Anda di halaman 1dari 650

Dr. H.

Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

iii

Mohammad Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Kata Pengantar

MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam Sejahtera, Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla (JK) sudah memasuki tahun kelima yang merupakan tahun terakhir dari periode pemerintahan. Berarti sudah empat tahun Kabinet Indonesia Bersatu dengan didukung oleh seluruh komponen bangsa bekerja untuk mewujudkan cita-cita Pembangunan Nasional. Sebagai landasan dalam menjalankan pemerintahan selama 5 tahun, telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005. Dalam RPJMN 2004-2009. Terdapat tiga Agenda besar yang merupakan penjabaran visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga agenda tersebut adalah (1) Menciptakan Indonesia yang Aman dan Damai, (2) Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis, serta (3) Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini merupakan dasar bagi pemerintah dalam menyusun pembangunan tahunan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Selain itu RPJMN ini juga merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah sesuai dengan aspek-aspek yang relevan dengan situasi dan kondisi serta aspirasi masyarakat di masing-masing daerah. Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dibuat untuk melihat seberapa jauh hasil-hasil yang telah dicapai selama 4 tahun terakhir. Hasil evaluasi ini akan digunakan pula sebagai masukan dalam penyusunan RPJMN 2010-2014.

vii

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Usaha, kerja keras, serta kesungguhan pemerintah dalam rangka mewujudkan tiga agenda besar tersebut telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin dari tercapainya sasaran agenda pertama, seperti semakin terciptanya keamanan yang stabil serta menurunnya ketegangan antar golongan masyarakat di daerah rawan konik. Capaian sasaran agenda kedua juga telah menunjukkan banyak kemajuan, seperti membaiknya indeks persepsi korupsi, lancarnya pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah yang menggambarkan bahwa proses demokrasi berlangsung dengan baik, serta pembenahan sistem hukum yang terus menerus dilakukan. Capaian sasaran agenda ketiga juga sudah menunjukkan banyak kemajuan, walaupun masih perlu ditingkatkan. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya taraf pendidikan penduduk yang tercermin dari semakin meningkatnya APM SD, APK SMP, dan juga APK SMA. Selain itu, taraf kesehatan masyarakat juga semakin meningkat yang ditunjukkan dengan semakin bertambahnya usia harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan, serta menurunnya prevalensi kurang gizi. Sementara itu, tingkat kemiskinan dan pengangguran walaupun sudah terjadi penurunan namun masih diperlukan upaya-upaya yang lebih keras lagi. Sebagai penutup, saya ingin mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk melihat empat tahun kerja keras pemerintah secara berimbang. Kinerja 4 tahun Pemerintahan ini dapat menjadi bukti kesungguhan dan kemampuan Pemerintah berserta seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu untuk mewujudkan visi dan misi Pembangunan yang telah dicanangkan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Pemerintah berkeyakinan bahwa bersama-sama kita telah menata perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Jakarta, April 2009 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

H. Paskah Suzetta

viii

Daftar Isi

Pengantar ............................................................................................................................. vii Daftar Isi .............................................................................................................................. ix

Daftar Tabel............................................................................................................................. xii Daftar Gambar ........................................................................................................................ xv Daftar Kotak........................................................................................................................... xvi BAGIAN 1 PENDAHULUAN
Bab 1.1 Bab 1.2 Bab 1.3 Bab 1.4 Bab 1.5 Visi RPJMN 2004-2009......................................................................................... 3 Misi RPJMN 2004-2009........................................................................................ 4 Strategi RPJMN 2004-2009 .................................................................................. 6 Agenda RPJMN 2004-2009................................................................................... 6 Permasalahan dan Tantangan............................................................................... 8

BAGIAN 2 AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI


Bab 2.1 Bab 2.2 Bab 2.3 Bab 2.4 Bab 2.5 Bab 2.6 Bab 2.7 Bab 2.8 Pengantar Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai .................15 Peningkatan Rasa Saling Percaya dan Harmonisasi Antarkelompok Masyarakat................................................................................19 Pengembangan Kebudayaan yang Berlandaskan pada Nilai-nilai Luhur...................................................................................................29 Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas.............................................................................39 Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme .................................................49 Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme .....................................................57 Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional .....................................................................................75
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara ..................................................65

BAGIAN 3 AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS


Bab 3.1 Bab 3.2 Bab 3.3 Pengantar Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis............87 Pembenahan Sistem dan Politik Hukum ............................................................91 Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk .........................................99

ix

Daftar Isi

Bab 3.4 Bab 3.5 Bab 3.6 Bab 3.7 Bab 3.8

Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan Atas Hukum dan Hak Asasi Manusia ............................................................................................107 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ............................................................117 Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah.................................135 Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa ..........................161 Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh .....................................169

BAGIAN 4 AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


Bab 4.1 Bab 4.2 Bab 4.3 Bab 4.4 Bab 4.5 Bab 4.6 Bab 4.7 Bab 4.8 Bab 4.9 Pengantar Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat ...............................181 Penanggulangan Kemiskinan............................................................................189 Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas..................................................215 Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur ................................................241 Revitalisasi Pertanian ........................................................................................249 Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah..................263 Peningkatan Pengelolaan BUMN ......................................................................275 Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi .........................281 Peningkatan Iklim Ketenagakerjaan.................................................................289

Bab 4.10 Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro ...........................................................301 Bab 4.11 Pembangunan Perdesaan ..................................................................................317 Bab 4.12 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah........................................343 Bab 4.13 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas ........373 Bab 4.14 Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas.................................................................................................387 Bab 4.15 Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial......................................405 Bab 4.16 Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga ..............................................................................417
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bab 4.17 Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama ....................................................441

Daftar Isi

Bab 4.18 Perbaikan Pengelolaan SDA dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup .............................................................453 Bab 4.19 Percepatan Pembangunan Infrastruktur .........................................................495 Bab 4.20 Penangggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana ......................................591

BAGIAN 5

PENUTUP
Bab 5.1 Penutup ..............................................................................................................615

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

xi

Daftar Tabel

Tabel 2.4.1. Tabel 2.5.1. Tabel 2.6.1. Tabel 2.7.1. Tabel 3.4.1. Tabel 3.5.1. Tabel 3.5.2. Tabel 3.5.3. Tabel 3.6.1. Tabel 3.6.2. Tabel 3.6.3. Tabel 3.6.4. Tabel 3.6.5. Tabel 4.2.1. Tabel 4.3.1 Tabel 4.3.2.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sasaran Program dan Capaian Bidang Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas..........................................................47 Sasaran Program dan Capaian Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme .....................................................................................54 Sasaran Program dan Capaian Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan Terorisme ..........................................................................62 Sasaran Program dan Capaian Bidang Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara ................................................................................71 Sasaran Program dan Pencapaian Bidang Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan atas Hukum dan Hak Asasi Manusia..........................114 Angka Partisipasi Sekolah Usia 7-18 tahun..............................................................125 Angka Putus Sekolah .................................................................................................125 Sasaran Program dan Pencapaian Peningkatan Kualitas Hidup dan Peran Perempuan serta Perlindungan Anak............................131 Perkembangan Penetapan Peraturan Pelaksana Undang-undang mengenai Desentralisasi dan Otoda .........................................................................139 Peraturan Pelaksana Amanat UU No. 32/2004 yang Belum Selesai Ditetapkan .................................................................................139 Pencapaian Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah ....................................................................................................144 Hasil Evaluasi terhadap Perda dan Raperda mengenai Pajak dan Retribusi Daerah .......................................................................................146 Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN pada 2009...................................................156 Sasaran dan Pencapaian Penganggulangan Kemiskinan .........................................212 Tahapan Integrasi Instansi Pemerintah (Goverment Agency/GA) dengan Sistem NSW...................................................................................................219 Perkembangan Ekspor Nonmigas Indonesia Tahun 2008.......................................223 Peran Ekspor Pertanian, Industri, dan Pertambangan terhadap Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (2005-2008).........................................................224 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas .................236 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur................246

Tabel 4.3.3. Tabel 4.3.4. Tabel 4.4.1.

xii

Daftar Tabel

Tabel 4.5.1. Tabel 4.6.1. Tabel 4.7.1. Tabel 4.8.1. Tabel 4.9.1. Tabel 4.9.2. Tabel 4.9.3. Tabel 4.9.4. Tabel 4.10.1 Tabel 4.10.2. Tabel 4.11.1. Tabel 4.12.1. Tabel 4.13.1. Tabel 4.14.1. Tabel 4.15.1. Tabel 4.16.1 Tabel 4.18.1. Tabel 4.19.1. Tabel 4.19.2. Tabel 4.19.3. Tabel 4.19.4. Tabel 4.19.5.

Sasaran dan Capaian RPJMN 2004-2009 Bidang Revitalisasi Pertanian....................................................................................261 Sasaran dan Pencapaian Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ...........................................................................273 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Pengelolaan BUMN .....................................279 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi ...........................................................................286 Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT (2004-November 2005) ...............................290 Lapangan Kerja berdasarkan Status Pekerjaan (ribu orang)...................................295 Pengangguran Terbuka dalam RPJMN, RKP, dan Realisasinya...............................297 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Iklim Ketenagakerjaan................................299 Gambaran Ekonomi Makro .......................................................................................314 Struktur Ekonomi ......................................................................................................315 Sasaran dan Pencapaian Pembangunan Perdesaan..................................................339 Sasaran dan Pencapaian Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah ..............................................................................................371 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas .....................................................................385 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas ......................................................................403 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial ..................................................................................................414 Sasaran dan Pencapaian Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga..........................................436 Sasaran dan Pencapaian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup ...........................................480 Jalan Nasional Tahun 2005-2008 .............................................................................507 Capaian Pembangunan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan .................510 Sasaran dan Capaian Percepatan Pembangunan Infrastruktur (Transportasi) ............................................................521 Pencapaian Sasaran Pembangunan Infrastruktur Subsektor Sumberdaya Air Tahun 2005-2008 ...........................................................................538
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Jumlah Penumpang Angkutan Perintis/PSO 2003-2007........................................499

xiii

Daftar Tabel

Tabel 4.19.6. Tabel 4.19.7. Tabel 4.19.8. Tabel 4.19.9. Tabel 4.19.10. Tabel 4.19.11. Tabel 4.19.12. Tabel 4.20.1.

Sasaran dan Pencapaian Bidang Infrastruktur Pelayanan Energi ...........................548 Sasaran dan Pencapaian Bidang Infrastruktur Pelayanan Ketenagalistrikan ........557 Sasaran dan Pencapaian Bidang Infrastruktur Pelayanan Pos dan Telematika ....................................................................................................568 Pencapaian Sasaran Bidang Perumahan Periode 2005-2008 ..................................582 Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Cipta Karya Januari 2009.......................584 Pencapaian di Bidang Air Minum 2005-2007 ..........................................................586 Pencapaian Pengembangan Permukiman 2005-2007 .............................................587 Sasaran, Indikator, dan Capaian RPJMN 2004-2009 di Bidang Penanggulangan Bencana Perpres No. 30 Tahun 2005 Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Prov. NAD & Kep. Nias Prov. Sumut .................................608 Sasaran, Indikator, dan Capaian RPJMN 2004-2009 di Bidang Penanggulangan Bencana Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di DIY dan Jawa Tengah ..............................................611

Tabel 4.20.2

xiv

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Daftar Gambar

Gambar 2.4.1. Gambar 2.4.2. Gambar 3.5.1. Gambar 3.5.2. Gambar 3.5.3. Gambar 3.5.4. Gambar 3.5.5. Gambar 4.3.1. Gambar 4.3.2. Gambar 4.3.3. Gambar 4.9.1. Gambar 4.9.2. Gambar 4.9.3.

Tren Kejahatan Indonesia 2005-Maret 2008 .............................................................41 Kasus Tindak Pidana Narkoba 2003-2008.................................................................42 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan Dibandingkan dengan Laki-laki (2003-2008) ......................................121 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Perempuan Dibandingkan dengan Laki-laki (2003-2008) ......................................121 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (2005-2007) ..............................................123 Kasus Kekerasan terhadap Anak (2005-2007).........................................................123 Persentase Anak yang Bekerja (2005-2008).............................................................126

xv

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Angka Realisasi Investasi PMDN dan PMA 2005-2008...........................................221 Sasaran dan Realisasi Ekspor Nonmigas ..................................................................222 Perkembangan Pasar Ekspor Nonmigas ...................................................................224 Kondisi Ketenagakerjaan per Agustus 2008 ............................................................293 Keadaan Lapangan Pekerjaan Utama per Februari 2008 ........................................294 Jumlah Pekerja yang Terkena Dampak Krisis Perekonomian Global Posisi 31 Desember 2008 ..........................................................................................296 Gambar 4.10.1. Angka Inasi 2005-2008 ...........................................................................................306 Gambar 4.13.1. Capaian APK PAUD....................................................................................................377 Gambar 4.13.2. Capaian APM SD/MI/sederajat dan APK SMP/MTs/sederajat ...............................378 Gambar 4.13.3. Capaian APK SMA......................................................................................................378 Gambar 4.13.4. Capaian APK Perguruan Tinggi.................................................................................379 Gambar 4.16.1. Perkembangan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)................................................421 Gambar 4.16.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia ...........................................................422 Gambar 4.16.3. Perkembangan Pencapaian TFR ................................................................................423 Gambar 4.16.4. Grak TFR Per Provinsi Berdasarkan Hasil SDKI 2007...........................................423 Gambar 4.16.5. Unmetneed Peserta KB Berdasarkan SDKI................................................................424 Gambar 4.16.6. Unmetneed per Provinsi Berdasarkan SDKI 2007 ....................................................424 Gambar 4.16.7. Perkembangan Peserta KB Pria Berdasarkan SDKI .................................................425 Gambar 4.16.8. Perkembangan Pemakaian Kontrasepsi Berdasar Jenis ..........................................426 Gambar 4.16.9. Grak Perkembangan Median Usia Kawin Pertama Menurut SDKI.......................426 Gambar 4.16.10. Grak Median Usia Kawin Pertama Menurut Desa-Kota........................................427 Gambar 4.16.11. Jumlah Institusi Masyarakat dalam Penyelenggaraan KB dan Kesehatan Reproduksi 2004-2009 ....................................................................428 Gambar 4.19.1. Produksi Jasa Angkutan Kereta Api .........................................................................511 Gambar 4.19.2. Jumlah Pelabuhan di Indonesia ................................................................................513

Daftar Kotak

Kotak 1

Dampak Pemekaran Daerah .....................................................................................154

xvi

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 1 Pendahuluan
Bab 1.1 Bab 1.2 Bab 1.3 Bab 1.4 Bab 1.5 Visi RPJMN 2004-2009 Misi RPJMN 2004-2009 Strategi RPJMN 2004-2009 Agenda RPJMN 2004-2009 Permasalahan dan Tantangan

Dok : Bappenas

Bagian 1

Pendahuluan
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional, maka sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005. Seiring dengan berjalannya waktu, pelaksanaan RPJMN 2004-2009 telah melewati tahun ke empat. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan dan tentu saja perlu dilihat seberapa jauh keberhasilan yang telah dicapai. Dengan demikian, untuk mengetahui dan menilai capaian yang telah dihasilkan perlu dilakukan evaluasi. Selain itu, hasil evaluasi juga merupakan bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun rencana pembangunan pada periode berikutnya atau RPJMN 2010-2014. Pelaksanaan Evaluai RPJMN ini merupakan amanat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan mencerminkan keadaan tenteram, tidak ada rasa takut dan khawatir. Adapun damai mengandung arti tidak terjadi konik, tidak ada kerusuhan keadaan tidak bermusuhan dan rukun dalam sistem negara hukum. KEDUA, terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia (HAM). Kondisi ini secara garis besar tercermin dengan keadaan Indonesia yang adil dan demokratis. Adil mengandung arti tidak berat sebelah atau memihak. Dari konteks adil ini, demokrasi kemudian menjadi pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua negara warga negara di depan hukum. Adil juga berarti berpihak kepada yang benar serta berpegang pada konstitusi dan hukum. KETIGA, terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Terciptanya kesejahteraan rakyat adalah salah satu tujuan utama pendirian negara Republik Indonesia. Sejahtera merupakan keadaan sentosa dan makmur yang diartikan sebagai keadaan yang berkecukupan atau tidak kekurangan, yang tidak saja memiliki dimensi sik atau materi, tetapi juga dimensi rohani.

Visi RPJMN 2004-2009


Dalam RPJMN 2004-2009, tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui Visi Pembangunan Nasional. Adapun Visi Pembangunan Nasional dalam RPJMN 2004-2009 ditetapkan sebagai berikut: PERTAMA, terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai. Aman mengandung makna bebas dari bahaya, ancaman dari luar negeri, dan gangguan dari dalam negeri. Selain itu aman juga

Terciptanya kesejahteraan rakyat adalah salah satu tujuan utama pendirian negara Republik Indonesia.

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

BAB 1.1.

BAB 1.2.
Misi RPJMN 2004-2009
Upaya pencapaian Visi Pembangunan Nasional dalam RPJMN 2004-2009 pada tahap berikutnya dikongkretkan ke dalam langkah-langkah strategis melalui sebuah penetapan Misi Pembangunan Nasional. Misi Pembangunan Nasional dalam RPJMN 20042009 meliputi: Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai Misi ini diwujudkan melalui Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai dengan 3 sasaran pokok. Sasaran pokok tersebut terdiri dari: SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya rasa aman dan damai melalui penetapan prioritas peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat; pengembangan kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur; serta peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas. SASARAN KEDUA adalah semakin kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika melalui penetapan prioritas pencegahan dan penanggulangan separatisme; pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme; dan peningkatan kemampuan pertahanan negara. SASARAN KETIGA adalah semakin berperannya Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia melalui penetapan prioritas pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade

Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis Misi ini diwujudkan melalui Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis dengan 5 sasaran pokok. Sasaran pokok tersebut terdiri dari: SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya keadilan dan penegakan hukum melalui penetapan prioritas Pembenahan Sistem Hukum Nasional dan Politik Hukum; serta Penghormatan, Pemenuhan, dan Penegakan atas Hukum dan

Pengakuan atas Hak Asasi Manusia (HAM). SASARAN KEDUA adalah terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan melalui penetapan prioritas Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya pelayanan kepada masyarakat melalui penetapan prioritas yang diletakkan pada revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah. SASARAN KEEMPAT adalah meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat melalui penetapan prioritas yang diletakkan pada penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa. SASARAN KELIMA adalah terlaksananya pemilihan umum (Pemilu) 2009 secara demokratis, jujur, dan adil melalui penetapan prioritas yang diarahkan pada optimalisasi fungsi hubungan antar lembaga, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kualitas partai-partai politik dan penyelenggaraan pemilu.

Bagian 1

Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera Misi ini diwujudkan melalui Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan 5 sasaran pokok. Sasaran pokok tersebut terdiri dari: SASARAN PERTAMA adalah menurunnya jumlah penduduk miskin serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga. Adapun prioritas yang ditetapkan dalam upaya pencapaian sasaran ini meliputi penanggulangan kemiskinan, peningkatan investasi dan ekspor non migas, peningkatan daya saing industri manufaktur, revitalisasi pertanian, pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), peningkatan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), perbaikan iklim ketenagakerjaan, dan pemantapan stabilitas ekonomi makro.

Misi ini diwujudkan melalui Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan 5 sasaran pokok
SASARAN KEDUA adalah berkurangnya kesenjangan antar wilayah melalui penetapan prioritas pembangunan yang mengarah pada pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh melalui penetapan prioritas pembangunan menuju pada peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas, peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial, pembangunan kependudukan, dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olahraga, serta peningkatan kualitas kehidupan beragama.

SASARAN KEEMPAT adalah membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan. Adapun prioritas yang ditetapkan dalam upaya pencapaian sasaran ini diletakkan pada perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup dengan kebijakan: (1) mengelola sumberdaya alam untuk dimanfaatkan secara esien, adil, dan berkelanjutan yang didukung dengan kelembagaan yang handal dan penegakan hukum yang tegas, (2) mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun; (3) memulihkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang rusak; (4) mempertahankan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih dalam kondisi baik untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan, serta meningkatkan mutu dan potensinya; serta (5) meningkatkan kualitas lingkungan hidup. SASARAN KELIMA adalah membaiknya infrastruktur melalui penetapan prioritas percepatan pembangunan infrastruktur. Upaya ini dilakukan awalnya pada perbaikan infrastruktur yang rusak untuk memulihkan mengembalikan kinerja pelayanan dengan titik berat pada perbaikan infrastruktur pertanian dan perdesaan, infrastruktur ekonomi strategis, dan di daerah konik. Upaya selanjutnya adalah perluasan kapasitas infrastruktur dengan fokus pembangunan infrastruktur baru yang diarahkan pada infrastruktur di daerah terpencil dan tertinggal, infrastruktur yang melayani masyarakat miskin, dan infrastruktur yang menghubungkan dan atau melayani antardaerah. RPJMN 2004-2009 merupakan perencanaan strategis bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

BAB 1.3.
Strategi RPJMN 2004-2009
Strategi pokok pembangunan dalam RPJMN 2004-2009 meliputi: 1. STRATEGI PENATAAN KEMBALI INDONESIA yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia. 2. STRATEGI PEMBANGUNAN INDONESIA yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.

menurunnya secara nyata angka perampokan dan kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas, merupakan cerminan perwujudan sasaran pertama ini. SASARAN KEDUA adalah semakin kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar (UUD) 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tertanganinya kegiatan-kegiatan yang ingin memisahkan diri dari NKRI, meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman bahaya terorisme bagi tetap tegaknya kedaulatan NKRI merupakan cerminan dari sasaran kedua ini. SASARAN KETIGA adalah semakin berperannya Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia. 1.4.2. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

BAB 1.4.
Agenda RPJMN 2004-2009
Berdasarkan visi, misi, dan strategi pembangunan RPJMN 2004-2009, ditetapkan 3 (tiga) agenda pembangunan nasional 2004 2009, yaitu: (1) Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai, (2) Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis, dan (3) Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

1.4.1.

Menciptakan Indonesia yang Aman dan Damai

Dalam Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai, ada 3 sasaran pokok dengan prioritas dan arah kebijakan yang dilakukan. SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya rasa aman dan damai. Menurunnya ketegangan dan ancaman konik antar-kelompok maupun golongan masyarakat, menurunnya angka kriminalitas secara nyata di perkotaan dan perdesaan, serta

Dalam Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis, ada 5 sasaran pokok dengan prioritas dan arah kebijakannya. SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya keadilan dan penegakan hukum. Terciptanya sistem hukum yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah, ditindaknya pelaku tindak pidana korupsi beserta pengembalian uang hasil korupsi kepada negara, dicegahnya dan ditanggulanginya terorisme serta pembasmian penyalahgunaan obat terlarang merupakan cerminan perwujudan sasaran pertama ini. SASARAN KEDUA adalah terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan. Hal ini akan tercemin dalam berbagai perundangan, program pembangunan, kebijakan publik, membaiknya angka Gender-related Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM), menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya pelayanan kepada masyarakat dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan kePemerintahan daerah yang baik, menjamin konsistensi

Bagian 1

Dok : Tempo, Zulkarnain

seluruh peraturan pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. SASARAN KEEMPAT adalah meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat. Hal ini akan dicerminkan dengan berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi yang dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas, terciptanya sistem Pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, esien dan berwibawa;. Selain itu, hal ini juga akan dicerminkan dengan terhapusnya aturan, peraturan, dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. SASARAN KELIMA adalah terlaksananya Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 secara demokratis, jujur, dan adil dengan menjaga momentum konsolidasi demokrasi yang sudah terbentuk berdasarkan hasil pemilihan umum secara langsung tahun 2004.

1.4.3.

Meningkatkan Masyarakat

Kesejahteraan

Dalam Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, ada 5 sasaran pokok dengan prioritas dan arah kebijakan yang dilakukan. SASARAN PERTAMA adalah menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen tahun 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen tahun 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga. Kemiskinan dan pengangguran diatasi dengan strategi pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang berkualitas dan berdimensi pemerataan melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat. SASARAN KEDUA adalah berkurangnya kesenjangan antar-wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan; meningkatnya pem-

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

bangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya masyarakat di perdesaan; meningkatnya pembangunan pada daerahdaerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan dan produk-produk unggulan daerah; serta meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar-kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). SASARAN KEEMPAT adalah membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan. SASARAN KELIMA adalah membaiknya infrastruktur yang ditunjukkan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan.

Sejumlah realitas yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan kesejahteraan rakyat dan masalah sosial, meliputi: (1) terus meningkatnya angkatan kerja baru yang tidak diiringi dengan bertambahnya kesempatan kerja; (2) rentannya terhadap perubahan kondisi politik, ekonomi, konik sosial yang terjadi di berbagai daerah, dan bencana alam; (3) peningkatan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi belum memadai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (4) pertumbuhan ekonomi didorong oleh konsumsi masyarakat, (5) pertumbuhan sektor pertanian dan industri yang rendah, padahal kedua sektor tersebut potensial menyerap tenaga kerja; (6) menurunnya sumbangan minyak dan gas dalam penerimaan negara; (7) utilisasi kapasitas produksi yang relatif masih rendah; (8) rendahnya kemampuan pembangunan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi; (9) kegiatan perdagangan dalam negeri masih belum berjalan secara esien; (10) pelaksanaan otonomi yang menghambat kelancaran arus barang dan jasa antar-daerah, (11) hambatan yang makin kompleks dalam perdagangan luar negeri.

BAB 1.5.
Permasalahan dan Tantangan
Secara garis besar, permasalahan dan tantangan yang dihadapi Indonesia mencakup: Pertama, masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendah dan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai masalah sosial yang mendasar.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kemiskinan dan pengangguran diatasi dengan strategi pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang berkualitas dan berdimensi pemerataan melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat

Dok : Tempo, Novi Kartika

Kedua, kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih rendah. Dari sisi pendidikan, pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara. Kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik.

Bagian 1

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Dari sisi kesehatan, derajat kesehatan dan status gizi masyarakat masih rendah. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat yang pada umumnya masih berupa penyakit menular dan sudah mulai ada keecenderungan meningkatnya beberapa penyakit tidak menular. Masalah lainnya yang mempengaruhi rendahnya kualitas SDM adalah: masih tingginya laju pertumbuhan dan kuantitas penduduk; masih tingginya tingkat kelahiran penduduk; kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja akan hak-hak reproduksi; masih rendahnya usia kawin pertama penduduk; rendahnya partisipasi laki-laki dalam ber-KB; masih lemahnya ekonomi dan ketahanan keluarga; masih lemahnya institusi daerah dalam pelaksanaan program KB; belum serasinya kebijakan kependudukan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan; belum tertatanya administrasi kependudukan dalam rangka membangun sistem pembangunan, Pemerintahan, dan pembangunan yang berkelanjutan; rendahnya kualitas pemuda; dan rendahnya budaya olahraga di kalangan masyarakat dan prestasi olahraga Indonesia yang tertinggal. Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, permasalahan mendasar yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi terhadap perempuan. Permasalahan mendasar lainnya adalah masih terdapatnya kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat. Dalam konteks, sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Masalah lainnya adalah rendahnya kualitas hidup dan peran

perempuan; tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak; rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak; rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index, GDI); dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement, GEM); banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak; serta lemahnya kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, temasuk ketersediaan data, dan rendahnya partisipasi masyarakat. Pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masih memprihatinkan. Ajaran agama belum sepenuhnya diaktualisasikan dalam kehidupan agama secara nyata. Perilaku masyarakat yang cenderung negatif seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan narkoba, dan perjudian sering muncul ke permukaan. Di samping itu permasalahan dalam membangun agama adalah masih belum kondusifnya harmonisasi kehidupan sosial di dalam masyarakat. Ketegangan sosial yang memicu konik intern dan antarumat beragama akan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang pada akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan itu sendiri. Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih rendah. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Secara rinci, angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,2 tahun; angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen; kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen; dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar USD 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara.

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Ketiga, kualitas manusia dipengaruhi juga oleh kemampuan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam sehingga sering melahirkan konik kepentingan antara ekonomi sumberdaya alam dengan lingkungan. Kebijakan ekonomi selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya alam sehingga mengakibatkan lemahnya kelembagaan pengelolaan dan penegakan hukum. Keempat, kesenjangan pembangunan antar-daerah masih lebar, seperti antara Jawa-luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI)-Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara kota-desa. Untuk dua konteks pertama, ketimpangan telah berakibat langsung pada munculnya semangat kedaerahan yang, pada titik yang paling ekstrem,

muncul dalam bentuk upaya-upaya separatis. Sedangkan untuk konteks yang ketiga kesenjangan antara desa dan kota disebabkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal. Kelima, dukungan infrastruktur dalam pembangunan mengalami penurunan kuantitas maupun kualitasnya sejak krisis 1997/1998. Berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru telah menghambat pembangunan nasional. Pembangunan infrastruktur mendatang dihadapkan pada terbatasnya kemampuan Pemerintah untuk menyediakan. Keenam, upaya membangun harmoni dalam kehidupan masyarakat dihadapkan pada tantangan nyata dengan munculnya ketegangan sosial yang

10

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : Tempo, Muradi

Bagian 1

melahirkan konik internal dan antar-umat beragama dengan memanfaatkan sentimen agama yang diartikan secara sempit, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. Ketujuh, masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional. Meskipun terkendali, variasi kejahatan konvensional cenderung meningkat dengan kekerasan yang meresahkan masyarakat. Berbagai kejahatan transnasional, seperti: penyelundupan, narkotika, pencucian uang dan sebagainya terus meningkat. Luasnya wilayah laut, keanekaragaman sumberdaya hayati laut, dan kandungan sumberdaya kelautan, banyaknya pintu masuk ke wilayah perairan nusantara serta masih lemahnya pengawasan, kemampuan, dan koordinasi keamanan laut menyebabkan meningkatnya gangguan keamanan, pertahanan dan pelanggaran hukum di laut. Masih adanya potensi terorisme membutuhkan pendekatan dan penanganan yang lebih komprehensif; sementara itu efektivitas pendeteksian dini dan upaya preemtif, pengamanan sasaran vital, pengungkapan kasus, pengenalan faktor-faktor pemicu terorisme, dan perlindungan masyarakat umum dari terorisme dirasakan belum memadai.

Kesembilan, masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia; masih besarnya tumpang tindih peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah yang menghambat iklim usaha dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat; belum ditegakkannya hukum secara tegas, adil dan tidak diskriminatif, serta memihak kepada rakyat kecil; serta belum dirasakan putusan hukum oleh masyarakat sebagai suatu putusan yang adil dan tidak memihak melalui proses yang transparan. Kesepuluh, rendahnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat akibat tingginya penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan, rendahnya kinerja sumberdaya aparatur, belum memadainya sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) Pemerintahan; rendahnya kesejahteraan PNS; serta banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan. Kesebelas, belum menguatnya pelembagaan politik lembaga penyelenggara negara dan lembaga kemasyarakatan. Hal ini ditambah pula dengan masih rendahnya internalisasi nilai-nilai demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti: adanya tindakan kekerasan dan politik uang; masih belum tuntasnya persoalanpersoalan masa lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik; adanya ancaman terhadap komitmen persatuan dan kesatuan; adanya kecenderungan unilateralisme dalam hubungan internasional. Di samping masalah-masalah pokok tersebut di atas, terdapat berbagai permasalahan mendasar yang menuntut perhatian khusus dalam membangun ke depan, diantaranya adalah: (1) masih lemahnya karakter bangsa; (2) belum terbangunnya sistem pembangunan, Pemerintahan, dan

Kedelapan, dengan wilayah yang sangat luas, serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang beragam, dan potensi ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang tidak ringan, TNI dihadapkan pada masih kurangnya kemampuan jumlah dan personel serta permasalahan alutsista yang jauh dari mencukupi.

11

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru telah menghambat pembangunan nasional

pembangunan yang berkelanjutan; (3) belum berkembangnya nasionalisme kemanusiaan serta demokrasi politik dan ekonomi; (4) belum terejawantahnya nilai-nilai utama kebangsaan dan belum berkembangnya sistem yang memungkinkan masyarakat untuk mengadopsi dan memaknai nilai-nilai kontemporer secara bijaksana; serta (5) kegamangan dalam menghadapi masa depan serta rentannya sistem pembangunan, Pemerintahan, dan kenegaraan dalam menghadapi perubahan. Berbagai permasalahan mendasar tersebut memberikan sumbangan yang besar bagi peluruhan sistem Pemerintahan dan ketatanegaraan. Penanganan yang tidak sistemik terhadap permasalahan mendasar tersebut sering melahirkan

persoalan baru yang berkembang dewasa ini baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kelembagaan, maupun keamanan yang membuat pemecahan masalah menjadi kian rumit. Permasalahan mendasar perlu ditangani secara sistemik dan berkelanjutan yang sering membutuhkan jangka waktu yang panjang. Bagaimana pencapaian dan tantangan pelaksanaan Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN 2004-2009 tahun keempat? Buku ini akan menjelaskan kondisi awal, sasaran yang ingin dicapai, posisi capaian tahun keempat, permasalahan yang dihadapi, dan tindak lanjut yang akan dilakukan tahun terakhir dari pelaksanaan 3 Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009.

12

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2 Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai


Bab 2.1 Pengantar Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai Bab 2.2 Peningkatan Rasa Saling Percaya dan Harmonisasi Antarkelompok Masyarakat Bab 2.3 Pengembangan Kebudayaan yang Berlandaskan pada Nilai-nilai Luhur Bab 2.4 Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas Bab 2.5 Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme Bab 2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme Bab 2.7 Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara Bab 2.8 Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional

Dok : PolaGrade (CAG)

Bagian 2

BAB 2.1
Pengantar Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai
Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai memiliki 3 sasaran pokok dengan 7 prioritas beserta arah kebijakannya. SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya rasa aman dan damai. Menurunnya ketegangan dan ancaman konik antar-kelompok maupun golongan masyarakat, menurunnya angka kriminalitas secara nyata di perkotaan dan perdesaan, serta menurunnya secara nyata angka perampokan dan kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas, merupakan cerminan perwujudan sasaran pertama ini. yang saling menghormati dalam rangka menciptakan suasana yang aman dan damai serta menyelesaikan dan mencegah konik antar umat beragama serta meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat agar dapat memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya. Pengembangan Kebudayaan yang Berlandaskan pada Nilai-Nilai Luhur dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Mendorong terciptanya wadah yang terbuka dan demokratis bagi dialog kebudayaan agar benturan-benturan yang terjadi tidak melebar menjadi konik sosial; (2) Mendorong tuntasnya proses modernisasi yang dicirikan dengan terwujudnya Negara kebangsaan Indonesia modern yang berkelanjutan, dan menguatnya masyarakat sipil; (3) Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu dasar pengembangan etika pergaulan sosial untuk memperkuat identitas nasional; dan (4) Meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk-produk dalam negeri. Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Menegakkan hukum dengan tegas, adil, dan tidak diskriminatif; (2) Meningkatkan kemampuan lembaga keamanan negara; (3) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk mencegah kriminalitas dan gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungannya masing-masing; (4) Menanggulangi dan mencegah tumbuhnya permasalahan yang berkaitan

... kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat agar dapat memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka prioritas pembangunan nasional 2004-2009 adalah Peningkatan Rasa Saling Percaya dan Harmonisasi Antarkelompok Masyarakat dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Memperkuat harmoni yang ada dan mencegah tindakan-tindakan yang menimbulkan ketidakadilan sehingga terbangun masyarakat sipil yang kokoh, termasuk membangun kembali kepercayaan sosial antarkelompok masyarakat; (2) Memperkuat dan mengartikulasikan identitas bangsa; (3) Menciptakan kehidupan intern dan antarumat beragama

15

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade (Fadil Aziz)

dengan penggunaan dan penyebaran narkoba; (5) Meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban hukum masyarakat; dan (6) Memperkuat kerjasama internasional untuk memerangi kriminalitas dan kejahatan lintas negara. SASARAN KEDUA adalah semakin kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tertanganinya kegiatan-kegiatan yang ingin memisahkan diri dari NKRI, meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman bahaya terorisme bagi tetap tegaknya kedaulatan NKRI merupakan cerminan dari sasaran kedua ini. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional tahun 20042009 diletakkan pada Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme dengan kebijakan yang diarahkan untuk pencegahan dan penanggulangan separatisme di

daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua. Kebijakan ini akan dilakukan secara komprehensif, termasuk menindak secara tegas aksi separatisme dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat sipil. Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan Terorisme dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Menyusun dan menerapkan kerangka hukum antiterorisme yang efektif; (2) Meningkatkan kemampuan dan kapasitas kelembagaan antiterorisme; (3) Membangun kemampuan menangkal dan menanggulangi terorisme; (4) Memantapkan operasional penanggulangannya; dan (5) Meningkatkan kerjasama untuk memerangi terorisme. Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara yang diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme TNI dalam modernisasi peralatan per-

16

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

tahanan negara dan mereposisi peran TNI dalam kehidupan sosial-politik, mengembangkan secara bertahap dukungan pertahanan, serta meningkatkan kesejahteraan prajurit. SASARAN KETIGA adalah semakin berperannya Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional tahun 20042009 diletakkan pada Pemantapan Politik Luar Negeri

dan Peningkatan Kerjasama Internasional dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; (2) Melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi regional, khususnya di Association of South East Asian Nantions (ASEAN); (3) Melanjutkan komitmen Indonesia terhadap upaya-upaya pemantapan perdamaian dunia.

17

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN

Bagian 2

BAB 2.2
Peningkatan Rasa Saling Percaya dan Harmonisasi Antarkelompok Masyarakat
2.2.1. Pengantar 2.2.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Indonesia adalah sebuah bangsa berlatar belakang sosial politik majemuk. Penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, bangsa Indonesia menganut beragam agama dan aliran kepercayaan. Dalam menciptakan rasa aman dan damai di masyarakat, rasa saling percaya dan harmoni antarkelompok dan golongan merupakan faktor penting yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Peristiwa pertikaian dan konik antargolongan dan antarkelompok yang mewarnai kehidupan sosial politik di Tanah Air merupakan salah satu pertanda masih rendahnya saling percaya dan kurangnya harmoni di dalam masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kearifan dan kedewasaan dari semua kelompok yang berbeda-beda latar belakang ini agar dapat memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Dari sisi Pemerintah, diperlukan kebijaksanaan, pendekatan dan strategi yang lebih matang untuk dapat menciptakan dan memelihara suasana kehidupan yang lebih kondusif untuk kenyamanan semua kelompok sosial politik masyarakat dan kerukunan umat yang berbeda agama. Seluruh kebijakan Pemerintah ini tentu ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis, stabil secara politik, aman, damai, sejahtera dan bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada awal RPJMN, kondisi Indonesia diwarnai oleh berbagai persoalan yang merupakan warisan konik sosial masa lalu. Demikian juga, terdapat kesenjangan sosial dan ekonomi yang berpotensi memecah-belah masyarakat dalam kelompok-kelompok secara tidak sehat dan merenggangkan hubungan antar masyarakat. Apabila tidak segera diatasi, kesenjangan ini akan memperdalam rasa ketidakadilan. Selain itu, peran Pemerintah sebagai fasilitator dan mediator dalam penyelesaian konik belum efektif, serta kebijakan komunikasi dan informasi nasional juga belum sesuai dengan tuntutan demokrasi. Persoalan rendahnya kemampuan dan kredibilitas Pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpotensi memicu timbulnya konik. Legitimasi politik Pemerintah yang dimiliki sebagai hasil Pemilu 2004 sesungguhnya dapat digunakan secara baik dan efektif untuk mengupayakan berbagai terobosan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan konik sosial politik, persoalan kesenjangan dan ketidakadilan, diskriminasi sosial politik serta upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pemerintah hasil Pemilu 2004 diharapkan juga dapat mengatasi kondisi masih rendahnya partisipasi politik masyarakat dan masih rendahnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar-anggota masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatan. Apabila tidak diatasi secara baik, maka kurangnya partisipasi politik dan kesenjangan komunikasi

19

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

politik serta kurangnya kontaks dialogis Pemerintah-masyarakat dan antar kelompok masyarakat dapat memberikan ruang bagi terbukanya potensi konik sosial politik antar kelompok, serta memicu berulangnya konik di daerah-daerah yang selama ini memang sudah rawan konik. Dalam mengatasi permasalahan tersebut dan untuk menciptakan rasa aman dan damai secara berkelanjutan, prioritas Peningkatan Rasa Saling Percaya dan Harmonisasi Antar kelompok Masyarakat ditetapkan dengan sasaran: 1. Menurunnya ketegangan dan ancaman konik antar kelompok masyarakat atau antar golongan di daerah-daerah rawan konik; 2. Terpeliharanya situasi aman dan damai; serta 3. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan. Sasaran-sasaran tersebut selanjutnya akan ditempuh dengan: 1. Memberdayakan organisasi-organisasi kemasyarakatan, sosial keagamaan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam mencegah dan mengoreksi ketidakadilan, diskriminasi, dan ketimpangan sosial, sebagai bagian penting dari upaya membangun masyarakat sipil yang kokoh;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pemantapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplomasi Indonesia; (2) Program Peningkatan Kerjasama Internasional; dan (3) Program Penegasan Komitmen Perdamaian Dunia.

2.2.3. 2.2.3.1.

Pencapaian 2005-2008 Posisi Capaian hingga 2008

Selama empat tahun terakhir, Indonesia mengalami pasang surut yang cukup dinamis dalam kehidupan dan harmonisasi hubungan antar kelompok. Pada umumnya masyarakat memiliki sikap positif dalam menghadapi masa depan bersama, ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap sesama warga yang mengalami musibah atau tertimpa kemalangan karena berbagai sebab. Kesalahpahaman dan konik antar-kelompok tidak jarang terjadi, tapi pada umumnya para pihak yang terlibat memiliki kepercayaan yang cukup tinggi pada hukum untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Memasuki 2009, masyarakat Indonesia boleh berbangga karena secara kolektif masyarakat terbukti memiliki kedewasaan, modalitas dan daya tahan sosial politik yang cukup tinggi, sehingga tidak membiarkan konik dan perselisihan yang terjadi menjadi pemicu perpecahan sosial berskala nasional. Pencapaian sasaran RPJMN hingga 2008 dinilai baik dan memadai dalam mencapai berbagai sasaran yang ditetapkan. Pencapaian ini antara lain adalah terciptanya keamanan yang stabil dan semakin menurunnya ketegangan dan ancaman konik antar kelompok masyarakat atau antargolongan di daerah-daerah rawan konik, terutama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, Maluku dan Maluku Utara dan Poso. Pada sisi lain, konik-konik politik yang berkaitan dengan pilkada pada umumnya dapat ditanggulangi dengan pendekatan hukum dan politik yang tepat dan adil berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta melalui pendekatan konstitusional yang berhasil dari lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).

2. Mendorong secara konsisten proses rekonsiliasi nasional yang berkelanjutan; 3. Memantapkan peran Pemerintah sebagai fasilitator dan atau mediator yang kredibel dan adil dalam menjaga dan memelihara keamanan, perdamaian dan harmoni dalam masyarakat; serta 4. Menerapkan kebijakan komunikasi dan informasi nasional sesuai dengan asas-asas keterbukaan dan pemerataan akses informasi. Pencapaian sasaran-sasaran di atas, dilaksanakan melalui berbagai program yaitu : (1) Program

20

Bagian 2

Berbagai keberhasilan tersebut merupakan cermin meningkatnya komitmen persatuan dan kesatuan bangsa khususnya di beberapa daerah konik. Capaian terpenting dalam menciptakan rasa aman dan damai di daerah konik adalah: 1. Terciptanya stabilitas politik yang cukup kondusif di Provinsi NAD, yang tercapai melalui kesepakatan antara GAM dan Pemerintah Indonesia yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005. Sebagai tindak lanjut kesepakatan ini juga telah ditetapkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) pada 11 Juli 2006, dan fasilitasi Pemerintah dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada akhir 2006; 2. Kondisi politik yang kondusif di Provinsi Papua. Kondisi ini tercapai dengan adanya kebijakan Pemerintah dalam memudahkan masyarakat Papua untuk mengakses bidang kesehatan, pendidikan dan kesempatan berusaha. Kebijakan ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas Majelis Rakyat Papua (MRP), fasilitasi Pilkada Gubernur Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat (Irjabar). Strategi lain adalah mempercepat pembangunan di Papua melalui Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Irjabar; 3. Kondisi yang kondusif juga terjadi di Maluku dan Maluku Utara. Saat ini telah tercipta ruang dialog kondusif yang melibatkan tokoh agama, tokoh budaya, kalangan perguruan tinggi dan lembaga masyarakat. Selain itu, keberhasilan yang dicapai di berbagai daerah tersebut tidak terlepas dari upaya koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Inpres No. 6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Maluku Utara Pasca-konik; 4. Khusus untuk penanganan kasus Poso, Pemerintah melalui Inpres No. 14 Tahun 2005 tentang Langkah-langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso. Pemerintah juga membentuk Komando Operasi Keaman-

an (Koopskam) Sulawesi Tengah dengan tugas melaksanakan operasi keamanan untuk penanganan masalah yang terjadi di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yang meliputi penegakan hukum, pagelaran pengamanan dan pelaksanaan kegiatan intelijen terpadu secara simultan dan sinergis, serta meningkatkan kredibilitas Pemerintah di tingkat nasional maupun internasional; 5. Kebijakan penting yang dikeluarkan Pemerintah dalam upaya memelihara tertib sipil di dalam masyarakat adalah tentang Ahmadiyah. Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/ atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat, pada 9 Juni 2008. SKB tentang Ahmadiyah ini diharapkan dapat menjadi pedoman bersama seluruh anggota masyarakat Indonesia, terutama Ahmadiyah, di Indonesia untuk menyelesaikan perbedaan mereka secara konstitusional dan dalam koridor hukum. Pada saat-saat sedang meluasnya kontroversi tentang ajaran Ahmadiyah ini, Pemerintah tetap menjaga sikap untuk tidak berpihak dan sedapat mungkin tidak mencampuri urusan keyakinan agama dan kepercayaan warganegara;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Memasuki 2009, masyarakat Indonesia boleh berbangga karena secara kolektif masyarakat terbukti memiliki kedewasaan, modalitas dan daya tahan sosial politik yang cukup tinggi, sehingga XMHEOQIQFMEVOEROSRMOHERTIVWIPM sihan yang terjadi menjadi pemicu perpecahan sosial berskala nasional

21

6. Dalam hal yang berkaitan dengan konik politik pada penyelenggaraan pilkada, mekanisme hukum makin diyakini peserta pemilu sebagai satu-satunya alat untuk menyelesaikan perselisihan. Perselisihan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur 2008 dapat diselesaikan secara hukum melalui keputusan MK untuk melalukan pemungutan suara ulang di dua kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Pada daerah lain, perselisihan tajam sejak 2007 Pilkada Gubernur Maluku Utara berhasil diselesaikan secara politik dengan mempertimbangkan semua aspek hukum. Pemerintah sudah menetapkan pemenang Pilkada Gubernur Maluku dan mengharapkan semua pihak berbesar hati untuk menerima keputusan Pemerintah ini. Gubernur baru dapat terus melanjutkan tugas-tugasnya secara seksama untuk kepentingan seluruh masyarakat Maluku Utara. Hal lain yang dilakukan Pemerintah meredam berbagai konik adalah memfasilitasi pengembangan kemampuan aparatur intelijen dalam merespon dan menyelesaikan konik. Hal ini menjadi prioritas sebelum melakukan kerjasama dengan komponen masyarakat sipil dalam penyelesaian konik. Diharapkan kemampuan yang dimiliki oleh aparat tersebut dapat ditularkan kepada masyarakat, sehingga secara bertahap akan terjadi peningkatan kapasitas masyarakat menyelesaikan konik. Kegiatan ini merupakan salah satu langkah dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dini masyarakat di daerah, yang telah dituangkan dalam bentuk keputusan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah dan Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda). Dalam meningkatkan mutu pelayanan dan arus informasi kepada dan dari masyarakat untuk mendukung proses sosialisasi dan partisipasi politik rakyat. Pemerintah lebih lanjut telah melaksanakan berbagai kegiatan: peningkatan arus informasi publik melalui berbagai media

cetak dan elektronik dan juga berbagai kegiatan seminar, forum konsultasi, diskusi, seminar, serta forum koordinasi. Di samping itu, Pemerintah juga melakukan pembinaan informasi publik melalui penerbitan majalah/jurnal, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi kebijakan melalui sosialisasi dan ceramah, diskusi, seminar, sarasehan, dan lain-lain. Selain itu, pada 2007 telah dilakukan pembangunan dan penguatan media center di daerah konik dan rawan konik (NAD, Poso, Papua, dan Maluku serta kabupaten/kota di wilayah Indonesia Timur). Anggaran kegiatan ini dialokasikan untuk pembangunan dan penguatan Media Center di 10 Provinsi dan 25 Kabupaten/Kota. Daerahdaerah tersebut yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Maluku, Bali, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Papua, dan Bangka Belitung; Kabupaten/Kota yaitu Poso, Sabang, Merauke, Semarang, Pacitan, Sinaji, Banjarmasin, Surabaya, Batam, Bandung, Madiun, Manado, Manokwari, Kutai Kertanegara, Bengkulu, Balikpapan, Salatiga, Cilacap, Pakanbaru, Palembang, Buleleng, Muara Enim, Gunung Kidul, Bekasi, dan Padang. 2.2.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Secara umum, faktor penghambat pelaksanaan kegiatan adalah belum optimalnya perencanaan kegiatan. Dalam hal ini fokus/prioritas, lokus, serta sumberdaya yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan belum secara cermat diperhatikan. Akibatnya, keluaran program menjadi optimal. Selain itu, terdapat pula faktor penghambat lain di antaranya: 1. Perkembangan dinamika politik, ekonomi, dan sosial dalam negeri serta kebijakan nasional yang mengharuskan dilakukannya perubahan. Terjadinya berbagai kejadian luar biasa karena bencana dan penyakit yang me-

22

Bagian 2

merlukan penanganan secara cepat, berdampak membebani pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan. Sebagai contoh, harus dilakukannya revisi beberapa kegiatan karena adanya kebijakan yang penting dan mendesak yang harus diakomodasi, seperti sosialisasi u burung dan penanganan bencana alam di beberapa wilayah di Indonesia yang dilaksanakan melalui realokasi beberapa kegiatan yang belum dapat dilaksanakan; 2. Masih adanya inkonsistensi kegiatan yang dilaksanakan dengan rumusan kegiatan pokok yang tertuang di dalam RKP. Sehingga, meskipun sasaran programnya diindikasikan akan tercapai, namun hasil yang dicapai kurang optimal; 3. Belum memadainya sumberdaya yang ada dalam mempersiapkan rencana kerja secara matang dan terfokus pada prioritas yang dianggap paling penting dan mendesak. Selain itu, ketidaktepatan jadwal dalam pelaksanaan kegiatan yang sudah dirumuskan kerap terjadi karena ketersediaan waktu yang kurang memadai. Untuk itu, peran pimpinan sangat penting untuk mendorong pelaksanaan kegiatan dengan ketersediaan sumberdaya dan waktu yang terbatas.

puan dan komitmen Pemerintah untuk mendorong kegiatan secara intensif. Pada tahap pelaksanaan, semua program telah diupayakan secara hampir menyeluruh dan merupakan kelanjutan dari kegiatan yang telah dilakukan tahun sebelumnya. Kedepan, kegiatankegiatan tersebut akan terus dilakukan dengan semakin intensif, sehingga dapat mencapai target dan sasaran yang telah ditetapkan.

2.2.4. 2.2.4.1.

Tindak Lanjut Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Agar dapat mencapai sasaran RPJMN 20042009, selain perumusan program/kegiatan secara cermat, keseluruhan lembaga-lembaga juga diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewenangan seoptimal mungkin secara terarah dan bertahap. Di samping itu, perencanaan program juga perlu dirumuskan dengan lebih spesik, agar dapat mencapai sasaran. Untuk itu, upaya tindak lanjut yang akan dilaksanakan meliputi: 1. Meningkatnya kemampuan koordinasi dan komunikasi aparatur Pemerintah dalam melakukan kerjasama dengan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial politik kemasyarakatan;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Perencanaan program juga perlu diruQYWOERHIRKERPIFMLWTIWMOEKEVHETEX mencapai sasaran


Meskipun mengalami berbagai kendala, namun Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan sosial politik di daerah. Hal ini didasari kenyataan adanya kesadaran dan komitmen terhadap upaya-upaya peningkatan rasa kebangsaan yang kian merosot. Hal lain yang mendukung adalah pilihan pendekatan yang digunakan untuk keberhasilan pencapaian target penerima manfaat kegiatan-kegiatan dimaksud serta kemam-

2. Meningkatnya kapasitas dan kemandirian organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam memberikan advokasi dan meningkatkan wawasan sosial politik dan hukum masyarakat; 3. Menguatnya kapasitas dan kredibilitas ruang publik serta meningkatnya pelayanan informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 4. Terjaganya harmonisasi di dalam masyarakat. Dalam upaya memenuhi sasaran tersebut, arah kebijakan Peningkatan Rasa Saling Percaya

23

dan Harmonisasi Antar-kelompok Masyarakat adalah: 1. Meningkatkan kapasitas dan kredibilitas aparatur Pemerintah Daerah dalam menjaga harmonisasi di dalam masyarakat termasuk di dalamnya upaya untuk penegakan hukum; 2. Meningkatkan kapasitas dan peran organisasi masyarakat sipil dalam memberikan advokasi dan meningkatkan wawasan sosial politik dan hukum masyarakat; 3. Memperkuat penghayatan masyarakat atas ideologi Pancasila, konstitusi negara dan pentingnya penegakan hukum; 4. Memperkuat ruang publik di dalam masyarakat; 5. Meningkatkan peran media massa dan penguatan media center sebagai wadah penyebaran informasi yang benar dan bertanggung-jawab kepada masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan terus diupayakan mempunyai kesinambungan untuk dapat mewujudkan sasaran yang akan dicapai di akhir 2009. Untuk itu, RKP 2009 perlu dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Program/kegiatan utama diprioritaskan pada proses peningkatan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 dan pilkada, tidak hanya pada aspek kelembagaannya tetapi juga mempersiapkan masyarakat agar berpartisipasi secara aktif dalam Pemilu 2009 mendatang. Kegiatan komunikasi perlu juga dirumuskan untuk lebih memperkuat kerjasama antar lembaga Pemerintahan dan juga interaksinya dengan masyarakat dalam mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 2009. Tindak lanjut yang dilakukan dalam merealisasikan target atau sasaran yang telah ditetapkan antara lain dengan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang ada di samping mendalami dokumen perencanaan, khususnya RPJMN dan RKP. Hal ini dilakukan terutamanya untuk meningkatkan esiensi dan efektivitas capaian kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan.

2.2.4.2.

Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN

Pencapaian sasaran RPJMN pada 2009 terus diupayakan. Upaya akan terus ditingkatkan untuk lebih mengoptimalkan capaian sejak awal 2005 sampai 2008. Selain itu, berbagai kendala yang dihadapi terus diatasi sehingga upaya tindak lanjut dapat dilaksanakan guna tercapainya sasaran. Sementara itu, perkiraan capaian untuk 2009 antara lain: 1. Terbangunnya berbagai fasilitas sosial budaya, ekonomi, dan politik untuk mendorong proses pembangunan di daerah pasca-konik, serta menguatnya ruang publik dalam menjaga harmonisasi di dalam masyarakat; 2. Meningkatnya pemahaman akan pentingnya memperkuat kebangsaan dan cinta tanah air di daerah pasca-konik; 3. Terjaminnya peningkatan kapasitas dan peran organisasi kemasyarakatan dalam upaya menjaga harmonisasi di dalam masyarakat; 4. Menguatnya fondasi kerjasama antara aparatur Pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial politik kemasyarakatan; 5. Meningkatnya layanan informasi sesuai kebutuhan masyarakat. Sasaran tersebut akan diwujudkan dengan melaksanakan program-program sebagai berikut: 2.2.4.2.1. Program Pemulihan Wilayah 4EWGEOSRMO Program ini ditujukan untuk pembangunan fasilitas sosial budaya, ekonomi, dan politik dan menguatnya ruang publik dalam menjaga harmonisasi di dalam masyarakat. Kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain: 1. Fasilitasi pelaksanaan reintegrasi GAM ke dalam masyarakat;

24

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

2. Peningkatan kapasitas masyarakat sipil dalam penyelesaian konik dan pemulihan wilayah pasca-konik di enam lokasi; 3. Pembentukan sekretariat bersama antarumat beragama terutama di wilayah konik dan pasca-konik; 4. Peningkatan kepekaan aparat Pemerintah untuk mendeteksi dan mengurangi potensi konik yang ada; serta 5. Pembentukan Crisis Center untuk pemulihan psikologis bagi para korban konik. 2.2.4.2.2. Program Peningkatan Komitmen Persatuan dan Kesatuan Nasional Untuk penguatan kebangsaan dan terjaganya harmonisasi di dalam masyarakat, program ini akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan: 1. Pelaksanaan dialog serta kegiatan seni dan budaya untuk peningkatan pemahaman nilai persatuan; 2. Peningkatan koordinasi dan komunikasi berbagai pihak dalam penyelesaian konik; 3. Pelaksanaan sosialisasi kebangsaan dan cinta tanah air oleh 200 ormas; 4. Fasilitasi dalam mendorong rekonsiliasi di daerah; 5. Pengembangan berbagai kegiatan kebangsaan dan cinta tanah air; 6. Pengembangan forum kewaspadaan dini; serta 7. Kajian serta evaluasi pelaksanaan penanganan konik. 2.2.4.2.3. Program Penataan Hubungan Negara dan Masyarakat Dengan sasaran terjaminnya peningkatan kapasitas dan peran organisasi kemasyarakatan; serta semakin mantapnya penguatan fondasi kerjasa-

ma antara aparatur Pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial politik kemasyarakatan, program ini akan dilaksanakan dengan kegiatan utama: 1. Fasilitasi/dorongan bagi Pemda untuk menjamin kapasitas dan peran organisasi masyarakat sipil daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan daerah dan penyelesaian persoalan sosial politik kemasyarakatan; 2. Pelembagaan forum penyusunan kebijakan publik terhadap masyarakat; dan 3. Pengembangan profesionalisme aparatur Pemerintah dalam menangani berbagai persoalan sosial politik kemasyarakatan.

Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan terus diupayakan mempunyai kesinambungan untuk dapat mewujudkan sasaran yang akan dicapai di akhir 2009

2.2.4.2.4. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Publik Sesuai dengan sasaran yang ditetapkan yaitu meningkatkan layanan informasi yang dibutuhkan masyarakat, kegiatan-kegiatan utama yang akan dilaksanakan melalui program ini adalah: 1. Penguatan kelembagaan komunikasi dan informasi; 2. Penyebaran informasi melalui berbagai media massa komunikasi dan informasi; 3. Fasilitasi pemanfaatan jaringan komunikasi informasi masyarakat; serta 4. Pembangunan dan penguatan media center di daerah konik, pasca-konik, dan rawan

25

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

konik (NAD, Poso, Papua, Maluku, Maluku Utara, dan NTB) serta daerah tertinggal dan perbatasan.

peran Pemerintah sebagai fasilitator dan mediator serta kebijakan komunikasi dan informasi nasional masih belum optimal. Namun, sejalan dengan dilaksanakannya program dalam RPJMN maka konik yang berdimensi kekerasan di beberapa daerah sudah memperlihatkan gejala penurunan. Meskipun, faktor-faktor pemicu konik tampaknya belum sepenuhnya dapat dikendalikan sehingga berpotensi menjadi faktor pemicu pecahnya konik baru. Untuk itu, arah kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut ditempuh melalui 4 program yaitu: (1) Pemulihan wilayah pasca-konik; (2) Peningkatan komitmen persatuan dan kesatuan nasional; (3) Penataan hubungan negara dan masyarakat; serta (4) Peningkatan kualitas pelayanan informasi publik. Rangkaian program tersebut dalam pelaksanaannya telah melibatkan partisipasi berbagai pihak seperti Pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, ormas, dan pranata adat setempat. Dengan cara tersebut, berbagai kemajuan telah diraih di antaranya: meningkatnya kapasitas masyarakat sipil dalam penyelesaian konik dan pemulihan wilayah pasca-konik; menguatnya kapasitas aparatur Pemerintah dan ormas dalam meningkatkan rasa kebangsaan yang diindikasikan dengan efektifnya koordinasi terkait penyelesaian masalah Aceh dan Papua. Sehingga, meningkatkan kondusivitas kondisi sosial politik di Aceh dan Papua. Sementara itu, pelaksanaan program melalui berbagai kegiatan yang ditetapkan selama 2008 dinilai cukup baik dan memadai serta dapat dilaksanakan sesuai rencana. Namun demikian, guna mencapai sasaran dalam RPJMN 2004-2009 perlu dilakukan upaya perbaikan terkait dengan kurang relevannya pelaksanaan kegiatan dengan sasaran; serta kekurangsesuaian antara kegiatan yang dilaksanakan dengan program.

Untuk mewujudkan Indonesia yang aman dan damai maka upaya peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat merupakan salah satu faktor penting
Dengan dilaksanakannya 4 program kegiatan tersebut, maka diharapkan akan ada peningkatan rasa aman dan damai yang tercermin dari menurunnya ketegangan dan ancaman konik antarkelompok maupun golongan masyarakat; menurunnya angka kriminalitas secara nyata di perkotaan dan perdesaan; serta menurunnya secara nyata angka perampokan dan kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas. Namun demikian, efektivitas dari pencapaiannya sangat tergantung pada pelaksanaan dan hasil yang ditargetkan serta keberhasilan program-program pendukung lainnya yang terkait.

2.2.5. Penutup Untuk mewujudkan Indonesia yang aman dan damai maka upaya peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat merupakan salah satu faktor penting. Untuk itu, sikap ini harus terus dipelihara dan dibangun sehingga sasaran pembangunan di bidang ini dapat tercapai. Pada awal penyusunan RPJMN 2004-2009, kondisi Indonesia diwarnai oleh berbagai persoalan seperti: kesenjangan sosial dan ekonomi yang berpotensi menjadi awal terjadinya disintegrasi nasional. Begitu juga, rekonsiliasi penyelesaian konik nasional masih belum efektif, sementara

26

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

Secara umum, faktor penghambat dalam pencapaian sasaran adalah belum optimalnya perencanaan kegiatan, terkait dengan prioritas program serta sumberdaya yang tersedia. Akibatnya, keluaran program menjadi kurang optimal. Selain itu, terdapat pula faktor penghambat lain seperti: perkembangan dinamika politik, ekonomi, dan sosial dalam negeri yang mengharuskan dilakukannya perubahan atas program; serta belum memadainya sumberdaya yang ada dalam pelaksanaan program. Meskipun demikian, Pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelesaikan segenap persoalan sosial politik di daerah. Dengan pelaksanaan program yang hampir menyeluruh dan merupakan kesinambungan dari kegiatan yang telah dilaku-

kan tahun sebelumnya, rencana program diharapkan akan semakin intensif sehingga dapat mencapai target dan sasaran yang telah ditetapkan. Selain itu, penguatan peran institusi kemasyarakatan perlu terus dilanjutkan untuk semakin memantapkan peran masyarakat sipil dan aparatur Pemerintah dalam menangani berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Sehingga, dapat memberikan dampak yang besar bagi masyarakat secara sistematis. Upaya meningkatkan koordinasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan antar-instansi juga perlu ditingkatkan lebih baik dari sebelumnya, sehingga keluaran yang dicapai dapat optimal. Dengan demikian, diharapkan upaya meningkatkan rasa aman dan damai dapat terwujud sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.

27

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : DEPBUDPAR

Bagian 2

BAB 2.3
Pengembangan Kebudayaan yang Berlandaskan pada Nilai-nilai Luhur
2.3.1. Pengantar 2.3.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Pengembangan kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur merupakan langkah strategis untuk mewujudkan identitas nasional dan mengikat nasionalisme bangsa dalam menghadapi tantangan di era globalisasi dan teknologi informasi. Perkembangan yang sangat cepat sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi menciptakan kondisi yang sedemikian dinamis dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Pembinaan karakter dan jati diri bangsa dalam kerangka multikultur yang sesuai dengan nilainilai luhur budaya dan nilai-nilai kearifan lokal diharapkan akan mampu merespon budaya global secara positif dan produktif. Selain itu, pembangunan bangsa dan karakter suatu bangsa (nation and character building) merupakan prasyarat guna memperkuat negara modern yang dikenal dengan negara bangsa (nation state). Pada saat ini, upaya pembangunan karakter masih membutuhkan upaya keras yang konsisten sehingga mampu mengejar ketertinggalan. Belum berhasilnya pembangunan karakter ini ditunjukkan oleh semakin lunturnya kebanggaan terhadap identitas bangsa. Hal ini berdampak pada menurunnya modal sosial dan pada akhirnya akan mengikis kemampuan daya saing bangsa.

Pada awal RPJMN 2004-2009 pengembangan kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur dihadapkan pada permasalahan sebagai berikut: 1. Masih Lemahnya Kemampuan Mengelola Keragaman Budaya Gejala tersebut dapat dilihat dari menguatnya orientasi kelompok, etnik, dan agama yang berpotensi menimbulkan konik sosial dan bahkan disintegrasi bangsa. Fenomena itu mengkhawatirkan karena Indonesia terdiri dari sekitar 520 suku. Masalah ini juga semakin serius akibat dari semakin terbatasnya ruang publik yang dapat diakses dan dikelola bersama oleh masyarakat multikultur untuk penyaluran aspirasi. Fenomena keterbatasan ruang publik ini muncul karena ada kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat akibat desakan ekonomi. 2. Terjadinya Krisis Jati Diri (Identitas) Nasional Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan sosial, dan rasa cinta tanah air yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia, makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme. Demikian pula kebanggaan atas jati diri bangsa seperti penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, semakin terkikis oleh nilai-nilai yang dianggap lebih unggul. Identitas nasional meluntur

29

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

akibat cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta tidak mampunya bangsa Indonesia mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan bangsa dan karakter bangsa. Laju pembangunan ekonomi yang kurang diimbangi oleh pembangunan karakter bangsa telah mengakibatkan terjadinya krisis budaya yang selanjutnya memperlemah ketahanan budaya. 3. Masih rendahnya komitmen Pemerintah dan masyarakat dalam mengelola kekayaan budaya Dalam era otonomi daerah, pengelolaan kekayaan budaya menjadi tanggung-jawab Pemerintah Daerah. Namun sampai dengan saat ini, kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam pelaksanaannya masih sangat beragam. Beragamnya kualitas pengelolaan tidak hanya disebabkan oleh kecilnya kapasitas skal, namun juga kurangnya pemahaman, apresiasi, kesadaran, dan komitmen Pemerintah Daerah terhadap kekayaan budaya. Pengelolaan kekayaan budaya juga masih belum sepenuhnya menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Sementara itu, apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri juga masih rendah, antara lain dikarenakan keterbatasan informasi. Dengan sejumlah permasalahan awal tersebut, maka sasaran pengembangan kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur ditujukan untuk:
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4. Meningkatnya pelestarian dan pengembangan kekayaan budaya. Keempat sasaran tersebut dicapai melalui: (1) Program Pengelolaan Keragaman Budaya; (2) Program Pengembangan Nilai Budaya; dan (3) Program Pengelolaan Kekayaan Budaya.

2.3.3. Pencapaian 2005-2008 2.3.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Pembangunan kebudayaan yang berlandaskan atas nilai-nilai luhur diharapkan dapat mencapai keempat sasaran yang telah ditetapkan. Pencapaian setiap sasaran tersebut akan menjelaskan posisi keadaan sampai dengan 2008. Sasaran pertama dan sasaran kedua merupakan sasaran yang terkait, sehingga penjelasan atas pencapaian kedua sasaran tersebut dijelaskan dalam satu bagian. Pencapaian Sasaran 1 dan 2: MenurunR]E /IXIKERKER HER %RGEQER /SRMO Antar-kelompok serta Semakin Kokohnya NKRI Berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika Pencapaian sasaran pertama (Menurunnya ketegangan dan ancaman konik antar kelompok masyarakat) dan sasaran kedua (Semakin kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika) ditunjukan oleh beberapa hal antara lain berkembangnya pemahaman terhadap pentingnya kesadaran multikultural dan menurunnya eskalasi konik horisontal pasca-reformasi. Program Pengelolaan Keragaman Budaya terkait dengan pencapaian atas kedua sasaran tersebut. Hasil yang telah dicapai pada kurun waktu 20052008, antara lain: 1. Terlaksananya dialog antarbudaya yang terbuka dan demokratis untuk mengatasi per-

1. Menurunnya ketegangan dan ancaman konik antar-kelompok masyarakat; 2. Semakin kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika; 3. Semakin berkembangnya penerapan nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya nasional yang terwujud dalam setiap aspek kebijakan pembangunan; dan

30

Bagian 2

soalan bangsa khususnya dalam rangka kebersamaan dan integrasi; 2. Terlaksananya kampanye hidup rukun dalam keragaman budaya/multikultur; 3. Tersusunnya konsep dasar Neraca Satelit Kebudayaan Nasional (Nesbudnas); 4. Tersusunnya Peta Kesenian Indonesia dan Peta Budaya Indonesia secara digital dalam program database berikut pelatihan khusus melalui training of trainers (ToT) bagi tenaga operatornya untuk melayani kabupaten/ kota; 5. Terlaksananya kegiatan jelajah budaya; 6. Terselenggaranya program lm kompetitif untuk memotivasi para sineas membuat lm cerita; 7. Terselenggaranya Festival Film Indonesia (FFI); 8. Terlaksananya sensor lm dan pembuatan Direktori Perlman Indonesia; 9. Tersusunnya konsep revisi UU No. 8 Tahun 1992 tentang perlman sebagai dasar pengembangan perlman nasional di masa yang akan datang serta sosialisasinya; 10. Terlaksananya koordinasi Tim Pembuatan Film Noncerita Asing di Indonesia yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai lokasi syuting lm dunia; 11. Terlaksananya pengiriman lm Indonesia ke Festival Film Internasional di Cannes Perancis dan Pusan International Film Festival di Korea Selatan serta Festival Film Asia Osians Cinefan VII di New Delhi, India; dan fasilitasi kerjasama asosiasi pembuat lm internasional; 12. Terlaksananya kunjungan situs-situs sejarah, penulisan, dan diskusi dengan tema Lawatan Sejarah: Merajut Simpul-Simpul Perekat Bangsa baik di tingkat lokal maupun nasional; 13. Terlaksananya sosialisasi dan promosi Indonesia Performing Arts Mart (IPAM);

14. Terlaksananya konservasi lukisan di Museum Le Mayeur; 15. Terlaksananya penyelenggaraan Lomba Lukis dan Cipta Puisi Anak-anak; 16. Terlaksananya penyelenggaraan Festival Sastra Nusantara dan Pameran Seni Rupa Nusantara; 17. Terlaksananya penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan; 18. Terlaksananya First Indonesia Expo Central East Europe di Polandia; 19. Terselenggaranya Konggres Kebudayaan di Bogor yang bertujuan untuk memfasilitasi pemetaan dan pembahasan gagasan, apresiasi, minat dan partisipasi masyarakat khususnya budayawan, ilmuwan, tokoh masyarakat, dan Pemerintah dalam membangun kebudayaan nasional. Pencapaian Sasaran 3: Semakin Berkembangnya Penerapan Nilai Baru yang Positif dan Produktif dalam Rangka Memantapkan Budaya Nasional yang Terwujud dalam Setiap Aspek Kebijakan Pembangunan Pencapaian sasaran ketiga ditunjukkan melalui pencapaian dari Program Pengembangan Nilai Budaya, dengan hasil-hasil antara lain: 1. Terlaksananya inventarisasi aspek-aspek tradisi untuk menggali kearifan tradisional yang dimiliki suku bangsa, inventarisasi masyarakat adat yang mencakup upacara adat, tempat-tempat spiritual dan reinventarisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bimbingan Pamong Budaya Spiritual dan Kepercayaan Komunitas Adat serta perekaman dan penyiaran Kegiatan Budaya Spiritual dan Upacara Adat; 2. Tersusunnya nilai-nilai kepercayaan masyarakat suku-suku bangsa;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

31

dikan dan pembentukan kepribadian bangsa dalam konteks multikultur; 10. Penerbitan pedoman dan sosialisasi Etika Kehidupan Berbangsa: Rumusan dan Rencana Aksi yang merupakan penjelasan operasional dari Tap MPR-RI No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; 11. Tersusunnya buku Bunga Rampai Berpikir Positif Suku-Suku Bangsa, dan Budaya Berpikir Positif; 12. Terlaksananya pengenalan nilai-nilai budaya dalam rangka nation and character building; 13. Terlaksananya penganugerahan penghargaan kebudayaan bagi pelaku dan pemerhati kebudayaan untuk mendorong partisipasi aktif dalam pengembangan kebudayaan nasional dan kampanye hidup rukun dalam kemajemukan; 14. Terlaksananya sosialisasi/peningkatan minat dan budaya baca masyarakat;
Dok : UNESCO

3. Tersusunnya Naskah Potret Potensi Industri Budaya; 4. Terselenggaranya Gelar Budaya Daerah, Dongeng Anak-anak Nusantara, Pesta Permainan Tradisional Anak, dan Festival Nasional Musik Tradisional untuk anak-anak; 5. Terlaksananya Festival Seni Budaya Indonesia;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

15. Terlaksananya Kemah Budaya di Bumi Perkemahan Paneki Donggala Sulawesi Tengah, dan Perkemahan Budaya Nasional di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dan penyelenggaraan Jelajah Budaya di Polewali Mandar Sulawesi Barat dan Gorontalo; 16. Terselenggaranya Arung Sejarah Bahari I (Ajari I) untuk memupuk semangat nasionalisme dan cinta lingkungan alam; 17. Terselenggaranya Art Summit Indonesia IV dan Indonesia Performing Art Mart 2005; 18. Terselenggaranya pentas seni multimedia Megalitikum Kuantum; 19. Terlaksananya pementasan opera I La Galigo di Lincoln Center, dan di Gedung Asia Society, New York; 20. Terselenggaranya pameran Kebudayaan Islam untuk meningkatkan citra peradaban Islam di Indonesia yang berjudul Crescent Moon: Islamic Arts and Civilization of South East Asia di Adelaide dan Canberra, Australia;

6. Terlaksananya pergelaran Gita Bahana Nusantara; 7. Tersusunnya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Nasional; 8. Tersusunnya Inpres 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata; 9. Terselenggaranya Musyawarah Kerja Nasional Sejarah yang membahas berbagai aspek muatan kesejarahan dalam kurikulum pendi-

32

Bagian 2

21. Terlaksananya pengiriman misi kesenian ke berbagai acara internasional, seperti Australia Performing Arts Mart (APAM), World Summit on Art and Culture di New Castle, UK dan China Shanghai International Arts Festival serta penyelenggaraan Indonesian Night di Beizing dan Jinan, Cina yang bekerjasama dengan perkumpulan Indonesia-Tionghoa (INTI); 22. Terselenggaranya Hari Raya Waisak Internasional di kompleks Candi Borobudur dengan menampilkan serangkaian kegiatan berupa pergelaran kolaborasi penari-penari dari enam negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam serta peluncuran perangko dan buku Trail of Civilization yang berisi informasi mengenai bangunan-bangunan Budha dari enam negara tersebut; 23. Penyusunan inventarisasi aspek-aspek tradisi dan inventarisasi masyarakat adat; 24. Pemetaan kebudayaan Indonesia di lima daerah destinasi unggulan, yaitu Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur; 25. Penyelenggaraan gelar Dongeng Anak-anak Nusantara dan pesta permainan tradisional anak; 26. Sosialisasi pasar tradisional pada era hipermarket; 27. Gelar Budaya Maritim di Sulawesi Selatan;

28. Penyelenggaraan Pawai Budaya Nusantara; 29. Terlaksananya pembinaan pelaku budaya spiritual bagi generasi muda; dan 30. Terlaksananya monogra komunitas adat. Pencapaian Sasaran 4: Meningkatnya Pelestarian dan Pengembangan Kekayaan Budaya Pencapaian sasaran keempat ditunjukkan melalui pencapaian dari Program Pengelolaan Kekayaan Budaya, dengan hasil-hasil antara lain:: 1. Terdaftarnya Tana Toraja, Jatiluwih, Pakerisan dan Pura Taman Ayun dalam nominasi Warisan Dunia (UNESCO World Heritage List); 2. Terlaksananya sayembara Penulisan Sejarah Kebudayaan Indonesia mencakup Sejarah Pemikiran, Sejarah Perilaku, dan Sejarah Bendabenda; 3. Terlaksananya penulisan naskah Sejarah Indonesia Jilid VIII yang dilengkapi dengan berbagai temuan baru dalam bidang sejarah hasil penulisan tesis dan disertasi yang komprehensif; 4. Terlaksananya penulisan Sejarah Kebudayaan Indonesia dan penulisan Sejarah Pemikiran untuk memperkaya pengetahuan kita tentang kebudayaan Indonesia, dan penyusunan Ensiklopedi Sejarah Perkembangan Iptek; 5. Terlaksananya Lawatan Sejarah di Makassar dengan tema Pelayaran Makassar Selayar merajut simbol-simbol Maritim Perekat Bangsa, dan lawatan Sejarah Nasional IV di Bangka Belitung dengan tema Pangkal Pinang Kota Pangkal Kemenangan, dan Lawatan Sejarah Tingkat Nasional di Bali dengan tema Puputan di Bali; 6. Tersusunnya Pedoman Kajian Geogra Sejarah; 7. Terselenggaranya Konferensi Nasional Sejarah VIII;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : DEPBUDPAR

33

8. Terlaksananya koordinasi penanganan perlindungan benda cagar budaya (BCB) dan Survei Arkeologi Bawah Air dan peningkatan kemampuan dan keterampilan pengelolaan peninggalan bawah air melalui bimbingan teknis fotogra bawah air yang difokuskan pada kemampuan membuat foto mosaik; 9. Terlaksananya transkripsi, transliterasi, dan alih media naskah kuno; 10. Terlaksananya Pameran Batik Inovatif; 11. Terselenggaranya Sidang ke-40 ASEAN-Committee on Culture and Information (ASEANCOCI) di Mataram; 12. Terlaksananya pemberian bantuan kepada 21 museum daerah dan tersusunnya Pedoman Museum Situs sebagai landasan bagi Pemda kabupaten/kota dan masyarakat dalam

mendirikan museum. Pemerintah juga melaksanakan sosialisasi pengelolaan museum dan diklat teknis permuseuman tingkat daerah dan terlaksananya monogra museum Indonesia; 13. Terlaksananya pemberian bantuan kepada Museum NTT berupa penataan dan pameran tetap beserta sarananya tentang manusia purba Flores (Homo Floresiensis); 14. Terlaksananya pemberian bantuan advokasi terhadap penanggulangan kasus pelanggaran benda cagar budaya dan penanganan perlindungan benda cagar budaya bawah air; 15. Tersusunnya Pedoman Kajian Geogra Sejarah dan Pedoman Sistem Informasi Geogras untuk Pemetaan Sejarah; 16. Tersusunnya konsep Museum Maritim dan pendirian Museum Sejarah Nasional serta pedoman Pengembangan Museum Situs Cagar Budaya; 17. Terlaksananya konservasi dan rehabilitasi Istana Tua Sumbawa beserta kawasannya; 18. Terlaksananya penggalian dan penelitian situs Trowulan yang dilanjutkan dengan kegiatan pameran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Situs Trowulan bekerjasama dengan Yayasan Kebudayaan Indonesia-Jepang (NIHINDO); 19. Terlaksananya koordinasi dalam rangka ratikasi UNESCO: Convention on The Protection of Underwater Cultural Heritage;

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

20. Terlaksananya pembuatan Komik Purbakala dengan judul Petualangan Arki 2: Arki dan Kemegahan Candi; 21. Terlaksananya sosialisasi/kampanye peningkatan apresiasi masyarakat terhadap museum; 22. Terlaksananya dialog interaktif kepurbakalaan di RRI Nasional Pro-3 Jakarta; 23. Terlaksananya peningkatan kualitas SDM bidang peninggalan bawah air;
Dok : DEPBUDPAR

34

Bagian 2

24. Terlaksananya kajian pemekaran wilayah di Sulawesi dalam perspektif sejarah; 25. Terlaksananya Trail of Civilization on Cultural Heritage Tourism Cooperation among Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Myanmar, Thailand, and Vietnam; 26. Terlaksananya pengembangan Situs Sangiran yang meliputi zonasi kawasan Sangiran, tata ruang kawasan, keserasian tata ruang dan kelestarian ekologi, serta pengembangan pariwisata sejarah dan budaya (Cultural Heritage Tourism Management); 27. Tersusunnya revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya; 28. Terlaksananya pemberian bantuan advokasi terhadap penanggulangan kasus pelanggaran benda cagar budaya dan penanganan perlindungan benda cagar budaya bawah air; 29. Kajian pemekaran wilayah di Sulawesi dalam Perspektif Sejarah; 30. Terlaksananya penyusunan Pedoman Kajian Geogra Sejarah dan Pedoman Sistem Informasi Geogras untuk Pemetaan Sejarah; 31. Terlaksananya pemetaan Sejarah Kota Yogyakarta dan Klaten Pascagempa; 32. Terlaksananya penyusunan Pedoman Pengembangan Museum Situs Cagar Budaya; 33. Terlaksananya pemberian bantuan kepada 21 museum daerah; dan 34. Terlaksananya pengembangan pariwisata sejarah dan budaya (cultural heritage tourism management). 2.3.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan bidang kebudayaan, antara lain: 1. Adanya kecenderungan semakin lunturnya kebanggaan terhadap identitas budaya bangsa di kalangan generasi muda, yang berdampak pada menurunnya modal sosial dan pada akhirnya akan berdampak terhadap menurunnya daya saing bangsa; 2. Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pelestarian nilai budaya dan kearifan lokal. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (a) adanya kecenderungan pengalihan ruang publik ke ruang privat sehingga mempersempit tersedianya tempat penyaluran aspirasi masyarakat yang multikultur; dan (b) lajunya pembangunan ekonomi yang kurang diimbangi oleh pembangunan karakter sehingga memperlemah kearifan lokal yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia serta mengurangi apresiasi dan rasa cinta terhadap budaya dan produk dalam negeri; 3. Masih rendahnya kualitas pengelolaan kekayaan budaya dan rendahnya kualitas SDM bidang konservasi dan preservasi benda cagar budaya (BCB), sehingga banyak BCB yang tidak terawat atau hilang, BCB yang diperjualbelikan ke mancanegara serta terjadinya pemalsuan terhadap benda-benda koleksi museum; 4. Masih rendahnya perhatian Pemerintah Daerah dalam mengelola keragaman budaya sehingga masih dijumpai berbagai konik sosial dan horisontal yang berpotensi mengancam integrasi nasional. Kondisi ini antara lain dipengaruhi oleh: (a) belum optimalnya kerjasama yang sinergis antar-pemangku kepentingan, dan (b) belum dapat dipahaminya dengan baik program dan kegiatan oleh berbagai pihak terkait dalam mewujudkan identitas budaya nasional.

Dari rangkaian upaya yang telah dilakukan untuk mencapai sasaran dalam RPJMN 2004-2009, teridentikasi beberapa permasalahan yang menyebabkan pencapaian sasaran kurang optimal.

35

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

1. Penyelenggaraan berbagai dialog kebudayaan dan kebangsaan; 2. Pengembangan kesenian dan perlman nasional; 3. Pengembangan galeri nasional; 4. Pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) bidang perlman; 5. Peningkatan sensor lm; 6. Stimulasi perlman melalui Lomba Film Kompetitif dan Festival Film Indonesia (FFI);
Dok : PolaGrade

2.3.4. 2.3.4.1.

Tindak Lanjut Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

7. Fasilitasi penyelenggaraan festival budaya daerah; 8. Pendukungan pengelolaan taman budaya daerah; 9. Optimalisasi koordinasi pengembangan nilai budaya, seni, dan lm; 10. Revitalisasi nilai luhur, budi pekerti, dan karakter bangsa; 11. Pelestarian dan pengaktualisasian nilai-nilai tradisi; 12. Pelestarian dan aktualisasi adat dan tradisi; 13. Pelaksanaan kebijakan pengembangan nilai budaya di seluruh Indonesia; 14. Pendukungan pengembangan nilai budaya daerah; 15. Pengembangan pengelolaan dokumen/arsip negara dengan membangun pusat jaringan informasi kearsipan nasional (JIKN) yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK); 16. Penyelenggaraan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada masyarakat; 17. Pemanfaatan naskah kuno Nusantara; 18. Pengembangan nilai sejarah; 19. Penyusunan buku sejarah dan geogra sejarah nasional; 20. Pengelolaan peninggalan kepurbakalaan; 21. Fasilitasi penyelamatan pusaka bawah air;

Upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 diarahkan melalui kebijakan: 1. Menyelesaikan peraturan perundang-undangan di bidang kebudayaan; 2. Menyaring masuknya kebudayaan yang berdampak negatif terhadap sik, psikologis, dan moral generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta terhadap martabat bangsa; 3. Menyelaraskan pembangunan ekonomi dan sosial serta pengembangan teknologi dengan nilai-nilai budaya dan warisan budaya yang ada, baik sik maupun non-sik (cultural based development); dan 4. Mengembangkan pola kemitraan Pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam melestarikan benda cagar budaya dan warisan budaya serta warisan alam. Untuk mengatasi permasalahan yang timbul karena interaksi budaya yang semakin terbuka antara tataran nilai lokal dan global, tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan kebudayaan pada masa mendatang antara lain adalah:

36

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

22. Pengembangan/pengelolaan permuseuman dan pemahaman kekayaan budaya; 23. Pendukungan pengelolaan museum daerah dan kekayaan budaya daerah; 24. Pelestarian sik dan kandungan naskah kuno; 25. Perekaman dan digitalisasi bahan pustaka; 26. Pengelolaan koleksi deposit nasional; dan 27. Pengembangan statistik perpustakaan dan perbukuan. Dalam pelaksanaan pencapaian sasaran tersebut, semua langkah tindak lanjut akan juga mempertimbangkan pengembangan karakter dan pembangunan bangsa. 2.3.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

budaya dan menghadapi derasnya arus budaya global; 2. Terlaksananya sosialisasi dan advokasi nilainilai kebangsaan dan strategi penguatannya dengan sikap saling menghormati dan menghargai keberagaman budaya dalam rangka memperkokoh NKRI; 3. Terpeliharanya kerjasama yang sinergis antar-pihak terkait dalam upaya pelestarian kekayaan budaya; 4. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkepribadian, berbudi luhur, dan mencintai kebudayaan Indonesia.

2.3.5. Penutup Pembangunan karakter bangsa membutuhkan upaya keras secara terus menerus. Dewasa ini, pembangunan karakter bangsa merupakan satu hal yang penting mengingat semakin lunturnya kebanggaan terhadap identitas bangsa. Dengan kondisi ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan berat dalam melakukan pembangunan kebudayaan. Selain itu, sebagai bangsa yang bercorak majemuk, Indonesia diharuskan pula dapat menjadikan keragaman menjadi suatu potensi dalam melakukan pembangunan kebudayaan. Demikian pula, seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat maka dibutuhkannya penyesuaian tata nilai dan perilaku yang terkait dengan kebudayaan. Oleh karenanya, pengembangan kebudayaan diharapkan dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Di samping itu, pengembangan kebudayaan dimaksudkan untuk menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.

Dari berbagai capaian serta evaluasi dan tindak lanjut yang akan dilakukan. Maka, sasaran yang akan tercapai pada akhir RPJMN 2004-2009 adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya kesadaran masyarakat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalam rangka penguatan ketahanan

Dok : PolaGrade

37

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Tempo, Gunawan Wicaksono

Bagian 2

BAB 2.4
Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas
2.4.1. Pengantar bandingan tersebut masih jauh dari standar yang ditetapkan oleh PBB yaitu 1 personil polisi untuk 400 orang penduduk. Pengawasan dan penegakan hukum pada pemanfaatan ilegal sumberdaya alam baik di darat maupun di laut juga masih lemah. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah masalah kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum yang semakin berkurang. Hal ini meningkatkan berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran hukum ditengah masyarakat. Dari beberapa kenyataan tersebut, sasaran yang ingin dicapai dalam upaya peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas adalah sebagai berikut: 1. Menurunnya angka pelanggaran hukum dan indeks kriminalitas, serta meningkatnya penuntasan kasus kriminalitas untuk menciptakan rasa aman masyarakat; 2. Terungkapnya jaringan kejahatan internasional, terutama: narkoba, perdagangan manusia, dan pencucian uang; 3. Terlindunginya keamanan lalu lintas informasi rahasia lembaga negara sesudah diterapkannya Asean Free Trade Area (AFTA) dan zona perdagangan bebas lainnya, terutama untuk lembaga/fasilitas vital negara; 4. Menurunnya jumlah pecandu narkoba, terungkapnya kasus dan dapat diberantasnya jaringan utama pemasok narkoba dan precursor;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Rasa aman dan damai masyarakat membutuhkan sebuah kondisi keamanan dan ketertiban yang kondusif, serta penanganan kriminalitas secara baik. Gangguan keamanan, ketertiban dan kriminalitas dilatar-belakangi oleh permasalahan yang cukup kompleks dan menyangkut banyak hal seperti kondisi sosial politik, ketidakadilan, kesenjangan kesejahteraan ekonomi, serta upaya provokasi yang mengeksploitasi perbedaan etnis, agama dan golongan. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung di beberapa wilayah yang tidak disertai dengan kepatuhan terhadap hukum dan kematangan elite politik daerah, juga ikut menjadi salah satu faktor penyebab berbagai kerusuhan sosial dan konik horisontal.

2.4.2.

Kondisi Awal RPJMN 2004-2009 dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Menjelang penyusunan RPJMN 2004-2009, indeks kriminalitas meningkat dari 86 pada 2002 menjadi 99 pada 2003. Hal tersebut diikuti pula oleh berlarut-larutnya penyelesaian kasus kriminal yang hanya rata-rata 55,5 persen sepanjang 1999-2003. Demikian pula, peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dari 2 juta pecandu narkoba, sekitar 90 persen diantaranya adalah generasi muda. Pada 2004, rasio jumlah personil anggota POLRI dengan jumlah penduduk adalah 1 berbanding 750. Per-

39

5. Menurunnya jumlah gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut, terutama pada alur perdagangan dan distribusi serta alur pelayaran internasional serta menurunnya kegiatan illegal shing; 6. Terungkapnya jaringan utama pencurian sumberdaya kehutanan serta membaiknya praktik penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya kehutanan dalam memberantas illegal logging, over cutting, dan illegal trading; 7. Meningkatnya kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum; 8. Meningkatnya kinerja POLRI yang tercermin dengan menurunnya angka kriminalitas, pelanggaran hukum, dan meningkatnya penyelesaian kasus-kasus hukum. Untuk mencapai sasaran peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas, dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut : 1. Program pengembangan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan keamanan negara

kualitas maupun kuantitas dalam rangka menciptakan lembaga kepolisian yang profesional. 4. Program pengembangan sarana dan prasarana kepolisian

Program ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan pemberdayaan materiil fasilitas dan jasa dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalisme kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 5. Program pengembangan strategi keamanan dan ketertiban

Program ini ditujukan untuk mengembangkan langkah-langkah strategis antisipatif ancaman kemanan nasional dan ketertiban masyarakat. 6. Program pemberdayaan potensi keamanan

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme intelijen guna lebih peka, tajam dan antisipatif dalam mendeteksi dan mengeliminir berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional dalam hal deteksi dini untuk meningkatkan keamanan, ketertiban, dan menanggulangi krimintalitas.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program ini ditujukan untuk mendekatkan polisi dengan masyarakat agar masyarakat terdorong bekerjasama dengan kepolisian melalui pembinaan kepada masyarakat dalam membantu tugas pokok kepolisian untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. 7. Program pemeliharaan kamtibmas

2.

Program pengembangan pengamanan rahasia negara

Program ini ditujukan untuk mewujudkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat yang mampu melindungi seluruh warga masyarakat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana

Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengamanan berita rahasia negara guna mendukung terselenggaranya pembangunan nasional dalam hal peningkatan keamanan. 3. Program pengembangan SDM kepolisian

40

Program ini ditujukan untuk mengembangkan SDM yang memadai dan mencukupi baik dari segi

Program ini ditujukan untuk mewujudkan penegakan supremasi hukum dalam menghadapi tindak kriminalitas serta pelanggaran hukum lainnya.

Bagian 2

9.

Program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba

2.4.3. 2.4.3.1.

Pencapaian 2005-2008 Posisi Capaian hingga 2008

Program ini ditujukan untuk mewujudkan penegakan supremasi hukum dalam menghadapi tindak kriminalitas serta pelanggaran hukum lainnya 10. Program pemantapan keamanan dalam negeri Program ini ditujukan untuk meningkatkan dan memantapkan keamanan dan ketertiban wilayah Indonesia terutama di daerah rawan seperti wilayah laut Indonesia, wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, serta meningkatkan kondisi aman wilayah Indonesia antara lain untuk mencegah dan menanggulangi illegal shing dan illegal mining, serta kejahatan dan pelanggaran hukum di laut, serta kejahatan dan pelanggaran hukum dalam pengelolaan sumber daya kehutanan

Berbagai upaya yang ditempuh dalam menciptakan keamanan dalam negeri telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Meskipun tindak kejahatan konvensional dan kejahatan berimplikasi kontinjensi menunjukkan kecenderungan meningkat, tetapi hal tersebut diikuti pula dengan penyelesaian yang meningkat. Selain menurunnya kejahanan konvensional, tingkat keamanan dalam negeri juga menunjukkan semajuan sebagai berikut: 1. Penanganan ancaman kejahatan transnasional terhadap keamanan dalam negeri

Pemulihan keamanan di daerah rawan konik seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua,

Gambar 2.4.1. Trend Kejahatan Indonesia 2005 - Maret 2008


Trend Kejahatan Konvesional 2005-Des 2008
300,000 250,000
jumlah jumlah

Trend Kejahatan Transnasional 2005-Maret 2008


10,000 8,000 6,000 4,000 2,000

200,000 150,000 100,000 50,000 0 Kasus Cleared 2005 161,671 72,888 2006 168,685 75,487 2007 244,875 114,875 2008 184,108 97,269

2005 3,441 3,471

2006 9,331 8,702

2007 5,391 5,009

2008 759 649

Kasus Cleared

Trend Kejahatan Kekayaan Negara 2005-Maret 2008


5,000 4,500 4,000

Trend Kejahatan Berimplikasi Kontijensi 2005-Maret 2008

1600 1400 1200


jumlah

jumlah

3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 K asus Cleared 2005 3,049 2,335 2006 4,327 2,599 2007 2,599 1,816 2008 1,046 724

1000 800 600 400 200 0 2005 Kasus Cleared 147 95 2006 273 69 2007 1486 464 2008 0 0

41

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Maluku, dan sejumlah daerah lain, difokuskan untuk menangkap pelaku utama kasus kekerasan agar diproses secara hukum. Secara umum kondisi di daerah-daerah tersebut semakin membaik, walau secara sporadis terkadang masih terjadi benturan antara sesama masyarakat maupun dengan aparat keamanan. 2. Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba

lakukan penerapan sistem monitoring, controlling, and surveilance melalui: 1. Pengembangan vessel monitoring system; 2. Peningkatan kapasitas pos pengawas dan unit pelaksana teknis pengawasan; 3. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat (siswasmas) dengan membentuk kelompok masyarakat pengawasan; 4. Kerjasama operasional pengawasan dengan TNI AL dan Polri serta operasi pengawasan oleh kapal pengawas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP); 5. Persiapan pembentukan pengadilan khusus perikanan; 6. Penataan sistem perizinan. 4. Pengawasan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya kehutanan

Untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, Pemerintah membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Upaya ini telah terbukti berhasil dengan diungkap dan ditemukannya sejumlah laboratorium gelap narkoba dalam skala kecil dan besar. Selama kurun waktu 19992008 perkara hukum yang telah diputus pidana mati sebanyak 72 orang, 5 orang diantaranya telah dieksekusi mati. 3. Penanganan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut

Untuk mencegah pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tidak sah, telah di-

Sebagai upaya mencegah dan mengurangi kerugian akibat pembalakan hutan, telah dilaksanakan penyidikan dan perlindungan hutan melalui operasi intelejen dan operasi represif pengamanan hutan. Tindakan lainnya berupa kerjasama dengan Cina, Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan Norwegia untuk tidak membeli kayu hasil penebangan liar.

Gambar 2.4.2. Kasus Tindak Pidana Narkoba 2003-2008


12000 11380 9422 8171 6733 5658 6000 3929 4000 2000 0 2003 200 4 2005 2006 2007 2008 (J uni) 2590 1348 621 648 3874 3887 2275 1961 4160 9289 9105 8948

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

10000 8000

42

NARK O TIKA

PSIK O TRO PIKA

BAHAN BHY

Bagian 2

Dalam rangka memperkuat peraturan perundang-undangan untuk mencegah kejahatan kehutanan, Pemerintah telah selesai menyusun Rancangan UU (RUU) Pemberantasan Pembalakan Liar dan Penyusunan draft Menteri Kehutanan tentang Perlindungan Hutan di Kawasan Hutan yang Dibebani Hak serta draft Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Penanganan Barang Bukti Hasil Kejahatan Kehutanan yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan hutan. 6. Peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian

beberapa daerah perbatasan yang lain dirasakan masih cukup tinggi. Hal ini ditengarai disebabkan karena beberapa negara tetangga menjadi tempat pencucian kayu-kayu ilegal dari Indonesia sebelum diekspor kembali ke negara tujuan. 2. Eksploitasi tenaga kerja dan perdagangan manusia

Guna meningkatkan kemampuan Polri dalam mencegah dan menindak kejahatan terorisme dan narkoba, di setiap Kepolisian Daerah (Polda) telah di bentuk Detasemen (Den)-88 dan Direktorat (Dit) Narkoba. Di beberapa daerah juga sudah terbentuk Dit. PAM Pariwisata sebagai upaya mendukung program Pemerintah menggalakkan sektor pariwisata. Guna mendukung kendali operasional telah dibangun sistem operasional on-line dari Markas Besar ke seluruh Polda. Hal tersebut juga didukung dengan manajemen informasi yang memungkinkan penyampaian data dalam waktu nyata (real time). Kesigapan aparat keamanan dalam mendeteksi dan mengatasi gejala awal telah mampu meredam potensi konik menjadi tidak muncul ke permukaan. 2.4.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

Banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengalami permasalahan di luar negeri mengindikasikan telah terjadi eksploitasi ketenagakerjaan secara ilegal. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan rumitnya proses rekruitmen, penempatan yang tidak sesuai keahlian serta proses pengiriman yang dilakukan secara ilegal. Dalam hal perdagangan manusia (human tracking), Indonesia masih termasuk ke dalam negara dengan kategori beritensitas tinggi, dimana pada tahun 2008, lebih dari 150.000 anak terlibat dalam kejahatan ini. 3. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba

4.

Gangguan pelayaran

Beberapa kendala yang menyebabkan upaya yang dilakukan belum mencapai target yang diharapkan adalah: 1. Masih adanya illegal logging, illegal mining, ataupun illegal shing

Intensitas kegiatan-kegiatan ilegal tersebut terutama di daerah-daerah perbatasan, seperti Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Papua, dan

Selat Malaka adalah salah satu alur laut kepulauan Indonesia yang bernilai sangat strategis. Namun, tingkat gangguan pelayaran penumpang maupun barang di lokasi tersebut belum menunjukkan gejala penurunan secara signikan dan sulit diatasi. Untuk itu, TNI Angkatan Laut se-bagai unsur penegak kedaulatan di laut dan Polri perlu ditingkatkan kemampuannya, agar mampu secara optimal menegakkan kedaulatan dan menindak

43

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Berbagai upaya penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba secara intensif terus dilakukan. Namun, hal tersebut agaknya belum menurunkan tingkat kejahatan narkoba secara signikan. Pelaku kejahatan narkoba tidak jera meski dihadapkan pada sanksi hukuman berat, termasuk hukuman mati. Dalam konteks ini, upaya sementara pihak melakukan uji material pasal hukuman mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah sangat disayangkan.

pelanggaran hukum di laut. Selain itu, kerja sama teknis dengan negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS) untuk mengatasi gangguan keamanan di Selat Malaka akan ditingkatkan.

2.4.4. Tindak Lanjut 2.4.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

pembangunan jaringan komunikasi intelijen guna menunjang kelancaran arus informasi intelijen secara cepat, tepat, dan aman. Adapun pengembangan sistem pengamanan rahasia negara perlu ditingkatkan dengan peningkatan gelar peralatan sandi. Selain itu, percepatan penetapan RUU Rahasia Negara menjadi UU juga sangat diperlukan sebagai payung hukum dalam pengamanan berita rahasia negara; 2. Pengembangan SDM Kepolisian melalui pengembangan kekuatan dan kemampuan personil Polri menuju profesionalisasi Kepolisian. Selain itu, peningkatan kemampuan PNS Polri perlu diarahkan menjadi komplemen dalam organisasi Polri. Pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian dilakukan dengan pemeliharaan sarana-prasarana dan peralatan Polri untuk memperpanjang usia pakai serta pembangunan materil dan fasilitas Polri; 3. Pemberdayaan potensi keamanan, melalui pemberdayaan community policing. Dalam

Berdasarkan kondisi yang ada, masih banyak sasaran yang belum bisa tercapai sampai dengan 2008. Beberapa penyebabnya adalah keterbatasan anggaran serta adanya perubahan skala prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam rentang sisa waktu satu tahun ke depan, upaya peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas memerlukan tindak lanjut sebagai berikut: 1. Pengembangan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan keamanan negara melalui percepatan pengadaan intelijen device serta

44

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : Tempo, Wahyu Setiawan

Bagian 2

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, diperlukan peningkatan kualitas pelayanan Kepolisian dalam bidang pencegahan tindak kriminal, penyelamatan masyarakat, dan pemulihan keamanan. Dalam hal ini, termasuk pula penanganan keamanan di wilayah konik, pemulihan keamanan pada daerah rawan konik serta peningkatan pospos wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar berpenghuni; 4. Peningkatan kerjasama keamanan dan ketertiban, melalui kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral dalam pencegahan kejahatan transnasional, terutama di wilayah perbatasan, serta kerjasama keamanan lintas instansi; 5. Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, melalui: penegakan hukum di bidang narkoba, pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang salah satunya melalui kampanye nasional dan sosialisasi anti-narkoba, terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba, mengembangkan proyek percontohan (pilot project) pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dengan sebaran di wilayah rawan penyalahgunaan narkoba; 6. Pemantapan keamanan dalam negeri, melalui: (a) Operasi gabungan pencegahan gangguan keamanan di laut; (b) Pembangunan early warning system; (c) Peningkatan operasi pengamanan hutan; (d) Peningkatan pengamanan hutan berbasis sumberdaya masyarakat; (e) Pembentukan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC); (f) Penegakan undang-undang dan peraturan serta mempercepat proses penindakan pelanggaran hukum di sektor kehutanan; (g) Kerjasama dengan negara-negara konsumen, serta lembaga swadaya nasional (LSM) nasional dan internasional.

2.4.5.

Penutup

Secara keseluruhan, upaya peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas menunjukkan hasil yang lebih baik. Namun, pencapaian sasaran secara lebih optimal membutuhkan konsistensi dan kesinambungan program di masa datang. Gangguan angguan keamanan, ketertiban, dan kriminalitas secara umum masih dalam tingkat terkendali. Meskipun demikian, tidak bisa dimungkiri bahwa variasi kejahatan dan aktualisasi konik horisontal semakin kompleks dan meningkat. Terkait dengan kriminalitas internasional, globalisasi dan pasar-bebas membuat organisasi kejahatan internasional yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi, informasi, dan persenjataan semakin berkembang pesat. Untuk penanganan ancaman kejahatan transnasional terhadap keamanan dalam negeri, telah dilakukan berbagai upaya pemulihan keamanan, , terutama di daerah rawan konik. Selain penangkapan pelaku utama, semua kasus kekerasan juga akan diproses secara hukum. Sementara, daerah rawan konik seperti NAD, Papua, Maluku, dan sejumlah daerah lain, kondisinya secara umum semakin membaik, meskipun secara sporadis masih terjadi benturan antara sesama masyarakat maupun dengan aparat keamanan. Untuk pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, telah dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Meskipun satuan ini baru terbentuk di wilayah Provinsi DKI Jakarta, namun satuan ini telah berhasil menguak beberapa kasus tindak pidana narkoba besar seperti ditemukannya laboratorium gelap narkoba dalam skala kecil dan besar, serta terbongkarnya jaringan peredaran gelap narkoba.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

45

Dok : PLN

Untuk mencegah pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tidak sah, telah dilakukan penerapan sistem monitoring, controlling, and surveilance. Sementara guna mencegah dan mengurangi kerugian akibat pembalakan hutan, telah dilaksanakan penyidikan dan pelindungan hutan melalui operasi intelejen dan operasi represif pengamanan hutan.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

minalitas adalah peningkatan toleransi masyarakat terhadap keberagaman dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya rasa aman dalam beraktivitas. Hal ini dimaksudkan agar upaya adu domba suku, agama, dan ras (SARA) antar-kelompok masyarakat dapat dihindari. Dengan dukungan semua pihak dalam menjaga dan meningkatkan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas, maka pencapaian RPJMN 2004-2009 akan mendekati target sasaran. Meskipun pencapaian tidak optimal tepat pada target, namun perbaikan dan hasil yang ada akan menjadi topangan yang kokoh bagi upaya-upaya berikutnya. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi ke depan adalah diperlukannya upaya-upaya yang lebih konsisten dan berkesinambungan.

Adapun peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian dilakukan melalui pembinaan dan pengembangan kapasitas dan kemampuan personil kepolisian. Upaya peningkatan kesigapan aparat keamanan dalam mendeteksi dan mengatasi gejala awal konik, telah pula menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini tercermin dari keberhasilan meredam potensi konik menjadi tidak muncul ke permukaan. Satu hal terpenting dalam upaya peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kri-

46

Tabel 2.4.1. Sasaran Program dan Capaian Bidang Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas
Indikator (Satuan) persen Indeks Kriminalitas Kejahatan Konvensional: Kasus Penyelesaian Kejahatan Transnasional: Kasus Penyelesaian Kecelakaan Lalu Lintas Kasus Jiwa Jiwa Jiwa Kasus Kasus Kasus 6.733 1.348 8.171 51.217 35.879 16.115 15,762 33.282 52.310 9.422 5.658 2.275 91.623 87.020 Korban Tewas Luka Berat Luka Ringan Narkotika Psikotropika Bhn Berbahaya Kasus 3.471 8.702 Kasus 3.441 9.331 6,391 5.009 48.506 16.548 20.180 45.860 11.380 9.289 1.961 759 649 42.245 14.135 16.550 39.535 9.105 8.948 4.160 Kasus 72.888 75.487 114.875 97.269 Kasus 161.671 168.685 244.875 184.108 poin 121 126 NA 121 Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008* *

No

Sasaran / Program

Menurunnya angka pelanggaran hukum dan indeks kriminalitas. Meningkatnya penuntasan kasus kriminalitas untuk menciptakan rasa aman masyarakat

Bagian 2

47

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : DEPBUDPAR

Bagian 2

BAB 2.5
Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme
2.5.1. Pengantar nya darurat sipil dan sedang memasuki persiapan tertib sipil. Sementara itu, pergerakan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) di ujung timur Nusantara telah berhasil dilokalisir, terbukti dengan insiden yang terus menurun. Ketidakberpihakan kebijakan pembangunan yang telah lama diterapkan terhadap masyarakat di kedua provinsi tersebut diyakini sebagai pemicu gerakan separatisme yang terjadi. Dengan kondisi awal tersebut, sasaran yang ingin dicapai dari upaya pencegahan dan penanggulangan separatisme adalah: 1. Kembali normalnya kehidupan masyarakat di NAD dan Papua serta tidak adanya kejadian konik baru di daerah tersebut dan daerahdaerah di seluruh wilayah NKRI; 2. Menurunnya perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan melemahnya dukungan simpatisan GAM di dalam dan luar negeri;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pencegahan dan penanggulangan gerakan separatisme adalah bagian dari agenda penting Pemerintah dalam mewujudkan Indonesia yang aman dan damai. Separatisme khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara signikan telah dapat diredam. Namun, pada beberapa daerah tertentu masih terdapat potensi dan aksi separatisme yang perlu ditangani secara arif agar terjaga keutuhan yang kokoh bagi NKRI. Masalah separatisme di Papua meskipun masih diwarnai berbagai gerakan atau upaya-upaya internasionalisasi Papua, kondisi yang ada relatif terkendali. Langkah diplomasi internasional telah berhasil mengubah pandangan kelompok separatis Papua di Papua New Ginea (PNG) menjadi mendukung penyelesaian masalah Papua melalui kebijakan otonomi khusus. Kembalinya tiga orang warga Papua yang mencari suaka politik ke Australia pada 2006 dan terus mengalirnya pernyataan setia kepada NKRI sejumlah anggota OPM, memberikan harapan besar bahwa di masa yang akan datang masalah separatisme Papua dapat diselesaikan secara damai.

3. Menurunnya kekuatan OPM dan melemahnya dukungan simpatisan OPM di dalam dan luar negeri; 4. Membaiknya pemerataan pembangunan di daerah rawan konik dan separatisme yang tercermin dari meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat; 5. Terdeteksi dan dapat dicegahnya potensi separatisme; serta 6. Tumbuh berkembangnya pemahaman dan pengamalan multikulturalisme di kalangan pemimpin, masyarakat, dan media.

2.5.2.

Kondisi Awal RPJMN dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Sebelum ebelum bencana tsunami di akhir 2004 yang melanda sebagian besar NAD, kasus separatisme di provinsi paling ujung barat tersebut telah memasuki tahapan penyelesaian dengan diberlakukan-

49

Untuk mencapai sasaran tersebut, dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut : 1. Program Pengembangan Ketahanan Nasional

6.

Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Publik

Program ini ditujukan untuk mengembangkan dan meningkatkan ketahanan nasional, wawasan nasional dan sistem manajemen nasional, serta wawasan kebangsaan bagi warga negara dalam rangka mengatasi berbagai aspek ancaman terhadap kehidupan bangsa dan negara. 2. Program Pengembangan Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan Keamanan Negara

Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan arus informasi kepada dan dari masyarakat untuk mendukung proses sosialisasi dan partisipasi politik rakyat.

2.5.3. 2.5.3.1.

Pencapaian 2005-2008 Posisi Capaian hingga 2008

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme intelijen guna lebih peka, tajam dan antisipatif dalam mendeteksi dan mengeliminir berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional dalam hal deteksi dini untuk mencegah dan menanggulangi separatisme. 3. Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan Wilayah NKRI

Beberapa capaian dari upaya Pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi separatisme hingga 2008 adalah: 1. Normalisasi Kehidupan Masyarakat di Aceh dan Papua

Program ini ditujukan untuk mewujudkan kesiapan operasional dan penindakan ancaman baik berupa invasi/agresi dari luar dan ancaman dari dalam baik ancaman militer maupun non militer. 4. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri

Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Provinsi NAD yang berlangsung dengan aman, damai, dan demokratis adalah indikasi nyata bahwa pada prinsipnya konik separatisme di NAD sudah berakhir. Pelaksanaan butir-butir kesepahaman Helsinki yang tercermin dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 secara konsisten juga menjadikan seluruh komponen masyarakat saling bahu membahu membangun NAD dalam bingkai NKRI. Kunjungan deklarator GAM Hassan Tiro ke NAD beberapa waktu lalu semakin menegaskan bahwa perdamaian di Aceh dapat diwujudkan tanpa harus mengangkat senjata. Upaya penyelesaian yang dilakukan secara damai, bermartabat dan menyeluruh berhasil mewujudkan slogan Gerakan Aceh Membangun dalam melaksanakan pembangunan di NAD dengan partisipasi seluruh masyarakat Aceh.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program ini ditujukan untuk meningkatkan dan memantapkan keamanan dan ketertiban wilayah Indonesia terutama di daerah rawan seperti wilayah laut Indonesia, wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, serta meningkatkan kondisi aman wilayah Indonesia dari tindak kejahatan separatisme. 5. Program Peningkatan Komitmen Persatuan dan Kesatuan Nasional

50

Program ini ditujukan untuk menyepakati kembali makna penting persatuan nasional dalam konstelasi politik yang sudah berubah.

Di masa yang akan datang diharapkan aksi sekecil apapun perlu ditangani secara bijak tanpa harus mengedepankan tindakan represif

Bagian 2

2.

Kekuatan OPM Menurun dan Dukungan Simpatisan OPM di Dalam dan Luar Negeri Melemah

Langkah preventif untuk mencegah semakin mengakarnya gerakan OPM lebih tepat jika diarahkan dengan cara mengambil hati masyarakat Papua dengan membangun Papua secara berkeadilan. Strategi tersebut diwujudkan dalam bingkai otonomi khusus, yang telah menunjukkan hasil yang signikan ke arah yang lebih baik. 3. Pemerataan Pembangunan di Daerah Rawan Konik dan Separatisme

matuhi kesepahaman Helsinki secara konsisten. Jangan lagi terdapat persepsi-persepsi keliru yang justru mengindikasikan tidak adanya kesepahaman terhadap esensi Helsinki. Dalam hal pembentukan partai lokal, konstitusi memperbolehkannya secara khusus di NAD. Hal ini diharapkan dapat menciptakan visi dan misi partai yang tidak mengarah pada ideologi separatisme dan pengabaian kesepahaman Helsinki. Kongres Masyarakat Adat Papua yang berlangsung pada 3 Juli 2008 merupakan permasalahan separatisme yang memerlukan perhatian lebih serius dalam upaya menjaga dan menegakkan kedaulatan NKRI. Berbagai aktivitas OPM, baik yang dilaksanakan secara sik maupun politik, telah mampu menarik simpati dunia internasional. Berkenaan dengan berbagai hal tersebut di atas, di masa yang akan datang diharapkan aksi sekecil apapun perlu ditangani secara bijak tanpa harus mengedepankan tindakan represif. Pada saat yang sama, Pemerintah senantiasa mengupayakan akselerasi pemberantasan kemiskinan dan penggalakkan pendidikan di provinsi-provinsi yang potensial melakukan tindak separatisme sebagai upaya pencegahan.

Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Pemerintahan Aceh diharapkan kondisi keamanan di wilayah NAD semakin kondusif dan merupakan momen yang sangat penting dalam membangun kebersamaan rakyat NAD sebagai bagian integral bangsa Indonesia. Begitu juga dengan Papua, keluarnya Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang percepatan pembangunan yang memprioritaskan pemantapan ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat, peningkatan akses masyarakat pada pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, kebijakan perlakuan khusus bagi putra-putri asli Papua, dan peningkatan infrastruktur dasar untuk pengembangan wilayah-wilayah potensial. 4. Berkembangnya Ketahanan Nasional

2.5.4. 2.5.4.1.

Tindak Lanjut
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Untuk mengembangkan ketahanan nasional telah dilakukan perumusan rancangan kebijakan nasional dalam rangka pembinaan ketahanan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan kepentingan nasional serta menjaga keselamatan negara dari ancaman kedaulatan, persatuan, dan kesatuan. 2.5.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan separatisme, beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti guna menegakkan kedaulatan dan keutuhan NKRI, adalah: 1. Antisipasi dan pelaksanaan operasi militer atau nonmiliter terhadap gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI, terutama gerakan separatisme bersenjata yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia;

Salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak di NAD adalah bagaimana me-

51

2. Antisipasi dan pelaksanaan operasi militer atau nonmiliter terhadap aksi radikal yang berlatar belakang primordial etnis, ras, agama, dan ideologi di luar Pancasila, baik yang berdiri sendiri maupun yang memiliki keterkaitan dengan kekuatan-kekuatan di luar negeri; 3. Pelaksanaan diplomasi untuk memperoleh dukungan internasional terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI. Sementara itu, dalam upaya peningkatan komitmen persatuan dan kesatuan nasional, tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah: 1. Pendidikan politik masyarakat; 2. Sosialisasi wawasan kebangsaan; 3. Upaya perwujudan dan fasilitasi berbagai fora dan wacana-wacana sosial politik yang dapat memperdalam pemahaman mengenai pentingnya persatuan bangsa, mengikis sikap diskriminatif, dan menghormati perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.

Upaya perwujudan dan fasilitasi berbagai fora dan wacana-wacana sosial politik yang dapat memperdalam pemahaman mengenai pen-tingnya persatuan bangsa, mengikis sikap diskriminatif, dan menghormati perbedaan-perbedaan dalam masyarakat
Capaian yang berhasil diraih dalam upaya menormalisasikan kehidupan masyarakat NAD cukup menggembirakan. Proses Pilkada di NAD berlangsung dengan aman, damai, dan demokratis. Pelaksanaan butir-butir kesepahaman Helsinki secara konsisten juga menjadikan seluruh komponen masyarakat termasuk tokoh-tokoh yang selama ini memiliki ideologi berbeda, saling bahu membahu membangun NAD dalam bingkai NKRI. Keberhasilan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD juga secara signikan membangun kepercayaan dan kebersamaan rakyat NAD sebagai bagian dari bangsa Indonesia dalam wadah NKRI. Capaian untuk menurunkan kekuatan dan dukungan simpatisan OPM di dalam dan luar negeri juga cukup menggembirakan. Intensitas perlawanan gerakan bersenjata OPM juga terus menurun. Meskipun demikian, gerakan separatisme di Papua harus terus diwaspadai. Hal ini mengingat kondisi sosial masyarakat Papua dan masih kuatnya dukungan sebagian kelompok masyarakat terhadap perjuangan OPM. Tidak kalah penting, upaya-upaya diplomasi luar negeri harus terus dilakukan secara intensif mengingat masih terdapat pihak asing yang mendukung gerakan separatisme. Oleh karena itu, langkah rekonsiliasi dengan OPM harus terus diupayakan. Langkah preventif untuk mencegah semakin mengakarnya gerakan OPM lebih tepat jika diarahkan dengan

2.5.5.

Penutup

Secara umum, upaya pencegahan dan penanggulangan separatisme telah memberikan perbaikan berarti ke arah keteguhan mempertahankan kedaulatan NKRI. Namun demikian, gerakan separatisme masih berpotensi untuk terjadi bila kesenjangan antar wilayah semakin melebar.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pemberlakuan otonomi khusus pada daerah-daerah yang terjadi gerakan separatisme, seperti di NAD dan Papua, memang cukup ampuh dalam penyelesaian separatisme secara damai. Hal ini terbukti dengan berhasilnya diredam secara signikan berbagai masalah terkait separatisme dan konik horisontal di beberapa wilayah Indonesia. Meskipun, hal tersebut belum sepenuhnya meredakan keinginan sebagian orang mengobarkan pemisahan.

52

Bagian 2

cara mengambil hati masyarakat Papua dengan membangun Papua secara berkeadilan. Upaya percepatan pembangunan harus diiringi dengan pemantapan ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat, peningkatan akses masyarakat pada pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, kebijakan perlakuan khusus bagi putra-putri asli Papua, dan peningkatan infrastruktur dasar untuk pengembangan wilayah-wilayah potensial. Ke depan, pendeteksian dini gerakan separatisme memerlukan koordinasi seluruh badan-badan intelijen pusat dan daerah di seluruh wilayah NKRI. Begitu juga, pengembangan ketahanan nasional harus diarahkan pada usaha pengembangan dan

peningkatan ketahanan nasional, wawasan nasional, sistem manajemen nasional, dan wawasan kebangsaan bagi warga negara dalam rangka mengatasi berbagai aspek ancaman kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan demikian, hingga akhir pelaksanaan RPJMN 2004-2009, berbagai sasaran diperkirakan akan tercapai. Akan tetapi, masih ada tantangan dan kendala yang harus dihadapi Pemerintah dengan arif dan bijak. Upaya penyelesaian dan pendekatan secara damai harus dikedepankan. Pemerataan kesejahteran dan pembangunan daerah-daerah harus memenuhi rasa keadilan. Jika seluruh wilayah NKRI merasakan arti pembangunan, diharapkan ke depan tidak ada lagi gerakan-gerakan separatisme.

53

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

54
Indikator (Satuan) persen Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 Telah terciptanya kondisi keamanan melalui pembentukan dan pembinaan, penggalangan, serta operasi keamanan pada daerah konik di NAD, Maluku, dan Papua Telah terciptanya kondisi keamanan melalui pembentukan dan pembinaan NAD Terlaksananya sosialisasi dan implementasi MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 dan UU Pemerintahan Aceh yang telah disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006 di seluruh wilayah NAD Meskipun terjadi insiden penurunan bendera merah putih pada peringatan 17 Agustus 2007, tetapi tidak mengganggu implementasi kesepahaman Helsinki. Terpilihnya beberapa mantan petinggi GAM yang sudah merah-putih sebagai kepala Pemerintahan daerah, memberikan harapan dukungan upaya penciptaan suasana kondusif. Sementara itu di Papua, upaya pemekaran diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam membangun ketertinggalan. Tidak ada perlawanan sik petinggi GAM, perjuangan GAM telah mengarah pada kesepahaman Helsinki yang mengakui NKRI Tidak ada perlawanan fisik petinggi GAM, perjuangan GAM telah mengarah pada kesepahaman Helsinki yang mengakui NKRI Terciptanya kebijakan negara yang mengatur peningkatan peran daerah termasuk daerah pasca konik separatisme dalam meningkatkan ketahanan negara

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 2.5.1. Sasaran Program dan Capaian Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme

No

Sasaran / Program

Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme

Kembali normalnya kehidupan masyarakat di Aceh dan Papua serta tidak adanya kejadian konik baru di suatu daerah;

Masyarakat dapat melakukan aktivitas secara tenang tanpa dibayangi aksi-aksi separatisme

Menurunnya kekuatan GAM dan melemahnya simpatisan GAM di dalam maupun luar negeri

Terjadi kesepakatan damai diantara Pemerintah dengan anggota GAM

Lanjutan Tabel 2.5.1.


Indikator (Satuan) persen Terciptanya kondisi keamanan melalui pembentukan dan pembinaan Papua Berbagai kontak sik dengan OPM mampu diredam sehingga tidak menimbulkan konik berkelanjutan. Implementasi Otsus, community development, keberhasilan Pilkada, Inpres percepatan pembangunan dll berhasil merubah pan dangan sejumlah tokoh OPM dan Parlemen Asing Pengembangan intelijen negara didukung intelijen teritorial dan intelijen sektoral/ fungsional agar mampu melakukan deteksi dini gerakan separatisme, serta penanggulangan perang urat syaraf Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

No

Sasaran / Program

Menurunnya kekuatan OPM dan melemahnya simpatisan OPM di dalam maupun luar negeri

Bagian 2

Membaiknya pemerataan pembangunan di daerah rawan konik dan separatisme yang tercermin dari membaiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat

Terlaksananya UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus NAD Terwujudnya pemberdayaan masyarakat dan pengamanan swakarsa, serta bimbingan dan penyuluhan dalam rangka pencegahan tindak separatisme, Terlaksananya operasi intelijen guna mendeteksi dan mencegah potensi separatisme Terlaksananya operasi intelijen guna mendeteksi dan mencegah potensi separatisme

Optimalisasi Pelaksanaan UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus NAD

Terdeteksi dan dapat dicegahnya potensi separatisme

Efektivitas koordinasi dan operasi intelijen

Terlaksananya operasi intelijen guna mendeteksi dan mencegah potensi separatisme

Tumbuh kembangnya pemahaman dan pengamalan multikulturalisme di kalangan pemimpin, masyarakat dan media

Pemerintah, masyarakat dan media semakin berperan dalam meningkatkan pemahaman multikulturalisme

Terlaksananya sosialisasi Bela Negara di kalangan pemimpin, masyarakat, dan media

55

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Tempo, Arie Basuki

Bagian 2

BAB 2.6
Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme
2.6.1. Pengantar Meski mendapatkan perhatian yang serius Pemerintah, aksi terorisme yang terkait dengan jaringan internasional masih merupakan permasalahan keamanan dalam negeri. Hal ini disebabkan belum berhasilnya ditangkap beberapa tokoh utama kelompok teror tersebut. Dari latar belakang kondisi tersebut, maka sasaran dari pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme dalam RPJMN 2004-2009 dirumuskan sebagai berikut: 1. Menurunnya kejadian tindak terorisme di wilayah hukum Indonesia; 2. Meningkatnya ketahanan masyarakat terhadap aksi terorisme; dan 3. Meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman terorisme secara keseluruhan. Untuk mencapai sasaran pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme dilakukan melalui program-program sebagai berikut: 1.
Program Pengembangan Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan Keamanan Negara

Aksi terorisme menimbulkan dampak yang sangat signikan pada hampir semua sendi kehidupan. Tidak hanya dampak kerusakan sik namun juga kerusakan mental, semangat, daya juang dan trauma mendalam, yang pada akhirnya dapat melumpuhkan kehidupan masyarakat.

2.6.2.

Kondisi Awal RPJMN dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Hingga awal penyusunan RPJMN, telah terjadi serangkaian aksi terorisme di Indonesia, baik yang bernuansa internasional maupun lokal. Peledakan bom di Kedutaan Besar Australia dan di Kedutaan Besar Indonesia di Perancis adalah dua dari serangkaian aksi teror bernuansa internasional. Demikian juga, kegiatan terorisme bernuansa lokal juga terjadi dan biasanya terkait dengan permasalahan politik dan SARA, seperti peledakan rumah-rumah ibadah, perkantoran Pemerintah, rumah pejabat penegak hukum, atau tempat-tempat umum lainnya. Serangkaian aksi teror bernuansa politik cenderung terkait erat dengan giatnya proses hukum terhadap mantan pejabat di daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan peledakan bom di tempat-tempat ibadah seperti gereja dan masjid cenderung bernuansa SARA dan ditujukan untuk mengadu domba antar-kelompok agama di masyarakat.

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme intelijen guna lebih peka, tajam dan antisipatif dalam mendeteksi dan mengeliminir berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berpengaruh ter-

57

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Tempo, Rully Kesuma

hadap kepentingan nasional khususnya dalam hal pencegahan, penindakan, dan penanggulangan terorisme 2. Program Pengembangan Pengamanan Rahasia Negara

nganan terorisme secara operasional yang didukung kerjasama antar instansi dengan melibatkan partisipasi seluruh komponen kekuatan bangsa, meliputi kemampuan deteksi dini, cegah dini, penanggulangan, pengungkapan dan rehabilitasi.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme kontra-intelijen dalam melindungi kepentingan nasional dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan termasuk dalam hal pencegahan dan penanggulangan terorisme 3. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri

2.6.3.

Pencapaian 2005-2008

58

Program ini bertujuan untuk meningkatkan dan memantapkan keamanan dan ketertiban wilayah Indonesia dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme, yaitu meningkatkan kemampuan kapasitas kelembagaan nasional dalam menangani masalah terorisme dan melakukan pena-

Upaya pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme di Indonesia telah menunjukkan hasil yang menggembirakan dengan banyaknya pelaku teror yang berhasil ditangkap. Sampai saat ini, sebanyak 410 tersangka teroris telah ditangkap atau menyerahkan diri. Sebanyak 260 tersangka diantaranya telah diadili dan divonis oleh lembaga peradilan, 5 orang divonis hukuman mati, 4 orang divonis hukuman seumur hidup, 14 orang dalam proses peradilan, dan 13 orang masih dalam proses penyidikan. Peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pence-

Bagian 2

gahan dan penanggulangan terorisme antara lain dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa negara baik secara multilateral maupun bilateral. Upaya preventif lain adalah peningkatan kemampuan profesionalisme kontraintelijen dalam melindungi kepentingan nasional dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Termasuk dalam hal ini adalah pencegahan dan penanggulangan terorisme. Melalui supremasi hukum, Pemerintah melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, keberadaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dirasakan masih belum dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Melalui prinsip independensi, upaya kontra-terorisme dilakukan secara inisiatif mandiri semata-mata untuk menegakkan keamanan dan ketertiban umum serta melindungi keselamatan masyarakat. Dengan strategi indiskriminasi penegakan hukum terhadap para pelaku tindak terorisme dilakukan tanpa pandang bulu dan tidak mengarah pada penciptaan anggapan negatif terhadap sebagian kelompok masyarakat. Prinsip indiskriminasi juga dilakukan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya ekses negatif yang berbau SARA. 2.6.3.1. Posisi Capaian hingga 2008

kondusif dan tidak adanya aksi teror berskala internasional. Pelaksanaan eksekusi mati terpidana kasus bom Bali I yaitu Amrozi, Mukhas, dan Imam Samudra sempat menimbulkan kekhawatiran akan aksi balas dendam, terutama dari kelompok Noordin M. Top yang sampai sekarang belum dapat ditangkap. Namun berkat kewaspadaan seluruh jajaran keamanan, aksi-aksi terorisme nyaris tidak ada. Bahkan pelaksanaan hari raya Natal 2008 bagi umat Kristiani dapat terlaksana dengan damai tanpa dibayang-bayangi ketakutan. 2. Meningkatnya Ketahanan Masyarakat terhadap Aksi Terorisme

Pencapaian pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan terorisme hingga tahun 2008 diuraikan di bawah ini. 1. Menurunnya Kejadian Tindak Terorisme di Wilayah Hukum Indonesia

3.

Meningkatnya Daya Cegah dan Tangkal Negara terhadap Ancaman Terorisme secara Keseluruhan

Di samping melakukan peningkatan kemampuan aparat, upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme dilakukan pula melalui peran serta masyarakat dan telah mencapai kemajuan yang cukup signikan terlihat dari situasi keamanan yang

Dalam kerangka pencegahan aksi teror, peningkatan profesionalisme intelijen merupakan kunci utama dalam mendeteksi dan mengeliminasi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang dapat ditimbulkan oleh aksi terorisme. Badan Intelijen Negara secara rutin melakukan operasi intelijen termasuk dalam hal pencegahan, penindakan, dan penanggulangan terorisme.

59

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Berbagai upaya untuk menekan dampak aksi terorisme lokal diantaranya dengan melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama, pembinaan kerukunan dan dialog antaragama di daerah-daerah rawan konik. Selain itu, Pemerintah juga melakukan sosialisasi pencegahan dan penanggulangan terorisme, yang semuanya telah secara signikan memperkecil dampak aksi terorisme. Peningkatan kewaspadaan terhadap aksi terorisme juga dilakukan pada objek-objek vital, seperti perkantoran Pemerintah, perkantoran asing, pusat-pusat bisnis dan perbelanjaan, hotel dan tempat wisata, bandara, pelabuhan, serta kawasan industri. Penempatan personel dan alat deteksi teror pada objek-objek vital tersebut, secara signikan mampu menekan aksi terorisme.

Selain dari upaya intelijen, dilakukan juga peningkatan kemampuan profesionalisme kontra intelijen. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, khususnya di bidang kejahatan terorisme, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) telah melakukan upaya peningkatan kemampuan SDM persandian melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan dalam lingkungan lembaga atau kerjasama dengan perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. 2.6.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

2.6.4. Tindak Lanjut 2.6.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Berdasarkan pencapaian sasaran pembangunan sampai dengan 2008, maka dalam rentang sisa waktu 1 tahun ke depan upaya tindak lanjut untuk pencegahan dan penanggulangan terorisme dilakukan melalui: 1. Meningkatkan kemampuan penangkalan dan penanggulangan terorisme dengan: (a) Penguatan kapasitas kelembagaan nasional penanganan terorisme; (b) Restrukturisasi sistem operasional pencegahan dan penanggulangan terorisme. 2. Memantapkan Operasional Penanggulangan Terorisme dengan melakukan: (a) Intensikasi komunikasi (dialog) dan pemberdayaan kelompok yang berpotensi dan atau diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris; (b) Memfokuskan dan meningkatkan operasi intelijen; (c) Mendayagunakan seluruh satuan antiteror yang dimiliki institusi negara termasuk TNI dan Polri; (d) Melanjutkan upaya politik bebas aktif; (e) Mengupayakan penyelesaian masalah terorisme regional melalui kerjasama internasional; (f) Memantapkan pengamanan terbuka terhadap simbol-simbol negara milik Indonesia dan negara sahabat; (g) Meningkatkan pengamanan tertutup terhadap ruang-ruang publik terutama yang berkaitan dengan potensi korban manusia dan ekonomi serta kepentingan asing, seperti daerah tujuan wisata; (h) Melanjutkan penangkapan dan pemrosesan secara hukum tokoh-tokoh kunci operasional terorisme; dan (i) Mengetatkan pengawasan lalu lintas uang dan pemblokiran aset kelompok teroris.

Indikator sosial seperti tingkat kemiskinan, kesenjangan sosial, permasalahan demokrasi, serta pemahaman yang sempit terhadap keyakinan dan ideologi patut diduga merupakan media tumbuh suburnya sel-sel terorisme di Indonesia. Aksi terorisme masih menjadi ancaman potensial bagi stabilitas keamanan nasional mengingat masih belum tertangkapnya beberapa tokoh kunci aksi terorisme di Indonesia seperti Zulkarnaen, Dulmatin, Umar Patek, dan Noordin M. Top, serta jaringannya. Selain permasalahan di atas, berbagai kendala yang masih dihadapi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia adalah belum adanya landasan hukum yang kuat bagi kegiatan operasi intelijen penanggulangan terorisme. Dalam hubungan ini masih ada pemahaman yang sempit dari sebagian umat beragama, khususnya umat Islam, yang mempersepsikan bahwa perang melawan terorisme dianggap sebagai perang terhadap agama Islam.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Aksi terorisme masih menjadi ancaman potensial bagi stabilitas keamanan nasional mengingat masih belum tertangkapnya beberapa tokoh kunci aksi terorisme di Indonesia

60

Bagian 2

Dengan langkah tindak lanjut di atas, maka diharapkan gerakan terorisme dapat dikendalikan. Sementara, keberadaan institusi yang menangani terorisme (desk terrorism) diharapkan mampu menyiapkan kebijakan dan koordinasi penanggulangan terorisme untuk disinergikan dengan pembangunan kapasitas lembaga. Pemutusan dukungan nansial terhadap kelompok terorisme diharapkan dapat melemahkan berkembangnya potensi terorisme. Peningkatan pengawasan keimigrasian, serta upaya interdiksi darat, laut, dan udara serta pengawasan produksi dan peredaran serta pelucutan senjata dan bahan peledak adalah bagian global disarmament. Pada akhirnya penindakan secara tegas pelaku teror diharapkan memberikan efek kejut yang mencegah berkembangnya potensi terorisme.

ternasional terjadi di tanah air. Peledakan bom di Kedutaan Besar Australia di Indonesia, peledakan bom di Kedutaan Besar Indonesia di Perancis, maupun kegiatan terorisme lokal yang bernuasa politik dan SARA kerap terjadi. Selama pelaksanaan RPJMN 2004-2009, Pemerintah melalui berbagai upaya telah berhasil menanggulangi terorisme secara signikan. Hal ini diindikasikan oleh situasi keamanan yang kondusif dan tidak adanya aksi teror berskala internasional. Demikian pula, Pemerintah telah menyusun suatu upaya tindak lanjut guna menjaga keberlanjutan pencapaian. Upaya tersebut di antaranya adalah peningkatan kemampuan penangkalan dan penanggulangan serta pemantapan operasional penanggulangan terorisme. Pemerintah juga akan terus meningkatkan kualitas dan kapasitas intelijen nasional. Dengan tindak lanjut tersebut diharapkan gerakan terorisme di wilayah hukum Indonesia dapat dikendalikan sesuai dengan sasaran RPJMN 2004-2009.

2.6.5. Penutup Pada awal penyusunan RPJMN 2004-2009, beberapa aksi terorisme yang bersifat lokal dan in-

61

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

62
persen Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 Terlaksananya pencegahan, penanggulangan dan pananganan kejahatan terorisme Terbunuhnya Dr. Azhari Sebanyak 410 tersangka teroris telah ditangkap atau menyerahkan diri. Sebanyak 260 tersangka diantaranya telah diadili dan divonis oleh lembaga peradilan, 5 orang hukuman mati, 4 orang hukuman seumur hidup, 14 orang dalam proses peradilan, dan 13 orang masih dalam proses penyidikan Beberapa kasus penggerebegan dan penangkapan tersangka pelaku terorisme berkat laporan kecurigaan masyarakat terhadap orang-orang yang berperilaku aneh Aparat keamanan mampu mengurai dan mengkoneksikan kasus-kasus terorisme dengan jaringan-jaringan terorisme yang ada di Indonesia dan keterkaitannya dengan jaringan terorisme internasional Pelaksanaan eksekusi mati terpidana kasus bom Bali I (Amrozi Cs), diharapkan pada 2008 aparat keamanan dapat menangkap Nurdin M.Top sebagai tokoh yang paling dicari saat ini Terwujudnya pelayanan keamanan melalui pembimbingan, pe-ngayoman, perlindungan, pengaturan dan penertiban dalam rangka pembinaan keamanan nasional Aksi terorisme yang bernuansa lokal intensitasnya cenderung menurun. Masyarakat yang selama ini terlibat dan berada di wilayah konik Poso tidak terpengaruh rasa toleransinya, sehingga upaya teror tidak berdampak signikan.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 2.6.1. Sasaran Program dan Capaian Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan Terorisme

Indikator (Satuan)

No

Sasaran / Program

Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan Terorisme

Menurunnya kejadian tindak terorisme di wilayah hukum Indonesia

Intensitas aksi-aksi bom semakin menurun

Meningkatnya ketahanan masyarakat terhadap aksi terorisme

Tingkat kepedulian masyarakat semakin meningkat dalam antisipasi tindakan terorisme

Bagian 2

Lanjutan Tabel 2.6.1.


Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

Indikator (Satuan) persen Meningkatnya kerjasama bilateral/ multilateral dalam pencegahan tindak kejahatan Terbentuknya Badan Penanganan Terorisme yang merupakan penguatan Desk Terorisme serta tercapainya kerjasama bilateral dan multilateral dalam memerangi aksi terorisme.

No

Sasaran / Program

Meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman terorisme secara keseluruhan.

Ketersediaan sarana dan prasrana penindakan terorisme semakin meningkatkan daya cegah dan tangkal terorisme

Masyarakat semakin berani melaporkan orang-orang yang berperilaku aneh dan semakin berperan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme

63

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Tempo, Nickmatulhuda

Bagian 2

BAB 2.7
Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara
untuk dijadikan acuan pembangunan kekuatan pertahanan darat, laut, dan udara yang mampu mencegah dan mengatasi ancaman secara lebih efektif. Dari kondisi tersebut, sasaran dari peningkatan kemampuan pertahanan dalam RPJMN 20042009 adalah sebagai berikut: 1. Tersusunnya Rancangan Postur Pertahanan Indonesia berdasarkan Strategic Defense Review (SDR) dan Strategi Raya Pertahanan dalam periode 20052006 yang disusun sebagai hasil kerjasama masyarakat sipil (civil society) dan militer; 2. Meningkatnya profesionalisme anggota TNI baik dalam operasi militer untuk perang maupun selain perang; 3. Meningkatnya kesejahteraan prajurit TNI terutama kecukupan perumahan, pendidikan dasar keluarga prajurit, dan jaminan kesejahteraan akhir tugas; 4. Meningkatnya jumlah dan kondisi peralatan pertahanan ke arah modernisasi alat utama sistem persenjataan dan kesiapan operasional; 5. Meningkatnya penggunaan alat utama sistem senjata (alutsista) produksi dalam negeri dan dapat ditanganinya pemeliharaan alutsista oleh industri dalam negeri; 6. Teroptimalisasinya anggaran pertahanan serta tercukupinya anggaran minimal secara

2.7.1.

Pengantar

Sampai saat ini, pembangunan pertahanan baru menghasilkan postur pertahanan negara dengan kekuatan terbatas dan relatif tertinggal dari negara tetangga. Sementara itu, komponen cadangan, seperti bela negara, dan komponen pendukung, seperti industri pertahanan nasional, juga belum sepenuhnya dapat bersinergi dengan komponen inti yang menyebabkan kemampuan pertahanan negara belum terbangun secara optimal. Terbatasnya dukungan anggaran untuk pembangunan pertahanan menjadi salah satu kendala dalam upaya pencapaian membangun postur pertahanan pada tingkat minimum essential force, yang memerlukan anggaran sebesar 2-3 persen dari PDB. Sampai dengan 2008 anggaran pertahanan ratarata berkisar antara 0,9-1 persen dari PDB atau baru dapat memenuhi 44 persen dari kebutuhan TNI.

2.7.2.

Kondisi Awal RPJMN dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Di awal periode RPJMN, kebijakan pertahanan lebih difokuskan pada aspek kekuatan inti pertahanan. Potensi dukungan pertahanan yang merupakan salah satu aspek penting dalam pertahanan semesta belum didayagunakan secara optimal sebagai akibat dari kebijakan dan strategi pertahanan yang bersifat parsial. Selain itu, postur pertahanan yang tersedia belum mencukupi

65

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

simultan dengan selesainya reposisi bisnis TNI; 7. Terdayagunakannya potensi masyarakat dalam bela negara sebagai salah satu komponen utama pertahanan negara. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dilakukan dengan melalui program-program: 1. Program Pengembangan Sistem Dan Strategi Pertahanan
Dok : Tempo, Rini PWI

Tujuan program ini untuk mewujudkan rumusan kebijakan umum dan kebijakan pelaksanaan serta perencanaan strategis yang meliputi pembinaan dan pendayagunaan komponen pertahanan negara dalam rangka menghadapi ancaman dan gangguan termasuk pencegahan serta penanggulangan separatisme 2. Program Pengembangan Pertahanan Integratif

5.

Program Pengembangan Pertahanan Matra Udara

Tujuan program ini untuk mewujudkan kesiapan TNI yang melingkupi matra darat, laut, dan udara secara terintegrasi agar mampu menyelenggarakan pertahanan negara secara terpadu. 3. Program Pengembangan Pertahanan Matra Darat

Program ini bertujuan untuk mewujudkan kekuatan TNI AU yang mampu menyelenggarakan pertahanan udara nasional, serta menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratikasi. 6. Program Pengembangan Industri Pertahanan

Tujuan program ini adalah meningkatkan jumlah dan kondisi alat utama sistem persenjataan yang modern. 7. Program Pengembangan Bela Negara

Program ini bertujuan untuk mewujudkan kekuatan TNI AD yang mampu menyelenggarakan pertahanan negara matra darat. 4.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program Pengembangan Pertahanan Matra Laut

Tujuan program ini adalah mewujudkan kesiapan potensi dukungan pertahanan dari masyarakat untuk ditransformasikan menjadi satuan kekuatan komponen pertahanan negara. 8. Program Operasi Bhakti Tni

66

Tujuan program ini adalah mewujudkan kekuatan TNI AL yang mampu menyelenggarakan pertahanan negara matra laut, menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratikasi, serta melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah.

Program ini ditujukan untuk mewujudkan kemanunggalan TNI Rakyat melalui pelaksanaan kegiatan bantuan kemanusiaan dan Bhakti Sosial Kemasyarakatan dalam rangka membantu otoritas sipil untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi terwujudnya keamanan dalam negeri.

Bagian 2

9.

Program Kerjasama Militer Internasional

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kerjasama militer dengan negara-negara sahabat dalam rangka menciptakan kondisi keamanan kawasan, regional, dan internasional serta untuk meningkatkan hubungan antar negara. 10. Program Penelitian dan Pengembangan Pertahanan Program ini ditujukan untuk melakukan penelitian dan pengembangan terhadap strategi dan sistem pertahanan, sumber daya manusia, kemampuan dan pendayagunaan industri nasional serta penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan pertahanan negara.

Nasional Indonesia, khususnya menyangkut penghapusan bisnis TNI, telah dilakukan restrukturisasi bisnis TNI yang dimulai dengan tahapan inventarisasi secara cermat, berhati-hati, dan bertanggung jawab, melalui koordinasi dengan departemen dan lembaga Pemerintah terkait, serta Mabes TNI dan Angkatan.

Sesuai dengan amanat Pasal 30 UUD telah disusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pertahanan dan Keamanan Negara 1945 dalam rangka meningkatkan sinergi upaya pertahanan dan keamanan negara
Dalam rangka meningkatkan kesiapan alutsista TNI, meskipun masih sangat terbatas, telah berhasil dialokasikan tambahan anggaran untuk kepentingan pertahanan, yang akan ditingkatkan bertahap. Di samping itu, pembangunan kemampuan pertahanan negara secara umum ditujukan tidak untuk memperbesar kekuatan yang sudah ada. Akan tetapi, untuk mempertahankan kemampuan dan kekuatan yang sudah dimiliki, antara lain melalui repowering, retrotting, pemeliharan, dan pengadaan alutsista secara terbatas.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2.7.3. 2.7.3.1.

Pencapaian 2005-2008 Posisi Capaian hingga 2008

Hingga 2008, terdapat beberapa dokumen penting guna meningkatkan kemampuan pertahanan. Pertama, Rencana Strategi Pertahanan 20052009 disusun dalam rangka penyiapan cetak biru pertahanan dan sebagai kebijakan umum serta kebijakan penyelenggaraan pertahanan. Kedua, Strategic Defence Review disusun sebagai acuan dalam rangka pembinaan kemampuan dan pembangunan kekuatan pertahanan negara. Ketiga, Sesuai dengan amanat Pasal 30 UUD telah disusun naskah akademik Rancangan UndangUndang Pertahanan dan Keamanan Negara 1945 dalam rangka meningkatkan sinergi upaya pertahanan dan keamanan negara. Keempat, Pemerintah telah menyusun dan menyosialisasikan Naskah Akademik RUU Komponen Cadangan, dalam rangka menyiapkan payung hukum untuk mengatur pelibatan dan peran serta masyarakat dalam bidang pertahanan negara. Sebagai tindak lanjut dalam rangka mengemban amanat UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Meskipun tidak mudah membangun kemandirian industri pertahanan dalam perekonomian saat ini, dengan meningkatkan kapabilitas dan pembenahan manajemen yang baik, industri strategis yang telah ada seperti PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, PT Pindad, dan industri pertahanan lainnya, memiliki potensi untuk dikembangkan. Selanjutnya, keterbatasan dukungan anggaran menjadi faktor pertimbangan dalam penyusunan rencana kebutuhan dalam pembangunan pertahanan. Hal ini meyebabkan pemenuhan kebutuhan pertahanan belum sampai pada taraf pembentukan kekuatan pokok minimum (mini-

67

mum essential force) TNI. Selama ini dukungan anggaran untuk pembangunan kekuatan pertahanan negara hanya mampu memenuhi 44 persen kebutuhan TNI. Demikian pula, keterbatasan pemenuhan anggaran untuk pembelian suku cadang sangat berpengaruh terhadap kesiapan alutsista TNI yang berumur relatif tua, serta belum terpenuhinya minimum stock level bagi munisi kaliber kecil (MKK) dan munisi kaliber besar (MKB). Ini berpengaruh terhadap efektivitas kegiatan pendidikan, pelatihan, dan operasi yang dilaksanakan TNI. Untuk meningkatkan efektivitas dan esiensi penggunaan anggaran telah diterapkan kebijakan pengadaan satu pintu agar kebocoran dapat dikurangi. 2.7.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

hadapi dalam mewujudkan kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Begitu juga, rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI yang meliputi gaji pokok, upah lauk pauk (ULP), tunjangan, dan fasilitas bagi prajurit TNI, merupakan salah satu faktor penting yang dapat berpengaruh negatif terhadap profesionalisme TNI. Di samping itu, jaminan sosial dan asuransi bagi prajurit TNI yang sedang melaksanakan tugas-tugas operasi maupun prajurit yang akan purnatugas juga belum memadai.

Permasalahan yang selalu dihadapi dalam meningkatkan profesionalisme TNI adalah masih kurang memadainya kuantitas dan kualitas alat utama sistem persenjataan TNI, sarana dan prasana, serta rendahnya tingkat kesejahteraan personel TNI. Kesiapan alutsista rata-rata baru mencapai 45 persen dari yang dimiliki, sehingga belum dapat memberikan efek penangkal (deterrence). Selain itu, keterbatasan dukungan anggaran menjadi faktor pertimbangan dalam penyusunan usulan kebutuhan pertahanan, yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan pertahanan masih diupayakan untuk mencapai minimum essential force TNI. Dukungan anggaran untuk pembangunan kekuatan pertahanan negara baru mampu memenuhi 44 persen kebutuhan TNI. Masih belum optimalnya upaya menyinergikan industri pertahanan nasional, dan belum optimalnya kegiatan penelitian dan pengembangan industri pertahanan yang terpadu, serta tingginya ketergantungan pada teknologi dan industri militer luar negeri merupakan permasalahan yang saat ini di-

Kesiapan alutsista rata-rata baru mencapai 45 persen dari yang dimiliki, sehingga belum dapat memberikan efek penangkal (deterrence)
2.7.4. 2.7.4.1. Tindak Lanjut Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Berdasarkan pencapaian sasaran pembangunan sampai dengan 2008, maka dalam rangka meningkatkan hasil-hasil yang telah dicapai serta mengatasi permasalahan yang dihadapi, langkah tindak lanjut yang diperlukan adalah: 1. Penajaman dan sinkronisasi kebijakan strategi pertahanan dan keamanan (hankam) serta penguatan koordinasi dan kerjasama di antara kelembagaan hankam; 2. Peningkatan kemampuan dan profesionalisme TNI yang meliputi dimensi alutsista, sistem, material, personel serta prasarana dan sarana; 3. Peningkatan penggunaan alutsista produksi dalam negeri dan kemampuan industri dalam negeri dalam penyediaan kebutuhan dan perawatan alutsista;

68

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

4. Peningkatan peran aktif masyarakat dan profesionalisme institusi terkait dengan pertahanan negara; 5. Pemasyarakatan dan pendidikan bela negara secara formal dan informal; 6. Percepatan pembentukan kelembagaan Dewan Keamanan Nasional; serta 7. Peningkatan sistem jaminan asuransi prajurit dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota TNI. Langkah tindak lanjut tersebut diharapkan dapat mendukung upaya pengembangan kekuatan pertahanan negara yang ditandai oleh: 1. Tersusunnya rancangan pertahanan yang menggambarkan minimum essential force TNI; 2. Meningkatnya jumlah dan kondisi siap alutsista TNI sesuai dengan norma kekuatan pokok minimal; 3. Meningkatnya penggunaan alutsista produksi dalam negeri;

4. Meningkatnya profesionalisme TNI dalam operasi militer perang dan operasi militer selain perang; serta 5. Terdayagunakannya potensi pertahanan dan meningkatnya peran aktif masyarakat (civil society) dalam pembangunan pertahanan serta meningkatnya pemenuhan kesejahteraan prajurit sesuai kebutuhan hidup dasar. Selain itu, diupayakan pula pemberdayaan industri pertahanan nasional untuk mendorong penggunaan produk industri dalam negeri dalam pengadaan alutsista/material TNI seperti panser APS, KAL-36, KAL-40, pesawat angkut ringan, semua jenis senjata ringan beserta amunisinya, truk angkut pasukan, sarana angkut laut dan sungai dari jenis inatable boat dan jenis hovercraft, serta payung udara orang (PUO). Di samping itu, perlu dilakukannya rekayasa engineering bidang sistem kontrol yang merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem senjata teknologi yang digunakan TNI.

Dok : Tempo, Yosep Arkian

69

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2.7.5.

Penutup

Pertahanan negara merupakan upaya pokok dalam menegakkan kedaulatan negara dan melindungi keselamatan segenap bangsa. Oleh karena itu, pembangunan kekuatan pertahanan negara diselenggarakan secara terpadu dan bertahap serta diarahkan untuk mewujudkan pertahanan yang profesional dan modern yang mampu menanggulangi setiap ancaman dan gangguan. Namun, untuk mewujudkan fungsinya yang ideal tersebut, bangsa Indonesia masih mengalami berbagai keterbatasan sehingga kemampuan pertahanan negara belum dapat dibangun secara sempurna. Padahal, Indonesia mempunyai potensi ancaman yang tidak ringan baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk itu, dalam rangka mencapai pembangunan bidang pertahananan yang optimal disusun suatu sasaran dan arah kebijakan dalam RPJMN 20042009. Melalui rangkaian upaya yang dilakukan hingga 2008, dicapai beberapa kemajuan bidang pertahanan. Di antaranya terkait dengan sistem perundangan, peningkatan profesionalisme personel dan kesejahteraan prajurit, serta restruk-

turisasi bisnis TNI. Di samping itu, upaya untuk mencapai sasaran yang diinginkan juga masih menemui kendala sehingga pencapaian belum optimal. Permasalahan yang dihadapi utamanya berkaitan dengan faktor keterbatasan anggaran serta kurang memadainya kuantitas dan kualitas alutsista serta sarana dan prasana penunjang pertahanan lainnya. Untuk itu, ke depannya pencapaian sasaran akan dilakukan melalui upaya tindak lanjut peningkatan kemampuan TNI yang meliputi dimensi alutsista, sistem, material, personel, serta prasarana dan sarana. Selain itu, diupayakan pula pemberdayaan industri pertahanan nasional untuk mendorong penggunaan produk industri dalam negeri dalam pengadaan alutsista/material TNI. Maka, berdasarkan tingkat pencapaian saat ini dan upaya yang akan dilakukan ke depan, sasaran akhir RPJMN bidang pembangunan nantinya diperkirakan tidak akan tercapai seluruhnya. Ketidakberhasilan pencapaian sasaran ini terutama terkait ketersediaan anggaran. Beberapa sasaransasaran pada RPJMN ini diperkirakan baru bisa tercapai pada periode RPJMN selanjutnya.

70

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 2.7.1. Sasaran Program dan Capaian Bidang Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara
Indikator (Satuan) persen Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

No

Sasaran / Program

Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara Indonesia belum memiliki rancangan postur pertahanan Indonesia berdasarkan Strategic Defense Review (SDR)

Bagian 2

Tersusunnya rancangan postur pertahanan Indonesia berdasarkan Strategic Defense Review (SDR) dan Strategi Raya pertahanan dalam periode 2005-2006 yang disusun sebagai hasil kerjasama masyarakat sipil (cipil society) dan militer Terlaksananya pengembangan Personil TNI Terselenggaranya latihan matra, gabungan, dan kerjasama militer dengan negara-negara tetangga maupun internasional yang lainnya dalam OMP dan OMSP Terselenggaranya latihan matra, gabungan, dan kerjasama militer dengan negaranegara tetangga maupun internasional yang lainnya dalam OMP dan OMSP Peningkatan kesejahteraan prajurit melalui kenaikan ULP rutin prajurit menjadi Rp 30.000 Terselenggaranya latihan matra, gabungan, dan kerjasama militer dengan negara-negara tetangga maupun internasional yang lainnya dalam OMP dan OMSP

Meningkatnya profesionalisme anggota TNI baik dalam operasi militer untuk perang maupun selain perang;

Terselenggaranya latihan OM dan OMSP secara memadai yang didukung material dan fasilitas yang memadai

3 Terwujudnya pengembangan fasilitas TNI.

Meningkatnya kesejahteraan prajurit TNI terutama kecukupan perumahan, pendidikan dasar keluarga prajurit, jaminan kesejahteraan akhir tugas;

Tercukupinya kesejahteraan prajurit dengan indikasi salah satunya ULP mencapai 4500 kalori

Peningkatan kesejahteraan prajurit melalui kenaikan ULP rutin prajurit menjadi Rp 35.000

Meningkatnya jumlah dan kondisi peralatan pertahanan ke arah modernisasi alat utama sistem persenjataan dan kesiapan operasional;

Tercukupinya alutsista pertahanan dalam skala minimum essential force

Terlaksananya pengembangan Alutsista TNI

Kesiapan alutsista menjadi 40 persen dari kekuatan yang ada

Kesiapan alutsista menjadi 45 persen dari kekuatan yang ada

Kesiapan alutsista menjadi 50 persen dari kekuatan yang ada

71

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

72
Indikator (Satuan) persen Terlaksananya pemberdayaan industri nasional dalam menciptakan kemandirian, sekaligus memperkecil ketergantungan di Alutsista pertahanan kepada negara lain Tersusunnya kebijakan pemenuhan alutsista TNI 20052009 sebesar USD 3,7 milyar dengan potensi pemanfaatan hasil industri pertahanan nasional sebesar USD 654 juta (skenario dasar) Termanfaatkannya secara lebih intensif hasil pengembang industri pertahanan dalam negeri seperti roket 70 mm dan 80 mm, UAV, APS, panser APS, senjata SS-2. Termanfaatkannya secara lebih intensif hasil produksi industri pertahanan dalam negeri terutama kendaraan panser dan angkut personil; termanfaatkanya fasilitas harkan yang dimiliki industri strategis nasional untuk harkan alutsista; serta terciptanya disain Korvet Nasional, 70 persen Alokasi anggaran digunakan untuk kegiatan rutin, sementara 30 persennya digunakan untuk pembangunan pertahanan yang hanya mencukupi 50 persen dari kebutuhan Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 Teroptimalisasinya alokasi anggaran bidang pertahanan negara 70 persen Alokasi anggaran digunakan untuk kegiatan rutin, sementara 30 persen-nya digunakan untuk pembangunan pertahanan yang hanya mencukupi 45 persen dari kebutuhan

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 2.7.1.

No

Sasaran / Program

Meningkatnya penggunaan alutsista produksi dalam negeri dan dapat ditanganinya pemeliharaan alutsista oleh industri dalam negeri

Semakin berperannya industri pertahanan nasional dalam pemenuhan alutsista TNI

Teroptimasinya anggaran pertahanan serta tercukupinya anggaran minimal secara simultan dengan selesainya reposisi bisnis TNI

Menurunnya tingkat pemborosan anggaran yang tidak sesuai peruntukan

Lanjutan Tabel 2.7.1.


Indikator (Satuan) persen UU Meningkatnya kekuatan tiga komponen pertahanan negara (Sumberdaya Manusia Nasional, Sumberdaya Alam, dan Sumberdaya Buatan) Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertahanan belum dapat terarah dengan baik mengingat belum tersedianya peraturan perundang-undangan yang mengatur partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertahanan Terlaksananya sosialisasi kesadaran bela negara dalam rangka menumbuhkan nasionalisme dan terumuskannya RUU Komponen Cadangan Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

Bagian 2

No

Sasaran / Program

Terdayagunakannya potensi masyarakat dalam bela negara sebagai salah satu komponen utama pertahanan negara

Terciptanya aturan perundangan yang mengatur peran serta masyarakat dalam usaha pertahanan negara

Terlaksananya sosialisasi kesadaran bela negara dalam rangka menumbuhkan nasionalisme secara lebih luas dan ditetapkannya RUU Komponen Cadangan sebagai undang-undang untuk mewadahi peran serta masyarakat dalam bela negara

73

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Bappenas

Bagian 2

BAB 2.8
Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional
2.8.1. Pengantar nasional yang terus mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat menuntut Indonesia berperan dalam politik luar negeri dan kerjasama baik di tingkat regional maupun internasional. 2.8.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif. Strategi ini dilandaskan Pancasila dan UUD 1945, utamanya amanat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa hubungan luar negeri Indonesia diarahkan untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Bebas aktif juga berarti Indonesia menolak segala bentuk penjajahan, penindasan atau pun ketidakadilan melalui pembangunan bangsa-bangsa, pembinaan persahabatan dan kerjasama internasional di berbagal forum, baik bilateral, regional maupun multilateral, tanpa membedakan sistem politik atau sistem ekonomi masing-masing negara. Dalam penjabarannya, politik luar negeri yang bebas aktif tidak dimaknai sebagai politik yang menjadikan Indonesia netral terhadap suatu permasalahan. Akan tetapi, bebas aktif berarti Indonesia bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional serta tidak mengikatkan diri hanya pada satu kekuatan dunia. Politik luar negeri bebas aktif juga menuntut Indonesia untuk ikut memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun keikutsertaan secara aktif dalam menyelesaikan berbagai konik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya. Sebagai negara yang besar, Indonesia memiliki potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Konstelasi politik inter-

Untuk mewujudkan Indonesia yang berperan penting dalam dunia internasional, diperlukan kesinambungan dan konsistensi pemantapan peranan politik luar negeri dan kerjasama internasional. Politik luar negeri dan kerjasama internasional harus menekankan pada pemberdayaan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki integritas dan kapasitas. Dengan kondisi awal tersebut, sasaran yang hendak dicapai dalam Pemantapan Politik Luar Ne-

75

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, hubungan internasional banyak diwarnai berbagai isu politik, keamanan, dan ekonomi global. Satu hal yang diperkirakan akan terus berlanjut saat ini dan juga yang akan datang. Berbagai permasalahan yang terjadi disebabkan oleh kecenderungan meningkatnya unilateralisme dalam hubungan internasional, ketidakseimbangan hubungan antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju akibat globalisasi, belum optimalnya peran Indonesia pada tingkat subregional Asia Tenggara, belum tuntasnya masalah perbatasan, serta banyaknya persoalan yang dihadapi oleh warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

Dok : Bappenas

geri dan Peningkatan Kerjasama Internasional adalah: 1. Semakin meningkatnya peranan Indonesia dalam hubungan internasional; 2. Ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia; 3. Memulihkan citra Indonesia; 4. Meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

dungi kepentingan masyarakat Indonesia di luar negeri; 2. Melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi regional, khususnya di ASEAN; 3. Menegaskan pentingnya memelihara kebersamaan melalui kerjasama internasional, bilateral, multilateral maupun kerjasama regional lainnya; 4. Memelihara saling pengertian dan perdamaian dalam politik dan hubungan internasional; 5. Meningkatkan dukungan dan peran masyarakat internasional demi tercapainya tujuan pembangunan nasional; 6. Meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri sesuai dengan UU. Dalam upaya pencapaian sasaran-saran di atas, kegiatan dilaksanakan melalui berbagai program yaitu: (1) Program Pemulihan Pasca Konik; (2)

5. Mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional. Untuk itu kebijakan dari upaya pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional diarahkan pada: 1. Meningkatkan kualitas diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk dalam penyelesaian masalah-masalah perbatasan dan dalam melin-

76

Bagian 2

Program Penigkatan Komitmen Persatuan dan Kesatuan Nasional; (3) Program Penataan Hubungan Negara dan Masyarakat; (4) dan (5) Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Publik.

mendasi yang dituangkan dalam laporan tersebut, akan disusun rencana kerja atau plan of action. Pada 2008 hubungan Indonesia dengan Malaysia juga semakin erat melalui pembentukan Eminent Persons Group (EPG) Indonesia-Malaysia (2008), yang bertujuan mengatasi permasalahan yang bersifat people-to-people contact yang memang potensial terjadi. Kelompok terpelajar dari Indonesia dan Malaysia ini akan memberikan masukan bagaimana masyarakat saling erat, bersahabat dan saling meningkatkan rasa persaudaraannya. Sementara, kerjasama bilateral Indonesian dengan sejumlah negara besar memasuki tahapan baru dengan ditandatanganinya perjanjian kemitraan strategis komprehensif. Kemitraan strategis yang penting yang dibangun sepanjang 20052008 antara lain dengan: (1) Australia, melalui Joint Declaration on Comprehensive Partnership (2005); (2) China, melalui Deklarasi Kemitraan Strategis RI-RRC (2005) ; (3) Jepang, melalui Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA) ( 2008). Terkait dengan masalah perbatasan, dalam rangka mempertahankan keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada 2006, Indonesia secara konsisten melaksanakan border diplomacy melalui serangkaian perundingan dengan negara-negara tetangga, seperti: perundingan delineasi dan demarkasi batas darat dengan Timor Leste, perundingan batas maritim dengan Malaysia dan perundingan batas laut wilayah dengan Singapura. Pada 2007, proses penuntasan penentuan batas laut wilayah, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dengan negara-negara tetangga terus dilanjutkan dengan kemajuan yang lebih positif. Hal ini sebagai reeksi upaya menuntaskan masalah perbatasan dengan negara-negara tetangga melalui perundingan bilateral dan penetapan kesepakatan secara tertulis. Sepanjang 2007, Pemerintah secara intensif melakukan border diplomacy dengan Filipina,

2.8.3. 2.8.3.1.

Pencapaian 2005-2008 Posisi Capaian hingga 2008

Sampai dengan 2008, pelaksanaan diplomasi politik luar negeri telah memberikan kontribusi positif bagi pencapaian tujuan nasional, yakni Indonesia yang lebih damai, adil, demokratis dan sejahtera. Keberhasilan diplomasi tersebut dapat terlihat dengan berbagai peningkatan kerjasama, baik di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral, serta penciptaan perdamaian dunia. 1. Kerjasama di Tingkat Bilateral

Dalam penyelesaian persoalan masa lalu Indonesia-Timor Leste, Indonesia memilih penyelesaian bersama dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Penyelesaian bersama ini diyakini akan lebih menjamin tumbuhnya pemahaman bersama dan menghasilkan kesepakatan yang baik bagi kedua belah pihak. Hasil akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) melambangkan penyelesaian berbagai permasalahan antara Indonesia dan Timur Leste. Hasil akhir tidak mengarah kepada jalur hukum, namun lebih mengedepankan pendekatan secara damai. Hasil KKP tersebut akan menghilangkan beban sejarah dan sekaligus menjadi halaman baru bagi kedua negara untuk meningkatkan kerjasama di masa yang akan datang. Tindak lanjut hasil akhir tersebut tercermin dalam Joint Statement yang disepakati oleh kedua Kepala Negara pada saat penyerahan hasil akhir KKP di Bali, 15 Juli 2008. Saat ini, kedua negara tengah meneruskan hasil akhir KKP tersebut kepada parlemen masing-masing negara. Pada saat yang sama ke-dua Pemerintahan juga melibatkan civil society untuk menelaah hasil akhir KKP. Untuk mengimplementasikan reko-

77

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Papua New Guinea (PNG), Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Secara khusus dengan Timor Leste, kedua pemimpin negara sepakat untuk membangun soft border regime dan good border management dalam rangka memelihara suasana perlintasan perbatasan damai, terutama para pelintas batas tradisional, dan keamanan sepanjang wilayah perbatasan. Terkait dengan penanganan masalah WNI/Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri, pada 2006, telah banyak kasus-kasus di luar negeri ditangani dengan seksama oleh perwakilan-perwakilan RI di berbagai negara. Pemerintah Indonesia telah mengadakan perjanjian bilateral mengenai tenaga kerja dengan Malaysia, Jordan, dan Korea Selatan. Di samping pembuatan nota kesepahaman dengan negara-negara tujuan tenaga kerja Indonesia (TKI), telah dijajaki pembuatan perjanjian yang lebih rinci dengan negara-negara sahabat dalam bentuk mandatory access on consular notication (MCN). Dalam perjanjian MCN akan diatur masalah pemindahan/transfer jenazah, korban kekerasan, dan lain-lain. Hingga saat ini telah dilakukan pembicaraan mengenai MCN dengan beberapa negara, yaitu: Australia, Malaysia, Amerika Serikat (AS), Belanda, Yunani, dan Jepang. Selain itu, Kuwait juga telah mengindikasikan kesediaannya untuk membuat perjanjian MCN dengan Indonesia. 2. Kerjasama di Tingkat Regional

karena dorongan faktor-faktor di luar ASEAN. Selain itu, berkaitan dengan upaya untuk menangani kejahatan lintas negara dan memerangi terorisme, Indonesia telah memimpin proses pembentukan ASEAN Convention on Counter Terrorism yang dibahas dalam Joint Experts Working Group on the ASEAN Convention on Counter Terrorism di Bali, 13-15 November 2006. Kepemimpinan Indonesia di lingkungan ASEAN, sebagai bagian dari strategi memperkuat lingkaran pertama kebijakan politik luar negeri, juga tercermin secara baik pada keberhasilan menuangkan gagasan untuk membentuk komunitas ASEAN yang dirumuskan dalam 3 rencana aksi bersama ASEAN, yaitu: komunitas keamanan, komunitas ekonomi, dan komunitas sosial budaya.

Citra Indonesia sebagai negara demokrasi perlu dibuktikan melalui kepemimpinan di ASEAN dengan menyeleWEMOERFIVFEKEMOSRMOQIPEPYMGEVEGEVE demokratis
Terkait pembentukan ASEAN Community, pada 2008 Cetak Biru Komunitas Politik-Keamanan ASEAN dan Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN telah disepakati. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) juga telah disetujui DPR RI pada Oktober 2008. Pengesahan Piagam ini merupakan langkah awal dari proyek besar untuk mentransformasikan ASEAN dari suatu asosiasi yang longgar menjadi komunitas. Kesepakatan untuk meratikasi ini merupakan suatu momentum yang bermakna bagi Indonesia dalam memberikan sumbangsihnya terhadap perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan mengingat Piagam ASEAN memberikan aturan-aturan hukum yang jelas bagi pengambilan tindakan dan langkah dalam

78

Dalam konteks ASEAN, pada 2006 ditandai dengan semakin intensifnya upaya-upaya integrasi. Sejak KTT ASEAN di Bali 2003, Indonesia terus mendorong peningkatan kerjasama dari suatu asosiasi menjadi komunitas. Indonesia berbesar hati bahwa para pemimpin ASEAN berkomitmen untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi 2015. Komitmen percepatan tersebut didukung oleh proses penyusunan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) dan dibentuknya High Level Task Force for ASEAN Charter. Penyusunan ASEAN Charter yang rampung pada 2007, tidak hanya merupakan produk guliran proses kerjasama selama ini, tetapi juga

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

menyelesaikan berbagai konik internal yang belum terselesaikan. Dengan ratikasi yang dilakukan Indonesia, maka seluruh negara anggota telah meratikasi Piagam ASEAN. Ratikasi Piagam ASEAN tersebut dapat menjadi langkah awal dalam memulihkan peran Indonesia untuk terus melakukan konsolidasi dan kohesivitas organisasi regional ASEAN. Citra Indonesia sebagai negara demokrasi perlu dibuktikan melalui kepemimpinan di ASEAN dengan menyelesaikan berbagai konik melalui cara-cara demokratis. Salah satu upaya penting untuk mewujudkan hal ini adalah pelaksanaan Bali Democracy Forum Pertama di akhir 2008, yang merupakan prakarsa Indonesia untuk mendorong demokratisasi di negara-negara ASEAN. Bali Democracy Forum (BDF) merupakan forum tingkat Menteri Luar Negeri sebagai inisiatif Indonesia untuk berbagi pengalaman berdemokrasi di Asia dan untuk menyerap pengalaman demokrasi di kawasan. Kegiatan diikuti oleh para pakar dari kalangan akademisi, pejabat senior Pemerintah, praktisi LSM dan media. Kegiatan yang dilaksanakan di Bali ini, mengambil tema Building and Consolidating Democracy: A Strategic Agenda for Asia. Pertemuan BDF dihadiri 17 pejabat setingkat menteri, wakil menteri dan pejabat tinggi lainnya dari 32 negara di kawasan Asia. Selain itu, hadir delapan negara peninjau dari Italia, Inggris, Swiss, Austria, Belanda, Norwegia, Amerika Serikat dan Kanada. PM Australia Kevin Rudd, Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, dan PM Timor Leste, Xanana Gusmao telah menyampaikan apresiasi atas prakarsa Indonesia mendirikan BDF dan dukungannya bagi kelanjutan BDF. Di samping itu, Indonesia juga terlibat secara aktif dalam perundingan-perundingan kerjasama ekonomi internasional dalam kerangka ASEANChina Free Trade Area (ACFTA), Asean-Canada SEOM, Asean Korea Free Trade Area (AKFTA), dan Australia-New Zealand Free Area (AANZFTA). Kemudian, dalam rangka memfasilitasi upaya penyatuan rencana-rencana dan target pemba-

ngunan regional serta membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan se-ASEAN, telah dilaksanakan pertemuan The Fifth ASEAN Senior Ocials Meeting on Development Planning (SOM-DP ke-V) yang diselenggarakan di Kuala Lumpur pada 6-7 Juli 2006. 3. Kerjasama di Tingkat Multilateral

Dalam kerjasama internasional, khususnya dalam kerjasama ekonomi, perdagangan, investasi, dan promosi, telah dilakukan serangkaian upaya penggalangan pengusaha Indonesia untuk promosi terpadu di berbagai negara, seperti: Amerika Latin, Amerika Utara dan Tengah, pameran Investor Forum di London, Izmir Fair di Turki, dan International Travel Exhibition di Swedia. Selain itu, telah dilakukan pula diseminasi peluang perdagangan antara Indonesia dengan organisasi regional Amerika Latin, promosi pariwisata, perumusan kerjasama Indonesia dengan Kanada di bidang persetujuan jaminan investasi, peningkatan perdagangan internasional Indonesia dalam kerangka World Trade Organization (WTO), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dan lain sebagainya. Peningkatan upaya perlindungan dan pelayanan WNI/BHI di luar negeri juga masih menjadi salah satu perhatian utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Pemerintah Indonesia akan meningkatkan intensitas kerjasama dengan negara-negara mitra dan organisasi internasional terutama dalam hal perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta meningkatkan fungsi Citizen Service di Perwakilan RI. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan amanat Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2006 mengenai Reformasi Kebijakan Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri, pada 2007 Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Sistem Pelayanan Warga Citizen Service di enam perwakilan yaitu Singapura, Bandar Seri Begawan, Damaskus, Amman, Doha dan Seoul, sedangkan pada 2008 telah dilakukan pembukaan Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) pada sembilan

79

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Perwakilan RI di luar negeri yaitu: KBRI Abu Dhabi, KBRI Riyadh, KBRI Kuwait, KJRI Johor Baru, KJRI Hong Kong, KJRI Kota Kinabalu, KJRI Jeddah, KJRI Dubai dan KBRI Kuala Lumpur. Pemerintah juga telah melakukan pembahasan dengan Malaysia dan Jordan mengenai Mandatory Access on Consular Notication (MCN) dalam upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pelaksanaan Pertemuan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) di Bali merupakan salah satu perwujudan prakarsa dan partisipasi aktif Indonesia dalam kerjasama internasional. UNCAC merupakan konvensi mengenai pelaksanaan produk-produk hukum mengenai anti-korupsi, pada Januari 2008 yang juga sebagai bagian dari pemulihan citra RI sebagai tujuan wisata yang aman.Sidang telah berhasil mengesahkan tiga rancangan resolusi mengenai Technical Assistence, Review Mecanism, dan Asset Recovery. Khusus mengenai Asset Recovery dikemukakannya bahwa negara-negara berkembang yang tergabung dalam kelompok-77 mengharapkan semua negara pihak pada konvensi secara konsisten melaksanakan mengenai Asset Recovery. Penyelenggaraan konferensi berikutnya telah disepakati untuk diadakan di Doha, Qatar pada akhir 2009. 4. Penciptaan Perdamaian Dunia

bahwa setiap tindakan agresi harus dihentikan dan memulai kembali dialog dan perundingan menuju tercapainya sebuah penyelesaian yang adil, menyeluruh, dan langgeng demi terwujudnya perdamaian di Timur Tengah. Terkait dengan serangan Israel ke Palestina di penghujung tahun 2008, Pemerintah Indonesia merespon dengan menyampaikan surat kepada Sekjen PBB dan Presiden Dewan Keamanan PBB yang pada prinsipnya menyatakan keprihatinan dan melalui PBB meminta Israel untuk segera menghentikan serangan Israel di jalur Gaza dan mendesak DK PBB agar mengeluarkan resolusi untuk menghentikan aksi Israel tersebut. Sedangkan, bantuan kemanusiaan kepada rakyat dan bangsa Palestina, Pemerintah Indonesia memberikan bantuan obat-obatan, dan uang sejumlah USD 1 juta. Pada Juli 2008, Indonesia menjadi tuan rumah sekaligus pemrakarsa Konferensi Tingkat Menteri Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika Untuk Pembangunan Kapasitas Palestina yang dihadiri oleh 218 peserta dari 53 negara Asia dan Afrika, 3 negara dari Amerika Latin serta sejumlah organisasi internasional sebagai pengamat. Konferensi ini merupakan wujud solidaritas dan kepedulian negara-negara Asia Afrika untuk membantu Palestina dalam mempersiapkan penyelenggaraan Pemerintahan begitu negara Palestina terwujud. Komitmen yang dibawa oleh The NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine merupakan suatu bentuk saling berbagi yang akan memperkaya pemberi maupun penerima, walaupun sederhana bantuan keuangan yang diberikan namun akan menjadi upaya bantuan yang berkelanjutan dari negara peserta sekaligus melengkapi skema bantuan yang telah ada, terutama dari Konferensi Annapolis dan Paris. Indonesia dengan demikian optimis bahwa kontribusi yang dihasilkan dari Konferensi ini akan terwujud, memberikan dampak yang menguntungkan bagi tak kurang 10.000 warga Palestina,

80

Dalam upaya menciptakan perdamaian dunia, Indonesia telah berperan aktif dalam masalah perdamaian di Timur Tengah dengan mengirimkan Kontingen Garuda XXIII-A untuk bergabung bersama United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL), berperan aktif dalam penyelesaian konik Israel dan Palestina, meningkatkan perannya melalui rancangan-rancangan resolusi PBB secara adil. Bersama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) lainnya, Indonesia mengutuk agresi militer Israel yang berlebihan, tidak pandang bulu, dan tidak proporsional terhadap Palestina dan Lebanon pada Juli 2006. Indonesia mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1701 yang memerintahkan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Indonesia berpandangan

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 2

serta akan menjadi kekuatan untuk kemerdekaan dan perubahan yang positif. Sedangkan Indonesia berjanji akan memberikan bantuan bagi 1.000 warga Palestina dalam kegiatan ini. Pada 2007, beberapa capaian yang diraih dalam program penegasan komitmen perdamaian dunia antara lain partisipasi Indonesia dalam 6 OPP PBB, yaitu: United Nations Mission in the Democratic Republic of Congo (MONUC), United Nations Mission in Liberia (UNMIL), United Nations Mission In Sudan (UNMIS), United Nations Observer Mission in Georgia (UNOMIG), United Nations Mission in Nepal (UNMIN), dan United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Peningkatan partisipasi Indonesia dalam OPP didukung dengan pembentukan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) sebagai forum koordinasi dan kerjasama antar-instansi terkait, termasuk United Nations Department for Peace Keeping Operations (UNDPKO). Selain itu, Indonesia juga mengirim satu FPU (Formed Police Unit) POLRI ke Darfur, Sudan untuk bergabung dalam United Nations-African Union Mission in Darfur (UNAMID) pada 2008. Pada 2006, Indonesia telah terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2007-2009. Keanggotaan tidak tetap Indonesia di DK PBB merupakan political investment dalam rangka memulihkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. Pada November 2007, Indonesia menjabat sebagai Presiden DK PBB. Indonesia cukup berhasil mempertahankan posisinya yang terhormat sebagai negara yang peka terhadap nilai-nilai keadilan dan kebebasan di dalam hubungan internasional. Pada saat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Indonesia berani berbeda pendapat dengan negara-negara besar di PBB dalam kasus Program Nuklir Iran sehingga Resolusi DK-PBB 1835 yang tidak memuat tambahan sanksi untuk Iran dapat disahkan secara aklamasi oleh 15 anggota DK-PBB termasuk RI pada 27 September 2008. Di samping itu, dalam komitmen terhadap perdamaian dunia, Indonesia menyambut baik kesepakatan workplan antara Pemerintah Iran dengan The International Atomic Energy Agency (IAEA).

Keberhasilan memberantas terorisme, untuk jangka panjang, akan sangat tergantung dari keberhasilan memberdayakan kaum moderat (empowering the mode-rates)
Indonesia juga berhasil terpilih menjadi anggota di beberapa organisasi internasional seperti anggota Dewan HAM periode 2007-2010, anggota Executive Board World Health Organization (WHO) periode 2007-2010, dan anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) kategori C periode 2007-2009. Pada awal 2008, Wakil Tetap Indonesia untuk PBB terpilih sebagai Ketua Komite Khusus PBB yang menangani masalah dekolonisasi. Selain keberhasilan pada pencalonan-pencalonan tersebut, kepercayaan masyarakat internasional juga diperlihatkan dengan terpilihnya kandidat Indonesia untuk mengisi jabatan-jabatan pada organisasi internasional seperti kepemimpinan Indonesia sebagai Ketua D-8 (Developing 8 Countries) untuk periode 2006-2008 dan Sekjen D-8. Capaian yang tidak kalah penting yang diraih pada 2006 adalah Indonesia telah memperoleh kepercayaan untuk duduk sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2007-2010, Peace Building Commission (PBC) periode 2006, The Council of the International Telecommunications Union periode 2006/2010, yaitu Australia, Malaysia, Amerika Serikat, Belanda, Yunani, dan Jepang. Terkait masalah terorisme, Indonesia secara tegas menolak pengaitan terorisme dengan agama atau budaya tertentu. Dalam upaya memberantas terorisme peningkatan kerjasama internasional untuk capacity building merupakan suatu keniscayaan. Namun demikian, keberhasilan memberantas terorisme, untuk jangka panjang, akan sangat tergantung dari keberhasilan memberdayakan kaum moderat (empowering the moderates). Dalam empowering the moderates inilah, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga seka-

81

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Tempo, Santirta M

ligus negara dengan populasi muslim terbesar di dunia telah memprakarsai berbagai dialog antaragama/budaya (interfaith dialogue) yang diusahakan menjadi tur tetap diplomasi Indonesia ke depan. Dalam kurun 2005-2008, Indonesia telah memprakarsai tidak kurang dari tujuh dialog baik di level bilateral maupun regional. Terkait peningkatan prakarsa Indonesia dalam resolusi konik internasional, Indonesia juga telah memfasilitasi penyelesaian konik antara konik Thailand Selatan melalui mediasi Wapres RI pada tanggal 21 Desember 2008 di Bogor. 2.8.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

masi Indonesia terdapat beberapa permasalahan, antara lain keterbatasan untuk mendukung penyelenggaraan hubungan luar negeri, baik dari sisi sumberdaya maupun manajerial. Di samping itu, situasi politik dalam negeri akan sangat mempengaruhi kinerja dan peran diplomasi. Upaya melakukan kerjasama di berbagai bidang melalui peran diplomasi akan menghadapi kesulitan apabila tidak didukung oleh stabilitas keamanan, jaminan kepastian hukum dan comparative advantage di samping pemberitaan yang proporsional tentang situasi politik di tanah air; 2. Dalam menjalankan diplomasi total, Pemerintah menyadari arti penting partisipasi masyarakat dan media massa sebagai representasi second track diplomacy yang juga merupakan faktor penting keberhasilan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Melalui kemitraan dengan masyarakat dan media massa diharapkan dapat memperkuat reliabilitas dan akuntabilitas kelembagaan maupun proses penyusunan kebijakan;

Dari sejumlah capaian-capaian yang telah diraih, masih terdapat beberapa permasalahan yang perlu penanganan yang lebih serius. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah: 1. Dalam pelaksanaan Program Pemantapan Politik Luar Negeri dan Optimalisasi Diplo-

82

Bagian 2

3. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencapaian Program Peningkatan Kerjasama Internasional adalah bahwa keberhasilan program ditentukan bukan hanya oleh penyelenggara hubungan luar negeri tetapi juga oleh kinerja instansi terkait. Keberhasilan pelaksanaan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, dan pariwisata bukan hanya merupakan hasil kerja Departemen Luar Negeri, tetapi juga sangat ditentukan oleh peran instansi sektor terkait. Untuk itu Departemen Luar Negeri perlu memperkuat perannya sebagai focal point dalam setiap kerjasama internasional, di samping juga meningkatkan sensititasnya dalam menangkap berbagai potensi peluang kerjasama internasional.

Pemerintah berusaha untuk meningkatkan peranan Indonesia dalam mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional melalui penyusunan rencana tindak untuk mendukung upaya-upaya peningkatan kerjasama ekonomi dan perdagangan melalui pelaksanaan three-track diplomacy, yaitu bilateral, regional, dan multilateral. Politik luar negeri akan tetap memainkan peran penting dalam menghadapi berbagai ancaman separatisme dan masalah otonomi daerah guna mencegah adanya internasionalisasi isu-isu separatisme di dalam negeri serta mengupayakan dukungan internasional terhadap integritas wilayah Indonesia. Terkait dengan isu ancaman dan gangguan keamanan di kawasan Asia Timur, terutama di Semenanjung Korea, yakni isu de-nuklir-isasi yang masih terus dibahas melalui Six Party Talks dan isu rekonsiliasi antara Utara dan Selatan, Indonesia akan memainkan peran aktifnya dalam kedua isu tersebut mengingat kedekatan Indonesia dengan kedua negara. Peningkatan upaya perlindungan dan pelayanan WNI/BHI di luar negeri juga masih menjadi salah satu perhatian utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Pemerintah Indonesia akan meningkatkan intensitas kerjasama dengan negara-negara mitra dan organisasi internasional terutama dalam hal perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta meningkatkan fungsi Citizen Services di Perwakilan RI. Untuk mewujudkan citra positif Indonesia dan meningkatnya kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia, strategi penyebaran informasi dan kemitraan dengan media sebagai salah satu alat diplomasi terus dioptimalkan disamping perluasan diplomasi publik melalui interfaith dialogue dan media dialogue.

2.8.4. 2.8.4.1.

Tindak Lanjut Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Indonesia juga akan terus meningkatkan dan mengembangkan diplomasi ekonomi dalam upaya meningkatkan kerjasama perdagangan dan investasi sebagai sumber bagi pembangunan ekonomi. Sebagai langkah ke depan, Indonesia akan terus memanfaatkan peluang-peluang yang ada dalam keikutsertaan Indonesia di berbagai forum internasional.

83

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada 2009, kebijakan politik dan hubungan luar negeri akan terus diarahkan untuk melanjutkan dan menindaklanjuti kegiatan-kegiatan yang belum selesai tahun sebelumnya, di samping perluasan dan peningkatan diplomasi Indonesia di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral dalam bentuk kerjasama di segala bidang. Hal tersebut dilaksanakan guna mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 di bidang hubungan luar negeri yakni menguatnya dan meluasnya identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat internasional.

2.8.4.2.

Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

Capaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dalam empat tahun terakhir memberikan gambaran yang beragam kualitas dan kuantitasnya. Secara umum, dari segi proses telah sebagian besar pencapaian sasaran sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan. Untuk mencapai sasaran akhir RPJMN 2004-2009 yang belum selesai dituntaskan, Pemerintah melalui kebijakan yang tertuang dalam RKP 2009 memfokuskan pada beberapa kegiatan dengan pola relasi kerjasama bilateral, regional, dan multilateral, antara lain: 1. Diplomasi publik dan Interfaith Dialogue; 2. Penyelesaian masalah perbatasan; 3. ASEAN Community; 4. Perlindungan WNI/BHI; 5. Penguatan peran Indonesia di bidang keamanan internasional; 6. Kerjasama bilateral, regional, multilateral/internasional; 7. Penguatan institusi diplomasi.

Ditingkat Bilateral, Indonesia secara konsisten melaksanakan border diplomacy dengan Filipina, Papua New Guinea (PNG), Malaysia, Singapura, dan Timor Leste melalui serangkaian perundingan dan penuntasan penentuan batas laut wilayah, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dengan negara-negara tetangga terus dilanjutkan dengan kemajuan yang lebih positif. Untuk tingkat regional, Indonesia semakin intensif dalam mengupayakan integrasi ASEAN. Indonesia terus mendorong ASEAN untuk beranjak ke arah peningkatan kerjasama dari suatu asosiasi menjadi komunitas. Peningkatan kerjasama internasional, penyusunan kerangka kerja menunjukkan keadaan yang lebih baik jika dilihat dari keluaran kegiatan dan potensi dampak yang dapat dihasilkan. Untuk pemantapan kerjasama internasional, capaian yang diperoleh sudah optimal karena keluarannya cukup banyak dan mampu menghasilkan dampak sebagaimana diharapkan. Dalam penciptaan perdamaian dunia, Indonesia telah ikut berpartisipasi dalam OPP dunia melalui pengiriman pasukan untuk ambil bagian dalam mengamankan negara-negara yang sedang mengalami perang. Bersama dengan OKI, Indonesia juga ikut menggalang solidaritas dan menyuarakan perdamaian dunia. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2007-2008, Indonesia secara nyata juga ikut berkontribusi penyelesaian konik Israel-Palestina. Terkait dengan keadaan di Lebanon, Indonesia juga ikut meningkatkan perannya melalui rancangan-rancangan resolusi PBB secara adil.

2.8.5.

Penutup

84

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Secara umum, capaian pelaksanaan RPJMN 20042009 dalam empat tahun terakhir memberikan gambaran yang beragam kualitas dan kuantitasnya. Pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 telah sesuai dengan kebijakan yang ingin dicapai.

Bagian 3 Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis


Bab 3.1 Pengantar Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis Bab 3.2 Pembenahan Sistem dan Politik Hukum Bab 3.3 Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk Bab 3.4 Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan atas Hukum dan Hak Asasi Manusia Bab 3.5 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Bab 3.6 Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah Bab 3.7 Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa Bab 3.8 Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh

Dok: Tempo, Arie Basuki

Bagian 3

BAB 3.1.
Pengantar Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis
Pada Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis terdapat 5 sasaran pokok dengan 7 prioritas beserta kebijakannya. SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya keadilan dan penegakan hukum. Terciptanya sistem hukum yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah, ditindaknya pelaku tindak pidana korupsi beserta pengembalian uang hasil korupsi kepada negara, dicegahnya dan ditanggulanginya terorisme serta pembasmian penyalahgunaan obat terlarang merupakan cerminan perwujudan sasaran pertama ini. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka prioritas pembangunan nasional 20042009 adalah Pembenahan Sistem Hukum Nasional dan Politik Hukum dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Memperkuat upaya pemberantasan korupsi melalui perbaikan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum dengan meningkatkan profesionalisme dan memperbaiki kualitas sistem pada semua lingkup peradilan; (2) Menyederhanakan sistem peradilan; dan (3) Memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dengan menghormati dan memperkuat kearifan dan hukum adat yang bersifat lokal untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan. Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Menghapus peraturan yang diskriminatif; (2) Menghapus peraturan yang sarat ketidakadilan gender; dan (3) Menghapus peraturan yang melanggar prinsip keadilan. Penghormatan, Pemenuhan, dan Penegakan Atas Hukum dan Pengakuan Atas Hak Asasi Manusia (HAM) dengan kebijakan yang diarahkan untuk melaksanakan berbagai rencana aksi, antara lain: (1) Rencana Aksi HAM 2004-2009; (2) Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi; (3) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak; (4) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; dan (5) Rencana Aksi Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. SASARAN KEDUA adalah terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan. Hal ini akan tercemin dalam berbagai perundangan, program pembangunan, kebijakan publik, membaiknya angka Gender-related Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM), menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 2004-2009 diletakkan pada Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik; (2) Meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta program-program lain

87

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: Tempo, Adri Irianto

untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumberdaya kaum perempuan; (3) Meningkatkan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak; (4) Menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap dalam melindungi setiap individu dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); (5) Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; dan (6) Memperkuat kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk ketersediaan data dan peningkatan partisipasi masyarakat. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya pelayanan kepada masyarakat dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan kepemerintahan daerah yang baik, menjamin konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 2004-2009 diletakkan pada Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Memperjelas pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; (2)

Mendorong kerjasama antar-Pemerintah Daerah (Pemda); (3) Menata kelembagaan Pemerintah Daerah agar lebih efektif dan esien; (4) Meningkatkan kualitas aparatur Pemerintah Daerah; (5) Meningkatkan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah; dan (6) Menata daerah otonom baru. SASARAN KEEMPAT adalah meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat. Hal ini akan dicerminkan dengan berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas, terciptanya sistem Pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, esien dan berwibawa. Selain itu, hal ini juga akan dicerminkan dengan terhapusnya aturan, peraturan, dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Menuntaskan penanggulangan

88

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN melalui penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, peningkatan efektivitas pengawasan, dan peningkatan budaya kerja dan etika birokrasi; (2) Meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara melalui penataan kelembagaan, manajemen publik dan peningkatan kapasitas SDM aparatur; (3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan melalui peningkatan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. SASARAN KELIMA adalah terlaksananya Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 secara demokratis, jujur, dan adil dengan menjaga momentum

konsolidasi demokrasi yang sudah terbentuk berdasarkan hasil pemilihan umum secara langsung tahun 2004. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh dengan kebijakan yang diarahkan pada: (1) Optimalisasi fungsi serta hubungan antar-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif; (2) Mendorong lebih lanjut upaya pemberdayaan masyarakat; (3) Meningkatkan kualitas partaipartai politik dan penyelenggaraan pemilu, sejalan dengan amanat konstitusi.

89

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: PolaGrade

Bagian 3

BAB 3.2.
Pembenahan Sistem dan Politik Hukum
3.2.1. Pengantar Pembangunan hukum memiliki peran penting dalam penyelenggaraan negara, khususnya guna mendorong terwujudnya tata Pemerintahan yang baik. Peraturan perundang-undangan yang baik akan membatasi, mengatur, dan sekaligus memperkuat hak dan kewajiban warga negara. Demikian juga, peraturan perundang-undangan yang baik dan implementasinya yang transparan dan konsisten akan menjamin kepastian hukum. Dalam era pasca-reformasi, kebijakan politik hukum nasional diarahkan pada upaya untuk pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandaskan pada tiga prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara: (1) Supremasi hukum; (2) Kesetaraan di hadapan hukum; dan (3) Penegakan hukum yang konsisten. Dengan demikian, politik hukum merupakan arah dari pembangunan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Politik hukum juga dapat dikatakan sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai arah hukum untuk mencapai tujuan negara dalam perspektif formal kenegaraan. RPJMN adalah: (1) Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-undangan; (2) belum lengkapnya peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-undang sehingga menyebabkan permasalahan dalam implementasinya; dan (3) Tidak adanya Perjanjian Ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik antara Pemerintah dengan negara yang berpotensi sebagai tempat pelarian khususnya pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku tindak pidana lainnya. Adapun pada struktur hukum, permasalahan yang dihadapi adalah: (1) Independensi lembaga pengadilan belum terwujud sehingga berpengaruh terhadap kinerjanya; (2) Akuntabilitas kelembagaan hukum; (3) Sumberdaya manusia di bidang hukum; (4) Sistem peradilan yang tidak transparan dan terbuka. Sedangkan dalam budaya hukum, permasalahannya adalah degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat dan menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum masyarakat. Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum, sasaran yang telah-sedang- dan akan dilaksanakan pada 2004-2009 adalah: 1. Terciptanya sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender); 2. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan dan perundangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi;

3.2.2. Kondisi Awal RPJMN 2004-2009 (Tahun 2004-2005) Permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum pada dasarnya meliputi tiga bagian, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam substansi hukum permasalahan yang terjadi pada awal pelaksanaan

91

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Terciptanya kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, dan profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum secara keseluruhan. Secara umum, pembenahan sistem dan politik hukum dalam RPJMN 2004-2009 diharapkan dapat memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum. Oleh karena itu, arah kebijakan dalam RPJMN 2004-2009 meliputi: 1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki perundang-undangan; 2. Menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional; 3. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan;

4. Menyederhanakan sistem peradilan dan meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; 5. Meningkatkan budaya hukum, antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundangan serta perilaku keteladanan dari kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi, menaati, dan menegakkan supremasi hukum. Dalam upaya pencapaian sasaran Pembenahan Sistem dan Politik Hukum tersebut dilaksanakan melalui program-program, sebagai berikut: (1) Program Perencanaan Hukum; (2) Program Pembentukan Hukum; (3) Program Peningkatan Kinerja Lembaga Peradilan dan lembaga Penegakan Hukum Lainnya; (4) Program Peningkatan Kualitas Profesionalisme Hukum; dan (5) Program Kesadaran Hukum dan Hak Asasi Manusia.

3.2.3. Pencapaian 2005-2008 3.2.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 1. Substansi Materi Hukum Upaya pencapaian kepastian hukum telah dilakukan dengan cara memperbaiki pembenahan terhadap peraturan perundang-undangan nasional dengan mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selama lima tahun kedepan (RPJMN 2004-2009) Pemerintah telah menetapkan sebanyak 284 Rancangan UndangUndang (RUU) yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas 2005 menetapkan sebanyak 55 RUU yang terdiri atas 27 RUU baru, 22 RUU perubahan/revisi dan 6 RUU konvensi. Tahun 2006 ditetapkan sebanyak 44 RUU yang terdiri dari 12 RUU Baru dan 32 RUU yang merupakan lanjutan Prolegnas 2005. Pada 2007 telah disepakati sebanyak 78 RUU yang terdiri dari 30 RUU prioritas dan 48 RUU

Secara umum, pembenahan sistem dan politik hukum dalam


PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

RPJMN 2004-2009 diharapkan dapat memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum

92

Bagian 3

lanjutan. Pada 2008 telah ditetapkan sebanyak 99 RUU yang terdiri dari 31 RUU Prioritas, 20 RUU kumulatif terbuka dan 48 RUU yang diluncurkan. Sisanya sebanyak 8 RUU akan dilaksanakan pada 2009. Sampai dengan 2008 Pemerintah telah mensahkan peraturan perundang-undangan sebanyak 669 peraturan, yang terdiri dari 127 UU, 327 Peraturan Pemerintah (PP) dan 249 Peraturan Presiden (Perpres). Terkait dengan pelaksanaan kebijakan dalam pembentukan peraturan daerah (Perda) dan dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap berbagai kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota, telah dilakukan pengkajian evaluasi terhadap berbagai Perda. Untuk mendukung program legislasi daerah (prolegda) selama kurun waktu 20062008, telah dilakukan beberapa kegiatan berupa kajian dan inventarisasi peraturan daerah. Dari kegiatan tersebut sampai dengan 10 Desember 2008, Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan departemen teknis terkait telah mengevaluasi sebanyak 11.401 Perda, telah dibatalkan 2.398 Perda, direvisi, diubah, atau dicabut sendiri oleh Pemda yang bersangkutan sebanyak 144 Perda dan Perda tidak bermasalah sebanyak 5.440. Sampai saat ini, terdapat 3.419 Perda yang masih dalam proses evaluasi. Pembatalan Perda tersebut umumnya terkait dengan adanya ketentuan di dalamnya yang tertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kecenderungan untuk menimbulkan ekonomi biaya tinggi. 2. Struktur Hukum Pembangunan struktur hukum bertujuan mewujudkan independensi lembaga hukum khususnya lembaga pengadilan. Hal ini telah dilakukan antara lain dengan telah diberlakukannya sistem satu atap dimana kewenangan di bidang keuangan, kepegawaian, administrasi telah diserahkan sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan lembaga pengadilan yang di bawah-

nya. Namun, independensi tersebut harus diikuti dengan akuntabilitas dari lembaga pengadilan. Independensi tidak berarti bebas tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban. Independensi juga berarti bahwa produk yang dihasilkan oleh lembaga pengadilan harus dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat melalui putusan-putusan pengadilan yang dihasilkan oleh aparat yang profesional dan mempunyai integritas.

