Anda di halaman 1dari 16

1

I.

JUDUL Terobosan Pengembangan Teknologi Panas Bumi Indonesia NAMA PENULIS Irfan Hariz dan Samuel Zulkhifly, Departemen Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung. ABSTRAK

II.

III.

Teknologi pemboran sumur-sumur panas bumi banyak mengadopsi teknologi pemboran sumur-sumur minyak dan gas (Falcone dan Teodoriu, 2008). Kebanyakan sumur-sumur geothermal didesain mengikuti pola dan prinsip sumur-sumur minyak dan gas. Sumur-sumur panas bumi biasanya dibor dengan diameter lebih besar, lebih dalam dan ditujukan untuk waktu produksi lebih panjang daripada sumur minyak dan gas. Meskipun dalam beberapa hal reservoir panas bumi tampak serupa dengan reservoir minyak, namun kenyataannya terdapat cukup banyak perbedaan antara kedua sistem tersebut yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan sumur panas bumi. Hal ini menyebabkan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dunia panas bumi tidak seluruhnya sama dengan yang dilakukan di sektor minyak dan gas. Maka dari itu, dibutuhkan analisis mengenai perbedaan antara sumurpanas bumi dan sumur minyak/gas. Tantangan utama dari pemboran sumur panas bumi adalah berhubungan dengan batuan beku dan metamorf yang dihadapi yang tidak dihadapi di sumur minyak/gas, temperatur tinggi (gradient temperatur sumur minyak/gas sekitar 5oF/100 ft sedangkan gradient temperatur sumur panas bumi berkisar antara 12o-13oF/100 ft), dan kebanyakan sumur yang tekanannya telah turun (Ullah and Bukhari, 2008). Penelitian dalam makalah ini membahas tentang fluida pemboran, casing, pipa pemboran yang umum digunakan dalam pemboran panas bumi. Sebelumnya, akan dibahas mengenai karakteristik lapangan panas bumi yang penting untuk mendefinisikan perbedaan utama dengan sumur minyak/gas. Desain casing menjadi topik pembahasan utama karena banyak kegagalan casing pada sumur panas bumi.

Keywords: Pemboran Panas Bumi, Teknologi Panas Bumi, Panas Bumi di Indonesia.

ABSTRACT

Drilling technology in geothermal fields adopts from oil and gas drilling technology. Most geothermal wells are designed following the same principles as those used in oil and gas industry. Some simple comparisons between wells used

for geothermal applications with those for oil or gas production shows that the former need to be larger bore, deeper and be in operation for longer time. Although geothermal reservoir and oil/gas reservoir are similar, but the facts show that there are several differences that could not be ignored. When drilling procedures in oil/gas fields are applied to geothermal fields, those differences give bad significant impact to geothermal drilling if they are done without consider them. Therefore, it is necessary to define the main differences between geothermal fields and oil/gas fields, and then consider those to make better geothermal drilling design. The main challenges associated with drilling geothermal wells are related mostly to hardness of igneous and metamorphic rocks being drilled that are not commonly found in oil/gas well drilling, the unusually high temperature of the formation (average temperature gradient for a oil/gas well ia 5oF/100 ft and 12o - 13o F/100 ft or could be more for geothermal well) and the typically under-pressured strata (Ullah and Bukhari, 2008). This paper summaries the drilling fluid, cement, casing, drillstring, that commonly used in geothermal drilling. Formerly, defining main characteristics of geothermal field also important to define those differences, and make a different design to geothermal drilling in order to minimize bad impacts, such as casing failure, cement failure, drilling fluid failure and etc, caused by high temperature. Casing design will be more discussed due to many casing failure problem in geothermal industry as oil/gas principal`. The last, geothermal drilling in some countries will be updated in this paper, in order to gives us some update news and suggestion to our geothermal industry. Keywords: Geothermal Drilling, Geothermal Technology, Geothermal in Indonesia.

IV.

PENDAHULUAN

Sistem panas bumi dihasilkan melalui perpindahan panas di bawah permukaan oleh konduksi atau konveksi. Konduksi terjadi melalui batuan, sedangkan konveksi disebabkan oleh kontak antara air dan sumber panas. Air panas yang kontak dengan sumber panas akan lebih ringan dan bergerak ke atas, mendorong air yang lebih dingin. Selain suhu tinggi, karakteristik lain dari lapangan panas bumi adalah adanya fracture atau rekahan, yang menyebabkan masalah hilangnya sirkulasi saat pemboran. Jenis batuan yang sering dijumpai di sumur panas bumi ini adalah batuan beku. Batuan yang keras ini akan mempengaruhi bit dan tingkat penetrasi pemboran. Fluida reservoir panas bumi biasanya adalah uap atau air panas, berbeda dengan minyak atau gas reservoir. Biasanya di panas bumi, terdapat manifestasi panas bumi di permukaan, seperti mata air panas, danau panas, mata air panas, dll. Gradien temperatur rata-rata reservoir minyak dan gas sekitar 3 oC/100 m, sedangkan reservoir panas bumi, gradien bisa lebih dari itu, mencapai 10 oC/100 m atau bisa sampai sepuluh kali gradien suhu reservoir minyak dan gas. Di Eropa, kedalaman 4-5 km akan mencapai suhu 200-300 oC, di Amerika Serikat 300-

