Anda di halaman 1dari 2

Utilitas Trotoar dan Ruang Terbuka oleh PKL

Berjalan di trotoar lebar dan bersih yang memanjakan para pejalan kaki masih merupakan mimpi atau fantasi belaka. Saat ini banyak trotoar sempit yang diisi Pedagang Kaki Lima (PKL) di dua sisinya (sisi pinggir jalan dan sisi yang menempel ke bangunan). Lebih buruk lagi, sepeda motor pun juga diparkir di atas trotoar. Hak pejalan kaki sebagai pengguna totoar tidak terpenuhi. Kenyamanan pejalan kaki atau pedestrian berhubungan dengan kepadatan pejalan dan juga bentuk fisik trotoar, begitu pula dengan kebebasan bergerak juga sangat diperlukan baik yang disebabkan oleh pejalan atau pengguna pedestrian yang lain yaitu pedagang kaki lima yang mengambil ruang untuk berjualan. Sarana jalur pejalan kaki semakin dibutuhkan untuk mengantisipasi pergerakan manusia dalam menjalankan aktivitasnya, jalan dan jalur pejalan kaki seharusnya dapat menampung aktivitas masyarakat di sekitarnya, selain mempunyai fungsi utama sebagai penampung arus lalu lintas jalur pejalan kaki atau pedestrian, juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai wadah yang mampu mewadahi aktivitas yang ada di perkotaan itu sendiri yaitu ruang terbuka untuk melakukan kontak sosial, rekreasi bahkan perdagangan di ruang terbuka (Budiharjo,1997). Permasalahan secara umum jalur pejalan kaki yang terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia adalah kurang mewadahinya aktivitas pejalan kaki sebagai pengguna utamanya. Fenomena yang banyak dijumpai pada jalur pedestrian di indonesia adalah penyalahgunaan fungsi jalur pejalan kaki atau pedestrian oleh pedagang kaki lima. Hal ini tidak dapat dihindari karena eksistensi pedagangkaki lima tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan jalur pejalan kaki, selain itu juga banyak ditemui perencanaan dan pemeliharaan jalur pejalan kaki atau pedestrian di beberapa kota khususnya di Kediri seperti pada kawasan wisata yang kurang mempertimbangkan pejalan kaki baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Menurut Soemadi (1993), fenomena kaki lima berkaitan dengan fenomena frontierisme, sebuah pandangan yang menganggap ada ruang kosong di hadapannya yang dapat ia duduki dan kuasai. Trotoar telah menjadi ruang kosong tersebut. Berbagai kepentingan yang berinteraksi di atas trotoar, memunculkan konflik perebutan ruang. Interaksi tersebut juga memunculkan negosiasi dan siasat bagi orang untuk menyatakan kepentingannya di atas trotoar. Bentuk interaksi dan negosiasi ini adalah bagaimana orang kemudian membangun citra mengenai identitas dari sebuah trotoar. Trotoar di wana wiasata Gunung Klotok dengan pedagang kaki limanya terasa sangat mewakili untuk melukiskan interaksi, negosiasi dan dunia citra tentang trotoar. Selain PKL, pemanfaatan trotoar sebagai area parkir juga menjadi permasalahan. PKL, Sektor Informal Industri pariwisata menjadi sektor andalan dalam pertumbuhan ekonomi. Industri pariwisata telah membuktikan dirinya sebagai alternatif kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Istilah sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evolusi daripada dianggap sebagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (inputs) modal dan pengelolaan (managerial) yang besar (Sethurahman, 1996). Wirosardjono (Hariyono, 2007: 108) mengemukakan ciri-ciri sektor informal, antara lain, sebagai berikut: 1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaan. 2. Tidak tersentuh oleh oeraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga kegiatannya sering dikatakan liar. 3. Modal, peralatan, dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. 4. Tidak mempunyai tempat tetap. 5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. 6. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus sehingga dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja. 7. Umumnya satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama. 8. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya. Manning, 1991 mengatakan, sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Akan tetapi, sektor informal tidak bisa disebut sebagai perusahaan berskala kecil. Lapisan masyarakat menengah ke bawah dengan ketrampilan, pendidikan, dan akses yang terbatas peluang untuk memasuki sektor formal sangat terbatas. Akhirnya mereka menggeluti sektor informal yang tidak mensyaratkan kriteria yang berlebih (Hariyono, 2007: 111). Cukup dengan modal yang terbatas, ditambah dengan ketrampilan dan keuletan, mereka mampu bertahan hidup di perkotaan dan membiayai sekolah putra-putrinya, menabung atau memberi bantuan di daerah atau kampung, mereka kadang-kadang membawa sanak saudara (atau teman kampung) untuk dipekerjakan di tempat usahanya, atau mengajarkan mereka untuk bekerja di sektor informal dan bertahan untuk hidup di kota. Jenis usaha yang digelar oleh pedagang sektor informal berbagai macam, antara lain warung makan semi permanen di kaki lima, menjajakan makanan dengan gerobak, menjual minuman dan makanan di tempat keramaian, berjualan mainan anak-anak, berjualan alat-alat kebutuhan pelengkap seperti: sabuk kulit, sisir, topi, pakaian, dompet, serta kerajinan dan hiasan rumah tangga, bahkan beberapa bentuk hiburan yang menghasilkan keuntungan seperti mengamen. 2. Legalitas Sektor Informal Bentuk sektor informal dapat dipilahkan antara sektor informal yang bersifat legal dan biasanya menempati lokasi yang ditentukan oleh pemerintah daerah dan dibuka secara kontinu. Modal yang digunakan oleh sektor informal yang legal relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor informal illegal. Sektor informal yang dilakukan secara ilegal menempati tempat usaha yang tidak ditentukan oleh pemerintah daerah setempat sebagai lokasi sektor informal. Kawasan ilegal ini untuk tiap kawasan berbeda-beda kebijakannya, terlebih lagi dengan lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah (Hariono, 2007: 112)