Untuk mendukung program legislasi daerah (Prolegda) selama kurun waktu 2006-2008, telah dilakukan beberapa kegiatan berupa kajian dan inventarisasi peraturan daerah.
Untuk menunjang sistem kinerja Mahkamah Konstitusi sesuai dengan tugas, pokok, dan kewenangannya telah disusun dan diterapkan peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Peraturan ini berisi ketentuan hukum acara terkait perkara pengujian undang-undang, hukum acara penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum dan perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. MKRI juga mengatur hukum acara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Adapun, hukum acara yang terkait dengan pembubaran partai politik, hukum acara pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta hukum acara saksi dan ahli, kuasa, serta pendamping dalam beracara di MK, sedang dalam tahap pembahasan draftnya. Upaya pengawasan terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman telah ditindaklanjuti oleh Komisi Yudisial yang memproses 111 laporan (termasuk 7 laporan yang berasal dari publik/media massa) diikuti dengan pemanggilan hakim untuk dimintai keterangan. Setelah melalui mekanisme pemeriksaan yang sesuai dengan prosedur, dihasilkan rekomendasi kepada Mahkamah Agung atas penjatuhan sanksi, tidak profesional dan melanggar prinsip imparsialitas.

93

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Budaya Hukum Budaya hukum yang baik pada dasarnya dapat tercapai apabila pembangunan substansi hukum dan struktur hukum sudah berjalan dengan baik. Sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat maka telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Terkait dengan upaya pencegahan korupsi telah dilakukan pencatatan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dari tahun ke tahun kesadaran untuk mencatatkan harta kekayaannya dari pejabat semakin meningkat. Pada 2007 dari 86.468 jumlah wajib lapor LHKPN yang telah menyerahkan laporan sejumlah 76.455 atau 88,42 persen dibandingkan tahun 2006 yang hanya mencapai 56,11 persen. Sementara itu tahun 2008 target pelaksanaan LHKPN mencakup 25.000 pejabat negara. Adanya peningkatan tersebut antara lain disebabkan karena banyaknya sosialisasi mengenai pencegahan korupsi yang dilakukan baik pada instansi yudikatif maupun eksekutif baik pusat maupun daerah. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi upaya yang sifatnya represif maupun preventif terus dilakukan. Hal ini secara tidak langsung berpengaruh luas kepada masyarakat dan aparatur negara dengan timbulnya iklim takut korupsi. Bahkan timbul kecenderungan adanya keengganan dari aparatur negara untuk menjadi pengelola proyek serta panitia pengadaan barang dan jasa karena takut terlibat kasus korupsi. Upaya untuk melakukan sosialisasi pencegahan korupsi akan terus dilakukan dengan tujuan meningkatkan pemahaman akan peraturan perundang-undangan yang terkait agar masyarakat menjadi lebih paham apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Upaya ini juga bertujuan menggugah aparatur negara untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

3.2.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Sebagai bagian dalam upaya untuk memperbaiki sistem hukum nasional, maka berbagai langkah untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan di Indonesia terus dilakukan. Namun, beberapa permasalahan masih dihadapi dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum. 1. Substansi Hukum Salah satu faktor penghambat dalam perencanaan dan pembentukan hukum antara lain adalah masih belum dipatuhinya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) secara konsisten. Hal ini disebabkan masih mengemukanya egosektoral antar-instansi/lembaga, kurangnya jumlah dan kualitas tenaga perancang peraturan perundangundangan (legal drafter) dan masih ditemukan adanya ketidakharmonisasian antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Satu hal yang merupakan dampak dari lemahnya pelaksanaan koordinasi antar-instansi/lembaga Pemerintah yang belum dapat dilaksanakan dengan maksimal dan konsisten sesuai dengan Prolegnas. Proses pembentukan peraturan juga belum terkoordinasi dengan baik sehingga tiap-tiap institusi/lembaga eksekutif dan legislatif belum menjadikan Prolegnas sebagai dasar atau acuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan hukum nasional harus pula didukung oleh penelitian hukum, pengkajian hukum, penyusunan naskah akademis, dan penyediaan jaringan dokumentasi dan informasi hukum yang memadai sehingga prosesnya dapat berjalan dengan lebih baik. 2. Struktur Hukum Dalam rangka pembangunan struktur hukum, kelembagaan aparat penegak hukum dewasa ini juga masih menjadi suatu permasalahan yang harus dihadapi. Kinerja aparat penegak hukum dan peradilan, meskipun sudah menunjukkan banyak

94

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

kemajuan, masih perlu perbaikan kinerja yang menunjukkan kesungguhan dalam upaya penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan, cepat, mudah, murah, dan transparan. Pengawasan internal maupun eksternal yang dilakukan oleh tiap-tiap institusi/kelembagaan belum dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap hasil kinerja yang dilakukan karena masih terdapat semangat melindungi korps terhadap ketimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi. Hal ini yang mengakibatkan skeptisme masyarakat dan penurunan tingkat kepercayaan terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dengan adanya lembaga Komisi Yudisial yang berfungsi secara objektif melakukan pengawasan terhadap pemegang kekuasaan yudikatif sebagai lembaga yang mandiri mempunyai kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, serta menjaga keluhuran martabat serta perilaku hakim. 3. Budaya Hukum Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum. Masyarakat sebagai elemen dari suatu sistem hukum sebaiknya menjadi pendorong upaya penegakan hukum. Dengan kondisi penegakan hukum yang masih belum memberikan hasil yang diharapkan masyarakat, terlebih dengan berbagai contoh pelanggaran dan penyimpangan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, skeptisme masyarakat terhadap penegakan hukum terjadi. Dengan demikian, perlu adanya suatu shock therapy berupa penegakan hukum yang konsisten dan tidak berpihak terutama dari dan untuk aparat penegak hukum dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat. Sosialisasi tentang tugas, kewenangan, dan fungsi dari kelembagaan yang dibentuk dalam sistem hukum sangat penting diberikan kepada masyarakat dalam rangka proses pembelajaran dan meningkatkan kesadaran hukum.

Sosialisasi tentang tugas, kewenangan, dan fungsi dari kelembagaan yang dibentuk dalam sistem hukum sangat penting diberikan kepada masyarakat dalam rangka proses pembelajaran dan meningkatkan kesadaran hukum
3.2.4. Tindak Lanjut 3.2.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Pembenahan sistem dan politik hukum dimasa yang akan datang diarahkan kepada kebijakan untuk mendorong pemberantasan korupsi dan kerjasama internasional dalam memberantas korupsi secara tegas dan konsisten melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional, perbaikan kelembagaan hukum, serta peningkatan kesadaran hukum dan HAM kepada masyarakat. Dalam upaya penegakan hukum beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: 1. Pelaksanaan reformasi birokrasi, baik di lingkungan Pemerintahan pusat maupun daerah; 2. Penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif (tebang pilih); 3. Penegakan hukum sebagai sebuah gerakan moral. Untuk mencapai sasaran pembangunan hukum sebagaimana yang telah ditentukan, maka pada 2009 kebijakan pembangunan hukum tetap melanjutkan kebijakan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada 2009 sasaran yang ingin dicapai dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum adalah, sebagai berikut: 1. Terciptanya sistem hukum nasional yang adil dan konsisten melalui upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam rangEvaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

95

ka untuk mendorong pembangunan nasional dan pemberantasan korupsi; 2. Tersedianya sarana dan prasarana hukum yang memadai dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi dari sumberdaya manusia yang berkualitas; 3. Terciptanya partisipasi masyarakat dan aparatur negara dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum nasional. Dimana termasuk di dalamnya ikut serta dalam pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih baik. Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum pada 2009 arah kebijakan yang ditetapkan adalah: 1. Melanjutkan upaya penataan pembangunan materi hukum baik terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada maupun melalui upaya penetapan peraturan perundang-undangan baru; 2. Pembenahan struktur hukum melalui peningkatan kualitas dan integritas aparatur hukum, pemenuhan infrastruktur yang memadai dalam rangka penegakan hukum serta penyelenggaraan sistem peradilan yang cepat, murah, dan akuntabel; serta 3. Peningkatan kesadaran hukum melalui sosialisasi peraturan perundang-undangan nasional sehingga mendorong peran serta masyarakat dalam rangka pembangunan hukum nasional khususnya dalam upaya pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi. 3.2.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Dengan menilik capaian terakhir upaya pembenahan sistem dan politik hukum, diperkirakan sasaran RPJMN pada 2009 akan mencapai sebagian sasaran yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh:

1. Masih belum dipatuhinya Prolegnas secara konsisten; 2. Masih mengemukanya egosektoral antar-instansi/lembaga serta kurangnya jumlah dan kualitas tenaga perancang Perpu (legal drafter); 3. Kinerja aparat penegak hukum dan peradilan, meskipun sudah menunjukkan banyak kemajuan, diakui masih perlu perbaikan. Perlu kesungguhan dalam upaya penegakan hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan, cepat, mudah, murah, dan transparan; 4. Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah juga menjadi salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum. Namun, beberapa sasaran diperkirakan masih bisa dicapai pada akhir RPJMN. Tentu saja, untuk itu dibutuhkan konsistensi dan kesinambungan agar target sasaran benar-benar bisa terpenuhi. Adapun capaian yang diperkirakan akan terpenuhi, paling tidak mengalami perbaikan, adalah: 1. Capaian 151 RUU yang harus selesai selama 2009 diperkirakan dapat tercapai. Namun, untuk mencapainya butuh kerja ekstra. Sebab, rata-rata RUU yang bisa dihasilkan per tahunnya sekitar 50-an. Dan jika mengikuti standar rata-rata tersebut, maka dalam waktu dua tahun tersisa, hanya bisa dihasilkan 100 RUU; 2. Upaya untuk mewujudkan independensi lembaga hukum yang memberlakukan sistem satu atap tampaknya butuh waktu untuk memenuhi harapan. Dibutuhkan adaptasi untuk membiasakan diri pada budaya independensi yang harus diiringi dengan akuntabilitas dari lembaga pengadilan; 3. Terkait dengan pemberantasan korupsi, upaya-upaya represif dan preventif yang terus dilakukan tampaknya akan membuahkan hasil. Meskipun tidak memenuhi harapan orang banyak, namun upaya pemberantasan korup-

96

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

si mengalami peningkatan. Hal ini tercermin dengan semakin banyaknya jumlah kasus korupsi di sejumlah lembaga negara dan lembaga penegak hukum yang berhasil diungkap.

3.2.5. Penutup Secara umum, upaya pembenahan sistem dan politik hukum sudah tidak lagi berjalan di tempat. Berbagai capaian sepanjang tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa upaya pembenahan tersebut membuahkan hasil. Namun, untuk memenuhi keseluruhan sasaran RPJMN 2004-2009, tampaknya masih membutuhkan waktu.

Secara keseluruhan, semua tentu sepakat bahwa penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Ketiadaan penegakan hukum dan ketertiban akan menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara damai, adil, dan sejahtera. Untuk itu perbaikan pada aspek keadilan akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian.

97

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: PolaGrade

Bagian 3

BAB 3.3.
Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk
3.3.1. Pengantar UUD 1945 memberikan jaminan persamaan hak dan melarang diskriminasi. UUD juga menyebutkan hak dan kewajiban yang sederajat bagi setiap warga negara, baik pribumi maupun keturunan sebagaimana tercantum Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28. Pengertian diskriminasi dalam ruang lingkup hukum hak asasi manusia Indonesia (human rights law) dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia berkomitmen melakukan penolakan terhadap berbagai bentuk diskriminasi. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan diperkuat dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Dengan diratikasinya CEDAW, Indonesia berkewajiban menyesuaikan berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Indonesia juga harus berkomitmen melaporkan pelaksanaan penghapusan segala bentuk diskriminasi, terutama yang terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan.

3.3.2. Kondisi Awal RPJMN 2004-2009 (Tahun 2004-2005) Diskriminasi dalam praktik dapat terjadi secara eksplisit ataupun implisit, baik pada peraturan perundang-undangan atau pemberlakuannya yang membeda-bedakan warga negara yang akhirnya melahirkan ketidakadilan. Dalam hal ini, upaya untuk menghapus diskriminasi banyak dihadapkan pada kendala penyesuaian dan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009. Tumpang tindihnya pengaturan dan kepentingan sektoral banyak mendominasi upaya penyesuaian berbagai peraturan perundangundangan yang terkait dengan berbagai bentuk penghapusan diskriminasi. Hal ini menyebabkan terhambatnya upaya mengurangi perlakuan diskriminasi terhadap warga negara pada berbagai bidang kehidupan. Selain itu, kualitas hukum dan kepastian hukum dalam rangka mengurangi perlakuan diskriminasi juga masih rendah. Dari sisi kuantitas, peraturan perundang-undangan yang dihasilkan setiap ta-

99

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

hunnya cukup banyak. Namun, dari sisi kualitas, masih banyak ditemui peraturan yang sebenarnya mengandung perlakuan diskriminasi. Hal lain adalah masih rendahnya kewibawaan lembaga dan sistem peradilan yang saat ini menjadi sorotan masyarakat. Kondisi ini penting untuk segera diatasi, mengingat keberhasilan pembangunan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera juga ditentukan oleh seberapa jauh sistem hukum yang berlaku ditegakkan dengan konsisten dan adil. Sementara itu, pemahaman aparat dan sistem pelayanan publik terhadap pentingnya peraturan perundang-undangan yang tidak diskriminatif masih relatif rendah. Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama penyelenggara negara dalam lingkup eksekutif harus benar-benar menjunjung tinggi asas kedudukan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum. Selanjutnya, apabila dalam pelaksanaannya terdapat peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif dan melanggar prinsip keadilan, maka harus berani ditindaklanjuti dengan langkah menghapus dan/atau melakukan berbagai perubahan. Untuk mendukung upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, sasaran yang ingin dicapai dalam RPJMN 2004-2009 adalah: 1. Terlaksananya peraturan perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi, baik kepada setiap warga negara, lembaga/instansi Pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten dan transparan; 2. Terkoordinasikannya dan terharmonisasikannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara; 3. Terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap warga negara.

Untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai, maka upaya penghapusan diskriminasi diarahkan pada: 1. Kebijakan untuk menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsiten, adil dan tidak diskriminatif; 2. Peningkatan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi, termasuk ketidakadilan gender. Harus dipahami bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa terkecuali; 3. Penerapan hukum yang adil, melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa. Pencapaian sasaran tersebut dilaksanakan melalui Program Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum.

3.3.3. Pencapaian 2005-2008 3.3.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Berbagai upaya Pemerintah dalam pencapaian sasaran penghapusan diskriminasi menunjukkan hasil positif. Hal tersebut ditunjukkan, antara lain, dengan dikeluarkannya berbagai peraturan, antara lain: 1. Upaya penghapusan diskriminasi terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI), melalui UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Selain itu dengan adanya Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Indonesia dan Malaysia juga merupakan upaya perlindungan TKI khususnya TKI yang berada di Malaysia mengingat 90 persen buruh migran di Malaysia berasal dari Indonesia; 2. Penghapusan diskriminasi yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan yang dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini ditindaklanjuti

100

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga; 3. Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2005. Perpres ini bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan, pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia; 4. Diratikasinya implementasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966 melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tahun 1966 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR). Keberadaan kovenan-kovenan ini memberikan jaminan perlindungan di bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, hak-hak sipil dan politik; 5. Dikeluarkannya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI yang menggantikan UU Nomor 62 Tahun 1958. UU baru ini berbeda dari UU sebelumnya, yang hanya berorientasi pada pria. UU terbaru ini berorientasi pada kesetaraan gender, dan upaya perlindungan anti diskriminasi kepada golongan etnis dan minoritas; 6. Pelegislasian UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan terhadap saksi dan korban yang berupaya untuk pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang tidak diskriminatif; 7. Terobosan hukum yang cukup signikan adalah disahkannya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). UU ini sebagai upaya

penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, khususnya bagi kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat yang berpotensi tinggi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang akibat kemiskinan dan tingkat pendidikan yang masih minim. UU PTPPO ini memuat sanksi-sanksi yang lebih jelas dan tegas serta perlindungan yang lebih baik dengan mengatur pelayanan untuk pemulihan sik dan psikis dari Pemerintah serta ganti rugi dari pelaku. Lebih dari itu, adanya hak bagi korban tindak pidana perdagangan orang untuk tidak dijerat hukuman apabila dalam posisi sebagai korban (misalnya pekerja seks komersial dan pengedar narkoba); 8. Penandatanganan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hakhak dan Martabat Penyandang Cacat pada 30 Maret 2007. Demikian juga ditandatangani Konvensi Internasional Perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa pada 12 Maret 2007; 9. Upaya penghapusan diskriminasipun sejalan dilakukan dengan memberi tempat kepada keadilan dan kesetaraan gender dalam pendirian dan pembentukan partai politik. Implementasinya adalah pengaturan penyertaan 30 persen keterwakilan perempuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

10. Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis melalui UU Nomor 40 Tahun 2008. Dengan UU ini, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis. Selain penerbitan peraturan perundang-undangan, Pemerintah berupaya mengurangi diskriminasi melalui berbagai upaya, antara lain: 1. Pelayanan publik prima dalam bentuk penyatuan kegiatan berbagai unit pelayanan dalam satu kesatuan tempat yang terpadu (one stop services). Hal ini sebagai upaya meminimali-

101

sir perlakuan diskriminatif bagi masyarakat pengguna diberbagai sektor; 2. Pelayanan dan bantuan hukum yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa pengecualian. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; 3. Penjaminan pelayanan hak-hak masyarakat dari berbagai lapisan dengan akses informasi yang sama serta transparan dari institusi-institusi Pemerintah dan proses peradilan. Hal ini untuk menumbuhkan kembali kepercayaan terhadap penegakan hukum dan aparatnya di lndonesia; 4. Salah satu bentuk penghapusan diskriminasi rasial lainnya adalah dengan Penetapan Tahun Baru Cina atau Imlek sebagai hari libur nasional. Hal ini memberikan kesempatan kepada etnis Cina untuk merayakan Imlek secara terbuka; 5. Penyelenggaraan bantuan konseling dan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan dan pendidikan. Target utama program ini adalah organisasi perempuan di daerah. Ini bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat sipil di tingkat lokal dalam rangka mengurangi tindakan kekerasan terhadap perempuan di daerah;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

peningkatan kualitas pelayanan melalui proses sistem informasi penyusunan prosedur dan standardisasi persyaratan pelayanan jasa hukum. 3.3.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk mengalami beberapa permasalahan. Dari segi peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan perundang-undangan telah diarahkan untuk menghapuskan kesenjangan dan menghilangkan praktik diskriminasi. Namun, perubahan yang diharapkan belum terwujudkan secara optimal, antara lain disebabkan oleh belum dijadikannya acuan berbagai peraturan tersebut dalam penanganan kasus hukum.

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
Ratikasi beberapa konvensi hak asasi manusia juga belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal. Sebagai contoh, implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang belum optimal. Kurangnya kemauan atau komitmen dari para instansi terkait, kurangnya koordinasi antarkelembagaan untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku membuat proses untuk menjalankan ketentuan tersebut menjadi terhambat. Begitu juga, upaya memberikan perlindungan perempuan, yang antara lain dengan diundangkannya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), belum maksimal. UU tersebut masih belum menciptakan efek jera bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta institusi peradilan belum sepenuhnya mempergunakan-

6. Berkaitan dengan diskriminasi dalam konteks kewilayahan, Pemerintah membuat berbagai kebijakan mengurangi kesenjangan antara wilayah barat dan wilayah timur, dan juga antara daerah maju dan daerah tertinggal/terisolir; 7. Pemerintah juga menghapus diskriminasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik melalui berbagai penyederhanaan persyaratan, prosedur, serta peningkatan transparansi. Dalam rangka mendukung peningkatan investasi telah dilakukan pendelegasian wewenang kepada 33 Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM. Demikian pula,

102

Bagian 3

Dok: Tempo, Yosep Arkian

nya dalam pertimbangan putusan hakim. Komnas Perempuan mencatat bahwa pada 2006 terjadi 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan dan angka tersebut meningkat menjadi 25.552 kasus pada 2007. Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratikasi sejak 1990 belum juga memberikan hasil-hasil yang signikan dalam upaya pemberian perlindungan terutama hak-haknya sebagai anak Indonesia. Negara masih memberikan perhatian yang sangat kecil dalam memprioritaskan kesejahteraan dan kepentingan anak. Kepentingan kelompok masyarakat kurang mampu, dan rentan juga masih kurang mendapatkan penanganan yang memadai. Selain itu, pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundangundangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat secara tidak diskriminatif hanyalah menjadi slogan belaka. Hal ini antara lain disebabkan karena belum adanya batasan atau indikator yang jelas dalam pemberian pelayanan maupun pemenuhan perlindungan hak-hak kepada masyarakat kurang mampu. Demikian pula, ketiadaan sanksi terhadap satu lembaga maupun instansi yang memberikan pelayanan berbeda kepada setiap warga turut memberikan pengaruh terhadap kelanggengan

praktik diskriminasi di berbagai bidang. Selain itu, masalah pengawasan terhadap diskriminasi sangat sulit dilakukan. Selama ini pengawasan lebih banyak dilakukan atas inisiatif masyarakat dalam upaya mengurangi praktik diskriminasi yang dilakukan terhadap berbagai golongan masyarakat. Sementara itu, kondisi buruh atau tenaga kerja sebagai kelompok masyarakat yang rentan terhadap tindakan diskriminatif dan memerlukan perlindungan, masih belum baik. Masih sering terjadi penghentian hubungan kerja oleh berbagai perusahaan karena alasan esiensi. Demikian juga, belum terdapat kesepakatan yang dapat memberikan keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban di antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja tentang hak-hak buruh. Hal ini memicu berbagai unjuk rasa menentang kebijakan yang dijalankan dan dirasakan masih tidak adil serta merupakan bagian dari upaya mendiskriminasikan para buruh. Diskriminasi juga terjadi pada kehidupan masyarakat miskin atau kurang mampu, seperti pada akses pelayanan kesehatan. Hal ini, antara lain, disebabkan rendahnya kepedulian sosial pe-

103

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

nyelenggara rumah sakit dan tidak adanya sanksi yang tegas bagi rumah sakit yang menolak memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien miskin. Sehingga tidak mengherankan penolakan dan penahanan rumah sakit terhadap pasien miskin masih sering terjadi. Kurangnya kesamaan cara pandang dalam upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk merupakan awal dari tiadanya koordinasi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Fakta demikian merupakan permasalahan penting di dalam upaya penghapusan diskriminasi.

3.3.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Dengan menelaah capaian terakhir upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, maka diperkirakan sasaran RPJMN pada akhir 2009 nanti akan tercapai meski tidak secara sempurna. Terkait dengan terlaksananya peraturan perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi, baik kepada setiap warga negara, lembaga/instansi Pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten dan transparan, tampaknya akan mengarah pada perbaikan, namun tidak secara keseluruhan. Untuk terkoordinasikannya dan terharmonisasikannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara, diperkirakan akan tercapai. Hal ini diindikasikan dengan semakin tingginya kesadaran dan kearifan masyarakat dalam menerima perbedaan dan tidak memberi perlakukan diskriminasi. Untuk terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap warga negara, hal ini pun diperkirakan akan tercapai, namun tidak sepenuhnya. Perlu waktu yang lebih panjang untuk bisa beradaptasi dan membangun budaya baru yang berorientasi pada keadilan dan peniadaan diskriminasi.

3.3.4. Tindak Lanjut 3.3.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Berbagai pelaksanaan kegiatan yang belum selesai pada 2008 akan dilanjutkan pada 2009. Secara spesik, upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran dalam kurun waktu 2004-2009 adalah meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan pemajuan hak asasi manusia. Hal ini akan dilakukan baik melalui pembentukan perundang-undangan maupun penguatan kapasitas penegak hukum dan masyarakat dalam rangka mewujudkan kedudukan yang sama di hadapan hukum pada setiap golongan masyarakat. Sehingga diharapkan akan terlaksana peraturan perundangundangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminatif kepada setiap warga negara. Langkah lainnya adalah menyelenggarakan pelayanan publik dan pelayanan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap warga negara. Hal tersebut diupayakan melalui perbaikan sistem pelayanan publik dan pelayanan hukum. Demikian juga, Pemerintah akan meningkatkan kegiatan dan kualitas pemberian bantuan hukum kepada warga masyarakat kurang mampu yang menghadapi masalah hukum di pengadilan. Dengan hal ini akan berkurang perlakuan diskriminatif dan setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

3.3.5. Penutup Diskriminasi merupakan salah satu bentuk ketidakadilan. Diskriminasi dalam praktik dapat terjadi secara eksplisit ataupun secara terselubung. Pada awal-awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, upaya untuk menghapus diskriminasi banyak dihadapkan pada kendala pelaksanaan dalam melakukan penyesuaian dan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional. Tumpang tindihnya pengaturan dan kepentingan sektoral banyak

104

Bagian 3

Dok: Tempo, Arie Basuki

mendominasi upaya penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan berbagai bentuk penghapusan diskriminasi. Hal ini menyebabkan terhambatnya upaya untuk mengurangi perlakuan diskriminasi terhadap warga negara pada berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang perlindungan HAM, Indonesia telah meratikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dengan UU Nomor 12 Tahun 2005. Selain itu, sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Pasal 43 UU PKDRT, telah dikeluarkan PP Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Terobosan besar dalam upaya penghapusan diskriminasi adalah dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI menggantikan UU Nomor 62 Tahun 1958. Sebagai bentuk upaya penghapusan diskriminasi rasial pada etnis Tionghoa, telah ditetapkan Tahun Baru Cina atau Imlek sebagai hari libur nasional yang memberikan kesempatan kepada etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka. Dalam upaya perlindungan terhadap perempuan, telah dibentuk Komnas Perempuan melalui Per-

Dengan demikian, secara keseluruhan, upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk dalam 3 tahun terakhir ini telah lebih baik. Meskipun sulit untuk memenuhi sasaran yang telah ditetapkan pada akhir 2009 secara sempurna, namun capaian-capaian yang ada sudah cukup memadai. Untuk mengupayakan pemberantasan diskriminasi secara total ke depan, maka Pemerintah akan mengupayakan hal ini secara terus menerus dan konsisten, dimana untuk itu bantuan dan kerjasama dari segenap lapisan masyarakat teramat diperlukan.

105

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

pres Nomor 65 Tahun 2005 yang bertugas untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan, pencegahan, dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Untuk membantu warga masyarakat kurang mampu yang terlibat dalam masalah hukum, telah pula diberikan bantuan hukum untuk menyelesaikannya. Sementara bagi membantu perempuan korban KDRT, telah diselenggarakan bantuan konseling dan pendampingan serta pendidikan bagi organisasi perempuan di daerah. Demikian pula, untuk mendukung upaya perlindungan terhadap TKI, telah dilakukan sejumlah perbaikan peraturan perundang-undangan yang diarahkan untuk memberi penempatan dan perlindungan TKI/TKW.

Dok: Tempo, Tommy Satria

Bagian 3

BAB 3.4.
Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan Atas Hukum dan Hak Asasi Manusia
3.4.1. Pengantar Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. HAM melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia pada 1948. Penghormatan terhadap hukum dan HAM merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Beberapa aspek dari HAM bukan hanya kewajiban Pemerintah, akan tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan terpenuhinya hak tersebut secara konsisten dan berkesinambungan. 3.4.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pemerintah secara terus menerus berupaya untuk meningkatkan penghormatan, pengakuan, dan penegakan atas hukum dan HAM dengan proses yang lebih transparan dan melibatkan tidak saja instansi/lembaga Pemerintah, tetapi juga berbagai organisasi non-Pemerintah dan organisasi lainnya. Pada awal-awal tahun pelaksanaan RPJMN 20042009 masih banyak ditemui berbagai permasalahan terkait dengan penghormatan, pengakuan, dan penegakan atas hukum dan HAM, antara lain: 1. Masih banyaknya pelanggaran hukum dan HAM;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2. Banyaknya pelanggar HAM yang tidak dapat bertanggung-jawab dan tidak dapat dihukum (impunitas); 3. Tidak berfungsinya institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakkan HAM; 4. Penegakan hukum dan kepastian hukum belum dinikmati oleh masyarakat Indonesia; 5. Penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas, dan diskriminatif;

107

6. Selama 2001-2004, penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung masih belum optimal terinformasikan secara luas kepada masyarakat; 7. Besarnya harapan masyarakat dan tuntutan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menegakkan hukum dan kepastian hukum; 8. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi seringkali tidak tuntas. Untuk mendukung upaya penghormatan, pengakuan, dan penegakan atas hukum dan HAM, sasaran yang ingin dicapai dalam RPJMN 20042009 adalah terlaksananya berbagai langkahlangkah rencana aksi yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan dan penegakan terhadap hukum dan HAM, antara lain: 1. Rencana Aksi Hak Asasi Manusia 2004-2009; 2. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009; 3. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak ; 4. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ; 5. Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015.

1. Meningkatkan upaya pemajuan, perlindungan, upaya penghormatan, pengakuan, dan penegakan hukum dan HAM; 2. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil; 3. Menggunakan nilai-nilai budaya daerah sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan terciptanya kesadaran hukum masyarakat; 4. Meningkatkan kerjasama yang harmonis antara kelompok atau golongan dalam masyarakat, agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing; 5. Memperkuat dan melakukan konsolidasi demokrasi. Pencapaian sasaran Penghormatan, Pengakuan dan Penegakan Atas Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan melalui Program Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia.

3.4.3. Pencapaian 2005-2008 3.4.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Selama empat tahun pelaksanaan RPJMN 20042009, pencapaian penanganan korupsi di Indonesia telah memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan. Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami peningkatan dari 1,9 pada 2004 menjadi 2,6 pada 2008. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari kerja keras Pemerintah untuk terus menanggulangi penanganan korupsi. Pemerintah melakukan beberapa upaya pemberantasan korupsi yang bersifat preventif melalui beberapa kegiatan, antara lain: 1. Konsultasi dan Kampanye Publik Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang terdiri dari strategi pencegahan, penindakan, pencegahan dan penindakan korupsi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, serta monitoring dan evaluasi. Sampai Okto-

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Salah satu faktor penting yang mendukung keberhasilan proses pemeriksaan kasus korupsi, adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Upaya penghormatan, pengakuan, dan penegakan atas hukum dan HAM diarahkan untuk meningkatkan pemahaman, menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten terhadap HAM serta perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah:

108

Bagian 3

Dok: Tempo, Ayu Ambong

ber 2008 kegiatan tersebut telah dilakukan hampir di seluruh provinsi, beberapa kabupaten/kota, dan kementerian/lembaga; 2. Sosialisasi dan penyuluhan gratikasi diberikan kepada instansi Pemerintah maupun swasta; 3. Pendidikan Anti Korupsi untuk Pelajar dan Mahasiswa melalui training of trainer (TOT) di 37 Universitas; 4. Penandatanganan nota kesepahaman antara KPK dengan 67 perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia; 5. Kegiatan pendidikan anti-korupsi untuk SMP dan SMA. Langkah represif juga dilakukan oleh instansi/ lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi. Selama 2007, instansi kejaksaan telah menyelesaikan penyidikan perkara tindak pidana korupsi sebanyak 388 perkara dari 1.649 perkara, selanjutnya telah masuk ke tahap penuntutan ke pengadilan negeri sebanyak 661 perkara dan telah diselesaikan sejumlah 625 perkara. Sementara, KPK telah melakukan penyelidikan sebanyak 68

kasus, penyidikan 29 kasus yang terdiri dari 8 kasus merupakan sisa dari 2006 dan 28 kasus dari 2007. Sedangkan pada tahap penuntutan telah diselesaikan sebanyak 24 perkara yang terdiri dari 10 perkara sisa tahun 2006 dan 14 perkara dari 2007. Selain itu telah dihasilkan sebanyak 21 perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (putusan Inkracht). Salah satu faktor penting yang mendukung keberhasilan proses pemeriksaan kasus korupsi, adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Terbitnya UU tersebut diharapkan dapat memacu masyarakat untuk melaporkan adanya dugaan korupsi. Di bidang perlindungan HAM, Komnas HAM sepanjang 2005 sampai dengan Juni 2006 Pemerintah telah melakukan kegiatan pemantauan terhadap beberapa kasus yang mempunyai indikasi adanya pelanggaran HAM. Berbagai kasus ini antara lain: peristiwa Talangsari; peristiwa Ahmadiyah, dan permasalahan yang terkait dengan pemberian suaka oleh Pemerintah Australia

109

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

kepada 43 orang yang berasal dari Provinsi Papua. Dalam kaitannya dengan fungsi Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik pada pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, pada Maret 2002 Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung sebagai lembaga penyidik menyangkut peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM, sampai saat ini juga terus dilakukan kegiatan-kegiatan di berbagai bidang seperti yang tercantum dalam Rencana Aksi Nasional HAM (RAN-HAM). Rencana aksi ini tertuang dalam Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang RANHAM 2004-2009 disertai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan. Pada 2007, telah diselesaikan seluruh pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RAN-HAM di daerah dan telah dilaksanakan sosialisasi dalam penyusunan program terhadap kepanitiaan dari institusi pelaksana ke 46 daerah kabupaten di luar Jawa. Di bidang perlindungan anak, Pemerintah telah memperkuat kebijakan nasional dan kerangka perundang-undangan untuk melindungi hakhak anak untuk menghapuskan bentuk-bentuk terburuk pekerja anak, penghapusan eksploitasi seksual komersial terhadap anak, perdagangan anak, status kewarganegaraan, dan perlindungan dari tindak kekerasan, yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu : 1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak dan melibatkan anak pada pekerjaanpekerjaan terburuk. 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), mengamanatkan hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda. 5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, mengamanatkan bahwa status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak. 6. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam upaya pencapaian sasaran tersebut telah dilakukan langkah-langkah strategis perlindungan terhadap anak, bekerjasama dengan seluruh instansi yang terkait dengan perlindungan anak, di tingkat pusat dan daerah, selain itu pemerintah juga bekerjasama dengan badan-badan internasional, seperti UNICEF, UNESCO dan ILO. Pada fase pertama program penghapusan pekerja anak RAN di Indonesia tahun 2004-2007, tercatat 13.922 anak telah ditarik dari pekerjaannya, dan 29.863 anak lagi berhasil dicegah masuk ke empat sektor pekerjaan terburuk. Rencana Aksi Nasional tahap kedua, yang dimulai tahun 2008 hingga empat tahun ke depan, memakai dua strategi dasar, yaitu (1) mendorong perbaikan kebijakan-kebijakan dan tumbuhnya lingkungan kebijakan yang mendukung penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan (2) intervensi langsung di empat sektor pekerjaan terburuk buat anak, tujuan intervensi ini adalah mencegah dan menarik anak yang bekerja di sektor terburuk agar tidak lagi bekerja lagi di sana.

110

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

3.4.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Penegakan hukum di Indonesia memang masih belum optimal. Hal itu antara lain, ditunjukkan oleh masih rendahnya kinerja lembaga peradilan. Belum adanya penyelesaian beberapa kasus korupsi besar menyebabkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan Pemerintah untuk memberantas korupsi. Begitu juga, belum membaiknya kondisi kehidupan ekonomi sebagian rakyat menyebabkan mereka tidak menikmati hak-hak dasarnya. Hak dasar ini seperti hak atas pekerjaan yang layak, hak atas upah yang adil sesuai dengan prestasi dan yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarga mereka. Tidak terpenuhinya hak dasar ini juga yang menyebabkan masih besarnya masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Di samping itu, pemenuhan hak atas pendidikan juga belum sepenuhnya dinikmati oleh anggota masyarakat, khususnya yang lemah kondisi ekonominya. Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu negara dan negara lain menjadi makin tinggi. Dengan demikian, kecenderungan munculnya kejahatan yang sifatnya transnasional menjadi makin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut, antara lain, terkait dengan masalah narkotika, pencucian uang (money laundering), dan terorisme. Salah satu permasalahan yang sering timbul adalah adanya peredaran dokumen keimigrasian palsu. Permasalahan lain yang terkait dengan penghormatan dan penegakan HAM adalah masih maraknya praktik diskriminasi dan ketidakadilan, rasialisme, dan konik-konik yang sarat dengan nuansa kekerasan. Adanya pemberian impunitas pada pelaku kasus-kasus pelanggaran HAM menimbulkan kesan belum tuntasnya penyelesaian kasus-kasus tersebut. Begitupula lambatnya pelaksanaan RAN-HAM 2004-2009 juga menjadi faktor belum maksimalnya penegakan HAM di Indonesia.

Dalam rangka penanganan kasus korupsi dan pelanggaran HAM di Indonesia, beberapa permasalahan yang sampai saat ini masih dihadapi oleh instansi penegak hukum dan lembaga independen seperti KPK dan Komnas HAM, antara lain: 1. Belum sempurnanya peraturan perundangundangan yang mengatur hukum materiil maupun formil, serta masih terbatasnya pemahaman baik dari aparat penegak hukum maupun masyarakat umum terhadap hukum yang ada; 2. Masih adanya kelemahan pada UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga, masih ada kelemahan pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua hal ini menyebabkan masalah adanya permasalahan dalam penanganan kasus korupsi; 3. Ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia mensyaratkan adanya persetujuan DPR dalam pembentukan Pengadilan Ad Hoc HAM. Hal ini menyebabkan beberapa kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Tanjung Priok 1984, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II, Timor Timur 1999, Abepura 2000, peristiwa Wasior 2001-2002, dan Peristiwa Wamena 2003 belum dapat ditindaklanjuti oleh kejaksaan. Namun, penyelidikan kasuskasus tersebut telah dilakukan dan diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung; 4. Terkait upaya pencegahan korupsi melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang RAN PK, kegiatan itu belum menunjukan hasil yang optimal karena masih banyak instansi/lembaga baik di pusat maupun di daerah yang belum mengimplementasikannya. Berbagai kendala dihadapi dalam melaksanakan perlindungan terhadap anak, yaitu :

111

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

1. Budaya sebagian masyarakat bahwa anak bekerja merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai bekal untuk memasuki usia dewasa dan bekerja juga merupakan sarana untuk berbakti kepada orang tua. 2. Koordinasi antar sektor terkait dan antara pusat dan daerah belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 3. Belum berfungsinya sistem pengawasan terhadap kebijakan tersebut.

7. Pelaksanaan intelijen dalam rangka penanganan/penyelidikan kasus; 8. Penindakan hukum terhadap tindak pidana korupsi; 9. Penyelenggaraan penyelidikan pelanggaran kasus HAM. Begitu juga, upaya penegakan hukum di luar penanganan kasus korupsi terus dilanjutkan. Berbagai pembenahan juga akan terus menerus dilakukan melalui memperbaiki sistem, mekanisme serta prosedur yang dapat mempermudah serta memperlancar pelaksanaan program penegakan hukum yang selama ini berjalan. Memang, berbagai upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut belum dapat memenuhi harapan dan keinginan dari masyarakat. Sebab diperlukan waktu yang panjang untuk mencapai keberhasilan dari proses pelaksanaan program penegakan hukum dan HAM yang telah berjalan.

3.4.4. Tindak Lanjut 3.4.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Dalam kurun waktu setahun kedepan, penegakan hukum dan HAM menjadi tumpuan penegakan hukum dan HAM dalam rangka merebut kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Untuk itu, tiga agenda penegakan hukum dan HAM akan diprioritaskan pada: pemberantasan korupsi; anti-terorisme; serta pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Ketiga prioritas ini akan diupayakan melalui tindakan preventif dan represif. Beberapa kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain: 1. Penanganan perkara pidana khusus/umum, perdata tata usaha negara, pelanggaran HAM;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Upaya perlindungan bagi anak Indonesia yang terdiri dari upaya perlindungan bidang pendidikan, kesehatan serta sosial diharapkan dapat segera dilaksanakan sesuai dengan komitmen yang telah disepakati bersama dalam RAN-PNBAI
Demikian pula dalam pelaksanaan RAN-HAM, sampai saat ini telah dilakukan langkah-langkah pembentukan serta penguatan institusi pelaksana di daerah. Begitu juga, telah dilaksanakan sosialisasi dalam penyusunan program dari insitusi pelaksana di beberapa daerah kabupaten. Diharapkan, proses penyusunan program dapat diterapkan di daerah-daerah tersebut. Demikian pula, bisa diaplikasikan rencana-rencana kegiatan yang telah disusun sehingga sasaran dari dibentuknya RAN HAM dapat segera tercapai.

2. Pembinaan kepribadian dan keterampilan narapidana; 3. Peningkatan penyelenggaraan kerjasama internasional dalam rangka penegakan hukum; 4. Kerjasama antar-instansi Pemerintah; 5. Koordinasi kerjasama penerapan dan pemenuhan HAM; 6. Penyelenggaraan pemantauan pelaksanaan perlindungan pemajuan dan penegakan HAM;

112

Bagian 3

Dok: Tempo, Usman Iskandar

Pelaksanaan RAN-PNBAI juga terus menerus dilakukan. Sampai saat ini, telah berhasil disusun rencana aksi bidang perlindungan anak, terutama dari segi perlindungan hukum bagi anak Indonesia. Rencana aksi yang dilakukan ini merupakan komitmen dan tanggung-jawab dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya perlindungan secara maksimal bagi anak Indonesia. Upaya perlindungan bagi anak Indonesia yang terdiri

1. Hadirnya sejumlah layanan konsultasi publik tentang RAN-PK di pusat dan daerah sebagai kelanjutan dari pelaksanaan konsultasi publik yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya di daerah; 2. Adanya pembentukan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK). Pembentukan RAD-PK ini merupakan bagian dari upaya dan komitmen penyelenggaraan pemberantasan korupsi di tingkat daerah. Se-

113

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Untuk meningkatkan pemenuhan hak perlindungan anak, pemerintah dalam kebijakan kedepan memprioritaskan kegiatan pada: (1) Percepatan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional, (2) Mengadvokasi pemerintah daerah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak, (3) Meningkatkan pengetahuan orang tua dan masyarakat tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak, (4) Meningkatkan sumberdaya bagi perlindungan anak, dan (5) Meningkatkan koordinasi kerjasama antar lembaga dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak.

dari upaya perlindungan bidang pendidikan, kesehatan serta sosial diharapkan dapat segera dilaksanakan sesuai dengan komitmen yang telah disepakati bersama dalam RAN-PNBAI oleh masing-masing instansi pelaksana terkait. 3.4.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Berdasarkan capaian-capaian yang diperoleh hingga akhir 2008, maka sampai akhir pelaksanaan RPJMN 2004-2009 diperkirakan:

Tabel 3.4.1. Sasaran Program dan Pencapaian Bidang Penghormatan, Pengakuan, dan Penegakan atas Hukum dan Hak Asasi Manusia
No. Sasaran/Program Penghormatan, Pengakuan dan Penegakan Atas Hukum dan HAM 1. Terlaksananya berbagai langkah-langkah Rencana Aksi yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan dan penegakan terhadap hukum dan hak asasi manusia Permasalahan HAM Kasus 3.140 3.291 1.351 448 Indikator (Satuan) Kondisi Awal 2004 2005 2006 2007 2008

Kekerasan Terhadap Perempuan 2. 3. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. Indeks Persepsi Korupsi Eksploitasi seksual anak Pekerja anak

Kasus

14.020

20.391

22.512

25.552

IPK Kasus

1.9 221

2.0 327

2.2

2.4

2.6

persen

5.98persen

5.52persen

4.56persen

3.75persen

Kekerasan pada Anak Malnutrisi HIV/AIDS pada Anak

Anak Kasus persen Anak

2.801 441 9.3

2.789 736 8.8 199

1.394 600

455

127

dangkan komitmen untuk pemberantasan korupsi di tingkat pusat, selain RAN-PK, juga pelaksanaan Rencana Aksi Instansi (RAI); 3. Dituntaskannya sejumlah kasus korupsi yang menyita perhatian masyarakat dan menimbulkan banyak kerugian negara.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

6) Meningkatnya kesejahteraan aparat penegak hukum melalui referensi birokrasi.

3.4.5. Penutup Secara umum, upaya-upaya yang dilakukan untuk menciptakan penghormatan, pengakuan, dan penegakan hukum dan HAM semakin memperlihatkan perkembangan yang positif, baik di lingkungan penyelenggara negara, dunia usaha, maupun masyarakat. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi, banyaknya praktik korupsi yang terjadi hampir pada semua bidang menyebabkan penanganan-

4. Bidang perlindungan anak diperkirakan pada akhir tahun, pencapaian sasaran dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 yang didukung oleh pelaksanaan strategi nasional akses terhadap keadilan. 5. Ditetapkannya Undang-Undang tentang Pengadilan tipikor sebagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.

114

Bagian 3

nya membutuhkan kerja keras dari aparat penegak hukum, baik yang berada di KPK maupun Kejaksaan. Mengingat terbatasnya sumberdaya, maka penanganan kasus korupsi harus dilakukan melalui penentuan skala prioritas, transparan, dan akuntabel, khususnya terhadap kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesan tebang pilih dalam hal penanganan kasus korupsi yang ada pada saat ini. Meskipun masih banyak kritikan terhadap penanganan kasus korupsi yang ada saat ini, namun di sisi lain upaya yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut sudah mulai memberikan dampak iklim rasa takut untuk melakukan korupsi. Sebagai bagian dalam upaya penanganan kasus korupsi, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah isu yang menyangkut pengembalian aset negara yang dikorupsi. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme yang transparan dalam pengembalian aset negara yang dikorupsi serta lembaga yang mena-

nganinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme yang transparan dalam pengembalian aset negara yang dikorupsi serta lembaga yang menanganinya. Secara keseluruhan, diperlukan waktu yang panjang untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan program penghormatan, pengakuan, dan penegakan hukum dan HAM yang telah berjalan. Komitmen dan koordinasi yang sinkron dan solid dari berbagai instansi terkait bidang penegakan hukum yang bermuara serta mengarah kepada upaya perbaikan program penegakan hukum di masa mendatang merupakan langkah yang perlu terus dilakukan. Sehingga, walaupun sasaran dari RPJMN 2004-2009 belum sepenuhnya terpenuhi, namun langkah-langkah dan upaya menuju arah perbaikan yang telah dilakukan tersebut merupakan langkah nyata untuk memperkecil kesenjangan dalam pencapaian sasaran penegakan hukum dan HAM.

115

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: Tempo, Bagus Indahono

Bagian 3

BAB 3.5.
Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
3.5.1. Pengantar Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, serta kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan bagian penting dalam upaya pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk itu, pembangunan nasional selayaknya memberikan akses yang memadai bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta turut mempunyai andil dalam proses pengendalian/kontrol pembangunan. Selain itu, anak sebagai generasi penerus bangsa harus terus ditingkatkan kesejahteraan dan perlindungannya. Sehingga terwujud anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, bertakwa, dan terlindungi. Pembangunan nasional juga harus memegang prinsip pemenuhan hak asasi manusia, yang salah satunya tercermin dalam pencapaian keadilan dan kesetaraan gender serta pemenuhan hak-hak anak. 3.5.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada awal RPJMN 2004-2009 peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak dihadapkan pada permasalahan sebagai berikut: 1. Belum terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan dan kebijakan publik. Hal ini secara nyata dapat dilihat dari masih rendahnya kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik dibandingkan dengan laki-laki, sebagai berikut: a. Di bidang pendidikan, persentase penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 11,56 persen. Sementara besarnya persentase penduduk laki-laki hanya setengahnya yaitu 5,43 persen. Demikian juga, persentase perempuan yang buta huruf, persentasenya sekitar 12,3 persen dibandingkan dengan penduduk laki-laki yang hanya 5,8 persen; b. Di bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu, prevalensi anemia karena kekurangan zat besi pada ibu hamil juga masih tinggi, yaitu 45,0 persen; c. Di bidang ekonomi, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih relatif rendah yaitu 45 persen bila dibandingkan dengan TPAK laki-laki yaitu 76 persen; d. Di bidang politik, ketertinggalan perempuan masih sangat jauh. Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif hanya 11 persen di DPR dan 19,8 persen di DPD;

117

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

e. Kualitas hidup perempuan juga tidak terlepas dari tingkat keterlindungan dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Data dari Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari 226 kasus pada 2000 dan meningkat menjadi 655 kasus pada 2003; 2. Masih signikannya kesenjangan gender dalam pembangunan. Berdasarkan Laporan Pembangunan Indonesia, nilai Gender Development Index (GDI) pada 2002 hanya 0,592 dibandingkan dengan Human Development Index (HDI) 0,658. Begitu pula Gender Empowerment Measurement (GEM) Indonesia, hanya 0,546 pada 2002. Sehingga cukup jelas terjadi kesenjangan gender (gender gap), yang merupakan selisih HDI dengan GDI sebesar 0,066; 3. Masih perlunya perhatian yang besar terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak. Pada 2003, di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun masih belum maksimal, yaitu baru mencapai 80,43 persen dan 50,65 persen, walaupun untuk pendidikan dasar APS anak usia 7-12 tahun sudah tinggi, yaitu 99,3 persen. Pendidikan anak usia dini juga masih sangat memerlukan peningkatan. Anak kelompok usia 3-4 tahun dan 5-6 tahun yang mengikuti pendidikan prasekolah masing-masing hanya 12,78 persen dan 32,39 persen. Di bidang kesehatan, dapat dilihat bahwa angka kematian bayi berdasarkan hasil Survey Demogra dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003 adalah 35 per 1.000 kelahiran hidup dan prevalensi kurang gizi pada balita masih 25,8 persen (pada 2002). Pada 2000, terdapat 5,6 persen anak umur 10-14 tahun yang bekerja, yang mana 73,1 persen dari mereka bekerja lebih dari 35 jam/minggu dan 72,0 persen bekerja di sektor pertanian. Dalam rangka peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan

perlindungan anak, sasaran pembangunan yang hendak dicapai berdasarkan RPJM tahun 2004 2009, adalah: 1. Terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik; 2. Menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang diukur oleh angka GDI dan GEM; 3. Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak; serta 4. Meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak. Keempat sasaran tersebut dicapai melalui: 1) Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan, 2) Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, 3) Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak, dan 4) Program Keserasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan.

3.5.3. Pencapaian 2005 2008 3.5.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Berbagai upaya telah dilakukan melalui empat program pembangunan untuk mencapai sasaran yang tersebut di atas. Adapun capaian pembangunan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak selama periode 2005 hingga 2008 adalah sebagai berikut: Pencapaian Sasaran 1: Terjaminnya Keadilan Gender dalam Berbagai Perundangan, Program Pembangunan, dan Kebijakan Publik Pencapaian sasaran pertama ditunjukkan oleh beberapa indikator capaian, sebagai berikut: 1. Pengarusutamaan Gender (PUG) Pada 2007 evaluasi pelaksanaan PUG dilakukan di 18 kementerian/lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabu-

118

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

paten/kota. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan umumnya kementerian/lembaga dan daerah telah melaksanakan PUG, namun tingkat capaiannya relatif rendah. Beberapa faktor penyebabnya adalah: (a) lemahnya dukungan politik dan kebijakan yang disertai dengan kurangnya pemahaman para pimpinan dan pengambil kebijakan; (b) kurang tersosialisasikannya payung hukum PUG (Inpres No. 9 tahun 2000, RPJMN 2004-2009, dan KepMendagri No. 32 tahun 2003); (c) kelangkaan data terpilah, dan kurangnya kemauan politik pimpinan yang berwenang dalam hal penyediaan data yang terpilah menurut jenis kelamin, serta tidak adanya keharusan untuk menyediakan data terpilah dan menggunakannya dalam melakukan analisis perencanaan; (d) masih rendahnya posisi struktural penanggung jawab PUG; (e) belum optimalnya wadah fungsional; (f) kurangnya advokasi gender bagi para pimpinan; (g) dan kurangnya jumlah sumberdaya manusia (SDM) yang handal dalam melakukan analisis gender. Dalam rangka penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, output yang telah dicapai antara lain adalah: 1. Terlaksananya sosialisasi dan advokasi pengarusutamaan gender di 39 kementerian/lembaga, 33 provinsi dan 390 kabupaten/kota; 2. Tersusunnya materi pengintegrasian isu perlindungan perempuan ke dalam proses pengarusutamaan gender, bahan informasi kekerasan dalam rumah tangga, dan pedoman penanganan bencana yang responsif gender; 3. Terbentuknya kelembagaan struktural dan kelembagaan fungsional pengarusutamaan gender dalam bentuk kelompok kerja di provinsi dan kabupaten/kota; 4. Terbinanya 33 pusat studi wanita/gender (PSW/G) sebagai mitra kerja Pemerintah untuk menyiapkan hasil penelitian sebagai bahan advokasi kebijakan daerah yang responsif gender dan membantu meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia di daerah;

5. Terlaksananya pelatihan untuk pelatih pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender bagi 15 organisasi keagamaan dari 6 agama; 6. Tersusunnya rancangan Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional Pengarusutamaan Gender (RAN-PUG); 7. Tersusunnya panduan Standar Pelayanan Minimum Model Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; 8. Tersusunnya prol statistik gender di tingkat nasional, 33 provinsi, dan 250 kabupaten/ kota; 9. Diberikannya penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya kepada Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota sejak 2005; 10. Terlaksananya kerjasama bilateral dengan Malaysia, Zimbabwe, Filipina, dan Korea Selatan di bidang pemberdayaan ekonomi perempuan, peningkatan kerjasama penelitian dan peningkatan peran perempuan dalam politik serta perlindungan perempuan; 11. Terlaksananya kerjasama Asia-Afrika dalam tiga pilar utama, yaitu solidaritas politik (political solidarity), kerjasama ekonomi (economic cooperation) dan hubungan sosial budaya (social and cultural relations), dan kerjasama APEC melalui pembentukan Gender Focal Point Network yang terdiri atas Economy Gender Focal Point dan Fora Gender Focal Point; dan 12. Tersusunnya dokumen perencanaan yang responsif gender seperti RPJPD, RPJMD, Renstra K/L, Renstra dan RKPD provinsi dan kabupaten/kota di 11 kementerian/lembaga, 24 provinsi, dan 43 kabupaten/kota. 2. Kualitas Hidup Perempuan Pencapaian dalam peningkatan kualitas hidup perempuan ditunjukkan melalui beberapa indikator capaian di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik. Secara rinci pencapaian atas bidang-bidang tersebut adalah sebagai berikut:
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

119

a. Bidang Pendidikan Kualitas perempuan di bidang pendidikan sudah menunjukkan peningkatan. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007 menunjukkan bahwa APS penduduk perempuan usia 7-12 tahun naik dari 97,72 persen pada 2006 menjadi 97,85 persen pada 2007. Untuk APS usia 13-15 tahun dan APS 16-18 tahun, pada periode yang sama, tercatat naik dari 84,44 persen menjadi 84,54 persen, dan dari 53,73 menjadi 54,51 persen. Untuk usia 19-24 tahun, APS perempuan meningkat dari 10,95 persen menjadi 11,95 persen. Pencapaian tersebut dapat diwujudkan melalui kontribusi dari output sebagai berikut: 1. Tersusunnya Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Buta Aksara Perempuan (RANPBAP) berikut pedoman umum dan modulnya, serta terlaksananya sosialisasi di tingkat nasional dan 23 provinsi; 2. Terlaksananya pendidikan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam keluarga di 5 provinsi.

b. Bidang Kesehatan Kualitas perempuan di bidang kesehatan juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP), angka harapan hidup perempuan meningkat dari 70,2 pada 2005 menjadi 70,5 pada 2006. AKI menunjukkan tren penurunan, walaupun masih cukup tinggi. Data SDKI menunjukkan penurunan AKI yang signikan dari 307 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada 2003 (SDKI 2002/2003), menjadi 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada 2007 (SDKI 2007). Pencapaian tersebut dapat diwujudkan melalui kontribusi dari output sebagai berikut: 1. Terlaksananya Gerakan Sayang Ibu (GSI) secara bertahap sejak 2005 dan hingga 2007 telah dilakukannya sosialisasi di 29 provinsi dan revitalisasi GSI di 4 provinsi. Pemerintah juga memberikan dana stimulan untuk bantuan operasional pelaksanaan GSI di tingkat kabupaten/kota, dan membentuk kelompok kerja tetap (pokjatap) tingkat nasional, tim asistensi GSI di daerah, dan satuan tugas (satgas) GSI di tingkat desa; 2. Terbentuknya model Kecamatan Sayang Ibu di 5 provinsi; 3. Terlaksananya kampanye pemberian ASI eksklusif di 12 kabupaten/kota; dan 4. Tersusunnya naskah akademis pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan, termasuk sosialisasi pencegahan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) dan penyebaran HIV/AIDS di 13 provinsi. c. Bidang Ekonomi Peran perempuan di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan telah mengalami peningkatan, walaupun masih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) maupun tingkat pengangguran terbuka (TPT). Data Sakernas menunjukkan,

120

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PolaGrade

Bagian 3

Gambar 3.5.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan Dibandingkan dengan Laki-laki (2003-2008)

85.55

84.74

83.7

83.6

50.65

48.63

49.52

51.3

2005

2006 Pe rempuan

2007 Laki-laki

2008

Sumber: Sakernas, 2005-2008

TPAK perempuan mengalami sedikit peningkatan dari 48,63 persen pada 2006 menjadi 49,52 persen pada 2007 dan 51,30 persen pada 2008; sedangkan laki-laki 84,74 persen pada 2006; 83,70 persen pada 2007, dan 83,6 persen pada 2008. Untuk TPT, telah terjadi penurunan yang signikan setelah tahun 2006. Sepanjang tahun 2003 hingga 2006, TPT perempuan terus mengalami

peningkatan, namun pada 2007 dan 2008 terjadi penurunan yang cukup signikan. Data Sakernas menunjukkan bahwa TPT perempuan pada 2006 sebesar 13,72 persen, turun menjadi 11,83 persen pada 2007, dan 9,29 persen tahun 2008; sedangkan TPT laki-laki sebesar 8,58 persen pada 2006; turun menjadi 8,53 persen pada 2007, dan 7,94 persen pada 2008.

Gambar 3.5.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Perempuan Dibandingkan dengan Laki-laki (2003-2008)

12,68

12,89

13,57

13,72 11,83

7,89

8,11

8,28

8,58

8,53

9,29 7,94

2003

2004

2005 Pe rempua n

2006 La ki-la ki

2007

2008

Sumber: Sakernas, 2005-2008

121

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Di samping itu, data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi per Agustus 2007 menunjukan bahwa sekitar 79 persen dari total tenaga kerja yang bekerja di luar negeri adalah perempuan. Laporan pencapaian MDGs Indonesia 2007 juga menyatakan bahwa sebagian besar pekerja di sektor informal adalah perempuan. Pekerja-pekerja tersebut umumnya tidak memiliki perlindungan sosial sehingga menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan juga perdagangan manusia. Upah pekerja perempuan rata-rata masih 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata upah pekerja laki-laki. Kondisi pekerja perempuan di sektor pertanian lebih memprihatinkan, seringkali tidak memperoleh upah karena dianggap sebagai pekerja keluarga. Akses perempuan terhadap informasi, sumberdaya ekonomi, dan peluang pasar juga masih rendah jika dibandingkan dengan lakilaki. Oleh sebab itu, beberapa hal yang telah dilakukan dalam upaya peningkatan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan antara lain: 1. Terlaksananya Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan (PPEP) sejak 2004 dan penguatan forum PPEP sebagai jejaring kerja dan sosialisasi kebijakan PPEP pada instansi terkait, LSM, dan dunia usaha; 2. Terlaksananya fasilitasi pembentukan Model Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri), yang sejak 2005 diadopsi oleh sejumlah kementerian/lembaga sebagai penjabaran kebijakan PPEP dalam menyinergikan berbagai program ekonomi dalam satu wilayah. Hingga 2007, Model Desa Prima telah diterapkan di 25 provinsi, 67 kabupaten/kota, dan 80 desa; 3. Terlaksananya revitalisasi program Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), melalui pengaktifan kembali kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan di tingkat lokal di berbagai bidang pembangunan untuk meningkatkan kesejah-

teraan perempuan dan keluarganya, terutama di daerah perdesaan; dan 4. Terbentuknya Forum Peduli Perempuan Pengusaha Mikro (FP3MI) sejak 2007 untuk mendukung peningkatan produktivitas ekonomi perempuan, melalui pengembangan keuangan mikro dan mempermudah akses perempuan terhadap permodalan, mengawal partisipasi perempuan dalam Program Nasional Pembangunan Masyarakat (PNPM) Mandiri. d. Bidang Politik Keterwakilan perempuan dalam jabatan publik mulai menunjukkan adanya peningkatan. Hingga pertengahan 2008, telah ada 1 gubernur, 1 wakil gubernur, 7 bupati/walikota, dan 4 wakil bupati/ walikota perempuan (data KNPP 2008). Namun persentase pegawai negeri sipil (PNS) perempuan yang menjabat sebagai eselon I-V masih rendah, yaitu sekitar 20,2 persen (Badan Kepegawaian Negara, 2007). Sementara itu, keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif pada 2007 masih rendah, sekitar 11,6 persen di DPR-RI dan sekitar 19,8 persen di DPD-RI. Peran perempuan pada lembaga yudikatif juga masih rendah, yakni hanya 20 persen hakim, 18 persen hakim agung, dan 27 persen jaksa yang dijabat oleh perempuan. Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan politik antara lain disebabkan pada terbatasnya jumlah perempuan yang bersedia terjun di kancah politik dan kurangnya pendidikan dan pelatihan politik bagi perempuan. Pencapaian tersebut dapat diwujudkan melalui kontribusi dari output sebagai berikut: 1. Terlaksananya sosialisasi dan pelatihan pendidikan politik bagi organisasi perempuan di daerah; 2. Meningkatnya kerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi perempuan, dan institusi terkait dalam hal pendidikan politik bagi perempuan.

122

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

Pencapaian Sasaran 2: Menurunnya Kesenjangan Pencapaian Pembangunan antara Perempuan dan Laki-Laki, yang Diukur oleh Angka GDI dan GEM Berdasarkan Human Development Report (HDR) 2007-2008, angka Gender-related Development Index (GDI) Indonesia adalah 0,721. Angka GDI tersebut mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan angka GDI dalam HDR 2006 sebesar 0,704. Namun, bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, GDI Indonesia masih belum memenuhi harapan karena hanya lebih tinggi dari Myanmar dan Kamboja. Walaupun terjadi peningkatan, nilai GDI ini masih sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai HDI untuk tahun yang sama sebesar 0,728. Hal yang sama juga dapat dilihat pada data BPS-KNPP, yang tingkat kesenjangannya jauh lebih besar dibandingkan dengan data HDR. Angka GDI pada 2005 adalah sebesar 0,651, meningkat menjadi 0,653; dan sebesar 0,658 pada 2007. Sedangkan angka HDI Pada 2005 sebesar 0,696; 0,701 pada 2006, dan meningkat menjadi 0,706 pada 2007. Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah kesenjangan tersebut tidak mengecil. Kesenjangan nilai GDI dan HDI ini menunjukkan masih adanya perbedaan manfaat yang diterima oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam hal mengakses pendidikan, berpartisipasi di bidang politik, kedudukan dalam jabatan publik, ketenagakerjaan, maupun pendapatan. Apabila memperhatikan variabel-variabel dari indikator komposit HDI dan GDI, maka kesenjangan yang paling mencolok antara perempuan dan laki-laki adalah dalam hal pendapatan (diukur dengan purchasing power parity). Meskipun demikian, apabila dilihat dari angka Gender Empowerment Measurement (GEM), data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) bekerjasama dengan BPS menunjukkan terjadinya peningkatan upaya pemberdayaan perempuan di bidang-bidang tersebut. Angka GEM Indonesia meningkat dari 0,613 pada 2005; menjadi 0,618 pada 2006; dan 0,621 pada 2007.

Pencapaian Sasaran 3: Menurunnya Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Data kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2001 hingga tahun 2007 menunjukkan adanya peningkatan pelaporan hingga 80 persen setiap tahunnya, dan mencapai 25.552 kasus pada 2007. Dari jumlah kasus tersebut, sebagian besar (82 persen) merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan sekitar 45 persen korban adalah ibu rumah tangga. Selain itu, data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen dan terhadap anak sebesar 7,6 persen, yang bisa diartikan bahwa sekitar 3 juta perempuan dan sekitar 4 juta anak dari total penduduk Indonesia mengalami kekerasan setiap tahunnya.
Gambar 3.5.3. Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (2005-2007)
25,552 22,512 20,391

2005

2006

2007

Sumber: Komnas Perempuan

1124

736 600

2005

2006

Agt-2007

Sumber: KPAI

123

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Gambar 3.5.4. Kasus Kekerasan terhadap Anak (2005-2007)

Kemajuan yang dicapai dalam hal perlindungan terhadap perempuan dan anak antara lain adalah: 1. Disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT); 2. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2004; 3. Disahkannya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), sebagai landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah untuk mencegah dan memberantas kejahatan perdagangan perempuan dan anak; 4. Tersusunnya rancangan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang terkait dengan PTPPO; 5. Tersusunnya naskah Rancangan UndangUndang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; 6. Tersusunnya bahan masukan untuk revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, khususnya yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja perempuan; 7. Tersusunnya rancangan mekanisme penyelesaian kasus tenaga kerja perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri; 8. Tersosialisasikannya berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perempuan dan anak, terutama bagi aparat penegak hukum di daerah; 9. Tersosialisasikannya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW) di tingkat pusat dan di 10 provinsi;

10. Ditetapkannya Standar Nasional Penanganan Bencana yang Responsif Gender; 11. Ditetapkannya UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornogra; 12. Tersusunnya PP No.9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Korban dan/atau Saksi Perdagangan Orang; 13. Tersusunnya draft Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pelayanan terpadu bagi korban dan saksi tindak pidana perdagangan orang untuk tingkat kabupaten/kota; 14. Terbentuknya P2TP2A di 17 provinsi dan 76 kabupaten/kota; 15. Tersusunnya draft kebijakan perlindungan perempuan kepala rumah tangga; dan 16. Terlaksananya fasilitasi perlindungan hak reproduksi remaja putri di 12 kabupaten/kota. Di samping itu, telah dibentuk pusat krisis terpadu di 3 provinsi dan 5 kabupaten untuk penanggulangan kasus-kasus KDRT dan perdagangan perempuan serta 305 ruang pelayanan khusus (RPK) atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres seluruh Indonesia hingga tahun 2008 (meningkat dari tahun 2004 sebanyak 226 unit). Pencapaian Sasaran 4: Meningkatnya Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Pencapaian sasaran keempat ditunjukkan oleh beberapa indikator capaian dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perlindungan anak. a. Bidang Pendidikan Salah satu aspek kesejahteraan anak yang perlu mendapat perhatian lebih adalah pengembangan anak usia dini, yang diantaranya adalah melalui pendidikan. Pada 2001, dari sekitar 26,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,3 juta anak atau 28 persen anak yang memperoleh layanan pendidikan anak usia dini (PAUD). Jumlah tersebut hingga 2008 mengalami peningkatan menjadi 13,7 anak atau

124

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

sekitar 48,32 persen dari 28,4 juta anak usia 0-6 tahun. Dari jumlah ini, masih sangat banyak anak yang belum mendapatkan layanan PAUD. Data APK PAUD (Depdiknas) menunjukkan adanya peningkatan dari 42,34 persen pada 2005 menjadi 45,63 persen pada 2006, dan pada 2007 meningkat menjadi 48,32 persen. Pada tahun 2008 angka tersebut meningkat lagi mejadi 53,9% Upaya pengembangan anak usia dini secara tidak langsung dilakukan melalui penyuluhan pengasuhan anak kepada orang tua dan keluarga. Sejauh ini, orang tua dan keluarga yang mendapatkan penyuluhan pengasuhan anak juga masih sangat rendah. Hal ini, antara lain dapat dilihat dari jumlah keluarga yang menjadi anggota Bina Keluarga Balita (BKB) yang aktif sampai dengan Oktober 2008, berdasarkan statistik rutin BKKBN hanya 1.541.884 keluarga. Jumlah keluarga anggota

BKB yang aktif ini sebenarnya terus menurun bila dibandingkan dengan data tahun 2007 sebanyak 1.868.906 keluarga. Berdasarkan data BPS, angka partisipasi sekolah anak usia 7-18 tahun meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 3.5.1). Data tersebut juga menunjukkan sudah cukup meratanya APS baik bagi lakilaki maupun perempuan. Namun jika dilihat dari kelompok umur, APS semakin menurun dengan semakin meningkatnya usia. Hal ini diantaranya disebabkan oleh banyaknya anak baik laki-laki maupun perempuan yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dari tabel di bawah dapat dilihat, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi angka putus sekolahnya.

Tabel 3.5.1. Angka Partisipasi Sekolah usia 7-18 Tahun Kelompok Umur dan Jenis Kelamin L 7-12 P Total L 13-15 P Total L 16-18 P Total
Sumber data: Badan Pusat Statistik, BPS.

2004 96,62 96,92 96,77 83,05 83,97 83,49 53,94 52,97 53,48

2005 96,96 97,32 97,14 83,70 84,37 84,02 53,96 53,75 53,86

2006 97,08 97,72 97,39 83,75 84,44 84,08 54,09 53,73 53,92

2007 97,37 97,85 97,60 83,99 84,54 84,26 54,71 54,61


Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

54,51

Tabel 3.5.2. Angka Putus Sekolah Jenjang Sekolah dan Jenis Kelamin SD SMP SMU L P L P L P 2003 3,71 2,16 2,31 1,83 2,41 5,14 2004 2,82 3,18 2,23 1,30 4,34 1,77 2005 3,66 2,65 2,31 1,63 3,30 2,84 2006 2,77 2,10 5,21 4,77 4,09 3,14

Sumber data: Indikator Pendidikan, Diknas.

125

b. Bidang Kesehatan Berdasarkan SDKI, angka kematian bayi (AKB) terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 46 kematian per 1000 kelahiran hidup (SDKI 1997), 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002/03), menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Angka kematian balita (AKBA) juga mengalami penurunan dari 46 kematian per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002/2003) menjadi 44 kematian per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Sementara itu, balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk mengalami penurunan dari sebanyak 4,28 juta balita pada 2006 menjadi 4,13 juta balita. Jumlah balita berisiko gizi buruk turun dari 944.246 balita pada 2006 menjadi sebanyak 755.397 balita pada 2007. Hal sama juga terjadi berdasarkan data dari Ditjen Bina Kesmas Depkes (2008). Prevalensi gizi kurang balita memperlihatkan trend yang menurun dari sebesar 24,7 persen pada 2005 menjadi 23,6 persen pada 2006, dan menjadi 21,9 persen pada 2007. c. Bidang Perlindungan Anak Perlindungan bagi anak telah diatur dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun sejauh ini belum terdapat perkembangan yang menggembirakan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah masih tingginya jumlah pekerja anak, banyaknya anak yang belum memiliki identitas, anak yang bermasalah dengan hukum, korban kekerasan, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut membuat anak rentan terhadap kondisi eksploitasi, bahaya, penipuan, perdagangan, maupun eksploitasi secara seksual. Berdasarkan Sakernas 2006, persentase anak perempuan yang bekerja sekitar 2,06 persen dari jumlah perempuan usia 1014 tahun, sedangkan anak laki-laki sekitar 3,12 persen dari jumlah laki-laki usia yang sama. Persentase tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada 2007 dan 2008, masing-masing sebesar 4,34 persen

dan 4,40 persen untuk anak perempuan, dan sebesar 6,73 persen dan 7,35 persen untuk anak laki-laki (Sakernas 2007 dan 2008).
Gambar 3.5.5. Persentase Anak yang Bekerja (2005-2008)
6.73 4.34 3.42 2.1 3.12 2.06 7.35

4 .4

2005

2006
La ki-laki

2007
Perempuan

2008

Sumber: Sakernas

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Selanjutnya, hak anak terhadap identitas belum terpenuhi, yaitu bagi sekitar 11 juta anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran (data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2007). Salah satu penyebabnya adalah belum diterapkannya peraturan bebas biaya pengurusan akta kelahiran anak pada mayoritas kabupaten/kota (hanya 219 kabupaten/kota yang sudah menerapkan dari sekitar 487 kabupaten/kota di seluruh Indonesia). Yang tidak kalah pentingnya, pemahaman para penegak hukum mengenai UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) masih sangat rendah, sehingga berdampak pada terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak oleh aparat penegak hukum sendiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan dipenjarakannya anak yang terbukti bersalah bersatu dengan orang dewasa, sehingga kurang memperhatikan ketentuan diskresi dan diversi. Berbagai pencapaian dalam hal peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dapat diwujudkan melalui kontribusi dari output, antara lain: 1. Terlaksananya pelatihan untuk pelatih (TOT) Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 di seluruh provinsi;

126

Bagian 3

2. Tersusunnya rancangan Rencana Aksi Nasional (RAN) PNBAI 2015 yang diharapkan dapat diselesaikan pada akhir 2008; 3. Diberikannya akta kelahiran gratis bagi sekitar 2,4 juta anak setiap tahun, yang diikuti dengan kampanye dan sosialisasi melalui berbagai media di tingkat nasional dan daerah; 4. Tersusunnya peraturan perundang-undangan di bidang anak, seperti Rancangan Peraturan Pemerintahan (RPP) tentang Pembuatan Akta Kelahiran Gratis, Rancangan Peraturan Presiden tentang Pencatatan Kelahiran, RPP tentang Bimbingan dan Pengawasan Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dan RPP tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali; 5. Tersusunnya panduan kebijakan Perlindungan Pembantu Rumah Tangga Anak (PRTA); 6. Terlaksananya pelatihan bagi para pengelola program debarkasi/pusat transit dan pengelola program embarkasi, terlaksananya kampanye dan tayangan iklan layanan masyarakat tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak, dan tersusunnya prosedur operasional standar pemulangan korban perdagangan perempuan dan anak; 7. Tersusunnya pedoman perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; 8. Terbentuknya jejaring kerja penegak hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; 9. Dikembangkannya Telepon Sahabat Anak melalui nomor 129 (TESA 129), yang merupakan sistem layanan bantuan dan perlindungan yang dapat diakses oleh anak secara gratis. Hingga Juni 2007, TESA129 telah dioperasionalkan di 5 kota, yaitu Surabaya, Makassar, Banda Aceh, DKI Jakarta, dan Pontianak; 10. Terbentuknya Pusat Advokasi dan Fasilitasi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di 20 provinsi, serta Forum Konsultasi Anak di tingkat nasional dan di 14 provinsi;

11. Tersusunnya buku Panduan Pola Pengasuhan Anak yang Berlandaskan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, dan model Kota Layak Anak; dan 12. Terlaksananya penguatan kelembagaan anak di daerah, antara lain melalui pembentukan 16 Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai mitra kerja KPAI dalam penyelenggaraan perlindungan anak di tingkat lokal. 3.5.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Permasalahan yang terjadi dalam mewujudkan upaya pencapaian sasaran pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak antara lain adalah: 1. Masih belum maksimalnya perlindungan bagi anak dan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, diskriminasi, eksploitasi dan perdagangan. Berbagai upaya untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan masih belum mampu menekan tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Meskipun jumlah layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan telah ditingkatkan ternyata masih belum dapat memenuhi kebutuhan akan pelayanan, karena banyaknya jumlah korban yang harus dilayani dan luasnya cakupan wilayah yang harus dijangkau (lebih dari 450 kabupaten/kota). Di samping itu, peningkatan jumlah tempat pelayanan juga belum diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan yang memadai; 2. Masih rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik; yang ditunjukkan pada berbagai kesenjangan bagi perempuan dalam mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Dalam bidang kesehatan, tingginya AKI disebabkan oleh masih bertahannya berbagai kepercayaan tradisional dan budaya yang tidak mendukung upaya peningkatan kualitas hidup

127

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

perempuan, kurangnya dukungan para suami dan keluarga, ditambah dengan sulitnya kondisi geogras. Selain itu, rentannya perempuan terhadap infeksi HIV/AIDS disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS, ataupun kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pencegahannya. Di bidang ekonomi, walaupun perempuan telah berpartisipasi dalam angkatan kerja, tetapi akses terhadap informasi, sumberdaya ekonomi, dan peluang pasar masih belum setara dengan laki-laki. Sementara itu, partisipasi politik perempuan dihadapkan pada terbatasnya jumlah perempuan yang bersedia terjun di kancah politik, sehingga partai politik banyak mengalami kekurangan kader perempuan, kurang kondusifnya lingkungan sosial budaya dalam mendukung perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, serta kurangnya pendidikan dan pelatihan politik untuk perempuan. Sedangkan masih rendahnya posisi dan peran perempuan dalam jabatan publik masih dihadapkan pada otoritas tim dalam badan seleksi jabatan di instansi masing-masing, yang kurang memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan gender; 3. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan dan pemenuhan hak anak, terutama dalam hal kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini terutama disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah lembaga yang memberikan pelayanan PAUD dan belum dipahaminya secara meluas tentang pentingnya pengembangan optimal dan holistik bagi anak usia dini. Akses anakanak dengan kebutuhan khusus, baik secara sik, emosional, maupun inteligensia terhadap fasilitas dan layanan khusus juga masih sangat terbatas. Upaya Pemerintah yang telah dilakukan selama ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; 4. Masih adanya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan, serta belum peduli anak; dan

5. Masih belum efektifnya pelaksanaan pengarusutamaan gender dan anak, terutama di tingkat kabupaten/kota.

3.5.4. Tindak Lanjut 3.5.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Berbagai upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran di bidang Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA) adalah: 1. Meningkatkan partisipasi dan peran perempuan dalam proses politik dan jabatan publik; 2. Meningkatkan akses perempuan dan anak terhadap layanan pendidikan, kesehatan, hukum, dan bidang pembangunan lainnya guna mempertinggi kualitas hidup perempuan dan kesejahteraan anak; 3. Meningkatkan kampanye anti kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak; 4. Menyempurnakan perangkat hukum pidana dalam melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk penghapusan perdagangan perempuan dan anak; 5. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, termasuk pengembangan anak usia dini; 6. Menguatkan kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender serta penguatan strategi untuk mewujudkan Dunia yang Layak bagi Anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen internasional; 7. Menyediakan data dan statistik gender dan anak; dan 8. Meningkatkan partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan media massa dalam pencapaian

128

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

kesetaraan dan keadilan gender serta pemenuhan hak-hak anak. 3.5.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Berdasarkan uraian mengenai upaya dan pencapaian pada saat ini serta rencana tindak lanjut ke depan, maka diperkirakan masih akan sulit untuk dapat mencapai sasaran akhir RPJMN 2004-2009 dalam satu tahun mendatang secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan oleh luasnya cakupan pembangunan dalam bidang ini. Untuk mewujudkan sasaran 1 dan 2 (terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik; serta menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang diukur oleh angka GDI dan GEM) dibutuhkan keterlibatan dan koordinasi antar bidang, antara lain: pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, ketenagakerjaan, dan lain-lain. Selanjutnya, untuk mencapai sasaran 3 dan 4 (menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak; serta meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak) telah mulai diba-

ngun melalui penguatan dasar hukum (legal frame work) dan penyelenggaraan pusat-pusat pelayanan terpadu untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di seluruh provinsi. Namun dibutuhkan kesadaran dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat dalam mendukung pencapaian sasaran tersebut. Namun demikian, dengan segala keterbatasan, baik dalam sisi anggaran dan ketersediaan SDM yang memadai, rencana tindakan yang dilakukan dengan intensif, efektif, dan esien setidaknya dapat memperbaiki pencapaian pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak lebih baik lagi dari saat ini. Ke depannya, dengan upaya yang berkesinambungan dan konsisten sasaran tersebut diharapkan dapat tercapai dalam RPJMN periode selanjutnya.

3.5.5. Penutup Peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan adalah satu hal yang penting untuk keadilan dan pemerataan. Akan tetapi, dewasa ini peran dan partisipasi perempuan dirasakan masih rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi serta ketimpangan struktur sosial-budaya. Selain itu, akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas juga masih terbatas. Untuk itu, salah satu agenda pembangunan dalam RPJMN 2004-2009 ditujukan untuk meningkatkan dan memberdayakan fungsi dan peran perempuan serta meningkatkan derajat kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak dalam segala bidang pembangunan. Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki di Indonesia dapat dijumpai pada banyak bidang, utamanya pendidikan, kesehatan, partisipasi politik, ekonomi, ketenagakerjaan, serta keterlindungan dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Dalam hal ini, kesenjangan tidak hanya terjadi dalam skala jumlah tapi juga kualitas, se-

Dok: COREMAP II

129

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

puan dan anak; menyempurnakan perangkat hukum khususnya terkait perlindungan perempuan dan anak; meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak; serta memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak serta peningkatan partisipasi masyarakat. Melalui upaya tersebut, hingga 2008 berbagai kemajuan telah diraih dalam pembangunan pemberdayaan perempuan. Pencapaian tersebut ditandai oleh beberapa hal penting seperti telah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, disetujuinya RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU-PTPPO) oleh DPR-RI, dikembangkannya Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (RAN-PKTA), dan penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak (PUG dan PUA), serta pembentukan pusat-pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan/anak (P2TP2/A). Di samping itu, keberhasilan pemberdayaan perempuan di beberapa bidang pembangunan antara lain ditunjukkan oleh: meningkatnya angka melek huruf perempuan, selain itu APS perempuan di berbagai jenjang pendidikan juga telah meningkat; menurunnya AKI melahirkan; naiknya TPAK perempuan. Lebih lanjut, upaya peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan juga menunjukkan keberhasilannya yang diindikasikan oleh meningkatnya GDI dan GEM. Namun demikian, dengan segala keterbatasan, baik dalam sisi anggaran dan ketersediaan SDM yang memadai, rencana tindakan yang dilakukan dengan intensif, efektif, dan esien setidaknya dapat memperbaiki pencapaian pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak lebih baik lagi dari saat ini. Ke depan, dengan upaya yang berkesinambungan dan konsisten sasaran tersebut diharapkan dapat tercapai dalam RPJMN periode selanjutnya.

Dok: COREMAP II

hingga upaya peningkatan pemberdayaan perempuan lebih lanjut menjadi berat. Selain itu, kondisi kesejahteraan anak juga perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Upaya peningkatan kesejahteraan anak menjadi penting dalam kaitannya untuk membangun generasi penerus yang berkualitas dan dapat membawa kemajuan bangsa. Namun untuk mewujudkan hal itu, sejumlah permasalahan masih dihadapi. Hal ini utamanya terkait rendahnya tingkat partisipasi pada PAUD, tingginya angka kematian bayi dan balita bergizi buruk, serta tingginya angka pekerja dan perdagangan anak. Dalam agenda RPJMN 2004-2009 sasaran pembangunan perempuan dan perlindungan anak ditetapkan untuk menjamin keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik; menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki; menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak; serta meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak. Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik; meningkatkan taraf mempertinggi kualitas hidup dan sumberdaya kaum perempuan; meningkatkan kampanye anti-kekerasan terhadap perem-

130

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

Tabel 3.5.3. Sasaran Program dan Pencapaian Peningkatan Kualitas Hidup dan Peran Perempuan serta Perlindungan Anak
No. 1. Sasaran Terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik Indikator (satuan) Produk Perundangan dan Kebijakan yang Responsif Gender Kondisi Awal 2004/2005 (1) Pengkajian perpu yang diduga bias gender sekitar 21 UU, al: UU Perkawinan, Kewarganegaraan, Keimigrasian dan Usaha Kecil; dan (2) Penyusunan RUU PTPPO (Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang) dan RPP tentang Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT Capaian 2006 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); dan (2) Disetujuinya RUUPTPPO oleh DPR-RI; 2007 (1) Disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO; (2) Tersusunnya RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; (3) Tersusunnya RUU Pornogra; (4) Ditetapkannya Standar Nasional Penanganan Bencana yang responsif gender; (5) Tersusunnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang responsif gender di 27 provinsi dan 82 kabupaten/ kota; dan (6) Tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (RAN PUG). 2008 (1) Ditetapkannya UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornogra; (2) Tersusunnya PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Korban dan/atau Saksi Perdagangan Orang; dan (3) Tersusunnya draft Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pelayanan terpadu bagi korban dan saksi tindak pidana perdagangan orang untuk tingkat kabupaten/kota

Kualitas Hidup Perempuan: a. Pendidikan

Angka Partisipasi Sekolah (APS) APS 7-12 th Laki-laki Perempuan APS 13-15 th Laki-laki Perempuan APS 16-18 th Laki-laki Perempuan persen persen persen persen persen persen persen persen persen 97,14 96,96 97,32 84,02 83,70 84,37 53,86 53,96 53,75 97,39 97,08 97,72 84,08 83,75 84,44 53,92 54,09 53,73 97,61 97,37 97,85 84,26 83,99 84,54 54,61 54,71 54,51

131

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Lanjutan Tabel 3.5.3.


No. Sasaran b. Kesehatan Indikator (satuan) Angka Harapan Hidup Laki-laki Perempuan Angka Kematian Ibu Melahirkan Tahun Tahun Tahun Kematian Ibu per 100000 LH persen persen Kondisi Awal 2004/2005 68,2 66,2 70,2 307 (SDKI 2002/2003) Capaian 2006 68,5 66,5 70,5 255 228 (SDKI 2007) 2007 2008

Prevalensi KB Laki-laki Perempuan c. Ekonomi dan Ketenagakerjaan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Laki-laki Perempuan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Laki-laki Perempuan d. Politik Tingkat Partisipasi Perempuan dlm Politik DPR DPD GDI GEM HDI Gender Gap (HDI-GDI)

1,50 55,50

2,00 56,00

2,50 56,50

3,00 57,00

persen persen

85,55 50,65

84,74 48,63

83,70 49,52

83,6 51,3

persen persen

8,28 13,57

8,58 13,72

8,53 11,83

7,94 9,29

persen persen

11,6 19,8 0,651a) 0,721b) 0,613a) 0,696a) 0,728b) 0,045a) 0,007b)

11,27 19,8 0,653a) 0,618a) 0,701a) 0,048a)

11,27 19,8 0,658a) 0,621a) 0,706a) 0,048a)

2.

Menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang diukur oleh angka GDI dan GEM Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak

3.

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan Jumlah kasus kekerasan terhadap anak APS 7-12 th APS 13-15 th APS 16-18 th APK PAUD (Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Anak Usia Dini)

Kasus

20.391

22.512

25.552

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kasus

736

1124

600 (s/d Agt 07) 97,61 84,26 54,61 48.32

4.

Meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak a. Pendidikan

persen persen persen persen

97,14 84,02 53,86 42,34

97,39 84,08 53,92 45,63

132

Bagian 3

Lanjutan Tabel 3.5.3.


No. Sasaran Indikator (satuan) Angka Putus Sekolah SD Laki-laki Perempuan SLTP Laki-laki Perempuan SMA Laki-laki Perempuan Jumlah anggota yang aktif dalam kegiatan BKB Jumlah kelompok BKB b. Kesehatan Angka Kematian Bayi Kondisi Awal 2004/2005 Capaian 2006 2007 2008

persen persen persen persen persen persen Keluarga

3,66 2,65 2,31 1,63 3,30 2,84 970.939

2,77 2,10 5,21 4,77 4,09 3,14 1.113.721 1.868.906 1.541.884 (s/d Okt 08)

Kelompok Kematian Bayi per 1000 LH

106.755 35 (SDKI 2002/2003)

81.635 28,1

69.573 34 (SDKI 2007)

76.218 (s/d Okt 08)

Angka Kematian Balita Prevalensi Gizi balita Gizi kurang Gizi normal Gizi lebih c. Ekonomi dan ketenagakerjaan Persentase anak yang bekerja Laki-laki Perempuan

46

44

persen persen persen

24,7 68,48 3,48

23,6

21,9

persen persen

3,42 2,1

3,12 2,06

6,73 4,34

7,35 4,40

Keterangan: a) Data HDI, GDI, dan GEM berdasarkan BPS-Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan b) Data HDI, GDI, dan GEM berdasarkan Human Development Report Sasaran dalam Bab mengenai Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan dicapai melalui empat program, yaitu: 1. Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan 2. Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 3. Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak 4. Program Penyerasian Kebijakan Peningkatan Kualitas Anak dan Perempuan

133

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: Tempo, Cheppy A. Muchlis

Bagian 3

BAB 3.6.
Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah
3.6.1. Pengantar Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan upaya penyempurnaan dari kebijakan masa lalu yang bersifat sentralistis. Ini ditujukan dalam rangka mempercepat pencapaian cita-cita kemerdekaan. Desentralisasi dan otonomi daerah sejalan pula dengan prinsip demokrasi yang menghargai keragaman berdasarkan tingkat kemajuan ekonomi, kualitas Sumberdaya Manusia (SDM), serta tingkat kekayaan Sumberdaya Alam (SDA) di masing-masing daerah. Langkah awal kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara efektif dilaksanakan pada tahun 2001. Kebijakan tersebut menuntut perubahan yang mendasar di bidang kewenangan, perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, kelembagaan Pemerintahan Daerah, peraturan perundang-undangan, aparatur pemerintahan daerah dan pemberdayaan masyarakat sipil, baik di pusat maupun di daerah. Melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintahan daerah, yang terdiri atas Pemerintah Daerah dan DPRD, diharapkan dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Untuk mewujudkan transformasi sistemik menuju otonomi yang ideal, Pemerintah senantiasa mencermati berbagai perubahan yang terjadi dan melakukan penyesuaian kebijakan sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Hal tersebut ditandai dengan direvisinya kedua undang-undang tersebut di atas, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perbedaan paling utama antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU sebelumnya adalah bahwa UU yang baru antara lain telah menjalin kembali hubungan hirarkis antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota di wilayah provinsi, memuat pengaturan mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung, dan memuat pembagian urusan yang lebih jelas antar tingkat Pemerintahan. Sedangkan perbedaan utama antara UU No. 33 Tahun 2004 dengan UU sebelumnya adalah bahwa undang-undang yang baru antara lain tidak mengenal perbedaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Reboisasi dan DAK Non-Reboisasi.

3.6.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Kondisi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 diwarnai oleh berbagai kendala dan permasalahan. Selain itu, undang-undang baru yang meng-

135

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

atur tentang desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 baru saja ditetapkan dan diberlakukan sehingga masih memerlukan perumusan dan penetapan berbagai peraturan pelaksanaannya. Beberapa kendala dan permasalahan di awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 antara lain: 3.6.2.1. Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pusat dan Daerah yang Belum Jelas Berbagai permasalahan yang menyangkut kewenangan atas urusan pemerintahan, pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengelolaan suatu kawasan atau pelayanan tertentu, pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan pajak, serta lainnya timbul sebagai akibat dari kewenangan pusat masih banyak yang belum didesentralisasikan. Peraturan dan perundangan sektoral yang masih belum disesuaikan dengan UU Pemerintahan Daerah juga kerap berdampak pada tumpang tindihnya kewenangan antara Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini tidak jarang menimbulkan berbagai permasalahan dan konik pada berbagai pihak dalam pelaksanaan suatu aturan, misalnya tentang kehutanan, pertambangan pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum, pertanahan, serta penanaman modal. 3.6.2.2. Perbedaan Persepsi diantara Pelaku Pembangunan tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah Perbedaan persepsi antar pelaku pembangunan, baik di jajaran pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta para pelaku pembangunan lainnya telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berpotensi menimbulkan ketidakesienan dan ketidakefektifan pemanfaatan sumberdaya nasional. Hal ini ditandai dengan kurangnya peran Gubernur dalam koordinasi antar-kabupaten/kota di wilayahnya. Hal

ini disebabkan karena Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa masing-masing daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Hal ini kemudian dipersepsikan sebagai ketiadaan hirarki antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Akibatnya seringkali kebijakan, perencanaan, dan hasil-hasil pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahan tidak dikoordinasikan dan dilaporkan kepada gubernur namun langsung kepada pemerintah pusat. Demikian pula, peraturan perundangan antara satu dengan lainnya sering kurang sejalan, seperti tampak dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua. 3.6.2.3. Kerjasama antar Pemda yang Masih Rendah Pemerintah di berbagai daerah belum tertarik untuk bekerjasama, terutama dalam penyediaan pelayanan dasar khususnya di wilayah terpencil, perbatasan antardaerah, serta wilayah dengan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kurangnya kerjasama juga terjadi pada pengelolaan dan pemanfaatan bersama Sumber Daya Alam (SDA), perdagangan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan, serta perikanan termasuk dalam aspek pengolahan pasca-panen dan distribusi.

136

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PolaGrade

Bagian 3

3.6.2.4. Kelembagaan Pemda yang BePYQ)JIOXMJHER)WMIR Kelembagaan Pemda yang terbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Jumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) cenderung berlebih, struktur organisasi cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan esiensi kelembagaan yang baik. Selain itu, prasarana dan sarana pemerintahan di daerah masih minim dan pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum efektif. Ketidakoptimalan juga masih terdapat dalam hubungan kerja antar-lembaga, termasuk antar Pemda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masyarakat, dan organisasi non-pemerintah. 3.6.2.5. Kapasitas Aparatur Pemda yang Masih Terbatas Permasalahan umum aparatur Pemda adalah masih terbatasnya kapasitas dan profesionalitas, serta distribusinya yang tidak proporsional. Hal ini menyebabkan tingkat pelayanan publik kurang memadai, yang ditandai dengan kinerja pelayanan yang cenderung lambat, tidak adanya kepastian waktu, tidak transparan, dan kurang responsif terhadap permasalahan yang berkembang. Selain itu, belum terbangunnya sistem dan regulasi yang memadai di dalam perekrutan dan pola karir pegawai menyebabkan sedikitnya SDM berkualitas yang menjadi aparatur Pemda. Hal lainnya yang menjadi masalah adalah masih belum memadainya etika kepemimpinan di beberapa daerah. 3.6.2.6. Kapasitas Keuangan yang Masih Terbatas Daerah

transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Semua hal ini menyebabkan terbatasnya kapasitas keuangan daerah. 3.6.2.7. Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Masih Belum Sesuai dengan Tujuan Tidak meratanya pembangunan akibat luasnya rentang kendali pemerintahan serta terbatasnya penyediaan pelayanan publik sering dijadikan alasan pembentukan daerah otonom baru. Dalam praktek, pembentukan daerah otonom baru lebih disebabkan alasan politis atau kemauan sebagian kecil elit daerah. Padahal, terbentuknya daerah otonom baru akan membebani anggaran negara sebagai akibat perlunya penyediaan dana untuk membiayai lembaga, aparatur dan prasarana serta sarana pemerintahan bagi instansi yang baru dibentuk, baik instansi vertikal maupun instansi daerah, termasuk untuk keperluan anggaran rutinnya. Akibatnya, pembangunan di daerah otonom lama (induk) dan baru tidak mengalami percepatan yang berarti. Masyarakat di daerah otonom baru juga cenderung tidak merasakan adanya peningkatan pelayanan publik maupun peningkatan kesejahteraan. Dengan kondisi awal dan berbagai permasalahan tersebut, sasaran yang hendak dicapai dalam revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah dalam RPJMN 2004-2009 adalah: 1. Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD); 2. Meningkatnya kerjasama antar Pemerintah Daerah; 3. Terbentuknya kelembagaan Pemerintah Daerah yang efektif, esien, dan akuntabel; 4. Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur Pemerintah Daerah yang profesional dan kompeten;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Permasalahan yang ditemui terkait dengan keuangan daerah adalah masih kurangnya efektivitas dan esiensi pemanfaatan sumber-sumber penerimaan daerah dan belanja daerah yang proporsional, serta terbatasnya kemampuan,

137

5. Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan, akuntabel, dan profesional; serta 6. Tertatanya daerah otonom baru. Sasaran-sasaran tersebut akan dicapai melalui program-program sebagai berikut: 1. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Program ini ditujukan untuk: (1) meningkatkan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut hubungan pusat dan daerah, serta pelaksanaan otonomi daerah termasuk peraturan perundang-undangan daerah; (2) menyusun berbagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; (3) memperkuat visi desentralisasi dan otonomi daerah para pelaku pembangunan agar tercapai persepsi yang sama terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pembangunan di daerah; dan (4) mendorong pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Program Peningkatan Kerjasama antar Pemerintah Daerah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar pemerintah daerah termasuk peningkatan peran pemerintah provinsi.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

aparat pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, serta penciptaan aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan profesional. 5. Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas keuangan pemerintah daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan pemerintahan daerah yang baik. 6. Program Penataan Daerah Otonom Baru. Program ini ditujukan untuk menata dan melaksanakan kebijakan pembentukan daerah otonom baru sehingga pembentukan daerah otonom baru tidak memberikan beban bagi keuangan negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah.

3.6.3. Pencapaian 2005-2008 3.6.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Pencapaian sasaran pembangunan bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah RPJMN 2004-2009 adalah sebagai berikut: 1. Tercapainya Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Pusat dan Daerah, Termasuk yang Mengatur Otonomi Khusus Provinsi Papua dan NAD Sasaran ini dicapai dengan dilaksanakannya Program Penataan Peraturan Perundang-undangan mengenai Desentralisasi dan Otoda. Program ini memiliki kegiatan antara lain merumuskan dan menetapkan peraturan pelaksana dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perkembangannya hingga saat ini tersaji dalam tabel 3.6.1.

3. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah. Program ini ditujukan untuk menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu dikelola. 4. Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah. Program ini ditujukan untuk memfasilitasi penyediaan aparat pemerintah daerah, menyusun rencana pengelolaan serta meningkatkan kapasitas

138

Bagian 3

Tabel 3.6.1. Perkembangan Penetapan Peraturan Pelaksana Undang-undang mengenai Desentralisasi dan Otoda UU No. 32 Tahun 2004 Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan/Keputusan Menteri Jumlah yang Diamanatkan 27 2 2 Jumlah yang sudah Diterbitkan 22 1 2 UU No. 33 Tahun 2004 Jumlah yang Diamanatkan 7 1 Jumlah yang sudah Diterbitkan 6 1

Sumber: Pengolahan Data Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas, 2008

Tabel 3.6.2. Peraturan Pelaksana Amanat UU No. 32 / 2004 yang Belum Selesai Ditetapkan Peraturan Pelaksana UU 32/2004 Peraturan Pemerintah (PP) Nama Peraturan Pelaksana 1. PP Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan 2. PP Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 3. PP Fungsi Pemerintahan Tertentu dan Tatacara Penetapan Kawasan Khusus 4. PP Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah 5. PP Pedoman NSP Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah Perpres Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah

Peraturan Presiden (Perpres)

Sumber: Pengolahan Data Direktorat Otonomi Daerah, Bappenas, 2008

Peraturan pelaksana dari amanat UU No. 33 Tahun 2004 yang masih dalam pembahasan adalah mengenai pengelolaan dana darurat. Sedangkan peraturan pelaksana dari amanat UU No. 32 Tahun 2004 yang masih dalam pembahasan tampak pada tabel 3.6.2. Terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi NAD, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah membentuk kelompok kerja (pokja) melalui Keputusan Mendagri No. 120.11-615 Tahun 2006 terkait dengan proses fasilitasi penyusunan dan implementasi Peraturan Perundang-Undangan Otonomi Khusus di provinsi ini. Pokja telah menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang partai politik lokal yang selanjutnya ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Dalam rangka pemberian dasar hukum bagi pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua Barat, telah diterbitkan PP Pengganti UU No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. PP Pengganti ini merupakan landasan hukum bagi Provinsi Papua Barat dalam melaksanakan operasional pemerintahan daerahnya, yang sesuai dengan Surat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) No. 018/KA.MK/VI/2005 tanggal 16 Juni 2005 perihal Penjelasan Putusan MK No. 018/PUUI/2003. Dalam Surat Ketua MK tersebut dijelaskan bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat sebagai subjek hukum pemerintahan daerah adalah sah dan konstitusional. Untuk itu, MK menyarankan Pemerintah agar payung hukum Provinsi Papua Barat lebih tepat dimasukkan dalam revisi UU No. 21 tahun 2001, dengan tujuan Provinsi ini dapat melaksanakan otonomi khusus.

139

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Terkait dengan otonomi khusus di Provinsi Papua, telah pula dilaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus secara komprehensif dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi. Hasilnya digunakan sebagai masukan untuk lebih memantapkan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua. Terkait proses fasilitasi penyusunan dan pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah diterbitkan UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebagai Ibu kota NKRI. UU ini ditetapkan pada 30 Juli 2007 sebagai pengganti Undang-Undang No. 34 tahun 1999, dengan memerhatikan perkembangan penyelenggaraan Pemerintahan daerah di DKI Jakarta. Selanjutnya, Pemerintah telah menyusun draft RUU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan mempertimbangan berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY pada 9 Oktober 2008. Draft RUU ini sesuai Keputusan Presiden (Kepres) No. 179/M Tahun 2003 tanggal 8 Oktober 2003. Draft RUU ini mengatur kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati Paku Alam IX dalam posisi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta setelah berakhirnya masa jabatan periode 2003-2008, yang intinya: 1. Menempatkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati Paku Alam IX sebagai Parardhya yang bertahta secara sah dengan kewenangan yang mencerminkan kewenangan keistimewaan DIY; serta 2. Pengaturan empat keistimewaan lainnya di bidang pertanahan, penataan ruang, kebudayaan, dan keuangan. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan MK No. 5/ PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 telah diterbitkan perubahan terbatas UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004

pada tanggal 28 April 2008. Perubahan terbatas tersebut terkait dengan (1) Keputusan MK No. 5/PUU-V/2007 yang diputuskan pada tanggal 23 Juli 2007 tentang pemasukkan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta mekanismenya; (2) pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri (berhenti), atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya; (3) pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah karena meninggal dunia, mengundurkan diri (berhenti), diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya; (4) integrasi penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur; serta (5) penjadwalan kembali pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PolaGrade

2. Meningkatnya Kerjasama antar Pemerintah Daerah Sasaran ini dicapai dengan terlaksananya Program Peningkatan Kerjasama Antar Pemda. Sampai saat ini, program ini lebih banyak tergantung pada inisiatif masing-masing Pemda. Adapun pencapaian dalam program peningkatan kerjasama antar daerah ditunjukkan antara lain oleh:

140

Bagian 3

1. Telah tersedianya informasi melalui websiteDitjen PUM (http://www.ditjenpum.go.id) mengenai potensi Daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga; 2. Telah diterbitkannya PP No. 50 tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah; 3. Tersosialisasikannya PP No. 50 Tahun 2007 dan peraturan pendukung PP tersebut; 4. Terbentuknya beberapa forum kerjasama di bidang pengembangan ekonomi regional dan pelayanan publik, baik kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota yang umumnya didasari oleh penggunaan SDA bersama, maupun, kerjasama dengan pihak ketiga, seperti Kementerian/Lembaga Pusat, Universitas, LSM serta pihak swasta yang bergerak di bidang terkait; 5. Terbentuknya beberapa forum kerjasama yang diinisiasi oleh pemerintah provinsi untuk semua wilayah kabupaten/kota di wilayahnya dalam rangka koordinasi penyelenggaraan pembangunan; 6. Terbentuknya kerjasama yang dituangkan dalam kesepakatan antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi, dan Bupati Cianjur (Jabodetabekjur). Demikian pula telah terjalin kesepakatan kerjasama antar kabupaten dan kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul (Kartamantul); kesepakatan kerjasama antara Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen (Barlingmascakeb); kesepakatan kerjasama antara Kabupaten dan Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten (Subosukawonosraten). Kerjasama lainnya adalah kerjasama antara Kabupaten dan Kota Makasar, Maros dan Gowa, kerjasama Kabupaten dan Kota Denpasar, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita), dan kerjasama pengelo-

laan pesisir dan laut pada wilayah Teluk Tomini oleh seluruh kabupaten di sepanjang teluk ini yang difasilitasi oleh Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS); 7. Ditandatanganinya kesepakatan kerjasama oleh lima gubernur yang berbatasan di wilayah Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Riau) dalam rangka peningkatan pendayagunaan potensi perekonomian, pengembangan jaringan ekonomi regional, dan pengembangan daerah perbatasan. 3. Terbentuknya Kelembagaan Pemerintah Daerah yang Efektif, Esien, dan Akuntabel Sasaran ini dicapai dengan dilaksanakannya Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Daerah. Pencapaian program ini antara lain adalah: 1. Telah selesai dan diterbitkannya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 2. Telah selesai disusun dan diterbitkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; 3. Sebanyak 15 provinsi, 120 kabupaten dan 25 kota telah menerapkan organisasi perangkat daerah sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007; 4. Tersusunnya konsep awal Grand Strategy Otonomi Daerah meliputi urusan pemerintahan, kelembagaan, personil, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, pengawasan, serta penataan daerah (pembentukan daerah otonomi khusus, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah, penyesuaian batas daerah, pengalihan status daerah, serta ibukota); 5. Telah selesai disusun dan diterbitkannya PP No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Laporan Keterangan PertanggungEvaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

141

jawaban Kepala Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; 6. Telah diselesaikannya rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka Mendukung Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah; 7. Tersusunnya Buku Pegangan (Handbook) Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah tahun 2006, 2007 dan 2008; 8. Telah diterbitkan PP No. 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 9. Telah diterbitkan PP No. 7 tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; 10. Telah diterbitkan PP No 8 tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah; serta 11. Telah diterbitkan PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan; 12. Diterbitkannya Permendagri No. 9 tahun 2008 tentang perubahan pertama atas perubahan Permendagri No. 3 tahun 2005 tentang pedoman tata naskah dinas di lingkungan pemerintah kabupaten/kota; 13. Diterbitkannya Permendagri No. 10 tahun 2008 tentang perubahan pertama atas Permendagri No. 2 tahun 2005 tentang pedoman tata naskah dinas di lingkungan pemerintah provinsi; 14. Terbitnya Permendagri No. 18 tahun 2008 tentang organisasi dan tata kerja sekretariat lembaga keistimewaan NAD; 15. Terbitnya Permendagri No. 19 tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tatalaksana Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah; 16. Terbitnya Permendagri No. 20 tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata kerja unit pelayanan dan perizinan terpadu di daerah;

17. Terbitnya Permendagri No. 33 tahun 2008 tentang pedoman hubungan kerja organisasi perangkat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; 18. Terbitnya Permendagri No. 45 tahun 2008 tentang pola organisasi perangkat daerah provinsi DKI Jakarta; dan 19. Terbitnya Permendagri No. 46 tahun 2008 tentang pedoman organisasi dan tata kerja badan penanggulangan bencana daerah. Terkait dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, hasil yang dicapai adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di 484 daerah. Perinciannya adalah: 32 provinsi, 362 kabupaten dan 90 kota. Khusus untuk pelaksanaan pilkada pada 160 daerah yang masa jabatan kepala dan wakil kepala daerahnya berakhir 2008, telah dilaksanakan Pilkada pada seluruh daerah tersebut, yang terdiri atas 13 provinsi, 112 kabupaten dan 35 kota. Terkait dengan pencapaian penataan pembagian urusan pemerintahan, Pemerintah telah mengeluarkan Surat Mendagri No. 100/328/SJ tanggal 11 Februari 2008 tentang Penyusunan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditujukan kepada Menteri/Kepala LPND Kabinet Indonesia Bersatu, dan Surat Mendagri yang ditujukan kepada gubernur, bupati/walikota, ketua DPRD provinsi dan ketua DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia No. 100/344/SJ tanggal 12 Februari 2008 perihal Penetapan Perda tentang urusan pemerintahan yang menjadi Kewenangan Daerah, sesuai dengan amanat PP No. 38 tahun 2007 untuk pelaksanaan urusan pemerintahan wajib dan pilihan oleh Menteri/Kepala LPND dalam menetapkan NSPK. Berkenaan dengan proses pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM), telah ditetapkan Keputusan Mendagri No. 100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan SPM dan Surat Edaran Mendagri kepada

142

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

Gubernur/Bupati/Walikota tentang Pelaksanaan SPM di daerah. Selain itu, Depdagri telah memfasilitasi departemen teknis lainnya dalam menyusun SPM, khususnya Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Pekerjaan Umum. Pada akhir 2008 departemen tersebut diharapkan sudah dapat menerbitkan peraturan menteri terkait SPM. Namun sampai akhir 2008 baru 3 SPM yang diterbitkan, yaitu SPM Bidang Kesehatan, SPM Bidang Lingkungan Hidup, dan SPM Bidang Sosial. Departemen Dalam Negeri juga telah melakukan sosialisasi PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan penyampaian permintaan indikator kinerja kunci (IKK) Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) dari tiap-tiap departemen/LPND. Berbagai peraturan ini merupakan bahan penyusunan Permendagri tentang Tata Cara Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

1. Terselenggaranya diklat bagi 900 orang dalam 30 angkatan yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan koordinasi dan kerjasama antar lembaga; 2. Terselenggaranya berbagai diklat unggulan/ prioritas dan diklat teknis fungsional seperti diklat kepemimpinan pemerintahan daerah bagi sebanyak 210 orang dalam 7 kegiatan, dan berbagai diklat yang bertujuan untuk menunjang penerapan manajemen SPM bagi sebanyak 630 orang dalam 21 kegiatan; 3. Terlaksananya proses revisi PP No. 100 tahun 2000 yang mengatur persyaratan jabatan perangkat daerah; 4. Permendagri No. 12 tahun 2008 tentang pedoman analisis beban kerja di lingkungan Depdagri dan Pemda. 5. Terkelolanya Sumber Dana dan Pembiayaan Pembangunan Secara Transparan, Akuntabel, dan Profesional Sasaran ini dicapai melalui pelaksanaan Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah. Pencapaian dalam program ini hingga Agustus 2008 adalah: 1. Terlaksananya Sistem Informasi Bina Administrasi Keuangan Daerah (SIBAKD) di tingkat pusat dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) inkubator di 12 Provinsi dan 59 Kabupaten/Kota; 2. Meningkatnya kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah seiring dengan adanya peningkatan dana perimbangan tiap tahunnya. Jumlah dana perimbangan (DAU, DAK, DBH) pada 2004 hanya Rp 120.245.434,20 juta sedangkan pada 2008 telah meningkat menjadi sebesar Rp 263.370.667,68 juta. Pencapaian lain adalah diterbitkannya beberapa peraturan terbaru terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah, yang diringkas dalam tabel 3.6.3.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Depdagri telah memfasilitasi departemen teknis lainnya dalam menyusun SPM, khususnya Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Pekerjaan Umum
4. Meningkatnya Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Aparatur Pemerintah Daerah yang Profesional dan Kompeten Sasaran ini dicapai melalui pelaksanaan Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemda. Terkait dengan upaya ini, hasil yang dicapai di antaranya:

143

Tabel 3.6.3. Pencapaian Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah Kelompok Pencapaian Peraturan Perundangan Bidang Administrasi Anggaran Daerah Kelompok Pencapaian (1) PP No. 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD; (2) Permendagri No. 16 tahun 2007 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD; (3) Permendagri No. 30 tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2008; (4) Permendagri No. 44 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; (5) Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; (6) Permendagri No. 32 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran 2009; (7) Evaluasi Ranperda APBD Provinsi Tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008; (8) Asistensi Penyusunan APBD tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008; dan (9) Sosialisasi peraturan formal di bidang keuangan daerah. (1) PP No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; (2) Permendagri No. 2 tahun 2007 tentang Organisasi dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum; (3) Permendagri No. 9 Tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2007; (4) Permendagri No. 10 Tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air Tahun 2007; (5) Permendagri No. 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; (6) Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD); (7) Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008; (8) Permendagri No. 23 Tahun 2008 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air Tahun 2008; (9) Draf Rancangan Undang-Undang tentang BUMD telah disampaikan ke Departemen Hukum dan HAM; (10) Draf Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, masih dibahas di DPR; (11) Draf Peraturan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan tentang Kerjasama Pelayanan Pendaftaran Kendaraan Bermotor Dalam Pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pemberian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan melalui Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap (SAMSAT); (12) Evaluasi Perda Pajak dan Retribusi Daerah; (13) Fasilitasi Bimbingan teknis Pengelolaan Barang Daerah, Penilaian Aset Daerah, kebijakan Perubahan Status Hukum Barang Daerah, dan Penyerahan Barang dan Utang Piutang pada Daerah yang baru dibentuk;

Peraturan Perundangan Bidang Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah

144

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

Lanjutan Tabel 3.6.3. Kelompok Pencapaian (14) (15) (16) (17) (18) Kelompok Pencapaian Basis Data (Database) Badan Usaha Daerah; Sosialisasi pedoman penyusunan Corporate Plan BUMD; Pemetaan (mapping) Lembaga Keuangan Mikro Milik Pemerintah Daerah; Petunjuk teknis tentang Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah; Pedoman tentang Penyaluran Kredit Usaha Mikro yang difasilitasi Pemda, Bersumber dari bagian laba BUMN (Program Kemitraan BUMN); (19) Evaluasi Penyaluran Kredit yang difasilitasi Pemerintah Daerah untuk usaha mikro yang bersumber dari bagian laba BUMN; (20) Kajian Tentang Model Inkubator Investasi Daerah; dan (21) Fasilitasi Kegiatan Pembinaan Administrasi Keuangan Daerah bidang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Bidang Fasilitasi Dana Perimbangan (1) Rekonsiliasi dan pendataan ulang guna mendapatkan data pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang akurat sebagai dasar perhitungan alokasi dasar DAU tahun 2005, 2006, dan 2007; (2) Rekonsiliasi Data Dasar DAU dan DAK Daerah Pemekaran tahun 2005, 2006, dan 2007; (3) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAU dan Monev Program Dekonsentrasi tahun 2005, 2006, dan 2007; (4) Asistensi Penyusunan RD bagi Daerah Penerima DAK dan Sosialisasi serta implementasi Juknis DAK; (5) Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Bidang Prasarana Pemerintahan; (6) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAK tahun 2005, 2006, dan 2007; (7) Fasilitasi Pengelolaan Dana Bagi Hasil; (8) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Penerimaan DBH Sumberdaya Alam dan Pajak; dan (9) Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus. (10) Surat Edaran Bersama (SSEB) Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 0239/ M.PPN/11/2008, SE 1722/MK07/2008, 900/3556/SJ perihal Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Evaluasi Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK). (1) Permendagri No. 65 Tahun 2007 tentang Pedoman Evaluasi Rancangan Perda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD; (2) Terlaksananya Asistensi Pedoman Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah; (3) Asistensi Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (4) Pedoman Kebijakan dan Teknis Akuntansi; (5) Sosialisasi Sistem Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Keuangan daerah bagi Aparat Pemerintah Daerah; (6) Sosialisasi Pedoman evaluasi Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD; (7) Sosialisasi Integrasi/Migrasi Data APBD; (8) Data dasar APBD; (9) Asistensi Penatausahaan dan Akuntasi Keuangan Pemerintah Daerah; (10) Fasilitasi Implementasi Media Inkubator Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah; (11) Evaluasi Perda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD; dan (12) Penyusunan Kerangka Dasar Pengembangan Sistem Basis Data dan Sistem Komunikasi Keuangan Daerah.

Bidang Fasilitasi Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah

145

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Selain itu, Pemerintah melalui Depdagri, Departemen Keuangan (Depkeu), dan departemen teknis terkait, hingga 10 Desember 2008 telah melakukan evaluasi terhadap 11.401 Perda dan 2.150 rancangan Perda (Raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah yang hasilnya secara lengkap tersaji dalam tabel 3.6.4. Salah satu rekomendasinya adalah pembatalan beberapa Perda (Raperda). Alasan pembatalan Perda tersebut pada umumnya berkaitan dengan adanya ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan adanya kecenderungan untuk menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga merespon keterlambatan penyusunan APBD melalui kebijakan: 1. Penerbitan Permendagri No. 59 Tahun 2007 yang memuat penegasan atas materi yang menjadi multitafsir dan penyederhanaan proses penyusunan APBD sehingga penerbitan Perda APBD dapat dipercepat; 2. Evaluasi Raperda APBD Provinsi, dimana peringatan tentang penyertaan modal pada BUMD harus dinilai berdasarkan manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan besaran modal yang disertakan. Adapun bagi BUMD yang tidak dapat menghasilkan keuntungan dan dinilai kurang sehat disarankan untuk di merger atau dialihkan kepemilikannya; 3. Menyusun Participative Corporate Plan bagi pengelola BUMD;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4. Menyelesaikan draf RUU BUMD. 5. Evaluasi terhadap Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Evaluasi tersebut untuk memastikan agar materi Permendagri 17/2007 yang tidak sejalan dengan PP 38/2008 dapat direvisi; serta 6. Penerbitan Permendagri No. 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Penyusunan APBD 2009 terkait proses peningkatan esiensi dan efektivitas anggaran dalam penyusunan APBD. Sementara itu, dalam menyikapi permasalahan nasional sebagai implikasi dari tekanan harga minyak dan harga pangan dunia serta krisis keuangan, Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran No. 541/1264/SJ, sebagai pedoman Pemerintah Daerah guna menjaga stabilitas penyelenggaraan pemerintahan, serta stabilitas politik lokal, dimana Pemerintah Daerah diharapkan: 1. Mendukung program Pemerintah dalam pemberian bantuan sosial dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), pemberdayaan masyarakat melalui PNPM Mandiri, dan bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR); 2. Melakukan esiensi belanja daerah melalui penataan kembali program dan kegiatan yang tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, dengan mengutamakan program/kegiatan pemberdayaan masyarakat,

Tabel 3.6.4. Hasil Evaluasi terhadap Perda dan Raperda mengenai Pajak dan Retribusi Daerah Diterima Perda Provinsi Kabupaten Kota TOTAL 533 8.137 2.731 11.401 Raperda 103 1.649 398 2.150 Hasil Evaluasi Batal Perda 150 1.807 441 2.398 Raperda 5 216 46 267 1 98 45 144 Revisi Perda Raperda 46 876 237 1.159 Tidak Bermasalah Perda 345 3.730 1.365 5.440 Raperda 40 545 110 695 Dalam Proses Perda 37 2.502 880 3.419 Raperda 12 12 5 29

Daerah

146

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan

Bagian 3

penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan; 3. Secara khusus membatasi perjalanan dinas, kunjungan kerja, studi banding, penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, dan mengurangi berbagai kegiatan workshop, seminar, maupun lokakarya; serta 4. Melakukan penghematan penggunaan energi listrik dengan cara melakukan penghematan listrik di kantor-kantor Pemerintah Daerah dan bangunan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, dan BUMD. 6. Tertatanya Daerah Otonomi Baru (DOB) Sasaran ini dicapai dengan dilaksanakannya Program Penataan Daerah Otonom Baru (DOB). Dalam hal ini, meski Pemerintah berkomitmen menunda pembentukan DOB, dalam praktiknya, sepanjang 2005 sampai 2008, telah terbentuk 55 DOB, yang terdiri atas 48 kabupaten, dan 7 kota. Bahkan, apabila pemekaran daerah dilihat dari 1999, telah dilahirkan 205 DOB, yang terdiri dari 7 Provinsi, 34 Kota, dan 164 Kabupaten.
Dok: Bappenas

Selain itu, telah dikembangkan kebijakan daerah persiapan sebelum proses penetapan DOB dengan UU, dan mekanisme pendampingan

Salah satu permasalahan dalam pencapaian sasaran ini adalah sulitnya melakukan koordinasi antar instansi akibat demikian banyaknya instansi di pusat yang terkait dengan pembangunan di daerah dan adanya gejala ego sektoral atau ego antar instansi. Di samping itu terkait dengan penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, permasalahan yang dihadapi di antaranya adalah belum tersu-

147

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Untuk mengendalikan pembentukan DOB, Pemerintah menerbitkan PP No. 78 Tahun 2007 sebagai revisi PP No. 129 Tahun 2000 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Peraturan ini menjadi saringan yang lebih ketat serta menjadi pedoman hukum yang lebih baik bagi proses pemekaran dan penggabungan daerah ke depan, sesuai dengan persyaratan administratif, teknis, dan sik kewilayahan. Adapun dalam mendukung penyelenggaraan Pemerintahan DOB, telah dilaksanakan pembangunan sarana dan prasarana kecamatan di 65 daerah kabupaten/kota hasil pemekaran, yang meliputi fasilitas kantor, rumah dinas camat, dan aula dinas kecamatan. Pemerintah juga telah menyelesaikan beberapa masalah perebutan aset daerah dan kasus batas administrasi daerah pada DOB.

selama satu periode tertentu setelah ditetapkan menjadi DOB. 3.6.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran 1. Tercapainya Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Pusat dan Daerah, Termasuk yang Mengatur Otonomi Khusus Provinsi Papua dan NAD

sun lengkap dan tersosialisasikannya peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang memiliki karakteristik khusus dan istimewa. 2. Meningkatnya Kerjasama antar Pemda Permasalahan yang masih dihadapi dalam pencapaian sasaran ini adalah belum optimalnya kerjasama antar Pemda, khususnya dalam penanganan kawasan perbatasan, pengurangan kesenjangan antar wilayah dan penyediaan pelayanan publik dasar. Beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut: 1. Belum tersosialisasinya dengan baik PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah yang diharapkan menjadi payung regulasi penting dalam mendorong sinergi dan integrasi Perda yang mengatur kebijakan pengembangan kerjasama antar daerah; 2. Belum ada model/format ideal dan instrumen kerjasama yang potensial dikembangkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik; serta 3. Belum ada insentif yang terukur untuk mendorong daerah dalam melakukan kerjasama. Secara umum Pemerintah Daerah belum optimal memberdayakan potensi sumberdaya yang ada untuk mendatangkan manfaat yang lebih besar, yang dikelola secara bersama-sama antar Pemerintah Daerah.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

2. Masih adanya berbagai protes dan ketidakpuasan para pendukung pasangan calon kepala daerah terhadap proses dan hasil pilkada langsung yang disebabkan kurang akuratnya penetapan data pemilih, persyaratan calon yang kurang lengkap atau tidak memenuhi persyaratan (tidak punya ijazah), permasalahan internal partai politik (parpol) dalam hal pengusulan pasangan calon, adanya dugaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kurang independen, adanya pelanggaran kampanye, dan penghitungan suara yang dianggap kurang akurat; 3. Proses evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal karena masih menunggu peraturan pelaksana dari PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; serta 4. Belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan oleh departemen sektor di daerah. 4. Meningkatnya Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Aparatur Pemda yang Profesional dan Kompeten Permasalahan utama terkait sasaran ini adalah masih ditemuinya kendala dalam proses mutasi antar daerah dan mutasi dari daerah ke pusat atau sebaliknya. Selain itu, hal penting lainnya adalah yang terkait dengan kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS. Untuk esiensi jumlah PNS daerah, dampak dari kebijakan ini dikhawatirkan justru akan membuat jumlah aparat daerah semakin tidak esien. Permasalahan lain yang masih dihadapi dalam program peningkatan profesionalisme aparatur Pemda di antaranya: 1. Kemampuan aparat Pemda yang masih belum memadai, khususnya di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa di dalam bidang kependudukan, kesempatan kerja, strategi investasi, keamanan dan ketertiban (tramtib), serta perlindungan masyarakat (linmas);

3. Terbentuknya Kelembagaan Pemda yang Efektif, Esien, dan Akuntabel Permasalahan utama terkait sasaran ini adalah berkenaan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Begitu juga, belum terbitnya SPM pada seluruh bidang. Selain itu, beberapa permasalahan lain adalah: 1. Belum disusunnya rencana aksi nasional (RAN) di bidang pelayanan publik, khususnya bidang administrasi kependudukan dan perizinan investasi;

148

Bagian 3

2. Belum tersusunnya norma, standar, prosedur, dan pedoman sistem karier, sistem cuti, sistem asuransi, sistem penghargaan, serta pengelolaan aparatur Pemda; 3. Belum adanya standar kompetensi dalam pola karier dan mutasi; serta 4. Belum memadai manajemen aparatur Pemda, khususnya di dalam penataan jabatan negeri dan negara serta jabatan fungsional dan struktural berdasarkan kompetensi dan keahliannya. 5. Terkelolanya Sumber Dana dan Pembiayaan Pembangunan Secara Transparan, Akuntabel, dan Profesional Permasalahan utama dalam pencapaian sasaran ini adalah terlalu seringnya perubahan peraturan maupun aplikasi pendukungnya, sementara daerah memerlukan waktu untuk adaptasi. Kapasitas aparatur Pemda, khususnya dalam hal akuntansi dan auditing masih belum cukup memadai untuk pelaksanaan Permendagri 13/2006. Dalam hal pendapatan daerah, daerah masih terlalu fokus pada usaha peningkatan pajak dan retribusi, karena takut terbentur aturan apabila mencoba inovasi lain. Akan tetapi hal ini kemudian memunculkan isu kemandirian daerah karena peningkatan kapasitas skal daerah berjalan lambat. Permasalahan lain adalah baru diterbitkannya beberapa peraturan perundangan terkait pengelolaan keuangan daerah serta masih belum mencukupinya kapasitas SDM aparatur Pemda di bidang tersebut. Sejalan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000.

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa daerah yang memungut pajak daerah dan retribusi daerah dengan kurang memerhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Begitu juga banyak yang bertentangan dengan kepentingan umum sehingga cenderung mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi dan mengganggu iklim investasi di daerah. Proses penyusunan APBD di beberapa daerah sering mengalami keterlambatan. Hal ini disebabkan proses pembahasan yang membutuhkan waktu yang panjang serta adanya persepsi dan interpretasi yang berbeda terhadap Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan realisasi penyerapan APBD yang belum memenuhi target. Selain itu, pengelolaan BUMD di beberapa daerah juga dirasakan belum optimal dan esien, sehingga banyak BUMD yang belum dapat menjadi sumber PAD, bahkan membebani APBD. Hal itu terbukti ketika alokasi dana APBD untuk pengelolaan BUMD jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh dari BUMD. Keberadaan BUMD juga belum dipayungi dengan dasar hukum yang kuat. Terkait aspek administrasi penatausahaan barang milik daerah sampai 2008, banyak daerah yang belum sepenuhnya melakukan proses administrasi penatausahaan barang milik daerah yang sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Masih rendahnya jumlah dan kualitas SDM yang mempunyai kompetensi di bidang pengelolaan keuangan termasuk akuntansi dan juga keterbatasan dalam penguasaan teknologi informasi menjadi kendala dalam proses peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah Daerah. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa daerah masih melakukan pengelolaan keuangan daerah secara manual dan belum memanfaatkan sistem informasi yang terkomputerisasi.

149

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Terkait dana perimbangan, beberapa isu atau permasalahan aktual yang muncul, antara lain: 1. Pemekaran daerah berimplikasi terhadap peningkatan komponen dana perimbangan, khususnya DAU dan DAK dan akan membebani APBN pada setiap tahunnya; 2. Penerimaan pegawai sebagai akibat dari proses pemekaran daerah dan mutasi pegawai, menuntut adanya rekonsiliasi dan verikasi guna mendapatkan data pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang akurat sebagai dasar perhitungan alokasi dasar DAU. 6. Tertatanya Daerah Otonomi Baru (DOB) Permasalahan yang masih dihadapi dalam pencapaian sasaran ini, di antaranya: 1. Belum optimalnya peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) di dalam proses pembentukan daerah dan pembangunan DOB, yang tidak dapat mengimbangi banyaknya keinginan beberapa daerah untuk melakukan pemekaran tanpa analisis komprehensif terhadap kelayakan teknis, administratif, politik, dan potensi daerah; 2. Banyak timbulnya konik terkait pemekaran daerah, seperti pengelolaan aset daerah, penyediaan aparatur Pemerintah, dan batas wilayah, yang berpengaruh pada kinerja pembangunannya; 3. Evaluasi sementara antara Depdagri, Bappenas-UNDP, dan LAN tahun 2007, menunjukkan bahwa sekitar 80 persen daerah pemekaran yang sudah mekar selama 5 tahun menunjukan kinerja yang masih rendah, khususnya untuk aspek perekonomian daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan kapasitas aparatur dalam memberikan pelayanan; 4. Pembentukan DOB pada saat yang bersamaan dengan masa persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2009 dapat dikhawatirkan mengganggu pelaksanaan Pemilu, khususnya terkait dengan proses pendataan para pemilih dan penentuan daerah pemilihan;

5. Pemberian insentif bagi daerah untuk melakukan pemekaran, khususnya terkait dengan pemberian dana perimbangan; 6. Pelaksanaan Program Penataan DOB masih berkisar pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya pragmatis untuk menyikapi permasalahan yang terjadi pasca pemekaran, seperti misalnya penyelesaian kasus sengketa aset antara daerah pemekaran dengan daerah induk; 7. Salah satu permasalahan strategis yang perlu diperhatikan adalah mengenai penentuan batas daerah; serta 8. Belum ada pengkajian untuk merumuskan kebijakan alternatif di samping pemekaran dalam peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik.

3.6.4. Tindak Lanjut 3.6.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas, terdapat beberapa hal sebagai prasyarat dan tindak lanjut yang diperlukan untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009. Prasyarat yang diperlukan adalah meningkatkan koordinasi dari seluruh instansi pusat yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Peningkatan koordinasi yang dilakukan meliputi antara lain: 1. Menyusun satu model dan bentuk mekanisme evaluasi yang seragam, harmonis, serta dapat digunakan oleh seluruh instansi; 2. Adanya kegiatan evaluasi yang diharapkan menjadi suatu agenda tetap antara Bappenas dengan Biro Rencana Depdagri yang didukung dengan penganggaran sebagaimana terdapat di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) tiap komponen di Depdagri yang terkait bidang revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah setiap tahunnya; serta

150

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

3. Adanya perubahan siklus perencanaan pembangunan secara umum, khususnya dalam hal waktu pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi. Diharapkan waktu pelaksanaan kegiatan evaluasi adalah pada awal tahun, dan dilaksanakan dalam tempo waktu tidak lebih dari enam bulan. Dengan demikian hasilnya dapat digunakan pada pertengahan tahun berjalan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana untuk tahun berikutnya. Adapun tindak lanjut yang diperlukan untuk mencapai sasaran dalam revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah dalam RPJMN 2004-2009 akan diuraikan berikut ini: 1. Tercapainya Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Pusat dan Daerah, Termasuk yang Mengatur tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dan NAD Secara umum, pelaksanaan Program Penataaan Peraturan Perundangan-undangan mengenai Desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya harus lebih diprioritaskan pada isu harmonisasi. Terutama yang terkait dengan peraturan perundangan sektoral dan dengan peraturan perundangan daerah. Adapun tindak lanjut yang diperlukan terkait dengan upaya penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah adalah: 1. Sosialisasi dan pelaksanaan perundang-undangan, terutama terkait dengan kebijakan desentralisasi di daerah berkarakter khusus dan daerah istimewa; 2. Harmonisasi peraturan perundang-undangan lintas sektor dengan cara penyesuaian NSPK tiap-tiap sektor, serta sinkronisasi perda dengan peraturan di atasnya; serta 3. Penyempurnaan regulasi bidang otonomi daerah dan penyelesaian instrumen peraturan perundangan pendukungnya, yaitu penyelesaian dan penetapan beberapa peraturan

pelaksana dari UU No. 32 Tahun 2004 yang sampai akhir 2008 belum selesai pembahasan dan proses penetapannya. 2. Meningkatnya Kerjasama antar Pemerintah Daerah Secara umum, diperlukan usaha diseminasi lebih banyak untuk program ini karena baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota belum terlalu memahami KAD sebagai salah satu alternatif pelaksanaan pembangunan. Kebijakan kerjasama dapat menjadi alternatif untuk menggantikan kebijakan pemekaran yang dinilai kurang esien dalam peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik. Upaya tindak lanjut lainnya yang direkomendasikan untuk meningkatkan pencapaian sasaran dalam program ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan inisiatif kerjasama antar Pemda dalam usaha optimalisasi potensi dan peningkatan pelayanan publik. Hal ini dilakukan sejalan dengan prinsip: transparansi, akuntabilitas, partisipatif, saling menguntungkan dan memajukan, berorientasi kepentingan umum, keterkaitan yang dijalin atas dasar saling membutuhkan keberadaan yang saling memperkuat, kepastian hukum, serta tertib penyelenggaraan Pemerintah Daerah; 2. Diseminasi model kerjasama antar daerah yang efektif guna meningkatkan kemampuan daerah dalam mengatasi keterbatasan yang dimilikinya; 3. Fasilitasi kerjasama pembangunan regional dan antar daerah melalui penguatan peran gubernur dalam rangka pembinaan kerjasama wilayah; 4. Meningkatkan peran gubernur selaku wakil Pemerintah dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan; 5. Fasilitasi kebijakan program dekonsentrasi dan tugas pembantuan dari kementerian/ lembaga;

151

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

6. Fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan kerjasama antar daerah serta evaluasi pelaksanaan kerjasama daerah; 7. Menyusun norma, standar, pedoman dan manual tindak lanjut PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; 8. Melakukan sosialisasi Permendagri tentang Kerjasama Pemda dengan Pihak Ketiga; serta 9. Fasilitasi dan koordinasi penanganan masalah kerjasama Pemda dengan pihak ketiga. 3. Terbentuknya Kelembagaan Pemerintah Daerah yang Efektif, Esien, dan Akuntabel Secara umum, peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintahan daerah diatur oleh PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sebagian daerah sudah menata kelembagaannya sesuai dengan PP tersebut. Ke depan, upaya akan difokuskan untuk sosialisasi dan bimbingan teknis dalam pelaksanaannya di daerah. Selain itu, diperlukan adanya percepatan penyusunan SPM untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Selanjutnya perlu dilaksanakan pelibatan Bappeda (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota) dalam rapat teknis perencanaan dekonsentrasi/tugas perbantuan, yang biasanya hanya diikuti oleh Kementerian/Lembaga dengan SKPD terkait saja. Hal ini untuk memperjelas koordinasi dalam perencanaan dan penyaluran dana dekonsentrasi/tugas perbantuan. Adapun tindak lanjut lainnya yang direkomendasikan untuk meningkatkan pencapaian sasaran dalam program ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mempercepat penyusunan RAN dalam pelayanan publik khususnya dalam bidang administrasi kependudukan dan perizinan investasi; 2. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah melalui penataan kelembagaan daerah sesuai dengan PP No. 41 tahun 2007, termasuk di daerah otonomi khusus dan daerah berkarakter khusus/istimewa;

3. Menyusun pedoman rencana pencapaian SPM bidang pendidikan dan kesehatan berdasarkan analisis dan kemampuan daerah dan fasilitasi penyusunan SPM untuk dijadikan Perda; 4. Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi dan penyelenggaraan Otonomi Daerah; serta 5. Memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. 4. Meningkatnya Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Aparatur Pemerintah Daerah yang Profesional dan Kompeten Secara umum, dalam rangka peningkatan profesionalisme aparat Pemda diperlukan upaya dalam melengkapi peraturan perundangan yang berkaitan dengan standar kompetensi dan pola mutasi aparatur Pemerintah Daerah. Hal ini juga terkait dengan kebijakan pengangkatan semua tenaga honorer sebagai CPNS. Upaya tindak lanjut lainnya yang direkomendasikan untuk meningkatkan pencapaian sasaran dalam program ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kompetensi dan kapasitas aparatur Pemerintah Daerah pada bidang penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, penganalisisan kependudukan, perencanaan kesempatan kerja, penyusunan strategi investasi, penanganan ketentraman, penertiban dan perlindungan masyarakat (tramtib dan linmas), serta penyelenggaraan pemerintahan daerah; serta 2. Meningkatkan etika kepemimpinan kepala daerah dan DPRD. 5. Terkelolanya Sumber Dana dan Pembiayaan Pembangunan Secara Transparan, Akuntabel, dan Profesional Secara umum, peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah terbentur oleh kendala belum memadainya kapasitas aparatur di daerah untuk melaksanakan Permendagri 13/2006. Upaya tindak

152

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

lanjut yang direkomendasikan untuk meningkatkan pencapaian sasaran dalam program ini adalah melakukan penguatan kapasitas keuangan daerah, harmonisasi dan penataan regulasi keuangan daerah, serta pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RANDF) di tingkat pusat, terutama terkait dengan pengalihan sebagian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada DAK. Selain itu, diperlukan usaha peningkatan kapasitas maupun pendampingan untuk penyusunan Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah.

cang Permendagri tentang pengelolaan dana perimbangan dan dana transfer; menyiapkan materi Revisi RUU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; serta 4. Di bidang fasilitasi pengawasan pertanggungjawaban keuangan daerah, melaksanakan Permendagri tentang pedoman teknis evaluasi Raperda pertanggungjawaban APBD 2009. Dalam upaya optimalisasi pengelolaan keuangan daerah, sumber-sumber penerimaan daerah, penataan regulasi bidang keuangan, serta penyediaan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah, tindak lanjut yang dilakukan antara lain: 1. Melaksanakan fasilitasi rencana anggaran daerah dan evaluasi kinerja anggaran daerah, fasilitasi penyusunan APBD, fasilitasi evaluasi APBD dan rancangan perubahan APBD; 2. Melaksanakan fasilitasi di bidang pajak daerah, retribusi, investasi dan aset daerah, lembaga keuangan dan BUMD, pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum Daerah (BLUD); 3. Melaksanakan review komprehensif terhadap pelaksanaan program dan kegiatan yang pendanaannya bersumber dari dana perimbangan dan dana dekonsentrasi; 4. Melaksanakan fasilitasi di bidang penatausahaan dan akuntansi serta penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; 5. Melaksanakan kegiatan penerapan dan pengembangan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah yang efektif, esien, dan akuntabel; serta 6. Melaksanakan penyusunan regulasi tentang keuangan daerah khususnya yang terkait dengan regulasi tahunan, seperti peraturan menteri keuangan mengenai dana perimbangan dan regulasi lainnya seperti mengenai pinjaman daerah.

Secara umum, dalam rangka peningkatan profesionalisme aparat Pemda diperlukan upaya dalam melengkapi peraturan perundangan yang berkaitan dengan standar kompetensi dan pola mutasi aparatur Pemerintah Daerah. Hal ini juga terkait dengan kebijakan pengangkatan semua tenaga honorer sebagai CPNS
Dalam upaya penataan regulasi di bidang keuangan daerah, tindak lanjut yang dilakukan antara lain: 1. Di bidang Administrasi Anggaran Daerah merevisi PP 109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Derah dan Wakil Kepala Daerah dan menyusun Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2010; 2. Di bidang Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah melanjutkan penyusunan RUU BUMD; Permendagri tentang pengelolaan bank pembangunan daerah; Revisi Permendagri tentang organisasi dan kepegawaian PDAM; RUU pajak dan retribusi daerah; 3. Di bidang fasilitasi dana perimbangan: meran-

153

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

6. Program Penataan Daerah Otonomi Baru (DOB) Secara umum, diperlukan kajian juga inovasiinovasi kebijakan lain untuk mengendalikan laju pemekaran daerah. Upaya tindak lanjut lainnya yang direkomendasikan untuk meningkatkan pencapaian sasaran ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan kebijakan dan peraturan batas wilayah administrasi untuk penyelesaian konik antardaerah induk dan DOB dengan regulasi penataan batas wilayah dan pengevaluasian penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di DOB; 2. Mempercepat pembangunan DOB dengan upaya peningkatan iklim investasi, peningkat-

Kotak 1 Dampak Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah yang telah berlangsung selama sepuluh tahun (1999-2009) telah melahirkan DOB sebanyak 205 daerah yang terdiri dari 7 Provinsi, 34 Kota, dan 164 Kabupaten (data dari Direktorat OtodaBAPPENAS). Meski dalam aspek rentang kendali harus diakui bahwa pemekaran memang menjadikan jangkauan jarak pelayanan relatif lebih dekat, namun semakin pendeknya rentang pelayanan kepada masyarakat ternyata belum dapat meningkatkan pelayanan publik itu sendiri, karena masih ada faktor lain yang juga berubah pasca pemekaran. Selain itu, pemekaran yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerahnya ternyata belum mampu memenuhi ekspektasi tersebut. Adapun beberapa studi terkait dengan hal ini adalah sebagai berikut: Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Hasil studi menyimpulkan bahwa dari aspek kinerja perekonomian daerah teridentikasi pembagian potensi ekonomi yang kurang merata dan beban penduduk miskin yang lebih tinggi; dari aspek pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa DOB lebih uktuatif dibandingkan daerah induk yang relatif stabil dan meningkat; dari aspek kinerja pelayanan publik diidentikasi bahwa pelayanan publik di daerah pemekaran belum berjalan optimal karena tidak efektifnya penggunaan dana, tidak tersedianya tenaga layanan publik, dan belum optimalnya pemanfaatan pelayanan publik; dari aspek kinerja aparatur Pemerintah Daerah diidentikasi adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan yang tersedia; kualitas aparatur yang umumnya belum memadai; dan pemberdayaan aparatur daerah yang belum optimal; dari aspek keuangan daerah disimpulkan bahwa peran anggaran Pemerintah Daerah pemekaran dalam mendorong perekonomian relatif kurang optimal, terutama disebabkan oleh permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah (ketergantungan skal yang lebih besar, optimasi pendapatan dan kontribusi ekonomi yang belum memenuhi target, dan porsi alokasi belanja modal dari Pemerintah Daerah yang belum memadai). Studi Evaluasi Penataan DOB. Studi ini menyimpulkan bahwa secara umum dalam aspek-aspek ekonomi, keuangan, pelayanan publik, dan manajemen aparatur Pemerintah Daerah, kinerja daerah pemekaran tidak lebih baik dari daerah nonpemekaran. Selain itu, penataan DOB di Indonesia belum dapat diarahkan dengan baik karena hingga saat ini belum terdapat semacam Grand Design Penataan Otonomi Daerah. Grand Design tersebut juga diharapkan mampu menjawab berapa jumlah ideal Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia untuk dapat menjalankan pemerintahannya dengan efektif dan esien. Governance and Decentralization Survey (GDS) menyimpulkan bahwa masyarakat di daerah yang tidak pernah mengalami pemekaran memiliki tingkat kepuasan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan yang cenderung lebih tinggi dibanding daerah yang mengalami pemekaran, tingkat pelayanan faktual di daerah yang tidak pernah mengalami pemekaran juga tercatat lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada grakgrak di bawah ini.

154

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

Lanjutan Kotak 1

Pelayanan Kesehatan Sumber: GDS, 2008

Pelayanan Pendidikan Sumber: GDS, 2008

Dari pemaparan di atas, perlu ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan terkait dengan penataan DOB dan penataan daerah secara umum. Kebijakan-kebijakan itu dapat dibagi dalam beberapa kelompok besar yaitu pertama terkait dengan perbaikan dalam proses pengusulan pemekaran daerah (prosedur dan syarat pemekaran). Kedua, terkait dengan masa persiapan untuk pembentukan DOB. Ketiga, alternatif kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kualitas pelayanan publik selain dengan pemekaran. Kebijakan-kebijakan ini terkait satu sama lainnya. Dengan demikian kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang sifatnya simultan. Dilakukan dengan memerhatikan kebijakan pada tahapan dan isu lainnya sehingga satu kebijakan tidak bertentangan kebijakan lainnya.

an kapasitas keuangan Pemerintah Daerah, pemberdayaan usaha skala mikro, pengembangan ekonomi lokal, peningkatan infrastruktur perdesaan, kerjasama antardaerah, dukungan pembangunan sarana dan prasarana Pemerintahan kecamatan di DOB, peningkatan pelayanan publik, penerapan good governance, penataan ruang yang baik, serta peningkatan kinerja melalui peran DPOD; 3. Menghentikan sementara pembentukan DOB sampai terlaksananya evaluasi menyeluruh dengan menerbitkan Moratorium Pemerintah; serta 4. Melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan di DOB serta memfasilitasi dan mengkaji usulan baru. 3.6.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Untuk mendukung tercapainya revitalisasi desentralisasi dan otonomi daerah diperlukan dukung-

an pendanaan yang memadai. Oleh karenanya, sumber pendanaan dari Pemerintah Pusat (melalui dana perimbangan) diperkirakan akan terus mengalami kenaikan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan ini merupakan cerminan dari keinginan agar proses desentralisasi dan otonomi daerah dapat benar-benar terwujud. Namun, dukungan pendanaan saja belum tentu cukup digunakan sebagai masukan dalam mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 dalam setahun mendatang. Demikian pula, tahun mendatang pencapaian diperkirakan juga belum dapat memenuhi sasaran. Hal ini terkait dengan berbagai permasalahan yang belum terselesaikan dalam pelaksanaan kebijakan otonomi khusus di Provinsi NAD, Papua dan Papua Barat serta beberapa daerah berkarakter khusus/istimewa seperti DKI Jakarta dan DI Yoyakarta; masih belum memadainya kapasitas dan kompetensi aparatur Pemda di dalam penerapan SPM; belum adanya regulasi kerjasama antar-daerah sebagai

155

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

upaya meningkatkan pelayanan publik dasar; serta masih terbatasnya pengelolaan keuangan daerah. Dengan kondisi tersebut, pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 diperkirakan tidak akan menyeluruh. Terlepas dari keterbatasan ini, rencana tindakan yang lebih intensif, efektif, dan esien diperkirakan dapat meningkatkan pencapaian pembangunan desentralisasi dan otonomi daerah secara lebih baik ke depan. Begitu juga, upaya yang berkesinambungan dan konsisten diharap-

kan dapat mewujudkan pembangunan desentralisasi dan Otoda yang sesuai harapan, yakni keberadaan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan. Perkiraan pencapaian sasaran RPJMN khususnya Bab Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada 2009 dan perkiraan sasaran RPJMN pada bab yang sama secara detail dapat dilihat pada Tabel 3.6.5.

Tabel 3.6.5. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN pada 2009


No. 1. Sasaran Tercapainya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangundangan pusat dan daerah, termasuk yang mengatur tentang otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi NAD Indikator 1. Meningkatnya sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundanganundangan yang menyangkut hubungan pusat dan daerah, serta pelaksanaan otonomi daerah termasuk peraturan perundang-undangan daerah; 2. Tersusunnya berbagai peraturan pelaksana dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 3. Menguatnya visi desentralisasi dan otonomi daerah para pelaku pembangunan agar tercapai persepsi yang sama terutama dalam penyelenggaraan Pemerintahan, pelayananan publik, dan pembangunan di daerah; dan 4. Terlaksananya otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Meningkatkan pelaksanaan kerjasama antar-Pemerintah Daerah termasuk peningkatan peran Pemerintah Provinsi. Perkiraan Pencapaian Sasaran sampai Tahun 2009 1. Terlaksananya evaluasi perda pajak dan retribusi daerah, dan raperda APBD 2. Selesainya seluruh peraturan pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. 3. Penyaluran Dana Otsus di Papua, Papua Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam, 4. Pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi NAD dan Papua.

2.

Meningkatnya kerjasama antar-Pemerintah Daerah

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

1. Terbitnya PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah sebagai payung hukum pelaksanaan kerjasama antardaerah, 2. Selain itu, PP No. 50 Tahun 2007 tersebut sekaligus mengatur peran Pemerintah Provinsi dalam mengkoordinasikan pembangunan di wilayahnya, 3. Meningkatnya jumlah bentuk kerjasama antardaerah dalam meningkatkan pelayanan publik. 1. Terbitnya PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagai payung hukum dan perangkat pengaturan untuk pembentukan kelembagaan Pemerintah Daerah. 2. Hampir seluruh Pemda telah menerapkan PP No. 41 Tahun 2007. 3. Terbangunnya kantor-kantor Pemerintahan utama (gedung kantor bupati/walikota dan DPRD) di seluruh daerah terutama di daerah otonom baru.

3.

Terbentuknya kelembagaan Pemerintah Daerah yang efektif, esien, dan akuntabel

Menyusun kelembagaan Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu dikelola

156

Bagian 3

Lanjutan Tabel 3.6.5.


No. 4. Sasaran Meningkatnya kapasitas pengelolaan sumberdaya aparatur Pemerintah Daerah yang profesional dan kompeten; Indikator 1. Memfasilitasi penyediaan aparat Pemerintah Daerah, 2. Menyusun rencana pengelolaan aparatur Pemerintah Daerah, 3. Meningkatkan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan Pemerintahan, serta penciptaan aparatur Pemerintah Daerah yang kompeten dan profesional. Meningkat dan berkembangnya kapasitas keuangan Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah, dan penciptaan Pemerintahan daerah yang baik. Perkiraan Pencapaian Sasaran sampai Tahun 2009 1. Penyediaan aparat Pemerintah Daerah melalui pengangkatan seluruh tenaga honorer daerah dan guru bantu menjadi CPNS daerah dan pelaksanaan rekruitmen CPNSD baru, 2. Telah dilaksanakannya berbagai pelatihan teknis substantif dan fungsional.

5.

Terkelolanya sumber dana dan pembiayaan pembangunan secara transparan, akuntabel, dan profesional;

1. Selesainya revisi UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagai payung hukum baru bagi daerah untuk penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi peningkatan kapasitas keuangan Pemda. 2. Meningkatnya dana perimbangan setiap tahunnya. 3. Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah (Pengganti PP 109 Tahun 2000) 4. Penyusunan Rancangan Undang-Undang BUMD 5. Penyusunan Permendagri Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 6. Penyusunan Revisi Permendagri Tentang Kebijakan Pengelolaan BPD 7. Revisi Permendagri No.17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah 8. Penyusunan Pedoman Teknis Evaluasi Raperda Pertanggungjawaban APBD Tahun Anggaran 2009 9. Penyusunan Pedoman Pelaksanaan APBD 10. Revisi Permendagri No.2 Tahun 2007 Tentang Organ dan Kepegawaian PDAM 11. Revisi Kepmendagri N0.50 Tahun 1999 Tantang Kepengurusan BUMD 12. Penyusunan Pedoman Pengelolaan Manajemen Kas 13. Penyusunan Petunjuk Teknis dan Konsultasi Teknis Daerah Penerima DAK Prasarana Pemerintahan Tahun 2010 14. Penyusunan Pedoman Penghitungan Dasar Pengenaan PKB, BBN-KB dan PKAA, BBN-KAA 15. Penyusunan Permendagri Tentang Tata Cara Fit and Proper Test Calon Direksi BUMD 16. Pembangunan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) pada 171 daerah, yang terintegrasi dari perencanaan, penganggaran sampai dengan pertanggungjawaban dan pelaporan serta pembangunan aplikasi pendukungnya, antara lain manajemen asset, manajemen utang dan piutang,dan sistem penggajian. 17. Asistensi penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009 dan asistensi penyusunan perubahan APBD Tahun Anggaran 2007 di 33 Propinsi. 18. Kegiatan asistensi penyusunan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran daerah pemekaran. 19. Sosiaslisasi Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 (Revisi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). 20. Kegiatan pembinaan administrasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

157

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Lanjutan Tabel 3.6.5.


No. Sasaran Indikator* Perkiraan Pencapaian Sasaran sampai Tahun 2009 21. Fasilitasi administrasi pinjaman daerah. 22. Sosialisasi PP Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. 23. Sosialisasi Permendagri Nomor 17 tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Barang Milik daerah dan Sosialisasi Permendagri Nomor 7 Tahun 2006 dan Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemda. 24. Pemutahiran data dasar DAU dan konrmasi data belanja pegawai daerah dalam perhitungan DAU Tahun 2005 s/d 2008. 25. Penyusunan juknis Dana Alokasi Khusus. 26. Konsultasi teknis daerah penerima DAK. 27. Supervisi ,monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK prasarana pemerintahan. 28. Monitoring dan evaluasi implementasi penatausahaan dan akuntansi,pelaporan dan pertanggungjawaban di 33 Propinsi. 29. Evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2007 dan Rancangan peraturan Gubernur tentang Penjabaran Perubahan APBD Tahun Anggaran 2007 untuk 33 Provinsi. 30. Evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Tahun Anggaran 2008 dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran Perubahan APBD Tahun Anggaran 2008 untuk 33 Provinsi. 31. Fasilitasi penerapan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD 32. Fasilitasi Pengelolaan dana Bergulir bersumber dari APBD 33. Sampai akhir 2007 telah dilakukan proses evaluasi Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebanyak 6.276 perda yang menghasilkan rekomendasi 4.022 perda layak untu tetap dilaksanakan, 132 perda disarankan untuk direvisi, dan 2.122 perda direkomendasikan untuk dibatalkan (751 perda telah dibatalkan dengan Permendagri dan 1.371 perda saat ini masih dalam proses pembatalan) 34. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan baik PP maupun Permendagri telah dilakukan sosialisasi bagi Pemda baik provinsi maupun kabupaten/kota. 6. PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN Tertatanya daerah otonom baru Tertata dan terlaksananya kebijakan pembentukan daerah otonom baru sehingga pembentukan daerah otonom baru tidak memberikan beban bagi keuangan negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan pembangunan wilayah. Mengendalikan pembentukan daerah otonom baru yang ditandai dengan dikeluarkannya Moratorium Penghentian Pembentukan Daerah Otonom Baru tahun 2006 dan dilakukannya revisi PP No. 129 tahun 2000 menjadi PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah dimana dengan terbitnya PP yang baru ini maka diharapkan pembentukan daerah otonom baru akan lebih terkendali.

158

Bagian 3

3.6.5. Penutup Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan upaya perbaikan terhadap kebijakan masa lalu yang bersifat sentralistis. Desentralisasi dan otonomi daerah juga akomodatif terhadap keragaman dalam karakteristik pembangunan antar wilayah sehingga hal ini memerlukan kemandirian dan kualitas manusia serta kapasitas kepemerintahan yang baik pada skala lokal. Namun dalam pelaksanaannya hingga saat ini, hal tersebut masih menemui hambatan yang terkait dengan kurang meratanya kapasitas dan kualitas aparat Pemerintah Daerah yang menyebabkan pelaksanaan desentralisasi masih beragam. Hal ini ditambah pula oleh belum terselesaikannya semua perangkat perundangan yang mengatur pelaksanaan desentralisasi. Selain itu, kemajuan desentralisasi dan otonomi daerah juga mengalami hambatan terkait dengan diperlukannya perubahan struktural yang besar di bidang kelembagaan, peraturan perundang-undangan, serta pemberdayaan masyarakat sipil dan

aparatur, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sehingga, untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah yang ideal sesuai dengan yang diamanatkan, diperlukan upaya yang besar dan waktu yang tidak pendek. Melihat pencapaian hingga 2008, diperkirakan sasaran RPJMN 2004-2009 pada setahun mendatang tidak dapat tercapai secara keseluruhan. Hal ini mengingat terdapat beberapa permasalahan yang belum teratasi, yang terkait kapasitas aparatur pemda, harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan. Selain itu, meskipun dukungan Pemerintah Pusat melalui dana perimbangan akan meningkat, namun menyisakan sedikit permasalahan terkait dengan kekurangsesuaian formulasi pembagian dana terhadap kebutuhan riil daerah. Terlepas dari keterbatasan ini, rencana tindaklanjut yang lebih intensif, efektif, dan esien diperkirakan dapat meningkatkan pencapaian pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara lebih baik ke depan.

159

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: DEPBUDPAR

Bagian 3

BAB 3.7.
Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa
3.7.1 Pengantar Sasaran pembangunan nasional bidang penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagaimana tertulis dalam RPJMN 2004-2009 adalah terciptanya pemerintahan yang bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang esien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, prioritas diletakkan pada pembangunan aparatur negara melalui pelaksanaan reformasi birokrasi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good public governance), yaitu suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip antara lain: keterbukaan dan transparansi, akuntabilitas, efektivitas dan esiensi, responsivitas, menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan membuka partisipasi masyarakat. Peningkatan kinerja aparatur negara melalui reformasi birokrasi memiliki posisi yang sangat strategis terhadap keberhasilan pencapaian tujuan bernegara. Upaya peningkatan kinerja terus dilakukan melalui berbagai langkah strategis pada setiap aspek dan telah menunjukan banyak kemajuan yang secara umum ditandai dengan adanya perbaikan sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan di pusat maupun daerah yang lebih kreatif, dinamis dan responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan masyarakat. Meskipun demikian, hingga saat ini kinerja aparatur negara dirasakan masih belum optimal dalam mendukung keberhasilan pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, upaya reformasi birokrasi perlu terus dilanjutkan untuk mempercepat peningkatan kinerja aparatur negara dan mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

3.7.2 Kondisi Awal RPJMN 2004-2009 dan Sasaran yang Ingin Dicapai Kondisi awal aparatur negara dalam pelaksanaan RPJMN 2004-2009 ditandai dengan berbagai hal sebagai berikut : a. Pengawasan belum efektif, antara lain ditandai dengan belum optimalnya pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan yang berhasil mengungkap indikasi tindakan praktek KKN. b. Di bidang kelembagaan, masih terjadi kecenderungan pengembangan organisasi yang berorientasi pada perluasan jabatan struktural, sehingga pelaksanaan tugas organisasi menjadi kurang efektif dan esien. Di lain pihak pengembangan jabatan fungsional yang lebih berorientasi pada profesionalisme masih belum berkembang maksimal karena keterbatasan penyediaan anggaran untuk tunjangannya. c. Di bidang kepegawaian, belum adanya sinkronisasi antara kebutuhan pegawai baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas dengan kebutuhan organisasi pemerintah. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap

161

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

kinerja organisasi terutama dalam bentuk kualitas pelayanan masyarakat yang rendah. d. Di bidang ketatalaksanaan, pengaturan sistem dan prosedur kerja baik di bidang tugas umum pemerintahan, tugas pembangunan dan tugas pelayanan masyarakat oleh masing-masing lembaga pemerintah belum mencerminkan prinsip esiensi dan efektitas. Tertib administrasi pemerintahan termasuk kearsipan belum dilihat sebagai suatu hal yang mendesak. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi belum optimal. e. Kinerja pelayanan masyarakat masih lemah. Masih sering terdengar keluhan dan kritikan dari masyarakat terutama mengenai sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit (birokratis) dan aparat yang berlaku sebagai penguasa yang ingin dihormati/dilayani. Hal tersebut di atas, diperburuk dengan rendahnya kesejahteraan PNS serta masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan pembangunan. Di samping itu, sistem akuntabilitas dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan juga belum berjalan dengan baik yang dicerminkan dengan tingginya tindak korupsi di lingkungan aparatur negara. Menghadapi kondisi tersebut di atas, maka sasaran khusus pembangunan nasional bidang Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa 2004-2009 adalah:
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

sifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat; 4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik; 5. Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan di atasnya. Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, upaya penciptaan tata Pemerintahan yang bersih dan berwibawa dilaksanakan melalui: 1. Program Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik Bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, profesional, responsif, dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. 2. Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN. 3. Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Bertujuan untuk menata dan menyempurnakan sistem organisasi dan manajemen pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota agar lebih proporsional, esien, dan efektif. 4. Program Pengelolaan SDM Aparatur Bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas SDM aparatur dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. 5. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif.

1. Berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi yang dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas; 2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, esien, efektif, transparan, profesional, dan akuntabel; 3. Terhapusnya peraturan dan praktik yang ber-

162

Bagian 3

3.7.3 Pencapaian 2005-2008 3.7.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 1. Program Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik Hasil-hasil yang telah dicapai dari berbagai kegiatan yang dilakukan hingga tahun 2008, diantaranya : 1. Penyempurnaan dan sosialisasi pedoman dan indikator tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Hal ini bertujuan untuk membangun komitmen aparatur pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakannya. Selain itu, juga telah dilakukan pilot project penerapan model Island of Integrity di beberapa daerah yang berkomitmen tinggi untuk menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Pilot project ini dilanjutkan dengan penerapan kesepakatan kinerja (performance agreement) antara kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dan pejabat eselon II (dinas, badan, dan kantor). 2. Penyusunan Grand Design (Rencana Induk) dan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi sebagai kerangka pikir strategis instansi pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan memberikan arah dalam tahap operasional. 2. Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara Hingga 2008, capaian-capaian penting Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara meliputi antara lain: 1. Meningkatnya jumlah instansi pemerintah yang telah melaksanakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) di lingkungan Pemerintah pusat dan daerah; 2. Membaiknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparansi International Indonesia (TII) yaitu 2,0 (2004), 2,2 (2005), 2,4 (2006), 2,3 (2007), dan 2,6 (2008).

3. Diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penguatan akuntabilitas dan peningkatan kinerja pada instansi pemerintah, seperti: (a) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah; (b) PP Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengendalian dan Evaluasi Perencanaan Pembangunan; serta (c) PP No 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.

Penyempurnaan dan sosialisasi pedoman dan indikator tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Hal ini bertujuan untuk membangun komitmen aparatur pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakannya
4. Meningkatnya kapasitas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui pelaksanaan reformasi serta peningkatan independensi dan kemandirian BPK sebagai badan pemeriksa, antara lain dengan diterbitkannya UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 5. Terselenggaranya koordinasi, monitoring, dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK) sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah. 6. Membaiknya opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) yaitu: opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari 13% (2006) meningkat menjadi 22% (2007),

163

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

opini Wajar Dengan Pengecualian dari 43% (2006) menurun menjadi 35% (2007), opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dari 43% (2006) menurun menjadi 42% (2007). Sedangkan opini Tidak Wajar (TW) dari 0% (2006) meningkat menjadi 1% (2007). Namun opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagian memperlihatkan penurunan yaitu: opini WTP dari 1% (2006) tetap 1% (2007), opini WDP dari 70% (2006) menurun menjadi 63% (2007), opini TMP dari 23% (2006) membaik menjadi 17% (2007), opini TW dari 6% (2006) memburuk menjadi 19% (2007). 7. Terbangunnya kerjasama antara aparat Bidang Pengawas Keuangan Pemerintah (BPKP) dengan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) berkaitan dengan pelaksanaan audit; 3. Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Hasil-hasil yang telah dicapai dari program ini, diantaranya: 1. Diundangkannya UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebagai upaya untuk mengatur kelembagaan kementerian;

2. Ditetapkannya PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Perubahan atas PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang akan disosialisasikan secara bertahap ke daerah-daerah agar tercipta persepsi yang sama dalam upaya penataan kelembagaan organisasi satuan kerja perangkat daerah yang lebih proporsional, efektif, dan esien serta benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata daerah; 3. Tersusunnya Rancangan Undangan-Undang (RUU) tentang Badan Layanan Nirlaba/ Umum. RUU ini dibutuhkan untuk mengondisikan unit pelayanan teknis (UPT) dan badan layanan umum menjadi satu badan yang mandiri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada 2007 telah dilakukan uji materi RUU, harmonisasi, dan usulan untuk menjadi prioritas Prolegnas 2008; 4. Tersusunnya gambaran prol manajemen di instansi pemerintah pusat dan daerah; 5. Tersusunnya organisasi dan tata kerja seluruh lembaga pemerintah, baik kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) maupun lembaga non-struktural;

164

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: Bappenas

Bagian 3

6. Terselamatkannya arsip/dokumen pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi N.A.D pasca bencana gempa bumi dan tsunami; 7. Terdokumentasikannya dokumen/arsip negara periode Kabinet Gotong Royong dan Kabinet Persatuan Nasional; 8. Terdokumentasikannya Arsip Pemilu 2004 dan arsip pemilihan kepala daerah (Pilkada); 9. Tersedianya jaringan informasi kearsipan nasional (JIKN); 10. Terdokumentasikannya wawancara sejarah lisan dengan tema kembalinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke pangkuan Ibu Pertiwi; 12. Terhimpunnya berkas-berkas tentang batas negara dan berkas-berkas dalam rangka membantu penyelesaian sengketa perbatasan antar-provinsi dan antar-kabupaten/kota. 4. Program Pengelolaan SDM Aparatur Hasil-hasil yang telah dicapai dari berbagai kegiatan yang dilakukan, antara lain: 1. Tersusunnya naskah akademik RUU Kepegawaian Negara yang meliputi manajemen kepegawaian pada tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta penyelenggara negara lainnya. RUU ini merupakan payung hukum bagi pembangunan sistem manajemen kepegawaian berbasis kinerja; 2. Terlaksananya penyusunan dan penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang SDM aparatur, yaitu: penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penilaian prestasi kerja PNS sebagai pengganti PP No. 10/1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS, RPP tentang Peraturan Disiplin PNS sebagai pengganti PP Nomor 30/1980, RPP tentang Pemberhentian PNS sebagai pengganti PP Nomor 32/1979, Rancangan Perpres tentang Penilaian, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan struktural, dan Rancangan Perpres tentang Diklat Prajabatan

bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS); 3. Perbaikan remunerasi yang layak dan adil bagi aparatur negara antara lain dengan pemberian gaji ke-13 baik di instansi pusat maupun di daerah, kenaikan gaji pokok pegawai rata-rata 15 persen, kenaikan tunjangan struktural rata-rata 22,2 persen, dan kenaikan tunjangan fungsional rata-rata 32,2 persen; 4. Penataan kepegawaian dan peningkatan fungsi pelayanan publik di NAD setelah tsunami; 5. Terselenggaranya pusat penilaian PNS (assessment center) yang telah diuji coba di Badan Kepegawaian Negara (BKN); 6. Tersusunnya pedoman penyusunan standar kompetensi jabatan struktural maupun fungsional PNS dan pedoman pelaksanaan evaluasi jabatan dalam rangka penyusunan klasikasi jabatan nasional PNS, yang keduanya merupakan acuan bagi instansi pusat dan daerah dalam menyusun standar kompetensi dan evaluasi jabatan pada tiap-tiap instansi. 5. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Untuk meningkatkan pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif telah dilakukan berbagai kegiatan dengan capaian penting antara lain: 1. RUU Pelayanan Publik sedang dibahas di DPR dan diharapkan dapat diundangkan pada tahun 2009 sehingga tersedia dasar hukum & Kebijakan yang kuat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih komprehensif; 2. Penerapan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang selanjutnya dioperasionalisasikan melalui Permendagri No. 6 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan SPM. 3. Dilakukannya penyempurnaan Sistem Koneksi Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terintegrasi antar instansi terkait;

165

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4. Telah tersusunnya SPM di bidang Kesehatan, Sosial, Lingkungan Hidup, dan Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota; 5. Peningkatan pelayanan publik dengan pemanfaatan digital government services (DGS) untuk pendidikan, industri, pedagangan, tenaga kerja, pariwisata dan kesehatan di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Istimewa (DI) Yogyakarta; 6. Terbangunnya unit pelayanan terpadu satu pintu di beberapa provinsi, kabupaten/kota, sebagai upaya mempermudah pelayanan perizinan dan investasi. 3.7.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Memperhatikan capaian hingga tahun 2008, terdapat beberapa capaian yang masih belum optimal, khususnya dalam upaya menurunkan praktek korupsi di lingkungan pemerintah dan pemberian pelayanan kepada masyarakat (publik). Hal itu terkait dengan beberapa permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam upaya pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 antara lain: 1. Belum efektifnya pengawasan/pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah (APIP); 2. Masih adanya aparatur yang belum memahami perannya sebagai pelayan publik sehingga penyelenggaraan pemerintahan khususnya pelayanan publik belum sesuai dengan aspirasi masyarakat; 3. Belum meratanya ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelayanan publik (ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi/ TIK, kemampuan aparatur dalam pemanfaatan TIK, ketersediaan standar pelayanan minimal/SPM pada semua jenis pelayanan, dan sistem pelayanan yang belum terpadu); 4. Belum optimalnya kinerja SDM aparatur yang disebabkan oleh belum meratanya kompetensi aparatur dan belum memadainya

remunerasi dan kesejahteraannya. Selain itu, sistem pembinaan SDM aparatur belum berbasis pada kinerja (merit system) dan belum didukung dengan peraturan perundangundangan yang memadai sebagai landasan sistem pembinaannya; 5. Belum disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi pilar pelaksanaan reformasi birokrasi, antara lain RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Etika Penyelenggara Negara, RUU Pelayanan Publik, RUU Kepegawaian Negara sebagai penyempurnaan atas UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dan RUU Sistem Pengawasan Nasional.

3.7.4. Tindak Lanjut 3.7.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 disusun dengan mempertimbangkan posisi capaian hingga tahun 2008 serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran. Dalam satu tahun waktu tersisa dari pelaksanaan RPJMN 2004-2009, maka upaya-upaya yang dilakukan pada prinsipnya adalah melanjutkan dan meningkatkan pembangunan yang sudah dicapai sebelumnya serta melakukan penajaman dan percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi. 1. Meningkatkan upaya-upaya pencegahan tindak pidana korupsi dalam rangka meminimalisir praktik-praktik korupsi di berbagai sektor yang diikuti dengan perbaikan sistem pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara; 2. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun pada tingkat operasional dalam rangka mewujudkan kedudukan yang sama di hadapan hukum pada setiap golongan masyarakat;

166

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

3. Melanjutkan upaya penataan kelembagaan, ketatalaksanaan dan pengawasan aparatur negara; 4. Mempercepat penyelesaian penyusunan SPM di berbagai bidang dan peningkatan kapasitas aparat Pemda dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) berbagai bidang di daerah; 5. Meningkatkan kinerja/profesionalitas dan kesejahteraan PNS; 6. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di bidang investasi, perpajakan, kepabeanan, sistem administrasi satu atap, pengadaan barang dan jasa Pemerintah/publik, dan pertanahan; nalisasi UU Pelayanan Publik dan penyusunan peraturan pelaksanaannya, meningkatkan pemanfaatan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (e-government, e-local government, e-procurement, dan e-services) dalam pelayanan publik; mendorong penerapan pelayanan terpadu satu pintu di setiap daerah; dan melakukan uji coba/pilot project penerapan identitas tunggal untuk pelayanan publik.

3.7.5. Penutup Upaya penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa secara umum sudah menunjukkan perbaikan sebagaimana diharapkan, meski belum sempurna. Masih dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk bisa merealisasikannya beberapa sasaran, terutama yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Untuk itu, perlu adanya upaya tindak lanjut melalui program-program yang sarat komitmen, konsisten, dan berkesinambungan. Namun demikian, secara keseluruhan, selama 4 tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009 (melalui pelaksanaan RKP Tahun 2005-2008), berbagai capaian dan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pembangunan bidang penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa telah mengarah pada sasaran-sasaran yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009.

167

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: Bappenas

Bagian 3

BAB 3.8.
Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh
3.8.1. Pengantar Pembangunan demokrasi tidak terlepas dari adanya kelembagaan demokrasi yang kokoh dan mampu memenuhi tuntutan perubahan-perubahan di masyarakat. Di Indonesia, pelaksanaan demokratisasi sosial dan politik dapat dikatakan telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya pemilihan umum (pemilu) Presiden dan Wakil Presiden 2004 secara langsung, terbentuknya kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baru hasil pemilu langsung. Demikian juga, keberhasilan pelaksanaan kelembagaan demokrasi termanifestasi oleh format hubungan pusat dan daerah baru berdasarkan perundang-undangan otonomi daerah (Otoda). Selain itu, keberhasilan juga tercermin dari terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) dan terciptanya format baru hubungan sipil-militer, serta Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Polisi Republik Indonesia (Polri). Untuk itu, pelaksanaan serta peningkatan kualitas kelembagaan demokrasi yang sudah terbentuk akan terus dikembangkan. Di samping itu, perlu ada pengembangan dan perbaikan pola hubungan negara dan masyarakat, penyelesaian persoalan sosial dan politik masa lalu seperti pelanggaraan Hak Asasi Manusia (HAM), serta peningkatan peranan media komunikasi dan informasi. Sebab berbagai hal ini akan menjadi faktor-faktor penentu keberhasilan konsolidasi demokrasi. 3.8.2. Kondisi Awal RPJMN 2004-2009 (Tahun 2004-2005) Pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, Indonesia masih diwarnai dengan beberapa permasalahan, antara lain: 1. Belum optimalnya implementasi peran dan fungsi lembaga-lembaga politik. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur dan substansi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta disahkannya sejumlah peraturan perundangundangan. Hal ini berdampak pada tuntutan yang semakin kuat atas pelaksanaan peran dan fungsi lembaga-lembaga terkait untuk lebih optimal dalam menciptakan hubungan kekuasaan yang seimbang (checks and balances). Yang pada gilirannya menentukan keberhasilan pelaksanaan konsolidasi demokrasi. Demikian pula, reformasi atas konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada diperlukan untuk memperkokoh peran dan fungsi lembagalembaga yang sudah ada; 2. Pola hubungan negara dan masyarakat yang belum sesuai dengan kebutuhan demokratisasi. Pola hubungan negara dan masyarakat yang konstruktif harus diciptakan untuk mendorong proses konsolidasi demokrasi. Perlu ruang dan tanggungjawab yang lebih besar bagi masyarakat untuk memiliki dinamika sendiri dalam menyelesaikan persoalan secara lebih otonom, independen, inovatif. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi mitra negara untuk bersama-sama mendukung pelaksanaan konsolidasi demokrasi;

169

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Belum optimalnya hubungan kelembagaan pusat dan daerah. Otoda diharapkan dapat diterapkan sesuai dengan loso dasarnya, yakni menempatkan pembangunan daerah sesuai dengan potensi lokal dan aspirasi masyarakatnya. Otoda juga diharapkan dapat berjalan searah dengan proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Namun, pelaksanaannya sampai saat ini masih menemui banyak kendala. Hal ini ditandai dengan adanya distorsi dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan serta masih adanya dampak sentralisasi pemerintahan di masa lalu; 4. Masih adanya persoalan-persoalan masa lalu yang belum tuntas, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik. Demokratisasi akan mengalami kendala apabila persoalan-persoalan masa lalu belum dapat diselesaikan. Persoalan-persoalan tersebut berpotensi menjadi sumber konik dan disintegrasi sosial di masa yang akan datang; 5. Media massa belum menjalankan fungsinya secara otonom dan independen. Media massa masih dipandang sebagai pihak yang kerap dengan sengaja memperkeruh konik dan mengadu domba pihak-pihak yang berbeda pendapat. Padahal, media massa berkewajiban untuk memberitakan secara obyektif realitas yang ada agar persoalan dapat diatasi sesuai faktanya. Di sisi lain, pengekangan terhadap media massa justru berbahaya dan dapat menimbulkan distorsi informasi yang berpihak kepada kelompok tertentu. Di samping berbagai permasalahan tersebut, pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, Indonesia telah berhasil menempatkan proses pembangunan kelembagaan politik pada jalur dan arah yang benar. Oleh karena itu, tanggung-jawab untuk memelihara proses pembangunan kelembagaan politik demokrasi tahun-tahun berikutnya harus tetap dijaga sesuai dengan amanat konstitusi. Tanggung jawab ini pada gilirannya akan meningkatkan kualitas serta praktik kelembagaan yang

ada sehingga bisa memenuhi harapan perbaikan dan perubahan masyarakat. Dalam mendukung dan menjaga arah proses demokratisasi yang positif, persoalan proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) serta hubungan eksekutif dan legislatif perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa proses Pilkada sering tidak adil dan demokratis. Selain itu, hubungan eksekutif dan legislatif masih sering mempengaruhi kepastian politis dan/atau menimbulkan potensi kesalahpahaman yang berimplikasi negatif bagi kinerja kedua lembaga. Sejujurnya, meski sebagian besar Pilkada sukes secara damai dilakukan, masih terdapat pelaksanaan Pilkada yang menghasilkan konik. Selain itu, terdapat pula eksekutif dan legislatif yang memiliki hubungan tidak harmonis. Tentu saja, ini semua berpotensi mengganggu stabilitas proses demokratisasi ke depan. Sementara itu, MK dalam usianya yang relatif muda telah menunjukkan kewibawaan sekaligus ketegasan dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Ke depan, dengan semakin meningkatnya kapasitas dan kemampuan MK, diharapkan akan dapat mendorong perjalanan proses demokratisasi. Proses pembangunan kelembagaan politik demokrasi akan semakin mantap dengan adanya dukungan lembaga politik. Hal ini merupakan kunci penting dalam menjaga momentum proses demokratisasi yang positif. Hal lain yang tidak kalah penting adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat serta komunikasi dan dialog yang konstruktif antar-anggota masyarakat. Hal ini sangat penting dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Pemanfaatan ruang bagi terbukanya penyelesaian konik sosial politik harus dioptimalkan guna meminimalkan eskalasi konik. Dalam menjaga proses demokratisasi, pemantapan komunikasi politik harus dilakukan tidak hanya antar pemerintah, tetapi juga antar Pemerintah dan masyarakat. Terkait dengan ini, masih

170

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

banyak dijumpai sejumlah kendala dan ketidaklancaran komunikasi dan informasi (kominfo) dalam pemantapan komunikasi politik. Hal ini menyebabkan belum optimalnya kontrol yang sehat dan memadai terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Sementara itu, tuntutan masyarakat dalam mewujudkan demokrasi bidang kominfo semakin kuat. Keinginan untuk mewujudkan komunikasi yang bersifat bottom up dan interaktif berimplikasi pada upaya peningkatan keterbukaan dan kebebasan masyarakat dalam memperoleh informasi publik. Peran Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator harus terus diarahkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

Adapun maksud dari sasaran-sasaran dalam Agenda Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh tersebut diarahkan untuk: 1. Mewujudkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh dengan mempertegas tugas, wewenang, dan tanggungjawab dari seluruh kelembagaan negara/Pemerintahan yang berdasarkan mekanisme checks and balances; 2. Memperkuat peran masyarakat sipil (civil society) dan meningkatkan kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; 3. Mewujudkan pelembagaan dan mendorong berjalannya rekonsiliasi nasional beserta segala kelengkapan kelembagaannya; serta 4. Menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengkomunikasikan kepentingan masyarakat.

Dalam mendukung dan menjaga arah proses demokratisasi yang positif, persoalan proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) serta hubungan eksekutif dan legislatif perlu diperhatikan. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa proses Pilkada sering tidak adil dan demokratis
Sasaran prioritas dalam Agenda Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh adalah tetap terpeliharanya momentum awal konsolidasi demokrasi yang sudah terbentuk berdasarkan hasil Pemilu 2004. Adapun sasaran lain yang ingin dicapai antara lain: 1. Terlaksananya peran dan fungsi lembaga penyelenggara negara dan lembaga kemasyarakatan sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik; 3. Terlaksananya Pemilu yang demokratis, jujur, dan adil pada 2009.

3.8.3. Pencapaian 2005-2008 3.8.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Berbagai upaya telah dilaksanakan dalam mencapai sasaran yang ada. Secara umum berbagai upaya ini telah menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, terlihat dari meningkatnya kebebasan masyarakat dalam berkumpul dan berorganisasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan mendapatkan informasi. Selain itu, sejumlah perbaikan struktural konstitusional telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga demokrasi, baik yang lama maupun yang baru terbentuk. Perbaikan ini antara lain berupa penetapan sejumlah perundang-undangan baru dalam bidang politik, yang memang bertujuan meningkatkan kualitas proses konsolidasi demokrasi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Komunikasi politik transparan, penegakan hukum dan perundang-undangan, serta hubungan antar lembaga yang baik diharapkan dapat meEvaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

171

ningkatkan kualitas peran dan fungsi lembagalembaga politik dan sosial kemasyarakatan. Hal ini sangat penting sebagai landasan bagi terbangunnya fondasi kerjasama yang lebih konstruktif dan berkelanjutan antar lembaga, sesuai dengan amanat konstitusi. Adapun secara lebih spesik capaian dari berbagai upaya di atas hingga 2008 adalah: 1. Program Penyempurnaan dan Penguatan Kelembagaan Demokrasi Program ini bertujuan melembagakan fungsifungsi dan hubungan yang kokoh dan optimal antara lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga politik lainnya, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pencapaian dari pelaksanaan program ini sampai 2008 adalah cukup menggembirakan. Pada 2008 telah disahkan beberapa UU terkait dengan pelaksanaan Pemilu, yaitu UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sebelumnya telah ditetapkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, yang berfungsi sebagai pedoman bagi penyelenggaraan Pemilu di 2009. Semua UU ini berupaya secara optimal mengakomodasikan berbagai tuntutan penguatan kelembagaan pemilu berdasarkan aspirasi politik masyarakat. Berbagai UU ini juga berupaya meningkatkan kemandirian, integritas dan kredibilitas lembaga yang terkait penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, UU tersebut diharapkan menjadi alat untuk mencegah berbagai benturan kepentingan (conict of interest) yang mungkin terjadi.

Pembangunan kelembagaan mendapatkan angin segar juga dengan berhasil diundangkannya UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Diundangkan KKR diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah persoalan pelanggaran HAM di masa lalu secara damai. Kemajuan pelembagaan demokrasi yang juga menonjol adalah keikutsertaan calon independen dalam pilkada, melalui keputusan MK di 2007 mengabulkan judicial review terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemda. Hal ini merupakan tonggak penting bagi perluasan ruang kebebasan politik masyarakat luas dan peningkatan kualitas proses rekrutmen kepemimpinan politik di lndonesia. Calon independen diharapkan menjadi pemicu motivasi calon-calon dari parpol untuk mempersiapkan diri secara lebih baik. Calon independen dalam pilkada juga memperkaya pilihan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang lebih baik. 2. Program Perbaikan Proses Politik Pada 2008, perbaikan mekanisme pelaksanaan pilkada terus dilakukan melalui evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kelemahan yang ada selama pelaksanaan pilkada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menjadi krusial di tengah-tengah upaya intensif mempersiapkan pelaksanaan Pemilu presiden dan wakil presiden serta Pemilu legislatif secara demokratis, jujur dan adil pada 2009. Pilkada dan pPemilu nasional diharapkan dapat saling memperkuat dalam memberikan kontribusi bagi penguatan pelembagaan demokrasi di Indonesia. Dengan diselesaikannya pembahasan dan ditetapkan semua UU bidang politik, maka pada 2008 peraturan pelaksanaan/petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis penyelenggaraan Pemilu 2009 sudah diselesaikan penyusunannya. Di samping itu pada 2008 sudah dapat dilakukan juga penyempurnaan dan perbaikan data pemilih; verikasi peserta pemilu dan validasi calon anggota legislatif; penyediaan sarana dan prasarana pendukung Pemilu 2009; dan proses penyediaan logistik Pemilu 2009 terutama untuk Pemilihan

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pilkada dan Pemilu nasional diharapkan dapat saling memperkuat dalam memberikan kontribusi bagi penguatan pelembagaan demokrasi di Indonesia

172

Bagian 3

Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD. Secara kelembagaan, pada 2008 dicapai peningkatan yang cukup signikan dalam hal kapasitas, termasuk kualikasi, profesionalisme dan kompetensi aparatur Pemerintah dan KPU, KPUD Provinsi, KPU Kabupaten/Kota. Hal penting lain tercapai pada 2008 adalah peningkatan kapasitas dan kesiapan parpol dan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan politik masyarakat. Pada Pemilu 2009 partisipasi politik diharapkan makin otentik berdasarkan kesadaran politik warga yang lebih tinggi, tidak sekedar ikut-ikutan kelompok atau golongan yang memobilisasi masyarakat untuk kepentingan-kepentingan sempit. Terwujudnya akuntabilitas politik dan publik secara wajar tidak hanya merupakan kepentingan politik masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, melainkan juga merupakan kepentingan yang melekat erat pada lembaga-lembaga politik dan publik itu sendiri. Kesenjangan yang tajam dan berkelanjutan antara akuntabilitas dengan aspirasi dan harapan masyarakat dapat membahayakan kepercayaan pada kelembagaan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah, termasuk kepada proses maupun seluruh bangunan konstitusional dan perundang-undangan yang berlaku. Pengalaman membuktikan bahwa meningkatnya keterasingan proses politik dan penyelenggaraan negara dari aspirasi politik dan kehidupan nyata masyarakat tidak menguntungkan bagi semuanya. Gagasan utama penguatan kelembagaan checks and balances dan penguatan Otoda sesungguhnya adalah memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan politik dan publik. Apabila hal ini tidak menjadi perhatian sejak awal konsolidasi demokrasi Indonesia, maka terbangunnya demokrasi jalanan, yang tidak diinginkan semua dapat terjadi. Hal ini tidak lain adalah pemaksaan kehendak di luar prosedur kelembagaan dan konsensus dalam kerangka peraturan

perundangan. Yang apabila berkelanjutan tidak mustahil membawa kepada krisis serius terhadap kehidupan politik dan stabilitas keamanan nasional. Oleh karena itu, peningkatan akuntabilitas politik dan publik merupakan suatu keharusan dalam membangun demokrasi. Pada tingkat masyarakat, kebebasan sipil juga memperlihatkan banyak hal yang perlu diapresiasi. Rakyat makin sadar akan hak-hak mereka, didukung oleh media cetak dan penyiaran, makin berani (kualitas dan kuantitas) bersuara keras dalam menyampaikan aspirasi, termasuk ketidakpuasan dan protes. Pemerintah dan DPR dengan sadar melindungi dan mendukung perkembangan ini, sekaligus menerapkan mekanisme kontrol, agar tidak ada kebijakan Pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Dalam upaya perbaikan proses politik dilaksanakan kegiatan antara lain: perumusan pedoman, parameter dan standar kinerja uji kelayakan pejabat publik dan politik; fasilitasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dengan menitikberatkan pada adanya peningkatan komunikasi yang sehat, bebas dan efektif; serta kajian pengembangan mekanisme konsultasi publik. Di samping itu telah dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung seperti pemberian bantuan kepada 130 ormas pada 2007-2008. Penyusunan draft RUU Keormasan yang telah dibahas secara internal, saat ini dalam proses penyempurnaan untuk didiskusikan lebih lanjut dengan ormas dan akademisi dalam rangka mendapat masukan. Kegiatan lain adalah tersusunnya Buku Pedoman Pelaksanaan Program Perkuatan dan Pengembangan Wawasan Kebangsaan Tahun 2006; tersosialisasinya Pedoman Pelaksanaan Program Perkuatan dan Pengembangan Wawasan Kebangsaan Tahun 2006; tersusunnya Permendagri No. 25 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Permendagri No. 32 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengajuan dan Pertanggungjawaban Keuangan Parpol.

173

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pemerintah juga memfasilitasi Penyusunan Kerangka Kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di daerah; penyempurnaan produk hukum pelaksanaan pemilu, pilpres dan pilkada; menyosialisasi Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah dan Permendagri No. 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah. 3. Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa Di bidang komunikasi dan informasi, terjaminnya kebebasan dan independensi pers merupakan keuntungan bagi semua pihak, baik masyarakat maupun Pemerintah. Media massa diharapkan dapat memainkan peran yang sangat strategis untuk menyukseskan Pemilu 2009 dan menjadi watchdog yang dapat menjadi mata dan telinga masyarakat untuk mengawal proses politik yang sangat penting ini. Semua pihak berkepentingan pelembagaan pers yang mendukung transparansi dan akuntabilitas proses penyelenggaraan pemilu. Dalam kaitan ini, telah ditetapkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang perlu segera disusun peraturan pelaksanaan serta sosialisasinya kepada publik. Selain itu, dalam rangka mewujudkan tujuan program ini telah diterbitkan sejumlah PP bidang penyiaran, khususnya perizinan dalam rangka mewujudkan efektivitas pelaksanaan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Melalui peraturan ini diharapkan hak-hak masyarakat mendapatkan informasi (right to know) akan semakin terjamin, juga kewajiban Pemerintah untuk menyampaikan informasi publik yang dibutuhkan oleh masyarakat (obligation to tell). Berkaitan dengan prinsip ini, Pemerintah juga menyusun beberapa peraturan perundangan berupa PP dan Menteri (Permen), khususnya di bidang penyiaran dan pers. Penyusunan draft Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PNBP Bidang Penyiaran, telah se-

lesai dan telah dikirim ke Departemen Keuangan (Depkeu). Di samping itu, Pemerintah telah menyusun Permen terkait dengan perizinan. Permen yang dimaksud adalah Permen yang berkaitan dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), yaitu: 1. Permen Nomor 17 Tahun 2006 tanggal 7 Juni 2006 tentang Tatacara Penyesuaian IPP bagi LPS yang Telah Memiliki ISR dari Ditjen Postel dan/atau Izin Siaran Nasional untuk TV dari Departemen Penerangan dan bagi LPB yang telah Memiliki Izin Penyelenggaraan TV Berbayar dari Ditjen Postel dan/atau Izin Penyelenggaraan Siaran TV Berlangganan dan Departemen Penerangan; 2. Permen Nomor 08 Tahun 2007 tentang Tatacara Perizinan dan Penyelenggaraan Penyiaran LPS; 3. Permen Nomor 14 Tahun 2007 Tanggal 24 April 2007 tentang Tatacara dan Kriteria Seleksi Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Penyelenggaraan Penyiaran; 4. Permen Nomor 15 Tahun 2007 tanggal 26 April 2007 tentang Perubahan atas Permen Kominfo Nomor 08 Tahun 2007 Tentang Tatacara Perizinan dan Peneyelenggaraan Penyiaran LPS; 5. Permen Nomor 22 Tahun 2007 Tanggal 30 April 2007 tentang Perubahan Kedua atas Permen Kominfo Nomor: 08 Tahun 2007 tentang Tatacara Perizinan dan Penyelenggaraan Penyiaran LPS. Berdasarkan Permen-permen tersebut di atas, telah dikeluarkan izin untuk LPS Radio sebanyak 315 IPP, dan LPS TV sebanyak 10 IPP; 6. Permen Nomor 25 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang Penggunaan Sumberdaya Dalam Negeri Untuk Produk Iklan yang disiarkan melalui Lembaga Penyiaran. Permen ini merupakan nalisasi dari Rancangan Permen tentang Siaran Iklan Layanan Masyarakat pada Lembaga Penyiaran.

174

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

Kegiatan lain yang terkait dengan program ini adalah meningkatkan sarana e-government di pusat dan daerah; peningkatan dan pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi termasuk sarana prasarananya serta pengembangan sistem jaringannya; dan kajian terhadap kebijakan yang terkait dengan kominfo. Di samping itu, untuk meningkatkan layanan informasi publik dilakukan kegiatan peningkatan arus informasi melalui berbagai media, pengembangan dan pembinaan jaringan komunikasi dan informasi, serta perencanaan dan pengembangan kebijakan kominfo termasuk penyusunan peraturan pelaksanaannya. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai kelanjutan dalam mempercepat pencapaian target yang ditetapkan antara lain peningkatan arus informasi dengan lembaga media dengan menyusun data dan informasi media elektronik di beberapa provinsi, serta pemberian bantuan TV dan radio untuk daerah terpencil dan perbatasan. Di samping itu, perencanaan dan pengembangan kebijaksanaan bidang komunikasi dan informasi dengan melakukan sosialisasi pemetaan segmentasi pasar usaha penyiaran di beberapa provinsi (Kaltim, Papua, Maluku, NTB, Aceh, Riau, Jambi, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat), kajian dan sosialisasi siaran digital serta monitoring dan evaluasi terhadap uji coba siaran digital (Surabaya, Jakarta, Medan, Makasar, Banjarmasin dan Jayapura). Dalam rangka meningkatkan kemampuan SDM aparatur Pemerintah, institusi pendidikan, dunia usaha dan masyarakat di bidang komunikasi dan informatika sesuai dengan standar kompetensi profesi, dilaksanakan kegiatan pemberian beasiswa pendidikan gelar Strata Dua (S2) dan Strata Tiga (S3) bidang kominfo di dalam dan di luar negeri bagi masyarakat umum, institusi pendidikan serta pimpinan Pemerintahan pusat dan daerah. Pada 2007, beasiswa diberikan untuk S2/S3 dalam negeri sebanyak 55 orang dan untuk S2/S3 luar negeri sebanyak 75 orang. Program ini dilanjutkan pada 2008 dengan menyediakan beasiswa untuk S2/S3

di dalam negeri bagi 169 orang dan ke luar negeri untuk sebanyak 54 orang. Pemberian beasiswa ini diharapkan meningkatkan daya saing, yang pada gilirannya akan meningkatkan literasi dan profesionalisme masyarakat di bidang kominfo. Terlaksananya kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan akan meningkatkan pelayanan Pemerintah dan media massa dalam memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang baik dan benar serta bertanggungjawab. Dengan demikian, misi pembangunan jangka panjang mewujudkan masyarakat demokratis berdasarkan hukum dengan memperkuat peran masyarakat sipil dan menjamin pengembangan dan kebebasan media pada saatnya nanti dapat diwujudkan secara bertahap. 3.8.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Beberapa persoalan menonjol yang akan dihadapi pada 2009 adalah menyangkut rendahnya kapasitas dan kredibilitas parpol. Padahal dengan menguatnya tuntutan dan aspirasi politik masyarakat, keberadaan parpol sebagai infrastruktur demokrasi diharapkan semakin kokoh. Masalah lain adalah pengawasan yang lemah dan kurang transparannya sistem penyelenggaraan Pemilu, serta masih rendahnya pamahaman atas etika politik para penyelenggara negara. Oleh karena itu, peningkatan capacity building lembaga-lembaga penyelenggara negara masih tetap fokus pada 2009, dengan tekanan pada pentingnya akuntabilitas politik dan publik. Selain itu, media massa yang sering dianggap sebagai pilar keempat demokrasi belum mampu memainkan perannya secara optimal dalam alat kontrol sosial politik dan pencerdasan masyarakat. Di satu sisi, media massa masih menghadapi berbagai ancaman non-teknis seperti ancaman kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada sisi lain, profesionalisme media massa dalam menjalankan peran strategisnya masih lemah. Lebih jauh, secara obyektif dapat dikatakan bah-

175

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

wa masih adanya inkonsistensi peraturan perundangan dalam bidang media massa. Seringkali, media massa menghadapi tuntutan kriminal berat dalam menjalankan profesinya, yang sesungguhnya dilindungi perundang-undangan, karena permasalahan etika jurnalistik. Faktor penghambat lain adalah tidak optimalnya persiapan pelaksanaan kegiatan terutama dalam mempertimbangkan ketersediaan waktu, misalnya terkait dengan penyelesaian revisi undang-undang bidang politik dan peraturan perundangan lainnya.

milu 2009 agar dapat berpartisipasi aktif. Dalam hal ini, kegiatan komunikasi perlu dirumuskan untuk lebih memperkuat kerjasama antar-lembaga Pemerintahan dan juga interaksinya dengan masyarakat dalam mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 2009; 3. Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang ada melalui pendalaman dokumen perencanaan, khususnya RPJMN dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk meningkatkan esiensi dan efektivitas capaian kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan; 4. Menyikapi keterlambatan penyelesaian RUU KIP dengan mendorong Departemen Komunikasi dan Informatika dan DPR untuk berkomitmen menyelesaikannya sesuai dengan target yang ditetapkan. Hal ini mengingat semakin besarnya tuntutan publik terhadap informasi yang cepat, akurat dan benar sesuai UUD 1945 pasal 28 F. Isi pasal ini menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Untuk 2008, berbagai hal ini menjadi prioritas penyelesaian dan target pembuatan peraturan pelaksanaan. 3.8.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Melalui berbagai upaya sejak awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, perkiraan pencapaian akhir dari sasaran-sasaran tersebut adalah: 1. Program Penyempurnaan dan Penguatan Kelembagaan Demokrasi Sasaran RPJMN 2004-2009 melalui program ini akan dilaksanakan melalui upaya peningkatan kapasitas, kredibilitas, dan akuntabilitas lembaga demokrasi serta peningkatan partisipasi politik masyarakat. Adapun perkiraan pencapaian sasaran tersebut diantaranya:

3.8.4. Tindak Lanjut 3.8.4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Pemilu 2009 menentukan tingkat partisipasi politik aktif dan kepercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga demokrasi di masa mendatang. Kegagalan atau kurang berhasilnya Pemilu 2009 dapat merupakan langkah mundur bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. Sebaliknya penyelenggaraan Pemilu 2009 secara sukses akan membawa kita pada proses konsolidasi demokrasi yang lebih tinggi dan lebih maju. Untuk menindaklanjuti berbagai kegiatan dalam program perwujudan lembaga demokrasi yang kokoh, maka upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran-sasaran RPJMN 20042009 yang termuat dalam Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis adalah: 1. Meningkatkan kapasitas dan kredibilitas lembaga-lembaga demokrasi. Hal ini perlu dirumuskan secara cermat. Keseluruhan lembaga-lembaga ini diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewenangan seoptimal mungkin secara terarah dan bertahap; 2. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 dan Pilkada, tidak hanya pada aspek kelembagaannya saja, tetapi juga dalam mempersiapkan masyarakat menjelang Pe-

176

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 3

1. Terfasilitasinya penyelesaian perbaikan UU bidang politik dan penyusunan peraturan pelaksanaan serta sosialisasinya; 2. Terfasilitasinya penyempurnaan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di daerah khusus, terutama Provinsi NAD dan Papua; 3. Peningkatan kualitas, kredibilitas dan akuntabilitas lembaga eksekutif; 4. Peningkatan kapasitas kelembagaan KPU Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dan lembaga penyelenggara pemilu lainnya; 5. Peningkatan kualikasi dan kompetensi aparatur Pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu dalam menghadapi Pemilu 2009; 6. Terfasilitasinya pendidikan politik bagi pemilih di seluruh provinsi dan kabupaten/kota serta perwakilan RI di luar negeri; 7. Terlaksananya penelitian dan pengkajian, terutama yang terkait dengan pemantapan pelaksanaan desentralisasi dan Otoda, sistem Pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem pemilu; 8. Terfasilitasinya peningkatan kapasitas kelembagaan DPR, DPRD, DPD dan MPR; 9. Terfasilitasinya peningkatan kapasitas dan kredibilitas DPR, DPRD, DPD, dan MPR dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya; 10. Terfasilitasinya peningkatan efektivitas mekanisme atau saluran partisipasi dan pengawasan politik masyarakat terhadap DPR, DPRD, DPD dan MPR; serta 11. Terfasilitasinya peningkatan peran partai politik dan masyarakat sipil. 2. Program Perbaikan Proses Politik Seperti halnya Program Penyempurnaan dan Penguatan Kelembagaan Demokrasi, Program Perbaikan Proses Politik ini akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran suksesnya pelaksanaan Pemilu 2009, khususnya Pemilu legislatif dan menurun-

nya praktik-praktik disinsentif yang menghambat penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. Adapun capaian yang diharapkan akan terwujud meliputi: 1. Perbaikan mekanisme Pemilu dan Pilkada; 2. Fasilitasi penyelenggaraan Pilkada; 3. Peningkatan komunikasi politik; 4. Penyelesaian peraturan pelaksanaan/petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis untuk penyelenggaraan Pemilu 2009; 5. Penyempurnaan dan perbaikan data pemilih; 6. Verikasi peserta Pemilu dan validasi calon anggota legislatif; 7. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung Pemilu 2009; 8. Penyediaan logistik Pemilu 2009; 9. Perbaikan proses penyusunan dan penerapan kebijakan publik nasional; serta 10. Pengembangan penelitian dan pengkajian kebijakan publik nasional. 3. Program Pengembangan Komunikasi, Informasi dan Media Massa. Untuk program ini, sasaran RPJMN 2004-2009 adalah memperluas akses masyarakat terhadap informasi publik. Berbagai kegiatan telah dilaksanakan untuk mencapai sasaran ini. Adapun perkiraan pencapaian sasaran Program Pengembangan Komunikasi, Informasi, dan Media Massa adalah: 1. Disempurnakannya UU Pers dan Penyiaran serta peraturan pelaksanaan dan sosialisasi; 2. Diselesaikannya UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KIP atau Keterbukaan Informasi Publik) serta peraturan pelaksanaan dan sosialisasi; 3. Ditetapkannya UU KIP yang DIM-nya saat ini sedang dalam tahap penyelesaian pembahasan. Setelah itu dilanjutkan pula dengan peraturan pelaksanaan dan sosialisasi;

177

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4. Dilaksanakannya pengkajian dan penelitian bidang komunikasi dan informasi; 5. Terfasilitasinya peningkatan SDM bidang komunikasi dan informasi; 6. Terlaksananya sosialisasi nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan melalui berbagai media; 7. Meningkatnya komunikasi politik antar-penyelenggara negara bidang komunikasi dan informasi; 8. Meningkatnya kerjasama dengan lembaga informasi masyarakat dan media; serta 9. Menguatnya kelembagaan komunikasi dan informasi.

bentuk berdasarkan hasil Pemilu 2004. Sasaran ini juga bertujuan agar terlaksananya peran dan fungsi lembaga penyelenggara negara dan lembaga kemasyarakatan sesuai konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, dan terlaksananya Pemilu yang demokratis, jujur, dan adil pada 2009. Namun demikian, efektivitas dari seluruh pencapaiannya tersebut sangat tergantung pada pelaksanaan dan hasil yang ditargetkan. Secara keseluruhan, seluruh kegiatan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kegiatan pokok yang ditetapkan guna mencapai sasaran dan arah kebijakan Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis. Hingga akhir RPJMN 20042009, diperkirakan sejumlah pencapaian dalam 4 tahun terakhir masih belum mampu mendorong pencapaian target pada akhir kelima. Namun demikian, hasil yang telah diraih itu merupakan pijakan dalam proses mewujudkan lembaga demokrasi yang makin kokoh. Efektivitas, konsistensi, dan kesinambungan harus terus diupayakan agar sasaran RPJMN 2004-2009 dapat tercapai.

