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Tabel 5.12 Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Skala Nyeri Sendi Kelompok Menurun N Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah Total 1 12 13 % 25 37,5 36,1 Tetap N 2 15 17 % 50 46,9 47,2 Meningkat N 1 5 6 % 25 15,6 16,7 4 32 36 100 100 100 Total %

Tabel 5.12 Menunjukan bahwa pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi pada sendi ekstremitas bawah dengan total 32 responden, sebanyak 12 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (50%), 15 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (46,9%), dan 5 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (15,6%). Sedangkan pada sendi ekstremitas atas, sebanyak 1 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (25%), 2 responden mengalami penetapan

122 skala nyeri sendi (50%), dan 1 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (25%). Tabel 5.13 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Kolmogorov-Smirnov Asymp. Sig. (2-tailed) Kategori 1,000

Tabel 5.13 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 1,000 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

BAB VI PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan yang meliputi interpretasi dan diskusi hasil dari penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, keterbatasan penelitian yang terkait dengan desain penelitian yang digunakan dan karakteristik sampel yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia penderita nyeri sendi. Kompres hangat dan stretching yang dilakukan lima kali seminggu selama dua minggu, penelitian ini dilakukan mulai tanggal 10 April sampai 23 Mei 2013 di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

A. Interpretasi dan Diskusi Hasil 1. Karakteristik Penderita Hipertensi Berdasarkan Data Demografi a. Usia Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi menurut usia yang diperoleh dari 36 responden penderita nyeri sendi, sebanyak 23 responden (63,9%) dengan kategori elderly yang berusia antara 60 74 tahun, 11 responden (30,6%) dengan kategori old yang berusia antara 75 90 tahun, dan 2 responden (5,6%) dengan kategori very old yang berusia antara >90 tahun.
123

124 Pada penelitian ini, jumlah responden lansia dengan dengan kategori elderly yang berusia antara 60 74 tahun menempati urutan paling besar yang mengalami nyeri sendi. Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden rematik diketahui dari total 20 responden, responden yang berusia 60 tahun 70 tahun sebanyak 16 responden (80%) dan responden yang berusia 71 tahun 80 tahun sebanyak 4 responden (20%). Penelitian ini juga terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang oleh Afifka Dyah Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukkan bahwa lansia dengan usia 61-75 tahun sebanyak 12 lansia (80%) dan lansia dengan usia 55 60 tahun sebanyak 3 lansia (20%). Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 mencatat estimasi jumlah penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2011 sebesar 5.901.728 dengan usia 60 64 tahun, 4.485.989 dengan usia 65 69 tahun, 3.087.132 dengan usia 70 74 tahun, dan 3.239.077 dengan usia 75 tahun.

125 Pada umumnya pengapuran terjadi pada mereka yang berusia di atas 45 tahun. Penyebabnya adalah proses penuaan alami. Secara medis, pada usia 60 tahun orang akan mengalami penggugusan tulang rawan (Heru Triyono, 2009). Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). Gesekan yang terus menerus menyebabkan nyeri sendi. Berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, diketahui jumlah lansia yang berusia 60 64 tahun lebih tinggi dibanding jumlah lansia yang berusia 75 tahun, hal ini menyebabkan lebih banyaknya data penderita nyeri sendi pada kategori usia elderly dibanding penderita nyeri sendi pada kategori usia old dan very old. Pada penelitian ini, kategori usia very old dan old mayoritas ditemukan penderita nyeri sendi yang mengalami nyeri kronis (lebih dari 6 bulan) dengan perilaku negatif, seperti: kekurangan minat untuk berkomunikasi, paranoid, menarik diri, dan tidak tertarik pada aktivitas fisik, sehingga sulit bagi peneliti untuk melakukan pengajian data. Hal ini kemungkinan disebabkan sulit bagi lansia untuk mengomunikasikan nyeri karena nyeri adalah perasaan subjektif. Lansia mungkin segan untuk mengatakan bahwa mereka mengalami nyeri (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 289). Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).

126 b. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi menurut jenis kelamin yang diperoleh dari 36 responden penderita nyeri sendi, sebanyak 24 responden (66,7%) berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 12 responden (33,3%) berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian ini, jumlah responden lansia perempuan menempati urutan paling besar yang mengalami nyeri sendi. Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden rematik diketahui dari total 20 responden, responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 responden (60%) dan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 responden (40%). Penelitian ini juga terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang oleh Afifka Dyah Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa lansia dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 9 lansia (60%) dan laki-laki sebanyak 6 lansia (40%). Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011 mencatat estimasi jumlah penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2011

127 sebesar 9.026.627 untuk perempuan dan 7.688.807 untuk laki-laki dengan usia masing-masing 60 tahun. Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa seseorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan esterogen meningkatkan pengenalan/sensitifitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34). Hormon yang menentukan massa tulang adalah hormon yang mengatur kadar kalsium dan plasma, misalnya hormon paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D; sedangkan yang lain mempengaruhi secara tidak langsung, misalnya hormon esterogen, androgen, insulin, dan tiroksin. Pada wanita, hormon esterogen merupakan penentu yang penting untuk kepadatan tulang. Penurunan esterogen meningkatkan aktivitas osteoklas sehingga kalsium tulang menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 86). Penurunan massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause (Hartono Taslim, 2001). Wanita pasca menopause memiliki laju demineralisasi tulang yang lebih besar daripada pria lansia (Patricia A. Potter, 2005: 736). Penurunan massa tulang mengakibatkan berkurangnya kepadatan tulang.

128 Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan mengakibatkan nyeri, deformitas, dan fraktur. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10) c. Lokasi Nyeri Sendi Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi menurut lokasi nyeri sendi yang diperoleh dari 36 responden penderita nyeri sendi, sebanyak 32 responden (11,1%) mengalami nyeri sendi ekstremitas bawah dan 24 responden (66,7%) mengalami nyeri sendi ekstremitas atas. Pada penelitian ini, jumlah responden dengan nyeri sendi ekstremitas bawah menempati urutan paling besar yang mengalami nyeri sendi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terkait jurnal STIKes RS. Baptis Volume 3, Edisi 1 Juli 2010, berjudul Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri oleh Yohanita Pamungkas. Stabilitas sendi bergantung pada permukaan sendi, ligamentum, dan tonus otot. Ligamentum fibrosa mencegah pergerakan sendi secara berlebihan. Kalau regangan terus berlangsung lama, ligamentum fibrosa akan teregang. Ligamentum elastis sebaliknya mengembalikan panjang asal setelah teregang, misalnya tulang pergerakan memegang peranan aktif dalam menyokong sendi dan membantu mengembalikan tulang pada posisi asal setelah melakukan pergerakan (Syaifuddin, 2006: 70 71). Pada penuaan terjadi perubahan fisiologis pada sistem muskuloskletal sendi, yaitu jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan

129 mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya, kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya, dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). Sendi ekstremitas bawah terutama sendi pinggul dan lutut adalah dua sendi yang paling sering terasa nyeri karena paling banyak menerima beban (Indonesia Hip and Knee Society, 2007). d. Tingkat Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia Sebelum Diberikan Stretching dan Kompres Hangat di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Berdasarkan hasil penelitian sebelum diberikan kompres hangat dan stretching didapatkan sebanyak 18 responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala sedang 10 orang (55,6%), sedangkan

130 untuk skala ringan dan berat masing-masing 7 orang (38,9%) dan 1 orang (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan. Pada kelompok kontrol dengan total 18 responden, 10 orang (55,6%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-masing 7 orang (38,9%) dan 1 orang (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan. Penelitian ini terkait dengan jurnal STIKes RS. Baptis Volume 3, Edisi 1 Juli 2010, berjudul Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri oleh Yohanita Pamungkas. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 7 responden (20%) dengan nyeri ringan, 20 responden (51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri parah. Lansia mengalami proses menua (aging) yaitu proses yang terus-menerus (berlanjut secara alamiah) yang dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup (Nugroho, 2000: 13). Pada proses penuaan ini disertai oleh adanya penurunan kondisi, biologis, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Pudjiastuti, 2000: 4). Pada penuaan terjadi perubahan fisiologis pada sistem muskuloskletal, antara lain: kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi

131 bentangan cross linking yang tidak teratur; Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap;

Berkurangnya kepadatan tulang; Penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan lemak pada otot; Dan jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen, dan fasia mengalami penurunan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 8 17) Perubahan-perubahan yang terjadi mengakibatkan peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9) International Association for Study of Pain (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 2) Pada kelompok intervensi, 7 orang mengalami skala nyeri ringan (skala 2) yang artinya rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit. Sedangkan 10 orang mengalami skala nyeri sedang (skala 3) yang artinya keluhan seperti pada derajat 2 (skala 2), ditambah keluhan tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu dan satu orang mengalami skala nyeri berat (skala 4) yang

132 artinya nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 63 64) e. Tingkat Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia Setelah Diberikan Stretching dan Kompres Hangat di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013 Berdasarkan hasil penelitian sebelum diberikan kompres hangat dan stretching didapatkan sebanyak 18 responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala minimal 10 orang (55,6%), sedangkan untuk skala sedang, ringan dan berat masing-masing 4 orang (22,2%), 3 orang (16,7%), dan satu orang (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 1,78 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 1 atau minimal. Pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching dengan total 18 responden, 15 orang (83,3%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-masing 2 orang (11,1%) dan satu orang (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,94 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan. Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa

133 karakteristik responden rematik sesudah dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0,20, yaitu tidak nyeri dengan skala nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%). Mc. Caffery dalam Anas Tamsuri (2006: 43), berbagai tindakan dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri. Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan pengobatan). Kompres hangat merupakan stimulasi fisik berupa stimulasi kulit dengan panas. Stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunkan nyeri yang efektif. Tindakan ini mengalihkan perhatian klien sehingga klien berfokus pada stimulus taktil dan mengabaikan sensasi nyeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan persepsi nyeri. (Anas Tamsuri, 2006: 51) Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh tertentu yang memerlukannya. (Mery Fanada dan Widyaiswara Muda, 2012) Kompres panas selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan. (Anas Tamsuri, 2006: 54) Stretching merupakan bentuk dari penguluran dan peregangan pada otototot disetiap anggota badan biasanya dilakukan sebelum atau setelah berolahraga. Kegiatan ini bertujuan membuat otot dan persendian menjadi fleksibel dan elastik. Sehingga menjadi lebih mudah pada saat melakukan (farmakologis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa

134 pergerakan dan dapat mengurangi dampak cidera yang timbul saat berolahraga. (Ukas Danaria, 2011)

2.

Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan skala nyeri intervensi yang mendapatkan kompres hangat dan stretching dengan total 18 responden, sebanyak 13 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (72,2%), 4 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (22,2%), dan 1 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (5,6%). Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat dan stretching dengan total 18 responden, sebanyak 0 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 13 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (72,2%), dan 5 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (27,8%). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,000 (p value < 0,05) maka Ho ditolak, berarti ada penurunan skala nyeri sendi yang signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, ada pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terkait dari jurnal STIKes RS. Baptis Volume 3, Edisi 1 Juli 2010, berjudul Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri oleh Yohanita Pamungkas. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan

135 gerak kaki (stretching) terdapat 7 responden (20%) dengan nyeri ringan, 20 responden (51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri parah. Setelah dilakukan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 33 responden (94,2%) yang mengalami penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah. Hasil uji statistik Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kemaknaan p = 0,00, hal ini berarti terdapat pengaruh latihan gerak kaki (stretching) terhadap penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah pada lansia di posyandu lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri. Penelitian ini terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang oleh Afifka Dyah Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa senam lansia efektif untuk mengatasi nyeri lutut pada lansia. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa lansia dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 9 lansia (60%) dan laki-laki sebanyak 6 lansia (40%). Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukkan bahwa lansia dengan usia 61-75 tahun sebanyak 12 lansia (80%) dan lansia dengan usia 55 60 tahun sebanyak 3 lansia (20%). Hasil penelitian sesudah dilakukan terapi senam lansia menunjukkan bahwa sebesar 86,7% lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33% lansia mempunyai skala nyeri 1 atau skala nyeri ringan. Hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti sig<=(0,05). Nilai signifikansi 0,001 < 0,05 artinya hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian terapi senam lansia efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia. Pemberian terapi senam lansia ini dapat

136 digunakan oleh siapapun tanpa mengeluarkan uang. Sebagai perawat komunitas terapi senam lansia dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan kesehatan lansia di suatu instansi. Terapi senam lansia efektif dalam mengurangi nyeri lutut pada lansia. Penelitian ini juga terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden rematik diketahui yang tidak sekolah yaitu 35% dan berpendidikan rendah yaitu 65%, yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan dengan yang bekerja yaitu 85%, dan umur responden semua 60 tahun, serta karakteristik jenis kelamin laki-laki 40% dan perempuan 60%. Tingkat nyeri rematik pada lansia sebelum dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 2.45, yaitu nyeri lebih menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 11 responden (55%) kemudian nyeri lebih menyakitkan lagi dengan skala nyeri 3 sebanyak 9 responden (45%). Tingkat nyeri rematik pada lansia sesudah dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0.20, yaitu tidak nyeri dengan skala nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%). Berdasarkan uji statistik menunjukkan ( value = 0.000, = 0.05), maka didapatkan ada perbedaan yang signifikan antara pengukuran tingkat nyeri sebelum dilakukan kompres hangat dengan pengukuran nyeri sesudah dilakukan kompres hangat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan kompres hangat yang dilakukan sesuai dengan

137 aturan dapat menurunkan tingkat nyeri pada lansia yang mengalami nyeri rematik. Hal ini disebabkan karena kompres hangat selain memberi efek mengatasi atau menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis antara lain: meningkatkan respons inflamasi, meningkatkan aliran darah dalam jaringan, dan meningkatkan pembentukan edema (Anas Tamsuri, 2006: 54). Menurut Audrey Berman (2009: 402) Efek fisiologis kompres panas, antara lain: vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan

metabolisme selular, merelaksasi otot, meningkatkan inflamasi; meningkatkan aliran darah ke suatu area, meredakan nyeri dengan merelaksasi otot, efek sedatif, dan mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan sinovial. Stretching atau peregangan adalah penghubung penting antara kehidupan statis dan kehidupan aktif, yang membuat otot tetap lentur, membuat siap bergerak dan membantu tubuh beralih dari kehidupan kurang gerak ke aktivitas banyak gerak tanpa menimbulkan ketegangan (Anderson, 2008: 11). Peregangan yang teratur akan membuahkan hasil-hasil sebagai berikut: mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks; membantu koordinasi dengan melakukan gerakan yang lebih bebas dan lebih mudah; memperluas rentang gerak; membantu mencegah cedera seperti kram otot (Otot yang kuat dan lentur dapat menahan beban lebih baik daripada otot kuat tapi kaku); membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis, berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena peregangan akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas; membantu mempertahankan tingkat