3 400oC dan lebih dari 500oC di Jepang (Teodoriu et al., 2009.). Saat ini, pengembangan panas bumi semakin meningkat sejak 1970-an. Teknologi pemboran panas bumi ini diadopsi dari teknologi pada kondisi tekanan tinggi suhu tinggi pada pengeboran minyak dan gas. Perbedaan utama, yaitu suhu, fluida produksi, dan jenis batu, membawa beberapa modifikasi desain dalam fluida pengeboran, drillstring, casing, semen dan alat-alat pengeboran. (Falcone dan Teodoriu, 2008). Indonesia dikenal sebagai "cincin api" karena kehadiran lebih dari 200 gunung berapi di sepanjang Sumatera, Jawa, Bali dan timur Indonesia. Berdasarkan data Badan Geologi Nasional Indonesia (NGAI), potensi panas bumi di Indonesia sekitar 27.000 MW (setara dengan 13 miliar minyak, yang merupakan terbesar di dunia. Ada 256 daerah potensial panas bumi, 84 lokasi terletak di Sumatera, 76 lokasi terletak di Jawa, 51 lokasi terletak di Sulawesi, 21 lokasi terletak di Nusa Tenggara, 3 lokasi terletak di Papua, 15 lokasi terletak di Maluku, dan 5 lokasi terletak di Kalimantan. Saat ini, ada 7 wilayah kerja panas bumi telah dikembangkan dengan total kapasitas 1.196 MW, yang berada di Darajat (260 MW), Dieng (60 MW), Kamojang (200 MW), Gunung Salak (377 MW), Sibayak (12 MW), Lahendong (60 MW), dan Wayang Windu (227 MW) Antara tahun 1974. - 2009, 430 sumur telah dibor (Darma et al., 2010) Biaya pengeboran sumur panas bumi berkisar antara 2-5 kali lebih tinggi daripada sumur gas/minyak dengan kedalaman yang sama.. Faktor utama yang mempengaruhi biaya pemboran kedalaman, diameter, casing desain dan karakteristik lokasi (Agustinus et al., 2010).

V.

TUJUAN

Secara umum, teknologi pemboran sumur panas bumi di Indonesia masih meniru negara lain di dunia. Indonesia masih belum mampu menciptakan teknologi terkait pengembangan panas bumi. Dalam makalah ini, dibahas mengenai teknologi pengembangan panas bumi di dunia, dengan harapan Indonesia mampu meneliti dan mengembangkan teknologinya sendiri.

Gambar 1. Impor teknologi panas bumi Indonesia

Gambar 2. Ekxpor teknologi panas bumi Indonesia

Gambar 3. Ranking negara importir teknologi panas bumi dunia 1. Menganalisis potensi energi panas bumi di Indonesia. 2. Menganalisis proses dan teknologi pemboran panas bumi di beberapa negara Eropa, Amerika dan Asia. 3. Melakukan penelitian dan studi literatur serta kuliah-kuliah yang telah dilakukan tentang pemboran panas bumi. 4. Memberikan rekomendasi pada pembaca dan Pemerintah terkait pengembangan panas bumi di Indonesia.

VI.

METODE

1. Studi literatur melalui jurnal, bahan kuliah, data ESDM dan data Industri. 2. Wawancara dengan Dosen dan Mahasiswa Magister program studi teknik panas bumi Institut Teknologi Bandung. 3. Wawancara dengan ahli dari perusahan panas bumi di Indonesia.

VII.

HASIL DAN PEMBAHASAN

VII.1. FLUIDA PEMBORAN

Fungsi fluida pemboran yang utama adalah untuk mengangkat cutting (serpihan pemboran) yang dihasilkan selama proses pemboran ke permukaan dan mengimbangi tekanan formasi, sama halnya seperti pemboran sumur minyak dan gas. Fluida pemboran yang umum digunakan pada sumur geothermal biasanya adalah air, polymer, water based bentonitic (atau selain bentonite) mud, aerated water, dan stiff foam. Reservoir geothermal umumnya terdapat pada daerah vulkanik, dimana batuan yang sering ditemukan adalah batuan beku, granit, dan terdapat pula batuan sedimen. Sering pula terdapat patahan lokal dan regional pada reservoir geothermal yang mengakibatkan permeabilitasnya besar sehingga seringkali menimbulkan fenomena kehilangan sirkulasi (lost circulation) saat proses pemboran. Dalam pemboran panas bumi, fluida pemboran menjadi salah satu kunci sukses keberhasilan (Sakuma dan Uchida, 1997). Untuk itu, fluida pemboran geothermal harus mampu untuk mengontrol tekanan formasi, mengangkat cutting ke permukaan, menstabilkan lubang bor, mendinginkan dan melubrikasi bit serta rangkaian pipa pemboran, mengurangi korosi, mengatasi zona lost circulation dan tidak menyebabkan fenomena swelling. Semakin tinggi temperatur, akan mengurangi akan mengurangi viskositas fluida pemboran. Untuk kapasitas fluida pemboran seperti yang disebutkan, dibutuhkan aditif-aditif seperti : Aditif untuk mencegah fenomena swelling adalah aditif yang mengandung garam (Cl). Aditif untuk mencegah dan mengatasi lost circulation adalah LCM (lost circulating material) seperti fiber, flakes, chemical agent : cellulose fiber, mica flakes. Aditif untuk mengurangi korosi adalah inhibitor korosi/corrosion reducer seperti produk yang mengandung amine- or phosphate. Aditif untuk zona temperatur tinggi (temperatur stability agent ) seperti acrilyc polymers, sulfonated polumers, and copolymers. Contoh : lignite, lignosulfonate, dan tannin based additives. Aditif untuk mempertahankan sifat reologi lumpur (viskositas) pada temperatur tinggi seperti CMC-LV, Polyplus, Chemtroll X (Nur et al, 2005).

Temperatur formasi menjadi salah satu parameter penting yang perlu diketahui ketika sedang melakukan pemboran. Untuk mengetahui temperatur formasi (borehole), dapat dilakukan dengan cara berikut : Mengukur temperatur fluida pemboran saat masuk sumur (Mud Temperatur In) dan temperatur fluida pemboran saat keluar dari annulus (Mud Temperatur Out). Thermometer Survey yang ditempatkan di BHA untuk mengukur temperatur ketika sedang melakukan pemboran. MWD temperatur survey Saat melakukan pemboran pun, panas dari formasi dipindahkan melalui fluida pemboran, sehingga temperatur fluida pemboran di permukaan setelah keluar dari annulus akan lebih tinggi daripada temperatur ketika masuk pipa pemboran. Untuk itu, fluida pemboran di permukaan perlu didinginkan fluida pemboran dengan sistem pendingin, dengan menggunakan semacam conventional mud coolers, untuk mendinginkan return mud. (Sakuma dan Uchida, 1997)

Gambar 4. Contoh skematik sistem pendinginan fluida pemboran (Sakuma dan Uchida, 1997) Kebanyakan sumur geothermal adalah sumur yang tekanannya telah turun (underpressured), dimana sering ditemui permasalahan kehilangan sirkulasi (lost circulation) selama operasi pemboran dan penyemenan (Sutter, 1979).

Gambar 5. Rentang densitas setiap jenis fluida pemboran (Leading Edge


Advantages, 2002)

Untuk pemboran sumur geothermal , dapat diterapkan metoda pemboran underbalance. Pada dasarnya, UBD (underbalanced drilling) adalah teknik pemboran dengan tekanan hidrostatik fluida pemboran lebih kecil daripada tekanan formasi. Maka, kuncinya adalah mengatur tekanan hidrostatik fluida pemboran sekecil mungkin dibandingkan tekanan formasi. Keuntungan penggunaan teknik pemboran underbalanced, secara umum adalah sebagai berikut: Mempercepat ROP, karena tekanan formasi jauh lebih tinggi daripada tekanan hidrostatik lumpur pemboran. UBD dapat diterapkan pada formasi batuan keras (hard rock formation) seperti batuan granit di reservoir panas bumi, dan mampu meningkatkan ROP hingga 10 kali pemboran konvensional. Adanya problem lost circulation bila dilakukan pemboran konvensional (overbalanced) di reservoir panas bumi karena tekanannya rendah (depleted). Dengan UBD, tidak ada fluida pemboran yang mengintrusi formasi, sehingga meminimalkan bahkan menghilangkan efek kerusakan formasi (skin damaged), sehingga produktivitas sumur meningkat. Mengurangi bahkan menghilangkan permasalahan pipa terjepit (differential pipe sticking). Meningkatkan umur bit, karena meminimalisir kontak antara bit dan batuan formasi. RPM bit lebih sedikit dibandingkan dengan pemboran konvensional, namun kedalaman yang dicapai lebih dalam dariapada pemboran konvensional. Kita dapat melakukan evaluasi formasi secara real time, karena fluida dari formasi mengintrusi lubang bor dan ikut mengalir bersama aliran fluida pemboran di annulus menuju permukaan, sehingga dapat dideteksi zona interest yang berpotensi mengalirkan fluida panas bumi. UBD akan lebih baik lagi diterapkan untuk sumur horizontal. Karena, sumur horizontal yang kerusakan formasinya kecil (bahkan tidak ada) akan sangat meningkatkan produktivitas formasi. Namun, untuk sumur horizontal, terdapat tantangan lain, yaitu jarak horizontal yang dicapai

terbatas dan efek gesekan (drag) yang terjadi sangat tinggi bila fluida yang digunakan bukan fluida cair (OBM).

VII.2. SEMEN

Dalam pemboran panas bumi, seringkali dihadapi permasalahan yang berkaitan dengan penyemenan. Casing harus disemen dan selama pemboran, sering terjadi permasalahn lost circulation. Operasi penyemenan adalah salah satu operasi yang paling penting dalam operasi pemboran untuk menguatkan kedudukan casing. Salah sastu cara menghadapi zona lost circulation, adalah menyemen daerah zona loss tersebut yang dapat memakan waktu lama tergantung dari rentang kedalaman zona yang akan disemen. Namun, saat ini untuk fenomena loss yang sedikit, jarang dilakukan penyemenan, kecuali untuk zona total loss circulation. Penyemenan casing yang baik dilakuakan dengan metode yang disebut inner-string cementing method yang dilakukan tepat sampai zona loss. Air yang dipompakan dari permukaan menjaga agar zona loss circulation tetap terbuka sampai dilakukan operasi squeeze cementing, dengan memompakan cement slurry melalui annulus sampai ke zona loss. Baru-baru ini "reverse" cementing telah berhasil diterapkan untuk menangani zona lost circulation, dimana semua semen dipompa melalui annulus, bukan dari drillstring sebagaimana operasi penyemenan lazimnya dilakukan. Di beberapa negara, "foam" cement telah digunakan untuk mengurangi densitas semen untuk mengurangi efek loss circulation saat operasi penyemenan, dan juga ditambahkan lost circulation material, seperti serpihan mika untuk menangani zona loss terebut. Penyemenan casing string yang sangat panjang dilakukan secara bertahap (biasanya 2 tahap, tergantung dari panjang casing), dengan peralatan yang dapat membuka port ke annulus untuk proses penyemenan tahap kedua setelah dilakukannya tahap penyemenan pertama. Packer yang dapat dikembangkan ditempatkan dibawah peralatan, dan sering digunakan pada sumur yang memiliki zona loss tinggi. terkadang, liner yang digantung di sumur, disemen, dan dipakai sebagai pump chamber, atau sebagai second section dari casing yang digantungkan sampai ke permukaan yang biasa disebut tie-back casing string. Semen harus mampu bertahan pada lingkungan temperatur tinggi, sehingga ditambahkan banyak zat kimia pada campuran semen. Semen yang paling banyak digunakan dalam pemboran geothermal, dan juga pemboran minyak dan gas adalah semen API kelas G dengan penambahan 40% silica flour (ground quartz, -325 mesh). Silica flour memberikan kekuatan pada semen untuk bertahan pada temperatur tinggi dan pada beberapa kasus, silica flour juga digunakan saat semen slag atau semen fly ash digunakan pada proses pemboran. Perusahaan service penyemenan sumur migas biasanya juga dilibatkan pada pelaksanaan operasi penyemenan sumur geothermal. Mereka membawa campuran semen mereka sendiri dan peralatan pemompaan serta material yang dibutuhkan untuk pekerjaan penyemenan ini. Untuk mengurangi biaya, beberapa kontraktor pengeboran melaksanakan operasi penyemenan dengan peralatan mereka sendiri dan menggunakan semen lokal. Aditif seperti temperature

retarders, fluid loss, friction reducer dan antifoam, seringkali digunakan berdasarkan waktu pemompaan yang dibutuhkan, yang merupakan fungsi dari suhu, ukuran pekerjaan, dan lainnya. Di Iceland, expanded perlite (bahan vulkanik yang mengembang seperti pop-corn bila dipanaskan dengan cepat) telah digunakan untuk mengurangi densitas semen menjadi 1.7 g/cm3 dan di negaranegara lain glass "microspheres" atau "foaming" slurry dengan injeksi gas atau udara juga sering digunakan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan collapse yang diberikan pada casing dari kolom semen dan untuk mengurangi kemungkinan fluida formasi masuk ke formasi dan terjadinya loss circulation. Semen pada sistem geothermal yang sering digunakan telah diajukan kepada National Bureau of Standards (NBS) untuk diuji dan diverifikasi. Jenis semen tersebut tertera di bawah ini: Kelas G + 35% silika flour + 54% H2O Kelas B + 35% silika flour + 54% H2O Kelas J + 44% H2O Kelas G + 35% silica flour + 2% bentonite + 8,5% perlite + 116% H2O Kelas G + 35% silica flour + 15% diatomaceous earth+ 91% H2O Kelas G + 100% silika flour + 2% sodium silikat extender + 136% H2O Penambahan Lignosulfonate sebanyak 0.2% berat semen pada setiap suhu, membawa pengaruh positif pada semen. Compressive strength cement naik seiring temperatur naik, dan bila temperatur konstan, compressive strength semen pun cenderung untuk naik (Satiyawira and Fathaddin, 2010). Semen foamed adalah semen yang terbuat dari bubur semen (cement slurry) konvensional API kelas G, foaming agents dan gas (biasanya nitrogen). Terdapat gelembunggelembung kecil (seringkali berukuran mikroskopik) dalam semen foamed, namun tidak saling terhubung (interconnected). Karena itu, semen foamed memiliki berat lebih ringan dibandingkan semen konvensional sehingga dapat mengurangi permasalahan kehilangan sirkulasi (lost circulation) selama proses penyemenan tahap pertama/primer (primary cementing). Semen foamed mampu menahan tekanan dari sekliling sumur (well bore) lebih baik daripada semen konvensional, karena ikatannya lebih kuat dan young modulusnya lebih tinggi dibandingkan dengan semen konvensional. Kapasistas insulasi-yaitu kemampuan menahan aliran panas dari sekeliling sumur-dari semen foamed dua hingga sepuluh kali lebih baik daripada semen konvensional. Semen yang biasa digunakan untuk kedalaman dalam adalah semen kelas G, 40% silicaflour dan microsilica, aditif fluid loss, retarder/accelerator (jika dibutuhkan). Untuk menyemen zona dangkal (shallow), maka digunakan accelerator calcium cloride, dan untuk zona dalam, digunakan syntetic liquid retarder. Biaya (cost per barrel )semen foamed sedikit lebih mahal daripada semen konvensional, namun hasilnya lebih baik (Niggemann et al, 2010).

10

Gambar 6. Microphotograph sampel semen foamed (Niggemann et al, 2010)

VII.3. BIT/MATA BOR


Tipe bit yang digunakan dalam pemboran geothermal sangat bervariasi mulai dari simple steel tooth, standard tricones, hingga carbide inserts. Dalam pemboran geothermal , dibutuhkan bit dengan kualitas baik untuk menghadapi zona batuan beku maupun metamorf yang sangat keras. Biasanya, umur bit pada pemboran sumur geothermal lebih singkat dibandingkan dengan pemboran minyak dan gas sehingga biaya pemboarn geothermal menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan pemboran geothermal . Hal ini khususnya dipengaruhi oleh tingginya temperatur, banyaknya guncangan/getaran, meningkatnya torsi seiring kedalaman, dan berat dari drill collar yang akan menyebabkan lebih cepatnya kerusakan pada bearing dan teeth, terutama rubber akibat pengaruh panas. Matrix yang digunakan pada diamonds bit tidak dapat bertahan pada zona temperatur tinggi. Kontraktor dalam industri pemboran panas bumi, lebih sering menggunakan bit rotary cone (tricone bit), karena formasi batuan yang keras dan temperatur tinggi. Bit PDC, yang paling banyak digunakan dalam pemboran sumur minyak dan gas, karena performanya yang baik ketika digunakan untuk menembus formasi batupasir, siltstone, dan formasi shale, namun, jarang digunakan dalam pemboran sumur geothermal , namun, banyak penelitian di dunia dilakukan untuk membuat bit PDC yang cocok, dalam hal ini mampu bertahan pada temperatur ekstrim dan menghadapi batuan keras dalam pemboran geothermal (Taylor, 2007). Umur bit pemboran terus ditingkatkan, terutama jenis bearing dengan "gigi" logam keras. Bit dengan tipe ini jauh lebih mahal, namun dapat diputar lebih dari satu juta putaran dan pengeboran sampai dengan 1000 m tanpa diganti. Hal ini sangat menguntungkan karena dibutuhkan sedikit pergantian bit, bahkan hanya dibutuhkan satu kali pergantian bit di bagian akhir, sehingga mengurangi biaya bit. Polycrystalline Diamond (PCD) bit telah digunakan dalam beberapa pengeboran panas bumi. Bit jenis ini bisa membor dengan cepat bahkan tanpa motor lumpur, tetapi biasanya menghasilkan torsi yang lebih tinggi dan masa hidup lebih pendek jika dibandingkan dengan tri-cone bit. Inovasi lain dalam bit di dunia geothermal adalah menggunakan replaceable drilling bit. Bit ini dimodifikasi khusus agar dapat membawa muatan cutter cadangan

11

dimana sebuah mekanisme khusus diterapkan pada bit ini agar bias mengganti cutter bit yang lama dengan cutter bit baru yang disimpan di dalam bit. Mekanisme ini sendiri memanfaatkan tekanan dari fluida pemboran. Dengan adanya inovasi ini, maka tidak diperlukan adanya tripping in dan tripping out sehingga dapat mengurangi rig time. Dengan berkurangnya rig time, diharapkan dapat mengurangi biaya pemboran yang dibutuhkan.

Dalam pemboran panas bumi, biasanya digunakan peralatan yang tahan temperatur tinggi (high temperatur downhole tools), seperti PDM(Positive Downhole Motor) untuk peralatan MWD, dan peralatan lain yang mampu bertahan pada suhu tinggi. Namun, mendinginkan BHA (Bottom Hole Assembly) dan bit ketika proses pengeboran pun dapat dilakukan untuk memperpanjang usia bit, BHA dan kinerja BHA dapat lebih baik dibandingkan pada suhu sangat tinggi. Cara mendinginkan BHA ketika sedang melakukan pengeboran adalah menghentikan sementara pemboran setiap beberapa titik kedalaman, lalu mensirkulasikan lumpur selama beberapa waktu agar bisa mendinginkan pipa pemboran, BHA dan bit (Sakuma dan Uchida, 1997).