3.8.5. Penutup Pelaksanaan berbagai rangkaian kegiatan dalam 3 kebijakan program Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis diharapkan dapat mewujudkan sasaran prioritas Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh. Sasaran prioritas tersebut bertujuan memelihara momentum awal konsolidasi demokrasi yang sudah ter-

178

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4 Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat


Bab 4.1 Bab 4.2 Bab 4.3 Bab 4.4 Bab 4.5 Bab 4.6 Bab 4.7 Bab 4.8 Bab 4.9 Bab 4.10 Bab 4.11 Bab 4.12 Bab 4.13 Bab 4.14 Bab 4.15 Bab 4.16 Bab 4.17 Bab 4.18 Bab 4.19 Bab 4.20 Pengantar Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Penanggulangan Kemiskinan Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Revitalisasi Pertanian Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peningkatan Pengelolaan BUMN Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peningkatan Iklim Ketenagakerjaan Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro Pembangunan Perdesaan Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama Perbaikan Pengelolaan SDA dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Percepatan Pembangunan Infrastruktur Penanggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana

Dok : Bappenas

Bagian 4

BAB 4.1
Pengantar Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat memuat 5 sasaran pokok dengan 19 prioritas beserta arah kebijakannya. SASARAN PERTAMA adalah menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga. Kemiskinan dan pengangguran diatasi dengan strategi pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang berkualitas dan berdimensi pemerataan melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 adalah Penanggulangan Kemiskinan dengan kebijakan yang diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin yang meliputi hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumberdaya alam, rasa aman, serta hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik. Peningkatan Investasi dan Ekspor NonMigas dengan kebijakan yang diarahkan untuk menghapus ekonomi biaya tinggi antara lain dengan: menyederhanakan prosedur perizinan investasi, termasuk bagi UKM; menciptakan kepastian hukum yang menjamin kepastian usaha, termasuk mengurangi tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah serta antar sektor; menyempurnakan kelembagaan investasi yang berdaya saing, esien, transparan, dan non-diskriminatif; menyederhanakan administrasi perpajakan dan kepabeanan melalui reformasi perpajakan dan kepabeanan; menciptakan insentif investasi yang tepat sasaran dalam upaya penyebaran investasi yang makin banyak ke luar Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia; mendorong pemulihan fungsi intermediasi perbankan; meningkatkan penyediaan infrastruktur; revitalisasi kelembagaan promosi ekspor; meningkatkan pelayanan support at company level; pengembangan sarana pembiayaan perdagangan; serta memperkuat kelembagaan pengamanan perdagangan internasional (safeguard/anti-dumping). Selanjutnya untuk meningkatkan penerimaan devisa, kebijakan pariwisata diarahkan untuk meningkatkan efektivitas promosi dan pengembangan produkproduk wisata dan meningkatkan sinergi dalam jasa pelayanan pariwisata.

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur dengan kebijakan diarahkan untuk meningkatkan utilitas kapasitas terpasang; memperkuat struktur industri; memperkuat basis produksi; meningkatkan daya saing dengan tekanan pada

181

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Prioritas pembangunan nasional 20042009 adalah Penanggulangan Kemiskinan dengan kebijakan yang diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin

Dok : PolaGrade (Fadil Aziz)

industri-industri yang menyerap lebih banyak tenaga kerja; memenuhi kebutuhan dalam negeri; memiliki potensi ekspor; serta mengolah sumberdaya alam di dalam negeri. Revitalisasi Pertanian dalam arti luas yang diarahkan untuk mendorong pengamanan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, diversikasi, peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan untuk peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan, melalui: (1) peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta penguatan lembaga pendukungnya; (2) pengamanan ketahanan pangan; (3) peningkatan akses petani dan nelayan kepada sumberdaya produktif seperti teknologi, informasi pemasaran, pengolahan dan permodalan; (4) perbaikan iklim usaha dalam rangka meningkatkan diversikasi usaha dan memperluas kesempatan berusaha; (5)

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

peningkatan kemampuan manajemen dan kompetensi kewirausahaan di kalangan pelaku usaha bidang pertanian dan perikanan; (6) mendorong peningkatan standar mutu komoditas, penataan dan pengembangan industri pengolahan produk pertanian dan perikanan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah; (7) peningkatan esiensi sistem distribusi, koleksi dan jaringan pemasaran produk untuk perluasan pemasaran; dan (8) peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan optimasi pemanfaatan hutan alam, pengembangan hutan tanaman serta hasil hutan non-kayu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) agar memberikan kon-

182

Bagian 4

tribusi yang signikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; (2) mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah; (3) memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender dengan cara memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perizinan, memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan, memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi; (4) memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan, termasuk mendorong peningkatan ekspor; (5) meningkatkan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar domestik, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak; dan (6) meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sesuai dengan jati dirinya. Peningkatan Pengelolaan BUMN dalam rangka meningkatkan kinerja dan daya saing BUMN dengan kebijakan yang diarahkan untuk melanjutkan restrukturisasi BUMN yang semakin terarah dan efektif sesuai dengan orientasi dan fungsinya. Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) meningkatkan fokus dan kapasitas litbang iptek; (2) mempercepat proses difusi dan pemanfaatan hasil-hasil iptek; (3) memperkuat kelembagaan iptek; dan (4) menciptakan iklim inovasi dalam bentuk skema insentif. Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan dengan pengembangan kebijakan pasar tenaga kerja yang eksibel dan penataan hubungan industrial yang mencerminkan asas keadilan dan kondusif bagi peningkatan produktivitas dan inovasi. Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro yang diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan

stabilitas ekonomi makro yang telah dicapai dengan memberi ruang yang lebih luas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan itu, upaya yang ditempuh mencakup: (1) penyusunan formulasi APBN dengan tujuan mengembalikan kemampuan skal sebagai salah satu instrumen perekonomian yang efektif untuk menciptakan lapangan kerja melalui dorongan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkualitas; (2) pengembangan strategi pengelolaan pinjaman luar negeri sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan dengan mendasarkan pada prinsip pengelolaan yang esien dan memungkinkan meningkatnya kemampuan membayar; (3) peningkatan koordinasi kebijakan skal dan moneter antara Pemerintah dan Bank Indonesia dengan tetap menjaga peran masing-masing; serta (4) peningkatan upaya penyehatan dan penertiban lembaga-lembaga keuangan dan perbankan dalam rangka meningkatkan peran lembaga-lembaga tersebut sebagai intermediasi ke sektor-sektor produksi.

SASARAN KEDUA adalah berkurangnya kesenjangan antar-wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan; meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya masyarakat di perdesaan; meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing pengembangan wilayah yang

183

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Pembangunan Perdesaan dengan QIRKIQFERKOERHMZIVWMOEWMOIKMEXER ekonomi perdesaan; meningkatkan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya

didorong oleh daya saing kawasan dan produkproduk unggulan daerah; serta meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Pembangunan Perdesaan dengan mengembangkan diversikasi kegiatan ekonomi perdesaan; meningkatkan promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya; memperluas akses masyarakat perdesaan ke sumberdaya-sumberdaya produktif, pelayanan publik dan pasar; meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan; meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan serta meminimalkan risiko kerentanan; serta mengembangkan praktik-praktik budidaya pertanian dan usaha non-pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah dengan: (1) mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh yang selama ini masih belum berkembang secara optimal, sehingga dapat menjadi motor penggerak bagi wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis; (2) meningkatkan keberpihakan Pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain; (3) mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga, baik dengan menggunakan pendekatan pembangunan melalui peningkatan kesejahteraan

(prosperity approach) maupun keamanan (security approach); (4) menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan antar kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional; (5) meningkatkan keterkaitan kegiatan ekonomi yang berada di wilayah perdesaan dengan yang berada di perkotaan; (6) mengoperasionalisasikan Rencana Tata Ruang sesuai dengan hirarki perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRWProvinsi, RTRW-Kabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor dan antar-wilayah. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Berkualitas dengan kebijakan yang diarahkan untuk menyelenggarakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun; menurunkan secara signikan jumlah penduduk yang buta aksara; meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi; meningkatkan perluasan pendidikan anak usia dini; menyelenggarakan pendidikan non-formal yang bermutu untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang tidak mungkin terpenuhi kebutuhan pendidikannya melalui jalur formal; menurunkan kesenjangan partisipasi pendidikan antar-kelompok masyarakat dengan memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan, terpencil dan kepulauan, masyarakat di daerah konik, serta masyarakat penyandang cacat termasuk melalui penyelenggaraan pendidikan alternatif dan pendidikan khusus; mengembangkan kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan global, regional,

184

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

nasional dan lokal; mengembangkan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan pendidikan budi pekerti termasuk pengembangan wawasan kesenian, kebudayaan, dan lingkungan hidup; menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan serta menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dalam jumlah dan kualitas yang memadai; meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi pendidik; mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan; mengembangkan sistem evaluasi, akreditasi dan sertikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian pendidikan; menyempurnakan manajemen pendidikan dengan meningkatkan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan; meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan; menata sistem pembiayaan pendidikan yang berprinsip adil, esien, efektif, transparan dan akuntabel termasuk penerapan pembiayaan pendidikan berbasis jumlah siswa (student-based nancing) dan peningkatan anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari APBN dan APBD; dan meningkatkan penelitian dan pengembangan pendidikan terutama untuk mendukung upaya mensukseskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang bermutu. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan yang Lebih Berkualitas dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) meningkatkan jumlah, jaringan, dan kualitas pusat kesehatan masyarakat; (2) meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan; (3) mengembangkan sistem jaminan kesehatan, terutama bagi penduduk miskin; (4) meningkatkan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; (5) meningkatkan pendidikan kesehatan kepada masyarakat sejak usia dini; dan (6) meningkatkan pemerataan dan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) mengembangkan sistem perlindungan sosial nasional; (2) meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan sosial

bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial; dan (3) meningkatkan pemberdayaan terhadap fakir miskin, penyandang cacat dan kelompok rentan sosial lainnya. Pembangunan Kependudukan, dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) mengendalikan pertumbuhan penduduk serta meningkatkan keluarga kecil berkualitas dengan: (a) mengendalikan tingkat kelahiran penduduk; (b) meningkatkan pemberdayaan dan ketahanan keluarga; (c) meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja serta pendewasaan usia perkawinan; (d) memperkuat kelembagaan dan jaringan KB; (2) menata pembangunan kependudukan dengan: (a) menata kebijakan persebaran dan mobilitas penduduk secara seimbang; dan (b) menata kebijakan administrasi kependudukan; serta (3) meningkatkan partisipasi pemuda dalam pembangunan dan menumbuhkan budaya olahraga dengan: (a) mewujudkan keserasian kebijakan pemuda di berbagai bidang pembangunan; (b) meningkatkan peran serta pemuda dalam pembangunan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama; (c) meningkatkan potensi pemuda dalam kepeloporan dan kepemimpinan dalam pembangunan; (d) melindungi generasi muda dari bahaya penyalahgunaan NAPZA, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual di kalangan pemuda; (e) mengembangkan kebijakan dan manajemen olahraga; serta (f) membina dan memasyarakatkan olahraga. Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama dengan kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, pemahaman agama dan kehidupan beragama serta peningkatan kerukunan intern dan antar-umat beragama. SASARAN KEEMPAT adalah membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan.

185

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Perbaikan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Mutu Lingkungan Hidup dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) mengelola sumberdaya alam untuk dimanfaatkan secara esien, adil, dan berkelanjutan yang didukung dengan kelembagaan yang handal dan penegakan hukum yang tegas, (2) mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun; (3) memulihkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang rusak; (4) mempertahankan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih dalam kondisi baik untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan, serta meningkatkan mutu dan potensinya; serta (5) meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Upaya ini dilakukan untuk memulihkan kinerja pelayanan dengan titik berat pada perbaikan infrastruktur pertanian dan perdesaan, infrastruktur ekonomi strategis, dan infrastruktur di daerah konik. Upaya selanjutnya adalah perluasan kapasitas infrastruktur dengan fokus pembangunan infrastruktur baru yang diarahkan pada infrastruktur di daerah terpencil dan tertinggal, infrastruktur yang melayani masyarakat miskin, dan infrastruktur yang menghubungkan dan atau melayani antar daerah. Untuk pembangunan infrastruktur, diupayakan agar alokasi anggaran tidak menurun. Adapun untuk mendorong partisipasi swasta, prioritas diletakkan untuk menciptakan dana investasi infrastruktur yang mampu memfasilitasi dan mempercepat realisasi investasi swasta di bidang infrastruktur. Untuk pembangunan sumberdaya air, diarahkan pada upaya konservasi guna mewujudkan keberlanjutan kapasitas pasok sumberdaya air. Pendayagunaan sumberdaya air diarahkan pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari terutama di wilayah rawan desit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis. Selain itu, pendayagunaan juga diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi pertanian rakyat dalam rangka mendukung program ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penyediaan air irigasi dilakukan melalui peningkatan fungsi jaringan irigasi, rehabilitasi, dan peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan dengan mempertimbangkan ketersediaan air dan kesiapan petani, terutama pada daerah lumbung padi nasional. Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir dilakukan dengan menyeimbangkan pendekatan konstruksi dan non-konstruksi. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya air akan

Prioritas pembangunan nasional 20042009 diletakkan pada Perbaikan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Mutu Lingkungan Hidup
Penanganan dan Pengurangan Risiko Bencana dengan kebijakan yang diarahkan untuk: (1) Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang implementasinya dilaksanakan oleh kelembagaan yang kuat; (2) Mengidentikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini; (3) Memanfaatkan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan; (4) Mengurangi akar-akar penyebab risiko bencana; dan (5) Memperkuat kesiapan Pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana di masa mendatang. SASARAN KELIMA adalah membaiknya infrastruktur yang ditunjukkan oleh meningkatnya

186

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

dikembangkan dengan meningkatkan peran dan keterlibatan semua pemangku kepentingan, serta menggali dan mengembangkan modal sosial. Untuk pembangunan perumahan, diprioritaskan pada upaya untuk meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki dan mendiami rumah layak huni melalui peningkatan akses kapital untuk melakukan pembangunan dan perbaikan rumah, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah dan sektor informal; mengembangkan pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) bagi masyarakat berpendapatan rendah, baik yang dibiayai oleh Pemerintah maupun swasta; serta mengurangi luasan kawasan kumuh di kawasan perkotaan, desa nelayan, dan desa ekstransmigran.
Dok : PolaGrade

Untuk pembangunan energi, diprioritaskan pada upaya peningkatan esiensi pemakaian energi; rehabilitasi infrastruktur energi; mengurangi ketergantungan pada impor BBM; meningkatkan pemakaian energi non-BBM; mengurangi subsidi secara bertahap dan sistematis; dan pembangunan infrastruktur energi yang mencakup fasilitas prosesing (kilang minyak, pembangkit tenaga listrik), fasilitas transmisi dan distribusi pipa (gas dan BBM), serta fasilitas depot untuk penyimpanan.

Untuk pembangunan pos dan telematika, diprioritaskan pada upaya peningkatan esiensi melalui restrukturisasi penyelenggaraan pos dan telematika yang meliputi penyehatan dan peningkatan kinerja BUMN penyelenggara pos dan penyiaran, serta penciptaan kompetisi yang setara dan berimbang (level playing eld) pada penyelenggaraan telekomunikasi; meningkatkan akses penyediaan serta layanan pos dan telematika di daerah USD/PSO; dan meningkatkan kemampuan masyarakat dan industri dalam negeri dalam pemanfaatan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya.

187

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Untuk pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, dikedepankan pada upaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum perpipaan dan sanitasi dasar secara nasional yang berkualitas, esien, dengan harga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, dan berkelanjutan; meningkatkan kualitas air permukaan yang dipergunakan sebagai air baku bagi air minum; meningkatkan utilitas Instalasi Pengolah Limbah Tinja (IPLT) dan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) yang telah dibangun; mengembangkan lebih lanjut pelayanan sistem pembuangan air limbah; mengembangkan secara bertahap sistem air limbah terpusat (sewerage system) untuk kotakota metropolitan dan kota besar.

Untuk pembangunan ketenagalistrikan nasional, diarahkan untuk memulihkan jaminan ketersediaan tenaga listrik terutama untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional khususnya di daerah krisis listrik; meningkatkan esiensi sistem kelistrikan nasional di sisi pembangkitan, transmisi, distribusi dan manajemen pengelolaan serta di sisi konsumen; mengembangkan listrik perdesaan dalam rangka mengembangkan sosial ekonomi wilayah perdesaan terutama wilayahwilayah yang memiliki potensi ekonomi produktif dan memiliki potensi energi setempat.

Dok : PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.2
Penanggulangan Kemiskinan

4.2.1. Pengantar Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi. Kemiskinan tidak terbatas sekedar pada ketidakmampuan ekonomi. Akan tetapi, didenisikan sebagai tidak terpenuhinya hak-hak dasar seseorang untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dengan menggunakan pendekatan berbasis hak, kemiskinan dapat diidentikasi dari rendahnya akses terhadap berbagai sumberdaya dan aset produktif yang diperlukan untuk pemenuhan sarana kebutuhan hidup dasar. Sumberdaya dan aset produktif tersebut termasuk: barang dan jasa, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Rendahnya akses ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, kondisi geogras, gender, serta kondisi lingkungan.

dasar melalui serangkaian upaya penanggulangan. Namun, upaya penanggulangan kemiskinan bukanlah hal yang mudah. Hal ini mengingat banyaknya faktor yang melatarbelakangi kemiskinan, luasnya cakupan upaya penanggulangan, serta tingginya ketergantungan pada pelaksanaan dan pencapaian pembangunan di berbagai bidang lain.

4.2.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai 4.2.2.1. Kondisi Awal 4.2.2.1.1. Jumlah Penduduk Miskin Pada awal penyusunan RPJMN 2004-2009, jumlah penduduk miskin di Indonesia relatif besar. Pada 2004 tercatat sebanyak 36,1 juta jiwa atau 16,7 persen dari jumlah penduduk tergolong penduduk miskin. Pada 2005, kondisi terus berlanjut, meski terjadi penurunan penduduk miskin menjadi 35,1 juta jiwa atau 16,0 persen. Tingginya angka kemiskinan ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia. 4.2.2.1.2. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin. Dari sisi permintaan, permasalahan ini disebabkan oleh ber-

Dengan menggunakan pendekatan berbasis hak, kemiskinan dapat diidenXMOEWMHEVMVIRHELR]EEOWIWXIVLEHET berbagai sumberdaya dan aset produktif yang diperlukan untuk pemenuhan sarana kebutuhan hidup dasar
Untuk itu, negara berkewajiban membantu ketidakmampuan masyarakat memenuhi hak-hak

189

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

bagai faktor diantaranya: daya beli yang rendah, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras, dan terbatasnya diversikasi pangan. Di sisi penawaran, permasalah ini erat kaitannya dengan terbatasnya dukungan produksi pangan bagi petani, tata niaga yang tidak esien, penerimaan usaha pertanian pangan yang rendah, serta maraknya penyelundupan. Berbagai masalah tersebut berdampak pada munculnya sejumlah kejadian gizi-buruk di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kejadian ini secara langsung dan tidak langsung terkait dengan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai kecukupan gizi, ditambah dengan musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan rawan pangan karena gagal panen di sejumlah wilayah. 4.2.2.1.3. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan Selain masalah pangan, keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan masyarakat juga merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Dua masalah ini berkaitan erat dengan munculnya kasus kematian yang diakibatkan oleh gizi-buruk. Berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat diantaranya adalah kurang memadainya mutu layanan kesehatan dasar, minimnya layanan kesehatan bagi ibu dan anak, masih adanya keterlambatan pemberian layanan kesehatan, serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya perilaku hidup sehat. Sebagai gambaran bidang kesehatan, di awal penyusunan RPJMN 2004-2009, terdapat sekitar 1,67 juta anak usia 0-4 tahun yang menderita gizi-buruk tahun 2005. Jumlah ini sekitar 8 persen dari seluruh anak di bawah lima tahun (balita) di Indonesia yang mencapai 20,87 juta. Selanjut-

nya, data BPS menunjukkan bahwa angka kematian ibu pada kurun waktu 2006 mencapai 307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah tersebut tiga kali lebih tinggi dari Vietnam dan enam kali lebih tinggi dari Malaysia dan Cina. Selain itu, hanya sekitar 72 persen persalinan ibu yang dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa akses masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan memadai masih terbatas. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap gizi dan kesehatan masih rendah.

Berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat diantaranya adalah kurang memadainya mutu layanan kesehatan dasar, minimnya layanan kesehatan bagi ibu dan anak
Pada saat yang sama, penyakit polio mewabah di Indonesia. Hal ini utamanya disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya imunisasi, terutama pada anak dan balita. Rendahnya kesadaran masyarakat tersebut umumnya dikarenakan ketidaktahuan tersedianya layanan kesehatan di unit-unit kesehatan hingga tingkat kelurahan/desa (Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas) melalui program Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu. Lebih lanjut, faktor utama yang menyebabkan minimnya akses masyarakat miskin pada layanan kesehatan memadai adalah mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Ditambah dengan lokasi fasilitas kesehatan yang terkadang sulit dijangkau dan kepemilikkan jaminan kesehatan yang rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan bahwa hanya sekitar 20,6 persen penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15 persen penduduk yang memiliki Kartu Sehat

190

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

(KS). Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang KS juga menjadi kendala. Penyebab utamanya adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan dan kurang jelasnya pelayanan. 4.2.2.2.4. Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang rendah terhadap pendidikan, baik formal maupun nonformal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 1. Tingginya biaya pendidikan; 2. Terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana penunjang pendidikan; 3. Terbatasnya jumlah dan guru bermutu, terutama di daerah luar kota besar dan komunitas miskin; 4. Terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar; 5. Terbatasnya jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) di daerah perdesaan, daerah terpencil, dan kantong-kantong kemiskinan; serta 6. Terbatasnya jumlah, sebaran, dan mutu kegiatan kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan nonformal. Gambaran tersebut membuktikan bahwa pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu memberikan pelayanan secara merata kepada seluruh golongan masyarakat. Sampai dengan tahun 2004, kesenjangan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin serta antara masyarakat perdesaan dan perkotaan, masih banyak ditemui. Indikator kesenjangan ini ditunjukkan melalui Angka Partisipasi Sekolah (APS) rata-rata, atau rasio penduduk yang bersekolah, untuk kelompok usia 1315 tahun. Pada 2004,

APS rata-rata keseluruhan mencapai angka 83,49 persen. Sementara, APS rata-rata untuk kelompok 20 persen terkaya mencapai 94,58 persen, sedangkan untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 70,85 persen. Kesenjangan lebih besar terjadi pada kelompok usia 1618 tahun. APS golongan usia ini pada kelompok masyarakat terkaya sebesar 76,08 persen dan untuk kelompok termiskin baru mencapai 32,74 persen. Dengan menggunakan indikator Angka Partisipasi Kasar (APK), tingkat partisipasi pendidikan kelompok penduduk miskin juga lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kaya, khususnya untuk jenjang pendidikan di atas SLTP/MTs. APK pada golongan SLTP/MTs pada kelompok termiskin baru mencapai 63,82 persen, sedangkan kelompok terkaya sudah hampir mencapai 97,16 persen. Untuk jenjang pendidikan menengah, APK kelompok termiskin terbesar sebanyak 27,71 persen dan APK kelompok terkaya sebesar 83,92 persen. Selain itu, kesenjangan antar-kelompok masyarakat di Indonesia juga dapat dilihat melalui indikator tingkat buta aksara. Pada 2004, tingkat buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas menunjukkan angka 4,01 persen untuk kelompok terkaya dan 16,9 persen untuk kelompok termiskin. Secara keseluruhan, penyebab utama terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap layanan pendidikan dasar adalah tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk jenjang Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) telah secara resmi dihapuskan, namun pada kenyataannya tetap ada pengeluaran lain di luar iuran sekolah. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ketersediaan fasilitas pendidikan untuk SMP/ MTs dan jenjang lebih tinggi masih sangat terbatas di sejumlah wilayah, terutama daerah perdesaan, daerah terpencil, dan kepulauan.

191

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.2.2.2.5. Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha Pada awal RPJMN 2004-2009, keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga menjadi permasalahan yang penting dan menuntut penanganan yang segera. Kondisi tersebut ditunjukkan melalui tingginya jumlah pengangguran terbuka yang mencapai 10,9 juta orang atau 10,3 persen dari angkatan kerja di awal 2005. Pada saat yang sama, angka setengah pengangguran terpaksa mencapai 14,3 juta orang. Tingginya tingkat pengangguran mendorong banyak masyakarakat bekerja pada lapangan kerja yang kurang produktif. Hal ini pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan yang selanjutnya dapat menyebabkan jumlah penduduk miskin dan rentan jatuh di bawah garis kemiskinan (near poor) semakin tinggi. Dalam hal kesempatan berusaha, kondisi yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses untuk memulai dan mengembangkan koperasi dan bentuk usaha lain, baik dalam skala mikro maupun kecil. Permasalahan yang umum dihadapi dalam hal ini antara lain: sulitnya akses modal dengan suku bunga rendah, hambatan izin usaha, kurangnya perlindungan, rendahnya kapasitas kewirausahaan, dan terbatasnya akses informasi, pasar, bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan teknis dan teknologi.

4.2.2.2.6. Terbatasnya Akses Layanan Perumahan dan Sanitasi Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau masyarakat miskin. Masalah perumahan yang kerap dihadapi adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak huni, rendahnya mutu lingkungan permukiman, serta lemahnya status hukum kepemilikan rumah. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang tidak layak (kumuh). Seringkali satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu keluarga. Kondisi permukiman mereka juga sering tidak dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang memadai.

Dok : KNLH

192

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lebih lanjut, tidak ada lembaga resmi yang memberikan modal dengan persyaratan yang dapat dipenuhi oleh masyarakat miskin. Lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya aset usaha akibat penggusuran menambah deretan pemicu minimnya kesempatan berusaha bagi masyarakat miskin. Usaha koperasi juga sering menghadapi kesulitan untuk menjadi badan hukum karena persyaratan yang sangat rumit, seperti: batas modal, anggota, dan kegiatan usaha.

Penyebab utama kesulitan masyarakat miskin mendapatkan fasilitas tempat tinggal yang sehat dan layak huni adalah ketidakmampuan membayar uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR), bahkan untuk kategori Rumah Sangat Sederhana (RSS). Akibatnya, masyarakat miskin bermukim di areal yang cenderung kumuh dan memiliki sanitasi buruk. Sanitasi buruk akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kesehatan, terutama bagi ibu dan anak-anak. Kondisi ini bisa menjadi lebih buruk karena masyarakat miskin kurang memahami perilaku hidup sehat dalam mengelola sanitasi dan lingkungan hidup (LH).

Bagian 4

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan pesisir, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengalami kesulitan yang sama. Di daerah perdesaan, masalah ini disiasati dengan menumpang pada tempat tinggal anggota keluarga lain yang lebih layak. Sementara, bagi penduduk lokal yang tinggal di pedalaman hutan, masalah perumahan dan permukiman menjadi bagian dari masalah keutuhan ekosistem dan budaya setempat. 4.2.2.2.7. Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih Air bersih menjadi masalah pula yang sering dihadapi masyarakat miskin. Terbatasnya penguasaan sumber air, ketidakterjangkauan jaringan distribusi, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih merupakan penyebab utama dari hal ini. Selain itu, kualitas sumber air yang menurun akibat pencemaran, limbah industri, penggundulan hutan, dan pendangkalan semakin meminimumkan akses masyarakat miskin terhadap air bersih. Bagi masyarakat miskin perkotaan, tingkat kesulitan memperoleh air bersih lebih tinggi. Hal ini karena kondisi kawasan permukiman yang kumuh dan sering kali terletak di pinggiran sungai sehingga menyulitkan fasilitas layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menjangkau lokasi tersebut. Akibatnya, masyarakat miskin perkotaan memanfaatkan sumur galian dan air sungai yang tercemar untuk memenuhi keperluan rumah tangga (RT). Mereka juga terpaksa membeli air dari pengecer dengan harga yang relatif mahal. 4.2.2.2.8. Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Dalam hal pertanahan, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan ketidakpastian pemilikan lahan. Padahal, bagi masyarakat miskin di perdesaan yang sebagian besar merupakan petani, aspek penguasaan dan pemilikan lahan sangat penting guna

memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di lahan pertanian. Jumlah RT petani gurem dengan lahan kurang dari 0,2 hektar (ha), meningkat dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta pada 2003. Hal ini menunjukkan meningkatnya persentase RT petani gurem dari 52,1 persen menjadi 56,2 persen dalam kurun waktu 10 tahun. Artinya, dalam rentang waktu satu dasawarsa, peningkatan penguasaan dan pemilikan lahan bagi petani ternyata tumbuh sangat lambat. 4.2.2.2.9. Memburuknya Kondisi SDA dan LH serta Terbatasnya Akses Masyarakat terhadap SDA Masyarakat miskin di Indonesia sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan SDA dan LH. Penyebab utamanya adalah akses yang terbatas terhadap SDA sebagai sumber mata pencaharian dan penunjang kehidupan sehari-hari. Hal ini diperburuk dengan menurunnya mutu LH yang membuat masyarakat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kepemilikan lahan semakin sempit. Masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian sebagai akibat dari konversi hutan dan degradasi LH, terutama pada hutan, laut, dan daerah pertambangan. Hal ini pada gilirannya dapat memperburuk kondisi masyarakat pada lingkungan sekitar. 4.2.2.2.10.Lemahnya Jaminan Rasa Aman Tindak kekerasan juga kerap mengancam masyarakat miskin. Tindak kekerasan dapat muncul karena terjadinya konik sosial, ancaman terorisme, serta ancaman non-kekerasan. Ancaman nonkekerasan dapat berupa: perdagangan perempuan dan anak, krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obatan terlarang. Berbagai ancaman tersebut menyebabkan ma-

193

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

syarakat tidak memiliki rasa aman. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. 4.2.2.2.11.Lemahnya Partisipasi Kondisi terakhir yang terkait dengan penduduk miskin adalah lemahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Hal ini menyebabkan kurang sesuainya hasil rumusan kebijakan publik dengan kebutuhan masyarakat. Rendahnya tingkat kesadaran dan tidak adanya akses merupakan penyebab utama dari rendahnya partisipasi masyarakat. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Rendahnya partisipasi juga disebabkan oleh kurangnya informasi, baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan masyarakat.

1. Menurunnya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada 2009; 2. Terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau; 3. Terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu; 4. Tersedianya pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata; 5. Terbukanya kesempatan kerja dan berusaha; 6. Terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat; 7. Terpenuhinya kebutuhan air bersih bagi masyarakat miskin; 8. Terbukanya akses masyarakat miskin terhadap pemanfaatan SDA dan LH yang berkualitas; 9. Terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan komunal atas tanah; 10. Terjaminnya rasa aman bagi masyarakat miskin terhadap berbagai tindak kekerasan; 11. Meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik
4.2.2. Sasaran yang Ingin Dicapai Dengan kondisi dan permasalahan di atas, sasaran utama penanggulangan kemiskinan dalam RPJMN 2004-2009 adalah menurunnya jumlah penduduk miskin serta terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. Secara rinci, sasaran tersebut adalah:

4.2.3. Untuk Mencapai Sasaran di atas, Program-program yang Dilaksanakan Mencakup: 1. Pemenuhan Hak atas Pangan 2. Pemenuhan Hak atas Layanan Kesehatan 3. Pemenuhan Hak atas Layanan Pendidikan 4. Pemenuhan Hak atas Pekerjaan dan Usaha 5. Pemenuhan Hak atas Perumahan 6. Pemenuhan Hak atas Air Bersih 7. Pemenuhan Hak atas Tanah 8. Pemenuhan Hak atas SDA dan LH 9. Pemenuhan Hak atas Rasa Aman 10. Pemenuhan Hak untuk Berpartisipasi

194

Bagian 4

4.2.4. Pencapaian 2005-2008 4.2.4.1. Posisi Capaian hingga 2008 Berbagai upaya dalam menanggulangi kemiskinan telah dilakukan secara intensif dan konsisten yang pelaksanaannya dilakukan secara sinergi antara pusat dan daerah sebagaimana dimuat dalam RPJMN 2004-2009. Berikut merupakan capaian yang telah dihasilkan selama 4 tahun pelaksanaan RPJMN atas sasaran yang ditetapkan: Sasaran 1: Menurunnya presentase peduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 Penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas utama pembangunan dalam RPJMN 20042009. Agenda penanggulangan kemiskinan ini sudah pula menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini bertujuan untuk menyinergikan dan mensinkronisasikan upaya penanggulangan kemiskinan secara simultan di pusat dan daerah. Upaya identikasi penduduk miskin dan perbaikan indikator pengukuran kemiskinan yang telah dipergunakan selama ini juga dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan akurasi data. Dengan tingkat keakuratan data yang tinggi, diharapkan penentuan sasaran berbagai kegiatan penanggulangan kemiskinan akan lebih tepat dan terarah, sehingga program penanggulangan menjadi lebih efektif. Selain itu, berbagai langkah lain juga telah dilakukan untuk mendukung percepatan penanggulangan dan penurunan kemiskinan. Langkah-langkah tersebut, antara lain: 1. Meningkatkan pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar bagi penduduk miskin. Hal ini dilakukan agar pemenuhan kebutuhan dasar hidup masyarakat miskin membaik sehingga mereka mampu meningkatkan pendapatan.

Pada gilirannya ini akan membuat mereka keluar dari kemiskinan; 2. Memperluas akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar; 3. Meningkatkan upaya penanganan masalah kurang gizi dan kerawanan pangan; 4. Memberikan subsidi bahan pangan pokok dan makanan tambahan bagi ibu hamil, menyusui, dan anak balita. Dengan meningkatnya kualitas pangan dan gizi, diharapkan akan terjadi penurunan gangguan kesehatan. Dengan demikian, anak-anak dari keluarga miskin diharapkan akan menjadi lebih sehat sehingga dapat menempuh pendidikan guna memperbaiki nasib mereka. 5. Meningkatkan layanan kesehatan ibu hamil. Hal ini dimaksudkan agar terlahir generasi yang memiliki kualitas SDM yang lebih baik dari orang tuanya. Dengan demikian, mereka dapat mengentaskan diri dari kemiskinan. 6. Selain itu, langkah konkret yang juga dilakukan adalah dengan penyediaan bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhi persyaratan. Bantuan tunai tersebut ditujukan untuk pemeriksaan kehamilan ibu, imunisasi dan pemeriksaan rutin balita, menjamin keberadaan anak usia sekolah di SD/MI dan SMP/MTs; serta penyempurnaan pelaksanaan pemberian bantuan sosial kepada keluarga miskin. Upaya ini tercakup melalui Program Keluarga Harapan (PKH).

195
Dok : Tempo

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Serangkaian upaya di atas perlu diimbangi dengan langkah-langkah pemberdayaan. Hal ini mengingat pemenuhan akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya produktif saja ternyata belum memadai untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang signikan. Pemberdayaan digiatkan guna mendorong masyarakat agar memiliki kemampuan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, sejak awal 2005, langkah-langkah penanggulangan kemiskinan diefektifkan dengan menekankan pada pemberdayaan masyarakat. Langkah ini mengarahkan masyarakat lebih proaktif dan partisipatif mengindentikasi kebutuhan mereka. Melalui program pemberdayaan, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan dukungan-dukungan teknis yang ada. Hal ini penting untuk ditempuh karena berbagai upaya penurunan kemiskinan seringkali kurang memiliki keberlanjutan dan kurang sesuai dengan ke-

butuhan nyata di lapangan. Melalui program ini pula, masyarakat diharapkan dapat hidup lebih produktif dan mampu mengakses segala dukungan untuk mencukupi kebutuhan hidup dasar. Dengan demikian, masyarakat dapat memberdayakan aset produktif guna mengembangkan kegiatan ekonomi mereka. Dengan langkah-langkah tersebut di atas, diyakini jumlah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan akan dapat dikendalikan secara absolut. Pada 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 39,3 juta dan menurun menjadi 37,2 juta orang pada 2007. Selanjutnya angka tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai 34,96 juta pada 2008. Secara persentase, tingkat kemiskinan ini menunjukkan adanya penurunan dari 17,75 persen pada 2006, 16,58 persen pada 2007, dan menjadi 15,42 persen pada 2008. Angka pencapaian yang masih di bawah target RPJMN 2004-2009 sebesar 8,2 persen, terjadi

196

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : Bappenas

Bagian 4

antara lain akibat ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada perekonomian domestik dan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Untuk itu, pengendalian pertumbuhan penduduk juga harus terus diintensifkan. Selain itu, upaya lebih keras dan konsisten juga perlu lebih dilakukan untuk mendukung tercapainya sasaran. Salah satu upaya yang telah dilakukan guna mempercepat penurunan jumlah kemiskinan adalah program bantuan langsung tunai. Program bantuan langsung tunai yang telah dilakukan Pemerintah selama ini bukan hanya program bantuan tanpa syarat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bantuan Langsung Tunai (BLT) 2005/2006 dan 2008 yang ditujukan sebagai kompensasi dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Program bantuan langsung tunai bersyarat juga telah dilakukan dengan pemberian bantuan kepada ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau anak usia SD-SMP. Kegiatan ini dilakukan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang diluncurkan sejak Juli 2007. PKH merupakan program untuk memberdayakan kaum ibu dari kalangan miskin agar mampu berusaha dan mendorong anaknya agar tetap sehat dan dapat bersekolah. Melalui program ini diharapkan dapat menekan jumlah penduduk miskin dan mendekatkan mereka terhadap akses pelayanan kesehatan dan pendidikan. Di masa awal ini, program bantuan PKH ini direncanakan selama enam tahun dari 2007 hingga 2012. Di tahun awal berjalannya, program ini sudah menjangkau 500 ribu keluarga miskin di tujuh provinsi, 48 kabupaten/kota, dan 348 kecamatan. Besarnya bantuan yang diberikan melalui program ini pada 2007 mulai dari sebesar Rp 600 ribu hingga Rp 2,2 juta per tahun per keluarga miskin, dengan total anggaran yang serap mencapai Rp 1 triliun. Tujuh provinsi penerima dana PKH, yaitu DKI Jakarta (Jakarta Utara), Jawa Barat (11 kabupaten/kota), Jawa Timur (21 kabupaten/kota), Sumatera Barat (1 kabupaten), Sulawesi Utara (5 kabupaten/kota), Gorontalo (2

kabupaten/kota), dan NTT (7 kabupaten/kota). Pelaksanaan program pada 2008 diprioritaskan bagi sekitar 11,6 juta ibu dari keluarga miskin yang belum mendapat PKH. Sasaran 2: Terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau Salah satu upaya yang dilakukan untuk menyediakan dan memperluas akses pangan bagi masyarakat adalah melalui kebijakan di bidang perberasan. Upaya ini utamanya bertujuan untuk menjamin daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sejalan dengan hal tersebut, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2002, Inpres Nomor 2 Tahun 2005, dan Inpres Nomor 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan telah direvisi. Revisi perlu dilakukan untuk menegaskan bahwa Pemerintah harus menjamin persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi masyarakat miskin dan daerah rawan pangan. Untuk mengimplementasikan regulasi yang telah dibuat, Pemerintah menyusun sejumlah kebijakan dan langkah-langkah kongkrit. Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin, Pemerintah tetap mengupayakan penyediaan beras bersubsidi melalui program beras bagi keluarga miskin (raskin). Program ini dimaksudkan untuk meringankan beban masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok. Selain itu, Pemerintah terus melakukan kebijakan dan program pengendalian harga beras di tingkat konsumen melalui operasi pasar apabila terjadi gejolak harga. Di tingkat petani, Pemerintah juga berupaya untuk menstabilkan harga gabah, terutama pada saat panen raya. Upaya ini ditempuh melalui program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP). DPM-LUEP dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan pembelian gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). Dana talangan

197

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

yang diberikan merupakan pinjaman tanpa bunga, tetapi bukan skema kredit sehingga harus dimanfaatkan sesuai dengan pedoman umum yang telah ditentukan, yaitu untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga yang mengacu kepada HDPP. Pelaksana dan penanggung-jawab program ini berada pada Departemen Pertanian. Dengan upaya tersebut berbagai capaian telah berhasil diraih. Pada 2005, 2006, dan 2007, jumlah subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin) berturut-turut adalah sebesar Rp 4,68 triliun, Rp 5,32 triliun, dan Rp 6,21 triliun. Pada 2005, raskin disalurkan sebesar 1,99 juta ton beras untuk 8,3 juta kepala keluarga (KK). Sedangkan pada 2006 dan 2007 disalurkan masing-masing sebesar 1,62 juta ton dan 1,90 juta ton beras untuk masing-masing 10,8 juta dan 15,8 juta KK. Pada 2008, raskin yang disalurkan mencapai 3,3 juta ton beras dan didistribusikan kepada 19,1 juta rumah-tangga miskin. Anggaran negara yang terserap untuk program ini mencapai Rp 6,3 triliun. Dengan upaya ini diharapkan masalah kecukupan pangan, terutama bagi masyarakat miskin, dapat terpenuhi dan mengurangi beban mereka. Sementara itu, Pemerintah dapat menyediakan cadangan beras hingga 1 juta ton melalui program DPMLUEP selama 2008. Melalui program yang sama, Pemerintah juga melakukan pembelian gabah petani sebanyak 130 ribu ton dan jagung sebanyak 35 ribu ton di 27 provinsi. Dengan serangkaian upaya dan capaian tersebut diharapkan dapat menjamin daya beli masyarakat miskin/keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok terutama beras dan kebutuhan pokok utama selain beras. Selain itu, melalui program DPMLUEP diharapkan terdapat stabilisasi dan kepastian harga komoditas primer. Sasaran 3: Terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu Salah satu upaya Pemerintah untuk meningkatkan tingkat kesehatan penduduk miskin adalah dengan memberikan kartu asuransi kesehatan

bagi masyarakat miskin (Askeskin). Kartu Askeskin dapat digunakan penduduk miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan mendapatkan pelayanan rawat inap kelas III di Rumah Sakit (RS). Jumlah RS yang telah melayani peserta Askeskin sebanyak 464 RS Pemerintah dan RS Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta 130 RS swasta. Pembiayaan untuk Askeskin pada 2006 dan 2007 sebesar Rp 3,6 triliun dan Rp 4,6 triliun. Hingga akhir 2008, jumlah penduduk miskin yang mendapatkan fasilitas kartu Askeskin1 meningkat dari 60 juta menjadi 76,4 juta orang. Selain itu, pada 2008, Pemerintah juga melakukan penyedian kontrasepsi gratis bagi 813.850 peserta keluarga berencana (KB) baru miskin dan 9.534.600 peserta aktif KB miskin di 73.500 desa/kelurahan dan 5.500 kecamatan di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Berbagai program ini diharapkan meningkatkan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan, meningkatkan produktivitas dan mutu SDM, serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Lebih lanjut hal ini terkait dengan upaya untuk menunjang percepatan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Sasaran 4: Tersedianya pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata; Sejak 1994, Pemerintah Indonesia menerapkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program tersebut menargetkan kepada semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya. Program ini sejalan dengan tujuan pencapaian target pembangunan milenium (MDGs) 2015. Untuk mendukung terwujudnya target MDGs, mulai Juli 2005, Pemerintah menyediakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan sejumlah beasiswa. Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin oleh Pemerintah mencakup jenjang
1 Pada 2008, Program Askeskin berganti nama menjadi

198

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat).

Bagian 4

pendidikan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/SMK/MA), dan juga untuk jenjang perguruan tinggi. Selain itu, Pemerintah juga menyediakan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi.

digunakan untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin dalam memperoleh layanan pendidikan minimal sampai dengan tingkat SLTP. Pada anggaran 2006, Pemerintah mengalokasikan dana BOS untuk 39,8 juta peserta didik pada jenjang pendidikan dasar, yang mencakup SD, MI, SDLB, SLTP, MTs, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), Pesantren Salayah, serta satuan pendidikan non-Islam yang menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 41,3 juta peserta didik pada 2007. Pelaksanaan program pada jenjang pendidikan menengah dilakukan dengan pemberian beasiswa bagi 692,6 ribu siswa miskin di Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA). Beasiswa yang lebih banyak dan lebih besar jumlahnya diharapkan dapat meningkatkan partisipasi penduduk miskin yang menempuh jenjang pendidikan menengah. Di samping itu, untuk siswa Sekolah Luar Biasa (SLB), juga disediakan beasiswa tambahan bagi 5.575 siswa dari keluarga tidak mampu. Pada 2007, upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun juga dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. Program ini dilakukan melalui pemberian biaya operasional penyelenggaraan (BOP) Paket A dan Paket B untuk 99.700 dan 511.000 orang, pemberian bantuan rintisan Paket A untuk 600 orang, serta bantuan perluasan Paket A dan Paket B untuk 37.460 orang. Selain itu, Pemerintah juga telah melakukan rintisan pangkalan belajar pendidikan kesetaraan untuk pulau terpencil, tenaga kerja Indonesia (TKI) perbatasan, perahu berjalan, dan bis berjalan untuk 900 orang. Pada 2008 tersedia 2,48 juta beasiswa bagi siswa tidak mampu di jenjang pendidikan dasar, yaitu tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Sementara itu, di jenjang yang lebih tinggi, SMA/SMK/MA, jumlah beasiswa yang tersedia mencapai 942,2 ribu. Lebih lanjut, di jenjang pendidikan tinggi beasiswa tersedia bagi 161.753 mahasiswa di 33 provinsi.

Sejak 1994, Pemerintah Indonesia menerapkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program tersebut menargetkan kepada semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya.
Untuk lebih meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat miskin, Pemerintah juga berupaya untuk menyediakan layanan pendidikan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Sejak 2005, Pemerintah membangun sekolah-sekolah baru di wilayah terpencil dan wilayah timur Indonesia. Program ini dilakukan dalam skala besar, baik berupa sekolah reguler maupun SD/SLTP atau MI/MTs satu atap. Tujuan utamanya adalah agar lulusan SD/MI dapat mengakses SMP/MTs lebih mudah dan dengan jarak yang semakin dekat dengan tempat tinggal mereka. Sejalan dengan agenda tersebut, anggaran yang disediakan untuk bidang pendidikan terus ditingkatkan. Pada 2005 anggaran yang disediakan Pemerintah untuk Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebesar Rp 5,1 triliun untuk satu semester. Pada 2006, alokasinya meningkat menjadi sebesar Rp 10,2 triliun dan meningkat kembali menjadi Rp 11,6 triliun pada 2007. Pada 2008, anggaran yang disediakan terus meningkat hingga Rp 21,8 triliun. Selain digunakan untuk membiayai operasional sekolah, dana BOS juga

199

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sasaran 5: Terbukanya kesempatan kerja dan berusaha; Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim usaha agar mampu menarik modal investor ke Indonesia. Dengan adanya investasi baru maka akan tercipta lapangan kerja baru. Selain itu, Pemerintah juga terus meningkatkan iklim usaha yang kondusif dengan berupaya menjaga stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, menciptakan biaya produksi yang kompetitif, serta memberi kepastian hukum.
Dok : UNESCO

Di samping itu, dari sisi penawaran, Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keterampilan para pencari kerja baru dan pekerja yang memiliki produktivitas rendah. Melalui peningkatan ketrampilan, diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas tenaga kerja sehingga produktivitas yang rendah berangsur-angsur dapat ditingkatkan. Untuk membangun kemandirian berusaha, Pemerintah menerbitkan kebijakan pengembangan UMKM melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, akses kepada sumberdaya produktif, dan mendorong jiwa kewirausahaan. Guna menciptakan iklim yang kompetitif, Pemerintah melakukan peninjauan ulang kebijakan dan peraturan yang menghambat atau menimbulkan ekonomi biaya tinggi di berbagai daerah. Untuk mendukung kebutuhan modal, Pemerintah menawarkan solusi berupa skema dana bergulir dari lembaga keuangan mikro (LKM) untuk kegiatan produktif skala usaha mikro dengan pola bagi hasil/syariah dan konvensional. Selain itu, Bank Indonesia (BI) sebagai representasi Pemerintah juga mendorong diluncurkannya kredit perbankan tanpa agunan serta pengembangan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). KKMB banyak membantu pendampingan usaha dan pelatihan pengelolaan meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan

berusaha bagi penduduk miskin LKM /Koperasi Simpan Pinjam (KSP) serta pengembangan sentra UMKM di berbagai daerah. Untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk. PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri) merupakan payung kebijakan program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM juga merupakan instrumen program percepatan pencapaian MDGs 2015. Tujuan umum PNPM adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan meningkatkan kesempatan kerja. Penerima manfaat PNPM adalah: kelompok masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan, kelompok penganggur dan pencari kerja di perdesaan dan perkotaan, kelembagaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan serta kelembagaan Pemerintahan lokal. Pelaksanaan PNPM untuk daerah perdesaan dilakukan dengan mekanisme PPK (Program Pengembangan Kecamatan) dan mekanisme P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) untuk daerah perkotaan. Program ini terutama ditujukan untuk melatih dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Melalui program ini masyarakat dapat memperoleh manfaat berupa kesempatan kerja dan kesempatan berusaha secara lokal.

200

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Untuk membangun kemandirian berusaha, Pemerintah menerbitkan kebijakan pengembangan UMKM melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, akses kepada sumberdaya produktif, dan mendorong jiwa kewirausahaan.
Pada 2006, PPK mendanai sebanyak 21.906 kegiatan di 1.144 kecamatan dengan total BLM senilai Rp 1,52 triliun atau setara USD 168,9 juta. Jumlah tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2005. Pada saat yang sama, PPK juga mendanai lebih dari 22.400 kegiatan melalui pelaksanaan PPK II dan PPK III. Selain itu, pelaksanaan kegiatan di lokasi pascabencana, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dilakukan dengan dukungan dana hibah dari sejumlah lembaga donor yang tergabung dalam multi-donor trust fund (MDTF). Hal ini memberi kontribusi yang besar dalam jumlah kegiatan yang dilaksanakan pada 2006. Untuk 2007, pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat diintensifkan dengan mengintegrasikan program PPK dan P2KP ke dalam wadah PNPM Mandiri. Terdapat 3 program PNPM Inti, yaitu: PNPM Perdesaan yang merupakan kelanjutan dari PPK, P2DTK/SPADA khusus untuk desa tertinggal, serta PNPM Perkotaan kelanjutan dari P2KP. Integrasi dilakukan dengan melaksanakan sinkronisasi metode pemberdayaan dan harmonisasi lokasi. Dengan demikian, pelaksanaan program tidak membingungkan masyarakat serta mengurangi tumpang tindih (overlap) di lapangan. Dalam tahun 2007 program PNPM Mandiri mencakup 2.361 kecamatan dengan total anggaran sebesar Rp 6,7 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk kontribusi Pemerintah Daerah (Pemda) dan swadaya masyarakat. Pada 2008, PNPM Inti diperluas ke dua program lainnya, yaitu: program Peningkatan Infrastruk-

tur Perdesaan skala komunitas (PPIP) dan program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Dengan demikian jumlah program dalam PNPM Inti terdiri dari 5 program. Selanjutnya, dalam tahun 2008, sinkronisasi dilakukan pula pada program sektoral yaitu Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP). Cakupan PNPM Mandiri pada 2008 meliputi: 4.768 kecamatan. Total anggaran yang terserap sebesar Rp 6,7 triliun. Secara keseluruhan, hasil dari kegiatan masyarakat yang didukung dana BLM program PNPM Mandiri terdiri lebih dari 152.800 kegiatan prasarana, ekonomi, dan sosial di seluruh Indonesia. Kegiatan ini meliputi: 31.282 jalan yang dibangun atau ditingkatkan, 8.431 jembatan yang dibangun atau direkonstruksi, 9.751 sistem irigasi yang dibangun, 9.241 unit air bersih, dan 4.288 unit mandi-cuci-kakus (MCK). Untuk pendidikan, telah dibangun dan direnovasi 5.128 sekolah, disediakan alat dan materi penunjang belajar-mengajar, dan diberikan lebih dari 101.491 beasiswa pendidikan untuk perseorangan. Untuk kesehatan, telah dibangun dan direnovasi 3.001 unit sarana dan pos kesehatan. Untuk 2009, program PNPM Mandiri akan mencakup 6.408 kecamatan, dengan nilai anggaran sebesar Rp 10,3 triliun. selain itu, PNPM Penguatan akan diperluas ke delapan program sektoral lainnya, sehingga total nilai PNPM Inti dan Penguatan adalah sebesar Rp 13,7 triliun, tidak termasuk kontribusi Pemda dan swadaya masyarakat. Sasaran 6: Terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat; Pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau merupakan prioritas Pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap perumahan. Hal ini terutama diberikan pada masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah. Selain itu, dalam upaya penguatan kelembagaan di tingkat komunitas yang menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan, telah dilaksanakan

201

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

pula kegiatan perbaikan lingkungan kumuh di perkotaan. Kegiatan tersebut dilakukan dengan membangun kemitraan antara Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat di 32 kabupaten/kota yang tersebar di 76 kecamatan dan 211 desa/kelurahan. Selanjutnya juga telah diberikan bantuan rintisan penanganan persampahan di 177 kota dan drainase di 143 kota besar dan sedang. Di samping itu, subsidi untuk perumahan rakyat pada 2005 digunakan untuk membangun 225.000 rumah sederhana. Selain itu, telah diupayakan kegiatan pengembangan perumahan yang berbasis pada keswadayaan sebanyak 19.814 unit. Pada 2006, telah dibangun perumahan rakyat atau rumah sederhana sebanyak 90.144 unit. Pada 2007, telah terbangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 12.672 unit dan dibangunnya prasarana dan sarana permukiman bagi RSS di 103 kawasan. Pada saat yang sama juga telah diberikan subsidi Kredit Perumahan Rakyat (KPR) sebanyak 157.163 unit dan Kredit Perumahan Rakyat Sederhana (KPRS) mikro sebanyak 8.568 unit. Pemerintah juga melaksanakan kegiatan perbaikan lingkungan kumuh di perkotaan melalui program berbasis masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan di lokasi setempat. Kegiatan ini sudah mencakup 828 desa/kelurahan. Di samping itu, telah diberikan pula bantuan rintisan penanganan persampahan di 177 kota dan pembangunan sistem yang meliputi area seluas 5.018 Ha.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sasaran 7: Terpenuhinya kebutuhan air bersih bagi masyarakat miskin; Untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan aman, telah disusun kebijakan penyediaan air berbasis masyarakat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat membuka peluang bagi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, untuk berpartisipasi dalam pengelolaan air bersih. Penerapan kebijakan ini terutama dilakukan di kawasan pinggiran kota, kantong permukiman di pusat kota, dan kawasan perdesaan yang dianggap tidak potensial untuk dikelola oleh swasta. Upaya lain yang telah dilakukan adalah melalui penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang sistem pengembangan air minum (SPAM) dan badan pendukung pengembangan PDAM. Hingga 2008 telah dibangun prasarana dan sarana air minum bagi 3,5 juta penduduk perdesaan dan 1,6 juta penduduk perkotaan. Sasaran 8: Terbukanya akses masyarakat miskin terhadap pemanfaatan SDA dan LH yang berkualitas; Masyarakat miskin mempunyai keterbatasan akses dalam pengelolaan SDA dan menikmati LH yang berkualitas. Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk mengatasi masalah keterbatasan akses masyarakat miskin, kerusakan dan degradasi lingkungan, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan pengelolaan SDA dan LH. Bahkan, kebijakan pengelolaan SDA dan LH sudah diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat antar generasi melalui pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan. Undang-Undang (UU) Sumberdaya Air merupakan kebijakan yang diharapkan dapat melindungi dan menjamin akses masyarakat, terutama masyarakat miskin, terhadap air. Keikutsertaan swasta dalam pengelolaan sumber air diarahkan pada pengelolaan yang tidak berlebihan agar tidak mengganggu pasokan air irigasi bagi petani.

Pemerintah juga melaksanakan kegiatan perbaikan lingkungan kumuh di perkotaan melalui program berbasis masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan di lokasi setempat.

202

Bagian 4

Selain itu, dikembangkan sebuah sistem yang menjamin akses masyarakat miskin, khususnya petani, terhadap sumber air. Upaya ini dilakukan melalui penyusunan PP yang mengatur: 1. Sistem dan mekanisme pengawasan terhadap perusahaan air minum; 2. Pengawasan secara ketat dan konsisten terhadap perusahaan besar penghasil limbah yang dapat mengakibatkan pencemaran sumber air dan lingkungan; 3. Perlindungan kepada masyarakat agar dapat memanfaatkan sumber air permukaan untuk irigasi pertanian dan sumber air bawah tanah untuk keperluan rumah tangga. Semua pengaturan ini dimaksudkan agar tidak terjadi eksploitasi sumber air secara berlebihan. Perluasan akses masyarakat miskin terhadap SDA dan LH telah dilakukan pula. Program ini dilakukan melalui kegiatan: 1. Pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan; 2. Perlindungan dan konservasi sumberdaya alam, rehabilitasi, dan pemulihan cadangan SDA; 3. Pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH. Indonesia juga telah mencapai kesepakatan dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dalam upaya pemberantasan pembalakan liar (illegal logging). Berbagai kebijakan perluasan akses SDA dan LH sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan tidak lupa menyertakan pula masyarakat yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar hutan. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan adalah pemberdayaan ekonomi rakyat dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan. Kebijakan pemberdayaan ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan, baik dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan hutan. Selain itu, revitalisasi kehutanan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani hu-

tan, meningkatkan daya saing produk kehutanan, serta menjaga kelestarian SDA berkelanjutan. Sasaran 9: Terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan komunal atas tanah; Untuk menjamin kepemilikan tanah masyarakat miskin, dilakukan kegiatan pengelolaan pertanahan yang bertujuan untuk: 1. Memberdayakan pengusaha UMKM melalui sertikasi hak atas tanah secara bertahap untuk meningkatkan akses UMKM dan koperasi kepada kredit perbankan; 2. Menerbitkan sertikat hak atas tanah bagi masyarakat golongan ekonomi lemah; 3. Redistribusi tanah objek land-reform bagi petani penggarap tanah objek land-reform. Selanjutnya, juga diterbitkan sertikat hak atas tanah bagi masyarakat transmigrasi yang tergolong masyarakat miskin. Hingga 2008, hasil yang dicapai antara lain diterbitkannya 3.257.995 sertikat tanah dengan prioritas penerima manfaat adalah para transmigran dan kelompok miskin Sasaran 10: Terjaminnya rasa aman bagi masyarakat miskin terhadap berbagai tindak kekerasan; Peningkatan rasa aman masyarakat miskin dilakukan dengan: 1. Mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan; 2. Menempatkan kepolisian sebagai bagian dari lembaga sipil; 3. Mengutamakan cara damai dan pendekatan yang simpatik dan kolaboratif dalam menciptakan rasa aman. Selain itu, komitmen untuk membangun persamaan hukum, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di daerah konik yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 terus dilaksanakan.

203

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

UU tersebut telah mengatur hak atas rasa aman, di antaranya jaminan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. UU tersebut juga mengatur tentang persamaan pengakuan di depan hukum, tidak terkecuali jaminan bagi setiap orang untuk tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Demikian pula, komitmen perang terhadap teror terus diupayakan. Hal ini mengingat selama beberapa tahun telah terjadi teror bom di Indonesia. Akibatnya, ratusan orang menjadi korban yang berimplikasi pada terciptanya kemiskinan baru bagi keluarga korban. Upaya rekonsiliasi yang telah dilakukan terus dikembangkan lebih intensif melalui penciptaan tatanan sosial baru yang mengedepankan penghormatan pada pluralisme, hubungan sosial yang inklusif serta pengembangan kolaborasi lintas suku, daerah dan agama. Penanganan dampak bencana telah pula dilakukan melalui langkah-langkah rehabilitasi dan rekonstruksi. Khusus terkait dengan bantuan masyarakat melalui posko, telah dilakukan pendataan bantuan dan penyusunan rekapitulasi laporan keuangan posko agar proses penyaluran bantuan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencegah konik sosial, pendekatan multikulturalisme terus digiatkan. Selain itu, guna meningkatkan rasa aman berbagai upaya juga dilakukan di antaranya: 1. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan anak (PUA); 2. Bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam, dan korban bencana sosial; 3. Peningkatan pelayanan sosial dasar bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) termasuk anak, lanjut usia dan penyandang cacat; serta 4. Pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung PKH.

Hingga akhir 2008, jumlah konik sosial di masyarakat cenderung menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Akan tetapi, diperkirakan masih terdapat sekitar 850.000 pengungsi di berbagai daerah konik. Keadaan ini dapat menjadi pemicu munculnya ancaman, seperti: meningkatnya jumlah kemiskinan, anak terlantar dan jalanan, perdagangan perempuan dan anak (tracking) serta korban tindak kekerasan. Berbagai ancaman tersebut dapat menyebabkan menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial, dan hilangnya rasa aman. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Pemerintah berupaya melakukan usaha penanggulangan tersebut, melalui: 1. Pemberdayaan terhadap lebih dari 200 ribu anak jalanan dan telantar; 2. Santunan bagi lebih dari 40.000 penduduk lanjut usia miskin; 3. Pemberdayaan peran pada lebih dari 100.000 keluarga;

204

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade

Bagian 4

bangan jaringan kemitraan usaha. Program lain yang juga dilakukan adalah peningkatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan sosial dan hukum bagi anak terlantar, termasuk anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal. Sasaran 11: Meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan Pengambilan suatu keputusan erat kaitannya dengan kemampuan partisipasi masyarakat dalam proses tersebut, tidak terkecuali bagi masyarakat miskin. Dengan tersedianya ruang partisipasi dan kemampuan menyampaikan aspirasi, masyarakat miskin akan dapat mempengaruhi keputusan yang diambil agar sesuai dengan kepentingan mereka. Pada prinsipnya, partisipasi sosial diarahkan pada perubahan dari Pemerintah menuju masyarakat madani. Hal ini membutuhkan partisipasi langsung warga dalam pengawasan terhadap Pemerintahan. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, telah dilakukan kegiatan pendidikan dan pembangunan kesadaran warga, advokasi, aliansi dan kolaborasi keikutsertaan masyarakat atau organisasi berbasis masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, dilakukan pula upaya peningkatan kepekaan Pemerintah agar lebih melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan. Upaya lain yang dilakukan untuk memenuhi hak untuk berpartisipasi bagi masyarakat miskin adalah melalui kegiatan-kegiatan yang berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut telah meningkatkan partisipasi penduduk miskin, baik laki-laki maupun perempuan, dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan serta memelihara dan melestarikan hasil-hasilnya. Capaian yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat diantaranya:
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade

4. Rehabilitasi sosial bagi anak nakal pada lebih dari 10.000 anak dan korban penyalahgunaan narkortika, obat-obatan terlarang, dan zat adiktif; 5. Rehabilitasi pada lebih dari 10.000 tuna sosial (termasuk: wanita tuna susila, gelandangan, pengemis, dan bekas narapidana) serta penyempurnaan sarana dan prasarana panti tuna sosial; 6. Pengkajian dan pengembangan program bantuan sosial korban tindak kekerasan dan pekerja migran kepada instansi Pemerintah pusat dan daerah serta pemberian bantuan sosial bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran pada sekitar 4.000 orang. Selain itu, untuk mendukung upaya perlindungan terhadap anak (termasuk di dalamnya upaya penanggulangan perdagangan anak dan pemberdayaan anak telantar/jalanan), Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengalokasikan dana sebesar Rp 12 miliar dan Rp 16 miliar untuk kegiatan program pada 2006 dan 2007. Di samping itu, upaya pemulihan kawasan pascakonik juga terus dilakukan. Upaya tersebut meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana ekonomi serta pengembangan ekonomi lokal dan pengem-

205

1. Peningkatan keberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dan mengelola program pembangunan melalui PNPM Mandiri; 2. Pengembangan partisipasi masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk; 3. Penyempurnaan mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan dan perencanaan partisipatif daerah; 4. Memfasilitasi pembentukan forum-forum warga yang bisa mewakili kepentingan masyarakat miskin; 5. Memberdayakan kembali fungsi dan pranata adat serta lembaga sosial budaya tradisional di daerah-daerah; 6. Mendorong kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; 7. Pelembagaan partisipasi masyarakat miskin melalui pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang partisipatif; 8. Memfasilitasi proses penjaringan aspirasi masyarakat miskin melalui sosialisasi pada media dan angket. 4.2.4.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan secara konsisten dan lebih terarah. Namun, hingga 4 tahun pelaksanaan RPJMN 2005-2009, pencapaian atas sasaran yang telah ditetapkan belum optimal mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi sehingga penanganannya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Adanya berbagai perubahan eksternal seperti bencana alam dan gejolak harga komoditi menyebabkan Pemerintah menyesuaikan berbagai asumsi makro termasuk sasaran tingkat kemiskinan untuk tahun 2009 sebesar 12-14%.

Hal ini ditambah dengan masih terdapatnya faktorfaktor lain yang menghambat keberhasilan upaya penanganan kemiskinan di Indonesia, seperti: 1. Belum meratanya program pembangunan, khususnya di perdesaan, luar Pulau Jawa, daerah terpencil, dan daerah perbatasan. Padahal, sekitar 63 persen penduduk miskin Indonesia hidup di daerah perdesaan. Persentase kemiskinan di luar Pulau Jawa termasuk Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua juga lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. Sehingga, upaya penanganan seharusnya lebih difokuskan di daerah-daerah tersebut; 2. Kemiskinan sangat terkait dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar; 3. Masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan ekonomi maupun kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. Hal ini menjadi permasalahan krusial yang harus dihadapi dalam penanganan kemiskinan; 4. Bencana alam dan sosial menciptakan penduduk miskin baru, sehingga tingkat kemiskinan juga mengalami peningkatan. Saat ini masih terdapat 3,8 juta jiwa korban bencana alam, 2,5 juta jiwa orang cacat, 2,8 juta anak terlantar, 145 ribu anak jalanan, 1,5 juta penduduk lanjut usia, 64 ribu gelandangan dan pengemis, serta 66 ribu tuna susila yang membutuhkan bantuan dan jaminan sosial;. 5. Kemiskinan sangat dipengaruhi oleh uktuasi harga-harga kebutuhan pokok. Fluktuasi ini berdampak besar pada daya beli masyarakat miskin. Sehubungan dengan itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Langkah-langkah yang dilakukan melalui berbagai bidang pembangunan perlu terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan agar penanggulangan kemiskinan, baik di perdesaan maupun perkotaan, dapat berjalan secara efektif dan esien.

206

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Lebih khusus, upaya yang dilakukan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin pada 2008 dirasa masih lambat. Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Relatif masih tingginya inasi pada 2008 yang mencapai 11,06 persen. Hal ini menyebabkan upaya penanggulangan kemiskinan selama 2008 dirasa kurang efektif, meskipun secara umum jumlah kemiskinan sudah sedikit berkurang dari periode 2007; 2. Naiknya harga minyak dunia yang mempersempit ruang gerak skal untuk melakukan ekspansi program-program pengetasan kemiskinan; 3. Bencana alam di beberapa daerah mengakibatkan beralihnya fokus pelaksanaan program pembangunan dan pertumbuhan. Akibatnya, pelaksanaan program pengentasan kemiskinan menjadi tidak optimal; 4. Banyaknya program multisektor dan regional yang masih terfokus pada sektoral dan kurang terintegrasi. Akibatnya, efektivitas dan esiensi program penanggulangan kemiskinan daerah masih rendah; 5. Pemahaman dan kemampuan Pemda untuk melakukan sinergi terhadap program-program yang beragam masih belum optimal. Akibatnya, upaya penurunan kemiskinan masih belum signikan. Dari berbagai kendala di atas, penurunan tingkat kemiskinan menjadi sangat tergantung pelaksanaan dan hasil pembangunan di banyak sektor lain. Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas, terkendalinya tingkat inasi, serta perluasan lapangan kerja, perlu terus diintensifkan sehingga masyarakat dapat meningkatkan pendapatannya. Untuk itu, program pengurangan angka kemiskinan yang efektif membutuhkan pencapaian yang baik pula pada sektor-sektor lain.

4.2.5. Tindak Lanjut 4.2.5.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Penanggulangan kemiskinan merupakan proses panjang yang memerlukan penanganan berkelanjutan. Meskipun pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dirasakan sulit, namun upaya untuk mempercepat realisasi target RPJMN tetap akan dilaksanakan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat miskin. Hal ini bertujuan agar masyarakat miskin mampu mengidentikasi kebutuhan mereka sehingga memiliki kemampuan untuk mengentaskan diri dari kemiskinan secara mandiri. Keberdayaan masyarakat miskin juga ditujukan agar mereka mampu memanfaatkan sumberdaya produktif yang tersedia, baik yang sudah ada di masyarakat maupun yang disediakan Pemerintah melalui berbagai programnya. Untuk itu, sejak 2007 Pemerintah telah melakukan sinergi dan integrasi pada berbagai program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dari berbagai sektor. Hal ini diwujudkan dalam wadah PNPM Mandiri. Dengan demikian, program ini diharapkan dapat diarahkan secara harmonis guna menciptakan modal sosial.

207

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Keberdayaan masyarakat miskin juga ditujukan agar mereka mampu memanfaatkan sumberdaya produktif yang tersedia, baik yang sudah ada di masyarakat maupun yang disediakan Pemerintah melalui berbagai programnya

Mulai 2008, PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), dan diperkuat oleh berbagai program pemberdayaan masyarakat lainnya yang dilaksanakan oleh departemen/sektor. Selain itu, upaya sinkronisasi juga dilakukan dengan program sektoral yaitu Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP). Hal tersebut diupayakan guna memperluas cakupan program dan perataan hasil-hasil pembangunan. Untuk 2009, program PNPM Mandiri akan ditujukan pada 6.408 kecamatan (seluruh kecamatan di Indonesia), dengan nilai anggaran sebesar Rp 10,3 triliun. Selain itu, PNPM Penguatan akan diperluas ke delapan program sektoral lainnya. Sehingga, rencana program PNPM Inti dan Penguatan akan menyerap anggaran sebesar Rp 13,7 triliun, tidak termasuk kontribusi Pemda dan swadaya masyarakat. Selanjutnya, mulai 2008 Pemerintah terus meningkatkan efektivitas program-program untuk secara konsisten menurunkan tingkat kemiskinan. Pengelompokan program-program ke dalam tiga kluster merupakan langkah untuk meningkatkan koordinasi dan sinergi program-program penanggulangan kemiskinan, terutama pelaksanaan di lapangan. Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, program-program penanggulangan kemiskinan dikelompokkan dalam: a. Kluster I: Bantuan dan Perlindungan Sosial yang ditujukan untuk sasaran individu atau rumah-tangga sangat miskin. Golongan tersebut sangat membutuhkan bantuan untuk dapat mengakes kebutuhan dasar minimum secara layak. Sasaran dari kelompok program ini adalah rumah-tangga sangat miskin, miskin dan hampir miskin, dan anggota keluarganya. b. Kluster II: Pemberdayaan Masyarakat ditujukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin agar mereka mampu berperan serta secara aktif dalam proses pem-

bangunan. Dengan partisipasi masyarakat yang lebih besar, upaya penanggulangan kemiskinan diharapkan dapat berjalan lebih berkelanjutan. c. Kluster III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil ditujukan untuk memberikan kesempatan pada kelompok-kelompok atau individu yang mempunyai usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan akses terhadap permodalan, teknologi dan pasar. Dengan demikian, upaya peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilakukan lebih besar lagi. Beberapa program Kluster I yang telah dilaksanakan meliputi: Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan tunai kepada rumahtangga sangat miskin dengan persyaratan bahwa penerima harus meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Pada 2007, program ini sudah mencakup 387,9 ribu rumah-tangga sangat miskin di 7 provinsi uji coba, yaitu Provinsi Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Perluasan cakupan PKH meningkatkan jumlah rumah-tangga sangat miskin yang dilayani menjadi sebanyak 626,2 ribu rumah-tangga di 13 provinsi. Selain program-program PKH, program lain dalam kluster I adalah subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) untuk membantu pemenuhan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga, penyediaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), serta beasiswa untuk anak dari keluarga miskin. Ke depan upaya melalui program-program tersebut akan terus diupayakan dengan lebih konsisten dan intensif. Program yang tercakup pada Kluster II adalah PNPM Mandiri yang telah diuraikan di atas. Sementara itu, program pada Kluster III yang ditujukan untuk usaha mikro dan kecil, dilakukan melalui: 1. Dukungan pertumbuhan ekonomi dan investasi pada UKM untuk menciptakan lapangan kerja. Hal ini dilakukan melalui penyediaan dana bergulir untuk kegiatan produktif skala usaha mikro, penyediaan dana melalui koper-

208

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

asi maupun kelompok-kelompok masyarakat untuk pengadaan sarana produksi maupun untuk pelaksanaan kegiatan ekonomi mikro; 2. Pemberdayaan usaha mikro/ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan melalui pembinaan, pelatihan dan fasilitasi bagi pengelola koperasi maupun lembaga kredit masyarakat lainnya; serta 3. Penyediaan skim penjaminan kredit UKM termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR).

pihak pada rakyat miskin; 3. Menyempurnakan dan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat; 4. Meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar,terutama pada daerah tertinggal dan terisolasi; 5. Membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin; 6. Melindungi rumah-tangga miskin, khususnya yang sangat miskin; 7. Meningkatkan keberdayaan rumah tangga miskin dalam satu kelembagaan kelompok masyarakat miskin pada tingkat lokal; 8. Mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan secara kolektif agar pembangunan berbasis masyarakat dan dapat memberi manfaat bagi peningkatan pendapatan rumah-tangga miskin; serta 9. Di samping itu, pengendalian pertumbuhan penduduk (yang dapat mengakibatkan pertumbuhan penduduk dalam kategori miskin menjadi semakin tinggi), juga terus diupayakan untuk mengakselerasi pencapaian target. Dengan peran serta masyarakat secara aktif, ditambah dengan dukungan penuh dari programprogram Pemerintah, maka masalah kemiskinan ini diyakini dapat ditanggulangi. Namun, dengan menilik capaian program dan kondisi saat ini, maka diperkirakan sasaran utama RPJMN bidang penanggulang kemiskinan pada 2009, yaitu menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8,2 persen, agaknya sulit tercapai. 4.2.5.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Pada 2008, tingkat kemiskinan berhasil diturunkan menjadi 15,42 persen dari total penduduk. Untuk mendekati sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2008, Pemerintah akan meningkatkan upaya-upaya yang agar lebih efektif. Akan tetapi, menilik capaian program hingga 2008 dan kondisi krisis global yang kini terjadi,

Selain program-program PKH, program lain dalam kluster I adalah subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) untuk membantu pemenuhan ketahanan pangan di tingkat rumah-tangga, penyediaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), serta beasiswa untuk anak dari keluarga miskin.
Selain itu, berbagai langkah pengendalian harga bahan-bahan pokok juga terus dilakukan. Dukungan agar masyarakat miskin dapat menjangkau sumberdaya produktif dan berusaha, baik dalam skala informal maupun mikro, juga diupayakan. Dengan cara ini diharapkan isolasi masyarakat terhadap kegiatan ekonomi di wilayahnya dapat terbuka. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan dialami oleh semua kelompok masyarakat. Melalui keterhubungan ini, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan semakin berkualitas dan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan tingkat partisipasinya. Dalam kaitan itu, percepatan pengurangan kemiskinan tahun tersisa dalam RPJMN 2004-2009 akan dititikberatkan pada: 1. Menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok; 2. Mengembangkan kegiatan ekonomi yang ber-

209

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

sasaran penduduk miskin 8,2 persen pada 2009 akan sulit tercapai pada akhir nanti RPJMN 20042009. Hal ini disebabkan oleh: 1. Penambahan alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan di APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sulit untuk dilakukan. Rata-rata alokasi masih berkisar 8-12 persen dari total anggaran; 2. Masih lemahnya koordinasi para pemangku kepentingan pelaksana program penanggulangan kemiskinan di tingkat pusat dan daerah. 3. Pelaksanaan penurunan angka kemiskinan pada 2009 kembali menghadapi tantangan baru dengan terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat yang kemudian menjalar ke negara-negara lainnya. Indonesia tampaknya akan mengalami dampak dari krisis tersebut melalui kelangkaan likuiditas dan penurunan permintaan/ekspor. Pada gilirannya hal tersebut akan berpengaruh pada tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan kemiskinan yang sudah direncanakan.

a. Memperkuat permintaan dalam negeri sebagai pengganti penurunan ekspor; b. Mempercepat program-program pembangunan dan pemfokusan untuk program padat karya; c. Meningkatkan intensitas program penanggulangan kemiskinan yang sudah dikelompokkan ke dalam tiga kluster; serta d. Meningkatkan efektivitas pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan terutama di daerah-daerah. Dengan langkah-langkah di atas diharapkan sasaran tingkat kemiskinan sebesar 12-14 persen sebagaimana ditetapkan dalam RKP 2009 dapat tercapai. Tentu saja hal ini perlu didukung oleh stabilitas kondisi makroekonomi, pengendalian suku bunga, serta tingkat inasi agar pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja dapat dioptimalkan. Lebih lanjut, stabilitas makroekonomi ini diharapkan dapat mendukung penyediaan akses pelayanan dasar yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan demikian, upaya penanganan kemiskinan dapat berjalan dengan optimal dan dapat mencapai sasaran.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dengan program berbasis pemberdayaan masyarakat, akses terhadap pelayanan hak-hak dasar, terutama bagi masyarakat miskin dan masyarakat yang rentan untuk masuk dalam kategori miskin lebih terbuka lebar.
Selain berbagai upaya tersebut, Pemerintah juga menyiapkan langkah-langkah pengamanan baik di tingkat makro, berupa langkah pengamanan bidang keuangan dan skal, maupun mikro berupa pengendalian dampak krisis global terhadap kemiskinan. Langkah-langkah yang dipersiapkan antara lain:

4.2.6. Penutup Secara umum, karakteristik kemiskinan di Indonesia lebih besar berada di perdesaan dan di luar Pulau Jawa. Kondisi kemiskinan ini juga ditandai dengan masih rendahnya akses terhadap kebutuhan dasar, seperti: pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Ditambah lagi dengan masih rentannya sebagian masyarakat terhadap goncangan, baik ekonomi maupun bencana. Dengan karakteristik tersebut, maka usaha dan program pengentasan kemiskinan yang berbasis masyarakat, seperti PNPM Mandiri, menjadi lebih efektif. Hal ini mengingat misi dari program

210

Bagian 4

tersebut adalah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Upaya berbasis masyarakat dalam hal ini lebih bersifat jangka panjang bila dibanding dengan program bantuan dalam bentuk tunai. Dengan program berbasis pemberdayaan masyarakat, akses terhadap pelayanan hak-hak dasar, terutama bagi masyarakat miskin dan masyarakat yang rentan untuk masuk dalam kategori miskin lebih terbuka lebar. Selain itu, masyarakat diharapkan mampu berusaha untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari kemiskinan secara mandiri. Adapun langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya perluasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar serta penanganan masalah gizi dan kerawanan pangan adalah tepat. Upaya-upaya tersebut dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok dan meningkatkan akses mereka pada fasilitas penunjang dasar. Dengan pelaksanaan program yang berkesinambungan dan konsisten, secara umum hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan dan pengentasan kemiskinan adalah

diperlukannya pengendalian pertumbuhan penduduk. Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan masyarakat dalam kategori miskin juga semakin tinggi. Selain itu, upaya tambahan harus pula dilakukan untuk mengakselerasi pengentasan kemiskinan. Upaya-upaya tersebut diantaranya: 1. Pengendalian harga bahan pokok agar terjangkau masyarakat miskin; 2. Peningkatan akses sumberdaya produktif bagi masyarakat miskin; 3. Penyelenggaraan penyempurnaan sistem perlindungan sosial yang meliputi: bantuan sosial bagi masyarakat rentan dan miskin, jaminan sosial melalui sistem asuransi dan iuran rutin, serta jaminan sosial dengan cakupan yang lebih luas.

Dengan peran serta masyarakat secara aktif, ditambah dengan dukungan penuh dari program-program Pemerintah, maka masalah kemiskinan akan dapat ditanggulangi. Sasaran penduduk miskin sebesar 8,2 persen pada akhir 2009 memang akan sulit terpenuhi, menilik capaian program hingga 2008 dan kondisi krisis global yang kini terjadi. Akan tetapi, pencapaian tingkat kemiskinan pada 2009, sebesar 12-14 persen yang ditargetkan RKP, berpeluang besar untuk tercapai.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

211

212
Tabel 4.2.1. Sasaran dan Pencapaian Penanggulangan Kemiskinan
Indikator (Satuan) 16,66 / 15,97 17,75 16,58 15,3 Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 19,10 54,09 / 54,15 36,10 35,00/29,40 28,10 34,00 60,00 76,40 66,61 56,30 (Angka Sementara) 0,70 58,27 (ARAM I) **) 76,40 Juta Ton Juta jiwa jiwa (persen) (persen) (persen) unit 38.486 / 36.600 9,55 74,08 / 74,25 113,96 / 114,89 110,80 88,68 8,07 37.104 94,90 92,52 7,20 45.013 6,22 ribu orang ribu orang Juta (persen) (persen) (persen) - / 82,9 - / 416,6 10,30 / 11,90 9,90/ 11,20 67,55 / 66,79 9,86 / 11,24 100 503,9 10,90 10,20 66,16 10,28 102,3 569,7 10,01 9,10 66,99 9,11 67,33 ***) 8,46 108,7 499,9 9.4

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

No

Sasaran

Menurunnya persentase pen- Persentase penduduk yang berada di bawah (persen) duduk yang berada dibawah garis garis kemiskinan dan tingkat kemiskinan kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 Jumlah penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT) Juta RTSM

Terpenuhinya kecukupan pangan Produksi padi yang bermutu dan terjangkau

Terpenuhinya pelayanan kesehat- Jumlah masyarakat miskin yang mendapatkan an yang bermutu pelayanan kesehatan (melalui ASKESKIN)

Angka kematian bayi (AKB)

Sasaran 4 Tersedianya pelayanan Angka partisipasi kasar (APK) SD/MI dan SMP/ pendidikan dasar yang bermutu MTs: dan merata - APK SD/MI

- APK SMP/MTs

Angka Buta Huruf di perdesaan dan perkotaan (> 15 tahun)

Ketersediaan fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke atas di daerah perdesaan dan perkotaan

- Peserta didik Program Paket A setara SD

- Peserta didik Program Paket B setara SMP

Terbukanya kesempatan kerja dan Jumlah Pengangguran dan penciptaan kesemberusaha patan kerja

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Tingkat pengangguran terbuka

Lanjutan Tabel 4.2.1.


Indikator (Satuan) (persen) (persen) menurut orang orang orang orang orang orang Unit -/Juta 1,20 (persen) 0 Sertikat 1.881.000 830.000 0 2.831 4.768 1,50 90.144 57 twin blok (rusunawa) 348.107/ 395.538 395.554 237.251/ 308.522 278.074 3.695.504/ 5.106.915 4.156.708 2.690.912/ 3.151.231 2.730.045 2.264.198 4.070.553 397.191 566.588 2.275.281/ 2.729.915 2.589.699 2.179.792 1.004.296/ 937.985 781.920 532.820 528.195 2.216.748 2.166.619 3.369.959 519.867 626.202 12,89 / 14,71 13,35 10,77 8,11 / 9,29 8,52 8,11 Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

No

Sasaran

Pengangguran Terbuka Laki-laki

Pengangguran Terbuka Perempuan terbuka

Tingkat pengangguran tingkat pendidikan:

- < Sekolah Dasar

- Sekolah Dasar

- Sekolah Menengah Pertama

- Sekolah Menengah Atas

- Diploma

- Universitas

Terpenuhinya kebutuhan peru- Jumlah rumah susun sederhana yang dibangun mahan dan sanitasi yang layak untuk masyarakat miskin dan sehat

Terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman bagi masyarakat miskin

Meningkatnya partisipasi masyara- Jumlah Kecamatan yang menerima PNPM kat miskin dalam pengambilan keputusan

Bagian 4

Terjamin dan terlindunginya hak Jumlah sertikasi tanah yang diterbitkan bagi perorangan dan hak komunal atas masyarakat miskin tanah

- Angka Melek Huruf (persen) tahun 90,38 / 90,91 92,39 L (9,0); P (6,2) 92,49

- Rata-rata lama Sekolah (L/P)

Ket.: *) **) ***)

berdasarkan data dan informasi Susenas per Maret 2008 berdasarkan data dan informasi Departemen Pertanian per Maret 2008 berdasarkan data dan inf ormasi Sakernas per Februari 2008

213

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade (Fadil Aziz)

Bagian 4

BAB 4.3
Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas

4.3.1. Pengantar Investasi merupakan komponen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih berkesinambungan. Pemulihan investasi harus menjadi dasar bagi proses pemulihan ekonomi mengingat dampak kegiatannya yang luas. Kegiatan investasi pada gilirannya akan mendorong kegiatan di sektor-sektor lainnya, termasuk kegiatan ekspor. Namun, berkembangnya investasi dan ekspor sangat membutuhkan iklim usaha yang kondusif. Saat ini upaya perbaikan iklim usaha telah dilakukan namun belum optimal, sehingga berpengaruh pada pemulihan investasi. Pada 2004 pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB), sebagai pendekatan realisasi investasi, mencapai 14,7 persen. Sementara itu, nilai ekspor secara keseluruhan dalam tahun 2004 meningkat cukup tinggi menjadi USD 69,7 miliar, atau meningkat sebesar 11,5 persen dibandingkan pada 2003. Akan tetapi, kegiatan ekspor masih tergantung pada kondisi ekonomi negara-negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia seperti: Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Selain itu, tingkat daya saing produk Indonesia juga perlu terus ditingkatkan terutama dalam rangka menghadapi globalisasi. Di sektor jasa-jasa, pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang memberikan andil cukup penting sebagai salah satu penyumbang devisa utama dari sektor nonmigas. Pada tahun 2004,

jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 5,32 juta orang dengan perolehan devisa sekitar USD 4,80 miliar. Dengan demikian pariwisata masih menjadi penyumbang terbesar penghasil devisa ke dua setelah ekspor minyak dan gas.

4.3.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada 2005, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 5,7 persen. Untuk terus dapat meningkatkan laju pertumbuhan, Pemerintah melakukan berbagai upaya, diantaranya: pengembangan dan penguatan iklim investasi serta mendorong pertumbuhan foreign direct investment (FDI). Dengan demikian, diharapkan lapangan kerja akan tercipta lebih banyak dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) akan meningkat. Selanjutnya, hal ini diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Sepanjang 2004 hingga 2005, nilai realisasi investasi tumbuh hingga 108,4 persen. Pada 2004, total investasi terdiri dari 678 proyek dengan nilai Rp 56,26 triliun (atau USD 6,30 miliar). Dari total investasi ini, penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat sebesar 130 proyek dengan nilai Rp 15,41 triliun (USD 1,72 miliar). Sementara, penanaman modal asing (PMA) berjumlah 548 proyek dengan nilai Rp 40,86 triliun (USD 4,57 miliar). Pada 2005, realisasi investasi kembali meningkat menjadi 1.122 proyek dengan nilai Rp 117,26 triliun (USD 12,07 miliar). Dari nilai ini, komposisi PMDN sebanyak 215 proyek dengan
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

215

nilai Rp 30,72 triliun (USD 3,16 miliar). Sedangkan PMA sebanyak 907 proyek dengan nilai Rp 86,53 triliun (USD 8,91 miliar). Pertumbuhan ekspor total meningkat dari sekitar 14,5 persen pada 2004 menjadi 19,7 persen pada 2005, disebabkan oleh pertumbuhan ekspor migas sebesar 22,9 persen dan ekspor nonmigas sebesar 18,8 persen. Faktor utama pendorong pertumbuhan ekspor nonmigas adalah ekspor pertambangan yang tumbuh sebesar 66,9 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor pertanian (15,4 persen) dan ekspor manufaktur (14,2 persen). Sementara itu, pertumbuhan impor melambat dari 40,6 persen pada 2004 menjadi 24,0 persen pada 2005, terutama disebabkan oleh melambatnya impor barang modal dari 51,5 persen pada 2004 menjadi 26,9 persen pada 2005. Di bidang pariwisata, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada 2004 meningkat sekitar 19,12 persen dari tahun 2003 menjadi sebesar 5,32 juta orang dengan penghasilan devisa sebesar USD 4,80 miliar atau meningkat sekitar 18,83 persen dari tahun 2003. Jumlah tersebut mampu memberikan kontribusi terbesar kedua setelah ekspor migas. Dalam upaya meningkatkan investasi dan ekspor nonmigas, sasaran-sasaran RPJMN 2004-2009 adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi di berbagai tingkat Pemerintahan yang mampu mengurangi praktik ekonomi biaya tinggi. Reformasi dimaksudkan sebagai upaya untuk: (a) Menuntaskan sinkronisasi dan deregulasi peraturan antarsektor dan antara pusat dengan daerah; (b) Meningkatkan kapasitas kelembagaan guna mengimplementasikan penyederhanaan prosedur perizinan investasi; (c) Menyempurnakan sistem perpajakan dan Kepabeanan; serta (d) Penegakan hukum untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban berusaha.

2. Meningkatnya esiensi pelayanan ekspor-impor, kepelabuhanan, kepabeanan, dan administrasi (verikasi dan restitusi) perpajakan. Diharapkan dalam 3 tahun pertama akan dicapai tingkat esiensi yang kurang lebih sama dengan separuh tingkat esiensi negara-negara Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang maju perekonomiannya; 3. Terpangkasnya prosedur perizinan memulai usaha dan operasi bisnis. Dalam 3 tahun pertama diharapkan dapat menyamai separuh tingkat esiensi prosedur memulai usaha dan bisnis pada negara-negara ASEAN yang maju perekonomiannya; 4. Meningkatnya investasi secara bertahap agar kontribusinya terhadap Produk Nasional Bruto (PNB) meningkat dari 20,5 persen pada 2004 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009. Peningkatan ini diharapkan juga diikuti dengan penyebaran yang makin luas dan merata pada kawasan-kawasan di luar Pulau Jawa, terutama kawasan timur Indonesia; 5. Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara bertahap dari sekitar 5,2 persen pada 2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun 2009 dengan komposisi produk yang lebih beragam dan kandungan teknologi yang semakin tinggi; 6. Meningkatnya esiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha untuk mewujudkan perdagangan dalam negeri yang kondusif dan dinamis; 7. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa menjadi sekitar USD 10 miliar pada tahun 2009; 8. Meningkatnya kontribusi kiriman devisa dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri yang berkisar sekitar USD 1 miliar. Kedelapan sasaran tersebut di atas dicapai melalui 11 program, yaitu: 1. Program peningkatan promosi dan kerjasama investasi

216

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

2. Program pengembangan standardisasi nasional 3. Program peningkatan kerjasama perdagangan internasional 4. Program peningkatan iklim investasi dan realisasi investasi 5. Program peningkatan dan pengembangan ekspor 6. Program persaingan usaha 7. Program perlindungan konsumen dan pengamanan perdagangan 8. Program peningkatan esiensi perdagangan dalam negeri 9. Program pengembangan pemasaran pariwisata 10. Program pengembangan destinasi pariwisata 11. Program pengembangan kemitraan

Sebagai lanjutan dari kedua paket kebijakan tersebut, pada tahun berikutnya diterbitkan Inpres 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009. Fokus kebijakan perbaikan iklim investasi adalah untuk memperbaiki kepastian hukum bagi investor, memperbaiki iklim berusaha dan memberikan insentif investasi. Di dalamnya memuat upaya memberikan kemudahan kepada investor untuk memperoleh informasi dalam mengajukan seluruh jenis ijin, terkait dengan kegiatan penanaman modal dengan membangun Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik/on- line (SPIPISE). Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan Pemerintah untuk menunjang iklim investasi, telah diterbitkan antara lain: 1. Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada 26 April 2007; 2. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal pada 3 Juli 2007; 3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota pada 9 Juli 2007; 4. PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pada tanggal 23 Juli 2007; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun, pada 20 Agustus 2007; 6. Perpres Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 3 September 2007;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.3.3. Pencapaian 2005-2008 4.3.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Sasaran 1: Terwujudnya iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi sebagaimana dituangkan dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2006 telah ditindaklanjuti dan diperbaiki melalui sejumlah kebijakan, antara lain melalui Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Peraturan ini terdiri dari 4 kelompok kebijakan, yaitu: investasi, lembaga keuangan, UMKM, dan infrastruktur.

Fokus kebijakan perbaikan iklim investasi adalah untuk memperbaiki kepastian hukum bagi investor, memperbaiki iklim berusaha dan memberikan insentif investasi

217

7. Perpres Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal pada 27 Desember 2007; 8. PP Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka pada tanggal 28 Desember 2007; 9. Perpres Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window pada tanggal 26 Februari 2008; 10. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Kepala BKPM Nomor 57/Sk/2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing pada 3 April 2008; 11. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional pada 7 Mei 2008; 12. PP No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah pada 24 Juni 2008; 13. PP No. 62 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu, pada tanggal 23 September 2008. PP ini merevisi jumlah bidang usaha dan daerah lokasi investasi yang dapat memperoleh fasilitas pajak penghasilan, yang semula 15 bidang usaha tertentu menjadi 23 bidang usaha tertentu dan 9 bidang usaha tertentu dan daerah tertentu menjadi 15 bidang usaha tertentu dan daerah tertentu; 14. Peraturan Kepala BKPM Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan

Fasilitas Pajak Penghasilan bagi Perusahaan Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu pada 13 Oktober 2008. Sedangkan peraturan perundang-undangan sektor yang telah dikeluarkan Pemerintah untuk meningkatkan kepastian hukum bagi investor, telah diterbitkan antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pada tanggal 23 April 2007; 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi pada tanggal 10 Agustus 2007; 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada tanggal 16 Agustus 2007; 4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang, pada tanggal 1 November 2007; 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008;

218

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : Angkasa, DN Yusuf

Bagian 4

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada tanggal 7 Mei 2008; 7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah pada tanggal 16 Agustus 2007; 8. Telah disahkannya Undang-Undang tentang Mineral, Pertambangan dan Batubara oleh DPR pada tanggal 16 Desember 2008 untuk disetujui Pemerintah selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal disahkan. Sasaran 2: Meningkatnya esiensi pelayanan ekspor-impor, kepelabuhanan, kepabeanan, dan administrasi (verikasi dan restitusi) perpajakan Di bidang perdagangan luar negeri, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh dalam upaya peningkatan ekspor nonmigas, antara lain: 1. Fasilitasi perdagangan luar negeri, yang dilakukan melalui peningkatan kelancaran arus barang, dan pengurangan ekonomi biaya tinggi, melalui: (a) Penyederhanaan prosedur impor dengan menerapkan sistem angka pengenal importir (API) on-line untuk memudahkan importasi bahan baku/penolong dan barang modal bagi industri dalam negeri; (b) Otomasi

penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) pada 23 Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal (IPSKA) pada 2006 yang akan ditingkatkan menjadi 28 IPSKA pada 2007 dan 2008; (c) Penetapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang memberikan pembebasan impor barang modal bukan baru, impor dalam rangka relokasi pabrik dan pembebasan dari kewajiban Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK) untuk memenuhi kebutuhan di kawasan berikat daerah industri di Pulau Batam, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun. 2. Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan National Single Window (NSW) dalam rangka mewujudkan kesepakatan pembentukan Asean Single Window (ASW). Pembentukan sistem NSW sampai dengan akhir tahun 2008 telah mencapai implementasi tahap ketiga. Pada tahap ini hasil yang telah dicapai adalah: (i) seluruh importir dan PPJK di pelabuhan Tanjung Priok sudah dapat menggunakan sistem NSW untuk proses impor; (ii) penerapan sistem NSW untuk importir tertentu di 4 (empat) pelabuhan lain, yaitu: Tanjung Emas, Tanjung Perak, Belawan, dan Bandar Udara Soekarno Hatta. Dalam Tahap ke-tiga ini seluruh instansi Pemerintah (Government Agency/GA) yang ter-

Tabel 4.3.1. Tahapan Integrasi Instansi Pemerintah (Government Agency/GA) dengan Sistem NSW
No 1 Nama GA Ujicoba Awal
Nop 2007

Imp.Tahap Ke1
Des 2007

Imp.Tahap Ke2
Juli 2008

Imp.Tahap Ke3

Ditjen Bea dan Cukai 2 Badan POM 3 Ditjen Perdagangan LN 4 Badan Karantina Pertanian 5 Pusat Karantina Ikan 6 Departemen Kesehatan 7 Ditjen Postel, DepKominfo 8 Badan Pwas Tenaga Nuklir 9 Dep.Pertanian (PPI)* 10 Departemen Perindustrian 11 Departemen ESDM* 12 Departemen Kehutanan** 13 Kement. Lingkungan Hidup** 14 Mabes Kepolisian RI** 15 Departemen Pertahanan** Keterangan:
Sudah Integrasi secara penuh Belum ter-integrasi dgn Portal INSW Secara Teknis siap, perlu effort tambahan

Sumber: Menko Perekonomian

219

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Des 2008

libat dengan perijinan impor (sejumlah 15 GA) sudah mulai terintegrasi dengan portal NSW, dengan rincian sebagai berikut: 7 GA yang terintegrasi secara langsung (menggunakan WebServices) dan 1 GA yang menggunakan metode up-load data (Web-Form), sedangkan sisa 7 GA lainnya secara teknis sudah siap, namun masih perlu upaya tindak lanjut untuk mengintegrasikan secara utuh. 3. Penerapan strategi pengembangan ekspor melalui pendekatan produk/sektor dan pendekatan pasar, sebagai berikut: (a) Pengembangan ekspor melalui pendekatan produk/sektoral difokuskan pada 10 komoditas utama (tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronika, produk hasil hutan, karet dan produk karet, kelapa sawit/crude palm oil (CPO), alas kaki, komponen kendaraan bermotor, udang, kakao dan kopi) dan 10 komoditas potensial (ikan dan produk ikan, makanan olahan, kulit dan produk kulit, rempah-rempah, obat-obatan tradisional, minyak esensial, alat tulis selain kertas, perhiasan, handicraft, dan peralatan kesehatan); (b) Pengembangan ekspor melalui pendekatan pasar difokuskan pada pasar utama dan/atau tradisional (misalnya: Jepang, Eropa, Amerika Serikat, China), pasar prospektif (misalnya: Timur Tengah, India, Taiwan, Australia, Republik Afrika Selatan, Selandia Baru, Rusia, dan Nigeria), dan pasar potensial (pasar Asia di luar ASEAN: Brazil, Eropa Timur, Meksiko, dan Chile); 4. Peningkatan akses pasar dan promosi produk ekspor, antara lain melalui: partisipasi pada pameran dagang di luar negeri, penyelenggaraan Trade Expo Indonesia, penyelenggaraan Indonesia Solo Exhibition, pengiriman misi dagang, dan berbagai kegiatan lain yang dimaksudkan untuk mendorong kunjungan pembeli dari luar negeri ke Indonesia. Selain itu, beberapa upaya lain yang juga telah dilakukan, antara lain: (a) Penyelenggaraan 9 kantor Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC) dan pembukaan 11 kantor ITPC baru;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade

(b) Pelatihan ekspor untuk dunia usaha, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang dilakukan melalui Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia (BB-PPEI) di Jakarta dan Kantor Pusat Pelatihan dan Promosi Ekspor Daerah (P3ED) di Surabaya, Medan, Makasar, dan Banjarmasin; 5. Peningkatan efektivitas perundingan kerjasama perdagangan internasional, dengan bertumpu pada sistem perdagangan multilateral (World Trade Organization/WTO); organisasi komoditi seperti: International Tripartite Rubber Council/ITRC, Association of Natural Rubber Proucing Countries/ANRPC, International Pepper Community/IPC, Asian and Pasic Coconut Community/APCC, International Coffee Organization/ICO; serta organisasi internasional lainnya seperti: Developing Eight/D-8 dan General System of Trade Preferences/GSTP, regional (ASEAN plus mitra dialog dan AsiaPasic Economic Cooperation/APEC), dan bilateral (berorientasi pada penjajakan pengembangan Economic Partnership Agreement/EPA dan Free Trade Agreement/FTA). Sasaran 3: Pemangkasan prosedur perizinan memulai usaha dan operasi bisnis Beberapa capaian terkait sasaran ketiga, yakni terpangkasnya prosedur perizinan memulai usaha dan operasi bisnis, adalah: 1. Diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006

220

Bagian 4

mengenai pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) untuk berbagai jenis perizinan, termasuk perizinan investasi, serta telah disusunnya Panduan Nasional tentang PPTSP pada Mei 2007; 2. Beroperasinya Unit Pelayanan Investasi Terpadu (UPIT) di Batam pada Juli 2006 untuk mempercepat proses perizinan investasi pada kawasan Batam, Bintan, dan Karimun. Sasaran 4: Meningkatnya investasi secara bertahap Berdasarkan data BKPM, nilai realisasi investasi (Izin Usaha Tetap), pada 2005 yang mengalami peningkatan signikan (tumbuh hingga 108,4 persen). Pada 2006 realisasi investasi mengalami penurunan sebesar 35,5 persen, namun kemudian mengalami peningkatan kembali yang sangat tinggi yaitu tumbuh 71,2 persen pada 2007. Meskipun dihadapkan tekanan eksternal yang cukup berat yaitu uktuasi harga minyak dunia dan resesi dunia yang didorong krisis keuangan di AS, kinerja investasi tahun 2008 dapat terjaga. Total realisasi investasi tahun 2008 tersebut mampu tumbuh hingga 20,5 persen dimana realisasi PMA mampu tumbuh sebesar 43,8 persen (dengan ni-

lai USD 14,8 miliar) atau tertinggi dibandingkan periode sebelumnya (dari tahun 1990 sampai dengan 2007). Perkembangan rincian realisasi PMDN dan PMA dapat dilihat dalam gambar 4.3.1. berikut. Dari keseluruhan realisasi investasi PMDN selama 4 tahun tersebut, sebagian besar tertuju pada sektor sekunder (industri pengolahan). Sektor sekunder yang banyak digeluti, meliputi: industri kertas, barang dari kertas & percetakan; industri makanan; tanaman pangan & perkebunan; industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronika; dan industri kimia dasar, barang kimia & farmasi. Sedangkan realisasi PMA sebagian besar mengalir pada sektor tersier, kecuali pada 2006 yang bergerak pada sektor sekunder. Namun, realisasi investasi ini sebagian besar masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Meningkatnya kinerja investasi tidak terlepas dari kebijakan otoritas perbankan yang ikut mendukung. Sejak November 2006, Bank Indonesia (BI) mulai menurunkan tingkat suku bunga (BI rate). Penurunan BI Rate tersebut diiringi pula dengan berbagai kebijakan yang mencakup konsolidasi, intermediasi, bank asing, bank Badan Usaha Mi-

Gambar 4.3.1. Angka realisasi investasi PMDN dan PMA 2005-2008

Sumber: BKPM

221

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

lik Negara (BUMN), serta pengembangan instrumen pasar keuangan, perbankan syariah, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Selain itu, BI juga melonggarkan dan menyesuaikan sejumlah aturan mengenai penilaian aktiva produktif dan batas nilai aktiva produktif. BI menegaskan pula tentang ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sebesar 30 persen bukan hanya bagi BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur, tetapi juga pada berbagai sektor pembangunan lainnya. Berbagai kebijakan sektor perbankan tersebut secara tidak langsung turut mendukung peningkatan kinerja investasi selama tahun 2007. Sasaran 5: Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara bertahap Realisasi dari pertumbuhan ekspor nonmigas selama periode 4 tahun RPJMN 2004-2009 selalu berada diatas sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN dan RKP (Gambar 4.3.2). Ekspor nonmigas saat ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekspor, karena perannya terhadap nilai

ekspor total yang besar (yaitu rata-rata sebesar 78,9 persen selama kurun waktu 2005-2008) dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2005, nilai ekspor tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekspor migas adalah sebesar 22,9 persen dan ekspor nonmigas adalah sebesar 18,8 persen, dengan nilai ekspornya masing-masing mencapai USD 19,2 miliar dan USD 66,4 miliar. Pada 2006, nilai ekspor tumbuh sebesar 17,7 persen, sedikit lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini karena adanya perlambatan dari ekspor migas yang hanya tumbuh sebesar 10,3 persen atau mencapai nilai sebesar USD 21,2 miliar, yang melambat sebanyak 12,7 persen dari tahun sebelumnya. Namun, ekspor nonmigas pada 2006 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 19,8 persen atau mencapai nilai sebesar USD 79,6 milyar. Berdasarnya sektornya, pertumbuhan ekspor pertambangan yang sebesar 40,8 persen merupakan yang tertinggi di antara ekspor perta-

Gambar 4.3.2. Sasaran dan Realisasi Ekspor Nonmigas

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sumber: BPS dan Bappenas (RPJM dan RKP)

222

Bagian 4

nian dan manufaktur yang masing-masing hanya sebesar 16,8 persen dan 17,0 persen. Selama 2007 ekspor nonmigas Indonesia masih tumbuh cukup tinggi. Nilai ekspor total Indonesia pada 2007 tumbuh sebesar 13,2 persen atau mencapai USD 114,1 miliar, yang terdiri dari ekspor migas sebesar USD 22,1 miliar atau meningkat 4,1 persen dan ekspor nonmigas sebesar USD 92,0 miliar atau meningkat 15,6 persen dibandingkan tahun 2006. Selama tahun 2007, nilai ekspor nonmigas untuk 10 (sepuluh) golongan komoditas, seperti: lemak dan minyak hewan/nabati, mesin/ peralatan listrik, bahan bakar mineral, karet dan barang dari karet, bijih kerak dan abu logam, mesin-mesin/pesawat mekanik, kertas/karton, pakaian jadi bukan rajutan, kayu, barang dari kayu, serta tembaga, meningkat sebesar 15,71 persen dibanding tahun 2006. Kontribusinya terhadap total ekspor nonmigas mencapai 58,01 persen. Pada 2008, nilai ekspor nonmigas tumbuh pada angka yang cukup tinggi, yaitu sebesar 17,2 persen (y-o-y), walaupun ini dibawah rata-rata pertum-

buhan selama kurun waktu 2005-2008, yaitu sebesar 17,8 persen. Pertumbuhan nilai ekspor nonmigas tahun 2008 terutama didorong oleh kenaikan ekspor komoditas pertanian yang tumbuh sebesar 35,0 persen dan kenaikan ekspor komoditas manufaktur yang tumbuh sebesar 15,1 persen serta komoditas pertambangan dan lainnya yang tumbuh sebesar 24,7 persen. Kenaikan nilai ekspor tersebut selain disebabkan oleh adanya kenaikan harga juga didorong oleh kenaikan volume ekspor. Faktor utama pendorong pertumbuhan ekspor nonmigas pada 2008 adalah ekspor manufaktur yang perannya terhadap pertumbuhan ekspor nonmigas adalah sebesar 81,7 persen. Sisanya, yaitu sebesar 13,7 persen berasal dari ekspor pertambangan dan 4,6 persen berasal dari ekspor pertanian. Sumbangan ekspor nonmigas Indonesia yang ditujukan ke Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa menunjukkan penurunan yang cukup berarti. Total ekspor nonmigas ke tiga pasar tersebut pada 2008 sebesar 48,0 persen dari total ekspor non-

Tabel 4.3.2. Perkembangan Ekspor Nonmigas Indonesia Tahun 2008 Nilai FOB ( Juta US$ ) Ekspor JanDes 2007 (4) 114.100,9 22.088,6 9.226,0 2.878,8 9.983,8 92.012,3 JanDes 2008 (5) 136.761,7 28.958,3 12.418,7 3.379,1 13.160,5 107.803,4 % % % Peran Perubahan Perubahan JanDes thd total Des 2008 2008 thd JanDes thd Nov 2008 2007 2008 (6) -9,6 -13,7 -6,0 -58,2 -4,6 -8,8 (7) 19,9 31,1 34,6 17,4 31,8 17,2 (8) 100,0 21,2 9,1 2,5 9,6 78,8

Des 2007

Des 2008

(1) Total Ekspor Migas Minyak Mentah Hasil Minyak Gas Nonmigas
Sumber: BPS (diolah)

(2) 10.942,0 2.517,0 1.081,0 312,4 1.123,6 8.425,0

(3) 9,611.7 1,440.9 484.6 231.5 724.8 8,170.8

223

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tabel 4.3.3. Peran Ekspor Pertanian, Industri dan Pertambangan terhadap Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (2005-2008) Peran terhadap Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (%) 2005 Pertanian Industri Pertambangan
Sumber: BPS

Komoditas

2006 4,2% 81,7% 14,1%

2007 4,0% 83,1% 12,9%

2008 4,6% 81,7% 13,7%

4,3% 83,7% 12,0%

migas, yang menurun dibandingkan dengan tahun 2006 dan 2007. Hal ini menunjukkan bahwa diversikasi pasar tujuan ekspor Indonesia sudah mulai meningkat di setiap tahunnya. Pada 2008, sumbangan ekspor nonmigas ke Jepang adalah sebesar 12,8 persen terhadap total ekspor nonmigas, cenderung lebih kecil dibandingkan de-

ngan tahun 2006 dan 2007 yang sumbangannya adalah sebesar 15,3 dan 14,3 persen. Demikian juga sumbangan ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat dan Uni Eropa pada 2008 yang sebesar 11,6 dan 14,2 persen adalah cenderung lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2006 dan 2007.

Gambar 4.3.3. Perkembangan Pasar Ekspor Nonmigas

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sumber: BPS

224

Bagian 4

Sasaran 6: Meningkatnya esiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha 1. Perdagangan Dalam Negeri Salah satu isu penting dalam perdagangan dalam negeri adalah stabilitas harga bahan pokok. Selama tahun 2005-2008, perkembangan harga bahan kebutuhan pokok secara umum relatif stabil. Keadaan ini dapat dilihat dari andil inasi bahan pangan yang cenderung turun setiap tahun. Tahun 2005, andil inasi bahan pangan terhadap inasi nasional tercatat 3,26 persen, yang kemudian turun menjadi 3,05 persen pada 2006; 2,82 persen pada 2007; dan 3,49 persen pada 2008. Beberapa kegiatan pembangunan sarana distribusi perdagangan juga telah dilakukan. Sejak tahun 2005 hingga 2008, jumlah pasar yang telah dibangun di daerah sebanyak 315 unit, yang menampung pedagang kecil sekitar 15.000 pedagang. Pemerintah pun telah memberikan bantuan berupa tenda pasar darurat kepada para pedagang kecil, bahan kebutuhan pokok, dan hasil pertanian di daerah pascabencana alam/konik. Jumlah bantuan tenda pasar selama kurun tahun 2005 hingga 2008 sebanyak 15.665 unit, gerobak sebanyak 921 buah, coolbox sebanyak 4.925 buah, dan bantuan peralatan kemasan sebanyak 280 unit ke 14 kabupaten/kota. Terkait pengamanan pasar dalam negeri dan perlindungan konsumen, capaian penting yang telah diraih adalah: 1. Meningkatnya pemahaman masyarakat dan aparat terkait terhadap peraturan perlindungan konsumen, antara lain ditandai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam pengaduan kasus konsumen kepada lembaga perlindungan konsumen. Tahun 2005 jumlah kasus pengaduan yang disampaikan oleh konsumen sebanyak 73 kasus tahun 2006 sebanyak 135 kasus dan tahun 2007 sebanyak 173 kasus dan tahun 2008 sebanyak 87 kasus. 2. Sampai dengan akhir tahun 2008 telah terbentuk badan penyelesaian sengketa konsumen

(BPSK) di 42 kabupaten/kota dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) sejumlah 150 yang tersebar di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 3. Tersedianya tenaga Penyidik Pegawai Negeri SipilPerlindungan Konsumen (PPNSPK) untuk mendukung pelaksanaan penyidikan yang terkait dengan kasus perlindungan konsumen dan tenaga Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) yang profesional untuk mendukung kegiatan pengawasan barang beredar dan jasa. Sampai dengan 2008 tenaga PPNSPK berjumlah 785 dan PPBJ sebanyak 958 orang yang tersebar di Departemen Perdagangan (Depdag), dan Dinas Pperindustrian dan Perdagangan (Perindag) provinsi dan kabupaten/kota. 4. Terkait pengawasan terhadap mutu barang yang sudah diberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib telah diterbitkan Permendag Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Peraturan ini mengatur pengawasan pra pasar melalui Nomor Registrasi Produk (NRP) untuk produksi dalam negeri dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB) untuk produk impor; serta pengawasan di pasar terhadap 44 produk yang sudah diberlakukan SNI wajib. Selain itu, Pemerintah juga melakukan pengawasan perdagangan berjangka komoditas. Dalam waktu 3 tahun terakhir (2006-2008) terjadi peningkatan volume transaksi perdagangan berjangka komoditas, yang terlihat dari adanya kenaikan cukup besar dari 4.300.101 lot pada 2006, menjadi 4.585.025 lot pada 2007, dan 5.544.943 lot pada 2008. Selama periode 2006-2008, terdapat kenaikan jumlah pialang berjangka dan 76 perusahaan pada 2006, menjadi 79 perusahaan pada 2007, dan 80 perusahaan pada 2008. Jumlah wakil pialang berjangka juga mengalami kenaikan dari 830 orang pada 2006, menjadi 1.180 orang pada 2007, dan 1.866 orang pada 2008. Kantor
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

225

cabang pialang berjangka pun mengalami peningkatan, yaitu dari 55 buah pada 2006, menjadi 84 buah perusahaan pada 2007, dan 123 buah perusahaan pada 2008. Terkait dengan pengawasan perdagangan berjangka komoditas, juga diselenggarakan pasar lelang yang bertujuan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi di bidang perdagangan produk pertanian. Sasaran kebijakan ini adalah membantu pembentukan harga secara transparan, memperpendek jalur pemasaran, mendorong peningkatan mutu dan produksi, serta mempertemukan secara langsung antara penjual dengan pembeli. Dalam 3 tahun terakhir, jumlah pasar lelang telah meningkat dari 13 pasar lelang pada 2005 menjadi 19 pasar lelang pada 2008. Peningkatan pasar lelang ini diikuti pula dengan meningkatnya nilai transaksi dari Rp 1,110 triliun pada 2005 menjadi Rp 1,795 triliun pada 2006. Diprediksi, angka ini akan terus meningkat hingga akhir 2007. Dalam 5 bulan pertama tahun 2007, nilai transaksi yang telah tercatat sebesar Rp 342 miliar. Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah akses pembiayaan petani karena resi gudang (yang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang dan diterbitkan oleh pengelola gudang) saat ini dapat digunakan sebagai agunan untuk mengajukan kredit di bank. Seiring dengan telah diterbitkannya UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang dan Peraturan Pelaksanaannya (PP), Permendag dan Kabappebti), sampai dengan akhir tahun 2008 Pemerintah telah melakukan sosialisasi dan pertemuan teknis SRG di 60 provinsi dan kabupaten/kota, melaksanakan pelatihan pengelola gudang di 3 daerah (Bandung, Semarang, dan Surabaya), serta mendirikan percontohan SRG di 5 daerah yaitu Jawa Barat (Majalengka dan Indramayu), Jawa Tengah (Banyumas dan Kudus), Jawa Timur (Jombang), Sulawesi Selatan (Gowa) dan Lampung (Lampung Barat) untuk komoditas gabah, jagung dan kopi.

2. Persaingan Usaha Di bidang persaingan usaha, beberapa pencapaian yang telah diperoleh, antara lain adalah: 1. Pada 2008, laporan yang diterima KPPU sebanyak 231 laporan, 90 laporan telah dimasukkan ke tahap pemberkasan; 99 laporan dihentikan karena tidak memenuhi persyaratan kelengkapan, serta 42 laporan masih dalam proses penelitian dan klarikasi laporan. 2. Pada 2008, perkara yang ditangani KPPU sebanyak 88 perkara dengan perincian sebagai berikut: perkara yang tidak dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan sebanyak 20 (dua puluh), dan perkara yang sedang ditangani sebanyak 19 (sembilan belas) perkara, dan perkara yang telah diputus sebanyak 49 (empat puluh sembilan) Putusan Komisi. 3. Selama periode tahun 2008, KPPU membacakan 22 putusan. Beberapa pelaku usaha yang tidak menerima putusan komisi tersebut, telah melakukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri. Keberatan atas Putusan KPPU sebanyak 21 putusan, perkara dalam proses kasasi sebanyak 9 perkara, perkara yang dimohonkan peninjauan kembali sebanyak 2 perkara, perkara gugatan lain sebanyak 3 perkara, dan perkara yang diputus Mahkamah Agung sebanyak 8 putusan kasasi. KPPU memenangkan 8 putusan di Pengadilan Negeri dan 4 putusan dikuatkan pada Mahkamah Agung, serta sebanyak 1 perkara lain menang di Pengadilan Negeri. 4. Pada 2008, KPPU telah melakukan 14 kegiatan monitoring pelaku usaha dan 4 monitoring telah memenuhi persyaratan kelengkapan dan kejelasan untuk dilakukan pemberkasan. 5. KPPU telah melakukan beberapa kajian selama 2008, antara lain: kajian sektor industri dan perdagangan pada sektor migas hulu, farmasi dan logistik;

226

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

kajian strategi pelaku usaha pada bandling dan integrasi vertikal; dan kajian industri dan perdagangan di daerah yaitu: semen (Medan), kelapa sawit (Batam), tembakau (Surabaya), batubara (Balikpapan), dan kakao (Makasar).

ini merupakan akibat langsung dari peristiwa Bom Bali II pada Oktober 2005. Peristiwa tersebut berdampak pada penurunan jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia sebesar 5,7 persen atau sekitar 5,0 juta orang. Pada 2006, industri pariwisata masih dihadapkan pada isu-isu negatif, seperti: terorisme, u burung, dan bencana alam. Berkembangnya isu-isu tersebut mempengaruhi minat wisman untuk berkunjung ke Indonesia. Kondisi ini menjadi lebih parah dengan terjadinya tragedi gempa Jateng-Yogyakarta dan bencana tsunami di Pangandaran, Jawa Barat. Bencana tersebut mengakibatkan kerusakan pada sejumlah tujuan wisata unggulan, seperti: Candi Prambanan, Candi Plaosan, dan Candi Sojiwan yang baru dalam tahap pemugaran. Tidak bisa dimungkiri, berbagai peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2006 itu berdampak pada menurunnya penerimaan devisa dari sektor pariwisata. Penerimaan devisa sektor pariwisata turun dari USD 4,52 miliar pada 2005 menjadi USD 4,45 miliar pada 2006. Penurunan penerimaan devisa ini terbilang kecil, hanya sekitar 1,66 persen. Akan tetapi, dampak ikutan yang ditimbulkannya sangat besar. Hal ini mengingat kegiatan pariwisata banyak terkait dengan sektor UMKM yang padat karya. Keterkaitan ini terjadi melalui usaha kerajinan tangan dan suvenir, makanan dan minuman, serta penginapan dan jasa lainnya.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

6. Pada 2008, KPPU telah melakukan beberapa evaluasi kebijakan persaingan pada beberapa sektor industri, antara lain ritel, penerbangan perintis, susu, kedelai, farmasi, lalu lintas (LLAJ), media, migas hilir (LPG), hasil hutan, tender, angkutan darat, pupuk, pelabuhan, energi nasional, dan listrik. 7. Selama 2008, KPPU melakukan penyusunan guideline terkait beberapa pasal pada UU No. 5 Tahun 1999, yaitu pada Pasal 50 (b) mengenai waralaba dan haki, Pasal 51 mengenai BUMN, dan pasar bersangkutan. Selain itu telah dilakukan kajian lanjutan persiapan amandemen UU No. 5 Tahun 1999 yaitu mengenai kelembagaan KPPU dan tata cara penanganan perkara. Kajian implementasi UU No. 5 Tahun 1999 dilakukan pada Pasal 22 mengenai tender dan Pasal 25 mengenai posisi dominan. KPPU juga melakukan kajian kebijakan persaingan usaha Indonesia di forum internasional. 8. Pada 30 Desember 2008, Presiden RI telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Secara substansi, Peraturan Presiden tersebut mengatur: Bagian anggaran yang mandiri bagi KPPU. Penyusunan remunerasi pegawai Sekretariat yang ditetapkan oleh Komisi dengan persetujuan Departemen Keuangan. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dipekerjakan di Sekretariat KPPU. Sasaran 7: Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa Kinerja pariwisata yang membaik pada 2004 kembali mengalami penurunan pada 2005. Hal

Pada 2007, kinerja pariwisata menunjukkan peningkatan. Jumlah wisman tercatat sebesar 5,51 juta orang atau meningkat 13,14 persen. Jumlah devisa yang dihasilkan meningkat pula menjadi sekitar USD 5,35 miliar atau naik 20,2 persen. Dengan peningkatan ini, ditambah dengan membaiknya kondisi keamanan, stabilitas makro, dan iklim investasi, diyakini sasaran RPJMN pada sektor pariwisata dapat tercapai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2008 jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia sebanyak 6,4 juta orang, atau meningkat 16,8 persen dari 5,51 juta orang pada tahun 2007. Se-

227

mentara itu, berdasarkan data Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, program Kenali Negerimu Cintai Negerimu telah berhasil meningkatkan pergerakkan wisatawan nusantara (wisnus) sebesar 1,50 persen, yaitu dari 216,50 juta perjalanan pada 2006 menjadi 219,75 juta perjalanan pada 2007 dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 223,0 juta perjalanan. 4.3.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran 1. Investasi Meskipun dihadapkan berbagai bencana antara lain tsunami di Aceh dan tekanan eksternal berupa meningkatnya harga minyak dunia yang sangat tinggi, kinerja investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mulai menunjukkan perbaikan berarti sejak tahun 2007. PMTB berturut-turut tumbuh 10,8 persen tahun 2005; 2,5 persen tahun 2006; kemudian membaik menjadi tumbuh 9,2 persen pada 2007 dan rata-rata 11,7 persen pada tahun 2008. Namun demikian Pemerintah masih perlu meningkatkannya dengan menyelesaikan berbagai masalah diantaranya adalah: 1. Belum lengkapnya peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 2. Kurang memadainya kapasitas dan kualitas infrastruktur untuk mendukung investasi yang sudah ada dan investasi baru;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

6. Belum tersebarnya investasi ke seluruh wilayah secara proporsional sehingga terjadi konsentrasi usaha di Pulau Jawa, sementara daya dukungnya semakin kecil; 7. Belum dapat diselesaikannya kebijakan pengembangan KEK; serta 8. Masih sering terjadi kelangkaan pasokan BBM di dalam negeri, yang menyebabkan turunnya kapasitas produksi; 2. Ekspor Ekspor nonmigas tumbuh pada kisaran angka yang cukup tinggi selama kurun waktu 20052008, yaitu sebesar rata-rata 17,8 persen per tahun. Bahkan pada 2008, ekspor nonmigas tercatat tumbuh 17,2 persen. Angka ini sudah di atas sasaran RPJM yang rata-rata sebesar 7,3 persen per tahun. Namun demikian, beberapa permasalahan ekspor nonmigas masih dihadapi dan perlu diselesaikan, antara lain: 1. Masih adanya hambatan perdagangan yang berupa hambatan nontarif, seperti: sanitary and phytosanitary, bioterrorism, keamanan pangan, lingkungan, serta perburuhan dan traceability di pasar UE untuk udang. 2. Masih lemahnya sistem pengawasan di bidang ekspor dan impor sehingga masih terjadi penyelundupan, baik berupa penyelundupan barang maupun administrasi; 3. Masih belum optimalnya pelaksanaan penyederhanaan prosedur ekspor-impor; 4. Ketersediaan infrastruktur yang masih perlu ditingkatkan. 3. Perdagangan Dalam Negeri Di bidang perdagangan dalam negeri, permasalahan yang dihadapi antara lain: 1. Masih terbatasnya sarana perdagangan/distribusi, khususnya di daerah perbatasan, terpencil, dan tertinggal, serta rusaknya sarana perdagangan di daerah pascabencana alam/ konik;

3. Belum optimalnya harmonisasi dan simplikasi proses perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan lainnya; 4. Belum lancarnya implementasi pelimpahan wewenang perizinan dari instansi pusat ke daerah tujuan investasi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan SDM, teknologi, dan sarana pendukungnya; 5. Masih belum optimalnya penyederhanaan administrasi perpajakan dan kepabeanan, serta banyaknya Perda bermasalah yang menambah ragam pungutan daerah;

228

Bagian 4

2. Masih terjadi uktuasi harga bahan kebutuhan pokok tertentu yang cukup tinggi karena pengaruh musim (hujan, banjir, angin barat dan tanah longsor); 3. Masih adanya berbagai pungutan resmi dan tidak resmi yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi; 4. Masih adanya kesenjangan/disparitas harga antardaerah; 5. Masih perlu ditingkatkannya sarana alternatif pembiayaan bagi usaha kecil; 6. Masih perlu ditingkatkannya sarana perdagangan di daerah terpencil, tertinggal, dan daerah pascabencana alam/konik. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan pasokan barang kebutuhan pokok dan menghindari peningkatan harga yang tidak wajar. 7. Masih sulitnya akses UKM untuk memperoleh kredit perbankan melalui KUR. 8. Kendala pemasaran produk UKM terkait masalah desain dan kemasan serta promosi. 9. Masih kurangnya kesadaran para pelaku pasar melakukan sarana hedging untuk mengatasi uktuasi harga komoditi; serta 10. Masih panjangnya mata rantai dalam distribusi barang dan komoditi yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

4. Persaingan Usaha Dalam bidang persaingan usaha, beberapa masalah yang masih dihadapi, antara lain: 1. Masih terbatasnya pemahaman mengenai UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal tersebut dikarenakan masih kurangnya sosialisasi yang berhubungan dengan persaingan usaha di daerah-daerah sehingga internalisasi nilai-nilai persaingan usaha di stakeholders KPPU belum maksimal. Hal ini berpengaruh pada sulitnya pencarian data dan dokumentasi yang dibutuhkan untuk kepentingan kajian dan juga kasus; 2. Dalam hal kebijakan persaingan usaha, masih ada saran dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh KPPU baik yang berkaitan dengan regulasi maupun perindustrian, masih belum dapat ditindaklanjuti. 5. Pariwisata Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja pariwisata nasional menurun. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti merebaknya isu u burung dan beberapa kejadian bencana alam. Peristiwa Bom Bali II pada Oktober 2005 juga berpengaruh terhadap kinerja pariwisata nasional. Di samping itu, isu lain yang menjadi kendala pembangunan pariwisata yang masih harus mendapat perhatian Pemerintah adalah: 1. Masih lemahnya pengelolaan sebagian besar daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya. Hal ini mengakibatkan kurang atraktifnya obyek-obyek wisata nasional, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN; 2. Belum meratanya pembangunan pariwisata antara kawasan barat dan timur Indonesia; 3. Belum optimalnya pemanfaatan media massa, elektronik maupun cetak serta teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana promosi belum maksimal;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Beberapa kegiatan pembangunan sarana distribusi perdagangan juga telah dilakukan. Sejak tahun 2005 hingga 2008, jumlah pasar yang telah dibangun di daerah sebanyak 315 unit, yang menampung padagang kecil sekitar 15.000 pedagang

229

Dok : DEPBUDPAR

4. Masih perlu ditingkatkannya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi intralembaga dan antarlembaga, baik pusat atau daerah, dalam mengembangkan tujuan dan promosi pariwisata; 5. Belum optimalnya dukungan Pemerintah Provinsi, kota, dan kabupaten dalam pengembangan kepariwisataan Nasional, terutama dalam peraturan perundangan daerah;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pada 2007, kinerja pariwisata menunjukkan peningkatan. Jumlah wisman tercatat sebesar 5,51 juta orang atau meningkat 13,14 persen. Jumlah devisa yang dihasilkan meningkat pula menjadi sekitar USD 5,35 miliar atau naik 20,2 persen
4.3.4. Tindak Lanjut 4.3.4.1. Upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran 1. Investasi Langkah penting ke depan yang akan ditempuh dalam rangka peningkatan kinerja investasi adalah:

6. Menurunnya minat dunia usaha mengembangkan obyek wisata potensial dan infrastruktur yang berkenaan dengan kepariwisataan; 7. Masih perlu ditingkatkannya dukungan dari sektor lain yang terkait dengan kepariwisataan; 8. Masih perlu ditingkatkannya profesionalisme sumberdaya manusia (SDM) pariwisata.

230

Bagian 4

1. Membangun dan memperbaiki infrastruktur melalui diperjelasnya prosedur akuisisi lahan, ditingkatkannya kerjasama antarlembaga dalam proyek infrastruktur, dan diperbaikinya kerangka kerja bagi kemitraan publik-swasta dalam infrastruktur; 2. Meningkatkan koordinasi antarlembaga, antarpusat dan daerah dalam peningkatan pelayanan investasi; 3. Melaksanakan harmonisasi antarperaturan yang terkait dengan penanaman modal, baik horisontal maupun vertikal, serta menerbitkan peraturan implementasi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 4. Melakukan upaya penyederhanaan berbagai perangkat peraturan untuk mengurangi birokrasi termasuk waktu dan biaya untuk memulai usaha baru, menerapkan esiensi perizinan dengan menggabungkan berbagai izin, dan mengurangi persyaratan untuk memperoleh perizinan; 5. Mendorong tumbuhnya industri penunjang dan terkait, terutama dengan mendorong kemitraan melalui UKM yang jaraknya lebih dekat sehingga mendukung kemudahan pada industri utamanya agar dapat menekan biaya produksi; dan 6. Penyediaan energi yang memadai dan mendorong dilakukannya pengembangan energi alternatif. 2. Ekspor Langkah penting pada masa mendatang yang akan ditempuh dalam rangka peningkatan kinerja perdagangan dan ekspor non-migas adalah sebagai berikut: 1. Mengoptimalkan upaya fasilitasi perdagangan dalam rangka meningkatkan esiensi proses ekspor dan kelancaran arus barang, seperti: meningkatkan kinerja unit pelayanan perdagangan, meningkatkan jumlah perizinan online melalui sistem Inatrade (elicensing); menertibkan penerbitan surat keterangan asal

(SKA) ekspor dan SKA Impor, serta melakukan pengelolaan dan pengawasan ekspor bahan baku untuk mendukung pengembangan industri hilir (rotan, timah batangan, bahan galian, produk industri kehutanan, kulit, CPO); 2. Meningkatkan kerjasama perdagangan internasional yang antara lain dengan menindaklanjuti kesepakatan IJ-EPA untuk memperbesar peluang pasar ekspor Indonesia ke Jepang, melaksanakan pelatihan standar dan mutu produk yang sesuai dengan persyaratan Jepang, serta mengambil manfaat dari kerjasama perdagangan regional: ASEAN-Korea FTA, ASEAN-China FTA, dan ASEAN Economic Community (AEC). Selain itu, mendorong penyelesaian putaran Doha Development Agenda-WTO, memperluas kerjasama perdagangan internasional seperti: organisasi komoditi internasional (International Tripartite Rubber Council/ITRC, Association of Natural Rubber Producing Countries/ANRPC, International Pepper Community/IPC, Asian and Pacic Coconut Community/APCC, International Coee Organization/ICO, organisasi international lainnya (Developing Eight/D-8 dan General System of Trade Prefeences/GSTP), ke arah yang saling menguntungkan. 3. Meningkatkan upaya penetrasi pasar ekspor melalui: (a) esiensi kegiatan promosi yang dititikberatkan pada komoditas ekspor utama dan komoditas ekspor potensial; meningkatkan peran kantor promosi perdagangan di luar negeri (Indonesian Trade Promotion Center/ITPC) yang telah didirikan di 9 kota dagang dunia (Osaka, Los Angeles, Dubai, Budapest, Johannesburg, Sao Paulo, Hamburg, Milan dan Sydney) dan atase perdagangan khususnya dalam pengamatan pasar (market intelligence); (b) mendirikan 11 ITPC baru di 11 kota dagang dunia (Chicago, Mexico, Santiago, Vancouver, Barcelona, Lyon, Lagos, Jeddah, Shanghai, Chennai, dan Pusan); (c) meningkatkan sinergi keikutsertaan dalam pameran/misi dagang ke luar negeri bersama instansi terkait pusat dan daerah (tidak lagi

231

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

menyelenggarakan solo exhibition); serta (d) pengembangan produk ekspor melalui asistensi tenaga ahli dari Trade Promotion Oce (TPO) di beberapa negara seperti Belanda, Swiss, dan Jepang; (e) peningkatan ketersediaan informasi ekspor melalui kegiatan Market Intelligence, Market Brief, Katalog Produk, Analisa Produk, Data Importir dan System Inquiry Online; serta (f) peningkatan pelayanan kepada dunia usaha dengan penyelenggaraan Buyer Reception Desk (BRD) di Bandara Soekarno Hatta. 4. Meningkatkan upaya sosialisasi hasil kesepakatan perdagangan internasional kepada pelaku usaha dan pemangku kepentingan, sehingga hasil kesepakatan perdagangan internasional dapat dimanfaatkan secara optimal oleh dunia usaha Indonesia; 5. Menangani penyelesaian sengketa dagang terkait dengan kasus tuduhan dumping, subsidi dan safeguards. Pada 2008 beberapa kasus yang sedang ditangani, yaitu: (a) tuduhan dumping Turki terhadap produk Yarn of Man Made Staple Fibers, produk ban dalam dan ban luar atas sepeda dan sepeda motor; (b) tuduhan dumping Brazil terhadap produk Viscose Staple Fiber; (c) tuduhan dumping Argentina terhadap produk Acrylic Fiber; (d) tuduhan dumping Australia terhadap produk Certain Toilet Paper; dan (e) sunset review tuduhan dumping Argentina terhadap ban sepeda; 6. Meningkatkan kualitas pelayanan kelembagaan pusat promosi ekspor sesuai kebutuhan eksportir secara berkelanjutan; 7. Mempertahankan pertumbuhan ekspor dengan mengacu kepada program prioritas Depdag, yaitu: peningkatan investasi, pengembangan 10 produk utama, 10 produk potensial dan 3 jasa, pembinaan UMKM perdagangan, serta membangun capacity/institutional building dan public education; 8. Meningkatkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka memperluas akses pasar ke negara tujuan ekspor; dan

9. Mengupayakan pembentukan pusat promosi terpadu (Indonesian Promotion Oce/IPO) di bidang pariwisata, perdagangan, dan investasi guna meningkatkan esiensi dan efektivitas kegiatan promosi di luar negeri. 3. Perdagangan Dalam Negeri Sementara itu, hal lain yang perlu ditindaklanjuti sebagai upaya menunjang sektor perdagangan dalam negeri, antara lain: 1. Meningkatkan esiensi perdagangan dalam negeri untuk menjamin kelancaran arus barang (terutama bahan kebutuhan pokok) sehingga dapat mengurangi disparitas harga antarwilayah dan meningkatkan ketersediaan bahan kebutuhan pokok dengan harga yang memadai. 2. Meningkatkan esiensi dan efektivitas distribusi agar terwujud integrasi pasar secara nasional. Program ini ditempuh antara lain melalui: pembangunan pasar desa/tradisional di daerah-daerah perbatasan, tertinggal, pulau kecil terdepan, dan daerah pascabencana alam/konik. 3. Mengimplementasikan sistem pengawasan barang beredar dan jasa melalui 4 parameter, yaitu: (a) Penerapan SNI, label, klausa baku, cara menjual, periklanan, dan fasilitas purnajual; (b) Sosialisasi peraturan perlindungan konsumen melalui media elektronik dan media lainnya; (c) Pengembangan kelembagaan perlindungan konsumen (BPSK dan LPKSM); dan (d) advokasi terhadap konsumen dan produsen untuk mewujudkan perlindungan konsumen dan tertib niaga. 4. Meningkatnya kemampuan UKM melalui perbaikan desain, kemasan, promosi, kemitraan serta akses permodalan ke perbankan. 5. Meningkatkan pemanfaatan alternatif pembiayaan melalui Sistem Resi Gudang dengan:

232

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

(a) Memperkuat landasan hukum terutama peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. (b) Meningkatkan jumlah Daerah Percontohan Resi Gudang serta pengembangan komoditi yang dapat dimasukkan dalam skema Resi Gudang. (c) Meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada para pelaku usaha terutama untuk petani dan UKM. 6. Mendorong pelaku usaha untuk menggunakan sarana hedging untuk komoditi-komoditi yang rentan dengan uktuasi harga serta menambah komoditi yang dapat dimasukkan dan diperdagangkan dalam Kontrak Berjangka. 7. Memperpendek saluran distribusi komoditi dengan mempertemukan penjual dengan pembeli langsung melalui Pasar Lelang. 4. Persaingan Usaha Dalam bidang persaingan usaha, tindak lanjut yang diperlukan dalam upaya meningkatkan iklim persaingan usaha yang sehat, antara lain: 1. Langkah-langkah koordinasi yang harus dipersiapkan terkait dengan Perpres No. 80 Tahun 2008 khususnya mengenai rencana lahirnya Bagian Anggaran KPPU (terpisah dari Departemen Perdagangan) dan persiapan remunerasi pegawai KPPU; 2. Penyempurnaan struktur organisasi dengan membentuk unit baru, yaitu antara lain Unit Merger dan Akuisisi, Unit Layanan Pengadaan, dan Unit Perencanaan; termasuk persiapan KPPU kelembagaan dan regulasi internal yang dibutuhkan; 3. Peningkatan peran KPPU dalam membangun fundamental perekonomian Indonesia yaitu antara lain melalui harmonisasi kebijakan persaingan usaha; 4. Peningkatan jaringan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain yang terkait dengan kebijakan persaingan usaha.

Dok : DEPBUDPAR

5. Peningkatan pelaksanaan litigasi dalam upaya mempertahankan putusan Komisi pada saat diajukan keberatan oleh pelaku usaha di tingkat Pengadilan Negeri (PN) maupun kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA); 6. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pengawas persaingan usaha bersama dengan para penegak hukum. Hal ini sangat penting untuk peningkatan kegiatan penyelidikan dalam pengungkapan kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; 7. Meningkatkan implementasi UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai antisipasi dalam merespon cepatnya dinamika perubahan iklim persaingan usaha melalui amandemen undang-undang; 8. Pelaksanaan monitoring putusan untuk mengetahui sejauh mana pelaku usaha yang dijatuhi hukuman mematuhi dan melaksanakan putusan. Monitoring putusan juga dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas putusan dan pengaruhnya terhadap iklim persaingan usaha pada sektor usaha terkait serta untuk memperoleh, menemukan, dan/atau mendapatkan informasi serta data perilaku pelaku usaha dalam menjalankan usahanya; dan 9. Penyelenggaraan dengar-pendapat dengan organisasi/lembaga/tokoh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi langsung dari masyarakat atas dugaan adanya pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999

233

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

yang telah menjadi pembicaraan umum dan menyangkut kepentingan umum. 5. Pariwisata Ke depan, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat akan difokuskan untuk mencapai sasaran penerimaan devisa sektor pariwisata sebesar USD 10 miliar pada 2009. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tatakelola yang baik (good governance). Adapun fokus usaha akan diarahkan pada: 1. Meningkatkan pemanfaatan media elektronik, media cetak, dan teknologi informasi/ web-site sebagai sarana promosi di dalam dan luar negeri; 2. Mengembangkan kerjasama pemasaran dan promosi pariwisata dengan lembaga terkait di dalam dan di luar negeri, termasuk dukungan penyelenggaraan pusat promosi terpadu (Indonesian Promotion Oce/IPO) di satu negara serta kerjasama antar-travel agent dan antartour operator di dalam maupun di luar negeri; 3. Mengembangkan tujuan wisata berbasis budaya, alam, bahari, dan olahraga; 4. Menyebarkan dan mengembangkan tujuan pariwisata unggulan di luar Pulau Jawa dan Bali, termasuk pengembangan tujuan pariwisata di pulau-pulau terdepan, daerah perbatasan, dan terpencil; 5. Memfasilitasi pendukungan pengembangan tujuan wisata unggulan di sepuluh provinsi;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade (CAG)

4.3.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Di bidang investasi, pada 2007 komposisi PMTB terhadap PDB adalah sebesar 24,9 persen. Sementara pada 2008, komposisi PMTB terhadap PDB tercatat 27,7 persen atau 28,7 terhadap PNB (Produk Nasional Bruto) yang berarti sedikit di atas sasaran RPJMN 2004-2009 untuk tahun 2009 sebesar 27,4 persen terhadap PNB (data BPS). Tren peningkatan ini diperkirakan akan melambat pada 2009. Hal ini terkait dengan krisis ekonomi yang saat ini dampaknya dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia. Krisis menyebabkan melemahnya kegiatan ekonomi yang secara langsung akan berdampak pada perlambatan aktivitas investasi serta pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekspor untuk 2009 diperkirakan melambat.

6. Memfasilitasi kemitraan dengan sektor terkait dalam meningkatkan keamanan, kenyamanan, dan kemudahan akses di tujuan wisata; 7. Mengembangkan sistem informasi pariwisata yang terintegrasi di Pusat dan daerah; serta 8. Mengembangkan profesionalisme SDM di bidang pariwisata.

4.3.5. Penutup Investasi dan ekspor merupakan dua faktor yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun hingga saat ini, kinerja pemulihan investasi masih berjalan lambat. Pe-

234

Bagian 4

nyebab utama dari rendahnya pertumbuhan investasi ini adalah iklim usaha yang belum mendukung. Sementara itu, ekspor non-migas merupakan tumpuan utama ekspor Indonesia saat ini. Kontribusi ekspor non-migas terhadap nilai ekspor secara rata-rata selama 4 tahun mencapai sekitar 79,0 persen. Selain itu, tingkat ketergantungan kepada mitra dagang utama Indonesia seperti: Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan Uni Eropa, sudah mulai berkurang. Dengan terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat yang kemudian menjalar ke negara-negara lainnya. Indonesia tampaknya akan mengalami dampak dari krisis tersebut melalui penurunan permintaan produk ekspor karena dampak krisis juga dialami oleh mitra dagang terbesar Indonesia lainnya seperti Jepang dan Uni Eropa. Dengan demikian diperkirakan bahwa pada 2009 kinerja ekspor Indonesia akan mengalami penurunan. Oleh sebab itu, upaya penting yang harus segera dilakukan adalah mengalihkan pasar tujuan ekspor ke pasar non-tradisional, sehingga dampak krisis global terhadap kinerja ekspor dan penyerapan tenaga kerja dapat diredam.

Dengan terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat yang kemudian menjalar ke negara-negara lainnya, Indonesia tampaknya akan mengalami dampak dari krisis tersebut melalui penurunan permintaan produk ekspor karena dampak krisis juga dialami oleh mitra dagang terbesar Indonesia lainnya seperti Jepang dan Uni Eropa
Untuk itu, Pemerintah harus tetap berupaya untuk membenahi iklim investasi dan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia. Selain itu, pelaksanaan program yang lebih intensif, konsisten, dan harmonis antara pusat dan daerah, serta dukungan regulasi yang tepat dan situasi makroekonomi yang kondusif harus terus diupayakan. Dengan upaya tersebut diharapkan pertumbuhan investasi dan ekspor dapat lebih baik serta kendala infrastruktur, perizinan, perpajakan, dan kesenjangan antar-daerah dapat tertangani.

235

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tabel 4.3.4. Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas
Indikator (Satuan) 1. Rasio investasi terhadap PDB % Kondisi awal (2005)
23,6

No.

Sasaran

2006

2007

2008

1.

Sasaran 1

24,1

24,9

27,7

Terwujudnya iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi 2. Share Ijin Usaha Tetap di berbagai tingkat Pemerintahan yang (IUT) terhadap PMTB mampu mengurangi praktik ekonomi biaya tinggi. Reformasi dimaksudkan se- 3. Lama waktu untuk memulai ijin usaha bagai upaya untuk: (a) Menuntaskan sinkronisasi dan deregulasi peraturan antarsektor dan antara pusat dengan daerah; (b) Meningkatkan kapasitas kelembagaan guna mengimplementasikan penyederhanaan prosedur perizinan investasi; (c) Menyempurnakan sistem perpajakan dan Kepabeanan; serta (d) Penegakan hukum untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban berusaha.

17,83

9,29

13,01

11,26

Hari

151

97

105

4. Jumlah prosedur untuk Prosedur memulai ijin usaha 5. Biaya untuk memulai ijin % inusaha come per capita 6. Peringkat daya tarik in- ranking vestasi Indonesia (Ease of doing business) 7. Peringkat Indonesia dalam ranking Global Competitiveness Index 8. Jumlah Perda Kab/Kota yang dibatalkan 9. Jumlah Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kab/Kota 69

12

12

12

101,7

86,7

80

115

135

123

50

54

55

2.779

kantor

70

240

293

10. Jumlah pembayaran pajak prosedur 11. Lama waktu untuk pembayaran pajak 12. Tax rate jam

50

52 576

52 576

51 266

236

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

% terhadap prot

37,2

37,2

37,3

Bagian 4

Lanjutan Tabel 4.3.4.


No. Sasaran Indikator (Satuan) 1. Lama waktu ekspor (time to export) Hari Kondisi awal (2005)
25

2006

2007

2008

2.

Sasaran 2 1)

25

25

21

Meningkatnya esiensi pelayanan eksporimpor, kepelabuhanan, kepabeanan, 2. Lama waktu impor dan administrasi (verikasi dan restitusi) (time to import) perpajakan. Diharapkan dalam 3 tahun pertama akan dicapai tingkat esiensi 3. Jumlah dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang kurang lebih sama dengan separuh tingkat esiensi negara-negara As- 4. Jumlah dokumen yang disociation of South East Asian Nations perlukan untuk impor (ASEAN) yang maju perekonomiannya 3. Sasaran 3 1. Lama waktu pengurusan perijinan

Hari

30

30

30

27

Dokumen Dokumen

10

10

10

Hari

151

97

105

Terpangkasnya prosedur perizinan memulai usaha dan operasi bisnis. Dalam 3 2. Jumlah prosedur yang ha- Prosedur tahun pertama diharapkan dapat menyarus dilewati untuk mengumai separuh tingkat esiensi prosedur rus perijinan investasi memulai usaha dan bisnis pada negaranegara ASEAN yang maju perekonomiannya 4. Sasaran 4 1. Pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB %
10,9

12

12

12

2,5

9,2

11,7

Meningkatnya investasi secara bertahap agar kontribusinya terhadap Produk Na- 2. Nilai realisasi investasi sional Bruto (PNB) meningkat dari 20,5 PMA persen pada 2004 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009. Peningkatan ini di- 3. Nilai realisasi investasi PMDN harapkan juga diikuti dengan penyebaran yang makin luas dan merata pada 4. Realisasi penyerapan tenakawasan-kawasan di luar Pulau Jawa, ga kerja PMA terutama kawasan timur Indonesia 5. Realisasi penyerapan tenaga kerja PMDN 6. Prosentase realisasi investasi PMA di P Jawa 7. Prosentase realisasi investasi PMDN di P Jawa 8. Indeks tendensi bisnis

Juta USD Miliar IDR Orang

8.911,0

5.991,7

10.341,40 14.872 ,4

30.724,2

20.649

34.878,70

20.363,4

156.071

206.945

180.879

246.049

Orang

123.936

79.247

86.891

67.267

48,35

63,11

53,53

59,6

98,46

107,43

112,25

102,9 2)

1 2

Data dari Laporan Tahunan Doing Business, IFC-World Bank Indeks Triwulan IV 2008

237

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

81,25

73,71

82,23

91,2

Lanjutan Tabel 4.3.4.


No. Sasaran Indikator (Satuan) 1. Pertumbuhan ekspor nonmigas % Kondisi awal (2005)
18,8

2006

2007

2008

5.

Sasaran 5

19,8

15,6

17,2

Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara bertahap dari sekitar 5,2 persen 2. Pertumbuhan ekspor pada 2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun 2009 dengan komposisi pro- 3. Realisasi ekspor nonmigas (miliar) duk yang lebih beragam dan kandungan teknologi yang semakin tinggi 4. Pangsa pasar ekspor manufaktur dengan teknologi menengah 3)

% Miliar USD %

5,2 66,4 79,6 92,0 107,8

44,0

45,9

44,2

6.

Sasaran 6

1. Logistik performance index

Meningkatnya esiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, 2. Jumlah transaksi pada dan kepastian berusaha untuk mewuperdagangan berjangka judkan perdagangan dalam negeri yang komoditi kondusif dan dinamis 3. Jumlah daerah yang membangun SRG 4. Jumlah daerah pengembangan Pasar Lelang 7. Sasaran 7 1. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara

3,01 (rank 43) 1.998.154 4.300.101 4.605.254 5.668.281

lot

drh

drh

13

19

19

19

Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa menjadi seki- 2. Jumlah perolehan devisa tar USD 10 miliar pada tahun 2009 dari kunjungan wisman 3. Rata-rata lama tinggal

Juta orang Juta USD Hari

5,00

4,87

5,51

6,4

4.522

4.448

5.346

7.300 5)

9,05

9,09

9,02

8,58

4. Rata-rata pengeluaran wisman: - Per hari - Per kunjungan 5. Jumlah perjalanan wisnus PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN 6. Total pengeluaran wisnus

US$ US$ Ribu Triliun IDR %

99,86 904,00 213.303 74,72

100,48 913,09 216.503

107,70 970,98 219,751 4)

137,38 1.178,54 223,00 5)

7. Kontribusi pariwisata terhadap PDB 8. Tenaga kerja yang terserap oleh sektor pariwisata

5,27

4,30

4,29

Juta

6,55

4,41

5,22

3 4 5

Diambil dari klasikasi OECD terhadap kategori jenis komoditas ekspor Angka sementara Angka sangat sementara

238

Bagian 4

Lanjutan Tabel 4.3.4.


No. Sasaran Indikator (Satuan) Juta USD Kondisi awal (2005) 2006 2007 2008

8.

Sasaran 8

1. Jumlah kiriman devisa/ remmitance dari TKI (juta Meningkatnya kontribusi kiriman deUSD) visa dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri yang berkisar sekitar USD 1 miliar

Kedelapan sasaran dalam Bab mengenai Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas ini dicapai melalui 11 program, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Program peningkatan promosi dan kerjasama investasi Program pengembangan standardisasi nasional Program peningkatan kerjasama perdagangan internasional Program peningkatan iklim investasi dan realisasi investasi Program peningkatan dan pengembangan ekspor Program persaingan usaha Program perlindungan konsumen dan pengamanan perdagangan Program peningkatan esiensi perdagangan dalam negeri Program pengembangan pemasaran pariwisata Program pengembangan destinasi pariwisata Program pengembangan kemitraan

239

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN

Bagian 4

BAB 4.4
Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur
4.4.1. Pengantar Pembangunan industri manufaktur (industri pengolahan) merupakan salah satu prioritas RPJMN 2004-2009. Hal ini disebabkan kinerja pembangunan industri manufaktur mempunyai dampak langsung kepada penciptaan nilai tambah ekonomi, daya serap tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan penduduk. Meningkatnya kinerja sektor ini akan secara langsung meningkatkan kinerja sektor-sektor terkait lainnya. lanjut dalam rangka mencapai sasarannya dengan fokus pada kebijakan yang akan dilakukan. 4.4.2. Kondisi awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pembangunan industri manufaktur dalam kurun waktu 2004-2009 dititik-beratkan pada upaya peningkatan daya saing. Satu hal yang didorong oleh laporan World Economic Forum yang menyebut daya saing Indonesia pada 2004 berada dalam posisi ke-69 dari 104 negara. Lembaga lain seperti International Institute for Management Development dalam laporannya berjudul World Competitiveness Report 2004 menempatkan Indonesia di posisi 58 dari 60 negara dalam. Penilaian dua lembaga, daya saing Indonesia yang rendah merupakan kondisi yang perlu diperbaiki. Daya saing yang rendah juga merupakan konsekuensi dari iklim usaha domestik yang kurang kondusif.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Beberapa kebijakan dan program yang tertuang dalam RPJMN 20042009 secara garis besar berisi upaya meningkatkan kontribusi industri manufaktur nasional dalam ekonomi
Kinerja industri manufaktur secara umum diukur dari kontribusinya pada pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Kinerja ini pada gilirannya sangat dipengaruhi oleh iklim usaha domestik. Semakin kondusif iklim yang ada, maka industri manufaktur akan semakin berkembang. Beberapa kebijakan dan program yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009 secara garis besar berisi upaya meningkatkan kontribusi industri manufaktur nasional dalam ekonomi. Laporan ini memfokuskan pada pencapaian kinerja pembangunan industri manufaktur dari segi kontribusinya terhadap PDB dan membahas upaya tindak

Pada tataran makro terdapat tiga faktor yang menyebabkan tidak kondusifnya iklim usaha domestik, yaitu: (a) stabilitas makro yang kerap terganggu; (b) buruknya kualitas kelembagaan publik dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan pusat pelayanan; dan (c) lemahnya kebijakan pengembangan teknologi dalam memfasilitasi kebutuhan peningkatan produktivitas. Sementara pada tataran mikro (tataran bisnis) terdapat dua faktor yang menonjol yang menyebabkan iklim usaha domestik menjadi kurang kondusif, yaitu: (a) rendahnya esiensi usaha pada tingkat perusahaan; dan (b) lemahnya per-

241

saingan antara perusahaan. Latar belakang inilah yang mendasari perlunya peningkatan daya saing industri manufaktur di Indonesia dalam tahuntahun ke depan. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur, terdapat delapan sasaran yang ingin dicapai yaitu: 1. Meningkatkan laju rata-rata sektor industri manufaktur (non-migas) menjadi 8,56 persen per tahun; 2. Menyerap tenaga kerja sekitar 500 ribu per tahun di sektor industri pengolahan non-migas dan migas; 3. Menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif baik bagi industri yang sudah ada maupun investasi baru dalam bentuk tersedianya layanan umum yang baik dan bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), sumber-sumber pendanaan yang terjangkau, dan kebijakan skal yang menunjang; 4. Meningkatkan pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik, baik untuk bahan baku maupun produk akhir, sebagai cerminan daya saing sektor ini dalam menghadapi produk-produk impor; 5. Meningkatkan volume ekspor produk manufaktur dalam total ekspor nasional, terutama pada produk ekspor industri manufaktur yang daya saingnya masih potensial untuk ditingkatkan;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4.4.3. Pencapaian 2005-2008 4.4.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Sumbangan sektor industri pengolahan non-migas mencapai Rp 747,4 triliun, atau 22,4 persen dari total PDB pada 2006. Kontribusi ini tidak mengalami perubahan pada 2007, meski nominalnya naik menjadi Rp 886,5 triliun. Akan tetapi, tingginya kontribusi ini tidak tercerminkan pada tingkat pertumbuhan yang hanya 5,5 persen pada 2005, dan 5,3 persen pada 2006. Pada 2007, industri pengolahan nonmigas tumbuh 5,2 persen. Pada saat yang sama, ekspor produk-produk industri meningkat sebesar 16,5 persen. Sementara, kontribusi ekspor produk industri pada 2007 mencapai sebesar 66,5 persen dari total nilai ekspor, naik sebesar 64,5 persen bila dibandingkan kontribusinya pada 2006. Pada 2007 juga terdapat 4 sub-sektor industri manufaktur yang menjadi penghela pertumbuhan yaitu industri alat angkut, mesin dan peralatannya yang tumbuh sebesar 9,73 persen; industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 5,05 persen; industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 5,69 persen; serta industri kertas dan barang cetakan sebesar 5,79 persen. Sementara itu sektor yang mengalami perlambatan terdiri dari 3 subsektor, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki yang pertumbuhannya minus 3,68 persen; industri barang kayu dan hasil hutan lainnya sebesar minus 1,74 persen; serta industri barang lainnya sebesar minus 2,82 persen. Perkembangan sektor industri nonmigas juga bisa dipantau dari tingkat investasi. Dalam hal ini, hingga Desember 2007, tercatat 101 proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan nilai Rp 26,3 triliun pada sektor ini. Pencapaian ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kinerja investasi 2006 yang membukukan Rp 13,1 triliun mencakup 98 proyek. Penanaman modal asing (PMA) juga menunjukkan perkembangan yang meningkat. Pada 2006 investasi PMA tercatat 361

6. Meningkatkan proses alih teknologi dari foreign direct investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara dari produk lokal; 7. Meningkatkan penerapan standardisasi produk industri manufaktur sebagai faktor penguat daya saing produk nasional; serta 8. Meningkatkan penyebaran sektor industri manufaktur ke luar Pulau Jawa, terutama industri pengolahan hasil sumberdaya alam.

242

Bagian 4

proyek senilai USD 3,60 miliar, dan pada 2007 membukukan USD 4,70 miliar mencakup 390 proyek. Peningkatan PMA ini sekaligus mengindikasikan peningkatan kepercayaan dunia terhadap iklim investasi di Indonesia. Adapun sampai dengan triwulan ketiga tahun 2008, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas adalah 4,6 persen (year on year - yoy), sementara pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan mencapai sebesar 6,3 persen. Secara keseluruhan pada 2008, industri ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,4 persen. Sementara itu ekspor produk manufaktur dari Januari hingga Oktober 2008 telah mencapai USD 75,9 juta, atau meningkat 21 persen dibanding periode yang sama pada 2007. Nilai ekspor tersebut adalah 64,1 persen dari total ekspor yang nilainya USD 118,4 juta. Namun, permintaan produk-produk ekspor, termasuk manufaktur, diperkirakan menurun sebagai dampak dari krisis ekonomi global.

2. Keterkaitan antara sektor industri hulu dan sektor industri hilir dengan sektor ekonomi lainnya yang relatif masih lemah; 3. Struktur industri hanya didominasi beberapa cabang yang tahapan proses industri dan penciptaan nilai tambahnya pendek; 4. Ekspor produk industri didominasi oleh hanya beberapa cabang industri; 5. Konsentrasi lebih dari 60 persen kegiatan sektor industri di Jawa; dan 6. Masih lemahnya peranan kelompok industri kecil dan menengah sebagai industri pendukung.

4.4.4. Tindak lanjut 4.4.4.1. 4.4.1. 4.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Pada 2009 industri nasional diperkirakan akan menghadapi tantangan yang lebih berat akibat merebaknya krisis keuangan global. Produk ekspor domestik akan bersaing secara ketat dalam memperebutkan pasar alternatif setelah melemahnya pasar Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. Produk-produk yang akan terkena dampak cukup berarti adalah produk tekstil dan produk tekstil (TPT), produk karet, produk kayu, serta pulp dan kertas, minyak sawit, serta produk-produk logam. Selain itu akibat melemahnya pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang akan terdapat kecenderungan negara-negara pengekspor akan mengalihkan pasarnya ke Indonesia. Hal ini berpotensi menyebabkan terganggunya pasar dalam negeri. Produk yang diperkirakan akan dilempar ke Indonesia adalah berasal dari Cina dan negara-negara Asia lainnya, yang berupa antara lain: TPT, baja, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta produk kayu. Krisis juga akan menghambat industri-industri yang semula akan berekspansi, seperti industri baja, semen, petrokimia, alas kaki, otomotif dan komponen. Demikian pula, program restrukturisasi TPT akan mengalami gangguan akibat krisis global.

4.4.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Dalam pembangunan industri nasional, Pemerintah berfokus pada penguatan struktur industri dengan membenahi enam masalah pokok, yaitu: 1. Ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen;

243

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada 2009 industri nasional diperkirakan akan menghadapi tantangan yang lebih berat akibat merebaknya krisis keuangan global. Produk ekspor akan bersaing secara ketat dalam memperebutkan pasar alternatif setelah melemahnya pasar Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang

Untuk mengatasi tantangan tersebut beberapa tindak lanjut yang akan ditempuh antara lain adalah: 1. Penguatan ekspor produk industri melalui diversikasi pasar ekspor Dalam rangka membuka tujuan ekspor baru karena terancamnya barang ekspor Indonesia terutama ke AS, akan ditempuh upaya: (i) meningkatkan koordinasi antara Departemen Perindustrian (Depperin), Departemen Perdagangan (Depdag), Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN)/ asosiasi terkait serta perwakilan luar negeri terkait, dalam rangka mencari peluang diversikasi produk ekspor; (ii) memberikan peluang ekspor yang lebih besar kepada industri kecil dan menengah dan industri kreatif dengan memberikan insentif dalam pameran-pameran produk baik di dalam maupun luar negeri; (iii) memperluas kerjasama perdagangan dengan negara lain dalam rangka meningkatkan kapasitas ekspor nasional ke negara tujuan ekspor baru, misal Timur Tengah, Afrika dan Rusia. Untuk mengatasi terbatasnya pasar ekspor tradisional dan promosi ekspor, akan dilakukan market intelligence guna menerobos pasar-pasar non-tradisional, dan mencari alternatif trade nancing non letter of credit (LC).

working business intelligence yang memberikan informasi online status produk ekspor dan impor Indonesia; (iii) membentuk citra positif (image building) bahwa produk-produk ekspor Indonesia memang telah memenuhi persyaratan internasional; (iv) memperluas pemanfaatan jasa trading produk ekspor (brokers) yang diakui oleh negaranegara tujuan ekspor. 2. Pengamanan pasar dalam negeri Dalam mendorong penggunaan produk industri lokal secara maksimal terutama pada pengadaan barang Pemerintah, akan dilakukan: (i) penyusunan Instruksi dan Keputusan Presiden (Inpres/ Keppres) agar pengadaan barang di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) mengutamakan produk dalam negeri; dan (ii) penggalakan kampanye peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). Untuk menanggulangi penyelundupan yang bisa mengganggu pasar dalam negeri, akan ditempuh langkah-langkah seperti: (i) mengefektifkan dan memperkuat tim PEPI atau Pusat Solusi Bisnis dalam menjalankan fungsinya melakukan penanggulangan penyelundupan; (ii) melakukan koordinasi dengan atase teknis mengenai angka-angka ekspor impor antar Indonesia dan negara tujuan; (iii) meninjau kembali berbagai rekomendasi yang dikeluarkan untuk barang-barang yang dilarang/ diatur ekspornya (scrap, rotan, dan lainnya); (iv) melakukan pengamanan produk dalam negeri, melalui koordinasi antar-instansi untuk mengatur katup impor barang jadi tertentu/strategis dan menyusun Early Warning System untuk menangkal dampak negatif membanjirnya barang impor. Mengingat tarif impor bea masuk (BM) saat ini sudah terlalu rendah dan berpotensi mendistorsi daya saing produk lokal, akan diupayakan penundaan sisa program penjadwalan penurunan tarif BM sampai 2010. Apabila tidak bisa seluruhnya, beberapa produk industri akan diupayakan penundaan penurunan tarifnya pada 2009, seperti: keramik, baja, karet/rubber rolls, dan bahan baku kabel ber

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Untuk mengatasi terbatasnya pasar ekspor tradisional dan promosi ekspor, akan dilakukan market intelligence guna menerobos pasar-pasar non-tradisional, dan mencari alternatif XVEHIRERGMRK non letter of credit (LC).
Selanjutnya untuk mengatasi persaingan terhadap ekspor produk Cina yang banyak tersebar ke seluruh negara, akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (i) meningkatkan peran perwakilan dagang dan industri di luar negeri agar intensif mengenalkan produk unggulan ekspor Indonesia terkini; (ii) menerapkan online net-

244

Bagian 4

optik. Demikian pula dengan produk industri yang masuk dalam lingkup free trade agreement (FTA), akan diupayakan penundaan sementara penurunan tarif BM Preferensinya. Begitu juga, industri yang berperan penting atas kepentingan umum, menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa, akan tetapi bahan baku/penolong dan komponennya masih tergantung impor, akan diberikan fasilitas insentif skal berupa pembebasan bea masuk bea masuk ditanggung Pemerintah (BMDTP) sebesar Rp 2,1 triliun pada tahun 2009. Kelompok industri yang dimaksud adalah: aluminium sheet, baja, tinplate, susu, kimia, otomotif, elektronika, telematika, kapal dan alat tulis. Selanjutnya dalam upaya meningkatkan perlindungan konsumen dan menjaga persaingan yang sehat, akan diterapkan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib, terutama untuk produk sepatu pengaman, korek api pengaman, mainan anak, pelek untuk kendaraan bermotor roda 2 dan 4, lampu halogen untuk kendaraan bermotor, perangkat untuk pemberi tanda suara (klakson), tangki air silinder vertikal polietiline, perlengkapan makanan dan minuman melamin, dan wadah makanan dan minuman polietiline. Untuk itu telah disiapkan SNI yang diperlukan untuk melindungi konsumen dan meningkatkan mutu produk dalam negeri.

4.4.5. Penutup Industri manufaktur merupakan salah satu sektor utama dalam perekonomian, mengingat pentingnya kontribusi sektor ini terhadap pembentukan PDB dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, peningkatan daya saing industri manufaktur nasional merupakan salah satu sasaran utama RPJMN 2004-2009. Berbagai upaya multi-sektoral telah dilakukan guna mencapai sasaran RPJMN. Upaya tersebut dilakukan terutama untuk membenahi masalah pokok, seperti: ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor, lemahnya keterkaitan sektor industri hulu dan hilir, konsentrasi industri yang tidak merata; serta lemahnya peran kelompok industri kecil dan menengah sebagai industri pendukung. Meskipun demikian, kinerja industri pengolahan ini belum juga menggembirakan. Pada 2006, pertumbuhan sektor ini baru mencapai 5,3 persen. Pada 2007 sedikit menurun menjadi 5,2 persen dan hingga triwulan ketiga 2008 kontribusi industri manufaktur hanya mencapai 4,6 persen. Pertumbuhan sektor industri ini juga lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi keseluruhan setiap tahunnya. Dengan kondisi ini, ditambah situasi ekonomi dunia yang kurang menguntungkan, maka target pertumbuhan rata-rata sektor industri pengolahan (nonmigas) sebesar 8,56 persen dalam RPJMN 2004-2009 diperkirakan akan sulit tercapai.

245

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

246
Sasaran 2005 a) % % % % % % % % % % % -3.70 12.38 2.61 65.83 118.85 a) Juta Jiwa Juta Jiwa b) Ranking Negara b) Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun 760.36 491.56 2,774.28 919.53 514.10 3,339.48 1068.81 538.08 3,957.40 69 117 50 125 54 131 55* 134 11.95 11.89 -0.06 12.37 0.48 12.44 0.07 3.81 8.77 2.39 2.09 4.48 0.53 4.73 7.55 3.62 66.74 116.92 123.44 124.06 (Q1) -0.92 -0.66 1.31 1.23 2.75 7.21 5.05 -3.68 -1.74 5.79 5.69 3.40 1.69 9.73 -2.82 5.86 5.27 5.15 4.05 2,34 -3,64 3,45 -1,48 4,46 -1,49 -2,05 9,79 -0,96 2006 2007 2008 unit Kondisi Awal Capaian

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.4.1. Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

No.

Sasaran: Tumbuh dengan laju rata-rata 8,56 persen per tahun.

1.1

Pertumbuhan Industri Pengolahan Non-migas

1.1.1

Makanan, Minuman dan Tembakau

1.1.2

Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki

1.1.3

Barang Kayu dan Hasil Hutan

1.1.4

Kertas dan Barang Cetakan

1.1.5

Pupuk, Kimia dan Barang Karet

1.1.6

Semen dan Barang Galian Non Logam

1.1.7

Logam Dasar Besi dan Baja

1.1.8

Alat Angkut, Mesin dan Peralatan

1.1.9

Barang Lainnya

1.2

Kapasitas utilisasi

1.3

Indeks Produksi Industri Besar dan Menengah

Sasaran: Target penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun mendatang adalah sekitar 500 ribu per tahun (termasuk industri pengolahan migas).

2.1

Jumlah Orang Bekerja di Sektor Industri Manufaktur (Juta Jiwa)

2.2

Jumlah Kesempatan Kerja Baru di Sektor Industri Manufaktur (Juta Jiwa) [n-(n-1)]

Sasaran: Terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif

3.1

Peringkat Daya Saing Global

3.1.a

Jumlah Negara dalam Peringkat Daya Saing Global

Sasaran: Peningkatan pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik

4.1

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha di Sektor Industri Manufaktur

4.2

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha di Sektor Industri Manufaktur

4.1.a

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha

*) world economics forum

Lanjutan Tabel 4.4.1.


Sasaran 2005 Rp Triliun % % b) USD Juta % c) USD Juta USD Juta Rp Miliar c) Judul Judul c) % % 81.99 18.01 6,709 6,746 5,271 7,282 2,211 4,122 1,164 4,633 14.4 55.6 65 17 75.9 17,6 88 15,1 28.08 27.83 27.40 27.41 27.54 27.01 1,750.82 1,847.29 1,963.97 2006 2007 2008 unit Kondisi Awal Capaian

No.

4.2.a

Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha

4.1.a

Kontribusi Sektor Industri Manufaktur ke dalam Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha

4.2.a

Kontribusi Sektor Industri Manufaktur ke dalam Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha

Sasaran: Meningkatnya volume ekspor produk manufaktur

5.1

Nilai Ekspor Manufaktur

5.2

Pertumbuhan Ekspor Manufaktur

Sasaran: Meningkatnya proses alih teknologi

6.1

Investasi Langsung (Foreign Direct Investment, FDI) Netto (Total)

6.2

Investasi Langsung (FDI) di Indonesia (Netto) di Sektor Non-Migas

6.3

Nilai Penggunaan Bahan Antara dari Produk Lokal

Sasaran: Meningkatnya penerapan standardisasi produk industri manufaktur.

7.1

Jumlah Komoditas Nasional Berlabel SNI

7.2

Jumlah Komoditas Nasional Berlabel Standard Internasional Lainnya (ISO dan sejenisnya)

Sasaran: Meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke luar Pulau Jawa.

8.1

Persentase Industri Besar dan Menengah Yang Berlokasi di Jawa

Bagian 4

8.2

Persentase Industri Besar dan Menengah Yang Berlokasi di Luar Jawa

Sumber data: 1) Statistik Industri ( Depperindag, berbagai tahun) 2) Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia (BPS, berbagai tahun) (Sakernas, berbagai tahun, diolah) 3) World Competitiveness Yearbook (International Institute for Management Development, berbagai tahun) 4) Pendapatan Nasional Indonesia (BPS, berbagai tahun) 5) Statistik Eksport ( BPS, berbagai tahun) 6) Data 2005-2007: Laporan Perekonomian Indonesia 2007 (BI, 2007). Data 2004: Laporan Perekonomian Indonesia 2006 (BI, 2006). Catatan: Tanda minus menunjukkan surplus dan sebaliknya untuk tanda plus menunjukkan desit. 7) Senarai Standar Nasional Indonesia SNI (Badan Standardisasi Nasional, 2006 dan 2007) 8) Statistik Industri Besar dan Menengah (BPS, berbagai tahun), diolah Catatan: a) Pencapaian hasil penyelenggaraan Program Penataan Struktur Industri. b) Pencapaian hasil penyelenggaraan Program Pengembangan Industri Kecil Dan Menengah. c) Pencapaian hasil penyelenggaraan Program Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri.

247

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN

Bagian 4

BAB 4.5
Revitalisasi Pertanian

4.5.1. Pengantar Pertanian dalam arti luas mencakup tanaman bahan makanan, hortikultura, peternakan dan hasil-hasilnya, tanaman perkebunan, perikanan, serta kehutanan. Sektor ini mempunyai kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi tersebut terindikasi dari kontribusi pembentukan PDB, penerimaan devisa melalui ekspor, penyediaan bahan baku industri dan penyerapan tenaga kerja. Pada 2008, diperkirakan 63,48 persen penduduk miskin tinggal di perdesaan, dan bekerja di sektor pertanian, termasuk penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta di wilayah pesisir. Selama periode 2005-2008 tenaga kerja yang terserap pada sektor pertanian terus meningkat, kecuali pada 2006. Pada 2005 penyerapan tenaga kerja mencapai 41,31 juta atau meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 40,61 juta orang. Setelah itu turun menjadi 40,14 juta orang pada 2006. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian kembali meningkat pada 2007, , menjadi sekitar 41,21 juta tenaga kerja. Pada Februari 2008 sektor pertanian sudah menyerap 42,69 juta tenaga kerja. Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mencapai hampir separuh dari angkatan kerja nasional. Hingga saat ini, pertanian dalam arti luas masih menjadi sektor utama dalam penyerapan tenaga kerja terutama di perdesaan. Untuk itu, pertumbuhan sektor pertanian adalah vital dalam mengurangi kemiskinan.

Pertumbuhan yang terus menerus dari sektor pertanian membutuhkan adanya revitalisasi sektor ini. Revitalisasi diperlukan bukan hanya untuk mendukung pencapaian sasaran penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan dan pertumbuhan ekonomi, namun juga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional sehingga hak dasar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi. Di samping itu, revitalisasi pertanian juga berperan dalam pengembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi daerah, dan pemerataan pembangunan melalui upaya pengentasan kemiskinan dan perbaikan pendapatan.

4.5.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada awal RPJMN 2004-2009, sektor pertanian masih menghadapi beberapa permasalahan, seperti: rendahnya produktivitas dan mutu, serta terbatasnya akses terhadap sumberdaya produk-

249

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi tersebut terindikasi dari kontribusi pembentukan PDB, penerimaan devisa melalui ekspor, penyediaan bahan baku industri, dan penyerapan tenaga kerja

tif, termasuk permodalan dan layanan usaha. Tingkat produktivitas dan mutu yang rendah antara lain diakibatkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya alih teknologi, dan lemahnya diseminasi teknologi pengolahan produk. Selain itu, kondisi kesejahteraan petani masih rendah. Sekitar 70-80 persen petani dan nelayan merupakan kelompok miskin dengan usaha yang tergolong tradisional dan bersifat subsistem. Salah satu indikator yang digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu indeks rasio harga yang diterima dengan yang harus dibayar oleh rumah tangga tani. NTP nasional pada awal RPJMN 2004-2009 menunjukan perkembangan yang uktuatif. Setelah sempat turun sejak tahun 1998-2000, NTP mulai membaik dari 96,93 pada 2000 menjadi 117,35 pada 2004. Namun berbagai faktor eksternal turut berperan dalam uktuasi NTP, misalnya sebagai akibat kenaikan harga BBM tahun 2005, NTP kembali turun menjadi 100,66. Sasaran akhir dari revitalisasi pertanian pada RPJMN 2004-2009 adalah tingkat pertumbuhan rata-rata sektor pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan dan kehutanan, sebesar 3,52 persen per tahun. Selain itu, pendapatan dan kesejahteraan petani diharapkan dapat meningkat. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka dibuat sasaran antara yang meliputi: 1. Meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi; 2. Terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik untuk mengamankan kemandirian pangan; 3. Diversikasi produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras; ; 4. Meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri;

5. Meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ternak dan ikan; 6. Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan; ; 7. Meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan; ; 8. Meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam mengelola sumberdaya alam (SDA) secara lestari dan bertanggung-jawab; ; 9. Semakin optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu; 10. Meningkatnya hasil hutan non-kayu sebesar 30 persen dari produksi 2004; ; 11. Bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta hektar (ha); dan 12. Penyelesaian penetapan kesatuan pemangkuan hutan sebagai acuan pengelolaan hutan produksi. Sasaran tersebut akan dicapai melalui lima program pembangunan, yaitu : 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan; 2. Program Pengembangan Agribisnis; 3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani; 4. Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan; 5. Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan;

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4.5.3. Pencapaian 2005-2008 Untuk mencapai sasaran revitalisasi pertanian yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009, diperlukan upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada, diantaranya menggalakkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan (skill) petani/nelayan. Program ini mencakup tahapan dan proses tani sampai dengan pengolahan pasca-panen. Berbagai hal ini diharapkan dapat

250

Bagian 4

meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, perikanan dan kehutanan. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kinerja sektor pertanian terdapat beberapa fokus kegiatan antara lain: 1. Pembangunan/Perbaikan Infrastruktur Pertanian, termasuk Infrastruktur perbenihan, riset, dan sebagainya; 2. Penguatan Kelembagaan Petani melalui Penumbuhan dan Penguatan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani; 3. Perbaikan Penyuluhan melalui penguatan Lembaga Penyuluhan dan Tenaga Penyuluh; 4. Perbaikan Pembiayaan Pertanian melalui Perluasan Akses Petani ke Sistem Pembiayaan; dan 5. Penciptaan Sistem Pasar Pertanian yang menguntungkan petani dan peternak. Peningkatan kinerja sektor perikanan difokuskan pada pengembangan perikanan tangkap di perairan yang masih kurang dimanfaatkan seperti sumberdaya ikan laut dalam, laut lepas, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Selain itu, dilakukan pengendalian penangkapan di perairan yang telah mengalami overshing. Pengembangan perikanan budidaya lebih berfokus pada pola budidaya yang lebih esien, efektif, berdaya saing tinggi, dan berwawasan lingkungan. Upaya peningkatan mutu perikanan juga dilakukan antara lain melalui pengembangan dan rehabilitasi sarana dan prasarana produksi serta optimalisasi pengelolaan budidaya, penangkapan, pengolahan hasil hingga pemasaran. Untuk mendukung produktivitas perikanan tangkap, Pemerintah juga telah membangun, merehabilitasi, dan meningkatkan fasilitas pendukung seperti Pelabuhan Perikanan Samudra, Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pelabuhan Perikanan Pantai, dan beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan. Peningkatan kinerja sektor kehutanan difokuskan pada pembangunan dan perluasan hutan tanaman industri serta peningkatan produksi ha-

sil hutan non-kayu. Beberapa strategi yang dilaksanakan antara lain: 1. Revitalisasi industri kehutanan; 2. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan; 3. Rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam; serta 4. Pelindungan dan konservasi sumberdaya alam.

4.5.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 1. Pertumbuhan Sektor Pertanian Melalui berbagai upaya, program pembangunan revitalisasi pertanian telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pertumbuhan PDB pertanian menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pada 2006, sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (PPK) tumbuh sebesar 3,4 persen dan kembali naik mencapai 3,5 persen pada 2007. Bahkan tahun 2008 pertumbuhan PDB mencapai 4,8 persen yang berarti telah melebihi target yang direncanakan yaitu 3,52 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional pada 2007 mencapai 13,83 persen. Kontribusi terbesar berasal dari sub-sektor tanaman bahan makanan, diikuti oleh sub-sektor perkebunan dan peternakan. Kontribusi PDB perikanan pada periode 20052008 menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 5,9 persen, atau meningkat dari 2,1 persen pada 2005 menjadi 2,49 persen pada 2008. Sementara itu, kontribusi sektor kehutanan adalah yang terkecil yaitu sebesar 0,84 persen atau turun 1,74 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan pertumbuhan sektor kehutanan antara lain diakibatkan masih banyaknya kegiatan pembalakan liar atau illegal logging yang berakibat pada kerusakan hutan. Banyak industri hasil hutan yang tutup akibat penurunan produksi kayu sebagai konsekuensinya. Selain itu, kurang optimalnya usaha reboisasi dan rehabilitasi juga menjadi faktor pemicu rendahnya pertumbuhan sektor kehutanan. Bukan hanya produksi kayu

251

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

dari hutan alam yang menurun, produksi hutan non-kayu lainnya juga kurang berkembang. Demikian juga hasil hutan tanaman industri yang belum dapat mengisi kekurangan produksi kayu dari hutan alam. Pertumbuhan sektor kehutanan perlu mendapat perhatian karena sumbangan sektor kehutanan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) jumlahnya tidak kecil, yaitu mencapai sekitar Rp 2,5 triliun. Pada triwulan III 2008, secara umum kondisi harga komoditas pertanian nasional mengalami peningkatan terutama untuk beberapa komoditas pangan strategis seperti gabah/beras, jagung, dan crude palm oil (CPO). Peningkatan harga global ini memberikan insentif bagi pengembangan kegiatan usaha tani. Namun pada awal Oktober 2008, krisis nansial global berimbas pada menurunnya permintaan beberapa komoditas pertanian sehingga menyebabkan menurunnya harga komoditas pertanian di pasar internasional yang berdampak pada turunnya pendapatan petani. Kondisi ini menyebabkan kerugian bagi petani/ nelayan terutama petani kelapa sawit yang harga jualnya turun.

2008, NTP menunjukkan peningkatan, dimana masing-masing tahun nilainya mencapai 100,97, 102,49, 107 dan 110. 3. Komoditas yang Berdaya Saing Dari perkembangan neraca ekspor-impor produk pertanian, dapat diindikasikan bahwa tingkat kemampuan petani dan nelayan untuk menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi masih belum memadai. Pada periode 2006-2007, neraca ekspor-impor komoditas tanaman pangan dan hortikultura masih bernilai negatif. Hanya neraca ekspor-impor komoditas perkebunan dan perikanan yang mempunyai nilai positif. Neraca ekspor-impor komoditas perkebunan meningkat dari USD 9,14 miliar pada 2005 menjadi USD 12,30 miliar pada 2006. Perikanan meningkat dari USD 1,79 miliar pada 2005 menjadi USD 2,3 miliar pada 2008. Akibat dari pertumbuhan ekspor perkebunan yang sangat pesat, secara total neraca ekspor impor pertanian dan perikanan periode 2006-2007 adalah positif. Perkembangannya dari tahun ke tahun juga menunjukkan tren yang meningkat. Dalam pencapaiannya itu, telah banyak usaha yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan petani. Upaya tersebut di antaranya: melalui penyediaan 28.000 tenaga penyuluh pertanian; 4.285 penyuluh perikanan, pengembangan 461 Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S); 6 (enam) unit agroindustri susu di perdesaan; dan fermented cocoa berkapasitas 29 ribu ton. Untuk meningkatkan mutu komoditas yang dihasilkan oleh petani, juga telah dikembangkan 15 unit lembaga jaminan mutu dan 1.474 unit Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Demikian juga jumlah petani yang telah mengikuti pelatihan teknis dan kewirausahaan agribisnis mencapai

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pertumbuhan sektor kehutanan perlu mendapat perhatian karena sumbangan sektor kehutanan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) jumlahnya tidak kecil, yaitu mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.
2. Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian juga memberikan dampak pada perbaikan tingkat kesejahteraan petani. Hal ini ditunjukkan dengan terus meningkatnya NTP. Dalam periode 2005-

252

Bagian 4

41.367 orang. Selain itu, 4.115 kelompok tani ikut terlibat dalam pengembangan Kawasan dan Sentra Hortikultura. 4. Tingkat Produksi Beras Dalam Negeri Produksi beras selama periode 2005-2008, terus menunjukkan peningkatan. Bahkan pada tahun 2008, produksi beras dalam negeri telah mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Pada 2007, produksi padi mencapai 57,05 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah tersebut telah melampaui sasaran sebesar 55,46 juta ton GKG. Pencapaian tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi musim yang sangat mendukung, dengan curah hujan yang tinggi dan musim kemarau yang pendek. Selain itu, juga didukung oleh kebijakan Pemerintah seperti stabilisasi harga, pengendalian impor, subsidi pupuk dan benih, benih padi hibrida, penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi teknologi, pembiayaan usaha tani dan pemberdayaan kelembagaan petani, fasilitasi penyuluhan serta perluasan lahan pertanian melalui konversi lahan yang dilakukan per provinsi. Jumlah produksi padi terus meningkat, pada 2008 produksi padi mencapai 60,25 juta ton atau meningkat sekitar 5,41 persen dibanding 2007. Salah satu faktor yang mendorong hal ini adalah meningkatnya luas panen. Pada 2008, jumlah luas panen mencapai 12,31 juta hektar atau naik 1,32 persen. Selain itu, juga terjadi peningkatan produktivitas yang mencapai 48,95 kuintal per hektar. Jumlah tersebut meningkat dari 47,05 ku/ha pada 2007 atau naik 4,04 persen. Pencapaian ini dapat dikatakan sebagai pencapaian swasembada beras untuk pertama kalinya setelah masa Orde Baru. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang perlu diwaspadai yang dapat mengganggu capaian ini di tahun-tahun mendatang. Faktorfaktor tersebut di antaranya: kondisi musim yang tidak mendukung seperti kekeringan yang berkepanjangan ataupun banjir, kurang tersedianya bibit unggul atau pupuk bersubsidi di lapangan.

5. Diversikasi Produksi, Ketersediaan dan Konsumsi Pangan untuk Menurunkan Ketergantungan pada Beras Peningkatan produksi pangan, peternakan dan perikanan turut meningkatkan ketersediaan dan akses masyarakat terhadap pangan. Konsumsi pangan masih mengandalkan pada komoditas padi-padian. Skor PPH (Pola Pangan Harapan) periode 2005-2008 masih belum mencapai angka ideal, secara berturut-turut score PPH adalah 79,2; 74,9; 82,8 dan 81,8. Masih diperlukan upaya perbaikan skor PPH agar tercapai angka ideal yaitu 100. Walaupun belum memenuhi pola pangan yang ideal, dari sisi ketersediaan dan konsumsi pangan telah terjadi perubahan komposisi sumber energi dan protein. Komposisi sumber energi pangan masyarakat sudah berubah. Konsumsi kalori yang berasal dari padi-padian menurun, sedangkan yang berasal dari hewani meningkat. Pada 2007 sumber energi pangan yang berasal dari padi-padian mengalami penurunan sebesar 0,94 persen, sementara energi yang berasal dari pangan hewani meningkat, seperti daging meningkat 6,7 persen, telur 9,7 persen, susu 17,3 persen, dan ikan 6,4 persen. Ketersediaan pangan dalam bentuk kalori dan protein secara kuantitas telah melebihi angka rekomendasi ketersediaan energi 2.550 Kkal/kapita/ hari, secara berturut-turut ketersediaan energi periode 2005-2007 adalah 2.912; 3.269 dan 3.526 Kkal/kapita/hari. Demikian juga ketersediaan protein adalah 76,79; 78,64 dan 81,72 gram/kapita/ hari semuanya lebih tinggi dibandingkan angka rekomendasi yaitu 52 gram/kapita/hari. Walaupun sempat menurun pada 2006, konsumsi energi dan protein di wilayah desa dan kota periode 2004-2008 umumnya meningkat. Konsumsi energi meningkat dari 1.986 kkal/kapita/hari pada 2004 menjadi 2.025 kkal/kapita/hari pada tahun 2008. Konsumsi protein meningkat dari 54,66 gram/kap/hari tahun 2004 menjadi 58,75 gr/ kap/hari pada tahun 2008.

253

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

6. Produksi Ternak dan Ikan dari Dalam Negeri Pada periode 2005-2007, produksi ternak dan hasilnya baik berupa daging, telur, maupun susu menunjukkan peningkatan. Pada periode tersebut, pertumbuhannya masing-masing 2,2 persen; 7,9 persen dan 1,4 persen. Sementara itu pada periode 2005-2008, produksi perikanan meningkat sebesar 8,24 persen. Produksi perikanan tangkap tumbuh sebesar 3,24 persen yang jumlah produksinya mencapai 5,18 juta ton pada 2008 sedangkan produksi perikanan budidaya meningkat sebesar 17,9 persen atau meningkat dari 2,16 juta ton pada 2005 menjadi 3,532 juta ton pada 2008. Dan pada 2008, diperkirakan produksi perikanan mencapai 8,71 juta ton. 7. Konsumsi Masyarakat terhadap Protein Hewani yang Berasal dari Ternak dan Ikan Konsumsi masyarakat terhadap pangan hewani pada periode 2005-2008, untuk daging naik dari 5,8 menjadi 6,7 kg per kapita, susu naik dari 9,4 menjadi 11,6 kg per kapita, telur naik dari 4,3 menjadi 5,5; dan penyediaan ikan untuk konsumsi naik 7,8 persen dari 23,95 menjadi 29,98 kg per kapita. 8. Daya Saing dan Nilai Tambah Produk Pertanian dan Perikanan Nilai Tambah (Harga Pasar) Industri Rumah Tangga dan Perusahaan Industri Kecil terus meningkat. Nilai Tambah produk pertanian seperti makanan dan minuman, pengolahan tembakau, tekstil, pakaian jadi, kulit dan barang kulit, karet dan barang karet dari tahun ke tahun meningkat. Total Nilai Tambah Industri Rumah Tangga naik 20 persen dari Rp 22,164,892 juta pada 2005 menjadi Rp 26,560,817 juta pada 2006. Demikian juga untuk Industri Kecil Total Nilai Tambah Industri kecil produk PPK meningkat 23 persen dari Rp 17,383,173 juta pada tahun 2005 menjadi Rp 21,330,669 juta pada 2006.

Untuk meningkatkan daya saing produk pertanian, Pemerintah diantaranya telah mengembangkan Benih Unggul guna meningkatkan kualitas dan produktivitas produk pertanian. Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk pertanian tersebut didukung oleh pengembangan SDM, penelitian dan teknologi pertanian melalui prasarana Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, prasarana Pendidikan dan Pelatihan Pertanian serta Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Lembaga penelitian dan pengembangan telah menghasilkan berbagai teknologi pertanian yang unggul antara lain varietas dan klon-klon tanaman maupun ternak, rekomendasi pemupukan, sistem pertanian di berbagai ekosistem baik di dataran tinggi maupun dataran rendah, teknologi permesinan untuk pengolahan tanah, pengolahan bahan primer dan lainnya. Dalam bidang perikanan, usaha peningkatan daya saing dan nilai tambah hasil perikanan dilakukan melalui peningkatan kapasitas 39 laboratorium pengembangan dan pengujian mutu hasil perikanan (LPPMHP), pengembangan sistem rantai dingin, pengembangan sentra pengolahan, pembangunan raiser ikan hias, dan pasar ikan higienis. Harga rata-rata produk perikanan yang diekspor juga mengalami kenaikan yang disebabkan antara lain oleh kenaikan ekspor pada produk bernilai tambah (non-primary -primary product), juga oleh produk yang diekspor dengan nilai ekonomi tinggi yang didukung oleh perubahan jenis komoditas, yakni dari udang vanamae menjadi udang windu. Peningkatan mutu dan nilai tambah produk perikanan pada 2007 telah menunjukkan hasil yang semakin baik, ditandai dengan adanya penurunan kasus RAS (Rapid Alert System for Food and Feeds) yang menimpa produk perikanan Indonesia di pasar luar negeri. Tercatat pada 2007 hanya terjadi 17 kasus RAS dari sebelumnya 34 kasus pada 2006. Berdasarkan pengukuran losses di 16 provinsi/26 tempat pelelangan ikan (TPI), diperoleh tingkat

254

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

losses sebesar 7,37 persen, jauh melebihi rencana target penurunan losses pada 2007 yang ditetapkan sebesar 10 persen. Sedangkan untuk utilitas unit pengolahan ikan (UPI) pada 2007 telah terjadi peningkatan sebesar 13,46 persen apabila dibandingkan dengan utilitas UPI pada 2006, yaitu dari utilitas UPI sebesar 46,45 persen pada 2006 menjadi 52,70 persen pada 2007. Sedangkan untuk ikan hias, air laut Indonesia mempunyai potensi sebesar 4.500 spesies atau 60 persen dari ikan hias dunia dan 3.500 spesies ikan hias air tawar. Nilai ekspor ikan hias Indonesia pada 2005 tercatat sebesar US$17,5 juta, pada 2006 turun menjadi US$ 13,8 juta dan pada 2007 mengalami penurunan hingga tinggal US$ 9,3 juta, atau sejak 2005 turun sebesar 46,86 persen. Kendala utama peningkatan ekspor ikan Indonesia adalah pada fasilitas penerbangan, adanya larangan penerbangan langsung maskapai nasional ke UE dan eksportir masih melakukan secara individual. 9. Produksi dan Ekspor Hasil Pertanian dan Perikanan Secara umum, produksi perikanan baik budidaya maupun tangkap pada periode 2005-2007 menunjukkan peningkatan sebesar 8,2 persen. Demikian juga dengan produksi padi serta produksi bahan pangan lainnya seperti jagung dan ubi. Pada periode 2005-2008 produksi jagung meningkat ratarata sebesar 9,5 persen per tahun, dan produksi ubi kayu tumbuh rata-rata sebesar 1,8 persen. Pada 2008, produksi jagung meningkat 22,58 persen dari 13,29 juta ton menjadi 16,32 juta ton. Faktor yang mendorong hal ini adalah bertambah luasnya areal panen menjadi 4 juta hektar (atau meningkat 10,27 persen). Selain itu, produktivitas juga meningkat menjadi 40,78 kuintal/hektar (atau meningkat 11,42 persen). Selain itu, pada tahun 2008, produksi kedelai juga meningkat dari 593 ribu ton pada 2007 menjadi 776 ribu ton. Na-

mun demikian peningkatan ini belum mencapai angka yang ditargetkan yaitu target 1,3 juta ton kedelai biji kering. Untuk meningkatkan produksi kedelai, Pemerintah telah melakukan pengembangan varietas kedelai, namun dengan produktivitas yang relatif rendah dan kecenderungan penurunan harga menyebabkan petani lebih tertarik menanam jagung atau kacang tanah. Secara umum, nilai ekspor komoditas pertanian meningkat dari USD 6,6 milyar pada 2005 menjadi USD 14,8 milyar pada 2008. Demikian juga nilai ekspor perikanan meningkat 10,2 persen dari USD 1,9 milyar pada 2005 menjadi USD 2,56 milyar pada 2008. Sementara itu, pada 20052008 volume ekspor hasil perikanan mengalami uktuatif dengan kenaikan rata-rata sebesar 4,5% pertahun, dengan capaian 0,85 juta ton pada tahun 2005 dan 0,89 juta ton pada tahun 2008. 10. Kemampuan Petani dan Nelayan dalam Mengelola Sumberdaya Alam secara Lestari Kemampuan Petani dalam pengelolaan lahan telah meningkat. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya luasan lahan pertanian serta produktivitas. Sebagai contoh, selama periode 2005-2008, luas panen padi dan jagung meningkat rata-rata sekitar 0,8 persen dan 4,8 persen. Demikian pula produktivitas yang diusahakan untuk komoditas padi dan jagung masing-masing meningkat ratarata 1,93 persen dan 5,2 persen. Pada bidang perikanan, hingga 2008 telah dilakukan pengembangan lahan tambak ramah lingkungan, sistem budidaya yang ramah lingkungan, pemeliharaan mangrove sebagai wilayah pemijahan dan perlindungan, serta pemeliharaan terumbu karang. Demikian juga terdapat usaha reboisasi dan rehabilitasi sebagai pertanggungjawaban penggunaan lahan yang ditujukan untuk mengembalikan lahan pada kondisi semula. Total luas lahan rehabi-

255

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

litasi di dalam kawasan mencapai 623.775 hektar dan di luar kawasan 759.466 hektar. Di samping itu, total luas lahan reboisasi mencapai 611.641 hektar dan luas rehabilitasi hutan bakau adalah 20.263 hektar. Namun demikian, masih dijumpai terjadinya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bertanggung-jawab. Ini ditandai dengan masih luasnya kerusakan hutan akibat kebakaran. Pada 20042006 luas areal hutan yang terbakar mencapai 13.088 hektar. 11. Optimalnya Nilai Tambah dan Manfaat Hasil Hutan Kayu Volume ekspor produk olahan hasil hutan umumnya beruktuatif. Ekspor veneer sheet menunjukan angka peningkatan dari 3.981,9 juta kg pada 2005 menjadi 188.706,8 juta kg pada 2007. Sedangkan volume ekspor particle board mengalami penurunan dari sebesar 30.176,7 juta kg pada 2005 menjadi 11.673,4 juta kg pada 2006. Kondisi penurunan volume ekspor dalam tahun yang sama juga dialami untuk komoditas bre board, sedangkan volume ekspor pulp sedikit mengalami peningkatan dengan dibarengi peningkatan nilai ekspor yang cukup nyata. Untuk sektor kehutanan masalah yang dihadapi bukan hanya optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu, namun juga menurunnya produksi hasil hutan kayu akibat berbagai permasalahan antara lain illegal logging dan masalah lainnya sebagaimana telah diuraikan di muka.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

non-kayu ada yang mengalami penurunan drastis seperti rotan yang produksinya 221.381 ton pada 2005 dan menjadi 24.554 pada 2006. Selain itu, pada periode yang sama produksi gondorukem menurun dari 27.098 ton menjadi 3.210 ton. Namun, dalam tahun yang sama produksi damar mengalami kenaikan, yaitu dari 9.131 ton menjadi 11.086 ton. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir angkaangka produksi sebagian besar komoditas hasil hutan non-kayu menunjukkan penurunan, namun mengingat komoditas hasil hutan non-kayu di atas memiliki nilai ekonomi yang penting, khususnya terhadap pendapatan masyarakat petani di sekitar hutan, maka pengembangan komoditas hasil hutan tersebut perlu terus didorong dan mendapatkan perhatian yang lebih serius di masa datang. 13. Bertambahnya Hutan Tanaman Industri Menjadi Minimal Seluas 5 juta Ha dan Penyelesaian Penetapan Kesatuan Pemangkuan Hutan Sebagai Acuan Pengelolaan Hutan Produksi Luas hutan tanaman industri pada 2004 adalah 3.252.966 Ha. Pada 2005 lahan tersebut meningkat menjadi 3.416.189 Ha, dan kembali meningkat menjadi 3.982.923 Ha pada 2007. Meskipun sasaran pembangunan hutan tanaman industri untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri pengolahan kayu belum tercapai menjadi seluas 5 juta hektar hingga tahun 2006, namun untuk memasok kebutuhan bahan baku industri perkayuan dipenuhi dari hasil hutan rakyat yang perkembangannya menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan khususnya di beberapa provinsi di Indonesia. 4.5.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009, permasalahan yang masih dihadapi antara lain adalah rendahnya kualitas SDM, rendahnya kualitas produk, dan produktivitas yang tidak optimal.