138 kelenturan Anda, sehingga dengan berjalannya waktu, Anda tidak akan menjadi semakin kaku; membangun kesadaran akan tubuh Anda (ketika meregangkan berbagai bagian tubuh, Anda akan terfokus pada bagian-bagian tersebut dan berkomunikasi dengannya, Anda mulai mengenali diri sendiri); membantu mengendurkan kendali pikiran atas tubuh, sehingga tubuh bergerak demi dirinya sendiri dan bukan untuk kompetisi atau ego; merasa nyaman (Bob Anderson, 2008: 14). Selain dapat menurunkan sensasi nyeri kompres hangat juga dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan (Anas Tamsuri, 2006: 54). Sedangkan stretching membuat otot-otot yang tegang akan berkurang dan mempertahankan atau meningkatkan kelenturan tubuh sehingga tubuh terasa lebih relaks. Selain itu rentang gerak lansia menjadi lebih luas sehingga membuat aktivitas yang berat menjadi lebih mudah dilakukan. Dengan adanya penurunan rasa nyeri sendi tersebut maka lansia dapat menjadi lebih aktif, produktif dan dapat menjalani masa tuanya dengan lebih nyaman (Yohana Pamungkas, 2010: 11).

3.

Pengaruh Usia Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan skala nyeri berdasarkan usia dengan total 36 responden, pada kelompok usia elderly (60 74 tahun) dengan total 23 responden, sebanyak 9 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (39,1%), 8 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (34,8%), dan 6 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (26,1%). Pada kelompok usia old (75 90 tahun) dengan total

139 11 responden, sebanyak 4 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (36,4%), 7 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (63,6%), dan 0 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%). Sedangkan pada kelompok usia very old (>90 tahun) dengan total 2 responden, sebanyak 0 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 2 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (100%), dan 0 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,941 (p value > 0,05) maka Ho diterima, berarti tidak ada penurunan skala nyeri sendi yang signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, tidak ada pengaruh usia terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori McCaffery dan Pasero (1999) dikutip dari Sigit Nian Prasetyo (2010: 33 37) yang menyatakan bahwa usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Hal ini kemungkinan dikarenakan masalah kesehatan fisiologis. Hampir 80% dewasa diatas 65 tahun mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis, salah satunya adalah kerusakan sensori (Patricia A. Potter, 2005: 743). Sulit bagi lansia untuk mengomunikasikan nyeri karena nyeri adalah perasaan subjektif. Lansia mungkin segan untuk mengatakan bahwa mereka mengalami nyeri, dan jika ya, laporannya sering tidak ditanggapi oleh pemberi perawatan kesehatan yang salah mempercayai bahwa lansia tidak dapat merasakan nyeri atau tidak mampu untuk menilainya. Oleh karena itu, nyeri mereka tidak

140 ditangani dengan baik atau bahkan tidak ditangani sama sekali (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 289). Lansia tidak memberitahukan nyerinya karena berbagai alasan; Mereka menyukai dokternya dan tidak ingin mengecewakannya, mereka tidak terbiasa mengeluh, dan mereka percaya bahwa nyeri adalah bagian normal dari penuaan (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 289). Laporan perubahan terkait usia terhadap presepsi nyeri masih kontroversial, dan baik profesi pelayanan kesehatan maupun orang awam percaya bahwa nyeri adalah bagian alami dari penuaan dan penyakit (Ferell dan Rivera, 1996 dikutip dari Patricia A. Potter, 2005: 744). Presepsi yang salah ini mengakibatkan nyeri tidak dilaporkan dan mencegah penggunaan tindakan penghilang nyeri yang sesuai untuk lansia (Patricia A. Potter, 2005: 744). Pada pasien lansia, seringkali memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34). Selain itu, faktor lain seperti ansietas yang bersifat kompleks dan keletihan seringkali meningkatkan persepsi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).

4.

Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan skala nyeri berdasarkan jenis kelamin dengan total 36 responden, pada laki-laki

141 dengan total 12 responden, sebanyak 6 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (50%), 3 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (25%), dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (25%). Sedangkan pada perempuan, sebanyak 7 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (29,2%), 14 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (58,3%), dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (12,5%). Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,878 (p value > 0,05) maka Ho diterima, berarti tidak ada penurunan skala nyeri sendi yang signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori yang mengatakan jenis kelamin berpengaruh terhadap toleransi nyeri seseorang. Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa seseorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan esterogen meningkatkan

pengenalan/sensitifitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).

142 Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri (Psychology, 2012). Setiap individu memiliki cara berespon terhadap nyeri yang berbeda. Seorang klien berkebangsaan Mexico-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau

mengaharapkan perawat melakukan intervensi (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35). Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 36). Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 37).

5.

Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan skala nyeri berdasarkan jenis kelamin dengan total 36 responden, pada sendi ekstremitas bawah dengan total 32 responden, sebanyak 12 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (50%), 15 responden mengalami

143 penetapan skala nyeri sendi (46,9%), dan 5 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (15,6%). Sedangkan pada sendi ekstremitas atas, sebanyak 1 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (25%), 2 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (50%), dan 1 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (25%). hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 1,000 (p value > 0,05) maka Ho diterima, berarti tidak ada penurunan skala nyeri sendi yang signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, tidak ada pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori yang mengatakan lokasi nyeri sendi berpengaruh terhadap toleransi nyeri seseorang. Hal ini dikarenakan nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lainlain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35). Perilaku klien dalam merespons nyeri ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk menoleransi nyeri dan juga oleh berat-ringannya sensasi nyeri itu sendiri. (Anas Tamsuri, 2006: 22). (ambang perbedaan nyeri ekstremitas bawah sama atas lbh bsr mn)

144 B. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari banyaknya keterbatasan yang dialami selama penelitian dilaksanakan, sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Adapun keterbatasan yang peneliti alami, yaitu: 1. Peneliti tidak meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi dan reaksi nyeri, seperti makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, serta dukungan keluarga dan sosial. 2. Peneliti tidak mengkaji secara detail apakah nyeri sendi yang ditimbulkan murni karena peradangan sendi atau kelainan pada sendi secara patologis, atau disebabkan pengaruh psikologis lansia, seperti depresi. 3. Peneliti tidak bisa menjamin para responden di kelompok intervensi dapat melakukan kompres hangat dan stretching secara mandiri dengan sempurna karena tidak diamati secara khusus. 4. Jumlah sample dalam penelitian ini masih terbatas, yaitu sebanyak 36 responden.

BAB VII PENUTUP

Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan hasil dari pembahasan mengenai penelitian secara sistematik yang berkaitan dengan upaya menjawab tujuan penelitian. A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013, dapat disimpulkan bahwa : 1. Hasil penelitian berdasarkan kategori usia menunjukan bahwa dari total 36 responden, 23 responden (63,9%) dengan kategori elderly (60 74 tahun), 11 responden (30,6%) dengan kategori old (75 90 tahun), dan 2 responden (5,6%) dengan kategori very old (> 90 tahun). 2. Hasil penelitian berdasarkan kategori jenis kelamin menunjukan bahwa dari total 36 responden, 24 responden (66,7%) berjenis kelamin perempuan dan 12 responden (33,3%) berjenis kelamin laki-laki. 3. Hasil penelitian berdasarkan kategori lokasi nyeri sendi menunjukan bahwa dari total 36 responden, 32 responden (11,1%) mengalami nyeri sendi ektremitas bawah dan 4 responden (88,9 %) mengalami nyeri sendi ekstremitas atas.

145

146

4.

Hasil penelitian berdasarkan kategori lokasi nyeri sendi sebelum dilakukan kompres hangat dan stretching menunjukan bahwa dari total 36 responden, 18 responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi skala sedang 10 responden (55,6%), skala ringan 7 responden (38,9%), dan skala berat 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan. Pada kelompok kontrol dengan total 18 responden, 10 responden (55,6%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang, skala ringan 7 responden (38,9%), dan skala berat 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.

5.

Hasil penelitian berdasarkan kategori lokasi nyeri sendi menunjukan bahwa setelah dilakukan kompres hangat dan stretching dari total 36 responden, 18 responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala minimal 10 responden (55,6%), skala sedang 4 responden (22,2%), skala

ringan 3 responden (16,7%), dan skala berat 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 1,78 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 1 atau minimal. Pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching dengan total 18 responden, 15 responden (83,3%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang, skala ringan 2 responden (11,1%) dan skala berat 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,94 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.

146

147

6.

Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,000 (p value < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.

7.

Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,941 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh usia terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

8.

Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,878 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

9.

Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 1,000 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

B. Saran Ada beberapa hal yang dapat disarankan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagi praktisi kesehatan agar dapat menjadikan kompres hangat dan stretching sebagai salah satu alternatif tatalaksana pada pasien dengan nyeri sendi.

147

148

2.

Bagi pelayanan keperawatan komunitas, dengan adanya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan dalam menangani lansia dengan nyeri sendi di masyarakat.

3.

Untuk peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi.

148

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar, dkk. (2010). Penyakit di Usia Tua. Jakarta: EGC Anderson, Bob. (2008). Stretching. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta Ayu, Afifka Dyah, dkk. (2012). Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang. Jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro, 1, 60 65. Diunduh pada 24 Februari 2013 melalui http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jnursing/article/view/163 Azizah, Lilik Marifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu Berman, Audrey, dkk. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. (Edisi 5). Jakarta: EGC Davies, Kim. (2007). Buku Pintar Nyeri Tulang dan Otot. Jakarta: Erlangga Fanada, Mery, dkk. (2012). Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Pati Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Diunduh pada 22 Maret 2013 melalui http://www.banyuasinkab.go.id/tampung/dokumen/dokumen-15-50.pdf Gaib, Malonda. (2011). Uji Kai Kuadrat (Chi Square Test). Diunduh pada 14 Maret 2013 melalui http://statistik-kesehatan.blogspot.com/2011/04/uji-kai-kuadrat-chisquare-test.html Hidayat, A. Aziz Alimul. (2011). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika Indonesia Hip and Knee Society. 2007. Jenis Sakit Nyeri Sendi. Diunduh pada 10 Juni 2013 melalui http://www.sakitsendi.info/artikel/78-jenis-sakit-nyeri-sendi.html Kasjono, Heru Subaris, dkk. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia 2011. Diunduh pada 10 Maret 2013 melalui http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_INDONE SIA_TAHUN_2011.pdf Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika
149

