Anda di halaman 1dari 3

6 Tahap Perkembangan Iman Sepanjang Usia

Suka atau tidak suka, pembicaraan mengenai agama akan selalu menarik banyak orang, mulai dari yang ortodoks dan fundamentalis hingga yang moderat dan liberal. Dari diskusi itu, biasanya akan terlihat bagaimana seseorang mengimani agamanya Tuhannya. Ada yang memegang aturan dengan ketat; penyimpangan dan penambahan berarti sesat, kafir, atau masuk neraka tanpa ampun. Di sisi lain, ada pula yang terkesan cuek dengan ritual; bagi mereka, yang penting adalah golden rule: Memperlakukan orang lain (dengan baik seperti kita ingin diperlakukan orang lain (dengan baik pula . Mengapa bisa terdapat beragam bentuk penghayatan iman! Menurut "ames #o$ler, seorang teolog, faktor lingkungan atau faktor %hidayah&'&karunia& sa(a tidak cukup untuk men(elaskannya. )man (uga adalah interaksi faktor*faktor di atas dengan pikiran seseorang yang semakin matang seiring bertambahnya usia. Dari pemahaman itu, ia kemudian menyusun sebuah tahapan pertumbuhan iman dari perspektif psikologi perkembangan. +agi #o$ler, iman didefinisikan sebagai %cara memandang atau mengetahui dunia&. )man (uga tidak harus selalu tertu(u kepada sebuah tuhan atau sosok makhluk lainnya; keyakinan terhadap sains, kemanusiaan, atau "edi sekalipun sah*sah sa(a disebut sebagai iman, asalkan orang itu meyakini obyek imannya sebagai yang paling bernilai ( ultimate worth dan mampu memberi makna bagi hidupnya. Dimulai dengan definisi itu, ia bersama rekan*rekannya dari ,ar-ard Di-inity School me$a$ancarai lebih dari .// orang dengan usia, keyakinan, suku, latar belakang pendidikan, dan latar belakang sosial*ekonomi yang beragam. ,asilnya adalah 0 tahap perkembangan iman dari a$al hingga akhir hidup seseorang. 1eenam tahap ini dilalui dengan linear, artinya tahap berikut baru dapat dicapai setelah menyelesaikan tahap sebelumnya. 2amun, gambaran umur dalam setiap tahap hanya sekedar perkiraan kasar; transisi ke tahap selan(utnya biasanya dipicu oleh pengalaman baru, krisis, atau pencerahan yang mengguncang iman. 1arena itu, banyak (uga orang yang seumur hidupnya tidak pernah beran(ak dari tahap tertentu, meskipun ada pula yang bisa mele$ati tahap tertentu sebelum mencapai usia yang %seharusnya&. Tahap 1: Intuitive-projective faith (usia 34*5. bulan sampai 6 tahun 7ada masa ini %iman& anak banyak diperoleh dari apa yang diceritakan orang de$asa. Dari cerita* cerita itu mereka membentuk gambaran Tuhan yang perkasa, surga yang ima(inatif, dan neraka yang mengerikan. 8ambaran ini umumnya bersifat irasional, karena pada masa ini anak belum memahami sebab*akibat dan belum dapat memisahkan kenyataan dan fantasi. Mereka (uga masih kesulitan membedakan sudut pandang Tuhan dengan sudut pandang mereka atau orangtuanya. 1onsep Tuhan yang diyakini pada masa ini berkisar pada kepatuhan ( obedience dan hukuman (punishment . Tahap 2: Mythic-literal faith (usia 6 sampai 35 tahun Anak sudah lebih logis dan mulai mengembangkan pandangan akan alam semesta yang lebih tertata. Meskipun sudah mengikuti kepercayaan dan ritual orangtua serta masyarakat, mereka cenderung mempercayai cerita dan simbol religius secara literal karena pada masa ini anak belum mampu berpikir abstrak. Di sisi lain, mereka sudah dapat memahami bah$a Tuhan

mempunyai sudut pandang lain dengan turut mempertimbangkan usaha dan niat seseorang sebelum %menghakiminya&. Mereka percaya bah$a Tuhan itu adil dalam memberi gan(aran yang sepantasnya bagi manusia. Tahap 3: Synthetic-conventional faith (usia rema(a dan selan(utnya Setelah mampu berpikir abstrak, rema(a mulai membentuk ideologi (sistem kepercayaan dan komitmen terhadap ideal*ideal tertentu. Di masa ini mereka mulai mencari identitas diri dan men(alin hubungan pribadi dengan Tuhan. 2amun identitas mereka belum benar*benar terbentuk, sehingga mereka (uga masih melihat orang lain (biasanya teman sebaya untuk panduan moral. )man mereka tidak dapat dipertanyakan dan sesuai dengan standar masyarakat. Tahap ini pada umumnya terdapat pada pengikut agama yang terorganisasi; sekitar 9/ persen orang de$asa mungkin tidak akan mele$ati tahap ini. Tahap 4: Individuative-reflective faith (a$al hingga pertengahan umur duapuluhan Mereka yang bisa mencapai tahap ini mulai memeriksa iman mereka dengan kritis dan memikirkan ulang kepercayaan mereka, terlepas dari otoritas eksternal dan norma kelompok. 7ada tahap ini masalah orang muda umumnya terkait dengan pasangan hidup, sehingga perpindahan ke tahap ini bisa dipicu oleh perceraian, kematian seorang teman, atau peristi$a* peristi$a lainnya yang menimbulkan stres. Tahap 5: Conjunctive faith (usia paruh baya 7ada usia paruh baya, orang (adi semakin menyadari batas*batas akalnya. Mereka memahami adanya paradoks dan kontradiksi dalam hidup, dan sering menghadapi konflik antara memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri dengan berkorban untuk orang lain. 1etika mulai mengantisipasi kematian, mereka dapat mencapai pemahaman dan penerimaan lebih dalam, yang diintegrasikan dengan iman yang mereka miliki sebelumnya. Tahap 6: Universalizing faith (lan(ut usia 7ada tahap terakhir yang (arang dapat dicapai ini, terdapat para pemimpin moral dan spiritual, seperti Mahatma 8andhi, Martin :uther 1ing, dan +unda Teresa, yang -isi dan komitmennya terhadap kemanusiaan menyentuh begitu banyak orang. Mereka digerakkan oleh keinginan untuk ;berpartisipasi dalam sebuah kekuatan yang menyatukan dan mengubah dunia<, namun tetap rendah hati, sederhana, dan manusia$i. 1arena sering mengancam kekuasaan, mereka kerap men(adi martir; dan meski mencintai kehidupan, mereka tidak terikat padanya. Kritik dan Keterbatasan Sebagai sebuah temuan a$al ((ika tidak dikatakan pionir dalam bidang perkembangan iman, $a(ar (ika kemudian ada beberapa kritik terhadap penelitian #o$ler yang telah menghasilkan tahapan ini. Dari proses pengambilan sampel, subyek penelitian #o$ler lebih me$akili populasi berbudaya barat dengan kecerdasan dan pendidikan yang cukup baik. 7ada mereka yang tidak termasuk, terutama masyarakat berbudaya non*barat, hasil ini harus diu(i lebih lan(ut. Selain itu, definisi %iman& yang dipakai #o$ler agak berbeda dari pengertian yang lebih umum yang lebih menekankan penerimaan ketimbang introspeksi kognitif. )a (uga dikritik karena menganggap iman yang sederhana dan tak terbantahkan sebagai iman yang belum matang. Terlepas dari segala kritik dan keterbatasan yang ada, upaya penyusunan tahapan iman ini harus dihargai. Di tengah serangan dari sebagian ilmu$an agresif yang menganggap agama dan iman kepada Tuhan sebagai sebuah penyakit mental, delusi, atau ski=ofrenia, usaha #o$ler merupakan

a$al dari banyak penelitian lan(utan yang dilakukan para ilmu$an psikologi untuk mendamaikan sains dan agama.

Anda mungkin juga menyukai