12. Hasil Hutan Non-Kayu Produksi hasil hutan non-kayu periode 2005-2006 umumnya menurun, stagnan, dan uktuatif. Rotan, Gondorukem, Pohon Damar, pohon Arang, Pohon Madu, Benang Sutra merupakan hasil hutan non-kayu yang produksinya mengalami penurunan. Produksi Gaharu Malaccenals dan Gaharu Fillaria cenderung stagnan; dan produksi Terpentin, Kopal, dan Minyak Kayu putih cenderung beruktuasi. Bahkan, produksi beberapa hasil hutan

256

Bagian 4

Selain itu, sektor pertanian juga dihadapkan pada lemahnya kelembagaan permodalan. Petani masih kesulitan mengakses sumber permodalan dan sumberdaya produktif lainnya. Kondisi lain yang masih menjadi persoalan dalam upaya mencapai sasaran adalah: 1. Masih rentannya produksi bahan pangan pokok sebagai akibat semakin tingginya laju konversi lahan pertanian produktif; 2. Masih kurang memadainya infrastruktur pertanian; 3. Masih rendahnya tingkat produktivitas dan kualitas hasil perkebunan dan hortikultura; 4. Masih lambannya transfer teknologi kepada petani dan lemahnya kemampuan adopsi teknologi sehingga upaya peningkatan produktivitas sulit dipacu; 5. Belum kondusifnya iklim usaha dan sistem permodalan dalam usaha pertanian; 6. Belum optimalnya kelembagaan yang mendukung usaha pertanian; serta 7. Rendahnya akses petani kepada sumber informasi terkait informasi pasar dan tata niaga. Di sektor perikanan, permasalahan dan kendala yang dihadapi adalah adanya fenomena perubahan iklim, bencana alam, dan kerusakan lingkungan. Gelombang tinggi yang akhir-akhir ini seringnya terjadi menyebabkan terhambatnya aktivitas nelayan untuk melaut. Demikian pula, terjadinya banjir di beberapa daerah sentra perikanan juga turut mengganggu aktivitas perikanan budidaya. Permasalahan ini berdampak pada penurunan produksi perikanan secara keseluruhan. Selain itu, tingkat pendapatan nelayan dan petani pembudidaya juga mengalami penurunan. Keadaan ini diperburuk dengan semakin ketatnya persyaratan ekspor hasil perikanan ke beberapa negara tujuan. Banyak produk perikanan domestik saat ini yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Selain itu, produksi yang kurang optimal disebabkan antara lain:

1. Masih maraknya illegal shing; 2. Iklim usaha serta sistem permodalan dan investasi yang kurang mendukung nelayan dan pembudidaya ikan; 3. Sarana dan prasarana produksi serta pengolahan dan pemasaran belum memadai; 4. Kualitas SDM masih rendah; 5. Hambatan non-tarif perdagangan hasil perikanan untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan oleh negara-negara importir; 6. Biaya produksi meningkat akibat kenaikan harga BBM; 7. Kualitas dan kuantitas sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menurun; serta 8. Perubahan iklim dan bencana alam menurunkan produktivitas perikanan. Adapun permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan adalah semakin menurunnya sumberdaya hutan, pertumbuhan sektor kehutanan yang menurun atau stagnan akibat illegal logging, serta rendahnya kemampuan pengembangan hutan tanaman industri dan hasil hutan non-kayu. Kondisi ini diperberat dengan minimnya pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan yang rusak. Selain itu, kemampuan dalam menghasilkan sumber bahan baku juga belum mampu mengimbangi kebutuhan produk hasil hutan, sehingga banyak industri hasil hutan yang tutup. Pemanfaatan hasil hutan pun masih bertumpu pada hasil hutan kayu. Padahal, produksi kayu dari hutan alam seharusnya dapat digantikan dengan produksi hasil hutan tanaman industri dan non-kayu lainnya.

4.5.4. Tindak Lanjut 4.5.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Untuk mencapai sasaran dalam RPJMN 20042009, beberapa tindak lanjut dari program sebelumnya akan dilaksanakan melalui konsistensi

257

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

program sehingga diharapkan akan dapat diperoleh kesinambungan langkah dan hasil. Pada 2009, revitalisasi pertanian akan dilaksanakan melalui: 1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan; 2) Program Pengembangan Agribisnis; 3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani; 4) Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan; 5) Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan. Selanjutnya, untuk mendukung program revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah telah menyediakan subsidi dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Secara rinci, pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan diarahkan pada: 1. Menjamin ketersediaan pangan yang berasal dari produk dalam negeri dalam upaya menuju swasembada pangan pokok yaitu padi, jagung, kedelai, minyak goreng, tebu/gula; 2. Peningkatan penyediaan protein hewani dari hasil ternak dan ikan; 3. Peningkatan kualitas pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Pertumbuhan diupayakan untuk dapat menghasilkan peningkatan dan pemerataan pendapatan namun dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan; 4. Meningkatkan kualitas pengelolaan hutan secara lestari yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat serta perekonomian nasional; dan
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

jadi sebesar 1,5 juta ton, produksi gula hablur sebesar 3,3, juta ton, produksi kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng menjadi 19,44 juta ton, serta daging 399,5 ribu ton dalam bentuk karkas; 2. Peningkatan produksi hortikultura, perkebunan, dan peternakan lainnya; 3. Meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian nasional dalam rangka mendukung pertumbuhan dan peningkatan pendapatan petani. Target pertumbuhan PDB pertanian (di luar kehutanan dan perikanan) ditetapkan sebesar 4,8 persen dan Nilai Tukar Petani (NTP) meningkat menjadi sekitar 115-120; serta 4. Peningkatan nilai ekspor produk pertanian strategis dan pada saat yang sama menurunkan ketergantungan pada produk impor, sehingga surplus neraca perdagangan dapat terus ditingkatkan. Untuk sektor perikanan, upaya pembangunan pada 2009 akan difokuskan pada: 1. Meningkatnya produksi perikanan sebesar 8,8 persen atau meningkat menjadi 10,5 juta ton dan ekspor hasil perikanan mencapai 1,6 juta ton dengan nilai devisa diperkirakan sebesar USD 2,8 miliar; 2. Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk perikanan; 3. Meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ikan menjadi 29 kg/kapita/tahun; serta 4. Penyediaan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan nelayan/ pembudidaya ikan. Fokus pembangunan untuk sektor kehutanan adalah: 1. Mengembangkan peraturan-peraturan yang mendukung untuk terciptanya pengelolaan hutan lestari dan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan yang esien; 2. Mengukuhkan dan menata-guna kawasan hutan;

5. Meningkatnya kesejahteraan dan pendapatan petani, nelayan, petani pembudidaya ikan, serta petani hutan. Untuk sektor pertanian, pada 2009 upaya pembangunan akan difokuskan pada: 1. Pengamanan produksi pangan pokok menuju pemantapan swasembada. Langkah ini ditempuh melalui: peningkatan produksi padi/ beras dalam negeri menjadi sebesar 62-63 juta ton GKG, peningkatan produksi jagung menjadi 18,0 juta ton, produksi kedelai men-

258

Bagian 4

3. Mengembangkan budidaya, penangkaran, dan nilai tambah produk Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL); 4. Meningkatnya kawasan luasan hutan di daerah perkotaan (Hutan Kota); 5. Meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi; 6. Meningkatkan pengelolaan DAS dalam rangka mengendalikan dan mencegah bencana alam terutama di DAS prioritas; 7. Pengembangan wilayah KPH; 8. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan meningkatnya kelembagaan pengendalian kebakaran hutan; serta 9. Mitigasi perubahan iklim pada sektor kehutanan melalui pengembangan konsep Reducing Emission from Deforestation and Degradation. Di samping upaya tindak lanjut tersebut di atas, semua pihak terkait perlu pula bekerjasama untuk menghapus kegiatan illegal logging dan illegal shing yang berimbas pada produksi kehutanan dan perikanan. Illegal logging telah mengancam industri perkayuan dan kelestarian lingkungan. Selain itu, illegal shing yang banyak dilakukan oleh negara asing dengan menggunakan peralatan modern berteknologi tinggi mengakibatkan eksploitasi lahan usaha nelayan. 4.5.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Pada 2009, tingkat pertumbuhan pembangunan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan diperkirakan akan mencapai 3,7 persen. Dengan pencapaian ini berarti, target yang direncanakan dalam RPJMN 2004-2009, yaitu sebesar 3,52 persen, akan terpenuhi. Komponen penunjang pertumbuhan ini adalah pertumbuhan tanaman bahan makanan sebesar 4,9 persen, perkebunan sebesar 4,4 persen, peternakan dan hasilnya sebesar 4,9 persen, serta perikanan sebesar 5 persen. NTP

sebagai indikator kesejahteraan petani diharapkan juga dapat mencapai kisaran 115-120. Demikian pula dengan sasaran-sasaran lain. Produksi padi pada 2009 diharapkan mencapai 62-63 juta ton gabah kering giling (GKG) setara dengan ketersediaan beras sebesar 34,7-35,3 -35,3 juta ton untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Dengan asumsi jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa, maka konsumsi beras mencapai 32,1 juta ton. Hal itu berarti produksi padi melampaui sasaran RPJMN 2004-2009 yaitu 90 persen dari kebutuhan domestik. Produksi jagung juga diharapkan mencapai 18 juta ton dan kedelai 1,5 juta ton. Produksi perikanan diperkirakan mencapai 12,73 juta ton. Peningkatan produksi perikanan ini diharapkan dapat diikuti peningkatan penyediaan ikan untuk konsumsi masyarakat menjadi 30,17 kg per kapita per tahun. Terkait daya saing, diharapkan nilai tambah, nilai perdagangan, ekspor produk pertanian strategis, dan produk perikanan dapat meningkat. Demikian juga ekspor hasil perikanan diperkirakan mencapai 1,6 juta ton yang berarti menambah devisa sebesar USD 2,8 miliar. Untuk bidang kehutanan, melalui pengembangan pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam dan hutan tanaman industri secara lestari maka produksi hasil hutan kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan diharapkan dapat meningkat.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.5.5. Penutup Pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja yang tinggi, terutama di perdesaan. Untuk itu, revitalisasi pertanian perlu dilakukan. Tujuan utama revitalisasi adalah mendukung pencapaian sasaran penciptaan lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kinerja sektor pertanian yang

259

tinggi diharapkan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dapat tercukupi. Revitalisasi pertanian ditempuh melalui kebijakan-kebijakan pokok yang diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemampuan sisi penawaran sektor pertanian serta pengamanan ketahanan pangan. Melalui kebijakan dan program pembangunan, revitalisasi pertanian telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya beberapa indikator, antara lain: pertumbuhan sektor pertanian, indeks NTP, produksi hasil pertanian, ekspor hasil pertanian, ketersediaan dan akses masyarakat yang lebih luas terhadap pangan serta tingkat konsumsi pangan. Membaiknya kondisi tersebut pada gilirannya akan memberikan dampak pada perbaikan tingkat kesejahteraan petani.

Meskipun demikian, untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 pada sektor pertanian, masih terdapat sejumlah permasalahan yang harus segera dibenahi, seperti: rendahnya tingkat produktivitas pertanian, tingkat konversi lahan yang semakin meningkat, fenomena perubahan iklim, serta bencana alam dan lingkungan, serta semakin meningkatnya persaingan dalam pasar global. Berbagai permasalahan ermasalahan tersebut jelas akan membawa konsekuensi. Oleh karena itu, pelaksanaan program harus lebih diintensifkan agar mendapat capaian yang optimal. Konsistensi dan upaya yang lebih keras harus pula dilakukan agar pelaksanaan program dapat mencapai target yang diharapkan. Dengan merujuk pada capaian saat ini dan rencana program yang akan berjalan, diperkirakan sasaran RPJMN akan tercapai pada 2009. Bahkan, pada beberapa indikator seperti pertumbuhan sektor pertanian yang diperkirakan akan mencapai 3,7 persen (sasaran 3,52 persen) dan ketersediaan beras untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang diperkirakan mencapai 34,7-35,3 juta ton (sasaran 32,1 juta ton) diyakini akan melampaui sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN.

Pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja yang tinggi, terutama di perdesaan. Untuk itu, revitalisasi pertanian perlu dilakukan

260

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Tabel 4.5.1. Sasaran dan Capaian RPJMN 2004-2009 Bidang Revitalisasi Pertanian Capaian Sasaran RPJMN Sasaran akhir dari Revitalisasi Pertanian adalah tingkat pertumbuhan sektor pertanian ratarata 3,52 persen per tahun dalam periode 2004-2009 dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani. Indikator 2005 Tingkat Pertumbuhan Sektor Pertanian 1) Nilai PDB 2) (Harga Konstan Tahun 2000) 1. Nasional 2. Pertanian: -Tanaman Bahan Makanan -Tanaman Perkebunan -Peternakan & Hasilnya -Kehutanan -Perikanan Tingkat Kesejahteraan Petani (Tahun Dasar 1993 = 100) 1. Nilai Tukar Petani (NTP) 2. Indeks Daya Beli Petani (IDBP) 3. Indeks Insentif Berproduksi Petani (IIBP) Kesempatan Kerja Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Produktivitas Tenaga Kerja Pertanian
Sumber Data : 1) BI. Dit. Renkro 2) BPS, Statistik Indonesia 3) BPS s.d Triwiluan III 4) DKP, TW - III 5) BPS 6) BPS, Februari 2008

2006 3,4

2007 3,5

2008 4,8

persen

2,7

Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun

1.750,82 1.847,29 1.963,97 253,88 125,80 39,81 32,35 17,18 38,75 262,40 129,55 41,32 33,43 16,69 41,42 271,59 134,08 42,75 34,53 16,40 43,83

1.561,263) 221,673) 115,753) 34,103) 26,383) 12,113) 33,334)

100,97 105,75 89,18

102,49 106,49 93,01

107,09 110,96 97,30

110,005)

Juta org Rp 000/ Org

41,31 6.145,8

40,14 6.537,8

42,61 6.374,0

42,696)

261

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.6
Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
4.6.1. Pengantar Pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mempunyai peran yang signikan dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha serta pemenuhan hak atas pekerjaan. Tidak hanya itu, pemberdayaan koperasi dan UMKM memiliki potensi yang besar dalam rangka menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tidak bisa dimungkiri, pemberdayaan koperasi dan UMKM menjadi pilihan yang strategis dalam pembangunan nasional saat ini. Hal ini mengingat populasinya yang besar dan tersebar hingga pelosok wilayah. Dengan kelebihannya itu koperasi dan UMKM dapat berperan dalam pemerataan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Dengan meningkatkan peran dan kemampuan koperasi dan UMKM, pendapatan masyarakat berpotensi untuk menjadi lebih baik dan kesenjangan ekonomi dapat diminimalisasi karena setiap rumah tangga (RT) berpeluang untuk menjadi pelaku usaha atau penerima manfaat dari koperasi dan UMKM. Pada 2007, populasi UMKM mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia. Sementara itu, jumlah tenaga kerjanya mencapai 91,8 juta orang atau 97,3 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Tahun yang sama, jumlah koperasi adalah sebanyak 149,3 ribu unit dengan jumlah anggota mencapai sekitar 29,1 juta orang. Demikian pula, produktivitas per unit UMKM pada 2007 menunjukkan peningkatan sebesar 4,1 persen, sedangkan pada 2005 dan 2006 masing-masing meningkat sebesar 0,7 dan 2,1 persen (berdasarkan harga konstan 2000).

Dengan meningkatkan peran dan kemampuan koperasi dan UMKM, pendapatan masyarakat berpotensi untuk menjadi lebih baik dan kesenjangan ekonomi dapat diminimalisasi karena setiap rumah tangga (RT) berpeluang untuk menjadi pelaku usaha atau penerima manfaat dari koperasi dan UMKM

4.6.2.1. Kondisi Awal Pada 2004, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh UMKM dan koperasi mencapai lebih dari 80,4 juta orang. Jumlah tersebut merupakan 96,2 persen jumlah tenaga kerja pada 2004. Dalam melaksanakan peran dan merealisasikan potensinya yang besar tersebut, UMKM dan koperasi masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu diantaranya adalah masih kurang kondu-

263

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.6.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai

sifnya iklim usaha. . Permasalahan dalam aspek ini mencakup: : 1. Ketidakjelasan aspek spek legalitas badan usaha dan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi; 2. Praktik raktik bisnis dan persaingan usaha yang tidak sehat; 3. Ketidakpastian etidakpastian lokasi usaha; dan 4. Lemahnya emahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Di samping itu, otonomi daerah ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata dalam upaya mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM. Hal itu tercermin dari masih terdapat daerah yang memandang koperasi dan UMKM sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru yang tidak perlu sehingga biaya usaha koperasi dan UMKM meningkat. Oleh karena itu, aspek kelembagaan masih menjadi perhatian yang sungguh-sungguh dalam rangka memperoleh daya jangkau hasil dan manfaat yang maksimal mengingat besarnya jumlah, keanekaragaman usaha, dan tersebarnya UMKM. Permasalahan pokok lainnya adalah rendahnya produktivitas yang berakibat terjadinya kesenjangan yang sangat lebar antarpelaku usaha kecil, menengah, dan besar. Selain itu, perkembangan erkembangan produktivitas tenaga kerja usaha mikro dan kecil belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Atas dasar harga berlaku 2004, produktivitas per unit usaha mikro dan kecil adalah sebesar Rp 20,15 juta dan usaha menengah sebesar Rp 2,0 miliar, sedangkan produktivitas per unit usaha besar telah mencapai Rp 153,2 miliar. Dari data tersebut dapat diindikasikan rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang bergerak di sektor UMKM. . Hal ini utamanya terkait dengan bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, pemasaran, serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM.

Keadaan demikian melemahkan kesiapan bersaing dan adaptasi dalam menghadapi pelaksanaan perdagangan bebas sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui oleh masyarakat internasional. UMKM dan koperasi juga masih menghadapi masalah keterbatasan akses terhadap modal. Pada 2004, jumlah kredit perbankan yang disalurkan sebagai kredit skala mikro, kecil, dan menengah (MKM) adalah sebesar 48,5 persen dari total kredit perbankan. Dari jumlah tersebut, sebagian besar masih terserap ke dalam kegiatan-kegiatan konsumtif. Sementara itu, sisanya terserap untuk kegiatan produktif, yaitu untuk kredit modal kerja sebesar 41,2 persen dan sebagian terkecil untuk kredit investasi sebesar 10,5 persen. Keadaan itu bagi UMKM amat menyulitkan untuk meningkatkan kapasitas usaha ataupun mengembangkan produk-produk yang bersaing. Selain itu, meskipun usahanya layak, persyaratan pinjaman seperti jumlah jaminan, juga tidak mudah dipenuhi oleh UMKM. Khusus mengenai koperasi, masalah pokok yang masih dihadapi adalah rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi, tertinggalnya kinerja, serta kurang baiknya citra koperasi. Meskipun jumlahnya cukup besar dan terus meningkat, kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sampai saat itu masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh, jumlah koperasi yang aktif menjalankan kegiatan usahanya pada 2004 adalah sebanyak 93,4 ribu unit atau hanya sekitar 71,5 persen dari koperasi yang ada. Di antara koperasi yang aktif tersebut, hanya 46,3 ribu koperasi atau kurang dari 49,5 persen yang menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT), salah satu perangkat organisasi yang merupakan lembaga (forum) pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi koperasi. 4.6.2.2. Sasaran yang Ingin Dicapai Dengan latar belakang dan kondisi tersebut di atas, sasaran umum pemberdayaan koperasi dan UMKM seperti dirumuskan dalam RPJMN 20042009 adalah:

264

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

1. Meningkatnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai dengan jati diri koperasi; 2. Meningkatnya produktivitas UMKM dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan produktivitas nasional; 3. Meningkatnya proporsi usaha kecil formal; 4. Meningkatnya nilai ekspor produk UMKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi daripada laju pertumbuhan nilai tambahnya; serta 5. Berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

pada DPR-RI setelah terlebih dahulu dipaparkan dalam Sidang Kabinet Terbatas. Pemerintah menindaklanjuti Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dengan menerbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009. Inpres Nomor 5 Tahun 2008 mencakup penajaman fokus dan prioritas pembangunan ekonomi, termasuk di antaranya paket kebijakan mengenai UMKM. Kebijakan pemberdayaan UMKM dalam paket tersebut meliputi 4 kebijakan, 17 program, dan 32 tindakan. Rencana program tersebut terkait dengan aspek peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, perluasan akses pasar bagi UMKM, peningkatan kapasitas SDM/Kewirausahaan, dan reformasi regulasi. Paket kebijakan itu diharapkan akan memberikan peran yang lebih tegas dan tanggung-jawab yang lebih fokus kepada instansi teknis yang melakukan pembinaan terhadap pemberdayaan UMKM. Untuk lebih meningkatkan akses koperasi dan UMKM kepada sumber pembiayaan, beberapa skema telah dikembangkan seperti: 1. Program penjaminan kredit; 2. Skema pendanaan komoditas dengan jaminan resi gudang; 3. Program penerbitan surat utang koperasi (SUK); dan 4. Bantuan sertikasi tanah kepada UKM.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.6.3.

Untuk Mencapai Sasaran di atas, Program-program yang Dilaksanakan Mencakup:

4.6.4. Pencapaian 2005-2008 Untuk memfasilitasi terselenggaranya iklim usaha yang kondusif bagi kelangsungan usaha dan peningkatan kinerja UMKM, salah satu langkah pokok yang dilakukan adalah menyempurnakan peraturan perundang-undangan. Hal ini diperlukan untuk membangun landasan legalitas usaha yang kuat bagi UMKM. . Dalam kerangka program ini diupayakan pula a penyederhanaan enyederhanaan birokrasi dan perizinan terkait koperasi dan UMKM. . Sehubungan dengan itu, Rancangan Undang-undang undang ndang (RUU) tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai pengganti Undang-undang undang ndang (UU) Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil telah disahkan menjadi UU pada 2008. Pada tahun yang sama, RUU tentang Perkoperasian telah disusun sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR-RI) Nomor 02/DPRRI/II/2007-2008 tentang Program Legislasi Nasional Tahun 2008, RUU tentang Koperasi masuk dalam Prolegnas RUU Periode 2008. RUU tersebut akan disampaikan Pemerintah ke-

KUR adalah kredit/pembiayaan dengan pola penjaminan bagi UMKM dan koperasi yang usahanya layak akan tetapi tidak mempunyai agunan yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan perbankan

265

Kegiatan penjaminan kredit koperasi dan UMKM ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi koperasi dan UMKM dalam memperoleh pendanaan dari perbankan. Melalui skema penjaminan kredit ini, Pemerintah meluncurkan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 2008. KUR adalah kredit/pembiayaan dengan pola penjaminan bagi UMKM dan koperasi yang usahanya layak akan tetapi tidak mempunyai agunan yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan perbankan. Program ini didasari oleh fakta bahwa banyak KUKM yang memiliki potensi usaha yang layak, tetapi tidak memenuhi persyaratan teknis perbankan. Oleh karena itu, Pemerintah telah meningkatkan kapasitas perusahaan penjaminan dengan menambahkan penyertaan modal negara sebesar Rp 1,45 triliun. Kontribusi Pemerintah sebesar Rp 850 miliar tersebut disalurkan melalui PT Askrindo (PT Asuransi Kredit Indonesia) Persero dan sisanya sebesar Rp 600 miliar dialokasikan kepada Perum Sarana Pengembangan Usaha (Perum Jamkrindo). Pelaksanaan Program KUR melibatkan instansiinstansi yang secara lintas sektoral melakukan pemberdayaan UMKM dan koperasi. Selain itu juga diikutsertakan 6 bank pelaksana (Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri) serta Perum Jamkrindo dan PT Askrindo sebagai lembaga penjamin. Pada dasarnya Program KUR ini dapat diakses oleh semua sektor usaha di seluruh Indonesia. Tingkat bunga efektif KUR sebesar 24 persen per tahun untuk kredit maksimal Rp 5 juta; dan 16 persen efektif per tahun untuk kredit lebih besar dari Rp 5 juta sampai dengan Rp 500 juta. Realisasi program KUR sampai dengan akhir Desember 2008 adalah senilai Rp 12.624,2 miliar untuk 1.671.668 debitur dengan rata-rata kredit senilai Rp 7,55 juta. Sejak 2006, , telah dikembangkan program sekuritisasi aset dengan memperkenalkan sistem penerbitan Surat Utang Koperasi (SUK). SUK SUKmerupakan merupakan instrumen utang yang penting dalam mendorong kapitalisasi koperasi. Beberapa manfaat penting yang diperoleh koperasi dalam menerbitkan SUK

adalah koperasi akan memperoleh sumber pendanaan jangka panjang yang kemudian disalurkan dalam jangka yang lebih pendek sehinga struktur keuangan koperasi menjadi lebih sehat. Selain itu, koperasi yang memiliki kelebihan likuiditas dapat menginvestasikan uangnya di koperasi penerbit SUK. Pada 2006, disediakan dana Rp 7,761 miliar dan dilanjutkan pada 2007 sebesar Rp 10 miliar. Realisasi program penerbitan SUK sampai dengan akhir September 2008 diikuti oleh 38 koperasi penerbit SUK dengan nilai sebesar Rp 12 miliar dan dengan kinerja NPL 0 persen. Selain itu, Pemerintah juga telah melaksanakan program hair cut untuk membantu UKM yang tidak mampu membayar hutang. UMKM yang akan mendapat hair cut adalah yang mempunyai Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet di bawah Rp 5 miliar. Jumlah UMKM yang mengalami kredit macet adalah 1,47 juta dengan total kredit macet sebesar Rp 7,9 triliun. Dalam program ini akan dilakukan penghapusan hutang, pemotongan bunga, dan pengurangan utang.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Beberapa manfaat penting yang diperoleh koperasi dalam menerbitkan SUK adalah koperasi akan memperoleh sumber pendanaan jangka panjang yang kemudian disalurkan dalam jangka yang lebih pendek sehinga struktur keuangan koperasi menjadi lebih sehat
Pemerintah juga menyediakan berbagai skim pendanaan untuk mendukung UMKM yang bergerak di sektor-sektor tertentu dan dalam wilayah produksi/sentra. Skim pendanaan tersebut mencakup skim resi gudang yang diperkenalkan mulai tahun 2006 dan dilanjutkan pada tahun 2008. Sasaran skim ini mencakup petani, kelompok tani, koperasi serta UKM lainnya, dengan jenis komoditas antara lain gabah, beras, jagung, gula pasir, kacang kede-

266

Bagian 4

lai, pupuk, dan komoditas lain. Penguatan permodalan juga diberikan bagi koperasi dan UMKM di sentra maupun kawasan industri dengan program modal awal dan padanan (MAP) melalui tiga jalur, yaitu: KSP/USP koperasi, lembaga modal ventura, dan lembaga inkubator. Manfaat program MAP bagi UMKM adalah berkembangnya 2.398 UKM melalui dukungan permodalan dan telah menyerap 29.897 tenaga kerja. Pada periode 2005-2007 pemerintah juga memfasilitasi dukungan pembiayaan produktif dalam bentuk dana bergulir bagi koperasi dan usaha mikro yang dilakukan dengan melibatkan 1.976 KSP/USP dan 1.634 Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah (KJKS/UJKS) yang tersebar di 33 Propinsi. Untuk mengembangkan dan meningkatkan akses permodalan khususnya bagi wanita wirausaha skala mikro, mulai tahun 2006 pemerintah memfasili-

tasi dukungan permodalan dalam bentuk dana bergulir kepada 196 Koperasi Wanita. Pelaksanaan program ini juga dilanjutkan pada tahun 2007 untuk mencakup 247 Koperasi Wanita. Pelaksanaan program dana bergulir pada tahun 2008 selanjutnya dilakukan melalui badan layanan umum yaitu Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Program lain yang dilakukan guna mempermudah akses koperasi dan UMKM terhadap permodalan adalah dengan memberikan bantuan sertikasi hak atas tanah. Kegiatan ini secara langsung ditujukan untuk memfasilitasi pengusaha mikro dan kecil agar dapat menyediakan agunan tanah bersertikat. Selama kurun waktu 2005-2008, jumlah usaha mikro dan kecil (UMK) yang telah memperoleh bantuan sertikasi tanah adalah 65.517 orang. Setiap UKM mendapatkan bantuan pengurusan sertikat tanah sebesar Rp 500 ribu-1 juta. Dalam aspek perluasan pasar, Pemerintah telah mendukung pemasaran dan jaringan usaha koperasi dan usaha kecil menengah dengan pembentukan badan layanan umum Lembaga Layanan Pemasaran-Koperasi Usaha Kecil Menengah (LLP-KUKM). Tugas lembaga ini adalah melakukan mediasi produk koperasi dan UKM untuk mendapatkan pasar di luar negeri. Operasionalisasi program ini dilakukan dengan bekerjasama membentuk trading house di dalam negeri dan luar negeri. Trading house di luar negeri sudah terdapat di Bulgaria dan Dubai. LLP-KUKM juga mempunyai jaringan kerja dengan trading house di sentra-sentra produksi, seperti Probolinggo, Jepara, Yogyakarta, Cirebon, Jakarta, dan Bali. Lembaga ini juga memberikan layanan lain seperti pelatihan untuk fungsionalisasi e-commerce. Untuk meningkatkan kemampuan wirausaha bagi UKM, telah dilakukan diklat kewirausahaan. Program ini bertujuan untuk menumbuh-kembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan terutama di kalangan UMKM dan generasi muda. Selama periode 2005-2008 telah dilatih sebanyak 8.490 orang. Dalam meningkatkan SDM perkoperasian, pemerintah melakukan diklat perkoperasian yang

Dok : DEPBUDPAR

267

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

diperuntukkan bagi anggota koperasi, pengurus koperasi, pengelola koperasi, pengawas koperasi, maupun masyarakat umum yang akan membentuk koperasi (Pra Koperasi). Selama periode tahun 2005-2008 telah terlatih sebanyak 8.790 orang di bidang perkoperasian. 4.6.4.1. Posisi Capaian hingga 2008 Berbagai program kegiatan yang dilakukan telah memberi dukungan terhadap pencapaian sasaran pemberdayaan koperasi dan UMKM, baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa capaian yang telah diraih hingga 2008 adalah sebagai berikut: Sasaran 1: Meningkatnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai dengan jati diri koperasi; Dalam periode 2005-2007, jumlah koperasi menunjukkan laju peningkatan rata-rata sebesar 4,7 persen per tahun. Apabila pada tahun 2005 jumlah koperasi adalah sekitar 133 ribu unit, maka jumlah koperasi pada tahun 2007 mencapai hampir 150 ribu unit. Jumlah koperasi aktif juga terus meningkat, meskipun proporsi terhadap jumlah koperasi secara nasional cenderung mengalami penurunan. Kinerja kelembagaan koperasi yang diukur dari prosentase koperasi aktif yang melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) juga menurun dalam periode 20052007, dengan rata-rata 46,6 persen koperasi aktif yang sudah melaksanakan RAT. Sementara itu jumlah koperasi yang sudah memiliki manajer masih terbatas. Dalam periode yang sama, ratarata hanya 30 persen koperasi aktif yang sudah memiliki manajer. Hal ini dapat menggambarkan bahwa sebagian besar koperasi aktif belum dikelola secara profesional. Dengan demikian, masih diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mendorong koperasi dan sumberdaya manusianya untuk menjalankan fungsinya dengan baik, salah satunya dengan mengoptimalkan partisipasi anggota melalui pelaksanaan RAT dan memperkuat kelembagaan koperasi melalui pengelolaan yang lebih profesional.

Sasaran 2: Meningkatnya produktivitas UMKM dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan produktivitas nasional Secara umum, laju pertumbuhan produktivitas per unit UMKM pada periode 2005-2007, berdasarkan harga konstan tahun 2000, mencapai rata-rata sekitar 2,1 persen per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan produktivitas nasional mencapai rata-rata sekitar 1,75 persen per tahun. Meskipun produktivitas per unit UMKM terus meningkat, namun laju kenaikannya sangat lambat sehingga produktivitas per unit UMKM masih jauh tertinggal dengan produktivitas tenaga kerja usaha besar.

Untuk meningkatkan kemampuan wirausaha bagi UKM, telah dilakukan diklat kewirausahaan yang bertujuan untuk menumbuh-kembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan terutama di kalangan UMKM dan generasi muda
Sasaran 3: Meningkatnya proporsi usaha kecil formal Pada tahun 2006, jumlah unit usaha non pertanian tercatat 22,7 juta unit. Usaha mikro (Umi) mencakup sekitar 42,85 persen dari total unit usaha non pertanian di Indonesia, dan sisanya merupakan usaha kecil (0,35 persen), usaha menengah (0,03 persen), dan usaha besar (56,76 persen). Sekitar 99,8 persen dari unit-unit usaha non pertanian tersebut sudah berbadan hukum, termasuk usaha mikro dan kecil. Usaha skala mikro dan usaha kecil non pertanian yang tercatat umumnya berbadan hukum PT/NV (43 persen). Sebagian usaha kecil lainnya memiliki legalitas usaha dalam bentuk usaha rma, CV, usaha berijin khusus, dan koperasi. Data-data perkembang-

268

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

an UMKM berdasarkan legalitas usaha tersebut belum mencakup UMKM di sektor pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan, yang diperkirakan masih didominasi oleh usaha-usaha informal. Sasaran 4: Meningkatnya nilai ekspor produk UMKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi daripada laju pertumbuhan nilai tambahnya Dari sisi kontribusi pembentukan ekspor non migas nasional, UKM juga mempunyai peran yang cukup signikan. Pada 2005, kontribusinya tercatat sebesar U$ 11.225 juta atau 20,27 persen dari keseluruhan nilai ekspor non migas Indonesia. Pada 2007, peran UKM terhadap pembentukan total nilai ekspor non migas nasional mengalami peningkatan sebesar U$ 5.382 juta atau 47,95 persen, yaitu dengan tercapainya angka sebesar U$ 16.607 juta atau 20,02 persen dari total nilai ekspor nasional. Dengan pencapaian ini, nilai ekspor produk nonmigas UKM pada periode 2005-2007 tumbuh dengan laju rata-rata 21,7 persen per tahun. Angka ini menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada laju pertumbuhan nilai tambah produk non-UKM pada periode yang sama. Laju pertumbuhan nilai tambah produk non-UKM adalah 5,8 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing UKM semakin meningkat. Sasaran 5: Berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pengembangan sistem penumbuhan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi masih dilakukan dalam bentuk kegiatan percontohan atau mendukung perkembangan lembaga-lembaga yang sudah ada. Salah satunya yaitu kegiatan gerakan tunas kewirausahaan nasional (Getuknas) yang melibatkan 15.000 orang pelajar/pemuda, untuk memacu pertumbuhan wirausaha baru. Se-

lain itu sejak tahun 2007 pemerintah mendorong penumbuhan unit usaha baru oleh para sarjana dalam wadah koperasi yang melibatkan kerjasama dengan Pemda, perguruan tinggi, dunia usaha, dan organisasi kemasyarakatan. Kegiatan ini mencakup usaha-usaha baru di 32 koperasi yang tersebar di 25 kabupaten pada 6 provinsi. Dukungan bagi inkubator usaha juga diberikan, utamanya pada inkubator usaha yang dinaungi lembaga pendidikan/universitas, yang diharapkan dapat menyediakan fasilitasi dan pengembangan usaha bagi KUKM-tenant, baik di bidang manajemen maupun teknologi. Pada tahun 2009 diharapkan sistem penumbuhan wirausaha baru berbasis iptek dapat diwujudkan seiring dengan berfungsinya Pusat Inovasi UMKM. 4.6.4.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Dalam upaya mencapai sasaran pembangunan, koperasi dan UMKM masih dihadapkan pada beberapa persoalan klasik. Secara mikro, koperasi dan UMKM masih memiliki kinerja yang perlu ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh: 1. Masih rendahnya tingkat produktivitas usaha, tenaga kerja, dan nilai tambah produk; 2. Jumlah investasi dan permodalan yang masih terbatas;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Jangkauan pasar dan jaringan usaha yang masih terbatas; 4. Akses informasi yang masih rendah dan pemanfatan teknologi yang masih terbatas; 5. Manajemen yang umumnya belum profesional. Permasalahan-permasalahan tersebut banyak terkait dengan kondisi keterbatasan internal koperasi dan UMKM. Namun penyelesaian berbagai permasalahan tersebut juga sangat tergantung pada kesiapan lembaga-lembaga pendukung koperasi dan UMKM, termasuk kerangka peraturannya, untuk dapat menyediakan dukungan ling-

269

kungan usaha yang kondusif. Dengan demikian, peningkatan peran koperasi dan UMKM secara optimal dalam membantu mewujudkan kemajuan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan ditentukan oleh perbaikan sisi internal koperasi dan UMKM, serta kondisi lingkungan usahanya. Perbaikan kelembagaan dan peningkatan kapasitas merupakan dua prasyarat strategis dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM karena hal ini menjadikan kinerja dan daya saing koperasi dan UMKM dapat terus berkembang secara berkelanjutan. Kedua aspek tersebut juga menjadi fokus pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam upaya mencapai sasaran RPJMN. Namun terkait iklim usaha, masih banyak permasalahan kelembagaan dan kapasitas yang dihadapi, seperti

keterbatasan dukungan kelembagaan, komitmen, dan kapasitas SDM dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM di daerah, rendahnya koordinasi terkait silang kepentingan antar lembaga terkait pemberdayaan koperasi dan UMKM, dan keterbatasan dalam jumlah dan jangkauan lembaga intermediasi pengembangan usaha koperasi dan UMKM. Permasalahan tersebut juga dapat sekaligus menjadi tantangan dalam pencapaian sasaran RPJMN mengingat saat ini pemerintah diharapkan menjadi lebih responsif terhadap perubahan pasar dan lebih esien dalam mengelola dan menjalankan program dan anggarannya. Perubahan lingkungan strategis juga membawa dampak berupa kebutuhan yang lebih besar terhadap peran dan partisipasi dari dunia usaha dan masyarakat dalam pengembangan koperasi dan UMKM.

270

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade

Bagian 4

4.6.5. Tindak Lanjut 4.6.5.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Berlandaskan kondisi objektif, posisi pencapaian terkini dan isu strategis yang berkembang, beberapa tindak lanjut ke depan yang perlu dilakukan, diantaranya: 1. Menindaklanjuti Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai landasan yang kuat dalam memberdayakan UMKM pada masa mendatang. Upaya ini ditujukan untuk menjadikan UMKM menjadi tangguh, kuat dan mandiri, serta lebih mendapat jaminan kepastian hukum. Untuk itu, diperlukan beberapa peraturan pelaksanaan, baik berupa peraturan presiden maupun peraturan Pemerintah. 2. Memperluas akses bagi koperasi dan UMKM kepada sumber modal melalui: (a) pengembangan produk dan jasa pembiayaan bukan bank; (b) peningkatan skema penjaminan kredit khususnya untuk mendukung kebutuhan modal investasi, termasuk penyediaan kebijakan dan strategi nasional; serta (c) penyusunan kebijakan dan strategi nasional pengembangan LKM yang menyeluruh dan terpadu. 3. Terkait dengan KUR, tindak lanjutnya, adalah (a) penyempurnaan pelaksanaan penyaluran KUR mikro; (b) perluasan bank pelaksana penyaluran KUR; (c) peningkatan skema linkage yang melibatkan lembaga keuangan mikro (LKM) dan KSP/USP dalam penyaluran KUR; serta (d) pembinaan dan pendampingan kepada calon debitur. 4. Pengembangan jaringan antar-LKM/KSP dan kerjasama antar-LKM/KSP perlu dikembangkan dalam rangka peningkatan kualitas manajemen, dan informasi sehingga tercipta jejaring yang akan mendorong LKM/KSP tumbuh dan berkembang. 5. Melakukan pembimbingan teknis/pendampingan dan pelatihan pengelola LKM serta

pelatihan fasilitator budaya/motivasi usaha dan teknis manajemen usaha mikro untuk meningkatkan kinerja pengelola LKM dan motivasi/budaya usaha mikro. 6. Memasyarakatkan kewirausahaan dan mengembangkan sistem insentif bagi wirausaha baru, termasuk yang berkenaan dengan aspek pendaftaran/izin usaha, lokasi usaha, akses pendanaan, perpajakan, dan informasi pasar. 7. Mengembangkan jaringan produksi dan distribusi melalui pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan kelompok usaha dan jaringan antar-UKM dalam wadah koperasi, serta jaringan antara UKM dan usaha besar melalui kemitraan usaha. 8. Melakukan rintisan untuk mengembangkan sentra-sentra produksi di daerah terisolasi dan tertinggal/perbatasan. Tindak lanjut ini diperlukan agar masyarakat di daerah tertinggal/ perbatasan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi lokal tiap-tiap daerah. 4.6.5.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran Sampai dengan tahun terakhir pelaksanaan RPJMN, kinerja pemberdayaan koperasi dan UMKM diperkirakan dapat dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan. Peluang capaian yang dapat ditingkatkan khususnya terkait pertumbuhan usaha dan kontribusi koperasi dan UMKM dalam perekonomian nasional. Setidaknya, capaian sektor koperasi dan UMKM tersebut dapat dipertahankan pada tingkat yang telah dicapai hingga 2008. Peluang meningkatnya pertumbuhan sektor UKM pada 2009 diperkirakan sangat besar untuk terjadi. Seiring dengan terjadinya krisis keuangan global, perekonomian Indonesia diperkirakan juga akan melambat. Sebagai akibatnya, jumlah pengangguran akan meningkat karena maraknya pemutusan hubungan kerja. Dengan demikian, koperasi dan UMKM merupakan sarana yang strategis untuk digalakkan sebagai usaha meredam dampak krisis bagi masyarakat.

271

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.6.6.

Penutup

Dengan potensi dan peran yang strategis, koperasi dan UMKM merupakan kekuatan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat sekaligus menjadi tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraan. Selama ini, koperasi dan UMKM telah mampu memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar secara nasional, meningkatkan ekspor, dan berkontribusi dalam pembentukan PDB nasional. Namun demikian, koperasi dan UMKM secara mikro masih memiliki permasalahan yang perlu ditanggulangi. Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi koperasi dan UMKM adalah rendahnya produktivitas, minimnya permodalan, terbatasnya pasar, dan manajemen yang kurang profesional. Oleh karena itu, permasalahan tersebut harus segera diselesaikan. Sejauh ini, upaya utama yang dilakukan Pemerintah untuk memberdayakan koperasi dan UMKM adalah melalui pemberian kemudahan fasilitas terhadap permodalan dan akses pasar. Selain itu, upaya pembinaan juga dilakukan melalui program

pelatihan manajerial dan kewirausahaan. Dengan upaya tersebut, diharapkan kontribusi koperasi dan UMKM terhadap perekonomian secara keseluruhan dapat ditingkatkan, sehingga pada gilirannya dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian. Daya serap tenaga kerja yang tinggi sangat dibutuhkan oleh perekonomian saat ini untuk meredam dampak krisis keuangan global. Sangat disadari, kesinambungan pelaksanaan program ke depan masih membutuhkan perhatian secara seksama. Mengingat cakupannya yang sangat luas, dengan jumlah unit usaha yang sangat besar, dapat dipastikan bahwa masih banyak koperasi dan UMKM yang belum terjangkau oleh upaya pemberdayaan tersebut. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan program-program harus diupayakan seoptimal mungkin melalui peningkatan komitmen dan kapasitas, serta koordinasi lembaga dan aparat pembina. Hal ini perlu disertai dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga intermediasi pengembangan koperasi dan UMKM melalui pelibatan berbagai pemangku kepentingan di pusat dan daerah.

272

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.6.1. Sasaran dan Pencapaian Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Sasaran 2004/2005 2006 2007 2008 Kondisi Awal Capaian

No

Sasaran RPJMN 2004-2009/Indikator

1. Rp Miliar/unit Rp Miliar/unit Rp Miliar/unit Rp Miliar/unit Rp Juta/orang Rp Juta/orang Rp Juta/orang Rp Juta/orang 15,81/17,91 11,78/12,40 12,76 19,95 92,05/103,26 116,23 324,70/402,83 635,13 153,21/189,97 353,17 0,03/0,03 0,04 3,99/4,57 4,99 5,19 0,04 405,59 17,19 132,44 23,12 728,40 0,02/0,02 0,03 0,03

Meningkatnya produktivitas UMKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dari laju pertumbuhan produktivitas nasional

1.1 Produktivitas usaha kecil per unit usaha per tahun

1.2 Produktivitas usaha menengah per unit usaha per tahun

1.3 Produktivitas UKM per unit usaha per tahun

1.4 Produktivitas usaha besar per unit usaha per tahun

1.5 Produktivitas per tenaga kerja usaha kecil

1.6 Produktivitas per tenaga kerja usaha menengah

1.7 Produktivitas per tenaga kerja UKM

1.8 Produktivitas per tenga kerja usaha besar

2.

Meningkatkanya proporsi usaha kecil formal

3. Ribu Unit Juta orang Ribu Unit Ribu Unit Ribu Unit

Meningkatnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai dengan jatidiri koperasi 130,7/132,9 27,5/27,3 93,4/94,4 46,3/44,6 28,8/29,3 141,3 27,8 98,9 46,1 31,9 149,8 28,9 105,0 48,3 32,0

3.1 Jumlah koperasi

3.2 Jumlah anggota koperasi

3.3 Jumlah koperasi yang aktif

3.4 Jumlah koperasi aktif yang menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT)

3.5 Jumlah koperasi aktif yang memiliki manajer koperasi

Bagian 4

4.

Berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi

5.

Meningkatnya nilai ekspor produk UMKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi daripada laju pertumbuhan nilai tambahnya US$ Miliar US$ Miliar 10,21/11,23 40,11/44,14 14,10 55,90 16,61 66,35

5.1 Nilai ekspor non migas UMKM

5.2 Nilai ekspor non migas usaha besar

273

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.7
Peningkatan Pengelolaan BUMN

4.7.1. Pengantar Peningkatan pengelolaan BUMN merupakan salah satu prioritas pembangunan yang dituangkan dalam RPJMN 2004-2009. Selama 20042009, kebijakan pengembangan dan pembinaan BUMN difokuskan untuk menyinergikan iklim makro dan mikro perusahaan. Iklim makro adalah kebijakan berkenaan dengan perbaikan industri dan pasar dimana badan usaha tersebut beroperasi. Sementara, iklim mikro adalah kebijakan yang difokuskan untuk pembenahan internal dan restrukturisasi yang disesuaikan dengan potensi daya saing yang dimiliki.

dasarkan kontribusinya pada perekonomian negara serta membahas beberapa upaya tindak lanjut dalam rangka mencapai sasarannya dengan fokus pada kebijakan yang akan dilakukan.

4.7.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada awal RPJMN 2004-2009, Pemerintah memiliki 158 BUMN yang bergerak dalam 37 sektor usaha terdiri dari 119 Persero, 12 Persero Terbuka (Tbk.), 13 Perusahaan Umum (Perum), dan 14 Perusahaan Jawatan (Perjan), 19 patungan minoritas, dan 7 perusahaan holding. Pada 2004, total nilai aktiva seluruh BUMN tercatat sebesar Rp 1.196,6 triliun. Pada periode yang sama, kontribusi total BUMN pada penerimaan negara sebesar Rp 59,4 triliun. Kontribusi ini meliputi Rp 9,8 triliun dari dividen, Rp 39,7 triliun dari pajak, dan Rp 9,9 triliun dari hasil privatisasi. Berdasarkan kelompok usaha yang ada, kinerja BUMN dari aspek keuangan adalah sebagai berikut: BUMN dalam kelompok jasa keuangan memiliki rasio return on assets (ROA) sebesar 3,03 persen dan rasio return on equity (ROE) sebesar 29,41 persen. Badan usaha yang bergerak pada non-jasa keuangan mencatat ROA sebesar 12,126 persen dan ROE sebesar 22,95 persen. PT Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Negara (Pertamina) memiliki ROA sebesar 0,81 persen dan ROE sebesar 17,82 persen. Terakhir, BUMN Public Service Obligation (PSO) mencatat ROA sebesar 5,66 persen dan ROE terhitung 40,03 persen.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Selama 2004-2009, kebijakan pengembangan dan pembinaan BUMN difokuskan untuk menyinergikan iklim makro dan mikro perusahaan
Untuk mencapai peningkatan pengelolaan BUMN yang lebih baik maka perlu dilakukan serangkaian kebijakan dan program yang mana telah tertuang dalam RPJMN 2004-2009. Upaya tersebut dilakukan dengan melaksanakan program pembinaan dan pengembangan badan usaha milik negara. Upaya tersebut semakin menunjukkan hasil positif. Hal itu ditunjukkan dengan peningkatan kualitas pelayanan BUMN kepada masyarakat. Selain itu, kontribusi BUMN pada sisi pendapatan negara juga meningkat. Bab ini berfokus pada pencapaian peningkatan pengelolaan BUMN ber-

275

Sasaran pembinaan dan pengembangan BUMN dalam RPJMN 2004-2009 adalah meningkatnya kinerja dan daya saing. Sasaran ini diupayakan dalam rangka memperbaiki pelayananan masyarakat dan optimalisasi kontribusi terhadap keuangan negara.

4.7.3. Pencapaian 2005-2008 Sampai dengan akhir tahun 2008, jumlah BUMN yang dimiliki oleh pemerintah tercatat sebanyak 141 BUMN. Dari keseluruhan BUMN tersebut, sebanyak 118 BUMN mampu mencetak laba. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2007 (sebanyak 111 BUMN), sedangkan sisanya masih mengalami kerugian. Nilai laba BUMN pada tahun 2008 tercatat sebesar Rp 72,34 triliun atau meningkat sebesar 1,04% dari tahun 2007. Pada tahun 2008 tersebut, BUMN mampu memberikan kontribusi kepada APBN melalui setoran dividen/DPS sebesar Rp 29,08 triliun. Nilai tersebut meningkat jika dibandingkan dengan setoran dividen BUMN pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp 23,8 triliun Dilihat dari kontribusi BUMN di pasar modal, kapitalisasi pasar 14 BUMN di pasar modal pada akhir tahun 2008 mencapai kurang lebih Rp. 386,14 triliun atau turun dari tahun 2007 sebesar Rp 605,51 triliun. Namun demikian prosentase kapitalisasi pasar sebesar 35,87% atau naik dari tahun 2007 sebesar 30,45% dari nilai total kapitalisasi pasar. Pembinaan terhadap BUMN dilakukan melalui tiga kegiatan utama yakni restrukturisasi, privatisasi, dan protisasi. Kegiatan restrukturisasi dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih memperbaiki kinerja perusahaan dengan menciptakan jumlah perusahaan yang tepat (rightsizing) dilihat dari nilai usaha yang tercipta (value of the rm). Pada 2006, pelaksanaan program ini dimulai pada 6 sektor dari 36 sektor

BUMN yang meliputi Kehutanan, Perkebunan dan Holding RNI, Farmasi, Konstruksi, Industri Strategis, dan Pertambangan. Pada 2007, dikembangkan menjadi 13 sektor untuk dilakukan penataan yang meliputi Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Aneka Industri, Perikanan, Farmasi, Kertas/Percetakan/Penerbitan, Konstruksi, Konsultan Konstruksi, Angkutan Darat, Hotel dan Pariwisata, Perlman, dan Survey/Pemotretan Udara. Pada 2008, program ini dilanjutkan untuk ke 13 sektor tersebut. Privatisasi BUMN merupakan salah satu instrumen yang penting dari Program Restrukturisasi BUMN. Di samping sebagai salah satu sumber penerimaan APBN, privatisasi juga bertujuan untuk memperluas kepemilikan saham BUMN oleh masyarakat umum melalui pasar modal, serta mendorong penerapan praktik-praktik pengelolaan yang baik dan menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme di BUMN. Pada 2006 realisasi penerimaan negara dari privatisasi mencapai Rp 2,088 triliun melalui pelepasan saham PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN), dalam APBN tahun 2007 ditargetkan sebesar Rp 3,3 triliun, dan dalam APBN tahun 2008 ditargetkan sebesar Rp 1,5 triliun. Protisasi adalah muara dari berbagai kegiatan pembinaan BUMN oleh Pemerintah yang hasilnya diukur dari seberapa besar laba usaha BUMN yang diserahkan ke negara. Pada 2006 realisasi setoran dividen BUMN mencapai Rp 21,45 trilliun, pada 2007 realisasi dividen BUMN sebesar Rp 23,8 trilliun, dan APBN tahun 2008 sebesar Rp 29,08 trilliun. Tantangan ke depan yang masih akan dihadapi pada tahun 2009 adalah melanjutkan secara bertahap terciptanya kebijakan reformasi BUMN yang menyelaraskan secara optimal antara kebijakan internal perusahaan dan kebijakan sektoral dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi, memisahkan fungsi komersial dan pelayanan

276

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

masyarakat pada BUMN serta mengoptimalkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) secara utuh.

4.7.4. Tindak lanjut 4.7.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Sebagai tindak lanjut mencapai sasaran RPJMN, maka dipilih beberapa sasaran untuk meningkatkan pengelolaan BUMN pada 2009 yaitu: (1) meningkatkan kontribusi BUMN terhadap APBN; (2) meningkatkan efektivitas dan esiensi pelayanan Hukum di lingkungan BUMN maupun lembaga yang terkait dalam pengelolaan BUMN; (3) menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan BUMN; (4) meningkatkan pelaksanaan GCG pada BUMN; (5) meningkatkan kualitas pelayanan BUMN kepada masyarakat; (6) meningkatkan sinergi antar BUMN untuk meningkatkan daya saing BUMN; dan (7) meningkatkan hasil guna dan daya guna penggunaan teknologi oleh BUMN. Dalam rangka mengimplementasikan sasaran tersebut, terdapat lima kebijakan peningkatan pengelolaan BUMN di tahun 2009, yaitu: (1) meningkatkan koordinasi dengan departemen/ instansi terkait untuk penataan kebijakan sektoral dan pasar BUMN terkait. Hal ini diperlukan dalam kerangka reformasi BUMN yang menyeluruh. Langkah-langkah perbaikan internal BUMN saja tidaklah cukup, keberhasilan pengelolaan BUMN harus disertai dengan dukungan kebijakan secara sektoral; (2) melanjutkan langkah-langkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif terhadap orientasi dan fungsi BUMN tersebut. Langkah restrukturisasi ini dapat meliputi restrukturisasi manajemen, organisasi, operasi dan sistem prosedur dan lain sebagainya; (3) mengkaji secara komprehensif BUMN yang rugi dengan tujuan mengidentikasi permasalahan yang diha-

dapi sehingga dapat dicarikan alternatif solusi terbaik untuk kelangsungan usahanya dengan jalan restrukturisasi; (4) memantapkan penerapan prinsip-prinsip GCG, yaitu transparansi, akuntabilitas, keadilan dan responsibilitas pada pengelolaan BUMN PSO maupun BUMN komersial, dan (5) melakukan sinergi antar-BUMN agar dapat meningkatkan daya saing dan memberikan multiplier eect kepada perekonomian Indonesia. Resource-based economic yang memberikan nilai tambah akan ditumbuh kembangkan.

4.7.5. Penutup Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan tujuan sosial dan ekonomi sebagai amanat pengamalan UUD 1945 Pasal 33. Secara sosial, BUMN dimaksudkan untuk turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara ekonomi, BUMN bertujuan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis. Pada perkembangannya, kebijakan privatisasi menjadi bagian penting dari kebijakan pengelolaan BUMN. Privatisasi dilakukan untuk menumbuhkan budaya profesionalisme melalui penyerahan sebagian kendali perusahaan pada pasar modal. Dengan privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan esiensi BUMN untuk selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hingga 2008, kinerja BUMN mengalami perbaikan. Laba yang dibukukan mencapai Rp 72,34 triliun. Namun, krisis ekonomi yang dimulai dari AS menyebabkan fundamental bisnis perusahaan menjadi rapuh. Hal ini mengingat banyak BUMN yang melakukan transaksi US$ dalam jumlah besar. Dengan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$ menyebabkan banyak BUMN yang menderita kerugian akibat selisih kurs. Ini diperkirakan menurunkan laba BUMN pada 2008 hingga mencapai 5-10 persen. Dengan terjadinya hal tersebut, pada gilirannya akan mempengaruhi pendapatan dividen Pemerintah.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

277

Dok : PGN

Di luar itu semua, untuk mencapai sasaran pengembangan dan pengelolaan BUMN dalam RPJMN 20042009, maka kebijakan dan pelaksanaan program yang konsisten dan berkesinambungan

harus senantiasa ditempuh. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja dan daya saing BUMN dalam rangka memperbaiki pelayanannya kepada masyarakat dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan negara.

278

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Tabel 4.7.1. Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Pengelolaan BUMN Kondisi Awal 2005 Sasaran: Meningkatnya kinerja dan daya saing BUMN dalam rangka memperbaiki pelayanannya kepada masyarakat dan memberikan sumbangan terhadap keuangan negara1) 1 2 3 4 5
1)

Capaian 2006 2007 2008

Sasaran

Unit

Dividen [Pembagian laba BUMN] Pajak Penyertaan Modal Negara (PMN) Public Service Obligation (PSO) Privatisasi

Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun Rp Triliun

12,8 39,2 1,2 89,3 2,4

21,5 45,3 2,0 109,6 2,1

23,8 48,4 2,7 101,5 3,3

29,08 48,4 2,7 101,5 1,5

Sasaran dicapai melalui pelaksanaan Program Pembinaan dan Pengembangan Badan Usaha Milik Negara.

279

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN

Bagian 4

BAB 4.8
Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4.8.1. Pengantar Peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan syarat peningkatan daya saing bangsa. Peningkatan kemampuan iptek dilakukan melalui program penelitian dan pengembangan iptek; program difusi dan pemanfaatan iptek; program penguatan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi. Indikasi pencapaian peningkatan kemampuan iptek antara lain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah penemuan teknologi baru yang bermanfaat, jumlah paten produk inovasi Indonesia, jumlah lembaga iptek sebagai ujung tombak pembudayaan iptek. bangan, dan penerapan teknologi yang berjenjang dan berkesinambungan maupun dengan cara membudayakan serta melembagakan pengembangan iptek. Laporan ini memfokuskan pada pencapaian kinerja peningkatan kemampuan iptek dari segi kontribusinya menunjang pencapaian sasaran prioritas pembangunan lainnya seperti pembangunan pangan, industri manufaktur, energi dan mineral, dan pertahanan dan keamanan. Pembahasan tindak lanjut dalam rangka mencapai sasaran peningkatan kemampuan iptek difokuskan pada kebijakan yang akan dilakukan pada 2009.

4.8.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Beberapa sasaran yang dicapai dalam peningkatan kemampuan iptek adalah: (1) menumbuhkan penemuan iptek baru sebagai hasil litbang nasional yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan nilai tambah dalam sistem produksi dan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari dan bertanggung jawab; (2) meningkatkan ketersediaan, hasil guna, dan daya guna sumberdaya (SDM, sarana, prasarana dan kelembagaan) iptek; (3) menata mekanisme intermediasi untuk meningkatkan pemanfaatan hasil litbang oleh dunia usaha dan industri, meningkatnya kandungan teknologi dalam industri nasional, serta tumbuhnya jaringan kemitraan dalam kerangka sistem inovasi nasional; dan (4) mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas, sistem pembinaan dan pengelolaan hak atas kekayaan

Beberapa kebijakan dan program yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009 secara garis besar berisi upaya pencapaian peningkatan kemampuan iptek dilakukan baik dengan cara penelitian, pengem-

281

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Laporan ini memfokuskan pada pencapaian kinerja peningkatan kemampuan iptek dari segi kontribusinya menunjang pencapaian sasaran prioritas pembangunan lainnya seperti pembangunan pangan, industri manufaktur, energi dan mineral, dan pertahanan dan keamanan

intelektual, pengetahuan lokal, serta sistem standarisasi nasional. Melalui berbagai program peningkatan kemampuan iptek, secara umum hasil yang diperoleh cukup menggembirakan. Terkait dengan indeks daya saing internasional, World Economic Forum (WEF) pada 2007 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-54 dalam indeks pencapaian teknologi. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan posisi Indonesia yang sebelumnya berada pada peringkat 69 pada 2004.

4.8.3. Pencapaian 2005-2008 Dalam rangka pencapaian kemampuan iptek pada kurun waktu 2005 hingga 2008 telah dilakukan empat program, yaitu: program penelitian dan pengembangan iptek; program difusi dan pemanfaatan iptek; program penguatan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi. Program penelitian dan pengembangan iptek hingga 2008 telah meningkatkan fokus dan mutu kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan dasar, terapan, dan teknologi sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan pasar dan pengguna. Pencapaian ini ditandai oleh berhasilnya pengembangan riset dasar dan pengembangan teknologi. 1. Di bidang energi dan mineral telah berhasil dikembangkan teknologi rancang bangun biofuel (biodiesel dan bioetanol), PLTB 25 kW, PLTU Mulut-tambang, ekplorasi migas lepas pantai, dan survey laut untuk eksplorasi mineral, serta pemanfaatan bijih besi lokal untuk bahan baku industri baja. 2. Di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah dikembangkan industri software berbasis OSS dan sistem pengatur lalu-lintas pesawat udara. 3. Di bidang pangan telah dihasilkan produksi benih padi unggul dan benih yang tahan kekeringan serta benih untuk kedelai plus.
Dok : Kebun Raya Bogor

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program penelitian dan pengembangan iptek hingga 2008 telah meningkatkan fokus dan mutu kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan dasar, terapan, dan teknologi sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan pasar dan pengguna
4. Di bidang biologi telah dikembangkan Bio Resource Center (BRC) dan Microbial Culture Collection (MMC) serta Eksplorasi dan Bioprospek Sumberdaya Jasad Renik. 5. Di bidang kesehatan telah dikembangkan tofarmaka, alat rontgent, dan diagnostic kit.

282

Bagian 4

6. Di bidang nuklir telah dicapai penguasaan iptek nuklir serta penguasaan iptek pemanfaatan radiasi dan radioisotop. 7. Di bidang kedirgantaraan telah dicapai penguasaan teknologi satelit, pengembangan teknologi peroketan, satelit mikro, sistem inderaja, dan stasiun bumi. 8. Di bidang hankam telah dikembangkan robot penjinak bom, teropong bidik malam, rompi tahan peluru, dan pengembangan kendaraan tempur mobile shooting range. Program difusi dan pemanfaatan iptek sampai 2008 telah mengefektifkan pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan rekayasa iptek oleh masyarakat, dunia usaha, dan industri. Pencapaian ini ditandai oleh: 1. Percepatan difusi dan pemanfaatan teknologi yang dilakukan agar masyarakat dapat memanfaatkan iptek dengan baik; 2. Pengembangan infrastruktur Sistem Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System/TEWS) dan pengembangan model integrasi data dan informasi untuk mekanisme kerja TEWS; 3. Pengembangan IGOS (Indonesia Go Open Source) produk software nasional yang berbasis open source; dan 4. Pendesiminasian hasil litbang iptek ke seluruh lembaga, daerah, dan masyarakat melalui berbagai media dan skema. Program penguatan kelembagaan iptek hingga 2008 telah meningkatkan upaya penguatan kapasitas dan kompetensi kelembagaan iptek yang ditandai oleh: 1. Perbaikan peran lembaga Iptek dalam pelbagai sendi kehidupan yang penting; memperkuat landasan dan arah serta prioritas pembangunan iptek dalam bentuk penyusunan rencana jangka menengah pembangunan iptek nasional, pemantapan agenda riset nasional, dan

penyusunan kebijakan strategis iptek; dan pengembangan Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) sebagai program insentif yang bersifat top-down; 2. Penguatan lembaga Dewan Riset Nasional, Dewan Riset Daerah, dan Balitbangda. Usaha yang telah dilakukan adalah pengembangan Laboratorium Eijkman, penelitian penyakit tropis utama, pengembangan Agro Techno Park, pengembangan prasarana rujukan bagi pengukuran, standarisasi, pengujian dan kualitas; dan 3. Penyiapan ketersediaan energi nuklir dengan cara melakukan peningkatan kelembagaan dan penguasaan iptek nuklir.

Program difusi dan pemanfaatan iptek sampai 2008 telah mengefektifkan pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan rekayasa iptek oleh masyarakat, dunia usaha, dan industri
Program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi sampai 2008 telah meningkatkan kontribusi iptek dalam pengembangan sistem inovasi nasional. Pencapaian ini ditandai oleh:
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

1. Pengembangan teknologi energi dan transportasi; 2. Peningkatan penguasaan teknologi produksi bahan bakar nabati dan energi alternatif; 3. Merancang bangun Buoy TEWS; 4. Merancang bangun pesawat nirawak (PUNA); 5. Merancang bangun kapal motor bersayap (WISE); dan 6. Memperkuat industri yang berbasis iptek dan pengembangan kapasitas pranata standarisasi.

283

Dok : Tempo, Amston Probel

4.8.4. Tindak lanjut Menindaklanjuti upaya pengembangan iptek yang telah dilakukan di hingga 2008, maka sasaran pembangunan iptek pada 2009 adalah: 1. Mewujudkan sinergi program dan optimalisasi peran, kemampuan dan kelembagaan Iptek melalui pemfokusan dan penyelarasan program litbangyasa Iptek sesuai kebutuhan masyarakat dan industri; 2. Meningkatkan kapasitas teknologi pada sistem produksi dan upaya pengembangan Sistem Inovasi Nasional (SIN); 3. Meningkatkan partisipasi nasional dalam forum Internasional; 4. Mengotimalkan pemanfaatan sumberdaya, infrastruktur laboratorium dan fasilitas iptek.

Untuk itu, maka kebijakan peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada 2009 diarahkan untuk: 1. Membangkitkan kepedulian dan pemahaman masyarakat luas terhadap pentingnya peran strategis Iptek serta mendorong terwujudnya Iptek sebagai bagian dari kepentingan nasional melalui pengarusutamaan dan pemberian peran strategis Iptek dalam pengambilan kebijakan Pemerintah; 2. Melakukan aplikasi program Iptek pada enam bidang prioritas, yaitu: pertanian (pangan dan bioteknologi); energi; manajemen dan teknologi transportasi; teknologi pertahanan dan keamanan; teknologi informasi, komunikasi dan telekomunikasi; serta kesehatan dan obat-obatan (bioteknologi). Upaya ini dilakukan dalam rangka membentuk sistem intermediasi yang esien untuk meningkat-

284

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

kan daya difusi hasil riset ke dalam kegiatan ekonomi; 3. Mengembangkan dan rekayasa Iptek yang berorientasi pada permintaan dan kebutuhan masyarakat melalui pengembangan jejaring kerja yang harmonis-produktif, baik antara lembaga Iptek di Pusat maupun di daerah; dan 4. Memperluas pemanfaatan Iptek bagi masyarakat dan dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah, serta optimalisasi pemanfaatan sarana laboratorium dan sumberdaya Iptek nasional.

frastruktur warung TI di daerah-daerah. Dengan demikian diharapkan semua kalangan masyarakat dapat menggunakan iptek dalam membantu mengatasi permasalahan. Dengan upaya yang lebih keras dan intensif, diharapkan seluruh upaya pembangunan iptek ini dapat mencapai sasarannya pada 2009 nanti. Pada saat itu, diperkirakan program yang dijalankan akan lebih berhasil dan berdaya guna, baik itu kegiatan litbang di bidang sains, perekayasaan, ilmu-ilmu sosial, maupun pengetahuan yang mendukung perumusan kebijakan.

4.8.5. Penutup Iptek mempunyai arti penting dalam pembangunan. Upaya peningkatannya harus selalu diupayakan dalam rangka meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa. Dengan demikian, hal tersebut diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional. Untuk mendukung upaya pencapaian tujuan nasional, pembangunan iptek harus diarahkan untuk mendukung terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, selama ini kemampuan dan kapasitas kelembagaan iptek nasional masih relatif lebih rendah. Rendahnya kemampuan dan kapasitas iptek ini menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia di kancah perekonomian global. Salah satu upaya yang telah dilakukan guna mendukung dan memasyarakatkan pembangunan bidang iptek adalah dengan mengembangkan in-

Untuk mendukung upaya pencapaian tujuan nasional, pembangunan iptek harus diarahkan untuk mendukung terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat
Dalam upaya pemanfaatan iptek, untuk waktu ke depan diharapkan upaya alih teknologi dapat berjalan lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan esiensi dan produktivitas proses produksi nasional. Dan pada saat yang sama dapat mengurangi kecenderungan impor bahan baku dan komponen produksi lainnya, serta dapat meningkatkan kandungan lokal dalam produk ekspor Indonesia. Dengan kemajuan capaian tersebut, diharapkan indeks pencapaian teknologi Indonesia juga meningkat dan berujung pada peningkatan daya saing perekonomian Indonesia pada lingkungan global.

285

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

286
unit 2006 2007 2008 Kondisi Awal 2005 Capaian a) Bidang Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian Produk Penelitian 3 4 1 10 1 5 1 4 2 8 33 1,871 Buah 2 37 1,871 2 5 3 2 14 2 3 2 4 7 4 Jumlah Kumulatif Jumlah Kumulatif 7 2 1 3 3 3 2 6 3 4 7 2 1 3 3 3 2 6 3 4

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.8.1 Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sasaran

Sasaran: Tumbuhnya penemuan iptek baru sebagai hasil litbang nasional yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan nilai tambah dalam sistem produksi dan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari dan bertanggung jawab. 1.1 Pengembangan teknologi 1.1.1 Bidang energi dan mineral 1.1.2 Bidang teknologi informasi 1.1.3 Bidang komunikasi 1.1.4 Bidang pangan dan peternakan 1.1.5 Bidang biologi 1.1.6 Bidang kesehatan 1.1.7 Bidang nuklir 1.1.8 Bidang transportasi 1.1.9 Bidang kedirgantaraan 1.1.10 Bidang hankam 1.2. Pengembangan riset dasar 1.2.1. Riset unggulan terpadu Internasional (RUT) 1.2.2. Riset unggulan terpadu (RUT) 1.3. Regulasi iptek 1.3.1. Peraturan terkait iptek

Lanjutan Tabel 4.8.1 2 Sasaran: Meningkatnya ketersediaan, hasil guna, dan daya guna sumberdaya b) (SDM, sarana, prasarana dan kelembagaan) iptek. 2.2 Efektivitas iptek 2.2.1 Diseminasi hasil litbang iptek Kegiatan 2.2.2 Pemanfaatan hasil litbang iptek oleh masyarakat Produk Dimanfaatkan 9 1 2 8 2 2

3.1 3.2.

Sasaran: Tertatanya mekanisme intermediasi untuk meningkatkan peman- c) faatan hasil litbang oleh dunia usaha dan industri, meningkatnya kandungan teknologi dalam industri nasional, serta tumbuhnya jaringan kemitraan dalam kerangka sistem inovasi nasional. Kapasitas kelembagaan iptek yang ditingkatkan Kandungan teknologi dalam industri nasional (produk berteknologi sedang dan tinggi) Lembaga 3 5 7

4.1 Produk Dipatenkan

Sasaran: Terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas, d) sistem pembinaan dan pengelolaan hak atas kekayaan intelektual, pengetahuan lokal, serta sistem standarisasi nasional. Kontribusi iptek dalam pengembangan sistem inovasi nasional Produk inovasi 2

6 284

4.2.

Pendaftaran HAKI produk iptek dalam negeri.

Bagian 4

Sumber data: 1) Sumber data adalah Lampiran Pidato Presiden dan Rencana Kerja Pemerintah (Bappenas, berbagai tahun).

Catatan: a) Pencapaian dari penyelenggaraan Program penelitian dan pengembangan iptek. b) Pencapaian dari penyelenggaraan Program difusi dan pemanfaatan iptek. c) Pencapaian dari penyelenggaraan Program penguatan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. d) Pencapaian dari penyelenggaraan Program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi.

287

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN

Bagian 4

BAB 4.9
Peningkatan Iklim Ketenagakerjaan

4.9.1. Pengantar Pengembangan iklim ketenagakerjaan sangat erat kaitannya dengan perbaikan kebijakan pasar kerja dan iklim usaha. Iklim ketenagakerjaan yang baik pada gilirannya akan membawa dampak kepada pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Selain itu, pasar kerja yang baik akan memberikan keseimbangan dalam struktur biaya produksi yang membawa perusahaan menjadi kuat menghadapi persaingan, , yang selanjutnya berdampak kepada berkembangnya investasi serta penciptaan lapangan kerja baru. Penciptaan lapangan kerja baru akan mengurangi pengangguran yang kini jumlahnya sekitar 9,4 juta orang. Sebelum terjadinya krisis yang saat ini berlangsung, masalah pengangguran sudah menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengurangi angka pengangguran. Akan tetapi, upaya tersebut belum memberikan hasil yang berarti. Kini, ditambah dengan terjadinya krisis global, , Indonesia makin dihadapkan pada masalah yang lebih besar. Sebagai dampak krisis, banyak negara mengalami perlambatan ekonomi. Sebagai konsekuensinya, daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor Indonesia (terutama Amerika Serikat atau AS, Jepang, dan Uni Eropa) akan menurun. Kondisi ini pada gilirannya akan membawa dampak penurunan permintaan produk barang dan jasa dari Indonesia. Hal ini jelas akan berpengaruh pada industri dalam negeri yang pada akhirnya akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebagai dampak krisis, banyak negara mengalami perlambatan ekonomi. Sebagai konsekuensinya, daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor Indonesia (terutama Amerika Serikat atau AS, Jepang, dan Uni Eropa) akan menurun
Kondisi tersebut ikut mendorong tingginya angka kemiskinan dan rentannya kesejahteraan masyarakat. Serangkaian upaya dan paket kebijakan diperlukan untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk pada sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Untuk itu, peningkatan iklim ketenagakerjaan menjadi salah satu agenda utama pembangunan pada RPJMN 2004-2009.

4.9.2.1. Kondisi Pengangguran Pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, Indonesia menghadapi tantangan besar, yaitu menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) selama 2004-2005 menurun dari 67,6 persen menjadi 66,8 persen, baik di perkotaan maupun di perdesaan. TPAK laki-laki dan perempuan juga menurun. Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka dan tingginya persentase pekerja yang bekerja di lapangan kerja informal menjadi masalah utama yang dihadapi Pemerintah.

289

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.9.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai

Tabel 4.9.1. Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT (2004-November 2005) Keterangan 1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (persen) Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan 2. TPT (persen) 2. TPT di perkotaan (persen) TPT di perdesaan (persen) 3. TPT laki-laki (persen) TPT perempuan (persen) 4. TPT 15-19 tahun (persen) TPT 20-24 tahun (persen)
Sumber: Satuan Kerja Nasional (Sakernas) dalam berbagai tahun

2004 67,55 86,03 49,23 62,55 71,54 9,86 12,73 7,86 8,11 12,89 37,65 24,63

Feb. 2005 68,02 85,55 50,65 63,20 71,86 10,26 13,51 7,98 8,28 13,57 34,88 25,24

Nov. 2005 66,79 84,94 48,41 62,44 70,23 11,24 14,22 9,14 9,29 14,71 41,01 29,42

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada 20042005 meningkat dari 9,9 persen atau 10,3 juta orang menjadi 11,2 persen atau 11,9 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka baik di perkotaan maupun di perdesaan naik masing-masing dari 12,7 persen menjadi 14,2 persen dan dari 7,9 persen menjadi 9,1 persen. Demikian pula bila dilihat dari jenis kelamin, TPT perempuan dan laki-laki meningkat masing-masing dari 12,9 persen dan 8,1 persen pada 2004 menjadi masing-masing 14,7 persen dan 9.3 persen pada akhir 2005. Pada periode yang sama, tingkat pengangguran usia 15-19 tahun juga meningkat menjadi 41,0 persen dari 37,7 persen. 4.9.2.2. Pertumbuhan Kesempatan Kerja Secara umum, pertumbuhan kesempatan kerja pada awal RPJMN 2004-2009 juga masih sangat rendah. Pada 2004, kesempatan kerja hanya bertambah sebesar 911.245 dan melemah menjadi 236.351 pada 2005. Pertumbuhan kesempatan kerja ini tidak dapat mengimbangi pertambahan

angkatan kerja baru yang tercatat sebesar 1,2 juta pada 2004 dan 1,9 juta orang pada 2005. Sebagaimana dijelaskan di atas, rendahnya tingkat pertumbuhan kesempatan kerja mengakibatkan jumlah setengah penganggur dan angkatan kerja yang bekerja di lapangan kerja informal meningkat. Dalam kurun 2004-2005, jumlah setengah penganggur meningkat sekitar 1 juta orang dari 27,9 juta atau 29,8 persen dari seluruh jumlah orang yang bekerja menjadi 28,9 juta atau 30,8 persen. Sementara itu, persentase orang yang bekerja di lapangan kerja informal sedikit meningkat dari 30,3 persen menjadi 30,7 persen. Dengan kondisi awal dan permasalahan tersebut, sasaran yang ingin dicapai dalam RPJMN 20042009 adalah menurunnya tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada akhir 2009. Sasaran ini akan dicapai salah satunya melalui perbaikan iklim ketenagakerjaan. Untuk itu, dengan kondisi lapangan kerja yang didominasi sektor informal dan sebagian besar

290

Bagian 4

angkatan kerjanya memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan rendah serta berusia muda, maka kebijakan ketenagakerjaan diarahkan pada 2 arah kebijakan umum, yaitu: 1. Peningkatan penciptaan lapangan kerja formal. Kondisi angkatan kerja yang sebagian besar didominasi oleh pendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah dan berusia muda diperkirakan tidak banyak berubah hingga 20 tahun mendatang. Oleh karena itu, penciptaan lapangan kerja diprioritaskan ke arah industri padat karya, industri kecil dan menengah (IKM), serta industri yang berorientasi ekspor; 2. Peningkatan keterampilan pekerja. Tingkat keterampilan yang tinggi diharapkan akan memfasilitasi pekerja untuk berpindah dari pekerjaan informal ke formal. Untuk mencapai 2 arah kebijakan umum di atas, strategi-strategi yang akan ditempuh adalah: 1. Memperbaiki aturan ketenagakerjaan, meliputi: rekrutmen, outsourcing, pengupahan, dan pemutusan hubungan kerja (PHK); 2. Menciptakan iklim investasi yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjaga stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, biaya produksi yang rendah, kepastian hukum, serta perbaikan infrastruktur; 3. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui perbaikan pelayanan pendidikan dan pelatihan serta pelayanan kesehatan; 4. Memperbarui program perluasan kesempatan kerja, misalnya: program pekerjaan umum, kredit mikro, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) serta pengentasan kemiskinan; 5. Memperbaiki kebijakan migrasi tenaga kerja, baik migrasi internal maupun eksternal; dan 6. Menyempurnakan program pendukung pasar kerja dengan mendorong terbentuknya informasi pasar kerja dan bursa kerja.

4.9.3. Pencapaian 2005-2008 Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah agar sasaran akhir RPJMN 2004-2009 dapat tercapai. Dari sisi permintaan, Pemerintah terus mendorong berbagai kebijakan yang dapat mempermudah iklim usaha. Hal ini dilakukan untuk mendorong penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya. Instruksi struksi Presiden (Inpres) No. 3 tahun 2006 mengenai Perbaikan iklim Investasi, Inpres No. 6 tahun 2007 tentang Pengembangan Sektor Riil dan UMKM, dan Inpres No. 5 tahun 2008 tentang Paket Kebijakan Ekonomi telah diimplentasikan. Berbagai program, tindakan, keluaran dan sasaran waktu, untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja, sangat jelas tertera dalam Inpres tersebut. Beberapa kebijakan penting lainnya terkait dengan investasi yang membawa dampak pada penciptaan lapangan kerja adalah UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan-peraturan turunannya, Perpres No. 18 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Dikeluarkannya Perpres ini setidaknya memberikan dukungan untuk mengembangkan investasi pada industri i manufaktur khususnya industri padat pekerja. Upaya penyempurnaan peraturan ketenagakerjaan juga telah dilakukan. Kegiatan-kegiatan ini erat kaitannya dengan penyusunan piranti hukum yang mengatur ketenagakerjaan. Selain itu, upaya meningkatkan pemahaman dan menyamakan persepsi antara Pemerintah, pelaku bisnis, dan pekerja tentang peraturan/kebijakan ketenagakerjaan dilakukan dengan cara dialog. Materi dialog pada intinya adalah mengenai sosialisasi peraturan, tata cara penanganan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan teknikteknik bernegosiasi; termasuk peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aturan yang berlaku. Untuk keperluan tersebut, telah terbentuk lembaga tripartit nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, pengadilan hubungan industrial dan pengangkatan hakim Adhoc, penyederhanaan proses pengesahan peraturan perusahaan dari 14

291

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

hari kerja menjadi 7 hari kerja; serta penyederhanaan proses pendaftaran PKB dari 7 hari kerja menjadi 6 hari kerja. Termasuk penanganan kasus-kasus perselisihan di tingkat provinsi kasuskasus PHK terutama yang berkembang di akhir 2008. Upaya memperbaiki iklim ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya dilakukan melalui pembenahan aturan dan kebijakan saja, namun dilakukan pula melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Upaya ini dilakukan dengan mengembangkan standar kompetensi kerja dan sistem sertikasi kompetensi tenaga kerja. Standardisasi dilakukan melalui penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang/sektor jasa, industri dan pertanian dan memperkuat kelembagaan Badan Nasional Sertikasi Profesi (BNSP) dengan membentuk Lembaga Sertikasi Profesi (LSP). Untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja diselenggarakan programprogram pelatihan kerja berbasis kompetensi termasuk peningkatan profesionalisme tenaga pelatih dan instruktur; sarana dan prasarana lembaga latihan kerja, meningkatkan kapasitas manajemen pengelolaan BLK, dan meningkatkan kapasitas peralatan pelatihan CompetencyBased Training (CBT); pelatihan kewirausahaan, dan pemagangan; serta pelatihan peningkatan produktivitas. Upaya di sisi penawaran dilakukan melalui elalui berbagai program dan kegiatan yang telah menciptakan kesempatan kerja seperti program-program pembangunan infrastruktur khususnya infrastruktur perdesaan, program pengembangan kecamatan, program P2KP, program P3DT, yang kemudian dikenal dengan nama PNPM, revitalisasi pertanian dengan meningkatkan produksi pertanian, perikanan dan kehutanan yang berkelanjutan. Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan dalam kerangka program ini mencakup: penciptaan peluang kerja padat di perdesaan; memberdayakan masyarakat perdesaan dengan memperkenalkan teknologi sederhana, wirausaha baru, dan melaksanakan

pendampingan usaha mandiri. Program ini terlaksana sepenuhnya dengan dukungan dana dari APBN. Di samping yang telah disebutkan di atas, upaya peningkatan iklim ketenagakerjaan juga dilakukan melalui penyempurnaan kegiatan pendukung pasar kerja. Kegiatan ini ditujukan untuk mempertemukan pencari kerja dan pemberi kerja melalui ketersediaan informasi pasar kerja yang akurat. Dalam kerangka program ini upaya yang telah dilakukan meliputi: telah disusunnya Perencanaan Tenaga Kerja Nasional (PTKN) sebagai implementasi dari sasaran kesempatan kerja tahunan secara terperinci menurut lapangan usaha; ; penerbitan PP Nomor 15 Tahun 2007 untuk memperjelas bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah kabupaten/kota (pemkab/ pemkot) perlu menyusun Perencanaan Tenaga Kerja di wilayahnya; pengembangan infrastruktur pelayanan umum dan pendukung pasar kerja melalui pengembangan bursa kerja on-line di lokasi kabupaten/kota untuk memudahkan akses informasi pasar kerja; memfasilitasi pertemuan pemberi kerja dan penerima kerja melalui penyelenggaraan Job Fair di daerah-daerah yang mempunyai angka pengangguran cukup tinggi; ; peningkatan kerjasama antara lembaga bursa kerja dengan industri/perusahaan; serta membangun pusat informasi pelayanan pasar kerja di 3 lokasi daerah industri, yaitu Semarang, Bekasi, dan Batam. Terkait dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia (RI) Nomor 59 Tahun 2002, telah ditindaklanjuti dengan dilakukannya pemetaan dan pendataan pekerja anak di 5 wilayah rawan pekerja anak; pencegahan anak untuk bekerja, terutama pada bentukbentuk pekerjaan terburuk, bagi 10.245 anak; serta penarikan lebih dari 16 ribu pekerja anak sampai menghantarkannya untuk memperoleh fasilitas pendidikan bersama mitra sosial.

292

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Dalam rangka meningkatkan akurasi pendataan tenaga kerja, Pemerintah (Badan Pusat Statistik) telah menyempurnakannya dengan memperbaiki metode dan menambah jumlah sampel yang diambil untuk berbagai survei terkait ketenagakerjaan, seperti Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). 4.9.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Upaya Pemerintah dalam 4 tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009 telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tingkat pengangguran terbuka hingga 2008 telah berhasil diturunkan. Menurunnya tingkat pengangguran merupakan hasil upaya Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja. Perekonomian pada 2005-2008 telah memberikan peningkatan terhadap jumlah orang yang bekerja, sehingga angka pengangguran telah berhasil diturunkan. Adapun posisi capaian hingga 2008 adalah sebagai berikut:

Perekonomian pada 2005-2008 telah memberikan peningkatan terhadap jumlah orang yang bekerja, sehingga angka pengangguran telah berhasil diturunkan
Tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan selama kurun waktu 2005-2008 yaitu dari 11,2 persen atau 11,9 juta orang pada 2005 menjadi 9,1 persen pada 2007 dan 8,4 persen pada Agustus 2008. Penambahan kesempatan kerja menurut lapangan pekerjaan utama cukup bervariasi. Dalam kurun waktu November 2005-Agustus 2008, kesempatan kerja pada sektor industri di perkotaan menurun sekitar 59.000, namun mengalami peningkatan sebesar 656.000 di perdesaan. Demikian juga sektor pertanian di perkotaan mengalami penurunan sebesar 193.000 dan penurunan di perdesaan sebesar 214.000. Dari sektor produksi yang ada, pertambahan lapangan kerja didominasi oleh sektor jasa yang berkontribusi sekitar 1,9 juta di perkotaan dan 816.000 di perdesaan.

Gambar 4.9.1. Kondisi Ketenagakerjaan per Agustus 2008


130 125 120 115 9,86% 10,26% 11,24% 10,45% 10,28% 9,75% 9,11% 8,46% 8,39% 8% 10%
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

12%

juta orang

108,13

109,94

111,48

110

111,95

105,80

103,97

105,86

106,28

106,39

105 100 95 90 85 80 2004

6%

99,93

102,05

102,55

94,95

93,72

93,96

95,18

95,46

97,58

4%

2% 0%

Feb-05 Nov -05 Feb-06 A ug-06 Feb-07 A ug-07 Feb-08 A ug-08 Angkatan Kerja Pekerja TPT (%)

293

Bagian 4

Tabel 4.9.2. Lapangan Kerja Berdasarkan Status Pekerjaan (Ribu orang) Lapangan Kerja Formal
Bekerja dibantu buruh tetap Buruh/ karyawan

2005 Nov 28.877,0 2.849,1

2006 Agt 29.672,3 2.850,4

2007 Agt 30.926,2 2.883,8

2008 Agt 31.199,1 3.015,3

20052006 795,3 1,4

20062007 1.253,9 33,4

20072008 272,9 131,5

26.028,0 65.081,4 93.958,4

26.821,9 65.784,6 95.456,9

28.042,4 69.004,0 99.930,2

28.183,8 71.353,7 102.552,7

793,9 703,2 1.498.5

1.220,5 3.219,4 4.473.3

141,4 2.349,7 2.622,5

Informal

Jumlah

mum. Hingga saat ini, maksud itu pun belum dapat direalisasikan. Keinginan untuk mengaitkan antara upah dengan memperhatikan aspek produktivitas sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan juga masih mengalami kendala untuk mewujudkannya. Aspek lain yang memerlukan penyempurnaan dalam UU Ketenagakerjaan adalah mengenai pengaturan tenaga kerja kontrak atau outsourcing. Outsourcing saat ini sudah merupakan tren global yang dimaksudkan sebagai jembatan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan sehingga dapat mengurangi jumlah penganggur. Kurangnya pemahaman mengenai outsourcing yang sebenarnya telah menyebabkan permasalahan tersendiri. Dalam hal ini, pembatasan oursourcing dalam UU Ketenagakerjaan adalah outsourcing dalam penyediaan tenaga kerja, dan bukan termasuk outsourcing produk dan jasa, yang saat ini sudah menjadi praktik umum termasuk di industri manufaktur. Hal lain yang menyebabkan belum kondusifnya kondisi pasar kerja adalah rendahnya tingkat produktivitas yang terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kompetensi tenaga kerja yang masuk ke pasar kerja. Antara Novem-

Outsourcing saat ini sudah merupakan tren global yang dimaksudkan sebagai jembatan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan sehingga dapat mengurangi jumlah penganggur

295

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

ber 2005-Agustus 2008, tenaga kerja yang berpendidikan sekolah menengah tingkat pertama (SLTP) ke bawah meningkat 3,3 juta orang meskipun secara persentase jumlah ini menurun dari 55,4 persen pada 2005 menjadi 54 persen. Sementara itu, tambahan tenaga kerja lulusan sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan (SMU/SMK) mencapai 3,6 juta orang, dari 18,7 persen tahun 2005 menjadi 20,6 persen tahun 2008. Sementara tenaga kerja dengan pendidikan diploma/universitas meningkat 1,8 juta orang, dari 5,5 persen (2005) menjadi 6,9 persen (2008). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa meskipun lapangan kerja tetap didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah (lulus pendidikan dasar ke bawah), namun tenaga kerja lulusan SMU/SMK dan diploma/universitas menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi.

4.9.4. Tindak Lanjut 4.9.4.1. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Pada penghujung 2008 Indonesia mengalami dampak krisis keuangan AS. Krisis keuangan AS telah berdampak kepada dunia usaha. Laporan yang dihimpun dari Tim Pemantau Dampak krisis Depnakertrans menyebutkan bahwa tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan pekerja sudah mulai berlangsung di beberapa tempat di Indonesia. Sejumlah perusahaan telah mengajukan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya. Menurut Depnakertrans, pada posisi 31 Desember 2008 sudah lebih dari 23 ribu pekerja terkena PHK, dan yang sudah dirumahkan sekitar 10 ribu pekerja. Tingkat PHK tertinggi terdapat di provinsi DKI Jakarta, sebanyak 14 ribu lebih pekerja. Industri yang banyak melakukan PHK antara lain garmen, tekstil, dan alas kaki. Beberapa langkah antisipatif yang telah dilakukan Pemerintah adalah dengan memberikan berbagai

insentif dan kemudahan agar perusahaan dapat terus bertahan termasuk menurunkan harga BBM. Kegiatan yang dibiayai APBN untuk tahun 2009 dipercepat dengan mempercepat proses pengadaan. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengeluarkan Surat Edaran No: 0217/ M.PPN/10/2008 Perihal Upaya Antisipasi Perlambatan Perekonomian Global melalui Pendayagunaan dan Percepatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tahun Anggaran 2009. Di samping itu, penyaluran kredit perbankan kepada sektor riil terus didorong dengan memberikan kelonggaran antara lain dengan menurunkan Giro Wajib Minimum sehingga penyaluran kredit perbankan kepada sektor rill dapat berjalan. Sedangkan untuk usaha mikro dan kecil Pemerintah akan terus meningkatkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat atau KUR. Pemerintah juga telah mengeluarkan Surat Peraturan Bersama 4 Menteri Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Ekonomi Global. Peraturan bersama ini dimaksudkan untuk menjaga agar PHK masal tidak terjadi. Pening-

Gambar 4.9.3. Jumlah Pekerja yang Terkena Dampak Krisis Perekonomian Global Posisi 31 Desember 2008
Kalteng Kaltim Papua DI Yogyakarta Kalbar Maluku Provinsi Kalsel Sumsel Riau Jawa Timur Jawa Tengah Banten Jawa Barat DKI Jakarta Sumut
2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 16,000
Rencana Dirumahkan Jumlah Dirumahkan Rencana PHK Jumlah PHK

296

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Jumlah

Bagian 4

katan upah minim yang terlalu cepat berpotensi meningkatkan jumlah PHK. Tetapi untuk upah individual yang diterima pekerja dapat ditingkatkan melalui perundingan secara bipartit. Surat peraturan bersama ini juga mendorong dilakukannya perundingan bipartit untuk berbagai masalah ketenagakerjaan. Perusahaan dihimbau untuk tidak melakukan PHK dan diminta mengambil langkah-langkah seperti pengaturan kembali jam kerja (defensive restructuring) dan juga mengambil inisiatif untuk dapat melakukan pelatihan kepada para pekerjanya sehingga bila keadaan membaik pekerja telah siap bekerja dengan produktivitas yang lebih tinggi. Iklim ketenagakerjaan yang baik akan merangsang penciptaan kesempatan kerja baru dan menurunkan tingkat pengangguran yang pada ahirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009, Pemerintah terus melanjutkan upaya-upaya yang telah dilaksanakan yang antara lain adalah: 1. Menciptakan lapangan kerja modern atau formal yang produktif seluas-luasnya melalui perbaikan aturan ketenagakerjaan;

2. Meningkatkan kualitas hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja; 3. Meningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja; dan 4. Memperbaiki layanan bagi pekerja migran (TKI). 4.9.6.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Meskipun sasaran RPJMN untuk menurunkan tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada akhir 2009 diperkirakan akan sulit tercapai. . Akan tetapi, apa yang dicapai dalam 4 tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah satu kemajuan besar yang cukup berarti. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2008 yang telah mencapai 8,39 persen atau 9,39 juta penganggur. Angka ini diperkirakan akan turun menjadi sebesar 7,9 persen hingga 8,6 persen, dengan jumlah penganggur terbuka antara 9,09 juta-9,82 juta pada 2009, bila ekonomi tumbuh antara 4,5 persen hingga 5,5 persen (lihat Tabel 4.9.3.).

Tabel 4.9.3. 3. Pengangguran Terbuka dalam RPJMN, RKP, dan Realisasinya Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Proyeksi RPJM 2004-2009 9,9 Juta (9,7 persen) 9,9 Juta (9,5 persen) 9,4 Juta (8,9 persen) 8,5 Juta (7,9 persen) 7,3 Juta uta (6,6 persen) 5,7 Juta (5,1 persen) Perkiraan RKP 10,3 Juta (9,9 persen) 10,2 Juta (9,6 persen) 9,6 Juta (8,9 persen) 10,7 juta (9,9 persen) 8,9-9,9 juta (8-9 persen) ) 9,09-9,82 juta (7,9-8,6 persen) ) Realisasi 10,25 Juta (9,86 persen) 10,85 Juta (10,26 persen)-Feb 11,89 Juta (11,24 persen)-Nov 11,10 Juta (10,45 persen)-Feb 10,93 Juta (10,28 persen)-Agt 10,55 Juta (9,75 persen)-Feb 10,01 Juta (9,11 persen)-Agt 9,43 Juta (8,46 persen)-Feb 9,39 Juta (8,39 persen)-Agt
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

297

Krisis keuangan global yang terjadi pada akhir 2008 di AS diperkirakan akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi, sehingga target penciptaan kesempatan kerja diperkirakan akan sulit terpenuhi. PHK akibat imbas krisis global ini juga telah mulai mewarnai kondisi ketenagakerjaan Indonesia pada akhir 2008 dan awal 2009. Sebagai antisipasi dampak krisis Pemerintah akan terus memperbaiki iklim ketenagakerjaan dengan meningkatkan daya tarik investasi bagi PMAPMDN dan menghindari kebijakan sensitif yang dapat memicu arus modal keluar. Langkah-langkah antisipasi krisis utamanya ditujukan kepada 3 kelompok yang memerlukan perhatian, yaitu: 1. Dunia usaha dan pekerja; 2. Kelompok pekerja yang hidup di bawah garis kemiskinan; dan 3. Penganggur yang sulit mendapatkan pekerjaan yang baik.

menurunkan tingkat pengangguran. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, di tahun awal perumusan RPJMN 2004-2009 terdapat berbagai permasalahan yang menghambat tercapainya peningkatan iklim ketenagakerjaan. Kendala utama yang dihadapi sektor ketenagakerjaan Indonesia adalah masih relative tingginya pekerja informal, relative rendahnya produktivitas, dan esiensi tenaga kerja, serta belum sempurnanya peraturan perundangan bidang ketenagakerjaan. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan iklim ketenagakerjaan agar target sasaran RPJMN 2004-2009 dapat terpenuhi. Upaya-upaya yang telah dilakukan, antara lain: 1. Menciptakan lapangan kerja modern atau formal yang produktif seluas-luasnya melalui perbaikan aturan ketenagakerjaan; 2. Menciptakan lapangan kerja berbasis masyarakat yang padat karya di perdesaan; 3. Meningkatkan kualitas hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja; 4. Meningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja; serta 5. Memperbaiki layanan bagi pekerja migran (TKI). Akan tetapi, terlepas dari keberhasilan Pemerintah selama empat tahun terakhir, krisis global memiliki dampak yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada sulit tercapainya sasaran tingkat pengangguran terbuka RPJMN 2004-2009, sebesar 5,1 persen pada akhir 2009. Oleh karena itu, Pemerintah terus memperbaiki iklim ketenagakerjaan dengan meningkatkan daya tarik investasi bagi PMA-PMDN dan menghindari kebijakan sensitif yang dapat memicu arus modal keluar. Diharapkan hal ini dapat mendorong investasi untuk masuk dan menciptakan lapangan kerja.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Perusahaan dihimbau untuk tidak melakukan PHK dan diminta mengambil langkah-langkah seperti pengaturan kembali jam kerja (defensive restructuring) dan juga mengambil inisiatif untuk dapat melakukan pelatihan kepada para pekerjanya sehingga bila keadaan membaik pekerja telah siap bekerja dengan produktivitas yang lebih tinggi
4.9.5. Penutup Membaiknya iklim ketenagakerjaan dapat menstimulus penciptaan kesempatan kerja baru dan

298

Tabel 4.9.4. Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Iklim Ketenagakerjaan


Indikator (Satuan) Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

No

Sasaran Sasaran 1 Menurunnya tingkat pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada akhir 2009 jiwa jiwa jiwa (persen) jiwa jiwa jiwa (persen) jiwa 3.026.523/ 3.166.144 2.955.431 10.251.351/ 11.899.266 9,86/ 11,24 10.932.000 10,28 56.463.530/ 56.477.287 57.089.993 60.155.073 10.011.142 9,11 2.423.262 37.258.506/ 37.481.100 38.366.942 38.676.852 103.973.387/ 105.857.653 93.722.036/ 93.958.387 30,33/ 30,73 106.388.935 95.456.935 31,08 109.941.359 99.930.217 30,95 153.923.648/ 158.549.724 160.811.498 164.118.323 166.641.050 111.947.265 102.552.750 30,42% 20.361.278 10.837.821 9.394.515 8,39 2.305.670

Jumlah penduduk usia kerja ( > 15 tahun) Jumlah angkatan kerja Jumlah orang bekerja Persentase pekerja sektor formal Jumlah Tenaga Kerja formal di perkotaan Jumlah pekerja sektor formal di perdesaan Pengangguran terbuka

jiwa jiwa jiwa jiwa jiwa jiwa jiwa 2.690.912/ 3.151.231 3.695.504/ 5.106.915 237.251/ 308.522 348.107/ 395.538 27.947.258/ 28.901.086

1.004.296/ 937.985 2.275.281/ 2.729.915

781.920 2.589.699 2.730.045 4.156.708 278.074 395.554 29.100.749

532.820 2.179.792 2.264.198 4.070.553 397191 566.588 30.370.179

547.038 2.099.968 1.973.986 3.812.522 362.683 598.318 31.089.368

Jumlah pengangguran usia 15-19 tahun Jumlah pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan: - < Sekolah Dasar - Sekolah Dasar - Sekolah Menengah Pertama - Sekolah Menengah Atas - Diploma - Universitas Jumlah pekerja setengah pengangguran

Bagian 4

Ket. : *) angka sementara

299

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.10.
Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro

4.10.1. Pengantar Peningkatan kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud di tengah kondisi pertumbuhan yang tinggi dan berkualitas. Untuk sampai pada kondisi tersebut, stabilitas ekonomi makro adalah prasyarat utama. Menyadari hal itu, Pemerintah terus melakukan berbagai upaya antara lain pemantapan kesinambungan skal melalui penurunan desit secara bertahap. Selain itu, Pemerintah juga melakukan reformasi kebijakan perpajakan dan kepabeanan serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di sisi pembiayaan, dengan pertimbangan masih tingginya beban pembayaran pokok utang, kebijakan pemantapan diupayakan terutama melalui optimasi pembiayaan anggaran. Untuk itu, kebutuhan pembiayaan yang meningkat diupayakan pemenuhannya melalui sumber non-utang. Pembiayaan melalui utang sedapat mungkin dilakukan hanya jika sumber non-utang belum mencukupi. Besaran sumber pembiayaan tersebut ditentukan oleh potensi masing-masing sumber dana dengan memperhitungkan risiko dan biaya yang akan ditanggung oleh Pemerintah. Dari sisi moneter, pemantapan stabilitas makro diupayakan melalui pengendalian laju inasi. Inasi yang tinggi dan beruktuasi menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat, terutama penurunan daya beli penduduk miskin. Inasi yang beruktuasi tinggi juga menyulitkan perkiraan pergerakan harga yang akan dilakukan oleh produsen dan investor.

4.10.2.Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Secara umum, kondisi ekonomi makro pada tahun awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 rentan terhadap berbagai gejolak, yang antara lain ditandai oleh tingginya rasio stok utang Pemerintah terhadap PDB (55,5 persen pada 2004). Demikian pula, terdapat sejumlah obligasi Pemerintah yang jatuh tempo yakni sebesar Rp 22,4 triliun pada 2005 dan Rp 25,1 triliun pada 2006. Sementara, penerimaan pajak masih jauh lebih rendah dibanding dengan potensi penerimaan yang ada. Di sisi lain, laju inasi dan tingkat suku bunga masih relatif tinggi. Pada 2004, laju inasi tercatat sebesar 6 persen, suku bunga SBI 7,3 persen, dan nilai tukar Rp 8.968 per USD. Angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negaranegara tetangga, dimana laju inasi dan tingkat bunganya berturut-turut berkisar antara 0,5-1,8 persen dan 1,0 -2,8 persen. Kondisi lain adalah harga minyak mentah dunia yang sempat merangkak naik di awal tahun 2005 dan memaksa Pemerintah menaikkan harga BBM dua kali dalam setahun, yakni di bulan Maret dan Oktober 2005. Kenaikan harga BBM dalam negeri ini telah berpengaruh terhadap melonjaknya nilai tukar menjadi sekitar Rp 12.000 per USD pada pertengahan 2005, meningkatnya BI rate menjadi 12,75 persen pada akhir 2005, dan melonjaknya inasi menjadi 17,1 persen dari 6,4 persen pada 2004, yang semuanya lebih tinggi dari sasaran RPJMN.

301

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Fungsi intermediasi keuangan juga terkendala oleh belum pulihnya sektor riil. Lemahnya kondisi struktural, seperti rentannya ketahanan pangan, lemahnya struktur produksi industri, serta lemahnya sarana distribusi dan transportasi berdampak pada kerentanan perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Selain itu, pertumbuhan kredit perbankan relatif masih rendah, dimana Loan to Deposit Ratio (LDR) bank umum masih sekitar 50-53 persen (2004-2005) dibandingkan kondisi sebelum krisis (sekitar 70-80 persen). Penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga masih terkendala. Hal ini tercermin dari melemahnya pertumbuhan penyaluran kredit UMKM yang hanya mencapai 30 persen pada periode 2004-2005 dari sekitar 40 persen pada tahun 2002. Penyebab rendahnya aksesabilitas UMKM terhadap sumber pembiayaan antara lain adalah tingginya risiko pembiayaan UMKM, terbatasnya jumlah pusat pelayanan perbankan untuk UMKM, dan terbatasnya penyediaan jaminan kredit dan agunan yang dipersyaratkan. Potensi mismatch antara pendanaan jangka panjang dengan sumber pendanaan yang masih bersifat jangka pendek ditunjukkan oleh beberapa kondisi sebagai berikut: Pertama, sumber pendanaan perbankan untuk menyalurkan dananya merupakan dana-dana berjangka waktu sangat pendek. Pada periode 2004-2005, sekitar 72 persen merupakan simpanan berjangka waktu tiga bulan. Hal ini menjadi kendala bagi penyaluran kredit investasi berjangka panjang, seperti pembiayaan infrastruktur. Kedua, perbankan berbasis syariah yang diharapkan menjadi alternatif pembiayaan masyarakat perannya relatif kecil. Peran pembiayaan lembaga ini baru sekitar 1 persen terhadap total perbankan. Disamping itu, pola masyarakat yang cenderung memilih bentuk keuntungan yang telah disepakati terlebih dahulu (revenue sharing) dibandingkan dengan keuntungan yang berdasarkan laba rugi (prot loss sharing) dapat berpotensi

meningkatkan risiko industri perbankan syariah. Ketiga, lembaga keuangan non-bank yang sesungguhnya dapat menjadi sumber pendanaan jangka panjang perannya masih relatif kecil. Total aset yang terhimpun melalui asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, perusahaan modal ventura, dan pegadaian baru sekitar 11 persen dari PDB dibandingkan dengan aset perbankan yang telah mencapai di atas 54 persen dari PDB pada periode 2004-2005. Dengan akumulasi aset tersebut investasi penyaluran dana yang dilakukan dalam bentuk investasi masih berorientasi pada instrumen keuangan berjangka waktu pendek (deposito dan SBI). Pada 2004 pasar modal mulai bangkit, total penawaran umum mencapai Rp 21,3 triliun, yang terdiri dari penawaran saham Rp 2,2 triliun (13 perusahaan), dan penawaran obligasi Rp 19,2 triliun (44 perusahaan). Indeks harga saham gabungan BEJ (IHSG) meningkat dari 679,30 pada akhir 2004 menjadi 1.000,23 pada akhir 2005. Terkait dengan menurunnya kegiatan dan risiko ekonomi, pada 2005, total penawaran umum turun menjadi Rp 9,7 triliun (saham sebesar Rp 3,6 triliun, obligasi sebesar Rp 5,9 triliun dan lainnya sebesar Rp 0,2 triliun). IHSG BEJ hanya sedikit meningkat 16,2 persen menjadi 1.162,63. Penurunan kegiatan ekonomi dan pasar modal tahun 2005 dipengaruhi kenaikan inasi (harga BBM) dan suku bunga perbankan. Penyiapan mekanisme pencegahan dan pengelolaan krisis melalui konsep Jaring Pengaman Sektor Keuangan Indonesia belum berjalan seperti diharapkan. Kesepakatan antara lembaga terkait terhadap pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang terintegrasi (melalui pembentukan Otoritas Jasa Keuangan/OJK) belum ada. Fungsi penjaminan simpanan nasabah bank baru beroperasi tahun 2005. Sasaran yang ingin dicapai dalam perekonomian adalah terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya pertumbuh-

302

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

an ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas serta peningkatan kemampuan pendanaan pembangunan, baik yang bersumber dari Pemerintah maupun swasta dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Upaya pencapaian ini harus didukung oleh ketersediaan data statistik yang akurat. Adapun sasaran pembangunan statistik yang ingin dicapai adalah: 1. Menyediakan data statistik sosial dan budaya, statistik ekonomi, statistik kependudukan, statistik lingkungan, dan statistik lintas bidang pada tingkat nasional dan regional; 2. Meningkatkan koordinasi kegiatan statistik dengan instansi lain untuk menghindari terjadi duplikasi kegiatan statistik yang serupa; 3. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di bidang statistik melalui pendidikan dan pelatihan; 4. Mengembangkan sistem informasi statistik; dan 5. Mengembangkan ilmu statistik khususnya metodologi yang berkaitan dengan penyelenggaraan statistik. Sasaran dalam Bab mengenai Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro dicapai melalui tujuh program, yaitu: 1. Program stabilisasi ekonomi dan sektor keuangan 2. Program pengembangan kelembagaan keuangan 3. Program peningkatan penerimaan dan pengamanan keuangan negara 4. Program peningkatan efektivitas pengeluaran negara 5. Program pemantapan pelaksanaan sistem penganggaran 6. Program pengelolaan dan pembiayaan utang Pemerintah 7. Program pembinaan akuntansi keuangan negara

4.10.3.Pencapaian 2005-2008 4.10.3.1.Posisi Capaian hingga 2008 Sasaran 1: Terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas serta peningkatan kemampuan pendanaan pembangunan, baik yang bersumber dari Pemerintah maupun swasta dengan tetap menjaga stabilitas nasional 1. Pertumbuhan Ekonomi Dalam empat tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun, yakni 5,7 persen pada 2005; 5,5 persen pada 2006; 6,3 persen pada 2007; dan 6,1 persen pada 2008. Hingga akhir 2008, pertumbuhan ekonomi melambat sebagai dampak dari lesunya perekonomian global. Angka pertumbuhan tersebut masih berada di bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam RKP 2008 dan RPJMN 2004-2009 yakni masing-masing sebesar 6,8 persen dan 7,2 persen. 2. Nilai Tukar Salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk melihat tingkat stabilitas ekonomi makro adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (kurs). Nilai tukar rupiah terhadap USD pada akhir periode berturut-turut adalah Rp 9.830 per USD pada 2005, Rp 9.020 per USD pada 2006, Rp 9.419 per USD pada 2007, dan Rp 10.950 per USD pada 2008. Dengan melihat fakta ini, target kurs sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN untuk tahun ke-4 (2008) yakni Rp 8.700 per USD, dan APBN-P 2008 yakni Rp 9.100 per USD tidak dapat terealisasi. 3. Pendapatan Negara dan Hibah Pendapatan negara dan hibah tercatat meningkat dari Rp 495,2 triliun pada 2005 menjadi Rp 707,8 triliun pada 2007. Peningkatan pendapatan negara tersebut, terutama didorong oleh peningkatan penerimaan perpajakan sebesar 41,2 persen atau

303

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

meningkat dari Rp 347,0 triliun pada 2005 menjadi Rp 491,0 triliun pada 2007. Pada tahun 2008, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 981 triliun atau 9,6 persen lebih tinggi dari sasaran yang telah ditetapkan pada APBN-P 2008. Realisasi tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan sebesar Rp 658,7 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 320 triliun. Terkait dengan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), penerimaan PNBP meningkat dari Rp 146,9 triliun pada 2005 menjadi Rp 215,1 triliun tahun 2007. Peningkatan PNBP tersebut terutama didorong oleh peningkatan SDA minyak bumi dan gas bumi yang meningkat dari Rp 110,5 triliun di tahun 2005 menjadi Rp 132,9 triliun pada tahun 2007. Untuk 2008, realisasi PNPB mencapai Rp 320,1 triliun, yang bersumber terutama pada penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 222 triliun. 4. Penerimaan Negara dari Sektor Pajak Untuk mendukung peningkatan penerimaan negara di sektor perpajakan, kebijakan yang ditempuh dilakukan secara hati-hati dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha sebagai basis pajak. Kebijakan perpajakan ditujukan selain untuk meningkatkan penerimaan negara juga diarahkan untuk memberikan fasilitas perpajakan secara terbatas pada sektor-sektor tertentu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas, dengan tetap menjaga iklim usaha yang kondusif, serta tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar pengenaan pajak yang sehat, kompetitif dan transparan. Rasio perpajakan yang pada tahun 2005 masih berada pada angka 12,5 persen PDB, telah meningkat menjadi 14,1 persen PDB pada tahun 2008. Peningkatan tersebut disebabkan telah berjalannya reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan. Untuk tahun 2008, penerimaan perpajakan mencapai Rp 658,7 triliun, terdiri dari: (1) penerimaan PPh sebesar Rp 327,5 triliun, (2) penerimaan PPN sebesar Rp 209,6 triliun, (3) penerimaan PBB sebe-

sar Rp 25,3 triliun, (4) penerimaan BPHTB sebesar Rp 5,6 triliun, (5) penerimaan cukai sebesar Rp 51,3 triliun, (6) penerimaan pajak lainnya sebesar Rp 3,0 triliun, dan (7) penerimaan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 36,3 triliun. 5. Bea Masuk dan Cukai Penerimaan negara dari bea masuk dan cukai meningkat cukup signikan. Penerimaan bea masuk yang di tahun 2005 masih berada di angka Rp 14,9 triliun, di tahun 2008 mencapai Rp 22,8 triliun. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan jumlah impor, khususnya barang-barang yang diperlukan sebagai pelengkap bahan-bahan baku produksi. Di samping itu, peningkatan tersebut juga sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang mantap sepanjang periode tersebut. 6. Belanja Negara Untuk belanja negara alokasi dana yang tersedia untuk 2005 adalah sebesar Rp 509,6 triliun, dan meningkat menjadi Rp 985,3 triliun pada tahun 2008 yang dirinci untuk belanja Pemerintah pusat masing-masing sebesar Rp 361,2 triliun pada 2005 dan sebesar Rp 692,6 triliun pada 2008. Adapun untuk belanja daerah untuk tahun yang sama masing-masing sebesar Rp 150,5 triliunpada tahun 2005 dan Rp 292,6 triliun pada tahun 2008. 7. Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus Transfer dana pusat ke daerah melalui dana perimbangan tiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup signikan, yang mengisyaratkan keseriusan Pemerintah dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Pada 2005, dana perimbangan yang dialokasikan adalah sebesar Rp 143,2 triliun yang terdiri dari alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) masing-masing sebesar Rp 49,7 triliun, Rp 88,8 triliun dan Rp 4,8 triliun. Transfer dana perimbangan terus meningkat seiring dengan lebih banyaknya kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah. Adapun besarnya dana perimbangan yang ditransfer tahun 2008

304

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

adalah sebesar Rp 278,9 triliun terdiri atas alokasi DBH, DAU dan DAK masing-masing sebesar Rp 78,6 triliun, Rp 179,5 triliun dan Rp 20,8 triliun. Di samping transfer dana pusat ke daerah melalui dana perimbangan, Pemerintah juga memberikan dana otonomi khusus serta dana penyesuaian. Pemberian otonomi khusus dilakukan dengan diterbitkannya UU 18 Tahun 2001 dan UU 21 Tahun 2001 masing-masing tentang penetapan NAD dan Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus. Besarnya dana otonomi khusus di 2005 adalah Rp 7,2 triliun dengan prioritas penggunaan untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Untuk Provinsi Papua dialokasikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi Papua. Sementara itu, untuk 2008 Dana Otonomi Khusus dialokasikan sebesar Rp 13,7 triliun. 8. Desit Berbagai langkah kebijakan telah dilakukan Pemerintah terutama dalam upaya konsolidasi skal untuk menjaga ketahanan skal yang berkesinambungan, namun dengan tetap mampu menggerakkan roda perekonomian. Kebijakan dan upaya tersebut tergambar dari realisasi desit anggaran, dimana pada 2005 mencapai 0,5 persen terhadap PDB, dan realisasi desit anggaran 2006 mencapai 0,9 persen terhadap PDB, dan 1,3 persen PDB 2007 dan untuk 2008, desit anggaran adalah sebesar 0,1 persen PDB. 9. Surat Utang Negara (SUN) Upaya untuk menutup desit anggaran sebagian besar dilakukan melalui sumber utang baru baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Berdasarkan sumbernya, pembiayaan anggaran pada 2005 dan 2006, sebagian besar berasal dari penerbitan SUN. Sesuai dengan amanat Undangundang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (SUN), tujuan penerbitan SUN adalah untuk membiayai desit APBN, menutup kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola

portofolio utang negara. Pada 2005, realisasi SUN neto mencapai Rp 22.574,7 miliar dan meningkat menjadi Rp 35.985,5 miliar pada 2006. Sementara itu, untuk mengurangi risiko tingkat bunga, SUN yang diterbitkan adalah SUN berbunga tetap (xed rate bonds). Sampai dengan 2006, porsi SUN berbunga tetap terus meningkat menjadi sebesar 56,53 persen.

Pengelolaan SUN juga meliputi pelaksanaan pembelian kembali (cash buyback) dan penukaran (debt switch) di pasar sekunder. Debt switching dilakukan untuk mengurangi VIRERGMRKVMWO yang cukup besar
Dalam rangka memenuhi sasaran pembiayaan desit tersebut, pada dasarnya Pemerintah berpedoman pada kebijakan pengelolaan SUN yang diarahkan untuk dua tujuan utama yaitu: (1) mengurangi risiko skal dan keuangan, dan (2) menciptakan pasar sekunder SUN yang deep dan likuid. Dalam rangka penerbitan, instrumen SUN yang telah diterbitkan adalah Obligasi Negara, yang diterbitkan secara reguler setiap bulan melalui lelang. Selama 2006, penerbitan SUN di pasar perdana domestik berhasil menyerap dana sebesar Rp 42.578,6 miliar. Pada Maret 2006, Pemerintah telah menerbitkan dua seri Obligasi Negara Internasional yaitu INDO-17 dan INDO-35, dengan jumlah nominal masing-masing sebesar USD 1 miliar. Kemudian pada awal Agustus 2006, untuk pertama kalinya Pemerintah telah menerbitkan Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI001 dengan jumlah sekitar Rp 3.283,6 miliar. Di samping untuk membiayai anggaran negara, penerbitan ORI bertujuan untuk melakukan diversikasi sumber pembiayaan, memperluas basis investor SUN, dan mengelola portofolio utang negara. ORI juga
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

305

mempunyai manfaat bagi masyarakat yaitu menyediakan alternatif instrumen investasi yang aman dan menguntungkan sekaligus memberikan kesempatan untuk bepartisipasi langsung dalam pembangunan nasional. Pengelolaan SUN juga meliputi pelaksanaan pembelian kembali (cash buyback) dan penukaran (debt switch) di pasar sekunder. Debt switching dilakukan untuk mengurangi renancing risk yang cukup besar. Pada 2006, telah dilaksanakan lelang debt switch sebanyak 12 kali dengan total nominal Obligasi yang dipertukarkan sebesar Rp 31,179 miliar. 10. Pembiayaan Anggaran Desit anggaran sebesar Rp 4,2 triliun untuk tahun 2008 dipenuhi dari pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 74,6 triliun (1,6 persen terhadap PDB), dan pembiayaan luar negeri (neto) negatif Rp 19,1 triliun miliar (0,4 persen terhadap PDB). Realisasi pembiayaan dalam negeri dapat dipenuhi dari perbankan dalam negeri sebesar Rp 11,7 triliun (0,2 persen terhadap PDB). Sedangkan realisasi

pembiayaan luar negeri (neto) dapat dipenuhi dari penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp 44,1 triliun (0,9 persen terhadap PDB) dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang jatuh tempo sebesar Rp 63,2 triliun (1,3 persen terhadap PDB). 11. Stok Utang Total stok utang pemerintah yang di tahun 2005 mencapai 45,5 PDB menurun menjadi sekitar 34,7 persen PDB pada tahun 2008. Dari total stok utang pemerintah tersebut, utang dalam negeri mengalami penurunan dari 23,6 persen PDB pada tahun 2005 menjadi sekitar 19,4 persen PDB pada tahun 2008. Demikian pula dengan utang luar negeri, telah mengalami penurunan yang cukup berarti dari 22,0 persen PDB di tahun 2005 menjadi 15,3 persen PDB di tahun 2008. 12. Inasi Pada sisi moneter, sasaran inasi yang ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009 adalah sebesar 7,0 persen pada 2005; 5,5 persen (2006); 5,0 persen (2007); dan 4,0 persen (2008). Pada 2005, inasi

Gambar 4.10.1. Angka Inasi 2005-2008


20.00 18.00 16.00 14.00 12.00

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00

306

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sept Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sept Oct Nov Dec
2005 2006 Inasi Tahunan (yoy) 2007 Inasi Bulanan (mtm) 2008

Bagian 4

tercatat di level 17,1 persen. Tingginya inasi tersebut terutama karena kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005. Pada 2006, inasi menurun menjadi 6,6 persen, di bawah sasaran inasi sebesar 8,0 persen. Keberhasilan ini dicapai dengan upaya pengendalian inasi melalui pengendalian moneter (BI rate) maupun pengendalian harga bahan makanan pokok (volatile foods) di berbagai daerah. Sedangkan pada 2007, inasi mencapai 6,6 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan sasaran inasi sebesar 6,50 persen. Pada 2008, laju inasi tercatat berada di angka 11,1 persen yang disebabkan antara lain oleh kenaikan harga BBM pada bulan Mei dan meningkatnya harga pangan dunia dan domestik. 13. Perbankan Ketahanan perbankan dalam kurun waktu 20052008 relatif cukup stabil, tercermin dari stabilnya Capital Adequacy Ratio (CAR) dan rendahnya Non Performing Loans (NPLs). Pada 2008, CAR mencapai 16,8 persen, rasio NPLs gross telah turun hingga 4,1 persen atau lebih rendah dari NPLs gross pada 2006 yang mencapai 7,6 persen. Membaiknya ketahanan perbankan, juga diikuti dengan membaiknya fungsi intermediasi perbankan dan penyaluran dana (termasuk pendanaan UMKM dan pembangunan infrastruktur). Hal ini tercermin dari meningkatnya kredit yang disalurkan perbankan sebesar 30,7 persen pada akhir 2008 (yoy) serta pertumbuhan penghimpunan dana masyarakat yang mencapai 16,2 persen (yoy). Penyaluran kredit bagi proyek-proyek inisiatif Pemerintah seperti infrastruktur, alutsista, agribisnis dan bioenergi hingga September 2007 mencapai Rp 55,3 triliun atau tumbuh sekitar 50 persen dibandingkan akhir 2006. Dalam rangka meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) telah tumbuh sebesar 22,4 persen pada kurun waktu yang sama. Seiring dengan kenaikan penyaluran kredit, Loan to Deposit Ratio (LDR) bank umum meningkat

mencapai 59,7 persen pada akhir 2005 dan 74,6 persen pada 2008. Pada periode yang sama, lembaga pembiayaan mikro berbentuk bank (Bank Perkreditan Rakyat/BPR), telah menyalurkan dana sebesar Rp 25,5 triliun (tumbuh sebesar Rp 10,8 triliun dibanding tahun 2005 dengan sebaran usaha yang semakin luas). Berdasarkan komposisinya, kredit yang disalurkan tersebut mayoritas dimanfaatkan sebagai modal kerja usaha (di atas 50 persen). Selain perbankan konvensional, perbankan syariah turut berperan dalam meningkatkan pendanaan masyarakat. Pada akhir 2008, rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (nancing to deposit ratio) perbankan syariah mencapai sekitar 103,7 persen (lebih tinggi dibandingkan tahun 2005 yang sekitar 97,8%) dan risiko pembiayaan macet perbankan syariah relatif rendah yaitu hanya sekitar 4,0 persen. 14. Lembaga Keuangan Nonbank (LKNB) Peran lembaga keuangan non-bank (LKNB) terhadap perekonomian semakin meningkat yang dicerminkan oleh peningkatan rasio nilai aset LKNB terhadap PDB dari sekitar 9,9 persen (2003) menjadi sekitar 11,5 persen pada akhir 2007 dan tersedianya mekanisme perlindungan nasabah/investor lembaga jasa keuangan. 15. Pasar Modal
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada 2005, terimbas oleh penurunan kegiatan ekonomi dan peningkatan risiko, perkembangan pasar modal melambat. Total penawaran umum turun menjadi Rp 9,7 triliun (saham sebesar Rp 3,6 triliun, obligasi sebesar Rp 5,9 triliun dan lainnya sebesar Rp 0,2 triliun). IHSG BEJ hanya sedikit meningkat 16,2 persen menjadi 1.162,63. Penurunan kegiatan ekonomi dan pasar modal pada 2005 antara lain dipengaruhi oleh kenaikan inasi (harga BBM) dan suku bunga perbankan. Perkembangan pasar modal meningkat pada 2006, seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi makro yang terlihat dari menurunnya BI rate dan tingkat inasi. Total dana penawaran umum

307

meningkat menjadi Rp 14,6 triliun, yang terdiri atas penawaran saham sebesar Rp 3,0 triliun (12 perusahaan) dan penawaran obligasi sebesar Rp 11,6 triliun (14 perusahaan). IHSG meningkat cukup pesat dari 1.162,3 pada akhir 2005 menjadi 1.805,5 pada akhir 2006. Dalam 2007, pasar modal mengalami perkembangan yang menggembirakan seiring dengan semakin baiknya indikator ekonomi makro dan iklim investasi. Bahkan kinerja Bursa Efek Indonesia pada 2007 menduduki peringkat ketiga terbaik sekawasan Asia Pasik. Namun, pada 2008 ini kondisi pasar modal kembali mengalami kelesuan akibat imbas krisis ekonomi dan keuangan global. Hingga Desember 2008, IHSG berada di kisaran 1.355,4 atau jauh menurun dibandingkan dengan yang berhasil dicatat pada 2007 yakni 2.745,8. 16. Neraca Perdagangan dan Cadangan Devisa Surplus neraca transaksi berjalan tercatat menurun dari USD 10,5 miliar (2007) menjadi USD 0,6 miliar di 2008. Penurunan ini disebabkan menurunnya pertumbuhan ekspor nonmigas dari 15,6 persen pada 2007 menjadi 15,5 persen pada 2008. Adapun impor nonmigas mengalami pertumbuhan sebesar 39,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2007 yakni sebesar 14,5%. Meski demikian, ekspor migas tahun 2008 tumbuh sebesar 27,4%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2007, yakni 8,7%. Di sisi lain, impor migas yang di tahun 2007 pertumbuhannya tercatat 18,5%, tahun 2008 tumbuh sebesar 24,5%. Selain itu, surplus neraca modal dan nansial juga mengalami penurunan dari surplus USD 3,6 miliar pada 2007 menjadi desit USD 1,7 miliar pada 2008. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya investasi portofolio bersih dari USD 5,6 miliar tahun 2007 menjadi USD 1,8 miliar tahun 2008. Dengan gembaran tersebut di atas, surplus neraca pembayaran dan cadangan devisa pun mengalami penurunan. Surplus neraca pembayaran menu-

run dari USD 12,7 miliar pada 2007 menjadi desit USD 1,9 miliar pada 2008. Bulan Februari 2008, cadangan devisa sempat berada pada level USD 67,125 miliar. Ini adalah cadangan devisa tertinggi dalam sejarah, meski kemudian menurun hingga menjadi USD 51,6 pada akhir 2008 yang setara dengan 4,0 bulan impor akibat krisis keuangan global dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah. 4.10.3.2.Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Terdapat dua kegiatan yang tidak dapat direalisasikan yaitu: (a) Kegiatan penyempurnaan peraturan perundang-undangan pengurusan piutang negara dan lelang yang sederhana berlandaskan asas-asas Pemerintahan yang baik sebanyak 1 buah. Hal itu dikarenakan adanya rencana penggabungan RUU kekayaan negara, piutang negara dan lelang sehubungan dengan re-organisasi DJPLN menjadi DJKN dan; (b) Kegiatan penyusunan RPP dan peraturan Menteri Keuangan tentang tatacara pengajuan usul dan penetapan penghapusan piutang negara/daerah. Hal itu karena kegiatan tersebut berdasarkan renstra DJPLN 2005-2009 merupakan program untuk 2005. Dalam pengelolaan PNBP dihadapi kendala yang berasal dari Kementerian/Lembaga yang belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tatacara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi PNBP. Kendala lainnya adalah belum tersedianya database PNBP yang online, yang berakibat data realisasi PNBP tidak dapat disampaikan secara tepat waktu. Upaya untuk meningkatkan PNBP juga terkendala oleh masalah yang kompleks dan rumit terkait dengan pemantauan terhadap pengenaan, pemungutan, penyetoran dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan PNBP, penetapan tarif, izin penggunaan dana PNBP, serta sosialisasi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang PNBP kepada instansi terkait. Selain itu lemahnya sistem pengolahan data, kurangnya koordinasi antar-ins-

308

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

tansi terkait dan kurang tegasnya sanksi di bidang PNBP juga merupakan kendala yang ikut memicu kurang optimalnya PNBP. Selain kendala-kendala tersebut di atas, beberapa faktor penghambat program peningkatan penerimaan dan pengamanan keuangan negara yang mengakibatkan tidak terpenuhinya target yang telah diidentikasikan khususnya di bidang administrasi piutang dan lelang negara adalah sebagai berikut: (1) Penyerahan piutang negara tidak didukung barang jaminan; (2) Barang jaminan tidak memadai nilainya, tidak marketable dan/atau terdapat permasalahan hukum; (3) Berkas kasus bermasalah, banyak perkara di pengadilan; (4) Debitur tidak kooperatif, kemampuan membayar kecil, usaha mati/tinggal skala kecil, tidak prospektif; (5) Citra lelang di mata masyarakat masih kurang baik karena lelang hanya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang benar-benar menguasai prosedur lelang dan mengharapkan harga yang murah; (6) Peraturan khususnya ketentuan teknis pelayanan lelang yang ditetapkan instansi lain tidak singkron dengan peraturan pelaksanaan lelang; dan (7) Kemampuan sumberdaya manusia di bidang pelelangan masih rendah. Sementara itu dalam kaitannya dengan Sekretariat Pengadilan Pajak, terdapat faktor-faktor penghambat yaitu: (1) Lemahnya proses perencanaan dan implementasi program, serta terbatasnya komitmen dan perhatian para pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal, terhadap peran lembaga peradilan pajak dan pentingnya reformasi administrasi sengketa pajak; (2) Lemahnya fungsi manajemen sumberdaya manusia (SDM) dan terbatasnya kapasitas SDM, baik dalam bidang manajemen, teknologi informasi (IT), maupun yudisial yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa pajak; (3) Lemahnya penataan organisasi dan proses bisnis yang belum sepenuhnya berbasis kinerja; dan (4) Terhambatnya kegiatan Government Financial Management and Revenue Administration Project (GFMRAP) pada Sekretariat Pengadilan Pajak, baik yang disebabkan oleh faktor internal, seperti

lemahnya koordinasi dan terbatasnya SDM yang berkualitas, maupun eksternal, seperti mundurnya tanggal efektif pinjaman, tanggapan Bank Dunia yang melampaui standard service, serta dilakukannya proses diskualikasi peserta seleksi jasa konsultansi. Pada proses pencairan anggaran, ada keterlambatan dalam penyelesaian SPP dan SPM di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang antara lain dikarenakan adanya sikap kehati-hatian yang berlebihan dari pejabat pelaksana anggaran dalam pengambilan keputusan, kurangnya pemahaman terhadap tugas dan tanggung-jawab pejabat pelaksana anggaran, lemahnya koordinasi di lingkungan Kuasa Pengguna Anggaran serta kesulitan dalam memenuhi persyaratan pencairan anggaran yang ditentukan dalam kontrak yang dibiayai melalui pinjaman luar negeri. Di bidang pengendalian inasi, upaya pengendalian inasi barang dan jasa yang harganya diatur Pemerintah (administered price) telah menunjukkan perkembangan yang membaik pada 2006 dan 2007. Namun, upaya pengendalian inasi inti (core) masih menghadapi permasalahan ekspektasi inasi, harga barang impor, dan suku bunga kredit perbankan yang masih cukup tinggi. Demikian pula dengan upaya pengendalian inasi barang dan jasa yang harganya mudah bergejolak, perkembangan inasi beberapa bahan makanan pokok seperti beras, kedelai, dan minyak goreng, masih menunjukkan perkembangan yang beruktuasi. Menjelang tahun terakhir pelaksanan RPJMN, masih terdapat beberapa sasaran sektor keuangan yang belum dapat terwujud, seperti rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan dan UndangUndang Jaring Pengaman Sektor Keuangan karena belum tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak yang berkepentingan, serta masih diperlukan waktu untuk pengkajian yang lebih mendalam. Selain itu, LKNB termasuk pasar modal sebagai sumber pendanaan jangka panjang bagi kegiatan perekonomian masyarakat masih perlu diopti-

309

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

malkan. Permasalahan yang terjadi antara lain karena informasi suatu perusahaan yang kurang baik dapat mempengaruhi harga saham, sehingga berpotensi menimbulkan kecurangan dalam perdagangan saham. Selain itu juga terjadi keterlambatan penyampaian laporan keuangan oleh sebagian emiten. Pasar masih mengharapkan insentif skal dan moneter di pasar modal. Hingga 2007, mayoritas penyaluran dana dari LKNB adalah pada deposito perbankan (di atas 20 persen dari total investasi masing-masing industri). Penempatan dana terbesar setelah deposito pada industri jasa perasuransian adalah SUN dan SBI. Sedangkan pada industri ini porsi instrumen penggerak sektor riil seperti obligasi korporasi dan saham masing-masing hanya sekitar 12 dan 10 persen. Hal ini disebabkan oleh persepsi pelaku usaha terhadap risiko instrumen keuangan nonkonservatif masih tinggi. Selanjutnya, penggalangan dana melalui saham dan obligasi telah mencapai Rp 458,1 triliun (Februari 2008) atau meningkat sebesar 20,6 persen dari kondisi pada 2006. Namun, penggalangan dana tersebut mayoritas masih terjadi di sektor keuangan yang umumnya adalah perbankan (52,6 persen). Sedangkan industri yang memerlukan investasi jangka panjang masih relatif kecil memanfaatkan pasar modal, seperti sektor infrastruktur, utility, dan transportasi, serta industri perdagangan, jasa dan investasi masing-masing porsinya hanya masih sekitar 10 persen terhadap total penerbitan saham dan obligasi. Hal yang sama dengan sektor industri barang konsumsi maupun aneka industri, masing-masing industri ini hanya memanfaatkan sedikit saja porsinya pada penerbitan saham dan obligasi korporasi (di bawah 5 persen). Di samping itu, pembentukan pasar sekunder pembiayaan perumahan melalui secondary mortgage facility (SMF) yang diharapkan dapat menerbitkan instrumen baru di pasar modal dalam negeri prosesnya masih terkendala oleh lingkungan strategis yang belum terwujud.

Dok : PolaGrade (Fadil Aziz)

4.10.4.Tindak Lanjut 4.10.4.1.Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Kebijakan skal pada 2008 diupayakan untuk tetap menjaga ketahanan skal yang berkesinambungan serta memberikan stimulus skal bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, desit APBN akan diupayakan dipertahankan pada batas-batas aman keuangan negara melalui peningkatan pendapatan negara serta peningkatan esiensi pengeluaran negara. Pencapaian target penerimaan negara dan hibah, terutama penerimaan perpajakan ditempuh melalui perbaikan dan reformasi administrasi perpajakan yang berkelanjutan meliputi peningkatan pelayanan dan perbaikan administrasi, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, serta perbaikan sistem informasi dan teknologi dalam rangka mendukung peningkatan pelayanan perpajakan. Di sisi pengeluaran, peningkatan efektivitas dan esiensi pengeluaran negara ditempuh melalui penajaman alokasi anggaran melalui realokasi

310

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

belanja negara yang lebih terarah dan tepat sasaran, serta perumusan kebijakan alokasi belanja ke daerah sesuai kewenangannya. Selain itu, kebijakan alokasi anggaran juga diarahkan untuk memberikan stimulus skal bagi perekonomian serta peningkatan efektivitas dan esiensi alokasi belanja negara dengan mengacu pada penerapan anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Untuk itu akan terus diupayakan guna mewujudkan pengelolaan kas negara yang akurat, esien, dan dapat diandalkan dalam rangka mendukung pelaksanaan sistem penganggaran yang transparan dan akuntabel. Sementara itu, arah kebijakan skal pada 2009 adalah tetap melanjutkan arah kebijakan tahun sebelumnya, yaitu untuk terus menjaga stabilitas ekonomi yang mengarah pada kesinambungan skal. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Melanjutkan modernisasi administrasi perpajakan melalui penerapan tur-tur Large Taxpayer Oce (LTO), reformasi administrasi sengketa pajak, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); 2. Melanjutkan modernisasi administrasi kepabeanan dan cukai melalui pembentukan Kantor Pelayanan Utama (KPU) termasuk penerapan National Single Window (NSW) dan peningkatan kinerja kepabeanan dan cukai; 3. Pemantapan efektivitas pengeluaran negara melalui peningkatan perencanaan kebijakan APBN, penajaman prioritas anggaran, pengelolaan risiko skal peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran melalui pengembangan sistem informasi perbendaharaan, peningkatan pengelolaan kas negara, pengelolaan dan pengendalian anggaran, penyelenggaraan dan peningkatan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) serta peningkatan pengelolaan hubungan keuangan pusat dan daerah, serta melanjutkan perluasan kantor KPPN Prima; 4. Pembinaan akuntansi keuangan negara melalui penyempurnaan sistem informasi akuntansi

berbasis akrual, pengembangan dan pelaksanaan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) serta penyusunan laporan keuangan Pemerintah pusat; 5. Pemantapan Pelaksanaan sistem penganggaran melalui pembinaan/penyusunan program, rencana kerja dan anggaran serta penyusunan/ penyempurnaan/ pengkajian peraturan perundang-undangan di bidang penganggaran; 6. Penyusunan/ penyempurnaan/ pengkajian peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan negara serta inventarisasi dan penilaian kekayaan negara/barang milik negara; 7. Peningkatan efektivitas dan esiensi pengelolaan pinjaman baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri; Target inasi 2009 adalah 6,0 persen. Untuk mewujudkan hal itu tantangannya adalah krisis keuangan dunia lanjutan. Selain koordinasi skal dan moneter, diperlukan koordinasi dengan sektor produksi, distribusi termasuk dengan moda angkutan darat, laut dan udara serta sektor perdagangan. Dalam kaitannya dengan inasi barang dan jasa yang harganya diatur oleh Pemerintah (administered prices) diupayakan agar kenaikannya dikendalikan, sehingga dampaknya terhadap inasi dapat seminimal mungkin. Sedangkan, dalam pengendalian inasi dari barang dan jasa yang harganya mudah bergejolak (volatile) khususnya bahan makanan pokok akan dilanjutkan melalui koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia dengan dunia usaha dan Pemerintah Daerah, baik melalui forum stabilisasi dan harga, tim pengendalian inasi di pusat dan daerah. Di bidang pasar modal pada tahun mendatang diharapkan pasar modal akan berkembang lebih stabil dan mengalami peningkatan. Untuk mencapai sasaran tersebut diupayakan peningkatan/pengkajian kapasitas kelembagaan melalui pengembangan kelembagaan pasar modal dan lembaga pengawasan pasar modal, penyelenggaraan penelitian, monitoring, dan evaluasi. Selain itu, akan dilanjutkan pembinaan dan pengembangan

311

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

sistem, data, statistik dan informasi di bidang pasar modal, peningkatan kerjasama pengkajian pengembangan produk pasar modal serta peningkatan sarana prasarana. Di samping itu, akan dilakukan pula sosialisasi pasar modal yang lebih intensif serta penyempurnaan peraturan Bapepam dan LK untuk memperlancar proses pendaftaran umum saham dan obligasi serta perdagangan efek di pasar modal. Secara lebih rinci, upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran RPJMN adalah sebagai berikut. 1. Meningkatnya ketahanan sektor keuangan, antara lain dengan: a. Terbentuknya peraturan perundang-undangan mengenai jaring pengaman sektor keuangan; b. Terlaksananya secara bertahap pembentukan OJK; c. Tersedianya instrumen keuangan yang berjangka waktu panjang; d. Terpenuhinya modal minimum dan perkuatan lembaga keuangan; serta e. Terselenggaranya pengaturan dan pengawasan jasa keuangan yang sesuai dengan standar internasional. 2. Meningkatnya fungsi intermediasi perbankan dan penyaluran dana melalui lembaga keuangan non-bank (termasuk pasar modal), terutama: a. Penegasan fungsi bank BUMN dan bank pembangunan daerah; b. Peningkatan aksesibilitas pendanaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); c. Tersedianya kerangka kebijakan pembiayaan mikro, yang mencakup antara lain skema pembiayaan mikro, dan pembentukan contribution company; d. Tersedianya peraturan perundangan yang kondusif untuk berkembangnya instrumen pasar keuangan yang mendukung pembangunan infrastruktur dan sektorsektor penting lainnya; serta e. Mengoptimalkan fungsi lembaga penja-

minan untuk meningkatkan aksesibilitas Pemerintah dan masyarakat/pelaku usaha kepada sumber-sumber pendanaan. 3. Meningkatnya peranan lembaga jasa keuangan non-bank terhadap perekonomian yang dicerminkan oleh peningkatan rasio nilai aset lembaga jasa keuangan non-bank terhadap PDB dan tersedianya mekanisme perlindungan nasabah/investor lembaga jasa keuangan. 4. Meningkatnya stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan pemberantasan TPPU, terutama: a. Tersedianya peraturan pelaksanaan UU TPPU yang lebih kokoh untuk mencegah dan memberantas upaya-upaya pemanfaatan sektor keuangan sebagai sarana pencucian uang; b. Meningkatnya kepatuhan kewajiban pelaporan oleh penyedia jasa keuangan (PJK); c. Meningkatnya efektivitas dan kualitas hasil analisis dugaan terjadinya TPPU; d. Meningkatnya kemampuan penyelidikan TPPU; serta e. Tersedianya pengamanan terhadap sistem teknologi informasi dan pengolahan data. 4.10.4.2.Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Dalam APBN 2009, pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai 18,5 persen PDB, lebih tinggi dibandingkan RPJMN yang menetapkan sasaran sebesar 16,1 persen PDB. Jumlah tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar 13,6 persen PDB dan penerimaan negara bukan pajak sebesar 4,9 persen PDB. Tingginya sasaran penerimaan tersebut terutama didorong oleh peningkatan penerimaan negara bukan pajak, khususnya penerimaan minyak bumi dan gas alam serta penerimaan dividen atas laba BUMN. Demikian pula, di sisi pengeluaran negara, sasaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN 2009 sebesar 19,5 persen PDB, lebih tinggi

312

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

dibandingkan sasaran RPJMN yang sebesar 15,8 persen PDB. Peningkatan anggaran belanja yang cukup signikan terjadi pada beban belanja subsidi yang mencapai 6,1 persen PDB. Tingginya perkiraan subsidi tersebut didorong oleh masih tingginya harga minyak mentah dunia dan lebih rendahnya perkiraan lifting minyak bumi dari perkiraan APBN 2009. Melalui berbagai kebijakan penerimaan dan pengeluaran tersebut, desit anggaran dalam APBN 2009 diperkirakan mencapai 1,0 persen PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan sasaran RPJMN yang sebesar 0,3 persen PDB. Meskipun meningkat, desit APBN tersebut masih berada pada batas-batas aman keuangan negara. Untuk pembiayaan desit, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan optimasi pembiayaan sebagai dampak dari masih tingginya beban pembayaran pokok utang baik dalam negeri maupun luar negeri.

negara dan mengancam stabilitas perekonomian. Selain itu, keadaan ekonomi makro yang terjadi pada awal RPJMN adalah: (1) Fungsi intermediasi keuangan terkendala oleh belum pulihnya sektor riil; (2) Adanya potensi mismatch antara pendanaan jangka panjang dengan sumber pendanaan yang masih bersifat jangka pendek; (3) Pasar modal yang diharapkan dapat menjadi sumber pendanaan jangka panjang bagi sektor swasta masih perlu ditingkatkan; serta (4) Penyiapan mekanisme pencegahan dan pengelolaan krisis melalui konsep Jaring Pengaman Sektor Keuangan Indonesia belum berjalan seperti diharapkan. Dari berbagai kondisi awal yang ada, sasaran yang ingin dicapai adalah terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas serta peningkatan kemampuan pendanaan pembangunan, baik yang bersumber dari Pemerintah maupun swasta dengan tetap menjaga stabilitas nasional. Untuk mencapai sasaran, arah kebijakan yang diambil adalah pelaksanaan sinergi kebijakan moneter yang berhati-hati serta pelaksanaan kebijakan anggaran yang mengarah pada kesinambungan skal, dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan kegiatan ekonomi. Upaya ini akan didukung melalui reformasi struktural di berbagai bidang serta peningkatan ketahanan sektor keuangan. Melalui arah kebijakan tersebut, selama kurun waktu 2005-2008 secara umum telah dicapai beberapa kemajuan. Rasio perpajakan (tax ratio) lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Penerimaan bea masuk dan cukai meningkat cukup signikan dan rasio utang luar negeri Pemerintah terhadap pendapatan nasional turun. Ketahanan perbankan nasional juga semakin tinggi. Selanjutnya, fungsi intermediasi perbankan dan penyaluran dana melalui lembaga keuangan nonbank menunjukkan perkembangan juga tersedianya mekanisme perlindungan nasabah/investor lem-

4.10.5. Penutup Stabilitas ekonomi makro adalah prasyarat bagi pertumbuhan yang tinggi dan berkualitas yang selanjutnya dapat berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sinergi yang baik dalam menentukan kebijakan skal dan moneter merupakan hal penting untuk mewujudkan tujuan tersebut. Di sisi skal, kebijakan dilakukan melalui penurunan desit secara bertahap. Sementara di sisi moneter diupayakan untuk menurunkan laju inasi. Pada awal RPJMN 2004-2009, perekonomian mewarisi kondisi ekonomi makro yang masih rentan terhadap berbagai gejolak yang diakibatkan oleh tingginya rasio stok utang Pemerintah terhadap PDB, sementara penerimaan pajak belum optimal. Laju inasi dan tingkat suku bunga juga relatif tinggi. Keadaan selanjutnya diburuk oleh kenaikan harga minyak mentah dunia, yang secara langsung mengancam ketahanan anggaran

313

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

baga jasa keuangan. Selain itu, selama 2006-2008 perkembangan pasar modal menggembirakan seiring dengan semakin baiknya indikator ekonomi makro dan iklim investasi. Namun, untuk dapat mencapai sasaran yang ditetapkan masih terdapat permasalahan yang harus dibenahi diantaranya: (1) Di bidang keuangan negara, upaya peningkatan dan pengelolaan PNBP masih terkendala oleh lemahnya sistem pengolahan data dan kurangnya koordinasi antarinstansi terkait; (2) Di bidang pengendalian inasi, upaya pengendalian inasi inti (core) masih menghadapi permasalahan ekspektasi inasi, harga barang impor, dan suku bunga kredit perbankan yang masih cukup tinggi. Demikian pula

dengan upaya pengendalian inasi barang dan jasa yang harganya mudah bergejolak. Menjelang tahun terakhir pelaksanan RPJMN, masih terdapat beberapa sasaran sektor keuangan yang belum dapat terwujud, seperti rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan dan UndangUndang Jaring Pengaman Sektor Keuangan karena belum tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak yang berkepentingan, serta masih diperlukan waktu untuk pengkajian yang lebih mendalam. Selain itu, LKNB termasuk pasar modal sebagai sumber pendanaan jangka panjang bagi kegiatan perekonomian masyarakat masih perlu dioptimalkan.

Tabel 4.10-1 Gambaran Ekonomi Makro


2004 2005 2006 2007 2008

RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi Kualitas Pertumbuhan/ Pemerataan Pengangguran Terbuka Jumlah (Juta Juta orang) ) % terhadap angkatan kerja Jumlah penduduk miskin Jumlah (Juta Juta orang) ) % terhadap penduduk Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi PDB per kapita PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN Harga Konstan Tahun 2000 (Rp Ribu) Stabilitas Ekonomi Laju Inasi, IHK (%) Nilai Tukar Nominal (Rp/US$) Neraca Pembayaran Transaksi Berjalan/PDB (%) Pertumbuhan Nonmigas (%) Ekspor 2,6 11,3 0,6 11,5 1,6 5,5 0,1 22,5 0,5 6,5 2,9 20,7 0,1 7,5 2,4 15,6 6 -0,2 8,1 0,1 15,5 6,4 8.928 .928 928 6,4 8.968 .968 968 7,0 8.900 .900 900 17,1 9.750 .750 750 5,5 8.800 .800 800 6,6 9.141 .141 141 5,0 8.800 .800 800 6,6 9.166 .166 166 4,0 8.700 11,1 9.681 .681 681 7.626 .626 626 7.656 .656 656 7.946 .946 946 7.964 .964 964 8.333 .333 333 8.292 .292 292 8.791 .791 791 8.721 .721 721 9.317 9.111 .111 111 5,0 5,0 5.5 5.7 6.1 5.5 6.7 6.3 7.2 6.1 36,1 16,5 36,1 16,7 35,1 16,0 39,3 17,7 37,2 16,6 6 35,0 15,4 9,9 9,7 10,3 9,9 9,9 9,5 11,9 11,2 9,4 8,9 10,9 10,3 8,5 7,9 10,0 9,1 7,3 6,6 9,4 8,4

314

Bagian 4

Lanjutan Tabel 4.10-1


2004 2005 2006 2007 2008

RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi Pertumbuhan Nonmigas (%) Impor 15,9 36,3 24,4 36,3 11,4 36,8 35,4 34,7 8,2 36,0 8,0 42,6 8,9 35,6 14,5 56,9 10,3 35,2 39,4 51,6

Cadangan Devisa (US$ Miliar) Keuangan Negara Surplus/Desit APBN/ PDB (%) Penerimaan Pajak/PDB /PDB PDB (%) Stok Utang Pemerintah/ PDB (%) Utang Luar Negeri Utang Dalam Negeri

-1,1 12,1 53,9 25,3 28,6

-1,3 12,2 55,5 26,7 28,8

-0,7 11,6 48,0 21,6 26,3

-0,5 12,5 47,2 7,2 ,2 2 23,5 3,5 ,5 5 23,7 7

-0,6 11,6 43,9 19,3 24,6

-0,9 12,3 39,0 0 18,2 8,2 ,2 2 20,8 0,8 ,8 8

-0,3 11,9 39,5 16,7 22,8

-1,3 12,4 35,1 16,5 6,5 ,5 5 18,6 ,6 6

-0,0 12,6 35,4 14,4 21,0

-0,1 14,1 31,1 13,5 3,5 ,5 5 17,6 7,6 ,6 6

Tabel 4.10-2 Struktur Ekonomi


2005 2006 2007 2008

RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi RPJMN Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan PDB Pengekuaran (%) Konsumsi Masyarakat Konsusmsi Pemerintah Investasi (PMTB) PMTB) ) Ekspor Impor Pertumbuhan PDB Sisi Produksi (%) Pertanian Industri Pengolahan Nonmigas migas Lainnya Pengangguran Terbuka (%) Jumlah (juta juta orang) ) % terhadap angkatan kerja 9,9 9,5 11,9 11,2 9,4 8,9 10,9 10,3 8,5 7,9 10,0 9,1 7,3 6,6 9,4 8,4 3,2 6,1 6,8 5,8 2,7 4,6 5,9 7,0 3,4 6,9 7,7 6,3 3,4 4,6 5,3 6,5 3,6 7,8 8,7 6,9 3,4 4 4,7 5,2 7,8 3,6 8,6 9,4 7,4 4,8 3,7 4,0 7,5 Sisi 4,3 2,6 14,6 5,7 10,3 4,0 6,6 10,9 16,6 17,8 4,5 10,5 17,8 6,0 8,6 3,2 9,6 2,6 9,4 8,6 4,8 6,4 16,3 6,4 10,2 5,0 3,9 9,4 8,5 9,0 5,0 12,1 14,3 7,4 10,8 5,3 10,4 11,7 Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 9,5 10,0 5,5 5,7 6,1 5,5 6,7 6,3 7,2 6,1

315

Bagian 4

BAB 4.11
Pembangunan Perdesaan

4.11.1. Pengantar Guna mendukung peningkatan perekonomian nasional dan pengembangan wilayah, salah satu agenda Pemerintah yang dilakukan adalah melalui Pembangunan Perdesaan. Agenda ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang mana sekitar 60 persen penduduk bertempat tinggal di perdesaan. Dari kondisi ini, masalah yang dihadapi adalah ketertinggalan tingkat produktivitas masyarakat perdesaan. Satu hal yang memerlukan upaya terencana, intensif, dan berkesinambungan. Selain rendahnya tingkat produktivitas, perdesaan selama ini juga dicirikan dengan kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase masyarakat miskin yang hidup di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan ini bisa dilihat dari beberapa indikator, yaitu: jumlah dan persentase penduduk miskin (head count), serta tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Sedangkan dari segi wilayah, sekitar 71.000 desa yang ada di Indonesia diperkirakan sebanyak 32.000 desa diantaranya merupakan desa tertinggal dengan kondisi yang serba terbatas baik dari segi sarana dan prasarana, sumberdaya alam terolah, SDM, informasi, dan sebagainya. Tingginya masyarakat miskin di perdesaan terkait erat dengan akses masyarakat terhadap sumber-

daya produktif dan pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Oleh sebab itu, upaya pembangunan perdesaan perlu diarahkan pada langkah-langkah untuk menambah akses pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor pertanian, pengembangan lapangan kerja nonpertanian dan atau lapangan kerja yang terkait dengan agribisnis, mengembangkan perekonomian lokal yang bertumpu pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi, serta berbasis pada sumberdaya perdesaan, dan meningkatkan pembangunan infrastruktur. Seiring dengan usaha pertanian yang semakin modern, perkembangan UMKM dan koperasi yang sehat akan mendorong terjadinya transformasi jangka panjang dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Untuk itu, upaya untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan perlu lebih ditingkatkan bersamaan dengan peningkatan ketersediaan infrastruktur pedesaan, baik yang berfungsi untuk mendukung aktivitas ekonomi maupun area permukiman. Jika hal tersebut telah dipenuhi, maka perdesaan akan mampu menyediakan lapangan kerja sektor formal, insentif dan akses untuk berkembang, serta kondisi lingkungan permukiman yang sehat. Selanjutnya, hal ini diharapkan dapat menjadi penahan bagi berpindahnya penduduk dari desa ke kota.

317

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.11.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Konsentrasi penduduk Indonesia lebih banyak berada di daerah perdesaan. Dengan kondisi ini, perdesaan Indonesia masih dicirikan dengan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, masih tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman. Rendahnya produktivitas tenaga kerja di perdesaan bisa dilihat dari besarnya pendapatan maupun output per tenaga kerja yang dihasilkan sektor pertanian. Sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional menurun dari 15,3 persen pada 2004 menjadi 14,84 persen pada 2005 (Badan Pusat Statistik, 2006). Pada 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 36,1 juta jiwa atau 16,7 persen dari total penduduk Indonesia. Dari persentase tersebut, penduduk miskin di perdesaan mencapai 20,1 persen atau 8 persen lebih tinggi dari persentase penduduk miskin di perkotaan. Sedangkan pada 2005, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 35,1 juta jiwa atau 16 persen dari total penduduk di Indonesia. Namun dari persentase tersebut, penduduk miskin di perdesaan tetap lebih tinggi dari persentase penduduk miskin di perkotaan yaitu mencapai 20,0 persen atau 8,3 persen lebih tinggi dari persentase penduduk miskin di perkotaan.

tenaga kerja di sektor pertanian menjadi kurang produktif. Dengan kondisi awal dan permasalahan yang dihadapi, sasaran RPJMN 2004-2009 yang hendak dicapai dalam pembangunan perdesaan adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional yang ditandai dengan semakin meningkatnya peran sektor-sektor di perdesaan yang terkait dalam mata rantai pengolahan produk-produk berbasis perdesaan; 2. Terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja nonpertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah pengangguran; 3. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat perdesaan yang ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk miskin serta meningkatnya taraf pendidikan dan kesehatan, terutama perempuan dan anak; 4. Meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana di kawasan permukiman di perdesaan yang ditandai dengan antara lain: (a) Selesainya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurang-kurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa dan community access point di 45 ribu desa; (b) Meningkatnya persentase desa yang mendapat aliran listrik dari 94 persen pada 2004 menjadi 97 persen pada 2009; (c) Meningkatnya persentase rumah-tangga perdesaan yang memiliki akses terhadap pelayanan air minum hingga 30 persen; (d) Seluruh rumah-tangga telah memiliki jamban sehingga tidak ada lagi yang melakukan open defecation (pembuangan di tempat terbuka); 5. Meningkatnya akses, kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan pembangunan perdesaan yang ditandai de-

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih cukup kecil
Dengan penduduk dan angkatan kerja perdesaan yang akan terus bertambah sedangkan ketersediaan luas lahan pertanian relatif tidak berubah bahkan cenderung menurun, maka penyerapan

318

Bagian 4

ngan terwakilinya aspirasi semua kelompok masyarakat dan meningkatnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan. 1. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan

ketersediaan tenaga listrik yang memadai sehingga aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik semakin mudah dengan semakin memperhatikan keandalan sistem, efektitas dan esiensi dengan harga yang wajar di daerah perdesaan. c. Pengembangan, Pemerataan dan peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana Pos dan Telematika Program ini bertujuan untuk (a) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan pos dan telematika; (b) meningkatkan kualitas pelayanan pos dan telematika; serta (c) mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana pos dan telematik. d. Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum dan Air Limbah Program ini ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dilaksanakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) dan yang dilaksanakan oleh komunitas masyarakat secara optimal, esien, dan berkelanjutan. Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah : (1) meningkatnya cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dikelola oleh BUMD, (2) meningkatnya kinerja BUMD pengelola air minum dan air limbah hingga berpredikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), (3) meningkatnya cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dikelola secara langsung oleh masyarakat. e. Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa, dan Jaringan Pengairan Lainnya Program ini ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, serta jaringan pengairan lainnya dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional sehingga kemampuan pemenuhan kebutuhan air di perdesaan untuk pertanian dapat meningkat, dan pemanfaatan air tanah di perdesaan untuk irigasi dapat terkendali.

Tujuan dari program ini adalah untuk: (1) membangun kawasan perdesaan melalui peningkatan keberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan; dan (2) meningkatkan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan sesuai dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. 2. Program Pengembangan Ekonomi Lokal

Tujuan dari program ini adalah untuk: (1) meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha ekonomi di kawasan perdesaan; (2) mendorong penciptaan lapangan kerja berkualitas di perdesaan terutama di sektor non pertanian; dan (3) meningkatkan keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa berbasis sumber daya lokal. Ketiga tujuan tersebut dilakukan dalam kerangka meningkatkan sinergi dan keterkaitan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. 3. Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan, antara lain melalui upaya sebagai berikut

a. Peningkatan/Pembangunan Jalan dan Jembatan Tujuan dari program ini adalah untuk: meningkatkan prasarana jalan perdesaan yang menghubungkan kawasan perdesaan dan perkotaan. b. Peningkatan Kualitas Jasa pelayanan Sarana dan prasarana Ketenagalistrikan Tujuan dari program ini adalah untuk: memulihkan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan guna menjamin

319

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : COREMAP II

4.

Program Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Perdesaan, antara lain melalui upaya sebagai berikut

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

a. Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Dalam rangka peningkatan kualitas SDM di Perdesaan, upaya ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun nonformal yang mencakup SD termasuk SDLB, MI, dan Paket A serta SMP, MTs, dan Paket B, sehingga seluruh anak usia 7-15 tahun baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh pendidikan, setidak-tidaknya sampai jenjang sekolah menengah pertama atau yang sederajat. b. Pendidikan Nonformal Dalam rangka peningkatan kualitas SDM di perdesaan, upaya ini bertujuan untuk mem-

berikan layanan pendidikan baik untuk lakilaki maupun perempuan sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal guna mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. c. Upaya Kesehatan Masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM di perdesaan, upaya ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan melalui puskesmas dan jaringannya meliputi puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan bidan di desa. 5. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam

Dalam rangka peningkatan kualitas SDM di perdesaan Program ini bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan dan me-

320

Bagian 4

ngelola kawasan konservasi yang sudah ada untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik.

1. Membangun kawasan perdesaan melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan; 2. Meningkatkan kapasitas Pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan sesuai dengan prinsip-prinsip tata Pemerintahan yang baik. Adapun kegiatan pokok yang dilakukan untuk membangun kawasan perdesaan antara lain: 1. Peningkatan penyuluhan dan pelatihan keterampilan usaha bagi masyarakat perdesaan; 2. Reformasi agraria untuk meningkatkan akses masyarakat pada lahan dan pengelolaan sumberdaya alam; 3. Penyederhanaan sertikasi tanah di kawasan perdesaan; 4. Peningkatan akses masyarakat perdesaan pada informasi; 5. Pengembangan lembaga perlindungan petani dan pelaku usaha ekonomi di perdesaan; 6. Penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat, seperti paguyuban petani, koperasi, lembaga adat dalam menyuarakan aspirasi masyarakat; 7. Pemantapan kelembagaan Pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan perdesaan dengan prinsip-prinsip tata Pemerintahan yang baik; 8. Peningkatan partisipasi masyarakat perdesaan, terutama kaum perempuan dan masyarakat miskin dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan perdesaan; 9. Pengembangan kelembagaan untuk difusi teknologi ke kawasan perdesaan, terutama teknologi tepat guna dan ramah lingkungan; 10. Peningkatan kapasitas aparat Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi dan mengkoordinasikan peran stakeholder dalam pembangunan kawasan perdesaan;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.11.3. Pencapaian 2005-2008 4.11.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Upaya yang dilakukan sampai dengan 2008 dalam pembangunan perdesaan dalam RPJMN 2004 2009 adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dari meningkatnya peran sektor pertanian dan nonpertanian yang terkait dalam mata rantai pengolahan produk-produk berbasis perdesaan; 2. Berkembangnya diversikasi usaha ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan nonpertanian (non-farm activities), baik berupa industri yang mengolah produk pertanian maupun jasa. 3. Meningkatnya pemberdayaan masyarakat perdesaan dengan tersedianya dukungan beberapa prasarana dan sarana sosial ekonomi yang memadai, meningkatnya kapasitas Peme-rintahan dan kapasitas kelembagaan sosial ekonomi dalam pembangunan perdesaan di tingkat lokal, dan mulai menguatnya keterkaitan kota dan desa serta sektor pertanian dengan industri dan jasa penunjangnya. Adapun upaya-upaya lain yang dilakukan untuk mencapai sasaran dapat dijelaskan secara garis besar. Hasil yang telah dicapai dalam pembangunan perdesaan hingga 2008 adalah sebagai berikut: 1. Program Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan

Program peningkatan pemberdayaan masyarakat desa ini bertujuan untuk:

321

11. Penyempurnaan manajemen dan sistem pembiayaan daerah untuk mendukung pembangunan kawasan perdesaan; 12. Pemantapan kerjasama dan koordinasi antarPemerintah Daerah lintas wilayah administrasi. Melalui program ini, capaian yang diperoleh meliputi: 1. Pemantapan peran kelembagaan masyarakat di perdesaan dan kader pemberdayaan masyarakat dengan melalui: (a) Pelatihan bagi pelatih kader pemberdayaan masyarakat desa. (b) Pembentukan komite standar pelatihan, dan pelaksanaan bulan bhakti gotongroyong yang dilaksanakan setiap tahun, untuk menggugah semangat kegotongroyongan dan berswadaya masyarakat, terutama membantu sesama yang terkena musibah. (c) Terfasilitasinya penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat di perdesaan melalui identikasi best practices dan lesson learned program-program pemberdayaan masyarakat. (d) Terselenggaranya fasilitasi Pemerintah Daerah dan kelurahan. (e) Terselenggaranya pendataan data dasar desa/kelurahan di daerah, terfasilitasinya pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas pemerintah desa/kelurahan di daerah, tersosialisasinya PP No. 72 Tahun 2005 tentang desa dan PP No. 73 Tahun 2005 tentang kelurahan. (f) Tersusunnya Permendagri No. 27 Tahun 2006 tentang penetapan dan penegasan batas desa dan tersusunnya Permendagri tentang asset desa. (g) Terkoordinasinya pengembangan kelembagaan untuk difusi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan di kawasan perdesaan, peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam memfasilitasi dan mengkoordinasikan peran pemangku

kepentingan (stakeholders) dalam pembangunan kawasan perdesaan. 2. Peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga serta pemberdayaan perempuan melalui: (a) Pilot project pengembangan cadangan pangan masyarakat, pengembangan desa mandiri energi di 10 provinsi, 10 kabupaten, dan 10 desa, penguatan kelembagaan adat dan sosial budaya masyarakat, pemberdayaan kesejahteraan keluarga melalui Hari Keluarga Nasional (Harganas) dan Hari Kesatuan Gerak PKK. (b) Penyelenggaraan kejuaraan desa dan kelurahan teladan tingkat nasional, gelar teknologi tepat guna dan penguatan kelembagaan adat dan sosial budaya masyarakat serta kelembagaan organisasi masyarakat perdesaan. (c) Penguatan peran gerakan PKK dalam memfasilitasi pengembangan kualitas kehidupan keluarga melalui 10 Program Pokok PKK. (d) Memfasilitasi penguatan fungsi dan kinerja Posyandu dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi balita dan kaum ibu di desa dan kelurahan. (e) Fasilitasi penguatan peran masyarakat dalam penanganan masalah kesehatan, meliputi penanggulangan penyakit menular seperti polio, DBD, u burung dan HIV/AIDS di daerah (Permendagri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Daerah). (f) Membina dan mengendalikan PNPM-PPK di 32 provinsi 366 kabupaten, dan memfasilitasi penguatan kelembagaan dan pemantauan unit pengaduan masyarakat penanganan penanggulangan kemiskinan. 3. Terlaksananya pemantauan dan pengevaluasian sistem pelaporan pengendalian

322

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

(SIMPEDAL) untuk menjaring informasi tentang perencanaan pelaksanaan dan perumusan solusi dari permasalahan pelaksanaan sistem pelaporan pengendalian. 4. Terbinanya 2.941 kader pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis lembaga agama/ adat/sosial. 5. Meningkatnya partisipasi masyarakat perdesaan dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan, serta dilakukan kerjasama dengan Care International Indonesia. Dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat perdesaan, pada 2008 diprogramkan kegiatan antara lain: 1) Peningkatan peran posyandu, program pamsimas, pasar desa, pengembangan prol desa/ kelurahan, dan grand strategis pembangunan perdesaan dalam penanggulangan kemiskinan. 2) Penguatan lembaga kemasyarakatan dan lembaga Pemerintah desa. 3) Peningkatan kapasitas fasilitator dalam pembangunan desa, aparat Pemda dan masyarakat. 4) Pemantauan kegiatan unit pengaduan masyarakat. 5) Pembinaan dan pengendalian PNPM-PPK di 32 provinsi 349 kabupaten. 2. Program Pengembangan Ekonomi Lokal

dilakukan dalam kerangka meningkatkan sinergi dan keterkaitan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal, meliputi: 1. Pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan yang strategis dan potensial, terutama kawasan-kawasan di luar pulau Jawa-Bali; 2. Peningkatan pengembangan usaha agribisnis yang meliputi mata rantai subsektor hulu (pasokan input), on farm (budidaya), hilir (pengolahan), dan jasa penunjang; 3. Penguatan rantai pasokan bagi industri perdesaan dan penguatan keterkaitan produksi berbasis sumberdaya lokal; 4. Pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan terutama bagi angkatan kerja muda perdesaan; 5. Pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi tepat guna dalam kegiatan usaha ekonomi masyarakat perdesaan; 6. Pengembangan jaringan kerjasama usaha; 7. Pengembangan kemitraan antara pelaku usaha besar dan usaha mikro/rumah-tangga; 8. Pengembangan sistem outsourcing dan sub kontrak dari usaha besar ke UMKM dan koperasi di kawasan perdesaan; 9. Peningkatan peran perempuan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif di perdesaan; 10. Perluasan pasar dan peningkatan promosi produk-produk perdesaan; 11. Peningkatan pelayanan lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan mikro, kepada pelaku usaha di perdesaan; 12. Peningkatan jangkauan layanan lembaga penyedia jasa pengembangan usaha (BDS providers) untuk memperkuat pengembangan ekonomi lokal; dan

Program pengembangan ekonomi lokal ini bertujuan untuk: 1. Meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha ekonomi di kawasan perdesaan; 2. Mendorong penciptaan lapangan kerja berkualitas di perdesaan terutama di sektor nonpertanian; 3. Meningkatkan keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa berbasis sumberdaya lokal. Ketiga tujuan tersebut

323

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

13. Pengembangan kapasitas pelayanan lembaga perdagangan bursa komoditi (PBK), pasar lelang, dan sistem resi gudang (SRG) yang bertujuan meningkatkan potensi keuntungan serta meminimalkan risiko kerugian akibat gejolak harga yang dihadapi petani dan pelaku usaha perdesaan. Adapun capaian yang diperoleh untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal adalah: 1. Terlaksananya pengembangan penunjang kegiatan ekonomi produktif keluarga dan manajemen pengelolaan pemasaran serta penggerak TTG di perdesaan. 2. Terlaksananya fasilitasi kapasitas kelembagaan usaha mikro, agribisnis, lumbung pangan masyarakat desa (LPMD), usaha kecil serta kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan. 3. Terlaksananya fasilitasi penguatan lumbung pangan masyarakat, lembaga keuangan mikro perdesaan dalam penyediaan kredit modal usaha mikro yakni usaha ekonomi desa simpan pinjam (UED-SP), badan kredit desa, dan badan usaha milik desa. 4. Terlaksananya pelatihan fasilitator penggerak pelestarian dan pengembangan prasarana perdesaan. 5. Terlaksananya fasilitasi penguatan kelembagaan TTG, kemitraan TTG dan kelembagaan pos pelayanan teknologi perdesaan (posyantekdes).
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

7. Terselenggaranya pembinaan dan penganggaran serta perencanaan dan pengendalian pengembangan prasarana dan sarana desa agropolitan di 94 kawasan di 32 provinsi. 8. Meningkatnya perencanaan dan penyusunan program pembangunan pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi. 9. Terkumpulnya data lembaga keuangan nonbank (LKNK). 10. Meningkatnya pendapatan masyarakat dan penerimaan daerah. 11. Terselenggaranya forum kemitraan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi di daerah. 12. Pengembangan kemandirian usaha kecil dan menengah. 13. Tersedianya data tentang berbagai kelembagaan/organisasi ekonomi daerah berdasarkan pengelompokan profesi maupun kegiatan sosial. 14. Terlaksananya pemantauan dan evaluasi pameran produk unggulan daerah. 15. Terselenggaranya pembinaan industri rumah-tangga, kecil dan menengah dengan mengadakan sosialisasi model industri rumah-tangga kecil dan menengah di 6 provinsi dan 1 kota. 16. Dibangun sentra pengolahan produksi, fasilitas pergudangan, dan pasar desa. 17. Untuk menghubungkan sentra-sentra produksi pertanian dan non-pertanian dengan kawasan perkotaan terdekat dibangun jalan perdesaan. 18. Untuk memperlancar arus informasi dan komunikasi di perdesaan dilaksanakan jasa layanan pos di 2.350 kantor pos cabang luar kota melalui program PSO pos, sambungan telpon baru di 10 ribu desa 37 pusat informasi masyarakat (community access point), dan berfungsinya kantor pos sebagai pusat informasi masyarakat.

6. Terlaksananya pengembangan kapasitas kelembagaan pasar desa.

324

Dalam rangka pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM, tahun 2007 telah dilakukan peningkatan jangkauan layanan lembaga keuangan kepada UMKM

Bagian 4

19. Dalam rangka pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM, tahun 2007 telah dilakukan peningkatan jangkauan layanan lembaga keuangan kepada UMKM. Untuk pemberdayaan usaha skala mikro, telah dilaksanakan peningkatan kapasitas usaha dan keterampilan pengelolaan usaha mikro. 20. Dalam rangka pengembangan ekonomi lokal, tahun 2008 akan dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Fasilitasi pengembangan usaha ekonomi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. b. Pembinaan usaha ekonomi masyarakat melalui penguatan BUMDes, penguatan kelembagaan usaha ekonomi desa simpan pinjam (UEDSP) dan BKD. c. Diseminasi teknologi tepat guna bagi kawasan perdesaan. d. Harmonisasi kebijakan pemberdayaan usaha ekonomi keluarga (UEK), pengembangan usaha ekonomi produktif, dan pengembangan pemasaran produksi perdesaan. e. Pengembangan prasarana dan sarana di 236 desa pusat pertumbuhan dan 90 kawasan desa agropolitan, serta di 2.060 desa tertinggal melalui pemberdayaan masyarakat (skala komunitas). Hingga 2008, dalam rangka pemantapan kapasitas penyelenggaraan Pemerintahan desa, telah dilakukan pengangkatan sekretaris desa (sekdes) menjadi pegawai negeri sipil (PNS) yang dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 202 ayat 3. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Pemerintah desa merupakan tumpuan dan jajaran terdepan dalam penyelenggaraan administrasi Pemerintahan secara nasional, dan dalam upaya meningkatkan efektivitas penyelenggaraan

Pemerintahan desa dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut di atas, untuk pelaksanaannya telah diterbitkan (1) PP 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, (2) Permendagri Nomor 50 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, (3) Peraturan Kepala BKN Nomor 32 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, (4) Permendagri Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, (5) Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/326/M.PAN/12/2007 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil Untuk Sekretaris Desa Tahun Anggaran 2007. Hasil perkembangan dari proses pengangkatan sekertaris desa menjadi pegawai negeri sipil saat ini dari jumlah desa seluruh Indonesia sebanyak 63.819 desa, terdapat jumlah sekretaris desa sebanyak 61.862 orang. Dari jumlah tersebut, yang memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi PNS adalah sebanyak 42.376 orang atau 68,5 persen, dan akan diangkat secara bertahap. Tahun 2008 ini (tahap I) yang telah diangkat menjadi PNS sebanyak 49,75persen atau 21.083 orang sekretaris desa. 3. Program Peningkatan Perdesaan Infrastruktur

Program peningkatan infrastruktur perdesaan ini ditujukan untuk: 1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi produktif di kawasan perdesaan; 2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur permukiman untuk mewujudkan kawasan perdesaan yang layak huni.

325

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sedangkan kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan untuk mendukung peningkatan infrastruktur perdesaan adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan prasarana jalan perdesaan yang menghubungkan kawasan perdesaan dan perkotaan; 2. Peningkatan pelayanan sarana dan prasarana energi termasuk ketenagalistrikan di perdesaan; 3. Peningkatan sarana dan prasarana pos dan telematika (telekomunikasi dan informasi) di perdesaan; 4. Optimalisasi jaringan irigasi dan jaringan pengairan lainnya; dan 5. Peningkatan pelayanan prasarana permukiman, seperti pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase. Upaya-upaya yang telah dilakukan hingga 2008 telah menghasilkan capaian-capaian sebagai berikut: a. Peningkatan/Pembangunan Jalan dan Jembatan

3. Peningkatan infrastruktur desa tertinggal rural infrastructure support program (RISP) di 1.840 desa. Untuk mendorong diversikasi dan pertumbuhan ekonomi serta penanggulangan kemiskinan. Pada 2007 telah dibangun prasarana dan sarana desa pusat pertumbuhan (DPP/KTP2D) di 149 kawasan, dan 83 kawasan desa agropolitan, serta pembangunan/peningkatan infrastruktur desa desa tertinggal melalui pemberdayaan masyarakat (skala komunitas) di 2.289 desa. b. Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana Ketenagalistrikan

Pada 2005 telah dilakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana (PS) perdesaan antara lain melalui kegiatan: 1. Pengembangan PS desa pusat pertumbuhan (DPP/KTP2D) di 204 desa/kawasan. 2. Pengembangan PS kawasan desa agropolitan di 74 kawasan.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Listrik sebagai salah satu elemen penting untuk menunjang kehidupan sosial ekonomi, sehingga terus diusahakan penyediaannya agar bisa dinikmati oleh setidaknya 87 persen masyarakat perdesaan. Dalam program peningkatan sarana dan prasarana ketenagalistrikan, yang telah dicapai adalah: Persebaran kelistrikan sampai dengan 97,5 persen untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan 71,6 persen untuk luar Jamali. Dalam rangka peningkatan aksesibilitas Pemerintah Daerah, koperasi, dan masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan, telah dilaksanakan peningkatan partisipasi masyarakat, koperasi, dan Pemda dalam penyediaan tenaga listrik di perdesaan, serta peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam pembangunan ketenagalistrikan perdesaan di daerahnya. Pada 2008, infrastruktur di perdesaan semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Diantaranya adalah terlaksananya PKPSBBM bidang infrastruktur, meningkatnya sarana dan prasarana DPP, terlaksananya kegiatan RISP, serta terlaksananya kegiatan DPP. Sarana dan prasarana perdesaan juga terus diupayakan untuk ditingkatkan khususnya di 315

3. PKPS-BBM bidang infrastruktur perdesaan di 12.834 desa. Melanjutkan kegiatan tahun sebelumnya. Pada 2006 telah dilakukan kegiatan untuk meningkatkan prasarana dan sarana perdesaan antara lain melalui: 1. Pengembangan PS desa pusat pertumbuhan (DPP/KTP2D) di 319 desa/kawasan. 2. Pengembangan PS kawasan desa agropolitan di 91 kawasan.

326

Bagian 4

desa pusat pertumbuhan, di 84 kawasan agropolitan, dan di 2.140 desa tertinggal. Pada 2008 telah dibangun sistem pembangkit listrik alternatif (solar home system) pada desa-desa tanpa jaringan listrik di 81 kabupaten tertinggal. Sampai dengan 2008 capaian ketenagalistrikan antara lain sebagai berikut: 1. Membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 2.210 unit; 2. Membangun Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTB) 113 kW; 3. Membangun PLTMH 112 kW; 4. Membangun jaringan tegangan menengah sepanjang 1.150 kms; 5. Membangun jaringan tegangan rendah 1.469 kms; 6. Membangun gardu distribusi sebesar 23.025 kVA; serta 7. Membangun beberapa PLTD untuk daerah yang desa yang tidak memiliki sumber energi alternatif. Pembangkit listrik yang dibangun mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Selain itu, mayoritas pembangkit listrik yang dibangun adalah berskala kecil dan menggunakan energi setempat atau non-BBM. Dalam meningkatkan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan, pada 2008 ditargetkan peningkatan rasio elektrikasi menjadi sebesar 64,3 persen (elektrikasi PT PLN (Persero) dan non PT PLN (Persero)) dan rasio elektrikasi perdesaan menjadi 91,9 persen. c. Pengembangan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana Pos dan Telekomunikasi

dan Prasarana Pos dan Telematika, hasil yang dicapai pada 2005 hingga 2008, antara lain: 1. Pelaksanaan kewajiban umum pelayanan umum sektor pos (Public Service Obligation) di 2.341 kantor pos cabang luar kota. 2. Penyelesaian peraturan pelaksana kewajiban pelayanan universal telekomunikasi/Universal Service Obligation (USO), yaitu pembentukan balai telekomunikasi dan informatika perdesaan pada 2006 sebagai badan layanan umum yang mengelola dana USO, Peraturan Menkominfo No. 5 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kontribusi Pelayanan Universal, Peraturan Menkominfo No. 11 Tahun 2007 tentang Penyediaan Kewajiban Pelayanan Universal beserta perubahannya (Peraturan Menkominfo No. 38 Tahun 2007), Peraturan Menkominfo No. 145 Tahun 2007 tentang Penetapan Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi. USO dibentuk untuk membangun fasilitas telekomunikasi di daerah-daerah yang secara ekonomi kurang menguntungkan. Misalnya, daerah perintisan, perbatasan, pedalaman, pinggiran, dan terpencil yang belum terjangkau layanan telekomunikasi, khususnya telepon. 3. Pembangunan community access point (CAP) dan warung masyarakat informasi sebagai pusat informasi masyarakat berbasis TIK melalui kerjasama dengan BUMN yang meliputi pembangunan CAP di 40 lokasi, mobile CAP di 8 lokasi. 4. Pemberdayaan masyarakat bidang TIK di 3 lokasi daerah perbatasan, dan warmasif di 79 kabupaten/kota. 5. Pelaksanaan proyek model pusat informasi masyarakat berbasis TIK (community access point) melalui kerjasama dengan swasta dan berbasis service-based contract di 222 kecamatan. 6. Membangun 27.713 sst di 10.001 desa. Pembangunan tersebut dibiayai oleh penyeleng-

Dalam pelaksanaan Program Pengembangan, Pemerataan, dan Peningkatan Kualitas Sarana

327

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

gara telekomunikasi sebesar 0,75 persen dari pendapatan bruto. Hal ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2005 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Lingkungan Departemen Komunikasi dan Informatika. Dalam rangka meningkatkan pengembangan, pemerataan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika, pada 2008 telah diprogramkan sebagai berikut: 1. Penyelesaian proyek pengembangan infrastruktur penyiaran RRI di 138 kabupaten/ kota blank spot yang tersebar di 28 provinsi. 2. Pembangunan pemancar TVRI di 14 lokasi terpencil, perbatasan, dan blank spot. 3. Pelaksanaan verikasi pelaksanaan program PSO PT Pos untuk 2.350 kantor pos cabang luar kota. Keberlangsungan layanan pos di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dijamin oleh Pemerintah. Hal ini dilakukan dengan memberikan kompensasi Public Service Obligation (PSO) kepada PT Pos Indonesia. Kompensasi ini diutamakan untuk kantor pos yang mendapat penugasan layanan perposan di seluruh wilayah Indonesia khususnya daerah-daerah nonkomersil. Sedangkan pencapaian pokok pembangunan telematika tercermin dari telah terlaksananya layanan pos di 2.341 Kantor Pos Cabang Luar Kota (KPCLK) sebagai pelaksanaan program Public Services Obligation (PSO) pos, serta penyelesaian pengembangan infrastruktur penyiaran radio di 138 kabupaten dan wilayah blank spot di 28 provinsi. d. Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Jaringan Pengairan lainnya

kator capaian. Diantaranya adalah meningkatnya kualitas dan kuantitas jaringan irigasi, terkelolanya jaringan irigasi dan rawa, terlaksananya rehabilitasi jaringan irigasi, terbangunnya jaringan irigasi baru, serta terlaksananya rehabilitasi dan pengembangan saluran tambak di wilayah pesisir. Pertanahan Sementara itu, capaian pengelolaan pertanahan pada 2008 telah difokuskan pada pengembangan pendaftaran tanah yang dapat mempercepat pelaksanaan pendaftaran tanah, penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dengan peningkatan jaminan kepastian hukum dan memaksimalkan penyelesaian konik dan sengketa pertanahan. Pada 2009, diharapkan penyelenggaraan program pengelolaan pertanahan dapat menangani sengketa dan konik pertanahan sebanyak 1.400 kasus di 419 kabupaten/kota, pelaksanaan pensertikatan tanah melalui PRONA sebanyak 400.000 bidang, LMPDP sebanyak 651.000 bidang, pembuatan peta dasar pendaftaran tanah 500.000 hektar, pemasangan Kerangka Dasar Kadastral Nasional (KDKN) 3.072 titik, konsolidasi tanah sebanyak 10.000 bidang, redistribusi tanah 300.000 bidang, inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) 2.000 desa/kelurahan, dan inventarisasi tanah terlantar di 419 kabupaten/kota. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pertanahan, dalam tahun 2007 telah dilakukan sertikasi Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), pemberian subsidi APBN untuk penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah seluas 830.000 bidang tanah, inventarisasi dan registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T) terpadu di 60 desa/kelurahan sebanyak 40.000 bidang, dan inventarisasi tanah terlantar sebanyak 1.000 bidang.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pada 2008, saluran irigasi di perdesaan juga semakin membaik. Hal ini terlihat dari beberapa indi-

328

Bagian 4

4.

Program Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia di Perdesaan

Program peningkatan kualitas SDM di perdesaan merupakan salah satu prioritas kebijakan Pemerintah dalam RPJMN 2004-2009. Adapun tujuan dari program ini adalah: 1. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perdesaan melalui peningkatan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu dan terjangkau di kawasan perdesaan; 2. Meningkatkan relevansi antara pendidikan dan pasar tenaga kerja melalui pendidikan kecakapan hidup termasuk kecakapan vokasional yang sesuai potensi dan karakter di tingkat lokal; 3. Memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat. Program peningkatan kualitas SDM di perdesaan diimplentasikan dalam sejumlah kegiatan pokok yang meliputi: 1. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah termasuk pendidikan menengah kejuruan yang berkualitas dan terjangkau untuk daerah perdesaan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak; 2. Perluasan akses dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara di perdesaan; 3. Peningkatan pendidikan kecakapan hidup termasuk kecakapan vokasional yang sesuai potensi dan karakter di tingkat lokal; 4. Peningkatan pendidikan non-formal untuk meningkatkan keterampilan kerja; 5. Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi penduduk perdesaan; 6. Promosi pola hidup sehat dan perbaikan gizi masyarakat; dan

7. Peningkatan pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi di kawasan perdesaan. Program peningkatan kualitas SDM di perdesaan tahun 2008 telah memberi capaian-capaian sebagai berikut: 1. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan menengah kejuruan yang berkualitas dan terjangkau untuk daerah perdesaan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak; 2. Terbukanya akses dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara di perdesaan; 3. Meningkatnya pendidikan kecakapan hidup termasuk kecakapan vokasional yang sesuai potensi dan karakter di tingkat lokal; 4. Meningkatnya pendidikan nonformal untuk meningkatkan keterampilan kerja; 5. Meningkatnya pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi penduduk perdesaan; 6. Digencarkannya promosi pola hidup sehat dan perbaikan gizi masyarakat; dan 7. Meningkatnya pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi di kawasan perdesaan. 5. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber daya Alam

Program ini bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam dari kerusakan dan mengelola kawasan konservasi yang sudah ada untuk menjamin keragaman ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Adapun kegiatan-kegiatan pokok perlindungan dan konversi SDA untuk mendukung pembangunan perdesaan meliputi:

329

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

1. Perlindungan SDA dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak terkendali, terutama kawasan-kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan; 2. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari ancaman kepunahan; 3. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; 4. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan sumberdaya alam; 5. Pengembangan dan pemasyarakatan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan.

saan dan kawasan perkotaan. Kota-kota kecil dan menengah yang berfungsi melayani kawasan perdesaan di sekitarnya belum berkembang sebagai pusat pasar komoditas pertanian; pusat produksi, koleksi dan distribusi barang dan jasa; pusat pengembangan UMKM nonpertanian; dan penyedia lapangan kerja alternatif (non pertanian). Masih rendahnya pengembangan ekonomi lokal di perdesaan yang ditandai oleh: a) rendahnya kewirausahaan, pengelolaan dan pembiayaan kelompok berpendapatan rendah, b) masih rendahnya pendapatan masyarakat petani dan nelayan, c) terbatasnya prasarana dan sarana ekonomi, dan belum optimalnya kerjasama antar-wilayah maupun antar negara sehingga wilayah strategis cepat tumbuh belum berkembang, d) terbatasnya akses transportasi di wilayah tertinggal sehingga masih rendahnya akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik, e) masih rendahnya kepadatan penduduk di wilayah tertinggal. 3. Timbulnya Hambatan (Barrier) Distribusi dan Perdagangan Antar-daerah

4.11.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Kawasan perdesaan menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal yang menghambat perwujudan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan nyaman. Adapun permasalahan tersebut secara garis besar meliputi: 1. Terbatasnya Alternatif Lapangan Kerja Berkualitas

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya masih belum berkembang secara signikan sehingga belum dapat mengimbangi pertambahan jumlah angkatan kerja di perdesaan. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil. 2. Lemahnya Keterkaitan Kegiatan Ekonomi baik secara Sektoral maupun Spasial

Dalam pelaksanaan otonomi daerah timbul kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi (pungutan) yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, di antaranya pungutan yang dikenakan dalam aliran perdagangan komoditas pertanian antar-daerah yang akan menurunkan daya saing komoditas pertanian. 4. Tingginya Risiko yang Dihadapi Petani dan Pelaku Usaha di Perdesaan

330

Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian (primer) dengan sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta keterkaitan pembangunan antara kawasan perde-

Petani dan pelaku usaha di kawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan meningkatkan risiko kerugian usaha seperti gagal pa-nen karena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi demikian, pelaku industri kecil yang bergerak di bidang pengolahan produk-produk pertanian otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh ba-

Bagian 4

han baku produksi. Risiko ini masih ditambah lagi dengan uktuasi harga dan struktur pasar yang merugikan. 5. Rendahnya Aset dan Akses yang Dikuasai Masyarakat Perdesaan

Ini terlihat dari besarnya jumlah rumah-tangga petani gurem (petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha) yang mencapai 13,7 juta rumah-tangga (RT) atau 56,2 persen dari rumahtangga pertanian pengguna lahan pada 2003. Hal ini ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumberdaya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan kerjasama. Khusus untuk permodalan, salah satu penyebab terbatasnya akses masyarakat perdesaan ke pasar kredit adalah minimnya potensi kolateral yang tercermin dari rendahnya persentase rumah-tangga perdesaan yang memiliki sertikat tanah yang diterbitkan BPN, yaitu hanya mencapai 21,63 persen (2001). Akses masyarakat perdesaan juga masih minim dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, pertambangan dan pesisir masih tergolong rendah, bahkan sebagian besar tergolong miskin. 6. Rendahnya Tingkat Pelayanan Prasarana dan Sarana Perdesaan

menunjang kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan, e) rasio elektrikasi, jangkauan penyiaran televisi radio, layanan pos dan telekomunikasi, serta transportasi perdesaan yang masih rendah terutama di daerah tertinggal, (f) masih belum memadainya fasilitas sistem ketenagalistrikan mengingat keterbatasan kemampuan investasi, sulitnya mencari ketersediaan energi primer non BBM yang ekonomis, mudah diperoleh, serta pembangkit yang mudah dikelola. Di perdesaan, terbatasnya sarana dan prasarana dasar, informasi peluang usaha/pasar, serta pengetahuan, ketrampilan teknis dan kewirausahaan masyarakat merupakan penghambat berkembangnya kegiatan ekonomi rakyat di perdesaan. Hal ini ditambah pula dengan masih terbatasnya kemampuan masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan di perdesaan dalam pembangunan, pemeliharaan dan pengawasan prasarana dan sarana dasar perdesaan; Dalam hal prasarana dan sarana perdesaan, yang menjadi masalah tidak hanya kuantitas dan kualitas ketersediaan sarana dan prasarana yang belum memadai, tetapi juga tingkat persebarannya antardaerah yang belum merata. Sebagai contoh, rasio elektrikasi desa di luar Jawa masih rendah dibandingkan dengan di Jawa. Sampai saat ini yang telah mendapat aliran listrik di Jawa mencapai 23.412 desa (93,2 persen) dari jumlah desa di Jawa 25.116 desa, sedangkan untuk luar Jawa jumlahnya baru mencapai 28.594 desa (69,6 persen) dari jumlah desa di luar Jawa (41.098 desa). Secara nasional masih terdapat 19,6 persen atau sebanyak 12.658 desa yang belum mendapat aliran listrik. 7. Rendahnya Kualitas SDM di Perdesaan yang Sebagian Besar Berketrampilan Rendah (Low Skilled)

Masih rendahnya pelayanan infrastruktur di desa sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) ditandai oleh: a) masih kurangnya pelayanan sarana dan prasarana sumberdaya air, hunian, air minum, dan sanitasi lingkungan yang layak dan sehat, b) belum optimalnya fungsi sarana dan prasarana sumberdaya air dalam memenuhi kebutuhan air irigasi dan air baku perdesaan serta pengendalian daya rusak air, c) rendahnya akses terhadap pelayanan transportasi khususnya untuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di kawasan yang terpencil, terisolir, dan perbatasan termasuk dermaga-dermaga dan sarana transportasi antar pulau kecil, d) masih rendahnya sarana dan prasarana perdesaan untuk

Pada tahun 2007 rendahnya kualitas di perdesaan ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,5 tahun atau belum lulus SD/MI. Sementara

331

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : DEPBUDPAR

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

itu, rata-rata lama sekolah penduduk perkotaan sudah mencapai 9,0 tahun. Proporsi penduduk di pedesaan usia 10 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan SMP/MTs ke atas hanya 15,8 persen, jauh lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang jumlahnya mencapai 19,6 persen. Kemampuan keaksaraan penduduk perdesaan juga masih rendah yang ditunjukkan oleh angka melek huruf yang masih sekitar 92,99 persen penduduk lak-laki dan 84,63 persen penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas. Sementara di daerah perkotaan sudah terdapat sekitar 97,98 persen penduduk laki-laki dan 93,49 persen penduduk perempuan yang melek huruf. 8. Meningkatnya Konversi Lahan Pertanian Subur dan Beririgasi Teknis bagi Peruntukan Lain

Pada kurun waktu 1995-2005 luas lahan sawah telah berkurang dari 8,5 juta hektar menjadi 7,7 juta hektar. Kondisi ini selain didorong oleh timpangnya nilai land rent pertanian dibanding untuk permukiman dan industri, juga diakibatkan lemahnya penegakan peraturan yang terkait dengan RT/RW di tingkat lokal. 9. Meningkatnya Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup

Di samping terjadinya peningkatan luas lahan kritis akibat erosi dan pencemaran tanah dan air, isu paling kritis terkait dengan produktivitas sektor pertanian adalah penyusutan lahan sawah.

Sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebenarnya merupakan aset yang sangat berharga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun demikian, potensi ini akan berkurang bila praktik-praktik pengelolaan yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Contoh dari hal ini dapat dilihat pada data Statistik Kehutanan 2002, di mana perkiraan luas lahan kritis sampai dengan

332

Bagian 4

Desember 2000 adalah 23,24 juta hektar, dengan 35 persen berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen di luar kawasan hutan. Untuk hutan sendiri telah terjadi peningkatan laju degradasi dari 1,6 juta hektar/tahun pada kurun 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar/tahun pada kurun waktu 1997-2001. 10. Lemahnya Kelembagaan dan Organisasi Berbasis Masyarakat Rendahnya kapasitas lembaga masyarakat dan kapasitas Pemerintah desa yang ditandai antara lain: a) lemahnya kelembagaan ekonomi dan organisasi perdesaan yang berbasis masyarakat dalam memperkuat perekonomian dan modal, b) lemahnya kapasitas Pemerintah desa dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance, c) rendahnya kapasitas Pemerintah desa dalam menciptakan inisiatif-inisiatif pengembangan perekonomian desa dan pelayanan kepada masyarakat.

kat dalam aktivitas ekonomi. Di samping itu juga terdapat permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak adil dan tidak setara. 11. LemahnyaKoordinasi Lintas Bidangdalam Pengembangan Kawasan Perdesaan Selain itu, masih terdapat pula masalah kurangnya koordinasi dan keterpaduan kegiatan antarpelaku pembangunan (Pemerintah, masyarakat, dan swasta) dan antarsektor dalam rangka mendorong diversikasi kegiatan ekonomi perdesaan yang memperkuat keterkaitan sektoral antara pertanian, industri, dan jasa penunjangnya serta keterkaitan spasial antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Pembangunan perdesaan secara terpadu akan melibatkan banyak aktor meliputi elemen Pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta. Di pihak Pemerintah sendiri, koordinasi semakin diperlukan tidak hanya untuk menjamin keterpaduan antar sektor tetapi juga karena telah didesentralisasikannya sebagian besar kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Lemahnya koordinasi mengakibatkan kurang esiennya pemanfaatan sumberdaya pembangunan yang terbatas jumlahnya, baik karena tumpang tindihnya kegiatan maupun karena tidak terjalinnya sinergi antar-kegiatan. 12. Rendahnya Tingkat Adopsi Teknologi Pemanfaatan teknologi di perdesaan masih minim. Meskipun sudah mulai terjadi perubahan yang lebih baik, namun hal tersebut belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Teknologi berperan dalam mempercepat alih transformasi dan komunikasi bagi masyarakat perdesaan untuk pengembangan ekonomi lokalnya.

Teknologi berperan dalam mempercepat alih transformasi dan komunikasi bagi masyarakat perdesaan untuk pengembangan ekonomi lokalnya
Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat termasuk di dalamnya kelembagaan pertanian sebagai pendukung kegiatan ekonomi pertanian di perdesaan masih belum mantap. Sementara itu kapasitas kelembagaan dan keuangan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan perdesaan yang telah menjadi urusan atau kewenangannya ternyata juga masih terbatas. Ini tercermin dari kemampuan lembaga dan organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar masyara-

333

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

13. Masih Terbatasnya Akses Masyarakat Perdesaan Masih terbatasnya akses masyarakat perdesaan pada lahan ditandai oleh: 1. Masih terjadinya ketimpangan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), 2. Masih rendahnya tingkat sertikasi tanah yang berakibat pada terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap modal, serta 3. Potensi sengketa dan konik pertanahan menjadi tinggi akibat aturan hukum yang mengatur pengelolaan pertanahan belum sepenuhnya memberikan jaminan kepastian hukum.

