Anda di halaman 1dari 4

Menyantuni Janda Setelah sepasang pengantin melakukan ijab kabul, maka doa yang terlontar dari mulut orang

yang menikahkan keduanya dan diamini oleh mereka yang menghadiri pernikahan tersebut adalah agar pernikahannya langgeng dan menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah. Namun dalam kenyataan, karena berbagai sebab banyak bahtera rumah tangga yang akhirnya kandas di tengah lautan hingga akhirnya terjadi perceraian. Buah dari percerain munculah istilah duda dan janda. Lelaki yang telah mencerai pasangannya disebut duda kalau ia tidak mempunyai istri selainnya- sedang wanita yang telah dicerai disebut dengan janda. Memang tidak semua janda itu buah dari kegagalan rumah tangga, banyak latar belakang yang menyebabkan seseorang menjadi janda. Ada yang ditinggal mati suaminya -karena sakit, bencana alam, perang dan sebagainya-, ada pula yang ditinggal pergi suaminya berpuluh-puluh tahun tanpa kabar berita. Berpredikat janda tidaklah ringan karena kesan di masyarakat selalunya cenderung negatif. Rasa curiga kalau-kalau ia bakal menggangu suami orang juga muncul. Di sisi lain ia harus memikul beban hidupnya dan juga anak-anaknya sendirian. Padahal kalau disuruh memilih sebenarnya tidak ada wanita yang mau menyandang predikat janda, baik karena ditinggal mati suaminya atau karena cerai. Bila ternyata tetap menjanda Seorang janda akan bersyukur jika ternyata ada lelaki shalih yang mau menjadikannya sebagai istri. Seperti Khadijah RA, setelah bercerai dengan suaminya akhirnya dinikahi Rasulullah SAW. Atau Ummu Habibah yang memilih bercerai dengan Ubaidullah bin Jahsy karena suaminya tersebut telah murtad dari agama Islam, selanjutnya dia dinikahi oleh Rasulullah Saw. Atau Asma binti Umais setelah suaminya, Jafar At Thayyar syahid lantas dinikahi oleh Abu Bakar As Shidiq. Dan masih banyak kisah lain tentang para janda yang dinikahi oleh para sahabat dan tabiin. Namun tidak jarang pula diantara mereka harus hidup dalam kesendirian karena tidak ada lelaki yang menghampirinya. Dalam kondisi seperti itu bersabar adalah pilihan utama dengan tetap menjaga kehormatan diri. Sehingga meski hidup tanpa suami ia mampu menjadi wanita shalihah, guru bagi anak-anaknya dan pemimpin bagi kaum hawa yang ada di sekitarnya. Perhatian Islam terhadap para janda Janda sebenarnya hanyalah status semata, sama halnya dengan status menikah, tidak menikah, duda, perjaka, perawan dan predikat lainnya. Dalam Islam para janda dihormati dan termasuk yang layak mendapat bantuan. Tanggung jawab nafkah dikembalikan kepada orang tua mereka setelah suaminya menceraikannya atau meninggal dunia, seperti Hafshah setelah ditinggal syahid suaminya di perang Uhud maka ia kembali ke orang tuanya yaitu Umar bin Khattab. Atau Ruqayyah dan Ummi Kultsum setelah bercerai dengan suaminya maka Rasulullah yang bertanggungjawab terhadap keduanya yang akhirnya menikahkannya dengan Utsman bin Affan. Sedangkan jika orangtuanya tidak mampu maka yang bertanggungjawab

terhadap mereka adalah pemerintah, baik dengan mencarikan suami bagi mereka atau memberikan santunan dari baitulmal. Ketika Fathimah binti Qais ditalak tiga oleh suaminya maka Rasulullah memberikan perlindungan dan memberi tempat kepadanya untuk menghabiskan masa iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, lalu menikahkannya dengan Usamah bin Zaid setelah berlalu masa iddahnya. Begitu pula ketika Ummu Aiman dicerai suaminya karena tidak rela dengan keislamannya, Rasulullah memberikan motivasi kepada para sahabat: Barangsiapa yang ingin masuk jannah, nikahilah Ummu Aiman. Selain itu Rasulullah SAW juga menghasung kepada umatnya dengan menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang memberikan perhatian kepada para janda. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

Orang yang membantu para janda dan orang miskin adalah seperti orang yang berjihad di jalan Allah atau seperti orang yang selalu mengerjakan shaum di siang hari dan shalat di malam hari. (Muttafaq Alaih) Keterangan dari hadits tersebut bahwa barangsiapa yang belum mampu berjihad di jalan Allah, atau belum mampu untuk konsisten melaksanakan qiyamul lail di setiap malam dan shaum di siang hari hendaknya mengamalkan hadits ini yaitu dengan cara menyantuni para janda dan orang-orang miskin agar kelak dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka dan mendapatkan derajat seperti para pejuang, meski ia belum pernah mengerjakan amalanamalan mereka. Apalagi membantu janda yang ditinggal mati suaminya, bersamanya anakanak yang belum dewasa dan mereka dalam kondisi miskin. Berarti ia akan mendapatkan beberapa fadhilah, fadhilah membantu janda yang tentu amat bersedih setelah ditinggal suaminya yang selama ini menjadi penopang hidupnya, fadhilah menolong orang miskin, dan fadhilah mengasuh anak yatim yang telah ditinggalkan bapaknya yang selama ini menafkahinya. Rasullah pernah menyebutkan: Saya dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti begini, beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan sedikit antara kedua jari tersebut. (HR. Bukhari). Sayangnya, pemerintah sekarang bukanlah pemerintah Islam yang memberi perhatian lebih pada kelompok masyarakat yang membutuhkan seperti fakir miskin, janda dan lainnya. Dengan begitu tanggungjawab untuk membantu mereka ada dipundak kita. Caranya? Bisa dengan menikahi mereka jika memungkinkan, atau kalaupun tidak, mereka dapat kita tempatkan dalam urutan prioritas untuk sedekah kita. Karena memang, ada hak mereka dalam rezeki yang kita terima. Wallahul mustaan. (abu hanan)

