Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik, pada umumnya didefinisikan sebagai penyakit seumur hidup, terjadi kerusakan fungsi ginjal yang ireversibel. Diperkirakan 20 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami penyakit ginjal kronik. Data tahun 1995-1999 menunjukkan insidens PGK mencapai 100 kasus per juta penduduk per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya. CDC (Centers for Disease Control) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Di negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk. PGK termasuk masalah yang sangat penting dalam bidang ilmu penyakit dalam khususnya bagian ginjal hipertensi (nefrologi). PGK yang tidak ditatalaksana dengan baik dapat memburuk ke arah penyakit ginjal stadium akhir atau dikenal sebagai ESRD (End Stage Renal Disease). Stadium akhir ini yang juga disebut sebagai gagal ginjal, membutuhkan terapi pengganti ginjal permanen berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Di seluruh dunia, terdapat sekitar satu juta orang penderita PGK yang menjalani terapi pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi) pada tahun 1996. Jumlah ini akan meningkat menjadi dua juta orang pada tahun 2010. Laporan USRDS (The United States Renal Data System) pada tahun 2007 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita dengan ESRD di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Prevalensi penderita ESRD pada tahun 2005

mencapai 1.569 orang per sejuta penduduk. Nilai ini mencapai 1.5 kali prevalensi penderita ESRD pada tahun 1995. Penderita ESRD membutuhkan biaya pengobatan yang besar di samping berkurangnya atau bahkan hilangnya produktivitas penderita. Oleh sebab itu, deteksi dini PGK dan penatalaksanaan yang tepat terhadap PGK memegang posisi kunci agar tidak terjadi perburukan.

BAB II STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat Status Perkawinan Suku Tanggal MRS : Ny.Lasmiah : 49 tahun : perempuan : Ibu rumah tangga : Pakisaji : Menikah : Jawa : 13 desember 2011

B. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama : Muntah-muntah

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD tanggal 11-03-2011 RSUD Kanjuruhan dengan keluhan muntah-muntah sejak 4 hari yang lalu. Pasien mengaku muntah terjadi setiap kali pasien makan. Pasien juga mengeluh lehernya terasa sakit sejak 2 tahun yang lalu dengan sifat hilang timbul. Disamping itu, perut pasien terasa tidak enak dan sakit. Pasien juga tidak bisa BAB sejak 4 hari yang lalu.pasien juga mengeluh bengkak pada kedua kakinya. 3. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi (+) Riwayat batu ginjal (-) 3

Riwayat sakit gula (-) Riwayat asma (-) Riwayat alergi obat/makanan (-) Penyakit paru (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga : Hipertensi (+) Asma (-) Penyakit jantung (-) Penyakit paru (-) DM (-) Alergi obat/makanan (-)

5. Riwayat Kebiasaan Riwayat merokok (-), Minum kopi (+), kadang-kadang Minum alkohol (-) Jamu (-) Olah raga (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum Tampak pucat dan lemah, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan cukup. 2. Tanda Vital Tensi Nadi Pernafasan : 190/100 mmHg : 92 x / menit, reguler, isi cukup : 20 x /menit

Suhu

: 36,5 oC

3. Kulit Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-). 4. Kepala Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (+), atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik wajah / bells palsy (-), oedem (-). 5. Mata Conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-). 6. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-). 7. Mulut Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-). 8. Telinga Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-). 9. Tenggorokan Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-). 10. Leher JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-) 11. Thoraks Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-). Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat Perkusi : batas kiri atas batas kanan atas batas kiri bawah : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra : SIC II Linea Para Sternalis Dextra : SIC V 1 cm medial Linea Medio Clavicularis Sinistra batas kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra pinggang jantung : SIC III Linea Para Sternalis Sinistra (batas jantung kesan normal) Auskultasi: Bunyi jantung III intensitas normal, regular, bising (-) Pulmo : Statis (depan dan belakang) Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri : Fremitus raba kiri sama dengan kanan : Sonor/Sonor : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)) Dinamis (depan dan belakang) Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi 12. Abdomen Inspeksi : Perut tampak mendatar, tidak ada pembesar hepar dan lien : Pergerakan dada kanan sama dengan kiri : Fremitus raba kiri sama dengan kanan : Sonor/Sonor : Suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-)