6. Perencanaan/penyusunan/pengembangan program dan sistem prosedur; 7. Percepatan pembangunan sosial ekonomi daerah tertinggal; 8. Penguatan kelembagaan formal dan non-formal di daerah tertinggal. 2. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan

Program peningkatan ekonomi lokal ini memuat kegiatan-kegiatan pokok, seperti: 1. Fasilitasi pengembangan diversikasi ekonomi perdesaan; 2. Pembinaan lembaga keuangan perdesaan; 3. Penyelenggaraan diseminasi teknologi tepat guna bagi kawasan perdesaan; 4. Fasilitasi pengembangan potensi perekonomian daerah dan pengembangan produk unggulan daerah; 5. Koordinasi pengembangan usaha ekonomi lokal dan fasilitasi pengembangan pasar lokal; 6. Fasilitasi pengembangan kerjasama ekonomi daerah dan koordinasi pengembangan ekonomi daerah; 7. Fasilitasi pengembangan kelembagaan, promosi ekonomi daerah, dan sarana dan prasarana perekonomian daerah; 8. Pengembangan prasarana dan sarana kawasan agropolitan; 9. Percepatan pembangunan kawasan produksi daerah tertinggal; 10. Percepatan pembangunan pusat pertumbuhan daerah tertinggal. 3. Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan

4.11.4. Tindak Lanjut 4.11.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Dengan perkiraan pencapaian sasaran pada 2008, maka upaya yang dilakukan untuk mencapai sasaran pembangunan perdesaan pada 2009 melalui langkah-langkah kebijakan yang ditempuh sebagai berikut: 1. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan

Program peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan ini meliputi kegiatan-kegiatan pokok, seperti:
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

1. Pemberdayaan lembaga dan organisasi masyarakat perdesaan; 2. Peningkatan kapasitas fasilitator pembangunan perdesaan; 3. Penyelenggaraan diseminasi informasi bagi masyarakat desa; 4. Pemantapan kelembagaan Pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan; 5. Peningkatan kapasitas aparat Pemda dan masyarakat dalam pembangunan kawasan perdesaan;

Program peningkatan infratsruktur perdesaan mencakup kegiatan-kegiatan pokok, seperti: 1. Percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan;

334

Bagian 4

2. Bantuan teknis pengembangan permukiman perdesaan; 3. Peningkatan infrastruktur perdesaan skala komunitas. Untuk program Pengembangan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana Pos dan Telematika dengan kegiatan-kegiatan pokok melalui penyediaan infrastruktur pos dan telematika di daerah non-komersil, seperti: penyediaan dana PSO pos, penyediaan fasilitas telekomunikasi perdesaan (program USO), penyediaan pusat informasi masyarakat (Program CAP). Untuk program peningkatan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan dengan kegiatan-kegiatan pokok melalui: (1) Pembangunan pembangkit listrik skala kecil yang menggunakan energi terbarukan setempat; dan (2) Pembangunan jaringan penyaluran (jaringan tegangan menengah, rendah, dan gardu distribusi). Untuk program peningkatan ketahanan pangan dengan kegiatan-kegiatan pokok melalui peningkatan kegiatan pasca panen dan pengolahan pangan. Untuk program pengembangan agribisnis dengan kegiatan-kegiatan pokok melalui: 1. Mekanisasi kegiatan produksi pertanian pasca panen dalam mendukung agribisnis; dan 2. Pengembangan agroindustri perdesaan. 4. Program Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia di Perdesaan

kan pembenahan dan pengembangan untuk kegiatan-kegiatan, seperti: 1. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan menengah termasuk pendidikan menengah kejuruan yang berkualitas dan terjangkau untuk daerah perdesaan, disertai rehabilitasi dan revitalisasi sarana dan prasarana yang rusak; 2. Perluasan akses dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara di perdesaan; 3. Peningkatan pendidikan kecakapan hidup termasuk kecakapan vokasional yang sesuai potensi dan karakter di tingkat lokal; 4. Peningkatan pendidikan non-formal untuk meningkatkan keterampilan kerja; 5. Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi penduduk perdesaan; 6. Promosi pola hidup sehat dan perbaikan gizi masyarakat; dan 7. Peningkatan pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi di kawasan perdesaan. 5. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber daya Alam
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dalam konteks menindaklanjuti upaya perlindungan dan konservasi SDA maka yang paling diperlukan adalah melakukan pembenahan dan pengembangan untuk kegiatan-kegiatan awal, seperti: 1. Perlindungan SDA dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak terkendali, terutama kawasan-kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan; 2. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari ancaman kepunahan;

Sebagai sebuah kebijakan yang berkelanjutan, tindak lanjut terhadap kegiatan-kegiatan sebelumnya dirasa perlu untuk terus dilakukan. Hal ini mengingat sejumlah kegiatan tersebut mampu menghasilkan capaian-capaian yang baik. Ke depan, selain meneruskan kegiatan-kegiatan tersebut, yang paling diperlukan adalah melaku-

335

3. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; 4. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan sumberdaya alam; 5. Pengembangan dan pemasyarakatan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan. 4.11.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran 1 Keberdayaan Masyarakat Perdesaan

sis komunitas, fasilitasi penyusunan Perda tentang pembangunan kawasan perdesaan terpadu berbasis komunitas, monitoring dan evaluasi terhadap kawasan perdesaan terpadu berbasis komunitas, dan bimbingan teknis pembangunan kawasan perdesaan terpadu berbasis komunitas; 6. Tersusunnya kebijakan pemberdayaan masyarakat dan desa, terlaksananya fasilitasi pelaksanaan program dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah, dan fasilitasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di bidang Pemerintahan desa dan kelurahan; 7. Fasilitasi peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan peran dan kapasitas lembaga sosial, ekonomi, dan budaya; 8. Peningkatan peran dan fungsi lembaga ekonomi, sosial, dan budaya baik formal maupun non-formal dalam rangka pemberdayaan masyarakat; 9. Terbinanya 1.367 kader pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis lembaga agama/ adat/sosial. 2. Pengembangan Ekonomi Lokal

Pada 2009, perkiraan pencapaian sasaran dalam pembangunan perdesaan dalam rangka keberdayaan masyarakat perdesaan adalah: 1. Terlaksananya bimbingan teknis penguatan kapasitas lembaga pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, orientasi pengurus lembaga pemberdayaan masyarakat di 5 wilayah, dan pelatihan pemberdayaan lembaga dan organisasi masyarakat perdesaan di 3 lokasi Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa; 2. Terlaksananya pelatihan dan konsultasi regional kader pemberdayaan masyarakat, dan pelatihan fasilitator pembangunan perdesaan di 3 lokasi Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa; 3. Terlaksananya perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional, Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat, Ekspo Pekan Raya PKK, dan penyebaran informasi program-program pemberdayaan masyarakat melalui media massa (cetak dan elektronik) secara berkala; 4. Terlaksananya pelatihan untuk pelatih (Training of Trainers/TOT) Pemerintah Desa, bimbingan teknis pengelolaan keuangan dan aset desa, pelatihan pengembangan kapasitas Pemerintahan desa, TOT Kepala Desa dan Pelatihan anggota Badan Perwakilan Desa; 5. Terlaksananya sosialisasi pedoman pembangunan kawasan perdesaan terpadu berba-

Perkiraan pencapaian pada 2009 dalam rangka pengembangan ekonomi lokal adalah: 1. Terlatihnya aparat kabupaten dan kecamatan sebanyak 180 orang di bidang kewirausahaan agribisnis dalam kawasan agropolitan; 2. Tersusun dan terselenggaranya sosialisasi payung hukum lembaga keuangan perdesaan, serta terselenggaranya sosialisasi pengelolaan lembaga keuangan perdesaan; 3. Terlaksananya pemetaan Teknologi Tepat Guna (TTG) perdesaan, bimbingan teknis TTG, dan pelatihan Pos Pelayanan TTG Perdesaan; 4. Terlaksananya pemetaan potensi ekonomi daerah dan fasilitasi Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan program revitalisasi per-

336

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

tanian, perikanan, kehutanan, dan pembangunan perdesaan, serta terlaksananya penyusunan dasar hukum dan sosialisasi pedoman pengembangan produk unggulan daerah; 5. Penyusunan Indeks Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (IPEM), sinkronisasi programprogram pengembangan usaha ekonomi masyarakat, dan terlaksananya sosialisasi Permendagri tentang Pengelolaan Pasar Desa, bimbingan teknis Pengelolaan Pasar Desa, dan monitoring dan evaluasi terhadap Pengelolaan Pasar Desa; 6. Tersedianya prasarana dan sarana di 65 kawasan agropolitan; 7. Terfasilitasinya bantuan pembangunan kawasan produksi di 58 kabupaten tertinggal; 8. Terlaksananya perbaikan mutu pengelolaan sumberdaya alam di 30 kabupaten tertinggal. 3. Peningkatan Infrastruktur Perdesaan

7. Terlaksananya rehabilitasi dan pengembangan saluran tambak di wilayah pesisir yang tersebar di 33 provinsi. 4. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia di Perdesaan

Perkiraan pencapaian 2009 dalam rangka meningkatkan kualitas SDM adalah: 1. Terlaksananya fasilitasi peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan peran dan kapasitas lembaga sosial, ekonomi, dan budaya; 2. Peningkatan peran dan fungsi lembaga ekonomi, sosial, dan budaya baik formal maupun non-formal dalam rangka pemberdayaan masyarakat; serta 3. Terbinanya 1.367 kader pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis lembaga agama/ adat/sosial. 5. Perlindungan dan Konservasi Sumber daya Alam

Perkiraan pencapaian 2009 dalam rangka mening-katkan prasarana dan sarana perdesaan adalah: 1. Terbangunnya sistem pembangkit listrik alternatif (solar home system) pada desa-desa tanpa jaringan listrik di 81 kabupaten tertinggal; 2. Meningkatnya rasio elektrikasi menjadi sebesar 63 persen (elektrikasi PT PLN (Persero) dan non PT PLN (Persero)) dan rasio elektrikasi perdesaan menjadi sebesar 87 persen; 3. Terbangunnya prasarana dan sarana perdesaan untuk mendorong diversikasi dan pertumbuhan ekonomi serta penanggulangan kemiskinan di perdesaan di 2.000 desa 17 provinsi; 4. Penyedian layanan pos di kpclk; 5. Penyediaan layanan telekomunikasi di 38.471 desa dan internet di 500 desa; 6. Pembangunan pemancar televisi tahap 1 di 15 lokasi blank spot dan perbatasan;

Upaya untuk mengusahakan terbukanya akses pemanfaatan SDA bagi masyarakat perdesaan dan terjaganya kualitas LH harus terus dilakukan dengan berkesinambungan. Adapun perkiraan pencapaian 2009 dalam rangka memberi perlindungan dan konservasi SDA adalah:
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

1. Peningkatan akses masyarakat terhadap sumberdaya produktif dan permodalan; 2. Kampanye dan penyuluhan di 28 Kabupaten; 3. Pelaksanaan pembangunan 15 Taman Nasional (TN) model dengan dukungan stakeholder; 4. Berkembangnya pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) di 15 Kabupaten/ Kota dan 33 lokasi pemberdayaan lingkungan berbasis masyarakat; 5. Pemberian bantuan jaminan hidup bagi masyarakat yang terkena bencana alam.

337

6. Penghijauan kembali lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 2 juta dan 4-6 juta ha pada 2006 dan 2007; 7. Reorientasi kerjasama dengan perusahaan multinasional yang memanfaatkan SDA dan LH agar fokus pada program corporate social responsibility (CSR) yang berpihak pada masyarakat sekitar, terutama masyarakat miskin; 4.11.5. Penutup Pembangunan perdesaan merupakan suatu investasi masa depan bagi peningkatan pembangunan nasional. Di tahun awal perumusan RPJMN 2004-2009 terdapat berbagai permasalahan yang menghambat tercapainya pembangunan di perdesaan. Kendala tersebut antara lain rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pembangunan di perdesaan, sehingga sasaran pembangunan perdesaan dalam RPJMN 20042009 dapat dicapai. Keberhasilan pembangunan di perdesaan tercermin dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan terutama yang berada di Jawa. Namun demikian, keberhasilan pembangunan perdesaan di Jawa ternyata belum diikuti dengan peningkatan pembangunan perdesaan di luar Jawa. Akibatnya, timbul kesenjangan yang cukup tinggi antara perkembangan desa di Jawa dan luar Jawa. Dengan capaian ini, secara umum, tidak terdapat masalah yang berarti dalam memenuhi target sasaran pembangunan perdesaan pada akhir 2009 nanti. Namun, ke depan upaya yang konsisiten dan intensif dalam mendukung berjalannya program harus terus dilakukan.

338

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.11.1. Sasaran dan Pencapaian Pembangunan Perdesaan


Capaian 2006 6 7 8 2007 2008

No

Sasaran / Program

Indikator (Satuan)

Kondisi Awal (2004-2005) 4 5

Sasaran 1 PDB Sektor Pertanian UKM trilyun 414,66 524,06

PDB Sektor Pertanian/PDB

persen

12,42

13,24

Meningkatnya peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dari meningkatnya peran sektor pertanian dan non pertanian yang terkait dalam mata rantai pengolahan produkproduk berbasis perdesaan PDB Nasional trilyun 3.339,48 3.957,4

Sasaran 2 jumlah Tenaga kerja sektor pertanian juta jiwa 36,72 35,90 36,83 38,21

jumlah Tenaga kerja sektor Nonpertanian

juta jiwa

19,75

21,19

23,32

22,77

Angkatan Kerja

juta jiwa

62,16

62,32

64,54

65,16

Terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah pengangguran Pekerja dengan tk pendidikan terakhir tidak sekolah s.d. maksimum pendidikan dasar persen 88,2

86,664

86,49

85,62

Bagian 4

Pekerja dengan tk pendidikan terakhir SLTA s.d. Perguruan Tinggi

persen

11,82

13,36

13,51

14,38

Jumlah Pengangguran Terbuka

juta jiwa

5,68

5,32

4,39

4,19

339

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

340
Capaian 2006 2007 2008 Indikator (Satuan) Kondisi Awal (2004-2005) Gini Rasio Jumlah penduduk miskin APM SD APM SLTP APM SLTA Prol kesejahteraan: 40 persen pengeluaran rendah 40 persen pengeluaran sedang 20 persen pengeluaran tinggi persen 36,55 persen 40,04 persen 23,41 24,03 39,54 36,43 24,27 39,78 35,95 25,41 40,07 34,52 persen persen 70,32 persen 93,72 orang 22,7 jt 24,8 jt 23,6 jt 0,264 0,276 0,302 0,300

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.11.1.

No

Sasaran / Program

Sasaran 3

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat perdesaan yang ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk miskin serta meningkatnya taraf pendidikan dan kesehatan, terutama perempuan dan anak

Lanjutan Tabel 4.11.1.


Capaian 2006 2007 2008 Indikator (Satuan) Kondisi Awal (2004-2005)

No

Sasaran / Program

Sasaran 4 Rumah tangga pengguna telepon kabel sambungan 13.279 27.713

Rumah tangga pengguna listrik

persen

84,55

90,92

91,9

Rumah tangga pengguna air Jumlah bersih

persen

Meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan permukiman di perdesaan yang ditandai dengan antara lain: (i) selesainya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurang-kurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa dan community access point di 45 ribu desa; (ii) meningkatnya persentase desa yang mendapat aliran listrik dari 94 persen tahun 2004 menjadi 97 persen tahun 2009, (iii) meningkatnya persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses terhadap pelayanan air minum hingga 30 persen; dan (iv) seluruh rumah tangga telah memiliki jamban sehingga tidak ada lagi yang melakukan open defecation (pembuangan di tempat terbuka) Jumlah rumah tangga yang memiliki jamban persen

Sasaran 5

Bagian 4

Meningkatnya akses, kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam kegiatan pembangunan perdesaan yang ditandai dengan terwakilinya aspirasi semua kelompok masyarakat dan meningkatnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan Jumlah lembaga masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan perdesaaan

341

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : DEPBUDPAR

Bagian 4

BAB 4.12
Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah
4.12.1. Pengantar Ketimpangan merupakan masalah yang masih tersisa di tengah keberhasilan pembangunan nasional yang secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Ketimpangan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Indonesia antara lain berupa perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi. Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), serta antara perkotaan dan perdesaan. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut, berbagai upaya percepatan pembangunan di wilayah yang relatif masih tertinggal sudah dilakukan. Meski hasilnya sudah tampak, namun belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketimpangan merupakan masalah yang penting dan harus diatasi. Untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antar daerah kebijakan yang diambil adalah melalui pengembangan wilayah-wilayah strategis. Pengembangan wilayah strategis diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan yang memberikan dampak positif bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Disamping itu pengembangan daerah tertinggal dan pengurangan ketimpangan juga merupakan salah satu prioritas dalam RPJMN 2004-2009 yang menjadi perhatian Pemerintah. Meningkatnya perhatian Pemerintah ini ditandai dengan dikembangkannya berbagai program sektoral dan pemihakan penganggaran yang mulai diarahkan pada program-program untuk tujuan mengurangi ketimpangan antar wilayah. Untuk mengetahui kinerja terhadap pelaksanaan rencana maka dilakukan evaluasi guna mengetahui capaian yang telah diraih selama 2005-2008.

4.12.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada awal RPJMN dirumuskan, terdapat beberapa kendala dalam upaya pelaksanaan pemerataan pembangunan. Kendala yang dihadapi ini terkait dengan pengembangan kawasan berbasis potensi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Permasalahan ini diantaranya berhubungan dengan kelangkaan prasarana pada saat percepatan pembangunan terkonsentrasi pada kota-kota besar dan wilayah-wilayah yang sudah maju. Terkonsentrasinya pembangunan dihadapkan pada keterbatasan infrastruktur, SDM, kelembagaan, akses terhadap input/sarana prasarana produksi, akses pasar, akses modal, serta akses teknologi dan informasi. Mekanisme pembangunan yang menetes (Trickle down mechanism) dan efek penyebaran (Spread Eect) tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pada sisi lain, adanya konsentrasi pembangunan pada masa lalu telah menimbulkan kesulitan upaya pemerataan pembangunan dengan ber-

343

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

langsungnya migrasi tenaga terdidik ke daerah potensial (brain drain) dan capital drain. Kotakota nasional yang seharusnya menjadi penggerak bagi pembangunan di sekitarnya, khususnya wilayah perdesaan, justru memberikan dampak yang merugikan (backwash eects). Hal ini antara lain dikarenakan kurang berfungsinya sistem kota nasional secara hirarkis sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah pengaruhnya. Di samping itu masih terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan antar-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Pada saat yang sama, kota-kota besar dan kota-kota metropolitan mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat yang tidak diimbangi dengan pengelolaan (manajemen) ketersediaan fasilitas perkotaan, seperti perumahan, transportasi dan pusat-pusat distribusi yang menyediakan barang dan jasa yang terjangkau bagi kelompok miskin. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal masih belum banyak tersentuh oleh programprogram pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial dan ekonomi masih sangat terbatas. Hal ini lebih lanjut menyebabkan keterisolasian dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, hal ini memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari Pemerintah. Dalam hal ini yang menyebabkan terhambatnya upaya pengembangan wilayah tertinggal, antara lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini memiliki sumberdaya yang terbatas, khususnya sumberdaya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh Pemerintah Daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; (5) belum memadainya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.

Dengan kondisi pembangunan yang masih belum merata, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang dapat mempercepat pembangunan di wilayah-wilayah tersebut. Dengan demikian, hal ini diharapkan dapat meningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sejalan dengan hal ini, maka sasaran pengurangan ketimpangan pembangunan antar-wilayah dalam RPJMN 2004-2009 ditujukan untuk: 1. Terwujudnya percepatan pembangunan di wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis, wilayah tertinggal, termasuk wilayah perbatasan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis; 2. Terwujudnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antara kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hierarkis dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional; 3. Terwujudnya percepatan pembangunan kotakota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai motor penggerak pembangunan di wilayah-wilayah pengaruhnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi, termasuk dalam melayani kebutuhan masyarakat warga kotanya; 4. Terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang nyaman, esien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan; 5. Terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar-wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan; 6. Terwujudnya keserasian pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam suatu sistem wilayah pembangunan yang berkelanjutan. 7. Terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang esien, efektif, serta terlaksananya pe-

344

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

negakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Sasaran-sasaran tersebut akan dicapai melalui program-program sebagai berikut: 1. Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh. Program ini bertujuan mendorong percepatan pembangunan kawasan-kawasan yang berpotensi sebagai pusat-pusat pertumbuhan di luar Jawa, agar dapat mengoptimalkan pengembangan potensi sumber daya alamnya untuk mendukung upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk-produk unggulannya di pasar domestik dan internasional, sehingga dapat mempercepat pembangunan ekonomi wilayah, yang pada akhirnya diharapkan pula dapat mendorong dan mendukung kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah tertinggal dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi. 2. Program Pengembangan Wilayah Tertinggal. Program ini ditujukan untuk mendorong dan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tertinggal yang tersebar di seluruh nusantara, termasuk di wilayah-wilayah yang dihuni komunitas adat terpencil. 3. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan. Program ini ditujukan untuk (1) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geogras yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. 4. Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan. Tujuan dari program ini adalah untuk: untuk mengelola dan mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan agar pertumbuhan dan perkembang-

annya sejalan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. 5. Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antarkota. Tujuan dari program ini adalah untuk: (1) mewujudkan pengembangan kota-kota secara hirarkis dan memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi antar kota yang sinergis dan saling mendukung dalam upaya perwujudan sistem perkotaan nasional; (2) menghambat dan mencegah terjadinya urban sprawl dan konurbasi, seperti yang terjadi di wilayah pantura Pulau Jawa; (3) mengurangi arus migrasi masuk langsung dari desa ke kota-kota besar dan metropolitan, melalui penciptaan kesempatan kerja, termasuk peluang usaha, pada kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa. 6. Program Pengembangan Kota-Kota Kecil dan Menengah. Tujuan dari program ini adalah untuk: (1) meningkatkan kemampuan pembangunan dan produktivitas kota-kota kecil dan menengah; (2) meningkatkan fungsi eksternal kota-kota kecil dan menengah dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi dan memantapkan pelayanan internal kota- kota tersebut; (3) menjadikan kotakota kecil dan menengah sebagai kota perantara dari proses produksi di pedesaan dan proses produksi di kota-kota besar dan metropolitan dengan melaksanakan proses antara yang dapat dilangsungkan dengan ongkos produksi yang lebih rendah dan esien. 7. Program Penataan Ruang Nasional. Program ini bertujuan meningkatkan sistem penyusunan rencana tata ruang, memantapkan pengelolaan pemanfaatan ruang, dan memantapkan pengendalian pemanfaatan ruang terutama untuk mempertahankan pemanfaatan fungsi lahan irigasi teknis dan kawasan-kawasan lindung; meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi penataan ruang di daerah, baik aparat pemerintah daerah, lembaga legislatif, dan yudikatif maupun lembaga-lem-

345

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

baga dalam masyarakat agar rencana tata ruang ditaati oleh semua pihak secara konsisten. 8. Program Pengelolaan Pertanahan. Tujuan dari program ini adalah mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah.
Dok : PolaGrade

4.12.3. Pencapaian 2005 2008 4.12.3.2. Posisi Capaian hingga 2008 1. Terwujudnya Percepatan Pembangunan di Wilayah-Wilayah Cepat Tumbuh dan Strategis, Wilayah Tertinggal, Termasuk Wilayah Perbatasan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Terintegrasi dan Sinergis

strategis, seperti RPP tentang Hubungan Kerja antara Pemerintahan Kota Batam dan Badan Otorita Batam sebagai tindak lanjut dari UU No 21 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Otonom Batam yang diharapkan akan menjadi model bagi upaya pengembangan hubungan kerja yang harmonis antara pemerintah daerah dan pengelola berbagai kawasan; 3. Tersusunnya panduan kebijakan, pedoman, mekanisme perencanaan, serta indikator evaluasi pembangunan terpadu pengembangan kawasan; 4. Terlaksanakannya fasilitasi pemerintah daerah dalam penyusunan konsep dan rencana pengembangan kawasan serta pembentukan sistem kelembagaan bagi pengembangan kawasan andalan dan kawasan tertentu; 5. Tersusunnya RUU Kawasan Ekonomi Khusus untuk mengatur pembentukan kawasan ekonomi khusus yang akan dikembangkan di Indonesia; 6. Diberlakukannya Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang perubahana atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas sebagai perantara menuju Kawasan Ekonomi Khusus; 7. Tersusunnya Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pencapaian sasaran terwujudnya percepatan pembangunan di wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis, wilayah tertinggal, termasuk wilayah perbatasan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis merupakan akumulasi dari tiga program pembangunan, yaitu: Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh, Program Pengembangan Wilayah Tertinggal, dan Program Pengembangan Wilayah Perbatasan. Pencapaian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tersusunnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pedoman Pemberian Insentif Peluang Usaha Daerah dan telah disusun rancangan pedoman penyelenggaraan terpadu satu pintu, sebagai tindak lanjut Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket kebijakan investasi; 2. Dilaksanakannya penyusunan peraturan pendukung percepatan pengembangan wilayah

346

Bagian 4

bebas dan Pelabuhan Bebas Batam; Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan; dan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun; 8. Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional dalam Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008; 9. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai kawasan strategis nasional Peraturan Pemerintah 26 Tahun 2008; 10. Ditetapkannya rumusan revitalisasi KAPET di 13 kawasan agar lebih efektif dalam menjadikan pusat pertumbuhan baru di kawasan tertinggal; 11. Pembangunan permukiman dan lingkungan transmigrasi yang mempunyai keterkaitan dengan pusat pertumbuhan dan daerah lain disekitarnya dalam upaya mendukung pertumbuhan wilayah; 12. Fasilitasi pemindahan dan penempatan transmigran termasuk masyarakat sekitar lokasi yang ingin berpartisipasi pada lokasi yang baru dibangun; 13. Pemberdayaan dan pembinaan transmigran yang telah ditempatkan pada lokasi transmigrasi sebagai upaya mendorong kemandirian masyarakat transmigran termasuk pemberdayaan masyarakat yang berada disekitar lokasi; 14. Pada 2007 telah dilaksanakan transmigrasi paradigma baru melalui pembangunan dan pengembangan KTM di 4 kawasan yaitu Kawasan Mesuji Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung, dan 3 di Provinsi Sumatera Selatan, masing-masing di Kawasan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kawasan Telang, Kabupaten Banyuasin dan Kawasan Parit, Kabupaten Ogan Ilir; 15. Pada 2008 telah ditetapkan kawasan pembangunan dan pengembangan KTM sebanyak

13 kawasan yang tersebar di 13 kabupaten dan 7 provinsi; 16. Persiapan pembangunan dan pengembangan KTM di 4 kawasan yaitu Kawasan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, Kawasan Geragai Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, Kawasan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat dan Kawasan Topoyo, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat sampai akhir 2008; 17. Dari 2007 sampai dengan Juni 2008, telah ditempatkan transmigran sebanyak 8.924 Kepala Keluarga (KK), serta tersedianya perumahan sebanyak 8.924 unit bagi penduduk miskin dan penganggur; 18. Telah dibukanya areal produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan seluas 17,848 Hektar siap olah dan siap tanam yang diperuntukan bagi 8.924 KK; 19. Telah dibukanya isolasi daerah melalui pembangunan jalan poros/penghubung sepanjang 164,08 Km, jalan desa sepanjang 223,19 Km, jembatan semi permanen sepanjang 273 meter, pembangunan rumah transmigran dan jamban keluarga 8.222 unit, pembangunan sarana air bersih sumur gali 2.535 unit dan perpipaan 28 meter, pembangunan fasilitas umum masing-masing rumah ibadah 46 unit, gudang 28 buah, puskesmas pembantu 28 unit, balai desa 30 unit, gedung SD 29 unit, rumah petugas 29 unit, kantor UPT 32 unit; 20. Fasilitasi perolehan aset produksi berupa tempat tinggal, tempat bekerja, dan peluang berusaha bagi 8.924 KK penganggur dan penduduk miskin; serta 21. Fasilitasi perpindahan penduduk 110 KK ke Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan untuk mendukung penanganan korban bencana gempa bumi di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta; 22. Pembinaan dan pemberdayaan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) sejumlah 78.807 KK di 382 UPT;

347

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

23. Telah dibina dan diberdayakannya masyarakat dan kawasan transmigrasi melalui fasilitasi bidang sosial budaya dan kelembagaan; 24. Fasilitasi pengembangan usaha ekonomi melalui bantuan sarana produksi pertanian untuk 22.124 KK di 94 UPT, pembinaan Balai Mandiri Terpadu Transmigrasi di 21 unit BMT dan padat karya produktif di 3 UPT, pengembangan kemandirian energi melalui pengembangan tanaman jarak di 4 provinsi/13 UPT; 25. Telah dilakukannya kerjasama antardaerah dalam rangka penyelenggaraan transmigrasi; 26. Telah dikembangkannya sarana dan prasarana pemukiman transmigrasi, antara lain: perbaikan dan pengembangan pembangunan gedung fasilitas umum di 197 UPT, rehabilitasi sarana air bersih standar dan non-standar, pembangunan SAB baru sebanyak 28 unit/28 UPT, pembangunan dan rehabilitasi gedung SD 42 unit/42 UPT, perbaikan saluran drainase di 5 UPT, rehabilitasi jalan penghubung/poros di 8 UPT dengan panjang total 23,85 km, pembangunan jalan baru di 1 UPT sepanjang 1,2 km, rehabilitasi dan peningkatan jembatan di 59 UPT dengan panjang total 1.348 m, pembangunan jembatan baru di 7 UPT sepanjang 200 m, serta padat karya produktif rehabilitasi sarana dan prasarana di 44 UPT; 27. Telah dilaksanakannya rehabilitasi sarana dan prasarana permukiman, bantuan modal usaha dan sarana produksi di 5 kabupaten Provinsi Maluku Utara dan 5 kabupaten di Provinsi Maluku, dalam rangka pelaksanaan Inpres Nomor 6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Maluku Utara; 28. Telah dilaksanakannya rehabilitasi rumah transmigran sebanyak 616 unit, dalam rangka revitalisasi kawasan pengembangan lahan gambut; serta 29. Telah ditingkatkannya kesejahteraan transmigran yang ditandai dengan terpilihnya transmigran teladan tingkat nasional;

30. Dari tahun 2006-2008, telah dilaksanakan pembangunan permukiman transmigrasi yang memenuhi persyaratan 2C (Clean & Clear) dan 4L (layak huni, layak bekerja, layak ekonomi, dan layak lingkungan), serta pemindahan dan penempatan calon transmigran ke permukiman transmigrasi di wilayah strategis dan cepat tumbuh wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan dengan rincian: a. Terbangunnya rumah Transmigrasi dan Jamban Keluarga (RTJK) di wilayah strategis dan cepat tumbuh dan wilayah tertinggal sebanyak 18.562 unit dan pembukaan lahan seluas 16.439,15 Ha dan pemindahan calon transmigran ke pemukiman transmigrasi sebanyak 20.539 KK; b. Terbangunnya RTJK di wilayah perbatasan sebanyak 15.203 unit dan pembukaan lahan seluas 8.718,15 Ha dan pemindahan calon transmigran ke pemukiman transmigrasi sebanyak 10.242 KK; 31. Terdapat 28 kabupaten yang dapat ke luar dari kategori sebagai daerah tertinggal; 32. Pembangunan ekonomi lokal diindikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan pada kabupaten tertinggal; 33. Meningkatnya kualitas SDM yang diindikasikan dengan penyerapan tenaga kerja, tingkat kesehatan, dan tingkat partisipasi pendidikan; 34. Adanya perubahan yang cukup signikan terhadap pola kebijakan dalam memperkuat kapasitas skal daerah tertinggal; 35. Terbangunnya prasarana transportasi di 10.756 desa, prasarana air bersih perdesaan dan sanitasi di 2.987 desa, prasarana irigasi sederhana di 1.163 desa serta prasarana listrik dan penerangan di 110 desa melalui pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Perdesaan (PKPS BBM IP) tahun 2005 (total desa sasaran sebanyak 12.834 desa) pada tahun 2005;

348

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

36. Terwujudnya bantuan teknis penyusunan RTRW KPE di Kabupaten Bengkayang, Sintang, dan Nunukan, serta bantuan teknis (bantek) RTRW wilayah tertinggal di Kabupaten Halmahera Timur-Kepulauan Aru, Manokwari-Bintuni, dan Kolaka Utara-Bombana pada tahun 2005; 37. Tersusunnya strategi nasional percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (stranas PPDT) dan Rencana Aksi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN PPDT); 38. Teridentikasinya 32.379 desa tertinggal di seluruh Indonesia; 39. Terbitnya Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua; 40. Terbangunnya 26 daerah tertinggal di Papua dan Papua Barat yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; 41. Terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam pelaksanaan pembangunan dan pengoperasian infrastruktur telekomunikasi melalui program universal service obligation (USO) di kabupaten tertinggal; 42. Terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur perdesaan di empat provinsi (Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur) pada 1.840 desa tertinggal; 43. Pengadaan PLTS sejumlah 20.138 unit (termasuk 5.599 unit yang diwujudkan melalui pelaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) untuk 109 desa tertinggal) yang tersebar di kabupaten tertinggal/perbatasan di 24 provinsi; 44. Terbangunnya pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan daya terpasang 2.325 kW sejumlah 31 unit (termasuk 2 unit yang di-

wujudkan melalaui pelaksanaan instrumen P2IPDT KPDT masing-masing sebesar 50 kW untuk 2 desa) yang tersebar di 7 kabupaten; 45. Tersusunnya prol daerah tertinggal di 15 kabupaten; 46. Terselenggaranya bantuan teknis penyusunan RTRW daerah tertinggal di Kabupaten Halmahera Timur, Kepulauan Aru, Manokwari, Bintuni, Kolaka Utara dan Bombana; 47. Pengadaan bus perintis sebanyak 399 unit yang melayani 290 trayek perintis; 48. Rehabilitasi kapal penyeberangan perintis 13 unit dan pembangunan kapal penyeberangan perintis baru/lanjutan sebanyak 35 unit, serta pengoperasian lintas perintis sebanyak 209 lintas; serta 49. Pengoperasian angkutan laut perintis untuk 52 rute dan pemberian subsidi operasi perintis penerbangan untuk 93 rute yang melayani 104 kota dan 85 provinsi; 50. Terjalinnya kerjasama lintas sektor dalam pelaksanaan Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP). Pada 2007, telah terbangun infrastruktur di 2.289 desa tertinggal dan ditambah dengan 2.060 desa tertinggal lainnya pada 2008; 51. Terjalinnya kerjasama lintas sektor dalam penyediaan infrastruktur listrik perdesaan, serta infrastruktur sosial dan ekonomi yang meliputi pengadaan PLTS. Pada 2006, terbangun gardu 46.238 KVA dan pemasangan jaringan JTM dan JTR sepanjang 3.155,46 KMS. Pada 2007, terbangun 5.642 unit model yang tersebar di 50 lokasi dan 7 unit PLTMH untuk 52 kabupaten. Sasaran pada 2008 terbangun: 17.457 unit model yang tersebar di 50 lokasi di 170 kabupaten: 52 unit model PLTS terpusat di 5 lokasi di 52 kabupaten; 26 unit PLTMH di 26 kabupaten, serta pembangunan gardu dan pemasangan jaringan JTM dan JTR di 3 kabupaten; 52. Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat di beberapa kabupaten melalui pembangunan

349

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

infrastruktur air bersih di daerah yang selama ini mengalami kesulitan air bersih, pada 2006 di 7 kabupaten tertinggal/perbatasan, pada 2007 di 22 kabupaten dan pada 2008 di 9 kabupaten; 53. Terlaksananya bantuan infrastruktur ekonomi pada kabupaten tertinggal berupa alat mesin pertanian, rehabilitasi irigasi, pasar desa, budidaya rumput laut, alat tangkap perikanan, pabrik es, pamboat, pengering ikan, ice ake, dan cold storage; 54. Terlaksananya penguatan kelembagaan pemerintah dan masyarakat dengan membentuk 1.480 Kader Penggerak Pembangunan Satu Bangsa (KPPSB) di 1.480 desa, 148 kabupaten, 31 provinsi; 55. Terlaksananya operasionalisasi 3 (tiga) RTR Kabupaten/Kota kawasan tertinggal dan sinkronisasi program pengembangan infrastruktur di 2 (dua) kawasan tertinggal; 56. Tersusunnya prol kabupaten tertinggal pada 21 kabupaten; 57. Telah dilaksanakan pemberdayaan masyarakat melalui program penanggulangan pengangguran yang dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1.096.345 orang, melalui kegiatan: padat karya pembangunan infrastruktur/produktif di beberapa kabupaten/kota, daerah tertinggal, dan lokasi musibah bencana alam serta kantong-kantong kemiskinan, yang menyerap tenaga kerja sebanyak 153.920 tenaga kerja;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

komunikasi perdesaan (FORKADES) dan unit usaha mandiri (USAMAN) dengan jumlah anggota 4.433 orang; 60. Mendorong terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan membangun sebanyak 54 UPT di Kawasan Tertinggal. Kegiatan ini sebagai upaya mengurangi kesenjangan antarwilayah yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi di bidang ketahanan nasional. 61. Ditetapkannya Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 mengenai pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar; 62. Tersusunnya Rancangan Rencana Induk dan Rencana Aksi Pengembangan Wilayah Perbatasan; 63. Terlaksananya upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup kawasan perbatasan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan 64. Terwujudnya alokasi Dana Alokasi Khusus bagi 26 kab/kota perbatasan serta subsidi operasi angkutan perintis; 65. Ditetapkannya Kawasan Perbatasan sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut pandang Pertahanan dan Keamanan melalui Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang; 66. Ditetapkannya standarisasi sarana, prasarana dan prosedur pelayanan lintas batas antar negara melalui Permendagri No. 18 Tahun 2007; 67. Terlaksananya upaya-upaya pengamanan kawasan perbatasan, antara lain operasi penertiban penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal, pengembangan sarana dan prasarana pos lintas batas, pengembangan sarana dan prasarana pos pengamanan perbatasan, bakti sosial dan penyuluhan, serta sosialisasi bela negara; 68. Terlaksananya upaya-upaya penetapan dan penegasan batas negara RI Malaysia, Re-

58. Terlaksananya kegiatan Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) di 62 Kabupaten dengan melibatkan 1.200 kelompok dengan jumlah anggota 16.200 anggota dan memberi manfaat kepada 64.400 orang; 59. Pembangunan ekonomi perdesaan dilaksanakan dengan membentuk 31 Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang tergabung dalam kelompok usaha perdesaan (POKSADES), forum

350

Bagian 4

public of Democratic Timor Leste, dan Papua New Guinea serta di pulau-pulau kecil terluar, meliputi kajian, survei, deliniasi dan demarkasi, pemetaan, perundingan dan pertemuan teknis dengan negara tetangga, pemeliharaan dan penataan tugu/patok batas, serta pembangunan gapura/prasasti di pulau-pulau kecil terluar; 69. Terlaksananya upaya-upaya pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana sosial ekonomi di 26 kabupaten perbatasan, antara lain perumahan, listrik, air bersih, transmigrasi, pendidikan, kesehatan, jalan dan jembatan, pelabuhan, bandara, pasar, outlet eskpor, terminal lintas batas, listrik, dan air bersih; 70. Penetapan 26 Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yaitu kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara melalui PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. 71. Penetapan UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara sebagai payung hukum bagi pengelolaan batas negara dan kawasan perbatasan secara terpadu, termasuk bagi pembentukan Badan Pengelola Perbatasan; 72. Tersusunnya Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perbatasan Darat dan Laut serta sinkronisasi rencana tindak pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) di perbatasan 73. Terlaksananya upaya-upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat di 26 kab/kota perbatasan, antara lain pengembangan social forestry, terwujudnya DAK, penerapan teknologi tepat guna, pemberdayaan usaha kecil dan menengah, pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, pemberdayaan transmigran, bantuan sosial bagi kelompok masyarakat, serta subsidi operasi angkutan perintis;

74. Terlaksananya koordinasi lintas sektoral serta antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pengembangan wilayah tertinggal di 4 kabupaten perbatasan 75. Terwujudnya upaya kerjasama dengan negara tetangga, antara lain melalui pelaksanaan Sosek Malindo dan forum kerjasama perbatasan lainnya. 2. TerwujudnyaKeseimbanganPertumbuhan Pembangunan antar Kota Metropolitan, Besar, Menengah, dan Kecil secara Hirarkis dalam Suatu Sistem Pembangunan Perkotaan Nasional

Pencapaian sasaran terwujudnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antara kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya perkembangan kota-kota secara hirarkis dan memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi yang strategis dalam system Perkotaan nasional sebangayk 21 laopran pelaksanaan kegitan; 2. Tersusunnya Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 tentang Kerjasama Pembagunan Perkotaan; 3. Program dan system kerja bidang CK dalam meningkatkan koordinasi pembangunan antar kota dan terselenggaranya fasilitas kerjasama antar pemerintah kota; 4. Terevaluasinya pengembangan sistercity/kota kembar di 50 daerah; 5. Terlaksananya dokumen best practise dan penandatangan MoU kerjasama 10 Kepala Daerah di 10 kab/kota; 6. Terfasilitasnya kerjasama pembangunan perkotaan yang dilakukan di pusat; serta 7. Terlaksananya dukungan Jakstra.

351

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3.

Terwujudnya Percepatan Pembangunan Kota-Kota Kecil dan Menengah, Terutama di Luar Pulau Jawa

4. Studi Pengembangan Sistem Perkotaan Di kawasan Ternate-Tidore Kep.-So-Jailolo; 5. Laporan Evaluasi Pola Persebaran Sarana dan Prasarana Perkotaan di Wilayah IV; 6. Tersusunnya RTR Kawasan Metropolitan Mebidang (Medan-Binjai-Deli Serdang); 7. Penyusunan RTR Kawasan Metropolitan Palembang Tahap II; 8. Konsultasi Publik Raperpres RTR Kawasan Kedungsepur; 9. Terselenggaranya sosialisasi Raperpres RTR Kawas. Metropolitan Gerbangkertasusila; 10. Bantek penyusunan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) Kws. Heritage, Public Space Dan Ruang Terbuka Hijau di Kota Surakarta. 11. Pengembangan Sistem Perkotaan Jayapura, Sentani dan Arso di Provinsi Papua melalui penetapan deliniasi, perumusan tipologi kota, pemetaan keterkaitan serta aglomerasi kota, strategi untuk pengembangan wilayah, penerapan manajemen kota, penyusunan strategi yang responsif atas bencana alam dan geologis; 12. Evaluasi Ruang Terbuka Kota-kota di Wilayah IV; 13. Tersusunnya rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Mebidang; 14. Terselengaranya Bantek Pelaksanaan Penataan Ruang Kota Yogyakarta; 15. Terselenggaranya Bantek Pelaksanaan Penataan Ruang Kota Gresik. 5. Terwujudnya Keterkaitan Kegiatan Ekonomi Antar-Wilayah Perkotaan dan Perdesaan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Saling Menguntungkan

Pencapaian sasaran terwujudnya percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa adalah sebagai berikut: 1. Sinkronisasi program dan kegiatan pembangunan infrastruktur dalam rangka pengembangan kota-kota kecil dan menengah; 2. Pemberian advisory penyusunan program pembangunan infrastruktur dalam rangka pengembangan kota-kota kecil dan menengah; 3. Penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) di bidang infrastruktur; 4. Advisory penyiapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah di bidang infrastruktur. 4. Terkendalinya Pertumbuhan Kota-Kota Besar dan Metropolitan dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan Metropolitan yang Nyaman, Esien dalam Pengelolaan, serta Mempertimbangkan Pembangunan yang Berkelanjutan

Pencapaian sasaran terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang nyaman, esien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan adalah sebagai berikut:
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

1. Terlaksananya observasi pengembangan sister city/kota kembar ke daerah-daerah di 20 Kab/kota; 2. Terkelolanya dan terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan agar pertumbuhannya dapat berkelanjutan 3. Meningkatnya kemampuan pelayanan internal wilayah perkotaan dan terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan di 32 provinsi;

Salah satu pencapaian dalam terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar-wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah

352

Bagian 4

pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan adalnya pengurangan kesenjangan kotadesa yang terlihat dari penurunan indeks gini kota-desa pada tahun 2008, dimana pada tahun 2007 indeks gini sebesar 0,376 sedangkan pada tahun 2008 menjadi 0,368. Meskipun pada tahun 2007 indeks gini sempat mengalami peningkatan namun pergeserannya tidak terlalu besar. Adapun pencapaian lainnya terkait sasaran ini adalah sebagai berikut: 1. Terlaksanakannya pembinaan peningkatan fungsi kawasan perkotaan dan perdesaan; 2. Terlaksanakannya penataan kebijakan dan fasilitasi pengembangan kapasitas pengelolaan perkotaan dan perdesaan; 3. Pengembangan kebijakan dan program pembangunan antarkota; 4. Fasilitasi kerja sama antardaerah dalam pengelolaan pelayanan umum di perkotaan dan pengembangan manajemen perkotaan; 5. Pembentukan forum kerja sama antarpemerintah kota untuk merumuskan kerja sama pembangunan; 6. Sosialisasi konsep kebijakan kerja sama dan konsep koordinasi pengelolaan pembangunan perkotaan; 7. Terwujudnya perkembangan kota-kota secara hirarkis dan memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi yang strategis dalam sistem Perkotaan nasional; 8. Tersusunnya Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 tentang Kerjasama Pembangunan Perkotaan; 9. Terlaksananya dukungan Jakstra; 10. Program dan sistem kinerja bidang Cipta Karya dalam meningkatkan koordinasi pembangunan antar-kota dan terselenggaranya fasilitasi kerjasama antar-pemerintah kota; 11. Terevaluasinya dan pengembangan sistercity/ kota kembar di 50 daerah;

12. Terlaksananya dokumen best practise dan penandatanganan MOU kerjasama 10 Kepala Daerah di 10 kab/kota; 13. Terfasilitasinya kerjasama pembangunan perkotaan yang dilakukan di pusat; 14. Terlaksananya dukungan jakstra, program dan sistem kinerja bidang Cipta Karya dalam meningkatkan koordinasi pembangunan antar-kota dan terselenggaranya fasilitasi kerjasama antar-pemerintah kota dengan dihasilkannya 14 laporan kegiatan. 6. Terwujudnya Keserasian Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan yang Berkelanjutan

Pencapaian pada tahun 2005-2006 di bidang penataan ruang adalah: 1. Tersusunnya studi pengembangan kawasan Pacangsanak (Provinsi Jabar-Jateng), Cekungan (Bandung-Provinsi Jabar), dan Mamminasata (Provinsi Sulsel); 2. Tersusunnya Rencana Regional Marine Planning; 3. Terlaksananya seminar nasional penataan ruang untuk mewujudkan kesamaan pandang antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang; 4. Terlaksananya bimbingan teknis penguatan SDM dan kelembagaan penataan ruang provinsi dan kabupaten/kota; 5. Terlaksananya konsolidasi penataan ruang di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Pencapaian pada tahun 2006 di bidang penataan ruang adalah: 1. Pendayagunaan Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau/Kepulauan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/ Kota;

353

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2. Penyusunan revisi PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN; 3. Penyusunan Raperpres Jabodetabekpunjur; 4. Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/ Kota; 5. Penyelenggaraan Raker BKPRD; 6. Pemantapan kelembagaan dan kualitas pemerintah Daerah di bidang penataan ruang; 7. Peningkatan penegakkan hukum penerapan rencana tata ruang; dalam

4. Implementasi zoning regulation sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang; 5. Disepakatinya RPP tentang RTRWN pengganti PP No. 47 Tahun 1997 dan tersusunnya tujuh Draft Naskah Akademik Rencana Tata Ruang Pulau meliputi Pulau Sumatera, JawaBali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua; 6. Penyusunan revisi Keppres No. 62 Tahun 2000 tentang Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional; 7. Telah disusun Rencana Tata Ruang Kawasan Metropolitan Mamminasata dan terbentuknya Badan Kerjasama Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKPSMM); 8. Terlaksananya peningkatan manajemen pengendalian pemanfaatan ruang di 32 provinsi dalam rangka pemantauan evaluasi penataan ruang daerah; 9. Tersusunnya data dan peta dasar rupa bumi untuk mendukung penyusunan rencana tata ruang; dan 10. Meningkatnya esiensi penataan ruang dan sumber daya kelautan berdasarkan daya dukung lingkungan melalui penataan ruang yang partisipatif. Pencapaian pada tahun 2008 dalam program penataan ruang, diantaranya: 1. Melanjutkan penyusunan NSPM Penataan Ruang sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Hingga saat ini terdapat 12 NSPM yang telah tersusun, 4 NSPM telah dilegalkan dan 8 NSPM sedang dalam proses revisi; 2. Ditetapkannya PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dan sosialisasi PP ke beberapa daerah; 3. Revisi 7 (tujuh) Raperpres RTR Pulau; Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua;

8. Penetapan kebijakan perizinan pembangunan yang beradaptasi dengan ketentuan rencana tata ruang; 9. Tersusunnya raperpres tentang RTR Kawasan Perbatasan Negara; dan 10. Pembentukan BKPRD di 3 provinsi di wilayah barat, 3 provinsi di wilayah tengah, dan 2 provinsi di wilayah timur, dan yang masih berbentuk tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) adalah 6 provinsi di wilayah barat, 7 provinsi di wilayah tengah, dan 7 provinsi di wilayah timur. Setiap tahun selalu dilaksanakan koordinasi penataan ruang nasional melalui BKTRN dalam rangka sinkronisasi antarsektor dan antarwilayah dalam penataan ruang. Pencapaian pada tahun 2007 dalam program penataan ruang, diantaranya:
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

1. Lahirnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1992; 2. Terselenggaranya forum koordinasi penataan ruang di tingkat nasional dan regional melalui Rapat Kerja Nasional BKTRN yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi penataan ruang di tingkat nasional; 3. Tersusunnya 5 NSPM pengendalian pemanfaatan ruang sebagai acuan dalam pelaksanaan penegakan penataan ruang dalam pembangunan;

354

Bagian 4

4. Penyusunan rancangan PP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang dan PP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang; 5. Perumusan revisi dan percepatan legalisasi Keppres No. 62 Tahun 2002 Tentang Koordinasi Penataan Ruang; 6. Ditetapkannya Perpres No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan JakartaBogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek-Punjur); 7. Tersosialisasikannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ke33 provinsi, sebagian besar kabupaten/kota, departemen/sektor di Pemerintah Pusat melalui forum Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), asosiasi profesi, dan perguruan tinggi, kehakiman, kepolisian, dan kejaksaan; 8. Tersusunnya operasionalisasi RTRWN di beberapa kawasan melalui penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di 3 kawasan; 9. Ditetapkannya Permendagri No. 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 10. Terbentuknya 22 Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi dan 75 BKPRD Kab/Kota; 11. Penataan ruang terkait dengan permasalahan lingkungan (peran penataan ruang dalam mengantisipasi Global Climate Change dan koordinasi penataan ruang kawasan Heart of Borneo (HoB)). 7. Terwujudnya Sistem Pengelolaan Tanah yang Esien, Efektif, serta Terlaksananya Penegakan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat dengan Menerapkan Prinsip-Prinsip Keadilan, Transparansi, dan Demokrasi

nya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan pendaftaran dan penetapan hak tanah secara menyeluruh di Indonesia; 2. Pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan kapasitas dan kemampuan, perencanaan pengembangan karier, serta pemberdayaan dan pendidikan; 3. Pengembangan fasilitas dan infrastruktur pertanahan; 4. Peningkatan pelayanan penetapan hak tanah dan pendaftaran tanah; 5. Penyusunan dan penetapan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) pertanahan yang merupakan pedoman baku dalam pengaturan dan pelayanan pertanahan yang telah diselesaikan pada akhir tahun 2006; 6. Pengembangan fasilitas dan infrastruktur pertanahan untuk tahun 2006, yaitu rehabilitasi 11 unit kantor dan pembangunan 16 unit kantor baru; 7. Dalam upaya meningkatkan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka pemerataan hak, pada tahun 2008 dilakukan kegiatan-kegiatan antara lain: a. Pelaksanaan redistribusi tanah sebanyak 310.000 bidang dan redistribusi melalui swadaya masyarakat (PNBP) sebanyak 39.929 bidang; b. Pelaksanaan konsolidasi tanah (di luar DKI) sebanyak 10.100 bidang dan konsolidasi swadaya masyarakat sebanyak 26.699 bidang; c. Penginventarisasian penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemilikan tanah (P4T) di 1.990 desa; d. Penginventarisasian tanah terlantar sebanyak 133 SP (Satuan Pekerjaan); 8. Dalam upaya meningkatkan pelayanan dan pendaftaran tanah, pada tahun 2008 dilaku-

Pencapaian sasaran terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang esien, efektif, serta terlaksana-

355

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

kan kegiatan pendaftaran tanah dengan hasil sebagai berikut: a. Percepatan pendaftaran tanah melalui sertikasi tanah (PRONA sebanyak 418.766 bidang, LMPDP sebanyak 651.000 bidang, program khusus transmigrasi sebanyak 29.900 bidang dan UKM sebanyak 30.000 bidang); b. Peta pertanahan (meliputi: peta dasar, peta tematik dan peta nilai tanah) seluas 500.000 hektar; c. Pemasangan kerangka dasar kadastral nasional (KDKN) sebanyak 3.126 titik; d. Perintisan penyediaan layanan rakyat untuk sertikat tanah (Larasita) yang merupakan inovasi pelayanan pertanahan dengan cara mobile service; serta e. Penerbitan Peraturan Kepala BPN No. 6 tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Pertanahan Tertentu. 4.12.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran 1. Terwujudnya Percepatan Pembangunan di Wilayah-Wilayah Cepat Tumbuh dan Strategis, Wilayah Tertinggal, Termasuk Wilayah Perbatasan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Terintegrasi dan Sinergis

a. Belum siapnya kelembagaan manajemen pengelolaan kawasan; b. Belum jelasnya komitmen daerah terkait; c. Kekhawatiran dari banyak kalangan bahwa KEK bersifat enclave atau kurang bekerjasama dengan pelaku usaha lokal; d. Kurang tersinkronisasi dan terkoordinasinya berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah pusat dan daerah dalam mempermudah investor untuk berinvestasi di KEK; e. Pembagian peran yang belum jelas antara pemerintah pusat dan daerah; f. Sarana dan prasarana penunjang KEK di beberapa calon lokasi seperti Batam yang belum memenuhi kriteria sebagai kawasan khusus. Fasilitas tersebut seperti: pelabuhan, akses jalan penghubung antara hulu-hilir, kebocoran fasilitas kemudahan yang diberikan pemerintah karena tidak jelasnya batas enclave. 2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas merupakan kawasan pelabuhan bebas yang diintegrasikan sebagai fungsi perdagangan dan industri. Penerapan kawasan ini masih dihadapkan pada permasalahan: a. Belum berkembangnya kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas free trade zone (FTZ) seperti Sabang sebagai wilayah strategis nasional; b. Belum jelasnya kesiapan kelembagaan pengelola kawasan (Badan Pengusahaan); c. Kurang terkoordinasinya kebijakan pusat dan daerah baik dalam perencanaan maupun implementasi program; d. Kurang memadainya SDM dan kelembagaan pengelola; e. Belum jelasnya pembagian kewenangan pusat dan daerah; f. Pengembangan infrastruktur dan koordinasi program pemerintah daerah dengan pengelola kawasan terutama di Sabang yang masih terbatas.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran terwujudnya percepatan pembangunan di wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis, wilayah tertinggal, termasuk wilayah perbatasan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis adalah: 1. Kawasan Ekonomi Khusus dibangun dengan tujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui ekspor produk industri khusus dan liberalisasi perdagangan. Namun dalam pelaksanaannya masih mengalami kendala yang cukup besar, yaitu:

356

Bagian 4

4. Kerjasama Sub-Ekonomi Regional. Peran sektor swasta yang diharapkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ternyata kurang optimal untuk menambah produksi sesuai

357

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu merupakan kawasan yang ditujukan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan di kawasan timur Indonesia dan daerah tertinggal. KAPET dihadapkan pada permasalahan: a. KAPET masih dipahami oleh para unsur pemerintah daerah sebagai proyek dan belum sebagai mainstream pengembangan ekonomi wilayah yang didukung bersama; b. Badan pengembangan KAPET di pusat belum memberikan arah kebijakan yang jelas; c. Tidak konsistennya dokumen perencanaan yang digunakan sebagai acuan dalam menggerakkan sektor terkait dalam Musrenbang untuk mendukung pengembangan KAPET; d. Kewenangan kelembagaan badan pengelola belum jelas. Keorganisasiannya pun masih bersifat ad hoc sehingga berdampak pada lemahnya fasilitas dan pembinaan sumber daya manusia pemerintah daerah dalam pengembangan dan pengelolaan produk unggulan, serta koordinasi antarsektor dan antarwilayah di 13 lokasi KAPET; e. Kurangnya political will dan konsistensi kebijakan yang mengakibatkan dukungan pengadaan infrastruktur belum memadai; f. Insentif Fiskal dalam PP 147/2000 tidak menarik bagi dunia usaha dimana KAPET belum diberikan privillage khusus. Selain itu, insentif non-skal seperti prosedur perizinan investasi di daerah belum disederhanakan dan SDM pengelola di daerah belum diisi oleh tenaga yang profesional; g. KAPET belum menjadi penggerak pengembangan kawasan sekitarnya.

dengan permintaan pasar luar negeri. Hal ini disebabkan karena: a. Kurang efektifnya koordinasi antar pihak terkait; b. Miss-communication dalam pembahasan usulan program/proyek; c. Kurangnya fokus wilayah KESR dan kurangnya ketersediaan infrastruktur pendukung yang memadai; d. Belum terintegrasinya pelaku usaha skala UKM di Indonesia dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar. 5. Permasalahan yang ada pada sektor transmigrasi, antara lain: a. Masih terbatasnya kemampuan masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan transmigrasi serta rendahnya minat investor/dunia usaha untuk mengembangkan usaha di kawasan transmigrasi, sehingga pembangunan transmigrasi masih mengandalkan APBN yang jumlahnya semakin terbatas; b. Kendala struktural berupa masih kurangnya integrasi, sinkronisasi dan koordinasi dengan program-program sektoral dan instansi lain yang terkait dalam pembangunan transmigrasi. c. Belum berkembangnya lokasi transmigrasi karena sarana dan prasarana di lokasi permukiman transmigrasi mengalami kerusakan sehingga menjadi kendala dalam penyerahan pembinaan unit pemukiman transmigrasi kepada pemerintah daerah; d. Masih adanya calon lokasi transmigrasi yang berstatus belum clean and clear, sehingga merupakan hambatan dalam pembangunan prasarana dan sarana pada lokasi permukiman transmigrasi yang baru (PTB). 6. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal di antaranya adalah: a. Terbatasnya ketersediaan infrastruktur,

b.

c.

d.

e. f.

g.

h.

i.

terutama akses transportasi (keperintisan dan PSO) dan komunikasi (USO) serta listrik perdesaan; Tingkat pelayanan sosial dasar terutama pendidikan dan kesehatan masih belum sesuai harapan; Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya dan pengembangan potensi ekonomi lokal, terutama dalam hal koordinasi dan kerjasama kelembagaan, baik di pusat maupun di daerah dan keuangan daerah; Belum memadainya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dalam mengelola potensi sumber daya lokal; Tingkat kesejahteraan masyarakat setempat masih belum sesuai harapan; Kurangnya keselarasan dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penentuan agenda kegiatan, perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi pembangunan daerah tertinggal; Program dan instrumen pelaksanaan serta alokasi anggaran dari kementerian/ lembaga yang belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pembangunan daerah tertinggal; Kurangnya inisiatif dari pihak daerah (kabupaten) dalam menangani ketertinggalan daerahnya sesuai potensi yang dimiliki; Belum adanya insentif yang memadai bagi para petugas pemerintah yang bekerja di daerah terpencil dan perbatasan.

b. Belum sinergisnya penanganan daerah perbatasan, baik antarsektor maupun antar-pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha; c. Pelayanan sosial dasar terutama pendidikan dan kesehatan yang masih terbatas; d. Masih terbatasnya ketersediaan infrastruktur, terutama akses transportasi (keperintisan dan PSO) dan komunikasi (USO) serta listrik perdesaan; e. Belum optimalnya pengembangan perekonomian wilayah perbatasan karena rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah, kapasitas masyarakat, serta minimnya ketersediaan sarana, prasarana, dan informasi; f. Masih kurangnya penegakan hukum dan keamanan, seperti pembalakan liar, penyelundupan, pencurian ikan, dan TKI ilegal. 2. Terwujudnya Keseimbangan Pertumbuhan Pembangunan antar Kota Metropolitan, Besar, Menengah, dan Kecil secara Hirarkis dalam Suatu Sistem Pembangunan Perkotaan Nasional

Permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran terwujudnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional adalah sebagai berikut: 1. Kurang berfungsinya system kota-kota Nasional dalam pengembangan wilayah; 2. Belum terbangunnya keterkaitan spasial dan mata rantai produksi antara pertanian dan suplai inputnya antara kawasan perkotaan dan perdesaan; 3. Belum optimalnya kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan;

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

7. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah perbatasan hingga 2008 di antaranya adalah: a. Belum tegasnya garis batas administrasi perbatasan antarnegara di beberapa lokasi perbatasan. Hal ini menyebabkan menonjolnya permasalahan keamanan dan lemahnya penegakan hukum terkait pelintas batas dan kegiatan ilegal;

358

Bagian 4

4. Perbedaan pelayanan publik di perkotaan antara Jawa-Luar Jawa. 3. Terwujudnya Percepatan Pembangunan Kota-Kota Kecil dan Menengah, Terutama di Luar Pulau Jawa

4. Rendahnya akses terhadap lahan perkotaan; 5. Masih tingginya tingkat kemiskinan di perkotaan; 6. Rendahnya kualitas lingkungan sik kawasan perkotaan yang tidak berkelanjutan (sustainable) dan cenderung memburuk. 5. Terwujudnya Keterkaitan Kegiatan Ekonomi Antar-Wilayah Perkotaan dan Perdesaan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Saling Menguntungkan

Permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran terwujudnya percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar pulau jawa adalah: 1. Belum maksimalnya peran kota kecil dan menengah dalam menstimulan pertumbuhan wilayah; 2. Belum optimalnya peran kota kecil dan menengah sebagai kota perantara dari proses produksi; 3. Masih rendahnya kapasitas daerah dalam pelayanan publik, pengelolaan lingkungan, pengembangan kemitraan dengan swasta dan peningkatan ekonomi perkotaan. 4. Terkendalinya Pertumbuhan Kota-Kota Besar dan Metropolitan dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan Metropolitan yang Nyaman, Esien dalam Pengelolaan, serta Mempertimbangkan Pembangunan yang Berkelanjutan

Permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar-wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan adalah masih kurangnya keterkaitan Kota-Desa yang ditunjukkan dengan belum optimalnya upaya peningkatan peluang ekonomi dan peran desa sebagai penyangga dan pendukung kota-kota di sekitarnya. 6. Terwujudnya Keserasian Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan yang Berkelanjutan Permasalahan utama dalam mewujudkan keserasian pemanfaatan dan pengendalian ruang dalam suatu sistem wilayah pembangunan yang berkelanjutan: A. Peraturan Perundangan 1. Belum lengkapnya peraturan perundangan dan norma standar prosedur manual (NSPM) di bidang penataan ruang menyebabkan penataan ruang sulit diimplementasikan di lapangan. 2. Rencana tata ruang belum dimanfaatkan secara optimal dalam mitigasi dan penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah, dan pengembangan kawasan. 3. Rencana Tata Ruang belum dapat dijadikan sebagai pedoman di dalam pelaksaEvaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian sasaran terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang nyaman, esien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan adalah: 1. Menurunya daya dukung kota besar dan metropolitan akibat pembangunan yang tidak terkendali dan menurunnya pelayanan perkotaan; 2. Menurunnya kualitas hidup masyarakat karena permasalahan sosial ekonomi dan menurunnya kualitas pelayanan kebutuhan dasar; 3. Rendahnya tingkat penyediaan perumahan yang layak;

359

naan pembangunan maupun dalam pemberian perizinan pemanfaatan ruang. 4. Kurangnya sinkronisasi dan harmonisasi antar produk perencanaan tata ruang yang mengakibatkan terjadinya konik kelembagaan di dalam pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang yang bersifat makro dan mikro. 5. Masih lemahnya kepastian hukum di dalam pengendalian pemanfaatan ruang. B. Kelembagaan 1. Kapasitas kelembagaan yang belum memadai dikarenakan kurangnya kualitas SDM; 2. Masih lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang; 3. Sulitnya membangun kesepakatan sehingga rencana tata ruang belum dimanfaatkan secara optimal dalam mitigasi dan penanggulangan bencana, peningkatan daya dukung wilayah dan pengembangan kawasan. C. Sistem Informasi 1. Masih lemahnya kualitas pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang terutama kurangnya dukungan sistem informasi dan monitoring penataan ruang telah mengakibatkan sering terjadinya konik pemanfaatan ruang antarsektor, antarwilayah, dan antarpelaku. D. Alih Fungsi Lahan 1. Terjadinya alih fungsi lahan yang disebabkan oleh meningkatnya urbanisasi dan aglomerasi perkotaan yang berimplikasi pada terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan permukiman/perkotaaan, dan alih fungsi lahan kawasan lindung menjadi non lindung. 2. Semakin maraknya pemekaran wilayah yang tidak didukung oleh penataan ruang yang terencana.

7.

Terwujudnya Sistem Pengelolaan Tanah yang Esien, Efektif, serta Terlaksananya Penegakan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat dengan Menerapkan Prinsip-Prinsip Keadilan, Transparansi, dan Demokrasi

Dalam pencapaian sasaran terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang esien, efektif, serta terlaksananya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsipprinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi, secara lebih rinci permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut: 1. Terdapat ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah, atau terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat; 2. Jumlah konik dan sengketa tanah yang masih cukup tinggi; 3. Belum memadainya jaminan kepastian hukum atas tanah yang tercermin dari tingkat sertikasi yang baru mencapai 41,5 persen dari total jumlah bidang tanah; dan 4. Belum kondusifnya kondisi sistem pengelolaan dan administrasi pertanahan di Indonesia.

4.12.4. Tindak Lanjut 4.12.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran 1. Terwujudnya Percepatan Pembangunan di Wilayah-Wilayah Cepat Tumbuh dan Strategis, Wilayah Tertinggal, Termasuk Wilayah Perbatasan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Terintegrasi dan Sinergis

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

360

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam mencapai sasaran terwujudnya percepatan pembangunan di wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis, wilayah tertinggal, termasuk wilayah perbatasan dalam suatu sistem wilayah pengem-

Bagian 4

bangan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis adalah: 1. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK): a. Segera dilakukan penyelesaian RUU Kawasan Ekonomi Khusus. b. Segera mengupayakan penciptaan regulasi untuk mengatur kejelasan kepastian hukum dalam jangka panjang dan kepastian regulasi dan hubungan ketenagakerjaan. c. Menentukan desain envclave/wilayah batas KEK dengan tetap menjaga keterkaitan dengan UKM masyarakat sekitar kawasan. d. Melanjutkan perumusan konsep dan strategi pengembangan wilayah strategis kawasan ekonomi khusus (KEK) dengan fokus pada ketentuan khusus insentif skal (di bidang kepabeanan dan perpajakan) dan insentif non-skal (hak guna lahan, perizinan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan). e. Melaksanakan upaya percepatan penyediaan infrastruktur serta pemantapan sinkronisasi dan koordinasi dalam penyusunan strategi dan pengembangan peran dalam pengelolaan kawasan, termasuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan badan pengelola. f. Memastikan kejelasan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pembentukan dan pengelolaan KEK. 2. Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB): a. Diperlukan rencana tata ruang Kawasan Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang akan menjadi acuan dalam pengembangan Kawasan Sabang. Sehubungan dengan hal tersebut maka tahun anggaran 2009, perlu dilakukan kegiatan penyusunan b. c. d. e. f.

rencana tata ruang kawasan strategis nasional Kawasan PBPB Sabang. Percepatan pembentukan kelembagaan (badan usaha) pengelolaan. Peningkatan komitmen daerah dalam penyediaan dan kemudahan lahan. Peningkatan profesionalisme Dewan dan Badan Pengusahaan. Penciptaan kebijakan iklim kondusif investasi di daerah pelabuhan bebas. Percepatan pembangunan infrastruktur untuk memenuhi standar pelabuhan dan perdagangan bebas.

361

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET): a. Finalisasi rancangan Perpres menjadi Perpres tentang Revitalisasi KAPET sebagai payung hukum pengelolaan untuk dibahas oleh Badan Pengembangan KAPET pusat, DPR dan kemudian disahkan oleh Presiden; b. Penguatan kapasitas badan pengelola (BP) KAPET dalam pengelolaan dan pengembangan bisnis di wilayah KAPET; c. Percepatan pembangunan infrastruktur untuk membangun keterkaitan antardaerah di lingkungan KAPET untuk menjamin terjalinnya hubungan hulu dan hilir antara pusat pertumbuhan dengan daerah penyangganya; d. Peningkatan iklim kondusif investasi dalam skala local terutama memantapkan kebijakan insentif dan perizinan di wilayah strategis, seperti pembentukan lembaga satu atap dalam pemberian perizinan pengembangan KAPET; e. Penataan ulang komitmen pusat dan daerah dan koordinasi antar-sektor untuk menjamin pencapaian pertumbuhan daya saing daerah diperlukan keterpaduan lintas sektor;

f.

Penyusunan rencana program dan pendanaan lima tahun pengembangan KAPET dan sosialisasi revitalisasi KAPET; serta g. Kerjasama Ekonomi Sub-regional (KESR). 4. Rencana tindak lanjut untuk memperlancar Kerjasama Ekonomi Sub-regional (KSER) Timnas KSER akan menindak lanjuti rekomendasi ADB TA 4555INO tentang Strengthening The National Secretariat for Regional Cooperation. Selain itu, APINDO memberi masukan agar pemerintah mengupayakan pula: a. Penguatan sekretariat KESR dalam mendorong koordinasi dan sinkronisasi KESR untuk mewujudkan kawasan atraktif bagi investasi, mendorong pengembangan wilayah dan mewujudkan jejaring kerjasama baik antarwilayah, antarpelaku, maupun antarsektor, melalui forum-forum kerjasama lintas pelaku, lintas sektor, dan lintas wilayah; b. Peningkatan peran swasta dan koordinasi kesiapan delegasi; c. Pemfokusan wilayah kerjasama; d. Peningkatan dayaguna dan hasil guna dari kerjasama bilateral dan sub-regional melalui pendekatan program pengembangan kawasan khusus meliputi pengembangan kawasan cepat tumbuh di dalam KESR, kawasan perbatasan antarnegara (Pokja Sosek Malindo dan JBC RIPNG) dan kawasan andalan prioritas (KAPET); e. Mengupayakan kebijakan dan peraturan yang mendukung terciptanya lingkungan yang kondusif untuk investasi, perdagangan, dan pariwisata, meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan khususnya antara pemerintah pusat dan daerah terutama mempercepat proses pengembangan daerah-daerah pusat pertumbuhan (KSCT) dikaitkan dengan konteks pengembangan kerjasama ekonomi sub-regional yang ada; f. Meningkatkan pemerataan ketersediaan infrastruktur antar-wilayah-wilayah yang

termasuk dalam kerjasama ekonomi subregional khususnya di KTI untuk menarik berkembangnya investasi di berbagai bidang; g. Mendorong penguatan kinerja kelembagaan dan pelayanan pemerintah daerah serta penguatan kapasitas/kemampuan dan daya saing dunia usaha dan swasta daerah terutama untuk wilayah KTI melalui kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas seperti pendidikan/pelatihan, pemberian informasi akses pasar, dan bantuan permodalan. 5. Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan transmigrasi adalah: a. Mengembangkan dan mengoptimalkan peran transmigrasi dalam pembangunan dan percepatan di wilayah strategis dan cepat tumbuh, wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan; b. Peningkatan daya saing kawasan transmigrasi melalui pembangunan sub-sub sistem agribisnis yang terpadu dan berkelanjutan, serta saling terkait antar sektor, antar pelaku, dan antar-wilayah; c. Peningkatan peran Pemerintah Daerah melalui peningkatan kualitas SDM Pemda, Bappeda sebagai koordinator perencanaan antar sektor dan antar pelaku dalam pendampingan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan, yang kuat dan mandiri, dengan fasilitasi pusat dan provinsi; d. Peningkatan kemandirian masyarakat di kawasan melalui penyediaan informasi pengembangan produk unggulan pendidikan dan pelatihan usaha, sekaligus penyediaan lembaga pendidikan dan pelatihan penyediaaan sarana dan prasarana untuk pengembangan usaha serta peningkatan peran dunia usaha; e. Perubahan/revisi terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pe-

362

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

nyelenggaraan Ketransmigrasian, guna melaksanakan program transmigrasi yang dapat mengakomodasikan kebutuhan daerah; f. Penempatan transmigran sebanyak 11.600 KK tahun 2009 yang diprioritaskan untuk menangani kemiskinan dan pengangguran melalui penyediaan tempat tinggal (rumah sederhana sehat), sarana dan prasarana permukimannya, membuka areal produksi pertanian baru sebagai upaya mendukung ketahanan pangan, serta menempatkan penduduk di pulau-pulau kecil dan perbatasan sebagai upaya mendukung ketahanan nasional; serta g. Melanjutkan pembangunan dan pengembangan penyelenggaraan transmigrasi paradigma baru melalui KTM guna mendorong strategi pemerataan pertumbuhan perekonomian serta pemerataan investasi di 20 kawasan di 20 kabupaten, 13 provinsi, dengan melibatkan pemerintah daerah setempat, instansi lintas sektor terkait dan investor. 6. Pengembangan Wilayah Tertinggal. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam pengembangan wilayah tertinggal adalah: a. Pengembangan desa model sebagai sebuah terobosan baru bagi pola percepatan pembangunan daerah tertinggal yang berwawasan perdesaan. Sebagai langkah awal diluncurkan 200 Desa Model, yang terdiri atas 30 desa model berbasis geogras, 28 desa model kerjasama dengan perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut, dan 142 desa model berbasis kearifan lokal; b. Pengembangan sarana dan prasarana ekonomi di daerah tertinggal dan terisolir, melalui penerapan skema Public Service Obligation (PSO) dan keperintisan transportasi, c. Program listrik masuk desa, pembangunan sumberdaya air baku dan penyediaan

d.

e.

f. g. h. i.

air minum di wilayah terisolir, pengembangan kawasan transmigrasi mandiri di wilayah tertinggal dan terisolir, dan penerapan Universal Service Obligation (USO) untuk telekomunikasi; Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan sosial dasar di daerah tertinggal dan terisolir, melalui: fasilitasi pendidikan dan kesehatan, penyediaan bantuan operasional sekolah untuk pendidikan dasar, dan bantuan khusus murid untuk pendidikan menengah; Penyusunan prol wilayah tertinggal dan penyusunan Master Plan dan Model Pembangunan Wilayah Tertinggal; Penyusunan Peraturan Presiden tentang Program Pengembangan Wilayah Terpadu; Penyusunan Permendagri tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan Daerah; Penyusunan model kerjasama pembangunan wilayah; dan Mengembangkan dan mengoptimalkan peran transmigrasi dalam pembangunan dan percepatan di wilayah strategis dan cepat tumbuh, wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan.

7. Berdasarkan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan dan hasil-hasil pencapaian pembangunan dari tahun 2005 hingga 2008, beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam pengembangan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar adalah: a. Dibukanya pos lintas batas baru di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat dengan fasilitas CIQS dan meningkatnya pelayanan di 79 pos lintas batas tradisional; b. Terlaksananya perundingan dengan negara tetangga untuk penyelesaian permasalahan beberapa segmen batas negara, baik di darat maupun di laut; c. Terlaksananya upaya pemeliharaan dan perbaikan patok-patok batas negara, terutama pada segmen rawan sengketa, se-

363

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

perti di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur; d. Terselesaikannya penetapan Raperpres RTR Kawasan Perbatasan yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam suatu rencana induk dan rencana aksi; e. Terlaksananya upaya koordinasi lintassektor berbasis RTR, rencana induk, dan rencana tindak; f. Terselesaikannya Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN) dan RTR Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) beserta rencana tindaknya; g. Meningkatnya pengembangan infrastruktur wilayah di PKSN dan KPE; h. Tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan. listrik, dan air bersih di desa-desa perbatasan; dan i. Meningkatnya pemberdayaan masyarakat di desa-desa perbatasan; j. Meningkatkan keberpihakan pemerintah melalui skema pembiayaan pembangunan (DAK, PSO, USO) untuk kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan; k. Mengembangkan dan mengoptimalkan peran kawasan transmigrasi dalam percepatan pembangunan kawasan perbatasan; l. Kerjasama bilateral di bidang sosial-ekonomi dan pertahanan-keamanan dengan negara tetangga; m. Melanjutkan upaya-upaya peningkatan pelayanan kepabeanan, keimigrasian, karantina, dan keamanan di kawasan perbatasan. 2. TerwujudnyaKeseimbanganPertumbuhan Pembangunan antara Kota Metropolitan, Besar, Menengah, dan Kecil secara Hirarkis dalam Suatu Sistem Pembangunan Perkotaan Nasional Tindak lanjut yang diperlukan dalam pencapaian sasaran terwujudnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antar kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam

suatu sistem pembangunan perkotaan nasional adalah sebagai berikut: 1. Menyeimbangkan pertumbuhan antar kota; 2. Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi antar kota; 3. Peningkatan sarana dan prasarana dalam kota, antar kota, dan antara kota; 4. Peningkatan pelayanan dasar (industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa). 3. Terwujudnya Percepatan Pembangunan Kota-Kota Kecil dan Menengah, Terutama di Luar Pulau Jawa

Tindak lanjut yang diperlukan dalam pencapaian sasaran terwujudnya percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa adalah: 1. Peningkatan peran dan fungsi kota-kota menengah dan kecil; 2. Pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar perkotaan; 3. Peningkatan iklim investasi yang menarik; 4. Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) di luar Pulau Jawa; 5. Peningkatan kemampuan kelembagaan ekonomi perkotaan; 6. Pengembangan kota berwawasan bahari melalui pengembangan industri kelautan. 4. Terkendalinya Pertumbuhan Kota-Kota Besar dan Metropolitan dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan Metropolitan yang Nyaman, Esien dalam Pengelolaan, serta Mempertimbangkan Pembangunan yang Berkelanjutan

364

Tindak lanjut yang diperlukan dalam pencapaian sasaran terkendalinya pertumbuhan kotakota besar dan metropolitan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang nyaman, esien dalam pengelolaan, serta memper-

Bagian 4

timbangkan pembangunan yang berkelanjutan adalah: 1. Orientasui pembangunan perkotaan pada keragaman etnis dan budaya, serta pembangunan berkelanjutan; 2. Penciptaan lapangan kerja formal serta kesejahteraan pekerja informal; 3. Penyediaan kebutuhan hunian untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh; 4. Pengendalian pemanfaatan ruang; 5. Peningkatan kegiatan ekonomi kota ramah lingkungan; 6. Pengembalian fungsi kawasan atau peremajaan kawasan perkotaan (urban renewal); 7. Identikasi dan pemetaan daerah-daerah rawan bencana; 8. Kemampuan penerapan sistem deteksi dini bencana alam; 9. Pemanfaatan jasa ramah lingkungan; 10. Pemulihan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup; 11. Penataan kembali pelayanan fasilitas publik. 5. Terwujudnya Keterkaitan Kegiatan Ekonomi Antar-Wilayah Perkotaan dan Perdesaan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Saling Menguntungkan

6.

Terwujudnya Keserasian Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan yang Berkelanjutan

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam penataan ruang nasional adalah: 1. Penyelesaian 5 Rancangan PP pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2007 diantaranya RPP tentang Tingkat Ketelitian Peta RTR, Penatagunaan Tanah, Air, Udara, dan Sumberdaya Alam Lainnya, Tata Cara dan Bentuk Peran serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, serta Kriteria dan Tata Cara Penyusunan RTR Kawasan Pertahanan; 2. Penyelesaian Penyusunan Norma Standar Prosedur Manual (NSPM) pengendalian pemanfaatan ruang; 3. Legalisasi rancangan Keppres No. 62 Tahun 2000 tentang Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional; 4. Percepatan revisi Perpres RTR Pulau; 5. Percepatan review RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dalam rangka penyesuaian dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang; 6. Penyusunan Perda RTRW berbasis bencana yang didukung oleh data spasial; 7. Penguatan dukungan sistem informasi;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tindak lanjut yang diperlukan dalam pencapaian sasaran terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar-wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan adalah peningkatan kemampuan dalam pengembangan kemitraan dengan swasta, serta peningkatan sarana dan prasarana dalam kota, antar kota, antara kota dan desa berorientasi ramah lingkungan dan hemat energi.

8. Penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang di tingkat nasional dan daerah; 9. Penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang di tingkat nasional dan daerah; 10. Peningkatan koordinasi antara Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD); 11. Integrasi rencana tata ruang wilayah dengan rencana pembangunan.

365

7.

Terwujudnya Sistem Pengelolaan Tanah yang Esien, Efektif, serta Terlaksananya Penegakan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat dengan Menerapkan Prinsip-Prinsip Keadilan, Transparansi, dan Demokrasi

4.12.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJM 2004 2009 1. Terwujudnya Percepatan Pembangunan di Wilayah-Wilayah Cepat Tumbuh dan Strategis, Wilayah Tertinggal, Termasuk Wilayah Perbatasan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Terintegrasi Dan Sinergis

Tindak lanjut yang diperlukan dalam pencapaian sasaran terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang esien, efektif, serta terlaksananya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan strategi percepatan pendaftaran tanah sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hak dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah; 2. Identikasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait pertanahan (sektoral, pusat, dan daerah); 3. Pengembangan mekanisme pengendalian, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land use monitoring system); 4. Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) melalui redistribusi tanah, khususnya bagi petani dan masyarakat miskin (asset reform); 5. Fasilitasi penyediaan kelembagaan, instrumen, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan program redistribusi tanah (access reform);
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai pada periode 2005-2008 maka untuk tahun 2009, diperkirakan akan mencapai sasaran: 1. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK): a. Segera diberlakukannya UU Kawasan Ekonomi Khusus; b. Adanya disain evclave/wilayah batas KEK; c. Perumusan konsep dan strategi pengembangan wilayah strategis kawasan ekonomi khusus (KEK) dengan fokus pada ketentuan khusus insentif skal insentif non-skal; d. Terjalinnya koordinasi dan pembagian tugas kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan KEK. 2. Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB): g. Rencana tata ruang Kawasan Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas berdasarkan RTRWN yang baru (PP 26/ 2008); h. Kejelasan komitmen daerah dalam penyediaan dan kemudahan lahan; i. Dewan dan Badan Pengusahaan yang profesional; j. Iklim yang kondusif investasi di daerah pelabuhan bebas; k. Ketersediaan infrastruktur pelabuhan dan perdagangan berstandar internasional. 3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET): a. Diberlakukannya Perpres tentang Revitalisasi KAPET;

6. Pengembangan sistem perpajakan tanah sebagai salah satu instrumen dalam membangun akses tanah yang berkeadilan dan optimalisasi pemanfaatan tanah; 7. Penguatan kapasitas kelembagaan pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya (kapasitas SDM, efektivitas regulasi dan ketersediaan infrastruktur pelayanan); 8. Pengembangan sistem informasi berbasis tanah yang terintegrasi untuk mendukung proses percepatan pendaftaran tanah dan sistem perpajakan.

366

Bagian 4

b. Profesionalisme badan pengelola (BP) KAPET; c. Keterkaitan hubungan hulu dan hilir antar-daerah di lingkungan KAPET; d. Iklim kondusif investasi dalam skala lokal; e. Kejelasan komitmen pusat dan daerah dan koordinasi antar sektor; f. Rencana program dan pendanaan lima tahun dalam Rencana Induk dan Rencana Aksi. 4. Kerjasama Ekonomi Sub-regional (KSER): a. Berjalannya proses koordinasi dan sinkronisasi oleh Sekretariat KESR dab kesiapan delegasi dalam perundingan kerjasama; b. Kejelasan wilayah kerjasama; c. Pencapaian kerjasama bilateral yang berdayaguna dan hasil guna; d. Terciptanya lingkungan yang kondusif untuk investasi, perdagangan, dan pariwisata untuk mendukung pengembangan kerjasama ekonomi sub-regional; e. Ketersediaan infrastruktur antar-wilayahwilayah yang termasuk dalam kerjasama ekonomi sub-regional khususnya di KTI untuk menarik berkembangnya investasi di berbagai bidang; f. Kelembagaan pemerintah daerah yang mampu menciptakan dan daya saing wilayah terutama untuk wilayah KTI. 5. Perkiraan penapaian sasaran dalam pembangunan transmigrasi adalah: a. Tersedianya tanah transmigran untuk 2.618 KK, terbangunnya permikuman transmigrasi sebanyak 2.618 unit, serta terfasilitasinya perpindahan serta penempatan transmigrasi untuk 2.618 KK; b. Pengembangan dan Pembangunan Kawasan terpadu mandiri (KTM) lanjutan, dimana untuk tahun 2009 diperkirakan akan terbangun sebanyak 2 kawasan KTM. 6. Pengembangan Wilayah Tertinggal. Hasil evaluasi atas kebijakan pembangunan daerah tertinggal, sebagaimana telah diuraikan

7. Berdasarkan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan dan hasil-hasil pencapaian pembangunan dari tahun 2005 hingga 2008, pelaksanaan RPJM Nasional diperkirakan akan mencapai sasaran: a. Terciptanya mekanisme/sistem pembangunan yang terpadu dan sinergis dalam penanganan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar dengan mengacu kepada berbagai dokumen perencanaan tata ruang kawasan perbatasan/PPK terluar dan dokumen-dokumen rencana aksi;

367

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

diatas, mengindikasikan perlunya perubahan mendasar atas pendekatan dan instrumen kebijakan dalam mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Hal ini perlu dilakukan agar pada akhir 2009 terjadi peningkatan yang signikan terhadap pengentasan daerah tertinggal. Oleh karenanya perkiraan pencapaiannya adalah: a. Digunakannya pendekatan kewilayahan dalam intervensi pemerintah untuk percepatan pembangunan wilayah tertinggal, maka dampaknya terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal akan semakin optimal; b. Digunakannya pendekatan Sinergitas Sektoral yang dilakukan dengan koordinasi melalui Rencana Aksi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN PPDT ) merupakan alat yang digunakan untuk mensinergikan kegiatan antar sektor, dengan sasaran optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pembangunan, dan optimalisasi nilai percepatan pembangunan daerah tertinggal; c. Tersedianya tanah transmigran untuk 5.490 KK, terbangunnya permikuman transmigrasi sebanyak 5.490 unit, serta terfasilitasinya perpindahan serta penempatan transmigrasi untuk 5.490 KK; d. Pengembangan dan Pembangunan Kawasan terpadu mandiri (KTM) lanjutan, dimana untuk tahun 2009 diperkirakan akan terbangun sebanyak 10 kawasan KTM.

b. Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar diperkirakan akan semakin meningkat. Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dan usaha diperkirakan akan diselenggarakan semakin intensif; c. Kualitas pelayanan PPLB yang ada diperkirakan akan semakin baik dan akan terbangun berbagai PLB/PPLB baru serta pos-pos pengamanan perbatasan di jalurjalur lintas batas yang dinilai rawan sehingga dapat mengurangi kegiatan ilegal yang terjadi; d. Kesepakatan-kesepakatan perundingan batas serta kerjasama ekonomi, sosial, dan budaya dengan negara lain diperkirakan akan mengalami kemajuan yang signikan sehingga mengurangi ancaman terjadinya konik; e. Tersedianya tanah transmigran untuk 950KK, terbangunnya permukiman transmigrasi sebanyak 950 unit, serta terfasilitasinya perpindahan serta penempatan transmigrasi untuk 950 KK; f. Pengembangan dan Pembangunan Kawasan terpadu mandiri (KTM) lanjutan, dimana untuk tahun 2009 diperkirakan akan terbangun sebanyak 2 kawasan KTM. 2. Terwujudnya Keseimbangan Pertumbuhan Pembangunan antara Kota Metropolitan, Besar, Menengah, dan Kecil secara Hirarkis dalam Suatu Sistem Pembangunan Perkotaan Nasional

rintah kota untuk merumuskan kerjasama pembangunan. 3. Terwujudnya Percepatan Pembangunan Kota-Kota Kecil dan Menengah, Terutama di Luar Pulau Jawa

Perkiraan pencapaian sasaran terwujudnya percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah, terutama di luar Pulau Jawa adalah pembangunan kota kecil dan menengah sebanyak 5 kota dari 70 kota yang termasuk kelompok kota kecil dan menengah, melalui program USDRP dalam bentuk pembangunan pasar dan terminal sebagai pusat distribusi barang dan jasa. 4. Terkendalinya Pertumbuhan Kota-Kota Besar dan Metropolitan dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan Metropolitan yang Nyaman, Esien dalam Pengelolaan, serta Mempertimbangkan Pembangunan yang Berkelanjutan

Perkiraan pencapaian sasaran terkendalinya pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang nyaman, esien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan adalah terkendalinya pertumbuhan perkotaan melalui peningkatan kualitas di 29 kawasan kumuh, penataan lingkungan, dan pengembalian fungsi kawasan yang mengalami penurunan terutama kawasan pusat perekonomian kota (down town). 5. Terwujudnya Keterkaitan Kegiatan Ekonomi Antar-Wilayah Perkotaan dan Perdesaan dalam Suatu Sistem Wilayah Pengembangan Ekonomi yang Saling Menguntungkan

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

368

Perkiraan pencapaian sasaran terwujudnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antara kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu sistem pembangunan perkotaan nasional adalah tersusunnya kebijakan (pedoman dan regulasi) kerjasama pembangunan antar-kota, dan juga akan dilakukannya forum kerjasama antar-daerah dalam manajemen perkotaan 33 provinsi, forum kerjasama antar peme-

Perkiraan pencapaian sasaran terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar-wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan adalah adanya peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi antar wilayah perkotaan dan perdesaan melalui terlaksanakannya penataan

Bagian 4

kebijakan dan fasilitasi pengembangan kapasitas pengelolaan perkotaan dan perdesaan. 6. Terwujudnya Keserasian Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang dalam Suatu Sistem Wilayah Pembangunan yang Berkelanjutan

terlaksananya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi adalah sebagai berikut: 1. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah yang dicapai melalui kegiatan akselerasi pelaksanaan pendaftaran tanah, didukung dengan pembangunan infrastruktur pendaftaran tanah yang memadai. Diperkirakan selama kurun waktu 2004-2009 sertikasi dengan dana Pemerintah akan menghasilkan 5.933.791 bidang (termasuk didalamnya sertikasi untuk transmigran, UKM, petani dan nelayan). Di luar pembiayaan oleh Pemerintah, juga terdapat sertikasi yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat yang diperkirakan mencapai sejumlah10.533.839 bidang dalam kurun 2004-2009; peta pertanahan (meliputi: peta dasar, peta tematik dan peta nilai tanah) sekitar 2.157.300 hektar; 2. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) untuk mengatasi ketidakadilan dan ketimpangan P4T melalui redistribusi tanah sebanyak 637.374 bidang dan 148 SP (Satuan Pekerjaan), konsolidasi tanah sebanyak 20.400 bidang dan 28 SP (Satuan Pekerjaan), neraca penggunaan tanah pada 170 kabupaten/kota dan inventarisasi P4T sebanyak 1.307.990 dan pada 58 desa;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai pada periode 2005-2008 maka untuk tahun 2009, diperkirakan akan mencapai sasaran: 1. Meningkatnya kapasitas dan koordinasi kelembagaan penataan ruang yang antisipatif terhadap mitigasi bencana dan penyelesaian konik pemanfaatan ruang melalui pelaksanaan Bintek di 33 provinsi; 2. Meningkatnya daya guna RTRW sebagai acuan bagi kebijakan strategi spasial dari program-program sektoral; 3. Meningkatnya dukungan sistem informasi penataan ruang dalam rangka pengendalian penataan ruang; 4. Terwujudnya kelembagaan penataan ruang yang antisipatif terhadap penyelesaian konik pemanfaatan ruang melalui pembentukan BKPRD di daerah; 5. Adanya Peraturan pelaksana UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan penyusunan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang melalui penyusunan 5 PP dan 16 NSPM; 6. Meningkatnya kualitas pemanfaatan dan pengendalian ruang wilayah melalui penguatan sistem informasi penataan ruang dan penyediaan peta dasar yang mendukung penyusunan RTRW. 7. Terwujudnya Sistem Pengelolaan Tanah yang Esien, Efektif, serta Terlaksananya Penegakan Hukum terhadap Hak atas Tanah Masyarakat dengan Menerapkan Prinsip-prinsip Keadilan, Transparansi, dan Demokrasi

3. Meningkatnya kinerja pelayanan pertanahan dengan dukungan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai, seperti: pengembangan sistem informasi pertanahan yang memadai, serta perluasan cakupan layanan rakyat untuk sertikasi tanah (LARASITA) yang telah diujicoba pada tahun 2007. Tahun 2008 telah dilaksanakan pada 124 kabupaten/kota dan pada tahun 2009 diharapkan mencapai 75% dari total jumlah kabupaten/kota.

Perkiraan pencapaian sasaran terwujudnya sistem pengelolaan yang esien, efektif serta

369

4.12.5. Penutup Hasil pembangunan nasional yang telah dilakukan selama ini ternyata masih belum bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat secara lebih merata. Sehingga muncullah kesenjangan pertumbuhan dan tingkat pembangunan antar-wilayah. Umumnya, ketimpangan ini terjadi antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia (KBI) kawasan timur Indonesia (KTI), serta antara perkotaan-perdesaan. Selain itu, ketimpangan juga terjadi di daerah terpencil dan perbatasan. Untuk itu, Pemerintah melalui RPJMN berusaha untuk mengurangi ketimpangan tersebut dengan merumuskan suatu sasaran pembangunan yang harus dicapai pada 2009 nanti. Dengan ditetapkannya sejumlah arah kebijakan, diharapkan ketimpangan antar-wilayah dapat diminimalisasi. Arah kebijakan yang ditetapkan tersebut ditujukan untuk meningkatkan potensi dan pengembangan pembangunan yang dilakukan melalui: (1) pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; (2) pengembangan wilayah tertinggal; (3) pengembangan wilayah perbatasan; (4) pembangunan wilayah perkotaan dan pengurangan kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan; (5) program penataan ruang wilayah; (6) program pengelolaan pertanahan. Tahun 2008, berbagai program telah mencapai hasil yang cukup baik. Hasil penting yang telah dicapai antara lain: (1) terciptanya daerah pusat pertumbuhan baru; (2) terdapat 28 kabupaten yang sudah dapat keluar dari kategori tertinggal; (3) terbukanya beberapa kawasan yang sebelumnya terisolasi melalui dikembangkannya penerbangan dan pelayaran perintis. Namun demikian, masih terdapat permasalahan yang menghambat tercapainya sasaran RPJMN. Secara umun, kendala tersebut meliputi: (1) kurangnya komitmen Pemerintah Daerah untuk mendukung program pengembangan; (2) terbatasnya anggaran pendanaan untuk mendukung

kegiatan; (3) belum berkembangnya kerjasama keterpaduan lintas sektor; (4) tidak adanya skema pendanaan khusus bagi pembangunan daerah tertinggal; (5) Belum adanya insentif yang memadai bagi mereka yang bekerja di daerah terpencil dan perbatasan; (6) masih rendahnya kulitas SDM di daerah yang akan dikembangkan sehingga memperlambat upaya pencapaian tujuan; (7) masih minimnya ketersediaan infrastruktur yang berguna untuk mengembangkan potensi daerah, terutama yang terpencil dan daerah perbatasan. Untuk itu, guna mencapai sasaran RPJMN pada 2009, sejumlah rencana tindak lanjut akan dilaksanakan. Dengan dilaksanakannya tindakan tersebut diharapkan sasaran RPJMN dapat tercapai. Lebih lanjut, dengan dilaksanakannya upaya yang telah direncanakan ini, maka diantara wujud pencapaian sasaran RPJMN ini dapat dirumuskan secara garis besar sebagai: 1. Terwujudnya percepatan pembangunan melalui ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi di wilayah tertinggal, perbatasan, terpencil, dan pulau-pulau terluar. Dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. Hal ini turut pula mendukung integrasi perkembangan ekonomi antar-wilayah. Dengan demikian maka akan tercipta daerah pusat-pusat pertumbuhan baru yang dapat menjadi motor penggerak pembangunan bagi daerah di sekitarnya. 2. Terwujudnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antara kota kecil, menengah, dan besar. Usaha ini dilakukan melalui pembangunan kota kecil dan menengah sebanyak 5 kota dari 70 kota yang termasuk kelompok kota kecil dan menengah. Untuk mendukung pembangunan kota tersebut dilakukan pula pembangunan pasar dan terminal sebagai pusat distribusi barang dan jasa yang memudahkan mobilitas dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, maka keseimbangan antara kota besar dan kecil akan tercipta yang diharapkan akan mengurangi disparitas pertumbuhan antar-wilayah.

370

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.12.1. Sasaran dan Pencapaian Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah


Capaian Indikator 2006 2007 2008 Satuan Kondisi Awal 2004/2005

Sasaran RPJMN 2004-2009

PENGURANGAN KETIMPANGAN PEMBANGUNAN WILAYAH 1. Berkurangnya indeks gini kota+desa 0,343 0,357 0,376 0,368 2. Berkurangnya indeks gini perkotaan 0,338 0,35 0,374 3. Berkurangnya indeks gini perdesaan 0,264 0,276 0,302 4. Jumlah DAK juta rupiah 4.014.000 11.559.800 17.094.100 0,367

1. Terwujudnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar-wilayah perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang saling menguntungkan

0,3

21.192.141

2. Terwujudnya sistem pengelolaan tanah yang esien, efektif, serta terlaksananya penegakan hukum terhadap hak atas tanah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi 1. Jumlah pendaftaran tanah*) bidang tanah 1.795.737 649.641

1.504.000

1.129.666

*) termasuk di dalamnya sertikasi dengan mekanisme swadaya masyarakat sejumlah sekitar 2,2 juta tiap tahun.

Bagian 4

371

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : Tempo, Tony Hartawan

Bagian 4

BAB 4.13
Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas
4.13.1. Pengantar Pendidikan merupakan satu bidang yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang berkualitas akan mengantarkan suatu bangsa menjadi maju, makmur, dan sejahtera. Pendidikan juga merupakan titik awal penguasaan teknologi yang pada gilirannya akan membawa keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tidak hanya itu, pendidikan juga merupakan sarana efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan akan meningkatkan produktivitas yang nantinya akan meningkatkan pendapatan. Sehingga tidak terlalu salah bila dikatakan pendidikan menurunkan kemiskinan dan keterbelakangan, serta merupakan jalan meraih kesejahteraan. Karena peran pentingnya, peningkatan akses dan pemerataan layanan pendidikan menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Untuk itu, Pemerintah telah berupaya memberi layanan pendidikan yang baik bagi segenap anak bangsa, yang bertujuan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia. Hal ini dilakukan Pemerintah dengan terus berupaya agar penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dapat tercapai pada akhir pelaksanaan RPJMN 20042009. Selain itu, Pemerintah juga terus berupaya memperbaiki mutu dan relevansi pendidikan agar kompetensi lulusan dapat ditingkatkan dan lebih sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Begitu juga, peningkatan kualitas pendidikan ditujukan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang transparan, bertanggungjawab, dan akuntabel.

4.13.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai 4.13.2.1. Kondisi Awal 1. Kondisi Tingkat Pendidikan

Pada awal RPJMN 2004-2009, rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah 7,1 tahun. Sementara, proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat ke atas masih sekitar 36,2 persen. Sedangkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen (Susenas 2003). Pada saat yang sama, Angka Partisipasi Sekolah (APS) atau rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah adalah sebagai berikut: Untuk penduduk usia 7-12 tahun nilai APS sebesar 96,4 persen, dan untuk penduduk usia 13-15 tahun sebesar 81,0 persen. Sementara itu, APS penduduk usia 16-18 tahun hanya mencapai 51,0 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada awal RPJMN 2004-2009 masih terdapat sekitar 19,0 persen anak usia 1315 tahun dan sekitar 49,0 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

373

Sementara itu, cakupan pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai tahun 2004 masih rendah. Anak usia 0-6 tahun yang terlayani PAUD adalah sebesar 25,99 persen dan anak usia 0-3 tahun sebanyak 2,82 juta dari jumlah keseluruhan anak Indonesia sebesar 16,26 juta. Berbagai kegiatan yang mendukung pelaksanaan pelayanan PAUD adalah: Bina Keluarga Balita (BKB), Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), serta berbagai pusat pelayanan PAUD berbasis keagamaan. Pada saat yang sama, jumlah anak usia 4-6 tahun yang mempunyai akses pendidikan di jenjang Taman Kanak-Kanak (TK)/sederajat hanya sebanyak 37,77 persen dari 11,86 juta anak. 2. Disparitas Pendidikan

perkotaan tercatat sebesar 66,7 persen sedangkan untuk penduduk perdesaan sebesar 38,9 persen atau separuh penduduk perkotaan. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2003 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (75,7 persen) merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0 persen) maupun karena harus bekerja (8,7 persen). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya APS masyarakat kota dan penduduk kaya dikarenakan tingkat pendapatan mereka relatif lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di desa dan masyarakat miskin. Sementara itu, kesenjangan pendidikan juga terjadi antar-daerah. Data statistik dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada 2004 mengungkapkan bahwa di tingkat kota/kabupaten di Indonesia, hanya 27,00 persen kabupaten/kota yang memiliki Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMP/sederajat sebesar 95 persen atau lebih. Sebanyak 9,0 persen kabupaten/kota memiliki APK SMP/sederajat antara 90 dan 94,99 persen, dan sisanya memiliki APK di bawah 90 persen. 3. Kuantitas dan Kualitas Fasilitas Layanan Pendidikan

Kesenjangan pendidikan masih terjadi antar-kelompok masyarakat. Kesenjangan ini terjadi khususnya pada jenjang SMP/MTs ke atas. Hal ini terlihat dari kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin. Pada 2003, APS penduduk usia 1315 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93,98 persen. Pada saat yang sama, APS kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16-18 tahun dengan APS kelompok termiskin dan terkaya berturut-turut sebesar 28,52 persen dan 75,62 persen.

Rasio Murid (per Ruang Kelas dan per Guru)

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kekurangan guru masih banyak terjadi di daerah-daerah terpencil. Sementara sekolah-sekolah di wilayah perkotaan umumnya mengalami kelebihan guru
Kesenjangan pendidikan juga terjadi antara penduduk perdesaan dan perkotaan. Rata-rata APS penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada 2003 sebesar 75,6 persen. Sementara itu, APS penduduk perkotaan untuk kelompok usia dan periode yang sama sudah mencapai 89,3 persen. Kesenjangan yang lebih nyata terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun, dimana APS penduduk

Secara kuantitas, fasilitas layanan pendidikan di Indonesia sudah cukup memadai. Rasio murid per ruang kelas sebesar 26 untuk Sekolah Dasar (SD)/sederajat, 37 untuk SMP/sederajat, serta 39 untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat. Sementara, rasio murid per guru adalah 20 untuk jenjang SD, 14 untuk SMP, dan 13 untuk SMA. Meskipun rasio siswa per guru ini sudah termasuk kategori yang memadai, namun distribusinya belum merata. Kekurangan guru masih banyak terjadi di daerah-daerah terpencil. Sementara sekolah-sekolah di wilayah perkotaan umumnya mengalami kelebihan guru.

374

Bagian 4

penguasaan materi ilmu pengetahuan. Hambatan ini semakin besar dengan adanya kecenderungan dari institusi pendidikan untuk mengganti buku setiap tahun ajaran, yang memberatkan orangtua dan menyebabkan inesiensi buku-buku di perpustakaan. Kepemilikan Komputer dan Akses Internet Kepemilikan komputer dan akses internet sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi (TI) dan komunikasi di bidang pendidikan masih terbatas. Sampai dengan 2004, hanya sebagian kecil SD/sederajat yang memiliki akses internet. Untuk jenjang SMP/sederajat, terdapat 29,6 persen institusi yang memiliki komputer dan hanya 3,3 persen yang memiliki akses internet. Untuk jenjang SMA/sederajat, kondisi yang ada masih lebih baik dengan 44,8 persen yang memiliki komputer dan 9,4 persen yang memiliki akses internet. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan sekolah pada saat itu masih sangat terbatas. Standar Minimal Kualikasi Akademik Pengajar Sesuai dengan standar yang digunakan pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, maka untuk mengajar pada tingkat SD/sederajat, seorang guru harus memiliki paling tidak pendidikan Diploma II (D2). Untuk SMP/sederajat, seorang guru minimal harus memiliki pendidikan Diploma III (D3), sedangkan standar minimal untuk mengajar jenjang SMA/sederajat adalah Sarjana Strata I (S1). Data tahun 2004 menunjukkan bahwa baru 61,4 persen guru SD/sederajat memiliki kualikasi akademik minimal D2; 75,1 persen guru SMP/sederajat berpendidikan D3 atau lebih; dan 82,0 persen guru SMA/sederajat yang lulus S1 atau lebih. 4.13.2.2. Sasaran yang Ingin Dicapai Sasaran pembangunan pendidikan yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009 adalah meningkat-

Dok : PLN

Sebaliknya, secara kualitas fasilitas layanan pendidikan di Indonesia masih terbatas karena dukungan fasilitas yang kurang memadai. Hal ini tergambar melalui kondisi gedung sekolah yang mengalami kerusakan. Pada 2004, sekitar 57,2 persen gedung SD/sederajat dan 27,3 persen gedung SMP/sederajat mengalami kerusakan ringan maupun berat. Sarana Penunjang (Perpustakaan, Laboratorium, dan Ketersediaan Buku) Pada 2003, Depdiknas menyatakan bahwa sebagian besar sekolah belum memiliki prasarana penunjang mutu pendidikan, seperti perpustakaan dan laboratorium. Di tingkat SD/ sederajat, hanya 30,78 persen sekolah yang memiliki perpustakaan dari total sekitar 160 ribu. Di samping itu, kondisi prasarana penunjang yang ada pun cukup banyak yang rusak. Di jenjang SMP/sederajat, ruang laboratorium komputer yang mengalami kerusakan ringan maupun berat mencapai 8,4 persen dan laboratorium Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mencapai 22,3 persen. Sementara itu, jumlah kerusakan ruang laboratorium untuk jenjang SMA mencapai 30 persen. Ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor penting dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Pada 2004, tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan cara membeli maupun meminjam di perpustakaan. Hal tersebut tentu menghambat

375

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

nya akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut tercermin dari beberapa indikator di bawah ini: 1. Meningkatnya taraf pendidikan penduduk yang ditandai dengan: (a) Meningkatnya secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yang antara lain diukur dengan meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SD termasuk SDLB, MI dan Paket A sebesar 115,76 persen dan APK jenjang SMP/MTs/Paket B sebesar 98,09 persen serta meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 712 tahun menjadi 99,57 persen dan penduduk usia 1315 tahun menjadi 96,64; (b) Meningkatnya secara signikan partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan menengah yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/Paket C) menjadi 69,34 persen; (c) Meningkatnya secara signikan partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan tinggi yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK jenjang pendidikan tinggi menjadi 18,00 persen; (d) Meningkatnya proporsi anak yang terlayani pada pendidikan anak usia dini; (e) Menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas menjadi 5 persen pada 2009; (f) Meningkatnya akses orang dewasa untuk mendapatkan pendidikan kecakapan hidup; (g) Meningkatnya keadilan dan kesetaraan pendidikan antar-kelompok masyarakat, termasuk antar-daerah maju dan tertinggal, perkotaan dan perdesaan, kaya dan miskin, serta penduduk laki-laki dan perempuan. 2. Meningkatnya kualitas pendidikan dengan indikator:

(a) Tersedianya standar pendidikan dan pe-layanan, baik untuk tingkat nasional maupun regional; (b) Meningkatnya proporsi pendidik yang memiliki kualikasi minimum dan sertikasi yang sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, baik yang berasal dari pendidikan formal maupun nonformal; (c) Meningkatnya proporsi akreditasi satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta; (d) Meningkatnya persentase siswa yang lulus ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan; (e) Meningkatnya minat baca penduduk Indonesia. 3. Meningkatnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan yang ditandai dengan: (a) Meningkatnya efektivitas pendidikan kecakapan hidup pada semua jalur dan jenjang pendidikan; (b) Meningkatnya hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan iptek oleh perguruan tinggi (PT), serta implementasinya pada masyarakat. 4. Meningkatnya efektivitas dan esiensi manajemen pelayanan pendidikan dengan indikator: (a) Meningkatnya efektivitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah; (b) Meningkatnya anggaran pendidikan, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang didukung oleh terwujudnya sistem pembiayaan yang adil, efektif, esien, transparan, dan akuntabel; (c) Meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan; (d) Meningkatnya efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan. Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dilaksanakan melalui berbagai program-program pembangunan, yaitu: (1) Program Pendidikan Anak Usia Dini; (2) Program Wajib Belajar Pendidikan

376

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Dasar Sembilan Tahun; (3) Program Pendidikan Menengah; (4) Program Pendidikan Tinggi; (5) Program Pendidikan Non Formal; (6) Program Pendidikan Kedinasan; (7) Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan; (8) Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan; (9) Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan; dan (10) Program Manajemen Pelayanan Pendidikan.

Selama periode 2005-2008, APK PAUD terus mengalami peningkatan dan pada 2008 diperkirakan mencapai 50,62 persen. Angka ini merupakan peningkatan dari tahun 2005 sebesar 42,34 persen dan terus meningkat menjadi 48,32 persen pada 2007. Namun demikian, angka ini masih relatif rendah dan belum dapat menggambarkan keadaan sebenarnya. Hal ini dikarenakan tidak semua anak usia 2-6 tahun mendapatkan pelayanan PAUD. Sementara itu untuk program pendidikan dasar sembilan tahun, capaian selama 2005-2008 ditunjukkan dengan APM SD/MI/sederajat dan juga APK SMP/MTs. APM SD/MI/sederajat menunjukkan peningkatan yang cukup baik, pada 2005 sebesar 94,30 persen sedangkan pada 2008 diperkirakan mencapai 95,14 persen. Untuk tingkat SMP/MTs/sederajat, APK pada 2005 adalah 85,22 persen dan diperkirakan mencapai 96,18 persen pada 2008. Meskipun capaian APK cukup baik, namun distribusinya pada program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun masih belum merata. Oleh karena kesenjangan partisipasi pendidikan akibat faktor geogras dan ekonomi, diperkirakan terdapat beberapa daerah yang tidak dapat mencapai sasaran APK SMP/MTS/sederajat yang sebesar 95 persen pada 2008.

4.13.3. Pencapaian 2005-2008 4.13.3.1. Posisi sampai dengan 2008 1. Peningkatan Taraf Pendidikan

Secara umum, taraf pendidikan penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah dan angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas meningkat dari 7,09 tahun pada 2003 menjadi 7,47 tahun pada tahun 2007. Pada periode yang sama, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga meningkat dari 88,4 persen menjadi 93,78 persen. Penduduk usia 15 tahun ke atas yang berpendidikan lulus SMP/MTs atau lebih juga semakin meningkat, tahun 2007 proporsinya telah mencapai 48,5 persen.

50 45 40 35 30 (%) 25 20 15 10 5 0 2004 2005

Tahun

2006

2007

377

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Gambar 4.13.1. Capaian APK PAUD

Gambar 4.13.2. Capaian APM SD/MI/sederajat dan APK SMP/MTs/sederajat


95 90 (%) 85 80 75 70 2004 2005 2006 2007 APM SD APK SMP

Tahun

Partisipasi penduduk terhadap pendidikan menengah masih relatif rendah. Hal ini tercermin dari disparitas APK SMA antara sasaran akhir 2009 yang sebesar 69,34 persen dengan capaian tahun 2007 yang sebesar 60,51 persen. Jika APK 2008 mampu tumbuh menjadi 64,28 persen, maka selisih capaian yang ada akan semakin mengecil dan diharapkan dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Selain karena belum meratanya fasilitas layanan pendidikan menengah, faktor ekonomi juga menyebabkan timbulnya kesenjangan APK pada jenjang pendidikan menengah. Hal ini ditunjukkan dengan cukup banyaknya lulusan SMP/MTs yang lebih memilih untuk memasuki pasar kerja daripada melanjutkan jenjang pendidikannya.

Rendahnya partisipasi pendidikan juga terjadi pada pendidikan tinggi. Pada 2005, APK pada perguruan tinggi adalah sebesar 15 persen dan terus meningkat menjadi 17,25 persen pada 2007. Pada 2008, APK diperkirakan mencapai 18,29 persen. Dengan demikian sasaran capaian pada akhir RPJMN 2004-2009, yaitu APK perguruan tinggi sebesar 18,00 persen telah tercapai pada 2008. Relatif mahalnya biaya perkuliahan di PT dan rendahnya pendapatan per kapita masyarakat merupakan alasan utama rendahnya angka APK pendidikan tinggi. Hal ini menyebabkan anakanak dari keluarga miskin memiliki keterbatasan dalam mengakses jenjang pendidikan tinggi.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Gambar 4.13.3. Capaian APK SMA


70 60 50
(%)

40 30 20 10 0 2004 2005 2006 2007

378

Tahun

Bagian 4

Gambar 4.13.4. Capaian APK Perguruan Tinggi

17,5 17 16,5 16 15,5 (%) 15 14,5 14 13,5 13

2004

2005

Tahun

2006

2007

Angka buta aksara menurun cukup besar bila dibandingkan dengan tahun 2005. Pada 2005, angka buta aksara penduduk di atas 15 tahun masih mencapai 9,55 persen, sedangkan pada 2007 mencapai 7,20 persen. Pada 2008, angka ini diharapkan menurun menjadi 6,22 persen. Dengan adanya tren penurunan, diperkirakan sasaran akhir RPJMN 2004-2009 yang sebesar 5 persen berpeluang untuk tercapai. Akan tetapi, upaya yang lebih besar dan strategis tetap diperlukan untuk menurunkan angka buta aksara. Hal ini mengingat buta aksara lebih banyak terjadi pada penduduk usia 45 tahun ke atas, yang angkanya masih mencapai 21 persen. Pada umumnya penduduk usia tersebut memiliki minat lebih rendah untuk mengikuti pendidikan keaksaraan dibanding dengan yang berusia lebih muda. 2. Meningkatnya Kualitas dan Relevansi Pendidikan

demik, pada 2008 dilakukan pendidikan jenjang S1/DIV bagi lebih dari 201.000 orang guru sedangkan uji sertikasi profesi guru pada tahun direncanakan menjangkau sekurang-kurangnya 265.400 orang. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang SD/ MI dan SMP/MTs dalam kurun waktu 2005 sampai 2007 juga dilakukan melalui pembangunan 482 perpustakaan SD dan 2.274 perpustakaan SMP, pengadaan 41.2 juta buku teks untuk perpustakaan SD/SMP, pembangunan 2.010 laboratorium IPA SD/SMP dan pembangunan 837 laboratorium Bahasa/Multimedia SD/SMP serta pembangunan 734 laboratorium komputer SD/ SMP. Semua ini dibangun melalui anggaran pendidikan dari Pemerintah Pusat. Pada 2008, kegiatan yang sama dilakukan pula dengan sasaran pembangunan 6.400 ruang pusat sumber belajar SD dan 3.500 ruang pusat sumber belajar SMP, pembangunan 3.715 ruang laboratorium IPA dan perpustakaan SMP, serta penerapan TIK jenjang pendidikan dasar di 2.200 sekolah. Selain itu pada 2007 juga telah dikembangkan sekolah rintisan SD/MI dan SMP/MTs yang bertaraf internasional di 141 SD dan 170 SMP. Sedangkan tahun 2008 akan dirintis sebanyak 66 SD/MI dan 400 SMP/MTs bertaraf internasional. Sementara itu melalui Departemen Agama pada 2008 telah dilakukan antara lain pembangunan

Sejalan dengan diberlakukannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka kualikasi akademik minimal untuk guru adalah berpendidikan S1/D4 sementara untuk dosen adalah S2/S3. Sampai dengan 2008 guru yang memenuhi kualikasi S1/DIV telah mencapai 47,04 persen sedangkan guru yang bersertikat pendidik telah mencapai 15,19 persen. Untuk meningkatkan persentase guru yang memenuhi kualikasi aka-

379

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

1.000 ruang laboratorium di MI/MTs, perintisan 10 MTs unggulan berstandar internasional, dan pemberian bantuan peningkatan mutu madrasah 480 MI dan 260 MTs. Berkaitan dengan penyediaan buku, pada 2008 Pemerintah juga terus menyediakan BOS Buku terutama adalah untuk mata pelajaran IPA, matematika, dan bahasa Indonesia sebanyak 19,1 juta eksemplar dengan dana Rp 420 milyar. Di samping itu pada 2008 Pemerintah juga membeli hak cipta 116 naskah buku mata pelajaran dari para penulis buku pelajaran. Naskah ini sebagian telah di-up-load di website Depdiknas dalam bentuk buku elektronik (e-book) yang bebas diunduh dan dicetak oleh siapapun juga. Ketersediaan buku elektronik ini diharapkan dapat pula membantu siswa dalam mengakses buku pelajaran secara gratis. Dengan ketersediaan buku yang semakin banyak dan mencakup beragam mata pelajaran, diharapkan kualitas proses belajar mengajar juga menjadi lebih baik. Peningkatan mutu pendidikan menengah pada 2008 dilaksanakan dengan pembangunan 35 pusat sumber belajar SMA, rehabilitasi 1.034 ruang kelas SMA, pembangunan 197 ruang perpustakaan SMA, 411 laboratorium SMK serta penerapan TIK jenjang menengah di 1.576 SMA/ SMK. Selain itu dilakukan pula perintisan 259 SMA bertaraf internasional dan perintisan 100 SMA berbasis keunggulan lokal serta pemberian bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) kepada 1.063 SMA untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran di sekolah/madrasah negeri dan swasta. Melalui Departemen Agama pada 2008 juga dilakukan rehabilitasi 2.500 ruang kelas MA, pembangunan 1.000 ruang laboratorium dan perpustakaan MA, pengembangan 10 MA unggulan berstandar internasional, dan penyediaan bantuan peningkatan mutu madrasah bagi 120 MA. Selain itu, dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan kejuruan memasuki pasar kerja dilakukan perintisan 179 SMK bertaraf in-

ternasional, perintisan 317 SMK berbasis keunggulan lokal, serta pemberian bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) untuk siswa SMK. Pada 2008 BOMM diberikan bagi 2,79 juta siswa SMK. Dalam rangka pelaksanaan standar nasional pendidikan pada tahun ajaran 2007/2008 telah dilakukan ujian nasional (UN) bagi siswa SMP/ MTs dan SMA/MA/SMK dengan penetapan batas nilai kelulusan di atas 5,25. Kenaikan batas nilai kelulusan ini merupakan salah satu upaya untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan. Sedangkan pada jenjang SD/MI mulai tahun ini juga telah dimulai pengadaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional yang diikuti oleh siswa kelas VI SD/MI.

Dengan ketersediaan buku yang semakin banyak dan mencakup beragam mata pelajaran, diharapkan kualitas proses belajar mengajar juga menjadi lebih baik
Pada jenjang pendidikan tinggi, upaya peningkatan mutu pendidikan juga terus dilakukan dengan penataan kelembagaan akreditasi menjadi suatu lembaga yang independen dengan melakukan peningkatan kualitas pengelolaan akreditasi program studi, peningkatan kinerja proses akreditasi, serta peningkatan kesiapan perguruan tinggi yang membutuhkan akreditasi dan tindak lanjut hasil akreditasi. Selain itu dilaksanakan penelitian hibah bersaing, pemberian block grant penelitian pada beberapa perguruan tinggi, serta kerjasama penelitian antar perguruan tinggi, dunia industri, dunia usaha, dan Pemerintah Daerah. Pada 2008 terdapat 9.992 judul produk penelitian di PT yang menghasilkan paten, teknologi tepat guna, rekayasa sosial karya seni dan bahan ajaran oleh perguruan tinggi.

380

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

3.

Meningkatnya Efektivitas dan Esiensi Manajemen Pelayanan Pendidikan

Penerapan sistem manajemen berbasis sekolah (MBS) telah dilakukan untuk memantapkan manajemen pelayanan pendidikan dan memberdayakan sekolah berkaitan dengan proses pembelajaran dan penggunaan sumberdaya yang ada untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Pada 2008, upaya agar MBS dapat diterapkan di seluruh daerah terus dilakukan melalui berbagai kegiatan pelatihan dan sosialisasi. Sementara itu, penerapan paradigma baru pendidikan tinggi terus dimantapkan melalui pemberian kewenangan yang lebih luas kepada perguruan tinggi dalam merencanakan dan mengelola sumberdaya yang dimiliki secara bertanggung-jawab dan terkendali berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam rangka meningkatkan standar dan kualitas tata kelola pendidikan nasional di lingkungan Depdiknas telah diterapkan sertikasi ISO 9001:2000. Diharapkan pada akhir 2009 setidaknya 80 persen dari seluruh unit kerja dapat memperoleh sertikat ISO 9001:2000. Sedangkan untuk bidang perencanaan telah dilakukan upaya pemantapan melalui sistem perencanaan dan koordinasi pelaksanaan program dengan mengacu pada Permendiknas No. 15 Tahun 2007 tentang Sistem Perencanaan Tahunan Departemen

Pendidikan Nasional, serta melalui koordinasi dan sinkronisasi program dengan satuan-satuan kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan memperhatikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Kordinasi Pengendalian Program di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007. Departemen Pendidikan Nasional mulai menerapkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Departemen Pendidikan Nasional secara besar-besaran untuk e-pembelajaran dan e-administrasi, yang ditandai dengan dioperasikannya Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas). Hingga akhir 2007, Jardiknas telah menghubungkan kantor Depdiknas pusat di Jakarta dengan lebih dari 10 ribu sekolah, 82 PTN, 133 PTS, 36 Unit Pendidikan Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) Universitas Terbuka, 33 dinas pendidikan provinsi, 471 dinas pendidikan kabupaten/kota, 30 Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), 12 Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), 5 Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP), 10 Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), 22 balai/kantor bahasa, dan 17 balai teknologi komunikasi. 4.13.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Terdapat 2 faktor utama penyebab kesenjangan akses pendidikan, yaitu: faktor ekonomi dan geogras. Data Statistik Pendidikan 2006 menunjukkan bahwa alasan utama anak tidak bersekolah adalah karena orang tua tidak mampu membiayai sekolah atau mereka harus bekerja. Ketidakmampuan ini diduga berkaitan erat dengan biaya tidak langsung yang harus dikeluarkan oleh orang tua, seperti: peralatan sekolah, seragam, dan biaya transportasi. Meskipun jarak sekolah tidak terlalu jauh, jika kondisi jalan buruk dan/atau tidak ada transportasi umum, orangtua seringkali enggan untuk menyekolahkan anaknya karena biaya transportasi menjadi terlalu mahal terutama bagi keluarga miskin. Kendala berikutnya adalah ma-

Dok : Tempo, Budi Yanto

381

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

salah geogras yang ditunjukkan dengan keterpencilan wilayah. Anak-anak di wilayah terpencil sulit untuk menjangkau fasilitas pendidikan yang umumnya agak jauh dari tempat tinggal mereka. Meskipun di beberapa daerah telah dibangun sekolah berasrama, orangtua terkadang tidak mengizinkan anaknya tinggal di asrama.

4.13.4. Tindak Lanjut 4.13.4.1. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009, maka dengan anggaran pendidikan yang telah mencapai 20 persen dari APBN pada 2009, kebijakan pembangunan pendidikan diupayakan pada: (i) pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (ii) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan; serta (iii) pemantapan good governance. Ketiga pokok kebijakan tersebut dirinci sebagai berikut:

1. Memperluas akses pendidikan dasar bermutu yang lebih merata dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada: penduduk miskin, masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan, daerah tertinggal dan terpencil, daerah konik, wilayah kepulauan, wilayah perbatasan dan masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus melalui penyediaan bantuan operasional sekolah (BOS) termasuk BOS Buku; penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang SD-MI dan SMP-MTs; pembangunan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan termasuk pembangunan SD-SMP dan MI-MTs satu atap; serta pembangunan asrama murid dan mess guru di daerah terpencil; 2. Memperbaiki distribusi guru dan meningkatkan kualitas pendidik berdasarkan kualikasi akademik dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui sertikasi, serta peningkatan kesejahteraan guru; 3. Meningkatkan pemerataan, mutu, dan relevansi pendidikan menengah seluas-luasnya

382

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade

Bagian 4

baik melalui jalur formal maupun nonfomal, yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hal antara lain dicapai melalui penyediaan beasiswa untuk siswa miskin, penyediaan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan, dan pengembangan kerjasama dengan dunia usaha dan industri. Hal ini sejalan dengan upaya meningkatkan relevansi pendidikan menengah dengan kebutuhan pasar kerja. Kegiatan penyediaan beasiswa untuk siswa miskin merupakan bagian dari upaya pengurangan kemiskinan; 4. Meningkatkan pemerataan, mutu, dan relevansi pendidikan tinggi dengan memperkuat otonomi perguruan tinggi dan peningkatan intensitas penelitian yang relevan dengan kebutuhan pembangunan. Hal ini akan diiringi dengan peningkatan pelaksanaan diseminasi hasil penelitian, untuk membangun daya saing nasional yang didukung dengan penyediaan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan; 5. Meningkatkan intensitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional, yang didukung oleh upaya menumbuhkan budaya baca untuk membangun masyarakat membaca (literate society); 6. Meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan untuk secara bertahap mencapai standar nasional pelayanan pendidikan melalui penataan perangkat lunak (software), seperti perbaikan kurikulum, pemantapan sistem penilaian dan pengujian, dan penyempurnaan sistem akreditasi; 7. Meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pendidikan anak usia dini melalui penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan didukung dengan sinkronisasi penyelenggaraan pendidikan dan perawatan anak usia dini yang dilakukan oleh sektor-sektor pembangunan terkait dan peningkatan peran serta masyarakat; 8. Meningkatkan kualitas pengelolaan pelayanan pendidikan sejalan dengan penerap-

an prinsip good governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif, untuk meningkatkan esiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pendidikan. Sejalan dengan itu, anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk satuan pendidikan termasuk untuk rehabilitasi dan penambahan sarana dan prasarana pendidikan diberikan dalam bentuk block grant atau matching grant dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat; serta 9. Meningkatkan peran-serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan baik dalam penyelenggaraan maupun pembiayaan pendidikan, termasuk yang diwadahi dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah. 4.13.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Melalui rangkaian program kerja yang telah dan akan dilaksanakan, maka peningkatan layanan pendidikan pada 2009 diperkirakan dapat dicapai. Secara rinci, perkiraan pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 pada bidang pendidikan adalah: 1. Meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan dasar yang diukur dengan meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) jenjang SD termasuk SDLB/MI/Paket A setara SD menjadi 116,95 persen dan 95,24 persen; meningkatnya APK jenjang SMP/MTs/Paket B setara SMP menjadi 98,09 persen; meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun menjadi 99,57 persen; dan meningkatnya APS penduduk usia 13-15 tahun menjadi 96,64 persen; 2. Meningkatnya partisipasi jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang diukur dengan meningkatnya APK jenjang SMA/ SMK/MA/Paket C setara SMA menjadi 69,34 persen; dan meningkatnya APK jenjang pendidikan tinggi menjadi 18,40 persen;

383

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Menurunnya angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas menjadi 5 persen; 4. Meningkatnya keadilan dan kesetaraan pendidikan antar-kelompok masyarakat, termasuk wilayah maju dan tertinggal, perkotaan dan perdesaan, penduduk kaya dan miskin, serta laki-laki dan perempuan; 5. Meningkatnya standar pendidikan dan standar pelayanan, baik tingkat nasional maupun regional; 6. Meningkatnya proporsi pendidik yang memiliki kualikasi minimum dan sertikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar; 7. Meningkatnya hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan iptek oleh PT serta dapat mengimplementasikannya pada masyarakat; 8. Meningkatnya efektivitas pelaksanaan manajemen berbasis sekolah; 9. Meningkatnya anggaran pendidikan, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD; 10. Meningkatnya efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan. Dengan melihat hasil capaian pada 2008, diperkirakan sasaran RPJMN 2004-2009 sangat besar berpeluang untuk tercapai untuk semua indikator. Akan tetapi, upaya yang lebih besar dan strategis tetap diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Terkait kesenjangan partisipasi pendidikan yang disebabkan faktor geogras dan ekonomi, diperkirakan pada 2009 masih ada anak usia 7-15 tahun belum memperoleh kesempatan untuk yang bersekolah. Hal ini patut diwaspadai untuk dapat ditanggulangi. Dengan demikian, hal tersebut tidak mempengaruhi pencapaian sasaran RPJMN pada 2009.

4.13.5. Penutup Peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan akan meningkatkan produktivitas. Pada gilirannya hal ini akan memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, upaya perbaikan dan peningkatan pendidikan yang konsisten dan berkesinambungan merupakan suatu keharusan. Adapun beberapa kendala yang harus dihadapi untuk mewujudkan sasaran RPJMN 2004-2009 bidang pendidikan, yaitu: 1. Masih terdapat disparitas pendidikan antarkelompok masyarakat, baik antara perkotaan dan perdesaan, kaya dan miskin, serta antardaerah; 2. Belum mencukupinya tenaga pendidik berkualitas dan persebarannya yang belum merata, terutama untuk daerah terpencil dan tertinggal; 3. Terbatasnya sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran; 4. Penyediaan biaya operasional pendidikan belum memadai, baik dari APBN maupun APBD. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas agar target sasaran RPJMN 2004-2009 dalam bidang pendidikan dapat terpenuhi. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah secara bertahap telah membuahkan hasil. Hal ini ditandai dengan meningkatnya: (1) taraf pendidikan, yang tercermin dari peningkatan APS, APK, dan penurunan angka buta aksara, baik untuk anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, maupun perguruan tinggi; (2) kualitas dan relevansi pendidikan; serta (3) efektivitas dan esiensi manajemen pelayanan pendidikan. Dengan berbagai macam capaian di atas, target sasaran akhir 2009 RPJMN dalam bidang

384

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

pendidikan secara relatif dapat dikatakan akan terpenuhi. Akan tetapi, upaya keras harus tetap dilaksanakan. Terutama, yang terkait dengan sinkronisasi program dan pengurangan kesenjangan akses pendidikan antar-kelompok di masyarakat. Terkait kesenjangan pada partisipasi pendidikan, hal ini mengindikasikan bahwa sasaran layanan pendidikan tahun-tahun mendatang perlu lebih

diarahkan pada peningkatan akses layanan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung. Selain itu, pelayanan pendidikan melalui jalur non-formal juga harus ditingkatkan karena akses untuk itu belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh masyarakat. Pelayanan pendidikan non-formal mempunyai fungsi strategis yang tidak dapat dilaksanakan seluruhnya oleh pendidikan formal, yaitu mempersiapkan keterampilan penduduk dalam menghadapi dunia kerja.

Tabel 4.13.1. Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas
No. 1 SASARAN/PROGRAM Meningkatnya taraf pendidikan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya APK PAUD, meningkatnya APM SD/ MI sederajat, meningkatnya APK SD/MI/sederajat menjadi 115,76 persen, APK SMP/MTs/sederajat 98,09 persen, APK SMA/ MA /sederajat 69,34 persen, APK PT 18,0 persen, dan menurunnya angka buta aksara menjadi 5,0 persen. INDIKATOR (SATUAN) KONDISI AWAL 2004/2005 30,09/42,34 CAPAIAN 2006 45,63 2007 48,32 2008 PERKIRAAN 50,62

APK PAUD APM SD/MI/ sederajat APK SD/MI/ sederajat APK SMP/ MTs/sederajat APK SMA APK PT Buta aksara >15 th

persen

persen

94,12/94,30

94,48

94,90

95,14

persen

94,30

110,80

115,51

116,56

persen

81,22/85,22

88,68

92,52

96,18

persen persen persen

48,25/52,20 14,62/15,00 10,21/9,55

56,22 16,70 8,07

60,51 17,25 7,20

64,28 18,29 6,22

persen

30

36,86

43,98

47,09

385

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Meningkatnya kualitas pendidikan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi pendidik yang memiliki kualitas akademik minimum, tersedianya standar pendidikan nasional

proporsi pendidik yang memiliki kualikasi akademik minimum

Dok : Tempo, Fransiskus S

Bagian 4

BAB 4.14
Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas
4.14.1. Pengantar Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, kesehatan menjadi hak setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang (UU). Sehingga, dapat dikatakan bahwa pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 H ayat (1) dan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Kesehatan juga merupakan salah satu komponen utama dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selain pendidikan dan pendapatan per kapita. Dengan demikian, pembangunan kesehatan dapat dipandang sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM), yang pada gilirannya akan mendukung percepatan pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan telah berhasil meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, antara lain dilihat dari beberapa indikator seperti angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi yang terus menurun dan umur harapan hidup (UHH) yang semakin meningkat. Sementara itu, status gizi pada anak balita walaupun mengalami penurunan namun dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung melambat. Berbagai peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat dicapai melalui pelaksanaan sejumlah program pengembangan pelayanan kesehatan sektor publik, di antaranya: melalui pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin, peningkatan akses dan kualitas pelayanan melalui pengembangan pos kesehatan desa, penempatan tenaga medis, serta pemberian informasi dan pengetahuan kesehatan dasar yang meluas. Namun demikian, untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 diperlukan upaya yang lebih keras, intensif, dan berkesinambungan. Upaya-upaya yang lebih keras, intensif, dan berkesinambungan tersebut sangat diperlukan karena masalah dan tantangan baru, baik dalam skala nasional maupun global, yang harus dihadapi oleh dunia kesehatan akan semakin banyak dan kompleks. Dalam skala nasional, tantangan yang ada muncul sebagai akibat dari perubahan lingkungan strategis seperti penerap-an desentralisasi bidang kesehatan. Sementara dalam skala global, Indonesia dituntut untuk dapat mewujudkan sasaran millennium development goals pada 2015.

387

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.14.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai 4.14.2.1. Kondisi Awal 1. Disparitas Status Kesehatan

semakin meningkatnya penduduk usia produktif dan usia lanjut. Kondisi tersebut tentu akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat di masa yang akan datang. 3. Kinerja Pelayanan Kesehatan yang Rendah

Disparitas status kesehatan antar-tingkat sosial ekonomi (sosek), antar-kawasan, dan antarperkotaan-perdesaan masih cukup tinggi pada periode 2004-2005. Angka kematian balita pada golongan termiskin hampir 4 kali lebih tinggi dari golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan ibu melahirkan lebih tinggi di daerah perdesaan, kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan yang rendah. Persentase balita berstatus kurang gizi dan gizi-buruk di daerah perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan. Demikian pula, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan cakupan imunisasi pada golongan miskin jauh lebih rendah dibanding dengan golongan kaya. 2. Beban Ganda Penyakit

Kinerja pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Pada awal RPJMN 2004-2009 kinerja pelayanan kesehatan masih cukup rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti: proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, proporsi bayi yang mendapatkan imunisasi campak, dan proporsi penemuan kasus (case detection rate) TB paru. Pada 2004, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan baru mencapai 71,52 persen dengan variasi antara 43,15 persen di Provinsi Sulawesi Tenggara dan 97,59 persen di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Sementara pada saat yang sama, cakupan imunisasi campak untuk anak umur 12-23 bulan baru mencapai 71,6 persen dengan variasi antara 44,0 persen di Provinsi Banten dan 91,1 persen di Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Sedangkan proporsi penemuan kasus penderita TB paru baru mencapai 29 persen. 4. Perilaku Kurang Mendukung Pola Hidup Bersih dan Sehat

Pada kurun waktu yang sama (2004-2005), Indonesia dihadapkan pada berbagai penyakit menular, seperti: tuberkulosis (TB) paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, dan penyakit kulit. Tidak hanya penyakit menular, masyarakat juga diserang oleh penyakit tidak menular, seperti: penyakit jantung, pembuluh darah, diabetes mellitus, dan kanker.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Selain itu, Indonesia juga menghadapi emerging diseases, seperti: demam berdarah dengue (DBD), human immunodeciency virus/acquired immune deciency syndrome (HIV/AIDS), chikungunya, severe acute respiratory syndrom (SARS). Dengan berbagai kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa telah terjadi transisi epidemiologi di Indonesia yang menyebabkan adanya beban ganda (double burdens) bagi peningkatan taraf kesehatan masyarakat. Hal ini ditambah pula dengan meningkatnya jumlah penduduk serta perubahan struktur umur penduduk yang ditandai dengan

Perilaku pola hidup bersih dan sehat masyarakat secara umum masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kebiasaan merokok, rendahnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, tingginya prevalensi kurang gizi dan lebih-gizi (overnutrition) pada anak dan balita, kecenderungan meningkatnya jumlah penderita HIV dan AIDS dan penderita penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA) serta kematian akibat kecelakaan. Pada 2004, proporsi penduduk dewasa yang merokok sebesar 34,4 persen. Persentase kurang gizi pada balita 28,2 persen dan gizi-lebih menca-

388

Bagian 4

pai 2,8 persen. Penderita AIDS tercatat sebanyak 2.682 orang dan HIV sebanyak 3.368 orang. Sedangkan penderita penyalahgunaan NAPZA tercatat sebanyak 52.500 orang. 5. Rendahnya Kondisi Kesehatan Lingkungan

Kondisi lingkungan dapat tercermin dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar. Pada 2004, persentase rumah tangga (RT) yang mempunyai akses terhadap air yang layak untuk dikonsumsi baru mencapai 50 persen sedangkan akses RT terhadap sanitasi dasar baru mencapai 63,5 persen (Susenas 2002). Faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat tersebut adalah belum dikelolanya kesehatan lingkungan secara lintas-sektoral dalam suatu sistem kesehatan kewilayahan. 6. Rendahnya Kualitas, Pemerataan, dan Akses Pelayanan Kesehatan

Dok : PLN

7.

Keterbatasan dan Kesenjangan Jumlah Tenaga Kesehatan

Indonesia mengalami kekurangan tenaga kesehatan hampir pada semua jenis kebutuhan. Pada 2004, dokter umum diperkirakan baru melayani 7,93 per 100.000 penduduk. Untuk dokter gigi, dokter spesialis, dan bidan, berturut-turut baru melayani 2,43, 3,11, dan 20,57 per 100.000 penduduk. Demikian pula, sarjana kesehatan masyarakat baru melayani 0,5 per 100.000 penduduk. Lebih lanjut, angka untuk apoteker baru mencapai 1,7, untuk ahli gizi baru 6,6, tenaga epidemiologi 0,1, dan 4,7 untuk tenaga sanitasi. Selain itu, banyak Puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh kesenjangan distribusi tenaga kesehatan, dimana sebaran tenaga kesehatan lebih besar atau terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar. 8. Rendahnya Status Kesehatan Penduduk Miskin

Kualitas pelayanan sebagian besar RS pada umumnya memang masih di bawah standar. Pelayanan kesehatan rujukan juga belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Hal ini disebabkan lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi, dan lamanya waktu tunggu. Perlindungan masyarakat di bidang obat dan makanan juga masih rendah.

Angka kematian bayi pada kelompok termiskin adalah 61 per 1.000 kelahiran hidup (prol 2004). Sedangkan pada kelompok terkaya hanya 17 per 1.000 kelahiran hidup (prol 2004). Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada anak dan balita, seperti: ISPA, diare, tetanus neonatorum, dan kesulitan kelahiran, lebih sering terjadi pada penduduk miskin dibandingkan penduduk kaya. Penyakit lain yang banyak diderita penduduk miskin adalah penyakit: TB paru, malaria, dan HIV/AIDS.

389

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Kualitas, pemerataan, dan akses pelayanan kesehatan masih rendah pada 2004. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk yang dapat dilayani oleh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Setiap 100.000 penduduk rata-rata hanya dapat dilayani oleh 3,5 Puskesmas (prol 2004). Selain jumlahnya yang kurang, kualitas, pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di Puskesmas masih menjadi kendala. Pada periode yang sama, baru terdapat 1.246 rumah-sakit (RS) (prol 2004) yang tersebar, terdiri dari 625 RS milik Pemerintah dan 621 RS milik swasta. Sementara, jumlah seluruh tempat tidur yang tersedia di RS sebanyak 127.217 atau rata-rata 61 tempat tidur per 100.000 penduduk.

Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Selain kendala geogras, faktor ekonomi juga menjadi penyebab utama. Data Survei Demogra dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2002-2003) menunjukkan bahwa sekitar 48,7 persen masalah untuk mendapatkan pela-yanan kesehatan adalah: kendala biaya, jarak, dan transportasi. Utilisasi RS masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian pula, persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin baru sekitar 39,1 persen, sedangkan penduduk kaya sudah mencapai 82,3 persen. Mayoritas penduduk miskin juga belum terjangkau oleh sistem asuransi kesehatan (Askes). Askes sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau sekitar 18,74 persen penduduk, yang sebagian besar di antaranya adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota TNI. 4.14.2.2. Sasaran yang Ingin Dicapai Dari gambaran kondisi awal tersebut, maka sasaran pembangunan kesehatan pada akhir 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Upaya untuk mencapainya adalah melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Hal tersebut tercermin dari indikator-indikator sebagai berikut:
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Mayoritas penduduk miskin juga belum terjangkau oleh sistem asuransi kesehatan (Askes)
Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat; (2) Program Lingkungan Sehat; (3) Program Upaya Kesehatan Masyarakat; (4) Program Upaya Kesehatan Perorangan; (5) Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit; (6) Program Perbaikan Gizi Masyarakat; (7) Program Sumberdaya Kesehatan; (8) Program Obat dan Perbekalan Kesehatan; (9) Program Pengawasan Obat dan Makanan; (10) Program Pengembangan Obat Asli Indonesia; (11) Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan; dan (12) Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

4.14.3. Pencapaian 2005-2008 4.14.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Seperti telah dikemukan sebelumnya, sasaran dalam RPJMN 2004-2009 ini meliputi beberapa indikator capaian. Capaian masing-masing sasaran diuraikan sebagai berikut: 1. a. Capaian Sasaran Outcome Usia Harapan Hidup

1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; 2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup; 3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; 4. Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak dan balita dari 25,8 persen menjadi 20,0 persen dari jumlah penduduk. Untuk mencapai sasaran-sasaran di atas dilaksanakan melalui berbagai program yaitu: (1)

Pada periode 2006-2007, usia harapan hidup penduduk Indonesia sudah mencapai 69,4 tahun. Berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kecenderungan usia harapan hidup akan terus meningkat sampai menjadi sekitar 73,7 tahun pada 2025. Berdasarkan data yang sama, usia harapan hidup pada 2008 adalah 70,5 tahun. Atas dasar ini, sasaran usia harapan hidup 70,6 tahun dalam RPJMN pada akhir 2009 diperkirakan akan tercapai. b. Status Kesehatan Ibu dan Anak

390

Status dan kecenderungan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan telah mengalami penurunan

Bagian 4

dari 334 per 100.000 kelahiran hidup pada 1995 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003) dan 228 per 100.000 kelahiran hidup pada 2007. Penurunan ini terutama karena faktor meningkatnya persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, dari 71,52 persen (Susenas 2004) menjadi 72,53 persen (Susenas 2007). Demikian pula, angka kematian bayi menurun dari 35 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 20022003) menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada 2007. Penurunan kematian bayi dan balita ini sangat terkait dengan naiknya cakupan imunisasi. Pada indikator ini, cakupan imunisasi lengkap meningkat dari 51,5 persen pada 2003 menjadi 58,6 persen pada 2007. Penurunan ini juga dicapai melalui pelaksanaan program-program pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin serta pemberian informasi dan pengetahuan kesehatan dasar yang meluas. c. Status Gizi

d.

Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin

Cakupan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dan kurang mampu melalui program Jamkesmas terus meningkat dari 36,4 juta orang pada 2005 menjadi 76,4 juta orang pada 2007. Selain jumlah sasaran, indikator capaian program ini dapat dilihat melalui utilisasi (visit rate) pelayanan; cakupan pemeriksaan kehamilan; serta persalinan, nifas, dan perawatan bayi baru lahir. Pada 2006, jumlah kunjungan rawat jalan tingkat pertama di puskesmas mencapai 109.859; kunjungan rawat jalan tingkat lanjut di Rumah-sakit mencapai 6.918.379; dan pemanfaatan rawat inap tingkat lanjut di ruang rawat inap kelas III Rumah-sakit mencapai 1.580.135. Di samping itu, penduduk miskin yang sudah mendapat pelayanan kasus khusus seperti pertolongan persalinan sebanyak 501.622 orang, hemodialisa sebanyak 5.418 orang, operasi jantung sebanyak 2.950 orang, dan operasi caesar 7.141 orang. Program Jamkesmas akan terus dilanjutkan untuk meningkatkan akses penduduk miskin dan kurang mampu terhadap pelayanan kesehatan dasar. Sejalan dengan itu, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dasar terutama di daerah tertinggal, terpencil, daerah perbatasan, dan daerah bencana terus ditingkatkan.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Melalui rangkaian program pangan dan perbaikan gizi, kondisi gizi balita secara umum mengalami perbaikan. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya prevalensi kurang gizi. Pada 2005, prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 25,8 persen dan menurun menjadi 18,4 persen pada 2007 (Riskesdas 2007). Upaya perbaikan status gizi masyarakat, terutama masyarakat miskin, akan terus dilakukan dan menjadi salah satu prioritas pembangunan kesehatan. Sementara itu, kasus gizi buruk yang dilaporkan dan ditangani dari tahun ke tahun juga terus menurun. Pada 2005, jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan dan ditangani sejumlah 76.178 kasus. Jumlah tersebut dapat diturunkan menjadi 50.106 kasus pada 2006. Pada 2007, kasus gizi buruk terus menurun sebesar 39.080 kasus. Sampai dengan bulan Mei 2008 telah dilaporkan 19.617 kasus gizi buruk pada balita yang ditemukan dan ditangani.

Tantangan utama dalam pelayanan kesehatan penduduk miskin ini adalah walaupun pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin telah tersedia, namun belum semua penduduk miskin memanfaatkan pelayanan ini. Hal tersebut diakibatkan kendala biaya, jarak, dan transportasi untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Tantangan lain adalah berkaitan dengan distribusi kartu miskin yang belum seluruhnya tepat sasaran. Selain itu, ketersediaan obat dalam pelayanan kesehatan dan kelancaran pembayaran klaim juga menjadi tantangan yang harus dihadapi.

391

2.

Capaian Sasaran Program

Berbagai program telah dilakukan dalam suatu kerangka kebijakan untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009. Rangkaian program tersebut adalah sebagai berikut: a. Program Upaya Kesehatan Masyarakat Dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu bagi masyarakat, ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai sangat dibutuhkan. Melalui program ini, kegiatan pokok yang dilaksanakan meliputi: 1. Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya; 2. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya; 3. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial; 4. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar; serta 5. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan. Dalam kerangka program ini, pembangunan dan rehabilitasi puskesmas dan jaringannya (puskesmas pembantu, puskesmas dengan perawatan,
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

puskesmas keliling, serta poliklinik kesehatan desa) terus dilakukan. Tujuannya, untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Sampai dengan akhir 2008, telah tersedia 8.234 Puskesmas, 22.337 Puskesmas Pembantu, 6.631 Puskesmas Keliling Roda Empat, dan 838 Puskesmas Keliling Air. Dalam rangka memperluas jaringan pelayanan kesehatan dasar di tingkat desa, sampai dengan akhir 2008 telah dibangun Poliklinik Kesehatan Desa sebagai salah satu upaya perwujudan Desa Siaga. Sejak 2006, telah dilakukan pula pencanangan pengembangan Desa Siaga dan dikembangkan 12.300 Desa Siaga yang dilengkapi dengan 12.300 Poliklinik Kesehatan Desa. Pada 2008, jumlah Desa Siaga telah meningkat menjadi 43.135 desa. Pada 2009, ditargetkan seluruh desa akan menjadi desa siaga. Di samping itu, kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat juga terus dilaksanakan sebagai upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi, angka kematian ibu, dan meningkatkan status gizi balita. Upaya tersebut antara lain melalui pengembangan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada saat ini, tercatat Posyandu aktif sebanyak 269.202 kegiatan. Angka ini meningkat dibanding 2004 yang sebanyak 206.971 kegiatan. Jumlah balita yang terlayani kegiatan Posyandu juga mengalami peningkatan dari 43 persen menjadi 60 persen selama kurun waktu 2004-2008. Sampai dengan 2008, juga telah dikembangkan 1.000 Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) dan 229 Mushola Sehat. b. Program Upaya Kesehatan Perorangan

Program jaminan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan akses, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat perorangan terutama golongan kurang mampu. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam kerangka program ini antara lain:
Dok : Tempo

392

Bagian 4

1. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di ruang rawat inap kelas III rumah sakit; 2. Pembangunan sarana dan prasarana rumah sakit di daerah tertinggal secara selektif; 3. Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit; 4. Pengadaan obat dan perbekalan rumah sakit; 5. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan; 6. Pengembangan pelayanan dokter keluarga; 7. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan; serta 8. Peningkatan peran serta sektor swasta dalam upaya kesehatan perorangan. Sejak sebelum 2005, Pemerintah telah melakukan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM). Program ini kemudian berganti nama menjadi Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) pada 2005, dan berganti lagi menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada 2008. Program ini merupakan pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin melalui asuransi kesehatan. Melalui program ini seluruh penduduk miskin dapat memperoleh pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya serta ruang rawat inap kelas III Rumah-sakit secara gratis. Tahun-tahun terakhir, upaya pelayanan kesehatan ini terus disempurnakan, mencakup sistem pemantauan dan safe guarding, maupun ketepatan dalam penetapan target sasaran. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan rujukan, berbagai rumah-sakit terus ditingkatkan kemampuannya, baik daya tampung untuk perawatan maupun peningkatan fasilitas pelayanan medik, seperti ruang operasi, unit gawat darurat, ruang isolasi, unit transfusi darah, dan laboratorium kesehatan serta penambahan jumlah tempat tidur. Dari sisi kuantitas, jumlah rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan rujukan terus meningkat walaupun dalam jumlah yang relatif lambat dibandingkan dengan pening-

katan jumlah penduduk. Sampai dengan 2008, telah tersedia 1.319 rumah sakit yang melayani Jamkesmas dengan jumlah tempat tidur yang tersedia mencapai 139.000. Dari jumlah tersebut, 49,4 persen merupakan rumah sakit swasta dan 50,6 persen rumah sakit Pemerintah. Rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk secara nasional pada 2006 adalah 1 tempat tidur per 1.590 penduduk. Rasio ini akan terus ditingkatkan, dengan sasaran 1 tempat tidur per 1.333 penduduk pada 2010 (Renstra 2005-2009, DepKes). Dengan demikian, penambahan fasilitas tempat tidur di rumah sakit perlu menjadi prioritas ke depan terutama dalam upaya mengantisipasi terjadi transisi demogra dan epidemiologi. Sementara itu, jumlah pasien keluarga miskin (gakin) yang mendapatkan pelayanan kesehatan terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, terutama setelah adanya sosialisasi program Jamkesmas. c. Program Sumberdaya Kesehatan

1. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan; 2. Peningkatan keterampilan dan profesionalisme tenaga kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan; 3. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk pelayanan kesehatan di pus-

393

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tenaga kesehatan dinilai masih belum mencukupi dan penyebarannya juga belum merata. Daerahdaerah terpencil dan tertinggal masih kekurangan tenaga kesehatan, terutama dokter dan bidan. Untuk mengatasi masalah tersebut, selama periode 2005-2008 telah dilaksanakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan SDM kesehatan. Upaya ini dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah, mutu, dan penyebaran tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan terutama di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi:

kesmas dan jaringannya, serta rumah sakit kabupaten/kota; 4. Pembinaan tenaga kesehatan termasuk pengembangan karir; dan 5. Penyusunan standar kompetensi dan regulasi profesi kesehatan. Melalui program tersebut, jumlah tenaga kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan terus meningkat. Pada 2005, jumlah dokter spesialis sebanyak 685 orang dan meningkat menjadi 1.025 orang pada 2007. Pada periode yang sama, jumlah dokter dan dokter gigi mencapai 3.905 meningkat dari 2.416. Jumlah bidan desa meningkat menjadi 18.317 dari 15.493. Dengan meningkatnya jumlah tenaga medis, rasio dokter spesialis meningkat dari 1,16 per 100.000 penduduk menjadi 1,68 per 100.000 penduduk. Rasio dokter dan dokter gigi meningkat dari 4,07 per 100.000 penduduk menjadi 6,40 per 100.000 penduduk. Rasio bidan meningkat dari 26,13 per 100.000 penduduk menjadi 30,02 per 100.000. Selain itu, dalam rangka pendayagunaan tenaga kesehatan telah dilaksanakan kebijakan pendayagunaan tenaga kesehatan dalam bentuk PTT (Pegawai Tidak Tetap), utamanya untuk daerah terpencil dan sangat terpencil. Di samping itu untuk menarik minat bagi tenaga dokter dan dokter gigi PTT yang ditugaskan di daerah sangat terpencil, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pemberian insentif penghasilan.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bali. Sementara itu, wilayah lain seperti: Maluku Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat serta sejumlah daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan, umumnya masih kekurangan tenaga kesehatan. Untuk itu, perlu diupayakan distribusi tenaga kesehatan yang lebih merata yang disertai dengan pemberian insentif yang memadai. Hal ini dimaksudkan agar ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya di daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan, menjadi lebih memadai. Permasalahan utama dalam penyediaan tenaga kesehatan terletak pada pendistribusian. Selain itu, perencanaan SDM kesehatan selama ini masih berdasarkan atas kebutuhan Pemerintah dan kurang mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Sehingga, walaupun rasio tenaga kesehatan cenderung terus membaik, namun masih belum memadai seperti yang diharapkan dalam program Indonesia Sehat 2010. d. Program Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Menular

Penyakit dan infeksi menular masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol di Indonesia. Untuk itu, program ini dilaksanakan dengan tujuan mengurangi dampak penyakit menular maupun tidak menular yang terjadi di masyarakat. Dengan program ini diharapkan angka kesakitan, kematian, dan kecacatan akibat penyakit dapat ditekan. Melalui program ini, prioritas penyakit menular yang ditangani adalah demam berdarah dengue, malaria, diare, polio, laria, kusta, tuberkulosis paru, HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Sedangkan prioritas penyakit tidak menular yang ditanggulangi adalah penyakit jantung dan gangguan sirkulasi, diabetes mellitus, dan kanker. Kegiatan pokok yang dilakukan untuk menunjang program ini antara lain: 1. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;

Penyakit dan infeksi menular masih te-tap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol di Indonesia
Secara umum, meskipun jumlah tenaga kesehatan dari tahun ke tahun terus meningkat, namun masih terjadi kesenjangan antar-daerah. Sebagian besar dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, dan bidan berada di Pulau Jawa dan

394

Bagian 4

2. Peningkatan imunisasi; 3. Penemuan dan tatalaksana penderita; 4. Peningkatan pemantauan epidemiologi dan penanggulangan wabah; 5. Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit; serta 6. Pencegahan dan penanggulangan u burung dan penyakit lainnya. Pada 2004, angka kematian penderita demam berdarah dengue (DBD) menurun dari 1,2 persen (prol 2005) menjadi 0,62 persen pada 2007 (Riskesdas 2007). Penurunan angka kematian ini menunjukkan semakin baiknya penatalaksanaan kasus DBD di puskesmas maupun rumah-sakit. Upaya penanggulangan DBD yang telah dilakukan adalah: 1. Pemantauan epidemiologi dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB); 2. Pemberantasan vektor; 3. Penatalaksanaan kasus; 4. Penyuluhan; 5. Kemitraan dalam wadah kelompok kerja nasional (POKJANAL); dan 6. Peningkatan peran serta masyarakat, misal melalui program Juru Pemantau Jentik Nyamuk (Jumantik), Desa Siaga, dan Pemuda Siaga. Kegiatan penanganan dan pencegahan ini dilakukan karena kecenderungan kasus DBD di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang 2004, kasus DBD yang ditemukan mencapai 80.000 dan meningkat menjadi lebih dari 158.000 kasus pada 2007. Tingkat kematian akibat penyakit Malaria menurun dari 92 persen pada 2005 menjadi 20 persen pada 2007. Angka prevalensi malaria berdasarkan Riskesdas 2007 adalah sebesar 2,85 persen. Lebih rinci Riskesdas 2007 menemukan fakta bahwa

terdapat 15 provinsi yang mempunyai prevalensi malaria di atas prevelensi nasional. Provinsi tersebut antara lain: NAD, Sumut, Jambi, Bengkulu, Babel, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Sulteng, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Selanjutnya, untuk penyakit Filariasis prevalensinya adalah 0,11 persen dengan 8 provinsi mempunyai angka di atas prevalensi nasional. Upaya penanggulangan malaria yang dilakukan antara lain dengan pengobatan massal, survei demam, penyemprotan rumah, penyelidikan vektor penyakit, dan tindakan lain seperti pengeringan tempat perindukan. Sementara itu, penemuan kasus Tuberculosis (TB) dapat ditingkatkan dari 54 persen menjadi 75,6 persen pada 2007. Demikian pula, angka penyembuhannya telah mencapai lebih dari 89 persen. Ini artinya, angka penyembuhan nasional telah melebihi target internasional yang sebesar 85 persen. Prevalensi nasional Tuberkulosis berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 0,99 persen. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi tuberkolosis di atas prevalensi nasional. Provinsi tersebut antara lain: NAD, Sumbar, Riau, DKI Jakarta, dan Jateng. Upaya peningkatan penanggulangan TB yang juga telah dilakukan mencakup: 1. Perluasan pelayanan TB di sektor Pemerintah, non-Pemerintah, dan swasta;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2. Perluasan pelayanan pendeteksian dini TB (Directly Observed Treatment Short Course/ DOTS) di rumah-sakit; 3. Implementasi International Standard for TB Care (ISTC) melalui kolaborasi dengan organisasi profesi; 4. Mengikutsertakan dokter umum praktik swasta dalam upaya penanggulangan TB; 5. Kampanye melalui media massa; dan 6. Pelayanan TB berbasis komunitas. Kasus HIV/AIDS terus meningkat cukup signi-

395

kan dari tahun ke tahun. Sampai dengan akhir 2007, dilaporkan jumlah kumulatif kasus AIDS adalah sebanyak 11.141 dan 6.066 kasus HIV (Depkes, 2007). Namun demikian, secara nasional prevalensi HIV di Indonesia masih rendah, yaitu 0,2 persen. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui IDU 49,9 persen, heteroseksual 41,9 persen, dan homoseksual 3,9 persen. Kasus AIDS tertinggi dilaporkan terjadi pada kelompok umur 20-29 tahun (54,05 persen) dan disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,96 persen). Namun demikian tingkat epidemi sangat bervariasi antar-daerah. Bahkan di tanah Papua penularan sudah sampai ke rumah-tangga. Hasil survei terpadu HIV 2006, prevalensi HIV di Tanah Papua adalah sebesar 2,4 persen. Upaya penanganan terus diperbaiki untuk mengurangi risiko penularan penyakit ini. Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang telah dilakukan mencakup: 1. Peningkatan kuantitas dan kualitas pemantauan penyakit infeksi menular seksual; 2. Promosi penggunaan kondom pada kelompok risiko tinggi; 3. Peningkatan peran komisi penanggulangan AIDS; 4. Layanan komprehensif HIV/AIDS oleh 153 RS; 5. Menyelenggarakan 260 layanan konseling dan testing yang tersebar di seluruh daerah;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

rium u burung sudah dapat dilakukan di Indonesia, tanpa harus mengirim specimen ke Hongkong. Dalam rangka pengobatan dini gejala u burung telah diproduksi Tamiu atau oseltamivir di dalam negeri. Untuk sediaan di setiap puskesmas dan rumah-sakit telah disediakan sebanyak 16 juta kapsul. Selanjutnya, persentase balita yang mendapat imunisasi dasar terus meningkat. Pada 2006, persentase cakupan balita yang mendapat imunisasi campak dan DPT sudah mencapai 85 dan 87 persen. Berdasarkan data Riskesdas 2007, persentase nasional imunisasi BCG pada anak usia 12-23 bulan adalah 86,9 persen; polio 3 sebesar 71 persen; DPT 3 sebesar 67,7 persen; dan HB3 sebesar 62,8 persen. Sementara itu, hasil survey yang dilaksanakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang didukung WHO, UNICEF, dan USAID (MMC/IP) pada 2007 mengungkapkan bahwa secara umum akses terhadap pelayanan imunisasi di Indonesia sangat baik. Imunisasi BCG mencapai cakupan 91 persen, DPT 1 87 persen, dan BCG scar 80 persen. Sedangkan anak yang tidak pernah dilakukan imunisasi mencapai 4 persen. Dropout rate untuk DPT 1 sampai DPT 3 masih cukup tinggi yaitu 12 persen. Sedangkan alasan utama tidak imunisasi adalah akibat kurangnya informasi pelayanan imunisasi, maupun ada sebagian ibu yang khawatir terhadap pemberian imunisasi anaknya. Selanjutnya kualitas imunisasi juga ditunjukkan melalui kepemilikan kartu imunisasi (KMS). Pada 2007, jumlah kepemilikan kartu KMS adalah sebesar 52 persen. Pelaksanaan pelayanan imunisasi sebagian besar dilaksanakan melalui posyandu yaitu sebesar 70 persen, sedangkan yang dilayani melalui pusat pelayanan kesehatan dasar (puskesmas) sebesar 10 persen. Peningkatan cakupan imunisasi ini terus dilakukan melalui: 1. Pengembangan program imunisasi dengan vaksin baru secara bertahap;

6. Pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi, melalui screening dan pengobatan; serta 7. Kampanye Save Tanah Papua melalui active case nding. Dalam rangka penanggulangan Flu Burung sampai dengan 2008 telah disiapkan 100 rumah sakit rujukan. Di samping itu telah dikembangkan pula 8 laboratorium diagnostik dan peningkatan kompetensi laboratorium Badan Litbangkes. Dengan demikian, sejak Juli 2006 pemeriksaan laborato-

396

Bagian 4

2. Peningkatan pelayanan imunisasi dan pelayanan kesehatan anak, terutama melalui penguatan sistem kesehatan yang terkait; serta 3. Peningkatan peranan masyarakat dan pelatihan. Dalam rangka mendukung sistem pemantauan, evaluasi, dan informasi kesehatan, telah dikembangkan sistem informasi kesehatan dengan pendekatan evidence based di seluruh Indonesia melalui program riset kesehatan dasar (Riskesdas) selama 2005-2008. Informasi yang diperoleh mencakup gambaran indikator kesehatan, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional. Gambaran indikator kesehatan tersebut meliputi: karakteristik genetika yang berhubungan dengan penyakit tertentu dan parameter status kesehatan sebagai sarana pengembangan biobanking Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga telah berhasil melakukan pengumpulan dan penyimpanan bekuan darah dari 100.000 penduduk Indonesia untuk membantu upaya pengembangan uji diagnosa penyakit tertentu, seperti: dengue, malaria, dan avian inuenza. e. Program Peningkatan Ketersediaan, Keterjangkauan, dan Pengawasan Obat

Dalam rangka peningkatan keterjangkauan masyarakat terhadap obat bagi semua lapisan masyarakat, sejak 2006 Pemerintah secara terus menerus melakukan evaluasi dan penilaian terhadap harga obat, khususnya obat generik. Jumlah item/jenis obat generik yang akan diturunkan terus diupayakan. Pada 2006, lebih dari 157 item/ jenis obat generik telah dapat diturunkan sampai dengan 70 persen, dan disusul dengan penurunan harga 1.418 item/jenis obat esensial generik bermerek antara 10-80 persen. Pada 2007, telah dilakukan rasionalisasi harga obat dari 454 obat generik. Di antara 61 item/jenis obat tersebut mengalami penurunan sampai 10 persen. Selain itu, agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar tentang obat generik dan harganya, maka telah dilakukan pula labelisasi obat generik pada kemasannya dengan mencantumkan harga eceran tertinggi (HET). Sejalan dengan program di atas, sejak awal 2007 Pemerintah telah menetapkan kebijakan Apotek Rakyat dan Obat Serba Seribu. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan akses pelayanaan kefarmasian, menertibkan peredaran obat, memberikan kesempatan kepada apoteker untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian, mengurangi pengangguran, dan menggulirkan ekonomi rakyat. Sampai saat ini telah tersedia 12 jenis obat dan jumlah tersebut akan terus bertambah. Obat-obat tersebut dapat dibeli oleh masyarakat di apotek, toko obat, toko eceran, warung, pos kesehatan desa, dan juga Apotek Rakyat. Dalam penggunaan obat, telah dilakukan upaya penyuluhan dan penyebaran informasi agar obat dapat digunakan secara tepat dan rasional. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat. Upaya penggunaan obat rasional dilaksanakan dengan penerapan konsep obat esensial, penggunaan obat generik, serta promosi/informasi penggunaan obat rasional. Untuk itu, telah disusun acuan penggunaan obat dalam bentuk Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN) untuk seluruh strata pelayanan

1. Peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan; 2. Peningkatan pemerataan obat dan perbekalan kesehatan; 3. Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan; 4. Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk penduduk miskin; dan 5. Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit.

397

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Program ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu, keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan termasuk obat tradisional, perbekalan kesehatan rumah-tangga, dan kosmetika. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi:

kesehatan, formularium di tiap RS, dan formularium Jamkesmas. Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing industri obat dan makanan Indonesia yang berbasis pada keunggulan mutu, pengawasan obat dan makanan (POM) mutlak dilaksanakan. Selama 2006, telah dilaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka perlindungan masyarakat atas risiko produk obat, obat tradisional, makanan, kosmetik, produk komplemen dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan/safety serta khasiat/kemanfaatan. Selain itu, dalam rangka pengawasan produk obat, telah dilakukan pula inspeksi terhadap lebih dari 2.500 pedagang besar farmasi (PBF) dan 8.900 apotek, terkait dengan penerapan cara distribusi obat yang baik (CDOB). Dari hasil audit diketahui sekitar 51,6 persen masih terdapat pelanggaran terhadap ketentuan CDOB. Untuk itu, pelanggaran tersebut ditindaklanjuti dengan pembinaan hingga pemberian sanksi berupa pencabutan izin. Dalam rangka pengawasan mutu obat tradisional, selama 2007 telah dilakukan pengujian mutu. Hasilnya diketahui 19,9 persen sampel tidak memenuhi persyaratan. Selain itu, dalam rangka pengawasan mutu dan keamanan pangan, telah dilakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 6.800 sarana industri yang terdiri dari industri makanan yang telah memperoleh nomor Makanan Dalam Negeri (MD) dan industri rumah tangga (IRT) selama 2005-2007. Hasil pemeriksaan memperlihatkan sebesar 19,8 persen sarana sudah baik dalam penerapan cara-cara produksi pangan yang baik (CPPB), 61,6 persen sarana dinilai cukup, dan 13 persen sarana dinilai masih kurang. Begitu juga, dalam rangka pengawasan mutu produk pangan yang beredar di masyarakat, se-

cara rutin telah dilakukan pengambilan sampel dan pengujian produk pangan pada lebih dari 56.500 sampel selama 2005-2007. Hasil pengujian menunjukkan 4,4 persen produk pangan tidak memenuhi persyaratan (TMS) mutu dan keamanan. Selain itu, telah dilakukan pula sampling khusus dan pengujian laboratorium terhadap sekitar 4.200 sampel garam beryodium yang beredar di masyarakat. Hasil pengujian menunjukkan sekitar 22,5 persen garam beryodium belum memenuhi syarat kadar Kalium Iodat (KIO3). Dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan NAPZA, telah dilakukan pengujian laboratorium terhadap sekitar 7.400 sampel barang bukti yang diduga/dicurigai. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, terbukti lebih dari 3.200 sampel merupakan narkotika dan lebih dari 3.500 sampel terbukti psikotropika. f. Program Perbaikan Gizi Masyarakat

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, bayi dan anak balita. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: (1) Peningkatan pendidikan gizi; (2) Penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya; (3) Penanggulangan gizi lebih; (4) Peningkatan surveilens gizi; dan (5) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam program ini antara lain tersusunnya Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2006-2010 dan Panduan Program Perbaikan Gizi Kabupaten/kota; pemberian makanan tambahan berupa MP-ASI terhadap 401.341 bayi berusia 6-11 bulan, anak 12-23 bulan sebanyak 1.012.062. orang, anak balita sebanyak 1.884.529 anak dan ibu hamil/ibu nifas

398

Bagian 4

Kurang Energi Kronik (KEK) sebanyak 383.673 orang; pemberian makanan tambahan bagi bayi dan anak balita di lokasi pengungsian di Provinsi DI Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara dan korban banjir di Provinsi Sumatera Selatan; penanggulangan GAKY di 272 kecamatan endemik berat (20 kabupaten) dan 197 kecamatan endemik sedang (36 kabupaten/kota); penanggulangan anemia gizi berupa pemberian suplementasi tablet besi kepada anak sekolah, remaja putri dan wanita pekerja melalui gerakan pekerja wanita sehat dan produktif (GPWSP), sedangkan di daerah lainnya suplementasi berlandaskan kepada kemandirian khususnya pada kelompok wanita usia subur (WUS) yang didukung dengan kegiatan kampanye peningkatan konsumsi tablet besi; penanggulangan kekurangan Vitamin A pada 75 persen anak balita, dan pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi kepada 65 persen ibu nifas, serta pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi. g. Program Pengawasan Obat dan Makanan

Peningkatan pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya; (2) Peningkatan pengawasan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA); (3) Peningkatan pengawasan mutu, khasiat dan keamanan produk terapetik/ obat, perbekalan kesehatan rumah tangga, obat tradisional, suplemen makanan dan produk kosmetika; dan (4) Penguatan kapasitas laboratorium pengawasan obat dan makanan. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam program ini antara lain peningkatan pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya; peningkatan pengawasan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA); peningkatan pengawasan mutu, khasiat dan keamanan produk terapetik/ obat, perbekalan kesehatan rumah tangga, obat tradisional, suplemen makanan dan produk kosmetika; dan penguatan kapasitas laboratorium pengawasan obat dan makanan berupa pengujian laboratorium untuk sampel obat, pemeriksaan sarana produksi obat, NAPZA, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen dan makanan dalam rangka GMP sebanyak 16.695 sarana; pelatihan tenaga penyuluh keamanan pangan sebanyak 8.638 orang dan tenaga District Food Inspector; penyusunan standar dan pedoman dalam rangka pengawasan obat dan makanan sebanyak 90 standar dan pedoman; penilaian permohonan pendaftaran produk, obat sebanyak 9.384 berkas, obat tradisional 4.568 berkas, kosmetika 34.399 berkas, produk komplemen sebanyak 2.720 berkas, dan makanan sebanyak 22.649 berkas; penyidikan dan penegakan hukum di bidang pengawasan obat dan makanan sebanyak 6.927 kasus; dan peningkatan pemberdayaan konsumen, sosialisasi dilakukan di 342 kab/kota dan penyebaran info melalui media massa sebanyak 274 kali. 4.14.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Secara umum, tidak terdapat permasalahan dalam mencapai sasaran. Hal ini dikarenakan adanya dukungan dari serangkaian program yang telah berlangsung secara komprehensif dan ber-

Dok : PolaGrade

399

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Program ini ditujukan untuk menjamin terpenuhinya persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat produk terapetik/obat, perbekalan kesehatan rumah tangga, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen dan produk pangan dalam rangka perlindungan konsumen/masyarakat. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi: (1)

kesinambungan. Program-program tersebut secara langsung berdampak pada perbaikan tingkat kesehatan, gizi masyarakat, serta menurunkan tingkat kematian ibu dan anak. Dalam mencapai target sasaran penurunan AKI, pelaksanaan program seperti pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin serta pemberian informasi dan pengetahuan kesehatan dasar yang meluas sudah cukup berhasil. Tingkat perbaikan gizi dan kesehatan ini secara tidak langsung ikut mendukung upaya peningkatan usia harapan hidup. Akan tetapi, kecenderungan peningkatan usia harapan hidup rata-rata, akan menimbulkan konsekuensi yang perlu diantisipasi dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Hal ini diantaranya: 1. Peningkatan tenaga kesehatan dan infrastruktur yang sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk; 2. Peningkatan jumlah dan kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan; serta 3. Peningkatan pelayanan kesehatan. Adapun permasalahan lain yang perlu diantisipasi dalam upaya pencapaian sasaran adalah: 1. Masih banyak golongan masyarakat, terutama penduduk miskin, yang belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan. Kendala utamanya adalah: biaya, jarak, dan transportasi. Hal ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal, meskipun jumlah fasilitas kesehatan terus meningkat dan telah tersedia hampir di seluruh penjuru Indonesia, bahkan hampir di seluruh kabupaten/kota; 2. Penyediaan tenaga kesehatan berbasis kebutuhan masih belum merata. Ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya untuk daerahdaerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan, masih sangat kurang; 3. Perencanaan SDM kesehatan masih kurang

mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Hal ini disebabkan penetapan SDM kesehatan masih berdasarkan atas kebutuhan Pemerintah. Meskipun rasio tenaga kesehatan cenderung terus meningkat, namun peningkatan tersebut masih belum memadai atau memenuhi apa yang diharapkan dalam Indonesia Sehat 2010.

4.14.4. Tindak Lanjut 4.14.4.1. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Dengan capaian pada 2008, maka upaya yang dilakukan untuk mencapai sasaran pembangunan bidang kesehatan pada 2009 meliputi langkahlangkah kebijakan yang ditempuh sebagai berikut: 1. Percepatan penurunan kematian ibu dan anak, kekurangan gizi dan pengendalian penyakit menular. Sasaran ini akan ditempuh melalui: pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak (KIA); pemenuhan kebutuhan dokter spesialis; penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil dan menyusui, bayi dan anak balita; pencegahan, peningkatan pemantauan, deteksi dini, dan pengobatan penyakit menular, dan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat; serta penanggulangan penyakit u burung dan kesiapsiagaan pandemi inuenza; 2. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin, daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Sasaran ini akan ditempuh melalui pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit dan puskesmas dan jaringannya, serta peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar termasuk biaya operasional; 3. Peningkatan pemanfaatan obat, pengawasan obat dan makanan, melalui penyediaan obat,

400

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

pengujian laboratorium sampel obat, obat tradisional, kosmetika, NAPZA, makanan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT), peningkatan sarana dan prasarana termasuk peningkatan kapasitas SDM-POM. 4. Penyediaan tenaga kesehatan di rumah sakit, serta puskesmas dan jaringannya.

Serangkaian program bidang kesehatan yang telah dilakukan selama periode 2005-2008 juga telah berhasil menurunkan angka kematian ibu (AKI) menjadi 228 kasus per 100.000 kelahiran hidup dan menurunkan angka kematian bayi menjadi 34 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Dengan acuan data tersebut, dapat diperkirakan bahwa sasaran RPJMN yang menargetkan penurunan AKI menjadi 226 kasus per 100.000 kelahiran hidup berpeluang besar dapat tercapai. Namun demikian, angka capaian penurunan kematian bayi (34 kasus per 1.000 kelahiran hidup) relatif masih jauh dari sasarannya yang menargetkan 26 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Sehingga, untuk mencapai sasaran RPJMN tidaklah mudah dan membutuhkan upaya yang lebih intensif dan konsisten. Dengan demikian, upaya terkait peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu, termasuk pemberian imunisasi serta perawatan kehamilan/ persalinan patut untuk diprioritaskan. 4.14.5. Penutup Pembangunan kesehatan merupakan investasi masa depan yang berharga bagi peningkatan kualitas SDM. Tahun-tahun awal perumusan RPJMN 2004-2009 terdapat berbagai permasalahan yang menghambat tercapainya pembangunan kesehatan yang baik dan merata bagi masyarakat. Kendala tersebut, meliputi: 1. Masih tingginya tingkat kesenjangan status kesehatan di masyarakat; 2. Kinerja pelayanan fasilitas kesehatan yang masih rendah, terutama keterjangkauan bagi masyarakat miskin; 3. Kekurangmerataan distribusi tenaga kesehatan terutama di daerah tertinggal dan terpencil; 4. Keterjangkauan air bersih serta sanitasi dan perumahan yang layak masih terbatas; serta 5. Perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki status kesehatan masyarakat agar target sasaran pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2004-2009 dapat tercapai
Untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009, kebijakan tersebut akan didukung dengan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, peningkatan lingkungan sehat, peningkatan sumberdaya kesehatan, pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan. 4.14.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Pada periode 2007-2008, upaya pembangunan bidang kesehatan telah meningkatkan usia harapan hidup penduduk Indonesia menjadi 70,5 tahun. Atas dasar ini, sasaran usia harapan hidup 70,6 tahun dalam RPJMN diperkirakan akan tercapai. Demikian pula, capaian program pembangunan kesehatan telah berhasil menurunkan angka prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menjadi sebesar 18,4 persen. Dengan capaian tersebut, sasaran RPJMN 2004-2009 yang sebesar 20 persen telah terlampaui. Meskipun demikian, upaya yang konsisten tetap perlu terus digalakkan untuk dapat memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat secara umum guna mencapai seluruh indikator RPJMN.

401

Terkait dengan hal ini, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki status kesehatan masyarakat agar target sasaran pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2004-2009 dapat tercapai. Upaya-upaya tersebut baik secara langsung maupun tidak telah berdampak pada perbaikan tingkat kesehatan dan gizi masyarakat serta menurunkan tingkat kematian ibu dan anak. Dalam mencapai target sasaran penurunan AKI, program-program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah dianggap sudah cukup berhasil, seperti pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin serta pemberian informasi dan pengetahuan kesehatan dasar yang meluas. Perbaikan tingkat gizi dan kesehatan secara tidak langsung ikut mendukung upaya peningkatan usia harapan hidup. Dengan upaya-upaya tersebut, berbagai

kemajuan telah dicapai hingga 2008. Indikator keberhasilan ini ditandai oleh peningkatan usia harapan hidup, penurunan angka kematian ibu dan balita, serta peningkatan status gizi dan kesehatan masyarakat. Dengan capaian ini, secara umum, tidak terdapat masalah yang berarti dalam memenuhi target sasaran pada akhir 2009 nanti. Namun, patut untuk lebih dicermati adalah terkait indikator penurunan angka kematian bayi yang masih 34 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka sasaran RPJMN adalah 26 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa satu indikator sasaran ini berpeluang kecil untuk tercapai. Hal ini mengingat, selama periode 2003-2007 upaya memperbaiki indikator tersebut hanya dapat menurunkan 1 angka saja, dari 35 menjadi 34 kasus.

402

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Tabel 4.14.1. Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Kesehatan yang Berkualitas
KONDISI 2004/ 2005/ Target 2009 66,2/69,4 CAPAIAN 2006 2007 2008 perkiraan

No.

SASARAN/PROGRAM Sasaran 1 Meningkatnya eningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; Sasaran 2 Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup; Sasaran 3 Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; Sasaran 4. Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak dan balita dari 25,8 persen menjadi 20,0 persen dari jumlah penduduk.

INDIKATOR (SATUAN)

Umur Harapan Hidup

Thn

69,8

70,5

Angka Kematian Bayi

per 1000 kelahiran hidup

35/29,4

34

Angka Kematian Ibu melahirkan

per 100.000 kelahiran hidup persen

307/262

255

228

Prevalenasi kurang gizi

23,6

18,4

Sasaran kesehatan dalam bentuk impact (outcome) sehingga tidak tersedia data tahunan. Catatan: 1. Sasaran bersumber dari hasil proyeksi BPS 2. Sasaran merupakan outcome sehingga sasaran RKP (output tahunan) tidak dapat dirumuskan

403

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Catatan: Keempat sasaran tersebut dicapai melalui: 1. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, 2. Program Lingkungan Sehat, 3. Program Upaya Kesehatan Masyarakat, 4. Program Upaya Kesehatan Perorangan, 5. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit, 6. Program Perbaikan Gizi Masyarakat, 7. Program Sumberdaya Kesehatan, 8. Program Obat dan Perbekalan Kesehatan, 9. Program Pengawasan Obat dan Makanan, 10.Program Pengembangan Obat Asli Indonesia, 11.Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan, 12.Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Dok : Tempo, Wahyu Setiawan

Bagian 4

BAB 4.15
Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial
4.15.1. Pengantar Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian integral dari pembangunan nasional sebagai wujud kewajiban negara dalam menjamin hak dasar warga negaranya. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan sosial sangat dibutuhkan sejalan dengan upaya mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Peningkatan kesejahteraan sosial dapat dilakukan melalui peningkatan dan redistribusi hasil-hasil pembangunan yang diwujudkan dalam kegiatan penanganan masalah-masalah sosial. Program terakhir terutama ditujukan bagi mereka yang belum dapat menikmati hasil pembangunan selama ini. Hingga saat ini, sebagian masyarakat masih hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan serta mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam mengakses berbagai pelayanan sosial dasar. Hal tersebut umumnya diakibatkan oleh faktor perubahan sosial ekonomi seperti uktuasi ekonomi yang berkepanjangan, kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bencana alam, serta masa transisi menuju tatanan ekonomi global. Sehingga, kompleksitas permasalahan sosial yang semakin berkembang tersebut akan memberikan tantangan baru yang semakin berat bagi Pemerintah. Permasalahan sosial yang terus berkembang tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) akibat dari kemiskinan, krisis, konik sosial, bencana alam dan bencana sosial. Landasan dan prinsip pembangunan kesejahteraan sosial menekankan pada solidaritas dan kesetiakawanan. Kedua hal ini bertujuan melindungi kebutuhan publik yang luas dalam menghadapi risiko-risiko sosial-ekonomi yang tidak terduga (seperti sakit, bencana alam, krisis), serta untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas. Yang menjadi target utama pembangunan perlindungan sosial adalah mereka yang termasuk kelompok kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, anak-anak dan wanita korban tindak kekerasan, anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan berbeda (difabel), serta kelompok rentan (vulnerable groups) dan marjinal lainnya.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, kebijakan Pemerintah adalah mengedepankan peran aktif masyarakat, yang diikuti dengan penggalian dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial dan gotong royong. Hal ini berguna bagi kesinambungan perlaksanaan program dan kegiatan pelayanan bagi masyarakat, serta lebih meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan sosial masyarakat.

405

4.15.2 Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai 4.15.2.1. Kondisi Awal Kesejahteraan sosial merupakan masalah krusial dan inti kebijakan pembangunan dalam memerangi kemiskinan dan mencegah masyarakat jatuh miskin. Peningkatan kesejahteraan sosial juga ditujukan untuk mencapai kesetaraan dalam pembangungan Indonesia. RPJMN 2004-2009 menegaskan bahwa peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan upaya untuk mencapai agenda keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tingkat kemiskinan juga dipengaruhi secara signikan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok terutama, beras dan BBM, pada 2005 dan 2008. Terkait harga BBM, kenaikan dilakukan karena diturunkannya subsidi bahan bakar mi-nyak untuk selanjutnya dialihkan untuk Program Perlindungan Sosial antara lain untuk pendanaan Jamkesmas (Jaminan Kesejahteraan Masyarakat). Jamkesnas merupakan kelanjutan program Askeskin. Program ini bertujuan untuk memberikan layanan kesehatan dasar secara gratis kepada kelompok masyarakat miskin sebagai bagian dari tekad Pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015. Dukungan Pemerintah bagi masyarakat miskin juga dilakukan melalui dikeluarkannya keputusan Pemerintah pada Oktober 2004 untuk melaksanakan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN bertujuan untuk mereformasi sistem perlindungan sosial yang ada agar memiliki cakupan yang lebih bersifat universal. 4.15.2.2. Sasaran yang Ingin Dicapai Rangkaian program kegiatan yang merupakan wujud implementasi RPJMN 2004-2009 dimak-

sudkan untuk memenuhi sasaran yang ingin dicapai. Adapun sasaran-sasaran tersebut meliputi: 1. Meningkatnya taraf kehidupan dan kesejahteraan sosial fakir miskin, kelompok rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya; 2. Meningkatnya jangkauan pelayanan terhadap PMKS dan rehabilitasi sosial terutama penyandang cacat, penyandang masalah ketelantaran, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; 3. Menjamin ketersediaan bantuan dasar bagi korban bencana alam dan sosial; 4. Meningkatnya kualitas pelayanan bagi para PMKS, terutama pelayanan bagi mereka yang rentan, miskin, dan tidak produktif lagi; 5. Meningkatnya kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia pelaksana pelayanan kesejahteraan sosial. Terdapat 8 Program pokok yang dilaksanakan meliputi: 1. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial 2. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) Dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya 3. Program Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial 4. Program Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial 5. Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak 6. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial 7. Program Peningkatan Kualitas Penyuluhan Kesejahteraan Sosial 8. Program Bantuan dan Jaminan Kesejahteraan Sosial

406

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

4.15.3. Pencapaian 2005-2008 Pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia yang tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tetapi juga dunia usaha dan masyarakat madani. Sampai dengan pertengahan 2008, Pemerintah telah melaksanakan program-program peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan sasaran RPJMN 2004-2009. Pada 2005, subsidi BBM dikurangi karena lebih menguntungkan rumah-tangga berpendapatan menengah dan tinggi. Pada saat yang sama, Pemerintah berkomitmen untuk tetap memberikan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat. Untuk itu, Pemerintah meluncurkan sejumlah program untuk mengurangi dampak kenaikan biaya hidup bagi masyarakat miskin. Program yang telah dilakukan diantaranya adalah merealokasi anggaran sebesar Rp 17 triliun untuk program kesehatan, pendidikan, dan prasarana perdesaan serta bantuan langsung tunai (BLT) bagi 19,1 juta rumah-tangga miskin mulai 2005 sampai dengan 2006. BPS dan Departemen Sosial mendata jumlah rumah-tangga sangat miskin pada 2008 mencapai 5,8 juta keluarga atau sekitar 27 persen dari jumlah populasi penduduk miskin Indonesia. Selain itu, jumlah masyarakat yang tergolong PMKS mencapai 11 juta jiwa. Pemerintah juga meluncurkan skema percontohan bantuan tunai bersyarat. Program ini ditujukan bagi rumah-tangga sangat miskin guna meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam jangka panjang. Program ini diujicobakan di 7 provinsi pada tahun 2007 kemudian dikembangkan di 13 provinsi pada tahun 2008 dan 2009. Program-program perlindungan sosial di Indonesia dirasakan penting untuk dikaitkan dengan perubahan demogra yang terjadi, seperti ageing population. Ageing population adalah struktur

penduduk dengan dominasi penduduk tua. Pada 2006, proporsi anak-anak (berusia di bawah 18 tahun) di Indonesia mencapai 35,5 persen atau 78,96 juta jiwa. Sedangkan pada saat yang sama, penduduk lansia diproyeksikan sebanyak 16,86 juta jiwa atau sebesar 7,6 persen. Tahun 2010 nanti, jumlah lansia diperkirakan mencapai 8,5 persen dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup (life expectancy). Peningkatan usia harapan hidup merupakan tantangan untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan para lansia agar tidak menjadi beban bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. 4.15.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Beberapa sasaran dibidang perlindungan sosial yang dinyatakan dalam RPJMN 2004-2009 adalah: Sasaran 1: Meningkatnya taraf kehidupan dan kesejahteraan sosial fakir miskin, kelompok rentan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya; Sasaran 2: Meningkatnya jangkauan pelayanan terhadap PMKS dan rehabilitasi sosial terutama penyandang cacat, penyandang masalah ketelantaran, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; Sasaran 3: Menjamin ketersediaan bantuan dasar bagi korban bencana alam dan sosial; Ketiga sasaran di atas dicapai melalui program: 1. Program Bantuan dan Jaminan Kesejahteraan Sosial selama kurun waktu 2005-2008, hasil yang telah dicapai adalah sebagai berikut: Untuk mengatasi kesulitan dalam membiayai pelayanan sosial, telah diluncurkan program subsidi panti sosial. Program ini telah menjangkau sekitar 450.000 klien di lebih dari 8.000 panti sosial di 33 provinsi.

407

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pelayanan Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS) telah diberikan melalui 250 lembaga pelaksana yang menjangkau 24.000 jiwa. Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP) telah diberikan kepada 41.000 KK. Selain itu, mulai tahun 2007 dilaksanakan bantuan sosial untuk keluarga sangat miskin melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dalam bentuk Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). Kegiatan ini menjangkau 387.928 KK di 48 kabupaten di 7 provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur). Sedangkan di tahun 2008, Program Keluarga Harapan (PKH) telah menjangkau 598.693 KK di 70 Kabupaten di 13 Provinsi. Pemerintah telah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap 1 (tahun 2005-2006) sebesar 23 Triliun kepada 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM).

Dok : Tempo, Adri Irianto

jaminan kesejahteraan sosial bagi 10.000 penyandang cacat berat di 13 provinsi dan 5.000 lansia telantar di 15 provinsi (tahun 2008). Sasaran pada program ini adalah masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada orang lain; Kegiatan Unit Pelayanan Teknis (UPT) di 33 provinsi yang mencakup 3 Balai Besar Rehabilitasi Sosial, 34 Panti Sosial, serta 1 Balai Penerbitan Braille. 3. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya dengan hasil: Pemberdayaan KAT telah menjangkau 13.177 KK di 28 provinsi; Pemberdayaan sosial dengan sasaran KUBE produktif telah diberikan kepada 24.604 KK atau 2.447 KUBE di 100 kabupaten/kota pada 33 provinsi. Kegiatan dilakukan dengan memberdayakan Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, dan Organisasi Sosial sebagai pendamping; Mengikutsertakan pekerja mandiri dan sektor informal dalam Program Jaminan Kesejahteraan Sosial melalui Asuransi Kesejahteraan yang keanggotaannya telah mencapai 41.000 KK; Pelibatan Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM) dan relawan sosial serta fasilitasi kegiatan pemberdayaan yang diberikan bagi Orsos/LSM di 330 desa. Sasaran 4: Meningkatnya kualitas pelayanan bagi para PMKS, terutama pelayanan bagi mereka yang

2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial dengan hasil: Pelayanan kesejahteraan sosial telah manjangkau lebih dari 62.200 anak telantar dan 21.700 anak jalanan. Kegiatan ini dilaksanakan melalui panti sosial dan pelayanan berbasis keluarga dan komunitas; Pelayanan sosial kepada lansia selain dilakukan melalui panti wredha juga dilakukan di luar panti. Kegiatan yang dilakukan meliputi pembentukan kelompok usaha bersama (KUBE) dan santunan terhadap lansia telantar dan pengembangan Lembaga Kesejahteraan Lansia (Home Care, Community Care, Day Care); Rehabilitasi sosial telah diberikan kepada 16.375 penyandang cacat, 6.035 anak cacat, 3.350 orang tuna sosial, serta 4.100 korban Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (NAPZA) di 33 provinsi. Kegiatan pelayanan yang telah dilakukan pada program ini bertumpu pada rehabilitasi berbasis masyarakat; Pemberian

408

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

rentan, miskin, dan tidak produktif lagi dicapai melalui program-program dan hasil sebagaimana diuraikan di bawah ini: 1. Program Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial dengan Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program ini adalah sebagai berikut; tersusun dan terserasikannya peraturan perundang-undangan dan kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan perlindungan sosial; terlaksananya beberapa kebijakan dan strategi pelayanan perlindungan sosial, termasuk sistem pendanaan; tersusunnya kebijakan yang berkaitan dengan bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan; terbangunnya model kelembagaan bentuk-bentuk kearifan lokal perlindungan sosial. 2. Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak. Selama 2005-2008 telah dilaksanakan pengkajian dan penguatan masyarakat serta peningkatan keterampilan dan pengembangan kapasitas kelompok gender Warga Binaan Sosial (WBS). 3. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial adalah sebagai berikut: Pemberdayaan Karang Taruna, Selama periode 2005-2008, telah dilaksanakan pemberdayaan terhadap lebih dari 5.000 kelompok Karang Taruna; Pemberdayaan Organisasi Sosial/Lembaga Swadaya Masyarakat - Usaha Kesejahteraan Sosial (LSM-UKS), pada 2005-2008, telah dilaksanakan kegiatan pemberdayaan terhadap lebih dari 6.000 organisasi sosial di 330 desa; Kemitraan Organisasi Profesi Usaha Kesejahteraan Sosial, Selama 2005-2008 telah dilaksanakan sosialisasi dan publikasi, pengkajian kelembagaan organisasi profesi pekerjaan sosial, perizinan praktik pekerjaan sosial, dan sertikasi pekerjaan sosial; Pemberdayaan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Selama periode 2005-2008, telah dilaksanakan kegiatan pemberdayaan terhadap

lebih dari 11.000 PSM di 33 provinsi; Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM), Selama 2005-2008 kegiatan pemberdayaan dan kerjasama dengan dunia usaha telah mencapai lebih dari 450 dunia usaha di lintas sector; Kerjasama Kelembagaan Sosial Masyarakat (KKDU-Lintas Sektor dan Dunia Usaha), Kegiatan ini mulai dilaksanakan pada 2007 dengan kegiatan pembinaan KKDU sebanyak 273 perusahaan. 4. Program Peningkatan Kualitas Penyuluhan Kesejahteraan Sosial Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program ini selama 2005-2008 d penyuluhan sosial melalui: (a) media cetak yang diberikan dalam bentuk majalah, buku, leaet; (b) media elektronik melalui lm, TV, naskah radio yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan daerah. Penyuluhan kesejahteraan sosial terus diupayakan agar tercipta interaksi sosial antar warga sehingga terhindar dari konik, terwujud komunikasi yang akrab serta rasa saling percaya antar warga dalam rangka membangun ketahanan sosial. Sasaran 5: Meningkatnya kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia pelaksana pelayanan kesejahteraan sosial dicapai melalui Program Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial dengan hasil sebagai berikut: Sampai dengan pertengahan tahun 2008, hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program ini adalah sebagai berikut: Terselenggaranya 17 kegiatan pengkajian dan penelitian kesejahteraan sosial sesuai dengan penetapan kinerja yang telah disusun pada awal tahun; Terlaksananya pengkajian, penelitian, pelatihan dan pendidikan manajemen pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk pengkajian untuk peningkatan kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesejahteraan sosial;

409

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pengembangan sistem informasi dan publikasi mengenai pelayanan kesejahteraan sosial bagi PMKS, serta mengintegrasikan data dan informasi mengenai PMKS ke dalam survei dan sensus nasional; Terselenggaranya pembinaan hukum dan perundangan yang berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi aparat; dan Dilaksanakan program pendidikan kedinasan, kediklatan, dan penelitian.

4.15.4. Tindak Lanjut 4.15.4.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan perlindungan dan kesejahteraan sosial, upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 dalam sisa 1 tahun ke depan ini merupakan tindak lanjut dari program kegiatan sebelumnya yang meliputi 8 program pokok sebagai berikut: 1. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial Agar kinerja pelaksanaan program ini sesuai, melalui Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial akan dilaksanakan beberapa tindak lanjut sebagai berikut: 1. Melaksanakan pelatihan untuk peningkatan kualitas SDM petugas pelayanan; 2. Melaksanakan pendataan penyandang cacat (paca) by name, by address di seluruh kabupaten/kota dengan alokasi biaya APBN; 3. Meningkatkan optimalisasi sarana dan prasarana pelayanan dan rehabilitasi sosial paca melalui refungsionalisasi, alokasi dana, renovasi dan pelayanan jarak jauh, serta multi-pelayanan panti. 2. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya Beberapa tindak lanjut yang akan dilaksanakan melalui program ini adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kemampuan SDM bagi tenaga-tenaga potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS) dalam meningkatkan peran dan tanggung-jawab sosialnya melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan;

4.15.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran Pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat miskin ditujukan untuk meningkatkan fungsi sosialnya agar aksesibilitas terhadap kebutuhan sosial dasar dapat diperoleh. Meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan tentunya akan mencegah depresiasi kualitas sumberdaya manusia pada generasi selanjutnya. Meskipun secara bertahap pemberdayaan kelompok miskin dan komunitas adat terpencil telah dilakukan, namun kompleksitas permasalahan masih terus meningkat. Krisis multi-dimensi yang berkepanjangan, konik horisontal yang masih terjadi di beberapa daerah, pengangguran, bencana, dan derasnya arus informasi ikut mendorong terjadinya pergeseran tata nilai yang pada gilirannya akan menggeser budaya lokal. Untuk mengantisipasi dampak negatif dari hal tersebut, rangkaian upaya telah dilakukan. Namun, terbatasnya anggaran menyebabkan penanganan masalah ini tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Selain itu, permasalahan kurangnya koordinasi antar-instansi menyebabkan penanganan masalah perlindungan dan kesejahteraan sosial menjadi kurang optimal. Selain itu, ketidakseimbangan jumlah anggaran serta keterbatasan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia dalam pelaksanaan pekerjaan sosial akan mempengaruhi pencapaian target dan kualitas pelayanan.

410

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

2. Menyusun keterpaduan dan sinergi program dan kegiatan melalui pembagian anggaran antara pusat dan daerah; 3. Mengalokasikan anggaran terutama dalam penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui pengembangan potensi yang dimiliki masyarakat lokal, baik melalui organisasi kemasyarakatan yang ada maupun dengan melibatkan kelompok dunia usaha. 3. Program Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial Agar kinerja pelaksanaan program ini berlangsung secara konsisten dan berksinambungan, maka akan dilaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1. Melindungi masyarakat rentan dan tidak mampu, serta PMKS non-potensial dalam pemenuhan kebutuhan dasar; 2. Meningkatkan dukungan dari masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok/organisasi serta dunia usaha; 3. Meningkatkan kerjasama dengan organisasi sosial kemasyarakatan sebagai sumber potensi kesejahteraan sosial. 4. Program Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Program yang akan dilaksanakan ke depan sebagai tindak lanjut dari program sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan institusi-institusi Pemerintah dalam melakukan penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial; 2. Meningkatkan peran dan kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi pembangunan kesejahteraan sosial; 3. Meningkatkan kompetensi dan kemampuan teknis tenaga kesejahteraan sosial melalui pendidikan teknis dan kedinasan, sosialisasi dan pembekalan serta pemantapan.

5. Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak Sebagai tindak lanjut upaya penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, maka akan dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Meningkatkan peran dan kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan terutama organisasi perempuan; 2. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam upaya pemberdayaan perempuan; 3. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan institusi-institusi Pemerintah dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam proses pembangunan. 6. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial Untuk menindaklanjuti upaya pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial, maka yang akan dilakukan ke depan adalah: 1. Meningkatkan peran, kemampuan dan kinerja karang taruna, Organisasi Sosial (Orsos), dunia usaha dan kelompok sosial lokal dalam rangka penguatan jejaring kerja; 2. Meningkatkan kepekaan, kepedulian, kesetiakawanan sosial dan tanggungjawab sosial masyarakat dan dunia usaha kesejahteraan sosial. 7. Program Peningkatan Kualitas Penyuluhan Kesejahteraan Sosial Sementara, upaya peningkatan kualitas penyuluhan kesejahteraan sosial akan ditindaklanjuti dengan: 1. Mengupayakan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan petugas yang berhubungan dengan penyuluhan; 2. Melaksanakan koordinasi pelaksanaan kegiatan bagian penyuluhan;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

411

3. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana untuk kegiatan penyuluhan pembangunan kesejahteraan sosial; 4. Melaksanakan sosialisasi pembangunan kesejahteraan sosial. 8. Program Bantuan dan Jaminan Kesejahteraan Sosial Untuk meningkatkan kualitas penyuluhan kesejahteraan sosial, maka akan akan dilaksanakan beberapa tindak lanjut sebagai berikut: 1. Pelatihan-pelatihan penanganan kebencanaan, baik untuk pegawai Dinas maupun tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM) yang akan dijadikan petugas pendamping kebencanaan. Hal ini untuk mengatasi rendahnya kualitas SDM dalam penanganan bencana; 2. Mengupayakan dukungan dana baik di tingkat Pusat maupun provinsi sampai Kabupaten/Kota, dalam pengembangan kesiapsiagaan maupun penanggulangan keadaan darurat, terutama dana yang siap digunakan pada saat terjadi bencana yang mudah diakses oleh Departemen Sosial maupun Dinas-Dinas Sosial; 3. Melaksanakan pencegahan bencana melalui kegiatan keserasian sosial yang melibatkan berbagai unsur dan lapisan masyarakat yang ada di grass root (akar rumput). 4.15.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

6.000 penyandang cacat berat mencapai 10 provinsi; 3. Meningkatkan peran TKSM/relawan sosial, karang taruna dan organisasi sosial masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan dan pelayanan kesejahteraan sosial; 4. Pada saat terjadi bencana alam dan sosial, maka diupayakan terjamin ketersediaan bantuan dasar bagi korban bencana alam, bencana sosial dan PMKS lainnya; 5. Pemberian dana bantuan tunai bersyarat melalui Program Keluarga Harapan kepada 720 ribu rumah-tangga sangat miskin (RTSM) di 13 provinsi.