Menyantuni Orang Miskin Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Al Maauun [107] : 1-3). Berdasarkan Hadist Nabi, siapa yang termasuk dalam golongan orang miskin? Imam anNawawi dalam Riyadhus Shalihin menulis yang artinya sebagai berikut:

Dalam sebuah riwayat dalam ash-Shahiihain dinyatakan, Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling (meminta-minta) kepada manusia, lalu ditolak untuk mendapat satu atau dua suap makanan, satu atau dua butir korma. Tetapi, orang miskin adalah yang kebutuhannya tidak tercukupi, keadaannya tidak diketahui sehingga tidak ada yang bersedekah kepadanya dan tidak pula pergi meminta-minta kepada manusia. Adapun amalannya bagi kita yang menyantuni orang miskin adalah sebagai berikut : Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda, Orang yang menyantuni kaum janda dan orangorang miskin adalah setara dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Aku mengira, Rasulullah saw. Juga bersabda, Dia juga seperti orang yang bertahajjud yang tidak merasa lelah dan seperti orang yang berpuasa yang tidak pernah berbuka. (Muttafaq alaih) Orang miskin adalah orang yang sangat membutuhkan dan orang kaya adalah orang yang mampu memenuhi kebutuhan si miskin maka orang kaya akan memperoleh keutungan. Allah tidak menyukai apabila kekayaan itu kebutuhan di sekelompok orang tertentu. Pemerataan ekonomi merupakan ajaran yang tidak dapat di pisahkan dari ajaran ibadah. Itulah sebabnya Allah memerintahkan supaya harta yang di peroleh dari peperangan itu di bagikan kepada orang miskin, baik ia ikut berperang atau tidak. Tujuannya adalah supaya kekayaan itu tidak beredar pada orang-orang tertentu saja. Seperti pada firman Allah berikut ini: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Al Hasyr [59]: 7) Uraian diatas semakin memperjelas komitmen islam atas kebesamaan yang di wujudkan dalam bentuk kebersamaan yang di wujudkan dalam bentuk kepedulian. Sehingga setidaknya ada 3 bentuk kepedulian yang dapat diaplikasikan terhadap mereka,yaitu; 1. Membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok yang bersifat materi, seperti kebutuhan terhdap makanan, pakaian, dan tempat tinggal secara wajar. Ini dapat di lakukan melalui pemberian zakat ,sedekah ,infak, hibah,dan lain-lain Allah berfirman : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Al Maauun [107] : 1-3) Maksudnya adalah seseorang yang mengaku mukmin tetapi ia tidak mau mengajak orang lain supaya membantu memberi makan orang miskin digolongkan kepada pendusta agama. Dalam arti lain, belum sempurna kehidupan beragama seseorang jika belum mau membantu memberi makanan saudaranya yang miskin. Semua manusia dilahirkan ke alam dunia ini dalam keadaan miskin dan tidak membawa harta walaupun hanya sedikit. Kekuatan fisik dan semangat yang diberi Allah itulah yang membuat manusia itu berbeda tingkat ekonominya. Orang yang kuat dan memiliki semangat bekerja akan memperoleh rizki melebihi rizki yang didapatkan oleh orang yang lemah fisik dan semangatnya. 2. Tidak membebani orang miskin dengan berbagai kewajiban seperti yang diberlakukan kepada orang yang mampu, seperti beban pajak, retribusi, dana sosial yang termasuk pembayaran uang. Dalam hal ini Allah mengajarkan kepada setiap orang supaya menunda pembayaran utang orang miskin sampai ia memiliki kemampuan pembayarnya, seperti di sebut pada ayat berikut:

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Al Baqoroh [2] :208) Lebih terpuji lagi, bila seseorang yang mempiutangkan itu membebaskannya dari beban utang atau mengurangi dari jumlah utang yang wajib dibayarnya. Hal itu bukan semata bertujuan untuk mempermudah pembayaran utang, tetapi dengan cara itu diharapkan ia menyadari atas kelemahan dirinya sekaligus melahirkan motivasi merubah diri menjadi lebih baik dan tidak selalu beban orang lain. 3. Membantu memberi semangat atau lapangan pekerjaan kepada mereka yang miskin. Hal ini menjadi salah satu upaya melepaskan mereka dari kesulitan. Ada tiga penyebab mengapa seseorang menjadi miskin yaitu : - Tidak memiliki pekerjaan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. - Tidak ada semangat (malas) bekerja sehingga tidak mampu memanfaatkan lapangan kerja yang tersedia. - Tidak ada kemampuan bekerja karena cacat fisik. Penyebab kemiskinan pertama dapat dapat di bantu dengan memperbaiki usahanya atau membantunya dengan modal usaha termasuk memberi keterampilan berusaha. Dengan demikian diharapkan ia bisa bekerja lebih baik atau mencari lapangan kerja sendiri. Jika ia malas bekerja dapat dibantu dengan memberi nasihat secara kesinambungan sampai ia menyadari bahwa masa depan yang akan di tempuh masih panjang dan tidak mungkin dapat dilalui dengan sikap pemalas seperti selama ini terjadi. Sedangkan kepada mereka yang miskin karena tidak mampu bekerja disebabkan cacat pisik, dapat di bantu dengan menyalurkan zakat, sedekah atau infak. Semua ini telah diajarkan oleh Allah dan Rasul Nya kepada orang yang beriman.

Anda mungkin juga menyukai