Hariyono (2007: 112) menyatakan bahwa sektor informal ilegal ada yang lokasinya dapat berpindahpindah mengikuti kerumunan konsumen berada. Dalam kasus kawasan wisata, PKL ilegal apabila ada kerumunan orang, mereka akan menggelar sarana usahanya di tempat itu. Akan tetapi, jika tidak ada kerumunan orang, mereka akan menggelar sarana usahanya di dekat PKL (sektor informal) legal. Apabila PKL ilegal ini kehadirannya tidak mengganggu ketertiban umum adakalanya mereka dibiarkan melakukan usahanya. Hariyono (2007) menyatakan bahwa pelaku kegiatan sektor informal ilegal seringkali merasa was-was kegiatannya digusur. Bahkan perasaan serupa dialami oleh pedagang sektor informal legal. Persoalan legal dan ilegal berkaitan dengan lokasi yang diizinkan oleh pemerintah kota setempat. Apabila kebutuhan masyarakat akan kehadiran sektor informal ilegal dibutuhkan dan tidak mengganggu lingkungan, dapat terjadi lokasi yang semula memiliki status ilegal bagi pedagang sektor informal, akan diberi status melalui peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota setempat. Status legalisasi ini memiliki manfaat bagi pemerintah kota maupu pedagang kaki lima. Beberapa manfaat di antaranya adalah pertama, secara psikologis pedagang kaki lima lebih terlindungi, apalagi jika terdapat paguyuban para pedagang kaki lima, lembaga ini dapat memperjuangkan kepentingannya. Kedua, terdapat pembinaan lingkungan yang bersih dan estetis bagi pedagang kaki lima sehingga kehadiran pedagang kaki lima akan ku memelihara keindahan kota. 4. Penataan Sektor Informal Hariyono (2007: 118) menjelaskan bahwa sektor informal sering dianggap sebagai kelompok yang tidak diharapkan dalam pembangunan kota karena dianggap menyebabkan kemacetan lalu lintas, mengganggu pemandangan. Masyarakat di negara sedang berkembang sebagian besar penduduk kotanya justru terdiri dari lapisan masyarakat menengah ke bawah yang tidak semuanya dapat terserap dalam sektor formal. Oleh Karena itu, sektor informal paling tidak memiliki manfaat, yaitu pertama, mereka tidak tergantung pada sektor formal yang terbatas jumlahnya. Kedua, mereka sanggup menghidupi dirinya sendiri, bahkan dapat berpenghasilan lebih dari cukup dibanding sebagaian pegawai di sektor formal. Ketiga mereka dapat memberi masukan pendapat bagi pemerintah daerah setempat dengan penarikan retribusi serta pungutan jasa parkir bagi pengunjungnya. Sektor informal sering dipandang mengundang kekumuhan, untuk itu kehadiran sektor informal bisa ditata sehingga tampak lebih rapi, teratur dan tidak mengganggu ketertiban, dilakukan sistem keamanan terpadu dan tetap menjaga kebersihan kawasan. Beberapa penataan dilakukan, misalnya pengkaplingan area atau petak untuk setiap pedagang kaki lima dengan ukuran tertentu yang tidak mengganggu pejaln kaki lima, mengelompokkan jenis barang dagangan, menyiapkan dan membongkar perlengkapan berjualan pada waktu yang telah ditentukan, menjaga kebersihan dan ketertiban serta penataan sara usaha yang rapi, indah, dan bersih sehingga kesan kumuh tidak ada atau dapat dikurangi. Sektor informal dapat dibagi menjadi dua, yaitu sektor informal yang telah ditata dan sektor informal yang belum ditata. Sektor informal yang tidak tertata cenderung memberikan kesan kumuh pada lingkungan setempat, baik mengenai lingkungan sosial maupun lingkungan fisik (kebersihan, kenyamanan, dan keamanan). Sektor informal yang telah tertata justru akan memperindah suatu kawasan. Daftar Pustaka Hariyono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitektur. Jakarta: Bumi Aksara Manning, Chris & Effendi, Tadjuddin Noer. 1991. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informaldi Kota. Jakarta: YOI. Sethuraman, S.V. 1996. Urban Poverty and the Informal Sector: A Critical Assessment of Current Strategies. Geneva, International Labour Organization. Soemadi, M. Djelni. (1993). Usaha Kaki Lima Tetap Merupakan Gantungan Hidup bagi Mereka.Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 1993.

Anda mungkin juga menyukai