4.15.5. Penutup Secara umum, kondisi kesejahteraan sosial di Indonesia masih memprihatinkan. Jumlah umlah anak terlantar, , balita terlantar, , orang lanjut usia, , jumlah penyandang cacat, , dan fakir miskin masih menjadi persoalan utama dalam bidang kesejahteraan sosial. Rendahnya kualitas penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial dan masih asih lemahnya penanganan korban bencana alam dan sosial merupakan contoh lain dari permasalahan yang masih harus ditangani secara serius oleh negara. Tidak bisa dipungkiri, kesejahteraan sosial merupakan masalah krusial dalam pembangunan Indonesia. Tidak tercapainya kesejahteraan sosial, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar akan berpotensi menimbulkan kesenjangan esenjangan sosial yang semakin meluas. . Hal ini dapat mengakibatkan lemahnya ketahanan sosial masyarakat dan berpeluang mendorong terjadinya konik sosial, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan perbatasan. Sejumlah program kegiatan telah dilakukan untuk membangun kesejahteraan sosial. Hal ini

Sampai akhir 2009, pencapaian sasaran dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut: 1. Sasaran pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS hingga akhir 2009 diharapkan dapat mencakup seluruh PMKS yang berada di seluruh Indonesia; 2. Pemberian bantuan dan jaminan sosial bagi 3.500 lansia telantar di 8 provinsi dan

412

Bagian 4

merupakan wujud kongkrit dari Pemerintah untuk memenuhi tanggung-jawab sosialnya. Secara garis besar, program-program tersebut terangkum dalam 8 program pokok, yaitu: 1. Program pelayanan dan rehabilitas kesejahteraan sosial; 2. Program pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial; 3. Program pengembangan sistem perlindungan sosial, 4. Program penelitian dan pengembangan kesejahteraan; 5. Program penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak; 6. Program pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial;

7. Program peningkatan kualitas penyuluhan kesejahteraan sosial; 8. Program bantuan dan jaminan kesejateraan sosial. Secara keseluruhan, rangkaian program kegiatan RPJMN 2004-2009 telah membuahkan hasil. Meskipun tidak optimal, hasil yang diperoleh memberikan landasan bagi program kegiatan berikutnya untuk melakukan pembangunan kesejahteraan sosial. Begitu juga, hampir seluruh rencana kegiatan yang tercakup dalam RPJMN telah terlaksana. Perolehan hasil sebagaimana yang ditargetkan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Hal ini tentu saja harus diiringi oleh berbagai pembenahan dan pemantapan untuk terciptanya pembangunan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.

413

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

414
Tabel 4.15.1.
Indikator (Satuan) 2006 2007 2008 Pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak - Anak telantar - Anak jalanan - Anak balita telantar pengadaan alat permainan edukatif (APE) kepada 50 TPA di 31 provinsi jiwa jiwa jiwa 15.920 15.290 16.000 6.065 6.565 6.035 11.080 11.760 8.340 pengadaan alat permainan edukatif (APE) kepada 50 TPA di 31 provinsi pengadaan alat permainan edukatif (APE) kepada 50 TPA di 31 provinsi jiwa -/46.800 45.530 21.700 jiwa -/65.392 64.894 62.200 Kondisi Awal 2004/2005 - Anak Nakal - Anak cacat Pelayanan kesejahteraan dan perlindungan sosial bagi lanjut usia Pelayanan dan rehabilitasi sosial - Penyandang cacat - Tunasosial - Korban penyalahgunaan napza jiwa lokasi 93 4.100 Pelayanan dan penyuluhan bagi penyandang HIV/AIDS jiwa 5.330 5.230 4.100 122 jiwa 31.910 28.670 66.580 10.560 8.200 146 Jumlah Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang telah diberdayakan KK 53.283 68.122 64.788

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sasaran dan Pencapaian Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial

No

Sasaran

Meningkatnya aksesibilitas penyandang masalah kesejahteraan sosial terhadap pelayanan sosial dasar

Meningkatnya ketahanan sosial individu, keluarga dan komunitas masyarakat dalam mencegah dan menangani permasalahan kesejahteraan sosial

Lanjutan Tabel 4.15.1.


Indikator (Satuan) 2006 122 6.790 13.818 146 2007 2008 Kondisi Awal 2004/2005 lokasi KK 9.444 93

No Pelayanan dan penyuluhan bagi penyandang HIV/AIDS Bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR) bagi korban bencana alam Bantuan dan pelayanan bagi kelompok rentan berupa asuransi kesehatan sosial (Askesos) KK 39.000 KK BKSP bagi 2.720 jiwa PMKS nonpotensial melalui 136 lembaga pelaksana 387.928 15,8 juta 598.693 19,1 juta 13.400 KK melalui 67 lembaga pelaksanan dan 1.900 jiwa PMKS nonpotensial melalui 95 lembaga pelaksana 20.200 KK melalui 101 lembaga pelaksana dan 1.720 jiwa PMKS nonpotensial melalui 86 lembaga pelaksana

Sasaran

Terjaminnya bantuan sosial dan meningkatnya penanganan korban bencana alam dan sosial

Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) bgi keluarga sangat miskin (jumlah akumulatif) KK RTSM RTS Pembelian beras untuk rumah tangga miskin (raskin)

Meningkatnya kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial Pemberdayaan dan kelembagaan kesejahteraan sosial - Karang Taruna organisasi unit organisasi 1.747 2.407 - Organisasi Sosial/LKMUKS 2.267 1.146 9.750 6.917

Bagian 4

415

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.16
Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga
4.16.1. Pengantar Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pembangunan pemuda dan olahraga berperan penting dalam mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional terutama dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Sehubungan dengan pembangunan keluarga kecil berkualitas, pengendalian kuantitas penduduk merupakan salah satu aspek penting untuk menjamin tercapainya penduduk tumbuh seimbang di masa yang akan datang, yang diwujudkan melalui program Keluarga Berencana (KB). Sementara itu dalam upaya menangani masalah kependudukan, pembangunan administrasi kependudukan sebagai sebuah sistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari administrasi pemerintahan dan administrasi negara dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak individu penduduk. Ketertiban dan keterpaduan administrasi kependudukan akan sangat berguna bagi perumusan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan. Pembangunan pemuda dan olahraga perlu mendapat perhatian karena pemuda yang berkualitas dan berdaya saing akan menjadi aset bangsa dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadi bangsa yang besar dan diperhitungkan dalam persaingan global. Selain itu semangat olahraga perlu dibina dengan baik sehingga melalui olahraga dapat ditanamkan nilai moral, akhlak mulia, sportivitas, dan disiplin serta dapat dibina persatuan dan kesatuan bangsa serta ketahanan nasional yang tangguh. Hal ini sesuai dengan tujuan Keolahragaan Nasional yang tercantum dalam UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

Pembangunan pemuda dan olahraga merupakan hal yang juga perlu mendapat perhatian karena pemuda yang berkualitas dan berdaya saing akan menjadi aset bangsa dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadi bangsa yang besar dan diperhitungkan dalam persaingan global.
4.16.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada awal RPJMN 2004-2009 pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pembangunan pemuda dan olahraga dihadapkan pada permasalahan sebagai berikut: 1. Kependudukan Permasalahan kependudukan yang dihadapi di awal penyusunan RPJMN adalah belum tertatanya kebijakan dan administrasi kependudukan dalam rangka membangun sistem pemerintahan dan pembangunan yang berkelanjutan. Sampai dengan tahun 2004 belum tersusun suatu kebijakan dan strategi pengendalian kuantitas, peEvaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

417

ningkatan kualitas, dan pengarahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, pembangunan kependudukan juga dihadapkan pada permasalahan belum tersedianya perundang-undangan tentang administrasi kependudukan yang akan melengkapi Keppres Nomor 88 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan belum memadainya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya dokumen kependudukan dan tertib administrasi. 2. Keluarga Berencana (KB)

jukkan bahwa rata-rata kelahiran anak per wanita adalah 2,6. c. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja tentang hakhak reproduksi dan kesehatan reproduksi. Hak-hak dan kesehatan reproduksi remaja masih kurang dipahami oleh sebagian besar masyarakat, orang tua, maupun remaja itu sendiri. SDKI 2002-2003 menunjukkan hanya 60,3 persen pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan kontrasepsi. Sedangkan 8,6 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need). d. Rendahnya median usia kawin pertama perempuan Median usia kawin pertama perempuan sebesar 19,2 tahun (SDKI 2002-2003), menunjukkan masih banyak perempuan Indonesia yang menikah pada usia relatif muda. e. Rendahnya partisipasi laki-laki dalam ber-KB Rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi laki-laki, keterbatasan pengetahuan pria akan hak-hak dan kesehatan reproduksi, serta masih kurang diperhatikannya aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi. SDKI 2002-2003 menunjukkan partisipasi pria dalam ber-KB (vasektomi dan kondom) masih sangat rendah yaitu sekitar 1,3 persen. f. Masih kurang maksimalnya akses dan kualitas pelayanan KB Pada 2004, hal ini ditunjukkan dengan kondisi dimana belum semua fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat melayani KB dan kesehatan reproduksi. Selain itu, banyak pasangan usia subur yang menggunakan kontrasepsi yang kurang efektif dan esien untuk jangka panjang.

Pembangunan Keluarga Kecil Berkualitas melalui program KB menghadapi berbagai permasalahan antara lain: a. Tingginya laju pertumbuhan dan jumlah penduduk. Secara absolut pertambahan penduduk Indonesia diperkirakan masih akan meningkat sekitar 3-4 juta per tahun. Hal tersebut disebabkan karena belum terkendalinya angka kelahiran. Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan sensus penduduk 1990 dan 2000 adalah 1,49 persen. Sementara itu, jumlah penduduk tahun 2000 sebesar 206,3 juta. b. Tingginya tingkat kelahiran anak per wanita. Tingkat kelahiran yang masih cukup tinggi tergambar dari Angka Kelahiran Total (TFR). Berdasarkan hasil Survey Demogra dan Kesehatan Indonesia (SDKI 2002-2003) menun-

418

Rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi lakilaki, keterbatasan pengetahuan pria akan hak-hak dan kesehatan reproduksi, serta masih kurang diperhatikannya aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

g. Lemahnya ekonomi dan ketahanan keluarga Tingginya jumlah keluarga pada tingkat Ke-

Bagian 4

luarga Pra-Sejahtera (KPS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) menunjukkan kondisi lemahnya ekonomi dan ketahanan keluarga. Berdasarkan hasil pendataan keluarga tahun 2003, jumlah KPS dan KS I sebesar 15,8 juta keluarga. Kondisi ini mempengaruhi daya beli termasuk kemampuan membeli alat dan obat kontrasepsi. h. Masih lemahnya peran institusi daerah dalam pelaksanaan program KB Hal tersebut ditunjukkan masih banyaknya pemahaman bahwa pembangunan KB belum dipandang sebagai suatu investasi yang mendukung peningkatan kualitas SDM, pembangunan ekonomi, pengendalian pertumbuhan penduduk, dan pemenuhan hak-hak reproduksi penduduk.
Dok : PolaGrade

3.

Pemuda dan Olahraga tingkat kemajuan pembangunan olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34 persen (Sports Development Index/SDI) pada 2004. Indeks ini dihitung berdasarkan angka indeks partisipasi, ruang terbuka, sumberdaya manusia, dan kebugaran. Prestasi olahraga Indonesia yang semakin tertinggal tercermin dari menurunnya prestasi olahraga dalam event-event internasional. Jika pada SEA GAMES XIV dan XV, yaitu pada 1987 dan 1989 Indonesia menjadi juara umum, maka pada SEA GAMES XXII, tahun 2003, prestasi olahraga Indonesia terlampaui oleh Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Berdasarkan kondisi awal di atas, maka sasaran RPJMN 2004-2009 secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Meningkatnya pembangunan kependudukan yang ditandai dengan: a. Meningkatnya keserasian kebijakan kependudukan dalam rangka peningkatan kualitas, pengendalian pertumbuhan dan kuantitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk yang serasi dengan daya dukung dan daya tampung lingkung-

Kondisi awal pembangunan pemuda dan olahraga dihadapkan pada berbagai kondisi, antara lain: a. Rendahnya kualitas pemuda Peran dan partisipasi pemuda dalam pembangunan, terutama yang berkaitan dengan kewirausahaan dan ketenagakerjaan masih rendah. Data Susenas 2003 menunjukkan bahwa sekitar 2 persen jumlah pemuda (penduduk usia 15-35 tahun) tidak pernah sekolah, 16 persen masih bersekolah, dan 82 persen sudah tidak bersekolah lagi. Selain itu, dari keseluruhan jumlah pemuda, sekitar 2,36 persen di antaranya buta huruf. Di bidang ketenagakerjaan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pemuda hanya sebesar 65,9 persen sementara tingkat pengangguran terbuka pemuda mencapai sekitar 19,5 persen. Selain itu juga maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda, seperti kriminalitas, premanisme, pemakaian narkotika, alkohol, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan HIV/AIDS. b. Rendahnya Budaya dan Prestasi Olahraga Indonesia Rendahnya budaya olahraga tercermin dari

419

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

an baik di tingkat nasional maupun daerah; b. Meningkatnya cakupan jumlah kabupaten dan kota dalam pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. 2. Terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga kecil berkualitas yang ditandai dengan: a. Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14 persen per tahun; b. Menurunnya tingkat TFR menjadi 2,2 per wanita; c. Menurunnya persentase pasangan usia subur yang ingin anak ditunda atau tidak ingin anak lagi tapi tidak KB (unmet need) menjadi 6 persen; d. Meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5 persen; e. Meningkatnya penggunaan kontrasepsi secara efektif dan esien; f. Meningkatnya rata-rata usia kawin pertama perempuan menjadi 21 tahun; g. Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak; h. Meningkatnya partisipasi jumlah KPS dan KS I dalam usaha ekonomi produktif; serta i. Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 3. Meningkatnya pembangunan pemuda dan olahraga yang ditandai dengan: a. Meningkatnya keserasian berbagai kebijakan pemuda di tingkat nasional dan daerah; b. Meningkatnya kualitas dan partisipasi pemuda di berbagai bidang pembangunan; c. Meningkatnya keserasian berbagai kebijakan olahraga di tingkat nasional dan daerah; d. Meningkatnya kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat serta prestasi olahraga; serta

e. Meningkatnya dukungan sarana dan prasarana olahraga bagi masyarakat sesuai dengan olahraga unggulan daerah. Sasaran pembangunan kependudukan dicapai melalui: 1) Program Keserasian Kebijakan Kependudukan; dan 2) Program Penataan Administrasi Kependudukan. Sasaran pembangunan keluarga kecil berkualitas dicapai melalui: 1) Program Keluarga Berencana; 2) Program Kesehatan Reproduksi Remaja; 3) Program Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga; dan 4) Program Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas. Sedangkan sasaran pembangunan pemuda dan olahraga dicapai melalui: 1) Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemuda; 2) Program Pembinaan dan Peningkatan Partisipasi Pemuda; 3) Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Olahraga; 4) Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga; dan 5) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olahraga.

4.16.3. Pencapaian 2005-2008 4.16.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 Posisi capaian atas sasaran RPJMN 2004-2009 hingga 2008 dijelaskan pada bagian berikut: Pencapaian Sasaran 1: Meningkatnya Pembangunan Kependudukan Pencapaian sasaran pertama ditunjukkan oleh beberapa indikator capaian, sebagai berikut: a. Keserasian Kebijakan Kependudukan Pencapaian keserasian kebijakan kependudukan dalam rangka peningkatan kualitas, pengendalian pertumbuhan dan kuantitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk yang serasi dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan, baik di tingkat nasional maupun daerah, antara lain (1) terciptanya tertib administrasi kependudukan, (2) disahkannya Peraturan Presiden tentang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; dan (3)

420

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

disempurnakannya kebijakan kependudukan dan advokasi kebijakan perkembangan dan proyeksi kependudukan. b. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan

300 kabupaten/kota; dan (6) penyempurnaan sistem koneksi NIK yang terintegrasi antar-instansi terkait. Pencapaian Sasaran 2: Terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga kecil berkualitas Pencapaian sasaran kedua ini ditunjukkan oleh beberapa indikator capaian, sebagai berikut: a. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Sasaran Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) diharapkan menurun menjadi 1,14 persen per tahun pada 2004-2009. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), LPP Indonesia cenderung menurun (Gambar 4,16.1). Antara tahun 1971-1980 LPP sekitar 2,32 persen dan turun menjadi 1,37 persen pada tahun 1990-2000. Selanjutnya, menurun lagi menjadi 1,23 persen pada tahun 20002005 (berdasarkan hasil Supas 2005). Namun demikian, target pencapai-an LPP sebesar 1,14 persen pada tahun 2009 memerlukan komitmen dan upaya yang besar untuk mencapainya terutama agar program-program yang memberi kontribusi terhadap penurunan LPP dapat dilaksanakan secara konsisten mulai dari pusat sampai ke daerah, seperti program keluarga berencana dan program-program terkait lainnya.

Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) merupakan sistem yang dirancang, dibangun dan dikembangkan untuk mampu menyelenggarakan penerbitan NIK (Nomor Induk Kependudukan) Nasional sebagai nomor identitas tunggal yang ditampilkan pada setiap dokumen kependudukan, dan sebagai kunci akses untuk verikasi data diri maupun identikasi jati diri seseorang yang sangat berguna di dalam mewujudkan esiensi dan efektivitas pelayanan publik. Pencapaian pembangunan sistem informasi administrasi kependudukan diantaranya: (1) dikembangkan dan diterapkannya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan di 440 kabupaten/kota; (2) pengembangan data center kependudukan di pusat; (3) percepatan pembangunan database kependudukan pada 34 kabupaten pemekaran; (4) terfasilitasinya peningkatan SDM pengelola SIAK bagi aparat dan pemutakhiran data pada 457 kabupaten/kota; (5) terlaksananya pemberian bantuan stimulan akte kelahiran gratis pada

2.5 2.32

1.96

1.5 1.37 1.23 1

0.5 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2005

421

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Gambar 4.16.1. Perkembangan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)

(%)

Walaupun laju pertumbuhan penduduk Indonesia cenderung menurun, namun secara absolut jumlahnya tetap besar. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 sekitar 205,8 juta (Sensus 2000), meningkat menjadi 218,9 juta pada 2005 (Supas 2005). Jumlah penduduk tahun 2005 tersebut lebih sedikit sekitar 300 ribu dibandingkan hasil Proyeksi Penduduk berdasarkan Sensus 2000. Namun demikian jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, Gambar 4.16.2 menunjukkan peningkatan jumlah penduduk dari 218,9 juta pada 2005 menjadi 227,8 juta pada 2008, dan 244,8 juta pada 2014 (Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025. Bappenas, BPS, UNFPA).

untuk mengukur TFR adalah SDKI, dimana angka fertilitas digali secara rinci melalui riwayat kelahiran pada kurun waktu 3 tahun sebelum survey. Sementara pada Susenas, Supas dan Sensus Penduduk, pertanyaan yang digunakan mungkin kurang sensitif karena hanya ditelusuri dari jumlah anak lahir hidup dan jumlah anak masih hidup yang dimiliki. Kelebihan Sensus Penduduk adalah jumlah sampelnya sangat banyak sehingga sampling errornya kecil. TFR diharapkan turun menjadi 2,2 kelahiran per wanita pada tahun 2009. Dari berbagai sumber, seperti pada Gambar 4.16.3, TFR secara nasional cenderung menurun. Namun demikian, penu-

Gambar 4.16.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia


250 244.8

240

230 218.9

227.8

220

Juta
210

205.8

200

190

180 SP 2000 Supas 2005 Proy ek s i 2008 Proy ek s i 2014

b.

Angka Kelahiran Total (TFR)

422

TFR di Indonesia dapat diperoleh dari beberapa survei berskala nasional seperti Survey Demogra dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilaksanakan setiap 3-4 tahun sekali; Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan setiap tahun, Sensus Penduduk yang dilaksanakan setiap 10 tahun, dan SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) yang dilaksanakan pada tengah tahun antar 2 Sensus Penduduk. Setiap survey tersebut dilaksanakan dengan metodologi tertentu yang disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan survey, sehingga masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Survey yang dirancang khusus

runan TFR dari hasil SDKI 2002-2003 ke SDKI 2007 tidak setajam penurunan pada periode sebelumnya. Hasil SDKI tahun 2007 menunjukkan TFR nasional 2,6 anak per wanita, sedikit menurun dibandingkan SDKI 2002-2003 sebesar 2,63, dan menurun tajam dibanding hasil SDKI 1997 sebesar 2,78 anak per wanita. Pola yang sama juga terlihat dari hasil Survey Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995 dan 2005 dimana TFR menurun tajam dari 2,8 menjadi 2,28 (terjadi penurunan sebesar 0,52 selama 10 tahun). Bila dilihat TFR berdasarkan hasil Sensus 1990 dan 2000 terlihat penurunan yang tajam yaitu dari 3,32 menjadi 2,33.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Berdasarkan hasil beberapa survey yang telah disebutkan di atas, target TFR sebesar 2,2 pada tahun 2009 mungkin akan tercapai jika menggunakan data hasil Sensus 2000 dan SUPAS 2005. Namun bila menggunakan hasil SDKI dengan pola penurunan yang sama selama periode tahun 1997, 2002 dan 2007, sasaran tersebut agak sulit dicapai.

Ditinjau dari capaian regional, nilai TFR sangat bervariasi antar-provinsi (Gambar 4.16.4). Berdasarkan hasil SDKI 2007, angka TFR bervariasi dari yang terendah di Provinsi DI. Yogyakarta sebesar 1,8 dan yang tertinggi di Provinsi NTT sebesar 4,2. Provinsi yang TFR-nya masih di atas rata-rata nasional adalah Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, NTB, Kalbar,

Gambar 4.16.3. Perkembangan Pencapaian TFR


3.50 3.32 3.00 2.80 2.50 2.33 2.00 2.78 2.63 2.28
Sen sus Sup as Susenas

2.60

1.50

SDKI

1.00

0.50

1990 1995 1997 2000 2002 2004 2005 2007

Gambar 4.16.4. Grak TFR Per Provinsi Berdasarkan Hasil SDKI 2007
N usa T enggara Tim ur M aluk u Sum atera Utara Sulawes i B arat P apua B arat Sum atera B arat Sulawes i T enggara Sulawes i T engah M aluk u Utara Kepulauan Riau N angro e A ceh Darussalam Kalim antan T engah P apua Sulawes i Selatan Sulawes i Utara Kalim antan B arat N usa T enggara B arat J am bi Kalim antan Tim ur Sum atera Selatan Riau N as io nal Go ro ntalo Kalim antan Selatan B anten J awa B arat B angk a B elitung Lampung B engk ulu J awa T engah B ali J awa Tim ur D KI J ak arta D.I. Yo gyak arta 1 .8 2.1 2.1 2.1 2.3 2.4 2.5 2.5 2.6 2.6 2.6 2.6 2.6 2.7 2.7 2.7 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.9 3.0 3.1 3.1 3.2 3.3 3.3 3.4 3.4 3.5 3.8 3.9 4.2

0.5

1 .5

2.5

3.5

4.5

Sasaran RPJM 2,2

Rata-rata Nasional 2,6

423

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan Tengah, NAD, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Maluku, dan NTT. Sedangkan provinsi yang TFR-nya sudah dibawah rata-rata nasional adalah DI. Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung. Terdapat 4 provinsi yang telah mencapai target RPJMN 2004-2009 (TFR kurang dari 2,2) yaitu provinsi DI.Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Timur dan Bali. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya yang lebih besar dari berbagai pihak untuk menurunkan

nilai TFR baik secara nasional maupun regional sehingga disparitas TFR yang tinggi antar daerah dapat diatasi. c. Unmet Need

Pencapaian sasaran unmet need atau pasangan usia subur yang ingin menunda untuk memiliki anak atau tidak ingin anak lagi tapi tidak ber-KB menjadi 6,0 persen pada 2009 masih sulit untuk dicapai. Terjadi peningkatan unmet need dari 8,6 persen menurut SDKI 2002-2003 menjadi 9,1 persen menurut SDKI 2007 (Gambar 4.16.5). Hal ini mungkin disebabkan karena masih kurangnya akses pelayanan KB baik secara kuantitas maupun

Gambar 4.16.5. Unmet need peserta KB berdasarkan SDKI


14 12 10 8 6 4 2 0 1991 1994 1997 2002 2007 12,7 10,6 9,2 8,6 9,1

Sasaran RPJM 6 persen

Gambar 4.16.6 Unmet need per provinsi berdasarkan SDKI 2007


BABEL LAMPUNG KALTENG BALI SULUT BENGKULU KALSEL GORONTALO DIY DKI JAMBI JATENG SUM SEL KALTIM KALBAR JATIM SULTENG BANTEN RIAU JABAR SUMBAR SUM UT SULTRA NTB MALUT SULSEL PAPUA PAPUA NTT SULBAR MALUKU

3,2

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

5,5 5,7 5,8 6,1 6,1 6,2 6,6 6,8 6,9 7 7,4 7,4 7,7 7,7 8,2 8,3 9 9,1 10 11 ,2 1 2,3 1 2,9 1 2,9 13 1 3,9 1 5,8 1 6,6 1 7,4 1 7,4 22,4

412
6 9,1

424

Sasaran RPJMN 6persen

Rata-rata nasional 9,1persen

Bagian 4

kualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan masih kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang KB dan kesehatan reproduksi. Selain itu, angka unmet need bervariasi antarprovinsi. Angka unmet need terendah di Provinsi Bangka Belitung sebesar 3,2 persen dan yang tertinggi di Provinsi Maluku sebesar 22,4 persen. Empat provinsi telah memenuhi target RPJM 20042009, yaitu Provinsi Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Tengah, dan Bali (Gambar 4.14.6). d. Peserta KB Pria

perempuan masih sangat kuat. Di samping itu, dari pihak perempuan sendiri ada yang enggan menerima bila suami mereka ikut KB. Ke depan perlu upaya untuk mendorong lahirnya inovasi baru dalam penyediaan kontrasepsi pria. e. Penggunaan Kontrasepsi secara Efektif dan Esien

Sama halnya dengan target penurunan unmet need, target peserta KB pria sebanyak 4,5 persen pada 2009 juga sulit tercapai mengingat peserta KB pria berdasarkan hasil SDKI 2007 baru mencapai 2,5 persen terhadap total PUS (Gambar 4.16.7.). Kesertaan pria dalam pemakaian kontrasepsi kelihatannya masih sulit ditingkatkan karena berbagai alasan baik dari sisi penyedia pelayanan maupun masyarakat. Dari sisi penyedia pelayanan, ketersedian metode kontrasepsi pria masih sangat terbatas (hanya kondom dan vasektomi). Sedangkan dari sisi masyarakat, budaya patriarki menganggap bahwa KB adalah urusan

Kontrasepsi yang efektif dan esien adalah kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan, tidak memberi efek samping, serta harganya relatif murah. Perkembangan pemakaian kontrasepsi hormonal (terutama suntikan) cenderung meningkat dari 23,6 persen pada SDKI 1991 menjadi 52,0 persen menurut SDKI 2007. Sedangkan pemakaian kontrasepsi yang lebih efektif (MOP, MOW, IUD, dan implant) secara total cenderung menurun dari 39,7 persen menurut SDKI 1991 menjadi 17,8 persen menurut SDKI 2007 (Gambar 4.16.8.). Hal ini mungkin berkaitan dengan pergeseran pelayanan KB melalui sarana Pemerintah ke arah pelayanan oleh swasta sebagai hasil kampanye Lingkaran Biru dan Lingkaran Emas sejak 1980-an sebagai salah satu strategi untuk mendorong peran swasta dalam pelayanan KB.

Gambar 4.16.7. Perkembangan Peserta KB Pria Berdasarkan SDKI


Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009
3.5 (%)

3.0

2.8

2.9 2.5 2.2

2.5 1.9

2.0

1.5

1.0

0.5

1991 1994 1997 2002-03 2007

425

Gambar 4.16.8. Perkembangan Pemakaian Kontrasepsi Berdasarkan Jenis


60 ( %)
52

50
40

46

40
35 30 30 24 22 22 31 27 24 28

37

30

20

18

10
2 2 1 1 2

7 5 5 5 6

Kontap, IUD, Implant SDKI 1991 Pil Suntik an Kondom Tradis ional

SDKI 1994

SDKI 1997

SDKI 2002-03

SDKI 2007

f.

Rata-rata Usia Kawin Pertama Perempuan

Usia kawin pertama (terutama wanita) merupakan salah satu faktor penentu dari TFR, karena semakin cepat seseorang menikah maka semakin panjang jangka waktu melahirkannya. Berdasarkan hasil SDKI terlihat adanya kecenderungan peningkatan median usia kawin pertama wanita pernah kawin yaitu dari 18,6 tahun pada SDKI 1997, menjadi 19,2 tahun pada SDKI 2002-2003 dan 19,8 pada SDKI 2007 (Gambar 4.16.9.).

Melihat pencapaian tersebut tampaknya target RPJMN sebesar 21 tahun pada 2009 bisa tercapai dengan KIE penundaan usia kawin bagi remaja yang lebih intensif lagi, terutama untuk daerah perdesaan karena median usia kawin pertama di perdesaan lebih rendah dari kota yaitu 18,7 tahun dibandingkan dengan 21,3 tahun walaupun terjadi sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2002 dan 2003 yaitu 18,3 tahun dan 20,3 tahun (Gambar 4.16.10.).

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Gambar 4.16.9. Grak Perkembangan Median Usia Kawin Pertama Menurut SDKI
20 19.5 19 18.5 18 1 997 2002-03 2007

19.8 19.2 18.6

426

Bagian 4

Gambar 4.16.10. Grak Median Usia Kawin Pertama Menurut Desa-Kota


Tahun 22 21.5 21 20.5 20 19.5 19 18.5 18 17.5 17 16.5 P e rk o ta a n P e rde s a a n To ta l 18.3 18.7 19.2 20.3 19.8 21.3

SDKI 2002 - 03

SDKI 2007

g.

Partisipasi Keluarga dalam Pembinaan Tumbuh Kembang Anak

h.

Jumlah KPS dan KS I yang aktif dalam Usaha Ekonomi Produktif

Berdasarkan hasil statistik rutin BKKBN selama periode 2005-2007, terlihat ada peningkatan jumlah keluarga yang memiliki anak balita dan aktif melakukan pembinaan tumbuh kembang anak melalui kegiatan kelompok BKB yaitu dari 970.939 pada tahun 2005 menjadi 1.113.721 tahun 2006 dan meningkat lagi menjadi 1.868.906 pada tahun 2007. Pada tahun 2008, terjadi sedikit penurunan menjadi 1.541.884. Apabila dilihat kecenderungannya, sasaran RPJM dapat tercapai karena sejak tahun 2005 pencapaiannya cenderung meningkat. Tetapi apabila dibandingkan dengan jumlah kelompok BKB yang aktif, terlihat penurunan yang cukup bermakna yaitu dari 106.755 pada tahun 2005 turun menjadi 81.635 pada tahun 2006 dan berdasarkan data bulan September 2007 jumlah tersebut turun lagi menjadi 69.573. Hal ini bisa juga disebabkan oleh menurunnya keluarga yang memiliki anak balita dari tahun ke tahun dan atau dipengaruhi oleh persentase laporan yang masuk. Terobosan yang perlu dipikirkan adalah upaya meningkatkan jumlah kelompok BKB serta jumlah keluarga yang aktif mengikuti kegiatan kelompok. Selain itu sistem pelaporan kegiatan dan juga kegiatan-kegiatan lainnya, perlu ditingkatkan cakupannya.

i.

Jumlah Institusi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi

Institusi masyarakat yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi terdiri dari Pembantu Pembina Keluarga

427

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sasaran lain dalam RPJM 2004-2009 Bidang Keluarga Berencana adalah meningkatnya jumlah Keluarga Pra-Sejahtera (KPS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) yang aktif dalam usaha ekonomi produktif. Jumlah KPS dan KS I yang aktif berusaha sejak tahun 2005, cenderung menurun walaupun persentase keluarga pra sejahtera dan KSI yang aktif berusaha angkanya di atas target tahunan. Jumlah anggota kelompok UPPKS dari KPS dan KS 1 yang berusaha pada 2005 adalah 1.771.423 kelompok. Jumlah tersebut menurun menjadi 1.427.724 kelompok pada 2006 dan menurun lagi menjadi 963.244 kelompok pada 2008 (Oktober). Bila sasaran RPJM adalah melihat adanya peningkatan, maka sasar-an tersebut belum tercapai kecuali ada upaya yang lebih kuat untuk melakukan pembinaan secara merata dan meningkatkan kualitas kelompok melalui pendampingan secara intensif yang digerakkan oleh Pembantu Pembina Keluarga Berencana (PLKB).

Gambar 4.16.11. Jumlah Institusi Masyarakat dalam Penyelenggaraan KB dan Kesehatan Reproduksi (2004-2009)
1,2 2 1,7 7 1 1, 19 9 ,3 4 0 1,0 9 0 ,9 7 8 1, 17 9 ,9 4 9 1,0 5 0 ,0 0 1

7 7 3 ,4 6 3

7 4 9 ,5 4 5 6 3 5 ,7 12

7 2 0 ,5 2 6 5 7 8 ,0 6 3 3 7 7 ,8 6 8 3 8 8 ,0 2 7

3 6 5 ,7 9 7

3 6 8 ,0 2 9

3 7 2 ,6 19

8 2 ,5 11

8 1,7 6 6

8 2 ,6 4 7

8 1,5 5 5

8 3 ,9 11

2004

2005

2006 Sub PPKBD

2007

Okt-2008 Total

PPKBD
Sumber: Statistik Rutin BKKBN

K elompok KB

Berencana Desa (PPKBD), Sub Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (Sub-PPKBD), dan Kelompok KB. Grak Jumlah Institusi Masyarakat dalam Penyelenggaraan KB dan Kesehatan Reproduksi (2004-2009) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah (Gambar 4.16.11). Apabila diperhatikan lebih lanjut, maka penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan pada jumlah kelompok KB, yaitu yang semula pada 2007 sebanyak 720.526 turun menjadi 578.063 pada bulan Oktober 2008. Sedangkan untuk jumlah PPKBD dan Sub PPKBD mengalami peningkat-an dibandingkan tahun sebelumnya. Pencapaian Sasaran 3: Meningkatnya Pembangunan Pemuda dan Olahraga
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

b.

Kualitas dan Partisipasi Pemuda

Partisipasi pemuda di bidang pendidikan menunjukkan peningkatan. Data BPS menunjukkan APS penduduk usia 16-18 tahun meningkat dari 53,86 persen pada 2005 menjadi 54,1 pada 2007. Begitu pula untuk APS penduduk usia 19-24 tahun, meningkat dari 12,23 persen pada 2005 menjadi 12,61 pada 2007. Sementara di bidang ketenagakerjaan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pemuda tahun 2005 sebesar 64,34 persen kemudian menurun menjadi 61,78 persen pada 2007. Pencapaian pembangunan pemuda terkait kualitas dan partisipasi pemuda antara lain ditunjukkan oleh: 1. Dilaksanakannya pelatihan kepemimpinan pemuda; 2. Dioptimalkannya peran 1.500 orang sarjana penggerak pembangunan di perdesaan; 3. Dilaksanakannya Bakti Pemuda Antarprovinsi (BPAP)/Pertukaran Pemuda Antarprovinsi (PPAP) bagi 3.104 orang dan antarnegara bagi 191 orang; 4. Dilaksanakannya kegiatan Rumah Olah Mental Pemuda Indonesia (ROMPI) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pemuda jalanan;

Capaian pada sasaran ini ditunjukkan oleh beberapa indikator sebagai berikut: a. Keserasian Kebijakan Pemuda Pencapaian keserasian kebijakan pemuda adalah telah disusunnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepemudaan dan dilaksanakannya percepatan penetapan RUU tentang Kepemudaan menjadi Undang-Undang yang diharapkan dapat menata kepemudaan dalam dimensi pembangunan di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga dapat membangun pemuda menjadi potensi bangsa yang bernilai tinggi.

428

Bagian 4

10. Terselenggaranya pelatihan kewirausahaan pemuda bagi 1.260 orang; 11. Terpilihnya pemuda berprestasi nasional di bidang iptek, kewirausahaan, dan kepeloporan dan terbentuknya kader pembina moral etika pemuda Indonesia; dan 12. Dilaksanakannya kegiatan Kapal Pemuda Nusantara bagi 186 peserta. c. Keserasian Kebijakan Olahraga

Disahkannya UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menjadi tonggak dimulainya era baru dalam pengelolaan keolahragaan di tanah air. Sebagai peraturan pelaksanaannya telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 16/2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, Peraturan Pemerintah No. 17/2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga, serta Peraturan Pemerintah No. 18/2007 tentang Pendanaan Keolahragaan. d.
Dok : Tempo, Arie Basuki

Kesehatan dan Kebugaran Jasmani Masyarakat serta Prestasi Olahraga

5. Diselenggaranya upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza), HIV/AIDS, pornogra, pornoaksi, dan bahaya destruktif lainnya di 33 provinsi; 6. Dilaksanakannya kompetisi antar-Kelompok Usaha Pemuda Produktif (KUPP) di 33 provinsi; 7. Terselenggaranya pendidikan dan pelatihan bela negara bagi 342 peserta perwakilan dari organisasi kepemudaan; 8. Terselenggaranya Ketahanan Nasional Pemuda (TANASDA) bagi 56 peserta; 9. Terselenggaranya Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari (FIPOB) tahun 2006 di Sulawesi Selatan, tahun 2007 di Sumatera Barat, dan tahun 2008 di Sulawesi Utara;

Tingkat kemajuan olahraga Indonesia mulai menunjukkan peningkatan. Hal ini tercermin dari peningkatan nilai SDI yang sebesar 0,22 pada 2005 dan kemudian menjadi 0,28 pada 2006. Indeks ini dihitung berdasarkan angka indeks partisipasi, ruang terbuka, SDM, dan kebugaran.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Selain peningkatan angka SDI, pencapaian lainnya, adalah: 1. Dicapainya prestasi di beberapa cabang olahraga internasional, seperti: bulutangkis, boling, dan angkat besi di Asian Games 2006 di Doha, SEA Games 2007 di Thailand, Para Games 2007 di Thailand, dan di Olimpiade ke 29 tahun 2008 di Beijing; 2. Meningkatnya peringkat Indonesia dari 5 pada SEA Games tahun 2005 di Manila ke peringkat 4 pada SEA Games tahun 2007 di Thailand;

429

3. Terlaksananya keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kegiatan olahraga antarnegara AseanEuropean Meeting (ASEM) di Thailand dan kejuaraan antarpelajar ASEAN juga di Thailand; 4. Terlaksananya Festival Olahraga Tradisional tingkat nasional ke-4 di Kutai Kalimantan Timur yang diikuti oleh 600 peserta dari 30 provinsi; 5. Terselenggaranya pelaksanaan Kejuaraan sepak bola Asia Cup 2007 di Jakarta; 6. Terselenggaranya pemberian penghargaan kepada atlet internasional, nasional serta atlet senior dan pelatih yang berprestasi; 7. Dilaksanakannya pengiriman tim olahragawan ke Cuba; 8. Dilaksanakannya berbagai event olahraga untuk menggairahkan semangat dan budaya olahraga di masyarakat, di antaranya, adalah 1st Asian Beach Games 2008 di Bali, kejuaraan atletik pelajar ASEAN, kejuaraan antar PPLM seluruh Indonesia, kejuaraan bola voli pantai

antarkelompok olahraga prestasi, kegiatan olahraga pariwisata bahari, kegiatan Asian X Treme Sport, kegiatan Pentas Olahraga dan Informasi; serta 9. Terselenggaranya kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII di Kalimantan Timur tahun 2008, Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) VIII dan IX, Pekan Olahraga Pelajar Penyandang Cacat Nasional (POPCANAS) III, Pekan Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (POSPENAS) III dan IV. e. Dukungan Sarana dan Prasarana Olahraga

Pencapaian dalam bentuk dukungan sarana dan prasarana olahraga antara lain: 1. Terbentuknya Sportmart dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemuda dan Olahraga; 2. Dilaksanakannya pembangunan pusat olahraga persahabatan di Cibubur yang multiguna

430

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : PolaGrade

Bagian 4

bekerjasama dengan Pemerintah Korea Selatan; 3. Dilaksanakannya pembangunan Pusat Pembinaan Olahraga Nasional di Sentul dan Karawang serta asrama atlet untuk mendukung Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di 12 provinsi; dan 4. Terselenggaranya bantuan sarana dan prasarana olahraga di Provinsi/Kabupaten/Kota. 4.16.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Berdasarkan sasaran, dan posisi capaian hingga 2008, permasalahan dan tantangan yang dihadapi pembangunan keluaga kecil berkualitas adalah sebagai berikut: 1. Bervariasinya dukungan dan komitmen Pemerintah kabupaten/kota yang diwujudkan dalam kelembagaan, tenaga, anggaran, dan sarana/prasarana untuk mendukung pengelolaan program KB; 2. Terbatasnya akses pelayanan KB termasuk pelayanan gratis bagi kelompok keluarga miskin dan keluarga rentan lainnya; 3. Menurunnya penggerakan dan pemberdayaan masyarakat dalam program KB yang berpengaruh terhadap berkurangnya partisipasi dan kesertaan masyarakat dalam mendukung dan menyelenggarakan pelayanan program di lapangan; 4. Menurunnya penyelenggaraan kegiatan advokasi serta komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) melalui berbagai media dan metode, sehingga masalah perubahan pandangan para pemangku kebijakan (stakeholders) di daerah tentang program KB menjadi salah satu kendala pelaksanaan desentralisasi program KB di daerah; 5. Terbatasnya kemampuan pengelola dan pelaksana program terutama di tingkat lini lapangan yang mengakibatkan melemahnya pembinaan program di lapangan, khususnya

dalam pembinaan jejaring operasional di lapangan; 6. Masih lemahnya ketahanan dan kemampuan keluarga dalam meningkatkan kualitas kehidupan, yang ditandai oleh lemahnya pembinaan keluarga berkaitan dengan tumbuh kembang anak dan rendahnya keluarga akseptor miskin yang dapat mengakses sumber permodalan untuk meningkatkan usaha ekonomi produktif keluarganya; 7. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak-hak reproduksi yang ditandai dengan permasalahan persalinan terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu sering; 8. Rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB; dan 9. Kurangnya pemahaman tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi oleh remaja karena beban pembinaan konselor kesehatan reproduksi remaja (KRR) cukup tinggi. Sementara, sampai saat ini permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pemuda dan olahraga adalah: 1. Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja pemuda; 2. Belum serasinya kebijakan kepemudaan di tingkat nasional dan daerah; 3. Rendahnya kemampuan iptek dan kewirausahaan pemuda; 4. Tingginya tingkat pengangguran terbuka pemuda; 5. Turunnya kualitas moral dan etika, serta maraknya masalah-masalah sosial di kalangan pemuda; seperti kriminalitas, premanisme, NAPZA, dan HIV/AIDS; 6. Rendahnya budaya olahraga masyarakat dan prestasi olahraga di berbagai kejuaraan internasional; 7. Lemahnya kelembagaan dan manajemen pembinaan olahraga;

431

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

8. Belum meratanya pembangunan sarana dan prasarana olahraga di klub, sekolah, dan perguruan tinggi; 9. Lemahnya pola kemitraan dalam pembangunan olahraga; 10. Lemahnya pembinaan, pembibitan, dan kompetisi olahraga di usia pelajar; serta 11. Kurangnya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi olahraga.

mengenai Pencantuman NIK pada Dokumen Identitas lainnya, sebagai tindak lanjut pengesahan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; serta 5. Mengupayakan percepatan pembangunan basis data (database) kependudukan yang akurat dan berbasis NIK nasional di kabupaten/kota dan provinsi guna terwujudnya penyediaan data penduduk. Program ini dilakukan melalui kegiatan: a. Mendorong Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan kegiatan pemutakhiran data penduduk di daerahnya melalui dukungan fasilitasi pembinaan; b. Pendampingan teknis dan monitoring serta supervisi terhadap pelaksanaan kegiatan pemutakhiran data penduduk, terutama pada daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada gubernur dan/atau bupati/walikota; c. Mendorong percepatan penerapan SIAK di daerah kabupaten/kota, dengan melakukan fasilitasi pembinaan, pendampingan teknis, dan supervisi penyelenggaraan implementasi SIAK pada daerah-daerah kabupaten/kota dan provinsi yang telah menerima bantuan stimulan sarana dan prasarana SIAK dari Ditjen Administrasi Kependudukan tahun 2006 dan 2007; d. Mengkonsolidasikan data penduduk daerah kabupaten/kota ke dalam basis data SIAK berbasis NIK nasional; dan e. Mengupayakan dukungan anggaran untuk mendukung pengembangan SIAK serta pemutihan kartu tanda penduduk (KTP) secara nasional. Untuk menghadapi permasalahan/tantangan program KB guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJMN, tindak lanjut yang akan dilaksanakan adalah: 1. Memperkuat jaminan pelayanan KB berkualitas bagi rakyat miskin; 2. Meningkatkan jejaring pelayanan KB Peme-

4.16.4. Tindak Lanjut 4.16.4.1. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Dalam upaya peningkatan kinerja pelayanan dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan di Indonesia telah ditetapkan rencana tindak lanjut ke depan, sebagai berikut: 1. Mengupayakan percepatan penerbitan permendagri untuk dapat dipedomani dalam pelaksanaan teknis pelayanan administrasi kependudukan; 2. Mengupayakan percepatan penerapan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peraturan pelaksanaannya dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan di seluruh daerah melalui kegiatan sosialisasi kepada aparat pelaksana dan masyarakat umum, serta sosialisasi melalui media cetak dan elektronika; 3. Mendorong seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk segera menyesuaikan perda yang mengatur penyelenggaraan administrasi kependudukan dengan mempedomani UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peraturan pelaksanaannya; 4. Mengupayakan percepatan penerbitan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dengan Departemen/Lembaga Nondepartemen

432

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

rintah dan swasta/non-Pemerintah; 3. Meningkatkan pelayanan KIE Program KB; 4. Meningkatkan kualitas pelayanan KB; 5. Membentuk, mengembangkan, mengelola dan meningkatkan pelayanan PIK-KRR; 6. Mengintensifkan advokasi dan KIE kesehatan reproduksi remaja; 7. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam KRR; 8. Mengintensifkan advokasi dan KIE program KB Nasional; 9. Meningkatkan akses informasi dan pelayanan program ketahanan dan pemberdayaan keluarga; 10. Meningkatkan pemberdayaan dan ketahanan keluarga; 11. Meningkatkan kemampuan tenaga dan kader pengelola program ketahanan dan pemberdayaan keluarga; 12. Meningkatkan akses informasi pembinaan program ketahanan dan pemberdayaan keluarga; 13. Melaksanakan pendataan keluarga dan individu dalam keluarga; 14. Melaksanakan penguatan jejaring operasional lini lapangan berbasis masyarakat; 15. Mengembangkan jaringan dan meningkatkan KIE-Advokasi Program KB Nasional; 16. Mengembangkan jaringan komunikasi dan menyediakan data informasi Program KB Nasional; dan 17. Membina keterpaduan program KB di daerah. Dalam menyelesaikan masalah yang hingga saat ini masih dihadapi dalam pembangunan pemuda, tindak lanjut yang diperlukan adalah: 1. Mempercepat penetapan RUU Pembangunan Kepemudaan menjadi UU tentang Kepemudaan; 2. Mewujudkan kebijakan kepemudaan yang se-

rasi di berbagai bidang pembangunan; 3. Meningkatkan akses dan kesempatan pemuda untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja; 4. Meningkatkan kewirausahaan, kepeloporan, kepemimpinan, dan kecakapan hidup pemuda; dan 5. Meningkatkan pembinaan moral dan etika pemuda dan melindungi segenap generasi muda dari masalah penyalahgunaan Napza, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/ AIDS, dan bahaya destruktif yang lain, termasuk pornogra dan pornoaksi. Tindak lanjut yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan olahraga adalah: 1. Melaksanakan sosialisasi UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan peraturan pelaksanaannya serta melakukan sosialisasi budaya olahraga ke berbagai lapisan masyarakat bahwa olahraga adalah untuk kesehatan, kebugaran, kesejahteraan, dan meningkatkan semangat untuk berprestasi; 2. Mewujudkan kebijakan dan manajemen olahraga dalam upaya mewujudkan penataan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga secara terpadu dan berkelanjutan termasuk landasan hukum yang mendukung;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Meningkatkan koordinasi antarpemangku kepentingan baik di tingkat pusat dan daerah dalam rangka mengembangkan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan keolahragaan; 4. Meningkatkan budaya dan prestasi olahraga secara berjenjang termasuk pemanduan bakat, pembibitan dan pengembangan bakat; 5. Memberdayakan dan mengembangkan iptek dan industri dalam pembangunan olahraga; 6. Meningkatkan pemberdayaan organisasi olahraga; dan 7. Meningkatkan kemitraan antara Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam mendu-

433

kung pembangunan sarana dan prasarana olahraga, pemberian penghargaan dan kesejahteraan terhadap pelaku olahraga yang berprestasi. 4.16.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Melalui rangkaian program yang ada, sebagian sasaran RPJMN 2004-2009 telah dapat dicapai, sementara sebagian lagi diperkirakan sulit untuk tercapai. Secara detail perkiraan pencapaian sasarannya adalah sebagai berikut: 1. Sasaran yang diperkirakan tercapai dalam bidang pembangunan kependudukan adalah keserasian kebijakan kependudukan dalam rangka peningkatan kualitas; pengendalian pertumbuhan dan kuantitas; pengarahan mobilitas; dan persebaran penduduk yang serasi dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan baik di tingkat nasional maupun daerah. 2. Sasaran yang diperkirakan belum memenuhi harapan dalam bidang pembangunan kependudukan adalah cakupan jumlah kabupaten dan kota dalam pelaksanaan SIAK pada uji coba biometrik dan penerbitan Kartu Tanda Penduduk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Sasaran yang diperkirakan tercapai dalam bidang pembangunan keluarga kecil berkualitas adalah: a. Menurunnya tingkat TFR menjadi 2,2 per wanita; b. Meningkatnya rata-rata usia kawin pertama perempuan menjadi 21 tahun; c. Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak; serta d. Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. 4. Sasaran yang diperkirakan belum memenuhi harapan dalam bidang pembangunan kelu-

arga kecil berkualitas adalah: a. Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14 persen per tahun; b. Meningkatnya penggunaan kontrasepsi secara efektif dan esien; c. Menurunnya persentase pasangan usia subur yang ingin anak ditunda atau tidak ingin anak lagi tapi tidak KB (unmet need) menjadi 6 persen; d. Meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5 persen; serta e. Meningkatnya jumlah KPS dan KS I yang aktif dalam usaha ekonomi produktif. 5. Sasaran yang diperkirakan tercapai dalam bidang pemuda dan olahraga adalah: a. Meningkatnya koordinasi antarinstansi di tingkat nasional dan daerah, untuk mengembangkan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan kepemudaan; b. Ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Kepemudaan menjadi Undang-Undang; c. Meningkatnya kepeloporan dan kepemimpinan pemuda; d. Meningkatnya kewirausahaan dan kecakapan hidup pemuda; e. Meningkatnya moral dan etika pemuda melalui pemahaman keimanan dan ketaqwaan; penyuluhan untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan pornogra di kalangan pemuda; f. Meningkatnya prestasi olahraga pelajar, mahasiswa, dan masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional; g. Meningkatnya budaya dan prestasi olahraga melalui penyelenggaraan kompetisi olahraga secara teratur, berjenjang, dan berkesinambungan bagi pelajar, mahasiswa dan masyarakat; h. Meningkatnya koordinasi antar pemang-

434

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

ku kepentingan dalam rangka pemberian penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga yang berprestasi; i. Meningkatnya pembinaan, pembibitan, dan kompetisi olahraga di usia pelajar; j. Meningkatnya pemanfaatan Iptek dalam rangka meningkatkan prestasi olahraga; k. Meningkatnya kualitas dan kuantitas SDM olahraga, baik di lingkungan Pemerintah maupun masyarakat, serta di tingkat nasional dan daerah; dan l. Meningkatnya peran dunia usaha, Pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana olahraga yang memenuhi standar di provinsi dan kabupaten/kota, baik untuk olahraga pelajar, olahraga masyarakat, olahraga prestasi maupun industri olahraga.

KB; serta kurangnya pemahaman tentang hakhak dan kesehatan reproduksi oleh remaja; (2) Terbatasnya kuantitas dan kualitas SDM, sarana dan prasarana, serta pendanaan untuk program KB, kepemudaan, dan olahraga; (3) Lemahnya kelembagaan, manajemen, kemitraan dan komitmen penentu kebijakan; (4) Rendahnya partisipasi masyarakat umumnya dan pemuda (remaja) khususnya dalam pembangunan keluarga kecil berkualitas dan olahraga; serta (5) Rendahnya ketahanan dan pemberdayaan keluarga. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga target sasaran RPJMN 2004-2009 diupayakan dapat tercapai. Upaya pemerintah yang dinilai cukup berhasil antara lain ditunjukkan dengan: (1) Menurunnya laju pertumbuhan penduduk; (2) Menurunnya TFR; (3) Meningkatnya rata-rata usia kawin pertama perempuan; (4) Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak; (5) Meningkatnya jumlah institusi masyarakat penyelenggara pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi; (6) Meningkatnya event, partisipasi dan prestasi pemuda dalam olahraga dan pembangunan; serta (7) Disusunnya Undang-Undang tentang Kepemudaan dan Olahraga. Dengan berbagai macam capaian di atas, target indikator utama sasaran akhir 2009 RPJMN secara umum diperkirakan akan dapat tercapai. Akan tetapi upaya koordinasi antar-kelompok atau lembaga yang ada baik Pemerintah, swasta (dunia usaha) maupun masyarakat mutlak diperlukan untuk terus mendukung pelaksanaan program, agar seluruh sasaran yang ditetapkan lebih secara menyeluruh dapat diraih.

4.16.5. Penutup Penduduk merupakan modal utama pembangunan. Namun, jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan cepat disertai dengan kualitas rendah akan memperlambat tercapainya tujuan pembangunan. Berbagai program dilakukan oleh Pemerintah dalam pembangunan SDM, antara lain melalui pengendalian pertumbuhan penduduk, pembangunan keluarga kecil berkualitas, serta pembangunan pemuda dan olahraga. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat banyak kendala, antara lain: (1) Tingginya disparitas TFR (antarprovinsi, kabupaten/kota, serta kelompok kaya dan miskin) dikarenakan, rendahnya rata-rata usia kawin pertama perempuan, tingginya angka unmet need, rendahnya penggunaan alat kontrasepsi secara efektif dan esien, rendahnya partisipasi pria dalam ber-

435

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

436
Indikator (satuan) 2006 2007 2008 Kondisi Awal 2004/2005 Capaian Kebijakan Kependudukan Permendagri Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pemberian Surat Keterangan Pengganti Dokumen Penduduk bagi Pengungsi dan Penduduk Korban Bencana di Daerah; Permendagri Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Mengupayakan segera disahkannya RUU Adminduk Prov 9 17 151 22 Kab/kota 33 440 33 440 Pengesahan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Lahirnya PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 Ditetapkannya Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil sebagai pedoman dalam pelaksanaan teknis pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil di daerah Jumlah kabupaten dan kota dalam pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) SIAK On-line Prov Kab/kota Prov Kab/kota 0 0 9 17 10 22 21 135 10 22 33 418 10 22 33 418 SIAK O-line

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.16.1. Sasaran dan Pencapaian Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas Serta Pemuda dan Olahraga

No

Sasaran

1.

Meningkatnya pembangunan kependudukan, yang ditandai dengan:

(a) Meningkatnya keserasian kebijakan kependudukan dalam rangka peningkatan kualitas, pengendalian pertumbuhan dan kuantitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk yang serasi dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan baik di tingkat nasional maupun daerah

(b) Meningkatnya cakupan jumlah kabupaten dan kota dalam pelaksanaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.

Lanjutan Tabel 4.16.1.


Indikator (satuan) 2006 2007 2008 Kondisi Awal 2004/2005 Capaian

No

Sasaran

Terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga kecil berkualitas, yang ditandai dengan: Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) persen 1,29 1,28 1,27 1,24

(a) Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14 persen per tahun; Total Fertility Rate (TFR) Anak per perempuan 2,23 2,21 2,19 2,6 (SDKI 2007) 2,17

(b) Menurunnya tingkat TFR menjadi 2,2 per wanita; Persentase pasangan usia subur yang ingin anak ditunda atau tidak ingin anak lagi tetapi tidak KB (unmet need) Peserta KB aktif laki-laki persen Peserta KB baru laki-laki Peserta KB baru yang menggunakan IUD dan Kontap persen 6,33 Peserta KB aktif yang menggunakan IUD dan Kontap persen Tahun 20 11,1 Median usia perkawinan pertama perempuan 6,57 persen 2,2 2,5 1,4 1,4 1,6 (2,6 SDKI) 2,7 2,9 (Juni08) 6,31 persen 9,5 8,6 8,8 (9,1 SDKI)

(c) Menurunnya persentase pasangan usia subur yang ingin anak ditunda atau tidak ingin anak lagi tapi tidak KB (unmet need) menjadi 6 persen;

(d) Meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5 persen;

(e) Meningkatnya penggunaan kontrasepsi secara efektif dan esien;

5,72 (s/d Okt 08)

11,0 20 20,8 (SDKI 2007)

Bagian 4

(f) Meningkatnya ratarata usia kawin pertama perempuan menjadi 21 tahun; Jumlah Keluarga yang aktif dalam kegiatan BKB Keluarga luarga

(g) Meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak;

970.939

1.113.721

1.868.906

1.541.884 (s/d Okt 08)

437

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

438
Indikator (satuan) 2006 1.427.724 1.052.734 963.244 (s/d Okt08) 2007 2008 Keluarga 1.777.423 Kondisi Awal 2004/2005 Capaian buah 1.199.340 1.090.978 1.179.949 1.050.001 (s/d Okt 08) Naskah akademis draft RUU Kepemudaan Penyusunan Draft RUU Kepemudaan Penyusunan RUU tentang Kepemudaan Disusunnya RUU tentang Kepemudaan dan dilaksanakannya percepatan penetapan RUU menjadi UU Kepemudaan persen persen 53,86 12,23 53,92 11,38 54,1 12,61 persen persen persen 63,34 54,34 73,29 RUU Keolahragaan dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional 62,47 52,47 73,60 UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Sosialisasinya 61,78 52,28 72,03 Sosialisasi UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan pelaksananya: PP No. 16, 17, dan 18 Tahun 2007 0,22 0,28 Sosialisasi UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan pelaksananya: PP No. 16, 17, dan 18 Tahun 2007

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.16.1.

No

Sasaran

(h) Meningkatnya partisipasi jumlah KPS dan KS I dalam usaha ekonomi produktif;

Jumlah keluarga Pra-S dan KS-1 anggota Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang berusaha

(i) Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.

Jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi (PPKBD, Sub PPKBD dan kelompok KB)

3.

Meningkatnya pembangunan pemuda dan olahraga, yang ditandai dengan:

(a) Meningkatnya keserasian berbagai kebijakan pemuda di tingkat nasional dan daerah

Kebijakan Pemuda

(b) Meningkatnya kualitas dan partisipasi pemuda di berbagai bidang pembangunan;

Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pemuda APS 16-18th APS 19-24th

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Pemuda TPAK 15-24th TPAK 25-34th

(c) Meningkatnya keserasian berbagai kebijakan olahraga di tingkat nasional dan daerah;

Kebijakan Olahraga

(d) Meningkatnya kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat serta prestasi olahraga;

Sport Development Index

Lanjutan Tabel 4.16.1.


Indikator (satuan) 2006 Perawatan dan pemeliharaan asrama PPLP di 24 provinsi, pembangunan asrama baru diklat pembibitan olah raga di Jambi; Renovasi / pembangunan prasarana dan sarana olahraga di 10 kabupaten/ kota; Peralatan olahraga di 33 PPLP dan 15 PPLM, peralatan olah raga untuk 76 pondok pesantren; Peralatan olah raga untuk 5 wilayah penyelenggara pekan olah raga pelajar tingkat wilayah (POPWIL) Kemitraan antara Pemerintah dan masyarakat untuk pembangunan sarana dan prasarana olah raga di provinsi, dan kabupaten/kota untuk olah raga pendidikan, olah raga rekreasi, dan olah raga prestasi. Terbentuknya Sportmart dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemuda dan Olahraga; pembangunan pusat olahraga persahabatan di Cibubur, Pusat Pembinaan Olahraga Nasional di Sentul dan Karawang serta asrama atlet untuk mendukung Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di 12 provinsi. 2007 2008 Pembangunan Pusat Pembinaan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di DI Yogyakarta, Sumut, Aceh, Bengkulu, Sulut, Sulteng, NTT, NTB, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Bali Kondisi Awal 2004/2005 Capaian

No

Sasaran

(e) Meningkatnya dukungan sarana dan prasarana olahraga bagi masyarakat sesuai dengan olahraga unggulan daerah.

Sarana dan Prasarana Olahraga

Bagian 4

Sasaran dalam Bab mengenai Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Kecil Berkualitas serta Pemuda dan Olahraga dicapai melalui sebelas program, yaitu: 1. Program Keserasian Kebijakan Kependudukan 2. Program Penataan Administrasi Kependudukan 3. Program Keluarga Berencana 4. Program Kesehatan Reproduksi Remaja 5. Program Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 6. Program Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas 7. Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemuda 8. Program Pembinaan dan Peningkatan Partisipasi Pemuda 9. Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Olahraga 10. Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga 11. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Olahraga

439

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN P3B JB

Bagian 4

BAB 4.17
Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama
4.17.1. Pengantar Semua warga negara memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut keyakinannya masing-masing yang dijamin oleh UUD 1945. Dengan jaminan ini tersirat bahwa Pemerintah berkewajiban melaksanakan pembangunan bidang agama melalui pemenuhan hak dasar rakyat, yaitu hak memeluk agama dan beribadat menurut keyakinan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kehidupan beragama melalui pembangunan bidang agama dipandang sebagai suatu investasi penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, kesejahteraan tidak hanya mencakup dimensi lahir dan batin saja, tetapi juga kesejahteraan material dan spiritual. Lebih dari itu, agama juga menghendaki agar pemeluknya menjalani kehidupan dengan aman dan damai. Sejalan dengan realitas kehidupan beragama yang berkembang di masyarakat, pengembangan nilai-nilai keagamaan dan peningkatan kerukunan umat beragama menjadi sasaran utama dalam pembangunan bidang agama. Pembangunan bidang agama dapat ditempuh melalui beberapa cara. Diantaranya adalah, pertama, peningkatan kualitas pelayanan serta pemahaman pada agama dan kehidupan beragama. Kedua, peningkatan dimensi kerukunan hidup beragama yang mendukung sikap saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat. Pembangunan dimensi pemahaman pada agama penting dilakukan agar individu tidak menyimpang, akan tetapi semakin dekat dengan nilai, norma, dan ajaran agama. Sedangkan pembangunan dimensi kerukunan beragama juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kemajemukan sosial. Dengan demikian, suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis akan tercipta. Pada cakupan yang lebih luas, hal tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang aman, damai dan sejahtera.

4.17.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai 4.17.2.1. Kondisi Awal 1. Kualitas Pendidikan Agama dan Beragama, serta Kehidupan Beragama yang Belum Memadai
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada periode 2004-2005, pembangunan agama di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kualitas kehidupan beragama yang belum memadai. Hal ini tercermin pada perilaku sosial setiap pemeluknya. Ajaran agama yang merupakan sistem nilai seharusnya dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun faktanya, masyarakat masih sering melakukan perilaku negatif yang menyimpang dari nilai dan norma agama. Misalnya, perilaku asusila, praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), penyalahgunaan narkoba, pornogra, pornoaksi, dan berbagai perilaku yang melanggar nilai-nilai agama lainnya. Berbagai indikasi di atas menye-

441

babkan pendidikan agama dan keagamaan belum dapat dilaksanakan secara optimal bagi pengembangan pribadi, watak, dan akhlak mulia peserta didik, sehingga kualitas kehidupan beragama masih perlu terus ditingkatkan. Faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan tersebut diantaranya adalah pendidikan agama belum sepenuhnya diarahkan pada latihan pengamalan secara nyata, pembentukan sikap, maupun perilaku untuk berakhlak mulia. Padahal, pendidikan agama tidak hanya dilakukan oleh lembaga pendidikan formal saja, melainkan juga dilakukan oleh keluarga, lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan tradisional keagamaan, dan tempat-tempat ibadah. Permasalahan pendidikan agama dalam keluarga disebabkan oleh faktor rentannya lembaga keluarga yang dapat diamati dalam kasus-kasus perceraian yang masih tinggi dan kehidupan keluarga yang tidak harmonis. Kondisi demikian memperlihatkan adanya kesenjangan antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalannya. Sehingga hal ini menyebabkan keluarga yang merupakan basis pembinaan individu pada tingkat dasar belum berperan secara optimal. Sedangkan permasalahan pendidikan agama yang terjadi pada lembaga pendidikan formal ternyata tidak hanya ditemukan pada sekolah umum saja, namun juga pada sekolah keagamaan. Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan belum sepenuhnya berjalan efektif. Faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan tersebut, diantaranya adalah muatan kurikulum yang kurang komprehensif atau lebih menitikberatkan pada masalah-masalah ritual keagamaan. Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana, lemahnya penguasaan materi dan metodologi pengajaran, belum memadainya jumlah dan mutu tenaga pendidikan, serta belum optimalnya kegiatan belajar mengajar juga menjadi faktor pemicu munculnya permasalahan pendidikan agama pada lembaga formal tersebut.

2.

Adanya Kesenjangan Fasilitas Keagamaan Antara Perkotaan dan Daerah Terpencil

Pada 2004-2005, kondisi pelayanan kehidupan beragama juga dinilai belum memadai. Hal ini terlihat dari masih terjadinya kesenjangan fasilitas keagamaan antara perkotaan dan daerah terpencil. Sarana dan prasarana ibadah di daerah terpencil masih terbatas. Namun di lain pihak, daerah perkotaan memiliki banyak tempat peribadatan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal dalam kurun waktu tersebut, upaya peningkatan mutu pelayanan kehidupan beragama melalui pembangunan sarana dan prasarana peribadatan terus dilakukan oleh Pemerintah. Misalnya, pembangunan sarana dan prasarana di daerah yang terkena bencana dan terisolir, serta pemberian bantuan rehabilitasi bagi sarana keagamaan yang mengalami kerusakan ringan. Pembangunan fasilitas pendukung seperti kantor urusan agama (KUA) juga dilakukan terutama di daerah pemekaran. Hal ini dikarenakan tidak semua wilayah kecamatan mempunyai KUA. Selain itu, kurangnya jumlah, kualitas, dan mobilitas tenaga aparat juga mengakibatkan semakin terbatasnya pelayanan fasilitas keagamaan. Padahal, KUA merupakan lini terdepan dalam memberikan pelayanan keagamaan bagi masyarakat terutama KUA yang berbasis di tingkat kecamatan. Tidak hanya itu, Pemerintah juga telah melakukan pembangunan balai nikah dan penasehatan perkawinan, pelatihan kepada petugas pencatat nikah, pelayanan nikah, talak, dan rujuk, serta pembinaan keluarga sejahtera dan harmonis (keluarga sakinah/bahagia/sukinah/hita sukaya). Berdasarkan fenomena di atas, pengurangan kesenjangan fasilitas keagamaan antara perkotaan dan daerah terpencil menjadi tantangan yang harus dihadapi. Sarana dan prasarana ibadah terutama di daerah terpencil harus semakin ditingkatkan. Sedangkan fungsi tempat ibadah yang ada di perkotaan harus lebih dioptimalkan.

442

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Optimalisasi tersebut terutama terkait dengan fungsi tempat ibadah sebagai pusat pendalaman dan pemahaman ajaran agama, serta pengembangan kegiatan-kegiatan keagamaan baik yang bersifat ritual keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. 3. Pengelolaan Dana Sosial Keagamaan yang Belum Optimal

terjadi meskipun sebenarnya kualitas pelayanan ibadah haji sudah diupayakan agar lebih baik setiap tahunnya. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan ibadah haji. Pertama, penggunaan sistem daftar tunggu (waiting list) untuk menjamin kepastian keberangkatan jamaah calon haji. Kedua, mempersingkat jarak tempuh dengan penggunaan jalur penerbangan langsung Jakarta-Madinah yang sebelumnya ditempuh melalui Jeddah. Jarak tempuh yang lebih pendek diharapkan akan mengurangi beban sik dan psikologis para jamaah haji. Ketiga, penyediaan makan gratis selama sembilan hari ketika bermukim di Madinah. Ketiga hal di atas diharapkan dapat meredam rasa kecewa para jamaah calon haji terhadap kualitas pelayanan ibadah haji. Peningkatan kualitas pelayanan ibadah haji ditekankan pada beberapa hal, antara lain sebagai berikut: 1. Kepastian berangkat bagi jamaah calon haji; 2. Perbaikan kondisi pemondokan; 3. Penyediaan fasilitas pelayanan pendukung di Arab Saudi; 4. Peningkatan pemahaman tentang pelaksanaan ibadah haji yang sesuai dengan syariat;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Berkaitan dengan pengelolaan dana sosial keagamaan, pada kurun waktu 2004-2005 pengelolaannya masih belum optimal, mulai dari segi pengumpulan hingga pendistribusiannya. Padahal, dana sosial keagamaan memiliki peran yang sangat strategis. Dana sosial keagamaan tidak hanya merupakan bentuk pengamalan ajaran agama, tetapi juga merupakan suatu program untuk membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Pengelolaan dana sosial keagamaan yang tidak optimal ini disebabkan oleh beberapa tantangan dan permasalahan. Diantaranya adalah kurangnya transparansi pengelola dana sosial keagamaan sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi ragu bahkan ada sebagian dari masyarakat tidak percaya kepada pengelola dana sosial keagamaan tersebut. Selain itu, kurangnya profesionalisme tenaga pengelola serta kurangnya kesadaran dan kepedulian dari masyarakat yang mampu secara ekonomi untuk memperhatikan kelompok masyarakat miskin juga merupakan tantangan dan permasalahan pengelolaan dana sosial keagamaan. 4. Pelayanan Ibadah Haji yang Masih Kurang Memuaskan

5. Peningkatan kompetensi petugas haji serta pemahaman dan penghayatan manasik haji yang lebih komprehensif; dan 6. Pengurangan biaya tidak langsung yang dibebankan kepada jamaah haji. 5. Peran Lembaga Sosial Keagamaan dan Lembaga Pendidikan Keagamaan yang Belum Optimal

Dalam kurun waktu 2004-2005, penyelenggaraan ibadah haji juga dinilai masih kurang memuaskan. Hal ini terkait dengan masalah biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang tinggi, pelayanan di tanah air, sampai dengan permasalahan pelayanan di tanah suci. Semua hal tersebut menimbulkan reaksi kekecewaan dari para jamaah calon haji. Kekecewaan akan hal tersebut di atas terus

Upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan adalah untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kondusif dalam pembangunan sosial khususnya pembangunan bidang agama. Namun dalam ku-

443

run waktu 2004-2005, peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan masih belum optimal meskipun peningkatan peran lembaga tersebut terus dilakukan, yaitu melalui pelatihan manajemen kepada pengelola lembaga, bantuan sarana dan prasarana, serta block grant untuk kegiatan operasional lembaga sosial keagamaan tersebut. Peran sosial kemasyarakatan lembaga-lembaga tersebut cukup efektif, terutama bagi masyarakat miskin dan di daerah perdesaan. Namun, sebagian besar dari lembaga tersebut belum dapat menjawab seluruh tantangan dan dinamika yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan kapasitas serta kualitas lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan, sehingga mereka mampu berperan sebagai agen perubahan sosial. Peran tersebut berkaitan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan bagi warga masyarakat yang kurang mampu terutama di daerah perdesaan. 6. Munculnya Kerusuhan Sosial yang Berlatar Belakang SARA

yang menjadi kendala dalam mewujudkan kehidupan harmonis di masyarakat. 4.17.2.2. Sasaran yang Ingin Dicapai 1. Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Agama serta Kehidupan Beragama

a. Meningkatnya kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga kualitas masyarakat dari sisi rohani semakin baik. Upaya ini juga ditujukan pada anak peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, sehingga pemahaman dan pengamalan ajaran agama dapat ditanamkan sejak dini pada anak-anak; b. Meningkatnya kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban membayar zakat, wakaf, infak, shodaqoh, kolekte, dana punia, dan dana paramita dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat; c. Meningkatnya kualitas pelayanan kehidupan beragama bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dalam memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai agama dan kepercayaannya; d. Meningkatnya kualitas manajemen ibadah haji dengan sasaran penghematan, pencegahan korupsi, dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap jemaah haji; serta e. Meningkatnya peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan sebagai agen pembangunan dalam rangka meningkatkan daya tahan masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis. 2. Peningkatan Kerukunan Intern dan Antarumat Beragama

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kerusuhan sosial kerap menyebabkan terjadinya konik yang memanfaatkan sentimen agama. Hal ini sangat mengganggu upaya-upaya untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, beberapa upaya untuk menciptakan kembali kerukunan antarumat beragama perlu dilakukan. Diantaranya adalah melalui forum musyawarah/dialog, kerjasama antarpemuka agama, pembentukan sekretariat bersama baik di pusat maupun di daerah, pendidikan berwawasan multikultural, dan rehabilitasi mental pasca-kerusuhan. Namun, upaya ini dinilai kurang optimal dalam menyelesaikan konik SARA. Hal ini dikarenakan masih sering terjadinya ketegangan sosial yang diakibatkan oleh faktor ekonomi atau budaya, yang pada akhirnya berpotensi memicu konik intern dan antarumat beragama. Kondisi inilah

444

Terciptanya harmoni sosial dalam kehidupan intern dan antarumat beragama yang toleran dan

Bagian 4

saling menghormati dalam rangka menciptakan suasana yang aman dan damai, sehingga konik yang terjadi di beberapa daerah dapat diselesaikan dan tidak terulang di daerah lain. Untuk mencapai sasaran tersebut dilakukan melalui program-program pembangunan berikut: a. Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan; b. Program Peningkatan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan; c. Program Penigkatan Pelayanan Kehidupan Beragama; d. Program Pengembangan Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan dan Lembaga Pendidikan Keagamaan; e. Program Penelitian dan Pengembangan Keagamaan; dan f. Program Peningkatan Kerukunan Umat Beragama

Selain itu, dalam kurun waktu 2005-2008 juga telah diberikan berbagai bantuan dana dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama kepada masyarakat dalam kehidupan riil. Bantuan tersebut meliputi: 1. Pemberian bantuan operasional juru penerang agama; 2. Pemberian bantuan kepada organisasi sosial/ yayasan/LSM; 3. Pengadaan bimbingan dan dakwah agama; 4. Pembinaan dan bimbingan ibadah sosial; 5. Pembinaan kepada penyuluh agama; serta 6. Pengembangan kelembagaan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan telah dilakukan dengan menghimpun potensi umat dalam hal zakat, infaq, dan sadaqah melalui Badan Amil Zakat, Infaq dan Sadaqah (BAZIS) yang tersebar di semua provinsi, kabupaten, kota, dan kecamatan, serta kelurahan. Pemanfaatan dana yang dihimpun BAZIS tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat. Selain itu, telah dikembangkan pola pengelolaan dana sosial keagamaan yang produktif untuk kepentingan kesejahteraan umat. Melalui program ini telah dilakukan pemberian bantuan untuk memperoleh sertikat atas tanah yang diwakafkan/dihibahkan. Pemenuhan hak dasar dalam beragama juga dilakukan melalui perbaikan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana peribadatan. Peningkatan sarana dan prasarana peribadatan dilakukan antara lain dengan memberikan bantuan untuk pembangunan dan rehabilitasi tempat peribadatan guna mendorong peran aktif masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tempat peribadatan secara swadaya. Hingga akhir 2008, pemenuhan hak dasar dalam beragama melalui perbaikan kualitas pelayanan kehidupan beragama semakin membaik. Perbaikan kualitas pelayanan kehidupan beragama ini
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pemanfaatan dana yang dihimpun BAZIS tersebut digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat
4.17.3. Pencapaian 2005-2008 4.17.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 1. Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Agama dalam Kehidupan Untuk meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan serta memperluas wawasan keagamaan umat beragama, Pemerintah ikut membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kitab suci berbagai agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha) termasuk terjemahan dan tafsirnya serta buku-buku keagamaan lainnya.

445

dapat dilihat dari beberapa indikator. Salah satunya adalah meningkatnya kuantitas sarana dan prasarana peribadatan, meningkatnya bantuan untuk pengadaan kitab suci, serta meningkatnya jumlah balai nikah dan penasihat perkawinan (BNPP) di tingkat kecamatan. Terkait program peningkatan kuantitas sarana dan prasarana peribadatan, pada 2007 dan 2008 telah terjadi perubahan kebijakan yang mana pelaksanaan program semula ditujukan untuk rehabilitasi tempat peribadatan berubah menjadi bantuan pembangunan tempat peribadatan. Selama 2005 diberikan bantuan untuk rehabilitasi tempat ibadat sebanyak 1.891 buah dan tahun 2006 sebanyak 772 buah. Sedangkan tahun 2007 diberikan bantuan untuk pembangunan dan sarana prasarana untuk 300 tempat ibadat dan tahun 2008 untuk sebanyak 793 tempat ibadat. Di samping itu, upaya peningkatan sarana dan prasarana peribadatan dilakukan dengan rehabilitasi Gedung Kantor Urusan Agama (KUA) serta pembangunan Gedung KUA di daerah pemekaran. Jumlah KUA seluruh provinsi tahun 2008 mencapai 7.393 buah, sedangkan tahun-tahun sebelumnya berturut-turut adalah 6.718 buah pada 2005, 6.864 buah pada 2006, dan 7.042 buah pada 2007. Pembangunan BNPP juga semakin meningkat. Pada 2006, telah dibangun 100 buah gedung. Jumlah tersebut terus meningkat hingga pada 2008 telah dilakukan pembangunan BNPP di 293 lokasi dan rehabilitasi BNPP di 160 lokasi. Penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun berjalan relatif baik, hal ini terlihat dari: a. Seluruh jemaah haji yang terdaftar dapat diberangkatkan ke Tanah Suci; b. Seluruh jemaah haji dapat menempati pemondokan di Mekkah, Madinah, dan Arafah serta Mina; dan c. Seluruh jemaah haji dapat kembali ke Tanah Air, kecuali yang meninggal dunia.

Selain itu, pada 2006 untuk pertama kalinya seluruh biaya indirect cost penyelenggaraan haji yang dikeluarkan dalam perhitungan biaya penyelenggaraan haji (BPIH) dialihkan bebannya kepada Pemerintah. Pada 2007 dan 2008, penyelenggaraan ibadah haji juga semakin baik yang antara lain terlihat dari: a. Penyempurnaan sistem pendaftaran haji; b. Perbaikan pelayanan pemondokan dan transportasi baik di Makkah maupun di Madinah; c. Perbaikan pelayanan katering selama di Arab Saudi; d. Mengurangi biaya tidak langsung penyelenggaraan haji yang semula ditanggung oleh setiap jemaah haji dialihkan bebannya kepada Pemerintah sebagai penyelenggara haji; serta e. Meningkatnya pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah. Hal ini dapat dicapai atas dukungan dan partisipasi masyarakat serta dunia usaha dalam penyelenggaraan ibadah haji. 2. Peningkatan Kerukunan Intern dan Antarumat Beragama

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Pemerintah terus berupaya mewujudkan harmonisasi sosial dalam kehidupan intern dan antar umat beragama. Hal ini ditempuh melalui penanganan daerah konik serta menerbitkan dan menyosialisasikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006. Peraturan tersebut berisi tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat. Di samping itu, telah dilakukan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, pelayanan kepada umat Khonghucu, serta orientasi tenaga rekonsiliasi. Upaya peningkatan kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh Pemerintah telah menam-

446

Bagian 4

lemahnya peran keluarga sebagai basis pembinaan masyarakat dan bangsa. Berbagai perilaku masyarakat yang bertentangan dengan moralitas dan etika keagamaan juga merupakan gambaran kesenjangan antara ajaran agama dengan pemahaman dan pengamalannya. Di samping itu, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan juga belum sepenuhnya berjalan efektif. Hal tersebut, antara lain disebabkan oleh: 1. Kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter; 2. Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bermutu belum mencukupi; 3. Sarana dan prasarana yang terbatas; serta 4. Fasilitas pendukung lainnya yang kurang memadai.
Dok : DEPBUDPAR

pakkan hasilnya. Hal ini tampak melalui semakin meningkatnya intensitas dan semangat kerjasama lintas agama. Selain itu juga telah terbentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di berbagai provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. 4.17.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran 1. Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pemahaman, Penghayatan, serta Pengamalan Ajaran yang Kurang Optimal

Padahal di sisi lain, arus globalisasi terutama melalui media cetak dan elektronik dapat masuk dengan cepat ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi peserta didik dan prilaku sosial yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, peran pendidikan agama dan keagamaan menjadi sangat penting guna membentengi peserta didik dari dampak negatif globalisasi.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Kurangnya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama di masyarakat disebabkan oleh beberapa permasalahan. Salah satunya adalah kehidupan beragama pada sebagian masyarakat masih berada pada tataran simbol-simbol keagamaan dan belum bersifat substansial. Hal ini tercermin pada gejala-gejala negatif seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan norkoba, pornogra, pornoaksi, dan perjudian. Selain itu, angka perceraian yang tinggi dan ketidakharmonisan keluarga menunjukkan masih

Untuk itu, mutu pendidikan agama yang dilakukan di sekolah tidak hanya ditentukan oleh struktur program pembelajaran. Akan tetapi, juga ditentukan oleh ketersediaan sarana pembelajaran yang belum memadai. Misalnya, buku pelajaran agama yang tidak hanya menekankan pada aspek hafalan ritual keagamaan, tetapi juga pada hubungan sosial, jumlah dan mutu guru mata pelajaran agama. 2. Fasilitas dan Pelayanan Keagamaan yang Belum Optimal

Pelayanan kehidupan beragama dinilai masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya

447

sarana dan prasarana ibadah terutama di lingkungan sekolah dan daerah terpencil. Selain itu, seluruh kecamatan juga masih belum memiliki gedung KUA sendiri. Akibatnya, banyak masyarakat, terutama yang tinggal di daerah terpencil, belum dapat terlayani secara baik. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan belum tercukupinya tenaga pegawai baik secara jumlah maupun kualitas, menyebabkan pelayanan KUA yang sudah ada juga masih belum optimal. Tidak hanya itu, pelayanan terkait produk halal juga menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan ini berkaitan dengan sertikasi dan labelisasi produk yang hanya menjangkau sebagian kecil dari produk makanan, minuman, obatobatan, kosmetik dan produk lain yang dikonsumsi oleh masyarakat. Hambatan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a. Lemahnya koordinasi instansi dan lembaga terkait yang berwenang; b. Kurangnya sumberdaya manusia yang memadai sebagai pengelola sertikasi dan labelisasi; serta c. Kurangnya informasi serta pedoman tentang labelisasi dan sertikasi produk halal kepada masyarakat. 3. Pengelolaan Dana Sosial Keagamaan yang Belum Optimal

4.

Manajemen Layanan Ibadah Haji yang Belum Optimal

Permasalahan yang masih sering timbul pada pelaksanaan layanan ibadah haji antara lain mencakup tahap pendaftaran, pemberangkatan, pemondokan di Makkah dan Madinah, wukuf di Arafah, bermalam (mabit) di Muzdalifah, serta pelaksanaan lempar jumrah. Selain itu, pelaksanaan ibadah haji juga dihadapkan pada masalah kualitas sarana yang masih terbatas, baik di asrama embarkasi, di asrama transit, maupun fasilitas untuk pelayanan haji di Arab Saudi. Misalnya, masalah katering dan transportasi di Arab Saudi serta masih mahalnya biaya penyelenggaraan haji. 5. Peran dan Fungsi Lembaga-lembaga Sosial dan Lembaga Pendidikan Keagamaan yang Belum Optimal

448

Pengelolaan dana sosial keagamaan seperti ZIS dan wakaf masih belum optimal. Terdapat dua hal yang menjadi permasalahan dasar dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, yaitu: pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan zakat sebagai tindak lanjut atas UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang belum optimal serta belum tersosialisasinya secara luas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan demikian, meskipun berbagai lembaga pengelola dana infak, zakat, shodaqoh, persembahan kasih/pelayanan kasih (termasuk dana kolekte), dana punia, dan dana paramita telah didirikan, namun dalam pelaksanaannya masih kurang efektif.

Upaya peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga sosial dan lembaga pendidikan keagamaan belum sepenuhnya berhasil dilaksanakan. Meskipun jumlahnya terus bertambah, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kelembagaan. Akibatnya, lembaga-lembaga tersebut tidak dapat menunaikan pe-rannya sebagai bagian dari agen perubahan sosial dalam masyarakat. Lembagalembaga sosial juga dinilai belum mampu berperan mengurangi dampak negatif ekstrimisme yang dapat memicu terjadinya konik antar-kelompok baik internumat beragama maupun antarumat beragama. 6. Kehidupan Harmoni yang Belum Optimal

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kehidupan harmoni di dalam masyarakat belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Hal ini terjadi akibat munculnya ketegangan sosial yang sering melahirkan konik intern dan antarumat beragama. Pada mulanya konik ini disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi, namun pada akhirnya seringkali memanfaatkan sentimen agama dan etnik. Selain itu, terjadinya konik juga diakibatkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah dan penegakan

Bagian 4

hukum yamg masih lemah. Sebelumnya, konik ini tidak pernah mencuat menjadi kasus besar dan dalam skala luas seperti sekarang ini. Hal ini dikarenakan dalam tatanan kehidupan masyarakat sudah ada berbagai kearifan lokal dan adat istiadat yang dapat menjadi wadah komunikasi dan konsultasi dimana wadah tersebut bersifat lintas wilayah, agama, dan suku bangsa. Selain itu, salah satu potensi konik yang perlu diperhatikan dan selalu diwaspadai adalah: pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat; dan adanya sebagian elemen masyarakat yang tidak menghormati/menghargai perbedaan dan keberagaman kelompok lain.

tenaga pendidik dan kependidikan bidang agama dan keagamaan; c. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat, wakaf, infak, shodaqoh, persembahan kasih/pelayanan kasih (termasuk dana kolekte), dana punia, dan dana paramita; serta peningkatan profesionalisme tenaga pengelolanya; d. Peningkatan kualitas penataan dan pengelolaan serta pengembangan fasilitas pada pelaksanaan ibadah, dengan memperhatikan kepentingan seluruh lapisan umat beragama dengan akses yang sama bagi setiap pemeluk agama; e. Pembinaan keluarga harmonis (sakinah/bahagia/sukinah/hita sukaya) untuk menempatkan keluarga sebagai pilar utama pembinaan moral dan etika masyarakat; f. Peningkatan esiensi biaya ongkos naik haji, pencegahan korupsi, dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap jamaah haji;

4.17.4. Tindak Lanjut 4.17.4.1. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran 1. Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Kehidupan Beragama

g. Peningkatan kualitas dan kapasitas lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan; h. Peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan agama untuk mendukung perumusan kebijakan pembangunan bidang agama. 2. Upaya untuk Meningkatkan Kerukunan Inter dan Antarumat Beragama
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Langkah tindak lanjut yang akan dilakukan sebagai upaya mencapai sasaran RPJMN 2004-2009 antara lain: a. Peningkatan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama, melalui peningkatan kualitas materi dan tenaga penyuluh agama dan pelayanan keagamaan lainnya, terutama yang bertugas di daerah rawan konik dan daerah terpencil dan daerah terkena musibah; b. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, antara lain melalui peningkatan ketersediaan dan kualitas

Upaya tindal lanjut yang dilakukan untuk memantapkan kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: a. Peningkatan kerjasama kelembagaan baik internal maupun eksternal di bidang sosial, ekonomi, dan budaya; b. Peningkatan pelaksanaan forum dialog antar pemuka/tokoh agama, tokoh masyarakat, cendikiawan agama, dan masyarakat; c. Pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama dan penyuluh agama;

449

d. Peningkatan forum komunikasi kerukunan umat beragama; e. Pemulihan kondisi sosial dan psikologis masyarakat pascakonik melalui penyuluhan dan bimbingan keagamaan; serta f. Peningkatan kerjasama intern dan antarumat beragama.

4.17.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 1. Peningkatan Kualitas Pelayanan dan Pemahaman Kehidupan Beragama

(2) Peningkatan Mutu Fasilitas dan Pelayanan Keagamaan. Pencapaian sasaran ini diperkirakan meliputi: a. Tersedianya sarana keagamaan berupa rumah ibadah di daerah bencana; b. Tersedianya gedung KUA di daerah yang belum memiliki gedung KUA; c. Meningkatnya jumlah sarana keagamaan yang layak; d. Meningkatnya jumlah sarana ibadah di lingkungan sekolah; serta e. Meningkatnya manfaat sosial ekonomi yang bisa dirasakan dengan keberadaan tempat peribadatan. (3) Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Penghimpunan Dana Sosial diperkirakan akan tercapai dengan: a. Terkelolanya wakaf produktif secara optimal; b. Terkelolanya dana sosial keagamaan secara profesional, terbuka, dan akuntabel seperti layaknya lembaga keuangan lainnya yang dapat diaudit oleh akuntan publik; c. Meningkatnya kinerja lembaga pengelola dana sosial keagamaan; d. Terciptanya koordinasi antar-lembaga pengelola dana sosial keagamaan; serta e. Meningkatnya dana sosial keagamaan yang dihimpun dan disalurkan. (4) Peningkatan Kualitas Layanan Ibadah Haji, sasaran yang diperkirakan akan dicapai adalah: a. Meningkatnya kepercayaan jamaah calon haji akan kepastian pemberangkatan; b. Meningkatnya kualitas pemondokan, katering, dan penerbangan; c. Meningkatnya fasilitas layanan pendukung di Arab Saudi; d. Meningkatnya pemahaman tentang pelaksanaan ibadah haji; e. Meningkatnya kompetensi petugas haji; serta f. Meningkatnya pemahaman dan penghayatan manasik haji yang lebih komprehensif.

(1) Peningkatan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, serta Pengembangan Nilai-nilai Ajaran Agama, yang meliputi: a. Meningkatnya jumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki wawasan multikulturalisme; b. Tersalurkannya beasiswa bagi pendidik bidang agama yang mengikuti program pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; c. Meningkatnya wawasan dan pemahaman agama di kalangan masyarakat dan aparatur negara; d. Meningkatnya jumlah keluarga harmonis yang dibina; e. Meningkatnya kualitas dan kuantitas penyuluh, pembimbing, mubalig/dai, serta pemuka agama; f. Berkurangnya pornogra, pornoaksi, praktik KKN, perjudian, penyalahgunaan narkoba, prostitusi, dan berbagai jenis praktik asusila; g. Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana penerangan dan bimbingan keagamaan; h. Berkembangnya materi, metodologi, manajemen penyuluhan, dan bimbingan keagamaan; serta i. Meningkatnya aktivitas keagamaan di daerah tertinggal, terpencil, pasca-konik, dan bencana alam.

450

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

(5) Pemberdayaan Lembaga Sosial Keagamaan dan Lembaga Pendidikan Keagamaan, perkiranan capaiannya antara lain: a. Meningkatnya kualitas manajemen sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan; b. Terciptanya relasi yang harmonis antarkelompok masyarakat; c. Lembaga sosial keagamaan, lembaga pendidikan agama, dan keagamaan diharapkan lebih mampu menjadi motivator dan fasilitator berbagai kebutuhan masyarakat sesuai dinamika yang berkembang; d. Meningkatnya mutu pembinaan dan partisipasi masyarakat dalam hal: Pelayanan kehidupan beragama; Peningkatan pemahaman, penghayatan, pengamalan dan pengembangan nilai-nilai keagamaan; Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama dan keagamaan; Peningkatan kerukunan dan harmonisasi kehidupan beragama; Peningkatan mutu pembinaan lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan; serta Pemberdayaan dan pemanfaatan lektur keagamaan; e. Meningkatnya kualitas dan kuantitas tenaga peneliti. 2. Pemantapan Kerukunan Umat Beragama

3. Terciptanya wawasan yang luas dan penghargaan pada keberagaman.

4.17.5. Penutup Pembangunan agama merupakan investasi sosial di masa depan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, secara umum di Indonesia masih terdapat berbagai permasalahan yang menghambat tercapainya pembangunan agama. Kendala tersebut antara lain: (1) Pendidikan agama dan keagamaan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama yang kurang optimal; (2) Fasilitas dan pelayanan keagamaan yang belum optimal; (3) Pengelolaan dana sosial yang belum optimal; (4) Manajemen layanan ibadah haji yang belum optimal; (5) Peran dan fungsi lembaga-lembaga sosial yang belum optimal; serta (6) Kehidupan harmoni yang belum optimal. Dalam kondisi ini, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki kondisi keagamaan masyarakat, sehingga sasaran pembangunan agama dalam RPJMN 2004-2009 dapat dicapai. Meskipun demikian, upaya-upaya tersebut masih belum secara langsung berdampak pada: (1) Peningkatan pendidikan agama dan keagamaan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama; (2) Peningkatan fasilitas dan pelayanan keagamaan; (3) Peningkatan pengelolaan dana sosial; (4) Peningkatan manajemen layanan ibadah haji; (5) Peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga sosial; serta (6) Terwujudnya kehidupan yang harmoni. Dengan demikian, akan terdapat beberapa masalah yang berarti dalam memenuhi target sasaran pada berakhir pada 2009. Untuk itu, beberapa bentuk tindak lanjut dari program-program yang ada akan diupayakan pada 2009. Selain itu, upaya yang lebih konsisten dan intensif dalam menjalankan program pembangunan agama yang sudah ada akan dilakukan untuk mencapai sasaran RPJMN pada akhir 2009 nanti.

Perkiraan pencapaian sasaran dalam rangka pemantapan kerukunan umat beragama pada 2009, antara lain: 1. Terlaksananya langkah antisipasi dini dan upaya pencegahan meningkatnya potensi konik; 2. Terciptanya harmonisasi masyarakat melalui posko-posko harmonisasi dan Seketariat Bersama Forum Kerukunan Umat Beragama; serta

451

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.18
Perbaikan Pengelolaan SDA dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
4.18.1. Pengantar Pembangunan nasional jangka menengah 20042009 menekankan pada prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH). Prinsip ini menekankan pada pemanfaatan SDA yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup sehingga peran yang dimiliki oleh SDA dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa mendatang. Berdasarkan prinsip tersebut, sumber daya kehutanan, kelautan, energi, mineral, dan pertambangan dikelola dan digunakan sebagai modal pembangunan, di samping terus dilaksanakannya upaya pelestarian lingkungan hidup. pertambangan, serta penanggulangan pencemaran air, tanah, dan udara. Selain itu, dilakukan upaya pencegahan dampak perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pembangunan.

4.18.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai 4.18.2.1. Sumber daya Hutan Pada 2004, Indonesia memiliki hutan seluas 126,8 juta hektar dan merupakan kelompok hutan tropis terbesar nomor tiga di dunia setelah Brasil dan Zaire. Selain itu, keanekaragaman hayati darat Indonesia juga menduduki posisi kedua setelah Columbia. Dengan kondisi tersebut, hutan Indonesia mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Pengelolaan hutan untuk pemanfaatan ekonomi secara berlebihan mengakibatkan kerusakan/degradasi hutan yang sangat luas. Meskipun diikuti dengan rehabilitasi hutan, namun pada 10 tahun terakhir, degradasi hutan Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 sampai 2,1 juta ha per tahun. Akumulasi degradasi sumberdaya hutan dalam jangka waktu yang lama telah menimbulkan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial. Jika dihitung secara nansial, dampak tersebut memberikan kerugian yang jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Selain itu, penebangan liar dan konversi lahan juga menyebabkan kerusakan ekosistem dalam

Selama pelaksanaan RPJM 2004-2009, SDA telah memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Untuk mempertahankan hal tersebut, terus diupayakan rehabilitasi kerusakan hutan, wilayah pesisir, lahan

453

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada 2004, Indonesia memiliki hutan seluas 126,8 juta hektar dan merupakan kelompok hutan tropis terbesar nomor tiga di dunia setelah Brasil dan Zaire. Selain itu, keanekaragaman hayati darat Indonesia juga menduduki posisi kedua setelah Columbia

tatanan daerah aliran sungai (DAS). Akibatnya, jumlah DAS yang berkondisi kritis meningkat dari 22 pada 1984 menjadi berturut-turut sebesar 39 dan 62 pada 1992 dan 1998. Tahun 2005 misalnya, diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis. Kerusakan DAS tersebut juga dipicu oleh pengelolaan DAS yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir serta kelembagaan yang masih lemah. Selanjutnya, hal ini akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas, khususnya cadangan dan pasokan air yang sangat dibutuhkan untuk irigasi, pertanian, industri, dan konsumsi rumah-tangga. Kesenjangan antara pasokan bahan baku kayu dengan permintaan dari industri juga turut memperburuk kondisi kehutanan. Pasokan bahan baku kayu berkisar 15 juta m3, sedangkan kebutuhan kayu berkisar 50 juta m3. Ketidakseimbangan antara pasokan dengan permintaan ini merupakan salah satu pemicu terjadinya illegal logging. Sasaran pembangunan kehutanan antara lain: 1. Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu; 2. Penetapan kawasan hutan dalam tataruang seluruh provinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari luas hutan yang telah ditatabatas; 3. Penyelesaian penetapan kesatuan pengelolaan hutan;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

8. Desentralisasi kehutanan melalui pembagian wewenang serta tanggung-jawab yang disepakati oleh Pusat dan Daerah; 9. Berkembangnya kemitraan antara Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari; serta 10. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang inovatif pada sektor kehutanan. 4.18.2.2. Sumber daya Kelautan Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sumberdaya kelautan yang berfungsi tidak saja sebagai sumber perekonomian dan pendukung kehidupan manusia, tetapi juga merupakan sarana pertahanan dan keamanan negara. Karena itu, perlindungan sumberdaya kelautan ditujukan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran, pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan yang illegal, dan penguatan atas negara Republik Indonesia termasuk penetapan batas wilayah laut. Namun, , selama ini potensi sumberdaya kelautan belum didayagunakan secara optimal. Pembangunan masih lebih berorientasi pada sumberdaya darat. Hal ini menyebabkan banyak terdapat pulau-pulau kecil yang belum dikelola dan dikembangkan potensinya. Di sisi lain, pembangunan yang berbasiskan sumberdaya kelautan yang

4. Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu; 5. Meningkatnya hasil hutan bukan kayu sebesar 30 persen dari produksi tahun 2004; 6. Bertambahnya hutan tanaman industri, minimal seluas 5 juta hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi hutan; 7. Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 282 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air serta sistem penopang kehidupan lainnya;

454

Dok : PolaGrade

Bagian 4

tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup telah memberikan dampak negatif pada ekosistem wilayah pesisir dan laut. Hutan mangroves, terumbu karang, dan padang lamun mengalami degradasi dan kerusakan akibat terjadinya erosi wilayah pesisir. Lebih lanjut hal ini menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati. Di samping itu, aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia di darat dan di laut menyebabkan pencemaran yang dampaknya dapat ditemui di wilayah pesisir. Ketersediaan sumberdaya kelautan juga menghadapi permasalahan dengan merebaknya pencurian ikan (illegal, unregulated, and unreported shing atau IUU Fishing). Kurangnya sarana dan alat penegakan hukum, jumlah dan kapasitas petugas pengawas, serta rendahnya koordinasi antarinstansi mengakibatkan tingkat pencurian ikan tetap tinggi. Selain itu, wilayah pesisir merupakan daerah yang rentan terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim. Dampak badai, kenaikan muka air laut, dan kenaikan suhu air laut paling dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir. Hal tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem dan area permukiman, serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir, baik nelayan, pembudidayaan ikan, dan penduduk lainnya. Lebih lanjut, potensi ancaman terhadap kedaulatan negara masih tinggi dengan berbagai alasan. Faktor utamanya terkait dengan wilayah kelautan Indonesia yang mana masih banyak wilayah dengan batas laut yang samar dengan negara tetangga. Selain itu, belum adanya undang-undang wilayah laut, tidak adanya lembaga otorita pengatur batas laut, serta lemahnya kemampuan diplomasi menyebabkan ancaman terhadap kedaulatan NKRI tetap tinggi. Sasaran pembangunan kelautan antara lain: 1. Berkurangnya pelanggaran serta perusakan sumber daya pesisir dan laut;

2. Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, serta berbasis masyarakat; 3. Disepakatinya batas laut dengan negara tetangga, terutama Singapura, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Philipina; 4. Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut; 5. Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumber daya pesisir serta laut yang esien dan berkelanjutan; 6. Meningkatnya luas kawasan konservasi laut serta jenis/genetik biota laut langka dan terancam punah; 7. Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir, dan daratan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah; 8. Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya; 9. Terwujudnya ekosistem pesisir dan laut yang terjaga kebersihan, kesehatan, dan produktivitasnya; serta 10. Meningkatnya upaya mitigasi bencana alam laut, dan keselamatan masyarakat yang bekerja di laut dan yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. 4.18.2.3. Sumber daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Hingga saat ini, sektor pertambangan masih tetap menjadi salah satu penggerak penting dalam pembangunan. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia harus menerima konsekuensi degradasi lingkungan akibat tingginya aktivitas pertambangan. Lebih lanjut, degradasi lingkungan karena aktivitas pertambangan akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup. Risiko tersebut semakin tinggi pada kegiatan pertambangan terbuka (open pit mining). Dalam skala besar, pertambangan
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

455

terbuka akan mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup. Sehingga, dengan citra semacam ini usaha pertambangan cenderung mendapat resistensi dari masyarakat. Keadaan ini diperburuk dengan banyaknya pertambangan tanpa izin (PETI) yang kurang menekankan pada aspek pelestarian lingkungan. Rasio penerimaan migas terhadap APBN menurun dari 43 persen tahun 1996 menjadi 22,9 persen tahun 2003. Penurunan ini tampaknya akan terus terjadi. Hal ini dikarenakan cadangan minyak bumi Indonesia yang terus menurun. Cadangan minyak bumi Indonesia pada 2003 sebesar 5,8 miliar barrel, sementara tingkat pengurasannya sebesar 500 juta barrel per tahun. Dengan kondisi ini, maka dalam 5-8 tahun lagi cadangan minyak akan habis. Dengan asumsi cadangan baru tidak ditemukan dan tingkat pengurasan (recovery rate) relatif tetap.

bangan mineral seperti timah, nikel, bauksit, tembaga, perak, emas, dan batubara tetap berkonstribusi terhadap penerimaan negara. Pada 2001, penerimaan negara dari pertambangan sebesar Rp 2,3 triliun. Jumlah ini terus turun menjadi Rp 1,4 triliun pada 2002 dan Rp 1,5 triliun pada 2003. Salah satu penyebabnya adalah pelaksanaan otonomi daerah yang menambah ketidakpastian dunia usaha. Dalam otonomi daerah, terdapat banyak peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perizinan usaha pertambangan. Selain itu, masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan terutama antara kehutanan dan pertambangan juga semakin menghambat usaha pertambangan. Sasaran pembangunan pertambangan dan sumber daya mineral antara lain: 1. Optimalisasi peran migas dalam penerimaan negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi; 2. Meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas; 3. Terjaminnya pasokan migas dan produkproduknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; 4. Terselesaikannya Undang-Undang Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan; 5. Meningkatnya investasi pertambangan dan sumber daya mineral dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 6. Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk pertambangan; 7. Terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga kerja; 8. Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumber daya mineral; 9. Meningkatnya keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;

Dalam otonomi daerah, terdapat banyak peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perizinan usaha pertambangan
Pada 2002, pemanfaatan gas bumi masih rendah. Cadangan gas bumi yang dimanfaatkan masih sebesar 2,9 trillion cubic feet (TCF) per tahun. Padahal, cadangan gas bumi pada saat itu adalah 90 TCF. Rendahnya tingkat pemanfaatan ini dikarenakan kurangnya daya saing Indonesia dalam hal suplai. Berbeda dengan Malaysia dan Australia yang selalu siap dengan produksinya, ladang gas di Indonesia baru dikembangkan setelah ada kepastian kontrak dengan pembeli. Akibatnya, Indonesia kurang bisa bersaing dari sisi supply readiness. Meskipun cenderung menurun, namun pertam-

456

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

10. Teridentikasinya kawasan rawan bencana geologi sebagai upaya pengembangan sistem mitigasi bencana; 11. Berkurangnya kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) dan usaha-usaha pertambangan yang merusak dan yang menimbulkan pencemaran; 12. Meningkatnya kesadaran pembangunan berkelanjutan dalam eksploitasi energi dan sumber daya mineral; serta 13. Dilakukannya usaha pertambangan yang mencegah timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan. 4.18.2.4. Lingkungan Hidup Pengelolaan lingkungan hidup masih dihadapkan pada banyak permasalahan. Salah satunya adalah besarnya kerusakan yang timbul akibat pembangunan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh upaya perbaikan dan pengendalian lingkungan yang tidak sebanding dengan dampak yang disebabkan oleh pemanfaatan SDA oleh manusia yang melampaui batas. Keadaan ini semakin diperparah oleh kurangnya kepekaan, pemahaman dan paradigma pengelolaan SDA, serta pemenuhan kepentingan sesaat beberapa pihak tertentu tanpa memperhatikan dampaknya kepada seluruh pemangku kepentingan. 1. Pencemaran Air

dan perairan umum lainnya juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Pada 2005 tercatat lebih dari 2 juta m3 limbah cair telah dibuang ke lingkungan, dimana sektor industri menyumbang sekitar 66 persen. Untuk menangani permasalahan ini, upaya pengelolaan air dan limbah cair seperti Program Kali Bersih (PROKASIH) dan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air telah mulai dilakukan. 2. Pencemaran Udara

Kualitas udara perkotaan, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun. Semakin tingginya intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk menjadi pemicu memburuknya kualitas udara. Oleh karena itu, kualitas udara di 10 kota besar Indonesia cukup mengkhawatirkan. Enam kota tersebut, yaitu: Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, dan Pekan Baru, hanya dapat menikmati udara bersih selama 22-62 hari saja dalam satu tahun. Hal ini juga diperburuk oleh kualitas atmosfer global yang menurun karena rusaknya lapisan ozon di stratosfer akibat akumulasi senyawa kimia yang merupakan bahan perusak ozon (BPO) atau ODS (ozone depleting substances). 3. Keanekaragaman Hayati

Tingginya pencemaran air akibat limbah industri, pertanian dan rumah-tangga menyebabkan turunnya kualitas sumber air. Hal ini dikarenakan pengelolaan limbah padat dan cair masih belum baik, termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berasal dari rumah-sakit, industri, pertambangan, dan permukiman. Penelitian di 41 sungai di 31 provinsi pada 20032008 menunjukkan bahwa angka BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) hanya 20-40 persen yang memenuhi ambang batas. Kualitas air permukaan danau, situ,

Hingga 2005, ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) masih tinggi. Di Sumatera, terdapat 90 jenis ora dan 176 fauna yang terancam punah. Populasi orangutan di Kalimantan menyusut tajam dari 315.000 ekor pada 1900 menjadi 20.000 ekor pada 2002. Penyusutan hutan bakau yang disertai dengan rusaknya berbagai ekosistem di Jawa dan Kalimantan juga meningkat tajam. Gambaran tersebut menempatkan Indonesia pada posisi kritis berdasarkan Red Data Book IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Di sisi lain, pelestarian plasma nutfah asli Indonesia belum berjalan baik. Kerusakan ekosistem dan perburuan liar, yang dilatar-belakangi rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.

457

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.

Sampah dan Limbah B3

Tingginya volume timbunan sampah dan pengelolaannya yang belum memadai telah menimbulkan berbagai macam persoalan lingkungan seperti pencemaran tanah, air tanah, air permukaan, dan udara (bau dan gas methane). Sebagai contoh pada 2005, beban timbunan sampah yang harus dikelola kota metropolitan mencapai angka lebih dari 6.500 m3/hari dan hanya sekitar 60 persen yang dibuang ke TPA. Selain itu, pemanfaatan bahan kimia B3 (bahan berbahaya dan beracun) untuk kebutuhan industri dan rumah-tangga yang semakin meningkat memperparah kondisi daya dukung lingkungan, karena belum dikelola secara serius. Tingginya biaya, rumitnya pengelolaan B3, serta rendahnya pemahaman masyarakat menjadi kendala tersendiri dalam upaya mengurangi dampak negatif limbah terutama limbah B3 terhadap lingkungan. 5. Bencana Alam

kan keseimbangan lingkungan global terganggu, glacier dan lapisan es di kutub mencair, permukaan laut naik, dan iklim global berubah. Indonesia, sebagai negara kepulauan di daerah tropis, pasti terkena dampaknya. Oleh karena itu, adaptasi terhadap perubahan iklim mutlak diperlukan, khususnya yang terkait dengan strategi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, kelautan, infrastruktur sumberdaya air dan permukiman, kesehatan, dan didukung dengan pembangunan yang mengikuti prinsip perencanaan tata ruang. Sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: 1. Meningkatnya kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ) serta kualitas air tanah disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor; 2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi tanah di wilayah daratan dengan ekosistem pesisir serta laut; 3. Meningkatnya kualitas udara perkotaan khususnya di kawasan perkotaan yang didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan; 4. Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap dan dihapus sama sekali pada 2010; 5. Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; 6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP 2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan); 7. Meningkatnya upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan perlindungan lingkungan sebagai salah satu faktor penentu kebijakan; 8. Meningkatnya sistem pengelolaan dan pelayanan limbah B3 bagi kegiatan-kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan;

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Secara alamiah Indonesia merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem mitigasi bencana yang memadai. Namun hingga 2005, upaya pengembangan sistem mitigasi bencana di Indonesia masih belum memadai. Selain itu, upaya pengembangan sistem kewaspadaan dini (early warning system) untuk mengetahui kemungkinan terjadinya bencana dan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga masih lemah. Terkait kerawanan bencana yang dihadapi Indonesia, upaya pemetaan dan penentuan zona rawan bencana juga terus dilakukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana. 6. Perubahan Iklim

458

Fenomena kekeringan (El Nio) dan banjir (La Nia) yang terjadi secara luas pada 1990 merupakan bukti adanya perubahan iklim global. Dibandingkan 150 tahun lalu, suhu rata-rata permukaan bumi kini meningkat 0,6C dan diperkirakan tahun 2100 suhu rata-rata permukaan bumi diperkirakan akan naik lagi sebesar 1,4-5,8C. Hal ini menyebab-

Bagian 4

9. Tersusunnya informasi dan peta wilayahwilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, serta bencana-bencana alam lainnya; 10. Tersusunnya aturan pendanaan lingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi rendahnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; 11. Meningkatnya diplomasi internasional di bidang lingkungan; serta 12. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara SDA dan lingkungan hidup. Dari gambaran kondisi awal tersebut, maka secara umum sasaran pembangunan pada akhir 2009 adalah membaiknya sistem pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan dapat terjamin. Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatan pembangunan harus dilandaskan pada tiga pilar, yaitu pembangunan secara seimbang atau menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah lingkungan (environmentally sound). Prinsip pembangunan yang berkelanjutan harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan dan perundangan lingkungan. Tujuannya adalah untuk mendorong investasi pembangunan jangka menengah di seluruh sektor serta bidang yang terkait dengan sasaran pembangunan SDA dan lingkungan hidup. Sasaran-sasaran tersebut di atas akan dicapai melalui program-program sebagai berikut : 1. Program Pemantapan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan, bertujuan memanfaatkan potensi hutan secara lebih esien, optimal, adil dan berkelanjutan.

Dok : PolaGrade (CAG)

2. Program Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, bertujuan untuk mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal, adil dan lestari.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Program Pembinaan Usaha Pertambangan Migas, bertujuan untuk mengelola kegiatan usaha migas agar tetap berperan sebagai sumber penerimaan negara yang penting. 4. Program Pembinaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, bertujuan untuk mencapai optimalisasi pemanfaatan sumber daya mineral, batubara, panas bumi dan air tanah. 5. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam, bertujuan untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan dan mengelola kawasan konservasi yang sudah ada.

459

6. Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam, bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan mempercepat pemulihan cadangan sumber daya alam. 7. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup melalui tata kelola yang baik (good environmental governance). 8. Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. 9. Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/ atau pencemaran lingkungan hidup baik di darat, perairan tawar dan laut.

e. Terbentuknya Forum HKm di 13 provinsi. 2. Meningkatnya pemanfaatan produk kayu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator capaian, antara lain: a. Tersedianya berbagai produk kayu dan prefabrikasi; b. Meningkatnya ekspor produk kayu olahan sebesar 4.170.179 m3 pertahun dengan nilai devisa sebesar US $ 2 milyar; c. Tersedianya 43,7 juta m3 bahan baku kayu dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat, dan perkebunan; serta d. Diperolehnya izin penggunaan kawasan hutan yang sah. 3. Berkembangnya Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) dan Provisi Sumberdaya Hutan-Dana Reboisasi (PSDHDR) on line di 5 kabupaten dan 3 provinsi, serta pengembangan pola barcode di 28 kabupaten, 14 provinsi, dan 11 BP2HP; 4. Meningkatnya jumlah industri kehutanan. Hal ini ditandai dengan beberapa indikator capaian, antara lain: a. Bertambahnya izin industri kehutanan sebanyak 141 unit dengan kapasitas 43,7 juta m3; b. Terbinanya kinerja industri melalui lembaga penilaian independent, pemberian penghargaan untuk yang berkinerja baik, serta sangsi minimum berupa penurunan kapasitas industri apabila berkinerja buruk; c. Meningkatnya jumlah pemegang ijin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pemegang SK denitif, masing-masing menjadi unit dengan luas 10 juta ha dan 161 unit dengan luas lebih dari 7 juta ha. Sedangkan, jumlah pemegang SK sementara Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) transmigrasi tetap sebanyak 33 unit dengan luas lebih dari 600 ribu ha; d. Dicabutnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-

4.18.3. Pencapaian 2005-2008 4.18.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 4.18.3.1.1.Sasaran Pembangunan Kehutanan Hingga 2008, capaian sasaran pembangunan kehutanan diantaranya adalah: 1. Berkembangnya hutan kemasyarakatan (HKm). Hal ini ditandai dari beberapa indikator capaian, yakni: a. Tersusunnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang HKm; b. Tersedianya areal kerja HKm seluas 73.000 Ha; c. Terbinanya kelembagaan HKm di 18 BPDAS; d. Berkembangnya areal HKm seluas 4.550 Ha; serta

460

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

HT) dari HPHTI sebanyak 42 unit dengan luas lebih dari 2 juta ha; e. Dimilikinya sertikat Pengelolaan Hutan Lestari oleh 59 pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT); f. Terbangunnya Sistem Silvikultur Intensif di 6 unit IUPHHK-HA seluas 28 ribu ha; g. Terlaksananya Bina Desa di 179 unit IUPHHK-HA yang mencakup 16 ribu kepala keluarga (KK); serta h. Terbangunnya model Unit Manajemen Meranti di 4 unit IUPHHK-HA. 5. Pada program pemantapan kawasan hutan dicapai beberapa hasil, antara lain: a. Ditetapkannya areal konservasi dan perairan seluas lebih dari 3 juta ha; b. Terselenggaranya tata batas kawasan hutan sepanjang 3,4 ribu km dan penataan batas hutan 862 km; c. Tersusunnya konsep penetapan kelompok hutan yang telah di tata batas temu gelang di 79 kelompok hutan; d. Ditetapkannya Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus seluas 1,2 ribu ha dari 52 ribu ha; serta e. Dibentuknya 20 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di 16 provinsi dengan luas sekitar 900 ribu ha. 6. Pada pemanfaatan hutan selain industri kayu dan kehutanan telah dicapai beberapa hasil, antara lain: a. Terlaksananya pengembangan fasilitasi kelembagaan Peningkatan Usaha Masyarakat di Sekitar Hutan Produksi (PUMSHP) di 29 provinsi/lokasi; b. Terbangunnya model usaha hasil hutan bukan kayu di 39 provinsi; c. Terwujudnya pengembangan unit-unit usaha ekonomi masyarakat di 30 provinsi; d. Terbangunnya model pengelolaan hu-

tan produksi bersama masyarakat di 5 provinsi; e. Terwujudnya sosialisasi pola kerjasama pemanfaatan pariwisata alam; serta f. Terlaksananya konsultasi publik dalam rangka pemanfaatan pariwisata alam. 7. Berkaitan dengan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) telah dicapai nenerapa hasil antara lain: a. Tersusunnya UU penyelenggaraan RHL; b. Terselenggaranya pembuatan tanaman dan bangunan sipil teknis seluas 1.700.000 ha di 33 provinsi, 432 kab/kota pada DAS prioritas; c. Terlaksananya pelatihan masyarakat di 60 desa model konservasi; d. Terbentuknya Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan (SPKP) di 60 desa model konservasi; e. Tersusunnya pedoman Hutan Rakyat (HR) kemitraan. 8. Terkait dengan pengelolaan Taman Nasional, sampai dengan 2008 telah dicapai beberapa hal berikut: a. Tersosialisasikannya pedoman, juklak, juknis serta pedoman penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN); b. Mantapnya 13 Taman Nasional (TN) Model; c. Tertatanya zonasi Taman Nasional (TN) Model di 7 lokasi; d. Peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar 21 Taman Nasional (TN) model. 9. Terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi, telah terbit Permenhut mengenai kolaborasi manajemen kawasan konservasi, serta terwujudnya model desa konservasi khususnya dalam pengembangan daerah penyangga di 19 Kawasan Pelestarian Alam/Kawasan Suaka Alam (KPA/KSA); 10. Meningkatnya kapasitas pengelolaan 8 Balai

461

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Besar KSDA untuk menangani KPA/KSA dan konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL); 11. Terbentuknya zonasi blok pemanfaatan di 121 unit KPA/KSA; 12. Tersusunnya rencana pengelolaan KSA/KPA di 550 unit pengelolaan; 13. Terwujudnya supervisi penyelesaian usulan rencana pengelolaan di 41 KPA/KSA; 14. Penyelesaian permasalahan kegiatan non kehutanan di 17 KSA/KPA dan masalah tumpang tindih; 15. Terevaluasinya pelaksanaan pinjam pakai di 17 KPA/KSA; dan tersedianya Atlas Tipe Ekosistem Lahan Basah di 6 lokasi KSA/KPA; 16. Capaian pengembangan Taman Nasional (TN) dapat dilihat dari beberapa indikator. Di antaranya adalah: a. Dibentuknya 20 TN Model; b. Meningkatnya kapasitas pengelolaan 8 unit TN; c. Tersedianya rencana pengelolaan di 53 unit TN; d. Terbentuknya zonasi pengelolaan di 54 TN; e. Terselenggaranya kegiatan kerjasama pendidikan, penelitian, dan program kerjasama wisata di TN; serta f. Menurunnya frekuensi konik di beberapa TN. 17. Meningkatnya nilai tambah produk dan pelayanan prima Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL);
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok : Alain Compost

22. Terpantaunya hotspot harian di 20 provinsi; 23. Terlaksananya identikasi kerusakan dan rehabilitasi daerah penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) seluas 20 Ha; 24. Tersusunnya Model Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi; 25. Terlaksananya penyusunan kajian teknis mengenai akses SDG dan pembagian keuntungan pemanfaatan SDG dan sosialisasi protokol cartagena ke berbagai pihak; 26. Terbentuknya Balai kliring keanekaragaman hayati, dan terlaksananya penandatanganan kerjasama dalam jejaring informasi dengan Pemda DIY, Sumatera Utara; 27. Tersusunnya pedoman CEP (Communication, Eduviation & Public Awareness) keanekaragaman hayati;

18. Tersusunnya harga patokan TSL dalam rangka pengendalian dan penangkaran TSL di 10 lokasi; 19. Terlaksananya pembinaan dan pengendalian penangkar dan pengedar TSL; 20. Tersusunnya draft revisi PP 18 tahun 1994 dan PP No. 68 tahun 1998; 21. Terselenggaranya monitoring serta evaluasi kondisi Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Rakyat (Tahura), dan Taman Buru (TB) di 4 lokasi; serta

462

Bagian 4

28. Terlaksananya Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) melalui Gerakan Aksi Penanaman Serentak Indonesia yang mencapai lebih dari 79 juta pohon, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon yang mencapai lebih 10 juta pohon, Kegiatan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) melalui Program Indonesia Hijau dan Bersih, Gerakan Bali Hijau dan Gerakan Bangka Belitung Hijau. Berdasarkan pelaksanaan program tersebut di atas, didapatkan hasil tingkatan tutupan vegetasi pada 2006-2007 adalah 37 persen dari luas Sumatera, 8,2 persen di Jawa, 39 persen di Kalimantan, 15-18 persen di Bali dan Nusa Tenggara, 49 persen di Sulawesi, 83 persen di Maluku, 73 persen di Papua; 29. Terlaksananya pendekatan pembangunan berkelanjutan pada kebijakan perencanaan pembangunan dan penataan ruang melalui integrasi pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup dalam rencana tata ruang wilayah, rekomendasi kebijakan pemanfaatan ruang pulau berdasarkan daya dukung lingkungan, dan koordinasi penyiapan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk diterapkan dalam penyusunan rencana pembangunan nasional (RPJP/M) dan daerah (RPJPD/MD); 30. Terwujudnya rehabilitasi hutan dan lahan seluas lebih dari 705.348 ha di 33 Provinsi (2007); 31. Terwujudnya model pengelolaan mikro DAS di 282 SWP DAS(2007); 32. Terbangunnya hutan rakyat seluas 5.875 ha (2007); 33. Terbangunnya 3.100 ha hutan tanaman jarak pagar (2007); 34. Terwujudnya gerakan penanaman swadaya dan mitra sebanyak 1,5 juta bibit tanaman di 8 Provinsi (2007); 35. Terlaksananya kampanye Indonesia Menanam (2007);

36. Terlaksananya pengembangan dan pembentukan forum-forum yang mengikutsertakan masyarakat, seperti pengembangan Kelompok Produktif Mandiri dan Sentra Penyuluh Kehutanan Perdesaan di 33 provinsi; 37. Terbentuknya forum-forum DAS dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS di 33 provinsi; 38. Terbentuknya Forum Koordinasi dan Komunikasi Penyuluhan Kehutanan (FKKPK) di 6 provinsi; 39. Terwujudnya percontohan pemberdayaan masyarakat di 5 lokasi dan Model Desa Konservasi di 19 KSA/KPA non TN; 40. Tercapainya fasilitasi 105 Sentra Penyuluh Kehutanan Perdesaan dan 315 kelompok usaha produktif; 41. Terwujudnya peningkatan kapasitas penyuluh kehutanan di 33 provinsi; 42. Terwujudnya dialog, kampanye dan diseminasi pembinaan lingkungan dan pengendalian kerusakan hutan di 33 provinsi; 43. Tervonisnya 2.436 kasus serta terbinanya 85 pelanggar kasus ringan illegal logging, perambahan hutan, pencurian TSL, PETI, dan kebakaran hutan; serta 44. Terbentuknya Badan Layanan Umum sebagai lembaga keuangan alternatif dalam pengembangan hutan tanaman rakyat;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

45. Tersedianya data rekalkulasi penutupan hutan seluruh Indonesia tahun 2005 dan tahun 2007; 46. Tersedianya data dan informasi kawasan hutan, data citra satelit untuk pemanfaatan hutan (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT), pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, serta Neraca Sumber daya Hutan Nasional (NSHN) di 33 provinsi dan Peta Potensi di 3 provinsi; 47. Tersedianya statistik kehutanan tahunan; 48. Tersusunnya PDRB Hijau sektor kehutanan serta PDB Hijau Interim sampai tahun 2006; 49. Terwujudnya sistem Assessment Pengembangan Kehutanan (SIPAHUT); serta

463

50. Terwujudnya konsultasi publik dalam upaya penyelenggaraan National Forest Program, UNFFF, dan beberapa konvensi internasional lainnya. 4.18.3.1.2. Sasaran lautan Pembangunan Ke-

Capaian sasaran pembangunan kelautan hingga 2008 meliputi: 1. Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumber daya pesisir dan laut a. Dalam rangka pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dilakukan koordinasi dengan Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut), meningkatkan kerjasama operasi pengawasan dengan TNI-AL dan Polri, serta operasi pengawasan oleh Kapal Pengawas DKP terhadap 2.015 kapal yang melakukan pelanggaran tanpa izin, alat tangkap tanpa izin, pemalsuan dokumen, penggunaan bahan peledak dan listrik, penyalahgunaan shing ground dan alat tangkap, serta pengangkutan ikan; b. Pembentukan sekitar 1.300 Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas); c. Pencabutan izin usaha penangkapan terhadap 315 kapal penangkap yang izinnya bermasalah; d. Pengembangan program Vessel Monitoring System (VMS) melalui pemasangan 1.444 buah transmitter, yang yang dipasang pada 862 unit Kapal Penangkap Ikan Indonesia dan 582 unit Kapal Penangkap Ikan Asing; e. Mempercepat proses pengadilan terhadap pelaku tindak pidana perikanan di 5 lokasi, yakni di Belawan, Jakarta, Pontianak, Bitung dan Tual bekerjasama dengan Mahkamah Agung (MA); f. Meningkatkan kerjasama internasional di bidang pengawasan melalui kerjasama penelitian mengenai praktik penangkapan ikan ilegal dengan Australia, Filipina, dan Thailand;

g. Mendorong responsible shing practices termasuk penanggulangan IUU shing di tingkat regional bersama dengan 10 negara; h. Dari hasil kegiatan penanganan Illegal shing, telah berhasil menyelamatkan kerugian negara sebesar Rp 431 miliar. Jika dihitung secara kumulatif, maka kerugian yang berhasil diselamatkan pada 2002-2007 adalah Rp 1,307 triliun. 2. Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, serta berbasis masyarakat a. Tercapainya inventarisasi dan penamaan pulau sebanyak 5.209 pulau di 11 provinsi tahun 2005, 3.586 pulau di 11 provinsi tahun 2006 dan di 10 provinsi tahun 2007; b. Telah didaftarkan 4.981 pulau dari 17.504 pulau di Indonesia dalam pertemuan United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN) dan 24th Session of the United Nations Group of Experts on Geographical Names di New York, Amerika Serikat. Pulau-pulau tersebut tersebar di 14 provinsi, yakni Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Lampung, Bengkulu dan Kepulauan Riau; c. Pemberdayaan pulau-pulau kecil dalam upaya mendukung pariwisata bahari melalui pengkayaan stok sumberdaya hayati perairan, pengangkapan ikan karang dan ikan hias berwawasan ramah lingkungan, peningkatan kualitas pemandu wisata, serta penguatan kelembagaan, pelatihan dan transfer teknologi. 3. Disepakatinya batas laut dengan negara tetangga, terutama Singapura, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Philipina Kerja sama antar negara, Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME), Solomon Bis-

464

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

marck, Laut Banda, dan MoU Box Indonesia dan Australia. 4. Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut a. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK); b. Perpres No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil terluar; c. Penerbitan 10 peraturan Pemerintah dan 25 peraturan menteri sebagai tindak lanjut UU No.27/2007 dan UU No.31/2004. 5. Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumber daya pesisir serta laut yang esien dan berkelanjutan a. Penyusunan Perda Pengelolaan Wilayah Pesisir Provinsi dan Kabupaten/Kota; b. Penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu berupa renstra dan zonasi 6. Meningkatnya luas kawasan konservasi laut serta jenis/genetik biota laut langka dan terancam punah a. Pengembangan kawasan konservasi laut di Indonesia dilakukan pengembangan kerjasama Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) dan Bismarck-South Solomon Marine Ecoregion (BSSME). b. Melakukan deklarasi pemeliharaan terumbu karang dengan para gubernur dan bupati/walikota; c. Peluncuran Coral Triangle Initiative (CTI) yang melibatkan enam negara dalam rangka pelestarian ekosistem terumbu karang di daerah utara dan timur Indonesia dan peningkatan ekonomi di daerah tersebut; d. Dikembangkannya 15 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) bersama Pemerintah Daerah dan pengelolaan di 6 Taman Nasional Laut (Karimun Jawa, Wakatobi, Takabonerate, Bunaken, Teluk Cendrawasih, Kep. Seribu); serta

e. Pembentukan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut/Daerah Perlindungan Mangrove (Marine Sanctuary for Mangroves) (DPL/DPM) di 25 lokasi di 2 provinsi seluas 2.085,9 ha; f. Taman Nasional Laut (Marine National Park) telah terbangun di 7 provinsi dengan luas total 4 juta ha; g. Taman Wisata Alam Laut (Marine Ecotourism Park) telah terbangun di 18 provinsi dengan luas 767 ribu ha; h. Terwujudnya pengembangan lahan basah di 6 lokasi marine heritage site. 7. Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir dan daratan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah a. Penerbitan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-pulau Kecil b. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu 8. Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Fasilitas penyusunan Perda Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 9. Terwujudnya ekosistem pesisir dan laut yang terjaga kebersihan, kesehatan dan produktivitasnya a. Pengelolaan dan rehabilitasi mangrove, terumbu karang, padang lamun; b. Penelitian dan pengembangan sumber daya kelautan; c. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir melalui Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM) di 23 kabupaten/kota; d. Untuk mendorong kemitraan dalam pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan cara harmonisasi antara perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, swasta, dan stakeholders lainnya. Selain itu, dalam rangka akselerasi pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, maka dilaksanakan Program Mitra Bahari. Program ini diselenggarakan dengan menggunakan kom-

465

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

ponen penyuluhan dan pendampingan, pendidikan dan pelatihan, riset terapan, serta rekomendasi kebijakan. 10. Meningkatnya upaya mitigasi bencana alam laut, dan keselamatan masyarakat yang bekerja di laut dan yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil a. Pemasangan sistem diteksi bencana b. Pembangunan rumah-rumah bencana di wilayah pesisir. 4.18.3.1.3.Sasaran Pembangunan Pertambangan dan Sumber Daya Mineral Capaian sasaran pembangunan pertambangan dan sumber daya Mineral adalah: 1. Meningkatnya kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, yakni dari 28 kegiatan usaha pada 2005 menjadi 32 kegiatan usaha pada 2006 dan 35 kegiatan usaha pada 2007, sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2. Meningkatnya penawaran wilayah kerja migas, hasil dari upaya promosi wilayah kerja dan penawaran wilayah kerja migas (regular and direct oer). Hal ini ditunjukkan dengan ditandatanganinya 5 kontrak kerjasama (KKS) wilayah kerja migas melalui tender reguler pada 2006. Dari 5 KKS tersebut, diumumkan 18 pemenang penawaran langsung wilayah kerja migas serta diperoleh komitmen investasi dari 5 kontraktor dan 18 calon kontraktor. Sedangkan pada 2007, penawaran mencapai 30 Wilayah Kerja Migas serta penandatanganan 26 KKS. 3. Pengoptimalan upaya peningkatan produksi migas pada 2008 melalui optimalisasi komitmen kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sesuai KKS yang ditandatangani, percepatan proses persetujuan plan of development (POD), serta optimalisasi produksi dari lapangan-lapangan existing melalui penerapan teknologi enhanced oil recovery (EOR), percepatan produksi lapa-

ngan baru, dan pengembangan Gas Metana Batubara atau CBM. 4. Dilaksanakannya evaluasi potensi hidrokarbon di daerah terpencil (frontier) di daerah Sumatera Selatan, Papua dan di Sumatera Utara, termasuk pemuktahiran cekungan sedimen tersier di 63 cekungan; 5. Dipertahankan dan ditingkatkannya lifting migas dengan menerapkan sistem monitoring lifting migas secara realtime, dengan menggunakan teknologi telemetri (SCADA System) untuk kontraktor KKS di daerah Sumatera; 6. Terlaksananya eksplorasi untuk mencari cadangan migas baru; 7. Terlaksananya peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan pemasaran LNG ke luar negeri; 8. Terlaksananya upaya penghapusan subsidi BBM; 9. Dipertahankannya tingkat produksi minyak bumi dan kondensat, serta ditingkatnya cadangan minyak bumi termasuk kondensat dan cadangan gas bumi; 10. Diterbitkannya ijin usaha kegiatan hilir, beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM yang dapat mempercepat reformasi sektor ESDM; 11. Ditetapkannya rancangan sistem informasi data jasa usaha bidang migas; 12. Dilaksanakannya perundingan batas landas kontinen; 13. Dilaksanakannya pembinaan dan pengusahaan sumur-sumur tua; 14. Dilaksanakannya inventarisasi dan verikasi data eksplorasi dan survei umum; serta survei permasalahan teknis operasional di lapangan minyak yang menyebabkan turunnya produksi migas; 15. Diterapkannya pemanfaatan gas untuk sektor transportasi dan rumah tangga;

466

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

16. Dilakukannya proyek percontohan penggunaan mobil berbahan bakar gas dan dilakukan uji coba pada 11 kendaraan; 17. Dilaksanakannya pengalihan minyak tanah ke LPG di berbagai daerah di Indonesia; 18. Dilaksanakannya peningkatan investasi bidang migas, pemanfaatan dan pengembangan gas bumi, pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri dengan program diversikasi dan konservasi energi; 19. Dilanjutkannya pengembangan pemanfaatan energi terbarukan seperti biomassa, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera, peningkatan produksi mineral, batubara dan panas bumi; serta 20. Ditingkatkannya investasi bidang mineral, batubara dan panas bumi. 21. Diserahkannya Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) panas bumi dengan total potensi 640 MW yang tersebar di Pulau Jawa, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Maluku Utara. 22. Dilakukannya eksplorasi panas bumi di beberapa lokasi, seperti Mataloko (NTT), Wapsalit (Maluku), dan Sampuraga (Sumatera Utara); 23. Dibangunnya pabrik pencairan batubara dengan kapasitas 13.500 bpl; 24. Terlaksananya standardisasi briket batubara dan light coal skala nasional, serta pilot plan carbon aktif batubara dengan kapasitas 1 ton per hari; 25. Terlaksananya pembangunan dan pengoperasian upgrading brown coal (UBC) di Palimanan, Jawa Barat dengan kapasitas 5 ton per hari, serta persiapan pembangunan pilot UBC di Satui, Kalimantan Selatan dengan kapasitas produksi 600 ton per hari; 26. Perkiraan pencapaian dalam bidang energi dan sumberdaya mineral pada 2008 di antaranya adalah konservasi air tanah, terlaksananya evaluasi sumber daya dan cadangan bahan galian untuk pertambangan skala kecil, standardisasi briket batubara dan light

coal, penyempurnaan pabrik peningkatan nilai kalori batubara peringkat rendah (UBC), pembangunan UBC Demonstration Plant di Satui, Kalimantan Selatan dengan kapasitas 1.000 ton/hari. 4.18.3.1.4. Sasaran Pembangunan Lingkungan Hidup Capaian dari sasaran pembangunan lingkungan hidup adalah: 1. Terlaksananya Pemantauan Kualitas Lingkungan untuk mengetahui kualitas air dan udara di berbagai daerah, yaitu: a) Pemantauan Kualitas Air telah dicapai hasil-hasil yaitu: Tersedianya data series kualitas air sungai prioritas di 31 provinsi, i, data kualitas air laut di 4 lokasi, data kualitas air 6 danau, data kadar POPS air dan sedimen di 12 lokasi, data kualitas lingkungan di 3 TPA, data kualitas lingkungan di lokasi paska bencana di DIY, Pangandaran, NAD, Surabaya, data kualitas air akibat kegiatan PETI di 4 sungai, dan data kualitas lingkungan di PT Newmon Nusa Tenggara dan PT. Toba Pulp Lestari; b) Pemantauan Kualitas Udara telah dicapai hasil-hasil yaitu: tersedianya data kandungan Pb di udara ambient di 10 kota, data terjadinya hujan asam di 7 kota, data kebisingan kendaraan bermotor di 5 kota, data pemantauan Udara Ambien Kontinyu (AQMS) di 10 kota dan Passive Sampler di 30 kota, dan data sumber pencemar emisi DKI Jakarta dan sumber pencemar Pb di Tangerang. 2. Tersusunnya Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Pelestarian Situ di wilayah Jabodetabek. 3. Terlaksananya Pemulihan Kualitas Lingkungan: Pemulihan kawasan karst Gunung Sewu, Pemulihan kualitas sungai dan pembuatan sumur resapan biopori, instalasi biogas, penanaman pohon di kawasan lindung, serta pemulihan kerusakan danau di 7 danau prioritas. 4. Terselenggaranya Program Langit Biru (PLB), yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

467

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

udara perkotaan melalui pengendalian pencemaran emisi sumber bergerak khususnya untuk sektor transportasi. Data pada 2007 menunjukkan hasil yang sangat baik, yang ditunjukkan oleh kandungan Timbal (Pb) dalam bensin di 10 kota metropolitan dan besar yang sudah tidak terdeteksi lagi. Untuk kota-kota lainnya masih terdeteksi namun masih di bawah standar, yaitu 0.013 gr/liter. 5. Dilakukannya Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik, dengan pengesahan dan pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mendorong terjadinya perubahan paradigma dari kumpul, angkut, buang menjadi kumpul, pilah, dan olah sampah, sehingga mempunyai manfaat secara ekonomi, kesehatan dan keamanan lingkungan. 6. Meningkatnya Pengelolaan B3 dan Limbah B3 ditunjukkan dengan pencapaian hasil: (1) berdasarkan pemantauan neraca timbulan limbah B3 pada 521 perusahaan, jumlah limbah B3 yang telah dikelola sebesar 75.84 persen dari total limbah yang dikeluarkan yaitu sekitar 7 juta ton. (2) Pada 2006-2007 limbah B3 semakin terkelola dengan baik, serta meningkatnya pelaksanaan prinsip 3R (reuse, recycle dan recovery) dengan total timbulan limbah yang termanfaatkan menjadi 1,7 juta ton pada 2006-2007 atau meningkat 35 persen dari 2005-2006. 7. Terlaksananya optimalisasi peraturan dan Metodologi di bidang Pengkajian dampak lingkungan (AMDAL) berupa: (1) Tersusunnya lanjutan Revisi PP 27/99, Pedoman Kajian Dampak Kumulatif dalam AMDAL, Draft RPP ERA, 3 PerMen Audit/DPPL, Kewenangan Penilaian Amdal, diberikannya lisensi kepada Komisi Penilai Amdal Daerah, Revisi Permen (penilaian dokumen AMDAL, UKL-UPL), Pedoman Pelaksanaan ERA, dan tersusunnya 4 Pedoman (Pemanfaatan dokumen AMDAL untuk Tata Ruang, Daftar Kegiatan Wajib UKL-UPL, Panduan Penilaian AMDAL, UKLUPL Sektor); (2) dilaksanakannya Sistem AM-

DAL berupa penilaian terhadap 65 dokumen AMDAL, evaluasi pelaksanaan sistem AMDAL yang meliputi kinerja Komisi Penilai AMDAL Kab/Kota di 12 Lokasi, pemantauan RKLRPL yang sudah diterbitkan Surat Kelayakan untuk 23 Kegiatan, verikasi Audit Lingkungan (Kasus AMDAL) di 5 Lokasi, pemantauan Pasca AMDAL untuk Kegiatan Rekonstruksi (Aceh), dan evaluasi kebijakan yang telah berjalan (Kepdal 57/95; Kepdal 124/97; Kepdal 299/96; Kepmen 55/95; Kepmen 54/95). 8. Terselesaikannya kasus hukum lingkungan dari tahun 2005 2008, yaitu untuk penegakan hukum pidana telah diselesaikan sejumlah 88 (delapan puluh delapan) kasus, baik yang penyidikkannya dilakukan secara mandiri oleh Penyidik KLH maupun penyidikan gabungan antara POLRI dan KLH. Sedangkan untuk penegakan hukum perdata adalah sebanyak 17 kasus, dimana sebanyak 17 kasus diselesaikan melalui mekanisme diluar pengadilan, dan 6 kasus diselesaikan melalui pengadilan. Selain itu telah terbentuk 32 Pos Pengaduan/Pos Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Pos P3SLH) dengan rincian 21 di provinsi dan 11 di Kabupaten/Kota. 9. Meningkatnya kapasitas laboratorium Pusarpedal, dengan membina daerah yang mendapatkan dana dekonsentrasi untuk dapat melaksanakan pemantauan kualitas lingkungan terutama kualitas air sungai di 33 Provinsi, meningkatnya kapasitas Laboratorium Pusarpedal sebagai laboratorium lingkungan rujukan, dan terselenggaranya bimbingan teknis untuk peningkatan kapasitas laboratorium lingkungan kabupaten/Kota baik yang dilaksanakan di daerah maupun di Pusarpedal. 10. Diterapkannya Kebijakan dan Standarisasi Lingkungan, ditunjukkan dengan tersedianya Sistem Manajemen Lingkungan (SML) penerapan ISO 14001, ekolabel, dan berkembangnya Pusat Produksi Bersih Nasional. 11. Meningkatnya keberhasilan program Adipura

468

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

dari 165 kota pada 2005 menjadi 360 kota pada 2007. Namun dari jumlah peserta Adipura 2007, hanya 84 kabupaten/kota yang memenuhi skala nilai Adipura baik. 12. Meningkatnya keberhasilan program Superkasih hingga tahun 2007 di 7 Provinsi dengan jumlah industri mencapai 263 perusahaan. Kegiatan ini ditujukan untuk melindungi 5 DAS serta 2 wilayah pesisir dan laut, serta difokuskan pada pelaksanaan rencana aksi pengendalian pencemaran pada sumbernya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Martapura dengan ruang lingkup wilayah kota Banjarmasin. 13. Terlaksananya Program Perlindungan Lapisan Ozon. Pada 2006 telah dilakukan penghapusan pemakaian bahan perusak lapisan ozon (BPO) untuk aerosol, MAC dan foam sebesar 321 metric ton (MT), dan pendistribusian peralatan untuk semua sektor. 14. Meningkatnya keberhasilan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (PROPER). Pada 2007, PROPER telah melibatkan lebih dari 553 perusahaan. Pada 2007, beberapa sektor industri mampu menurunkan beban pencemaran secara signikan. Data kinerja pengolahan limbah cair dari kilangkilang minyak bumi menunjukkan penurunan beban pencemaran untuk parameter-parameter Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 9 persen, Chemical Oxygen Demand (COD) sebesar 88 persen, minyak dan lemak sebesar 264 persen, amonia 630 persen dan H2S sebesar 33 persen, 35 industri Pulp dan Paper mampu mengurangi beban pencemaran BOD sebanyak 72 ton per tahun, sedangkan untuk industri karet remah dapat menurunkan beban pencemaran COD sebesar 348.69 kg/ton produk. 15. Membaiknya mitigasi perubahan iklim. Hal ini ditandai dengan disetujuinya 70 usulan proyek CDM oleh Komnas MPB hingga tahun 2008. Dari 70 usulan proyek tersebut, 21 diantaranya telah diakui oleh PBB dengan terdaftar di CDM

Executive Board. Dari 20 proyek yang disetujui Komnas MPB tersebut diharapkan dapat mereduksi emisi sekitar lebih dari 30 juta ton setara CO2. Selain itu Indonesia telah penyusunan Rencana Aksi Nasional Untuk Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI). Setelah meratikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change UNFCCC) melalui UU No. 6 Tahun 1994 dan Kyoto Protokol dengan UU No. 17 Tahun 2004, Indonesia turut berpartisipasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 16. Tersusunnya RUU PSDA dan telah disampaikan ke presiden. 17. Tersempurnakannya RUU PPSDG. 18. Terlaksananya Revisi UU No. 23 tahun 1997. 19. Tersusunnya 2 (dua) Rancangan UU (RUU) yang telah disampaikan ke DPR, yaitu RUU tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten dan RUU tentang Pengesahan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas. 20. Telah disusunnya 15 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 21. Telah disahkannya UU No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah pada tanggal 7 Mei 2008. 22. Berkembangnya Debt Swap for Nature (DNS) dari Pemerintah Jerman sebesar Rp 68,75 milyar untuk menggerakkan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) melalui bisnis lingkungan seperti usaha daur ulang dan meningkatkan persaingan UMK dengan pembiayaan investasi lingkungan. 23. Terdapatnya potensi pengurangan beban pencemaran di 110 UMK: 66 ton limbah plastik/hari, 7,5 ton/hari limbah kotoran ternak dan esiensinya pemakaian pestisida dengan penerapan DNS pada 2007. 24. Meningkatnya peran penerima kalpataru yang berjumlah 240 orang/kelompok;

469

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

25. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam pelestarian lingkungan hidup melalui Program Adiwiyata. 26. Terbentuknya advokasi komunikasi lingkungan dan aliansi strategis masyarakat peduli lingkungan dengan mengembangkan kader lingkungan perorangan, kelompok, masyarakat, atau jalur organisasi kemasyarakatan, keagamaan, komunitas pendidik, dan komunikasi jurnalis. 27. Terjalinnya sinergitas kemitraan dengan kaukus lingkungan di DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, serta jaringan Environmental Parliament Watch (EPW). 28. Terlaksananya penguatan kader-kader lingkungan petani, nelayan, masyarakat pesisir, masyarakat tradisional dan adat, komunitas bantaran sungai, dan sebagainya. Secara totalitas, kader lingkungan yang terbentuk tidak kurang dari 22 orang dan 963 kelompok yang tersebar di 21 provinsi di Indonesia. 29. Terwujudnya pengembangan kerangka Indonesia Environment Fund Stategy dan upaya integrasi instrumen lingkungan dalam perbankan nasional. 30. Terbangunnya 223 gedung lab, 159 unit pengolah sampah, 48 unit teknologi biogas, dan 7 IPAL skala kecil. 31. Meningkatnya keberhasilan program Warga Madani. Hal ini ditandai dengan meningkatnya peserta program Warga Madani hingga 22 ribu individu dan 963 kelompok pada 2006, tersebarnya kader lingkungan di 21 provinsi, terbentuknya lebih dari 8.544 kader lingkungan perorangan dan 291 kader lingkungan kelompok di kawasan publik dan nonpublik perkotaan, terwujudnya Eco-Pesantren di 41 Ponpes dan 10 pondok pesantren penerima Kalpataru; serta terbentuknya 269 EPW di 269 kabupaten/kota yang terbagi dalam 14 kluster. 32. Tersusunnya laporan SLHI 2004 hingga 2007,

dan draft SLHI 2008, evaluasi SLHD 2004 hingga 2006, dan kajian status lingkungan 2002 2007. 33. Terlaksananya pengembangan struktur metadata keanekaragaman hayati berdasarkan program tematik dan isu lintas tema dari Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui Balai Kliring Keanekaragaman Hayati (BKKH). 34. Tersusunnya database SDG Holtikultura. 35. Terbentuknya jejaring dengan Pemerintah Daerah melalui MoU dalam rangka pertukaran data dan informasi bidang keanekaragaman hayati. 36. Tersusunnya laporan analisis kualitas sungai dengan metode QUAL2E, Kajian potensi bencana Sumatera Barat, Maluku dan Papua, Pembuatan web-site Sistem Informasi Geogras (SIG), dan pembuatan tutorial SIG open based system dan konversi data spasial. 37. Tercapainya kecepatan waktu penyampaian/ penyediaan informasi gempa dan tsunami kurang dari 7 menit. 38. Meningkatnya frekuensi penyampaian informasi cuaca umum dalam kondisi khusus dari 2x/hari menjadi 4x/hari. 39. Terlaksananya layanan cuaca penerbangan pada bandar udara, serta layanan cuaca maritim pada pelayaran yang disiarkan melalui radio pantai; 40. Terlaksananya pemasangan peralatan kualitas udara untuk pengamatan CO debu pada 1 lokasi di Jakarta, serta 41. Terlaksananya penyusunan peta iklim dan peta agro klimat untuk pulau Jawa, serta peta iso dan peta curah hujan di seluruh Indonesia. 42. Meningkatnya akurasi dan kecepatan penyampaian informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. 43. Tersedianya informasi peringatan dini cuaca

470

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

dan iklim ekstrim yang secara cepat dapat diterima oleh masyarakat. 44. Meningkatnya akurasi dan kecepatan penyampaian informasi cuaca untuk keselamatan penerbangan. 4.18.3.2. Permasalahan Pencapaian Sasaran 4.18.3.2.1.Sasaran Pembangunan Kehutanan Pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 yang terkait dengan sasaran pembangunan kehutanan mengalami berbagai permasalahan. Diantaranya adalah: 1. Pengelolaan hutan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi akibat kesadaran akan pentingnya prinsip kelestarian yang belum membudaya, serta tingginya orientasi pada keuntungan jangka pendek. Akibatnya, degradasi sumber daya hutan meningkat dan kualitas lingkungan menurun; 2. Lemahnya kapasitas kelembagaan pengelola sumber daya hutan khususnya di tingkat lapangan. Akibatnya, pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management/SFM) masih belum dapat dilaksanakan dengan baik; 3. Masih berdampaknya kebijakan soft landing pada kesenjangan bahan baku. Dampak tersebut diperkirkan mencapai 26 juta m3 per tahun. Selain itu, soft landing juga berdampak pada adanya penebangan ilegal untuk memenuhi permintaan industri; 4. Belum optimalnya penegakan hukum terkait Undang-undang No 31 tahun 2004. Akibatnya, hubungan baik antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah belum tercipta; 5. Pendekatan Pemerintah Daerah dalam menerbitkan peraturan dan kebijakan daerah untuk mendorong pembangunan daerah, tanpa melihat aspek pembangunan keberlanjutan;

6. Belum optimalnya koordinasi antar-instansi; 7. Belum memadainya sarana, prasarana, dan peralatan, seperti peralatan tata batas, perlindungan, maupun pemetaan; 8. Belum terselesaikannya restrukturisasi industri kehutanan. Akibatnya, permintaan bahan baku kayu dari industri dalam negeri jauh melebihi kemampuan penyediaan yang berkelanjutan; 9. Sistem pengelolaan hutan masih didominasi oleh pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada pihak-pihak tertentu. Pemberian hak pengusahaan tersebut tidak mengikutsertakan masyarakat setempat, masyarakat adat, maupun Pemerintah Daerah; serta 10. Menurunnya tingkat operasional perusahaan yang memanfaatkan hutan alam (IUPHHKHA) akibat luasan hutan alam. Sementara itu, beberapa areal HTI yang telah memperoleh izinbelum dapat beroperasi dengan baik. 11. Kurang memadainya kualitas sumberdaya manusia yang bekerja di sektor kehutanan, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan teknis dan manajerial; 12. Kurang memadainya kualitas sumberdaya manusia yang menangani urusan kebakaran hutan, perlindungan, dan konservasi hutan, baik di tingkat operasional maupun penyidikan;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

13. Kurang memadainya sarana, prasarana, dan peralatan kebakaran hutan; 14. Banyaknya tuntutan dari berbagai sektor untuk merevisi peraturan perundangan yang mengganggu, khususnya terkait dengan PP 34 dan PP 35 tahun 2002, PP 18 tahun 1994, PP 68 tahun 1994 yang menyangkut pemanfaatan di kawasan konservasi; serta 15. Masih manyaknya kerusakan DAS. Kerusakan ini terjadi akibat: a. Banyaknya praktik penebangan liar dan konversi lahan; b. Lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan DAS;

471

16. Kurang optimalnya koordinasi antara kegiatan di hulu dan hilir. Hal ini telah menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau di beberapa daerah. 17. Masih lemahnya emahnya komitmen untuk menempatkan masalah keanekaragaman hayati sebagai bagian penting pembangunan konservasi SDA. 18. Tingginya keterkaitan antara keberhasilan kegiatan penanaman dengan kondisi musim hujan. Hal ini mengakibatkan mekanisme pendanaan menjadi cukup sulit bagi penyelenggara/pelaksana di lapangan dalam mencapai target rehabilitasi; 19. Menurunnya dana rehabilitasi hutan akibat penurunan dana reboisasi. Sementara itu, penurunan dana reboisasi itu sendiri terjadi akibat penurunan IUPHHK-HA. Padahal, dana reboisasi merupakan satu-satunya sumber dana rehabilitasi hutan. Untuk itu, sumber dana rehabilitasi hutan harus diusahakan tidak tergantung kepada dana Pemerintah yang besarannya sangat kecil. Akan tetapi, juga bersumber dari dana lainnya termasuk dana dari masyarakat atau dana dari bantuan hibah luar negeri; 20. Masih kurang optimalnya penegakan hukum terhadap pelanggaran undang-undang dan peraturan yang terkait dengan kehutanan. Akibatnya, kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging), tebang berlebih, perdagangan kayu ilegal (illegal trading), pembakaran hutan, serta konversi kawasan hutan masih sering terjadi; 21. Belum optimalnya pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hal ini dikarenakan tidak jelasnya pelaksanaan aturan kerjasama Pemerintah dan masyarakat, serta kondisi masyarakat yang miskin sehingga mudah dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan illegal logging; serta 22. Terbatasnya sarana dan prasarana di bidang pengembangan DAS. Pada umumnya, sarana

Dok : PolaGrade (CAG)

dan prasarana tersebut sudah tidak dapat mendukung pengelolaan DAS. 4.18.3.2.2. Sasaran Pembangunan Kelautan Dalam pencapaian sasaran Pembangunan Kelautan masih terdapat beberapa permasalahan, diantaranya adalah: 1. Belum memadainya sarana dan prasarana pengawasan terhadap illegal shing dan kegiatan lain yang menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya kelautan. Jumlah kapal yang ditangkap karena diperkirakan melakukan pelanggaran telah bertambah, dan jumlah tindak pidana berkurang, namun masih perlunya pengembangan sistem monitoring, controlling dan surveillance yang diperkirakan mampu mencegah dan menangkal illegal shing secara efektif dan esien. 2. Belum tuntasnya penyelesaian tata batas wilayah laut dengan negara tetangga dalam rangka penguatan kedaulatan NKRI. 3. Belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil, baik dari segi pemanfaatan maupun penataan ruang. 4. Terjadinya perubahan iklim dan bencana pasang air laut yang berdampak tidak saja pada ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tetapi juga pada permukiman dan akses penduduk terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan.

472

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

4.18.3.2.3. Sasaran Pembangunan Pertambangan dan Sumber Daya Mineral Pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 yang terkait dengan Sasaran Pembangunan Pertambangan dan Sumber Daya Mineral dengan mengalami berbagai permasalahan. Diantaranya adalah: 1. Menurunnya produksi minyak bumi pada tiga tahun terakhir sebesar 15 persen per tahun (apabila tidak dilakukan usaha-usaha peningkatan produksi). Hal ini dikarenakan mayoritas lapangan minyak yang beroperasi saat ini merupakan lapangan tua. Produksi saat ini merupakan hasil investasi 6-7 tahun yang lalu. Sementara itu, tidak ada penemuan cadangan baru yang cukup besar untuk menggantikan cadangan yang telah diproduksikan. 2. Terdapat hambatan pada peningkatan investasi di sektor migas, antara lain: a. Adanya tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan, dan kuasa pertambangan yang izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Penyelesaian tumpang tindih ini memerlukan koordinasi antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah yang seringkali memerlukan waktu yang cukup lama; b. Banyaknya peraturan daerah yang tidak sejalan dengan UU Migas dan peraturan lain yang lebih tinggi. Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum bagi investor dan iklim yang tidak kondusif untuk investasi minyak dan gas bumi di Indonesia; serta c. Munculnya masalah terkait kemampuan daerah dalam penyertaan modal (participating interest) untuk kegiatan eksplorasi dan eksplotasi migas; 3. Meningkatnya kebutuhan BBM selama 20 tahun terakhir dengan tingkat kelajuan 5-6 persen per tahun. Sementara itu, peningkatan pasokan BBM masih belum memadai. Beberapa hal yang menjadi penyebab ketidakseimbangan permintaan dan pasokan ini antara lain: a. Turunnya produksi minyak mentah dalam

negeri, serta terbatasnya kapasitas kilang dalam negeri. Produksi minyak mentah tidak beranjak dari 1 juta barel perhari dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan pada 2007, produksi minyak mentah turun menjadi 910 ribu barel perhari atau lebih rendah dari target semula sebesar 950 ribu barel per hari; b. Peningkatan kebutuhan BBM yang tidak disertai dengan peningkatan pemanfaatan sumber energi lainnya. Program pengalihan minyak tanah ke LPG yang menjadi salah satu upaya Pemerintah untuk penghematan BBM masih mengalami hambatan. Dengan meningkatnya harga minyak dunia, subsidi BBM membengkak. Pengurangan subsidi BBM masih sulit dilaksanakan, sepanjang masih terjadinya disparitas harga. Di sisi lain, belum terjadinya keseimbangan pemanfaatan gas bumi baik untuk ekspor maupun domestik menyebabkan terjadinya kelangkaan suplai gas di beberapa daerah. 4. Pemanfaatan batubara untuk kebutuhan dalam negeri juga mengalami hambatan. Hal ini disebabkan karena harga batubara internasional meningkat, sehingga umumnya produksi batubara dimanfaatkan untuk ekspor; serta tingkat investasi di sektor pertambangan umum yang belum tumbuh sesuai dengan potensi cadangan mineral. Hal ini mengakibatkan hilangnya potensi ekspor dan pendapatan negara. Pada sepuluh tahun terakhir, tingkat investasi pertambangan umum menurun secara drastis. Penurunan ini disebabkan oleh dua hal, yaitu: a. Sulitnya lahan pertambangan yang dapat dikembangkan, terutama setelah diterbitkannya UU Kehutanan No. 41 tahun 1999. Akibatnya, beberapa kegiatan eksplorasi dan investasi di daerah (lokasi) yang kaya akan cadangan mineralnya menjadi terhenti; serta b. Adanya persepsi investor mengenai ketidakpastian tentang Undang-Undang mineral dan pertambangan yang sampai saat

473

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

ini belum disahkan. Termasuk di dalamnya adalah terkait rencana ketetapan Pemerintah untuk menghentikan sistem kontrak karya (Contract of Works, CoW) yang selama ini menjadi basis hukum dalam pengusahaan tambang skala besar. 4.18.3.2.4. Sasaran Pembangunan Lingkungan Hidup Pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 yang terkait dengan Sasaran Pembangunan lingkungan hidup mengalami berbagai permasalahan. Diantaranya adalah: 1. Kelembagaan masyarakat belum tumbuh seperti yang diharapkan. Akibatnya, beberapa kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat seperti Gerhan atau yang lainnya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan; 2. Unit-unit teknis pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, belum tersebar secara merata di seluruh Indonesia; 3. Terbatasnya sumberdaya manusia dan pendanaan untuk mengembangkan kapasitas pengelolaan SDA dan lingkungan hidup; 4. Belum adanya kajian komprehensif mengenai peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk menyusun mekanisme pembagian peran antara Pemerintah pusat, daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

9. Terbatasnya kesediaan dana untuk pengadaan alat-alat pemantauan lingkungan hidup menjadi kendala tersendiri untuk ketersediaan informasi lingkungan; 10. . Masih tingginya tingkat pencemaran air; dimana sumber yang paling menonjol adalah pembuangan limbah industri dari manufaktur dan argo, pertambangan energi dan migas, serta usaha kecil, dan limbah domestik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat penataan industri/domestik dalam pengelolaan limbah; 11 Tingginya aktivitas pembangunan dan manusia di kota besar yang disebabkan khususnya dalam sektor transportasi, industri dan aktitas rumah tinggal; 12. Tinggi dan luasnya tingkat perusakan lingkungan hidup dan terbatasnya sumber daya; 13. Kurangnya sumber air bersih di daerah tertinggal/sulit air; Menurunnya fungsi dan kualitas lingkungan air akibat meningkatnya beban pencemaran air iklim yang mulai dirasakan sekarang ini. Kuantitas air yang tidak menentu karena pola perubahan curah hujan menyebabkan uktuasi supply air di badan air; 14. Lemahnya kualitas dan kuantitas SDM dalam bidangan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; 15. Kendala koordinasi antara berbagai sektor terkait dan daerah; 16. Rendahnya kapasitas dan kurangnya kepedulian masyarakat akan pengelolaan lingkungan. Berbagai persoalan tersebut mengakibatkan penurunan kualitas media lingkungan hutan, tanah, air tanah dan air permukaan, udara dan atmosfer, serta pantai dan laut. Selanjutnya, hal ini akan berdampak pada turunnya kualitas lingkungan sebagai penyangga kehidupan.

5. Belum optimalnya program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup; serta 6. Belum dilibatkannya secara formal lembaga adat/ lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup; 7. Terbatasnya kualitas informasi lingkungan hidup dan aksesibilitasnya; 8. Terbatasnya kemampuan dalam pengumpulan dan pengolahan data bidang lingkungan hidup; serta

474

Bagian 4

4.18.4. Tindak Lanjut 4.18.4.1. Upaya yang Dilakukan untuk Mencapai Sasaran 4.18.4.1.1.Pembangunan Kehutanan Upaya yang akan dilakukan untuk mencapai target sasaran pembangunan RPJMN 2004-2009 dalam pembangunan kehutanan di antaranya sebagai berikut: 1. Meningkatkan sumberdaya manusia dari segi keahlian dengan melaksanakan pendidikan, pelatihan baik formal maupun non formal; 2. Menempatkan tenaga kerja sesuai dengan bidang dan keahliannya. Hal ini dikarenakan banyak tenaga ahli kehutanan, terutama di sejumlah IUPHHK, sering kali ditempatkan bukan sebagai tenaga teknis. Akan tetapi, lebih diarahkan ke bidang lainnya seperti hubungan masyarakat. Akibatnya, keahlian yang dimiliki tidak dapat digunakan secara maksimal; 3. Merevisi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan, pemberdayaan masyarakat, dan masuknya investasi di sektor kehutanan. Diantaranya adalah PP nomor 34 (dalam tahap revisi) dan PP nomor 35 tahun 2002, serta PP nomor 18 dan PP nomor 68 tahun 1994. PP tersebut harus lebih diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan geliat investasi di sektor kehutanan yang saat ini jauh dari apa yang ingin diharapkan. Selain itu, aturanaturan yang menghambat investasi perlu direvisi dan diarahkan untuk memberikan ruang investasi yang luas bagi masyarakat maupun pengusaha di bidang kehutanan; 4. Melaksanakan penguatan dan pengembangan kelembagaan untuk menangani pemantapan kawasan hutan di beberapa provinsi. Saat ini, pemantapan kawasan belum dilaksanakan di semua kawasan hutan sehingga menyulitkan dalam pengelolaan hutan. Dengan pengem-

bangan kelembagaan, maka diharapkan pemantapan kawasan hutan bisa lebih cepat dilaksanakan dan memberikan jaminan akan keberadaan hutan; 5. Membentuk unit-unit pengelola hutan di hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung. Hal ini diperlukan agar penanggung jawab pengelolaan hutan menjadi jelas, serta pengelolaan hutan menjadi terarah dan mengurangi hutan yang open akses; 6. Mempercepat penerbitan peraturan Pemerintah turunan dari UU Nomor 31 tahun 2004 dan PP nomor 38 tahun 2007, khususnya yang menyangkut kewenangan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, tata hubungan kerja diantara institusi Pemerintah pengurusan hutan maupun antar-Pemerintah dengan unit-unit pengelola terjalin dengan baik; 7. Meningkatkan koordinasi antar-instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah, dalam upaya pelaksanaan kebijakan kehutanan. Kebijakan kehutanan semaksimal mungkin harus searah dan sejalan dengan sektor lain, sehingga saling mendorong dan konik kepentingan antar sektor bisa diminimalisir; 8. Membuka lapangan kerja dengan model rehabilitasi hutan dan lahan partisifatif. Hal ini dikarenakan kedua model tersebut mengedepankan peran antar sektor dan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, hingga pemanfaatan hasil; 9. Meningkatkan dan memperkuat dukungan dari berbagai sektor, khususnya yang menyangkut penanganan illegal logging, serta pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan; 10. Mempercepat penyusunan DIPA sektor kehutanan untuk menyesuaikan mekanisme pengganggaran dengan pola kegiatan yang ada di sektor kehutanan; serta 11. Memaksimalkan sumber pendanaan luar negeri (hibah) untuk mendukung program yang telah diprioritaskan.

475

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.18.4.1.2. Pembangunan Kelautan Untuk mencapai target sasaran pembangunan RPJMN 2004-2009 dalam pembangunan kelautan, maka dilakukan beberapa langkah yang meliputi: 1. Menanggulangi kegiatan illegal shing. Hal ini ditempuh melalui beberapa upaya, antara lain: a. Meningkatkan jangkauan wilayah operasi kapal pengawas dan kemampuan SDM pengawasan, serta pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan; b. Memberdayakan masyarakat melalui pengembangan SISMASWAS (Sistem Pengawasan Masyarakat); c. Melaksanakan public campaign IUU Fishing; serta d. Mengembangkan sarana pengawasan dengan pengadaan unit kapal pengawas. 2. Mengelola laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini ditempuh melalui beberapa upaya, antara lain: a. Menyusun tata ruang dan fasilitasi Perda di berbagai 25 kab/kota; b. Mengembangkan pengelolaan pesisir terpadu di 15 provinsi 42 kab/kota, memberdayakan pulau-pulau kecil di 30 lokasi, dan menyelesaikan penamaan pulau; c. Mengurangi dampak bencana alam di pesisir dengan mengembangkan sarana prasarana berbasis mitigasi bencana di 11 lokasi; serta d. Mengelola sumber daya kelautan non konvensional di 15 lokasi wisata bahari dan 1 lokasi BMKT; 3. Meningkatkan berbagai kegiatan pendukung lainnya. Hal ini ditempuh melalui beberapa upaya, antara lain: a. Menyediakan data statistik dan informasi kelautan dan perikanan yang akurat dan tepat waktu; b. Mengembangkan riset kelautan dan perikanan, meningkatkan sumberdaya riset kelautan dan perikanan, serta meningkatkan

pemanfaatan IPTEK berbasis masyarakat; c. Mendukung pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) 2009; serta d. Menyiapkan peraturan perundang-undangan tindak lanjut UU No. 31/2004 tentang Perikanan, serta UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 4. Meningkatkan kapasitas kelembagaan untuk menunjang rehabilitasi terumbu karang, mangrove, dan padang lamun di 8 provinsi 15 kab/kota; serta 5. Meningkatkan dukungan lintas sektor terkait dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, terutama bagi usaha perikanan skala kecil. 4.18.4.1.3.Pembangunan Pertambangan dan Sumber daya Mineral Upaya dalam pembangunan pertambangan dan sumberdaya mineral difokuskan pada dua hal, yaitu: 1. Meningkatkan investasi dan produksi migas, batubara, mineral dan panas bumi. Hal ini ditempuh melalui berbagai tindakan. Diantaranya adalah: a. Meningkatkan pemanfaatan mineral dan batubara; b. Mengelola, menyiapkan, dan menilai wilayah kerja minyak dan gas bumi; c. Membina dan mengawasi kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi; d. Menilai dan mengembangkan usaha hulu minyak dan gas bumi; e. Melakukan penelitian, penyelidikan inventarisasi, serta eksplorasi hulu minyak dan gas bumi; f. Menerapkan Good Mining Practices; g. Melakukan pembinaan dan pengusahaan kegiatan pertambangan; h. Merencanakan dan mengembangkan wilayah kerja mineral, batubara dan panas bumi; i. Melakukan survey dan pemetaan geologi,

476

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

geosika, geokimia dalam mendukung promosi wilayah kerja tambang; j. Meningkatkan pelayanan dan pemantauan usaha gas bumi; serta k. Melakukan penilaian dan pengembangan usaha. 2. Meningkatkan esiensi distribusi dan pemanfaatan BBM untuk mengurangi tingginya permintaan terhadap BBM. Hal ini ditempuh melalui berbagai tindakan, antara lain: a. Melakukan pengembangan dan pemanfaatan energi; b. Meningkatkan pemanfaatan panas bumi; c. Menyusun kebijakan dan regulasi pemanfaatan energi; d. Menyusun kebijakan dan regulasi usaha energi terbarukan; e. Menyusun kebijakan dan regulasi konversi energi; f. Menyiapkan bimbingan teknis energi baru dan terbarukan, serta konversi energi; g. Meningkatkan pelayanan usaha pengangkutan dan penyimpanan niaga; h. Mengembangkan teknologi energi baru terbarukan; i. Membangun jaringan transmisi dan distribusi gas, menyusun regulasi dan kebijakan pendukung; j. Melakukan pembinaan pengusahaan usaha gas bumi; serta k. Melakukan penyiapan dan penentuan harga dan substitusi bahan bakar. 4.18.4.1.4. Pembangunan Lingkungan Hidup Untuk mencapai target sasaran pembangunan RPJMN 2004-2009 dalam pembangunan lingkungan hidup, maka dilakukan beberapa upaya. Di antaranya adalah: 1. Meningkatkan upaya pengendalian pencemaran lingkungan dan mendorong manajemen pembangunan yang ramah lingkungan. Dengan demikian, kualitas ambien dan me-

dia lingkungan (air, udara, tanah) dapat memenuhi baku mutu yang disyaratkan; 2. Meningkatkan konservasi SDA dan pengelolaan keanekaragaman hayati; 3. Meningkatkan ketaatan terhadap pembangunan yang ramah lingkungan melalui upaya peningkatan keselarasan dan ketaatan terhadap perencanaan penataan ruang, dan kajian dampak lingkungan; 4. Meningkatan kualitas informasi lingkungan, meteorologi dan geosika dalam mengantisipasi berbagai permasalahan lingkungan termasuk perubahan iklim; 5. Meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global; 6. Menguatkan akses masyarakat terhadap informasi lingkungan hidup; dan akses informasi meteorologi dan klimatologi dengan cara: a. Membangun sistem peringatan dini meteorologi (cuaca dan iklim ekstrim); b. Menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Meteorologi dan Geosika; c. Meningkatkan kerapatan jaringan observasi, kecepatan, dan kapasitas pengiriman informasi meteorologi dan geosika, serta fasillitas kalibrasi; d. Meningkatkan kecepatan penyampaian informasi serta aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh informasi meteorologi dan geosika; serta e. Mengembangkan sistem validasi model prakiraan, perubahan iklim, serta desain dan rekayasa peralatan pengamatan cuaca otomatis. 7. Meningkatkan upaya penegakan hukum lingkungan secara konsisten terhadap pencemar dan perusak lingkungan; 8. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan sektor terkait dengan pembangunan di bidang lingkungan hidup; 9. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di pusat maupun daerah;

477

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

10. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; 11. Meningkatkan kemampuan riset dan pengembangan dalam proses penyusunan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. 4.18.4.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 4.18.4.2.1.Pembangunan Kehutanan Berdasarkan hasil dari upaya-upaya pembangunan kehutanan yang telah dilaksanakan pada 20052008, diperkirakan sasaran RPJMN 2004-2009 dapat tercapai. Meskipun demikian, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya adalah: 1. Penegakan hukum secara konsisten dalam illegal logging dan illegal trading; 2. Kesiapan aparat Manggala Agni dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan; 3. Konsistensi dalam melakukan revitalisasi dan restrukturisasi industri kehutanan; serta 4. Peningkatan peran masyarakat dalam rehabilitasi hutan dan lahan, pencegahan kebakaran hutan, serta pengelolaan hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. 4.18.4.2.2.Pembangunan Kelautan
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

an bidang sumberdaya energi, mineral, dan pertambangan pada 2005-2008, diperkirakan sasaran RPJMN 2004-2009 dapat tercapai. Meskipun demikian, beberapa sasaran perlu diintensifkan upaya pencapaiannya, terutama sasaran-sasaran terkait dengan alih teknologi; kompetensi tenaga kerja; dan kesadaran pembangunan berkelanjutan dalam eksploitasi energi dan sumberdaya mineral, serta usaha pertambangan. 4.18.4.2.4. Pembangunan Lingkungan Hidup Berdasarkan hasil dari upaya-upaya pembangunan lingkungan hidup pada 2005-2008, diperkirakan sasaran RPJMN 2004-2009 dapat tercapai. Untuk itu, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya:

Berdasarkan hasil dari upaya-upaya pembangunan kelautan yang telah dilaksanakan, diperkirakan sasaran RPJMN 2004-2009 dapat tercapai. Untuk itu, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya adanya dukungan lintas sektor terkait, serta penciptaan iklim usaha yang kondusif, terutama bagi usaha perikanan skala kecil. 4.18.4.2.3.Pembangunan Pertambangan dan Sumberdaya Mineral Berdasarkan hasil dari upaya-upaya pembangunDok : Alain Compost

478

Bagian 4

1. Peningkatan kapasitas kelembagaan di bidang lingkungan hidup termasuk dukungan organisasi, SDM, sarana dan prarasana yang memadai; 2. Pengembangan database yang makin komprehensif serta peningkatan kinerja di bidang informasi lingkungan dan meteorologi dan geosika; 3. Penyempurnaan penyusunan SLHI dan SLHD 2007; 4. Peningkatan koordinasi dan kerjasama antarlembaga terkait; 5. Ketersediaan sumberdaya dan dana yang memadai; 6. Pengembangan peraturan dan perundangundangan bidang lingkungan hidup dan pendukungnya; 7. Penegakan hukum yang konsisten.

bahwa pemanfaatan SDA yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan mengancam keberlanjutan pembangunan nasional. Oleh karena itu sasaran RPJMN 2004-2009 dalam bidang ini ditujukan pada mengoptimalkan keuntungan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian SDA dan lingkungan hidup. Dalam pelaksanaan pencapaian sasaran tersebut terdapat permasalahan yang secara umum meliputi antara lain dalam hal lemahnya kapasitas kelembagaan di daerah, belum optimalnya penegakan hukum, kurangnya harmonisasi peraturan, konik kepentingan antarpihak, kurangnya sarana prasarana, dan perlu ditingkatkannya peran serta masyarakat. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini terus dilakukan dalam RKP baik yang sekarang sedang berjalan maupun yang akan datang. Sasaran RPJMN 2004-2009 diperkirakan dapat tercapai dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya adalah terus dijalankannya penegakan hukum secara konsisten, dukungan lintas sektor yang secara langsung dan tidak langsung memanfaatkan SDA, sistem informasi yang mendukung dan kerjasama yang baik antara Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat luas.

4.18.5. Penutup Perbaikan pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan suatu investasi masa depan bagi pembangunan nasional, baik sebagai modal pertumbuhan ekonomi maupun sebagai penopang sistem kehidupan. Kondisi awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 menunjukkan

479

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

480
Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian 634,7 10.838 / 11.065 10.354 598,00 / 965,5 372,82 / 435,61 446,81 218,95 27,82 / 27,72 28,78 2,304 3.344 3.394,90 / / 5.502 3.240,61 / 2,405 2,769 4.242 2.403,02 5.251,00 1.220

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.18.1. Sasaran dan Pencapaian Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

KEHUTANAN

Tegaknya hukum, khususnya dalam pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu

Laju Deforestasi

Ribu ha/tahun

Jumlah tenaga pengaman hutan Pengaman Hutan

Orang

Penetapan kawasan hutan dalam tata-ruang seluruh provinsi di Indonesia, setidaknya 30 persen dari luas hutan yang telah ditatabatas;

Luas lahan yang sudah di tatabataskan

Kilo meter

Penyelesaian penetapan kesatuan pengelolaan hutan

Jumlah pengelolaan hutan produksi

Juta Ha

Optimalisasi nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu;

Total Eksport kayu Olahan + Pulb

Milyar US$

Jumlah Kebakaran Hutan

Ha

Jumlah Penerimaan Departemen Kehutanan

Milyar Rupiah

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Meningkatnya hasil hutan non-kayu sebesar 30 persen dari produksi tahun 2004; 359.780.555,80 / 72.325.546,39 84.066.767,18

Nilai Devisa Ekspor Hasil Hutan Non-kayu

US$

Bertambahnya hutan tanaman industri (HTI), minimal seluas 5 juta hektar, sebagai basis pengembangan ekonomi-hutan; 5.802.704 / 5.734.980 6.187.272 354,20

Perkembangan HPHTI/ IUPHHK Hutan Tanaman

Ha

Konservasi hutan dan rehabilitasi lahan di 282 DAS prioritas untuk menjamin pasokan air dan sistem penopang kehidupan lainnya; 345.850,00 390.896,00 / 70.410,00 301.020 / 30.217,00 250.813 78.468 239.236

Rehabilitasi Lahan Dalam Hutan

Ha

Rehabilitasi Lahan Luar Hutan

Ha

Berkembangnya kemitraan antara Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari; dan 6.684,00 / 3.254,00 596,00 8.614,00

Bagian 4

Penanaman Hutan Kemasyarakatan

Ha

Penerapan iptek yang inovatif pada sektor kehutanan. 475 430 446

Jumlah kegiatan Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan

kali

481

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

482
Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian 2,20 persen 72 16 174 / 165 139 116 / 23 91 5 / 115 132 184 200 12 62 11 128 / 184 177 / 14 16 20 215 20 233 180 Diterapkannya sistem MCS dan VMS 1.444 93 553 / 573 Terbentuknya peradilan perikanan di 5 lokasi (Tual, Pontianak, Jakarta, Belawan dan Bitung) / 118 1.444 49 758 Beroperasinya peradilan perikanan di 5 lokasi (Tual, Pontianak, Jakarta, Belawan dan Bitung) Dikembangkannya VMS oine 1.444 82 901 1.444 73 1.369

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.18.1.

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

KELAUTAN

Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumberdaya pesisir dan laut;

Persentase kenaikan ketaatan terhadap ketentuan

persen

Jumlah kapal yang di-ad hoc

Unit

Jumlah kapal yang dirampas untuk Negara

Unit

Jumlah tindak pidana

Kasus

Tersedianya sarana dan prasarana patroli keamanan laut yang terdiri dari:

Kapal pengawas (kumulatif)

Unit

Jumlah Awak Kapal Pengawas

Orang

Hari operasi

Hari

Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS)

Transmitter pada kapal (kumulatif)

Unit

PPNS

Orang

Jumlah pokmaswas (kumulatif)

Kelompok

Peradilan perikanan

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulaupulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, dan berbasis masyarakat; Pengesahan RUU Pengolahan Wilayah Pesisir (PWP), Pepres pengelolaan Pulau Pulau Kecil terluar No.78/2005 Pengesahan UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil Perumusan kebijakan dan penyusunan peraturan dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulaupulau kecil secara terintegrasi. Pemasangan energi listrik tenaga surya, sarana telekomunikasi telepon satelit, sarana air bersih, pengadaan Penamaan 2.726 landing craft tank pulau-pulau di 11 (LCT), rehabilitasi provinsi ekosistem pulaupulau kecil, serta kegiatan inventarisasi dan penamaan pulau-pulau kecil di beberapa provinsi. 425 406 Kerjasama bilateral dengan Australia, Malaysia, fasilitasi program aksi Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME), NACA, SEAFDEC, IOTC, FAO, UNIDO, UNEP dan GEF 100 406 Kerjasama antardaerah, seperti Selat Karimata, Teluk Tomini, Teluk Balikpapan, Selat Bali, Selat Makasar dan Teluk Cendrawasih, kerjasama di SSME, Solomon Bismarck, Laut Banda, dan MoU Box IndonesiaAustralia.

Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil

Pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil terpadu

Pengelolaan pesisir terpadu dan pelaksanaan Marine and Coastal Resource Management Project

Verikasi 7.367 pulau, 3.831 unit listrik tenaga surya, 52 unit wartel dan radio satelit, sarana penerangan tenaga hibrid untuk 100 KK, sarana energi biogas untuk 800 Kk, perbaikan sarana air bersih di 13 lokasi, sarana LCT di 10 kab, kapal kesehatan di 4 kab, kapal pintar di 2 prov dan 1 kapal transportasi antarpulau di Maluku

Pengadaan energi alternatif Unit 215 / 325

Unit

936

1.986

Penyedian mesin/kapal untuk modal usaha

Bagian 4

Kerjasama dengan negara lain dan antardaerah

483

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

484
Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian 26 Regional Center yang melibatkan sebanyak 61 Universitas dan PLBPM di 20 kabupaten/kota. PLBPM di 20 kabupaten/ kota. 6,85 persen sangat baik, 25,72 persen baik, 36,87 persen sedang, 30,58 persen rusak 6persen baik, 24 persen sedang, 40 persen rusak 5,83 persen sangat baik, 25 persen baik, 36,59 persen sedang, 31,92 persen rusak Kerjasama bilateral dengan Australia, Thailand, Filipina, Malaysia, Jepang, RRC, Korea, India, Belanda, Swedia, Norwegia, Spanyol, Prancis, USA, Chilie, Aljazair dan Iran serta multilateral dalam fasilitasi program aksi Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME), NACA, SEAFDEC, IOTC, FAO, UNIDO, UNEP dan GEF Kerjasama SSME, Solomon Bismarck, Laut Banda, dan MoU Box Indonesia-Australia; Tersusunnya RTR Gugus Pulau Kecil Wilayah perbatasan negara di 6 lokasi, serta terfasilitasinya kegiatan Pokja Perbatasan dan Ocean Policy

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.18.1.

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM)

Kondisi terumbu karang

Disepakatinya batas laut dengan negara tetangga, terutama Singapura, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Philipina;

Terlaksananya kerjasama dengan negara lain

Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut;

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 Penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil PP No. 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Perpres no. 78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Undang-undang

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden dan Kepmen

Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang esien dan berkelanjutan; Penyusunan 3 buah Perda Pengelolaan Wilayah Pesisir Provinsi dan 9 buah Perda PWP kabupaten/ kota Penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu berupa Renstra dan Zonasi di 15 provinsi dan di 30 kabupaten/ kota UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil

Peraturan pendukung

Perencanaan

Bagian 4

Meningkatnya luas kawasan konservasi laut dan meningkatnya jenis/genetik biota laut langka dan terancam punah;

485

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

486
Kondisi Awal 2004 15 7,2 8,8 / 2005 2006 2007 2008 Capaian UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil Penyusunan Norma Standar Prosedur Manual Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil; Perencanaan penataan ruang wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di daerah Papua, Jawa Bagian Utara, Trenggalek dan Minahasa Utara Peta daerah pesisir rawan bencana Fasilitasi penyusunan perda tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil di 25 kab/kota UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang; Penyusunan peta daerah pesisir rawan bencana

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.18.1.

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Jumlah kawasan konservasi laut daerah (KKLD)

Luas kawasan konservasi laut

juta ha

Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir, dan daratan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah;

Peraturan pendukung

Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulaupulau kecil secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya;

Tersediaanya master plan atau kebijakan tata ruang pesisir pembangunan laut, pesisir dan daratan dalam satu kesatuan wilayah

Tata ruang

Terwujudnya ekosistem pesisir dan laut yang terjaga kebersihan, kesehatan, dan produktivitasnya;

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Penetapan wilayah prioritas dan pelaksanaan rehabilitasi Pelaksanaan program Coremap II di 8 provinsi

Penetapan 8 provinsi dan 15 kab/kota sebagai kawasan rehabilitasi, kegiatan pengelolaan dan rehabilitasi mangrove di 8 provinsi dan 15 kab/kota Pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di 6 taman nasional laut, kawasan konservasi laut Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, estuaria dan teluk, termasuk rehabilitasi terumbu karang di 8 provinsi Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, estuaria dan teluk di 21 kab/kota di 8 provinsi

Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati

Penelitian dan pengembangan Riset eksplorasi sumberdaya non konvensional

Riset perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan sosial ekonomi, teknologi kelautan, serta riset wilayah laut dan sumberdaya nonhayati 101 / 97 106 20

Berkembangnya kelembagaan riset kelautan

Hasil riset

Riset

107 23

91 28

Bagian 4

Kegiatan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM)

ton/ha

10

Meningkatnya upaya mitigasi bencana alam laut, dan keselamatan masyarakat yang bekerja di laut dan yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemasangan buoy

Sarana deteksi bencana

487

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

488
Kondisi Awal 2004 Dibangunnya 114 unit percontohan rumah ramah bencana di Demak, Pacitan, Lamongan, Tegal, Tangerang, dan Ciamis; serta pembuatan peta rawan tsunami di Pacitan, Bali, Padang, Serang, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Dibangunnya 157 rumah ramah bencana di 6 kab/ kota, yaitu: Kab. Tulung Agung 32 unit, Kab. Pamekasan 28 unit, Kota Pariaman 27 unit, Kab. Lombok Tengah 25 unit, Kab. Pesisir Selatan 28 unit, dan Kab. Demak 17 unit. / 2005 2006 2007 2008 Capaian Unit 108,2 4,7 / 5,05 6,22 / 137,68 191,68 186,64 4,47 303,07 persen 8,61 188,34 400.486.234,00 3.029.904.958,00 180.234.938,00 1.227.561.300,00 / / / / / / 8,63 185,80 385.497.959,00 2.984.150.215,00 156.766.006,00 1.217.829.188,00 8,96 187,10 359.289.337,00 2.947.048.632,00 114.147.764,31 1.176.467.570,00 8,40 164,99 348.357.604,00 2.783.168.532,00 127.134.792,00 1.082.464.840,00 208.048.222,00 1.443.470.103,00 61.852.816,00 TSCF barrel SCF barrel barrel barrel 375.494.636,00 148.489.589,13 / / 357.493.997,00 120.159.324,81 349.845.435,00 113.545.934,13 321.302.814,00 110.448.506,36 178.359. 700,00 1.405.942.108,00

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.18.1.

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Pembuatan rumah ramah bencana

PERTAMBANGAN DAN SUMBERDAYA MINERAL

Optimalisasi peran migas dalam penerimaan negara guna menunjang pertumbuhan ekonomi;

Jumlah penerimaan migas

triliun Rp

Proporsi penerimaan migas terhadap PDB

Meningkatnya cadangan, produksi, dan ekspor migas;

Jumlah cadangan minyak bumi

Juta Barel

Jumlah cadangan gas bumi

Jumlah produksi minyak bumi

Jumlah produksi gas bumi

Jumlah ekspor minyak bumi

Jumlah ekspor LNG

MMBTU

Terjaminnya pasokan migas dan produk-produknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri;

Jumlah konsumsi minyak bumi dalam negeri

Jumlah impor minyak bumi

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 180.234.938,00 1.227.561.300,00 / 1.217.829.188,00 1.176.467.570,00 1.082.464.840,00 61.852.816,00 / 156.766.006,00 114.147.764,31 127.134.792,00 48.867.362,00 / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No. barrel

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Jumlah ekspor minyak bumi

MMBTU

Meningkatnya investasi pertambangan dan sumberdaya mineral dengan perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; ( 5.919,59 1.055,21 2.553,75 1.034.716 / 904.194 923.591 994.614,00 / 2.637,55 3.252,99 3.320,06 / 944,31 1.456,12 1.252,81 / 8.268,67 9.662,56 11.179,66 12.212,96 1.654,51 4.759,90

Total investasi migas

juta US$

Total investasi minerbapabum

juta US$

Total investasi ketenagalistrikan orang

juta US$

Jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan & penggalian

5 ton kg kg ton ton ton wmt 160,10 / 162,64 4.095.477,81 / 2.545.580,00 60.697,27 / 67.600,28 840.318,00 / 1.063.849,00 3.637.441,00 / 4.302.849,00 262.935,08 / 326.992,72 92.935,84 / 142.893,65 85.411,16 261.397,70 5.217.807,00 817.796,00 65.357,47 4.353.832,00 129.156.475,79 / 152.707.607,31 180.289.454,66

Meningkatnya produksi dan nilai tambah produk pertambangan; 174.794.447,99 117.854,11 268.967,14 1.793.440,00 796.899,00 91.280,00 6.623.020,00 580.950,00 79.210,00 14.902.260,00 198.693.402,86 57.940,00 209.060,00

Jumlah produksi batubara

Jumlah produksi emas

Jumlah produksi perak

Jumlah produksi granit

Jumlah produksi tembaga

Jumlah produksi logam timah

Jumlah produksi bijih nikel

Nilai tambah sektor pertambangan

miliar Rp

Bagian 4

6 orang 21.000 3.616.488 0,58 orang persen / / /

Terjadinya alih teknologi dan kompetensi tenaga kerja; 20.142 3.545.229 0,56 14.631 3.502.846 0,42 16.456,00 3.481.960,00 0,47 14.022 1.742.268 0,80

Jumlah tenaga asing di sektor migas

Jumlah tenaga lokal di sektor migas

Persentase tenaga asing yg bekerja

Meningkatnya kualitas industri hilir yang berbasis sumberdaya mineral;

489

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

490
Kondisi Awal 2004 880 1.507 / 1.522 / 859 / 2005 2006 2007 2008 Capaian unit unit persen juta ton 280,60 / 293,27 303,80 29,61 / 26,08 25,21 10 persen memenuhi baku mutu, 40 persen tercemar ringan, 42 persen tercemar sedang, 3 persen tercemar berat 22,6 persen memenuhi baku mutu, 50,3 persen tercemar ringan, 40,5 persen tercemar sedang, 6,3 persen tercemar berat 6,85 persen sangat baik; 25,72 persen baik, 36,87 persen sedang; 30, 58 persen rusak 5,83 persen sangat baik; 25 persen baik, 36, 59 persen sedang; 31,92 persen rusak 6 persen baik, 24 persen sedang; 40 persen rusak

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.18.1.

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Jumlah industri pengolahan produk logam

Jumlah industri pengolahan produk mineral non-logam

Meningkatnya kesadaran pembangunan berkelanjutan dalam eksploitasi energi dan sumberdaya mineral; dan

Proporsi produksi energi air & panas bumi terhadap produksi energi total

Jumlah emisi CO2 dari pemakaian energi

LINGKUNGAN HIDUP

Meningkatnya kualitas air permukaan (sungai, danau dan situ) dan kualitas air tanah disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor;

persentase DAS dan kawasan perairan yang memiliki angka BOD, COD, Coli dan logam berat yang melebihi ambang batas.

Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi tanah di wilayah daratan dengan ekosistem pesisir dan laut;

Kondisi terumbu karang

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Meningkatnya kualitas udara perkotaan khususnya di kawasan perkotaan yang didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan;

Jumlah hari tanpa pencemaran udara dalam setahun disetiap kota besar Jakarta = 18; Bandung = 64; Denpasar = 0; Medan = 135; Pekan baru = 60; Pontianak = 30; Palangkaraya= 206; Semarang = 60;Surabaya = 74 / Jakarta = 26; Bandung = 14; Denpasar = 0; Medan = 15; Pekan baru = 93; Pontianak = 58; Palangkaraya= 229; Semarang =;Surabaya = 25

Hari/tahun

Jakarta = 29; Bandung = 40; Denpasar = 0; Medan = 24; Pekan baru = 0; Pontianak = 0; Palangkaraya= 215; Semarang =229;Surabaya = 11

Jakarta = 239; Bandung = 0; Denpasar = 0; Medan = 55; Pekan baru =1; Pontianak 0; Palangkaraya= 3; Semarang =20; Surabaya = 282; Jambi = 0

ton 21.023.903,80 Ton 1.841.837,70 ton 1.021.995,30 ton 78.615,00 / 97.489,3 / 1.267.360,8 / 2.284.034,8 / 26.071.421,6

Perkiraan Besaran Emisi Karbon monoksida (CO) yang berasal dari kendaraan bermotor

Perkiraan Besaran Emisi Hidro Karbon (HC) yang berasal dari kendaraan bermotor

Perkiraan Besaran Nitrogen Oksida (Nox) yang berasal dari kendaraan bermotor

Perkiraan Besaran Emisi Sulfur Oksida (Sox) yang berasal dari kendaraan bermotor

Bagian 4

Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap dan sama sekali hapus pada tahun 2010; 400 3.800 Penghapusan total CFC Pelarangan impor CFC dan Methyl Bromide

Pengahapusan Aerosol

Metrix Ton

Banyak Impor komoditi yang mengandung zat perusak ozon 0,36 4.145,44 118,14 / / / 28,87 1.864,52 17,17

- Mercury

Ton

- Cyanides and Cyanide oxides of sodium

Ton

- Other Cyanides compounds

Ton

491

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

492
Kondisi Awal 2004 20.091,37 40.205,74 2.210,08 902,33 4.175,26 5.121,34 301,26 14,99 11.569,33 14.629,64 490,21 100,37 / 108,20 / 97,14 / / / 1,65 / / 5.418,17 / 357,61 / / 2.146,15 / 43.284,60 / 15.794,74 / 2005 2006 2007 2008 Capaian 8 5 6 4 13 9 46 527 Unit dan luas 28.148.762, 17 Ha 519 Unit dan luas 28.166.580,30 ha 534 Unit dan luas 28.260.150,56 ha

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.18.1.

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

- Oth Disodium Tetraborates

Ton

- Vinyl Chloride

Ton

- Trichloroethylene

Ton

- Flurinated, Brominated/lodinated Derivatives of acyckic hydrocarbon

Ton

- Methanal

Ton

- Paraformaldehyde

Ton

- Teon for protector

Ton

- Propellent powders

Ton

- PVC resin emulsion process in powder form

Ton

- Other polyvinyl chloride

Ton

- Polyvinyl choride non plasticised in other forms

Ton

- Ozone therapy, oxygen, therapy, aerosol therapy, aeticial respiration

Ton

Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global;

Status Proyek CDM:

Terregistrasi di Exexcutive Board

Proyek

Sudah Disetujui

Proyek

Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman IBSAP 2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan);

Kawasan Konservasi

Lanjutan Tabel 4.18.1.


Kondisi Awal 2004 / 2005 2006 2007 2008 Capaian

No.

SASARAN RPJMN 2004-2009 / INDAKATOR

SATUAN

Meningkatnya sistem pengelolaan dan pelayanan limbah B3 (bahan berbahaya beracun) bagi kegiatan-kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan; Pemakaian B3 pada industri kimia: 15.284,179 ton; tekstil/kertas/ plastik/food: 19.284,779 ton; pertambangan: 65.276.534,57 kg Jumlah timbulan limbah dari 521 industri yang dipantau: 7.029.771 ton, yang telah dikelola sebanyak 5.331.268 ton yang belum dikelola 1.698.503 ton Pemakaian B3 pada industri kimia: 15.284,179 ton; industri kimia hulu: 21.066.246 ton; industri kimia hilir 3.282.641 ton; industri kecil menengah 423 ton; total eksport = 145,78 ton (10 besar) import B3: 145.783,25 ton

Jumlah pemakian B3

Tersusunnya aturan pendanaanlingkungan yang inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi rendahnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; 112 352,00 352,00

Alokasi DAK Lingkungan Hidup

milyar rupiah

Bagian 4

493

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok : PLN

Bagian 4

BAB 4.19.
Percepatan Pembangunan Infrastruktur
4.19.1. Pengantar Umum Infrastruktur merupakan roda penggerak pembangunan. Selain itu, infrastruktur mempunyai peran penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan di suatu kawasan. Dapat dikatakan kesenjangan kesejahteraan antar-kawasan juga dapat diidentikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi. Ke depan, pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi wilayah. Ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan sektor-sektor lainnya. Infrastruktur kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktivitas sektor produksi. Selain itu, ketersediaan sarana perumahan dan permukiman secara luas dan merata serta pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur yang meliputi transportasi, ketenagalistrikan, energi, pos, telekomunikasi dan informatika, sumberdaya air, serta perumahan, pelayanan air minum, dan penyehatan lingkungan, mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya. Berkurangnya kualitas pelayanan dan tertundanya pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur dapat menghambat laju pembangunan nasional. Namun, upaya peningkatan kapasitas dan fasilitas tersebut menyerap biaya besar sehingga tidak dapat dipikul oleh Pemerintah sendiri. Untuk itu, mencari solusi inovatif guna menanggulangi masalah perawatan dan perbaikan infrastruktur yang rusak merupakan masalah yang mendesak untuk diselelesaikan. Program percepatan pembangunan infrastruktur pada RPJMN 2004-2009 difokuskan pada bidang: a. b. c. d. e. f. Transportasi; Sumberdaya Air; Energi; Tenaga Listrik; Pos dan Telekomunikasi; serta Perumahan, Air Minum, Limbah, Persampahan, dan Drainase.

