Anda di halaman 1dari 15

INOVASI JASA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF Ardiwansyah Nanggong*

Abstrak: Makalah ini membahas tentang bagaimana peran inovasi jasa (service innovation) di tengah terjadinya pergeseran paradigma pemasaran dari goods-dominant logic ke servicedominant logic. Fokus bergeser dari tangibles mengarah ke intangibles, seperti keterampilan, informasi, pengetahuan, dan hubungan interaksi. Hal ini sesuai dengan karakter jasa yang mengutamakan pada pengembangan ide dalam proses inovasi. Pergeseran tersebut mengubah cara pandang dalam proses inovasi yang tidak lagi memandang sumberdaya yang bersifat material sebagai bahan baku utama (raw materials). Fokus utama perspektif ini pada proses pertukaran (exchange) dengan pihak yang terlibat (konsumen, supplier) sehingga akan menghasilkan nilai (value). Dalam pertukaran tersebut akan terjadi transfer pengetahuan dan ide yang akan berguna membentuk inovasi yang bernilai. Keterlibatan konsumen dalam menciptakan nilai dari suatu jasa sebagai creation value dalam suatu jasa. Pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen akan menjadi sumber berharga bagi organisasi dalam melakukan inovasi jasa yang bernilai (value). Dalam proses penciptaan nilai pada inovasi jasa, pelanggan berperan sebagai cocreator of value. Dalam lingkungan yang terus berubah dan hyper competitive menjadi perlu bagi perusahaan memberikan jasa superior yang dibutuhkan oleh konsumen. Service Innovation menjadi salah satu jawaban untuk merespon perubahan lingkungan tersebut. Terlebih lagi, konsep inovasi jasa yang melibatkan dan menempatkan konsumen sebagai pusat dari usaha inovasi sehingga proses transformasi informasi dan pengetahuan akan terjadi. Nilai proses co-creation yang melibatkan pelanggan, pemasok dan pesaing akan menciptakan value proposition yang unggul. Proses penciptaan nilai dalam hubungan relasional inilah yang menjadi sumber yang fundamental sebuah proses inovasi dalam menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantage). Keywords: Service-dominant logic, service innovation, co-creation value, competitive advantage.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa hari yang lalu, kita disuguhkan fenomena yang mencuat dalam sektor jasa. Peristiwa paling terakhir adalah adanya seorang Bupati di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang membuat geger dengan aksi koboy-nya yang menyuruh aparat satpol Pamong Praja menutup bandara (www.tempo.co/ 21 Desember 2013). Selang beberapa hari sebelumnya terjadi aksi demo besar-besaran para dokter seindonesia sebagai bentuk simpati atas kasus yang menimpa dokter Ayu dkk (www.tribunnews.com/ 27 November 2013). Beberapa tahun yang lalu juga sempat heboh kasus yang menimpa Prita, seorang
1

korban atas sebuah layanan rumah sakit (www.lipsus.kompas.com). Kita juga masih ingat bagaimana kasus pemukulan pramugari oleh seorang penumpang yang juga sebagai pejabat di suatu daerah (www.tempo.co/ 7 juni 2013). Menarik disimak rentetan peristiwa tersebut terjadi dalam bidang layanan jasa. Beberapa fenomena di atas mengindikasikan sangat penting dan mendesaknya sektor jasa menjadi perhatian praktisi, akademisi, dan pemerintah dalam rangka menciptakan pelayanan prima atau menurut (Treacy dan Wiersema, 1993) disebut sebagai keprimaan operasional (operational excellence) dalam menyampaikan jasa. Sektor jasa memang menjadi mencuat sejalan dengan perubahan kebutuhan masyarakat. Keinginan akan kemudahan dan kecepatan pemenuhan kebutuhan masyarakat menyebabkan sektor jasa terus mengakselerasi bentuk. Dalam perspektif ekonomi, perbedaan produk (goods) dan jasa (services) pun menjadi lebih luas. Proses penciptaan dan penawaran jasa tidak lagi memandang semata-mata bersifat intangible atau murni jasa (pure services) tetapi kadang bersifat hybrid product (Kotler dan Keller, 2012), yang berarti dalam penciptaan jasa terdapat sejumlah unsur produk fisik yang terlibat. Dan saat ini, beberapa produk fisik (goods) telah memasukkan instrumen jasa sebagai daya tarik dan pelengkap produk intinya. Hal inilah menyebabkan terjadinya pergeseran dari goods dominant logic ke service dominant logic seperti yang diprediksi oleh Vargo dan Lusch (2004,2008a). B. Pergeseran paradigma sektor jasa Mulai tahun 1980-an ditandai dengan banyaknya bermunculan rerangka baru yang tidak didasarkan pada konsep 4P yang berasal dari analisis luar mikroekonomi. Hal itu antara lain relationship marketing, manajemen mutu, orientasi pasar, manajemen rantai nilai dan pasokan, resource management dan jaringan. Hal paling menonjol adalah munculnya pemasaran jasa sebagai sub disiplin baru dalam pemasaran. Kemunculan ini sebagai akibat dari kelemahan logika dominan pemasaran produk fisik dalam menjelaskan fenomena jasa yang memiliki karakter khusus (Tjiptono dan Chandra, 2011). Sejalan dengan perkembangan waktu, para pakar mulai mempertanyakan masa depan konsep pemasaran yang didasari teori pertukaran barang fisik. Atas dasar itulah, Vargo dan Lusch (2004) merumuskan evolusi pemikiran pemasaran dalam sebuah logika
2

dominan yang berbasis jasa/layanan. Fokus bergeser dari tangibles mengarah ke intangibles, seperti keterampilan, informasi, pengetahuan, dan hubungan interaksi. Paradigma pemasaran baru beralih dari goods-dominant view (output fisik, transaksi diskrit) ke arah service-dominant view (intangibility, proses pertukaran dan relasi). Service-Dominant Logic (S-D logic) sebagai penyediaan layanan/jasa merupakan tujuan fundamental dari pertukaran ekonomi dan pemasaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Maglio, dan Spohrer, 2008) bahwa entitas dalam pertukaran kompetensi sistem jasa setidaknya ada empat dimensi yaitu berbagi informasi, worksharing, risk-sharing dan goods sharing. Individu dan organisasi (kelompok) saling mempertukarkan sedangkan barang, uang, organisasi dan jejaring merupakan perantara ( intermediaries) atau institusi tambahan (collateral institutions) dalam proses pertukaran layanan/jasa (Tjiptono, 2008). Berbeda dengan produk fisik yang produksinya membutuhkan sumber daya material, produksi jasa tidak membutuhkan sumber daya material tetapi yang bersifat intangibles seperti ide, dan inovasi. Dalam penyediaan produk fisik yang membutuhkan input yang berwujud sebagai bahan baku (raw material). Hal ini menjadi tantangan dan kelemahan dalam produk fisik karena sumberdaya berwujud itu dapat habis dan bisa saja tidak terbaharukan. Sehingga penciptaan produk fisik sangat tergantung pada kesediaan raw material yang berwujud. Atas dasar itulah, penyediaan jasa menjadi salah satu jawaban atas makin berkurangnya sumberdaya yang berwujud. Sistem pengembangan produk baru yang tradisional dengan pendekatan industri menjadi pengembangan inovasi jasa (service innovation) yang mengembangkan kapabilitas pengetahuan dan ide demi inovasi berkelanjutan (Sivunen et al, 2013). Service innovation juga akan berdampak pada kepuasan konsumen, nilai perusahaan dan resiko perusahaan (Dotzel et al, 2013). Adapun Vargo dan Lusch (2004) beranggapan bahwa pendekatan Service-Dominant Logic dalam pengembangan inovasi menekankan pada penciptaan nilai dimana terdapat keterlibatan konsumen selama proses inovasi sebagai co-creator. Untuk itulah, pentingnya meletakkan dasar, bagaimana suatu inovasi jasa menjadi keunggulan kompetitif baru dalam ranah pemasaran di tengah perubahan lingkungan dan kompleksitasnya industri manufaktur.