Palpasi Perkusi Auskultasi 13. Ektremitas

: Supel (-), meteriosmus (+) Nyeri tekan (+) : timpani : Bising usus (+) meningkat

Palmar eritema (-/-) Akral dingin Oedem + +

14. Sistem genetalia: dalam batas normal.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah lengkap 14 desember 2011 DARAH LENGKAP Hb Hitung leukosit Hitung jenis HASIL 9,7 4.220 8/1/4/3/3/5 NILAI NORMAL P: 13,5-18; L: 12-16 4000 11.000 1-5/0-1/3-5/54-62/1535/3-7 LED Hitung trombosit Hematokrit 72 224.000 27,9 L: 15 ; P: 20 150.000 450.000 L: 4,5-6,5 ; P: 3,0-6,0

KIMIA DARAH Gula Darah Sewaktu 113

SGOT SGPT Ureum Kreatinin

31 20 271 8,06

L: <43; P: < 36 L: <43; P: <36 20 40 L: 0,6-1,1; P: 0,5-0,9 Pemeri

ksaan USG (15 desember 2011) Hepar :Tak membesar, tepi regular. Intensitas echo parenchym homogen rata. Sistem vaskuler/bilier/porta tak tampak kelainan. Tak tampak nodul/kista/abses. Gall Bladder : Dinding tak menebal, tak tampak batu/sludge. Pancreas/Lien : Kontur normal. Tak tampak kalsifikasi/nodul. Ren dextra : Ukuran 6,8x2,9 cm, intensitas echo cortex meningkat, batas cortex medula kabur. Sistema pelviocalyceal tak dilatasi. Tak tampak batu/kista/nodul. Ren Sinistra :Ukuran 7x3,4 cm, Intensitas echocortex meningkat batas cortex medula kabur, Sistema pelviocalyceal tak dilatasi. Tak tampak batu/kista/nodul. Vesika Urinaria: Dinding tak menebal, tak tampak batu. Kesimpulan : Chronic parenchymatous renal disease Grade 3.

E. DIAGNOSA Chronic Kidney Disease F. PENATALAKSANAAN 1. Non Medika mentosa a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya b. Tirah baring c. Diet rendah protein, rendah garam.

2. Medikamentosa IVFD Line Ranitidine injeksi 2x1 Spironolakton 1x1 Furosemid 2x2 captopril 3x25 mg

G. FOLLOW UP Nama : Ny. Lasmiah

Diagnosis : GGK (CKD) Tabel flowsheet penderita No 1 Tanggal S O T:180/110mmHg N:88x/mnt S:36,9C RR : 19x/m A CKD P - Diet RPRGRK (0,6mg/kgBB/hr) - IVFD Line - furosemid 2x2 - Ranitidine injeksi k/l : anemia +/+ abd : supel, nyeri tekan (+), Met (+) 2x1 - Captopril 3x 25 mg - Spironolakton 1x1 - USG Abdomen

14/12/2011 Sesak napas (+), perut terasa tidak enak (+), tidak bisa BAB (+),Bengkak dikaki (+).

15/12/2011 Kaku leher (+), Perut sebah (+), tidak bisa

T:140/80mmHg N:80 x/mnt S:36,7C RR : 18x/m

CKD

- furosemid 2x2 - Ranitidine injeksi 2x1 - Captopril 3x 25 mg

BAB (+) k/l : anemia +/+ abd : supel, nyeri tekan (-), Met (+) 3
16 /12/2011

- Spironolakton 1x1

Sesak nafas (-), Perut sakit (+),tidak bisa BAB (+)

T:150/90mmHg N:94 x/mnt S:36,8 C RR : 17 x/m k/l : anemia +/+ abd : supel, nyeri tekan (-), Met (+)

CKD

- Furosemid 1x1 - Ranitidine injeksi 2x1 - Captopril 3x 25 mg - Spironolakton 1x1 - Bila setuju HD ; SP. CT, BT, HBsAg

10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.1 Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.(Usu, 2008) 3.2 Etiologi PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi PGK yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab terbesar ESRD. Hipertensi menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Sedangkan diabetes melitus insidennya 18,65% disusul obstruksi / infeksi ginjal (12.85%) dan hipertensi (8.46%) (Firmansyah, 2010). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 20072008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Usu, 2008). a. Glomerulonefritis Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik

11

lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Usu, 2008). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Usu, 2008). b. Diabetes melitus Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang ditandai dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten), penurunan GFR ( glomerular filtration rate) peningkatan tekanan darah yang perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal. Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahanperubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria (Arsono, 2008) c. Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Usu, 2008).

12

d. Ginjal polikistik Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (usu, 2008) 3.3 Epidemiologi Di Amerika Serikat data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2006) 3.4 Batasan dan Klasifikasi Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 , seperti yang terlihat pada tabel Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: kelainan patalogik 13

terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. laju filtrasi gromelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 - Umur) x Berat Badan (kg) *) 72 x kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85 Klasifikasi tersebut tampak pada table Derajat 1 2 3 4 5 Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau Kerusakan ginjal dengan LFG ringan Kerusakan ginjal dengan LFG sedang Kerusakan ginjal dengan LFG berat Gagal ginjal LFG (ml/mnt/1,73m2) > 90 60-89 30-59 15-29 < 15 atau dialysis

Table 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit 3.4 Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik (CKD) pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh 14

molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Penyebab utama perburukan fungsi ginjal adalah adanya hiperfiltrasi glomerulus. Penurunan jumlah nefron (sebagai filter) dalam ginjal terjadi seiring perjalanan penyakit ginjal kronik. Nefron yang tersisa akan mengalami adaptasi struktural dan fungsional. Adaptasi ini menyebabkan perubahan hemodinamik dan non-hemodinamik yang akan menyebabkan glomerulosklerosis. Kondisi akan merusak nefron yang tersisa (Firmansyah, 2010). Aktifitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF- ). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik (CKD) adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2006) Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik (CKD), terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reverse), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata

15

seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi penganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai stadium gagal ginjal (Suwitra, 2006) 3.5 Diagnosis a. Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida) b. Gambaran Laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan krestinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus KockcroftGault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremi, hiper atau hipokloremia,

16

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic (Suwitra, 2006). Terdapat penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/liter), penurunan pH, dan peningkatan anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah tanda gagal ginjal yang berat, kecuali terdapat masukan berlebihan, asidosi tubular ginjal, atau hiperaldosteronisme.

Terdapat peningkatan konsentrasi fosfat plasma dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatse alkali meningkat. Dapat ditemukan peningkatan parathormon pada

hiperparatiroidisme (Pernefri, 2010 d). Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria (Suwitra, 2006) Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal.

Pemeriksaan mikroskopik urin menunjukan kelainan sesuai penyakit yang mendasarinya. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1.000 mg/hari. Permeriksaan biokimia plasma akan mengetahui fungsi ginjal dan gangguan elektrolit, mikroskopik urin, urinalisa, tes serologi untuk mengetahui penyebab glomerulonefritis, dan tes-ts penyaringan sebagai persiapan sebelum dialisis (biasanya hepatitis B dan HIV) (Pernefri.2010) c. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksis oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis

17

atau batu ginjal, kista, massa, kalsifiasi (Suwitra, 2006). USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal ginjal, misalnya adanya kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat pula dipakai foto polos abdomen. Jika ginjal lebih kecil dibandingkan usia dan besar tubuh pasien maka lebih cenderung ke arah gagal ginjal kronik (Pernefri, 2010).e). Pemerikasaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi. d. Biopsi dan pemeriksaan Histopatologi ginjal Biposi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas (Suwitra, 2006) 3.6 Penatalaksanaan Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik (CKD) sesuai dengan derajatnya Derajat 1 LFG (ml/mnt/1,73m2) 90 Rencana tatalaksana Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler 2 60-89 Menghambat pemburukan fungsi ginjal 3 30-59 Evaluasi dan terapi 18

komplikasi 4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal 5 <15 Terapi pengganti ginjal

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006)

Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) / CKD meliputi: 1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologis ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.. 3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal yang dapat dilihat pada gambar berikut. 19

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006) Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah: a. Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK)/CKD akan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebihan (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus 20

hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari >60 25-60 Tidak dianjurkan 0,6-0,8/kg/hari, termasuk 0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi. 5-25 0,6-0,8 kg/hari, termasuk 0,35 gr/kg/hr protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton <60 0,8/kg/hr (+1 gr protein/g proteinuria 9 g 10 g Tidak dibatasi 10 g

(sindrom nefrotik) atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton (Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006) b. Terapi farmakologis untuk hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskuler juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis 21

sangat terkait dengan derajat proteinuri. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuri merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuri berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. 4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan1. 5. Pencegahan dan terapi terhadap Anemia Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi total/Total iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,

22

kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indiksi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl. 6. Pencegahan dan terapi terhadap Osteodistrofi Renal Dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. a. Mengatasi hiperfosfatemia: Pembatasan asupan fosfat, sejalan dengan diet yaitu tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam. Karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu an telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi. b. Pemberian pengikat fosfat, pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat dan calcium acetate.