Gambar 7. Penggunaan jenis bit pada pemboran geothermal (Hagen Hole)

VII.4. PIPA PEMBORAN DAN CASING

Pipa pemboran API S-135 adalah pipa baja yang paling kuat. Pipa pemboran E-75 adalah jenis pipa yang paling sering digunakan dalam pemboran geothermal , namun karena masalah ketersediaan di pasar (availability), kalangan industri menggunakan pipa jenis G-105 sebagai penggantinya. Teknologi pemboran panas bumi, banyak mengadopsi teknologi pemboran minyak dan gas, hingga penggunaan drill pipe standard API. Salah satu teknologi yang tergolong baru dalam penggunaan pipa pemboran adalah IDP. Insulated Drill Pipe atau IDP adalah gabungan pipa dari

12

liner (OD 3.5 in dan ID 3.068 in) yang dimasukkan ke dalam pipa pemboran (drill pipe 5 in) konvensional. Annulus antara liner dan pipa pemboran diisi insulating material yang mampu mengisulasi panas dari sekliling sumur geothermal . Dalam proses pemboran geothermal , fluida pemboran akan mengalami kenaikan suhu ketika melewati bagian dalam pipa pemboran akibat proses konduksi, sehingga akan menaikkan suhu fluida pemboran ketika mencapai dasar sumur. Dengan IDP, fluida pemboran yang melewati bagian dalam IDP akan sedikit terkena pengaruh kenaikan temperatur akibat efek konduksi dibandingkan pipa pemboran konvensional. Konsekuensinya, dengan menggunakan IDP temperatur fluida pemboran yang telah melewati annulus lubang sumur menuju permukaan pun akan mengalami sedikit pula penurunan suhu dibandingkan dengan drill pipe konvensional yang lebih banyak mengalami efek konduksi. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pendingin (mud coolers) di permukaan. Keuntungan IDP adalah mampu memindahkan lebih banyak panas di dasar sumur (temperatur fluida yang masuk IDP hingga nozzle bit hanya sedikit mengalami kenaikan) ke permukaan. Dengan begitu, peralatan logging, MWD dan peralatan lainnya dapat beroperasi lebih baik dengan berkurangnya temperatur dasar sumur. Namun, IDP (liner OD 3.5 in, ID 3.068 in, drill pipe 5 in) memiliki berat 33 lb/ft, lebih besar dibandingkan dengan pipa pemboran (drill pipe) 5 in konvensional dengan berat 19.5 lb/ft. Dengan berat yang lebih besar, maka akan menambah biaya secara signifikan. Ukuran diameter dalam (ID) IDP pun lebih kecil daripada pipa pemboran 5 in konvensional, sehingga kehilangan tekanan (pressure drop) yang terjadi lebih besar. Konsekuensinya, dibutuhkan tenaga hidraulik pompa yang lebih besar. Penelitian laboratorium dan tes lapangan telah menunjukkan IDP dapat bekerja dengan baik dalam pemboran geothermal . IDP masih dalam tahap penelitian dan pabrikasi untuk mencari konfigurasi yang ekonomis (Finger et al., 2002).

Gambar 8. Skema IDP (Anderson, 2010) Teknologi lainnya adalah ADP. Aluminium alloy drill pipe atau ADP adalah pipa dengan material aluminium yang telah digunakan di Rusia sejak beberapa tahun lalu (1960). ADP sering disebut LADP (lightweight aluminium drill pipe) dimana ADP ringan dan memiliki kekuatan yang baik. Keuntungan ADP adalah diameternya yang lebih besar dan lebih tebal dibandingkan pipa pemboran (drill pipe) API, akan meningkatkan kecepatan aliran fluida anulus dan mengurangi kehilangan tekanan (pressure loss), sehingga kapasitas pompa yang dibutuhkan lebih kecil. ADP memiliki berat yang lebih kecil dibandingkan pipa pemboran konvensional API, sehingga mengurangi derrick load, hook load, dan kapasitas rig yang dibutuhkan pun lebih kecil, atau mampu dipakai membor lebih dalam. Berat ADP yang lebih kecil dibandingkan pipa pemboran API (steel)

13

untuk diameter tertentu, akan meningkatkan bouyancy, sehingga mengurangi axial dan bending stress. Namun, ADP memiliki kekurangan, yaitu koefisien termal konduktivitas aluminium yang lebih tinggi daripada baja (steel), sehingga akan mengurangi kemampuan buckling load dan burst strength. Kekurangan lainnya adalah yield strength ADP akan berkurang secara signifikan terhadap penambahan temperatur, dibandingkan dengan pipa pemboran (baja) API (Anderson, 2010). Konfigurasi casing dalam pemboran geothermal berbeda dengan pemboran minyak dan gas, walaupun tipe yang digunakan sama-sama API. Biasanya, casing terakhir dalam desain sumur panas bumi (production casing) berukuran 9-5/8 (244 mm). Untuk casing ukuran tersebut, dibutuhkan ukuran surface casing 133/8 (340 mm), seperti sering digunakan di USA dan Jepang. Di Eropa, kebanyakan sumur geothermal dibor dengan kedalaman lebih dari 4000 m, dan menggunakan surface casing 18-5/8 (473 mm). Ukuran casing yang besar ini dibutuhkan karena diinginkan volume fluida panas bumi yang besar untuk diproduksikan. Untuk sistem panas bumi yang cukup besar seperti ini, dibutuhkan production casing 13-3/8 (340 mm), namun akan berdampak langsung pada peningkatan biaya.

Gambar 13. Konfigurasi casing sumur geothermal (Saptadji, Teknik Panas Bumi) Sumur geothermal dengan ukuran besar (big bore well), dengan menggunakan casing lebih besar (surface casing 20 inchi, 13 5/8 in) dan liner 9 5/8 in, akan meningkatkan biaya pemboran kira-kira 17% dan waktu pemboran 7%, namun mampu meningkatkan produksi hingga 66% dibandingkan dengan casing kecil (13 3/8 in, casing 9 5/8 in) dan liner 7 in. (Bush and Siega 2010) Penerapan teknologi sumur panas bumi banyak mengadopsi langsung dari teknologi sumur minyak dan gas, begitu pula dengan casing yang digunakan. Casing yang banyak digunakan di sumur panas bumi adalah casing dengan grade J-55, dan untuk sumur dalam digunakan K-55 sebagai penggantinya. Casing

14

dengan grade N-80 pun sering digunakan, dan untuk sumur geothermal yang terdapat H2S, digunakan L-80. Casing grade lainnya adalah C-95, yang saat ini banyak diganti dengan T-95, atau S-95. Casing grade P-110 digunakan untuk sumur geothermal yang tidak terdapat H2S, namun jarang digunakan. Untuk lingkungan ekstrim (temperatur tinggi), sering digunakan casing 9 Chrome L-80 dan 13 Chrome L-80. Casing Titanium (Beta-C Titanium) digunakan untuk beberapa kondisi, namun harganya sangat mahal. Casing-casing yang sering digunakan untuk sumur minyak dan gas seringkali biayanya menjadi lebih mahal bila digunakan di sumur panas bumi. Casing-casing tersebut seringkali digunakan untuk sumur-sumur minyak dan gas yang temperaturnya tinggi, namun untuk kedalaman yang tidak terlalu dalam. Penggunaan casing-casing tersebut untuk sumur dalam akan berdampak pada penambahan biaya teknologi pemasangan. Tantangan utama pada komplesi sumur panas bumi adalah kualitas dan ketahanan semen, kriteria pemilihan casing hanger (mampu untuk bertahan pada temperatur tinggi) dan stress dari termal. Casing fatigue dan integritas semen adalah permasalahan sumur-sumur panas bumi yang umum dihadapi yang berbeda dari sumur minyak dan gas, akibat stress dari temperatur yang tinggi (Teodoriu et al., 2009). Komplesi sumur panas bumi relatif lebih mudah dilakukan daripada sumur minyak dan gas. Untuk penggunaan air sebagai fluida pemboran, sumur tidak membutuhkan pembersihan yang rumit, namun bila fluida pemboran yang digunakan adalah lumpur konvensional, yang mengandung bentonite dan aditif lainnya, dibutuhkan pembersihan dengan brine (air asin) setelah proses pemboran dan logging. Setelah pembersihan dengan air asin, khususnya pembersihan slotted liner, maka rig pemboran dipindahkan dan BOP diganti dengan X-mass tree (Cromling, 1973). Sambungan pipa model API LTC tidak cocok digunakan untuk kondisi beban tekanan/tegangan tinggi (Brunetti and Mezzeti, 1970). Semua penggunaan model sambungan API LTC dilaporkan mengalami kerusakan pada kondisi temperatur tinggi. Model sambungan yang lebih baik dari LTC adalah API Buttress, meskipun memiliki resiko kebocoran gas dan fluida pada kondisi tekanan rendah. Model sambungan premium lebih baik daripada API Buttres, namun biayanya lebih mahal, yang dapat memperbesar biaya pemboran panas bumi. Hingga saat ini, penggunaan model sambungan pada pipa masih diteliti, dan masih mengadopsi teknologi pemboran minyak dan gas untuk pemboran panas bumi.

15

VIII.

KESIMPULAN

1.

2. 3.

4.

Meskipun mengadopsi teknologi pemboran panas bumi dari pengeboran minyak/gas gas, ada beberapa perbedaan yang tidak dapat diabaikan, seperti suhu, jenis batuan dan jenis produksi cairan. Perbedaan itu harus dipertimbangkan dalam merancang sumur panas bumi. Kehilangan sirkulasi sering terjadi dalam pengeboran panas bumi, sehingga diusulkan untuk menggunakan metode pengeboran underbalanced. Desain casing pada pemboran minyak/gas dapat digunakan dalam desain casing panas bumi dengan beberapa koreksi yang disebabkan oleh suhu ekstrim. Faktor suhu harus dimasukkan dalam desain casing panas bumi. Analisis tentang fluida pengeboran, semen, drillpipe dan casing dalam pengeboran panas bumi telah dilakukan dalam rangka memperluas wawasan pembaca. DAFTAR PUSTAKA

IX.

1. Augustine, Chad et al. 2006. A Comparison of Geothermal with Oil and Gas Well Drilling Cost. 7PROCEEDINGS, Thirty-First Workshop on Geothermal Reservoir Engineering. Stanford University, Stanford, California, January 30-February 1 (2006) 2. Albertsson, Albert et al. 2003. The Iceland Deep Drilling Project: Fluid Handling, Evaluation, and Utilization. International Geothermal Conference, Reykjavk (2003) 3. Anderson, Erin A., 2010. Aluminium Alloy Drill Pipe in Geothermal Drilling. Proceedings World Geothermal Congress 2010, Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 4. Brikisson, Strula F. and Hagen, Hole. 2007. Aerated Fluids for Drilling of Geothermal Wells. Proceedings European Gothermal Congress 2007 Unterhaching, Germany, 30 May 1 June (2007) 5. Bush, John and Siega, Christine, 2010. Big Bore Well Drilling in New Zealand A Case Study. Proceedings World Geothermal Congress, Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 6. Cromling, John., 1973. Geothermal Drilling in California. SPE Paper. California. 7. Dahl, Thomas and Vos, Bart. 1999. Underbalanced Drilling Manual. Baker Hughes. Version 1.0. 8. Darma, Surya et al. 2010. Geothermal Energy Update: Geothermal Energy Development and Utilization in Indonesia. Proceedings World Geothermal Congress 2010 Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 9. Elders, Wilfred A. and Fridleifsson, Gumundur . Drilling for Deep Geothermal Resources in Iceland. 10. Falcone, G. and Teodoriu, C., 2008. Oil and Gas Expertise for Geothermal Exploitation : the Need for Technology Transfer. SPE Europec/EAGE Annual Conference and Exhibition, Rome, Italy, 9-12 June (2008)

16

11. Finger, J.T, Jacobson, R.D. and Champness, A.T., 2002. Development and Testing of Insulated Drill Pipe.SPE Paper. New Orleans (2002) 12. Fournier, R.O. (1999) Hydrothermal processes related to movement of fluid from plastic into brittle rock in the magmatic-epithermal environment. Economic Geology 94: 1193-1211). 13. Hole, Hagen. Developments and Economics of Geothermal Drilling. Presentation. Geothermal Consultants New Zealand Limited. 14. Hlmgeirsson, Sveinbjrn et al. 2010. Drilling Operations of the First Iceland Deep Drilling Well (IDDP). Proceedings World Geothermal Congress 2010 Bali, Indonesia, 25-29 April (2010). 15. Koi, Ivan and Kritofi, Tom. 2009. Ultra Deep Drilling Technologies for Geothermal Energy Production. Conference and Summer School, International Geothermal Days Slovakia (2009) 16. Lazzarotto, Alessandro and Sabatelli, Fabio. 2005. Technological Developments in Deep Drilling in the Larderello Area. Proceedings World Geothermal Congress 2005 Antalya, Turkey, 24-29 April (2005) 17. Leading Edge Advantages.,2002, Introduction to Underbalanced Drilling. 18. Niggeman, Kim et al., 2010. Foamed Cementing Geothermal 13 3/8. Intermediate casing : NGP 61-22. Proceedings World Geothermal Congress 2010, Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 19. Nur, Suhascaryo., Nawangsidi, Dody., Sri Rejeki, Handayani. 2005. Laboratory Study of High Temperatur Additive to Rheology Properties of Drilling Mud under Dynamic Conditions. Proceedings World Geothermal Congress 2005 Antalya, Turkey, 24-29 April (2005) 20. Rybach, Ladislaus. 2010. The Future of Geothermal Energy. Proceedings World Geothermal Congress 2010 Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 21. Sakuma, S., Uchida, T., 1997. Frontier Geothermal Drilling Operations Succeed at 500oC BHST. SPE Paper. Amsterdam, Netherland. 22. Saptadji, Nenny Miryani., Teknik Panas Bumi. Diktat Kuliah. Bandung. 23. Satiyawira, Bayu et al., 2010. Effects of Ligonulfonate and Temeparture on Compresive Strength of Cement. Proceedings World Geothermal Congress 2010, Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 24. Sutter, V.E., 1979. The Application of Petroleum Engineering to Geothermal Development. SPE Paper. California. 25. Taylor, Mark A. 2007. The State of Geothermal Technology. A Publication by the Geothermal Energy Association for the U.S. Department of Energy. 26. Teodoriu, C. et al., 2009. Drilling Deep Geothermal Reservoir : the Future of Oil and Gas Business. Beitrag Der Geothermiekongress, Bochum, Germany, 17-19 November (2009) 27. Thorhallsson, Sverrir et al. 2010. Well design and drilling plans of the Iceland Deep Drilling Project (IDDP). Proceedings World Geothermal Congress 2010 Bali, Indonesia, 25-29 April (2010) 28. Ullah, Syeid Zahoor and Bukhari, Syed Rehan Shah. 2008. Geothermal Reservoirs : A Renewable Source of Energy and an Extension of Petroleum Engineering. SPE Papers (SPE 114718)

Anda mungkin juga menyukai