PEMBAHASAN

Telah diketahui secara umum bahwa sumbangsih penyerapan tenaga kerja dalam sektor jasa menunjukkan tingkat yang signifikan. Data triwulan III BPS November 2013 memaparkan sumbangsih penyerapan tenaga kerja pada beberapa kategori yang didalamnya terdapat layanan jasa seperti sektor jasa-jasa 11,10%, perdagangan, Hotel dan restoran 13,88%, komunikasi 7,07%, keuangan dan jasa perusahaan 7,44%. Dalam beberapa dekade terakhir pola penyerapan tenaga kerja bergeser, dari yang semula berpusat pada sektor industri manufaktur beralih ke sektor jasa. Disamping itu, berbagai bentuk jasa baru juga bermunculan dalam rangka merespon perubahan kebutuhan konsumen, baik individual maupun organisasi. Perubahan pola penyerapan tenaga kerja ini oleh Lovelock et al disebut sebagai hollowing out effect ( Tjiptono dan Chandra, 2011). A. Konsep Jasa a. Definisi Jasa Istilah jasa (service) dalam literatur manajemen beraneka ragam. Johns dalam Tjiptono dan Chandra (2011) mengemukakan bahwa konsep service secara garis besar mengacu pada tiga lingkup definisi utama: industri, output atau penawaran dan proses. Lingkup industri digunakan untuk menggambarkan kategori aktivitas ekonomi seperti transportasi, finansial, ritel, kesehatan, pendidikan dan layanan publik. Lingkup penawaran, bahwa jasa sebagai produk intangible yang outputnya lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik. Lingkup proses mencerminkan panyampaian jasa inti, interaksi personal, serta pengalaman layanan. Sementara Lovelock et al dalam Tjiptono dan Chandra (2011) beranggapan bahwa service sebagai sebuah sistem. Dalam pandangan ini, setiap jasa dianggap sebagai sebuah sistem yang terdiri dari dua komponen utama yaitu operasi jasa ( service operations) dan penyampaian jasa (service delivery). Penyediaan jasa bisa hadir dimanapun berada, Kotler and Keller (2012) mendefinisikan sebuah jasa adalah segala tindakan atau kenerja suatu kelompok yang dapat menawarkan pada yang lain sesuatu yang intangible dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. Sejalan dengan hal itu, Vargo dan Lusch (2008b) dalam
4

perspektif S-D Logic beranggapan bahwa jasa adalah pengaplikasian kompetensi (knowledge dan skills) melalui tindakan, proses dan kinerja untuk memberikan manfaat (benefit) bagi entitas yang lain atau entitas itu sendiri. Berdasarkan beberapa argumen tentang konsep dan definisi jasa, dapat disimpulkan bahwa jasa adalah proses penyampaian sesuatu yang tak berwujud (intangible) kepada pihak lain sehingga berguna, bermanfaat dan kepuasan atas apa yang ditawarkan.

b. Bentuk Jasa Sesungguhnya perbedaan secara tegas antara barang dan jasa tidaklah mudah dilakukan. Hal ini disebabkan karena pembelian produk fisik sering kali dibarengi pula dengan unsur jasa/layanan tertentu, misalnya instalasi, penyampaian garansi, pelatihan operasional, perawatan dan reparasi. Sedangkan pembeliah jasa juga seringkali melibatkan barang-barang pelengkap, misalnya buku tabungan dan kartu ATM, bis dan keretapi dalam jasa transportasi. Dalam kenyataannya, penawaran dapat bervariasai di antara dua titik ekstrim yang bersifat kontinum, yaitu murni berupa barang pada satu sisi dan jasa murni pada sisi yang lainnya. Kotler dan Keller (2012) membedakan lima kategori jasa yang dinamakannya Service Mix : 1. Pure Tangible Good, berupa produk fisik murni seperti sabun mandi, pasta gigi, garam, yang tidak disertai layanan jasa pada produk bersangkutan. 2. Tangible Good with Accompanying services, sebuah penawaran barang fisik yang disertai dengan satu atau beberapa layanan. Misalnya dealer mobil menawarkan jasa test drive, reparasi, penggantian suku cadang. Pada tipe ini lebih bertipikal pnggunaan teknologi dalam mendukung kinerja jasa. 3. Hybrid, penawaran pada tipe ini terdiri atas komponen barang dan jasa yang relatif seimbang. Misalnya restoran siap saji yang menyediakan makanan dan penyediaannya. 4. Major service with accompanying minor goods and services, dalam tipe ini membutuhkan kapital intensif yang cukup besar untuk mewujudkannya tetapi item jasa yang menjadi utama. Misalnya dalam konteks jasa penerbangan, ada
5

sejumlah unsur barang fisik pelengkap yang terlibat seperti makanan, minuman dan televisi. 5. Pure service, penawaran pada tipe ini hamper seluruhnya adalah jasa seperti jasa tukang pijat, konsultan psikologi, babysitter, pengacara dan pengajar.

c. Karakteristik Jasa Berbagai literatur manajemen dan pemasaran jasa mengungkap bahwa jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dengan barang dalam mengelola dan memasarkannya. Lovelock dan Gummensson dalam Tjiptono (2011) mengistilahkannya sebagai paradigma IHIP (Intangibility, Heterogenity/Variability, Inseparability, perishability). Kotler dan Keller (2012) juga membedakan empat karakter jasa tersebut yang akan berdampak pada program pemasaran. 1. Intangibility, tidak seperti produk fisik, suatu jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli atau dikonsumsi. Produk intangible diyakini akan lebih sulit dievaluasi, karena dapat menimbulkan tingkat ketidakpastian dan resiko yang lebih besar. Oleh karena itu, untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli seringkali menggunakan bukti fisik kualitas jasa yang bersangkutan yang digambarkan dari tempat ( place), orang (people), peralatan (equipment), materi komunikasi (communication material), simbol (symbols), harga (price) yang mereka amati.
2. Heterogenity/Variability, karena kualitas jasa tergantung siapa, kapan, dimana

dan untuk siapa jasa tersebut disediakan maka jasa sangat beraneka ragam. Misalnya dua orang datang ke salon yang sama dan meminta model rambut yang sama, tidak akan mendapatkan hasil yang identik. Untuk menjamin konsumen, beberapa perusahaan menawarkan garansi jasa untuk mengurangi resiko persepsi konsumen. a) Investasi pada rekrutmen dan prosedur pelatihan b) Standardisasi proses kinerja jasa organisasi secara menyeluruh c) Mengawasi kepuasan konsumen 3. Inseparability, jika biasanya produk fisik diproduksi dahulu, dijual lalu dikonsumsi, maka jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi
6

antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan cirri khas jasa. Keduanya akan mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa yang bersangkutan karena

keterlibatannya dalam proses produksi jasa tersebut. 4. Perishability, salah satu karakter jasa adalah tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian masa mendatang. Sifat perishability jasa ini akan menimbulkan masalah krusial ketika terjadi fluktuasi permintaan. Oleh karena itu, beberapa alternatif strategi yang bias digunakan perusahaan dalam mengatasi masalah penawaran dan permintaan jasa tersebut, antara lain : a) Differential pricing atau De-marketing b) Nonpeak Demand c) Conmplementary services d) Reservation systems

B. Inovasi Jasa (Service Innovation) Seperti telah diketahui bahwa sektor jasa memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan produk fisik. Salah satu hal signifikan dalam jasa adalah proses produksinya yang bertumpu pada kemampuan keterampilan ( skill) dan pengetahuan (knowledge) penyedia jasa. Sehingga jasa pada dasarnya adalah pengaplikasian kompetensi yang dimiliki penyedia jasa dalam menawarkannya ke konsumen. Dengan sifat jasa yang berbasis pada sumberdaya (resource) tak berwujud (intangibles) maka dalam pengembangan jasa akan didasarkan pada perluasan idea creative dalam rangka menciptakan nilai dari jasa tersebut. Atas dasar itulah, inovasi jasa (service innovation) menjadi hal krusial dalam pengembangan jasa. Konsep RBV (Resource-Based View) yang dipopulerkan oleh Barney pada tahun 1991 beranggapan bahwa sumber daya menjadi kompetensi dan kapabilitas intra organisasi dalam menciptakan dan menangkap nilai ( value). Walaupun demikian, konsep RBV banyak mengalami kelemahan karena hanya mencakup kapabilitas atau sumberdaya (resources) internal organisasi sehingga perlu dikolaborasikan dengan aktivitas proses (Mller et al, 2008). Keterlibatan konsumen dalam menciptakan nilai dari suatu jasa sebagai creation value dalam suatu jasa. Pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen akan menjadi sumber berharga bagi
7

organisasi dalam

melakukan inovasi

jasa

yang

bernilai ( value).

Dengan

menggabungkan kapabilitas internal dengan berdasarkan konsep RBV dan aspek relasional diharapkan akan terjadi inovasi jasa ( service innovation). Istilah service innovation menurut Helge Aas dan Pedersen (2010) dikenal juga, sebagai New

Service Development (NSD) yang merupakan sub kategori New Product Development (NPD). Sejalan dengan itu, Aa dan Elfring dalam Aas et al (2010) mengatakan bahwa service innovation adalah meliputi gagasan, praktek atau objek baru untuk organisasi dan lingkungan yang relevan, yang menjadi kelompok referensi dari inovator. a. Transfer ide dan pengetahuan dalam inovasi Jasa Resource theory yang diinspirasi oleh Service-Dominant Logic (SDL) memberikan gambaran nilai strategi, keterampilan, pengetahuan dan budaya kompetensi perusahaan (Arnould, 2008). Konsep SDL dari Vargo dan Lusch (2004) memperkenalkan perspektif tersendiri mengenai sumber daya ( resources), yang menurutnya bahwa sumber daya itu bersifat dinamis dan mencakup pula unsur-unsur non-fisik. Dalam perspektif S-D Logic dibagi menjadi dua, yaitu Operand Resources dan Operant Resources. Operand Resouces yaitu sumberdaya yang menjadi objek tindakan, operasi atau kinerja. Pada dasarnya, jenis ini berupa sumberdaya fisik, seperti mesin, tanah, bangunan, bahan mentah. Sedangkan Operant Resources yaitu sumberdaya yang bertindak atas atau menghasilkan sumberdaya lain. Jenis ini meliputi sumberdaya manusia (seperti keterampilan dan pengetahuan karyawan), organisasional (pengendalian, budaya perusahaan, kompetensi), informasional (seperti informasi tentang segmen pasar, pesaing dan teknologi) dan relasional (misalnya, hubungan dengan pesaing, pemasok, dan pelanggan) (Vargo dan Lusch, 2004; Hunt, 2004) . Perspektif S-D Logic menempatkan operant resources sebagai

sumberdaya utama yang dibutuhkan setiap perusahaan. Lebih lanjut S-D logic berpandangan bahwa pemasaran merupakan serangkaian proses sosial dan ekonomi yang sangat terfokus pada operant resources sebagai elemen utama untuk menghasilkan value propositions yang lebih baik dibandingkan pesaing. Fokus utama perspektif ini pada proses pertukaran ( exchange) dengan pihak yang
8

terlibat (konsumen, supplier) sehingga akan menghasilkan nilai (value). Dalam pertukaran tersebut akan terjadi transfer pengetahuan dan ide yang akan berguna membentuk inovasi yang bernilai. Dengan kata lain pelanggan menentukan valuein-use mereka dan pemasar hanya bisa menawarkan value propositions (Varey and Ballantyne,2008). Salah satu sumbangsih penemuan Vargo dan Lusch (2004) menguraikan 8 premis pokok S-D logic, yaitu 1. Aplikasi keterampilan dan pengetahuan yang terspesialisasi merupakan unit pertukaran fundamental. 2. Pertukaran tidak langsung meyelubungi unit pertukaran fundamental. 3. Barang merupakan mekanisme distribusi bagi penyediaan jasa. 4. Pengetahuan adalah sumber fundamental keunggulan kompetitif. 5. Semua perekonomian adalah perekonomian jasa. 6. Pelanggan selalu berperan sebagai Co-Creator of Value 7. Perusahaan hanya bisa membuat value propositions. 8. S-D logic berorientasi pada pelanggan dan bersifat relasional. adalah

b. Co-creation Value Seperti yang diungkapkan oleh Vargo dan Lusch bahwa proses penciptaan nilai melibatkan konsumen sebagai co-creator nilai. Misalnya, merek global

McDonald, sering mengambil makna yang berbeda karena memasuki negara dan budaya berbeda (Watson dalam Akaka et al. 2013). Watson menjelaskan makna dan norma-norma sosial berbeda yang terkait dengan interaksi antara McDonald dan pelanggan dalam berbagai negara Asia. Secara umum, pelanggan Asia tidak menganggap sebagai "fast food" dan menghabiskan jauh lebih banyak waktu untuk bersosialisasi dengan makan di McDonald. Pelanggan memberlakukan perbedaan konteks budaya untuk mencerminkan pengalaman unik dan penciptaan nilai melalui pertukaran dan integrasi penawaran pasar tertentu. Nilai proses co-creation yang melibatkan pemasok akan menciptakan value proposition yang unggul, dengan pelanggan penentuan nilai terjadi ketika sebuah pelayanan atau barang yang baik dikonsumsi. Value proposition, yang
9

relevan dengan target pelanggan pemasok , akan menghasilkan kesempatan yang lebih besar untuk co-creation dan menghasilkan manfaat (atau 'value') yang diterima oleh pemasok melalui pendapatan, laba, (Payne et al, 2008). Dalam konsep S-D Logic, co-creation value adalah suatu tujuan yang diinginkan karena dapat membantu perusahaan-perusahaan dalam menyorot cara pandang pelanggan atau konsumen dan meningkatkan proses mengidentifikasi keinginan pelanggan dari awal sampai akhir. Payne et al, (2008) dalam studinya membangun rerangka proses pengelolaan creation value yang melibatkan pelanggan sebagai co-creator of value; pemasaran sebagai 'perancang' hubungan, pertemuan dan dialog antara pelanggan dengan pemasok, pengetahuan sebagai sumber fundamental kebutuhan dan

keunggulan kompetitif, dan fokus pada sumber daya instrumental (operant resources) sebagai unit kunci dari pertukaran. Penemuan ini mendukung premis Vargo dan Lusch bahwa pelanggan berperan sebagai co-creator of value. Hasil studi ini juga berimplikasi bagaimana pentingnya perjumpaan antara pemasok dan pelanggan dan berkolaborasi dalam penciptaan nilai. Sehingga komunikasi pemasaran dan dialog dalam rangka penciptaan nilai ( co-created value) menjadi sangat mendesak dilakukan. c. Dampak Inovasi Jasa dalam Perusahaan Jasa Masih kurangnya penelitian dan literatur yang mengkaji efek dari inovasi jasa (service innovation) sehingga tidak menemukan kesepakatan yang pasti akan efek dari inovasi jasa. Studi Aas et al (2010) yang melakukan penelitian akan dampak inovasi jasa dengan pendekatan studi literatur mengkategorisasikan dampak inovasi jasa dalam lima level, yaitu : 1. Efek Proses Bisnis, dalam level ini membahas dampak pada: proses internal bisnis, kapasitas penyediaan jasa, biaya internal, produktivitas, fleksibilitas reduksi resiko. 2. Efek Kapabilitas, dalam kategori ini mencakup dampak pada:

pembelajaran (learning), budaya, pertumbuhan karyawan, kepuasan karyawan.

10

3. Efek Relasional, dalam kategori ini didasarkan pada dampak : nilai konsumen, kepuasan konsumen, loyalitas konsumen, lock-in effect, citra (image), hubungan mitra bisnis, kualitas jasa. 4. Efek Finansial, dalam kategori ini mencakup dampak pada: kinerja finansial secara umum, market share, penjualan (jasa baru), penjualan (jasa yang telah ada), market value perusahaan. 5. Efek Kompetitif, dalam kategori ini didasarkan dampak pada: posisi persaingan, kemampuan untuk bertahan (survive), penciptaan pasar baru, kinerja strategik.

Dari kelima efek dari inovasi jasa ini, diketahui bahwa efek proses bisnis, efek kapabilitas dan efek relasional berhubungan langsung dengan service innovation. Efek proses bisnis berhubungan dengan efek kinerja finansial karena dapat mengurangi dan meningkatkan pendapatan dari penjualan. Selanjutnya efek relasional dapat berhubungan dengan efek kinerja finansial (melalui peningkatan pendapatan penjualan) dan efek kompetitif. Hubungan antara efek relasional dan efek kompetitif dari inovasi jasa didasari pada konsep resource-based view dari Barney sebagai keunggulan kompetitif. Hasil ini juga mendukung penemuan Vargo dan Lusch (2004) yang beranggapan konsep service-dominant view menitikberatkan aspek relasional dalam proses pertukaran dimana akan mengakibatkan keunggulan kompetitif karena sharing knowledge terjadi dalam proses tersebut.

C. Inovasi Jasa sebagai Keunggulan bersaing Dalam lingkungan yang terus berubah dan hyper competitive menjadi perlu bagi praktisi dan perusahaan memberikan jasa superior yang dibutuhkan oleh konsumen. Service Innovation menjadi salah satu jawaban untuk merespon perubahan lingkungan tersebut. Terlebih lagi, konsep inovasi jasa yang melibatkan dan menempatkan konsumen sebagai pusat dari usaha inovasi sehingga proses transformasi informasi dan pengetahuan akan terjadi. Kandampully and Duddy (1999) menjelaskan bahwa service innovation dibutuhkan untuk memahami sifat
11

kebutuhan konsumen yang kompleks dan nilai yang dikaitkan pada produk atau jasa tersebut. Dalam pasar global, keunggulan kompetitif perusahaan dapat dengan mudah diimitasi oleh kompetitor. Hal ini tentu berkaitan dengan ketidakmampuan perusahaan menciptakan dan mematenkan inovasi mereka. Keunggulan kompetitif menjadi wacana penting dalam lingkungan yang terus berubah, beberapa literatur mengacu pada konsep RBV dari Barney dalam kaitannya dengan keunggulan kompetitif perusahaan (Fahy, 1996; Borchert, 2008). Disamping peran resource dalam keunggulan kompetitif, Bharadwaj et al (1993) mengusulkan keterampilan (skill) dan sumberdaya (resource) organisasi yang akan menjadi sustainable competitive advantage dalam industri jasa. Walaupun banyak yang mengacu pada RBV, beberapa pakar berpendapat bahwa RBV tidak memadai dalam mencakup proses bagaimana sumber daya ditransformasikan dan ditawarakan kepada pelanggan karena terlalu berorientasi pada intra-organisasi sehingga

mengesampingkan aspek relasional (Mller et al, 2008). Sehingga dalam konteks inovasi jasa (service innovation), konsep S-D logic Vargo dan Lusch yang berorientasi pada pertukaran relasional dapat menjawab kelemahan konsep RBV dalam menjelaskan terciptanya keunggulan kompetitif ( competitive advantage) dalam sektor jasa. Hal ini sesuai dengan studi Sivunen, et al (2013) yang didasarkan pada SD logic menemukan rerangka sustanaibility business innovation (SBI) yang terdiri dari komponen partisipasi aktif konsumen, keterlibatan jaringan nilai, diskontinuitas inovasi.

KESIMPULAN

Sejalan dengan mencuatnya perkembangan sektor jasa dalam dunia bisnis, maka sektor jasa menjadi fokus perhatian banyak pihak termasuk pemasar, akademisi dan praktisi. Saat ini, layanan jasa yang tidak lagi semata-mata dipahami sebagai domain produk jasa (service) tetapi dalam produk fisik juga telah memasukkan elemen jasa dalam melengkapi produk intinya. Hal ini membuat proses pengembangan inovasi jasa menjadi sangat vital perannya dalam bisnis saat ini. Proses inovasi jasa yang membutuhkan sumberdaya yang bersifat intangible seperti ide, pengetahuan dan skill menjadikan proses inovasi jasa menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, proses pengelolaan sumberdaya
12

intangible menarik perhatian perusahaan ditengah pergeseran paradigma goods-dominant logic menuju service-dominant logic. Ide, pengetahuan dan skill dalam berinovasi saat ini tidak lagi berasal dari internal perusahaan tetapi juga berasal dari luar perusahaan, seperti pelanggan, pemasok bahkan dari pesaing itu sendiri. Dengan kata lain, pemasaran berbasis relasional menjadi medium dalam mengakselerasi proses inovasi suatu perusahaan. Berbagai hasil studi

menunjukkan bagaimana pola interaksi relasional akan menjadikan pihak eksternal perusahaan berperan sebagai co-creator of value dalam proses inovasi penciptaan produk dan jasa. Nilai proses co-creation yang melibatkan pelanggan, pemasok dan pesaing akan menciptakan value proposition yang unggul. Proses penciptaan nilai dalam hubungan relasional inilah yang menjadi sumber yang fundamental sebuah proses inovasi dalam menciptakan keunggulan bersaing.

13

Referensi

Aas, T. H., and Pedersen, P.E. (2010). The Firm-Level Effects Of Service Innovation: A Literature Review. International Journal of Innovation Management, Vol. 14, No. 5 (October 2010) pp. 759794. Akaka, M. A., Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2013). The Complexity of Context: A Service Ecosystems Approach for International Marketing, Journal of International Marketing, Vol. 21, No. 4, pp 1-20. Arnould, J. E. (2008). Service-dominant logic and resource theory. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p21-24. Bharadwaj, S. G., Varadarajan, P.R. and Fahy, J. (1993). Sustainable Competitive Advantage in Service Industries: A Conceptual Model and Research Proposition. Journal of Marketing, Vol. 57. Pp. 83-99. Borchert, O. (2008). Resouce-Based Theory: Creating and Sustaining Advantage; Book Review. Journal Of Marketing Management, Vol. 24, No. 9-10, pp. 1041-1044. Dotzel, T.,Shankar, V. and Berry, L. (2013). Service Innovativeness and Firm Value. Journal of Marketing Research, Vol. L (April). Fahy, J. (1996). Competitive Advantage in International Services: A Resource-Based View. International Studies of Management and Organization, Vol. 26, N0. 2, pp. 24-37.
http://www.tempo.co/read/news/2013/12/21/058539214/Tidak-Dapat-Tiket-Bupati-Ngada-TutupBandara (di akses 31 Desember 2013) http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/27/ratusan-dokter-demo-di-ma-istana-danbundaran-hi (Di akses 31 Desember 2013) http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/1294/1/Kasus.Prita.Mulyasari (Di akses 31 Desember 2013) http://www.tempo.co/read/news/2013/06/07/063486506/Kronologi-Pemukulan-PramugariSriwijaya-Air (di akses 31 desember 2013)

Hunt, S. D. (2004). On the service-centered dominant logic of marketing. Journal of Marketing, 68(1), 2122.

14

Kandampully, J and Duddy, R. (1999). Competitive advantage through anticipation, innovation and relationships. Management Decision, Vol. 37/1, pp 51-56. Kotler, P. and Keller, K. L. (2012), Marketing Management 14th ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Maglio, P. P., and Spohrer, J. (2008). Fundamental Service System. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p18-20. Mller, K., Rajala, R. and Westerlund, M. (2008). Service Innovation Myopia? a new recipe for client provider value creation. California Management Review, vol. 50, no. 3. Payne, A. F., Storbacka, K. and Frow, P. (2008). Managing the co-creation of value. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p83-96. Sivunen, M.,Pulkka, L.,Henonen, J.,Kajander, J.K and Junnila, S (2013). Servicedominant innovation in the built environment. Construction Innovation, Vol. 13 No. 2. Tjiptono, F dan Gregorius Chandra. (2011). Service, Quality & Satisfaction. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tjiptono, F. (2008). Service Management: mewujudkan layanan prima. Yogyakarta: Penerbit Andi. Treacy, M and Fred Wiersema (1993), Customer Intimacy and Other Value Disciplines, Harvard Business Review, January-February, pp 83-93. Varey, R.J.,and Ballantyne, D. (2008). The service-dominant logic and the future of marketing. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p11-14. Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2004). Evolving to a new dominant logic for marketing. Journal of Marketing, 68, 117, (January). Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2008a). Service-dominant logic: continuing the evolution. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p1-10. Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2008b). Why service ?. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p25-38.

15

Anda mungkin juga menyukai