Anda di halaman 1dari 13

Program Studi : Hubungan Internasional Sebagai Pemenuhan Mata Kuliah Komunikasi Internasional

Peran Pers di Era Orde Baru dan Reformasi

NOPEMBER 2012

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

ABSTRAKSI Pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi Mei 1998. Hal tersebut merupakan momen bersejarah dengan di tandainya pengunduran diri presiden Soeharto yang pada saat itu yang telah berkuasa selama 32 tahun. Pers bukan merupakan pelopor dari gerakan revolusi, namun pers yang kita ketahui telah memberikan kontribusi yang signifikan yaitu dengan menyampaikan berita-berita yang kritis. Berita-berita kritis tersebut diharapkan dapat melemahkan legitimasi rezim Orde Baru yang berkuasa pada saat itu. Peran pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 dapat digeneralisasikan bahwa wacana mengenai kontribusi signifikan pers dalam memicu perubahan masyarakat yang seakan mengikuti teori klasik komunukasi massa yang telah populer sejak lama, yaitu teori serba media.1 Dapat diasumsikan bahwa media massa dalam hal ini pers mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyarakat. Bukan hanya dalam bentuk opini, pers juga dapat mempengaruhi gerakan sosial. Peran pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 pada massa itu mengalami beberapa kendala dalam peranannya tersebut. Guna memperoleh informasi mengenaijudul makalah kami meneliti dengan studi kepustakaan, yakni dengan menganalisa dan menggambarkan peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 melalui buku-buku, jurnal, dan artikel yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Pers sebagai suatu lembaga sosial yang mempunyai kekuatan dalam sistem politik dan berdasarkan pengamatan penulis bahwa pers selama orde baru senantiasa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, dengan kata lain dilakukannya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers, namun dalam situasi dan kondisi seperti itu pers tetap mampu berperan dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998.

Generalisasi merupakan membentuk suatu gagasan lebih sederhana dari yang sebenarnya panjang, lebar, dan sbg. Oleh Wayan Ulandari (201010360311134), Arsyi Nabiela Nora S (2010103603111 29 ), dan Dewi Ayu Shifa (20101036031117 ), Fhika Risky Meisandy (201010360311105).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi merupakan dasar dari berbangsa, yang pada umumnya memberikan pengertian bahwa adanya kesempatan untuk rakyat dalam ikut serta memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam kebijakan pemerintah karena kebijakan tersebut dapat menentukan kehidupannya. Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam perundang-undangan. Agar masyarakat dapat berperan serta dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka perlu adanya sarana atau media yang akan digunakan dalam partisipasi tersebut. Sarana yang dimaksud adalah pers, yang diharapkan dapat menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan dalam menyalurkan partisipasi masyarakat. Dalam proses demokratisasi faktor komunikasi dan media massa mempunyai fungsi penyebaran informasi dan kontrol sosial. Pers merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat, sehingga demokrasi dapat terlaksana sebagai lembaga sosial pers.2 Pers berkewajiban membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers secara baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh itu benar-benar berkaitan dengan proses input. Demokrasi sering kali datang bersamaan dengan mobilisasi rakyat, yakni rakyat yang berbagai unsur masyarakat terbawa dalam suatu massa yang mencari identitasnya dengan berbagai unjuk rasa. Mobilisasi yang demikian bisa saja terkendali yang mendesak agar dilakukan negosiasi-negosiasi untuk peralihan kearah demokrasi. Atau mungkin juga berbentuk suatu massa yang sulit terbendung, seperti yang pernah terjadi di Indonesia yang dimana terjadi mobilisasi massa secara besar-besaran yang dipelopori oleh mahasiswa untuk
2

Lembaga sosial pers adalah sebuah wadah bagi proses input dalam sistem politik.

menumbangkan rezim pemerintahan yang otoriter dan menciptakan demokrasi. Mobilisasi massa atau gerakan revolusioner yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei 1998, didukung oleh berbagai kalangan, hal tersebut juga tidak lepas dari dukungan dan peran pers. Ada banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas merupakan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan media massa maka hal tersebut dapat menghambat cara untuk pemberitaan penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Dalam pemerintahan kebenaran merupakan suatu hal yang dapat membahayakan, sebab kebenaran akan membuka seluruh jaringan yang ada. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak adilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi. Terkucilnya prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek demokratisasi. Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik dinegara ini.3 Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai balancer antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab. Pers di negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers itu sendiri. Dalam sejarah demokratisasi di Indnesia, khususnya pada era orde baru yang mencapai puncaknya pada peristiwa revolusi Mei 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde baru dan pengunduran diri presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, pers mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tentunya tidak terlepas dari kedala dan hambatan yang mereka alami karena rezim pemerintahan orde baru dikenal
3

Sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada (Harsono Suwardi, 1993 : 23)

sebagai rezim pemerintahan yang otoriter yang memasung hak masyarakat untuk berbicara. Diakui bahwa pers Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan reformasi atau revolusi pada tahun 1998, yang mencapai momen bersejarah dengan pengunduran diri Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun pada 21 Mei 1998. Dengan demikian dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini melalui pertanyaan, yaitu : Bagaimana peranan pers dalam demokratisasi di Indonesia khusunya dalam peristiwa revolusi Mei 1998 ? B. Metodologi Dalam penelitian ini kami menggunakan metode komparatif. Metode Komparatif merupakan metode yang digunakan dalam penelitian yang diarahkan untuk mengetahui apakah antara dua variable ada perbedaan dalam suatu aspek yang diteliti. Dalam konteks ini relevansi penggunaan metodologi komperatif adalah untuk mengetahui peran serta hambatan didalam berlangsungnya suatu pemerintahan yakni perbandingan antara masa orde baru dan masa reformasi. Kendatipun demikian, berdasarkan pengetahuan sejarah yang ada dan hasil dari pembandingan diantara kedua masa kekuasaan tersebut menghasilkan analisa secara statistic untuk mencari perbedaan variable yang diteliti.

C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana peran pers dalam demokratisasi di Indonesia khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998? 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pers dalam upaya mewujudkan demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998?

D. Batasan Masalah Mengingat cukup luasnya bahasan dalam kajian kali ini, guna mempermudah memahami Penulis mengambil batasan masalah mulai dari peran pers pada massa Soeharto, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh pers.

BAB II PEMBAHASAN A. Peran Pers dalam Era Orde Baru dan Revormasi 1. Pers masa orde baru Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan. Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk. Berdasarkan teori politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan

ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah : 1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara 3. Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi 4. Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya Jika sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru. Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi : 1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat 2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers 3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik

4. Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers 5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. 6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan 7. Mendata persahaan pers Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas. 2. Pers masa reformasi Bagaimana dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya. Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat. Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat

ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi. Pers masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top down, melainkan juga bottom up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan kebijakan yang akan diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi fungsi pers cukup terlaksana. Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar norma. Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128). Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat

dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia. 3. Kendala-kendala yang di hadapi pers Peranan Pers Dalam Peristiwa Revolusi Mei 1998", dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peranan pers dalam peristiwa revolusi Mei 1998 serta mengetahui kendalakendala yang dihadapi oleh pers dalam menjalankan peranannya tersebut. Pers selama orde baru senantiasa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah, dengan kata lain dilakukannya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap pers, namun dalam situasi dan kondisi seperti itu pers tetap mampu berperan dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam peristiwa revolusi Mei 1998.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, kami dapat menyimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top down dan bottom up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit. Lan, May. 2002. Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada Masa Orde Baru. Yogyakarta: Kalika. Sastropoetro, Santoso. 1991. Propaganda salah satu bentuk Komunikasi Massa. Bandung Edward Cecil, Smith. 1986. Pembredelan pers di Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafitipers. Sastropoetro, R. A. Santoso. 1991. Propaganda; salah satu bentuk komunikasi massa. 1991: Penerbit alumni.

Anda mungkin juga menyukai