Laboratorium Gunadarma. (2010). Modul Praktikum Materi Chi Square. Diunduh pada 14 Maret 2013 melalui http://ma-dasar.lab.gunadarma.ac.id/wpcontent/uploads/2010/01/Modul-Chi-Square.pdf Lukman, dkk. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika Majalah Kesehatan (2011). 5 Penyebab Umum Nyeri Sendi. Diunduh pada 8 Maret 2013 melalui http://majalahkesehatan.com/5-penyebab-umum-nyeri-sendi/ Maria, Eva. (2008). Pengaruh Teknik Distraksi (Mendengarkan Musik) Terhadap penurunan Nyeri saat Menstruasi Hari Ke 1 pada Mahasiswa PSIK UMY. Skripsi master tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia. Diunduh melalui http://digilib.fk.umy.ac.id/gdl.php?mod=bookmark&id=yoptumyfkpp-gdlhasnahrimi-323 Nian Prasetyo, Sigit. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Graha Ilmu Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Pamungkas, Yohanita. (2010). Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri. Jurnal STIKes RS Baptis, 3, 8 12. Diunduh pada 8 Maret 2013 melalui http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/stikes/article/view/18443 Pearce, C. Evelyn. (2010). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Psychology. (2012). Faktor yang Mempengaruhi Nyeri. Diunduh pada 10 Juni 2013 melalui http://www.psychologymania.com/2012/08/faktor-yang-mempengaruhinyeri.html Potter, Patricia A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik (Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice). (Edisi 4). Jakarta: EGC Pudjiastuti, Sri Surini, dkk. (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
150

Stanley, Mickey, dkk. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. (Edisi 2). Jakarta: EGC Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. (Edisi 3). Jakarta. EGC Hastono, Sutanto Priyo. (2010). Analisis Data Kesehatan. Jakarta: FKUI Tamsuri, Anas. (2006). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC Taslim, Hartono. (2001). Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut. Diunduh pada 10 Juni 2013 melalui http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072001/pus-1.htm Ukas Danaria (2011). Peregangan (Stretching). Diunduh pada 8 Maret 2013 melalui http://yukez.wordpress.com/2011/03/13/peregangan-stretching/ Wijayanto, Andi. (2009). Uji Chi Square. Diunduh pada 14 Maret 2013 melalui http://eprints.undip.ac.id/6796/1/CHI-KUADRAT.pdf

151

LAMPIRAN

Lampiran 3

PENJELASAN PENELITIAN

Kepada : Yth. Saudara/i diRW 03 Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur

Bersama ini disampaikan bahwa dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di Program Sarjana Ilmu Keperawatan STIKES PERTAMEDIKA, maka saya : Nama NPM Alamat Nomor telephone Alamat email : Itjmi Ayoe Feryani : 09028 : Asrama Palad GUPUSMU III RT 01/03 No. D13, Jak-Tim : 085710071060 : bloodygaara172@yahoo.com

Bermaksud mengadakan penelitian skripsi berjudul Pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

Penelitian ini tidak akan menimbulkan kerugian dan pengaruh apapun. Hal tersebut karena semua informasi dan kerahasiaan identitas yang diberikan akan dijaga dan hanya

digunakan untuk penelitian ini semata. Jika saudara/i telah menjadi responden dan terjadi hal-hal yang menimbulkan ketidaknyamanan maka saudara/i diperkenankan untuk mengundurkan diri dari penelitian dengan memberi informasi kepada peneliti. Saudara/i tidak mendapat manfaat secara langsung dalam penelitian ini, tetapi penelitian ini sangat bermanfaat bagi perbaikan pelayanan dan pengembangan keilmuan keperawatan.

Saya sangat mengharapkan agar saudara/i berkenan menjadi responden dan mengisi lembar persetujuan. Atas perhatian dan kesediaannya saya ucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 10 April 2013 Peneliti

Itjmi Ayoe Feryani

Lampiran 4

SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN

Judul Penelitian : Pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 Peneliti NPM Asal : Itjmi Ayoe Feryani : 09028 : Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Keperawatan STIKES

PERTAMEDIKA

Dengan ini saya memberikan persetujuan untuk menjadi reponden dalam penelitian ini. Saya mengetahui bahwa saya menjadi bagian dari penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.

Saya mengetahui bahwa tidak ada resiko yang akan saya alami dan saya diberitahukan tentang adanya jaminan kerahasiaan informasi yang diberikan. Saya juga memahami bahwa penelitian ini bermanfaat bagi pelayanan keperawatan.

Jakarta, 10 April 2013 Tanda Tangan Peneliti Tanda Tangan Responden

Itjmi Ayoe Feryani

_____________________

Lampiran 5 Tanggal Kode Responden

LEMBAR KUESIONER
Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi pada Lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013

Petunjuk Pengisian: 1. 2. 3. Bacalah setiap pertanyaan dengan cermat sebelum memberi jawaban. Berilah tanda () pada kolom yang tersedia sesuai dengan keadaan Saudara saat ini. Tidak perlu menggunakan penghapus atau tipe-x untuk jawaban yang salah tetapi cukup beri tanda silang (X) pada jawaban yang salah dan memberi tanda () kembali pada jawaban yang dianggap benar. 4. 5. Dimohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pernyataan. Saudara dapat bertanya langsung kepada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak jelas atau ada kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini.