4.19.2. Bidang Transportasi Secara umum, transportasi berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembangunan infrastruktur di sektor transportasi merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Sektor transportasi juga mempunyai peran yang penting dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta diyakini sebagai pemicu pembangunan suatu kawasan. Guna mendukung perwujudan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi pelayanan umum transportasi harus ditujukan melalui penyediaan jasa transportasi, melayani kebutuhan masyarakat luas

495

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

dengan harga terjangkau, mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pedalaman dan terpencil, serta untuk melancarkan mobilitas distribusi barang dan jasa dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi nasional. Oleh sebab itu, pembangunan transportasi diarahkan untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara esien, handal, berkualitas, aman, dan terjangkau. Untuk itu, perlu dikembangkan pembangunan suatu sistem transportasi nasional (Sistranas) untuk mencapai keterpaduan intermoda dan sistem tata ruang nasional, pembangunan wilayah yang berkelanjutan, serta terciptanya sistem distribusi nasional, regional, dan internasional yang mampu memberikan pelayanan dan manfaat bagi masyarakat luas. Dalam hal ini, termasuk meningkatkan jaringan transportasi antara desa-kota serta daerah produksi-pemasaran yang memadai.

meningkatkan mobilitas tenaga kerja sehingga mengurangi konsentrasi keahlian dan keterampilan pada wilayah tertentu. Dengan demikian, pemerataan pelayanan transportasi yang adil dan demokratis juga diarahkan agar setiap lapisan masyarakat dapat mengakses pelayanan jasa transportasi secara mudah dan terjangkau. 4.19.2.1. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 jumlah panjang jalan nasional mencapai 34.628,84 kilometer. Selain itu juga telah dioperasikan jalan tol sepanjang 649,12 kilometer. Dari jumlah tersebut sebesar 81 persen atau sepanjang 28.050 kilometer jalan nasional dalam kondisi mantap sedangkan sisanya rusak berat dan rusak ringan. Pada saat itu kecepatan rata-rata pada jalan nasional sebesar 44,3 km/jam. Demikian pula kondisi jalan provinsi yang mencapai 46.499 kilometer sebesar 62,8 persen diantaranya dalam kondisi mantap. Hasil yang dicapai pada 2005, telah dilakukan pemeliharaan jalan nasional baik rutin maupun berkala sepanjang 24.723 kilometer dan jembatan pada ruas jalan nasional sepanjang 18.900 meter terutama pada Lintas Timur Sumatera, Lintas Selatan Jawa dan Lintas Pantai Utara Jawa (Pantura). Kegiatan peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan meliputi: penanganan jalan mendukung pusat-pusat produksi nasional dan kawasan dengan potensi ekonomi yang cukup tinggi; penanganan jembatan-jembatan panjang. Selain itu juga telah dilakukan peningkatan kapasitas jalan nasional sepanjang 1.269 km terutama pada lintas-lintas strategis seperti lintas timur Sumatera, lintas utara Jawa; terbangunnya jalan nasional non tol sepanjang 911 km, serta jembatan pada ruas jalan nasional sepanjang 2.289 meter. Sedangkan pada daerah-daerah strategis dengan kepadatan lalu lintas tinggi telah dibangun 2.500 meter y over. Oleh karena keterlambatan pelaksanaan, telah terjadi penurunan kinerja manfaat prasarana jalan dari target kecepatan rata-rata dari 45 km/ jam menjadi 43,5 km/jam. Meskipun terjadi penu-

Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi diperlukan di wilayah perbatasan serta wilayah terisolasi, untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan orang serta mempercepat pengembangan wilayah dan mempererat hubungan antarwilayah NKRI
Fungsi pembangunan infrastruktur transportasi juga diarahkan untuk dapat mendukung perwujudan Indonesia yang aman dan damai. Ketersediaan prasarana dan sarana transportasi diperlukan di wilayah perbatasan serta wilayah terisolasi, untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan orang serta mempercepat pengembangan wilayah dan mempererat hubungan antarwilayah NKRI. Sejalan dengan perwujudan Indonesia yang adil dan demokratis, maka peranan transportasi diperlukan untuk menjembatani kesenjangan dan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan. Transportasi antarwilayah akan membuka peluang terjadinya perdagangan sehingga mengurangi perbedaan harga antarwilayah. Selain itu, transportasi dapat

496

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

runan kecepatan rata-rata, tetapi kondisi mantap jalan dapat dipertahankan sebesar 8,06 persen. Pada program lalu lintas angkutan jalan, hasil yang dicapai pada 2005 meliputi: pembatasan muatan secara komprehensif untuk mengurangi kerusakan jalan, kemacetan, dan turunnya jaminan keselamatan lalu lintas akibat dari angkutan muatan lebih di jalan; penyelenggaraan angkutan lebaran pada 2005 melalui koordinasi dengan instansi terkait; pembangunan alat Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB) di Lampung Selatan dan Polewali-Sulawesi Selatan; pembangunan fasilitas keselamatan transportasi jalan yang meliputi rambu lalu lintas sebanyak 2.446 buah, lampu lalu lintas (trac light) 40 buah, marka jalan 398.000 m, pagar pengaman jalan 18.544 m, serta fasilitas perlengkapan keselamatan jalan pada pintu perlintasan 65 buah; pembangunan baru dan lanjutan terminal 3 lokasi di Jawa Barat, Pontianak dan Matoain-NTT; pembangunan jembatan timbang percontohan di Provinsi Jambi, Lampung dan Jawa Barat; dan proses nalisasi revisi UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan peraturan pendukung yang lain. Hasil yang dicapai pada 2005 pada program pembangunan perkeretaapian, meliputi: rehabilitasi dan pemeliharaan lintas Bukit Putus-Indarung di Sumatera Barat dan lintas Tarahan-Tanjung Enim Sumatera Selatan; penggantian bantalan beton pada lintas Martapura-Prabumulih Sumatera Selatan dan lintas Cirebon-Kroya; peningkatan fasilitas perawatan sarana KA Jabotabek melalui pembangunan Depo Depok; pembangunan jalur ganda di lintas Yogya-Kutoarjo dan lanjutan di lintas Cikampek-Cirebon; persiapan jalur ganda Cirebon-Kroya, dan double-double track Cikarang-Manggarai; pembangunan pintu perlintasan dan persinyalan elektrik produksi nasional; pembangunan badan jalan KA Lintas Batas Sumut-Langsa NAD dan peningkatan jalan KA Lintas Medan-Tebing Tinggi di Sumut; peningkatan akses KA ke pelabuhan melalui pembebasan tanah untuk menunjang pembangunan prasarana perkeretaapian di jalur Tanjung Priok-Pasoso-Dermaga Peti Kemas, jalur

ganda Cirebon-Kroya, dan Cikarang-Manggarai; perubahan status Direktorat Perkeretaapian menjadi Direktorat Jenderal Perkeretaapian serta persiapan restrukturisasi KA Jabotabek. Untuk program angkutan sungai, danau dan penyeberangan, pada 2005 hasil pencapaian program antara lain: ditetapkannya formulasi dan mekanisme penetapan tarif angkutan penyeberangan yang lebih sederhana dengan memperhitungkan jumlah unit kendaraan yang menggunakan jasa penyeberangan; penyelesaian pembangunan dermaga penyeberangan PalembangMuntok; pembukaan lintas baru penyeberangan antara Ciwandan (Banten)Serengsem (Lampung) dan Belawan (Sumatera Utara)Penang (Malaysia); pembangunan dua unit kapal feri yang masing-masing berukuran 600 GRT untuk wilayah NTT dan 750 GRT untuk wilayah Sulawesi Utara; pembangunan baru dermaga penyeberangan di 17 lokasi; pembangunan baru dan lanjutan dermaga sungai di 2 lokasi; pengerukan alur penyeberangan 196.000 m3, antara lain di Cilacap-Majingklak, serta pembangunan fasilitas keselamatan rambu sungai dan rambu suar. Untuk mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi laut pada tahun angaran 2005 telah dilaksanakan rehabilitasi dermaga 880 m2, menara suar 2 unit, rambu suar 3 unit, kapal syahbandar dan kapal patroli masing-masing 2 dan 4 unit kapal serta pengerukan sebanyak 3.675.000 m3. Untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi laut telah dibangun dermaga 41.468 m3, terminal penumpang 1.300 m3, gudang dan lapangan penumpukan masing-masing 2.150 m2 dan 3.350 m3 serta pembangunan peralatan radio pantai sebanyak 24 unit. Pada tahun anggaran 2005 Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi laut antara lain telah diterbitkan dan diberlakukannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005 tentang pengesahan konvensi inter-

497

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

nasional tentang Piutang Maritime dan Mortgage (Mortgage Law and Maritime Liens 1993), serta melakukan revisi UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran guna meningkatkan peran serta swasta dalam pengoperasian dan pembangunan prasarana transportasi laut. Di samping itu Pemerintah telah memelopori penurunan tarif Terminal Handling Charge (THC) dengan menetapkan tarif Container Handling Charge di Tanjung Priok per 1 November 2005. Sementara dalam upaya meningkatkan pelayanan dan memenuhi tuntutan konvensi internasional tentang jaminan keselamatan dan keamanan pelayaran di perairan Indonesia, terhitung mulai 1 Juli 2004 Indonesia telah menerapkan standar keselamatan dan keamanan (International Ship and Port Facilities Security/ISPS Code) dengan menerbitkan International Ships Security Certicate (ISSC) pada beberapa armada nasional (sebanyak 352 kapal dan 26 pelabuhan umum). Hasil-hasil yang dicapai pada 2005 untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, peningkatan, dan pembangunan transportasi udara antara lain: pengembangan pelayanan internasional transportasi udara, telah dikembangkan sejumlah bandara, baik yang dikelola oleh Pemerintah maupun yang dikelola oleh BUMN untuk ditetapkan sebagai bandara internasional (contohnya: Minangkabau International Airport, yang sudah beroperasi mulai 2005). Restrukturisasi ruang udara di wilayah Republik Indonesia yang semula terbagi dalam empat FIRs (Flight Information Regions), yaitu Medan, Jakarta, Denpasar, dan Biak yang dilayani 4 (Area Control System) ACC, diatur menjadi dua (Flight Information Region) FIR yang dilayani oleh 2 ACC, yaitu Jakarta dan Makassar. Dalam rangka menghindari kebangkrutan perusahaan penerbangan lebih lanjut, yang tertekan oleh kompetisi tarif rendah dan kenaikan harga bahan bakar avtur, serta untuk mencegah penurunan pelayanan penerbangan, telah dikeluarkan kebijakan mengenai tarif referensi angkutan udara melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada subsektor transportasi udara

sebagian besar merupakan kegiatan-kegiatan lanjutan, seperti penyelesaian pembangunan bandara Ketaping-Padang (Sumatera Barat), bandara Juanda-Surabaya (Jawa Timur), bandara SM Badaruddin II-Palembang (Sumatera Selatan), serta lanjutan pembangunan bandara Hasanuddin-Makassar (Sulawesi Selatan). Selain hasil kegiatan yang telah diuraikan di tiaptiap sub-sektor transportasi tersebut, pada 2005 telah dilaksanakan penyelesaian proses revisi empat peraturan di bidang transportasi serta penyusunan rancangan peraturan pelaksanaannya. RUU bidang Transportasi telah diselesaikan dan disampaikan ke Presiden. Di samping itu untuk meningkatkan pelayanan angkutan lintas negara, telah dicapai kerjasama internasional, bilateral, regional ataupun multilateral. Pada kerjasama bilateral telah dilakukan konsultasi hubungan transportasi udara dengan RRC, Uni Emirat Arab, Vietnam, Srilangka, Korea Selatan, Jerman, dan Timor Leste. Pada kerjasama regional telah dilakukan pembahasan naskah perjanjian angkutan multimoda, saling mengakui hasil pemeriksaan kendaraan bermotor, pengaturan angkutan barang secara bebas dan jaringan jalan raya ASEAN, perumusan ASEAN Near Coastal Voyage, serta beberapa kerjasama proyek ASEAN-Jepang di bidang keamanan dan keselamatan angkutan pelayaran serta pelatihan pemahaman angkutan multimoda oleh APEC. Sementara itu, pada kerjasama multilateral, Indonesia telah turut merumuskan dan menandatangani perjanjian jaringan jalan raya Asia/ASEAN Highway Network Agreement di Beizing 2004, dan aktif pula dalam organisasi-organisasi internasional, seperti IMO, ICAO, WMO, dan ESCAPE. Sementara itu pada 2005, melalui program pengembangan transportasi antarmoda, dilaksanakan kegiatan penyusunan perencanaan dan program, pemantauan dan evaluasi di bidang transportasi, koordinasi dan pemantapan sistem transportasi nasional dan wilayah. Program penelitian dan pengembangan perhubungan telah melakukan kegiatan desain dan persiapan pelaksanaan penelitian asal tujuan transportasi nasional (OD Sur-

498

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

vey), kajian strategi pengembangan transportasi multimoda di Indonesia, kajian peningkatan keselamatan di perlintasan sebidang antara jalan dan jalur kereta api, serta kegiatan operasional Badan Litbang Perhubungan. Di samping itu, telah dilaksanakan pemberian subsidi perintis transportasi, baik untuk transportasi darat, penyeberangan, transportasi laut dan transportasi udara, diantaranya: (1) subsidi bus perintis pada 110 trayek; (2) pengadaan bus perintis 101 unit; (3) rehabilitasi/pembangunan 10 unit kapal penyeberangan perintis; (4) subsidi angkutan penyeberangan perintis pada 71 lintasan; (5) pembangunan 3 unit kapal perintis transportasi laut serta subsidi perintis untuk 48 trayek; (6) subsidi operasi penerbangan perintis untuk 90 rute yang melayani 81 kota pada 13 provinsi. Selain itu, dalam rangka memenuhi kewajiban pelayanan umum Pemerintah dalam bidang angkutan penumpang kelas ekonomi dengan tarif yang ditetapkan, Pemerintah telah memberikan dana kompensasi Public Service Obligation (PSO) kepada PT. Pelni dan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Perhitungan biaya PSO didasarkan atas selisih antara pendapatan yang diperoleh oleh operator dengan tarif yang berlaku yang ditetapkan oleh Pemerintah. Jumlah dana kompensasi PSO setiap tahun mengalami peningkatan yang signikan. Pada 2003 PSO yang diterima oleh PT. Pelni adalah sebesar Rp 80 milyar untuk pengoperasian 22 kapal penumpang kelas ekonomi yang melayani

Dok: DEPBUDPAR

71 pelabuhan singgah, meningkat menjadi sebesar Rp 355 milyar pada 2005. Begitu pula dana kompensasi PSO yang dialokasikan untuk PT. KAI, pada 2003 adalah sebesar Rp 106,2 milyar meningkat menjadi Rp 270 milyar pada 2005 dan pada tahun 2007 meningkat pula menjadi Rp. 425 milyar. Sasaran umum pembangunan transportasi adalah: 1. Meningkatnya kondisi dan kualitas prasarana dan sarana dengan menurunkan tingkat backlog pemeliharaan; 2. Meningkatnya jumlah dan kualitas pelayanan transportasi, terutama keselamatan transportasi nasional; 3. Meningkatnya kualitas pelayanan transportasi yang berkesinambungan dan ramah lingkungan, serta sesuai dengan standar pelayanan yang dipersyaratkan;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tabel 4.19.1. Jumlah Penumpang Angkutan Perintis/PSO 2003-2007 (orang)


No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bus ASDP Pelayaran Penerbangan PT KAI PT Pelni (Sumber PT Pelni) Jumlah Total Jenis Angkutan 2003 3.430.748 752.163 265.282 110.093 129.012.774 4.419.444 137.990.504 2004 3.551.099 824.721 565.000 81.579 199.300.096 3.434.622 127.757.117 2005 260.038 948.429 255.160 99.022 129.426.637 3.756.934 134.746.220 2006 391.069 111.259 139.410.000 139.912.328 2007 330.005 105.066 141.982.000 142.417.071 2008 268.340 82.592 350.932

Sumber: PT Damri, PT ASDP, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Perhubungan Udara, PT KAI dan PT Pelni

499

4. Meningkatnya mobilitas dan distribusi nasional dan wilayah; 5. Meningkatnya pemerataan dan keadilan pelayanan transportasi baik antarilayah maupun antar-golongan masyarakat di perkotaan, perdesaan, maupun daerah terpencil dan perbatasan; 6. Meningkatnya akuntabilitas pelayanan transportasi melalui pemantapan sistem transportasi nasional, wilayah dan lokal; 7. Khusus untuk daerah yang terkena bencana nasional akan dilakukan program rehabilitasi sarana dan prasarana transportasi dan pembinaan sumberdaya manusia yang terpadu dengan program-program sektor-sektor lainnya dan rencana pengembangan wilayah. Sasaran umum pembangunan prasarana jalan adalah: 1. Terpeliharanya dan meningkatnya daya dukung, kapasitas, maupun dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat; 2. Meningkatnya aksesibilitas wilayah yang sedang dan belum berkembang melalui dukungan pelayanan prasarana jalan yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan khususnya pada koridor-koridor utama di masing-masing pulau, dan wilayah KAPET;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

1. Meningkatnya kondisi prasarana LLAJ untuk menurunkan jumlah pelanggaran lalu lintas dan muatan lebih di jalan sehingga dapat menurunkan kerugian ekonomi yang diakibatkannya. 2. Meningkatnya tingkat kelaikan dan jumlah sarana LLAJ. 3. Menurunnya tingkat kecelakaan dan fatalitas kecelakaan lalu lintas di jalan serta meningkatnya kualitas pelayanan angkutan dalam hal ketertiban, keamanan dan kenyaman transportasi jalan, terutama angkutan umum di perkotaan, perdesaan dan antarkota. 4. Meningkatnya keterpaduan antarmoda dan esiensi dalam mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa, mendukung perwujudan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal), serta terciptanya pola distribusi nasional. Meningkatnya efektivitas regulasi dan kelembagaan transportasi jalan, melalui: a. desentralisasi dan otonomi daerah, peningkatan koordinasi dan kerjasama antarlembaga dan antarPemerintah pusat dan daerah dalam pembinaan transportasi jalan, terutama untuk angkutan perkotaan, perdesaaan dan antarkota dalam provinsi; b. meningkatnya peran serta swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transportasi jalan (angkutan perkotaan, perdesaan, dan antarkota); c. memperjelas peran regulator, Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah serta BUMN dan BUMD dalam pelayanan transportasi publik. 5. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas yang baik, dan penanganan dampak polusi udara serta pengembangan teknologi sarana yang ramah lingkungan, terutama di wilayah perkotaan. 6. Meningkatnya SDM profesional dalam perencanaan pembinaan dan penyelenggaraan LLAJ.

3. Terwujudnya partisipasi aktif Pemerintah, BUMN, maupun swasta dalam penyelenggaraan pelayanan prasarana jalan melalui reformasi dan restrukturisasi baik di bidang kelembagaan maupun regulasi diantaranya merampungkan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang akan dihadapi dalam era globalisasi dan otonomi daerah. Sasaran umum pembangunan lalu lintas angkutan jalan adalah:

500

Bagian 4

7. Terwujudnya penyelenggaraan angkutan perkotaan yang esien dengan berbasis masyarakat dan wilayah, andal dan ramah lingkungan serta terjangkau bagi masyarakat. Untuk itu perlu didukung perencanaan transportasi perkotaan yang terpadu dengan pengembangan wilayah dan mengantisipasi perkembangan permintaan pelayanan serta didukung oleh kesadaran dan kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat. Sasaran pembangunan perkeretaapian diprioritaskan untuk meningkatkan kinerja pelayanan terutama keselamatan angkutan, melalui penurunan tingkat kecelakaan dan fatalitas akibat kecelakaan di perlintasan sebidang dengan jalan dan penanganan keamanan operasi pada sepanjang lintas utama yang padat, serta kelancaran mobilisasi angkutan barang dan jasa. Secara sik, sasaran pembangunan sarana dan prasarana KA dalam 5 tahun dibagi dalam tiga prioritas, yaitu: upaya bertahan sesuai dengan standar pelayanan minimal; upaya optimalisasi sumberdaya, dan upaya pengembangan.

1. Sasaran dalam upaya pencapaian operasi yang aman untuk jangka pendek, umumnya untuk kondisi yang sangat jelek, dan untuk mencapai tingkat keandalan 60 persen, melalui kegiatan-kegiatan: (a) mengadakan audit kinerja prasarana dan sarana KA; (b) mengatasi kondisi kritis; (c) kanibalisme dan daur ulang suku cadang; (d) pembatasan kecepatan/mengurangi frekuensi; (e) menutup jalur yang merugi secara bertahap; (f) penajaman skala prioritas pada lintas strategis dan padat. 2. Sasaran dalam upaya optimalisasi adalah pemulihan kondisi jaringan yang ada kembali ke kondisi awal, serta pencapaian operasi aman dan nyaman jangka panjang, peningkatan kecepatan dan menambah kapasitas, serta umumnya mencapai keandalan minimum 75 persen melalui kegiatan-kegiatan: (a) peningkatan esiensi dan efektivitas; dan (b) peningkatan kecepatan dan kapasitas jalur yang ada. 3. Sasaran upaya pengembangan adalah pengembangan jaringan baru dan peningkatan kapasitas lintas yang sudah jenuh, melalui kegiatan: (a) pengembangan jaringan baru baik jalur ganda dan pembangunan lintas baru, serta penambahan armada; (b) peningkatan kecepatan/kapasitas; (c) keandalan dan kelaikan 100 persen. 4. Sasaran dalam bidang regulasi dan kelembagaan adalah selesainya revisi UU Nomor 13 tahun 1992 tentang perkeretaapian; peningkatan kualitas perencanaan dan pendanaan, penyempurnaan skema pendanaan (PSO, IMO, TAC), dan meningkatnya peluang peran Pemda, BUMN dan swasta dalam bidang perkeretaapian. 5. Sasaran dalam bidang SDM dan teknologi perkeretaapian adalah meningkatnya sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi; standardisasi perkeretaapian nasional secara terpadu agar kesinambungan investasi, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana perkeretaapian nasional dapat tercapai secara esien.

Dok: PolaGrade

501

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sasaran umum pembangunan angkutan sungai, danau dan penyeberangan adalah: 1. Meningkatnya jumlah prasarana dermaga untuk meningkatkan jumlah lintas penyeberangan baru yang siap operasi maupun meningkatkan kapasitas lintas penyeberangan yang padat 2. Meningkatnya tingkat kalaikan dan jumlah sarana ASDP. 3. Meningkatnya keselamatan ASDP. 4. Meningkatnya kelancaran dan jumlah penumpang, kendaraan dan penumpang yang diangkut, terutama meningkatnya kelancaran perpindahan antarmoda di dermaga penyeberangan; serta meningkatkan pelayanan angkutan perintis. 5. Meningkatnya peran serta swasta dan Pemerintah Daerah dalam pembangunan dan pengelolaan ADSP, serta meningkatnya kinerja BUMN di bidang ASDP. Sasaran pembangunan transportasi laut adalah: 1. Meningkatnya pangsa pasar armada pelayaran nasional baik untuk angkutan laut dalam negeri maupun ekspor-impor; 2. Meningkatnya kinerja dan esiensi pelabuhan khususnya yang ditangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena sebagian besar muatan ekspor-impor dan angkutan dalam negeri ditangani oleh pelabuhan yang ada di bawah pengelolaan BUMN;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sasaran pembangunan transportasi udara adalah terjaminnya keselamatan, kelancaran dan kesinambungan pelayanan transportasi udara baik untuk angkutan penerbangan domestik dan internasional, maupun perintis. Di samping itu sasaran yang tak kalah pentingnya adalah terciptanya persaingan usaha di dunia industri penerbangan yang wajar sehingga tidak ada pelaku bisnis di bidang angkutan udara yang memiliki monopoli. Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, maka program pembangunan transportasi adalah: Di bidang prasarana jalan, meliputi: 1. Program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan Program ini ditujukan untuk mempertahankan sistem jaringan jalan nasional yang tersedia agar tetap dalam kondisi yang memadai terutama pada ruas-ruas yang merupakan jalur utama perekonomian dan memiliki prioritas tinggi serta untuk pemulihan kondisi prasarana jalan yang hancur dan terputus akibat bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah antara lain di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Alor, dan Nabire. 2. Program peningkatan/pembangunan jalan dan jembatan Program ini ditujukan untuk melaksanakan optimalisasi pemanfaatan aset-aset prasarana jalan yang telah dimiliki dan dibangun selama ini. Di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, meliputi: 1. Program rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana fasilitas LLAJ Rehabilitasi dan pembangunan terminal di Jawa Barat, Kalbar, NTT, dan Papua dan fasilitas LLAJ. 2. Program pembangunan prasarana dan fasilitas LLAJ Program ini terdiri dari penanggulangan muatan lebih (over loading), peningkatan ke-

3. Terpenuhinya perlengkapan keselamatan pelayaran dan fasilitas pemeliharaannya, sehingga dapat berfungsi 24 jam; 4. Terselesaikannya uji materil PP Nomor 69 tahun 2001 tentang Kepelabuhanan dan revisi UU No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran khususnya yang berkaitan dengan keharusan bekerjasama dengan BUMN apabila pihak swasta ingin berinvestasi pada prasarana pelabuhan harus diselesaikan guna menarik pihak swasta berinvestasi pada prasarana pelabuhan.

502

Bagian 4

selamatan transportasi jalan, pembangunan transportasi berkelanjutan. 3. Program peningkatan aksebilitas pelayanan angkutan LLAJ Program ini menyangkut pembangunan transportasi umum perkotaan yang terpadu dan terjangkau berbasis masyarakat dan wilayah. 4. Program restrukturisasi kelembagaan dan prasarana LLAJ Program ini terdiri dari peningkatan pelayanan dan kelancaran angkutan umum dan barang, penataan sistem transportasi nasional dan wilayah, pembinaan peran pemerintah daerah, BUMN/D dan partisipasi swasta, pembinaan SDM transportasi jalan. 5. Program pemulihan daerah yang terkena bencana nasional Program rehabilitasi prasarana dan sarana lalu lintas angkutan jalan yang rusak berat akibat bencana nasional, terutama akibat bencana gempa bumi dan tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Di bidang perkeretaapian, meliputi: 1. Program rehabilitasi prasarana dan sarana kereta api Program ini ditujukan untuk mempertahankan tingkat pelayanan 2. Program peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana kereta api Program ini merupakan tahapan optimalisasi serta pengembangan prasarana dan sarana kereta api. 3. Program peningkatan aksesibilitas pelayanan angkutan perkerataapian Kegiatan penyediaan pelayanan angkutan untuk masyarakat luas di perkotaan dan antar kota untuk kelas ekonomi yang tarifnya disesuaikan dengan daya beli masyarakat melalui skema pembiayaan PSO dan pengadaan kereta api K3. 4. Program restrukturisasi dan reformasi kelembagaan perkeretaapian

Di bidang angkutan sungai, danau dan penyeberangan, meliputi: 1. Program rehabilitasi prasarana dermaga sungai, danau dan penyeberangan Program ini ditujukan untuk mempertahankan tingkat pelayanan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan. 2. Program pembangunan prasaranan dan sarana ASDP Program ini ditujukan untuk mendukung pengembangan ASDP untuk menghubungkan kesatuan wilayah nusantara dan menghubungkan sistem jaringan transportasi darat yang terputus melalui penyediaan sistem jaringan pelayanan ASDP secara terpadu. 3. Program restrukturisasi dan reformasi kelembagaan ASDP Program ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan ASDP dan mewujudkan keterpaduan pelayanan agar lebih efektif dan esien. Di bidang transportasi laut, meliputi: 1. Program rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi laut 2. Program pembangunan transportasi laut 3. Program restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi laut Di bidang transportasi udara, meliputi: 1. Program rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana transportasi udara 2. Program pembangunan transportasi udara 3. Program restrukturisasi kelembagaan dan peraturan transportasi udara Selain bidang-bidang di atas, terdapat pula bidang pembangunan pendukung transportasi, meliputi: 1. Program pengembangan transportasi antarmoda Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

503

transportasi, meteorologis dan geosika khususnya dalam rangka peningkatan dukungan terhadap pencapaian tujuan sektor transportasi, meteorologi dan geosika yang telah ditentukan dan pelayanan terhadap masyarakat luas. 2. Program peningkatan sarana dan prasarana Program ini bertujuan untuk meningkatkan sarana dan prasarana aparatur negara di Sektor Transportasi. 3. Program pencarian dan keselamatan Program ini bertujuan meningkatkan pelayanan pencarian dan penyelamatan terhadap masyarakat yang mengalami musibah terutama meningkatkan kemampuan dan kecepatan tindak awal, sehingga korban musibah dapat tertangani dengan cepat dan tepat, serta membantu melaksanakan pencarian dan penyelamatan korban musibah. 4. Program penelitian dan pengembangan perhubungan Program penelitian dan pengembangan perhubungan mencakup kegiatan pelaksanaan penelitian dan pengembangan perhubungan meliputi transportasi darat, laut, udara, postel dan manajemen transportasi intermoda, penyusunan program monitoring dan evaluasi dan Operasional pemerintah dalam rangka penelitian dan pengembangan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan belanja perjalanan. 5. Program pengelolaan sumber daya manusia aparatur dan pendidikan kedinasan Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor transportasi, yang dilakukan melalui kegiatan dan program pendidikan dan pelatihan. 6. Program pengawasan aparatur negara Program pengawasan aparatur negara mencakup kegiatan menata dan menyempurnakan sistem, struktur dan pengawasan yang efektif, esien, transparan, terakunkan, meningkatkan intensitas pelaksanaan pengawasan internal, fungsional dan masyarakat,

meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum dan operasional pemerintah dalam rangka pengawasan aparatur negara yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pemeliharaan. 7. Program pengembangan dan pembinaan meteorologi dan geosika Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan dalam pelayanan jasa meteorologi dan geosika, diantaranya informasi cuaca, dalam rangka mendukung kegiatan masyarakat pada umumnya dan transportasi laut dan udara pada khususnya. Untuk itu perlu dukungan organisasi, sumber daya manusia berkualitas, manajemen serta peralatan yang memadai. 4.19.2.2. Pencapaian 20052008
4.19.2.2.1. Upaya yang telah Dilakukan Sampai 2008

Upaya yang telah dilakukan sampai 2008 untuk masing-masing sasaran adalah sebagai berikut: Pembangunan Prasarana Jalan Upaya yang dilakukan melalui langkah kebijakan dalam pembangunan prasarana jalan adalah: 1. Mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, kapasitas, dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah yang perekonomiannya berkembang pesat dalam rangka melancarkan distribusi barang dan jasa serta hasil produksi; 2. Pemberian prioritas pada penangangan sistem jaringan jalan yang masih belum terhubungkan dalam rangka membuka akses ke daerah terisolir dan belum berkembang, serta mendukung pengembangan wilayah dan kawasan strategis seperti kawasan cepat tumbuh, kawasan andalan, kawasan perbatasan, dan kawasan tertinggal; 3. Peningkatan koordinasi Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah untuk memperjelas

504

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

hak dan kewajiban dalam penanganan prasarana jalan, mengharmonisasikan keterpaduan sistem jaringan jalan dengan kebijakan tata ruang wilayah nasional, dan meningkatkan keterpaduan dengan sistem jaringan prasarana lainnya dalam konteks pelayanan intermoda dan sistem transportasi nasional (Sistranas); 4. Pembangunan jalan tol yang diarahkan untuk: (a) Mendukung pusat pertumbuhan ekonomi; (b) Menghubungkan antarkawasan; dan (c) Mengatasi kemacetan di daerah perkotaan; 5. Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) untuk menumbuhkan sikap profesionalisme dan kemandirian institusi serta sumberdaya manusia bidang penyelenggaraan prasarana jalan. Pembangunan LLAJ Upaya yang dilakukan melalui langkah kebijakan untuk pengelolaan lalu lintas angkutan jalan, antara lain: 1. Pemulihan kondisi pelayanan angkutan umum jalan raya dan peningkatan kelancaran pelayanan angkutan jalan secara terpadu melalui penataan sistem jaringan dan terminal, manajemen lalu lintas, pemasangan rambu lalu lintas dan lampu jalan, penegakan hukum dan disiplin di jalan, penghapusan pungutan dan pengurangan retribusi di jalan, penataan jaringan dan izin trayek, dan peningkatan kerjasama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 2. Peningkatan keselamatan lalu lintas jalan secara komprehensif dan terpadu meliputi pencegahan, pembinaan dan penegakan hukum, penanganan dampak kecelakaan dan penanganan daerah rawan kecelakaan, sistem informasi kecelakaan lalu lintas dan kelaikan sarana, serta izin mengemudi di jalan; 3. Penyelesaian konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lalu Lintas dan Angkut-

an Jalan sebagai pengganti UU Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 4. Kegiatan operasional unit pelaksana teknis dan tugas serta fungsi Pemerintah lainnya. Pembangunan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Upaya melalui langkah dan kebijakan untuk angkutan sungai dan penyeberangan antara lain: 1. Peningkatan kualitas pelayanan yang mencakup keselamatan, keamanan, kapasitas, dan kelancaran baik yang terkait dengan penyediaan prasarana, sarana, maupun pengelolaannya; 2. Peningkatan jumlah dan kapasitas dermaga penyeberangan serta jumlah lintas penyeberangan baru yang siap operasi dan peningkatan kapasitas lintas penyeberangan yang padat; 3. Perbaikan tatanan pelayanan angkutan sungai dan penyeberangan dalam kerangka integrasi dengan moda lain sejalan dengan sistem transportasi nasional dan wilayah; 4. Peningkatan kelancaran dan jumlah penumpang, kendaraan yang diangkut, terutama peningkatan kelancaran perpindahan antarmoda di dermaga penyeberangan, serta peningkatan pelayanan angkutan perintis;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

5. Pengembangan angkutan danau untuk menunjang program wisata dan meningkatkan pelayanan penyeberangan yang terintegrasi dengan angkutan jalan; 6. Penyelesaian revisi UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dengan segera sehingga dapat mendorong peran swasta dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan dan pengelolaan tranportasi sungai, danau, dan penyeberangan, baik prasarana maupun sarana; 7. Pelaksanaan restrukturisasi BUMN dan kelembagaan pengelolaan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan.

505

Pembangunan Perkeretaapian Upaya melalui langkah kebijakan yang diambil di bidang perkeretaapian adalah: 1. Peningkatan keselamatan perkeretaapian melalui peningkatan kelaikan sarana dan prasarana, sertikasi tenaga operator, serta pemulihan kondisi sarana dan prasarana perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimal melalui rehabilitasi, peningkatan, dan pembangunan jalan dan jembatan KA, dan sistem persinyalan; 2. Peningkatan pangsa pasar angkutan barang dan penumpang melalui peningkatan kapasitas angkut dan kualitas pelayanan terutama pada koridor yang telah jenuh serta koridor strategis yang perlu dikembangkan seperti pada lintas Manggarai-Cikarang dengan memisahkan pengoperasian KA angkutan komuter dengan KA angkutan jarak jauh; 3. Peningkatan keterpaduan dengan moda transportasi antara lain melalui pembangunan jalan KA menuju bandara dan pelabuhan; 4. Peningkatan peran angkutan perkeretaapian nasional dan lokal, dan peningkatan strategi pelayanan angkutan yang lebih berdaya saing secara antarmoda dan intermoda; 5. Pengadaan kereta kelas ekonomi dan rehabilitasi kereta rel listrik (KRL)/kereta rel diesel (KRD); 6. Pelaksanaan audit kinerja prasarana dan sarana serta sumberdaya manusia operator perkeretaapian; 7. Pelanjutan reformasi dan restrukturisasi kelembagaan serta peraturan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkeretaapian; 8. Pelanjutan proses revisi peraturan perundangan yang lebih memungkinkan adanya peran serta masyarat, Pemerintah Daerah dan swasta dalam penyediaan transportasi KA, melalui revisi UU No. 13 tahun 1992 tentang

Perkerataapian melalui UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkerataapian; 9. Peningkatan kemampuan SDM dan pengembangan teknologi perkeretaapian nasional. Pembangunan Transportasi Laut Beberapa langkah dan kebijakan yang diambil dalam pengembangan transportasi laut, antara lain: 1. Memperlancar kegiatan bongkar-muat dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi di pelabuhan; 2. Memulihkan fungsi prasarana dan sarana transportasi laut; 3. Melengkapi fasilitas keselamatan pelayaran; 4. Menambah dan memperbaiki pengelolaan prasarana dan sarana transportasi laut khususnya untuk pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri; 5. Meningkatkan peran armada laut nasional, restrukturisasi kewenangan antara Pemerintah dan BUMN terkait di bidang pelabuhan, serta kegiatan operasional unit pelaksana teknis (UPT) dan unit pelaksana tugas serta fungsi Pemerintah lainnya; dan 6. Melanjutkan penyelesaian revisi UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dengan segera sehingga dapat mendorong peran swasta dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan dan pengelolaan tranportasi laut. Pembangunan Transportasi Udara Upaya melalui langkah dan kebijakan yang diambil dalam penyelenggaraan transportasi udara, antara lain: 1. Memperketat pengecekan kelaikan udara, baik kelaikan pesawat maupun peralatan navigasi; 2. Melengkapi fasilitas keselamatan penerbangan di bandara;

506

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

3. Menambahan dan memperbaiki pengelolaan prasarana dan sarana transportasi udara, khususnya untuk bandara internasional sehingga menambah jumlah bandara yang mendapatkan sertikat operasional bandara; 4. Melaksanakan kebijakan multioperator angkutan udara, restrukturisasi kewenangan antara Pemerintah dan BUMN terkait dalam aspek keselamatan, serta melaksanakan kegiatan operasional UPT dan Unit Pelaksana Tugas serta fungsi Pemerintah lainnya; 5. Melanjutkan penyelesaian revisi UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. 4.19.2.2.2. Posisi Capaian hingga 2008 Pembangunan Prasarana Jalan Pembangunan prasarana jalan yang sesuai dengan sasaran yang ditetapkan dalam pembangunan prasarana jalan sepanjang 20052007 telah dilakukan pemeliharaan rutin jalan nasional yang rata-rata sepanjang 34 ribu kilometer per tahun. Disamping itu, juga dilakukan peningkatan jalan nasional pada lintas utama dan lintas strategis yang meliputi Pantura Jawa, Lintas Timur Sumatera, Lintas Selatan Kalimantan, dan Lintas Barat Sulawesi,yang seluruhnya sepanjang 1.635 km, dan penggantian jembatan sepanjang 19.033 m. Pemerintah juga telah mempertahankan kondisi dan fungsi jalan lintas lainnya dan nonlintas yang

tersebar di seluruh provinsi dengan panjang seluruhnya 10.537 km. Pemerintah pun telah melanjutkan penyelesaian pembangunan Jembatan SurabayaMadura; membangun jalan baru sepanjang 625 km, serta peningkatan/pembangunan jalan pada pulau terluar/terdepan sepanjang 285 km. Jalan tol yang berhasil dibangun dan dioperasikan pada kurun waktu 2005-2007, pasca Infrastructure Summit I, adalah 55,35 km meliputi jalan tol CikampekPadalarang tahap II dan 4 ruas jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR), yaitu Hankam Raya-Jatiasih, Veteran-Ulujami, Cakung-Cilincing dan Jatiasih-Cikunir. Pada akhir 2008 kondisi mantap jalan nasional mencapai 28.821 km atau sekitar 83,22 persen dengan kecepatan rata-rata 44,9 km/jam. Pada akhir tahun 2008 masih terdapat 4.617,9 km (13,3 persen) jalan nasional dalam kondisi rusak ringan dan 1.189,9 km (3,4 persen) jalan rusak berat. Kondisi ini telah melampaui target awal RPJMN 2004-2009, yang menargetkan jalan dalam kondisi mantap sebesar 87,02 persen. Pada akhir tahun 2009 diharapkan kondisi mantap jalan akan mencapai 87,02 persen atau sekitar 30.148,7 km dan sisanya sekitar 4.480,1 km (12,9 persen) dalam kondisi tidak mantap (rusak ringan) dan tidak terdapat jalan yang mengalami rusak berat.

Tabel 4.19.2. Jalan Nasional Tahun 2005 - 2008 No. 1 2 3 4 Kondisi Jalan Baik Sedang R. Ringan R. Berat Total Tahun 2005 Km 17.037,4 10.873,4 2.874,2 3.843,8 34.628,8 % 49,2% 31,4% 8,3% 11,1% Tahun 2006 Km 10.956,6 17.314,3 3.210,1 3.147,8 34.628,8 % 31,6% 50,0% 9,3% 9,1% Tahun 2007 Km 11.905,4 16.565,7 3.232,7 2.925,0 34.628,8 % 34,4% 47,8% 9,3% 8,4% Tahun 2008 Km 17.200,9 11.620,1 4.617,9 1.189,9 34.628,8 % 49,7% 33,6% 13,3% 3,4%

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum

507

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Terkait dengan program pembangunan jalan tol, sampai dengan akhir 2007, total panjang jalan tol yang telah dibangun dan dioperasikan adalah sepanjang 663,47 km. Sepanjang 529,42 km dioperasikan oleh PT. Jasa Marga dan 134,05 km oleh swasta lainnya. Jalan tol yang sedang dalam proses konstruksi adalah 110,60 km yang terdiri dari 6 ruas, mencakup Jembatan Suramadu, Simpang Susun (SS) Waru-Bandara Juanda, Surabaya-Mojokerto, JORR W1, Makassar Seksi IV, dan Kanci-Pejagan. Selain itu, 23 ruas jalan tol dengan total panjang 814,87 km, termasuk di dalamnya SS Waru-Bandara Juanda, Surabaya-Mojokerto, JORR W1, Makassar Seksi IV dan Kanci-Pejagan, telah melakukan perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) dengan Pemerintah. Sampai akhir tahun 2007, empat ruas jalan tol Jakarta Outer Ring Road II di Jabodetabek sebagai hasil tender Batch 2 sepanjang 61,94 km telah ditetapkan pemenangnya dan sedang dalam persiapan PPJT. Dua ruas jalan tol yaitu Solo-Ngawi dan Ngawi-Kertosono dengan total panjang 177,12 km sedang dalam proses tender investasi Batch 3. Terakhir, 11 ruas jalan tol dengan total panjang 483,50 km dalam persiapan tender Batch 4.

2. Penyelesaian pembangunan jembatan Suramadu sepanjang 2.329,6 m, pembangunan jalan di kawasan perbatasan sepanjang 258,8 km, jalan akses di pulau-pulau kecil sepanjang 69,7 km; 3. Pembangunan y over sepanjang 4.618,6 m di Pantura Jawa dan perkotaan Jabodetabek serta kota metropolitan lainnya; 4. Pembangunan jalan akses menuju pelabuhan Tanjung Priok sepanjang 0,5 km dan jalan akses Bandara Kualanamu sepanjang 5 km; 5. Pembangunan jalan lintas pantai selatan Jawa sepanjang 33,2 km; dan 6. Pemberian dukungan pembiayaan dan penyiapan tanah untuk pembangunan jalan tol, terutama pada jalan tol Trans Jawa dan jalan tol strategis yang merupakan bentuk pola kerjasama Pemerintah dan swasta. Dengan upaya di atas diharapkan pada akhir 2008 dapat dicapai kondisi mantap jalan sebesar 83 persen dari total panjang jalan yang ditangani sepanjang 34.628 km. Kecepatan rata-rata diharapkan juga meningkat menjadi 44,5 km/jam dari 43,3 km/jam pada 2005, serta kapasitas jalan naik menjadi 82,360 lajur kilometer pada 2008 dari 74.930 lajur kilometer pada 2005. Pada 2008 panjang jalan tol yang beroperasi bertambah menjadi 687,87 km dengan dioperasikannya jalan tol SS Waru-Bandara Juanda sepanjang 12,80 km dan jalan tol Makassar Seksi IV sepanjang 11,60 km. Jumlah jalan tol yang sedang dalam proses konstruksi menjadi 131,55 km dengan dimulainya pembangunan ruas Bogor ring road dan Kertosono-Mojokerto. Jumlah jalan tol yang sedang dalam proses pembebasan tanah sebanyak 13 ruas jalan tol dengan panjang 568,51 km. Satu ruas jalan tol yaitu Kunciran-Serpong sepanjang 11,19 km hasil tender Batch 2 telah menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), 3 ruas jalan tol lainnya hasil tender Batch 2 yaitu jalan tol Cengkareng - Batu Ceper Kunciran, Serpong Cinere, dan Cimanggis Cibitung sepanjang 50,75 km dalam tahap persiapan penandatanganan PPJT.

Kondisi ini telah melampaui target awal RPJMN 2004-2009, yang menargetkan jalan dalam kondisi mantap sebesar 82 persen
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Adapun pembangunan prasarana jalan pada 2008 adalah sebagai berikut. 1. Penanganan jalan lintas utama untuk mempertahankan kondisi dan fungsi jalan yang meliputi jalan lintas pantai utara jawa sepanjang 332 km, jalan lintas timur sumatera sepanjang 318 km, jalan lintas selatan kalimantan sepanjang 282,9 km, jalan lintas barat sulawesi sepanjang 260,4 km, serta jalan lintas lainnya sepanjang 1.401,2 km;

508

Bagian 4

Dua ruas jalan tol yaitu Solo-Ngawi dan NgawiKertosono, hasil tender Batch 3, dengan total panjang 177,12 km telah ditetapkan pemenangnya dan sedang dalam persiapan penandatanganan PPJT. Empat ruas tol dalam tender Batch 4 dengan total panjang 125,42 km telah dilakukan proses prakualikasi tetapi tidak ada peserta yang lolos dan tujuh ruas sisanya sepanjang 350 km masih dalam proses persiapan tender. Pembangunan LLAJ Pembangunan Lalu Lintas Angkutan Jalan yang sesuai angkutan dengan sasaran yang di tetapkan dalam pembangunan LLAJ sepanjang 2005-2007 adalah: 1. Dalam meningkatkan keselamatan transportasi darat, telah dilaksanakan pengadaan fasilitas keselamatan, antara lain, marka jalan sepanjang 1.009.555 meter; pagar pengaman jalan 37.558 meter; rambu lalu lintas 26.718 buah; rambu penunjuk pendahulu jalan (RPPJ) sebanyak 794 buah; guard rail 13.418 unit; delineator 4.150 buah; trac light 30 unit; paku marka 1.000 buah; peralatan pengujian kendaraan bermotor (PKB) 29 unit, manajemen rekayasa lalu lintas sebanyak 27 lokasi; serta sosialisasi keselamatan transportasi darat; 2. Dalam menunjang keperintisan, telah diprogramkan pengadaan bus ukuran sedang dan besar untuk angkutan perintis, angkutan mahasiswa/pelajar, dan angkutan kota mencapai 100 unit; pengadaan bus ukuran sedang dan besar untuk BRT mencapai 40 unit; serta pelayanan subsidi bus perintis untuk 111 trayek/lintasan perintis pada 20 provinsi; 3. Pembangunan baru dan lanjutan terminal di tujuh lokasi, di antaranya terminal Batas Antar Negara Sei Ambawang-Pontianak (lanjutan), terminal Matoain (NTT), terminal Kuningan (Jawa Barat), Wonosari (DIY), Palangkaraya (Kalteng), terminal Badung (Bali), terminal Aceh Timur (NAD); serta lanjutan rehabilitasi terminal di P. Maluku dalam rangka pelaksanaan Inpres 6 tahun 2003.

Di sektor lalu lintas dan angkutan jalan, capaian pada 2008 antara lain sedang dan akan dilaksanakan pengadaan fasilitas keselamatan berupa pengadaan dan pemasangan marka jalan sepanjang 1.949.000 m, guard rail sepanjang 70.902 m, rambu lalu lintas 15.651 buah, rambu penunjuk pendahulu jalan (RPPJ) 78 buah, delineator 22.935 buah, trac light 52 unit, warning light 15 unit, paku marka 8.550 buah, trac cone 2.500 buah, APILL Tenaga Surya 62 buah, peralatan pengujian kendaraan bermotor (PKB) 18 unit, pembangunan jembatan timbang 1 paket, manajemen rekayasa lalu lintas di 19 lokasi, Pengadaan Peralatan Unit Penelitian Kecelakaan serta Sosialisasi Keselamatan Transportasi Darat. Untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan angkutan jalan diprogramkan pengadaan bus ukuran perintis sebanyak 31 unit, bus ukuran sedang BRT 47 unit dan bus besar BRT sebanyak 47 unit serta bus non AC untuk angkutan kota/pelajar/mahasiswa sebanyak 80 unit. Sementara itu, untuk capaian sasaran meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas yang baik, dan penanganan dampak polusi udara serta pengembangan teknologi sarana yang ramah lingkungan, terutama di wilayah perkotaan, meningkatnya SDM profesional dalam perencanaan pembinaan dan penyelenggaraan LLAJ, dan terwujudnya penyelenggaraan angkutan perkotaan yang esien dengan berbasis masyarakat dan wilayah, andal dan ramah lingkungan serta terjangkau bagi masyarakat tidak dijelaskan dalam capaian.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009
Dok: Dinas Pelabuhan Tanjung Priuk

509

Pembangunan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Pembangunan angkutan sungai, danau dan penyeberangan yang sesuai dengan sasaran yang ditetapkan dalam pembangunan ASDP sepanjang 2005-2007 adalah: 1. Peningkatan keselamatan melalui pengadaan rambu penyeberangan sebanyak 29 buah, rambu sungai dan danau mencapai 1.114 buah, serta pengerukan alur pelayaran 873.329 m3; 2. Peningkatan jumlah dan kapasitas dermaga melalui pembangunan dermaga penyeberangan sebanyak 151 unit (baru dan lanjutan), dermaga danau 36 unit (baru dan lanjutan); 3. Peningkatan pelayanan melalui rehabilitasi/ peningkatan dermaga sungai dan danau sebanyak 5 unit, dan dermaga penyeberangan 54 unit, serta rehabilitasi kapal penyeberangan mencapai 61 unit; 4. Peningkatan jumlah dan kapasitas sarana angkutan melalui pembangunan kapal penyeberangan 10 unit (baru dan lanjutan), pembangunan bus air 5 unit, dan speed boat 10 unit; 5. Peningkatan aksesibilitas pelayanan di wilayah terpencil dan perdalaman melalui pengoperasian kapal penyeberangan perintis pada

76 lintas dalam provinsi dan 8 lintas antarprovinsi. Pada tahun anggaran 2008 sedang dilaksanakan pembangunan dermaga penyeberangan sebanyak 67 unit (baru dan lanjutan), pembangunan dermaga sungai/danau 24 buah (baru dan lanjutan). Demikian pula, sedang dibangun rehabilitasi/peningkatan dermaga penyeberangan sebanyak 22 unit, rehabilitasi/peningkatan dermaga sungai danau 9 unit, rambu laut 15 buah, rambu sungai 900 buah. Pembangunan kapal penyeberangan 28 buah (baru dan lanjutan). Pengoperasian kapal penyeberangan perintis pada 76 lintas dan pengerukan alur pelayaran 1.703.333 m3 serta pembangunan breakwater 2 lokasi. Pembangunan Perkeretaapian Pembangunan perkeretaapian yang sesuai dengan sasaran yang ditetapkan dalam pembangunan perkeretaapian yang dicapai pada kurun waktu 2005-2007 adalah: 1. Pelaksanaan rehabilitasi, peningkatan, dan pembangunan jalan KA sepanjang 181,89 km dan penggantian bantalan 303 ribu batang; 2. Pelaksanaan rehabilitasi 23 km kabel persinyalan, dan pemasangan pintu perlintasan di 13 lokasi;

Tabel 4.19.3. Capaian Pembangunan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan No.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Kegiatan Pembangunan dermaga penyeberangan baru (lokasi) Pembangunan lanjutan dermaga penyeberangan (lokasi) Pembangunan dermaga sungai dan danau (lokasi)* Perencanaan umum, pradisain, dan detail design pelabuhan SDP (lap) Jumlah rehabilitasi dan peningkatan prasarana transportasi SDP (lokasi) Pembangunan breakwater (lokasi) Pembangunan SBNP di lintas penyeberangan (unit) Rehabilitasi SBNP Pembangunan rambu sungai Normalisasi alur pelayaran dan kolam pelabuhan (lokasi)

Jumlah Kegiatan 2005-2009 61 214 86 83 120 11 24* 1* 1699* 12*

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

510

Ket: * = Data sampai 2008

Bagian 4

3. Pelaksanaan rehabilitasi KRD sebanyak 8 unit, modikasi KRL menjadi KRDE sebanyak 10 unit serta rehabilitasi K3 sebanyak 20 unit; 4. Pembuatan underpass pada perlintasan yang tidak dijaga di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebanyak 8 lokasi; lanjutan pembebasan/penertiban tanah untuk persiapan pembangunan jalur ganda jalan KA lintas Cirebon-Kroya, serta penyelesaian pembebasan/penertiban tanah untuk pembangunan jalur ganda jalan KA lintas KroyaKutoarjo; 5. Pembangunan tubuh badan jalan KA untuk persiapan pembangunan short cut jalan KA Cisomang-Cikadondong sepanjang 5,6 km; 6. Pengadaan sarana perkeretaapian yang meliputi kereta penumpang kelas ekonomi (K3) sebanyak 26 unit, prototipe KRL-I sebanyak 4 unit, serta pengangkutan KRL exhibah sebanyak 20 unit; 7. Pengadaan 10 train set Kereta Rel Listrik (KRL) untuk mendukung transportasi perkotaan Jabodetabek; serta 8. Telah disahkannya UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian sebagai pengganti dari UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian.
Gambar 4.19.1. Produksi Jasa Angkutan Kereta Api

Pada 2008 pembangunan infrastruktur perkeretaapian terus didorong untuk meningkatkan pelayanan angkutan KA melalui kegiatan: 1. Dalam meningkatkan kapasitas lintas, telah dilakukan kegiatan lanjutan pembangunan double track Manggarai-Cikarang, Jalur Ganda Kutoarjo-Yogyakarta, jalur ganda CirebonKroya lintas Patuguran-Purwojerto sepanjang 24,48 km, jalur ganda Tegal-Pekalongan lintas Pemalang-Surodadi-Larangan sepanjang 22,7 km, lintas Cisomang-Cikadongdong, serta lanjutan pembangunan spoor emplasemen Bandara Adisucipto; 2. Peningkatan jalan KA di lintas Sumatera dan Jawa sepanjang 531,83 km; 3. Peningkatan 36 buah jembatan; 4. Pembangunan jalan KA di lintas Sumatera dan Jawa sepanjang 74,42 km; 5. Peningkatan Sistem telekomunikasi dan kelistrikan (Sintelis) di Jawa dan Sumatera sebanyak 17 paket; 6. Pembangunan jalur ganda lintas Serpong MajaRangkasbitung sepanjang 46,95 km; 7. Penyelesaian pekerjaan KRD I 1 paket; 8. Pembangunan Spoor Kolong; 9. Pembuatan hangar KRD I; 10. Pemugaran stasiun;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

11. Rehabilitasi Sintelis dan jalan pasca gempa di Sumatera Barat, Tarahan Tanjung Enim; 12. Penanganan longsoran di Jawa Barat; 13. Perkuatan tebing di lintas Cirebon Kroya 9 paket; 14. Pelaksanaan lanjutan pembangunan kereta api massal di perkotaan, melalui engineering service untuk pembangunan MRT Jakarta; 15. Penyusunan peraturan pelaksanaan dari UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Ket: * = Posisi Mei 2008

511

Pembangunan Transportasi Laut Pembangunan transportasi laut yang sesuai dengan sasaran yang ditetapkan dalam pembangunan transportasi laut sepanjang 2005-2007 telah dicapai hasil sebagai berikut: 1. Dalam rangka peningkatan keselamatan transportasi laut, telah dilaksanakan pembangunan 2.047 unit sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) yang meliputi 274 unit menara suar (light house), 1.216 unit rambu suar (light beacon), 329 unit pelampung suar (light buoy), 150 unit tanda siang (day mark), dan 78 unit anak pelampung (unlighted buoy); pengerukan alur/kolam pelabuhan mencapai 10,54 juta m3 untuk memelihara kedalaman alur laut dan kolam pelabuhan; serta pembangunan dan pemasangan Automatic Identication Ship (AIS) di 5 lokasi pelabuhan, yaitu Belawan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar untuk memonitor pergerakan kapal di area pelabuhan dan terhubung dengan ADPEL untuk memenuhi persyaratan International Ships and Port facility Security (ISPS) Code. Jumlah fasilitas pelabuhan dan kapal yang telah sesuai dengan ISPS Code mengalami peningkatan, yakni 220 fasilitas pelabuhan pada 2006 menjadi 231 pada 2007, dan 521 kapal pada 2005 menjadi 618 kapal pada 2006; 2. Untuk lebih mendorong peningkatan investasi melalui transportasi laut, telah dilakukan penurunan besaran terminal handling charge (THC) dari USD 150 menjadi USD 90 untuk peti kemas ukuran 20. Untuk peti kemas ukuran 40 dilakukan penurunan dari USD 230 menjadi USD 145, serta biaya pengurusan dokumen untuk kegiatan ekspor-impor dari USD 40 menjadi Rp 100,000 per BL (bill of loading) dan Rp 100.000 per DO (delivery order) sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk ekspor nasional di pasar global; 3. Pembangunan 11 pelabuhan peti kemas (full container terminal), yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, Tanjung

Emas, Panjang, Makassar, Banjarmasin, Pontianak, Bitung, Samarinda, dan Palembang; 4. Pembangunan 4 pelabuhan semicontainer (multi purpose) dan 7 pelabuhan konvensional, 22 pelabuhan yang memiliki fasilitas bongkar muat break bulk, 9 pelabuhan memiliki fasilitas bongkar muat dryliquid bulk, 17 pelabuhan yang memiliki terminal penumpang dan 142 pelabuhan untuk pelayaran perintis/rakyat; 5. Peningkatan keamanan dan penjagaan laut melalui pembangunan 1 unit kapal patroli kelas III dan 8 unit kapal patroli kelas V. 6. Dalam upaya untuk peningkatan pelayanan angkutan laut perintis, jumlah trayek angkutan laut perintis mengalami kenaikan dari 52 trayek pada 2006 menjadi 53 trayek pada 2007. Dalam rangka keselamatan transportasi laut, jumlah fasilitas pelabuhan dan kapal yang telah mengikuti aturan ISPS Code mengalami peningkatan, yakni 220 fasilitas pelabuhan pada 2006 menjadi 231 pada 2007; 7. Selesainya revisi UU No. 21 tahun 1992 tentang pelayaran menjadi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Untuk 2008, capaiannya adalah berikut: 1. Pembangunan fasilitas pelabuhan di Dumai Riau, Sorong, Manokwari, Agats, Raja Ampat, Tanjung ButonRiau, Garongkong, Machini Baji, Pamatata, Bantaeng dan Palopo; 2. Pembangunan fasilitas sistem telekomunikasi pelayaran tahap 4 yang tersebar di seluruh Indonesia; 3. Pengadaan kapal navigasi (ATN Vessel) 4 unit; 4. Pembangunan vessel trac information system (VTIS) di teluk Bintuni Papua Barat; 5. Pembangunan peralatan sistem monitoring di SBNP di Tanjung Datu Kalimantan Barat; 6. Pembangunan 16 unit kapal patroli kelas II; 7. Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran sebanyak 293 unit (menara suar, rambu suar, rambu runtun);

512

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Gambar 4.19.2. Jumlah Pelabuhan di Indonesia

Tahun 2005 2006 2007

Menurut Penyelenggara PT. Polindo 111 111 111 UPT 614 614 614

Menurut Pengelola Pelabuhan Khusus 393 450 450 DUKS* 549 711 712

Total 1.667 1.886 1.887

*DUKS : Dermaga untuk Kepentingan Sendiri Keterangan: Jumlah pelabauhan diatas tidak termasuk pelabuhan perikanan Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Desember 2007

8. Pembangunan 6 unit kapal navigasi; 9. Pembangunan 3 unti kapal GT 2000 dan 2 kapal Catamaran; 10. Pembangunan 13 unit kapal perintis (4 kapal 350 DWT, 4 kapal 500 DWT, 3 kapal 750 DWT, 2 kapal 900 DWT); 11. Pembangunan peralatan SAR Laut 23 set; 12. Pengerukan alur pelayaran dan kolam pelabuhan seluas 7.100.000 m3 (di 17 Pelabuhan UPT); 13. Peningkatan keselamatan pelayaran di 9 lokasi pelabuhan; 14. Rehabilitasi fasilitas pelabuhan di seluruh 150 UPT pelabuhan; 15. Pelaksanaan Pilot Project National Single Window untuk 2 Pelabuhan Utama (Tanjung Priok dan Tanjung Perak); 16. Selesainya revisi UU No. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran menjadi UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

17. Subsidi operasi pelayaran perintis di 56 trayek. Pembangunan Transportasi Udara Pembangunan transportasi udara yang sesuai dengan sasaran yang ditetapkan sepanjang 20052007 telah dicapai: 1. Pengembangan 14 bandar udara pada daerah rawan bencana dan daerah perbatasan agar mampu melayani pesawat udara sejenis F-27 atau Hercules C-130; 2. Peningkatan fasilitas bangunan terpasang sebesar 21,05 persen dan fasilitas terminal terpasang sebesar 3,88 persen dibandingkan tahun 2006, serta pembangunan fasilitas landasan sebesar 1.281.022 m2; 3. Penambahan 6 bandara yang melayani penerbangan umum, yakni Bandara Internasional Minangkabau, Abdurahman SalehMalang, Blimbingsari-Banyuwangi, Seko, Rampi, dan Hadinotonegoro-Jember;

513

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: PolaGrade

4. Pengembangan bandara lainnya yang dilaksanakan secara bertahap, diantaranya didahului dengan pekerjaan tanah untuk perpanjangan landasan ataupun perluasan apron; 5. Pelaksanaan dimulainya konstruksi pembangunan bandara Medan Baru, dengan pembagian kewenangan pembangunan sisi darat (private sector) oleh PT (Persero) Angkasa Pura II dan sisi udara (public sector) melalui APBN; 6. Pembangunan Bandara Hasanuddin, Makassar dan pembangunan sisi darat (privat sector) oleh PT Angkasa Pura I dan sisi udara (public sector) melalui APBN, yang diharapkan dapat dioperasikan pada tahun 2009; 7. Pembangunan Bandara Lombok Baru melalui kerjasama antara PT (Persero) Angkasa Pura I dan Pemda Nusa Tenggara Barat; 8. Pelayanan penerbangan perintis di tiga belas provinsi. Sementara pembangunan transportasi udara yang dicapai pada 2008 adalah: 1. Pengadaan dan pemasangan fasilitas keselamatan penerbangan antara lain radar, ADSB, RVR, DVOR & DME, ILS, AFL, Tower Set, XRay, Walkthrough MD, AFTN-PTP, Penangkal Petir Terintegrasi, ATIS, VHF-ER, PAPI, FIDS,

CCTV, HF-SSB sebanyak 9.224 paket/unit yang tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat; 2. Penyelesaian pembangunan bandara Kualanamu (Medan) dan Hasanuddin (Makassar); 3. Pengembangan Bandara di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Dobo (Maluku), Saumlaki Baru (Maluku), Seram Bagian Timur (Maluku), Namniwel (Maluku), Sam Ratulangi (Manado, Sulut), bandara pengganti Dumatubun (Langgur, Maluku), Waghete baru (Papua); 4. Pembangunan/peningkatan bandara di daerah perbatasan, terpencil, dan rawan bencana di 13 lokasi; 5. Pembangunan/peningkatan bandara di ibukota provinsi, ibukota kabupaten dan daerah pemekaran yang tersebar di seluruh provinsi, ibukota kabupaten dan daerah pemekaran; 6. Subsidi angkutan udara perintis dan Angkutan BBM Penerbangan Perintis untuk 92 rute dan 2,442 drum tersebar di 15 provinsi; 7. Rehabilitasi prasarana udara yang meliputi fasilitas landasan 944.335 m2, fasilitas bangunan 58.828 m2, dan fasilitas terminal 3,071 m2 yang tersebar di beberapa provinsi; serta

514

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

8. Peningkatan kualitas pelayanan keselamatan dan keamanan penerbangan melalui kegiatan audit kespen, rampcheck, STKP teknisi penerbangan. 4.19.2.2.3.Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Salah satu sasaran pokok dalam untuk mewujudkan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah meningkatnya dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur infrastruktur transportasi difokuskan pada upaya penanganan isu-isu penting yang sedang dihadapi saat ini, yaitu: 1. Masih rendahnya tingkat keselamatan pelayanan jasa transportasi; 2. Terjadinya penurunan kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur transportasi yang ada akibat masih terbatasnya sumber daya dalam memenuhi kebutuhan standar pelayanan minimal jasa pelayanan prasarana dan sarana transportasi; 3. Belum optimalnya dukungan infrastruktur dalam peningkatan daya saing sektor riil dan daya saing jasa transportasi yang mandiri; 4. Belum berkembangnya peran serta masyarakat dan swasta untuk memenuhi sumber pendanaan untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur; 5. Masih terbatasnya aksesibilitas pelayanan transportasi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah, meningkatkan pengembangan wilayah perbatasan, serta memberikan dukungan dalam penanganan bencana di berbagai wilayah; 6. Permasalahan dalam hal keterpaduan perencanaan nasional dan wilayah.

Menurunnya kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur, ditandai antara lain oleh penurunan kondisi prasarana jalan terutama akibat pembebanan muatan lebih dan sistem penanganan yang belum memadai berakibat pada hancurnya jalan sebelum umur teknis jalan tersebut tercapai, masih stagnannya partisipasi swasta dalam penyelenggaraan jalan tol, masih tingginya tingkat kemacetan di beberapa ruas jalan strategis dan di perkotaan, perkembangan armada dan pergerakan angkutan jalan yang terus meningkat yang tidak sebanding dengan perkembangan panjang dan kapasitas prasarana jalan, perusahaan angkutan yang gulung tikar, terbatasnya pelayanan angkutan umum, tingginya gangguan dan keluhan pada kelancaran angkutan barang, prasarana dan sarana kereta api yang kurang perawatan, pelayanan pelabuhan dan kondisi kapal penyeberangan yang kurang memadai, peralatan pendukung operasi bandara dan pelabuhan yang kurang memadai, manajemen dan profesionalitas SDM transportasi yang terbatas, keterlambatan pelayanan transportasi, serta kenyamanan. Belum optimalnya daya dukung infrastruktur transportasi terhadap daya saing di sektor riil, terutama ditandai dengan masih belum esiennya biaya transportasi dalam komponen biaya produksi maupun biaya pemasaran. In-esiensi tersebut menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi di Indonesia sehingga meminimkan daya saing produk-produk nasional di pasar luar negeri dan dalam negeri. Sebagai gambaran, kerusakan prasarana jalan telah menyebabkan bertambahnya secara dramatis biaya sosial ekonomi yang diderita oleh pengguna jalan di berbagai ruas jalan yang merupakan jalur utama ekonomi. Keterbatasan sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur. Walaupun dari tahun ke tahun nilai nominal dana untuk pemeliharaan maupun pembangunan prasarana transportasi meningkat, namun purchasing ability-nya semakin rendah sehingga tidak mampu untuk memelihara prasarana transportasi yang ada, apalagi untuk meningkat-

Salah satu sasaran pokok untuk mewujudkan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah meningkatnya dukungan infrastruktur

515

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

kan kapasitasnya. Seiring dengan upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, tuntutan terhadap pelayanan transportasi juga semakin meningkat, sehingga diperlukan tambahan kapasitas prasarana dan sarana transportasi yang tersedia saat ini. Menyadari hal tersebut, maka pemerintah mengundang pihak swasta untuk ikut berpartisipasi dalam pendanaan pembangunan prasarana transportasi khususnya kegiatan-kegiatan yang menurut perhitungan keuangan sangat layak. Peran serta masyarakat dan swasta harus semakin dikembangkan terutama untuk ikut membangun dan menyediakan jasa prasarana dan sarana transportasi yang berkembang pesat kebutuhannya dan lebih komersial. Rendahnya aksesibilitas pelayanan infrastruktur masih dihadapi oleh berbagai lapisan masyarakat di perkotaan dan perdesaan, juga masyarakat di beberapa wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah yang belum berkembang. Pelayanan infrastruktur merupakan bagian dari pelayanan umum yang

harus disediakan secara terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Permasalahan perencanaan nasional dan wilayah, ditandai dengan masih adanya kesulitan dalam mengatasi masalah transportasi yang lintas sektoral, karena rumitnya koordinasi; masih terdapat kecenderungan untuk merumuskan kebijakan dan strategi dalam kerangka yang parsial pada masingmasing sub-sektor, dan daerah; keputusan investasi dilakukan tanpa mempertimbangkan strategi multi-moda yang terpadu dan efesien. Selama empat tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, banyak program infrastruktur transportasi sudah menunjukkan hasil yang cukup signikan untuk mengatasi berbagai persoalan infrastruktur. Namun demikian, masih diperlukan upaya tindak lanjut dalam rangka mendorong aktivitas ekonomi, sosial dan pengembangan wilayah secara efektif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Indonesia.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: DEPBUDPAR

516

Bagian 4

4.19.2.3. Tindak Lanjut 4.19.2.3.1.Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Untuk mencapai sasaran RPJM, secara umum pembangunan sarana dan prasarana transportasi perlu lebih dipercepat untuk mengurangi kesenjangan permintaan dan penawaran, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sektor rill, serta untuk mengurangi disparitas antarkawasan. Di samping itu, juga terus dilakukan upaya meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan dalam kondisi yang terbatas, termasuk mempertahankan dan meningkatkan keselamatan pengguna jasa transportasi. Selain itu, dalam rangka keterjangkauan seluruh masyarakat untuk memanfaatkan jasa transportasi perlu dikaji ulang kebijakan subsidi dan PSO, terutama untuk angkutan kelas ekonomi, baik angkutan jalan, angkutan KA, angkutan laut, maupun angkutan udara. Upaya yang dilakukan untuk mencapai sasaran RPJM antara lain adalah Meningkatkan keselamatan transportasi melalui peningkatan keandalan kondisi prasarana jalan; 1. Meningkatkan kelancaran jalur distribusi dan logistik nasional melalui peningkatan kapasitas dan pembangunan aksesibilitas menuju pelabuhan, bandara maupun outlet-outlet distribusi sebagai dukungan bagi peningkatan investasi dan ekspor non migas; 2. Memperluas jaringan jalan dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan, meningkatkan daya dukung jembatan sesuai dengan minimal standar pembebanan yang berlaku, pembangunan jalan dan y over untuk melengkapi dan memfungsikan jaringan jalan dalam melayani lalu lintas perkotaan; 3. Meningkatkan aksesibilitas melalui pembangunan jalan pada wilayah yang belum berkembang dan pulau-pulau terpencil; serta 4. Memberikan dukungan pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol.

Beberapa kegiatan sik bidang prasarana jalan yang memerlukan tindak lanjut pada Tahun Anggaran 2009 adalah: 1. Pemeliharaan jalan nasional 31.010,8 km dan jembatan 52.876,4 m; sepanjang sepanjang

2. Rehabilitasi jalan nasional 1.189,6 km dan jembatan 7.493,6 m; 3. Pembangunan jalan kawasan perbatasan sepanjang 101,8 km; 4. Pembangunan jalan di pulau terluar/terdepan sepanjang 85,2 km; 5. Peningkatan jalan lintas timur Sumatera dan pantura Jawa sepanjang 640 km; 6. Peningkatan jalan dan jembatan pada lintas utama yaitu lintas selatan Kalimantan, lintas barat Sulawesi, dan lintas lainnya serta non lintas sepanjang 1.725,8 km dan jembatan sepanjang 6.243,9 m; 7. Pembangunan jalan baru dan strategis sepanjang 101 km; 8. Pembangunan y over sepanjang 4.745,7 m; 9. Pembangunan jalan lintas selatan Jawa sepanjang 82,4 km; 10. Pembangunan jalan akses Kualanamu sepanjang 6 km; 11. Jalan akses tol Tanjung Priok sepanjang 1,9 km; 12. Pembangunan jalan tol Solo-Kertosono sepanjang 4 km; serta 13. Peningkatan kapasitas jalan nasional berupa penambahan lajur jalan menjadi 84.985 lajur km pada akhir 2009 dari 74.930 lajur km pada tahun 2005. Upaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran lalu lintas dan angkutan jalan adalah: 1. Peningkatan keselamatan dan keamanan transportasi jalan; 2. Peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan standar pelayanan minimal;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

517

3. Meningkatkan pengawasan pelanggaran muatan lebih melalui pengoperasian jembatan timbang yang didukung dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran muatan lebih di jalan; 4. Pengembangan angkutan massal di perkotaan/metropolitan yang didukung oleh feeder service yang terpadu dengan pelayanan angkutan pada wilayah pengembangan kawasan; 5. Meningkatkan aksesibilitas angkutan darat antara pusat kota dan outlet (bandara), pusat produksi dan outlet (pelabuhan laut); 6. Menyelesaikan revisi UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di bidang perkeretaapian, upaya yang diperlukan antara lain: 1. Peningkatan keselamatan angkutan dan kualitas pelayanan melalui pemulihan kondisi prasarana dan sarana perkeretaapian; 2. Peningkatan kualitas, kapasitas jaringan dan kelaikan sarana dan prasarana perkeretaapian; 3. Pengembangan jaringan kereta api akses pelabuhan (Tanjung Priok) dan bandara (Soekarno-Hatta dan Kualanamu); 4. Pengembangan angkutan kereta api barang khususnya angkutan batu bara untuk mendukung program energi nasional; 5. Meningkatkan peran serta Pemerintah Daerah dan swasta dalam investasi di bidang perkeretaapian; 6. Meningkatkan peran angkutan kereta api perkotaan khususnya di wilayah Jabotadebek dan kota-kota metropolitan lainnya; 7. Pewujudan keterpaduan transportasi antar dan intramoda; 8. Penyelesaian peraturan perundang-undangan turunan dari UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

Upaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran angkutan sungai, danau, dan penyeberangan adalah: 1. Peningkatan keselamatan melalui peningkatan kualitas pelayanan sarana dan prasarana angkutan penyeberangan, rehabilitasi, dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi sungai, danau, dan penyeberangan serta penyediaan sarana bantu navigasi beserta fasilitas penyeberangan; 2. Peningkatan aksesibilitas pelayanan melalui pembangunan prasarana angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, terutama di daerah kepulauan dan daerah lain yang mempunyai potensi untuk pengembangan transportasi sungai dan danau, dan penyeberangan, serta pembangunan prasarana angkutan di pulau-pulau kecil dan di kawasan perbatasan; 3. Peningkatan kualitas pelayanan pengelolaan angkutan sesuai dengan standar pelayanan minimal; 4. Perbaikan tatanan pelayanan angkutan antarmoda; 5. Pengembangan jaringan pelayanan ASDP di Jawa dan Madura, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku dan Papua. Upaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran penyelenggaraan transportasi laut, antara lain: 1. Peningkatan keselamatan pelayaran melalui pengetatan pengecekan kelaikan laut, baik kapal maupun peralatan SBNP, peningkatan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran sesuai dengan standar IMO seperti penerapan International Ships and Port facility Security (ISPS) Code serta pemenuhan kebutuhan peralatan navigasi; 2. Peningkatan kapasitas prasarana transportasi laut seperti dermaga dan lapangan penumpukan peti kemas untuk pelabuhan-pelabuhan yang tingkat permintaan terhadap jasa kepelabuhanan sangat tinggi;

518

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

3. Mengembangkan dermaga pelabuhan untuk mendukung angkutan batu bara; 4. Penyediaan angkutan laut perintis dan angkutan penumpang kelas ekonomi angkutan laut dalam negeri; 5. Pengadaan sarana dan prasarana transportasi laut; 6. Peningkatkan pelayanan bongkar muat di pelabuhan dan pengurangan ekonomi biaya tinggi di pelabuhan; 7. Pelaksanaan rehabilitasi prasarana transportasi laut, termasuk akibat bencana alam; 8. Penyelesaian turunan peraturan dari UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Upaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran angkutan udara adalah 1. Peningkatan keselamatan dan keamanan penerbangan, baik dari sisi prasarana maupun sarana melalui pengetatan pengecekan kelaikan udara, baik pesawat maupun peralatan navigasi; 2. Peningkatan fasilitas keselamatan penerbangan dan navigasi sesuai dengan standar ICAO; 3. Peningkatan pengelolaan prasarana dan sarana transportasi udara di seluruh bandara, termasuk bandara internasional untuk mendapatkan sertikat operasional bandara; 4. Pengembangan sarana dan prasarana serta penambahan kapasitas dan perbaikan pengelolaan prasarana dan sarana transportasi udara, termasuk bandara di kawasan perbatasan, terpencil, dan pedalaman agar dapat didarati pesawat sekelas F-27 dengan daya dukung landasan mampu didarati pesawat C230 (Hercules); 5. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi udara; 6. Pelayanan penerbangan perintis serta pemberian kompensasi subdisi operasi dan subsidi

angkutan BBM pada operator pelaksanaan angkutan udara perintis; 7. Peningkatan pelatihan teknis bagi inspektor; 8. Penyelesaian pembangunan Bandara Kuala Namu-Medan dan Bandara Hasanudin-Makassar; 9. Penyelesaian revisi UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Adapun program penunjang transportasi, kegiatan yang akan di laksanakan dalam rangka pencapaian sasaran RPJM antara lain: 1. Pembangunan balai diklat kepelautan di NAD, Sorong, dan Ambon; 2. Pembangunan Maritime Education and Training Improvement (METI); 3. Pengembangan STT Transportasi Darat di Makassar dan NAD; 4. Pengembangan STPI Curug menuju center of excelence dan Program PC-200; 5. Peningkatan fasilitas dan sarana operasi pencarian dan penyelamatan yang meliputi pengadaan peralatan komunikasi, sistem komunikasi SAR, helikopter dan pengadaan gedung Pos SAR.

Peningkatan aksesibilitas pelayanan melalui pembangunan prasarana angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, terutama di daerah kepulauan dan daerah lain yang mempunyai potensi untuk pengembangan transportasi sungai dan danau, dan penyeberangan, serta pembangunan prasarana angkutan di pulau-pulau kecil dan di kawasan perbatasan

519

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.19.2.3.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009 Secara umum pembangunan yang dilaksanakan pada sub bidang Transportasi masih dalam koridor rencana pembangunan dalam RPJMN 2004-2009. Pada akhir tahun 2009 diharapkan kondisi mantap jalan akan mencapai 87,02 persen atau sekitar 30.148,7 km dan sisanya sekitar 4.480,1 km (12,9 persen) dalam kondisi tidak mantap (rusak ringan) dan tidak terdapat jalan yang mengalami rusak berat. Kondisi ini telah melampaui target awal RPJMN 2004-2009, yang menargetkan jalan dalam kondisi mantap sebesar 82 persen. Di bidang prasarana jalan, pemeliharaan jalan masih memerlukan perhatian sehingga tingkat pelayanan jalan dapat dipertahankan dan mengurangi

kecelakaan di jalan akibat kondisi jalan yang tidak terpelihara. Begitu juga, upaya meningkatkan kinerja jalan tidak dapat hanya dilakukan dengan kegiatan sik. Faktor-faktor non sik seperti disiplin, ketertiban, penegakan hukum, dan koordinasi antar-instansi sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan kecepatan rata-rata. Demikian pula, pengendalian jumlah kendaraan terutama di wilayah perkotaan dan keselamatan transportasi juga mempunyai andil yang cukup signikan. Prasarana jalan lintas strategis terutama di luar Jawa masih memerlukan waktu untuk penyelesaiannya. Demikian pula jalan lintas strategis pada beberapa pulau. Untuk itu perlu dilakukan skala prioritas agar prasarana jalan yang dibangun dapat segera dimanfaatkan.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PolaGrade

520

Tabel 4.19.4. Sasaran dan Capaian Percepatan Pembangunan Infrastruktur (Transportasi)


Indikator 2006 2007 2008 Satuan Kondisi Awal 2004/2005

Sasaran/Program

Prasarana Jalan Kondisi mantap jalan* Kecepatan rata-rata Jalan perbatasan dan jalan di daerah terisolasi dan pulaupulau kecil (km) Pembangunan jalan 220 km di wilayah perbatasan dan 176 km di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil Penerbitann PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan (km) dan (m) Rehabilitasi/pemeliharaan jalan 33.359 km dan 33.544 m jembatan. Peningkatan/pembangunan 4.543 km jalan dan 4.780 m jembatan, dan 48 km jalan tol. Peningkatan/ pembangunan 3.945,6 km jalan dan 10.359 m jembatan. Pemeliharaan 35.072 km jalan dan 35.251 m jembatan. Penerbitan Peraturan Menteri Teknis Pemeliharaan 33.085 km jalan dan 39.394 m jembatan. Peningkatan/ pembangunan 3.312,49 km jalan dan 11.270 m jembatan, jalan tol 115 km. Pemeliharaan 33.986 km jalan dan 39.237 m jembatan. Pembangunan jalan 135 km di wilayah perbatasan dan 94 km di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil Pembangunan 625 km jalan di daerah perbatasan dan daerah terisolasi serta pulau terpencil 96,76 km (km/jam) 43,3 km/jam 43,75 km/jam 44,9 km/jam 46 km/jam Pembangunan 151 km jalan di kawasan perbatasan, serta 136 km jalan pulau-pulau terpencil terluar (persen) 86,6 persen 80,8 persen 82,22 persen 83 persen

1 Terpeliharanya dan meningkatnya daya dukung, kapasitas, maupun dan kualitas pelayanan prasarana jalan untuk daerah-daerah yang perekonomiannya berkembang pesat

Penerbitan Peraturan Pemerintah Rehabilitasi jalan dan jembatan

Bagian 4

2 Meningkatnya aksesibilitas wilayah yang sedang dan belum berkembang melalui dukungan pelayanan prasarana jalan yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan transportasi baik dalam hal kecepatan maupun kenyamanan khususnya pada koridor-koridor utama di masingmasing pulau, wilayah KAPET, perdesaan, wilayah perbatasan, terpencil, maupun pulau-pulau kecil

Peningkatan dan pembangunan panjang jalan, jembatan, dan jalan tol

(km) dan (m)

Peningkatan/ pembangunan 3.920 km jalan dan 17.034 m jembatan, serta pembebasan tanah untuk jalan tol.

521

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

522
Indikator 2006 2007 2008 Satuan Kondisi Awal 2004/2005 Rambu Lalu Lintas (buah) 3.246 10.054 13.418 144 994.651 35.598 4.000 1.000 40 8 4 51.623 85 2 paket 10 14 2 53.906 148 12 paket 30 0 39.602 175 29 paket 18 paket 24.360 10.500 0 52 15 70.902 338 750.700 27.982 1.400 30 387.716 26.721 (buah) (meter) (meter) (buah) (buah) (unit) (unit) (unit) (unit) (buah) (paket) RPPJ Marka Jalan Pagar Pengaman Jalan Deliniator Paku Marka Lampu Penerangan Jalan Trac light Warning light Guard rail Bus besar dan Bus sedang Alat Penguji Kendaraan bermotor 18.796 593 1.860.500

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan 4.19.4

Sasaran/Program

Prasarana Jalan

3 Terwujudnya partisipasi aktif Pemerintah, BUMN, maupun swasta dalam penyelenggaraan pelayanan prasarana jalan melalui reformasi dan restrukturisasi baik di bidang kelembagaan maupun regulasi diantaranya merampungkan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang akan dihadapi dalam era globalisasi dan otonomi daerah

Transportasi Darat

Lalu Lintas Angkutan Jalan

1 Meningkatnya kondisi prasarana LLAJ terutama menurunnya jumlah pelanggaran lalu lintas dan muatan lebih di jalan sehingga dapat menurunkan kerugian ekonomi yang diakibatkannya.

2 Meningkatnya kelaikan dan jumlah sarana LLAJ.

3 Menurunnya tingkat kecelakaan dan fatalitas kecelakaan lalu lintas di jalan serta meningkatnya kualitas pelayanan angkutan dalam hal ketertiban, keamanan dan kenyaman transportasi jalan, terutama angkutan umum di perkotaan, perdesaan dan antarkota.

Lanjutan 4.19.4
Indikator 2006 2007 2008 Satuan Kondisi Awal 2004/2005

Sasaran/Program

Transportasi Darat Dibangunnya terminal Bis perintis Bis perintis Rehabilitasi Jembatan timbang (unit) 0 1 2 (unit) 96 139 100 1 (target) 88 99 111 31 (paket) 2 paket 1 paket 7 paket

4 Meningkatnya keterpaduan antarmoda dan esiensi dalam mendukung mobilitas manusia, barang dan jasa, mendukung perwujudan sistem transportasi nasional dan wilayah (lokal), serta terciptanya pola distribusi nasional.

5 Meningkatnya keterjangkauan pelayanan transportasi umum bagi masyarakat luas di perkotaan dan perdesaan serta dukungan pelayanan transportasi jalan perintis di wilayah terpencil untuk mendukung pengembangan wilayah.

6 Meningkatnya efektivitas regulasi dan kelembagaan transportasi jalan

7 Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas yang baik, dan penanganan dampak polusi udara serta pengembangan teknologi sarana yang ramah lingkungan, terutama di wilayah perkotaan. Manajemen rekayasa lalu lintas di perlintasan sebidang (paket) 2 2 27 19

8 Meningkatnya SDM profesional dalam perencanaan pembinaan dan penyelenggaraan LLAJ.

Bagian 4

9 Terwujudnya penyelenggaraan angkutan perkotaan yang esien dengan berbasis masyarakat dan wilayah, andal dan ramah lingkungan serta terjangkau bagi masyarakat. Untuk itu perlu didukung perencanaan transportasi perkotaan yang terpadu dengan pengembangan wilayah dan mengantisipasi perkembangan permintaan pelayanan serta didukung oleh kesadaran dan kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat.

523

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

524
Indikator 2006 2007 2008 Satuan Kondisi Awal 2004/2005 Jumlah Lokomotif (unit) 358 353 333 350 429 1.448 3.618 197,77 19,550 327 10 69,6 36 409 1,190 3,289 168,21 16,820 288 322 1,226 3,498 161,29 17,483 303,02 181,89 6 310 1,171 3,516 151,49 17,328 264,52 158,78 4 (unit) (unit) (unit) (juta orang) (juta ton) (ribu batang) (km) (buah) Jumlah Kereta Listrik Jumlah Kereta Penumpang Jumlah Gerbong Barang Jumlah Penumpang Jumlah Barang Bantalan Jalan KA Jembatan Jumlah dermaga penyeberangan yang dibangun Pembangunan rambu penyeberangan (unit) (unit) (unit) (unit) (unit) (buah) (buah) 8 21 5 10 5 264 5 Jumlah dermaga danau yang dibangun Rehabilitasi dermaga penyeberangan Rehabilitasi dermaga sungai Rehabilitasi kapal penyeberangan Rambu penyeberangan Rambu sungai dan darat unit) 47 48 60 6 11 8 6 36 6 18 17 25 22 15 8 850 15 900 22 15

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan 4.19.4

Sasaran/Program

Perkeretaapian

1 Meningkatkan kinerja pelayanan terutama keselamatan angkutan, melalui penurunan tingkat kecelakaan dan fatalitas akibat kecelakaan di perlintasan sebidang dengan jalan dan penanganan keamanan operasi pada sepanjang lintas utama yang padat, serta kelancaran mobilisasi angkutan barang dan jasa

ASDP

1 Meningkatnya jumlah prasarana dermaga untuk meningkatkan jumlah lintas penyeberangan baru yang siap operasi maupun meningkatkan kapasitas lintas penyeberangan yang padat

2 Meningkatnya kalaikan dan jumlah sarana ASDP.

3 Meningkatnya keselamatan ASDP

Lanjutan 4.19.4
Indikator 2006 27.829 25.422 5.944 5.944 5.720 6.154 31.936 40.557 2007 2008 (ribu orang) (ribu ton) (ribu unit) (ribu unit) 6.272 4.719 25.187 Jumlah penumpang diangkut Jumlah barang diangkut Kendaraan R-4 Kendaraan R-2 26.501 Satuan Kondisi Awal 2004/2005

Sasaran/Program

4 Meningkatnya kelancaran dan jumlah penumpang, kendaraan dan penumpang yang diangkut, terutama meningkatnya kelancaran perpindahan antarmoda di dermaga penyeberangan; serta meningkatkan pelayanan angkutan perintis.

5 Meningkatnya peran serta swasta dan Pemerintah Daerah dalam pembangunan dan pengelolaan ADSP, serta meningkatnya kinerja BUMN di bidang ASDP

Transportasi Laut Jumlah angkutan laut dalam negeri Jumlah angkutan laut luar negeri (juta ton) (juta Teus) (unit) (unit) (unit) (unit) 0 247 346 1.192 Draft RUU 6,68 286,19 (juta ton) (persen) 24,6 5,0 29,4 5,7 358,32 7,27 5 252 346 1.236 RUU (juta ton) (persen) 114,5 55,5 135,3 61,3 148,7 65,3 31,4 5,9 377,29 7,64 7 274 329 1.216 RUU Draft RPP 192,8 79,4 38,2 7,1 403,72 9,39

1 Meningkatnya pangsa pasar armada pelayaran nasional baik untuk angkutan laut dalam negeri maupun ekspor impor

2 Meningkatnya kinerja dan esiensi pelabuhan yang ditangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)* Vesset Trac Services (VTS) Menara Suar Pelampung Suar Rambu Suar Terbitnya UU Terbitnya PP

Arus Bongkar Muat Barang Arus Peti Kemas Pelabuhan

Bagian 4

3 Terpenuhinya perangkat navigasi pelayaran dan fasilitas pemeliharaannya

7 275 351 1.244 UU Draft RPP

4 Selesainya revisi UU No. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran dan PP No. 69 tentang Kepelabuhanan

* Karena sebagian besar muatan ekspor-impor dan angkutan dalam negeri ditangani oleh pelabuhan yang ada di bawah pengelolaan BUMN

525

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

526
Indikator 2006 2007 2008 Satuan Kondisi Awal 2004/2005 Direhabilitasinya fasilitas landasan Rehabilitasi landasan 648.341 m2 Rehabilitasi landasan 745.920 m2 Rehabilitasi landasan 330.752 m2 Rehabilitasi landasan 412.721 m2 (m2) Direhabilitasinya fasilitas bangunan (m2) Rehabilitasi fasilitas bangunan 7.823 m2 Rehabilitasi fasilitas bangunan 29.579 m2 Rehabilitasi fasilitas bangunan 11.708 m2 Rehabilitasi fasilitas bangunan 8.263 m2 Direhabilitasinya fasilitas terminal (m2) Rehabilitasi fasilitas terminal 37.450 m2 Rehabilitasi fasilitas terminal 58.062 m2 Rehabilitasi fasilitas terminal 2.253 m2 Rehabilitasi fasilitas terminal 58.724 m2 Dibangunnya landasan pacu (m2) (m2) (m2) (paket) rute kota 91 81 1.811 m2 32.741 m2 431.179 m2 Dibangunnya terminal penumpang Dibangunnya apron Pengadaan Sistem navigasi udara Terselenggaranya pelayanan angkutan perintis penerbangan 1.281.022 m2 6.562 m2 29.579 m2 1 paket 91 82 2.583.926 m2 2.253 m2 149.144 m2 1 paket 91 83 2.374.271 m2 9.667 m2 419.775 m2 1 paket 91 83

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan 4.19.4

Sasaran/Program

Transportasi Udara

1 Terjaminnya keselamatan, kelancaran dan kesinambungan pelayanan transportasi udara baik untuk angkutan penerbangan domestik dan internasional, maupun perintis

Lanjutan 4.19.4
Indikator 2006 50 48 2007 2008 Perusahaan 54 Jumlah perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dan tidak berjadwal Satuan Kondisi Awal 2004/2005

Sasaran/Program

2 Terciptanya persaingan usaha di dunia industri penerbangan yang wajar sehingga tidak ada pelaku bisnis di bidang angkutan udara yang memiliki monopoli

Program Pembangunan Pendukung Transportasi Revisi UU No. 14 tahun 1992 tentang LLAJ Revisi UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian Revisi UU No. 21 tentang Pelayaran (paket) Draft RUU tentang Penerbangan (1 paket) Revisi UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan (paket) Draft RUU Pelayaran (1 paket) Draft RUU Pelayaran (1 paket) Draft RUU tentang Penerbangan (1 paket) (paket) Draft RUU tentang Perkeretaapian (1 paket) Draft RUU tentang Perkeretaapian (1 paket) UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian (100persen) Draft RUU Pelayaran (1 paket) Draft RUU tentang Penerbangan (1 paket) (paket) Draft RUU tentang LLAJ (1 paket) Draft RUU tentang LLAJ (1 paket) Draft RUU tentang LLAJ (1 paket) 100 persen

1 Terselesaikannya revisi UndangUndang Sektor Transportasi (UU No. 14 tahun 1992 tentang LLAJ, UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian, UU No. 21 tentang Pelayaran, UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan) serta peraturan pelaksanannya.

Draft Peraturan Pelaksanaan UU No.23/2007 100 persen 100 persen

Bagian 4

Sumber data: Direktorat Transportasi, Bappenas Keterangan: Jalan Mantap: Jaringan jalan dengan kondisi kemampuan pelayanan mantap, merupakan hasil penanganan akhir program pembinaan jalan sampai dengan tingkat struktur secara merata.

527

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.19.3. Bidang Sumberdaya Air Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi merupakan Social Overhead Capital suatu bangsa. Keberadaannya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini termanifestasi dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional. Secara sosial, ketersediaan air mutlak diperlukan sebagai prasyarat kehidupan masyarakat, dan terbukanya jalan membuat masyarakat lebih mudah berkomunikasi dan dapat lebih membuka cakrawala masyarakat. Ketersediaan infrastruktur memungkinkan pula pertemuan budaya antar masyarakat yang dapat membangun toleransi dan melumerkan sekat budaya antar masyarakat. Ketersediaan infrastruktur sebagai jaringan yang menyatukan berbagai wilayah secara nasional dan ketersediaan prasarana wilayah pada kawasan-kawasan perbatasan mendukung aspek pertahanan dan keamanan. Di samping itu, dengan ketersediaan infrastruktur kota, maka akan mendukung peran kota sebagai pusat pelayanan jasa distribusi, sebagai penggerak kegiatan ekonomi, dan sebagai sumber kehidupan berbagai kelompok masyarakat. Demikian pula ketersediaan infrastruktur perdesaan, akan mendukung pemasaran produk pertanian dan pemberian nilai tambah produksi masyarakat perdesaan. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk menyediakan fasilitas infrastruktur dan layanan infrastruktur yang berkualitas, baik dalam pengaturan kerangka regulasi dengan mendorong

partisipasi swasta dalam pembiayaan infrastruktur, maupun rehabilitasi, peningkatan kapasitas dan fasilitas infrastruktur yang rusak, serta pembangunan baru melalui kerangka investasi dan pelayanan umum. Namun, ketersediaan infrastruktur masih tetap belum sesuai harapan yang ditunjukan dengan terjadinya krisis listrik, masih adanya kecelakaan di berbagai moda transportasi, serta lamanya pemulihan infrastruktur akibat bencana gempa, tanah longsor, banjir, dan semburan lumpur yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Infrastruktur sumberdaya air secara lebih spesik diarahkan untuk memberikan pemenuhan kebutuhan akan air bagi keperluan pokok kehidupan sehari-hari, pertanian, industri, perkotaan, dan sektor-sektor lainnya, serta memberikan perlindungan bagi manusia, usaha, dan lingkungannya dari pengaruh daya rusak air. Infrastruktur sumberdaya air untuk pengendalian daya rusak air tersebut tidak kalah pentingnya dengan infrastruktur untuk maksud-maksud pendistribusian air bagi pemenuhan kebutuhan berbagai sektor, mengingat pentingnya memberikan perlindungan sentra-sentra produksi pertanian, kawasan industri, kawasan permukiman, dan kawasan strategis lainnya. Dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur, Pemerintah memprioritaskan reformasi sektoral dan lintas sektoral untuk mendorong peran serta swasta dalam pembangunan infrastruktur dengan mengedepankan prinsip kemitraan yang adil, terbuka, transparan, kompetitif, dan saling menguntungkan. Komitmen Pemerintah dalam kemitraan ini diantaranya terlihat dari berbagai penyempurnaan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan kelembagaan, serta pengaturan tentang dukungan Pemerintah dan pengelolaan risiko dalam proyek kerjasama antara Pemerintah dan swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP). Di beberapa sektor, PPP bahkan sudah diimplementasikan dalam penyediaan fasilitas dan layanan infrastruktur di wilayah non-komersial dengan insentif Pemerintah sebagai pendorong.

528

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Selain itu, pembangunan infrastruktur juga dilakukan melalui kerjasama antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, serta kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat/komunitas. Untuk kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh usaha swasta masih memerlukan penyempurnaan peraturan perundangan sehingga dapat memperjelas peran dan tanggungjawab masing-masing pihak, dan yang menyangkut garansi serta sistem tarif, termasuk juga memperjelas kewenangan masing-masing investor swasta dan BUMN. Terkait dengan investasi swasta, khususnya investasi asing langsung, hal tersebut kurang diminati. Investor yang potensial, umumnya berpikir positif mengenai Indonesia, tapi mereka masih raguragu untuk menanamkan investasinya dikarenakan berbagai faktor seperti misalnya masalah dalam pembebasan lahan, isu mengenai ekonomi biaya tinggi, termasuk kelemahan yang ada pada UndangUndang dan kerangka regulasi, serta pelaksanaan hukum di Indonesia. 4.19.3.1.Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Hal yang memprihatinkan adalah indikasi terjadinya proses percepatan laju kerusakan daerah tangkapan air. Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya laju deforestrasi sebesar 1,6 juta ha per tahun pada periode 1985-1997 menjadi 2,1 ha per tahun pada periode 1997-2001. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh laju peningkatan jumlah DAS kritis; 22 DAS pada 1984, 39 DAS pada 1992 dan 62 DAS pada 1998. Kecenderungan meluas dan bertambahnya jumlah DAS kritis telah mengarah pada tingkat kelangkaan dan peningkatan daya rusak air yang semakin serius. Selain itu, kelangkaan air yang terjadi cenderung mendorong pola peng-

gunaan sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan kualitas air tanah, intrusi air laut, dan amblesan permukaan tanah. Kerusakan air tanah sangat sulit untuk dipulihkan, sehingga apabila hal tersebut terjadi terus-menerus secara pasti akan berujung pada terjadinya bencana lingkungan yang berimplikasi luas. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku. Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah sehingga tingkat layanan prasarana sumberdaya air menurun semakin tajam. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada 2003, secara nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada 2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air yang semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air. Pada musim kemarau 2003, Pulau Jawa dan Bali telah mengalami desit sebanyak 13,1 miliar meter-kubik. Demikian pula wilayah Nusa Tenggara juga mengalami desit air sebesar 0,1 miliar meter-kubik. Semakin parahnya kelangkaan tersebut berpeluang memicu terjadinya berbagai bentuk konik air, baik antarkelompok pengguna, antarwilayah, maupun antargenerasi. Konik air yang tidak terkendali berpotensi berkembang menjadi konik dengan dimensi yang lebih luas, bahkan lebih jauh dapat memicu berbagai bentuk disintegrasi.

529

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pada 2002, jaringan irigasi terbangun di Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Sekitar 48,3 persen persen jaringan irigasi berada di Jawa, 27,1 persen di Sumatera, 11,7 persen di Sulawesi, dan 6,8 persen di Kalimantan; sedangkan sisanya, 6,1 persen di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan Irian Jaya Barat. Dari jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir 25 persen, masih belum atau tidak berfungsi. Belum atau tidak berfungsinya jaringan irigasi dengan luasan yang sangat signikan tersebut disebabkan antara lain oleh belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya lahan sawah, ketidaksiapan petani penggarap, atau terjadinya mutasi lahan. Hal yang sama juga terjadi pada jaringan irigasi rawa; dari 1,80 juta hektar yang telah dibangun hanya sekitar 0,8 juta hektar (44 persen) yang berfungsi. Selain itu, pada jaringan irigasi yang berfungsi juga mengalami kerusakan terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas operasi dan pemeliharaan. Diperkirakan total area kerusakan jaringan irigasi tersebut mencapai sekitar 30 persen. Hal yang cukup mengkhawatirkan, sebagian besar kerusakan tersebut justru terjadi pada daerah-daerah penghasil beras nasional di Pulau Jawa dan Sumatera. Selain penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi non-pertanian terutama untuk perumahan. Alih fungsi lahan secara nasional mencapai 35 ribu hektar per tahun yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa. Bencana alam yang terjadi pada akhir 2004 yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara telah mengakibatkan kerusakan pada sumber-sumber air termasuk prasarananya. Masuknya air laut ke daratan dengan volume yang sangat besar dan dalam waktu yang singkat telah mengakibatkan pencemaran sumber-sumber air dan mengganggu penyediaan air baku bagi masyarakat. Endapan lumpur dan sampah pada sungai-sungai telah pula mengganggu dan menurunkan kapasitas aliran air. Kondisi ini sangat membahayakan dan berpotensi mengakibatkan
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

banjir. Hantaman gelombang laut dan endapan lumpur juga merusak jaringan irigasi pada daerah-daerah bencana. Bencana juga telah merusak wilayah pantai beserta potensinya. Dengan kondisi awal dan permasalahan yang dihadapi tersebut, maka sasaran umum pembangunan sumberdaya air adalah: 1. Tercapainya pola pengelolaan sumberdaya air yang terpadu dan berkelanjutan; 2. Terkendalinya potensi konik air; 3. Terkendalinya pemanfaatan air tanah; 4. Meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat; 5. Berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan; 6. Terkendalinya pencemaran air; 7. Terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pada pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis; 8. Meningkatnya partisipasi aktif masyarakat; 9. Meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar-instansi; 10. Terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan; 11. Tersedianya data dan sistem informasi yang aktual, akurat dan mudah diakses; 12. Pulihnya kondisi sumber-sumber air dan prasarana sumberdaya air, ketersediaan air baku bagi masyarakat, pengendalian banjir terutama pada daerah perkotaan, serta pulihnya kondisi pantai di Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian wilayah Sumatera Utara akibat bencana alam. Untuk mencapai sasaran umum seperti yang telah ditetapkan, maka disusunlah beberapa program antara lain:

530

Bagian 4

1. Program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau, dan sumber air lainnya. Program ini ditujukan untuk meningkatkan keberlanjutan fungsi dan pemanfaatan sumber daya air, mewujudkan keterpaduan pengelolaan, serta menjamin kemampuan keterbaharuan dan keberlanjutannya sehingga dapat dicapai pola pengelolaan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan, serta eksploitasi air tanah yang terkendali; 2. Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya. Program ini ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan jaringan irigasi, rawa, serta jaringan pengairan lainnya dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional sehingga kemampuan pemenuhan kebutuhan air untuk pertanian dapat meningkat, dan pemanfaatan air tanah untuk irigasi dapat terkendali; 3. Program penyediaan dan pengelolaan air baku. Program ini ditujukan untuk meningkatkan penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan domestik, perkotaan, dan industri dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendukung kegiatan perekonomian sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemenuhan air baku untuk rumah tangga, permukiman, dan industri dengan prioritas untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pemanfaatan air tanah untuk rumah tangga, permukiman dan industri dapat terkendali; 4. Program pengendalian banjir dan pengamanan pantai. Program ini ditujukan untuk mengurangi tingkat resiko dan periode genangan banjir, serta menanggulangi akibat bencana banjir dan abrasi pantai yang menimpa daerah produksi, permukiman dan sarana publik lainnya, sehingga dampak bencana banjir dan kekeringan dapat dikurangi dan terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pada pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis; 5. Program penataan kelembagaan dan ketata-

laksanaan. Program ini ditujukan untuk mewujudkan kelembagaan yang efektif sehingga potensi konik air dapat dikendalikan, partisipasi masyarakat, kualitas koordinasi dan kerjasama antarinstansi meningkat, pola pembiyaan yang berkelanjutan dapat tercipta, tersedia data dan sistem informasi yang aktual, akurat dan berkelanjutan. 4.19.3.2. Pencapaian 2005-2008 Upaya yang telah dilakukan sampai dengan 2008 dalam percepatan pembangunan infrastruktur sumberdaya air secara umum adalah (RKP 2009): 1. Melanjutkan penanganan kelembagaan sumberdaya air sebagai amanat UU No. 7/2004 dengan melengkapi peraturan perundangundangan yang diperlukan. 2. Terkait dengan ketersediaan air, telah diupayakan rehabilitasi dan pembangunan tampungan air seperti waduk dan embung. Begitu juga dengan jaminan ketersediaan air telah diupayakan rehabilitasi dan pembangunan saluran air baku dan saluran irigasi baik irigasi air tanah, irigasi rawa dan irigasi lainnya. 3. Selain itu, upaya peningkatan pelayanan infrastruktur sesuai Standar Pelayanan Minimum pada 2008 telah diwujudkan melalui pembangunan saluran air baku dengan kapasitas terpasang 1,00 m3/detik, rehabilitasi sarana/prasarana pengendali banjir di 62 lokasi pembangunan, pemeliharaan prasarana pengaman pantai sepanjang 20 km, prasarana air tanah untuk air minum di daerah terpencil/perbatasan seluas 688 ha. 4. Dalam rangka peningkatan daya saing sektor riil, pada program pembangunan bidang infrastruktur telah dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi seluas 210,73 ribu ha dan rawa seluas 207,67 ribu hektar, pembangunan 7 waduk dan 35 embung, pembangunan sarana/prasarana pengendali banjir sepanjang 145 km, pembangunan sarana/prasarana pengaman pantai sepanjang 71,1 km.

531

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

5. Kebijakan Pemerintah mengenai perubahan iklim sekaligus dalam rangka pengurangan risiko bencana telah diselesaikan, antara lain: pembangunan prasarana pengendali banjir seluas 500 ha dan panjang 954 km, pemeliharaan prasarana pengendali banjir sepanjang 1,387 km, pembangunan sarana/prasarana pengaman pantai sepanjang 70 km, pemeliharaan prasarana pengaman pantai sepanjang 20 km. Penanganan kelembagaan sesuai dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air memerlukan upaya yang terus menerus, karena dalam UU tersebut telah memberikan perubahan pola pengelolaan sumberdaya air dengan pelibatan seluruh stakeholder secara penuh. Sebagai pengaturan lebih lanjut atas undang-undang tersebut, telah diterbitkan PP No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Melalui PP No. 20/2006 tersebut diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan yang antara lain melalui penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan. Selain itu, pada 2008 juga telah disahkan 2 PP yaitu PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dan PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah. Sedangkan dalam tataran operasional, pada 2007 telah dikeluarkan 1 (satu) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) yaitu: Kepmen PU No. 390/KPTS/M/2007 tentang Penentuan Status Daerah Irigasi, dan 4 (empat) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) yaitu: 1. Permen PU No. 30/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisispasi (PPSIP), 2. Permen PU No. 31/PRT/M/2007 tentang Pedoman Komisi Irigasi, 3. Permen PU No. 32/PRT/M/2007 tentang Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. 4. Permen PU No. 33/PRT/M/2007 tentang Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.

Implementasi secara penuh UU No. 7/2004, khususnya dalam pembentukan wadah koordinasi pengelolaan sumberdaya air, dimulai dengan telah disahkan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air. Pemilihan anggota dewan sumberdaya air nasional dari unsur non Pemerintah yang mewakili seluruh stakeholder telah diselesaikan pada 2008, dan diharapkan pada awal tahun 2009 penetapan dewan sumberdaya air nasional telah dapat dilaksanakan melalui Keputusan Presiden. Koordinasi dan kerjasama antarinstansi dilaksanakan untuk mensinergikan dan mensinkronkan penanganan sumberdaya air, baik di tingkat lokal dan di tingkat nasional. Koordinasi dilaksanakan intern Pemerintah dalam berbagai tingkatan, dan antara Pemerintah dengan masyarakat. Koordinasi yang dilaksanakan pada 2006 dan 2007 difokuskan pada upaya untuk menekan dan mengurangi adanya potensi konik yang diakibatkan permasalahan tentang air. Dengan koordinasi tersebut, adanya potensi konik yang bersumber pemanfaatan air yang kurang adil dapat diketahui secara lebih awal. Dengan demikian dapat ditentukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian agar konik akibat permasalahan air tidak terjadi, sehingga kerugian dan kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan. Untuk memfasilitasi penyusunan dan berfungsinya kelembagaan dan ketatalaksanaan sumberdaya air, telah dilakukan pembentukan 31 balai pengelolaan sumberdaya air wilayah sungai serta penyusunan norma, standard, pedoman, dan manual bidang sumberdaya air. Dalam memenuhi penyediaan air baku baik bagi permukiman, pertanian maupun industri berbagai capaian yang telah diraih pada 2005 adalah: operasi dan pemeliharaan air baku perdesaan 56 buah, rehabilitasi prasarana air baku sebanyak 40 buah, dan pembangunan saluran air baku dengan kapasitas 2,89 m3/detik. Capaian pada 2006 antara lain: operasi dan pemeliharaan air baku perdesaan sebanyak 70 lokasi, rehabilitasi prasarana

532

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

air baku 18 buah, pembangunan saluran air baku dengan kapasitas 0,69 m3 pt/dt, rehabilitasi embung/bendung sebanyak 2 buah, pembangunan embung/bendung sebanyak 209 buah. Sedangkan capaian yang diraih pada 2007 antara lain: operasi dan pemeliharaan air baku perdesaan sebanyak 70 lokasi, rehabilitasi prasarana air baku 12 buah, pembangunan saluran air baku dengan kapasitas 0,99 m3 pt/dt, rehabilitasi embung/bendung sebanyak 62 buah, dan pembangunan embung/bendung sebanyak 15 buah. Capaian yang telah diraih pada 2008 adalah: Operasi dan pemeliharaan air baku perdesaan 70 titik; rehabilitasi prasarana air baku sebanyak 84 buah; pembangunan saluran air baku dengan kapasitas 1,00 m3/detik, pembangunan embung/bendung sebanyak 10 buah, dan rehabilitasi embung/bendung sebanyak 5 buah. Sebagai langkah antisipasi banjir, dilakukan kegiatan terkait dengan prasarana pengendali banjir yang berupa pemasangan dan pengoperasian Flood Forecasting and Warning System. Pada 2005, 2006, 2007 telah dilaksanakan pemasangan dan pengoperasian peralatan masing-masing 2 (dua) buah. Sedangkan pembangunan prasarana pengendali banjir yang telah dilakukan pada 2005 sepanjang 228 km, tahun 2006 sepanjang 555 km, tahun 2007 sepanjang 171 km dan luasan sebesar 500 ha, serta 2008 sepanjang 145 km dengan luasan sebesar 4.750 ha. Dikaitkan dengan pengelolaan sumberdaya air, pencegahan banjir dapat pula dilakukan dengan pembangunan tampungan air seperti waduk dan embung. Capaian pelaksanaan dari operasi dan pemeliharaan, pembangunan waduk adalah sebagai berikut: 1) pada 2005 telah dilakukan operasi dan pemeliharaan 16 waduk, 2) pada 2006 telah dilakukan operasi dan pemeliharaan 9 waduk, 3) sedangkan pada 2007 telah dilakukan operasi dan pemeliharaan 40 waduk, dan pembangunan 3 waduk baru. Sementara untuk pencapaian pembangunan embung adalah sebagai berikut: pada 2005 sebanyak 69 embung, pada 2006 sebanyak 130 embung, pada 2007 sebanyak 85 embung, serta 2008 sebanyak 35 embung.

Dalam rangka penanggulangan daya rusak air di daerah pantai, telah dilakukan upaya pembangunan pengaman pantai. Capaian pelaksanaan kegiatan pembangunan pengaman pantai adalah sebagai berikut: pada 2005 telah dilaksanakan pembangunan sepanjang 30,62 km, dan pada 2006 sepanjang 29,79 km, pada 2007 sepanjang 35,56 km, dan 2008 sepanjang 71,10 km. Pembangunan pengaman pantai tersebut tersebar di berbagai daerah yang potensi terjadinya abrasi pantai.
4.19.3.2.1. Permasalahan Pencapaian Sasaran

Tantangan bidang Sumberdaya Air terutama kerusakan pada tampungan air, baik danau, waduk, embung, dan pencemaran air dan sumber air yang lain akibat pertumbuhan populasi, dan kebutuhan lahan permukiman dan industri; masih banyaknya jaringan irigasi yang tidak berfungsi baik; bertambahnya DAS kritis serta masih luasnya daerah rawan banjir. Beberapa permasalahan dalam pembangunan sumber daya air antara lain: Menurunnya pelayanan jaringan irigasi ditunjukkan 31persen jaringan irigasi dari 5,3 juta ha irigasi teknis rusak dan 13 persen bendung dari 17.320 bendung dalam kondisi rusak, dan hanya 800.000 ha lahan irigasi yang kebutuhan airnya dijamin waduk, serta tergenangnya 172,000 ha sawah karena belum sempurnanya prasarana pengendalian banjir. Konversi kawasan persawahan beririgasi teknis 20.000-30.000 ha/th menjadi kawasan non pertanian terutama di Pulau Jawa. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menyebabkan banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau. Kerusakan tersebut ditunjukan dengan tingginya rasio debit maksimum sungai di musim hujan dan debit minimum di musim kemarau.

533

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Di Indonesia terdapat lebih dari 5.590 sungai induk, 569 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir yang dapat diidentikasi besarnya kebutuhan tanggul dan normalisasi sungai yang belum dapat dilaksanakan. Demikian pula Bendungan dan Embung-Embung yang merupakan tandon air untuk menahan air sebanyak dan selama mungkin di daratan, baik sebagai prasarana pengendali banjir maupun kebutuhan lain seperti penyediaan air baku, sebagian dalam kondisi rusak. Penurunan fungsi waduk dan embung akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan kerusakan danau dan situ terutama akibat alih fungsi. Pencemaran limbah industri dan rumah tangga pada badan air yang dapat menurunkan kualitas air.

aturan dan pengelolaan yang lebih terkoordinasi, termasuk dalam pemberian ijin pemanfaatan air. Beberapa pemikiran mengenai perlunya langkah strategis yang diperlukan adalah reorientasi kebijakan dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air, meningkatkan akses penduduk miskin terhadap air, mengendalikan pencemaran air, dan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran pencemaran air harus mendapat perhatian. Adanya fenomena perubahan iklim global telah mengakibatkan dampak terjadinya banjir dalam intensitas yang lebih tinggi, yang belum terprediksi sebelumnya. Kejadian tersebut akan memberikan dampak kepada rusaknya sarana dan prasarana jaringan irigasi, yang memerlukan rehabilitasi secepatnya agar fungsi jaringan irigasi dapat berjalan secara baik. Kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi akibat adanya banjir tersebut tentunya memerlukan alokasi anggaran, sehingga mengakibatkan berkurangnya alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan demikian tidak sepenuhnya sasaran-sasaran yang telah ditetapkan akan tercapai. Persoalan-persoalan pada jaringan irigasi seperti adanya sedimentansi tidak terlepas dari kondisi daerah hulu seperti berkurangnya daerah tangkapan hujan, terjadinya kerusakan hutan. Berbagai kondisi daerah hulu tersebut akan memicu berkurangnya kinerja jaringan irigasi yang segera memerlukan penanganan. Hal tersebut akan menambah beban kegiatan-kegiatan operasi dan pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi. Pada tataran pelaksanaan kegiatan hambatan pengadaan/pembebasan lahan yang merupakan salah satu terlambatnya proses pelaksanaan kegiatan, seperti berlarutnya proses penyelesaiaan pembebasan lahan untuk pembangunan waduk Jatigede dan pembangunan banjir kanal timur (BKT). Disisi lain keterbatasan kemampuan keuangan negara merupakan salah satu kendala pencapaian sasaran kegiatan/program.

Dalam persepektif hukum Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air belum sepenuhnya dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan sebagai implementasinya. Hal tersebut merupakan salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pencapaian sasaran pembangunan infrastruktur sumberdaya air mulai dari 2005 sampai dengan 2007. Sampai dengan akhir tahun 2008 dari 7 peraturan pemerintah dan 5 peraturan presiden baru 4 peraturan pemerintah yang diterbitkan. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air merupakan peraturan perundangan yang diharapkan dapat melindungi dan menjamin akses masyarakat terutama masyarakat miskin terhadap air. Namun pada sisi yang lain memandang bahwa air mempunyai nilai ekonomi sehingga perlu diatur secara baik demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas. Sebagian masyarakat melihat bahwa dalam pelaksanaannya UU tersebut telah menggeser status air dari barang publik menjadi barang privat. Dengan memberlakukan air sebagai komoditas perdagangan, maka akan membuka peluang terjadinya monopoli sumberdaya air. Hal tersebut memerlukan peng-

534

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Dalam penyusunan dokumen anggaran untuk pendanaan kegiatan masih sering ditemui kendala terlambatnya proses penyelesaian atau revisi dokumen anggaran sehingga turut menghambat pelaksanaan kegiatan. Dukungan pengelolaan data dan sistem informasi masih memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kualitas data dan informasi yang dimiliki saat ini masih belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan sehingga akan mempengaruhi akurasi dan tingkat kesesuaian dalam proses perencanaan. 4.19.3.3. Tindak Lanjut Dalam rangka mengatasi permasalahan serta menindaklanjuti hasil yang telah dicapai, ditetapkan prioritas pembangunan sumberdaya air yang dilandasi prinsip: (1) pembangunan yang akan dilakukan merupakan tugas Pemerintah (pusat), (2) pembangunan yang akan dilakukan memiliki dampak signikan terhadap pencapaian sasaran pembangunan yang meliputi pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, penurunan jumlah kemiskinan, dan mendukung ketahanan pangan, (3) pembangunan yang dilakukan penting dan mendesak untuk dilaksanakan, (4) pembangunan yang dilakukan realistis untuk dilaksanakan, (5) pembangunan yang akan dilakukan dilaksanakan dengan menerapkan prinsip good governance (esien, efektif, transparan, akuntabel, dan partisipatif), dan (6) pembangunan yang dilakukan berupa pembangunan infrastruktur sumberdaya air, seperti bendungan, bendung, waduk, situ, embung, dan harus disertai dengan konservasi DAS hulu. Sesuai dengan kebijakan pembangunan dalam RPJMN 2004-2009, pembangunan sumberdaya air pada masa mendatang tetap diutamakan pada upaya konservasi air melalui pengelolaan sumberdaya air yang terintegrasi dalam suatu wilayah sungai dengan memperhatikan azas keadilan dan berkelanjutan.

Dengan telah diterbitkannya PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, akan menjadi landasan dalam pengelolaan air tanah, sehingga diharapkan dalam pemanfaatan air tanah mempertimbangkan aspek kelestarian dan efektivitas. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi PP tersebut dan sekaligus sinkronisasi dengan peraturan perundangan terdahulu termasuk juga dengan peraturan daerah dan keputusan daerah, sehingga harapan pengelolaan air tanah yang berkelanjutan dapat tercapai.
4.19.3.3.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Dengan pencapaian sasaran pada 2008, upaya yang dilakukan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam RJPM 2004-2009 adalah sebagai berikut: Dalam pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber air lainnya, konservasi sumberdaya air diarahkan untuk mencapai keseimbangan antara upaya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan upaya untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang. Di samping itu pola hubungan hulu-hilir akan terus dikembangkan agar tercapai pola pengelolaan yang lebih berkeadilan, serta sistem conjuctive use antara pemanfaatan air permukaan dan air tanah dikembangkan untuk menciptakan sinergi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. Terkait dengan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya, pendayagunaan sumberdaya air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya diutamakan untuk mempertahankan tingkat layanan irigasi dan mengoptimalkan infrastruktur sistem irigasi. Untuk itu pemenuhan kebutuhan air irigasi difokuskan pada upaya peningkatan fungsi jaringan irigasi yang sudah dibangun tapi belum berfungsi, rehabilitasi pada areal irigasi berfungsi yang mengalami kerusakan, serta peningkatan kinerja operasi
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

535

dan pemeliharaan. Upaya peningkatan fungsi jaringan akan dilakukan hanya pada areal yang ketersediaan airnya terjamin dan petani penggarapnya sudah siap, dengan prioritas areal irigasi di luar pulau Jawa, sedangkan untuk rehabilitasi diutamakan pada daerah-daerah andalan penghasil padi. Mengingat luasnya jaringan irigasi yang belum berfungsi, maka pada lima tahun ke depan tidak perlu lagi dilakukan upaya pengembangan jaringan sawah beririgasi baru, kecuali menyelesaikan proyek-proyek yang sudah dimulai dan tengah dikerjakan. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi diselenggarakan dengan berbasis partisipasi masyarakat dalam seluruh proses kegiatan. Untuk mengendalikan kecenderungan meningkatnya alih fungsi lahan, akan dikembangkan berbagai skema insentif kepada petani agar bersedia mempertahankan lahan sawahnya. Upaya yang diperlukan untuk pengendalian banjir dan pengamanan pantai, mengutamakan pendekatan non-konstruksi melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat kejadian banjir, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pasca bencana. Upaya-upaya penanggulangan banjir baik secara struktural maupun non struktural diutamakan pada wilayah berpenduduk padat, wilayah strategis dan pusatpusat perekenomian, seperti DKI Jakarta tanpa mengurangi upaya pengendalian banjir di wilayah lain. Pengamanan pantai-pantai dari abrasi terutama dilakukan pada daerah perbatasan, pulaupulau kecil serta pusat kegiatan ekonomi Dalam rangka penyediaan dan pengelolaan air baku, pendayagunaan sumberdaya air untuk pemenuhan kebutuhan air baku diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga terutama di wilayah rawan desit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis. Pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air baku akan dikendalikan dan sejalan dengan itu akan dilaku-

kan upaya peningkatan penyediaan air baku dari air permukaan. Dalam hal penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, memerlukan penataan kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan. Lembaga dewan sumberdaya air dan komisi irigasi akan dibentuk dan diperkuat, yang ditujukan selain sebagai instrumen kelembagaan untuk mengendalikan berbagai potensi konik air, juga untuk memantapkan mekanisme koordinasi, baik antar institusi Pemerintah maupun antara institusi Pemerintah dengan institusi masyarakat. Dalam upaya memperkokoh civil society, keterlibatan masyarakat, BUMN/D dan swasta perlu terus didorong. Tujuan dari kebijakan ini selain untuk mengendalikan berbagai potensi konik air, juga untuk memantapkan mekanisme koordinasi, baik antar institusi Pemerintah maupun antara institusi Pemerintah dengan institusi masyarakat.
4.19.3.3.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

Perkiraan pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 dalam pembangunan infrastruktur sumberdaya air adalah sebagai berikut: Dalam hal pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber air lainnya yang akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pada 2009 adalah: 1. Terlaksananya rehabilitasi 5 waduk dan 20 embung, dan terlaksananya pembangunan 6 waduk dan 17 embung; 2. Terlaksananya operasi dan pemeliharaan 23 buah bangunan penampung air; 3. Meningkatnya kinerja pengelolaan sumberdaya air di 15 provinsi dan 18 balai; serta 4. Diterapkannya teknologi pengelolaan dan konservasi sungai dan danau di 3 lokasi. Terkait dengan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lain-

536

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

nya diharapkan dapat mempertahankan tingkat layanan irigasi dan mengoptimalkan infrastruktur sistem irigasi. Perkiraan pencapaian sasaran yang akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pada 2009 adalah: 1. Terlaksananya pemeliharaan 2,1 juta ha, rehabilitasi 239.000 ha, serta pembangunan 68.900 ha jaringan irigasi; 2. Terlaksananya pemeliharaan 535.000 ha, rehabilitasi 170.000 ha, serta pembangunan 20.700 ha jaringan irigasi rawa; 3. Terlaksananya program pengelolaan irigasi partisipatif di 15 provinsi dan 100 kabupaten. Adapun upaya pengendalian banjir dan pengamanan pantai mengutamakan pendekatan nonkonstruksi melalui konservasi sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah. Perkiraan pencapaian sasaran yang akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pada 2009 antara lain: 1. Berlangsungnya operasi dan pemeliharaan 240 km, rehabilitasi di 49 lokasi, serta pembangunan 232,37 km prasarana pengendali banjir; 2. Terlaksananya rehabilitasi 4,45 km sarana/ prasarana pengaman pantai; 3. Terlaksananya pembangunan 47,25 km sarana/prasarana pengaman pantai; 4. Terbangunnya 12 unit prasarana pengendali lahar gunung berapi; serta 5. Terlaksananya kegiatan tanggap darurat penanggulangan banjir. Dalam rangka penyediaan dan pengelolaan air baku, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pokok khususnya bagi rumah tangga terutama di wilayah rawan desit air, wilayah tertinggal, dan wilayah strategis. Pada 2009 diperkirakan dapat dicapai hal-hal sebagai berikut: 1. Terlaksananya operasi dan pemeliharaan 34

lokasi, rehabilitasi 20 buah, dan terbangunnya 35 buah tampungan air baku; 2. Terlaksananya operasi dan pemeliharaan 5 lokasi, rehabilitasi 4 buah prasarana pengambilan dan saluran pembawa air baku; 3. Tersedianya prasarana pengambilan dan saluran pembawa air baku sebesar 4,14 m3/dt; 4. Terbangunnya prasarana air tanah untuk air minum di daerah terpencil/perbatasan di 12 lokasi. Terkait dengan Penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan, diupayakan pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan. Perkiraan capaian sasaran yang akan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pada 2009 antara lain: 1. Terbentuknya dan berkembangnya balai-balai pengelolaan sumberdaya air yang menjadi kewenangan pusat, dan terbentuknya kelembagaan pengelola sumberdaya air; 2. Tersusunnya 10 buah NSPM sebagai peraturan perundangan turunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004; 3. Terbentuknya Dewan Sumberdaya Air Nasional dan wadah koordinasi/dewan sumberdaya air daerah; serta 4. Tersedianya data dan informasi sumberdaya air yang akurat, lengkap, dan benar. Kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air perlu didukung dengan ketersediaan data yang tepat, akurat dan dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang memerlukan. Untuk itu, penataan dan penguatan sistem pengolahan data dan informasi sumberdaya air perlu dilakukan secara terencana dan dikelola secara berkesinambungan sehingga tercipta basis data yang dapat dijadikan dasar acuan perencanaan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air. Potensi Pemerintah Daerah, pengelola, dan pemakai sumberdaya air perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

537

538
Indikator Dokumen perencanaan sumberdaya air baik di pusat maupun di daerah diarahkan pada pengelolaan sumberdaya air secara terpadu dan berkelanjutan Hasil dari berbagai kegiatan pengelolaan sumberdaya air memberikan dampak pada berkurangnya/tidak adanya konik pemanfaatan air Titik Ha Ha Ha titik ha ha ha ha ha ha buah m3/det km buah buah 7,00 1.500,00 121,00 449,00 241,00 1.100.000,00 2.100.000,00 1.516.748,00 322.278,00 425.216,00 207.470,00 40,00 2,89 123,00 16,00 2,00 79.708,00 20.324,00 800.000,00 560.000,00 160.601,00 336,00 56,00 70,00 58.786,00 110.000,00 25.782,00 495.356,00 1.902.936,00 257.856,00 18,00 0,69 225,00 9,00 2,00 8.000,00 2.780,00 1.987,00 5.350,00 2.062,00 599,00 6.000,00 1.435,00 1.490,00 1.050,00 900,00 1.078,00 70,00 131.083,00 164.819,00 19.008,00 303.897,00 2.062.253,00 485.855,00 12,00 0,99 220,00 40,00 47,00 540,00 96,00 100,00 115,00 135,00 688,00 1.602,00 1.078,00 70,00 105.635,00 230.504,00 0,00 210.732,00 2.100.000,00 750.000,00 84,00 1,00 1.500,00 121,00 5,00 Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 *)

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.19.5 Pencapaian Sasaran Pembangunan Infrastruktur Sub-sektor Sumberdaya Air Tahun 2005-2008

Sasaran Prioritas

1. Tercapainya pola pengelolaan sumberdaya air yang terpadu & berkelanjutan

2. Terkendalinya potensi konik air

Menurunnya Jumlah konik yang terjadi akibat perebutan pemanfaatan air

3. Terkendalinya pemanfaatan air tanah

Pengeboran sumur air tanah

Pembangunan jaringan irigasi air tanah (JIAT)

Rehabilitasi JIAT

OP JIAT

OP air baku perdesaan

Peningkatan Jaringan Irigasi

Peningkatan/ Rehabilitasi Jaringan Rawa

4. Meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air bagi rumah tangga, permukiman, pertanian, dan industri dengan prioritas utama untuk kebutuhan pokok masyarakat dan pertanian rakyat

Cetak Sawah

Rehabilitasi Jaringan Irigasi

OP Jaringan Irigasi

OP Jaringan Rawa

Rehabilitasi Prasarana Air Baku

Pembangunan Saluran Air Baku

OP Sungai

OP waduk

Rehabilitasi Embung/Bendung

Lanjutan Tabel 4.19.5


Indikator waduk embung buah WS 10,00 2,00 2,00 2,00 441,00 19,00 209,00 23,00 350,00 69,00 130,00 85,00 35,00 10,00 3,00 11,00 0,00 2,00 3,00 7,00 Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 *)

Sasaran Prioritas

Pembangunan waduk dan embung

Pembangunan Embung/ Bendung

5. Berkurangnya dampak bencana banjir dan kekeringan

Pemasangan dan Pengoperasian Flood Forecasting & Warning System di 10 WS ha km 1.250,00 228,00 555,00 10.000,00 0,00 0,00 500,00 171,00

4.750,00 145,00

Pembangunan prasarana pengendali banjir 10 tahunan untuk mengamankan kawasan seluas 10.000 ha (1.250 km) lokasi 15,00 3,00 2,00

Penyediaan Sarana Pengamanan Bangunan vital di 15 lokasi waduk

4,00

1,00

6. Terkendalinya pencemaran air km 250,00 30,62

Pemantauan dan pengamatan kualitas air di seluruh wilayah sungai 29,79 35,56 71,10

7. Terlindunginya daerah pantai dari abrasi air laut terutama pada pulaupulau kecil, daerah perbatasan, dan wilayah strategis Provinsi/ kab 21 PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)

Pembangunan Pengamanan Pantai

8. Meningkatnya partisipasi aktif masyarakat

Meningkatnya pengelolaan irigasi partisipatif

Bagian 4

9. Meningkatnya kualitas koordinasi dan kerjasama antar-instansi

PP No. 20/2006 Tentang Irigasi

Kepmen PU No. 390/ KPTS/M/2007 tentang Penentuan Status Daerah Irigasi Permen PU No. 31/PRT/ M/2007 tentang Pedoman Komisi Irigasi,

PP No. 42/2008 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Air PP No. 43/2008 Tentang Air Tanah

539

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

540
Indikator Permen PU No. 30/PRT/ M/2007 tentang PPSIP, Permen PU No. 33/PRT/ M/2007 tentang Pemberdayaan P3A Permen PU No. 32/PRT/ M/2007 tentang Pedoman OP Jaringan Irigasi. Permen PU No. 04/PRT/ M/2008 tentang Pedoman Pembentukan Wadah Koordinasi Pengelolaan SDA pada tingkat Provinsi/Kab/Kota, dan wilayah sungai Beberapa daerah telah menyelesaikan Perda Irigasi sebagai dasar dalam pengelolaan irigasi secara parsipatif PerPres No. 12/2008 Tentang Dewan Sumberdaya Air Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 *) Penyempurnaan dan pemutakhiran data dan sistem informasi sumberdaya air baik di Ditjen Sumberdaya Air maupun di Balai/UPT DATA PENCAPAIAN SASARAN RPJM 2004-2009 BERADA DI BRR

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.19.5

Sasaran Prioritas

10. Terciptanya pola pembiayaan yang berkelanjutan

11. Tersedianya data dan sistem informasi yang aktual, akurat & mudah diakses

terbangunnya dan terpeliharanya data dan sistem informasi sumberdaya air

12. Pulihnya kondisi sumber-sumber air dan prasarana sumberdaya air, ketersediaan air baku bagi masyarakat, pengendalian banjir terutama pada daerah perkotaan, serta pulihnya kondisi pantai di NAD dan sebagian wilayah SUMUT akibat bencana alam

Sumber: Direktorat Pengairan dan Irigasi, BAPPENAS *) Capaian sasaran pembangunan SDA tahun 2008 adalah perkiraan capaian berdasarkan sasaran pada RKP 2008. Capaian riil akan di update kembali sesuai LAKIP Ditjen SDA pada bulan Maret 2009.

Bagian 4

4.19.4. Bidang Energi Penyediaan energi saat ini merupakan isu nasional yang membutuhkan penanganan yang tepat. Potensi energi Indonesia yang besar, beragam namun terbatas harus direncanakan, diintegrasikan dan dikonsolidasikan secara optimal dan dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat banyak, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 4.19.4.1.Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Secara umum tingkat PDB yang ada masih sangat tergantung dari komoditi ekspor migas. Disamping itu dengan rasio hutang yang masih tinggi maka alokasi dana Pemerintah melalui APBN untuk sektor energi sangat rendah. Selain merupakan salah satu sumber devisa negara yang penting, energi juga merupakan unsur penunjang utama dalam pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan sektor lainnya. Pembangunan ekonomi yang melibatkan kekayaan bumi Indonesia harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin kehidupan sekarang dan ketersediaan di masa datang. Sumberdaya alam yang tidak terbarukan harus digunakan seesien mungkin dengan mempertimbangkan ketersediaannya. Beberapa kelompok masyarakat yang menyadari pentingnya pengelolaan sumberdaya alam menyuarakan bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia adalah titipan anak cucu kita, bukan warisan nenek moyang. Dengan demikian, pembangunan energi harus dilaksanakan secara berdaya guna dan berkelanjutan. Untuk menunjang kegiatan perekonomian, selain pendapatan dari ekspor migas juga diperoleh dari sektor pajak. Namun pendapatan dari sektor pajak ini masih rendah mengingat sektor riil dan perbankan yang belum menciptakan kegiatan ekonomi produktif.

Harga energi saat itu masih relatif mahal walaupun belum mencapai nilai keekonomiannya untuk mendorong pertumbuhan sektor riil. Pada sisi lain kebutuhan energi belum dapat dipenuhi secara optimal yang diakibatkan belum adanya Kebijakan Bauran Energi (Energi Mix Policy) yang menggambarkan integrasi rencana induk per jenis energi secara optimal. Pada sisi supply dapat diketahui bahwa pemakaian sumber energi masih didominasi oleh sumber energi konvensional terutama BBM. Hal ini menyebabkan biaya produksi menjadi relatif mahal. Namun masih ada unsur lain yang mempengaruhi struktur biaya antara lain biaya investasi pembangunan, biaya bunga, dan biaya operasi lainnya serta biaya pemeliharaan yang semuanya berdampak pada tingginya biaya produksi. Lemahnya kemampuan industri barang dan jasa dalam negeri; ketergantungan pada dana Pemerintah termasuk dana pinjaman; ketatnya persyaratan pinjaman dan mahalnya tingkat bunga dan risiko; serta rendahnya partisipasi swasta dan masyarakat dalam investasi, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya peningkatan kapasitas supply. Untuk menyalurkan kebutuhan energi ke konsumen diperlukan infrastruktur energi yang belum mencapai kinerja yang optimal baik dalam proses konversinya maupun dalam penyalurannya. Hal ini terlihat dari kurangnya penyesuaian antara jenis energi yang dipasok dengan kebutuhannya. Selain itu tingkat susut yang masih tinggi. Untuk memperkirakan kebutuhan (demand) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain tingkat elastisitas, asumsi PDB, inasi, geogras dan demogra serta harga energi nal. Tingkat intensitas energi menunjukkan masih borosnya konsumsi energi dalam negeri dibandingkan negara tetangga. Disamping itu pemanfaatan energi masih mengarah pada pemanfaatan yang konsumtif serta pada pendistribusian konsumen yang tidak merata (scattered) yang meng-

541

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

akibatkan tidak esiennya pemanfaatan energi yang ada. Pada sisi hulu masih belum optimalnya pelaksanaan bagi hasil pada pengelolaaan energi seperti minyak dan gas pada perhitungan pajak, biaya produksi dan royalti. Kebijakan energi secara umum masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan diversikasi, konservasi, ekstensikasi, indeksasi dan tarif perlu dilakukan secara lebih terukur mulai dari langkah persiapan dan migrasi ke arah struktur yang dipilih agar penerapannya mencapai hasil optimal. Kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dijalankan Pemerintah selama beberapa dasawarsa terakhir membuahkan banyak permasalahan. Harga BBM yang diatur lebih rendah dari harga pasarnya, dengan maksud agar seluruh lapisan masyarakat dapat dengan mudah memperoleh BBM, telah mengakibatkan ketergantungan yang besar terhadap BBM. Pangsa BBM dalam bauran energi (energy mix) sangat dominan, yang pada saat ini masih berkisar 75 persen dari pemakaian energi nal. Selain itu masih adanya disparitas harga tersebut mengakibatkan masih tingginya penyelundupan BBM. Sesuai dengan RPJMN 2004-2009, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,6 persen per tahun dan dengan elastisitas energi sekitar 1,2 maka sasaran permintaan energi total diproyeksikan naik sebesar 7,1 persen per tahunnya. Dengan adanya upaya peningkatan esiensi dan rehabilitasi infrastruktur energi diharapkan pertumbuhan permintaan energi dapat ditekan. Selain itu sesuai dengan kebijakan diversikasi diperlukan penganekaragaman pemakaian energi non-BBM, agar dapat mengurangi beban Pemerintah untuk mensubsidi BBM (khususnya impor minyak mentah dan produk BBM) secara bertahap dan sistematis. Untuk itu diperlukan pembangunan infrastruktur energi yang mencakup fasilitas prosesing (kilang minyak, pembangkit tenaga listrik), fasilitas transmisi dan distribusi pipa (gas dan BBM) dan fasilitas depot untuk penyimpanan. Proyeksi perkembangan sektor energi pada 2009 dilihat dari sisi supply untuk energi primer mencapai

1.280 juta SBM dan demand untuk energi nal mencapai 1.070 Juta SBM. Diharapkan pada 2009 ketergantungan impor BBM dapat dikurangi, diantaranya melalui peningkatan produksi, pembangunan renery dan langkah-langkah esiensi termasuk konservasi BBM. Sasaran pembangunan energi dicapai melalui program-program sebagai berikut: 1. Program Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan Sarana Dan Prasarana Energi. Program ini bertujuan untuk mempertahankan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana energi agar aksesibilitas masyarakat untuk mengkonsumsi segala produk energi semakin mudah, esien dan harga yang terjangkau serta didukung oleh kualitas dan kuantitas yang memadai sesuai standar yang berlaku. 2. Program Penyempurnaan Restrukturisasi dan Reformasi Sarana dan Prasarana Energi. Program ini secara bertahap bertujuan untuk menciptakan industri energi yang mandiri, esien, handal dan berdaya saing tinggi di pasar energi. 3. Program Peningkatan Aksesibilitas Pemerintah Daerah, Koperasi dan Masyarakat Terhadap Jasa Pelayanan Sarana dan Prasarana Energi. Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan koperasi (pelaku) untuk lebih terlibat dalam pengelolaan usaha energi. Khusus untuk Pemda, akan diberlakukan penerusan pinjaman sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika memungkinkan untuk pelaku lainnya. 4. Program Penguasaan dan Pengembangan Aplikasi serta Teknologi Energi. Program ini ditujukan untuk memberi kesempatan kepada dunia bisnis swasta, BUMN dan Koperasi serta masyarakat untuk berpartisipasi sebagai penyedia, pengelola dan pembeli energi, khususnya dalam penguasaan teknologi, manajemen, serta pemasaran produk energi.

542

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

4.19.4.2. Pencapaian 2005 2008


4.19.4.2.1. Upaya yang telah dilakukan sampai 2008

Untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan, telah dilakukan berbagai upaya, diantaranya adalah (1) pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi, sekaligus dalam rangka mengurangi ketergantungan akan BBM dan pemanfaatan gas bumi untuk domestik melalui pembangunan jaringan pipa gas di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi; (2) peningkatan kapasitas kilang minyak bumi untuk mengolah produk minyak yang esien dan harga yang terjangkau konsumen dalam negeri melalui pembangunan jaringan pipa BBM di Jawa dan pembangunan kilang minyak di Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara; dan (3) pemanfaatan energi alternatif yang cadangannya berlimpah dengan optimal. Pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi. Dalam kerangka Trans ASEAN Gas Pipeline (TAGP) telah dioperasikan fasilitas produksi, pengolahan dan penampungan migas terapung Belanak, yang didesain untuk melakukan pengolahan minimal 500 juta kubik feet gas, 100 ribu barel minyak dan kondensat serta 24.140 barel LPG setiap harinya. Fasilitas produksi dan penampungan terapung (oating production storage o loading) di Kawasan Natuna ini terhubungkan dengan 656 km 28 pipa untuk menyalurkan gas ke Singapura serta 96 km 18 pipa untuk mengekspor gas ke Malaysia. Selain itu, sesuai dengan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional (RITJDGBN) dan dalam rangka mendukung pemanfaatan gas bumi untuk domenstik telah dilakukan (1) Pembangunan jaringan pipa transmisi gas bumi Sumatera Selatan Jawa Barat Tahap I dan Tahap II dengan total investasi US$ 1.508 juta dengan total panjang 650 km yang telah mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2007 dengan kapasitas rencana mampu mengalirkan gas sebanyak 650 MMSCFD-1050 MMSCFD; (2) Penetapan

pemenang tender hak khusus jaringan transmisi gas bumi yaitu PT. Bakrie & Brothers Tbk untuk ruas transmisi Kalimantan Jawa Tengah (Kalija) sepanjang 1.115 km dengan kapasitas rencana mencapai 1.000mmscfd, PT. Rekayasa Industri untuk ruas transmisi Cirebon-Semarang sepanjang 230 km dengan kapasitas rencana mencapai 500 mmscfd, dan PT Pertamina untuk ruas transmisi GresikSemarang sepanjang 250 km dengan kapasitas rencana mencapai 500 mmscfd; (3) Pembangunan wilayah distribusi gas bumi di Jawa Bagian Barat melalui Domestic Gas Market Development Project dengan total investasi sebesar US$ 80 juta; (4) penerbitan perizinan usaha migas, yaitu 2 Izin Usaha Sementara dan 1 Izin Usaha pada Kegiatan Usaha Pengolahan Migas, 2 Izin Usaha Sementara dan 2 Izin Usaha untuk Kegiatan Usaha Pengangkutan Migas dan 6 Izin Usaha Sementara untuk Kegiatan Usaha Penyimpanan Migas serta 40 Izin Usaha Sementara, 5 Izin Usaha untuk Kegiatan Usaha Niaga Migas; (5) Penambahan pasokan gas domestik, melalui penandatanganan 16 Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG), 5 heads of agreements (HoA), dan 3 memorandums of understandings (MoU) dengan total volume 1,7 TCF; dan (6) peningkatan minat untuk melakukan investasi di sektor hilir migas di kawasan Indonesia Timur yang ditandai dengan telah diberikannya izin pembangunan kilang minyak bumi, LPG lling plant, pengangkutan gas bumi, dan izin niaga BBM di kawasan Indonesia Timur.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Peningkatan kapasitas kilang minyak bumi dan pembangunan jaringan pipa BBM. Hasil yang telah diantaranya adalah pembangunan proyek oleh Pertamina untuk meningkatkan jumlah dan eksibilitas pasokan gas ke Jawa, yaitu pembangunan terminal transit utama Balongan dan pembangunan depot BBM Cikampek. Pemanfaatan energi alternatif. Pemanfaatan energi alternatif (termasuk energi baru dan terbarukan) juga ditujukan bagi diversikasi energi dan optimalisasi energi mix policy. Beberapa hasil yang telah dilakukan adalah telah dioperasikan Pilot Plant UBC dengan kapasitas 5 ton/hari di Pali-

543

manan-Cirebon pada 2003 dan sejak tahun 2004 telah dilakukan ujicoba sebanyak 13 kali terhadap 5 jenis batubara. Dari ujicoba tersebut dapat ditingkatkan nilai kalor batubara dari 5.000 kkal/ kg menjadi 6.900 kkal/kg. Untuk pengembangan biodiesel telah disusun Naskah Akademis rancangan kebijakan biodiesel, penetapan SNI No. 03-7182-2006 untuk Biodiesel, serta kampanye implementasi biodiesel dengan penggunaan perdana pada kendaraan bus operasional berbahan bakar B-10 oleh Menteri ESDM. Selain itu, juga telah dilaksanakan program percepatan substitusi BBM dengan memanfaatkan LPG. Optimalisasi pengaturan tarif, subsidi, kewajiban pelayanan umum, dan penyertaan modal. Kenaikan harga minyak mentah (crude oil) pada 2005 menyebabkan naiknya subisidi energi yang harus ditanggung oleh anggaran negara. Dalam upaya untuk menyehatkan sistem tarif BBM dan didorong oleh kenaikan harga minyak dunia tersebut, pada 2005 Pemerintah telah menyesuaikan tarif BBM menuju harga keekonomiannya (menaikkan harga jual BBM lebih dari 100 persen). Dampaknya cukup baik yaitu menurunnya tingkat konsumsi BBM pada awal tahun 2006 sebesar 9 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berarti mengurangi impor BBM dan sekaligus menurunnya subsidi. Upaya lainnya dalam rangka percepatan pengurangan subsidi

BBM telah diupayakan substitusi minyak tanah dengan elpiji di sektor rumah tangga, substitusi solar dengan biosolar, dan penggunaan batubara untuk pembangkit tenaga listrik. Optimalisasi dukungan kebijakan, regulasi, dan kelembagaan dalam percepatan penyediaan infrastruktur. Beberapa regulasi yang telah ditetapkan untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur bidang energi antara lain (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu, (2) PP No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir, (3) Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) No. 0007 Tahun 2005 tanggal 21 April 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha, (4) Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi, (5) Keputusan Menteri ESDM No. 1321.K/MEM/2005 tanggal 30 Mei 2005 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional, (6) Inpres Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi Nasional, (7) Permen ESDM Nomor 31 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghematan Energi, (8) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, (9) Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, (10)

544

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PLN

Bagian 4

Inpres Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batu bara yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain, (11) Permen ESDM Nomor 02 Tahun 2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan. (12) cetak biru (blueprint) Pengelolaan Energi Nasional (PEN) sebagai panduan arah pengembangan energi nasional yang merupakan penjabaran Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN); (13) PP Nomor 1 Tahun 2006 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa; (14) PM Energi dan Sumberdaya Mineral No. 51 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Pedoman Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, (15) Peraturan Menteri ESDM No. 0008 Tahun 2005 tanggal 25 April 2005 tentang Insentif Pengembangan Lapangan Minyak Bumi Marginal; (16) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi.
4.19.4.2.2. Posisi Capaian Hingga 2008

aturan daerah yang justru menghambat dan menambah beban biaya proyek. Untuk pengembangan energi alternatif masih perlu disempurnakan. Upaya subsitusi kerosene dengan LPG masih terus berjalan, demikian juga dengan pemanfaatan batubara untuk PLTU. Sedangkan upaya substitusi BBM untuk sektor transportasi masih belum ada perkembangan yang signikan. Harga minyak bumi dan turunannya yang cenderung meningkat terus menerus menyebabkan sulitnya penerapan harga keekonomian BBM karena masih lemahnya kemampuan membayar masyarakat dan besarnya ketergantungan terhadap BBM. Dengan demikian capaian sasaran untuk mewujudkan harga keekonomian BBM masih belum tercapai. Saat ini kondisi industri energi sangat kompetitif dan lebih kondusif dibandingkan dengan awal periode RPJMN. Hal tersebut dapat terlihat dari bertambahnya investasi oleh pengusaha dalam negeri di bidang energi. Namun demikian pengawasan dan penyempurnaan regulasi termasuk peraturan daerah harus tetap dilakukan untuk terus mendorong pemenuhan energi dalam negeri.
4.19.4.2.3. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

Sampai dengan 2008, upaya mendorong peran serta Pemda masih terus diupayakan diantaranya melalui penyempurnaan regulasi termasuk peraturan daerah guna menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga ada peningkatan investasi bidang energi. Peningkatan kualitas dan kapasitas infrastruktur menunjukkan adanya perkembangan, namun beberapa diantaranya mengalami keterlambatan dari rencana semula. Pembangunan infrastruktur gas bumi belum semuanya berjalan, misalnya ruas transmisi Kalimantan-Jawa dan ruas trans Jawa, yang erat kaitannya dengan proses bisnis yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Imbasnya adalah jaringan trans Jawa juga ikut tertunda. Pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik juga banyak menemui hambatan terkait dengan peraturan di bidang kehutanan dan per-

1. Keterbatasan kapasitas infrastruktur energi baik BBM maupun energi lainnya. Keterbatasan infrastruktur BBM, terlihat dari kapasitas kilang sebesar satu juta barel per hari (bph) yang sudah menua tak seimbang lagi dengan peningkatan konsumsi BBM yang tinggi yang mencapai 1,31,4 juta bph. Ini mengakibatkan impor minyak mentah dan produk BBM menjadi tinggi. Selain itu pendistribusian BBM dalam negeri masih sangat tergantung pada moda angkutan darat dan laut sedangkan pengembangan pipa

545

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Adapun permasalan yang ditemui dalam pencapaian pembangunan energi meliputi beberapa hal sebagai berikut:

transmisi/distribusi minyak masih sangat terbatas. Keterbatasan infrastruktur gas, panas bumi, batu bara dan energi lainnya menyebabkan upaya substitusi BBM dengan bahan bakar yang lain menjadi terhambat. Untuk infrastruktur gas, pemrosesan dan pendistribusian yang dikembangkan untuk memenuhi permintaan domestik masih sangat terbatas. Infrastruktur batubara, terutama angkutan darat, laut, dan sungai yang ada, khususnya di Kalimantan sebagai pusat produksi batubara di Indonesia, sudah tidak memadai lagi dibandingkan tingkat produksi batubara yang harus di angkut. Dengan adanya peningkatan kebutuhan batubara untuk menunjang pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap batubara, yang dicanangkan melalui paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Batubara, diperlukan tambahan infrastruktur angkutan batubara termasuk kereta api.

yang dirasakan secara langsung oleh rakyat dan meningkatnya subsidi. Kelangkaan BBM yang terjadi juga menunjukkan sistem distribusi dan penyaluran BBM yang dikelola oleh Pertamina cukup rawan jika harga BBM tidak sesuai dengan nilai keekonomiannya. 3. Regulasi. Berbagai upaya penyempurnaan regulasi, kebijakan, dan kelembagaan belum dapat mendukung usaha peningkatan kapasitas infrastruktur energi terutama untuk peningkatan kebutuhan dalam negeri, peningkatan aksesibilitas sektor pengguna terutama industri, rumah tangga, transportasi terhadap energi, dan masih belum terimplementasinya secara penuh kebijakan tarif. 4.19.4.3. Tindak Lanjut
4.19.4.3.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Kelangkaan BBM yang terjadi juga menunjukkan sistem distribusi dan penyaluran BBM yang dikelola oleh Pertamina cukup rawan jika harga BBM tidak sesuai dengan nilai keekonomiannya
2. Kebijakan tarif, subsidi, PSO, dan PMP. Ketergantungan yang berlebihan terhadap BBM disebabkan penerapan harga, pajak, dan sistem subsidi yang tidak tepat, sehingga memperlambat kebijakan diversikasi energi termasuk pengembangan energi terbarukan. Di samping itu baru dimulainya upaya-upaya konservasi energi untuk berbagai sektor seperti rumah tangga, industri dan transportasi. Dengan adanya kenaikan harga minyak dunia selama Oktober 2004-September 2006, permasalahan yang terjadi adalah kelangkaan atau berkurangnya stok BBM di dalam negeri

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Percepatan pembangunan infrastruktur bidang energi diprioritaskan pada upaya: (1) Peningkatan esiensi pemakaian energi; (2) Rehabilitasi infrastruktur energi; (3) Mengurangi ketergantungan pada impor BBM; (4) Meningkatkan pemakaian energi non-BBM; (5) Mengurangi subsidi secara bertahap dan sistematis; dan (6) Pembangunan infrastruktur energi yang mencakup fasilitas pemrosesan/processing (kilang minyak dan pembangkit tenaga listrik), fasilitas transmisi dan distribusi pipa (gas dan BBM), serta fasilitas depot untuk penyimpanan. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan energi untuk masa datang dalam jumlah yang memadai dan dalam upaya menyediakan akses berbagai macam jenis energi untuk segala lapisan masyarakat. Adapun sebagai tindak lanjut dilakukan beberapa hal sebagai berikut: Melakukan pengembangan konsep Desa Mandiri Energi dengan mengembangkan energi bahan bakar non-nabati seperti mikrohidro, tenaga surya dan biogas atau menggunakan bahan bakar nabati atau biofuel;

546

Bagian 4

Pembangunan transmisi dan distribusi gas bumi terus dilanjutkan dengan melanjutkan pembangunan ruas transmisi Kalimantan-Jawa Tengah dan trans Jawa, serta beberapa wilayah distribusi yang dekat dengan ruas transmisi eksisting (diantaranya Jakarta, Banten, Cepu, Palembang, dan Surabaya). Selain itu juga diperlukan insentif investasi dalam pembangunan kilang minyak bumi dan infrastruktur penyediaan BBM lainnya. Pemanfaatan energi alternatif akan terus diupayakan dengan melanjutkan pengembangan teknologi upgraded brown coal (UBC) dari Pilot Plant menuju demo plant UBC di Palimanan Cirebon guna mendukung pemanfaatan batubara dari 5 ton/hari menjadi kapasitas 1.000 ton/hari pada 2008, sedangkan untuk pencairan batubara (Coal Liquefaction) direncanakan akan dibangun beberapa pabrik pencairan batubara. Hal tersebut akan memberikan sumbangan yang berarti kepada pengurangan kebutuhan BBM di dalam negeri, karena satu pabrik pencairan batubara berkapasitas masing-masing 6.000 ton/hari dapat menyumbang 1,8 persen dari konsumsi BBM. Upaya lainnya adalah melanjutkan ujicoba (pilot project) pengembangan coal bed methane (CBM) di Sumatera Selatan dengan lima sumur uji, dan salah satunya telah selesai dibor, dan pada tahun 2010 mulai dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Upaya-upaya yang masih diperlukan adalah: (1) kebijakan tarif yang dapat mendukung pengembangan energi alternatif untuk menjamin keamanan pasokan energi (security of supply); (2) perlu juga dikembangkan pola, sasaran, mekanisme, dan pentarifan untuk BBM bersubsidi; (3) pengaturan konsumsi BBM melalui langkahlangkah sistematis untuk mengajak masyarakat menggunakan BBM secara esien; (4) pelaksanaan program konservasi energi, antara lain melalui sosialisasi dan kerjasama lintas sektor, Demand Side Management (DSM), Program Kemitraan Konservasi Energi, Standardisasi dan Labelisasi Tingkat

Hemat Energi, promosi manajemen energi dengan penunjukan manajer energi, dan pengembangan information clearing house mengenai konservasi energi; (5) pengembangan perangkat insentif perpajakan untuk pengembangan sumber energi baru dan terbarukan. Beberapa hal masih perlu dilakukan terkait dengan reformasi dan restrukturisasi bidang energi adalah (1) merumuskan sistem insentif bagi penggunaan energi alternatif (baru maupun terbarukan) serta konservasi energi, (2) selain itu juga diperlukan rumusan konkret dari pricing policy untuk per jenis energi, dan (3) kebijakan mengenai cadangan strategis BBM dan migas; (4) penyusunan peraturan pelaksanaan UU Energi.
4.19.4.3.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

Perkiraan pencapaian sasaran belum sepenuhnya tercapai terutama jika berdasarkan target yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan bauran energi masih belum berjalan termasuk keterkaitannya dengan pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan. Hal ini tampak dengan masih adanya ketergantungan terhadap energi konvensional/BBM sehingga berdampak pada beban anggaran terutama untuk subsidi. Ketergantungan tersebut juga berdampak pada kondisi kebutuhan akan energi nal yaitu listrik. Saat ini konsumsi BBM untuk pembangkit listrik juga masih dominan. Namun pada sisi lain, pengembangan pembangkit listrik yang memanfaatkan potensi energi alternatif non-BBM banyak menemui hambatan, salah satunya adalah masalah regulasi terutama dalam kaitannya dengan sektor kehutanan. Untuk itu selama tidak ada kemauan dan komitmen dari para pemangku kepentingan terutama Pemerintah guna menyelesaikan permasalahan yang ada, maka target pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan tidak akan tercapai.

547

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tabel 4.19.6. Sasaran dan Pencapaian Bidang Infrastruktur Pelayanan Energi


Sasaran/ Program Permintaan Energi Total 1 2 Supply Energi Primer Konsumsi Energi (Final) Indikator (Satuan) Demand BOE BOE Persen Ribuan Ribuan Kondisi Awal 2004/2005 7,1 915.091 839.567 Capaian 2006 7,1 961.338 853.804 2007 7,1 1.251.716 946.849 2008 7,1 1.200.000* 1.000.000* 2009 Sasaran RKP 7,1 1.280.000 1.070.000 Sasaran RPJM 7,1 1.280.000 1.070.000

Catatan: * = merupakan angka perkiraan sementara

Selain itu rendahnya pencapaian sasaran juga diakibatkan oleh kebijakan tarif dan subsidi yang tidak tepat. Hal ini juga memerlukan usaha penyelesaian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah mengingat masalah ini terkait erat dengan kehidupan sosial masyarakat dalam arti luas. 4.19.5. Bidang Ketenagalistrikan Perkembangan ekonomi, sosial, politik dan keamanan suatu negara atau suatu wilayah memerlukan dukungan pasokan energi yang handal termasuk tenaga listrik. Tenaga listrik sebagai salah satu bentuk energi nal memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong berbagai aktivitas ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, pembangunan sarana dan prasarana tenaga listrik memerlukan investasi yang sangat tinggi, mengingat investasi pada bidang ini bersifat padat modal, teknologi dengan risiko investasi tinggi serta memerlukan persiapan dan konstruksi yang lama. Pembangunan ketenagalistrikan dihadapkan pada berbagai tantangan antara lain kondisi geogras yang luas dan terdiri dari banyak kepulauan serta kondisi demogra dengan densitas yang sangat variatif antar berbagai wilayah sehingga sulit untuk mengembangkan sistem kelistrikan yang optimal dan esien. Begitu pula dengan potensi energi primer untuk pembangkit listrik, sekalipun memiliki potensi yang cukup besar namun umumnya berada di daerah pedalaman yang jauh

dari pusat beban sehingga untuk pengembangannya memerlukan biaya yang besar terutama untuk pembangunan infrastruktur pendukungnya. Tantangan lainnya sangat penting untuk ditangani adalah kapasitas sumberdaya manusia sebagai pelaku utama di dalam pengembangan dan penerapan iptek serta budaya usaha bidang ketenagalistrikan itu sendiri yang masih sangat lemah. Dalam kurun waktu 1969-1993 kapasitas pembangkit tenaga listrik nasional meningkat tajam dari 542 MW menjadi 13.569 MW atau meningkat lebih dari 24 kali lipat. Peningkatan kapasitas pembangkit yang sangat tinggi ini terutama setelah diberlakukannya UU Nomor 15 Tahun

548

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PolaGrade

Bagian 4

1985 tentang Ketenagalistrikan. Pada era ini, khususnya sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1996, investasi dalam pembangunan fasilitas ketenagalistrikan meliputi pembangunan pembangkit dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan transmisi sepajang 6.350 km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta berbagai jaringan tegangan listrik lainnya. Pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13 persen per tahun. Dengan hasil pembangunan tersebut, rasio elektrikasi nasional pada tahun 1997 telah mencapai sekitar 50 persen. Perkembangan produksi dan daya terpasang dalam empat tahun sebelum masa krisis juga mengalami perkembangan yang cukup tinggi yaitu untuk sistem Jawa-MaduraBali (Jamali) masing-masing sebesar 43,1 persen dan 12,7 persen, sedangkan untuk sistem Luar Jamali masing-masing sebesar 46,7 persen dan 31,4 persen. Untuk listrik perdesaan pada periode yang sama telah meningkat dari 36.243 desa menjadi 45.941 desa, peningkatan terutama untuk desa-desa di kawasan timur Indonesia. Dalam masa krisis, pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik mengalami penurunan sebesar 0,5 persen pada tahun 1998, dan meningkat lagi yaitu rata-rata 10,5 persen untuk Jamali dan 8,5 persen untuk Luar Jamali sejak tahun 1999 hingga saat ini. Pertumbuhan dalam kurun waktu tersebut jauh lebih rendah dari masa sebelum krisis yang rata-rata tumbuh sekitar 12 persen per tahun. 4.19.5.1. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Sejak krisis moneter sampai dengan 2004, upaya peningkatan kemampuan aksesibilitas masyarakat terhadap ketenagalistrikan mengalami banyak hambatan. Melemahnya iklim dan kemampuan investasi menjadikan keberlangsungan penyediaan listrik yang memadai mengalami banyak kesulitan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Upaya untuk meningkatkan perkembangan eko-

nomi nasional masih relatif tersendat oleh sulitnya memperoleh ketersediaan listrik baik untuk rumah tangga, bisnis, maupun industri terutama untuk penyambungan baru. Tingkat rasio elektrikasi rumah tangga dan rasio elektrikasi desa pada akhir tahun 2004 masing-masing baru mencapai sekitar 54,8 persen dan 90,0 persen. Kondisi ini masih jauh tertinggal dibandingkan berbagai negara ASEAN lainnya yang rata-rata rasio elektrikasinya sudah mencapai lebih dari 75 persen. Perkembangan rasio elektrikasi dan rasio elektrikasi desa selama kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2003 hanya mengalami pertumbuhan masing-masing 0,41 persen dan 0,35 persen per tahun, namun pada 2004 keduanya mengalami perbaikan pertumbuhan yang masing-masing mencapai sekitar 0,81 persen dan 0,46 persen.

Kondisi sistem pembangkitan pada sistem ketenagalistrikan Jawa Madura Bali (Jamali) sampai tahun 2004 memiliki kapasitas terpasang sebesar 18.658 MW, dengan daya mampu sekitar 14.319 MW dan beban puncak sebesar 14.187 MW. Ini berarti hanya memiliki cadangan (reserved margin) mendekati 24 persen dan mendekati kondisi ideal yang cukup handal yaitu 25-35 persen. Namun demikian sekalipun cadangan kapasitas cukup besar, namun pembangkit listrik yang tidak dapat beroperasi cukup besar, sehingga sistem Jamali

549

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pembangunan ketenagalistrikan dihadapkan pada berbagai tantangan ERXEVEPEMROSRHMWMKISKVEW]ERKPYEW dan terdiri dari banyak kepulauan serta OSRHMWMHIQSKVEHIRKERHIRWMXEW]ERK sangat variatif antar berbagai wilayah sehingga sulit untuk mengembangkan sistem kelistrikan yang optimal dan IWMIR

relatif cukup rawan khususnya pada musim kemarau pada saat berbagai PLTA tidak dapat beroperasi secara optimal. Oleh karena itu kapasitas dan kemampuan sistem yang ada masih belum dapat menyediakan listrik sistem secara handal dan memadai, sedangkan permintaan listrik terus mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Produksi listrik sistem Jamali juga masih sangat tergantung pada minyak bumi, yaitu lebih kurang sekitar 30 persen dari produksi listrik di Jawa menggunakan bahan bakar minyak bumi. Pada tahun yang sama, kondisi sistem penyalurannya pada sistem Jamali memiliki 379 gardu induk dengan kapasitas 44.219 MVA, dengan jaringan transmisi yang ada sepanjang 18.203 km. Sistem Jamali ini sudah sepenuhnya terintegrasi, namun sistem tersebut masih belum optimal dan handal karena masih terdapat bottle neck pada beberapa subsistem, serta masih belum dapat terselesaikannya terutama urat nadi jalur transmisi selatan Jawa 500 kV. Pada awal tahun 2004, sistem ketenagalistrikan luar Jamali memiliki kapasitas terpasang pembangkit yang dapat dioperasikan PT PLN (Persero) adalah sebesar 5.573 MW, sedangkan daya mampu pembangkit hanya sebesar 4.000 MW (71 persen dari kapasitas terpasang). Kondisi ini disebabkan dominasi pembangkit oleh PLTD yang sebesar 2.445 MW (44 persen dari seluruh pembangkit yang ada) dan sebesar 1.500 MW (62 persen) PLTD tersebut telah berusia lebih dari 10 tahun. Berdasarkan kapasitas efektif dan beban puncak maka banyak daerah pada sistem luar Jamali mengalami krisis listrik dengan cadangan kapasitas daya hanya sekitar 10-15 persen saja. Sistem luar Jamali, pada umumnya masih memiliki subsistem yang terpisah-pisah, baik sistem ketenagalistrikan Sumatera, Kalimantan, maupun Sulawesi, terlebih lagi untuk sistem ketenagalistrikan di wilayah timur Indonesia. Sebelum terjadi krisis ekonomi, Tarif Dasar Listrik (TDL) rata-rata di Indonesia telah mencapai lebih 7 sen USD/kWh yang membuat pendapatan operasi PT PLN (Persero) mencukupi untuk mencapai tingkat Rate of Return sebesar 7 persen. TDL

terendah yang pernah dialami PT PLN (Persero) akibat devaluasi nilai rupiah mencapai sekitar 2,6 sen USD/kWh yang terjadi pada tahun 1998, sehingga memperburuk kondisi keuangan PT PLN (Persero). Hingga tahun 2004 penyesuaian TDL telah dilakukan sekalipun belum mencapai nilai keekonomiannya sebagaimana TDL sebelum krisis. Penyesuaian TDL terakhir dilakukan pada 2003 sehingga TDL mencapai sekitar 6,53 sen USD/kWh. Pada 2004 akibat devaluasi nilai rupiah, TDL dalam nilai kurs USD pada 2004 menurun lagi sehingga mencapai 6,08 sen USD/ kWh. Peningkatan harga BBM internasional dan domestik yang terus berlanjut telah mendorong inasi yang cukup besar, sehingga kembali mendorong peningkatan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik sehingga pemulihan kondisi nansial PT PLN (Persero) kembali tertekan. Hal tersebut juga mengakibatkan subsidi listrik terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Subsidi listrik oleh negara yang yang pada saat itu hanya diberikan kepada pelanggan yang memiliki daya terpasang maksimal 450 VA telah mencapai sekitar Rp 3,3 triliun. Subsidi tersebut masih belum menjangkau kompensasi selisih pendapatan dengan BPP untuk pelanggan dengan sambungan daya terpasang lebih besar dari 450 VA. Pasca pembatalan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan oleh Mahkamah Konstitusi, pengelolaan dan pembangunan sistem ketenagalistrikan nasional yang semula diarahkan untuk proses restrukturisasi industrinya tidak lagi monopolistik terkendala oleh pembatalan undang-undang tersebut. Dengan pembatalan undang-undang tersebut secara otomatis kembali menggunakan undang-undang lama yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Hal ini berarti PT PLN (Persero) masih tetap merupakan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) nasional (monopoli). Sasaran pembangunan sistem ketenagalistrikan nasional hingga tahun 2009 terkait peningkatan aksesibilitas yaitu tertanganinya sebagian daerah

550

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

yang mengalamai krisis listrik. Ditargetkan juga pada akhir tahun 2009 rasio elektrikasi dapat mencapai sekitar 67,9 persen atau mengalami pertumbuhan sekitar rata-rata sekitar 2,36 persen. Sedangkan rasio elektrikasi desa pada 2009 diharapkan dapat mencapai sekitar 97 persen atau diharapkan mengalami pertumbuhan sekitar 0,52 persen. Sasaran pembangunan bidang ketenagalistrikan terkait peningkatan kapasitas, kualitas dan sistem penyaluran listrik sampai akhir 2009 meliputi: pembangunan pembangkit tenaga listrik baru serta rehabilitasi dan repowering pembangkit listrik yang ada; kapasitas pembangkit terpasang mencapai 40.623 MW atau bertambah sekitar 12.267 MW; meningkatnya esiensi pembangkit; terlaksananya rehabilitasi, debottlenecking dan uprating serta interkoneksi transmisi dan distribusi di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi; berkurangnya susut jaringan teknis dan non teknis; serta meningkatnya pemanfaatan potensi gas, batubara dan panas bumi serta energi baru terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik. Sasaran yang ingin dicapai dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional terkait dengan optimalisasi pengaturan tarif, subsidi serta kewajiban pelayanan umum sektor ketenagalistrikan adalah melakukan penyesuaian TDL dan mengurangi subsidi BBM secara bertahap dan sistematis melalui diversikasi energi untuk pembangkit listrik, terutama mengurangi penggunaan BBM serta pengembangan pengelolaan dan optimalisasi sistem ketenagalistrikan. Sasaran yang ingin dicapai dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional terkait dengan kebijakan, regulasi, dan kelembagaan dalam percepatan penyediaan infrastruktur ketenagalistrikan yaitu terlaksananya penyempurnaan restrukturisasi ketenagalistrikan nasional melalui penerbitan berbagai regulasi yang secara kondusif mampu membuka industri ketenagalistrikan

yang lebih kompetitif dan mampu mendorong pengembangan pengelolaan dan pembangunan sistem ketenagalistrikan nasional. Sasaran pembangunan ketenagalistrikan dicapai melalui program-program sebagi berikut: 1. Program peningkatan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana. Program ini bertujuan untuk memulihkan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan guna menjamin ketersediaan tenaga listrik yang memadai sehingga aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik semakin mudah dengan semakin memperhatikan keandalan sistem, efektitas dan esiensi dengan harga yang wajar. 2. Program penyempurnaan restrukturisasi dan reformasi sarana dan prasarana ketenagalistrikan. Program ini bertujuan secara bertahap menciptakan industri ketenagalistrikan yang mandiri, esien, handal dan berdaya saing tinggi. 3. Program peningkatan aksesibilitas pemerintah daerah, koperasi dan masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan. Program ini ditujukan untuk lebih memberikan kesempatan pada pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan koperasi sebagai pelaku untuk lebih terlibat dalam pengelolaan usaha kelistrikan. Khusus untuk pemerintah daerah, akan diberlakukan penerusan pinjaman sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK/2001 dan akan diberlakukan jika memungkinkan untuk pelaku lainnya. 4. Program penguasaan dan pengembangan aplikasi dan teknologi serta bisnis ketenagalistrikan. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan industri ketenagalistrikan nasional dalam mengembangkan produksi fasilitas ataupun material penunjang ketenagalistrikan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri.

551

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.19.5.2. Pencapaian 2005-2008


4.19.5.2.1. Upaya yang telah Dilakukan Sampai 2008

Berbagai hal yang telah telah diupayakan hingga tahun 2008 yaitu penyelesaian berbagai pembangkit listrik yang tertunda akibat krisis moneter yaitu PLTA Spansihaporas Sumatera Utara (1x33 MW dan 1x17 MW), PLTA Renun Unit 2 Sumatera Utara (41 MW), PLTU Labuhan Angin (100 MW), PLTU Musi Bengkulu (3x70 MW), dan PLTA Bili-Bili (20 MW), serta penyelesaian PLTGU Cilegon (500 MW) dan PLTU Cilacap (300 MW). Untuk gardu induk dan jaringan transmisi, telah diselesaikan penambahan gardu induk 150 kV di Mranggen, Semarang, Purbalingga; Transmisi 150 kV Sidikalang-Tarutung Sumatera Utara; Gardu Induk di Binjai 60 MVA dan Brastagi 60 MVA; penyelesaian jaringan transmisi 150 kV di Mempawang-Singkawang Kalimantan, pembangunan jaringan transmisi 150 kV dan 275 kV di Sumatera, serta terselesaikannya interkoneksi 500 kV bagian selatan Jawa. Selain itu, tengah dilaksanakan pula pembangunan pembangkit listrik panas bumi seperti PLTP Lahendong Sulut dan PLTP Ulubelu Lampung, serta penyusunan rencana induk pengembangan panas bumi (master plan geothermal). Selain itu, akan segera mulai dilaksanakan dua proyek upstream-downstream PLTP lainnya yaitu PLTP Lahendong Sulawesi Utara, dan PLTP Lumut Balai Lampung. Selain pembangunan PLTP, upaya untuk melakukan peningkatan dan rehabilitasi pembangkit listrik yang berbahan bakar gas akan segera dimulai, dan diharapkan hal ini mampu mensubstitusi penggunaan BBM untuk pembangkit listrik secara siginikan, seperti peningkatan kapasitas PLTGU Muara Karang, PLTGU Muara Tawar, PLTGU Tanjung Priok, PLTGU Tambak Lorok Semarang, PLTGU Kramasan Sumatera Selatan. Sejalan dengan upaya penyelesaian pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU) yang saat ini tengah berjalan khususnya

di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, dalam rangka mengurangi ketergantungan sistem ketenagalistrikan nasional terhadap BBM, Pemerintah telah memulai percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW di berbagai wilayah di tanah air, juga meningkatkan partisipasi pembangunan listrik swasta Independent Power Producers (IPP). Perkembangan proyek-proyek IPP di Indonesia sampai dengan akhir tahun 2008 meliputi: IPP yang sudah beroperasi terdiri dari 16 IPP dengan kapasitas 4.194 MW; IPP yang sedang dalam tahap konstruksi terdiri dari 18 IPP dengan kapasitas 1.148 MW; IPP yang sedang dalam tahap proses pencarian pendanaan terdiri dari 31 IPP dengan kapasitas 4.741 MW; IPP yang sedang dalam tahap nalisasi Purchasing Power Agreement (PPA) terdiri dari 7 IPP dengan kapasitas 834 MW; IPP yang sedang dalam tahap tender terdiri dari 32 IPP dengan kapasitas 8.568 MW; dan IPP yang merupakan potential project terdiri dari 19 IPP dengan kapasitas 5.934 MW; serta IPP yang merupakan unsolicited project 29 IPP dengan kapasitas 5.436 MW. Setelah kenaikan TDL tahun 2003 hingga kini belum kembali dilakukan penyesuaian TDL, mengingat pertimbangan kemampuan ekonomi masyarakat dirasakan masih belum mampu untuk dapat kembali dilakukan penyesuaian. Mengingat hal tersebut, Pemerintah telah memutuskan untuk

552

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PLN

Bagian 4

tidak menaikan TDL dan menanggung kompensasi selisih biaya BPP listrik dengan pendapatan yang dapat diterima PT PLN (Persero), sekalipun dalam dalam kurun waktu tersebut terjadi kenaikan harga BBM yang cukup tinggi. Upaya diverisikasi energi primer untuk memperoduksi listrik terus dilakukan terutama pengurangan penggunaan BBM, namun perubahannya tidak dapat dilakukan dengan cepat mengingat pembangunan fasilitas pembangkit membutuhkan waktu yang lama. Pada 2005 telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2005 sebagai perubahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Usaha Penyediaan Tenaga listrik. Pada 2006 kembali dilakukan perubahan yang kedua atas PP No. 3 Tahun 2005 tersebut dengan diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2006. Selain itu, dalam rangka penyedian tenaga listrik nasional telah diterbitkan berbagai peraturan lainnya yaitu: Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) 0010/2005 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Ketenagalistrikan Untuk Lintas Provinsi atau yang Terhubung Dengan Jaringan Transmisi Nasional; Permen ESDM No. 002/2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah; Permen ESDM No. 001/2006 sebagaimana telah diubah dengan Permen ESDM No. 004/2007 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum; Peraturan Presiden (Perpres) 71/2006 Penugasan Kepada PLN Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara; Perpres No. 72/2006 Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik; serta Permen ESDM No. 044/2006 Patokan Harga Levelized Pembelian Tenaga Listrik PLTU Batubara Non Mulut Tambang. Upaya merumuskan kembali undang-undang ketenagalistrikan nasional yang ditujukan untuk menciptakan struktur industri yang lebih kompetitif telah dilakukan, bahkan sudah beberapa kali

dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat, namun hingga kini masih belum dapat dituntaskan. Dalam upaya menjembatani ketersediaan regulasi dalam rangka penyediaan listrik nasional yang relatif lebih kompetitif dan juga menjaga kesinambungan pembangunan agar dapat berjalan dengan baik terutama dalam rangka pemulihan kondisi krisis ketenagalistrikan nasional, sejak tahun 2004 telah diterbitkan berbagai regulasi bidang ketanagalistrikan. Namun demikian, berbagai regulasi tersebut belum memberikan iklim regulasi yang tegas, jelas dan terarah terhadap keteraturan pengelolaan, penyediaan, dan implementasi pembangunan bagi para pemangku kepentingan ketenagalistrikan nasional.
4.19.5.2.2. Posisi Capaian hingga 2008

Sekalipun pembangunan beberapa pembangkit dan pengembangan sistem penyaluran listrik telah dapat diselesaikan, namun secara garis besar pencapaian sasaran peningkatan kapasitas, kualitas, serta sistem penyaluran listrik hingga tahun 2007 belum memberikan perbaikan yang berarti terhadap pemulihan sistem ketenagalistrikan nasional. Beberapa daerah yang mengalami krisis listrik masih belum dapat tertangani, mengingat pembangunan pembangkit listrik dan jaringan penyalurannya umumnya memakan waktu cukup lama, kesulitan memperoleh sumber energi yang dibutuhkan terutama gas dan panas bumi, serta pembebasan lahan juga masih menjadi hambatan tersendiri. Sekalipun terdapat tambahan kapasitas daya sebesar lebih kurang 900 MW di sistem Jamali, namun pertumbuhan listrik di Jamali yang mencapai sekitar 7 persen per tahun menjadikan sampai dengan akhir tahun 2007, cadangan kapasitas listrik di Jawa lebih rendah yaitu menjadi sekitar 23,8 persen dibandingkan tahun 2004 yang mencapai sekitar 24 persen. Sedangkan untuk luar Jawa cadangan kapasitas daya pada umumnya sudah cukup minim yaitu antara 5-10 persen, bahkan di beberapa wilayah seperti Sumatera bagian utara dan Kalimantan Barat sudah mengalami desit listrik sehingga harus di-

553

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

lakukan pembelian listrik dari swasta yang memproduksi listriknya sendiri atau melakukan sewa mesin pembangkit yang umumnya berbahan bakar disel. Kurangnya peningkatan kebutuhan kapasitas pembangkit listrik juga mengakibatkan peningkatan permintaan kebutuhan listrik nasional juga masih belum dapat tertangani secara memadai, hal ini ditandai oleh masih relatif sulitnya mendapatkan penyambungan-peyambungan baru. Krisis listrik yang terjadi diberbagai wilayah di tanah air. Begitu pula perkembangan rasio elektrikasi dan elektrikasi desa pertumbuhannya masih sangat terbatas. Diperkirakan pertumbuhannya masing-masing baru mencapai rata-rata sekitar 0,9 persen dan 0,45 persen. Pengembangan sistem penyaluran, sekalipun menghadapi tantangan yaitu sulitnya melakukan pembebasan lahan dan masalah kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak proyek, namun pengembangan beberapa sistem penyaluran sudah dapat mulai menunjukan hasil. Sistem 500 kV Jawa selatan yang telah dapat diselesaikan sangat membantu kehandalan sistem penyaluran listrik di Jawa, yang akan diikuti oleh pengembangan sistem distribusinya. Begitu pula sistem Sumatera bagian utara, dengan sistem Sumatera bagian selatan saat ini sudah dapat diintegrasikan. Sejalan dengan itu, sistem ketenagalistrikan Kalimantan yang masih terpisah-pisah, pembangunan sistem interkoneksinya telah dapat mulai berjalan. Pengembangan jaringan penyaluran sistem Sulawesi Utara ke arah provinsi Gorontalo akan segera mulai dilakukan. Untuk berbagai sistem yang masih terisolasi dengan jarak yang sangat berjauhan, terutama di wilayah timur Indonesia, upaya intensikasi dan ekstensikasi pengembangan jaringan penyalurannya terus diperluas. Upaya diversikasi penggunaan energi primer untuk pembangkit listrik, masih belum menunjukan perkembangan yang berarti, masih sekitar 26 persen produksi listrik nasional saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak. Kontribusi energi terbarukan terus digalakkan terutama hidro maupun panas bumi sekalipun masih sangat minim.

Besarnya TDL baru yang diberlakukan sejak tahun 2003 hingga pertengahan kurun waktu pembangunan jangka belum mengalami perubahan, berdasar kurs USD terakhir, TDL mencapai nilai sekitar Rp 6,78 sen USD/kWh. Dalam kurun waktu 2004 hingga tahun 2007 telah terjadi kenaikan harga BBM internasional hampir mencapai 50 persen. Hal ini mengakibatkan negara tidak hanya menanggung subsidi bagi masyarakat yang memiliki daya terpasang maksimal 450 VA, namun harus menanggung hampir sepenuhnya selisih antara BPP yang dikeluarkan PT PLN (Persero) dengan pendapatan yang dapat diperoleh, termasuk di dalamnya subsidi bagi kelompok pelanggan yang memiliki daya terpasang 450 VA. Kompensasi Pemerintah tersebut dari tahun ke tahun sejak tahun 2004 cenderung terus meningkat, terutama akibat kenaikan harga BBM. Peningkatan subsidi listrik telah meningkat dari sekitar Rp 3,5 triliun pada 2004 menjadi sekitar lebih dari Rp 62,0 triliun pada 2008. Begitu pula aspek regulasi, sejak pembatalan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 oleh Mahkamah Konstitusi, upaya Pemerintah untuk menerbitkan pembaharuan undang-undang ketenagalistrikan yang baru masih belum mendapat persetujuan legislatif. Hal ini mengakibatkan berbagai regulasi lainnya yang mengarahkan usaha penyediaan tenaga listrik untuk yang bersifat semakin kompetitif masih mengalami hambatan.
4.19.5.2.3. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

554

Sampai dengan akhir 2008, upaya pembangunan ketenagalistrikan sudah mengalami peningkatan, walaupun kemajuannya yang relatif kurang begitu memuaskan. Usaha untuk mempercepat penambahan kapasitas penyediaan listrik nasional mengalami banyak hambatan terutama disebabkan oleh sulitnya memperoleh kesediaan dana investasi secara memadai serta sulitnya memperoleh energi primer yang dibutuhkan terutama gas. Selain itu, upaya pengembangan sistem penyaluran juga mengalami tantangan

Bagian 4

yang cukup besar terutama berkaitan dengan sulitnya melakukan pembebasan lahan masyarakat, sulitnya mencari titik temu tingkat kompensasi yang harus diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak pembangunan, serta banyaknya regulasi sektoral maupun regional yang seringkali tidak sejalan. Melemahnya kemampuan investasi dan daya beli masyarakat akibat krisis moneter yang diperparah oleh melambungnya harga BBM dalam beberapa tahun terakhir mengakibatkan upaya mencari titik temu yang optimal antara besarnya Tarif Dasar listrik (TDL) dengan besarnya subsidi negara untuk penyediaan pelayanan umum ketenagalistrikan nasional menjadi dilematis. Dengan kemampuan negara yang relatif terbatas, negara dituntut untuk mampu mengatasi biaya produksi listrik yang terus meningkat, mengingat penyesuian TDL belum dapat pula dilakukan. Berbagai permasalahan tersebut di atas, mengakibatkan pembangunan ketenagalistrikan belum dapat mencapai sasaran yang diharapkan, sehingga pembangunan ketenagalistrikan nasional masih belum dapat menunjang pembangunan sosial ekonomi sebagaimana yang diharapkan.

4.19.5.3. Tindak Lanjut


4.19.5.3.1. Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

Upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran rencana pembangunan jangka menengah antara lain: mempercepat upaya perolehan gas untuk repowering dan gasikasi berbagai pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar minyak khususnya di Jawa dan Sumatera; pembangunan berbagai pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan di berbagai wilayah di tanah air terutama hidro dan panas bumi; berupaya menyelesaikan percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW di berbagai wilayah tanah air; serta mendorong pembangunan pembangkit listrik IPP khususnya yang telah memiliki kesepakatan jual beli listrik dengan PLN. Pengembangan jaringan penyaluran, jaringan transmisi dan distribusi untuk mengembangkan dan mengintegrasikan berbagai sistem yang masih terpisah-pisah perlu terus ditingkatkan terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Begitu pula upaya pembangunan jaringan transmisi dan distribusi dalam rangka mendukung percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW akan diupayakan untuk diselesaikan sesuai jadwal. Upaya penyediaan sumber energi primer baik gas maupun batubara perlu mendapat perhatian serius agar pembangunan atau repowering pembangkit berbahan bakar gas dan batubara yang tengah dilakukan pada waktunya dapat dioperasikan tepat waktu. Hal ini perlu ditunjang pula oleh upaya-upaya legal dan koordinatif dalam hal pembebasan lahan untuk sistem penyalurannya. Peningkatan harga BBM yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir telah semakin menyulitkan optimalisasi antara besarnya TDL dengan kompensasi dan subsidi yang harus ditanggung negara. Peningkatan harga BBM yang cenderung terus meningkat secara tajam diperkirakan akan sema-

Dok: DEPBUDPAR

555

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

kin menyulitkan keuangan negara untuk menanggung subsidi energi nasional termasuk ketenagalistrikan. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya mempercepat diversikasi energi primer untuk pembangkit listrik terutama untuk mengurangi konsumsi BBM melalui percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW yang ditargetkan selesai pada akhir tahun 2009. Dengan hal tersebut diharapkan kompensasi Pemerintah untuk produksi listrik nasional dapat berkurang. Pelaksanaan percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW telah mulai dilakukan. Selain program percepatan tersebut, perlu dilakukan pula peningkatan upaya penghematan, baik di sisi produksi maupun di sisi konsumsi, baik esiensi pada sistem penyaluran, pengelolaan, maupun standar peralatan listrik konsumen serta pengembangan budaya hemat energi pada masyarakat. Mengingat percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW merupakan upaya pembangunan pembangkit yang berskala cukup besar dan masih menggunakan energi fosil batubara, hal ini lebih ditujukan untuk pemulihan penyediaan listrik nasional dan pengurangan konsumsi BBM dalam jangka menengah. Hal ini tidak dapat dilakukan secara terus menerus dalam jangka panjang. Upaya percepatan pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan harus tetap menjadi prioritas dan berorientasi dalam jangka panjang. Esiensi dari sisi produksi dan konsumsi listrik juga perlu ditingkatkan, mengingat Indonesia saat ini masih tergolong negara yang tergolong boros menggunakan energi dengan tingat intensitas energi hampir empat atau lima kali lipat dibandingkan negara maju atau sekitar 1,5 kali lipat dibandingkan negara ASEAN lainnya. Upaya yang masih perlu dilakukan adalah mempercepat terbitnya pembaharuan undang-undang ketenagalistrikan yang baru beserta berbagai peraturan pendukung pelaksanaannya. Selain itu, upaya untuk mendorong menerbitkan regulasi yang berkaitan dengan kemitraan dalam pemba-

ngunan infrastruktur termasuk ketenagalistrikan akan terus disempurnakan. Selain itu, usaha untuk mendorong menerbitan regulasi diluar sektor ketenagalistrikan terutama terkait pengembangan energi terbarukan yang mendukung pembangunan ketenagalistrikan nasional perlu terus diupayakan. Sejalan dengan upaya pembaharuan sistem ketenagalistrikan yang lebih kompetitif perlu diikuti oleh upaya penyempurnaan tata kelola sistem ketenagalistrikan yang selama ini dilakukan oleh PT PLN (korporat), termasuk penyempurnaan struktur dan organisasi PT PLN (Persero) sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Nasional.
4.19.5.3.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Secara garis besar pencapaian sasaran RPJMN 2004-2009 hanya sebagian yang dapat terpenuhi. Perkiraan lemahnya pencapaian sasaran ini meliputi: daerah krisis listrik dipekirakan hanya akan tertangani sebagian saja dibandingkan sasaran RPJMN 2004-2009 yang ditargetkan dapat tertanganinya seluruh daerah yang mengalami krisis listrik; pencapaian rasio elektrikasi diperkirakan akan mencapai sekitar 66,3 persen dan rasio elektrikasi perdesaan menjadi sebesar 94 persen. Kedua angka ini lebih rendah ketimbang sasaran RPJM 2004-2009, yang menargetkan pencapaian masing-masing 67,9 persen dan 97. Begitu pula, upaya pengurangan penggunaan BBM untuk pembangkit listrik dan meningkatkan penggunaan energi fosil non-BBM terutama energi terbarukan juga tidak sesuai harapan, mengingat pembangunan pembangkit listrik mengalami hambatan pencarian energi primer yang dibutuhkan. Selain itu, target esiensi sistem ketenagalistrikan nasional, yang ditunjukan dengan indikator susut energi (losses) di bawah 10 persen juga kemungkinan besar sulit tercapai. Hal ini mengingat hingga 2009 diperkirakan tingkat susut energi masih akan berada di atas 11 persen.

556

Bagian 4

Tabel 4.19.7. Sasaran dan Pencapaian Bidang Infrastruktur Pelayanan Ketenagalistrikan


Sasaran/ Program Penambahan kapasitas pembangkit Rasio Elektriksi Meningkatnya Rasio Elektrikasi Desa Indikator (Satuan) Tambahan MW Kondisi Awal 2004/2005 27.600 Capaian 2006 111 2007 1.121 2008 3.800* 2009 Sasaran RKP 12.267 Sasaran RPJM 12.267

No. 1.

2. 3.

Persen Persen

54,8 90,0

63,0 91,0

64,3 91,92

65,1* 92,2*

67,9 97,0

67,9 97,0

Catatan: * = merupakan angka perkiraan sementara

Selain itu, upaya menerbitkan undang-undang ketenagalistrikan yang baru, sebagai pengganti undang-undang yang berlaku saat ini yaitu undang-undang No. 15 Tahun 1985 dan juga pengganti Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, sampai saat ini belum juga dapat diterbitkan. Hal ini mengingat pihak legislatif masih belum menyetujui rumusan undang-undang baru tersebut. Dengan belum terbitnya undang-undang baru, maka konsekuensinya pembaharuan berbagai peraturan pelaksanaannya pun tertunda. Begitu pula proses restrukturisasi industri ketenagalistrikan nasional akan mengalami hambatan.

donesia masih belum mempunyai kesiapan dan kemampuan yang memadai. Untuk indeks Readiness for the Network World 2002, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-64 dari 82 negara. 4.19.6.1. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 20042009, pembangunan pos dan telematika hingga 2009 diarahkan untuk menjamin kelancaran arus informasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemampuan untuk mendapatkan, mengolah, dan memanfaatkan informasi mutlak dimiliki oleh suatu bangsa tidak saja untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa tersebut, tetapi juga untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup masyarakatnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah ketersediaan infrastruktur pos dan telematika yang memadai, baik kapasitas, kualitas, maupun jangkauan. Untuk mencapai sasaran tersebut, Indonesia belum mempunyai ketersediaan infrastruktur yang memadai. Pada 2004, tingkat penetrasi layanan telekomunikasi sambungan tetap baru mencapai 4,60 persen, sambungan bergerak sebesar 13,98 persen, sedangkan pengguna internet baru sebesar 5,71 persen. Kondisi ini tertinggal dari ratarata negara Asia yang pada 2004 tingkat pene-

4.19.6. Bidang Pos dan Telematika Selama satu dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma dalam perekonomian dunia, yaitu beralihnya masyarakat industri menjadi masyarakat informasi yang didorong oleh kemajuan teknologi serta ditandai dengan semakin meningkatnya peran informasi dan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Dalam era globalisasi dimana informasi mempunyai nilai ekonomi, kemampuan untuk mendapatkan, memanfaatkan, dan mengolah informasi mutlak dimiliki suatu bangsa untuk memicu pertumbuhan ekonomi sekaligus mewujudkan daya saing bangsa. Berkaitan dengan hal tersebut, In-

557

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

trasi layanan telekomunikasi sambungan tetap, sambungan bergerak, dan pengguna internet masing-masing sudah mencapai 14,39 persen, 18,94 persen, dan 8,29 persen. Pada 2005, terjadi sedikit perbaikan terutama di layanan telekomunikasi sambungan bergerak yang teledensitasnya mencapai 21,06 persen, hampir setara dengan rata-rata negara Asia yang mencapai 23 persen. Adapun tingkat penetrasi layanan telekomunikasi sambungan tetap dan pengguna internet mengalami kemajuan yang lambat. Teledensitas kedua layanan tersebut masing-masing baru mencapai 5,73 persen dan 7,15 persen, jauh tertinggal dari rata-rata negara Asia yang layanan telekomunikasi sambungan tetap sudah mencapai 15,63 persen dan pengguna internet mencapai 10,15 persen. Pada 2004-2005, jangkauan ketiga layanan tersebut masih terpusat di daerah perkotaan dan wilayah barat Indonesia. Lebih dari 80 persen infrastruktur telekomunikasi dan informatika berada di pulau Jawa dan Sumatera. Pada periode tahun yang sama, masih terdapat sekitar 43 ribu desa yang belum memiliki fasilitas telekomunikasi dan informatika. Pada periode yang sama, infrastruktur pos sudah menjangkau setengah dari jumlah desa yang ada, tetapi lebih dari 90 persen kantor pos cabang luar kota mengalami kerugian. Hal ini disebabkan oleh rendahnya volume produksi yang tidak dapat ditutup oleh tarif. Kondisi ini mendorong PT Pos Indonesia untuk melakukan subsidi silang dari layanan komersial. Menurunnya kualitas layanan juga terjadi di sektor penyiaran. Banyaknya pemancar yang sudah melebihi usia teknis dan tidak dilakukannya pemeliharaan dan rekondisi perangkat secara memadai karena keterbatasan dana pembangunan menyebabkan penurunan jangkauan dan kualitas siaran TVRI dan RRI. Bahkan di beberapa wilayah, penurunan tersebut sangat signikan yaitu dari 80-85 persen menjadi hanya sekitar 50 persen.

Terbatasnya ketersediaan infrastruktur antara lain disebabkan oleh: 1. Masih adanya hambatan (barrier to entry) dalam penyelenggaraan pos dan telematika yang menyebabkan belum optimalnya upaya mobilisasi dana di luar Pemerintah. Padahal, pemanfaatan dana swasta sangat diperlukan mengingat kemampuan pembiayaan Pemerintah sangat terbatas. Adanya hambatan dalam penyelenggaraan pos dan telematika juga menyebabkan terbatasnya kerjasama antara Pemerintah dan swasta sehingga tidak terjadi pembagian risiko yang berimbang. Padahal, pembagian risiko di sektor pos dan telematika sangat penting terutama terkait dengan penggunaan teknologi tinggi. 2. Masih adanya resistensi terhadap penyelenggaraan pos dan telematika yang esien dan kompetitif. 3. Kurang optimalnya pemanfaatan infrastruktur. Hal ini terlihat dari adanya infrastruktur yang tidak terpakai (idle) yang dikelola oleh penyelenggara non telekomunikasi, seperti infrastruktur powerline communications yang memanfaatkan jaringan listrik dan jaringan backbone telekomunikasi milik perusahaan listrik dan gas negara. Tidak dimanfaatkannya secara optimal infrastruktur alternatif ini secara langsung mengurangi potensi perluasan akses. Selain itu, kurangnya pemanfaatan bersama suatu infrastruktur oleh beberapa penyelenggara (infrastructure sharing) seperti pemakaian menara pemancar/penerima untuk layanan seluler dan penyiaran, serta pemakaian backbone secara bersama, menimbulkan duplikasi investasi. 4. Terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi. Perubahan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat cepat menuntut kemampuan yang tinggi dari penyelenggara untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi. Keterbatasan kemampuan BUMN pos untuk mengadopsi TIK sejalan dengan semakin beragamnya layanan pengganti pos

558

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

seperti pesan singkat (short message services) dan pesan elektronik (email), serta terbatasnya kemampuan BUMN penyiaran untuk memanfaatkan teknologi digital tidak saja menurunkan esiensi penyelenggaraan dan kualitas layanan tetapi juga daya saing perusahaan. 5. Terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi menjadi peluang ekonomi. Permasalahan ini terkait dengan daya beli dan tingkat pendidikan masyarakat. Pengguna internet sebagian besar (lebih dari 90 persen) bermukim di pulau Jawa dengan tingkat pendidikan sarjana/pasca sarjana (sekitar 50 persen) dan SMA (40 persen). 6. Terbatasnya pengembangan konten dan aplikasi lokal yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN 20042009, pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk menjamin kelancaran arus informasi melalui perluasan jangkauan, peningkatan kapasitas, dan kualitas penyelenggaraan pos dan telematika. Untuk itu, sasaran umum yang ditetapkan adalah: 1. Terwujudnya penyelenggaraan pos dan telematika yang esien, yaitu mampu mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kemanfaatan aspek sosial dan komersial; 2. Meningkatnya aksesibilitas masyarakat akan layanan pos dan telematika; dan 3. Meningkatnya kapasitas serta kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan mendayagunakan teknologi dan aplikasi telematika secara efektif. Ketiga sasaran tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberapa sasaran pendukung, yaitu: 1. Terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan; 2. Terselesaikannya revitalisasi pelayanan pos di 14.250 kantor pos cabang;

3. Tercapainya teledensitas sambungan tetap sebesar 13 persen dan telepon bergerak 20 persen; 4. Terselesaikannya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurang-kurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa; 5. Terselesaikannya pembangunan community access point sebagai pusat akses masyarakat terhadap teknologi informasi dan komunikasi di 45 ribu desa; 6. Meningkatnya e-literasi penduduk Indonesia hingga 40 persen; 7. Tersedianya 40 persen aparatur Pemerintah yang mampu mengoperasikan sistem e-government; 8. Meningkatnya kualitas dan jangkauan layanan penyiaran televisi dan radio yang masingmasing mencakup 88 persen dan 85 persen penduduk Indonesia; dan 9. Terselesaikannya persiapan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Sasaran pembangunan pos dan telematika dicapai melalui program-program sebagai berikut: 1. Program penyelesaian restrukturisasi pos dan telematika. Program ini bertujuan untuk (a) menciptakan esiensi dalam penyelenggaraan pos dan telematika; (b) menciptakan kompetisi yang sehat dan setara; (c) menciptakan iklim investasi yang kondusif; (d) membuka peluang bagi penyelenggara baru yang dinilai layak dan berkemampuan; serta (e) menyehatkan dan meningkatkan kinerja penyelenggara. 2. Program pengembangan, pemerataan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika. Program ini bertujuan untuk (a) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan pos dan telematika; (b) meningkatkan kualitas pelayanan pos dan telematika; serta (c) mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana pos dan telematika.