23

c.

Pemberian bahan kalsium memetik. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3) Pemakaian kalsitriol tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan

penumpukan garam kalsium karbonat di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kai normal. 7. Pembatasan Cairan dan Elektrolit Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi. 8. Terapi Pengganti Ginjal

24

Dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. a. Hemodialisis Pada gagal ginjal terminal, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien di pompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisis larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difus). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi. Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila; 1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, 2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah, dan 3) bila tekanan osmotik di kompatemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

25

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG < 5mL/menit). Keadaan pasien yang yang mengalami LFG < 5 mL/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu hal ini: o Keadaan umum buruk dan gejala klnis nyata o K serum > 6 mEq/L o Ureum darah > 200 mg/dL o pH darah < 7,1 o Anuria berkepanjangan (> 5 hari) o Fluid overloaded b. Dialisis peritoneal Adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penganan pasien GGA maupun GGK, menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui

membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal bila di bandingkan dengan hemodialisa, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap RS. Prinsip dasarnya yaitu,, untuk dialisis peritoneal akut biasanya dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk ke dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan ke dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat

26

dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh, Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat yang baru. Indikasi Pemakaian Dialisis Peritoneal: 1) Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut), 2) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa, 3) Intoksikasi obat atau bahan lain, 4) Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik), 5) Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya (Suwitra, 2006). 3.7 Terapi Nutrisi pada GGK dengan Dialisis Bila terapi konservatif pada pasien GGK tidak berhasil, maka perlu dimulai. TPG yang dapat berupa dialisis atau cangkok ginjal. Meskipun prinsip dasarnya sama, ada sedikit perbedaan tujuan terapi nutrisi pada pasien GGK yang menjalani dialisis dengan yang tidak. Tujuan terapi nutrisi pada dialisis adalah : 1. Mengurangi akumulasi toksin uremi, cairan, elektrolit diluar waktu dialisis. 2. Memperbaiki status nutrisi,mencegah defisiensi asam amino, vitamin, dan lain-lain. Hasil terapi nutrisi untuk jangka pendek adalah membantu meregulasi dan menghindari akumulasi dari zat toksin maupun ekses air dan elektrolit yang seharusnya diekskresi oleh ginjal. Akumulasi air dalam tubuh dapat mengakibatkan edema paru akut, sedangkan hiperkalemi dapat menimbulkan aritmia jantung. Kedua komplikasi ini adalah yang paling sering menimbulkan kematian pasien. Untuk jangka panjang diharapkan terapi nutrisi dapat menghindarkan terjadinya malnutrisi atau gangguan metabolisme lain. Adanya malnutrisi menurunkan daya tahan dan mempermudah komplikasi infeksi. Gangguan metabolisme lemak antara lain hipertrigliseridemia mempermudah terjadinya aterosklerosis pada pasien. Terjadinya defisiensi kalsium dan kelebihan fosfat akan menimbulkan kelainan tulang (osteodistrofi renal).

27

Penatalaksanaan Terapi Nutrisi pada Dialisis Proses dialisis membutuhkan energi yang didapatkan dengan peningkatan katabolisme tubuh. Pada saat dialisis terjadi juga kehilangan asam amino melalui membran semipermiabel sehingga kebutuhan nutrisi pada pasien GGK yang sudah menjalani dialisis menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Perlu juga dibedakan penatalaksanaan terapi nutrisi pada pasien dengan hemodialisis (HD) kronis dan peritoneal dialisis kronis (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis = CAPD). Pada CAPD prosesnya terjadi berkesinambungan sehingga energi yang dibutuhkan lebih besar dan terjadi lebih banyak kehilangan protein . Penatalaksanaan terapi nutrisi pada pasien GGA yang menjalani dialisis mempunyai beberapa patokan sebagai berikut : 1. Kalori Jumlah kalori yang dianggap adekuat untuk pasien HD adalah : 30 35 kkal/kgBB/hari Bila diberikan kalori yang kurang dari kebutuhan, akan terjadi proses katabolisme protein endogen. Ini merugikan karena dapat menimbulkan

hiperkalemi. Katabolisme setiap 100 gram jaringan otot akan menghasilkan 10 mmol kalium. 40-50 % dari total kalori seharusnya diperoleh dari karbohidrat. Proses HD dapat memperbaiki intoleransi glukosa dan resistensi terhadap insulin yang biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal sehingga bila diperlukan karbohidrat dapat diberikan lebih banyak. Sebaiknya 30-50 % dari total kalori yang diperhitungkan diperoleh dari lemak dan dipilih jenis lemak tak jenuh karena biasanya ada hipertrigliseridemia atau hiperkolesterolemia.

28

2. Protein Pada proses HD perlu diperhitungkan adanya kehilangan asam amino sebesar 1-2 gram/jam dialisis. Pada CAPD kehilangan protein dapat mencapai 8 12 gram/hari. Oleh karena itu asupan protein harus dinaikkan menjadi : HD = 1 - 1,2 g/kg BB/hari CAPD = 1,2 - 1,4 g/kg BB/hari 75 % dari protein sebaiknya diberikan dalam bentuk protein dengan nilai biologis tinggi. Penggunaan protein nabati kurang begitu menguntungkan karena biasanya mempunyai kadar kalium yang lebih tinggi. Perhitungan kebutuhan protein pada dialisis dapat diketahui lebih akurat dengan cara memperhitungkan klirens dialisis dan kecepatan pembentukan protein. Tetapi di klinis biasanya tidak digunakan karena tidak praktis. 3. Air dan Natrium Dengan dialisis atau fungsi ginjal yang tersisa, air atau cairan lain dalam tubuh dapat diregulasi. Metabolisme air berhubungan erat dengan natrium yang pada pasien dialisis dapat diproyeksikan sebagai kenaikan berat badan. Bila asupan air atau natrium melebihi daya regulasi akan terjadi akumulasi dalam tubuh yang dapat menimbulkan komplikasi edema paru akut, krisis hipertensi, atau payah jantung kiri. Kenaikan berat badan diantara 2 waktu dialisis (= interdialytic weight gain) sebaiknya dibatasi tidak melebihi 2 kg. 4. Kalium Hiperkalemi pada pasien dialisis dapat terjadi akibat : a. Kelebihan asupan kalium dalam diet b. Peningkatan katabolisme protein endogen (infeksi, terapi steroid, operasi, dan lain-lain)

29

c. Asidosis metabolik (terutama pada HD-Asetat) d. Penggunaan obat-obat kalium sparing diuretics atau ACE-inhibitors. Kadar kalium dalam sayur-sayuran dapat dikurangi sampai 30 % dengan cara direbus dalam air mendidih.

30

BAB IV PENUTUP

Penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Berdasarkan kasus diatas, didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, maka disimpulkan pasien tersebut menderita penyakit ginjal kronik stadium 5. Untuk penatalaksanaan pada pasien tersebut diberikan terapi berupa non medikamentosa serta terapi medikamentosa. Dari data yang didapat pada kasus ini, dimana dari hasil laboratorium pasien tersebut ditemukan peningkatan ueum kreatinin yang besar sehingga direncanakan untuk melakukan terapi pengganti yaitu berupa dialisis.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsono, S. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal Terminal. Naskah Publikasi. Universitas Diponegoro Semarang.

www.eprints.undip.ac.id 2. Firmansyah, M, 2010. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal Kronik ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. www.Kalbe.co.id 3. Gagal Ginjal Kronik. www.pernefri.org 4. Rindiastuti, Y, 2010. Deteksi Dini dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal
Kronik

5. Roesli,

A.

Penatalaksanaan

Nutrisi

Pada

Gagal

Ginjal

Kronik.

www.pernefri.org 6. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, eds. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 1 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 570-3. 7. Penyakit Ginjal Kronik. www.respiratory.usu.ac.id

32

Anda mungkin juga menyukai