DATA DEMOGRAFI

1.

Usia

60 74 tahun 75 90 tahun

>90 tahun

2. 3. 4.

Jenis kelamin Tekanan darah

: :

Laki-laki

Perempuan

Saudara sedang merasakan nyeri sendi Ya Tidak

5.

Pada sendi bagian mana yang terasa nyeri? Sendi ekstrimitas atas (sendi tubuh bagian atas), antara lain : sendi anggota gerak atas (termasuk sendi bahu dan sendi siku), sendi tangan dan jari tangan. Sendi ekstrimitas bawah (sendi tubuh bagian bawah), antara lain : sendi panggul, sendi lutut, sendi pergelangan kaki, dan sendi telapak kaki. Seluruh sendi : ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah.

6.

Saudara mengalami nyeri sendi selama: <6 bulan >6 bulan

7.

Apakah Saudara sedang mengalami salah satu hal di bawah ini: Gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi (darah tinggi), stroke,

dekompensasio kordis (pembesaran jantung), kelainan katup jantung, dan angina pektoris (nyeri dada disertai sesak).

Mengalami komplikasi, seperti fraktur (patah tulang), tumor ganas terlokalisasi, perdarahan aktif, edema non inflamasi (bengkak), gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau melepuh, dan deformitas (perubahan bentuk tubuh). Menjalani terapi medis (terapi dokter) maupun tradisional (terapi alternatif). Mengkonsumsi obat pereda nyeri. Tidak mengalami salah satu di atas

LEMBAR OBSERVASI KELOMPOK PERLAKUAN (PRE/POST)

1. 2. 3. 4. 5.

Nama Usia Jenis kelamin

: : :

Tekanan darah : Alamat :

6. 7. 8.

Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada awal penelitian: Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada akhir penelitian: Pengukuran skala nyeri responden berdasarkan skala nyeri lima tingkat menurut Sri Surini Pudjiastuti tahun 2003 (responden merasakan nyeri yang dialaminya berada pada suatu skala), dengan kriteria:

SKALA NYERI MENURUT SRI SURINI PUDJIASTUTI (2003) () Skala 0 Karakteristik Tidak nyeri; tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan aktivitas. 1 Minimal; istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul sewaktu bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat terasa sakit. 2 Ringan; rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit.

Sedang; keluhan seperti pada derajat 2, ditambah keluhan tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu.

Berat; nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.

Jakarta, Observer

2013

(Itjmi Ayoe Feryani)

LEMBAR OBSERVASI KELOMPOK KONTROL (PRE/POST)

1. 2. 3. 4. 5.

Nama Usia Jenis kelamin

: : :

Tekanan darah : Alamat :

6. 7. 8.

Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada awal penelitian: Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada akhir penelitian: Pengukuran skala nyeri responden berdasarkan skala nyeri lima tingkat menurut Sri Surini Pudjiastuti tahun 2003 (responden merasakan nyeri yang dialaminya berada pada suatu skala), dengan kriteria:

SKALA NYERI MENURUT SRI SURINI PUDJIASTUTI (2003) () Skala 0 Karakteristik Tidak nyeri; tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan aktivitas. 1 Minimal; istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul sewaktu bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat terasa sakit. 2 Ringan; rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit.

Sedang; keluhan seperti pada derajat 2, ditambah keluhan tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu.

Berat; nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.

Jakarta, Observer

2013

(Itjmi Ayoe Feryani)

Lampiran 7

WAKTU PENELITIAN

Bulan ke 2012 Kegiatan 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2013

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal Penyusunan instrumen Persiapan lapangan Uji coba

instrumen Pengumpulan data Pengolahan data Analisis data Penyusunan laporan

Lampiran 8

OUTPUT DATA SPSS

Frequencies
Statistics

Lokasi Nyeri Usia Jenis Kelamin Responden

Skala Nyeri Pretest

Skala Nyeri Postest

Valid

36

36

36

36

36

Missing Mean Std. Error of Mean Median Mode Std. Deviation Skewness Std. Error of Skewness Minimum Maximum Percentiles 25 50 75

0 1.42 .101 1.00 1 .604 1.164 .393 1 3 1.00 1.00 2.00

0 1.67 .080 2.00 2 .478 -.738 .393 1 2 1.00 2.00 2.00

0 1.89 .053 2.00 2 .319 -2.584 .393 1 2 2.00 2.00 2.00

0 2.67 .098 3.00 3 .586 .201 .393 2 4 2.00 3.00 3.00

0 2.36 .160 3.00 3 .961 -.399 .393 1 4 1.00 3.00 3.00

Lampiran 9

Frequency Table
Usia

Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid

Elderly (60 - 74 tahun)

23

63.9

63.9

63.9

Old (75-90 tahun)

11

30.6

30.6

94.4

Very Old (>90 tahun)

5.6

5.6

100.0

Total

36

100.0

100.0

Jenis Kelamin

Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid

Laki-laki

12

33.3

33.3

33.3

Perempuan

24

66.7

66.7

100.0

Total

36

100.0

100.0

Lokasi Nyeri Responden

Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid

Sendi Ekstremitas Atas

11.1

11.1

11.1

Sendi Ekstremitas Bawah

32

88.9

88.9

100.0

Total

36

100.0

100.0

Lampiran 10

Skala Nyeri Pretest

Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid

14

38.9

38.9

38.9

20

55.6

55.6

94.4

5.6

5.6

100.0

Total

36

100.0

100.0

Skala Nyeri Postest

Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid

10

27.8

27.8

27.8

13.9

13.9

41.7

19

52.8

52.8

94.4

5.6

5.6

100.0

Total

36

100.0

100.0

Lampiran 11

Crosstabs
Case Processing Summary

Cases Valid N Percent N Missing Percent N Total Percent

Kode Intervensi * kategori

36

100.0%

.0%

36

100.0%

Kode Intervensi * kategori Crosstabulation Count kategori

Menurun

Tetap

Meningkat

Total

Kode Intervensi

Kelompok Perlakuan

13

18

Kelompok Kontrol Total

0 13

13 17

5 6

18 36

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2Value


a

Df

sided)

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association

20.431

2 2 1

.000 .000 .000

25.950 15.929

Lampiran 12

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2Value


a

Df

sided)

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

20.431

2 2 1

.000 .000 .000

25.950 15.929 36

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,00.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Kode Intervensi (Kelompok Perlakuan / Kelompok Kontrol) a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
a

Lampiran 13

NPar Tests Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Frequencies

Kode Intervensi

kategori

Kelompok Perlakuan

18

Kelompok Kontrol

18

Total

36

Test Statistics

kategori

Most Extreme Differences

Absolute

.722

Positive

.722

Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kode Intervensi

.000 2.167 .000

Lampiran 14

Crosstabs
Case Processing Summary

Cases Valid N Percent N Missing Percent N Total Percent

Jenis Kelamin * kategori

36

100.0%

.0%

36

100.0%

Jenis Kelamin * kategori Crosstabulation Count kategori

Menurun

Tetap

Meningkat

Total

Jenis Kelamin

Laki-laki

12

Perempuan Total

7 13

14 17

3 6

24 36

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2Value


a

Df

sided)

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association

3.594

2 2 1

.166 .155 .740

3.722 .110

Lampiran 15

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2Value


a

Df

sided)

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

3.594

2 2 1

.166 .155 .740

3.722 .110 36

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,00.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Jenis Kelamin (Laki-laki / Perempuan)

a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.

Lampiran 16

NPar Tests Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Frequencies

Jenis Kelamin

kategori

Laki-laki

12

Perempuan

24

Total

36

Test Statistics

kategori

Most Extreme Differences

Absolute

.208

Positive

.125

Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Jenis Kelamin

-.208 .589 .878

Lampiran 17

Crosstabs
Case Processing Summary

Cases Valid N Percent N Missing Percent N Total Percent

Usia * kategori

36

100.0%

.0%

36

100.0%

Usia * kategori Crosstabulation Count kategori

Menurun

Tetap

Meningkat

Total

Usia

Elderly (60 - 74 tahun)

23

Old (75-90 tahun)

11

Very Old (>90 tahun) Total

0 13

2 17

0 6

2 36

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2Value


a

Df

sided)

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio

6.733

4 4

.151 .057

9.163

Lampiran 18

Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

.183 36

.669

a. 6 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,33.

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Usia (Elderly (60 - 74 tahun) / Old (75-90 tahun)) a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
a

NPar Tests Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Frequencies

Usia

kategori

Elderly (60 - 74 tahun)

23

Very Old (>90 tahun)

Total

25

Lampiran 19
a

Test Statistics

kategori

Most Extreme Differences

Absolute

.391

Positive

.391

Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Usia

-.261 .531 .941

Crosstabs
Case Processing Summary

Cases Valid N Percent N Missing Percent N Total Percent

Lokasi Nyeri Responden * kategori

36

100.0%

.0%

36

100.0%

Lampiran 20

Lokasi Nyeri Responden * kategori Crosstabulation Count kategori

Menurun

Tetap

Meningkat

Total

Lokasi Nyeri Responden

Sendi Ekstremitas Atas

Sendi Ekstremitas Bawah Total

12 13

15 17

5 6

32 36

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2Value


a

df

sided)

Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

.349

2 2 1

.840 .842 .561

.343 .338 36

a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,67.

Lampiran 21

Risk Estimate

Value

Odds Ratio for Lokasi Nyeri Responden (Sendi Ekstremitas Atas / Sendi Ekstremitas Bawah) a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
a

NPar Tests Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Frequencies

Lokasi Nyeri Responden

kategori

Sendi Ekstremitas Atas

Sendi Ekstremitas Bawah

32

Total

36

Lampiran 22
a

Test Statistics

kategori

Most Extreme Differences

Absolute

.125

Positive

.125

Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Lokasi Nyeri Responden

.000 .236 1.000

Anda mungkin juga menyukai