559

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Program penguasaan serta pengembangan aplikasi dan teknologi informasi dan komunikasi. Program ini bertujuan untuk (a) mendayagunakan informasi serta teknologi informasi dan komunikasi beserta aplikasinya guna mewujudkan tata-pemerintahan yang lebih transparan, esien, dan efektif; (b) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan informasi serta teknologi informasi dan komunikasi guna meningkatkan taraf dan kualitas hidup; (c) meningkatkan kemampuan industri dalam negeri dalam memanfaatkan dan mengembangkan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi; serta (d) mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. 4.19.6.2. Pencapaian 2005 2008
4.19.6.2.1. Upaya yang telah Dilakukan Hingga 2008

unit infrastruktur layanan kpclk, tahun 2005 sebesar Rp 113 miliar untuk 2.306 kpclk, tahun 2006 adalah Rp 115 miliar untuk 2.341 kpclk, dan tahun 2007 adalah Rp 150 miliar untuk 2.350 kpclk, dan tahun 2008 adalah Rp 178 miliar untuk 2.350 kpclk. Tercapainya teledensitas sambungan tetap sebesar 13 persen dan telepon bergerak sebesar 20 persen. Upaya yang dilakukan sepanjang tahun 2004-2008 antara lain: 1. Penataan ulang alokasi spektrum frekuensi seperti: a. Peraturan Menkominfo No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perijinan dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio; b. Keputusan Menkominfo No. 29 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pengalokasian Pita Frekuensi Radio dan Pembayaran Tarif Ijin Penggunaan Pita Spektrum Frekuensi Radio bagi Penyelenggara Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000 pada Pita Frekuensi Radio 2,1 GHz; c. Keputusan Menkominfo No. 181 Tahun 2006 tentang Pengalokasian Kanal pada Pita Frekuensi Radio 800 MHz untuk Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel dengan Mobilitas Terbatas dan Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler. 2. Pembukaan peluang usaha penyelenggaraan telekomunikasi bergerak generasi ketiga (3G); 3. Persiapan pengembangan akses berpita lebar berbasis nirkabel (Broadband Wireless Access); 4. Penyusunan dan pemantauan rencana pembangunan jaringan tulang punggung (backbone) telekomunikasi serat optik Palapa Ring yang akan menghubungkan seluruh ibukota kabupaten;

Upaya yang telah dilakukan untuk mencapai masing-masing sasaran RPJMN 2004-2009 secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut. Terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan dan terselesaikannya revitalisasi pelayanan pos sebanyak 14.250 kantor pos cabang. Upaya yang dilakukan sepanjang tahun 2004-2008 antara lain (1) pemberian dana PSO pos yang disalurkan ke PT Pos Indonesia sebagai BUMN penyelenggara pos dengan verikasi dari Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo); (2) penyusunan RUU pengganti UU No. 6 Tahun 1984 tentang Pos yang antara lain mengatur mengenai peran swasta dalam penyediaan layanan pos; dan (3) penyusunan rencana strategis pelaksanaan PSO yang di antaranya meliputi penentuan sasaran program PSO, standar biaya penyelenggaraan, dan tata cara perhitungan. Sebagai pelaksanaan program PSO pos, pada 2004 dialokasikan Rp 115 miliar untuk 2.341

560

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

5. Pembukaan peluang usaha penyelenggaraan telekomunikasi Sambungan Langsung Internasional (SLI) untuk mengakhiri era duopoli dalam penyelenggaraan SLI; 6. Persiapan pembukaan peluang usaha penyelenggaraan telekomunikasi lokal dan Sambungan Langsung Jarak Jauh untuk mengakhiri era duopoli dalam penyelenggaraaan lokal dan SLJJ; 7. Pembukaan kode akses SLJJ di Balikpapan; 8. Penyusunan berbagai peraturan yang mendorong terjadinya persaingan usaha di sektor telekomunikasi seperti: a. Peraturan Menhub No. 2 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi; b. Keputusan Menhub No. 33 Tahun 2004 tentang Pengawasan Kompetisi yang Sehat dalam Penyelenggaraan Jaringan Tetap dan Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar; c. Keputusan Menhub No. 32 Tahun 2004 tentang Biaya Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi; d. Peraturan Menkominfo No. 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi; e. Peraturan Menkominfo No. 9 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Awal dan Tarif Perubahan Jasa Telepon Dasar Melalui Jaringan Tetap; f. Peraturan Menkominfo No. 12 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Perubahan Jasa Telepon Dasar Jaringan Bergerak Seluler.

b. Keputusan Menhub No. 35 Tahun 2004 tentang Penggunaan Pita Frekuensi 2400-2483,5 MHz; c. Peraturan Menkominfo No. 13 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit; d. Peraturan Menkominfo No. 18 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Instansi Pemeritah dan Badan Hukum; e. Peraturan Menkominfo No. 16 Tahun 2005 tentang Penyediaan Sarana Transmisi Telekomunikasi Internasional Melalui Sistem Komunikasi Kabel Laut; f. Peraturan Menkominfo No. 3 Tahun 2007 tentang Sewa Jaringan.

10. Penyusunan berbagai peraturan terkait standarisasi, sertikasi dan balai uji perangkat telekomunikasi dalam negeri dan negara asing di Indonesia untuk menjamin kualitas dan interoperabilitas perangkat; 11. Pengawasan, asistensi, dan penyelesaian masalah (dispute) antaroperator dalam penyelenggaraan kompetisi. Terselesaikannya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurangkurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa. Upaya yang dilakukan sepanjang tahun 2004-2008 antara lain: 1. Penyediaan akses telekomunikasi sebanyak 2.620 sambungan di 2.341 desa pada 2004; 2. Penyusunan peraturan yang mendorong pelaksanaan kewajiban pelayanan universal seperti: a. Keputusan Menhub No. 34 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pelayanan Universal;

9. Penyusunan berbagai peraturan yang mendorong pengembangan infrastruktur, seperti: a. Keputusan Menhub No. 35 Tahun2004 tentang Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel dengan Mobilitas Terbatas;

561

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

b. Peraturan Menkominfo No. 15 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif Atas PNBP dari Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi/Universal Service Obligation; c. Peraturan Menkominfo No. 11 Tahun 2007 tentang Penyediaan Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi; d. Keputusan Menkominfo No. 145 Tahun 2007 tentang Penetapan Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi. 3. Pembentukan Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan (Keputusan Menkominfo No. 35 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan); 4. Pelaksanaan pelelangan untuk memilih penyelenggara USO yang dilakukan pada pertengahan 2007 dan pelelangan ulang pada akhir 2008. Terselesaikannya pembangunan community access point sebagai pusat akses masyarakat terhadap TIK di 45 ribu desa. Upaya yang dilakukan sepanjang 2004-2008 antara lain pelaksanaan one school one computer laboratory, CAP, Mobile-CAP dan warung masyarakat informasi sebanyak 316 unit di 90 lokasi. Meningkatnya e-literasi penduduk Indonesia hingga 40 persen dan tersedianya 40 persen aparatur Pemerintah yang mampu mengoperasikan sistem e-government. Upaya yang dilakukan sepanjang tahun 2004-2008 antara lain (1) pengaturan penggunaan nama domain go.id untuk instansi Pemerintah melalui Peraturan Menkominfo No. 28 Tahun 2006; (2) penetapan pedoman penyelenggaraan certication authority melalui Peraturan Menkominfo No. 29 Tahun 2006; (3) pengembangan ; (4) persiapan pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan TIK yang akan digunakan oleh aparatur Pemerintah dan masyarakat; (5)

pengesahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meningkatnya kualitas dan jangkauan layanan penyiaran televisi dan radio yang masing-masing mencakup 88 persen dan 85 persen dari penduduk Indonesia. Upaya yang dilakukan sepanjang tahun 20042008 antara lain meliputi (1) restrukturisasi kelembagaan TVRI dan RRI yang sebelumnya berbentuk Persero TVRI dan Perjan RRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik (PP No. 11 Tahun 2005, PP No. 12 Tahun 2005, dan PP No. 13 Tahun 2005); (2) pelaksanaan proyek Establishment of FM Radio Transmitter untuk menjangkau 138 kabupaten/kota blank spot yang tersebar di 28 provinsi; (3) persiapan pelaksanaan proyek Improvement of TV Transmitting Stations Phase-I yang akan dilakukan di 35 lokasi blank spot dan perbatasan di 19 provinsi; (4) pengaturan penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran asing, swasta, komunitas, dan berlangganan (PP No. 49 Tahun 2005, PP No. 50 Tahun 2005, PP No. 51 Tahun 2005, dan PP No. 52 Tahun 2005); (5) pengaturan perijinan sepeti Peraturan Menkominfo No. 8 Tahun 2007 tentang Tata Cara Perijinan dan Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Terselesaikannya persiapan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Upaya yang dilakukan sepanjang 2004-2007 antara lain: (1) penetapan Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) sebagai standar penyiaran digital teresterial untuk televisi tidak bergerak; (2) pengkanalan televisi digital teresterial; (3) soft launching TV digital pada Agustus 2008.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4.19.6.2.2. Posisi Capaian hingga 2008

Posisi pencapaian masing-masing sasaran RPJMN 2004-2009 dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan dan terselesaikannya revitalisasi pelayanan pos sebanyak

562

Bagian 4

14.250 kantor pos cabang. Program PSO pos dilaksanakan hanya pada kantor pos cabang luar kota, yaitu 2.341 unit pada 2004, 2.306 kpclk (2005), 2.341 kpclk (2006), dan 2.350 kpclk (masing-masing pada 2007 dan 2008). Dengan demikian, tingkat pencapaian sesuai dengan objek sasaran RPJMN hanya sekitar 17 persen, namun tingkat pencapaian terhadap wilayah PSO mencapai 93 persen. Adapun pembahasan RUU Pos dengan DPR yang di antaranya mengatur mengenai peran swasta dalam penyediaan layanan pos termasuk kewajiban pelayanan umum (PSO) pos masih belum dapat diselesaikan. 2. Tercapainya teledensitas sambungan tetap sebesar 13 persen dan telepon bergerak 20 persen. Hingga akhir tahun 2008, teledensitas sambungan tetap mencapai 11,49 persen sehingga sudah 88 persen dari sasaran RPJMN tercapai. Adapun teledensitas sambungan bergerak sudah mencapai 61,72 persen, melewati sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN. 3. Terselesaikannya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurangkurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa. Perangkat peraturan pendukung pelaksanaan program USO telekomunikasi baru diselesaikan pada semester pertama tahun 2007, sedangkan pelelangan untuk memilih penyelenggara pelaksanaan program USO baru dilakukan pada semester kedua tahun 2007. Karena tidak ada pemenang, maka pelelangan diulang pada bulan Oktober 2008. Dengan demikian program ini belum dapat direalisasikan sehingga pencapaiannya terhadap sasaran RPJMN masih enam persen yang merupakan hasil pembangunan tahun 2004. 4. Terselesaikannya pembangunan community access point sebagai pusat akses masyarakat terhadap TIK di 45 ribu desa. Pembangunan pusat akses masyarakat berbasis TIK sejak tahun 2005 hingga 2008 mencapai 316 unit yang berbentuk one school one computer laboratory (46 unit), CAP (131 unit),

mobile CAP (40 unit), dan warung masyarakat informasi (78 unit). Secara kuantitatif, pencapaian sasaran program ini sulit diukur karena adanya perbedaan target antara RPJMN (desa) dan pelaksanaannya (sekolah, kantor pos, pesantren). 5. Meningkatnya e-literasi masyarakat Indonesia hingga 40 persen dan tersedianya 40 persen aparatur Pemerintah yang mampu mengoperasikan e-government. Hingga tahun 2008, tingkat penetrasi internet baru mencapai 3,17 persen, sedangkan e-government baru diterapkan secara terbatas dan saling tidak terintegrasi (stand alone). Secara umum implementasi e-government mempunyai tiga tingkatan, yaitu publikasi, interaksi, dan transaksi. Sebagian besar instansi Pemerintah baik di pusat maupun daerah masih berada pada tingkat pertama dan kedua. Beberapa instansi sudah pada tingkat awal transaksi. 6. Meningkatnya kualitas dan jangkauan layanan penyiaran televisi dan radio yang masing-masing mencakup 88 persen dan 85 persen penduduk Indonesia. Secara umum, jangkauan siaran terhadap jumlah penduduk LPP TVRI dan RRI hingga tahun 2008 masing-masing mencapai 36 dan 76 persen. Penganggaran APBN untuk LPP TVRI dan RRI diarahkan kepada pembangunan di wilayah blank spot dan perbatasan yang pada umumnya mengalami penurunan jangkauan dan kualitas akibat kualitas pemancar yang sudah tidak memadai. Dengan demikian, pembangunan tersebut tidak untuk mengembangkan tetapi hanya mempertahankan wilayah jangkauan. 7. Terselesaikannya persiapan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Hingga tahun 2008, Pemerintah sudah menetapkan Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) sebagai standar penyiaran digital teresterial untuk televisi tidak bergerak melalui Peraturan Menkominfo No. 7 Tahun 2007. Selain itu, pengkanalan untuk televisi

563

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

tidak bergerak juga sudah diselesaikan pada 2007. Soft launching TV digital sudah dilakukan pada bulan Agustus 2008 yang akan dilanjutkan dengan uji coba siaran digital oleh konsorsium yang beranggotakan lima Lembaga Penyiaran Swasta pada bulan Januari 2009. Dengan demikian, sebagian sasaran RPJMN sudah tercapai.
4.19.6.2.3. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran

teknologi, tetapi juga untuk layanan telepon tetap (FWA). Untuk meningkatkan esiensi pemanfaatannya, Pemerintah melakukan penataan ulang spektrum frekuensi. Implikasi dari penataan ulang ini seringkali tidak sederhana karena terkait dengan pemindahan alokasi spektrum penyelenggara eksisting yang dapat berdampak kepada perubahan perangkat dan gangguan layanan pada masa transisi perpindahan spektrum frekuensi. 3. Terselesaikannya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurangkurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa. Sejak awal tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2008, pembangunan USO masih dalam tahap pematangan yang difokuskan kepada penyelesaian rancangan ulang program USO dan penyelesaian regulasi yang terkait. Rancang ulang program dilakukan untuk menyempurnakan program USO yang sudah pernah dilakukan pada 2003 dan 2004, namun dinilai gagal karena layanannya tidak berkelanjutan. Pada disain baru, program USO berbentuk kontrak berbasis kinerja dengan pembiayaan tahun jamak. Selain itu, fasilitas telekomunikasi yang disediakan juga bersifat data ready sehingga sewaktu-waktu dapat dikembangkan untuk penyediaan jasa akses internet. Program USO direncanakan untuk dilakukan di 31.824 desa, bukan di 43 ribu desa sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN. Pengurangan target dilakukan sesuai dengan hasil pemetaan dan pendataan ulang desa sesuai dengan nomor ID desa sebagaimana terdaftar di Departemen Dalam Negeri. Pemilihan penyelenggara program USO dilakukan secara lelang pada semester kedua tahun 2007. Namun karena tidak ada peserta pelelangan yang dinyatakan memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, maka pelelangan dinyatakan gagal dan diulang pada tahun bulan Oktober 2008. Penetapan pemenang lelang dan penandatanganan kontrak dilakukan pada bulan Januari 2009. Pembangunan

Permasalahan yang terjadi dalam upaya pencapaian masing-masing sasaran RPJMN 2004-2009 dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan dan terselesaikannya revitalisasi pelayanan pos sebanyak 14.250 kantor pos cabang. Sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN meliputi kantor pos, pelayanan bergerak, dan sebagian mitra kelola. Mengingat keterbatasan APBN, maka upaya pencapaian sasaran tersebut difokuskan untuk pelaksanaan PSO dengan sasaran kantor pos cabang luar kota. Dengan demikian, pencapaian terhadap sasaran RPJMN sulit diukur karena adanya perbedaan target antara RPJMN dan pelaksanaannya. 2. Tercapainya teledensitas sambungan tetap sebesar 13 persen dan telepon bergerak 20 persen. Pencapaian sasaran telesenditas telepon tetap didorong oleh berkembangnya layanan xed wireless access (FWA), sedangkan pembangunan xed wireline dapat dikatakan stagnan. Dari total 26,18 juta sambungan tetap, 67 persen diantaranya merupakan FWA. Adapun percepatan pencapaian sasaran telepon sambungan bergerak didorong oleh penyelenggaraan yang sangat kompetitif dan teknologi seluler yang semakin matang. Dalam pengembangan ke depan, Pemerintah menghadapi tantangan yang terkait dengan spektrum frekuensi, tidak saja untuk layanan telepon bergerak yang terus mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan

564

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

akan dilakukan selama sembilan bulan sehingga pada bulan September 2009 diharapkan pembangunan fasilitas telekomunikasi di 31.824 desa sudah diselesaikan. Tertundanya pelelangan ulang selama sembilan bulan disebabkan oleh adanya gugatan dari salah satu peserta pelelangan yang didaftarkan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada bulan Januari 2008. Pemerintah dinyatakan menang dalam kasus ini dan dapat melanjutkan proses pelelangan ulang baru pada akhir bulan September 2008. 4. Terselesaikannya pembangunan community access point sebagai pusat akses masyarakat terhadap TIK di 45 ribu desa. Pencapaian sasaran ini menghadapi permasalahan akibat terbatasnya pembiayaan Pemerintah yang hanya memungkinkan pelaksanaan program ini secara terbatas sehingga kegiatan ini belum dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Selain itu, kegiatan ini juga dinilai tidak cukup efektif karena rancangan pelaksanaan kegiatan yang hanya terfokus kepada aspek infrastruktur tanpa disertai pemberdayaan masyarakat. Akibatnya, infrastruktur yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. 5. Meningkatnya e-literasi masyarakat Indonesia hingga 40 persen dan tersedianya 40 persen aparatur Pemerintah yang mampu mengoperasikan e-government. Permasalahan dalam meningkatkan kesadaran (awareness) dan kemampuan masyarakat di bidang TIK antara lain (1) terbatasnya ketersediaan infrastruktur TIK; (2) tingginya harga jasa akses; (3) terbatasnya pengembangan aplikasi dan konten lokal. Adapun permasalahan yang dihadapi dalam menyediakan aparatur Pemerintah yang mampu mengoperasikan e-government adalah (1) rendahnya eliterasi aparatur Pemerintah; (2) masih terbatasnya implementasi e-government; (3) masih adanya pandangan bahwa e-literasi merupa-

kan kemampuan khusus dan bukan kemampuan umum yang harus dimiliki aparatur Pemerintah. 6. Meningkatnya kualitas dan jangkauan layanan penyiaran televisi dan radio yang masing-masing mencakup 88 persen dan 85 persen penduduk Indonesia. Permasalahan utama adalah terbatasnya anggaran Pemerintah untuk mempertahankan jangkauan dan kualitas siaran melalui rekondisi perangkat yang sebagian besar sudah melebihi usia teknis. Sebagai gambaran, 67 persen dari 758 pemancar LPP TVRI mempunyai kondisi di bawah 30 persen. Dengan adanya keterbatasan anggaran, pengembangan jangkauan sulit dilakukan. Berdasarkan peraturan yang berlaku (PP No. 11 Tahun 2005, PP No. 12 Tahun 2005, dan PP No. 13 Tahun 2005), sumber pendanaan LPP di luar APBN adalah iuran penyiaran, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Pada kenyataannya, siaran iklan hanya mampu memberikan kontribusi yang sangat kecil, sedangkan sumber pendanaan lain belum berjalan. Dengan demikian, APBN merupakan sumber pendanaan utama. Permasalahan lainnya adalah restrukturisasi kelembagaan yang belum selesai terutama terkait dengan stasiun televisi berjaringan dan pengembangan LPP lokal.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

7. Terselesaikannya persiapan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Tantangan yang dihadapi terkait dengan penataan frekuensi dan penetapan standar perangkat. 4.19.6.3. Tindak Lanjut
4.19.6.3.1. Upaya yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran

Sejalan dengan arah kebijakan, upaya yang akan dilakukan hingga 2009 secara umum terfokus kepada tiga hal, yaitu:

565

1. Peningkatan fungsi pengaturan dan pengawasan dalam menciptakan penyelenggaraan pos dan telematika yang esien dan kompetitif; 2. Pembukaan peluang usaha dan pengembangan pola kerjasama antara Pemerintah dan swasta untuk mempercepat penyediaan infrastruktur pos dan telematika dan tingkat eliterasi masyarakat termasuk di wilayah non-komersial; 3. Pengelolaan spektrum frekuensi dengan memperhatikan kesesuaian penggunaan alokasi spektrum dengan peruntukannya, tingkat pemanfaatan spektrum yang sudah dialokasikan, ketersediaan spektrum frekuensi untuk layanan baru di masa depan, dan kesesuaian pengalokasian spektrum frekuensi dengan peraturan internasional yang ditetapkan oleh International Telecommunication Union; 4. Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan industri dalam negeri serta pengembangan aplikasi dan konten TIK lokal; 5. Pengembangan infrastruktur aman (secured infrastructure) dan kelembagaan untuk mendukung transaksi elektronik; 6. Pembuatan model implementasi e-government; dan 7. Peningkatan koordinasi lintas sektor untuk mensinergikan tujuh program agship Dewan TIK Nasional. Upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran adalah sebagi berikut: Pertama, pengkatan kemampuan perangkat peraturan dalam menciptakan penyelenggaraan pos dan telematika yang esien dan kompetitif melalui (1) penyusunan regulasi di bidang pos terutama terkait dengan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum dan kerjasama dengan swasta; (2) penyusunan cetak biru TIK; (3) penyelesaian restrukturisasi sektor penyiaran terutama terkait dengan berjaringan; dan (4) melanjutkan pe-

ngawasan terhadap penyelenggaraan kompetisi dalam sektor pos dan telematika termasuk penyelesaian masalah (dispute) antar penyelenggara. Kedua, pengembangan infrastruktur di wilayah komersial dan non komersial terutama melaui kerjasama dengan swasta dalam (1) pembanguan jaringan serat optik nasional Palapa Ring bagian timur; (2) penyediaan jasa akses telekomunikasi dan internet di perdesaan termasuk penyelesaian kasus hukum program USO; (3) pembukaan peluang usaha untuk penyelenggaraan jaringan tetap lokal dan akses nirkabel berpita lebar (broadband wireless access); (4) penataan alokasi spektrum frekuensi sebagai bagian dari proses migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital; dan (5) lanjutan pemberian insentif untuk mendukung pengembangan industri telekomunikasi dalam negeri. Ketiga, peningkatan e-literasi masyarakat, pengembangan e-government, dan pengembangan aplikasi TIK melalui (1) lanjutan pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan bidang TIK; (2) lanjutan pelaksanaan pendidkan dan pelatihan bidang TIK di seluruh Indonesia; (3) pelaksanaan proyek model CAP di 222 kecamatan melalui kerjasama dengan swasta yang berbasis service-based contract dan berorientasi kepada pemberdayaaan masyarakat; (4) penyusunan peraturan tentang implementasi e-government dilingkungan instansi Pemerintah; (5) evaluasi proyek model Batam egovernment dan persiapan penyusunan rencana roll out agar aplikasi e-government yang dikembangkan dalam proyek tersebut dapat digunakan di daerah lain; (6) peningkatan koordinasi lintas sektor untuk mensinergikan kegiatan TIK; dan (7) lanjutan pemantauan atas pelaksanaan tujuh program agship Dewan TIK Nasional.
4.19.6.3.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004-2009

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Perkiraan pencapaian masing-masing sasaran RPJMN 2004-2009 hingga akhir periode RPJMN dapat dijelaskan sebagai berikut.

566

Bagian 4

1. Terjaganya kualitas pelayanan pos di 3.760 kecamatan dan terselesaikannya revitalisasi pelayanan pos sebanyak 14.250 kantor pos cabang. Pada akhir periode RPJMN, diperkirakan tingkat pencapaian sasaran tersebut adalah 17,0 persen atau sama dengan 2.350 kantor pos cabang luar kota. Tidak tercapainya sasaran RPJMN karena adanya perubahan objek program PSO yaitu dari kantor pos, pelayanan berberak dan sebagian mitra kelola menjadi kantor pos cabang luar kota. 2. Tercapainya teledensitas sambungan tetap sebesar 13 persen dan telepon bergerak 20 persen. Diperkirakan sasaran RPJMN dapat dilewati dengan tingkat pencapaian sasaran sambungan tetap sebesar 113 persen atau, teledensitas 14,67 persen sedangkan tingkat pencapaian sasaran sambungan bergerak adalah 330 persen atau teledensitas 65,96 persen. 3. Terselesaikannya pembangunan fasilitas telekomunikasi perdesaan sekurangkurangnya 43 ribu sambungan baru di 43 ribu desa. Pada akhir periode RPJMN, diperkirakan tingkat pencapaian sasaran tersebut di atas adalah 90,0 persen. Tidak tercapainya sasaran RPJMN diakibatkan oleh perubahan sasaran dari 43 ribu desa menjadi 31.824 desa setelah dilakukan pemetaan dan pendataan ulang desa. 4. Terselesaikannya pembangunan community access point sebagai pusat akses masyarakat terhadap TIK di 45 ribu desa. Sulit untuk mengukur tingkat pencapaian sasaran ini karena adanya penggantian target yaitu dari desa menjadi lokasi yang tidak saja terdapat di desa (sekolah, pesantren, kantor pos). Hingga tahun 2008 tersedia 316 unit CAP di 90 lokasi. 5. Meningkatnya e-literasi masyarakat Indonesia hingga 40 persen dan tersedianya 40 persen aparatur Pemerintah yang mampu mengoperasikan e-government. Dengan tingkat penggunaan internet yang di-

perkirakan mencapai sekitar 30,0 persen pada tahun 2009, maka tingkat pencapaian sasaran e-literasi masyarakat 80,0 persen. Adapun tingkat pencapaian pengoperasian e-government diperkirakan mencapai 70,0 persen. 6. Meningkatnya kualitas dan jangkauan layanan penyiaran televisi dan radio yang masing-masing mencakup 88 persen dan 85 persen penduduk Indonesia. Pada akhir tahun 2009, tingkat pencapaian sasaran ini adalah 67,0 persen untuk TVRI dan 90,0 persen untuk RRI. Dengan demikian, jangkauan layanan TVRI terhadap populasi diperkirakan sebesar 59,0 persen sedangkan layanan RRI sebesar 76,5 persen. Hal ini dikarenakan pembangunan hanya bersifat mempertahankan wilayah jangkauan, kualitas siaran dan tidak melakukan pengembangan wilayah jangkauan. 7. Terselesaikannya persiapan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Pada akhir tahun 2009, tingkat pencapaian sasaran diperkirakan dapat mencapai 80 persen. Dua puluh persen lainnya merupakan uji siaran dana masa transisi dimana sistem digital sudah digunakan bersamaan dengan sistem analog yang secara bertahap akan dihilangkan (simulcast period). Penggunaan sistem digital secara utuh (phase out seluruh sistem analog) diproyeksikan terjadi pada tahun 2015.

Bidang Perumahan Hunian yang layak merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H. Penyediaan hunian yang layak mempunyai peranan penting dalam pembangunan sumberdaya manusia. Rumah merupakan tempat persemaian budaya dan pembinaan keluarga dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas.

567

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.19.7. Bidang Perumahan, Air Minum, Limbah, Persampahan, dan Drainase

Berdasarkan status dan preferensi kepemilikannya, penyediaan perumahan merupakan tanggungjawab individu (private domain). Penyediaan rumah bagi masyarakat berpendapatan menengah ke atas hampir sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah melakukan intervensi melalui fasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Bagi masyarakat berpendapatan rendah yang belum mampu memiliki rumah, Pemerintah menyediakan fasilitasi melalui pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di kawasan perkotaan. Untuk meningkatkan keterjangkauan (aordability) masyarakat berpendapatan rendah untuk memiliki rumah, Pemerintah menyediakan fasilitasi berupa subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RsH/KPRS), penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, penyediaan kredit mikro pembangunan dan perbaikan rumah swadaya, serta pemberian insentif untuk pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) yang dibangun melalui peran swasta. Bidang Air Minum dan Sanitasi (Air Limbah, Persampahan dan Drainase) Penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman mempunyai peranan yang penting dalam mendukung hunian yang layak dan sehat. Dalam penyediaannya, Pemerintah tidak hanya melakukannya melalui penyediaan prasarana dan sarana sik namun juga melalui fasilitasi peningkatan

kepedulian masyarakat terhadap perilaku hidup bersih dan sehat. Pembangunan air minum difokuskan pada upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan air minum. Di perkotaan, Pemerintah mendorong peningkatan pelayanan air minum perpipaan yang sebagian besar dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di perdesaan, penyediaan air minum dilakukan melalui pembangunan air minum berbasis masyarakat dengan harapan masyarakat mempunyai kemampuan dalam mengoperasikan dan memelihara prasarana dan sarana yang terbangun. Pembangunan sanitasi dalam rangka menciptakan permukiman yang sehat dilakukan dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan sanitasi dasar, pembangunan prasarana dan sarana air limbah sistem terpusat, pengurangan volume timbulan sampah, peningkatan kualitas pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA), pembangunan drainase primer serta bantuan teknis penyusunan masterplan drainase perkotaan. 4.19.7.1. Kondisi Awal dan Sasaran Yang Ingin Dicapai Perumahan Permasalahan pembangunan perumahan yang dihadapi pada awal penyusunan Rencana Pem-

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.19.8. Sasaran dan Pencapaian Bidang Infrastruktur Pelayanan Pos dan Telematika
No. 1 2 3 4 5 Sasaran/Program Teledensitas sambungan tetap Teledensitas sambungan bergerak Desa USO yang terjangkau fasilitas telekomunikasi Jangkauan siaran TVRI terhadap populasi Jangkauan siaran RRI terhadap populasi Desa Indikator (Satuan) Persen Persen Kondisi Awal 2004/2005 4,6 14,0 2.341 Persen Persen 81,37 83,0 Capaian 2006 5,6 28,6 5.422 33,0 80,0 2007 6,7 39,8 5.422 34,2 76,5 2008 8,7 40,0 5.422 36,4 76,5 2009 Sasaran RKP 14,67 65,96 31.842 83,0 83,0 Sasaran RPJM 13,0 20,0 43.000 88,0 85,0

568

Bagian 4

bangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 2009 adalah sebagai berikut: Terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman. Terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana dan sarana perumahan baik oleh Pemerintah maupun swasta merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pembangunan perumahan pada awal tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009. Penyediaan prasarana dan sarana dasar oleh Pemerintah terhadap kawasan rumah sederhana dan rumah sederhana sehat yang dihuni oleh masyarakat berpendapatan rendah dimaksudkan untuk menurunkan harga jual rumah dan menyediakan rumah yang layak huni dalam kawasan yang sehat. Keterbatasan kemampuan Pemerintah maupun swasta, kemudian menjadikan prasarana dan sarana perumahan tidak tersedia sebagaimana seharusnya, yang kemudian menjadikan kawasan perumahan tersebut berpotensi berkembang menjadi kawasan kumuh baru. Semakin meluasnya kawasan kumuh. Pada tahun 1996 luas kawasan kumuh mencapai 40.053 Ha, dan tahun 2000 meningkat menjadi 47.500 Ha yang tersebar di 10.000 lokasi dan dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa. Luasan kawasan kumuh cenderung terus meningkat setiap tahunnya selaras dengan pertumbuhan penduduk dan makin tidak terkendalinya pertumbuhan kota utama (primary city) yang menjadi penarik meningkatnya arus migrasi. Selain itu, laju pertumbuhan kawasan kumuh (di pusat kota maupun di tepi kota) juga dipicu oleh keterbatasan kemampuan Pemerintah dan swasta menyediakan prasarana dan sarana, disamping ketidakpedulian masyarakat untuk melakukan perbaikan rumah (home improvement). Hal lain yang juga menjadi pemicu adalah ketidakharmonisan antara struktur infrastruktur kota, khususnya jaringan jalan dengan kawasan permukiman yang terbangun. Di pinggir kota hal tersebut menimbulkan urban sprawl yang berdampak pada kemacetan (congestion), ketidak-teraturan, dan pada akhirnya menimbulkan ketidakesienan serta pemborosan energi dan waktu.

Meningkatnya rumah tangga yang belum memiliki rumah. Pada tahun 2000, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah masih sebanyak 4,34 juta rumah tangga, yang merupakan akumulasi dari kebutuhan tahun sebelumnya dan pertambahan rumah tangga baru, yang belum terakomodasi oleh penyediaan rumah, baik oleh BUMN, pengembang swasta maupun swadaya masyarakat. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan Permukiman tahun 2004, terdapat 19 persen atau sekitar 10,38 juta juta rumah tangga yang belum memiliki rumah. Apabila upaya penyediaan perumahan tidak mampu untuk memenuhi backlog dan pertumbuhan baru selama kurun waktu 2005-2009, maka diperkirakan jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah akan terus semakin meningkat. Terjadinya kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaan perumahan. Sumber pembiayaan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) pada umumnya berasal dari dana jangka pendek (deposito dan tabungan) sementara sifat kredit pemilikan rumah pada umumnya mempunyai jatuh tempo (tenor) jangka panjang. Belum tersedianya sumber pembiayaan perumahan jangka panjang dalam jumlah memadai selalu menjadi kendala bagi pengembangan pasar perumahan yang sehat. Kesenjangan (mismatch) dalam pembiayaan perumahan tersebut dalam jangka panjang menyebabkan pasar perumahan menjadi tidak sehat karena ketidakstabilan dalam ketersediaan sumber pembiayaan. Masih rendahnya esiensi dalam pembangunan perumahan. Tingginya biaya administrasi perijinan yang dikeluarkan dalam pembangunan perumahan menjadikan masih rendahnya esiensi pembangunan perumahan. Biaya perijinan untuk pembangunan perumahan saat ini mencapai 20 persen dari nilai rumah. Hal ini menimbulkan ketidakesienan pasar perumahan karena biaya tersebut akan diteruskan (passthrough) kepada konsumen sehingga semakin menjauhkan keterjangkauan (aordability) masyarakat terhadap harga yang ditawarkan.

569

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Pembiayaan perumahan yang terbatas dan pola subsidi yang memungkinkan terjadinya salah sasaran. Sumber pembiayaan perumahan masih terbatas, sementara pola subsidi masih memungkinkan terjadinya salah sasaran. Berbagai bantuan program perumahan tidak sepenuhnya terkoordinasi dan efektif. Bantuan pembangunan dan perbaikan rumah secara swadaya dan berkelompok lebih berupa kegiatan proyek dan kurang menjangkau kelompok sasaran. Bantuan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi kelompok sasaran yang belum mampu membeli rumah masih mengandalkan dana hibah Pemerintah dan penyertaan modal negara melalui dana APBN. Besaran subsidi sangat tergantung kepada alokasi tahunan melalui APBN sehingga tidak memiliki kestabilan dalam ketersediaan setiap tahunnya. Hal ini semakin sulit karena penempatan subsidi tersebut sebagai subsidi program yang seringkali kalah prioritas dibandingkan kegiatan yang lain. Dengan memperhatikan permasalahan di atas, sasaran pembangunan perumahan yang hendak dicapai dalam kurun waktu 2004-2009 adalah sebagai berikut: a. Untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang mempergunakan kredit pemilikan rumah sebagai cara untuk memiliki rumah maka sasaran umum pembangunan perumahan adalah pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat melalui terciptanya pasar primer yang sehat, esien, akuntabel, tidak diskriminatif, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang market friendly, esien, dan akuntabel. b. Bagi masyarakat berpendapatan rendah yang terbatas kemampuannya, maka sasaran umum yang harus dicapai adalah terbentuknya pola subsidi yang tepat sasaran, tidak mendistorsi pasar, akuntabel, dan mempunyai kepastian dalam hal ketersediaan setiap tahun. Sasaran lain yang juga hendak dicapai

adalah terbentuknya pola pembiayaan untuk perbaikan dan pembangunan rumah baru yang berbasis swadaya masyarakat. Sasaran penyediaan subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah sebanyak 1.350.000 unit rumah, melalui pembangunan rumah susun sewa sebanyak 60.000 unit, rumah susun sederhana milik melalui peran serta swasta 25.000 unit, serta peningkatan akses kredit mikro untuk pembangunan dan perbaikan perumahan berbasis keswadayaan masyarakat sebanyak 3.600.000 unit. c. Untuk mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs), sasaran yang harus dicapai adalah penurunan luasan kawasan kumuh sebesar 50 persen dari luas yang ada saat ini pada akhir 2009. Adapun untuk mencapai sasaran umum bidang perumahan seperti yang telah ditetapkan, maka disusun beberapa program antara lain: 1. Program pengembangan perumahan. Program ini bertujuan untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, sehat, aman, dan terjangkau, dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, melalui pemberdayaan dan peningkatan kinerja pasar primer perumahan, pengembangan system pembiayaan perumahan jangka panjang, pengembangan kredit mikro dan pemberdayaan ekonomi lokal, pengembangan Kasiba/Lisiba, serta pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), rumah sederhana, dan rumah sederhana sehat. 2. Program pemberdayaan komunitas perumahan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perumahan melalui penguatan lembaga komunitas dalam rangka pemberdayaan sosial kemasyarakatan agar tercipta masyarakat yang produktif secara ekonomi dan berkemampuan mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang sehat, harmonis dan berkelanjutan.

570

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Air Minum dan Air Limbah Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan air minum dan air limbah adalah sebagai berikut: Stagnasi dalam peningkatan pelayanan air minum perpipaan selama 10 tahun terakhir (1992-2002). Pada tahun 1992 jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan) yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 14,7 persen, pada tahun 1997 meningkat sedikit menjadi 19,2 persen, dan pada tahun 2002 turun menjadi 18,3 persen. Pada kawasan perdesaan, tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 5,5 persen berubah menjadi 7,0 persen pada tahun 1997, dan turun menjadi 6,2 persen pada tahun 2002, sedangkan pada kawasan perkotaan tingkat pelayanan air minum perpipaan pada tahun 1992 hanya sebesar 35,3 persen, pada tahun 1997 berubah menjadi 39,9 persen, dan pada tahun 2002 turun menjadi hanya 33,3 persen. Pelayanan air minum perpipaan di kawasan perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sedangkan di kawasan perdesaan pada umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat dan atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Rendahnya kualitas pengelolaan pelayanan air minum yang dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hasil audit terhadap PDAM pada tahun 2000 menunjukkan hanya 57,53 persen PDAM memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang berarti menurun dibandingkan tahun sebelumnya (1999) sebesar 59,43 persen. Proporsi PDAM dengan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada tahun 2000 sebesar 25,27 persen yang berarti meningkat dari audit tahun 1999 sebesar 23,58 persen. Proporsi PDAM dengan predikat Pendapat Tidak Wajar pada tahun 2000 sebesar 0,54 persen yang berarti membaik dibandingkan dengan tahun 1999 sebesar 0,94 persen, sedangkan proporsi PDAM dengan predikat Tidak Menyatakan

Pendapat pada tahun 2000 sebesar 16,67 persen yang berarti memburuk dibandingkan dengan audit tahun 1999 sebesar 16,04 persen. Stagnasi dalam penurunan tingkat kebocoran air minum. Tingkat kebocoran yang disebabkan oleh kebocoran teknis (misalnya rusaknya water meter dan pipa bocor) dan non teknis (illegal connection dan administrasi) yang masih berkisar pada kisaran antara 30-40 persen, yang berarti masih jauh di atas ambang batas normal (20 persen). Tingkat kebocoran pada tahun 1996 sebesar 39,85 persen, pada tahun 1999 bisa ditekan hingga 30,01 persen, namun pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 33,26 persen. Angka kebocoran ini akan terus meningkat apabila kinerja pengelolaan PDAM tidak diperbaiki. Terdapat korelasi yang kuat antara menurunnya kinerja pengelolaan PDAM dengan meningkatnya kebocoran. Meningkatnya kecenderungan kabupaten/ kota yang baru terbentuk untuk membentuk PDAM baru yang terpisah dari PDAM kabupaten/ kota induk. Kecenderungan pembentukan PDAM baru dipicu dengan alasan kabupaten/kota baru memerlukan sumber pendapatan asli daerah yang diharapkan berasal dari BUMD, yaitu dalam hal ini PDAM. Kecenderungan ini membawa pengaruh negatif yaitu meningkatnya ketidakesienan dalam pelayanan air minum yang diakibatkan oleh hambatan skala ekonomi (economic of scale) yaitu menciutnya pasar akibat pecahnya PDAM, meningkatnya biaya overhead (gaji, operasi, dan pemeliharaan) karena pembentukan PDAM baru, dan meningkatnya biaya produksi air minum karena munculnya transaksi baru (additional cost) terhadap ketersediaan air baku antara kabupaten/kota induk dengan kabupaten/kota baru. Permasalahan tarif yang tidak mampu mencapai kondisi pemulihan biaya (full cost recovery). Hingga saat ini tarif dasar sebagian besar PDAM masih dibawah biaya produksi air minum, sehingga secara akuntansi sebagian besar PDAM saat ini beroperasi dengan kondisi rugi. Tarif

571

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

rata-rata saat ini untuk semua PDAM sebesar Rp 430,00 per m3 sedangkan biaya produksi air minum rata-rata sebesar Rp1.100,00-Rp1.700,00 per m3. Biaya produksi air minum akan terus meningkat seiring dengan semakin memburuknya kualitas dan kuantitas air baku akibat tingginya laju penurunan kualitas lingkungan. Menurunnya kualitas lingkungan juga menyebabkan pelayanan air minum di kawasan perdesaan semakin memburuk. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya jumlah mata air, semakin menurunnya kedalaman permukaan air tanah dangkal, semakin rendahnya kualitas air permukaan (sungai, danau, embung, dan waduk). Belum diolahnya lumpur tinja (sludge) secara baik. Tingkat pelayanan air limbah selama 10 tahun terakhir (1992-2002) cukup baik yaitu tumbuh rata-rata sebesar 8,6 persen per tahun. Jumlah penduduk total (perkotaan dan perdesaan) pada tahun 1992 yang mendapatkan pelayanan dasar air limbah sebesar 30,9 persen, pada tahun 1997 bertambah menjadi 59,3 persen, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 63,5 persen. Tingkat pelayanan air limbah di kawasan perdesaan pada tahun 1992 mencapai 19,1 persen, berubah menjadi 49 persen pada tahun 1997, dan meningkat menjadi 52,2 persen pada tahun 2002, sedangkan tingkat pelayanan air limbah di kawasan perkotaan pada tahun 1992 sebesar 57,5 persen, meningkat menjadi 76,9 persen pada tahun 1997, dan meningkat menjadi 77,5 persen pada tahun 2002. Namun demikian, hasil tersebut tidak diikuti dengan peningkatan dalam pengolahan lebih lanjut terhadap lumpur tinja domestik dari tangki septik dan jamban. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah Tinja (IPLT) yang telah dibangun untuk mengolah lumpur tinja domestik tersebut yaitu lebih kecil dari 30 persen serta masih tingginya pemanfaatan sungai sebagai tempat pembuangan lumpur tinja domestik tersebut. Menurunnya persentase masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah

(sewerage system). Hal ini disebabkan laju pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan tidak mampu diimbangi oleh laju penyediaan prasarana dan sarana sistem pembuangan air limbah. Rendahnya laju pembangunan sistem pembuangan air limbah bagi kota-kota metropolitan dan besar pada umumnya disebabkan oleh semakin mahalnya nilai konstruksi dan semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai jaringan pelayanan, sementara di lain pihak kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk pelayanan air limbah domestik masih sangat rendah sehingga tidak dapat menutup biaya pelayanan. Sasaran pembangunan air minum dan air limbah yang hendak dicapai dalam kurun waktu 20042009 adalah sebagai berikut: a. meningkatnya cakupan pelayanan air minum perpipaan secara nasional hingga mencapai 40 persen pada akhir tahun 2009 dengan perincian cakupan pelayanan air minum perpipaan untuk penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan diharapkan dapat meningkat hingga mencapai 66 persen dan di kawasan perdesaan meningkat hingga mencapai 30 persen. b. terbebasnya dari perilaku buang air besar (BAB) sembarangan (open defecation free) untuk semua kabupaten/kota hingga akhir tahun 2009 yang berarti semua rumah tangga minimal mempunyai akses terhadap jamban sebagai tempat pembuangan tinja dan meningkatkan kualitas air permukaan yang dipergunakan sebagai air baku bagi air minum. c. meningkatnya utilitas IPLT dan IPAL yang telah dibangun hingga mencapai minimal 60 persen pada akhir tahun 2009 serta pengembangan lebih lanjut pelayanan sistem pembuangan air limbah serta berkurangnya pencemaran sungai akibat pembuangan tinja hingga 50 persen pada akhir tahun 2009 dari kondisi saat ini. Selain itu, untuk kota-kota metropolitan dan kota besar secara bertahap dikembangkan sistem air limbah terpusat (sewerage system).

572

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Sasaran umum pembangunan air minum dan air limbah seperti tersebut akan dicapai melalui program antara lain: 1) Program pengembangan pemberdayaan masyarakat. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peranan air minum dan air limbah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan produktitasnya, 2) Program pengembangan kelembagaan. Proram ini ditujukan untuk melakukan penataan kembali peraturan perundang-undangan dan pengembangan kelembagaan yang terkait dengan pembangunan air minum dan air limbah untuk mewujudkan system kelembagaan dan tata laksana pembangunan air minum dan air limbah yang efektif. 3) Program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan yang akan dilaksanakan oleh komunitas masyarakat secara optimal, esien dan berkelanjutan. Persampahan dan Drainase Di bidang persampahan dan drainase permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut: Terjadinya stagnasi dalam penanganan sampah dan drainase secara baik dan berwawasan lingkungan (environment friendly). Hal ini dapat dilihat dari cakupan pelayanan persampahan di kawasan perkotaan selama 10 tahun (1992-2002) hanya mampu melayani sebanyak 18,15 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase hanya mampu melayani 2,51 juta jiwa. Stagnasi terjadi karena rendahnya kesadaran seluruh stakeholder, terhadap peranan penanganan persampahan dan drainase dalam mendukung kualitas lingkungan hidup yang baik. Meningkatnya pencemaran lingkungan akibat meningkatnya jumlah sampah yang ber-

asal dari rumah tangga (domestik) dan non rumah tangga yang dibuang ke sungai dan atau dibakar. Persentase sampah yang dibuang ke sungai dan di bakar pada tahun 1998 sebesar 65 persen dan meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2001. Walaupun kenaikannya relatif kecil namun diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan lahan untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Di kawasan perkotaan, laju penanganan sampah jauh lebih lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan anggaran untuk penanganan sampah hanya berkisar 1-2 persen per tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk di perkotaan mencapai rata-rata 4,6 persen per tahun sehingga terjadi kekurangan cakupan pelayanan (lack of services). Menurunnya kualitas manajemen tempat pembuangan akhir (TPA). Berubahnya sistem pengelolaan TPA yang didesain sebagai sanitary landll dan/atau control landll menjadi open dumping mencerminkan penurunan kinerja tersebut. Kegagalan mempertahankan manajemen TPA sesuai dengan kriteria teknis sanitary landll mencapai 99 persen. Hal ini dapat dilihat dengan tidak ada satu kotapun yang mengelola TPA sesuai dengan desain teknisnya yaitu sanitary landll. Kondisi tersebut semakin memperburuk kualitas lingkungan perkotaan akibat merebaknya pencemaran udara akibat sampah yang terbakar sehingga tidak terkendalinya gas methane dan proses pembusukan sampah, rusaknya kualitas air tanah dangkal dan air permukaan akibat meresapnya air lindi yang tidak terkendali, serta merebaknya gas dioxin yang karsinogenik. Tidak berfungsinya saluran drainase sebagai pematus air hujan. Kelangkaan lokasi untuk pembuangan sampah menyebabkan masyarakat membuang sampah ke saluran drainase. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan persentase kawasan tergenang dan persentase terhambatnya fungsi drainase. Pada tahun 1996 persentase luasan kawasan tergenang hanya 2,31 persen dan meningkat menjadi 3,52 persen pada tahun

573

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2001, sedangkan saluran drainase yang tidak lancar pada tahun 1996 sebanyak 8,74 persen meningkat menjadi 10,04 persen pada tahun 2001. Kecenderungan akan terus meningkat di masa mendatang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang berarti juga bertambahnya timbunan sampah dan semakin sulitnya mendapatkan areal yang memadai untuk tempat pembuangan sampah (baik tempat pembuangan sementara maupun tempat pembuangan akhir). Selain itu, migrasi ke kawasan perkotaan, terbatasnya lahan yang tersedia, dan rendahnya penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang pada akhirnya membawa dampak peningkatan perambahan badanbadan air, termasuk saluran drainase, baik yang secara alami telah ada sejak dahulu (sungai, kali, dan selokan), maupun saluran drainase buatan (kanal dan got). Kehilangan luasan badan air di kawasan perkotaan, khususnya di kota-kota metropolitan dan besar) paling tidak mencapai 5-10 persen per tahun. Sasaran pembangunan persampahan dan drainase yang hendak dicapai dalam kurun waktu 2004-2009 adalah sebagai berikut: a. meningkatnya jumlah sampah terangkut hingga 75 persen hingga akhir 2009 serta meningkatnya kinerja pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) yang berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang;
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

masyarakat dalam penanganan persoalan persampahan dan drainase. 2) Program pengembangan kelembagaan. Program ini ditujukan untuk mewujudkan tata kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan transparan. 3) Program peningkatan kinerja pengelolaan persampahan dan drainase. Program ini bertujuan untuk mencapai sasaran sebagaimana telah disebutkan diatas secara cepat, tepat, bermanfaat, esien, dan berwawasan lingkungan (environmental friendly). 4.19.7.2. Pencapaian 2005- 2008 Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menyediakan tempat tinggal layak huni dan terjangkau yang didukung oleh prasarana dan sarana dasar permukiman yang sehat. Di bidang perumahan dan permukiman, Pemerintah telah melakukan berbagai fasilitasi/subsidi penyediaan rumah sederhana sehat serta meningkatkan pelayanan air minum, air limbah, persampahan dan drainase. Selain itu juga Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan penyediaan infrastruktur di perdesaan, kawasan perbatasan dan agropolitan. Upaya untuk memberdayakan komunitas perumahan, Pemerintah juga melakukan berbagai kegiatan pembangunan yang berbasis pemberdayaan masyarakat melalui program penanggulangan kemiskinan perkotaan. Perumahan Pada 2005, upaya yang telah dilakukan di bidang perumahan antara lain penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 63.713 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 4.762 unit, penataan dan perbaikan permukiman untuk 54.735 jiwa di 93 kelurahan dengan luas 384 Ha, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 143 kelurahan, dukungan penyediaan infrastruktur untuk 42.657 unit rumah di kawasan perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja, penyediaan infrastruk-

b. terbebasnya saluran drainase dari sampah sehingga mampu meningkatkan fungsi saluran drainase sebagai pematus air hujan dan berkurangnya wilayah genangan permanen dan sementara (temporer) hingga 75 persen dari kondisi saat ini. Sasaran umum pembangunan persampahan dan drainase akan dicapai melalui beberapa program seperti: 1) Program pemberdayaan masyarakat. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran

574

Bagian 4

tur permukiman di 10 kawasan terpencil/pulau kecil/terluar, penanganan tsunami di Aceh sebanyak 5.500 unit rumah untuk 27.000 jiwa penduduk, pengembangan 79 kawasan agropolitan, pengembangan prasarana sarana perdesaan (DPP/KTP2D) di 118 kawasan, dukungan infrastruktur Perdesaan (PKPS-BBM) di 12.834 desa, serta penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP-PNPM) di 4.680 kelurahan. Pada 2006, upaya yang dilakukan meliputi penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 77.663 unit dan kredit mikro pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 511 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 6.448 unit, penataan dan perbaikan permukiman yang dihuni 851.845 jiwa di 360 kelurahan, fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat sebanyak 4.362 unit, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 155 kelurahan, dukungan penyediaan infrastruktur untuk 64.867 unit rumah di kawasan perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja, penyediaan infrastruktur permukiman di 47 kawasan terpencil/pulau kecil/terluar, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka penganggulangan dampak becana di Aceh sebanyak 6.480 unit rumah untuk 32.400 jiwa penduduk, pengembangan 51 kawasan agropolitan, pengembangan prasarana sarana perdesaan (DPP/KTP2D) di 319 kawasan, dukungan infrastruktur perdesaan (PKPS-BBM) di 1.840 desa, serta penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP-PNPM) di 6.404 kelurahan; Pada 2007, upaya yang dilakukan meliputi penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 103.221 unit dan kredit mikro pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 19.590 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 8.265 unit, penataan dan perbaikan lingkungan permukiman untuk 645.250 jiwa di 375 kelurahan, fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat

sebanyak 4.068 unit, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 124 kelurahan, dukungan penyediaan infrastruktur untuk 93.840 unit rumah di kawasan perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja, penyediaan infrastruktur permukiman di sebanyak 44 kawasan terpencil/pulau kecil/terluar di 27 provinsi, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka penanggulangan dampak bencana alam di Aceh yaitu pembangunan 231.013 unit rumah untuk 1.155.065 jiwa penduduk, pengembangan 11 kawasan agropolitan, pengembangan prasarana sarana perdesaan (DPP/KTP2D) di 157 kawasan, dukungan infrastruktur Perdesaan (PKPSBBM) di 2.289 desa, penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP-PNPM) di 7.273 kelurahan; Pada 2008, upaya yang dilakukan meliputi penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 97.238 unit dan kredit mikro pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 42.263 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 9.443 unit, penataan dan perbaikan lingkungan permukiman sebanyak 596.969 jiwa di 260 kelurahan dengan luas total sebesar 1.109 ha, fasilitasi pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) sebanyak 2.633 unit, fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat sebanyak 4.850 unit, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 144 kelurahan, dukungan infrastruktur pada kawasan perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja sebanyak 101.059 unit rumah, penyediaan infrastruktur permukiman di kawasan terpencil/pulau kecil/ terluar sebanyak 44 kawasan di 32 provinsi, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka penanggulangan dampak bencana alam di Aceh yaitu pembangunan 8.742 unit rumah untuk 43.710 jiwa penduduk, pengembangan kawasan agropolitan dan pengembangan prasarana sarana perdesaan (DPP/KTP2D) di 262 kawasan, dukungan infrastruktur Perdesaan (PKPS-BBM) di 2.060 desa, serta penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP-PNPM) di 8.813 kelurahan.

575

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Air Minum dan Air Limbah Peningkatan pelayanan air minum perpipaan selama 4 tahun terakhir belum sesuai harapan. Upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan tidak mampu mengimbangi jumlah pertumbuhan penduduk. Pada 2004, proporsi penduduk yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 17,45 persen dan pada 2007 menjadi 16,18 persen. Di perdesaan, tingkat pelayanan air minum perpipaan pada 2004 sebesar 6,95 persen dan meningkat menjadi 7,28 pada 2007, sedangkan di perkotaan tingkat pelayanan air minum perpipaan pada 2004 sebesar 32,84 persen dan menurun menjadi 27,91 persen pada 2007. Pelayanan air minum perpipaan di perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sedangkan di perdesaan pada umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat dan atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Target pembangunan air limbah yang tertuang dalam RPJMN 2005-2009 adalah tercapainya open defecation free, yaitu dimana masyarakat terbebas dari perilaku buang hajat sembarangan. Dari hasil survey Statistik Kesejahteraan Rakyat, tahun 2004 dan 2007 terlihat bahwa persentase masyarakat yang memilik tangki septik telah meningkat kurang lebih sebesar 5 persen di perkotaan (65,99 persen pada 2004 menjadi 71,06 persen pada 2007) dan sebesar 7 persen di kawasan perdesaan. Pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum dan air limbah baik di perkotaan maupun di perdesaan, namun pembangunan tersebut belum dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk yang pesat. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah selama kurun waktu 2005 sampai 2008 adalah: Pada 2005, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibu kota kecamatan (IKK) dengan kapasitas produksi 1.093 l/dtk dan melayani 693.664 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat berpendapatan

rendah di perkotaan dengan kapasitas produksi 1.120 l/dtk dan melayani 704.262 jiwa penduduk, penyehatan PDAM dengan kapasitas produksi 580 l/dtk dan melayani 249.500 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibukota kabupaten pemekaran dengan kapasitas produksi 65 l/dtk dan melayani 28.000 jiwa penduduk, penyediaan air minum berbasis masyarakat (PAMSIMAS) di desa rawan air/terpencil dengan kapasitas 405 l/dtk yang melayani 469.918 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum perdesaan melalui DAK dan APBD dengan kapasitas produksi 665 l/dtk dan melayani 428.320 jiwa penduduk, serta pengelolaan air limbah di 32 kabupaten/kota. Pada 2006, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibu kota kecamatan (IKK) dengan kapasitas produksi 907 l/dtk dan melayani 473.620 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan dengan kapasitas produksi 537 l/dtk dan melayani 392.848 jiwa penduduk, penyehatan PDAM dengan kapasitas produksi 901 l/dtk dan melayani 786.065 jiwa penduduk, penyediaan air minum berbasis masyarakat di desa rawan air/terpencil dengan kapasitas 366 l/dtk yang melayani 239.382 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum perdesaan melalui DAK dan APBD dengan kapasitas produksi 1.553 l/dtk dan melayani 842.720 jiwa penduduk, serta pengelolaan air limbah di 84 kabupaten/kota. Pada 2007, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibu kota kecamatan (IKK) dengan kapasitas produksi 1.827 l/dtk dan melayani 69.070 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan dengan kapasitas produksi 266 l/dtk dan melayani 26.025 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibukota kabupaten pemekaran dengan kapasitas produksi 20 l/dtk dan melayani 575 jiwa penduduk, penyediaan air minum berbasis ma-

576

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

syarakat (PAMSIMAS) di desa rawan air/terpencil dengan kapasitas 616 l/dtk yang melayani 75.950 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum perdesaan melalui DAK dan APBD dengan kapasitas produksi 3.283 l/dtk dan melayani 529.970 jiwa penduduk, serta pengelolaan air limbah di 81 kabupaten/kota. Pada 2008, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum dengan kapasitas produksi 8.130 l/dtk untuk melayani 2.200.000 jiwa. Pencapaian tersebut meliputi pembangunan prasarana dan sarana air minum perkotaan di ibu kota kecamatan, di ibu kota kabupaten/kota pemekaran, di kawasan permukiman masyarakat berpendapatan rendah, bantuan serta pembangunan prasarana dan sarana air minum perdesaan di desa rawan air dan desa terpencil, serta pembangunan prasarana dan sarana air limbah di 92 kabupaten/kota. Persampahan dan Drainase Dalam pembangunan persampahan dan drainase, upaya yang telah dilakukan sebagai berikut: Pada tahun 2005 telah dilakukan peningkatan pengelolaan persampahan di 50 kab/kota dan pembangunan sistem drainase untuk melayani area seluas 1.240 ha. Pada tahun 2006 telah dilakukan peningkatan pengelolaan persampahan di 134 kabupaten/kota dan pembangunan sistem drainase yang melayani area seluas 1.744 Ha. Upaya ini dilanjutkan pada tahun 2007 dengan melakukan peningkatan pengelolaan persampahan di 82 kabupaten/kota dan pembangunan sistem drainase yang melayani area seluas 832 Ha. Pada tahun 2008 selain peningkatan pengelolaan persampahan di 94 kabupaten/kota dan pembangunan sistem drainase untuk melayani area seluas 71 ha juga telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.
4.19.7.2.1. Posisi Capaian hingga 2008

drainase hingga 2008 adalah sebagai berikut: Perumahan Hasil yang telah dicapai dalam pembangunan perumahan antara lain: 1. Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyertaan Modal Negara untuk Pendirian Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan atau dikenal dengan Secondary Mortgage Facility (SMF); 2. Pemberian fasilitas bantuan subsidi KPR RSH sebanyak 341.835 unit serta subsidi KPRS mikro bersubsidi sebanyak 62.364 unit; 3. Pembangunan RsH bersubsidi sebanyak 341.835 unit dan RsH non-subsidi sebanyak 431.040 unit; 4. Pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) bagi masyarakat berpendapatan rendah sebanyak 28.918 unit; 5. Pembangunan rumah susun sederhana milik (Rusunami) sebanyak 2.633 unit; 6. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat sebanyak 13.280 unit; 7. Penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) di 27.170 kawasan; 8. Penataan dan perbaikan lingkungan permukiman (NUSSP) di 1.088 kelurahan; 9. Penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 566 kelurahan; 10. Pembangunan infrastruktur permukiman kawasan terpencil/pulau kecil/terluar di 145 kawasan; 11. Dukungan kawasan perumahan bagi PNS/ TNI-Polri/pekerja sebanyak 302.423 unit; 12. Pembangunan daerah perdesaan berupa pembangunan kawasan agropolitan dan Kawasan Terpilih Pusat Pertumbuhan Desa (KTP2D) di 997 kawasan;
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dengan berbagai upaya tersebut, total pencapaian pembangunan bidang infrastruktur sub-sektor perumahan, air minum, limbah, persampahan, dan

577

13. Pembangunan infrastruktur perdesaan tertinggal pada 19.023 desa di 32 provinsi. Air Minum dan Air Limbah Hasil yang telah dicapai dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum dan air limbah dari 2005 sampai dengan 2008 adalah sebagai berikut: 1. Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum; 2. Pengembangan prasarana dan sarana air minum dengan kapasitas produksi 29.687 l/dtk untuk melayani 11.070.000 jiwa. Pencapaian tersebut meliputi pembangunan prasarana dan sarana air minum perkotaan (IKK, air minum untuk MBR, penyehatan PDAM, ibu kota kabupaten pemekaran dan masyarakat menengah ke atas) serta prasarana dan sarana air minum perdesaan (PAMSIMAS/desa rawan air/terpencil dan DAK); 3. Pengelolaan air limbah di 280 kabupaten/kota. Dalam rangka pengembangan pelaksanaan pembangunan air minum melalui pola kerjasama Pemerintah dan swasta (public private partnership), saat ini sedang dilakukan pelaksanaan model proyek pembangunan air minum di Kabupaten Bandung dan Kota Tangerang. Untuk pelaksanaan di kabupaten saat ini sudah memasuki tahap penyusunan kajian kelayakan proyek, sedangkan pelaksanaan di Kota Tangerang sudah dalam pelaksanaan pelelangan.
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4.19.7.2.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Umum

Beberapa permasalahan umum yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan permukiman dan perumahan selama kurun waktu tahun 2005 2008 adalah sebagai berikut: a. Belum mantapnya pembagian kewenangan dan format kelembagaan pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman di era paska desentralisasi dan setelah terbitnya PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. b. Pembangunan perumahan dan permukiman belum dianggap prioritas sehingga menyebabkan kurangnya dukungan program dan alokasi anggaran dari Pemerintah, maupun swasta dan masyarakat. Walaupun menurut PP No. 38 Tahun 2007 menyatakan bahwa pembangunan perumahan, air minum dan air limbah merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah namun dalam pelaksanaannya, Pemerintah pusat masih berperan dominan. Kondisi demikian dipersulit dengan masih rendahnya keterlibatan swasta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Dari sisi pendanaan, sumber dana pembangunan air minum dan air limbah masih bertumpu pada anggaran Pemerintah. Dengan melihat adanya dana SiLPA (sisa lebih pembiayaan anggaran) APBD setiap tahunnya menunjukkan bahwa bagi beberapa Pemerintah Daerah sebenarnya memungkinkan untuk mengalokasikan anggaran pembangunan perumahan dan permukiman yang lebih memadai. c. Belum efektif dan esiennya pembiayaan akibat penyusunan program dan anggaran lebih didasarkan pada asas pemerataan daripada prioritas pembangunan. Dalam upaya pemenuhan standar pelayanan minimal, Pemerintah masih mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan pelayanan air minum dan air limbah di daerah, melalui Dana Alo-

Persampahan dan Drainase Hasil yang telah dicapai dalam pembangunan prasarana dan sarana persampahan dan drainase dari 2005 sampai dengan 2008 adalah sebagai berikut: a. Pengelolaan persampahan di 360 kab/kota; b. Pembangunan drainase untuk menangani kawasan seluas 3.887 Ha. c. Penerbitan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

578

Bagian 4

kasi Khusus (DAK) dan anggaran kementerian/lembaga. Pelaksanaan pemberian DAK air minum dan sanitasi saat ini dinilai belum efektif karena lebih mengedepankan aspek perimbangan keuangan daripada pencapaian kinerja pembangunan air minum dan sanitasi; d. Belum efektifnya koordinasi antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang menyebabkan ketidaksiapan penyediaan kontribusi dana (cost sharing) dari Pemerintah Daerah untuk mendukung program pembangunan yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga. Perumahan Permasalahan yang ditemukenali dalam pelaksanaan pembangunan perumahan adalah sebagai berikut: a. Inasi dan menurunnya daya beli masyarakat menjadi faktor yang menghambat masyarakat berpendapatan rendah untuk mengakses hunian yang layak dan terjangkau; b. Terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman menyebabkan belum dihuninya beberapa kawasan perumahan; c. Keterbatasan lahan di perkotaan menyebabkan tumbuhnya kawasan perumahan yang semakin jauh dari kota utama dan tempat pekerjaan. Pertumbuhan kawasan permukiman yang berkembang sporadis dan tanpa didukung dengan keterpaduan infrastruktur berpotensi menyebabkan urban sprawl, kemacetan lalu lintas dan pemborosan waktu. d. Masih tingginya transaction cost, kurangnya insentif bagi swasta untuk membangun rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah menjadi penyebab masih rendahnya keterlibatan swasta dalam pembangunan rumah sederhana sehat. e. Masih sulitnya masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses pembiayaan perumahan melalui jasa pelayanan perbankan yang disebabkan oleh rumitnya aturan administrasi perbankan.

f.

Pola subsidi perumahan yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah kadangkala menjadi salah sasaran pada tahap implementasinya. Hal ini ditunjukan dengan kepemilikan rusunawa dan rusunami yang dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau mereka yang sudah memiliki rumah.

g. Adanya kendala pada pembebasan lahan bagi pembangunan perumahan sehat sederhana dan pengembangan permukiman yang sehat. Air Minum dan Air Limbah Dalam pembangunan air minum dan air limbah, permasalahan yang ditemukenali adalah sebagai berikut: a. Penurunan kualitas dan kuantitas air baku yang disebabkan oleh kerusakan wilayah tangkapan air di daerah hulu dan semakin meningkatnya buangan limbah cair ke badan air. Tingginya sedimentasi dan kadar polutan dalam air baku memberikan kontribusi dalam meningkatkan biaya produksi air minum pada Instalasi Pengolahan Air (IPA). b. Belum optimalnya peran Perusahaan Daerah Air Minum/Air Limbah (PDAM/PDPAL) yang disebabkan oleh masih rendahnya kinerja PDAM dan rendahnya investasi di bidang pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah terpusat.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

c. Rendahnya kapasitas pengelola prasarana dan sarana air minum dan air limbah dalam melakukan operasi dan pemeliharaan menyebabkan pelayanan prasarana dan sarana terbangun kurang terjamin keberlanjutannya. d. Masih kurangnya upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masih menjadi tantangan dalam upaya mewujudkan bebas buang air besar sembarangan (open defecation free) e. Laju pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat sehingga kebutuhan untuk membuka permukiman baru tidak sebanding dengan kecepatan penyediaan prasarana dan sarana penyediaan air baku dan air limbah

579

Persampahan dan Drainase Dalam pembangunan pengelolaan persampahan dan drainase, permasalahan yang ditemukenali adalah sebagai berikut: a. Jumlah timbulan sampah masih cenderung meningkat disebabkan oleh kesadaran yang masih rendah dari masyarakat dan Pemerintah terhadap perlunya merubah paradigma pengelolaan sampah dari sekedar membuang menjadi mengolah sampah. Mengurangi timbulan sampah belum menjadi arus utama dalam pembangunan persampahan. b. Masih kurang optimalnya penerapan prinsip 3R dalam mengurangi timbulan sampah disebabkan oleh belum terjadinya sinergi antara Pemerintah Daerah dan masyarakat. Keberhasilan komunitas dalam menerapkan 3R di beberapa lokasi tidak ditunjang oleh sistem pengelolaan persampahan yang ditangani Pemerintah Daerah. Keberhasilan penerapan 3R hanya berhenti pada tahapan proyek percontohan saja. c. Masih terbatasnya kapasitas Pemerintah Daerah baik dari segi keuangan, dan sumberdaya manusia dalam pengelolaan sampah skala kota maupun drainase. d. Penanganan banjir masih bersifat sporadis disebabkan belum tersedianya rencana induk (masterplan) drainase kota sebagai dasar penanganan banjir. e. Penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan daerah terkait persampahan dan drainase belum dilaksanakan secara efektif. f. Belum tercipta kondisi yang mendukung keterlibatan swasta dalam pembangunan persampahan.

maka tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan perumahan dan permukiman adalah sebagai berikut: Perumahan Pada bidang perumahan, tindak lanjut yang direncanakan dalam Rencana Kerja Pemerintah 2009 adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RsH/KPRS); 2. Peningkatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) beserta fasilitas umum/sosial serta prasarana dan sarana dasarnya; 3. Peningkatan kualitas pengelolaan Rusunawa; 4. Peningkatan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman; 5. Peningkatan fasilitasi dan stimulasi pengembangan kawasan; 6. Pengembangan kredit mikro perumahan; 7. Bantuan teknis kredit mikro perumahan; 8. Fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan perumahan swadaya; 9. Penyusunan NSPM pembiayaan perumahan, pengembangan kawasan, perumahan formal, dan perumahan swadaya; 10. Peningkatan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi pembangunan perumahan; 11. Deregulasi/regulasi peraturan perundang-undangan; 12. Bantuan pembangunan dan perbaikan rumah paska bencana; 13. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman perkotaan; 14. Penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Tengah; Air Minum dan Air Limbah Upaya yang perlu dilakukan dalam mencapai sasar-

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

4.19.7.3. Tindak Lanjut


4.19.7.3.1. Upaya yang Akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran

580

Dengan perkiraan pencapaian sasaran pada 2008,

Bagian 4

an pembangunan yang diinginkan adalah selain dengan meningkatkan kemampuan manajemen pengelola air minum/air limbah dan dengan meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana air minum dan air limbah, juga melalui upaya sebagai berikut: 1. Pengembangan kapasitas kelembagaan pembangunan air minum dan air limbah; 2. Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan air minum dan air limbah; 3. Pembangunan sarana dan prasarana air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat; 4. Peningkatan cakupan air minum perpipaan di area perkotaan; 5. Bantuan teknis/bantuan program penyehatan PDAM; 6. Penyediaan sarana dan prasarana air minum pada kawasan strategis nasional; 7. Penyediaan sarana dan prasarana air minum bagi kawasan RSH-S/kawasan kumuh/nelayan/rumah susun sederhana; 8. Pembangunan sistem penyediaan air minum di desa rawan air, pesisir, dan terpencil; 9. Bantuan teknis sistem penyediaan air minum; 10. Pembinaan teknis sistem penyediaan air minum; 11. Pembangunan sarana dan prasarana air limbah bagi kawasan RSH/rumah susun/permukiman kumuh/nelayan; 12. Bantuan tanggap darurat air minum; 13. Pengelolaan sanitasi di kota metropolitan; 14. Pembangunan sarana dan prasarana air limbah percontohan skala komunitas; 15. Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana air limbah terpusat dan IPAL di kota besar/metropolitan; 16. Bantuan teknis pengelolaan air limbah; 17. Pembinaan teknis pengelolaan air limbah.

Persampahan dan Drainase Secara umum beberapa hal yang perlu dilaksanakan untuk mencapai target adalah: (i) pengurangan timbulan sampah secara signikan melalui: (a) peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah melalui upaya peningkatan pemahaman terhadap paradigma pengurangan timbulan sampah; (b) pelibatan komunitas secara lebih intensif dalam program 3R melalui advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan penyediaan insentif yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain; (c) melakukan replikasi keberhasilan program 3R di komunitas; (d) memadukan kegiatan 3R dan pelayanan persampahan skala kota; (ii) peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi sanitary landll sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan; (iii) peningkatan kerjasama regional pengelolaan persampahan dengan tetap berdasarkan pada kelayakan dan kepentingan masing-masing daerah; (iv) pengenalan sumber pembiayaan alternatif diantaranya melalui skema pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/CDM), dan kerjasama dengan swasta; (v) penyediaan insentif bagi kerjasama pengelolaan persampahan dengan pihak non Pemerintah; (vi) penyediaan bantuan teknis baik pengelolaan persampahan maupun penyusunan rencana induk drainase perkotaan berdasar skala prioritas. Selain itu, juga tetap dilaksanakan pembangunan sistem drainase primer kota metropolitan dan kota besar, dan normalisasi drainase perkotaan, serta bantuan tanggap darurat.

581

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

582
Tabel 4.19.9. Pencapaian Sasaran Bidang Perumahan Periode 2005 - 2008
Indikator 118.093 Unit 4.762 0 Unit 0 0 2.633 6.448 8.265 9.443 118.903 223.921 241.958 Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008 Unit 0 Unit 4.873 23.658 52.113 42.657 Unit 64.867 93.840 101.059 384 Ha 2.948 1.835 1.109 5.518 L/detik L/detik 5.596 L/detik 10.443 L/detik 8.130 L/detik Kab/ kota persen 46 kab/kota tidak ada data 84 kab/kota tidak ada data 52 kab/kota tidak ada data 69 kab/kota tidak ada data

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Sasaran Prioritas RPJM

1. Pembangunan Rsh/RS bersubsidi dan non-subsidi

Jumlah Rsh/RS bersubsidi dan non-subsidi yang terbangun

2. Pembangunan rumah susun sewa

Jumlah rumah susun sewa yang terbangun

3. Fasilitasi pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) melalui peran serta swasta

Jumlah rusunami yang terbangun

4. Peningkatan akses kredit mikro untuk pembangunan dan perbaikan perumahan berbasis keswadayaan masyarakat

Jumlah perumahan yang terbangun

5. Pembangunan prasarana dan sarana dasar permukiman bagi perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja

Jumlah rumah yang dibangun

6. Penurunan luasan kawasan kumuh hingga mencapai 50 persen pada tahun 2009 dari luas yang ada (47.500 ha)

Penanganan kawasan kumuh (NUSSP)

7. Meningkatnya cakupan pelayanan air minum perpipaan secara nasional hingga mencapai 40 persen pada tahun 2009

Jumlah liter/detik

8. Open defecation free untuk semua kabupaten/kota

Jumlah sarana sanitasi dasar yang dibangun

9. Peningkatan IPLT dan IPAL yang telah dibangun

Jumlah kota yg IPLT dan IPAL ditingkatkan utilitasnya

Lanjutan Tabel 4.19.9.


Indikator tidak ada data tidak ada data tidak ada data Kondisi Awal 2004/2005 2006 2007 2008

Sasaran Prioritas RPJM

10. Pengurangan pencemaran sungai akibat pembuangan tinja hingga 50 persen pada tahun 2009 Kab/ kota 50 kab/kota 134 kab/kota 82 kab/kota 94 kab/kota

11. Peningkatan kinerja pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) yang berwawasan lingkungan (environmental friendly) pada semua kota-kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang 60 persen kota metro dan besar Ha 1.240 Ha 1.744 Ha Tidak ada data Tidak ada data 20,63 persen Tidak ada data

Jumlah kab/kota yg ditingkatkan kinerja TPA nya

12. Meningkatnya jumlah sampah terangkut hingga 75 persen pada tahun 2009

Persentase sampah terangkut

Meningkatnya luas saluran drainase yang berfungsi sebagai pematus air hujan tidak ada data

832 Ha

71 Ha

Bagian 4

13. Terbebasnya saluran drainase dari sampah sehingga mampu meningkatkan fungsi saluran drainase sebagai pematus air hujan dan berkurangnya wilayah genangan permanen dan temporer hingga 75 persen pada tahun 2009

Berkurangnya luas wilayah persen genangan permanen dan temporer

tidak ada data

tidak ada data

tidak ada data

Sumber: Direktorat Permukiman dan Perumahan, BAPPENAS

583

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

584
Hasil Pelaksanaan 2005 2006 2007 2008 Pencapaian s.d 2008 Rencana 2009 RPJMN/RENSTRA 2004 - 2009 Selisih Target Renstra 931 29.274 12.834 1.840 2.289 2.060 19.023 10.251 197 370 168 262 997 (66) 122 3.224 40.648 841 2.436 465.335 27.522 763 143 155 124 2.084 2.200 4.592 4.688 144 54.735 851.845 645.250 596.696 384 2.948 1.835 1.109 93 360 375 260 1.088 6.276 2.148.799 13.564 566 4.680 6.404 7.273 8.813 27.170 13.478 (247) (3.840) (1.683.464) 13.958 197 11.039 285 5.664 180 567.569 42.657 64.867 93.840 101.059 302.423 265.146 65.000 32 92 10 19 29 47 27 44 32 44 107 145 (75) (53) 1 1 39.880 26,80 388 471 5.518 3,23 32 50 5.596 3,33 75 134 10.443 2,31 81 82 8.130 2,20 92 94 29.687 11,07 280 360 10.193 15,73 108 111 5.154 4,57 109 147

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.19.10. Pencapaian Sasaran RPJM 2004-2009 Bidang Cipta Karya Januari 2009

Program Utama/Prioritas

Unit

1.

Pembangunan Infrastruktur Permukiman Perdesaan

Pengembangan Kawasan Agropolitan & DPP/KTPSD

Kawasan

Dukungan Infrastruktur Perdesaan

Desa

Peningkatan Kualitas Permukiman Kawasan Kumuh dan Nelayan

Penangulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP-PNPM)

Kelurahan

Penataan dan Perbaikan Lingkungan Permukiman (NUSSP)

Kelurahan

Ha

Jiwa

Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa)

Unit

Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL)

Kawasan

Pengembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman bagi MBR

Dukungan Kawasan Perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja

Unit

Provinsi

Penyediaan Infrastruktur Permukiman 1. Kawasan Terpencil/Pulau Kecil/ Terluar 2. Kawasan Perbatasan

Kawasan

Fasilitasi Pengembangan Infrastruktur Permukiman Kota

PS Air Minum

L/dtk

Penduduk dilayani

Juta jiwa

Pengelolaan Air Limbah

Kab/Kota

Pengelolaan Persampahan

Kab/Kota

Lanjutan Tabel 4.19.10.


Hasil Pelaksanaan 2005 1.240 29 60 63 30 182 1.744 832 71 3.887 2006 2007 2008 Pencapaian s.d 2008 RPJMN/RENSTRA 2004 - 2009 7.282 266 Selisih Target Renstra 3.395 84 Rencana 2009 2.169 45

Program Utama/Prioritas

Unit

Drainase

Ha

Penataan dan Revitalisasi Kawasan Perkotaan

Kawasan

5 5.500 27.000 24.800 124.500 304 176 72 26 64 60 60 26 32.400 1.155.065 6.480 231.013 27.000 8.742 43.710 60 26 5.500

Penangulangan Dampak Konik Sosial dan Bencana Alam 5.500 27.000 246.235 1.231.175 244 150 0 0 (221.435) 60 26 60 26

Penanganan Tsunami di Aceh

Unit

Jiwa

Rehabilitiasi dan Rekonstruksi

Unit

Jiwa

Pembinaan Teknis Bangunan Gedung,Penataan Bangunan dan Lingkungan

Pendampingan

Pedoman

Bagian 4

Sumber: Direktorat Bina Program, Ditjen Cipta Karya, Dep. Pekerjan Umum

585

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tabel 4.19.11. Pencapaian di Bidang Air Minum 2005 2007


Hasil Pelaksanaan Pembangunan Air Minum No. Provinsi Kota + Desa 2005 - 2007 Lt/dt 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN 27 28 29 30 31 32 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumsel Bangka Belitung Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Junlah Nasional 383 1.426 229 250 94 144 130 431 467 577 746 646 1.465 309 1.071 165 519 774 2.369 341 156 960 782 30 228 238 585 527 457 302 576 362 17.731 Jiwa 186.908 299.471 95.061 425.821 44.475 102,52 111.337 765,18 70,91 141.818 162.576 190.587 296.781 138,5 325.173 210.044 111.037 296,42 651.136 214,68 140.107 364.716 372.094 30.357 118.392 65.051 204,69 165.029 464.342 231.682 352.573 284.664 7.634.132 IKK 2005 - 2007 Lt/dt 80 30 320 5 20 65 100 30 45 30 4 46 271 148 304 105 55 50 515 195 65 60 298 75 65 20 195 45 58 133 50 145 3.827 Jiwa 49,05 435 5.848 100 2.705 17 100 7 4,75 2.5 400 2,4 138,4 61,85 21,11 54 7,5 108,3 174,45 77,15 12,4 34.998 33.375 46.077 55,3 5,2 133 2 30 88,4 30.006 10,55 1.236.354 Total 2005 - 2007 Lt/dt 463 1.456 549 255 114 209 230 461 512 607 750 692 1.736 457 1.375 270 574 924 2.884 536 221 1,02 1,08 105 393 258 780 572 515 434 626 507 21.557 Jiwa 235.958 299.906 120.909 425.921 47,18 119,52 111.437 772,18 75,66 144.318 162.976 192.987 435.181 200,35 346.283 264.044 118.537 404,72 825.586 291,83 152.507 399.714 405.469 76.434 173.692 70.251 337,69 167.029 494.342 320.082 382.579 295.214 8.870.486

Sumber: Memori Serah Terima Jabatan Direktur Jenderal Cipta Karya, Januari 2008 (www.pu.go.id/infoStatistik)

586

Bagian 4

Tabel 4.19.12. Pencapaian Pengembangan Permukiman 2005 2007


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah D.I.Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalteng Kalsel Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sultra Sulawesi Barat Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Total Provinsi Pencapaian (Kws.) Dukungan RSH 8 2 8 6 4 3 7 4 9 4 6 22 12 26 9 14 4 8 13 2 9 7 7 6 20 4 4 3 2 5 3 3 244 Urban Renewal 2 1 1 1 1 1 7 KTP2D/ DPP 20 39 28 15 7 18 24 11 13 15 15 18 33 33 44 44 18 23 19 18 18 28 31 51 30 11 23 23 20 15 11 18 20 754 Pulau Kecil 4 3 4 3 4 8 3 5 3 2 3 2 3 3 3 1 9 8 9 4 11 5 3 2 2 8 7 3 125 Perbatasan 3 1 2 8 14 4 20 12 11 1 12 2 91 Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Sumber: Memori Serah Terima Jabatan Direktur Jenderal Cipta Karya, Januari 2008 (www.pu.go.id/infoStatistik)

587

4.19.8. Penutup Umum Bab Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pemerintah memberikan prioritas utama pada pembangunan infrastruktur dalam RPJMN 20042009. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa infrastruktur adalah roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Misalnya, sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Infrastruktur lainnya seperti kelistrikan dan telekomunikasi terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktivitas sektor produksi. Ketersediaan sarana perumahan dan permukiman, antara lain air minum dan sanitasi, secara luas dan merata, serta pengelolaan sumberdaya air yang berkelnjutan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, infrastruktur mempunyai peran yang tak kalah penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Pemberian prioritas pada infrastruktur juga didasarkan pemikiran bahwa kondisi pelayanan dan penyediaan infrastruktur telah mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya dalam beberapa tahun terakhir. Untuk itu, upaya keras dan inovatif guna diperlukan untuk menanggulangi masalah perawatan dan penambahan infrastruktur. Dalam hal ini, pada kurun waktu empat tahun terakhir, telah banyak kemajuan berarti yang terjadi pada pengembangan dan perawatan infrastuktur nasional. Tercatat ada banyak perbaikan dan penampahan sarana infrastruktur. Seperti, misalnya, adalah adanya peningkatan kapasitas energi dan ketenagalistrikan, membaiknya sarana dan prasarana transportasi serta meluasnya tingkat teledensitas masyarakat dalam menggunakan jasa telekomunikasi dan informatika. Akan tetapi disadari pencapaian-pencapaian tersebut masih jauh dari sempurna. Hal ini dise-

Dok: PolaGrade

babkan besarnya tantangan dan minimnya pendanaan yang bisa disediakan Pemerintah. Untuk itu, ke depan, diperlukan upaya lebih keras untuk menyinkronisasikan segala yang dilakukan Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, BUMN dan perusahaan swasta bagi pembangunan infrastruktur. Berkaitan dengan hal ini, pada lima tahun ke depan perlu dipertegas penanganan kegiatan pemeliharaan/rehabilitasi, dan pembangunan infrastruktur. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan PSO menjadi kewajiban Pemerintah, baik Pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaannya akan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan oleh Pemerintah. Untuk ini perlu adanya sinkronisasi penanganan program melalui APBN dan APBD.

588

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Sedang kegiatan-kegiatan yang ditangani oleh BUMN terkait perlu diupayakan optimalisasi penggunaan sumber dana perusahaan. Apabila terkait dengan kegiatan yang menyangkut hajat hidup masyarakat yang harus mendapat perlindungan dari Pemerintah, atau dengan kata lain untuk menghindari penguasaan usaha sepenuhnya oleh swasta, maka pola penyertaan modal negara terhadap BUMN terkait perlu diupayakan seesien mungkin.

Untuk kegiatan yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh usaha swasta perlu diperjelas peraturan perundang-undangan yang terkait, terutama menyangkut garansi dan sistem tarif. Berkaitan dengan keikutsertaan swasta membangun infrastruktur perlu diperjelas kewenangan masingmasing investor swasta dengan BUMN terkait, serta menghindarkan bahwa BUMN memiliki hak monopoli untuk berusaha pada bidangnya.

589

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Dok: PolaGrade

Bagian 4

BAB 4.20.
Penanggulangan dan Pengurangan Risiko Bencana
4.20.1 Pengantar Secara geogras, wilayah Indonesia terletak pada pertemuan 4 jalur lempeng tektonik yang besar dan aktif di dunia, yaitu: lempeng Asia, lempeng Samudera Hindia, lempeng Australia, dan lempeng Pasik. Di samping itu, daratan Indonesia memiliki lebih dari 500 gunung berapi dimana 128 diantaranya masih aktif, yang terkenal sebagai lingkaran api (ring of re). Fakta inilah yang menjadikan wilayah Indonesia rawan terhadap bencana alam (natural disaster) seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, dan ancaman letusan gunung berapi. Selain jenis bencana alam tersebut, Indonesia juga memiliki berbagai potensi ancaman bencana lain, seperti tanah longsor dan kebakaran hutan. Belum lagi bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim global seperti banjir, gelombang pasang, serta kekeringan dan angin puting beliung yang hampir setiap tahun melanda berbagai wilayah tanah air. Bencana-bencana tersebut dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan pula bahwa bencana alam pada gilirannya akan berdampak pada bencana kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dampak yang dibawanya dapat menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penanganan khusus sehingga di masa datang dapat dihindari dampak dan kerugian yang lebih besar. Dalam rangka menyikapi kondisi Indonesia yang rawan bencana tersebut. Pemerintah telah merubah paradigma penanganan bencana dari penanggulangan menjadi pengurangan risiko bencana. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya strategis, antara lain dengan menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2006-2009. Selanjutnya Pemerintah telah mengintegrasikan aspek pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan, yang sudah dilakukan sejak 2007, yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2008, dimana kebijakan pengurangan risiko bencana telah dijadikan salah satu prioritas pembangunan nasional. Pada RKP 2009, pengurangan risiko bencana telah dimuat secara terintegrasi dengan fokus adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global (climate change). Sebagai kerangka hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana, telah dikeluarkan pula Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta tiga Peraturan Pemerintah turunannya, yaitu: (1) PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) PP Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; serta (3) PP Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Selanjutnya untuk mengatur kelembagaan di tingkat pusat dan daerah, telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

591

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Tugas dan tanggung-jawab BNPB adalah melakukan koordinasi penanggulangan bencana di tingkat nasional. Lembaga ini juga bertugas memberikan dukungan peningkatan kapasitas bagi lembaga penanggulangan bencana di tingkat daerah, yang akan dibentuk secara khusus dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), berdasarkan Peraturan Mendagri No 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Selain itu, BNPB juga bertugas untuk meningkatkan kesiapsiagaan seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun daerah dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. 4.20.2. Kondisi Awal dan Sasaran yang Ingin Dicapai Salah satu isu yang mengemuka pada awal pelaksanaan RPJMN pada 2004-2005 adalah masih lemahnya penanganan korban bencana alam dan sosial. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi untuk memprediksi kemungkinan terjadinya bencana alam. Selain itu, masih adanya sikap mental masyarakat yang kurang mendukung upaya minimalisasi dampak bencana. Warga ma-

syarakat kerap bertahan untuk bermukim di sekitar wilayah rawan bencana alam yang menghambat kelancaran penanganan bencana. Selama ini pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup kurang optimal, sehingga berdampak pada terjadinya bencana-bencana seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung, dan sebagainya. Beberapa permasalahan yang timbul akibat pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang kurang optimal tersebut antara lain: 1. Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar di antara negara-negara ASEAN lainnya, namun Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi. 2. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS). Praktik terhadap penebangan liar dan konversi lahan menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. DAS kondisi kritis meningkat dari 39 DAS tahun 1992, menjadi berturut-turut 62 dan 282 DAS tahun 1998 dan tahun 2004. Kondisi kerusakan DAS yang akan mengancam keseimbangan ekosistem secara luas ini

592

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PLN

Bagian 4

juga dipacu oleh pengelolaan yang kurang terkoordinasi antara hulu dan hilir. 3. Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu serta rendahnya kapasitas pengelola hutan. Kasus tebang berlebih (over cutting), pembalakan liar (illegal logging), penyelundupan kayu ke luar negeri serta ditambah dengan terbatasnya sumberdaya manusia, prasarana dan sarana serta pendanaan bagi pengelolaan hutan menyebabkan hilangnya luas hutan sekitar 1,2 juta hektar per tahun (pada kondisi awal RPJM). 4. Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan. Selama ini sistem kewaspadaan dini (early warning system) sebagai upaya kesiapsiagaan guna mengurangi dampak ancaman bencana belum diterapkan. Selain itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga tidak mempertimbangkan kawasan rawan bencana geologi untuk mendukung pemahaman masyarakat terhadap keberadaan kawasan rawan bencana geologi. 5. Isu lingkungan global belum dipahami dan diterapkan dalam pembangunan nasional dan daerah. Kesadaran global akan kondisi lingkungan, sumberdaya alam serta kerentanan mendesak negara-negara di dunia untuk merubah paradigma pembangunannya. Untuk itu telah dihasilkan lebih dari 150 perjanjian internasional dan perjanjian multilateral yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap isu lingkungan global dan pengurangan risiko bencana. Indonesia telah meratikasi sekitar 14 perjanjian internasional di bidang lingkungan. Akan tetapi, sosialisasi, pelaksanaan, dan penataan terhadap perjanjian internasional tersebut masih belum optimal, sehingga pemanfaatan untuk kepentingan nasional belum maksimal. 6. Isu di bidang penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Indonesia juga memberikan komitmen dan konsensus terhadap upaya-upaya pengurangan risiko ben-

cana yang dicanangkan dalam Rencana Aksi Beizing serta dan Kerangka Kerja Aksi Hyogo. Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015 mempunyai tujuan untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana (Hyogo Framework for Action/ HFA). Sehubungan karena kejadian bencana alam gempa bumi dan tsunami di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara terjadi pada akhir tahun 2004, dan bencana gempa bumi di Pulau Jawa terjadi pada 2006, sementara penyusunan buku RPJMN 2004-2009 sudah nal dan bahkan sudah tercetak sebelum kejadian bencana besar tersebut. Oleh karena itu, isu tentang Penanggulangan Bencana memang belum disinggung dan belum ada Bab tentang Penanganan dan Pengurangan Risiko Bencana dalam buku RPJM tahap pertama tersebut. Namun demikian Pemerintah tetap memberikan perhatian atas penanganan korban bencana dan upaya pemulihan wilayah pascabencana, yaitu melalui: a. Peraturan Presiden No.30 tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; b. Keputusan Presiden No. 9 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca bencana Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. c. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) 2006-2009. Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Sumatera Utara sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 30 tahun 2005, sebagaimana tersebut di atas adalah: 1. Terciptanya pemulihan kondisi sumberdaya manusia;

593

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

2. Terealisasinya pembangunan perumahan, prasarana lingkungan, permukiman, air bersih, dan sanitasi; 3. Terwujudnya pembangunan kembali sistem infrastruktur regional dan lokal; 4. Terciptanya pemulihan pelayanan publik; 5. Terwujudnya pemulihan fasilitas ekonomi, lembaga perbankan, dan keuangan; 6. Terwujudnya pembangunan kembali sistem ekonomi; 7. Tercapainya revitalisasi sistem sosial dan budaya; 8. Terselesaikannya penyusunan rencana tata ruang wilayah; 9. Terwujudnya pemulihan hak atas tanah; 10. Terciptanya pembangunan kembali sistem kelembagaan; serta 11. Terciptanya pemulihan hukum dan ketertiban hukum. Sementara sasaran dalam upaya pemulihan wilayah pascabencana gempa bumi 27 Mei 2006 di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah yang diamanatkan dalam Keputusan Presiden No. 9 tahun 2006 adalah: 1. Terwujudnya pemulihan perumahan dan permukiman masyarakat serta pemulihan sarana dan prasarana pendukungnya; 2. Terwujudnya Pemulihan sarana dan prasarana publik, dengan sasaran prioritas untuk pemulihan prasarana pendidikan dan kesehatan, prasarana pelayanan sosial, dan prasarana pendukung perekonomian; serta 3. Terciptanya revitalisasi perekonomian daerah dan masyarakat, dengan sasaran prioritas untuk pemulihan sektor produksi dan jasa yang memiliki potensi lapangan kerja terbesar, pemulihan akses pasar bagi usaha kecil dan menengah, pemulihan pelayanan lembaga keuangan dan perbankan, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk

mengantisipasi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, pemulihan pelayanan keamanan, ketertiban dan peradilan, dan pemulihan ketahanan pangan masyarakat. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan perubahan paradigma Pemerintah dari penanganan bencana menjadi pengurangan risiko bencana, maka melalui strategi nasional pengurangan risiko bencana tersebut Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2006-2009 yang memiliki beberapa sasaran prioritas sebagai berikut: 1. Terwujudnya pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang implementasinya dilaksanakan oleh kelembagaan yang kuat; 2. Terciptanya identikasi, kajian, dan pemantauan risiko bencana serta penerapan sistem peringatan dini; 3. Terwujudnya manfaat pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan; 4. Tercapainya pengurangan akar-akar penyebab risiko bencana; dan 5. Terwujudnya penguatan kesiapan Pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana di masa mendatang. Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, telah digunakan kebijakan yang ditetapkan dalam RPJMN 20042009 yang terkait dengan aspek penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, yaitu sebagai berikut: 1. Mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan bekerja, dan meminimalkan risiko terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 2. Meningkatkan pelayanan dan informasi pertambangan, termasuk informasi kawasan-kawasan yang rentan terhadap bencana geologi;

594

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

3. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulasi, fenomena alam yang bersifat musiman, dan bencana; 4. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan 5. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan serta kewaspadaan dini terhadap bencana. Pemerintah juga mempertimbangkan adanya komitmen global dan konsensus terhadap Deklarasi dan Kerangka Kerja Aksi Hyogo 20052015 (HFA), oleh karena itu lima fokus prioritas dalam pengurangan risiko bencana yang ditetapkan dalam HFA tersebut dijadikan arah kebijakan dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Lima prioritas itu adalah: 1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar yang kuat untuk pelaksanaannya; 2. Mengidentikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; 3. Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun suatu budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat; 4. Mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasari; dan 5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat. Berdasarkan sasaran dan kebijakan yang telah dirumuskan tersebut maka output dan outcome yang diharapkan, sebagaimana yang pernah pula diinstruksikan oleh Presiden Republik Indonesia adalah:

1. Terselamatkannya jiwa para korban, mereka yang terluka akibat bencana, dan baru selanjutnya terselamatkan pula harta benda mereka. 2. Terperbaikannya sarana dan prasarana, listrik dan jalanan, agar bahan logistik bisa didistribusikan untuk penyelamatan korban. 3. Terlaksananya rehabilitasi permukiman masyarakat dan prasarana lingkungannya, air bersih dan sanitasi. 4. Terlaksananya rekonstruksi sarana dan prasarana pendukung kesehatan dan pendidikan serta sarana dan prasarana transportasi lokal dan regional agar pulih kembali pelayanan publik dan fasilitas perekonomian daerah. 5. Terlaksananya revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berbasis mitigasi bencana yang kemudian di-Perda-kan agar masyarakat mengetahui posisi tingkat kerentanan kawasan permukiman mereka terhadap bencana alam. 4.20.3.Pencapaian 2005-2008 4.20.3.1. Posisi Capaian hingga 2008 1. Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di NAD dan Kepulauan Nias Tahun 2008 merupakan tahun keempat pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Hingga 2008 sudah banyak dilaksanakan berbagai sasaran dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang berpedoman pada Rencana Induk rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias berikut perubahannya. Namun demikian, masih diperlukan upaya dan langkah selanjutnya dalam rangka penuntasan kegiatan pemulihan tersebut. Pascaberakhirnya masa tugas BRR NAD-Nias pada April 2009, sisa program dan kegiatan rehabilitasi rekonstruksi sebagaimana tercantum dalam

595

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Penyesuaian Sasaran Perubahan Rencana Induk akan dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah hingga akhir 2009. Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias pada 2008 difokuskan pada peningkatan kualitas infrastruktur, serta penyelesaian perumahan dan permukiman bagi korban bencana. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi korban yang tinggal di barak dan hunian sementara. Selain itu, upaya perbaikan infrastruktur dilakukan sejalan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan penyelesaian masalah penataan ruang wilayah. Pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi dilakukan melalui proses legalisasi peraturan daerah, peningkatan SDM, pemenuhan pelayanan dasar, dan pengarusutamaan gender. Hal tersebut dilakukan dengan memperkuat landasan perekonomian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, memperkuat kapasitas kelembagaan, meningkatkan koordinasi antar-pelaku pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, serta meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan pengembangan wilayah.

Secara umum, gambaran kemajuan penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah NAD dan Kepulauan Nias adalah sebagai berikut: a. Pemulihan Kondisi Sumberdaya Manusia Dalam rangka menjalankan instruksi Presiden agar fokus menyelamatkan jiwa para korban yang terluka akibat bencana, maka pelaksanaan program pemeliharaan dan pemulihan kesehatan capaiannya rata-rata justru telah melebihi yang telah ditetapkan dalam Rencana Induk. Hal tersebut karena jumlah korban bencana memang sangat besar sehingga dibutuhkan banyak rumahsakit dan alat kedokteran, alat kesehatan dan KB sebagai pendukungnya. Selain itu dalam rangka memulihkan kondisi mental para korban yang trauma akibat bencana, maka telah dilaksanakan kegiatan Trauma Conseling yang tersebar di 16 kabupaten di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias. Hingga 2008, telah terealisasi fasilitas kesehatan sebanyak 964 unit di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias yang terdiri dari pembangunan rumahsakit, Klinik, laboratorium kesehatan, dan pembangunan gedung BPOM. b. Pemulihan Bidang Perumahan dan Permukiman Berdasarkan data kerusakan akibat bencana, maka program pemulihan perumahan dan permukiman di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias direncanakan sebanyak 245.996 unit. Pada 2006 pembangunan perumahan yang terealisasi baru 72.842 unit atau 29,61 persen. Pada 2007, jumlahnya meningkat sebesar 102.063 unit atau 41 persen. Selanjutnya, sebagai pendukung lingkungan permukiman, direncanakan pembangunan prasarana/sarana air bersih, drainase dan sanitasi yang berlokasi di 900 desa. Pelaksanaannya pada 2006 baru terealisasi di 214 desa atau 23,77 persen dan mencapai 277 desa atau 30,77 persen pada 2007. Pada 2008 secara keseluruhan jumlah rumah yang dibangun telah mencapai 124.454 unit, dengan demikian diharapkan prasarana/sarana dasar pendukung lingkungan permukiman tersebut juga dapat dipulihkan secara menyeluruh.

596

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PLN

Bagian 4

c. Pemulihan Bidang Infrastruktur Regional dan Lokal Pemulihan bidang infrastruktur meliputi subsektor jalan dan jembatan serta sub-sektor perhubungan. Untuk sub-sektor jalan dan jembatan, realisasi 2006 hanya mencapai 24 persen dari rencana induk rehabilitasi 4.650 km. Sementara itu, realisasi 2007 juga baru mencapai 982 km atau 45 persen dari rencana induk. Selanjutnya pada 2008 telah terbangun 3.055 km jalan dan 266 unit jembatan. Realisasi upaya rekonstruksi sub-sektor perhubungan secara keseluruhan pada 2007 telah terbangun 9 bandara udara, sebagaimana direncanakan dalam rencana induk, hanya pembangunan pelabuhan laut dan pelabuhan penyeberangan yang masih kurang dari jumlah yang ditetapkan dalam rencana induk. Sementara pembangunan terminal bus yang telah ditetapkan sebanyak 29 terminal dalam rencana induk, juga baru terbangun 13 unit terminal. Namun hingga 2008 secara keseluruhan telah terbangun pelabuhan laut sebanyak 20 unit dan bandara udara sebanyak 12 unit, yang melebihi target rencana induk. Hal ini karena kenyataan di lapangan bahwa ternyata kerusakan infrastruktur memang lebih banyak dari pada data awal Penilaian Kerusakan dan Kerugian, sehingga data tersebut kemudian divalidasi dan diamanatkan melalui revisi Perpres yang baru. d. Pemulihan Bidang Pelayanan Publik Dalam upaya pemulihan pelayanan publik di bidang pendidikan, pada tahap rekonstruksi pada 2007 telah terlaksana rekonstruksi gedung sekolah sebanyak 623 unit yang terdiri dari gedung sekolah tingkat SD (477 unit) dan sekolah tingkat SLTP (146 unit). Namun demikian jumlah tersebut belum memenuhi target rencana induk. Selain itu, juga telah terbangun gedung sekolah baru tingkat SD sebanyak 30 unit, yang sudah melebihi target rencana induk. Sementara gedung baru tingkat SLTP baru terbangun sebanyak 76 unit dan masih belum memenuhi target ren-

cana induk. Kemudian pada 2008 secara keseluruhan telah terbangun 1.450 gedung sekolah sesuai dengan kenyataan di lapangan yang melebihi Rencana Induk versi lama. Selain itu, telah terlaksana pula pembangunan sarana pendukung bidang pendidikan, seperti pembangunan rumah guru yang telah terlaksana 100 persen pada 2007. Untuk pembangunan asrama siswa belum memenuhi target Rencana Induk. Selain itu, dalam Rencana Induk versi lama telah ditetapkan pula pembangunan 100 unit perpustakaan dan 100 set laboratorium komputer. Kedua pendukung bidang pendidikan tersebut belum terealisasi hingga 2007. Dengan demikian diharapkan target dalam rencana induk dapat terealisasi seluruhnya pada 2008. e. Pemulihan Bidang Perekonomian Upaya pemulihan bidang perekonomian difokuskan pada tiga sektor utama, yaitu: perikanan, industri, dan perdagangan. Di bidang perikanan, secara umum bisa dikatakan bahwa capaian upaya pemulihan belum maksimal. Realisasi program baru menunjukkan angka di bawah 50 persen dari rencana induk. Meskipun demikian, kemajuan dalam upaya pemulihan ini juga dilakukan pada pos-pos yang tidak termasuk dalam rencana induk. Kegiatan tersebut meliputi bantuan agro input, pengembangan BBIP Simeulue, keramba jaring, dan lain-lain. Sejak 2006, program ini telah merealisasikan gedung tempat pendaratan ikan Pantai Lampulo. Gedung ini seluas 480 m2 dan telah selesai dibangun dan difungsikan oleh para nelayan untuk melakukan kegiatan perekonomiannya. Sementara itu, beberapa kegiatan dalam rangka mendukung sektor industri dapat dikatakan telah mencapai target Rencana Induk sejak 2007. Di bidang perdagangan, masih ada kegiatan rehabilitasi dan pembangunan pasar yang belum mencapai target rencana induk pada 2007. Pada tahun tersebut upaya pemulihan telah menyumbang penyerapan tenaga kerja sebesar 145.694 orang di sektor industri, dan 23.500 tenaga kerja di

597

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

sektor perdagangan. Oleh Karena itu, pada 2008 diharapkan kegiatan-kegiatan yang belum nal tersebut dapat terselesaikan secara keseluruhan agar penyerapan tenaga kerja lebih meningkat. f. Bidang Revitalisasi Sistem Sosial dan Budaya Ketika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di NAD dan Nias, banyak fasilitas sosial-budaya yang mengalami kerusakan, seperti fasilitas peribadatan, gedung bersejarah, taman budaya, museum, dan alat-alat seni masyarakat. Oleh karena itu, dalam upaya pemulihan sistem sosial budaya, pada 2007 telah terlaksana pembangunan fasilitas peribadatan sebanyak 1.722 unit. Selain itu, bantuan alat-alat seni masyarakat telah terealisasi. Untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi gedung bersejarah, taman budaya, dan museum pada 2007 tersebut belum memenuhi target rencana induk. Pada 2008 secara keseluruhan telah terehabilitasi dan terbangun 3.189 unit fasilitas peribadatan yang terdiri dari masjid, menasah, vihara, dan gereja. g. Bidang Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Berbasis Mitigasi Bencana Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat NAD dan Nias dalam menghadapi bencana apabila terjadi bencana gempa dan tsunami di masa depan, maka Pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten harus merevisi dokumen RTRW yang prosesnya didukung informasi peta tematik multi-rawan bencana. Selanjutnya dokumen RTRW tersebut diproses payung hukumnya, yang kemudian disosialisasikan agar masyarakat mengetahui posisi tingkat kerentanan kawasan permukiman mereka terhadap bencana alam. Pada 2006 dan 2007 pelaksanaan revisi RTRW berbasis mitigasi bencana telah dilaksanakan baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten. Namun pelaksanaan payung hukum dan sosialisasinya belum terlaksana di seluruh kabupaten.

Oleh karena itu, pada 2008 diharapkan agar terlaksana legalisasi seluruh dokumen RTRW, sehingga kemudian dapat disosialisasikan kepada masyarakat. h. Pemulihan Bidang Hak atas Tanah Terkait kejadian gempa dan tsunami berdampak pada banyaknya kasus lahan kosong karena dokumen sertikat lahannya hilang. Karena itu, upaya pemulihan hak atas tanah ini merupakan program untuk mendukung upaya pemulihan perumahan dan permukiman bagi masyarakat dengan melalui proses penyiapan lahan dan penyediaan administrasi pertanahan. Setelah selesai tahap tanggap darurat, maka pada 2006 telah dilaksanakan rancangan Perpu tentang penanganan permasalahan hukum bidang pertanahan untuk mendukung legalitas kepemilikan lahan dan rumah baru bagi masyarakat. Hingga 2007 telah dilaksanakan proses pengukuran lahan sebanyak 207.400 persil dan telah diterbitkan sertikat pertanahan sebanyak 116.500. i. Pemulihan Bidang Kelembagaan dan Hukum

Pemulihan bidang kelembagaan dan hukum dilakukan dengan mengadakan pembangunan/rehabilitasi gedung Pemerintahan. Ini diharapkan dapat berimplikasi pada perbaikan pelayanan kebutuhan masyarakat oleh Pemerintah Daerah yang lumpuh ketika terjadi bencana. Fungsi pelayanan publik sangat tergantung pada keberadaan sarana dan prasarana pelayanan yang ada, sehingga pengerjaan perbaikan sarana gedung Pemerintahan menjadi prioritas utama dalam pembangunan sistem kelembagaan daerah. Secara keseluruhan, hingga 2007 pelaksanaan rehabilitasi gedung Pemerintahan belum mencapai target rencana induk. Menurut data BRR pada 2008 secara keseluruhan telah terehabilitasi dan terbangun 979 unit gedung Pemerintah yang terdiri dari: Kantor KDH/DPRD/Dinas, Kantor Kecamatan, Kantor Desa/Kelurahan, Kantor Pengadilan Negeri, dan rumah Dinas Kejaksaan Agung.

598

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

2. Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 9 tahun 2006, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah pasca-gempa bumi 27 Mei 2006, dijadwalkan selama 2 tahun dan dapat diselesaikan pada Juni 2008. Acuan utama dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut adalah Rencana Aksi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah, yang disusun Pemerintah berdasarkan penilaian awal kerusakan dan kerugian serta penilaian kebutuhan. Berdasarkan sasaran pemulihan wilayah pasca gempa di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah maka upaya yang telah dilaksanakan hingga 2008 meliputi pemulihan pada bidang perumahan dan permukiman, pemulihan bidang infrastruktur publik, dan pemulihan bidang perekonomian wilayah dan masyarakat. Secara keseluruhan, gambaran kemajuan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah DIY dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut: a. Pemulihan Bidang Perumahan dan Permukiman Pemulihan bidang perumahan dan permukiman bagi korban bencana bertujuan untuk menyediakan perumahan dan prasarana permukiman yang tahan gempa, lebih sehat, teratur dan lebih estetis. Pelaksanaannya dilakukan dengan sumber pembiayaan utama melalui APBN dengan mekanisme penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat Perumahan (BLM-P) dengan melibatkan kelompok swadaya masyarakat perumahan. Sejak 2007 yang lalu pemulihan perumahan di kedua wilayah ini, baik yang rusak berat, sedang dan ringan telah mencapai lebih dari total kerusakan perumahan, bahkan lebih dari target Rencana Aksi. Hal ini karena menurut data yang di-

validasi berdasarkan fakta di lapangan, ternyata jumlah rumah masyarakat yang rusak serta sarana prasarana pendukungnya memang lebih banyak dari data Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian. Demikian pula pembangunan prasarana permukiman untuk mendukung lingkungan perumahan masyarakat, telah selesai direhabilitasi melalui swadaya masyarakat. Hal ini menunjukkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam mengelola pelaksanaan BLM-P yang signikan, dan terlibatnya partisipasi masyarakat yang memiliki budaya gotong royong, sehingga turut mendorong percepatan pemulihan di bidang perumahan. b. Pemulihan Bidang Sarana & Prasarana Publik Salah satu upaya untuk memulihkan pelayanan prasarana publik pasca-bencana gempa bumi di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah adalah merehabilitasi dan membangun kembali prasarana publik, termasuk meningkatkan kualitas pelayanan dan akses pelayanan bagi masyarakat. Sub-bidang yang dipulihkan terdiri dari sarana dan prasarana kesehatan, pendidikan dan prasarana peribadatan serta prasarana pendukung ekonomi seperti ruas jalan dan jembatan. Bidang Kesehatan. Pelaksanaan rehabilitasi prasarana kesehatan terfokus pada perbaikan puskesmas, puskesmas perawatan, dan puskesmas pembantu, baik dalam kategori rusak ringan, sedang, maupun berat. Dalam Rencana Aksi telah ditetapkan perbaikan puskesmas pembantu sebanyak 252 unit yang terdiri dari 176 unit di DIY dan 76 unit di JawaTengah. Tahun awal pelaksanaannya, yaitu tahun 2006 baru terlaksana total 114 unit di kedua Provinsi tersebut. Setelah data divalidasi, ternyata jumlah kerusakan puskesmas pembantu adalah 370 unit dimana 294 unit di DIY dan 76 unit di Jawa Tengah. Oleh karena itu, kemajuan pelaksanaan pada 2007 telah melebihi target Rencana Aksi, yaitu 304 unit. Pada 2008, semua kerusakan pada fasilitas kesehatan telah terpulihkan kembali.

599

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

Bidang Pendidikan. Hancurnya prasarana pendidikan memang menjadi salah satu isu strategis sektor pendidikan pasca gempa bumi. Kerusakan yang menimpa prasarana pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah atas, serta termasuk pula pendidikan agama. Menurut data awal dari Penilaian Kerusakan dan Kerugian, kerusakan gedung sekolah di wilayah DIY dan Provinsi Jawa Tengah sebesar 1.172 unit yang kemudian ditetapkan dalam Rencana Aksi. Namun setelah data divalidasi, ternyata jumlah kerusakan prasarana pendidikan tersebut adalah 2.486 unit. Oleh karena itu, pelaksanaan rehabilitasi prasarana pendidikan pada 2007 yang mencapai 1.830 telah melebihi target Rencana Aksi. Pada tahun 2008, seluruh kerusakan prasarana pendidikan telah terselesaikan. Prasarana Peribadatan. Dari data kerusakan prasarana peribadatan yang terekam awal di kedua wilayah bencana adalah sebesar 1.620 unit. Setelah data divalidasi, ternyata kenyataan kerusakan prasarana peribadatan tersebut sangat besar, yaitu 2.201 unit di DIY dan 2.367 unit di Provinsi Jawa Tengah. Meskipun pada 2007 baru sejumlah 1.021 unit di kedua wilayah tersebut yang terehabilitasi melalui dana Pemerintah, namun pada 2008 secara keseluruhan telah selesai direhabilitasi melalui dana swadaya masyarakat. Bidang Infrastruktur. Data dari hasil penilaian terhadap kerusakan dan kerugian menunjukkan bahwa kerusakan infrastruktur transportasi darat terjadi di wilayah Kabupaten Klaten berupa jalan sebanyak 13 ruas serta kerusakan jembatan yang mencapai 28 unit. Pada 2007, infrastruktur transportasi darat yang telah terehabilitasi adalah sebanyak 11 ruas jalan dan 12 unit jembatan. Pada tahun 2008, secara keseluruhan infrastruktur yang masih rusak akibat gempa bumi telah tertangani seluruhnya. c. Pemulihan Bidang Ekonomi Daerah dan Masyarakat Peristiwa bencana gempabumi yang melanda DIY dan Jawa Tengah telah memberikan dampak

yang sangat signikan bagi roda perekonomian. Akibat bencana tersebut, banyak kerusakan terjadi pada pabrik, bahan baku, barang jadi, bahan siap eksport dan peralatan usaha. Banyak usaha skala mikro dan menengah yang terkena dampak. Sebagian besar UMKM tersebut bergerak dalam kerajinan tangan dan pengolahan bahan makanan yang memberikan dukungan terhadap sektor pariwisata yang merupakan andalan Provinsi DI Yogyakarta. Tujuan dari pemulihan bidang perekonomian ini adalah untuk menciptakan kembali lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat, dimana upayanya difokuskan pada pemulihan pasar dan koperasi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bahkan dipulihkan pula usaha skala rumah tangga seperti kios, los, dan loket. Selain itu, dilaksanakan pula pemulihan lembaga perbankan. Data capaian yang tercantum dalam tabel tentang KepPres No.9/2006, menunjukkan bahwa pada pelaksanaan tahun 2007 belum semua terpulihkan. Bahkan menurut laporan hasil Pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah DIY dan Jawa Tengah pada bulan Maret 2008, dukungan terhadap pemulihan sarana dan prasarana ekonomi yang meliputi: pasar, pariwisata, koperasi dan UMKM, masih sangat diperlukan karena ada sebagian yang belum tertangani. 3. Pelaksanaan Strategi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana di Indonesia yang telah mengalami pergeseran, yaitu penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat, tetapi menekankan pada keseluruhan manajemen risiko, perlindungan masyarakat dari ancaman bencana. Dan hal tersebut bukan hanya sematamata menjadi tanggung-jawab Pemerintah tetapi menjadi urusan bersama masyarakat. Upaya-upaya penanganan bencana telah banyak dilakukan oleh Pemerintah, diantaranya dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009 (RAN-PRB), yang selanjut-

600

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

nya disikapi oleh Pemerintah Daerah dengan menyusun Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB) Terkait dengan kebijakan pengurangan risiko bencana, sejak 2007, Pemerintah telah memasukkan aspek penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional. Selanjutnya dalam RKP 2008, juga telah ditetapkan program dan fokus kegiatan pengurangan risiko bencana melalui pendayagunaan RTRW sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi risiko bencana dan peningkatan kualitas informasi. Kegiatan yang dilakukan dalam kerangka program ini meliputi: pengembangan data maupun peta wilayah rawan bencana yang memadai bagi analisis pola pemanfaatan ruang, sekaligus menguatkan kelembagaan di tingkat daerah dalam pengendalian pemanfaatan rencana tata ruang wilayah. Capaian pelaksanaan kebijakan pengurangan risiko bencana hingga 2008 secara keseluruhan adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan sistem penanggulangan bencana. Selama 2006-2008 telah dilaksanakan pengembangan jaringan Tsunami Early warning System (TEWS) melalui pemasangan 38 stasiun pengamatan pasang surut di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Bakosurtanal. Selain itu juga telah dikembangkan pengamatan deformasi/gerakan kerak bumi dengan GPS di 20 stasiun pengamatan. Jaringan system peringatan dini tsunami ini (end-to-end early warning system) atau yang disebut dengan Tsunami Early Warning System (InaTEWS) diresmikan oleh Presiden RI pada November 2008. Seluruh wilayah Indonesia dilayani oleh Pusat Informasi Gempa Bumi dan TEWS Nasional yang dibantu oleh 10 Pusat Informasi Gempa Bumi dan TEWS Regional. Upaya-upaya lain yang telah dilakukan terkait dengan mitigasi bencana antara lain: pengembangan sarana dan prasarana teknologi untuk sistem deteksi dini di be-

berapa lokasi; pembuatan peta multi rawan bencana terpadu dengan skala 1:250.000 untuk Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kep. Nusa Tenggara-Bali, dan Maluku; serta pengembangan sistem informasi bencana alam terpadu. 2. Pengembangan data spasial dan non-spasial sebagai dasar informasi dalam pengurangan risiko bencana. Bakosurtanal juga telah mulai melaksanakan pembuatan peta wilayah potensi bencana longsor dan banjir serta peta risiko bencana lain di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Di samping itu, beberapa instansi di tingkat pusat, seperti Departemen PU, Departemen ESDM, dan BMG juga telah mengembangkan berbagai peta bencana (hazard maps) sesuai dengan tingkat kepentingannya masing-masing. 3. Kerjasama dan bantuan, baik melalui hibah maupun pinjaman dari lembaga-lembaga donor internasional dalam membangun kesadaran dan mengarusutamakan pengurangan risiko bencana. Selain itu, dilakukan pula pertukaran informasi sebagai suatu pembelajaran bagi Pemerintah dalam dasar pelaksanaan pengurangan risiko bencana. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan melalui seminar atau lokakarya dengan mengikutsertakan berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, LSM, lembaga donor internasional serta negara-negara lain). 4. Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dan kesadaran dalam pengurangan risiko bencana. Selama periode waktu ini Kementerian Negara Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Departemen ESDM, BMG, Departemen Kominfo, Bakornas PB, LIPI, dan Bakosurtanal telah melaksanakan latihan-latihan evakuasi tsunami pada beberapa daerah dan akan terus dilakukan secara berkala dengan mengikutsertakan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Selain itu, pada beberapa daerah telah dilakukan ke-

601

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

giatan pengembangan kapasitas masyarakat untuk aspek kesiapsiagaan menghadapi bencana lain, seperti menyiapkan rambu-rambu arah evakuasi beserta tempat evakuasi untuk letusan gunung berapi dan lain-lain. Simulasi latihan kesiapsiagaan bencana ini juga dilakukan oleh lembaga non-Pemerintah, baik nasional maupun internasional, yang antara lain difokuskan pada pelajar dan guru di sekolah umum maupun pesantren. Departemen Pendidikan Nasional telah mulai mempersiapkan modul-modul pengembangan pelatihan guru untuk program kesiapan sekolah terhadap bahaya gempa. Demikian juga Departemen Kesehatan yang telah melaksanakan pelatihan ke pihak rumah sakit dan Dinas Kesehatan di tingkat Pemerintah Daerah dalam upaya penangangan bencana untuk rumah sakit. BNPB, yang merupakan lembaga yang baru berdiri di awal tahun 2008, juga telah mencatat beberapa kegiatan yang cukup signikan dalam upaya peningkatan pemahaman masyarakat akan penting nya pengurangan risiko bencana, antara lain melalui pelatihan Rencana Kontigensi di tingkat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota, melaksanakan simulation drill serta pembentukan Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana yang merupakan wadah bagi berbagai kelompok pemangku kepentingan (Pemerintah, LSM, media, perguruan tinggi, dunia usaha dan lembaga donor internasional) sebagai bentuk membangun komitmen dengan dunia internasional untuk aspek pengurangan risiko bencana. 5. Tumbuh dan berkembangnya partisipasi akademisi dan perguruan tinggi dalam membantu Pemerintah guna berkaitan dengan peningkatan ilmu pengetahuan, pengembangan teknologi terapan serta peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana yang tercermin dari didirikannya Pusat Studi Kebencanaan di berbagai perguruan tinggi. Di samping itu juga pada bulan Juni 2008 telah terbentuknya Forum

Perguruan Tinggi Indonesia untuk Penanggulangan Bencana yang akan menjadi mitra Pemerintah dalam mengembangkan riset dan pengetahuan di bidang aspek penanggulangan bencana. 4.20.3.2. Permasalahan dalam Pencapaian Sasaran Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara pada 2008 ini telah berjalan 4 tahun. Namun demikian berbagai permasalahan dan tantangan masih dihadapi, yaitu meliputi: 1. Belum terselesaikannya infrastruktur utama yaitu jalan provinsi, jalan kabupaten, dan infrastruktur lainnya. 2. Belum maksimalnya pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat korban bencana. 3. Belum memadainya kualitas pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan dalam pembangunan. 4. Belum terselesaikannya masalah penataan ruang dan payung hukumnya yang dapat dijadikan dasar kebijakan spasial pelaksanaan pembangunan, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Selain di wilayah Provinsi NAD dan kepulauan Nias, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah juga telah dilakukan selama 3 tahun pada 2008 ini. Namun masih ditemui beberapa permasalahan, yang meliputi: 1. Keterbatasan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bagi pemulihan bidang ekonomi daerah dan masyarakat. 2. Belum tercapainya target PDRB, penyediaan lapangan kerja, dan pengurangan tingkat kemiskinan di wilayah pascabencana. 3. Masih rentannya kondisi ekonomi masyarakat akibat minimnya bantuan permodalan serta kondisi keuangan masyarakat yang se-

602

Bagian 4

bagian besar masih digunakan dalam rangka membiayai kehidupan rutin serta penyelesaian terhadap kredit pada lembaga keuangan dan perbankan. 4. Masih diperlukannya pusat informasi bagi masyarakat sebagai pusat pelayanan terpadu dalam rangka mendukung upaya pengurangan risiko bencana yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Selain itu, penanganan masalah sosial kemasyarakatan terutama penanganan cacat dan traumatik korban pascabencana masih perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, masih diperlukan pembangunan pusat rehabilitasi bagi korban bencana dalam mendukung pemulihan kehidupan sosial ekonomi bagi penyandang cacat dan rehabilitasi kondisi psikologis bagi korban bencana.

(c) Mempersiapkan kerangka regulasi yang berkaitan dengan langkah-langkah pengakhiran tugas dan mandat BRR NAD-Nias sebagai eksekutor dan koordinator kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah NAD dan Kepulauan Nias; (d) Mempersiapkan kapasitas Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam rangka pengelolaan dan pemeliharaan terhadap aset hasil kegiatan rehabilitasi rekonstruksi yang sudah dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat; serta (e) Mempersiapkan mekanisme manajemen risiko bencana ke dalam kerangka kebijakan pembangunan Pemerintah Daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Tata Ruang Wilayah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam rangka pencapaian sasaran pemulihan pasca-bencana gempa bumi serta dalam rangka mendukung upaya pemulihan dan pembangunan berkelanjutan di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah, maka upaya tindak lanjut yang akan dilakukan antara lain adalah: 1. Fasilitasi pelayanan informasi dan peningkatan pemahaman masyarakat dalam melanjutkan pembangunan perumahan dan permukiman pascapelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

4.20.4. Tindak Lanjut 4.20.4.1.Upaya yang akan Dilakukan untuk Mencapai Sasaran Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias terdapat beberapa langkah yang perlu dilaksanakan yaitu: (a) Menuntaskan program dan kegiatan rehabilitasi rekonstruksi yang belum selesai pada 2008 yang akan dilanjutkan pada 2009 sebagaimana yang tercantum dalam Penyesuaian Sasaran Perubahan Rencana Induk dalam Perpres No. 47 Tahun 2008; (b) Mempersiapkan kesinambungan program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca berakhirnya BRR NAD-Nias yang akan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, serta melakukan serah terima aset hasil kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi baik yang dilaksanakan oleh BRR NAD-Nias maupun stakeholders kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah;

2. Peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat yang meliputi pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sarana peribadatan, termasuk peningkatan pelayanan sosial dan trauma psikologis bagi korban bencana. 3. Penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal dan perbaikan infrastruktur perdesaan melalui penyempurnaan dan perluasan cakupan program yang berbasis masyarakat dan sekaligus perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, serta pengembangan insentif dan perlindungan bagi UMKM di wilayah pascabencana;

603

Sedangkan terkait dengan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, maka upaya tindak lanjut yang akan dilakukan sampai dengan akhir 2009 adalah: 1. Mempersiapkan penjabaran dari peraturan pelaksana dan kebijakan yang merupakan turunan dari Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, termasuk mempersiapkan pedoman peran serta lembaga internasional dan lembaga asing non Pemerintah dalam membantu penanggulangan bencana; 2. Membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terutama di tingkat provinsi serta di tingkat kota/kabupaten (sesuai tingkat kepentingannya), sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No 24/2007 serta Peraturan Mendagri No 46/2008; 3. Memberikan penguatan kepada Pemerintah Daerah dalam mengembangkan dan menyusun Rencana Penanggulanan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB); 4. Memberikan penguatan kepada Pemerintah Daerah, terutama di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan serta masyarakat dalam mengembangkan rencana aksi komunitas untuk pengurangan risiko bencana serta integrasinya ke dalam proses musrenbang; 5. Mengembangkan sarana dan prasarana teknologi untuk Sistem Deteksi Dini untuk Tsunami (Tsunami Early Warning System), termasuk seismometer, accelerometer, dan sistem komunikasi di Provinsi Jawa Timur, NTT, Maluku dan Maluku Utara, yang dilakukan oleh BMG dan LAPAN; 6. Mengembangkan MEWS (Meteorologi Early Warning System) termasuk pembangunan pusat peringatan siklon tropis dan radar cuaca di Pulau Sumatera bagian Selatan dan Pulau Jawa bagian Selatan; 7. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dalam sistem deteksi dini dan

Pengurangan Risiko Bencana di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; 8. Terbangunnya sistem deteksi dini bencana alam lainnya secara terpadu di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; 9. Menyelenggarakan pengurangan risiko bencana melalui mitigasi bencana pada kawasan rawan bencana di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; 10. Mengembangkan dan menyusun Peta Multirawan Bencana Alam Terpadu untuk Pulau Jawa bagian Utara, Pulau Sulawesi, Papua dan Kepulauan Maluku; 11. Menyiapkan dan mengembangkan data dasar pengurangan risiko bencana di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; 12. Mengembangkan jaringan informasi antarlembaga Pusat dan Daerah dalam rangka mempercepat informasi kejadian bencana di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; 13 Menyelenggarakan penyebaran informasi kepada masyarakat dan pengembangan jaringan informasi mengenai pengurangan risiko bencana di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; 14. Menyelenggarakan pengembangan pengetahuan pengurangan risiko bencana (termasuk pendidikan baik formal maupun ekstra kurikulum) di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku; serta 15. Melaksanakan penguatan kelembagaan masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat (communitybased Disaster Risk Reduction) di Pulau Jawa bagian Selatan, Pulau Sumatera bagian Barat dan Kepulauan Maluku.

604

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

4.20.5.2. Perkiraan Pencapaian Sasaran RPJMN 2004 2009 1. Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Terkait dengan sasaran penyelesaian dan penuntasan program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada 2009 di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, akan difokuskan pada sasaran kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1. Terselesaikannya rehabilitasi dan pembangunan kembali prasarana dan sarana transportasi wilayah, terutama jaringan jalan nasional, drainase berskala besar di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Meulaboh, dan Lhoukseumawe pelabuhan dan bandar udara, pembangunan jalan provinsi dan kabupaten, serta berbagai infrastruktur lainnya, seperti terminal, jaringan irigasi, tanggul pengendali banjir, pengaman pantai, sarana dan prasarana air minum, sanitasi, air limbah, dan persampahan; 2. Terselesaikannya pemulihan perekonomian lokal, sosial kemasyarakatan, dan penguatan kelembagaan, termasuk sertikasi tanah di 23 kabupaten/kota di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, pelaksanaan program juga difokuskan pada bidang pengelolaan lingkungan dan penyelesaian masalah penataan ruang wilayah. Upaya yang ditempuh diantaranya: (1) melalui legalisasi peraturan daerah; (2) meningkatkan SDM; (3) pemenuhan pelayanan dasar; (4) pengarusutamaan gender; (5) memperkuat landasan perekonomian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; (6) memperkuat kapasitas kelembagaan; (7) peningkatan koordinasi antarpelaku pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi;

(8) meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat; serta (9) pengembangan wilayah. Dengan demikian, pada 2009 kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang masih akan dilanjutkan penyelesaiannya meliputi: (1) penyelesaian infrastruktur jalan dan jembatan serta infrastruktur lainnya; (2) penyelesaian pembangunan perekonomian di tingkat masyarakat; (3) penyelesaian kegiatan pelayanan sosial kemasyarakatan seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan peningkatan peran perempuan dalam pembangunan; serta (4) persiapan langkah-langkah menuju berakhirnya masa tugas dan mandat BRR NADNias pada April 2009. 2. Rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi DIY dan Jateng Sedangkan perkiraan pencapaian pada 2009 bagi pemulihan berkelanjutan di Provinsi DIY dan Jawa Tengah adalah: 1. Terlaksanakannya peningkatan layanan dasar bagi masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan peribadatan secara proporsional; termasuk pembangunan pusat informasi perumahan, permukiman, bangunan dan gedung; serta pembangunan pusat pelayanan sosial dan trauma psikologis bagi korban bencana. 2. Tersusunnya strategi pengembangan ekonomi lokal dan strategi untuk menciptakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, termasuk pengembangan insentif dan perlindungan bagi UMKM di wilayah pasca-bencana, melalui programprogram sebagai berikut: (a) penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal dan perbaikan infrastruktur perdesaan melalui penyempurnaan dan perluasan cakupan program yang berbasis masyarakat; (b) perencanaan, koordinasi, dan penyusunan kebijakan dan Program UMKM; dan (c) fasilitasi peningkatan kemitraan usaha UMKM dan pihak terkait lainnya.

605

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

3. Upaya Pengurangan Risiko Bencana Perkiraan pencapaian pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana adalah meliputi seluruh wilayah di Indonesia dengan indikator pencapaian meliputi: 1. Terselenggaranya penjabaran rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim (RAN-PI) ke dalam rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana (RAD-PRB); 2. Terlaksananya penguatan kelembagaan di Pusat dan Daerah dalam rangka menterpadukan rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; 3. Terselenggaranya penyebarluasan informasi perubahan iklim di tingkat daerah dan masyarakat dalam rangka mitigasi dan pengurangan risiko bencana; 4. Terlaksananya peningkatan kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim ke dalam RPB, RAN dan RAD PRB; 5. Terlaksananya peningkatan kapasitas kelembagaan penyedia data dan informasi cuaca dan iklim dalam memprediksi iklim secara akurat, sehingga tersedia data dasar pengurangan risiko bencana di Pusat dan Daerah; 6. Terbangunnya sistem deteksi dini perubahan iklim di tingkat nasional dan fasilitasi penjabarannya di tingkat daerah; 7. Tersusunnya RAN-PRB di daerah melalui fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RADPRB) di Provinsi dan Kabupaten/Kota; 8. Terbangunnya sistem deteksi dini tsunami (tsunami early warning system/TEWS) dan Meteorogical Early Warning System (MEWS);

9. Tersusunnya Peta Multirawan Bencana Alam Terpadu; 10. Terselenggaranya pengurangan cakupan risiko bencana melalui mitigasi bencana pada kawasan rawan bencana di tingkat nasional dan daerah; 11. Terlaksananya peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dalam sistem deteksi dini dan Pengurangan Risiko Bencana; 12. Tersedianya jaringan informasi antarlembaga Pusat dan Daerah dalam rangka mempercepat informasi kejadian bencana di daerah dan masyarakat dan jaringan sistem informasi pengurangan risiko bencana (SIM PRB) di tingkat daerah; 13. Terlaksananya penguatan kelembagaan masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat (community-based disaster risk reduction); 14. Terbentuknya lembaga penanganan bencana dan SDM yang memahami penanggulangan dan pengurangan risiko bencana di tingkat pusat dan daerah serta menjabarkan RAN-PRB ke dalam RADPRB.

4.20.5. Penutup Sejak beberapa tahun terakhir Indonesia telah mengalami musibah dengan kejadian berbagai jenis bencana alam. Hal ini terutama ditunjukkan sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di wilayah NAD dan Kepulauan Nias pada bulan Desember 2004, bencana gempa bumi di Kabupaten Alor (NTT) dan Kabupaten Nabire (Papua) pada bulan Februari dan November 2004, bencana gempa bumi di wilayah Pulau Jawa bagian tengah pada bulan Mei 2006, dan tambahan bencana semburan lumpur Sidoarjo, serta bencana gempa bumi di Sumatera Barat dan Bengkulu.

606

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 4

Kejadian bencana-bencana tersebut biasanya akan membawa dampak dan konsekuensi pada upaya rekonstruksi dan rehabilitasi pasca-kejadian bencana tersebut. Karena upaya-upaya tersebut membutuhkan biaya yang besar, maka kecenderungan yang terjadi saat ini adalah adanya perubahan cara pandang terhadap upaya penanganannya. Sebelumnya, upaya ini dititikberatkan pada penanggulangan dampak pasca-bencana. Namun, saat ini telah berganti pada upaya pengurangan risiko bencana. Dengan beralihnya fokus penanganan penanganan bencana tersebut, maka di masa datang diharapkan dapat dihindari dampak dan kerugian yang lebih besar. Bencana alam tingkat nasional di Aceh/Nias dan DIY/Jawa Tengah merupakan bencana besar yang memicu perubahan cara penanganan bencana di Indonesia. Akibat kejadian itu, upaya rehabilitasi dan rekonstruksi perlu diupayakan guna mengembalikan fungsi kehidupan bermasyarakat. Ke depan, paradigma penanganan bencana di Indonesia telah mengalami pergeseran, yaitu: penanganan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi menekankan pada keseluruhan manajemen risiko bencana. Selain itu perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh Pemerintah merupakan wujud dari perlindungan hak asasi rakyat. Untuk itu, pe-

nanganan bencana bukan lagi menjadi tanggung jawab Pemerintah saja, tetapi menjadi urusan bersama masyarakat. Dalam konteks pengurangan risiko bencana, perubahan paradigma Pemerintah dari penanggulangan bencana menjadi pengurangan risiko bencana telah diwujudkan dengan tersusunnya Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009 dan terbitnya Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang disusul kemudian dengan terbitnya Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selanjutnya dalam konteks peningkatan perhatian masyarakat terhadap perlunya pengurangan risiko bencana, telah didukung oleh kebijakan Pemerintah melalui pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) pada kawasan rawan dan berisiko tinggi terhadap bencana, serta perencanaan dan pelaksanaan tata ruang wilayah yang konsisten untuk mengurangi tingkat kerawanan dan risiko terjadinya bencana. Selain itu, juga ada kebijakan mempersiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mengurangi tingkat kerawanan dan potensi risiko bencana dan pengaruh iklim global.

607

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

608
Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian Rencana Induk 2006 2007 2008 Capaian Fasilitas kesehatan yang rusak: 6 Rumah Sakit, 6 klinik, Lab. Kesehatan, Balai Pengawas Obat & Makanan 16 unit 5 unit 0 0 24 paket 5 unit 43 paket 5 unit 31 unit 5 unit 1 unit 0 Target dalam Rencana Induk: 1) 9 unit 2) 6 unit 3) 1 unit 4) 3 unit 5) 4 paket 6) 69 unit Target dalam Rencana Induk: 2 Kabupaten 16 Kab. Sebanyak 120.000 rumah rusak, termasuk sarana/ prasarana air bersih & sanitasi lingkungan Target dalam Rencana Induk: di 900 desa Target dalam Rencana Induk: 245.996 unit 72.842 unit (29,61 persen) 102.063 unit (41 persen) 124.454 unit Total fasilitas kesehatan: 954 unit 214 desa (23,77 persen) 277 desa (30,77 persen) Kerusakan jembatan sepanjang 2.450 m, dan jalan sepanjang 5.403 km. Target dalam Rencana Induk: 4.650 km 982 km 24 persen (45 persen) Jalan: 3.055 km Jembatan: 266 unit a) 20 unit Fas. Perhubungan yang rusak: 15 unit pelabuhan laut & 8 pelabuhan penyeberangan, 14 unit bandara, dan beberapa terminal bus. Target dalam Rencana Induk: a) 17 Pelabuhan b) 9 Pelabuhan c) 10 Bandara d) 29 Terminal a) 15 unit b) 8 unit c) 9 unit d) 13 unit a) 10 unit b) 7 unit c) 6 unit d) 8 unit c) 12 unit

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Tabel 4.20.1. Sasaran, Indikator, dan Capaian RPJMN 2004-2009 Bidang Penanggulangan Bencana

Per Pres No. 30 Tahun 2005: Rencana Induk Rehabilitasi & Rekonstruksi Wilayah & Kehidupan Masyarakat Prov. NAD & Kep.Nias Prov. Sumut

Sasaran PerPres

Indikator

1. Terciptanya pemulihan kondisi Sumberdaya Manusia

Bidang Kesehatan 1. Pembangunan Rumah Sakit 2. Pembangunan Klinik 3. Pembang. Lab.Kesehatan 4. Pembangunan BPOM 5. Tersedianya Alat Kedokteran, Kesehatan dan KB 6. Tersedianya Ambulance

Pulihnya kondisi mental SDM melalui kegiatan Trauma Conseling

2. Terealisasinya pembangunan perumahan, permukiman, prasarana lingkungan, air bersih, drainase & sanitasi

Bidang Perumahan & Permukiman 1. Jumlah perumahan yang dibangun 2. Tersedianya prasarana/sarana dasar lingkungan (air bersih, drainase & sanitasi, dll)

3. Terwujudnya kembali sistem infrastruktur regional dan lokal

Bidang Pemulihan Infrastruktur

Yang Telah Tersedia: 1. Terbangunnya fasilitas jalan & Jembatan

2. Terbangunnya fasilitas perhubungan: a) Pelabuhan Laut b) Pelabuhan Penyeberangan c) Bandara d) Terminal Bus

Lanjutan Tabel 4.20.1.


Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian Rencana Induk 2006 Total: 1.450 unit (TK, SD, SMP, SMU dan PT) a) b) 313 unit c) 145 unit d) e) a) 26 unit b) 58 unit 4 unit 0 0 a) 30 unit b) 76 unit a) b) 477 unit c) 146 unit d) e) 2007 2008 Target dalam Rencana Induk: a) 101 unit b) 1.093 c) 387 unit d) 167 unit e) 7 PT Kerusakan gedung sekolah: a) 100 TK b) 735 SD/MI c) 201 SMP/MTs d) 109 SMU/SMK e) 18 PT Capaian

Sasaran PerPres

Indikator

4. Terciptanya pemulihan Pelayanan Publik

Bidang Pendidikan 1. Terlaksananya Rehabilitasi Gedung Sekolah: a) TK b) SD/MI c) SMP/MTs d) SMU/SMK e) PT 2. Pembangunan Sekolah Baru: a) SD b) SMP a) 25 unit b) 84 unit

3. Pembangunan rumah guru 4. Pembangunan Asrama siswa 5. Pembangunan Perpustakaan 6. Pembangunan Lab.Komputer

178 unit 19 unit 100 unit 100 set

100 persen 4 unit 0 0

5. Terwujudnya pembangunan kembali sistem ekonomi a) 36,62 persen b) 100 persen c) 3.381 unit

Sub-Sektor Perikanan: a) Terlaksananya rehab tambak b) Terlaksananya rehabilitasi pelabuhan Perikanan Lampulo c) Bantuan Kapal Motor d) Penyerapan Tenaga Kerja

Target dalam Rencana Induk: a) 36.597 ha b) 1 unit c) 21.455 unit d) 130.000 TK

a) 40,42 persen b) c) 3.520 unit

982 km (45 persen)

a) 1 unit

a) 100 persen

a) 15 unit

b) 6 lokasi c) 4 paket

b) 17 persen

b) 50 persen c) 4 paket d) 145.694 TK

Bagian 4

Sektor Industri: a). Terlaksananya rekonstruksi sarana/prasarana Pelabuhan Malahayati b) Pulihnya kembali industri garam rakyat c) Terlaksananya Pengembangan desa batik Aceh d) Penyerapan Tenaga Kerja Target dalam Rencana Induk: a).102.461 Ha Target dalam Rencana Induk: a) 193 unit b) 170.000 TK

b) 8 unit c) 9 unit d) 13 unit

Sektor Perkebunan: a).Rehabilitas Perkebunan

a) 6.703 Ha

a).10.508 Ha

Sektor Perdagangan: a) Pembangunan/Rehab Pasar b) Penyerapan Tenaga Kerja

a) 62 unit b) 23.486 TK

609

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

610
Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian Rencana Induk 2006 2007 2008 Capaian Target dalam Rencana Induk: a) 1.476 unit b) 10 paket c) 2 paket d) 100 persen a) 1.476 unit b) 10 paket c) 2 paket d) 100 persen a) 1.722 unit b) 10 paket c) 4 paket a) 73 unit b) 23.500 TK a) 3.189 unit Target dalam Rencana Induk: a). 1 Provinsi b). 13 Kab/Kota c). 95 Kota d). 14 Lokasi a). 100 persen b).15 Kab/Kota c). 92 Kota d). 0 400.000 srtikat tanah hilang b). 2 Kab/Kota c). 2 Kota d). 11 lokasi 1) 207 persil Merancang Perpu tentang penanganan permasalahan hukum bidang 2) 116.500 sertikat tanah Merupakan program untuk mendukung upaya pemulihan perumahan dan permukiman Target dalam Rencana Induk: a). 76 unit b). 23 unit c). 450 unit d). 9 unit e). 38 unit Total: 979 unit a) 5 unit b) 14 unit c) 83 unit d) 10 unit e) 20 unit a) 25 unit b) 6 unit c) 33 unit d) 5 unit e) 2 unit

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.20.1.

Sasaran PerPres

Indikator

6. Revitalisasi sistem sosial dan budaya

Terlaksananya: a) Fasilitas peribadatan b) Gedung bersejarah/purbakala c) Lingkungan & fasilitas Taman Budaya & Museum d) Bantuan alat-alat seni

7. Terselesaikannya penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah yang berbasis mitigasi bencana

a).Tersedianya Revisi RTRW Provinsi b).Tersediannya Revisi RTRW Kabupaten/Kota c).Rencana Detail Tata Ruang Kota d). Sosialisasi Kebijakan Penataan Ruang pada masyarakat

9. Terwujudnya pemulihan hak atas tanah

1. Terlaksananyanya penyiapan lahan/Pembebasan Lahan 2. Tersedianya administrasi pertanahan

10. Terciptanya Pemulihan Kelembagaan dan hukum

Terlaksananya rehabilitasi gedung Pemerintahan: a). Kantor KDH/DPRD/Dinas b). Kantor Kecamatan c). Kantor Desa/Kelurahan d).Pengadilan Negeri e).Rumah Dinas (Kejaksaan Agung)

Tabel 4.20.2. Sasaran, Indikator, dan Capaian RPJMN 2004-2009 Bidang Penanggulangan Bencana

Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di DIY dan Jawa Tengah
Capaian Rencana Aksi 2006 2007 Target dalam Rencana Aksi: DIY: 362.363 unit Jateng: 98.570 unit Total: 460.933 unit Target dalam Rencana Aksi: : 294 unit Jateng: 76 unit
_________ _________

Sasaran Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian DIY : 186.591 unit Jateng: 90.529 unit -----------------Total: 277.120 unit DIY: 433.314 unit Jateng: 105..476 unit Total: 538.790 unit

Indikator

2008

1. Pemulihan perumahan & permukiman masy serta pemulihan sarana & prasarana pendukungnya

Bidang Perumahan & Permukiman 1. Jumlah Perumahan yang dibangun 2. Tersedianya prasarana/sarana lingkungan permukiman

Bidang Kesehatan Terlaksananya Rehabilitasi Prasarana kesehatan yang rusak DIY :176 unit Jateng: 76 unit
________ _________

DIY & Jateng: 114 unit

DIY :220 unit Jateng: 84 unit


________ _________

370 unit DIY :1.836 unit Jateng: 650 unit


________ _________ _________ _________

252 unit DIY : 963 unit Jateng: 209 unit 1.172 unit

304 unit DIY :907 unit Jateng: 923 unit


________ _________

2. Pemulihan sarana & prasarana publik, dengan sasaran prioritas utk pemulihan prasarana pendidikan & kesehatan, prasarana pelayanan sosial, dan prasarana pendukung perekonomian 2.486 unit

Bidang Pendidikan Terlaksananya Rehabilitasi Gedung Sekolah (SD & SMP) yang rusak

Bagian 4

1.830 unit

Prasarana Peribadatan Terlaksananya Rehabilitasi prasarana peribadatan yang rusak DIY : 2.201 unit Jateng: 2.367 unit
_________ _________

Target dalam Rencana Aksi: DIY :1.176 unit Jateng: 444 unit
_________ _________

DIY : 220 unit Jateng: 760 unit


________ _________

4.5608 unit

1.620 unit Target dalam Rencana Aksi:

980 unit

Bidang Infrastruktur Terlaksananya rehabilitasi ruas jalan dan jembatan yang rusak

Akibat bencana, Terdapat kerusakan: 13 ruas jalan dan 28 jembatan

49 unit jalan dan jembatan

11 jalan; dan 12 jembatan

611

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

612
Capaian Rencana Aksi 2006 2007 2008 Target dalam Rencana Aksi: DIY : 304 unit Jateng: 398 unit
_______________

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Lanjutan Tabel 4.20.2.


Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian

Sasaran Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Indikator

Prasarana Pemerintahan Terlaksananya rehabilitasi prasarana Pemerintahan yang rusak


________________ _______________

DIY : 330 unit Jateng: 194 unit 524 unit 702 unit 301 unit

DIY : 81 unit Jateng:220 unit

3. Revitalisasi perekonomian daerah & masy, dengan sasaran prioritas utk: DIY: 75 unit Jateng: -Jateng: -DIY: 44 unit Jateng: --

Sektor Perdagangan Terlaksananya rehabilitasi dan pembangunan prasarana perdagangan

Target dalam Rencana Aksi: DIY: 39 unit

a. Pemulihan sektor produksi dan jasa yang memiliki potensi lapangan kerja besar DIY: 4 unit Jateng: 4 unit DIY: 8 unit Jateng: --

Sektor Pariwisata Terlaksananya rehabilitasi prasarana pendukung pariwisata

DIY: 6 unit Jateng: 3 unitt

b. Pemulihan akses pasar bagi usaha kecil & menengah DIY: -Jateng: 12 unit pasar 1.005 unit kios, los, loket Target dalam Rencana Aksi: DIY: 174 unit koperasi Jateng: --

1).Terlaksananya rehabilitasi pasar 2).Terlaksananya rehabilitasi kios, Los, Loket

Target dalam Rencana Aksi: DIY: Jateng: 6 unit pasar 1.005 unit kios, los, loket

DIY: Jateng: 11 unit pasar 178 unit kios, los, loket

c. Pemulihan pelayanan lembaga keuangan & perbankan DIY: 100 unit koperasi 3 lembaga perbankan Jateng: 17 unit koperasi

1). Terlaksananya rehabilitasi koperasi

2). Terlaksananya pemulihan lembaga perbankan

DIY: 25 unit koperasi Jateng: 17 unit koperasi

Bagian 5 Penutup

Dok: COREMAP II

Bagian 5

BAB 5.
Penutup
5.1. Agenda Mewujudkan yang Aman dan Damai Indonesia politik yang cukup kondusif di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, Maluku dan Maluku Utara, serta Poso; (2) Terbitnya SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat. Pada sisi lain, konik-konik politik yang berkaitan dengan pilkada pada umumnya dapat ditanggulangi dengan pendekatan hukum dan politik yang tepat dan adil berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta melalui pendekatan konstitusional yang berhasil dari lembaga Mahkamah Konstitusi (MK). Capaian ini tercermin diantaranya adalah penyelesaian perselisihan dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur tahun 2008 secara hukum melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pemungutan suara ulang di dua kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Pada daerah lain, meskipun terjadi perselisihan yang cukup tajam sejak akhir 2007 mengenai hasil Pilkada Gubernur Maluku Utara antara pihakpihak yang bersaing dalam pilkada, namun kasus ini sudah dapat diselesaikan secara politik dengan mempertimbangkan semua aspek hukum melingkupi persoalan pilkada ini. Untuk Pengembangan Kebudayaan yang Berlandaskan pada Nilai-Nilai Luhur, pada awal RPJMN 2004-2009 permasalahan yang menguak meliputi: (1) Belum optimalnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya; (2) Belum diimbanginya pembangunan ekonomi dengan pembangunan karakter bangsa; (3) Masih rendahnya komitmen Pemerintah dan masyarakat dalam mengelola kekayaan budaya. Selang empat

SASARAN PERTAMA dari agenda ini meliputi upaya untuk meningkatkan rasa aman dan damai, menurunkan ketegangan dan ancaman konik antar kelompok maupun golongan masyarakat, menurunkan kriminalitas secara nyata di perkotaan dan perdesaan, serta menurunkan angka perampokan dan kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas. Untuk mencapai sasaran tersebut, Peningkatan Rasa Saling Percaya dan Harmonisasi Antarkelompok Masyarakat menjadi prioritas. Pada awal RPJMN, kondisi Indonesia diwarnai oleh berbagai persoalan seperti persoalan warisan konik sosial masa lalu, kesenjangan sosial dan ekonomi yang berpotensi memecah-belah masyarakat dalam kelompok-kelompok secara tidak sehat dan berpotensi merenggangkan hubungan antar masyarakat. Setelah empat tahun pelaksanaan RPJMN, harus diakui Indonesia masih mengalami pasang surut yang cukup dinamis dalam kehidupan dan harmonisasi hubungan antarkelompok. Namun demikian, capaian yang telah diperoleh selama empat tahun pelaksanaan RPJMN dapat dikatakan cukup baik dan memadai dalam memenuhi target sasaran. Hal ini tercermin dengan terciptanya keamanan yang stabil dan semakin menurunnya ketegangan dan ancaman konik antarkelompok masyarakat atau antargolongan di daerah-daerah rawan konik. Capaian terpenting dalam menciptakan rasa aman dan damai di daerah konik adalah: (1) Terciptanya stabilitas

615

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

tahun pelaksanaan RPJMN, pelaksanaan pembangunan kebudayaan telah mampu meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa dan memperkuat jati diri bangsa dalam kerangka multikultur. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri sejumlah permasalahan masih menghadang, diantaranya: (1) adanya kecenderungan semakin lunturnya kebanggaan terhadap identitas budaya bangsa di kalangan generasi muda, yang berdampak pada menurunnya modal sosial dan pada akhirnya akan berdampak terhadap menurunnya daya saing bangsa; (2) masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pelestarian nilai budaya dan kearifan lokal; (3) masih rendahnya kualitas pengelolaan kekayaan budaya dan rendahnya kualitas SDM bidang konservasi dan preservasi benda cagar budaya (BCB). Untuk Peningkatan Keamanan, Ketertiban, dan Penanggulangan Kriminalitas, pada awal RPJMN 2004-2009 indeks kriminalitas meningkat pesat yang diikuti pula oleh stagnasi penyelesaian kasus. Peredaran dan penyalahgunaan narkoba saat itu menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Setelah empat tahun berselang, berbagai upaya yang ditempuh dalam menciptakan keamanan dalam negeri telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Meskipun tindak kejahatan konvensional dan kejahatan berimplikasi kontinjensi menunjukkan kecenderungan meningkat, tetapi hal tersebut diikuti pula dengan penyelesaian yang meningkat. Capaian yang ada tercemin dengan: (1) Penanganan ancaman kejahatan transnasional terhadap keamanan dalam negeri; (2) Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba; (3) Penanganan ancaman kejahatan transnasional terhadap keamanan dalam negeri; (4) Penanganan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut; (5) Pengawasan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya kehutanan; (6) Peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian. SASARAN KEDUA dari agenda ini adalah mengokohkan NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sasaran ini juga

sekaligus untuk mengeliminir segala bentuk kegiatan yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan mencegah serta menangkal negara dari ancaman bahaya terorisme yang berpotensi menjatuhkan kedaulatan NKRI. Untuk mencapai sasaran tersebut, Pencegahan dan Penanggulangan Separatisme menjadi prioritas. Pada awal RPJMN, kondisi konik di Indonesia membawa keinginan besar bagi Pemerintah agar: (1) kehidupan masyarakat di NAD dan Papua kembali normal serta tidak adanya kejadian konik baru di daerah tersebut dan daerah-daerah di seluruh wilayah NKRI; (2) perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menurun dan dukungan simpatisan GAM di dalam dan luar negeri melemah; (3) kekuatan OPM menurun dan dukungan simpatisan OPM di dalam dan luar negeri melemah; (4) pemerataan pembangunan di daerah rawan konik membaik kondisi sosial ekonomi masyarakat meningkat; (5) segala bentuk potensi separatisme dapat dicegah; dan (6) pemahaman dan pengamalan multikulturalisme di kalangan pemimpin, masyarakat, dan media dapat tumbuh kembang. Untuk Pencegahan dan Penanggulangan Gerakan Terorisme, kondisi pada awal RPJMN menunjukkan serangkaian aksi terorisme di Indonesia, baik yang bernuansa internasional maupun lokal. Setelah empat tahun pelaksanaan RPJMN, berbagai upaya Pemerintah dan aparat terkait menunjukkan hasil: (1) menurunnya kejadian tindak terorisme di wilayah hukum indonesia; (2) meningkatnya ketahanan masyarakat terhadap aksi terorisme; (3) meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman terorisme secara keseluruhan.

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

616

Pelaksanaan diplomasi politik luar negeri telah memberikan kontribusi positif bagi pencapaian tujuan nasional, yakni Indonesia yang lebih damai, adil, demokratis dan sejahtera

Bagian 5

Untuk Peningkatan Kemampuan Pertahanan Negara, kebijakan pertahanan di awal RPJMN lebih difokuskan pada aspek kekuatan inti pertahanan. Potensi dukungan pertahanan yang merupakan salah satu aspek penting dalam pertahanan semesta belum didayagunakan secara optimal sebagai akibat dari kebijakan dan strategi pertahanan yang bersifat parsial. Setelah empat tahun berselang, capaian penting dari sasaran ini terwujud dengan: (1) diselesaikannya sejumlah dokumen penting untuk meningkatkan kemampuan pertahanan seperti Rencana Strategi Pertahanan 20052009, Strategic Defence Review, naskah akademik Rancangan UU Pertahanan dan Keamanan Negara 1945, serta naskah akademik RUU Komponen Cadangan. SASARAN KETIGA adalah semakin berperannya indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia. Untuk mencapai sasaran tersebut, Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional menjadi prioritas. Pada awal RPJMN, hubungan internasional banyak diwarnai berbagai isu politik, keamanan, dan ekonomi global. Diyakini hal ini akan terus berlanjut dan tidak bisa dihindari. Sampai dengan 2008, pelaksanaan diplomasi politik luar negeri telah memberikan kontribusi positif bagi pencapaian tujuan nasional, yakni Indonesia yang lebih damai, adil, demokratis dan sejahtera. Keberhasilan diplomasi tersebut dapat terlihat dengan berbagai peningkatan kerjasama, baik di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral, serta penciptaan perdamaian dunia.

pengembalian uang hasil korupsi kepada negara, dicegahnya dan ditanggulanginya terorisme serta pembasmian penyalahgunaan obat terlarang. Untuk mencapai sasaran tersebut, Pembenahan Sistem Hukum Nasional dan Politik Hukum menjadi prioritas. Pada awal pelaksanaan RPJMN, yang menjadi permasalahan substansi hukum saat itu adalah: (1) Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Peraturan Perundang-Undangan (Perpu); (2) belum lengkapnya peraturan pelaksanaan dari suatu UU sehingga menimbulkan kesulitan dalam implementasi; (3) Tidak adanya Perjanjian Ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA). Pada struktur hukum, permasalahan yang dihadapi adalah (1) Independensi lembaga pengadilan belum terwujud sehingga berpengaruh terhadap kinerjanya; (2) Akuntabilitas kelembagaan hukum; (3) Sumberdaya manusia di bidang hukum; (4) Sistem peradilan yang tidak transparan dan terbuka. Sedangkan dalam budaya hukum, permasalahannya adalah degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat dan menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum masyarakat. Sampai dengan 2008, pencapaian sasaran pembangunan hukum telah memperlihatkan perkembangan yang lebih baik. Dalam substansi hukum, capaiannya tercermin dengan telah disahkan 669 Perpu yang terdiri dari 127 UU, 327 Peraturan Pemerintah (PP) dan 249 Peraturan Presiden (Perpres). Dalam rangka pembangunan struktur hukum, capaiannya tercermin dengan telah diberlakukannya Mahkamah Agung dan lembaga pengadilan yang di bawahnya sebagai satu atap yang memiliki kewenangan di bidang keuangan, kepegawaian, dan administrasi. Untuk menunjang sistem kinerja MK, telah disusun dan diterapkan peraturan MKRI. Untuk pengawasan terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman telah ditindaklanjuti oleh Komisi Yudisial. Untuk pembangunan budaya hukum, maka ini akan otomatis tercapai bila substansi hukum dan struktur hukum sudah berjalan dengan baik. Terkait dengan upaya pencegahan korupsi telah dilakukan pencatatan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dari tahun ketahun kesa-

5.2.

Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

SASARAN PERTAMA adalah meningkatnya keadilan dan penegakan hukum, terciptanya sistem hukum yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah, ditindaknya pelaku tindak pidana korupsi beserta

617

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

daran untuk mencatatkan harta kekayaannya dari pejabat semakin meningkat. Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi upaya yang sifatnya represif maupun preventif terus dilakukan, secara tidak langsung sudah memberikan pengaruh yang cukup luas kepada masyarakat dan aparatur negara dengan timbulnya iklim takut korupsi. Untuk Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk, permasalahan secara umum yang ditemukan di awal pelaksanaan RPJMN meliputi Perpu dan kaitannya dengan nilai sosial yang hidup di masyarakat dan pelaksanaan Perpu. Adapun capaian pelaksanaan RPJMN hingga tahun keempat meliputi: (1) upaya penghapusan diskriminasi terhadap TKI; (2) upaya penghapusan diskriminasi yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan; (3) pembentukan Komnas Perempuan; (4) diratikasinya implementasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; (5) dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI; (6) memberi perlindungan terhadap saksi dan korban yang tidak diskriminatif; (6) disahkannya UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO); (7) ditandatanganinya Konvensi Internasional Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak dan Martabat Penyandang Cacat serta Konvensi Internasional Perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa; (8) disahkannya UU Partai Politik yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan gender melalui pengaturan penyertaan 30 persen keterwakilan perempuan; (9) UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Untuk Penghormatan, Pemenuhan, dan Penegakan Atas Hukum dan Pengakuan Atas Hak Asasi Manusia, pada awal RPJMN, sejumlah persoalan yang tampak jelas terjadi diantaranya: (1) fungsi institusi-institusi negara yang berwenang dan wajib menegakkan HAM belum optimal, (2) penegakan hukum dan kepastian hukum masih lemah, (3) penegakan hukum masih belum adil dan tegas, dan diskriminatif, (4) masyarakat belum memperoleh informasi mengenai penanganan perkara korupsi; (5) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tindak Pidana
PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Korupsi (Tipikor) menjadi harapan besar masyarakat; dan (6) sering tidak tuntasnya tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Diakhir tahun keempat pelaksanaan RPJMN, capaian penting yang menonjol adalah peningkatan Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang pada 2004 sebesar 1,9 meningkat menjadi 2,6 pada 2008. SASARAN KEDUA adalah terjaminnya keadilan gender bagi peningkatan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan. Hal ini akan tercemin dalam berbagai perundangan, program pembangunan, kebijakan publik, membaiknya angka Gender-related Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM), menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak. Untuk mencapai sasaran tersebut, Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak menjadi prioritas. Hal ini tidak lepas dari kondisi di awal RPJMN yang banyak ditemukan sejumlah persoalan. Diantaranya: (1) masih signikannya kesenjangan gender dalam pembangunan; (2) masih rendahnya kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan politik dibandingkan dengan laki-laki; dan (3) masih adanya permasalahan seputar kesejahteraan dan perlindungan anak. Capaian penting pasca empat tahun pelaksanaan RPJMN, diantaranya: (1) hadirnya kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG); (2) meningkatnya kualitas perempuan di bidang pendidikan yang ditunjukkan dengan meningkatnya APS perempuan; (3) meningkatnya kualitas perempuan di bidang kesehatan yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka harapan hidup perempuan dan menurunnya AKI melahirkan; (4) meningkatnya peran perempuan di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan meski masih rendah dibandingkan dengan laki-laki; (5) keterwakilan perempuan dalam pentas politik mulai meningkat dengan telah ditetapkannya 1 gubernur, 1 wakil gubernur, 7 bupati/walikota,

618

Bagian 5

Dok: Tempo, Arie Basuki

dan 4 wakil bupati/walikota perempuan; (6) angka Gender-related Development Index (GDI) Indonesia 2007-2008 meningkat menjadi 0,721; (7) disahkannya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT); (8) diterbitkannya PP Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT; (9) disahkannya UU PTPPO; (10) tersusunnya naskah RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; (10) tersusunnya bahan masukan untuk revisi UU Ketenagakerjaan dan revisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI di luar megeri, khususnya yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja perempuan; (11) tersusunnya rancangan mekanisme penyelesaian kasus TKI perempuan yang bekerja di luar negeri; (12) tersosialisasikannya berbagai Perpu terkait dengan perempuan dan anak; (13) tersosialisasikannya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW); (14) ditetapkannya Standar Nasional Penanganan Bencana yang Responsif Gender; (15) ditetapkannya UU Pornogra; (16) tersusunnya PP Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Korban dan/atau Saksi Perdagangan Orang; (17) tersusunnya draft Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pelayanan terpadu bagi korban dan saksi tindak pidana perdagangan orang; (18) terbentuknya P2TP2A di 17 provinsi dan 76 kabupaten/kota; (19) tersusunnya draft kebijakan perlindungan perempuan kepala rumah tangga; (20) terlaksananya fasilitasi perlindungan hak reproduksi remaja putri di 12 kabupaten/kota; (21)

dibentuknya pusat krisis terpadu di 3 provinsi dan 5 kabupaten; (22) meningkatnya perhatian terhadap pengembangan anak usia dini; (23) meningkatnya APS anak usia 7-18 tahun; dan (24) menurunnya angka kematian bayi (AKB). Untuk perlindungan bagi anak yang telah diatur dengan UU sejak 2002 ternyata belum terdapat perkembangan yang menggembirakan. Hal ini tercermin dengan masih tingginya jumlah pekerja anak, banyaknya anak yang belum memiliki identitas, anak yang bermasalah dengan hukum, korban kekerasan, dan lain sebagainya. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya pelayanan kepada masyarakat dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan kepemerintahan daerah yang baik, menjamin konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. Untuk mencapai sasaran tersebut, Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah menjadi prioritas. Pada awal RPJMN, sejumlah kendala dan permasalahan mewarnai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Saat itu, UU yang mengatur desentralisasi dan otonomi daerah baru saja ditetapkan dan diberlakukan. Kendala dan permasalahan yang dominan saat itu meliputi: (1) pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang belum jelas; (2) proses desentralisasi dan otonomi daerah yang belum optimal; (3) kerjasama antar-Pemerintah Daerah yang masih rendah; (4) kelembagaan Pemerintah Daerah yang
Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

619

620

belum efektif dan esien; (5) kapasitas aparatur Pemerintah Daerah yang masih rendah dan terbatas; (6) kapasitas keuangan daerah yang masih terbatas; (7) pembentukan daerah otonom baru masih belum sesuai dengan tujuan. Setelah empat tahun pelaksanaan RPJMN, capaian penting ditunjukkan dengan: (1) Diterbitkannya kepastian dasar hukum pembentukan Provinsi Papua Barat melaui PP Pengganti UU No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; (2) Terkait status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah diajukan RUU yang mengatur keistimewaan DIY di bidang pertanahan, penataan ruang, kebudayaan, dan keuangan; (3) Dalam program peningkatan kapasitas kelembagaan Pemda telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; PP No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyusunan Laporan Penyelenggaraaan Pemerintahan Daerah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat; telah diselesaikannya rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka Mendukung Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah; tersusunnya Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah tahun 2007 dan 2008; diterbitkan PP No. 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; diterbitkan PP No. 7 tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; diterbitkan PP No 8 tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah; serta (9) Telah diterbitkan PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Dengan diterbitkannya peraturan-peraturan tersebut diharapakan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah akan berjalan lebih baik lagi di waktu yang akan datang; (4) Terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah

(pilkada) langsung, hasil yang telah dicapai adalah dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebanyak 484 daerah; (5) Terkait program Peningkatan Kerjasama Antar-Pemerintah Daerah sampai saat ini telah terfasilitasi kerjasama antardaerah; (6) Telah disusun dan diterbitkannya PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah yang diharapkan menjadi dasar hukum yang lebih memantapkan hubungan dan keterikatan antardaerah dalam kerangka NKRI; (7) telah terbentuk sebanyak 45 daerah otonom baru sepanjang 2005-2008; (8) Hasil pencapaian lain yang cukup berarti untuk mengendalikan pembentukan DOB adalah telah diterbitkan PP No. 78 Tahun 2007 sebagai revisi PP No. 129 Tahun 2000 tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; (9) Tersusunnya Sistem Informasi Manajemen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD); (10) Tersedianya Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) dan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD). Selain itu semua, keuangan Pemerintah Daerah juga cenderung meningkat seiring dengan adanya peningkatan dana perimbangan tiap tahunnya. Jumlah dana perimbangan (DAU, DAK, DBH) pada 2004 hanya Rp 120.245.434,20 juta sedangkan pada 2008 sebesar Rp 263.370.667,68 juta. SASARAN KEEMPAT adalah meningkatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat. Hal ini akan dicerminkan dengan berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi yang dimulai dari tataran (jajaran) pejabat yang paling atas, terciptanya sistem Pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, esien dan berwibawa; Selain itu, hal ini juga akan dicerminkan dengan terhapusnya aturan, peraturan, dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Untuk mencapai sasaran tersebut, Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa menjadi prioritas. Di masa awal penyusunan

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 5

RPJMN 2004-2009, Indonesia berada dalam kelompok negara yang terendah dalam peta kemajuan pembangunan bangsa-bangsa. Penyelenggaraan good governance pada sektor publik maupun bisnis belum terlaksana. Kualitas ini berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat yang ditandai dengan tingginya penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan. Selain itu rendahnya kinerja sumberdaya manusia aparatur serta belum memadainya sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) Pemerintahan merupakan indikator buruknya pengelolaan good governance. Hal itu lebih diperburuk dengan rendahnya kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS), serta masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan pembangunan. Lebih lanjut, sistem pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan juga belum berjalan dengan baik yang dicerminkan dengan tingginya tindak korupsi di lingkungan aparatur negara. Selama 4 tahun pelaksanaan RPJMN capaian penting yang dihasilkan diantaranya: (1) Berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi; (2) Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan Pemerintah yang bersih, esien, efektif, transparan, profesional, dan akuntabel; (3) Terhapusnya peraturan dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat; (4) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; serta (5) Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan di atasnya. Terkait upaya pemberantasan korupsi, selama empat tahun pelaksanaan RPJMN 2004-2009, upaya penanganan telah memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan. Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia meningkat dari 1,9 pada 2004 menjadi 2,6 pada 2008. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari kerja keras Pemerintah melalui penanganan baik yang sifatnya preventif maupun represif.

SASARAN KELIMA adalah terlaksananya Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 secara demokratis, jujur, dan adil dengan menjaga momentum konsolidasi demokrasi yang sudah terbentuk berdasarkan hasil pemilihan umum secara langsung tahun 2004. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas Perwujudan Lembaga Demokrasi yang Makin Kokoh menjadi prioritas. Pada awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009, Indonesia masih diwarnai dengan beberapa permasalahan, antara lain: (1) Belum optimalnya implementasi peran dan fungsi lembagalembaga politik; (2) Pola hubungan negara dan masyarakat yang belum sesuai dengan kebutuhan demokratisasi; (3) Belum optimalnya hubungan kelembagaan pusat dan daerah; (4) Masih adanya persoalan-persoalan masa lalu yang belum tuntas, seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik; serta (5) Media massa belum menjalankan fungsinya secara otonom dan independen. Selama 4 tahun pelaksanaan RPJMN capaian penting yang diraih adalah: (1) telah disahkan beberapa UU terkait dengan pelaksanaan Pemilu, yaitu UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu sebagai pedoman penting penyelenggaraan Pemilu 2009; (2) Peningkatan kapasitas dan kesiapan partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan politik masyarakat demi memperbaiki kualitas dan kuantitas partisipasi aktif; (3) Telah dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung seperti pemberian bantuan kepada 130 ormas pada 2007-2008, penyusunan draft RUU Ke-ormasan; (4) Pemerintah juga memfasilitasi Penyusunan Kerangka Kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Daerah; penyempurnaan produk hukum pelaksanaan pemilu, pilpres dan pilkada; menyosialisasi Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah dan Permendagri No. 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah; serta (5) Diterbitkan sejumlah PP bidang penyiaran

621

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

khususnya perizinan dalam rangka mewujudkan efektivitas pelaksanaan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

5.3.

Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat

SASARAN PERTAMA adalah adalah menurunnya jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga. Kemiskinan dan pengangguran diatasi dengan strategi pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang berkualitas dan berdimensi pemerataan melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat. Untuk mencapai sasaran tersebut, Penanggulangan Kemiskinan menempati prioritas utama. Penetapan prioritas ini tidak lepas dari gambaran kondisi masyarakat Indonesia pada awal RPJMN yang: (1) jumlah penduduk miskinnya relatif besar, mencapai 36,1 juta jiwa atau 16,7 persen dari total penduduk saat itu; (2) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan yang berdampak pada mun-

culnya sejumlah kejadian gizi-buruk di beberapa wilayah Indonesia; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan yang terkait erat dengan masalah keterbatasan pangan dengan munculnya kasus kematian yang diakibatkan oleh gizi-buruk; (4) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan baik formal maupun non-formal; (5) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha ditunjukkan dengan tingginya jumlah pengangguran terbuka yang mencapai 10,9 juta orang atau 10,3 persen dari angkatan kerja; (6) terbatasnya akses layanan perumahan (yang sehat dan layak huni) dan sanitasi (mutu lingkungan permukiman), serta lemahnya status hukum kepemilikan rumah karena ketidakmampuan membayar uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR), bahkan untuk kategori Rumah Sangat Sederhana (RSS); (7) terbatasnya akses terhadap air bersih karena terbatasnya penguasaan sumber air, ketidakterjangkauan terhadap jaringan distribusi, menurunnya mutu sumber air (akibat pencemaran, limbah industri, penggundulan hutan, dan pendangkalan) serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah khususnya oleh petani; (9) memburuknya kondisi SDA dan LH serta terbatasnya akses terhadap SDA; (10) lemahnya jaminan rasa aman karena adanya

622

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Dok: PolaGrade

Bagian 5

konik sosial, ancaman terorisme, dan ancaman nonkekerasan (seperti perdagangan perempuan dan anak, krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obatan terlarang); (11) lemahnya partisipasi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Selama empat tahun pelaksanaan RPJMN, berbagai upaya telah dilakukan secara sinergis, konsisten, dan sinkron antara pusat dan daerah. Capaian penting yang diperoleh ditunjukkan dengan: (1) menurunnya jumlah kemiskinan; (2) dipenuhinya kecukupan dan mutu pangan; (3) dipenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu; (4) pemenuhan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata; (5) menurunnya angka pengangguran serta semakin terbukanya kesempatan kerja dan berusaha; (6) pemenuhan kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat; (7) pemenuhan kebutuhan air bersih dan aman bagi masyarakat miskin; (8) perluasan akses tanah; (9) perluasan akses pemanfaatan SDA dan terjaganya kualitas LH; (10) terjaminnya rasa aman; (11) meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Untuk Peningkatan Investasi dan Ekspor Nonmigas, kondisi Indonesia di awal RPJMN ditandai dengan dominasi PMA dibanding PMDN, baik dalam hal jumlah proyek maupun nilai investasinya. Untuk kegiatan ekspor, pertumbuhan ekspor pertambangan mengalahkan pertumbuhan ekspor pertanian dan manufaktur (14,2 persen). Untuk kegiatan impor, pertumbuhannya melambat akibat melambatnya impor barang modal. Di bidang pariwisata, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara meningkat pesat dan devisa yang dihasilkan memberi kontribusi terbesar kedua setelah ekspor migas. Pada tahun keempat RPJMN, iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi mulai terwujud dengan hadirnya Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi serta Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dengan 4 kelompok kebijakan, yaitu: investasi, lembaga keuangan, UMKM, dan infrastruktur. Sebagai lanjutan dari

kedua paket kebijakan tersebut, kemudian diterbitkan Inpres tentang Fokus Program Ekonomi untuk memperbaiki kepastian hukum bagi investor, memperbaiki iklim berusaha, dan memberikan insentif investasi. Untuk menunjang iklim investasi, telah diterbitkan pula UU Penanaman Modal, Perpres tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, PP Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, PP tentang Organisasi Perangkat Daerah, Keppres tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun, dan sebagainya. Di bidang perdagangan luar negeri, langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya peningkatan ekspor nonmigas, antara lain: menyederhanakan prosedur impor dengan menerapkan sistem angka pengenal importir (API) on-line, menerbitkan Otomasi Surat Keterangan Asal (SKA), menetapkan Permendag yang memberikan pembebasan impor barang modal bukan baru, dan mewujudkan National Single Window (NSW) dalam rangka mewujudkan kesepakatan pembentukan Asean Single Window (ASW). Dalam upaya memangkas prosedur perizinan memulai usaha dan operasi bisnis, telah dicapai: Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) untuk berbagai jenis perizinan dan beroperasinya Unit Pelayanan Investasi Terpadu (UPIT) di Batam. Untuk mencapai sasaran meningkatnya investasi secara bertahap, capaian penting ditunjukkan dengan meningkatnya nilai realisasi investasi (Izin Usaha Tetap). Meski dihadapkan dengan tekanan eksternal yang cukup berat yaitu kenaikan harga minyak dunia yang sangat tinggi dan berlanjut dengan resesi dunia yang didorong krisis keuangan di AS, realisasi PMA mampu tumbuh jauh lebih tinggi dibanding periode-periode sebelumnya. Untuk mencapai sasaran meningkatkan pertumbuhan ekspor secara bertahap, patut disyukuri bahwa realisasi pertumbuhan ekspor nonmigas selama empat tahun RPJMN selalu berada diatas sasaran yang ditetapkan dalam RPJMN dan RKP. Untuk capaian sasaran mening-

623

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

katkan esiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha, perkembangan harga bahan kebutuhan pokok secara umum relatif stabil. Keadaan ini dapat dilihat dari andil inasi bahan pangan yang cenderung turun setiap tahun. Beberapa kegiatan pembangunan sarana distribusi perdagangan juga telah dilakukan. Terkait pengamanan pasar dalam negeri dan perlindungan konsumen, capaian penting yang telah diraih antara lain: meningkatnya pemahaman masyarakat dan aparat terkait terhadap peraturan perlindungan konsumen, telah dibentuknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), tersedianya tenaga Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNSPK). Terkait pengawasan terhadap mutu barang, sudah diberlakukan SNI wajib. Untuk pengawasan perdagangan berjangka komoditas, telah diselenggarakan pasar lelang yang bertujuan untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi di bidang perdagangan produk pertanian. Yang tidak kalah penting dari seluruh capaian adalah pemberlakuan Sistem Resi Gudang (SRG) untuk mengatasi masalah akses pembiayaan petani. Di bidang persaingan usaha, beberapa capaian yang telah diperoleh adalah semakin meningkatnya laporan yang diterima dan ditindaklanjuti KPPU, jumlah putusan KPPU, jumlah monitoring pelaku usaha, jumlah kajian sektoral, evaluasi kebijakan persaingan, dan banyak lagi. Untuk meningkatkan kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa, meski industri ini dihadapkan dengan sejumlah isu negatif dan sempat mengalami penurunan penerimaan devisa, namun pada tahun keempat RPJMN sudah mulai menunjukkan pemulihan. Pada awal RPJMN, kondisi daya saing industri manufaktur di Indonesia rendah. Hal ini ditandai dengan laporan World Economic Forum yang menyebut daya saing Indonesia saat itu berada dalam posisi ke-69 dari 104 negara. International Institute for Management Development dalam laporannya berjudul World Competitiveness Report

2004 juga menempatkan daya saing Indonesia di posisi 58 dari 60 negara dalam. Atas dasar itulah, Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur menjadi prioritas. Pada tahun keempat RPJMN, sampai dengan 2008, pertumbuhan ekonomi mencapai sebesar 6,1 persen. Untuk pertumbuhan ekspor non migas periode Januari-November 2008 mengalami peningkatan 20,2 persen (yo-y) dengan pertumbuhan total ekspor 24,2 persen. Tidak bisa dipungkiri, krisis ekonomi global memberi dampak yang sangat besar terhadap permintaan produk-produk ekspor Indonesia. Terkait dengan Revitalisasi Pertanian, hal ini menjadi prioritas RPJMN mengingat petani/nelayan Indonesia masih menghadapi permasalahan klasik terkait produktivitas, peningkatan mutu, dan terbatasnya akses kepada sumberdaya produktif, termasuk permodalan dan layanan usaha. Sejumlah capaian selama empat tahun RPJMN ditunjukkan dengan: (1) pertumbuhan PDB pertanian yang cenderung meningkat, walaupun pada 2005 sempat turun sedikit dari awal RPJMN 20042009; (2) meningkatnya kesejahteraan petani yang diindikasikan kenaikan indeks NTP, IDBP dan IIBP; (3) neraca ekspor impor komoditas perkebunan dan perikanan yang meningkat pesat; (4) terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik untuk pengamanan kemandirian pangan; (4) mulai dicanangkannya gerakan diversikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras; (5) meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri; (6) meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari ternak dan ikan; (7) meningkatnya nilai tambah (harga pasar) industri rumah tangga atas produk pertanian; (8) meningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan; (9) meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari dan bertanggungjawab; (10) optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu, utamanya pulp dan wood charcoal; (11) meningkatnya luas hutan tanaman industri meski

624

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 5

belum memenuhi sasaran untuk menambah tanaman minimal. Namun demikian, harus diakui pada tahun keempat RPJMN ini tidak semua sasaran terpenuhi dan memperoleh capaian positif. Kondisi yang masih belum menggembirakan ditunjukkan dengan: (1) masih belum memadainya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi yang diindikasikan dengan perkembangan neraca ekspor impor produk pertanian untuk komoditas tanaman pangan dan hortikultura yang negatif; (2) kondisi peternakan yang sempat positif pada 2006 tapi menjadi negatif pada 2007; (3) peningkatan volume ekpor yang uktuatif, utamanya untuk veneer sheet; (4) persoalan sektor kehutanan yang masih belum mampu mengoptimalkan nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu, selain juga terus menurunnya produksi hasil hutan kayu; (5) menurunnya produksi hasil hutan non-kayu, utamanya untuk produksi Rotan, Gondorukem, Pohon Damar, pohon Arang, Pohon, Madu, Benang Sutra, dan stagnan seperti Gaharu Malaccenals dan Gaharu Fillaria dan uktuatif seperti Terpentin, Kopal, Minyak Kayu putih dan tidak satupun yang menunjukkan perkembangan meningkat. Mengingat perannya yang strategis, Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UMKM) juga menjadi prioritas RPJMN dalam Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Harus diakui, selama melaksanakan peran dan merealisasikan potensinya, koperasi dan UMKM masih menghadapi permasalahan klasik seperti kurang kondusifnya iklim usaha yang tercermin dari: (1) aspek legalitas badan usaha dan ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi; (2) praktik bisnis dan persaingan usaha yang tidak sehat; (3) ketidakpastian lokasi usaha; dan (4) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Selain itu, (5) rendahnya produktivitas, (6) rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), (7) rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM, (8) keterbatasan akses ke modal, (9) rendahnya penguasaan teknologi, manajemen, informasi dan pasar oleh koperasi dan UMKM, menjadi persoalan yang lazim ditemui. Khusus mengenai koperasi, masalah pokok yang masih dihadapi adalah rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, tertinggalnya kinerja koperasi, dan kurang baiknya citra koperasi. Pada tahun keempat pelaksanaan RPJMN, capaian penting ditunjukkan dengan telah disusunnya sejumlah RUU dan telah ditetapkannya sejumlah

Dok: DEPBUDPAR

625

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

UU untuk membangun landasan legalitas usaha yang kuat bagi UMKM serta menyederhanakan birokrasi dan perizinan. Untuk Peningkatan Pengelolaan BUMN, sasaran yang hendak dicapai dalam RPJMN adalah meningkatnya kinerja dan daya saing BUMN dalam rangka memperbaiki pelayanannya kepada masyarakat dan memberikan sumbangan terhadap keuangan negara. Pembinaan terhadap BUMN dilakukan melalui tiga kegiatan utama yakni restrukturisasi, privatisasi, dan protisasi. Tantangan ke depan yang masih akan dihadapi pada tahun 2009 adalah melanjutkan secara bertahap terciptanya kebijakan reformasi BUMN yang menyelaraskan secara optimal antara kebijakan internal perusahaan dan kebijakan sektoral dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi, memisahkan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat pada BUMN, serta mengoptimalkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) secara utuh. Pada awal RPJMN, indeks pencapaian teknologi Indonesia berada pada peringkat 69. Atas dasar itu pula, Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) menjadi salah satu prioritas RPJMN. Melalui berbagai program peningkatan kemampuan iptek, secara umum hasil yang diperoleh cukup menggembirakan. Program penelitian dan pengembangan iptek sampai tahun 2008 telah meningkatkan fokus dan mutu kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan dasar, terapan, dan teknologi sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan pasar dan pengguna. Program difusi dan pemanfaatan iptek juga telah mampu mengefektifkan pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan rekayasa iptek oleh masyarakat, dunia usaha dan industri. Program penguatan kelembagaan iptek telah meningkatkan upaya penguatan kapasitas dan kompetensi kelembagaan iptek. Program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi juga telah meningkatkan kontribusi iptek dalam pengembangan sistem inovasi nasional. Untuk Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan, pada

awal pelaksanaan RPJMN, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) saat itu mengalami penurunan, baik di perkotaan maupun di perdesaan. TPAK laki-laki dan perempuan juga menurun. Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka dan tingginya persentase pekerja yang bekerja di lapangan kerja informal menjadi masalah utama yang dihadapi Pemerintah saat itu. Akan tetapi secara pasti tingkat pengangguran berhasil diturunkan menjadi 8,39 persen pada pertengahan 2008. Sementara dalam hal Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro sasaran yang ingin dicapai adalah terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas. Secara umum, kondisi ekonomi makro pada tahun awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 rentan terhadap berbagai gejolak yang ditandai oleh tingginya rasio stok utang Pemerintah terhadap PDB (56,6 persen pada 2004). Sementara, penerimaan pajak masih jauh lebih rendah dibanding dengan potensi penerimaan yang ada. Selain itu, kondisi ekonomi makro Indonesia diwarnai oleh: (1) laju inasi dan tingkat suku bunga masih relatif tinggi; (2) tingginya harga minyak mentah duniasehingga memaksa Pemerintah menaikkan harga BBM dua kali dalam setahun, yakni di bulan Maret dan Oktober 2005; (3) Fungsi intermediasi keuangan terkendala oleh belum pulihnya sektor riil; (4) Penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih terkendala; serta (5) Potensi mismatch antara pendanaan jangka panjang dengan sumber pendanaan yang masih bersifat jangka pendek; (6) Perbankan berbasis syariah dan lembaga keuangan non-bank yang diharapkan menjadi alternatif pembiayaan masyarakat perannya relatif kecil. Selama 4 tahun pelaksanaan RPJMN program pemantapan stabilitas ekonomi hasil yang dicapai antar lain: (1) Dalam empat tahun terakhir, perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata di atas 6 persen per tahun. Pertumbuhan pada 2008 tercatat 6,3 persen;

626

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 5

(2) Meningkatnya pendapatan negara dan hibah; (3) Penerimaan perpajakan 2008 diperkirakan dapat dicapai sebesar Rp 641.008,7 miliar. SASARAN KEDUA adalah berkurangnya kesenjangan antar-wilayah yang tercermin dari meningkatnya peran perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan; meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya masyarakat di perdesaan; meningkatnya pembangunan pada daerah-daerah terbelakang dan tertinggal; meningkatnya pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing pengembangan wilayah yang didorong oleh daya saing kawasan dan produkproduk unggulan daerah; serta meningkatnya keseimbangan pertumbuhan pembangunan antarkota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan memperhatikan keserasian pemanfaatan ruang dan penatagunaan tanah. Untuk mencapai sasaran tersebut, Pembangunan Perdesaan tentu menjadi keniscayaan karena sekitar 60 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di kawasan perdesaan. Pada awal RPJMN, jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 20,1 persen dari total penduduk miskin di Indonesia saat itu yang sebesar 36,1 juta jiwa. Dengan penduduk dan angkatan kerja perdesaan yang terus bertambah, di lain pihak ketersediaan luas lahan pertanian relatif tidak berubah bahkan menurun secara signikan, maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tidak produktif. Kondisi perdesaan pada tahun-tahun awal pelaksanaan RPJMN ditandai dengan: (1) terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas; (2) lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial; (3) timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antardaerah; (4) tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan; (5) rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan; (6) rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan; (7) rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketerampilan

rendah (low skilled); (8) meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain; (9) meningkatnya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (10) lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat; (11) lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Setelah empat tahun RPJMN, capaian penting dalam pembangunan perdesaan diperoleh melalui sejumlah program, yaitu: (1) Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Perdesaan; (2) Program Pengembangan Ekonomi Lokal; (3) Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan, utamanya dalam hal Ketenagalistrikan, Pos dan Telekomunikasi, Infrastruktur, Irigasi, dan Pertanahan; serta (4) Program Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia di Perdesaan. Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Wilayah, menjadi prioritas mengingat masih banyaknya kendala yang dihadapi pada awal RPJMN. Kendala tersebut terutama terkait dengan pengembangan kawasan berbasis potensi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, terkonsentrasinya pembangunan dihadapkan pada keterbatasan infrastruktur, SDM, kelembagaan, akses terhadap input/sarana prasarana produksi, akses pasar, akses modal, serta akses teknologi dan informasi menyulitkan upaya pemerataan, serta konsentrasi pembangunan yang menimbulkan kesulitan dalam upaya pemerataan pembangunan. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial dan ekonomi masih sangat terbatas. Hal ini lebih lanjut menyebabkan keterisolasian dari wilayah di sekitarnya. Setelah empat tahun RPJMN, capaian penting ditunjukkan dengan: (1) tersusunnya panduan kebijakan, pedoman, mekanisme perencanaan, serta indikator evaluasi pembangunan terpadu pengembangan kawasan; (2) terlaksanakannya fasilitasi Pemerintah Daerah dalam penyusunan konsep dan rencana pengembangan kawasan serta pembentukan sistem kelembagaan bagi pengembangan kawasan andalan dan kawasan tertentu;

627

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

(3) tersusunnya RUU Kawasan Ekonomi Khusus; (4) diberlakukannya Perpu tentang perubahan atas UU Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas sebagai perantara menuju Kawasan Ekonomi Khusus; (4) disusunnya Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET); (5) pembangunan permukiman dan lingkungan transmigrasi yang mempunyai keterkaitan dengan pusat pertumbuhan dan daerah lain disekitarnya dalam upaya mendukung pertumbuhan wilayah; (6) fasilitasi pemindahan dan penempatan transmigran termasuk masyarakat sekitar lokasi yang ingin berpartisipasi pada lokasi yang baru dibangun; dan (7) pemberdayaan dan pembinaan transmigran yang telah ditempatkan pada lokasi transmigrasi sebagai upaya mendorong kemandirian masyarakat transmigran termasuk pemberdayaan masyarakat yang berada disekitar lokasi; (8) dilaksanakannya transmigrasi paradigma baru melalui pembangunan dan pengembangan KTM di 4 kawasan; (9) dibangunnya permukiman transmigrasi yang memenuhi persyaratan terang (clear) dan bersih (clean), dan 4L (layak huni, layak bekerja, layak ekonomi, dan layak lingkungan, serta pemindahan dan penempatan calon transmigran ke permukiman transmigrasi wilayah strategis dan cepat tumbuh. SASARAN KETIGA adalah meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Untuk mencapai sasaran tersebut, Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang Berkualitas merupakan tugas pertama. Pada awal RPJMN 2004-2009 dunia pendidikan Indonesia ditunjukkan oleh: (1) rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah 7,1 tahun; (2) proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP/sederajat ke atas masih sekitar 36,2 persen; (3) angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen; (4) Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun adalah 96,4 persen, penduduk usia 13-15 tahun mencapai 81,0 persen,

penduduk usia 16-18 tahun hanya mencapai 51,0 persen; (4) Cakupan pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai 2004 adalah sebesar 25,99 persen; serta (5) Kesenjangan pendidikan masih terjadi antar-kelompok masyarakat. Setelah 4 tahun pelaksanaan RPJMN, hasil yang dicapai menunjukkan hal yang menggembirakan. Hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Indikator tersebut ditunjukkan oleh: Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 7,4 tahun; (2) Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga meningkat menjadi 91,5 persen; (3) Penduduk usia 15 tahun ke atas yang berpendidikan lulus SLTP/MTs juga mencapai 45,7 persen; (4) APK PAUD terus mengalami peningkatan dan mencapai 50,47 persen; (5) APM SD/MI dan APK SLTP/ MTs meningkat menjadi 95,00 persen.

Meningkatnya kualitas manusia yang secara menyeluruh tercermin dari membaiknya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Layanan Kesehatan yang Lebih Berkualitas. Di awal RPJMN, sektor kesehatan Indonesia masih mengalami beberapa masalah yang perlu segera ditangani. Masalah tersebut adalah: (1) Disparitas status kesehatan yang tinggi antar-kelompok masyarakat; (2) Angka kematian bayi dan ibu melahirkan lebih tinggi juga relatif masih tinggi; serta (3) Jumlah balita berstatus kurang gizi dan gizi-buruk juga masih cukup tinggi. Selama pelaksanaan RPJMN sasaran yang hendak dicapai adalah: (1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; (2) Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup; (3) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; (4) Menurunnya prevalensi kurang gizi pada anak dan balita

628

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 5

dari 25,8 persen menjadi 20,0 persen dari jumlah penduduk. Selama 4 tahun pelaksanaan RPJMN pembangunan bidang kesehatan menunjukkan hasil yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh: (1) Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia menjadi 70,5 tahun; (2) Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 228 per 100.000 kelahiran; (3) Meningkatnya persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menjadi 73 persen; (4) Menurunnya angka kematian bayi menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup; (5) Meningkatnya cakupan imunisasi menjadi 58,6 persen; (6) Menurunnya angka prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menjadi 18,4 persen; (7) Adanya cakupan kesehatan gratis bagi penduduk miskin yang telah menjangkau 76,4 juta orang. Peningkatan Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial sangat dibutuhkan sejalan dengan upaya mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Beberapa isu terkait dengan pembangunan kesejahteraan sosial pada awal pelaksanaan RPJMN adalah: (1) Pembangunan sumberdaya manusia yang masih lemah dan kurangnya akses masyarakat terhadap layanan dasar membuat masalah kemiskinan non-pendapatan menjadi sama seriusnya dengan kemiskinan pendapatan; (2) wilayah yang luas serta bervariasinya keadaan sosial, ekonomi, dan geogras mengakibatkan ketimpangan antar-wilayah menjadi tantangan utama Pemerintah; (3) Tingkat kemiskinan juga dipengaruhi secara signikan oleh tingginya kenaikan harga kebutuhan pokok; (4) Untuk mendukung pembangunan di sektor kesejahteraan sosial ini, Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Oktober 2004. SJSN bertujuan untuk mereformasi sistem perlindungan sosial yang ada agar memiliki cakupan yang lebih bersifat universal. Untuk mewujudkan sistem perlindungan sosial yang bersifat universal diperlukan waktu panjang. Oleh karena itu, pada pelaksanaan 4 tahun RPJMN ini pencapaian yang dihasilkan belum mencakup perlindungan sosial secara keseluruhan bagi masyarakat. Pelaksanaan

4 tahun RPJMN telah mencapai: (1) Pelayanan kesejahteraan sosial telah manjangkau lebih dari 62.200 anak telantar dan 21.700 anak jalanan; (2) Rehabilitasi sosial telah diberikan kepada 16.375 penyandang cacat, 6.035 anak cacat, 3.350 orang tuna sosial, serta 4.100 korban napza di 33 provinsi; (3) Pemberian jaminan kesejahteraan sosial bagi 6.000 penyandang cacat berat di delapan provinsi dan 16.000 lansia telantar di sepuluh provinsi; (4) Pemerintah telah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (SLT) tahap 1 (tahun 2005-2006) dan tahap 2 (2008) kepada 19,1 juta rumah-tangga miskin (RTM); (5) Selain itu, program yang dilaksanakan Pemerintah dan masuk dalam peningkatan kesejahteraan sosial adalah jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui program Jamkesmas. Pembangunan Kependudukan, dan Keluarga Kecil Berkualitas Serta Pemuda dan Olahraga. Sasaran yang hendak dicapai melalui pembangunan bidang ini adalah: (1) Meningkatnya pembangunan kependudukan; (2) Terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga kecil berkualitas; dan (3) Meningkatnya pembangunan pemuda dan olahraga. Selama pelaksanaan 4 tahun RPJMN capaian menonjol yang dihasilkan antara lain: (1) Terwujudnya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK); (2) Menurunnya laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,14 persen per tahun; (3) Meningkatnya kualitas dan partisipasi pemuda dalam angkatan kerja; (4) Meningkatnya angka Sport Development Index menjadi 0,28 dari sebelumnya 0,22. Peningkatan Kualitas Kehidupan Beragama. Permasalahan yang dialami Indonesia pada bidang pembangunan keaamaan adalah: (1) Kualitas Pendidikan Agama dan Beragama, serta Kehidupan Beragama yang Belum Memadai; (2) Adanya Kesenjangan Fasilitas Keagamaan Antara Perkotaan dan Daerah Terpencil; (3) Pengelolaan Dana Sosial Keagamaan yang Belum Optimal; (4) Pelayanan Ibadah Haji yang Masih Kurang Memuaskan; (5) Munculnya Kerusuhan Sosial yang Berlatar Belakang SARA. Selama pelaksanaan 4 tahun

629

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

RPJMN, pemenuhan hak dasar dalam beragama melalui perbaikan kualitas pelayanan kehidupan beragama semakin membaik. Perbaikan kualitas pelayanan kehidupan beragama ini dapat dilihat dari: (1) meningkatnya kuantitas sarana dan prasarana peribadatan, meningkatnya bantuan untuk pengadaan kitab suci, serta meningkatnya jumlah balai nikah dan penasihat perkawinan (BNPP) di tingkat kecamatan; (2) Penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun berjalan relatif baik dengan seluruh biaya indirect cost penyelenggaraan haji yang dikeluarkan dalam perhitungan biaya penyelenggaraan haji (BPIH) dialihkan bebannya kepada Pemerintah sejak 2006; serta (3) Meningkatnya kerukunan antar-umat beragama yang ditandai dengan semakin meningkatnya intensitas dan semangat kerjasama lintas agama. SASARAN KEEMPAT adalah membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengarah pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan. Untuk mencapai sasaran tersebut, Perbaikan Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Pelestarian Mutu Lingkungan Hidup mutlak dibutuhkan. Kondisi awal pelaksanaan RPJMN 2004-2009 menunjukkan bahwa pemanfaatan SDA yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan mengancam keberlanjutan pembangunan nasional. Oleh karena itu sasaran RPJMN 2004-2009 dalam bidang ini ditujukan pada mengoptimalkan keuntungan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian SDA dan lingkungan hidup. Hingga 2008, pelaksanaan RPJMN capaian yang dihasilkan diantaranya adalah: (1) Berkembangnya hutan kemasyarakatan (HKm); (2) Meningkatnya pemanfaatan produk kayu; (3) Berkembangnya Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) dan Provisi Sumberdaya Hutan-Dana Reboisasi (PSDH-DR) on line; (4) Meningkatnya jumlah industri kehutanan; (5) Dikelompokkannya hutan menjadi beberapa klasikasi seperti lahan konservasi atau produksi melalui peraturan perundangan; (6) Terehabilitasinya hutan; (7)

Tertanganinya illegal shing; (8) Terkembangkannya pulau-pulau kecil dan terluar melalui diterbitkannya peraturan perundangan serta berhasil diinventarisasi; (9) Berkembangnya upaya diversikasi energi; serta (10) Semakin meningkatnya pengusahaan pertambangan yang lebih ramah lingkungan. SASARAN KELIMA adalah membaiknya infrastruktur yang ditunjukkan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan. Untuk mencapai sasaran tersebut, Percepatan Pembangunan Infrastruktur merupakan hal yang harus dikedepankan. Permasalahan utama yang dihadapi Indonesia di bidang infrastruktur adalah berkurangnya kualitas pelayanan dan tertundanya pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur yang dapat menghambat laju pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena diperlukannya biaya yang besar sehingga Pemerintah tidak dapat memikulnya sendiri. Untuk itu, mencari solusi inovatif guna menanggulangi masalah perawatan dan perbaikan infrastruktur yang rusak merupakan masalah yang mendesak untuk diselelesaikan. Setelah pelaksanaan 4 tahun RPJMN sejumlah pencapaian telah dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai sarana penunjang pembangunan. Pencapaian ini merupakan wujud implementasi dari program prioritas percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan aksesibilitas jasa pelayanan serta peningkatan kapasitas, kualitas, dan jangkauan. Pencapaian peningkatan kuantitas dan kualitas sarana penunjang pembangunan tercermin dari kondisi mantap jalan yang mencapai 28.417,68 kilometer atau sekitar 82 persen dengan kecepatan rata-rata 44,5 km/jam hingga akhir 2007. Di samping itu, penambahan panjang jalan tol juga meningkat. Di bidang lalu lintas angkutan jalan, telah terjadi peningkatan jumlah kendaraan yang semakin pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dalam penyediaan transportasi sungai, danau dan penyeberangan, telah terjadi

630

PENCAPAIAN SEBUAH PERUBAHAN

Bagian 5

Dok: PolaGrade (CAG)

631

Evaluasi 4 Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009

peningkatan produksi angkutan penyeberangan, baik penumpang maupun barang. Dalam rangka meningkatkan kapasitas transportasi sungai, danau dan penyeberangan telah dilakukan pembangunan dermaga penyeberangan sebanyak 155 unit (baru dan lanjutan), dan dermaga sungai danau sebanyak 36 unit (baru dan lanjutan), serta melakukan rehabilitasi/peningkatan dermaga penyeberangan sebanyak 32 unit dan sungai danau sebanyak 4 unit. Di bidang perkeretaapian, beberapa pembangunan infrastruktur perkeretaapian terus didorong untuk meningkatkan pelayanan angkutan KA. Peningkatan pelayanan angkutan KA juga diwujudkan melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, antara lain tercermin pada peningkatan kualitas fasilitas pelayanan keretakereta ekonomi yang dibiayai melalui skema PSO, dimana persyaratan fasilitas pelayanan menjadi lebih baik. Di bidang transportasi udara, terjadi penambahan jumlah bandara yang melayani penerbangan umum, yakni Bandara Internasi-

onal Minangkabau, Abdurahman SalehMalang, Blimbingsari-Banyuwangi, Seko, Rampi dan Hadinotonegoro-Jember. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan infrastruktur tidak saja terjadi pada bidang transportasi namun juga pada bidang energi, ketenagalistrikan, perumahan rakyat, sumberdaya air, serta pos dan telematika. Capaian utama yang dihasilkan antara lain: (1) Pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi; (2) Peningkatan kapasitas kilang minyak bumi dan pembangunan jaringan pipa BBM; (3) Pemanfaatan energi alternative; (4) Meningkatnya angka elektrikasi; (5) Semakin terdiferensiasinya sumber bahan bakar pembangkit; (6) Terjaganya kualitas layanan pos yang menjangkau seluruh kecamatan di Indonesia; (7) Terselenggaranya pemenuhan akses rumah rusun sederhana bagi masyarakat; (8) Semakin baiknya sistem irigasi untuk pertanian dan kebutuhan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai