Anda di halaman 1dari 15

Seorang perempuan umur 16 tahun, minta dipasang IUD

Kelompok 2

MODUL FORENSIK

030.09.002 030.09.012 030.09.022 030.09.042 030.09.052 030.09.062 030.09.072 030.09.082 030.09.092 030.09.102 030.09.112 030.09.122 030.09.132 030.09.142

Ageng Budiananti S Amira Danila Angga Haditya Azizah Chairiani Chaterine Grace Tauran Denata Prabhasiwi Dinnoor Ismansyah Fanny Isyana Fardhani Fitrania Sufi Mardina Giovanni Duandino Hikmah Soraya Irina Aulianisa Krisna Adiyuda Marco Indrakusumah

Laporan Kasus
Seorang perempuan muda berusia 16 tahun datang ke tempat praktek dokter. Ia berterus terang bahwa ia telah memiliki pacar yang merupakan kakak kelasnya dan hubungannya telah jauh hingga ke tingkat persetubuhan. Kedua orang tua mereka tidak mengetahui hubungan mereka karena mereka lakukan pada jam-jam sekolah. Sang perempuan takut kalau nantinya menjadi hamil, tapi ia juga takut untuk memutuskan hubungannya dengan sang pacar. Ia meminta dokter untuk dapat memasang IUD pada rahimnya agar ia tidak hamil. Sang dokter kebingungan dengan keadaan ini, ia berpikir tentang baik-buruknya pemasangan IUD pada sang perempuan.

Prinsip-prinsip Moral
Prinsip Otonomi yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent; Prinsip Beneficence yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat); Prinsip non-maleficence yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm; Prinsip Justice yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Menurut Beauchamp and Childress (1994), unutk mencapai keputusan etik perlu kaidah (dasar moral) tersebut:
menurut prinsip otonomi, dokter harus menghargai hak-hak pasien, keputusan menerima tindakan atau menolak tindakan yang diwujudkan dengan informed consent.

Namun, dalam hal ini pasien belum kompeten untuk menyetujui informed consent karena masih di bawah umur dan seharusnya yang menyetujui informed consent pasien ini adalah wali dari pasien, yaitu orangtua. Di Indonesia, untuk keputusan pemilihan alat kontrasepsi biasanya menggunakan persetujuan suami.

Secara hukum sesorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampunan. Dewasa diartikan usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Pada kasus ini pasien masih 16 tahun dan belum menikah, maka pasien dianggap belum kompeten.

Pada prinsip beneficence, dokter harus memikirkan baik buruknya suatu tindakan yang akan diambil untuk pasien.
Pasien masih berumur 16 tahun dan sudah aktif secara seksual. Maka menurut dari beberapa penelitian pasien beresiko terkena kanker serviks. Oleh karena itu dokter harus mengedukasi pasien tentang bahaya seks di bawah umur agar pasien tahu bahayanya dan diharapkan mau mengurangi bahkan menghentikan kebiasaannya itu. Walaupun dilihat dari indikasi untuk pemasangan IUD, maka pasien sudah ada indikasi yaitu aktif secara seksual dan ingin mencegah kehamilan.

Prinsip non-maleficence, dokter dilarang untuk melakukan tindakan yang akan memperburuk keadaan pasien.
IUD/AKDR sendiri merupakan tindakan invasif dan ada efek samping yang mungkin timbul, mungkin saja dengan pemakaian IUD akan berdampak buruk pada pasien karena tidak semua wanita cocok dengan IUD ditambah dengan umur pasien yang masih sangat muda.

IUD/AKDR
IUD atau AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) adalah alat kecil terdiri dari bahan plastik yang lentur yang dimasukkan ke dalam rongga rahim, yang harus diganti jika sudah digunakan selama periode tertentu. IUD merupakan cara kontrasepsi jangka panjang. Nama populernya adalah spiral.
Cara kerja Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii. Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri. IUD bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun IUD membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi sperma untuk fertilisasi. Boleh menggunakan IUD Usia reproduktif. Keadaan nulipara. Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang. Perempuan menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi. Setelah melahirkan dan tidak menyusui. Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi. Risiko rendah dari IMS. Tidak menghendaki metoda hormonal. Tidak menyukai mengingat-ingat minum pil setiap hari. Tidak menghendaki kehamilan setelah 1 5 hari senggama.

Yang tidak diperkenankan menggunakan IUD Belum pernah melahirkan. Adanya perkiraan hamil. Kelainan alat kandungan bagian dalam seperti: perdarahan yang tidak normal dari alat kemaluan, perdarahan di leher rahim, dan kanker rahim. Perdarahan vagina yang tidak diketahui. Sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis). Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septic. Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim yang dapat mempengaruhi kavum uteri. Penyakit trofoblas yang ganas. Diketahui menderita TBC pelvic. Kanker alat genital. Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm.

Efek samping dan komplikasi perubahan siklus haid, haid lebih lama dan banyak, perdarahan antar mensturasi, saat haid lebih sakit. Komplikasi lain: merasa sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah pemasangan, perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan penyebab anemia, perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangan benar). Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS. Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau yang sering berganti pasangan. Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai IUD, PRP dapat memicu infertilitas. Prosedur medis, termasuk pemeriksaan pelvik diperlukan dalam pemasangan IUD. Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan IUD. Biasanya menghilang dalam 1 2 hari. Klien tidak dapat melepas IUD oleh dirinya sendiri. Petugas terlatih yang dapat melepas. Mungkin IUD keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apabila IUD dipasang segera setelah melahirkan). Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi IUD mencegah kehamilan normal. Perempuan harus memeriksa posisi benang IUD dari waktu ke waktu.

Dampak Hukum
IUD atau AKDR adalah sebagai kontrasepsi yang kontranidasi, ini berarti bahwa sperma dan ovum telah bertemu dan karena adanya IUD maka tidak akan terjadi nidasi. Prinsip kontrasepsi ini sebenarnya juga berlawanan dengan LSDI (Lafal Sumpah Dokter Indonesia) yang dikuhkuhkan dalam PP No.26 tahun 1960, maka seorang dokter yang melanggar sumpah tersebut berarti telah melanggar peraturan pemerintah, sehingga dapat diancam hukuman sesuai peraturan yang berlaku. Namun, KB merupakan program nasional, sehingga sanksi terhadap pelanggaran tersebut agaknya tidak diberlakukan. Dari segi hukum, dapat dianggap melanggar KUHP pasal 534 yang melarang usaha pencegahan kehamilan.

KUHAP Pasal 253

Barangsiapa dengan terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terangterangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa di dapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.

Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kami menyimpulkan bahwa dokter tidak diperkenankan untuk memasang alat kontrasepsi dikarenakan dokter harus berpegang pada prinsip moral dalam mengutamakan hak otonomi pasien (diperlukannya informed consent dan dalam hal ini, pasien belum cukup umur untuk menandatangani informed consent), mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien dan tidak memperburuk keadaan pasien (dimana tindakan pemasangan AKDR bukan merupakan pilihan yang baik untuk pasien, karena terdapat beberapa kontraindikasi pemasangan AKDR untuk pasien), selain itu juga, dokter yang berkompeten untuk memasang AKDR adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Akan tetapi, dokter juga harus menghormati hak privasi pasien, menjaga kerahasiaan pasien dan memegang janjinya apabila pasien meminta agar dokter tidak memberitahukan masalahnya kepada kedua orang tuanya. Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan oleh dokter adalah memberikan edukasi kepada pasien mengenai hal-hal negatif yang kemungkinan besar dapat merugikan pasien maupun pasangannya dalam berhubungan seksual diluar nikah dan dibawah umur, seperti komplikasi terjadinya kanker serviks, terjadinya penyakit menular seksual serta kehamilan yang tidak diinginkan.

Daftar Pustaka
Epidemiologi Perilaku Seks Remaja. Available at: http://www.scribd.com/doc/77617732/TUGAS-EPIDEMIOLOGI-OK. Accessed on April 18th, 2012. IUD. Available at: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-ranidinart6396-3-babii.pdf. Accessed on April 18th, 2012. Beauchamp TL, Childress JF. Principles of biomedical ethics. 5th ed. Oxford: Oxford University Press; 2001. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta; 2007. Hanafiah Jusuf. Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam: Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC. 2009. Hal 14-6. EPO. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Available from: http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2. Accessed on: 16 April 2012.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai