Anda di halaman 1dari 68

Duduk Bersama

SARLITO WIRAWAN SARWONO, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Saya rasa setiap orang pernah mengalami duduk bersama seseorang yang sama sekali tidak dikenal, misalnya ketika menunggu di tempat praktik dokter dan dokternya terlambat datang (ini hanya contoh, karena bisa juga terjadi di tempat lain). Untuk mengatasi kebosanan biasanya salah satu mulai nyeletuk, Dokternya lama, ya? Iya, padahal biasanya dia enggak pernah telat, jawab yang lain. Iya, padahal saya sudah buru buru dari kantor, takut kena macet. Iya, dokternya juga kena macet nih, barangkali. Ngomong-ngomong kantor Bapak di mana? Di Jalan Thamrin. Di Bank Sejahtera Antarbangsa. Loh, itu kan tempat anak saya bekerja? Ah, serius? Nama anak Bapak siapa? Adit. Dia di Bagian Hukum. Wah, Adit itu anak buah saya. Saya Kepala Bagian Hukum di bank itu. Wah, senang sekali ketemu Bapak. Dan seterusnya mereka mengobrol, sehingga tidak disadari dokter sudah datang. Kisah berakhir dengan saling tukar nomor HP dan janji untuk saling kontak lagi. Dalam ilmu psikologi komunikasi ada teori yang ditemukan oleh Joseph Luft dan Harrison Ingham dan dinamakan teori Jendela Johari (singkatan dari nama kedua penemu teori ini: Jo dan Harri). Teori ini mengatakan bahwa dalam komunikasi antara dua orang, ada hal-hal yang diketahui bersama yang dinamakan wilayah terang (WT), ada yang diketahui oleh diriku saja, tetapi tidak diketahui oleh kawannya yang dinamakan wilayah rahasia (WR), tetapi ada juga yang diriku tidak tahu padahal orang lain tahu yang dinamakan wilayah buta (WB), dan yang terakhir adalah wilayah sama-sama tidak tahu (WSSTT). Kalau keempat wilayah itu dibayangkan seperti sebuah jendela persegi empat yang terbagi dalam empat bagian dengan dua palang horizontal dan vertikal, maka bagian jendela kiri atas adalah WT, di bawahnya WR, di sebelah kanan wilayah terang adalah WB, dan bagian kanan bawah adalah WSSTT. Ketika kedua bapak itu baru bertemu, bagian WT adalah yang paling kecil. Kedua Bapak itu hanya sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama lama menunggu dokter. Selain itu mereka juga sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama laki-laki, yang satu berdasi karena baru dari kantor, yang satu lagi berkemeja biasa karena pensiunan dan juga pastinya yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua. Tetapi pada akhir percakapan WT itu makin lebar, karena masing-masing sudah saling tahu di mana tempat kerja mereka, di mana tempat tinggal, berapa anak masing-masing, bahkan yang tadinya termasuk wilayah SSTT jadi masuk wilayah terang, yaitu ketika ternyata mereka masih ada hubungan saudara. Itulah dialog dalam arti kata yang sebenarnya.

Sepertinya enak sekali dialog itu, kan? Karena itulah dalam isu-isu sosial, termasuk politik, sering diserukan untuk duduk bersama dan berdialog untuk mengatasi perbedaan pendapat, bahkan konflik. Maka konflik Ambon dan Poso dicoba diselesaikan melalui dialog di Malino (11-12 Februari 2002), tetapi Ambon dan Poso tidak langsung damai. Ambon baru beberapa tahun kemudian damai, dan di Poso beberapa hari yang lalu dua anggota Brimob yang sedang patroli ditembak orang tak dikenal. Aceh berhasil didamaikan melalui dialog RI-GAM pascatsunami, 27 Juli 2005, yang difasilitasi oleh Pemerintah Finlandia, tetapi baru beberapa hari yang lalu juga kita baca di koran tentang seorang Caleg Partai Nasional Aceh bernama Faisal yang ditembak mati di Banda Aceh. Masih banyak contoh lain yang bisa dideretkan di sini, termasuk misalnya konflik Mesuji, konflik Bima, konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura, persoalan gereja Yasmin di Bogor, dll, yang semuanya berlarut-larut, walaupun sudah berkali-kali didialogkan. Jadi dialog itu tidak mudah. Kembali kepada teori Jendela Johari di atas. Seandainya saya baru ke toilet dan lupa menutup ritsleting celana dan keluar dari toilet dengan pintu kandang yang terbuka, maka saya tidak sadar bahwa naga peliharaan sa ya terlihat dari luar. Ini jelas merupakan WB karena saya tidak tahu, padahal semua orang tahu. Kalau kebetulan pada waktu saya keluar toilet tadi ada seorang rekan profesor pria yang melihat posisi pintu kandang saya, maka tentu rekan itu akan memberi tahu, Mas, ritsletingnya belum ditutup. Kemudian saya pun akan nengok ke bagian yang dimaksudnya, kaget sebentar, tetapi langsung menutup pintu dan tersenyum dan tersipu pada rekan tadi sambil berkata, Oh, iya. Terima kasih, Mas. Maka selesailah persoalan saya. Lain halnya kalau yang bertemu saya setelah keluar dari toilet tadi adalah ibu-ibu dosen, atau mahasiswa putri (tetapi bisa juga laki-laki), dan sesudah itu saya langsung berceramah di seminar untuk ibu-ibu, bisa-bisa seharian naga saya jadi tontonan ibu-ibu (walaupun naga itu sebenarnya sudah dikasih baju), karena yang melihat naga saya tadi tidak berani untuk memberi tahu saya. Ketika saya tiba di rumah, istri saya adalah yang pertama melihatnya, dan ia pun menegur, Mas, itu celanamu terbuka, tuh! Waduh! Bagaimana rasanya saya? Persoalan besar terjadi karena banyak orang yang tidak mau berbagi, ketika mereka tahu sesuatu yang saya tidak tahu. Nah, jelaslah bahwa orang tidak selalu mudah untuk berkomunikasi (yang intinya adalah berbagi informasi), apalagi berkomunikasi. Alasannya mungkin malu, segan, tidak sopan, takut, dan lain-lain. Dalam hal lain, alasan gengsi, harga diri, status, ideologi dll bisa menyebabkan orang tidak mau mendengar atau menerima informasi dari orang lain. Hasilnya sama saja, tidak membuat hal-hal gelap jadi terang. Karena itu hati-hati sebelum bicara tentang dialog. Suasana hati yang senang, kesediaan

untuk mendengar dan kesediaan untuk berbagi perlu disiapkan dulu agar orang bisa berdialog.

Utopia pemerataan
Koran SINDO
Selasa, 11 Maret 2014 14:14 WIB

DARI 500 miliarder peringkat dunia tahun 2014 versi Forbes, memperlihatkan bahwa di antara mereka ada yang pendatang baru. Sementara yang sudah meninggal tidak muncul lagi. Bill Gates masih menduduki peringkat pertama dengan kekayaan USD76 miliar. Beliau menguasai bisnis komputer dan perangkat lunak. Sementara peringkat kedua adalah Carlos Slim dari Meksiko, yang bergerak pada bidang telekomunikasi. Amancio Ortega peringkat tiga, yang bergerak di bidang fesyen. Tak lupa pula, Indonesia setidaknya tercatat 19 orang yang kaya raya. Beberapa di antaranya adalah Michael Hartono, Budi Hartono dan Chairul Tanjung. Jika pada peringkat dunia, bisnis berkembang karena kemajuan teknologi dan perubahan selera, di Indonesia peringkat dua terbesar adalah pebisnis yang bergerak di bidang kenikmatan rokok. Tampak benarnya bait lagu Rhoma Irama ketika tahun 1980-an melantunkan nyanyian Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Yang kaya semakin kaya dengan memasuki bisnis telekomunikasi, komputer dan fesyen, sementara pada kelompok di Indonesia, konsumsi rokok oleh masyarakat miskin membuat pemilik usaha kaya raya. Distribusi pengeluaran untuk rokok bagi rumah tangga miskin, sekitar 3,5%, sementara distribusi pengeluaran yang sama untuk kelompok kaya sekitar 1,5%. Forbes memang melirik pangsa pasar mereka yang menyukai dan belajar pada orang-orang yang super kaya. Majalah ini tidak akan pernah menghitung berapa pada tahun ini jumlah orang miskin yang keluar dari garis kemiskinan. Karena memang tidak itu yang menjadi concern pemberitaan mereka. Tetapi jika kita lihat dimensi lain, persoalan mendasar pembangunan Indonesia adalah bagaimana mengatasi ketimpangan hasil-hasil pembangunan. Oleh Simon Kuznet, ekonom pembangunan, memang menyatakan bahwa pada awal proses pembangunan ketimpangan pembangunan akan semakin meningkat. Pada titik tertentu, ketimpangan pembangunan akan kembali menurun. Sayang sekali hipotesa Kuznet itu tidak menyatakan berapa lama sebuah negara melalui masa kenaikan ketimpangan pembangunan. Sama halnya dengan isu, berapa lama sebuah negara bisa melalui jebakan negara berpendapatan menengah middle income trap. China dapat melalui masa di mana posisi sebagai negara berpendapatan menengah dalam kurun waktu yang singkat, Indonesia sekalipun sekarang sudah memasuki negara

berpendapatan menengah, namun akan mengalami jebakan yang cukup lama untuk bertahan pada kelompok negara berpendapatan menengah. Ketimpangan meningkat Persoalan ketimpangan pembangunan d iIndonesia tidak sekedar peningkatan penghasilan pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan 20% tertinggi saja. Namun selain dari itu, ketimpangan hasil pembangunan yang utama adalah antara pembangunan Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan antara Indonesia bagian Barat dengan bagian Timur. Ketimpangan juga terjadi di dalam provinsi sendiri, antara pembangunan daerah kota dan desa. Karena kita negara kepulauan. Katakan selama lima tahun terakhir saja. Indeks gini ratio (mendekati 1 semakin timpang) Indonesia meningkat dari 0,35 tahun 2008 menjadi 0,41 tahun 2012. Jika dilihat pada berbagai propinsi yang ketimpangannya meningkat di atas 10% point saja ditemukan pada propinsi-propinsi Sumatera Selatan, Bali, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua. Peningkatan indeks gini level menengah, katakan Indeks Gini meningkat 7-9% point, ditemukan pada propinsi seperti Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Hanya propinsi seperti Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, NTT, dan Maluku Utara di mana ketimpangannya hanya menaik sekitar 1-2% point (BPS, 2013). Daerah-daerah di mana sumber kekayaan alam tinggi, menunjukkan tendensi pemusatan penghasilan kepada berbagai kelompok masyarakat saja. Bahkan dapat diduga peningkatan penghasilan terutama pada kelompok berpenghasilan tinggi yang dapat memanfaatkan sumber daya alam saat bersamaan dengan proses desentralisasi pembangunan. Daerah-daerah miskin, seperti NTT, Lampung, Bengkulu, sekalipun tidak menunjukkan kenaikan ketimpangan pembangunan, tampaknya pada propinsi-propinsi ini terjadi kemiskinan yang semakin merata. Kuznet memang tidak menyatakan bahwa berapa lama ketimpangan itu akan dilalui, namun beliau menjelaskan kenapa ketimpangan terjadi. Alasan utama adalah perpindahan modal capital flight cukup masuk akal, di mana modal akan mengalir dari daerah di mana tingkat pengembalian rendah menuju pengembalian tinggi, diikuti juga oleh migrasi tenaga kerja menuju ke daerah di mana arus modal masuknya juga tinggi. Hanya apakah ketimpangan ini akan dibiarkan melalui mekanisme invisible hands seperti yang diajukan oleh Adam Smith? Mulai dari infrastruktur Indonesia hanya bisa mempercepat masa kenaikan ketimpangan pembangunan melalui pemerataan infrastruktur. Infrastruktur jalan terutama sangat timpang terjadi. Daerah Jawa, khususnya di Jabodetabek, atau jalur pantura menghiasi cerita-cerita pembangunan infrastruktur. Namun cerita-cerita bagaimana memeratakan infrastruktur ke wilayah luar Jawa masih

seperti angan-angan alias utopia. Pemerintah sejak dulu berdalih, investasi infrastruktur ditentukan oleh tingkat pengembalian yang tinggi. Asumsi ekonomis itu benar. Namun ketika input data penduduk dan besaran tingkat pengembalian investasi dimasukkan sebagai indikator utama, maka jelas hampir-hampir pembangunan infrastruktur jalan tidak akan feasible di daerah luar Jawa. Kita tidak bisa menyesali kenapa Daendels dulu membangun jalan dari Anyer ke Panarukan di Pulau Jawa, atau kenapa Laksamana Cheng Ho menyinggahi berbagai bandar laut Batavia, Palembang dan Aceh yang sering dikunjungi. Karena daerah-daerah itu terkesan pesat perkembangannya. Tetapi kita perlu menunggu pimpinan yang benar-benar melihat bahwa Indonesia ini adalah negara kesatuan. Ketika ketimpangan pembangunan Indonesia dibiarkan seperti ini maka Indonesia akan membayar harga yang besar dalam jangka panjang. Itu pula yang ditulis oleh Joseph Stiglitz dalam bukunya terbaru Price Inequality. Sebuah kajian yang mendalam beliau paparkan di mana di Amerika Serikat negara besar seperti itu, hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menguasai penghasilan tertinggi. Sisanya banyak yang hidupnya sangat tergantung kepada kebijakan Bank Sentral Amerika The FED. Pembangunan infrastruktur sudah relatif merata di Amerika Serikat, namun di Indonesia sepertinya jauh panggang dari api. Sebuah utopia yang mesti dihapus pada pembangunan masa yang akan datang.

ELFINDRI Profesor Ekonomi Sumber Daya Manusia dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas

Liberalisasi tata niaga gas bumi


Koran SINDO
Selasa, 11 Maret 2014

DI tengah meningkatnya konsumsi BBM dan semakin menurunnya produksi minyak Indonesia, kebijakan energi mix di Indonesia harus dioptimalkan. Salah satu sumber energi dalam energi mix adalah gas bumi. Pertimbangannya, dari sisi jumlah cadangan gas bumi, maupun dari aspek keekonomian, pemanfaatan gas bumi dalam energi mix sangatlah rasional. Saat ini Indonesia memiliki cadangan gas alam keempat belas terbesar di dunia dengan cadangan terbukti (proven reserves) sebesar 108.1 Tcf (trillion cubic feet). Pada tahun 2012 harga gas untuk energi mencapai hampir sepersepuluh dari harga minyak bumi (Kajian Pusat Studi Energi/PSE, 2014). Fakta tersebut telah menjadikan gas semakin penting dalam kebijakan energi nasional. Mengingat arti penting tersebut maka pemenuhan permintaan dan penciptaan keamanan pasokan (security of supply) gas bumi menjadi fokus dari berbagai reformasi kebijakan tata niaga gas bumi. Reformasi tata niaga gas Reformasi tata niaga gas bumi itu harus didasarkan pada konstitusi, lantaran gas bumi merupakan salah satu cabang produksi yang pengelolaannya harus tunduk pada UUD 1945. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menentukan: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya ayat 3 mengatur: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan kedua ayat tersebut, kata dikuasai oleh negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi dasar utama terkait pengelolaan gas bumi di Indonesia. Dengan menggunakan gap analysis, hasil kajian PSE UGM menyimpulkan bahwa liberalisasi tata niaga gas bumi, yang diinisiasi melalui UU 22/2001 dengan skema unbundling, dan dieksekusi melalui Permen ESDM 19/2009 dengan skema open access, nyata-nyata tidak sesuai dengan semangat hak menguasai negara yang tercantum dalam UUD 1945. Kata dikuasai oleh negara haruslah dimaknai sebagai usaha penguasaan negara terhadap pengelolaan segala sumber kekayaan alam, yang merupakan implementasi konsep kedaulatan rakyat (Kajian PSE UGM, 2014). Dengan kebijakan open access, pelaku usaha gas tidak diwajibkan membangun infrastruktur yang berupa jaringan pipa dalam pengangkutan untuk distribusi gas dari hulu hingga ke hilir.

Liberalisasi tata niaga dengan skema open access telah mendorong masuknya para trader non infrastruktur hingga sekarang sudah mencapai 63 trader, yang memperebutkan jatah alokasi gas bumi dari pemerintah. Menjamurnya trader non infrastruktur telah mengubah struktur perniagaan Gas Bumi di Indonesia, dari monopoli alamiah menjadi struktur pasar persaingan, yang tidak sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945 terkait dengan penguasaan negara atas kekayaan alam. Liberalisasi melalui open access ditengarai juga ikut menggerus hak menguasai negara, yang seharusnya dikelola oleh BUMN sebagai representasi negara. Seharusnya kebijakan open access tidak berlaku bagi BUMN, pasalnya BUMN sebagai representasi negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan gas bumi, seperti diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1945. Faktanya, peraturan open access diberlakukan bagi semua pelaku usaha gas bumi, termasuk BUMN, yang seharusnya diberikan privilese dalam penerapan kebijakan open access di Indonesia. Persyaratan penerapan open access Beberapa negara, di antaranya Inggris dan Prancis, melakukan liberalisasi gas melalui skema open access setelah berbagai persyaratan dipenuhi. Salah satunya adalah persyaratan kematangan infrastruktur fisik yang secara terintegrasi di seluruh negeri. Pematangan infrastruktur di Inggris dilakukan dengan skema bundled dan closed access secara vertical integration Company, yang dilakukan oleh satu Badan Usaha (Kajian PSE UGM, 2014). Sebelum tahun 1967, ada lebih dari 1.000 Badan Usaha Gas di Inggris dilebur menjadi satu perusahaan, yakni British Gas yang melakukan pematangan infrastruktur dengan skema bundled dan closed access. Setelah berhasil melakukan pematangan infrastruktur hingga benar-benar terintegrasi di hampir semua daerah, pemerintah Inggris baru menerapkan kebijakan open access pada 1986, atau hampir 20 tahun lamanya untuk proses pematangan infrastruktur (Kajian PSE UGM, 2014). Demikian juga yang terjadi di Prancis, Gas de France, yang merupakan penggabungan dari beberapa badan usaha, melakukan pematangan infrastruktur hampir selama 25 tahun hingga diberlakukan open access, yang baru diterapkan pada 2008. Namun, tidak semua negara menerapkan kebijakan liberalisasi gas, Malaysia, China, dan Jepang misalnya, justru berhasil membangun ketahanan energinya melalui skema penguasaan negara yang dilakukan oleh BUMN (Kajian PSE UGM, 2014). Di Indonesia, penerapan open access justru memicu mandeknya keberlanjutan dalam pengembangan jaringan pipa, karena trader tidak diharuskan membangun infrastruktur berupa jaringan pipa. Mengingat pengembangan infrastruktur termasuk high risk low return, sebagian besar trader enggan membangun infrastruktur sendiri. Menurut data BPH Migas (2013), pada 2010 jaringan pipa transmisi dan distribusi gas

nasional baru sepanjang 7.800 km naik menjadi 8.000 km pada 2012, hanya ada kenaikan 200 km selama 2 tahun. Bandingkan dengan Turki yang mampu melakukan penambahan pipa baru sepanjang 4.410 km pada 2012. Kalau open access, yang memicu kemandekan pengembangan infrastruktur, tetap diterapkan, potensi krisis gas di tanah air akan semakin menjadi kenyataan. Lantaran tidak terpenuhinya kecukupan infrastruktur untuk mengakomodasi peningkatan permintaan akan gas bumi, seperti krisis gas yang terjadi di Medan dan Jawa Timur. Kalau mendasarkan pada persyaratan kematangan infrastruktur, penerapan open access di Indonesia pada saat ini dinilai belum tepat. Lantaran ketersediaan infrastruktur yang masih terbatas (Kajian PSE, 2014). Dalam kondisi tersebut, upaya Kementerian ESDM untuk mengkaji ulang penerapan liberalisasi melalui skema open access merupakan keputusan yang tepat. Kebijakan open access masih perlu dikaji ulang dari berbagai aspek sebelum benar-benar diterapkan. Agar tidak menjadi beban dan sasaran kritik, Permen ESDM 19/ 2009 sebaiknya perlu direvisi, bahkan kalau perlu dicabut karena nyata-nyata bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan berpotensi menggerus kedaulatan energi negeri ini.

FAHMY RADHI Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada

Menimbang prospek BPR


Koran SINDO
Selasa, 11 Maret 2014

2014 merupakan Tahun Kuda Kayu yang penuh tantangan sekaligus harapan bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bagaimana prospek BPR di tengah ancaman potensi risiko baik internal maupun eksternal? Apa saja potensi risiko internal? Kenaikan BI Rate yang kini mencapai level 7,5%. Mulai 12 November 2013, BI Rate naik 25 basis points (bps) (0,25%) dari 7,25% menjadi 7,5% sehingga mulai Juni 2013 BI Rate sudah terkerek 175 bps. Bank Indonesia (BI) menyatakan kenaikan suku bunga acuan itu bertujuan untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dan mengerem pertumbuhan kredit bank nasional. Defisit transaksi berjalan mencapai USD9,8 miliar atau 4,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) per kuartal II/2013. Defisit itu diperkirakan akan menipis menjadi 3,9% dan 3,5% terhadap PDB masingmasing per kuartal III dan IV tahun 2013. Apa ancaman eksternal? Berulang kali pasar keuangan Indonesia goyang ketika terdengar kabar bahwa bank sentral AS The Fed memangkas stimulus keuangan (tapering off). Mulai 1 Februari 2014, The Fed memotong kucuran stimulus itu US20 miliar per bulan sehingga menjadi US65 miliar per bulan ke pasar keuangan untuk membeli US Treasury Bond (obligasi AS). Kebijakan AS yang juga bertujuan untuk menciptakan suku bunga rendah itu telah mendorong investor global lari kencang ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mengapa? Lantaran pasar keuangan Indonesia menawarkan margin yang lebih gurih yang tercermin pada kenaikan BI Rate. Sebaliknya, ketika terjadi pemangkasan stimulus keuangan, dana panas di pasar keuangan nasional akan kembali ke AS. Akibatnya, pasar modal guncang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak liar dan inflasi pun melemah. Kebijakan itu pun bertujuan untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja. Kini tingkat pengangguran AS terus membaik dari 7% per November 2013 menjadi 6,7% per Desember 2013, bandingkan dengan Indonesia 6,25% per September 2013. Artinya, kalau tingkat pengangguran kian membaik maka stimulus keuangan pun akan kian menipis. Ringkas tutur, pemangkasan atau bahkan penghentian stimulus keuangan masih menjadi ancaman serius. Aneka langkah strategis Di tengah kondisi itulah, BPR harus menghadapi tantangan. Apa saja langkah strategis bagi BPR untuk mampu menghadapi tantangan itu? Pertama, menggenjot modal. Sungguh modal

merupakan pilar utama bagi bank untuk mampu bersaing dengan tangkas. Modal merupakan bantalan untuk mengantisipasi aneka risiko yakni risiko kredit, pasar, operasional, dan likuiditas. Dalam bahasa manajemen risiko, modal merupakan bantal yang memberikan perlindungan terhadap aneka risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko itu akan memengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan institusi bersangkutan. Modal ini bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000). Oleh karena itu, BI terus mengimbau bank nasional untuk menggenjot modal. Bagi bank umum, BI telah meluncurkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPPM). Kebijakan ini memuat dua komponen permodalan yang wajib dipenuhi, pertama, komposisi modal inti (tier 1) naik dari 5% menjadi 6% dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR). Dari angka tersebut, 4,5% modal inti harus merupakan modal inti utama. Kedua, bank yang memiliki kriteria tertentu wajib menyediakan modal tambahan atau penyangga (buffer) di atas KPPM sesuai dengan profil risiko bank. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi sinyal bahwa modal minimum BPR sekitar Rp35 miliar. Data menunjukkan ada 11 BPR masih memiliki modal minimum rendah atau di bawah Rp1 miliar. Padahal kini terdapat 1.639 BPR di seluruh Indonesia. Untuk itu, Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) sudah sepatutnya terus mendorong anggotanya untuk mengerek modal. Bagaimana kiatnya? Pemegang saham dapat menggelontorkan dana segar. Hal ini lebih praktis daripada merger. Sesungguhnya merger merupakan langkah yang senantiasa didengungkan BI dan kini OJK. Hal itu menjadi mendesak terutama ketika pemegang saham BPR tidak mau (mampu) meningkatkan modal. Tetapi merger itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengapa merger terus menerus dianjurkan? Kini terdapat 121 bank umum dan 1.639 BPR. Nah, dari segi pengawasan, kian sedikit jumlah bank, akan kian mudah bagi OJK untuk mengawasi bank umum dan BPR. Sayangnya, merger sebagai langkah konsolidasi itu selama ini tak membawa hasil yang memuaskan. Untuk itu, BI menerbitkan PBI Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum (GWM). Kebijakan yang efektif 31 Desember 2013 itu menitahkan bank umum untuk menyiapkan GWM primer 8% dari dana pihak ketiga (DPK) rupiah dan GWM sekunder 4% dari DPK rupiah. Selain itu, industri perbankan nasional harus memiliki GWM LDR (loan to deposit ratio) pada kisaran 78-92% dan GWM dalam valas 8% dari DPK valas. Kebijakan itu pun memberikan insentif berupa pelonggaran pemenuhan GWM bagi bank nasional yang melakukan merger. Kedua, menggebrak kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jangan lupa BI juga mewajibkan bank nasional untuk menggelontorkan kredit UMKM

minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi). Hal itu ditunaikan secara bertahap selama enam tahun. Pada 2013 dan 2014, besaran kredit mikro bebas sesuai dengan kemampuan bank lalu minimal 5% pada 2015, 10% pada 2016, 15% pada 2017 dan 20% pada 2018. Sejatinya, kebijakan itu merupakan tantangan berat bagi BPR. Lho? Karena serbuan bank umum akan makin mendesak BPR dari habitatnya terutama perbankan mikro (micro banking). Dengan bahasa lebih lugas, dari awal tentu saja bank umum akan mulai menggarap kredit UMKM sehingga target 20% pada 2018 bakal tercapai lebih cepat. Bank BRI sebagai pemimpin pasar di segmen ini pasti akan menggeber pangsa pasarnya. Sebaliknya, BPR juga akan memperoleh berkah ketika bank umum papan atas lebih memilih tidak terjun langsung atau cukup dengan penerusan kredit (channelling loan) melalui BPR. Pola itu akan memberikan margin yang legit bagi BPR. Ketiga, meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Maka, BPR wajib meningkatkan kompetensi SDM. Bagaimana seninya? Perbarindo dapat menjalin kerja sama dengan bank nasional papan atas untuk meningkatkan ilmu dan pengetahuan SDM BPR. Katakanlah, kredit, audit, manajemen risiko, kepatuhan (compliance) dan hukum. Model pelatihan dan magang itu akan lebih memperkaya bukan hanya teori tetapi juga memperdalam proses transaksi. Keempat, meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/ GCG). GCG merupakan tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi dan kewajaran. Penerapan GCG itu akan mendorong BPR untuk lebih profesional. Kelima, menerapkan manajemen risiko. Saat ini, karyawan BPR memang belum disyaratkan untuk mengikuti Sertifikasi Manajemen Risiko. Namun akan lebih baik bila BPR mulai membekali manajemen dengan pengetahuan dan praktik manajemen risiko. Hal ini akan bermanfaat untuk menangkis aneka potensi tersebut. Ingat, kian marak bisnis, kian tinggi pula potensi risiko yang melekat pada produk, jasa dan aktivitas bisnis perbankan. Berbekal aneka langkah strategis demikian, BPR bakal kian trengginas bersaing dengan bank umum dan bank pembangunan daerah.

PAUL SUTARYONO Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI

PK berkali-kali: Melawan kepastian hukum?


Senin, 10 Maret 2014

PENEGAKAN hukum di Indonesia saat ini sarat dengan ambiguitas kepercayaan publik tentang akuntabilitas dan kredibilitas, sejak penyidikan sampai pada pemeriksaan pengadilan. Cita keadilan yang dibungkus bingkai kepastian hukum tidak selalu memberikan keadilan nyata bagi pencari keadilan bahkan terkesan lebih banyak berpihak kepada kekuasaan (negara). Hampir dapat dipastikan bahwa praktik praperadilan yang digadang sebagai filter perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa sejak berlakunya UU RI Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP), terbukti tidak memenuhi cita dan tujuan awal pembentukan lembaga praperadilan. Sehingga telah terjadi kesenjangan antara kepastian hukum dan keadilan di satu sisi dan kepentingan negara dan warga negara pencari keadilan di sisi lain. UUD 1945 telah menempatkan perlindungan HAM termasuk warga negara pencari keadilan dalam bab tersendiri di antara bab-bab mengenai kekuasaan negara dan kekuasaan kehakiman, sehingga seharusnya diartikan bahwa kedua kekuasaan tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan hak negara untuk mengatur warga negaranya dan menjamin perlindungan hak asasi warga negaranya. Pembentuk UU KUHAP 1981 telah menyediakan hukum beracara ketika setiap orang -termasuk WNAmemasuki sistem peradilan pidana. Aturan tersebut secara strategis telah memuat ketentuan-ketentuan baru dan relevan dengan bangsa merdeka, yaitu ketentuan setiap tersangka wajib didampingi advokat sejak dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Setiap tersangka juga wajib diberitahukan dugaan atau sangkaan tindak pidana yang telah dilakukannya, serta diberikan hak untuk membela dirinya antara lain dilarang memberikan keterangan yang dapat merugikan kepentingan pembelaan bagi dirinya kelak di persidangan. Tak lupa setiap tersangka memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) dengan syarat-syarat (alasan) pengajuan yang berbeda satu sama lain. Hukum Acara (KUHAP) merupakan sarana hukum untuk menjalankan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan menjamin perlindungan hak negara untuk menuntut dan menghukum kejahatan serta menjamin perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa. Kepastian hukum dalam proses beracara terkait penerapan hukum pidana terletak pada penerapan hukum pada peristiwa konkret (fakta perbuatan yang dilarang) dan penetapan ancaman pidana terhadapnya. Kepastian hukum dalam penerapan hukum pada peristiwa konkret tersebut berakhir ketika

telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan putusan terakhir dan mengikat berada pada putusan perkara pada tingkat kasasi. Putusan MA RI pada tingkat kasasi wajib segera dieksekusi tanpa penundaan oleh penuntut yang mewakili negara. Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa telah dipenuhi cita kepastian hukum karena telah timbul implikasi hukum, yaitu perubahan status hukum terdakwa menjadi terpidana, dan implikasinya baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik, yang berbeda dibandingkan dengan seorang terdakwa, implikasi tersebut melekat sepanjang hidupnya. Pembentuk UU KUHAP 1981 sangat bijaksana dan mempertimbangkan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi warga negaranya termasuk terpidana, yaitu dengan dimasukkannya upaya hukum peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa. Keluarbiasaan upaya hukum ini adalah pertama, dapat diajukan setiap saat oleh terpidana (bukan terdakwa!) selama yang bersangkutan menjalani hukuman di dalam penjara dan hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya, tidak terhadap negara yang diwakili penuntut. Status keluarbiasaan upaya hukum PK tersebut mencerminkan bahwa kepastian hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah selesai seketika putusan pengadilan pada tingkat kasasi dijatuhkan, sekalipun dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, hak negara diwakili penuntut telah selesai dan tuntas dengan jatuhnya vonis pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana menjalani hukumannya. Posisi pembentuk UU KUHAP 1981 yang tetap bersikukuh memasukkan upaya hukum luar biasa PK, menurut pendapat saya, sangat manusiawi karena para hakim sebagai manusia tidak terlepas dari kekeliruan yang berimplikasi terhadap nasib sesamanya. Celah upaya hukum PK dalam konteks sistem hukum acara pidana Indonesia justru memberi ruang pencarian dan penemuan cita keadilan sesuai dengan harkat martabat manusia sekalipun dalam status terpidana. Proses mencari dan menemukan keadilan hukum bagi setiap orang -termasuk terpidana- adalah proses panjang tidak mengenal bahkan tidak boleh dibatasi oleh waktu. Apalagi, pembatasan dimaksud hanya bersifat administratif dan teknis semata-mata terkait beban kerja MA RI karena hak untuk mencari dan menemukan keadilan merupakan hak asasi paling utama dibandingkan dengan hak-hak asasi lainnya yang telah dijamin di dalam UUD 1945 dan ICCPR. Kekhawatiran bahwa putusan MKRI dalam perkara Uji Materi ketentuan Pasal 268 ayat (3) akan menyebabkan PK diajukan berulang-ulang adalah pikiran yang sangat naif karena tidak serta-merta diloloskan dan masih ada pembatasan-pembatasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP; dan hal tersebut tidak mudah!

ROMLI ATMASASMITA Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran

PK, antara kepastian hukum dan keadilan


Senin, 10 Maret 2014

PENINJAUAN kembali (PK) dalam hukum acara dinisbahkan sebagai suatu upaya hukum luar biasa yang hanya dapat diajukan satu kali dan sifat pengajuannya tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Penempatan PK sebagai salah satu upaya hukum dalam sistem hukum acara peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia (HAM), tanpa mengorbankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid), yang merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum. Eksistensi suatu upaya hukum PK, memang sejak awal diintegrasikan dalam sistem hukum acara memang berada di tengah tarikan nilai keadilan dan kepastian hukum. Meskipun instrumen peninjauan kembali dimaksudkan memberikan keadilan, dalam batas tertentu juga dapat bersifat paradoks dengan dimensi kepastian hukum. Hal itu disebabkan suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bisa dibatalkan manakala berdasarkan bukti-bukti baru (novum) yang diakui kebenarannya oleh pengadilan dalam proses peninjauan kembali. Namun, proses peradilan yang menggunakan sistem hukum acara yang meskipun sudah menggunakan tata cara pemeriksaan prosedural yang ketat dan standar pembuktian yang diharapkan dapat mewujudkan kebenaran materiil (the ultimate truth), juga bisa mengalami kesalahan justru karena proseduralitasnya tersebut. Keberadaan PK sebagai suatu instrumen upaya hukum dalam hukum acara peradilan dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya proses koreksi jika ditemukan adanya kelemahan dalam proses pembuktian di peradilan yang dilaksanakan secara hierarkis sejak peradilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga kasasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Pasal 268 ayat (3) KUHAP tersebut menyatakan bahwa Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, yang dalam putusan MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 dan hal ini membuka peluang PK bisa diajukan lebih dari satu kali. Namun masih diakuinya Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur mengenai alasan pengajukan PK, meskipun Pasal 263 ayat (3) KUHAP dibatalkan namun pengajuan PK harus tetap berpedoman pada kriteria dan persyaratan yang diatur pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu bahwa permintaan peninjauan hanya dapat dilakukan jika terdapat beberapa alasan pokok, yaitu: (a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika

keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; (b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; (c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Terkait dengan alasan pengajuan PK tersebut, salah satu konsiderasi putusan MK mengemukakan bahwa berdasarkan ketiga alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, terdapat satu alasan terkait dengan terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait dengan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya yang terkait dengan terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan terpidana berupa keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan ketika proses peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain [vide Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP]. Oleh karena itu dan karena terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain itu pula karena kemungkinan keadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah manakala PK dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Apa sesungguhnya makna keadilan sebagai hak konstitusional bagi seseorang yang terpenuhinya merupakan kewajiban negara, jika negara justru menutupnya dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Putusan MK Nomor 34/ PUU-XI/2013 tersebut bertitik tolak dari penilaian atas permohonan uji materiil yang diakukan oleh Antasari Azhar bersama istri dan anaknya yang memang jika dirunut ke belakang sejak dari kasus persidangan Antasari, mantan ketua KPK RI, yang kontroversial. Pada 1 Februari 2009, Antasari divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Vonis ini jauh lebih ringan dari hukuman mati yang sebelumnya dituntutkan kepada AA oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dugaan rekayasa kasus dalam kasus Antasari semakin menguat, karena masih adanya keraguan mengenai alat bukti teknologi informasi berupa pesan singkat Antasari yang dituduhkan berisi ancaman dalam kasus terbunuhnya pengusaha Nasruddin Zulkarnaen, suami Rani Juliani, yang proses pembuktiannya masih menimbulkan keraguan mengenai kebenarannya. Dalam hukum acara pidana, apabila terdapat sebuah keragu-raguan yang beralasan (beyond reasonable doubt) seharusnya hakim harus membebaskan terdakwa. KPK di tangan Antasari telah berhasil mengungkap berbagai kasus tipikor big fish, seperti kasus BLBI yang sempat menyeret besan SBY menjadi pesakitan. Bukan hanya itu, Antasari yang memimpin KPK di masa itu bahkan berani memulai pengungkapan skandal Century serta akan mulai membongkar skandal proyek IT di KPU pada masa itu. Bahkan, sempat muncul isu bahwa dokumen IT KPU yang dulu dipegang Antasari kini lenyap. Langkah Antasari tersebut membuat banyak pihak kebakaran jenggot yang pada

akhirnya muncullah kasus pembunuhan pengusaha Nasaruddin yang dikaitkan dengan skandal asmara segitiga antara Antasari dengan Rani. Namun dalam persidangan yang disiarkan secara luas pada masa itu, cukup banyak kejanggalan selama proses pembuktian yang menyebabkan dugaan adanya rekayasa kasus untuk mengkriminalisasi Antasari sebagai ketua KPK pada masa itu tidak terselesaikan dengan tuntas. Bahkan salah seorang saksi kunci dalam perkara itu, Williardi Wizard, sempat membuat keterangan di depan pengadilan yang menyatakan adanya rekayasa kasus Antasari oleh beberapa petinggi di kepolisian. Meskipun perkara kasasi Antasari Azhar sudah diputus oleh Mahkamah Agung, kasus hukum yang penuh dengan nuansa politik ini terus menjadi kontroversi di muka publik. Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung, yang terdiri atas Hakim Agung Artidjo Alkostar (ketua majelis), Moegihardjo dan Surya Jaya (anggota majelis), menghukum Antasari dengan hukuman 18 tahun penjara. Namun, putusan tersebut tidak diambil secara bulat, karena Hakim Agung Surya Jaya menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut pendapatnya, Antasari wajib diputus bebas dari segala dakwaan. Dengan adanya putusan MK yang membuka peluang PK diajukan lebih dari satu kali itu, memungkinkan Antasari untuk mengajukan PK kembali setelah PK yang diajukannya sebelumnya ditolak oleh MA. Putusan MK tersebut memang sangat penting untuk mengungkap tabir di balik kasus dugaan kriminalisasi Antasari sebagai ketua KPK pada masa itu. Namun, yang perlu diwaspadai adalah juga terbukanya peluang bagi para pelaku tipikor yang sudah divonis tetap, untuk mengajukan PK atas perkaranya berkali-kali sebagai perjuangan untuk membebaskan dirinya. Sangat penting bagi MA untuk segera menyusun Peraturan Mahkamah Agung untuk menjabarkan pesan dari putusan MK Nomor 34/PUUXI/ 2013 melalui peraturan operasional mengenai kriteria dan syarat pengajuan PK yang mencerminkan dimensi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, agar tidak justru menguntungkan koruptor dan para pelaku kejahatan transnasional lain yang menunggangi putusan MK tersebut.

DR W RIAWAN TJANDRA Doktor Hukum Administrasi Negara Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pilihan Rakyat Bukan Pilihan Tuhan


Di dunia politik, dan melalui peristiwa-peristiwa politik, tercatat nama-nama tokoh, yang tiba-tiba mendapat dukungan dan simpati rakyat. Ada bahkan dukungan dan simpati yang pernah melahirkan presiden. Lain soal bahwa yang terpilih melalui suasana psikologi seperti itu akhirnya menodai kepercayaan rakyat dan membikin mereka kecewa. Adagium demokrasi, yang menyatakan suara rakyat suara Tuhan apa masih cukup tepat dipertahankan dalam konteks politik seperti ini? Dengan kata lain, suara rakyat jenis ini masih pantas dianggap suara Tuhan, apa suara rakyat di sini hanyalah suara yang tersesat? Harus dicatat pula di sini bahwa otomatis pilihan rakyat juga dianggap pilihan Tuhan? Saya kira suara Tuhan itu kehendak kerajaan langit, yang pasti tidak pernah salah. Tapi mengapa suara Tuhan kok menghasilkan pemimpin yang sekadar apa adanya, tanggung jawabnya rendah, hasil prestasinya tak menentu, dan hanya merangsang gejolak perdebatan tanpa henti, dan hiruk pikuk tanpa hasil nyata? Saya tak begitu percaya pada adagium itu, meskipun tiap hari saya siap untuk berjuang dengan susah payah agar bisa menjalani hidup di dunia fana ini secara demokratis. Untuk sebuah bangsa yang cepat terharu, cepat menangis, cepat memihak dengan emosi yang tak tertahan, dan siapa saja yang kalah dalam percaturan politik dan hukum lalu disebut orang yang dizalimi, apasekali lagisuara rakyat seperti ini bisa dipertanggungjawabkan sebagai suara Tuhan? Apa kita menganggap Tuhan itu begitu mudah terharu terhadap perkara biasa yang mengharukan kita? Apa kita bermaksud mengatakan Tuhan begitu cengeng, dan cepat menangis menghadapi suatu keadaan, seperti yang begitu sering terjadi di dalam masyarakat kita? Tuhan kita posisikan begitu emosionalnya sehingga Dia cepat terpengaruh, dan mau tak mau langsung menjadi bagian dari apa yang diberi sebutan dengan sikap yang begitu masokhis: yang dizalimi? Sebentar-sebentar kita menggunakan kata yang dizalimi ini untuk merajuk, minta perhatian, menarik dukungan dan simpati. Dengan cara ini, sebenarnya kita menindas pihak lain dengan menggunakan kelemahan kita. Apa kata dizalimi di sini punya jaminan kuat, dan pasti merupakan tanda keimanan? Apakah ungkapan itu hanya bisa keluar dari dorongan jiwa seseorang yang imannya memang dalam, atau dari komunitas orang-orang beriman, yang begitu tulus dan mudah menentukan pemihakan politik berdasarkan sebuah kesalehan yang tak perlu dipersoalkan? Iman seperti apa, dan corak kesalehan macam apa yang begitu cepat mengubah gejala psikologi menjadi fenomena politik, yang tak bisa didebat, dan tiap saat hanya menjadi prinsip kaku dan mati: pokoknya suara rakyat tak bisa diganggu gugat?

*** Di dalam konteks politik dan hukum di negeri kita, suara rakyat, yang dipaksakan harus merupakan suara Tuhan itu kelihatannya lebih merupakan romantisme yang hidupnya jauh dari dunia yang becek, dan penuh bekas-bekas banjir ini. Melihat pengalaman ini, sebaiknya kita tak usah aneh-aneh. Sebaiknya kita lugas dan apa adanya saja. Suara rakyat ya suara rakyat. Tuhan, yang tak tahu-menahu dan tidak ada urusan dengan persoalan ini, tidak pantas dibawa-bawa. Jadi, sebaiknya kita menganggap suara rakyat ya suara rakyat. Lebih sosiologis. Kita tak usah berlebihan, justru supaya iman kita waras, dan sehat, dan kesalehan kita tak terluka. Iman yang sehat, dan kesalehan yang tulus, tak mungkin rela menganggap Tuhan mau diajak berjual-beli suara. Serangan fajar, yang dengan ambisi kotor membeli suara rakyat, yang siap, dan kemudian menjadi serakah menerima money politics apa itu berarti Tuhan betul yang dibeli suaranya? Apa dikiranya Tuhan mau diajak menyimpang? Tuhan disamakan dengan warga negara, rakyat yang kabarnya berdaulat, tapi jiwanya compang-camping, dan mau mendukung calon-calon busuk, yang bakal menghancurkan kehidupan rakyat itu sendiri? Orang baik-baik membuat citra serba baik tentang Tuhannya. Mereka yang doyan menyimpang sebaliknya. Ada orang yang melarang saya mengkritik SBY, karena dia percaya, dan saya harus juga percaya, SBY dipilih Tuhan, dan menjalankan mandat langit yang suci. Saya mau percaya bahwa presiden dipilih Tuhan. Tapi apa Tuhan itu murahan, dan begitu mudah dikecoh? Kalau betul Tuhan yang memilih presiden itu, kita harus tahu apa pesan Tuhan waktu itu. Saya tidak percaya bahwa Tuhan berbisik: jadilah presiden, dan berbuatlah sesukamu. Menangis juga boleh. Menyanyi pun tak dilarang. Tidak mungkin. Pesan Tuhan pasti lain, penuh kasih, penuh tanggung jawab: jadilah presiden, dan jangan selingkuh terhadap hak-hak rakyat. Jangan nodai konstitusi. Menangis boleh, menyanyi pun boleh tapi kerjakan apa yang harus dan wajib dikerjakan seorang presiden. Kalau tidak mampu menangani begitu banyak persoalan: biarkan orang miskin yang menangis, dan serahkan urusan menyanyi dan berkidung-kidung pada seniman beneran. *** Pendeknya, Tuhan tak bisa dibawa-bawa secara sepele dan penuh penghinaan seperti ini. Tuhan itu bisa saja menaruh perhatian pada politik Indonesia yang mengenaskan ini. Tapi saya kira Tuhan tak begitu tertarik membuang-buang waktu terlalu banyak pada perkara yang sudah dilimpahkan pada semua manusia, para khalifahnya di muka bumi ini. Bila memang Tuhan yang memilih presiden, dan yang dipilih selingkuh dari tanggung jawab kerakyatan, saya kira pada tempatnya kalau Tuhan juga mengirim tukang kritik, untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan. Berita gembira dan peringatan? Itu urusan rasul-rasul, dan nabi-nabi. Tukang kritik hanya menyampaikan bahwa yang tidak

baik itu tidak baik, dan mengingatkan bahwa pemimpin tak boleh mencampuradukkan yang haq dan yang bathil. Ini proses kebudayaan, dan gambaran bekerjanya kebudayaan di wilayah politik. Bahasa teknis-akademisnya kebudayaan politik. Jadi pemimpin dan kepemimpinan itu fenomena kebudayaan. Di dalam kebudayaan pemimpin lahir, atau dilahirkan, muncul, atau dimunculkan sebagai wujud aspirasi, dorongan ideologis, wawasan, sikap dan tingkah laku warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Tiap saat pemimpin lahir, atau dilahirkan, dan muncul, atau dimunculkan, seperti disebut tadi tanpa memikirkan kualitasnya secara serius. Memiliki kompetensi teknis yang diperlukan, atau tidak, hebat betul atau tidak, sering kita abaikan. Seolah kita selalu siap untuk kecewa, padahal tidak. Kemudian kita risau. Memilih pemimpin saja kita terbukti tidak mampu. Ketika baru memilih, optimisme kita melonjak-lonjak menyundul langit., untuk kemudian berakhir dengan kecewa. Kita membawa-bawa Tuhan dalam politik, dan memanipulasi-Nya untuk kepentingan rakyat. Kita menganggap suara rakyat suara Tuhan, dan apa yang merupakan pilihan rakyat disebut pilihan Tuhan, kelihatannya hanya untuk menunjukkan bahwa kita tak bertanggung jawab. Kita limpahkan kesalahan pada Tuhan? Ini sikap kebudayaan yang tak sehat. Kita harus tegas: pilihan rakyat bukan pilihan Tuhan.

MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com

Jaringan Informal dan Kinerja Superior


Semua pemimpin puncak perusahaan berusaha menciptakan kinerja superior dari organisasi yang mereka pimpin. Di tengah dunia usaha yang semakin dinamis dan penuh perubahan, aliran informasi dan pengetahuan menjadi salah satu kunci penting penciptaan kinerja yang superior. Memanfaatkan jaringan informal (informal network) perusahaan merupakan cara untuk meningkatkan efektivitas aliran informasi dan pengetahuan di dalam organisasi. Dari berbagai studi dan pengamatan, diketahui pertukaran informasi di dalam organisasi tidak diwadahi struktur formal perusahaan, tetapi diwadahi jaringan informal yang terbentuk di organisasi tersebut. Sangat jarang informasi dan pengetahuan mengalir melalui pelaporan formal maupun struktur hierarkis formal organisasi. Apa yang tergambar dalam bagan organisasi tidak menggambarkan secara riil bagaimana informasi mengalir di dalam perusahaan. Berangkat dari kesadaran itulah manajer perlu memperhatikan jaringan informal di dalam organisasi. Jaringan informal dalam organisasi dapat berupa peer group, pekerja dengan keahlian sama, kelompok aktivitas bersama maupun sesederhana sekumpulan teman yang sering kali menghabiskan waktu bersama. Jaringan informal tersebut berkomunikasi melalui telepon seluler, pesan instan, BlackBerry, surat elektronik maupun jejaring sosial di era digital masa kini. Jaringan informal ini menjadi saluran untuk difusi informasi, memungkinkan penambahan nilai yang lebih tinggi berdasarkan pemanfaatan informasi dan pengetahuan yang tepat. Melihat kekuatan jaringan informal anggota organisasi, pemimpin organisasi perlu memperhatikannya guna menciptakan kinerja organisasi yang superior. Jaringan informal yang efektif dapat menciptakan kerja sama horizontal secara baik guna mendukung penciptaan kinerja yang superior. Karakteristik Dasar Jaringan Informal Sebelum melihat bagaimana memanfaatkan secara baik jaringan informal, pemimpin perlu menyadari terlebih dahulu karakter dasar dari jaringan informal. Dengan kecenderungan bahwa manusia membentuk jaringan dengan orang lain, anggota organisasi secara naluriah menciptakan kontak dengan anggota organisasi yang lain. Jaringan informal sering kali membentuk kontak antaranggota organisasi yang tidak substansial terhadap pembuatan keputusan. Sebagai implikasi, banyak kontak berupa surat elektronik, panggilan, pertemuan yang pada akhirnya berujung pada inefisiensi. Berikutnya, perlu dipahami, unsur dasar dari jaringan informal adalah ketidakpastian.

Anggota organisasi membentuk jaringan dan mendiskusikan hal-hal yang terkait dari suatu topik. Namun karena ketidakpastian, mereka tidak mendiskusikan suatu topik secara terintegrasi dan tuntas. Terdapat juga kemungkinan, orang yang tepat tidak terlibat dalam jaringan informal yang berpengaruh dalam suatu pengambilan keputusan. Sebagai tambahan, jaringan informal merupakan sebuah jaringan yang tidak dapat dikelola. Jaringan informal terbentuk secara alamiah dan oleh karenanya membuat para pemimpin organisasi kesulitan memanfaatkan sepenuhnya jaringan informal. Adanya politik organisasi juga menghambat jaringan informal untuk mendukung terciptanya kinerja superior organisasi. Mendesain Jaringan Formal Setelah maraknya pendekatan organisasi matriks, pendekatan jaringan formal merupakan pendekatan yang banyak diadaptasi dan terbukti menghilangkan bottleneck serta mendukung pertukaran informasi dan pengetahuan. Semisal PT Daya, perusahaan penjual berbagai produk susu. Di dalam organisasi kantor pusat terdapat manajer tiap regional dan manajer tiap produk. Pada organisasi matriks, supervisor penjualan pada suatu daerah melapor kepada manajer regional dan manajer produk. Pendekatan jaringan formal mengusulkan pendekatan yang berbeda. Pertama, pemimpin organisasi perlu menentukan pemimpin dari jaringan formal, posisi yang memiliki jaringan tersebut. Posisi tersebut memfasilitasi interaksi, menstimulasi penciptaan dan dokumentasi pengetahuan, serta memungkinkan anggotanya melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien. Dalam konteks PT Daya, dapat ditambahkan posisi manajer ritel di kantor pusat. Posisi ini mengumpulkan dan memfasilitasi interaksi antarsupervisor penjualan dari berbagai daerah. Secara struktur, supervisor penjualan suatu daerah tetap melapor langsung kepada manajer regional. Manajer ritel memfasilitasi interaksi juga dengan tiap manajer produk dengan seluruh supervisor penjualan daerah. Kedua, pemimpin organisasi perlu mendefinisikan bentuk dari jaringan. Siapa saja yang terlibat dalam jaringan? Apa mekanisme yang digunakan untuk menciptakan interaksi? Informasi apa saja yang selayaknya dibagikan di dalam jaringan? Pengetahuan apa saja yang perlu diinventarisasi dan didokumentasikan untuk dibagikan kepada anggota jaringan? Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat digunakan untuk memandu mendefinisikan jaringan formal di dalam organisasi. Manajer ritel PT Daya dapat mempertimbangkan mekanisme koordinasi seperti mailing list, group chat pada pesan instan, rapat rutin, ataupun mekanisme koordinasi lainnya. Informasi mengenai penjualan per produk, per saluran distribusi, dan kompetitor dapat diinventarisasi dan didokumentasikan untuk didorong dan dibagikan kepada anggota jaringan. Struktur jaringan formal memobilisasi anggota organisasi untuk menciptakan nilai-nilai melalui penciptaan dan penyaluran pengetahuan. Pemanfaatan pengetahuan dalam organisasi tersebut meningkatkan kualitas pengambilan keputusan yang

pada gilirannya menciptakan kinerja organisasi yang superior.

ALBERTO D HANANI Founder dan Managing Partner BEDA & Company

Politik Luar Negeri dalam Pemilu

Dalam beberapa pekan terakhir ini situasi politik internasional yang melibatkan berbagai negara semakin panas. Di Asia, konflik Laut China Selatan masih bersifat laten dan mengkhawatirkan karena satu pemicu saja dapat membuat enam negara akan bersitegang. Di Eropa, kasus referendum di Crimea untuk bergabung atau tidak dengan Rusia telah menempatkan negara-negara yang tergantung dengan Rusia seperti Jerman dan Inggris dalam posisi yang tidak nyaman berhadapan dengan Amerika Serikat yang tidak mengendurkan sikapnya untuk mengkritik tindakan Rusia di Ukraina. Iklim panas di Timur Tengah juga semakin panas seiring dengan penarikan duta besar negara Arab Saudi dan Mesir dari Qatar. Penarikan duta besar ini tampak cocok dengan siklus alam yang berubah dari Arab Spring menjadi Arab Summer. Seperti halnya konflik-konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, konflik yang baru lahir akan membutuhkan proses penyelesaian yang tidak cepat. Terlebih lagi dengan krisis ekonomi dunia, maka penyelesaian konflik juga akan bergantung pada perbaikan ekonomi dunia. Ambil contoh kasus Ukraina yang beberapa hari terakhir ini adalah buah dari ketidakberesan manajemen pemerintahan setelah berakhirnya era Uni Soviet. Korupsi, tidak produktifnya masyarakat, ketergantungan bantuan ekonomi, dan faktor-faktor perubahan demografi yang tidak diantisipasi telah membuat politik dalam negeri negara itu menjadi tidak stabil. Penduduk Ukraina dari tahun ke tahun semakin berkurang. Puncak jumlah penduduk adalah tahun 1994. Saat itu jumlah mereka adalah 52 juta, kemudian turun dan semakin turun drastis menjadi 45,8 juta pada 2012. Sektor ekonomi tidak dapat bergerak karena kurangnya tenaga kerja yang terampil. Hal ini yang kemudian juga mengembalikan lagi kenangan-kenangan akan teraturnya hidup mereka pada saat masih bergabung dengan Uni Soviet. Dalam konteks krisis ekonomi berkepanjangan yang berpeluang menciptakan ketidakstabilan politik baik di dalam negeri maupun dalam hubungan antara negara, presiden Indonesia yang baru dan partai politik penguasa yang akan terpilih di tahun 2014 tidak akan memiliki waktu yang panjang untuk mencerna dan merumuskan kebijakan politik luar negeri. Secara sederhana, tugas pemimpin baru itu adalah mencegah timbulnya konflik-konflik baru dan menyelesaikan konflik-konflik yang telah terjadi atau minimal mencegah pemburukan situasi. Masalahnya, rumusan kebijakan luar negeri sangat terkait dengan kepentingan ekonomipolitik dalam negeri kita sendiri dan salah satu agenda populis selama ini disuarakan para kandidat atau calon presiden adalah mengedepankan ekonomi kerakyatan, nasionalisasi sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak, dan slogan-slogan populis lain

yang telah memunculkan rasa khawatir dari pemerintah-pemerintah negara lain di mana perusahaan-perusahaan mereka telah menginvestasi ribuan miliar dolar AS di Indonesia. Terlebih lagi dalam 10 tahun terakhir ini, sektor-sektor yang tidak mengandalkan nilai tambah seperti batu bara, minyak, bauksit, dan sebagainya justru menjadi kontributor utama perekonomian Indonesia dan bukannya dari sektor riil. Dengan kata lain, kontrak ekonomi kita terhadap pihak luar lebih kuat ketimbang kemandirian kita. Apabila kita ingin mengoreksi kebijakan yang tidak tepat di masa lalu dengan negara-negara lain, kita harus siap dengan konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut atau apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Selain konflik bilateral yang mungkin terjadi karena masalah ekonomi, konflik politik regional seperti di Laut China Selatan atau konflik ekonomi dalam forum-forum ekonomi dunia seperti APEC, G-20 , ASEAN atau WTO, konflik dunia seperti yang terjadi di Timur Tengah atau Ukraina akan menuntut Indonesia untuk aktif dalam proses penyelesaian. Di sini posisi Indonesia diamat-amati betul oleh negara lain: ke mana kita cenderung berpihak? Dalam pemilu di negara-negara tertentu seperti AS atau anggota Uni Eropa, arah kebijakan politik luar negeri seorang calon presiden akan ikut menentukan besaran jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Namun, untungnya hal tersebut tidak berlaku bagi calon presiden di Indonesia. Meskipun para pemilih Indonesia cukup kritis tentang dominasi ekonomi dan hegemoni politik asing di dalam negeri, mereka cenderung tidak terlalu ambil pusing dengan kebijakan politik luar negeri bakal calon presiden yang akan dipilihnya. Meski demikian, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan para pemilih dan bukan berarti bakal calon itu dapat tenang-tenang saja. Sekali lagi situasi global tidak memungkinkan adanya ruang wait and see, apalagi sekadar jadi penonton saja. Bahkan negara-negara tetangga sangat menanti langkah konkret Indonesia segera setelah pemilu berakhir karena pada 2015 sudah langsung dijalankan integrasi masyarakat ekonomi ASEAN. Di sinilah kritik saya kepada para calon presiden di Indonesia: mereka abai mendidik para pemilihnya tentang peranan penting Indonesia di tingkat global. Strategi yang penting menang dulu dan mengabaikan pendidikan politik global kepada pemilih mungkin akan bisa menjadi bumerang ketika mereka berkuasa. Para pemimpin dunia yang mencoba melawan arus dominan politik dan ekonomi dunia untuk kepentingan politik-ekonomi dalam negeri mereka masing-masing, baik yang berasal dari sayap kanan maupun kiri, tetap akan tergantung dengan konstituen mereka untuk mendukung kebijakan itu. Idealnya, sejak saat ini hingga saat pencoblosan nanti, para calon presiden dan partai politik dapat mulai menggalang dukungan dari akar rumput untuk kebijakan politik luar negerinya. Bagi saya sendiri tujuannya praktis saja, yaitu untuk menciptakan kestabilan politik akibat kebijakan yang populis/tidak populis yang akan diambil nanti. Kita perlu melihat kasus Thailand sebagai contoh yang terdekat. Dari perbincangan dengan sejumlah wakil dari 12 partai politik yang akan bertarung dalam

Pemilu 2014, saya menyaksikan hanya sedikit individu calon legislatif yang dapat melihat gambaran makro hubungan Indonesia dalam peta strategis dunia; selebihnya menanggap semua itu bisa dilakukan sambil jalan. Sungguh memprihatinkan karena demi Indonesia yang mampu lepas landas dibutuhkan pemimpin yang teruji dalam berbagai jenjang politik, baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Kepiawaian seorang pemimpin seharusnya tidak berhenti pada meyakinkan pemilih untuk mendukungnya, tetapi juga meyakinkan pemimpin negara-negara lain untuk mendukung agenda-agenda yang diusung oleh Indonesia, termasuk ketika agenda tersebut dianggap berseberangan dengan kepentingan negara lain tadi. Kita harus ingat bahwa sejarah telah membuktikan bahwa di balik pemimpin yang hebat berdiri rakyat yang siap berjuang untuk mempertahankan keyakinannya.

DINNA WISNU, PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu

Menjaga Rasionalitas Politik

Pada dasarnya, politik itu rasional, karena berkenaan dengan pengelolaan negara melalui otorisasi kuasa yang diberikan oleh rakyat dan didistribusikan ke dalam sistem politik. Melalui kuasa itulah, tindakan dan keputusan politik diambil dalam rangka mencapai suatu tujuan, melalui kerja sistem-sistem yang bergerak seperti roda-roda kecil (yudikatif, eksekutif, dan legislatif) yang setiap putarannya bergerak menuju, dan menunjang, putaran sebuah roda besar (negara). Inilah misi otentik politik. Politik itu bersifat rasional sebagai sebuah kerangka berpikir maupun mekanisme kerja. Dalam politik, tujuan maupun cara untuk mencapainya memiliki kerangka logika yang jelas. Namun, politik tidak menutup diri dengan aspek-aspek yang masih tidak atau belum memenuhi prasyarat rasionalitas. Dipersiapkan perspektif budaya politik untuk memahami sebuah tindakan politik yang tidak rasional. Namun dalam kerangka rasio politik, yang tidak atau belum terpahami tersebut tidak boleh merusak sistem, mekanisme kerja dan target-target pencapaian tujuan politik itu sendiri. *** Menarik untuk menganalisa kecenderungan perilaku pemilih kita dari pemilu ke pemilu, termasuk Pemilu 2014 nanti. Secara faktual, di Indonesia aspek budaya politik masih memberikan pengaruh besar dalam membentuk rasionalitas perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Beberapa aspek dari perilaku pemilih masih sulit untuk dijelaskan kerangka rasionalitasnya. Untuk menyederhanakan masalah, fenomena itu kerap dikategorikan secara sepihak ke dalam budaya politik, padahal tidak boleh demikian. Masalahnya adalah bagaimana jika perilaku pemilih tersebut memiliki dampak yang tidak kondusif terhadap proses pencapaian tujuan otentik dari politik. Repetisi perilaku pemilih tersebut semakin menjebak politik negeri kita dalam kesalahan politik (political error). Menjadi semakin problematis ketika muncul pembelaan dan pemakluman terhadap perilaku tersebut sebagai bagian dari budaya politik kita. Kerangka berpikir seperti ini berbahaya dan berpotensi mendegradasi kualitas demokrasi kita. Sistem politik kita akan bekerja melalui pola pikir bawah sadar, bukan atas sadar, sebagai ekses dari perilaku politik hipnotik masyarakat kita. Ini dapat kita sebut sebagai irasionalitas politik: perilaku politik pemilih yang tidak lagi bertopang pada kerangka logis, melainkan emosionalitas. Potensi terjadinya irasionalitas politik dalam perilaku pemilih kita masih sangat tinggi. Salah satunya terlihat dari kecenderungan euforia masyarakat terhadap figur calon pemimpin. Semacam fanatisme temporer yang dikendalikan oleh letupan emosi sesaat pula. Kata sesaat di sini bisa menjadi sangat lama jika terjadi berulang-ulang di setiap pemilu.

Persepsi terhadap figur yang berbasis pada fanatisme ini kemudian bergerak semakin menjauhi fakta yang sebenarnya, namun terjadi tanpa disadari oleh si subjek pemilih. Masyarakat kita memiliki kecenderungan menjaga harapan dengan cara menciptakan mitos politik di dalam paradigma perilaku memilihnya, tentang seorang figur pemimpin. Daya tarik mitos adalah pada kemampuannya untuk memberikan kepastian dan rasa aman meski hanya dalam imajinasi politik, bukan realitas politik sebenarnya. Memberi efek candu, bius, dan adiktif. Hingga akhirnya, secara perlahan realitas politik terkait figur tersebut bergerak semakin jauh dari kerangka mitologinya. Puncaknya, semua kerangka irasionalitas (yang sebelumnya dianggap rasional) tentang figur tersebut runtuh. Sehingga membuncahlah kekecewaan sampai batas yang ekstrem. Salah satu pola dari ekstremitas adalah kecenderungannya untuk mencari antitesis dalam bentuk ekstremisme yang lain. Karena sifatnya katarsis semata, yang memegang kontrol adalah emosi, bukan rasio. Terjadi luapan pelampiasan yang tanpa batas. Secara laten, ekstremisme semacam ini pada dasarnya tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Yang berubah hanya polanya. *** Kita masih ingat bagaimana pada pemilu tahun 2004, sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi figur nirkritik. SBY dipersepsikan sebagai sosok yang nyaris sempurna, sebuah rumusan yang dalam rasionalitas politik bukan hanya dikategorikan irasional, tapi tidak diberi tempat karena potensinya untuk mengikis rasionalitas. Politik pencitraan menjadi mesin kerja yang semakin memuluskan irasionalitas tersebut. Hingga perlahan-lahan, gap antara persepsi dan fakta tentang kepemimpinan figur SBY meruntuhkan basis irasionalitas tersebut dan meruntuhkan bangunan pencitraannya. Di titik ini, menarik melihat fenomena Joko Widodo (Jokowi) yang kehadirannya korelatif dengan psikologi politik masyarakat kita yang sedang mengalami katarsis kekecewaan sebagai efek dari irasionalitas pada kepemimpinan SBY. Korelasi ini bisa kita rujuk pada persepsi masyarakat terhadap figur Jokowi yang hampir semuanya antitesis dari persepsi atas figur SBY di masa lalu. Merakyat, natural (apa adanya), bekerja, dan sederhana menjadi antitesis Jokowi terhadap figur SBY yang elitis, pencitraan, retorika, dan mementingkan performa. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memastikan bahwa ini tidak akan mengulangi kesalahan perilaku politik yang sebelumnya terjadi terhadap SBY? Kita harus memiliki parameter yang valid dalam menilai figur calon pemimpin. Parameter ini harus dikembalikan pada kerangka dasar politik, yaitu rasionalitas. Dibutuhkan aspek kuantifikasi, kualifikasi, dan kalkulasi dalam memutuskan kapasitas dan kapabilitas figur tersebut. Sebab betapapun rasionalnya pertimbangan memilih seorang pemimpin, pada praktiknya selalu ada celah bagi irasionalitas untuk berperan. Apalagi jika sejak awal telah dihegemoni oleh irasionalitas. Untuk itu, masyarakat kita harus selalu berusaha untuk mengedepankan rasionalitas dalam memersepsikan figur calon

pemimpin. Visi, kinerja, blue print kepemimpinan, program, dan lain-lainnya harus diseleksi secara kritis pada figur calon pemimpin. Jokowi, dengan segala karakteristik kepemimpinan yang melekat pada dirinya, hadir pada saat yang tepat dan memiliki kelebihan tersendiri. Jokowi mampu menghadirkan gaya kepemimpinan yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat kita dan sedang ditunggu-tunggu, karena baru tersadar oleh irasionalitas pola kepemimpinan era sebelumnya. Namun, kita harus tetap selalu membuka pintu bagi tumbuhnya rasionalitas politik di satu sisi, dan berusaha menutup pintu bagi masuknya irasionalitas politik. Kedua hal itu bisa dilakukan dengan kesadaran politik kritis yang nantinya menjelma menjadi perilaku kritis dalam memilih. Kritisisme politik sangat diperlukan bukan hanya untuk mencegah infiltrasi irasionalitas, tapi karena kritisisme merupakan bagian inheren dari rasionalitas politik. Untuk itu, kritisisme terhadap figur Jokowi, dan figur-figur calon pemimpin lainnya, harus tetap kita pelihara. *** Setelah penat dengan kekecewaan terjebak pada irasionalitas politik kepemimpinan sebelumnya, psikologi politik rakyat memang sangat rindu pada fakta yang nyata, bukan fakta yang maya (pencitraan). Namun di situlah letak tantangan masyarakat kita, yaitu tetap kritisisisme terhadap figur, sehingga katarsis kerinduan tersebut tidak menjebak kita pada bentuk kemayaan yang lain yang hanya berbeda pola saja. Di tengah terpaan emosi katarsis, kita harus tetap menjaga basis rasionalitas perilaku kita dalam memilih. Termasuk terhadap Jokowi dan siapa pun figur yang akan menjadi calon pemimpin, baik kini maupun di masa mendatang. Tetap menjaga kritisisme pada figur Jokowi, mungkin memicu emosionalitas politik sebagian kalangan masyarakat kita. Kita dapat memahami itu sebagai ekspresi katarsis kekecewaan terhadap politik kepemimpinan era yang lalu. Namun, katarsis kekecewaan tidak boleh sampai memegang kontrol penuh atas rasionalitas perilaku memilih kita. Tetap berusaha berpikir rasional dalam melihat figur Jokowi bukan hanya baik untuk demokratisasi negeri ini, tapi juga untuk kebaikan karakteristik kepemimpinan Jokowi itu sendiri. Dengan tetap menjaga sikap kritis terhadap Jokowi, kita menyelamatkannya dari potensi keterjebakan pada mitologi politik kepemimpinan. Jika sebuah kepemimpinan tidak lagi disentuh oleh kritik, berpotensi besar untuk larut dalam irasionalitasnya. Itu fitrah yang secara inheren melekat dalam tubuh kuasa. Kuasa memiliki kecenderungan untuk mengebalkan dirinya dari kritik. Sementara kritik berperan untuk berjaga di pintu, agar irasionalitas tidak masuk ke dalam ruang politik. Dalam demokrasi, keseimbangan akan tercipta melalui pasang surutnya pujian dan kritikan. Tanpa kritikan, yang terbangun otoritarianisme. Tanpa pujian, yang ada hanya sinisme. Keduanya komplementer sebagai penjaga demokrasi. Semua elemen kebangsaan dan kenegaraan kita tentu tidak ingin terjebak pada repetisi historisitas politik. Kita ingin

progresif dalam menjalankan roda sejarah politik negeri ini. Tak ada cara lain untuk mencapai itu selain dengan tetap menjaga rasionalitas politik kita.

FAYAKHUN ANDRIADI Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia

Implikasi golput
Koran SINDO

Rabu, 12 Maret 2014

DI Indonesia, memilih dalam pemilihan umum (pemilu) merupakan hak, bukan kewajiban. Karena itu, yang memilikinya bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Dengan kata lain, pemilih yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan aspirasi politik guna memilih dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun presiden dan wakil presiden, tidak dikenakan sanksi apa pun. Kelompok yang tidak menggunakan hak pilih ini lazim disebut sebagai golongan putih (golput). Disebut demikian karena, pada saat awal kemunculannya sebagai sebuah gerakan pada menjelang Pemilu 1971, mereka mencoblos bagian kertas suara yang berwarna putih. Pilihan untuk tetap hadir di TPS, tetapi mencoblos bagian kertas suara yang tidak seharusnya ini, diambil karena untuk tidak hadir ke TPS pun saat itu bukan persoalan mudah. Sebab, mereka yang tidak hadir akan dilekati dengan berbagai stereotip negatif. Pilihan untuk tidak memilih partai kontestan pemilu saat itu dilakukan untuk melawan legitimasi kekuasaan rezim Orde Baru. Jika menggunakan argumentasi yang sama, mestinya wacana golput tidak lagi muncul pada era pascareformasi. Sebab, suasana pada era pascareformasi terbilang sangat demokratis. Namun, wacana golput kembali muncul, bahkan kemudian makin menguat, terutama menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014. Wacana ini disebabkan orang-orang yang mewacanakan golput tidak memiliki kepercayaan kepada para kontestan pemilu, baik partai politik, maupun per individu caleg yang diajukan oleh partai, bahkan juga caleg DPD. Awal mulanya ada sebagian aktivis yang mengampanyekan gerakan antipolitisi busuk menjelang Pemilu 2004. Namun, gerakan ini tampaknya terbilang tidak berhasil. Pemilu kedua dan ketiga pascareformasi lebih banyak dimenangi oleh kalangan yang dianggap tidak memiliki idealisme memadai dan bahkan mempraktikkan politik uang untuk membeli suara pemilih. Tidak hanya itu, dalam praktik bernegara, semua partai politik yang memiliki kekuasaan di eksekutif tersangkut masalah korupsi, walaupun tentu saja selalu dikatakan oknum-oknumnya saja. Inilah yang kemudian memunculkan pemikiran bahwa tidak ada gunanya memberikan hak suara dalam pemilu. Toh yang banyak terpilih kemudian adalah mereka yang berperilaku korup. Cara berpikir demikian, secara sepintas seolah logis. Namun, dalam jangka panjang untuk

masa depan, cara berpikir demikian sangat berbahaya dalam konteks perbaikan negara. Pilihan menjadi golput justru akan menyebabkan berbagai implikasi negatif. Pertama, rakyat yang memilihatau terpengaruh dengan pilihan untuk menjadi golput menjadi tidak terbiasa untuk melakukan tindakan aktif untuk berjuang guna memperbaiki keadaan. Mereka bahkan akan berpikir bahwa dengan menjadikan golput sebagai pilihan, situasi dan kondisi akan berubah. Padahal tidak sama sekali. Walaupun golput yang diwacanakan diniatkan untuk memperlemah legitimasi penguasa korup, dalam prakteknya, mereka tetap saja kuat dan tidak pernah ambil peduli. Sebab, secara legal formal, posisi mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat kuat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, berpotensi besar memberikan kesempatan kepada pihak-pihak tertentu yang menghalalkan segala cara untuk melakukan tindakan kecurangan. Berdasarkan pengalaman dalam pemilu-pemilu sebelumnya, surat suara yang berlebih merupakan salah satu sumber kecurangan. Karena itu, surat suara cadangan kemudian diminimalisasi dengan tujuan agar kecurangan bisa ditekan. Nah, jika ada cukup banyak pemilih yang tidak menggunakan hak suara mereka, justru akan membuka peluang bagi mereka yang merencanakan kecurangan untuk bisa memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkannya. Ketiga, para politisi busuk akan mendapatkan kemenangan dengan mudah. Sebab, para pemilih untuk menjadi golput biasanya merupakan kalangan yang relatif terdidik dan memiliki akses informasi yang lebih baik. Mereka sering diidentikkan sebagai kalangan pemilih rasional. Jika mereka tidak lagi mengupayakan untuk mencari, menemukan, dan kemudian mendukung politisi yang baik, maka politisi busuk menjadi tidak lagi memiliki kompetitor. Mereka akan menjadi lebih mudah untuk mendapatkan dukungan dengan persentase yang lebih besar, karena mendapatkan dukungan dari pemilih yang tidak melek politik dan sangat mudah disogok dengan serangan politik uang. Para pemilih yang memilih untuk menjadi golput seharusnya menyadari bahwa zaman telah berubah. Sistem politik dan praktiknya telah menjadi sangat demokratis. Semua orang bebas untuk mengekspresikan diri, berkumpul, dan berserikat. Siapa pun memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi memperebutkan posisi-posisi politik. Jika ingin memiliki pemimpin dan wakil yang baik, orang-orang yang baik harus berjuang sekuat tenaga, agar para calon yang baik mendapatkan dukungan yang besar dan benar-benar terpilih dalam pemilu. Jika para pemilih golput menganggap bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya, merekalah yang seharusnya mengambil peran untuk menjadi politisi. Mereka harus memperjuangkan diri sendiri, agar dapat merebut kekuasaan.

Ungkapan Imam Ali, Jika kita tidak mendapatkan keadilan, maka kitalah yang harus memberikan keadilan, sangat tepat dalam hal ini. Sikap hanya menggerutu sama sekali bukanlah pilihan, karena sama sekali tidak akan mengubah keadaan. Untuk itu, setiap warga negara seharusnya mengambil peran aktif untuk memperbaiki negara dengan menggunakan hak suara sebagai modal. Hal yang justru sangat perlu dilakukan saat ini adalah mengonsolidasi kekuatan kritis dan berusaha membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang sebelumnya tidak melek politik untuk mendukung para caleg yang sesungguhnya memiliki idealisme dalam berpolitik, agar mereka menang dalam pemilu. Mereka biasanya disingikirkan oleh partai politik yang didominasi oleh pragmatisme dengan ditempatkan pada nomor urut besar dan di daerah-daerah yang minim pendukung. Tugas kalangan kritis adalah bertindak aktif untuk memperjuangkan mereka. Kalaupun calon-calon yang memiliki idealisme tidak terpilih, mereka akan tetap memiliki semangat untuk terus berjuang karena tetap memiliki pendukung dengan jumlah yang signifikan. Ketakterpilihan itu tidak menyebabkan aktivis politik idealis menjadi putus asa karena merasa tidak memiliki pendukung. Dan dengan dukungan yang signifikan, walaupun tidak sampai terbanyak, dalam kondisi-kondisi tertentu membuat mereka memiliki peluang untuk menggantikan. Inilah yang kemudian bisa dijadikan modal pada masa selanjutnya. Dengan cara ini energi kalangan yang sebelumnya akan memilih untuk menjadi golput menjadi tidak mubazir. Dalam konteks ini pula menggunakan hak pilih tetap lebih utama dibandingkan menjadi golput. Bahkan, walaupun secara legal formal berdasarkan Undang- Undang Pemilu memilih adalah hak, tetapi sebagai alat perjuangan secara substansial memilih justru merupakan kewajiban. Wallahu alam bi alshawab.

DR MOHAMMAD NASIH, MSI Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pendiri Monash Institute, Semarang

Korupsi dan kanibalisme politik


Koran SINDO

Rabu, 12 Maret 2014

PRAKTIK korupsi yang melibatkan aktor-aktor politik dan pemangku kekuasaan di semua tingkatan pemerintahan dan cabang kekuasaan negara selalu mengundang perhatian publik dengan daya magnitudo sangat tinggi. Menurut prinsip keadaban politik, kekuasaan negara seyogianya didedikasikan untuk kepentingan masyarakat dan para pemangku kekuasaan dituntut mengabdikan diri untuk mewujudkan al-mashlahah alammah kemaslahatan publik. Dalam perspektif demikian, seluruh sumber daya ekonomi politik harus dikelola dengan baik berdasarkan prinsip kebajikan publik, yang berorientasi pada upaya menciptakan kesejahteraan umum. Dalam konteks ini, korupsi bukan saja melanggar etika sosial dan mencederai prinsip kebajikan publik, melainkan juga meruntuhkan nilai-nilai akuntabilitas yang menjadi salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem demokrasi yang semula dibayangkan dapat menghapus atau paling tidak mengurangi praktik korupsi justru kian memperburuk keadaan. Semula sistem demokrasi diyakini dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, karena ruang partisipasi publik terbuka luas dan kontrol masyarakat dapat difasilitasi melalui berbagai saluran: parlemen, organisasi masyarakat sipil, kelompok penekan, dan berbagai asosiasi kelompok kepentingan. Dengan demikian, akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan negara dapat terwujud karena sistem demokrasi menyediakan mekanisme untuk merealisasikan good governance. Saksikan, praktik korupsi justru kian marak dan seolah menemukan lahan subur untuk berkembang makin meluas dan melibatkan aktor-aktor kakap, yang memangku jabatan publik pada pospos sangat strategis. Kanibalisme politik Sungguh menyedihkan, praktik korupsi bukan saja kian merajalela dalam sistem demokrasi, melainkan juga menciptakan apa yang disebut political cannibalism. Kanibalisme politik adalah praktik saling memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau pertarungan merebut kekuasaan. Perilaku saling memangsa di antara aktor-aktor politik ini mencerminkan mentalitas purba dan naluri primitif, merujuk doktrin kuno yang dipopulerkan oleh ahli filsafat sosial Herbert Marcuse: homo homini lupus (man is a wolf to man)manusia adalah serigala pemangsa

manusia lain. Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam peradaban primitif, manusia acap memakan dalam pengertian harfiahmanusia lain, yang dikenal dengan tradisi kanibalisme. Dalam konteks peradaban modern, pertarungan merebut kekuasaan melahirkan kanibalisme politik dalam wujud korupsi di kalangan pemangku kekuasaan. Kanibalisme politik jelas bertentangan dengan civic morality, yang menjadi basis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang beradab. Penting dicatat, kanibalisme politik dalam konteks pertarungan dan perburuan kekuasaan selalu bersifat nihilistik dengan prinsip zero sum game. Bagi pihak yang punya kuasa, mereka akan memangsa habis apa pun/siapa pun tanpa meninggalkan sisa. Skandal korupsi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan Akil Mochtar (AM), Tubagus Chaeri Wardhana, Chairunnisa, dan Ratu Atut Chosyiah adalah contoh sempurna praktik kanibalisme politik. Betapa tidak, mereka berempat adalah aktor-aktor politik yang memangku jabatan publik pada cabang kekuasaan yang berbeda: eksekutif, legislatif, yudikatif, namun berafiliasi dengan partai politik yang sama: Golkar. Bahkan untuk skandal korupsi yang sedang dalam proses penyelidikan di KPK terkait sengketa Pilkada Jawa Timur, diduga kuat juga melibatkan elite-elite Golkar yang lain. Meski berasal dari parpol yang sama, demi uang dan kekuasaan, masing-masing saling mengeksploitasi dengan memanfaatkan otoritas yang ada di tangan mereka. Jual-beli vonis MK Praktik kanibalisme politik dalam skandal korupsi di MK tampak nyata ketika AM memperdagangkan constitutional verdicts (baca: vonis MK) kepada pihak-pihak yang beperkara dalam sengketa pilkada. Sebagaimana terekam dalam hasil sadapan KPK, AM tampak sangat aktif berkontak langsung maupun melalui makelardengan salah satu atau kedua pihak yang mengajukan gugatan hasil pilkada dan meminta imbalan uang dengan nominal bervariasi antara Rp500 juta sampai Rp19,5 miliar. Dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, kanibalisme politik terasa sangat ironis. Selaku ketua MK, AM yang mengawali karier politik dan besar bersama Golkar, tanpa tenggang rasa memintadengan halus maupun paksauang suap miliaran rupiah kepada Wawan dan Ratu Atut, sesama politisi Golkar. Untuk kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas bahkan difasilitasi oleh Chairunnisa, juga politikus Golkar yang menjadi anggota DPR. Skandal suap AM yang melibatkan elite-elite Golkar adalah peristiwa paradoksal buah sistem demokrasi liberal

yang berongkos mahal. Dapat dikatakan, apa yang sesungguhnya terjadi dalam skandal suap MK adalah political extortion among Golkar politicians. AM bertindak selaku petualang politik dan pedagang jabatan, yang menjadikan posisi prestisius selaku ketua MK tak lebih dari sarana komersialisasi jabatan publik dan transaksi ekonomi-politik belaka. Sesat pikir Kanibalisme politik merupakan fenomena ganjil yang menyertai perkembangan sistem demokrasi liberal, karena para politisi mengalami sesat pikir yang serius. Pertama, banyak politisi memaknai politik sekadar sebagai jalan untuk meraih kekuasaan belaka, yang kemudian dimanipulasi untuk menumpuk kekayaan dan mengakumulasi modal. Simaklah, para politisi yang terjerat kasus korupsi umumnya tak punya pikiran bernas dan pandangan visioner tentang ikhtiar membangun bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera. Kedua, moralitas politik dianggap barang usang yang kehilangan relevansi sehingga tak diperlukan di era demokrasi liberal yang didominasi oleh politik uang. Berbeda dengan para pendiri bangsa yang menjalankan politik kenegaraan berdasarkan moralitas dan keadaban publik, para politisi korup berpolitik dan menjalankan kekuasaan negara tanpa disertai etika, tunamoral, dan mengabaikan kemaslahatan publik. Melihat praktik korupsi yang kian menggurita di kalangan politisi dan penguasa sungguh merisaukan. Mereka bertransformasi menjadi kekuatan destruktif yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita gagal membendung dominasi politisi korup di pentas nasional, kanibalisme politik bukan hanya memangsa kolega politisi pada suatu parpol, tetapi juga institusi negara. Pilarpilar penyangga bangunan negara akan runtuh karena digerogoti praktik korupsi yang sudah menjadi epidemi politik dengan tingkat bahaya yang sangat tinggi. Dengan akal budi dan kearifan, kita harus mencegah agar katastrofi politik ini tak menjelma menjadi kenyataan.

AMICH ALHUMAMI Antropolog, Peneliti Senior Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia, Jakarta

Mengubah Kecemasan Implementasi Kurikulum 2013

Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2014 telah usai, Jumat (7/3). Ada dua hal pokok yang menjadi perhatian RNPK dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan, yakni akses dan kualitas. Dalam jumpa persnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menjelaskan bahwa akses terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan pendidikan, sedangkan kualitas terkait guru, kurikulum, dan sarana. Dari dua isu tersebut, isu implementasi Kurikulum 2013 tetap menjadi perhatian publik. Bagaimana tidak, sejak awal kemunculannya, ide ini sudah kontroversial. Bukan pada substansi kurikulumnya, melainkan pada persoalan implementasinya. Disadari atau tidak, implementasi Kurikulum 2013 merupakan kerja besar. Betapa tidak, pada tahun ajaran baru, pertengahan Juli 2014 implementasi Kurikulum 2013 melibatkan seluruh sekolah di Tanah Air dengan jumlah sasaran 206.799 sekolah, terdiri atas SD/SDLB 148.171 sekolah; SMP/SMPLB 35.597; SMA/SMLB12.403; dan SMK 10.628 sekolah. Dari sekolah sasaran tersebut akan melibatkan 31.244.844 siswa. Jumlah siswa itu terdiri dari siswa SD/SDLB (kelas 1,2,4,5) sebanyak 17.640.917; Siswa SMP/ SMPLB (kelas 7 dan 8) sejumlah 7.107.950; siswa SMA/SMLB (kelas 10 dan 11) berjumlah 3.468.510; dan siswa SMK (kelas 10 dan 11) sebanyak 3.027. 467. Selain dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, implementasi Kurikulum 2013 juga melibatkan guru dalam jumlah yang begitu besar. Ada 1.425.001 guru (SD 783.935; SMP 415.980; SMA 139.398; dan SMK 85.688) yang akan berpartisipasi dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Karena melibatkan secara masif guru dan siswa serta kepala sekolah dan pengawas, konsekuensi berikutnya adalah pengadaan buku secara besar-besaran baik untuk guru, siswa, ataupun pengadaan buku-buku dokumen kurikulum buat kepala sekolah dan pengawas. Untuk kerja besar ini, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar pula sebesar Rp7,56 triliun, dengan rincian sumber dana: dari APBN Rp3,53 triliun; BOS Rp1,79 triliun; dan DAK Rp.2,24 triliun. *** Tidak mengherankan kerja besar ini melahirkan keraguan banyak kalangan terhadap suksesnya implementasi Kurikulum 2013. Di sisi lain, beberapa guru, instruktur, kepala sekolah, siswa, orang tua juga cemas. Sebagai subjek yang terlibat dan turut dilibatkan dalam proses implementasi, sebagian dari mereka merasa masih bingung mengenai apa yang harus

dilakukan dalam proses pembelajaran, meskipun di sisi lain mereka telah mengikuti sosialisasi Kurikulum 2013 yang gencar dilakukan Kemendikbud. Saat penulis melakukan kunjungan di beberapa sekolah dasar terbaik di Yogyakarta yang menjadi percontohan implementasi Kurikulum 2013, ternyata kecemasan tersebut juga terjadi. Sebagai sesuatu yang baru dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengubah mindset-nya dari teacher-centered menjadi student-centered. Perubahan mindset ini diakui para guru bukanlah pekerjaan mudah, terlebih sudah bertahun-tahun para guru telah terbiasa menjadi dewa pengetahuan bagi siswa. Guru-guru sudah telanjur terbiasa menjadi subjek yang aktif sedang para siswa dikondisikan sebagai objek yang pasif, sehingga apapun yang disampaikan oleh guru adalah sesuatu kebenaran, sedangkan siswa patuh menerima kebenaran yang belum tentu benar. Untungnya kecemasan ini tidak berlanjut dan hanya terjadi di awal-awal pelaksanaan implementasi Kurikulum 2013. Sebagai contoh, bermodalkan pelatihan yang pernah diikuti, baik Sri Sulastri maupun Ratiyem (guru kelas 1 dan 4 SDN Babarsari, Sleman, DIY) merasa bahwa mereka mampu mengimplementasikan kurikulum 2013. Setiap hari mereka harus banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan pembelajaran kreatif, buku-buku/novel inspiratif. Tidak sampai di situ saja, mereka pun terus melakukan diskusi dengan beberapa guru sekolah lainnya, terutama guru-guru dari sekolah yang telah mengimplementasikan Kurikulum 2013. Dan yang tak kalah pentingnya, mereka harus lebih jeli mengamati perkembangan belajar peserta didiknya. Meskipun berat, mereka menyadari bahwa langkah ini merupakan langkah yang terbaik dan harus dilewati. Alhasil, perjuangan keras tersebut membuahkan hasil. Satu minggu mengajar, perubahan pun telah terasa. Tidak heran saat penulis berkunjung di sekolah tersebut, kedua guru ini terlihat percaya diri. Mereka terlihat telah mampu menempatkan diri sebagai seorang fasilitator dan evaluator pembelajaran. Para siswa pun tidak lagi dicekoki pelbagai pengetahuan dari satu sumber. Yang tampak saat itu, mereka terus mengamati diskusi tematik para siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen. Kelompok heterogen tersebut terdiri dari empat orang siswa yang berbeda baik dari jenis kelamin, kemampuan akademik, ataupun kemampuan emosional. Mereka terlihat asyik berdiskusi, bahkan beberapa siswa berani menyatakan pendapat yang berbeda dalam kelompoknya. Sementara itu, guru hanya mengamati proses belajar tersebut sembari sesekali menghampiri salah satu kelompok belajar ataupun meluangkan waktunya untuk mengisi dokumen evaluasi pembelajaran secara kualitatif di meja kerjanya. Ketika penulis menghampiri salah satu kelompok dan bertanya kepada mereka tentang maksud dari lukisan mereka setelah mempelajari buku Tema 5: Pengalamanku, mereka menjawab dengan percaya diri, apa adanya, dan terkadang di luar dugaan. Dek Ini gambar apa? Ini gambar saya di bingkai foto. Waktu saya masih kecil, Kok rambutnya berwarna kuning? Biar saya cerah selalu, jawab Kilah, siswi kelas I A. Untuk mengabadikan karya

tersebut, foto-foto tersebut selanjutnya ditempel di dinding kelas tersebut bersama foto-foto lainnya. Demikian halnya, ketika penulis mengamati kelas IV, yang saat itu sedang mempelajari buku Tema IPS (muatan sejarah), penulis terkesan dengan rasa percaya diri seorang siswa ketika menjelaskan asal muasal kerajaan Sriwijaya. *** Meskipun pengalaman di atas tidak untuk merepresentasikan keseluruhan sekolah percobaan implementasi Kurikulum 2013 di Indonesia, pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kecemasan tidak selamanya membuahkan kegagalan. Kecemasan justru diubah menjadi motivasi besar untuk melakukan perubahan yang besar. Bagaimanapun, manusia adalah sosok yang memiliki kecemasan, seseorang yang tidak cemas, justru telah mengingkari sifat kemanusiaannya, dan manusia yang hebat adalah manusia yang mampu membalikkan kecemasan (ketakutan) menjadi prestasi. Kini implementasi Kurikulum 2013 telah di depan mata, kecemasan-kecemasan yang ada haruslah dijadikan tantangan untuk meraih predikat guru yang profesional. Guru yang profesional adalah guru yang mampu melaksanakan tugasnya, baik sebagai pendidik, pengajar, fasilitator, evaluator, motivator, maupun inspirator, dengan baik dalam keadaan dan tantangan apapun; tak peduli kurikulum apa yang dilaksanakan. Para guru, pengawas, dan kepala sekolah, saya kira masih memiliki waktu kurang lebih empat bulan untuk belajar menerapkan Kurikulum 2013. Waktu tersebut memang singkat, namun bukan berarti waktu yang singkat, bagi guru-guru dan kepala sekolah yang hebat, tidak bisa menghasilkan prestasi yang baik. Bukan begitu? Untuk itu, ada baiknya, menelaah ungkapan Aristoteles yang disampaikan Wakil Presiden Boediono saat membuka secara resmi RNPK 2014. Ungkapan sejarah menunjukkan bahwa suatu bangsa atau suatu negara nasibnya ditentukan oleh berhasil tidaknya bangsa itu mendidik generasi mudanya.

SISMONO LA ODE, MA Pemerhati Pendidikan

Benahi atau Bunuh BUMD Kita

Menjelang pemilu legislatif, 9 April 2014, mata kita dibuat letih oleh berbagai spanduk para calon anggota legislatif (caleg). Apakah itu untuk caleg tingkat pusat maupun daerah, selain di kaca belakang angkot, juga sampahnya bertebaran di sana-sini. Sebagian besar dipaku di batang-batang pohon, bahkan bertengger di dahan atau ranting, membentang di atas jalan, dan banyak pula yang ditancapkan dengan batang-batang bambu di pinggir jalan. Kebanyakan spanduk, mudah diduga, dipasang secara liar. Di Bogor, bahkan pernah terjadi seorang caleg marah besar saat balihonya (yang dipasang di sembarang tempat) dicabut aparat pemkot. Dalam hati saya pernah berjanji tidak akan memilih caleg yang poster atau spanduknya dipasang serampangan. Bagaimana mungkin kita memiliki para legislator yang andal dan mampu mengawasi kerja pemerintah, membuat UU, peraturan daerah atau berbagai produk hukum lainnya yang berkualitas baik kalau sejak awal cara berkampanyenya saja sudah main tabrak sana-sini. Dan, sepanjang tahun 20092014, kita semua sudah merasakan bagaimana kinerja para legislator tersebut. Ruang-ruang sidang di DPR kosong melompong. Banyak perda yang tak berkualitas dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya dibatalkan oleh pemerintah pusat. Adalah hal yang biasa bila kita dengar ucapan wakil rakyat yang tidak konsisten. Kata birokrat yang mengikuti sidang, itu namanya UUP: Ujung-Ujungnya Proyek. Rendahnya kualitas para legislator berdampak ke mana-mana. Salah satunya ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sejak dicabutnya UU Nomor 5/1962 tentang Perusahaan Daerah, praktis BUMD-BUMD tak punya payung hukum lagi untuk bernaung. Akibatnya banyak perusahaan daerah yang menjadikan perda dan persetujuan DPRD sebagai sandaran hukumnya. Dengan kualitas anggota DPRD yang pas-pasan dan banyaknya benturan kepentingan, Anda tentu bisa membayangkan betapa berat beban yang harus dipikul oleh para pengelola BUMD. Harap maklum, belum ada satu pun partai yang mengumumkan tingkat pendidikan sebagai syarat untuk meloloskan kandidat para calegnya. Sapi Perah Di Kalimantan Timur (Kaltim), saya mendengar sendiri betapa perusahaan daerah yang ada di sana, Melati Bhakti Satya (MBS), menjadi bulan-bulanan DPRD. Bahkan DPRD meminta agar MBS dibubarkan saja. Padahal, saya tahu benar, Gubernur Kaltim Awang Faroek dan Direktur MBS, Sabri Ramadhani, tengah berjuang habis-habisan untuk membenahi BUMD tersebut. Awang Faroek adalah seorang gubernur dengan visi jangka panjang. Oleh karena itu

selama periode kepemimpinannya, ia giat mengembangkan industri pengolahan, kawasan industri dan berbagai proyek infrastruktur, seperti pelabuhan dan jalan raya. Proyek-proyek semacam ini tak bisa dilihat hasilnya dalam satu-dua tahun ke depan karena melakukan transformasi ekonomi bukanlah pekerjaan maintenance, juga bukan kegiatan renovasi. Strategi serupa, saya lihat, ia lakukan dalam membenahi perusahaan daerah (perusda) di Kaltim. Di tengah keterbatasan permodalan, ketimbang menyuntikkan dana segar, Awang Faroek justru meminta MBS untuk mengubah aset-aset pemda yang menganggur agar menjadi produktif. Di mata saya, ini adalah strategi jangka panjang, bukan jangka pendek. Sebab untuk bisa mengubah aset-aset itu menjadi produktif, dibutuhkan SDM-SDM yang andal. Membenahi SDM jelas bukan pekerjaan jangka pendek. Sementara, di sisi lain saya melihat DPRD Kaltim justru ingin hasil yang segera. Mereka ingin perusda segera untung sehingga mampu menyetor dividen yang sebesar-besarnya ke Pemprov Kaltim. Belum lama ini di Jakarta kita juga mendengar omongan lucu LSM yang mempersoalkan besarnya laba ditahan oleh BUMN dan BUMD yang diartikan sebagai kerugian negara. Saya tak mengerti di mana mereka belajar tentang hal ini. Mereka beranggapan untung perusahaan (dividen) harus disetor sebesar-besarnya buat negara. Mungkin mereka terganggu dengan istilah laba ditahan yang seakan-akan tak jadi disetorkan. Mereka lupa, perusahaan itu tak akan menjadi besar kalau setiap tahun harus dikuras keuntungannya. Ibarat sapi perah, ia tak akan bisa menghasilkan susu yang baik kalau tak diberi vitamin dan makan yang bagus, bukan? Lihat saja Pertamina yang selama pemerintahan Orde Baru tak ada laba yang ditahan. Apa akibatnya? Tak ada investasi baru, tak ada kilang-kilang baru yang di bangun dan tak ada teknologi baru yang dikuasai. Beda benar dengan Petrobraz (BUMN Brasil) atau Statoil ASA (BUMN Migas Norwegia) yang kini menguasai dunia dengan teknologi eksplorasi minyak lautan dalam yang menguntungkan karena sumber migas tak lagi ditemui di lautan yang dangkal. Bisakah Petrobraz dan Statoil punya teknologi itu kalau setiap kali untung semua dividennya harus disetor ke kas daerah atau kas negara? Buat orang bisnis pengetahuan seperti itu adalah soal sepele. Tapi tidak bagi para legislator yang latar belakangnya amat beragam. Apalagi bila kepentingannya untuk tampil atau kepentingan lain begitu dominan. Perbedaan strategi dan cara pandang antara eksekutif dan legislatif dalam membenahi BUMD, sebagaimana terjadi di Kaltim, adalah satu dari sejumlah permasalahan sebagai akibat belum adanya payung hukum baru bagi BUMD. Saya kira ke depan masih akan ada lagi sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh BUMD dalam interaksinya dengan DPRD maupun pemerintahan provinsi. Di negara ini, sudah menjadi rahasia umum betapa BUMD atau BUMN biasa dijadikan sapi perah baik oleh eksekutif maupun legislatif terutama oleh partai-partai politik (parpol).

Kelola Aset Rp600 Triliun Saya kira fenomena yang menimpa BUMD di Kaltim dan Sumatera Utara juga sangat mungkin terjadi di banyak provinsi lainnya. Saat ini kita memiliki lebih dari 1.000 BUMD yang mengelola aset senilai lebih dari Rp 600 triliun atau setara 30% APBN 2014. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Dengan lemahnya sistem operasional dan pengawasan, BUMDBUMD bisa dijadikan sapi perahan. Apalagi kebanyakan BUMD juga tidak dikelola secara profesional. Seperti BUMN di masa lalu, masih banyak pimpinan dan pengawasnya yang berasal dari kalangan pensiunan pegawai pemerintah daerah. Kita sebetulnya punya prototipe BUMD yang relatif sehat. Misalnya, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan Bank DKI yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebetulnya kita juga punya contoh BUMND di Jawa Barat-Banten yang bisa dijadikan contoh, yaitu BJB yang sahamnya dimiliki oleh Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. Bank tersebut, saya lihat, sudah dikelola secara profesional, bahkan sudah go public. Tapi entah mengapa, ternyata go public saja masih belum cukup. Gangguan politik ternyata masih bisa membuat organisasi gonjang-ganjing. Tapi bagaimanapun bank ini tetap lebih sehat dari bank daerah lainnya. Ke depan, baik Ancol maupun dua bank tadi bisa dijadikan model BUMD yang sehat dan berperan penting sebagai motor pembangunan di daerah. Sementara, sambil menunggu para legislator di Senayan merampungkan UU tentang Perusahaan Daerah, kita semua harus memperketat pengawasan agar BUMDBUMD kita tidak menjadi ajang jarahan dan gertakan sambal kosong yang membuat organisasi terantuk-antuk baik oleh kalangan eksekutif maupun parpol, terutama pada tahun politik ini.

RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

Korupsi Sudah Jadi Cita-Cita?

Jika di awal kemerdekaan korupsi sesuatu yang memalukan, di era reformasi ini jauh lebih parah lantaran tidak lagi mengenal waktu dan kondisi. Tidak ada lagi rasa takut untuk korupsi, bahkan sudah menjadi kesempatan yang dicita-citakan. Secara terselubung, korupsi sudah dicita-citakan sebelum masuk dalam sistem pemerintahan. Indikasi itu banyak tersaji di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), seperti ada fakta penyelewengan APBN-APBD untuk mengembalikan dana politik oleh sejumlah kepala daerah yang jadi terdakwa. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), tahun 2013 sebanyak 35 kepala daerah yang didominasi bupati/wali kota meringkuk di balik terali besi karena korupsi. Korupsi bukan hanya menjadi langganan pemegang kekuasaan di pusat. Fakta menunjukkan kalau pemerintahan di daerah telah menjadi lumbung korupsi baru. Inilah salah satu imbas negatif dari desentralisasi yang bukan hanya mendistribusi kekuasaan, melainkan juga distribusi korupsi yang dibalut implementasi pemerataan dari pusat ke daerah. Sinyalemen lainnya dapatdilihat pada banyaknya anggota legislatif dan eksekutif yang berselingkuh dengan pengusaha atau menjadi broker proyek. Praktik seperti itu terungkap dalam kesaksian mantan Kepala Biro Keuangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Didi Dwi Sutrisno Hadi di Pengadilan Tipikor Jakarta (25/2/2014). Didi bersaksi untuk terdakwa Rudi Rubiandini yang mengonfirmasi begitu mudahnya uang negara dijadikan bancakan. Menurut saksi, empat pimpinan Komisi VII DPR menerima tunjangan hari raya masing-masing USD7.500, sedangkan 43 anggota komisi menerima USD2.500 per orang, dan untuk sekretariat USD2.500. Jika keterangan itu benar, tidak keliru jika kita sebut negeri ini sudah terjebak pada pelembagaan korupsi. Keterangan itu juga menguatkan dugaan bahwa nyaris tidak ada lagi partai politik yang betul-betul bersih dari perilaku korupsi. Maka itu, kita mendukung penjatuhan hukuman berat hakim agung dan upaya KPK menerapkan undang-undang pencucian uang. Selain memiskinkan koruptor sebagai efek jera, juga bisa menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara. Tidak Gratis Banyak yang menilai demokrasi berbiaya tinggi menjadi pemicu potensial bagi seseorang menyalahgunakan wewenang saat kekuasaan diraih. Uang besar yang dikeluarkan saat proses meraih kekuasaan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, akan mendorong seseorang melakukan korupsi. Tujuannya ingin mengembalikan semua biaya yang dikeluarkan. Bukan hanya modal yang harus kembali, melainkan juga perlu ada labanya. Meraih kekuasaan

dengan biaya mahal merupakan indikator yang sulit dibantah. Untuk menduduki kursi kekuasaan, siapa pun boleh ikut asalkan punya uang. Muncullah anekdot bahwa orang miskin dilarang jadi calon kepala daerah atau calon anggota legislatif (caleg). Sepertinya tidak ada lagi jabatan yang betul-betul gratis, selalu ada ongkosnya. Bergantung pada tinggi dan besarnya jabatan yang diincar. Semakin besar posisi suatu jabatan, semakin besar pula biaya yang harus disiapkan. Mungkin saja ada syarat biaya pendaftaran yang tidak besar jumlahnya, tetapi biasanya perlu biaya tambahan untuk pelicin lantaran banyaknya orang yang mengincar jabatan itu. Setelah berkuasa, penghasilan harus setara dengan usaha keras dan biaya yang dikeluarkan. Muncullah tuntutan fasilitas yang melebihi anggaran yang telah diinvestasikan. Banyak fakta hukum yang terungkap dalam sidang pengadilan korupsi, anggota legislatif atau pejabat publik yang jadi terdakwa karena pengaruh pembiayaan politik yang tinggi. Betulkah demokrasi selalu berbiaya tinggi? Sebab ada juga yang bisa duduk di kursi legislatif tanpa mengeluarkan biaya besar. Kalaupun ada biaya, tidak akan mendorongnya untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan dengan korupsi. Sosok seperti inilah yang mestinya dicari dan dipilih dalam Pemilu 2014, tetapi amat susah ditemukan. Masih saja ada caleg yang belum terbuka ke publik, atau tidak mau melaporkan buku rekening kampanyenya kepada Komisi Pemilihan Umum. Pencegahan Sosial Besarnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh koruptor, tentu saja menyakiti hati rakyat yang masih lebih banyak hidup miskin. Yang patut dikedepankan pada semakin masifnya perilaku korupsi adalah upaya pencegahan secara sosial. Misalnya, menanamkan nilai-nilai agama secara progresif oleh muballik dan tokoh agama dengan menyentil hati nurani pejabat negara untuk merasa malu jika dalam hatinya tebersit menjadikan korupsi sebagai citacita. Tetapi kita tidak boleh pesimistis, para pemburu jabatan yang begitu banyak mengeluarkan dana untuk biaya kampanye, perlu disadarkan bahwa gaji atau penghasilan di tempat yang dituju tidak selalu besar. Jangan sampai besar pasak daripada tiang, biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan gaji selama lima tahun. Jika tidak sadar juga, biar KPK, kepolisian, dan kejaksaan yang bertindak jika betul-betul melakukan korupsi. Menumbuhkan rasa malu kalau korupsi sudah dicita-citakan, setidaknya bisa dilakukan dengan mematangkan institusionalisasi demokrasi. Ia akan menjadi alat pencegahan korupsi dengan menanamkan pemahaman bahwa jabatan yang akan diraih adalah amanah, bukan ajang cari uang secara tidak halal. Merasa malu kalau terlibat korupsi harus terus digelorakan oleh seluruh pilar demokrasi. Kalaupun KPK selaku institusi antikorupsi begitu hebat memberantas korupsi, tidak berarti upaya pencegahan diabaikan. Gerakan sosial membudayakan rasa malu melakukan korupsi harus

dilembagakan. Segarang apa pun KPK, kejaksaan, dan kepolisian, kita akan tetap kedodoran memerangi korupsi yang sudah menggurita. Pencegahan jauh lebih penting ketimbang penindakan yang tidak berefek penjeraan. Bila gagal melembagakan demokrasi dan pencegahan, apalagi korupsi sudah dicita-citakan, maka perilaku korupsi yang akan melembaga di tengah masyarakat. Kita terkesima oleh temuan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama M Yasin (KORAN SINDO, 11/2/2014) yang ternyata dana ibadah haji pun diduga dikorup. Wallahu alam.

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar

Menyongsong Ujian Nasional

Pelaksanaan ujian nasional (UN) untuk SMA/SMK/ MA akan diselenggarakan pada 14-16 April 2014. Menyusul kemudian pelaksanaan UN untuk SMP/MTs (5-8 Mei 2014). Yang berbeda tahun ini adalah ujian untuk SD/MI. Pemerintah telah memutuskan untuk menghapus UN SD/MI. Sebagai gantinya akan dilaksanakan ujian sekolah (US). Meski berganti nama, sekolah masih memersepsi US layaknya UN. Seiring semakin dekatnya pelaksanaan UN, siswa kelas akhir jenjang pendidikan dasar dan menengah bersiap untuk menyongsong UN. Karena itu, jangan heran jika pembelajaran di sekolah saat mendekati UN lebih didominasi latihan (try out) soal-soal UN. Di samping ikhtiar yang bersifat akademik, sekolah juga melaksanakan beragam kegiatan training spiritual untuk memberikan peneguhan berupa keyakinan pada siswa. Bahkan ada sekolah yang secara rutin menyelenggarakan doa bersama (istighasah), salat tahajud, dan ziarah wali. Semua itu agar siswa bersiap lahir dan batin menghadapi UN. Beban lebih berat akan dirasakan guru kelas akhir setiap jenjang pendidikan karena guru kelas akhir diliputi kecemasan terhadap persiapan anak didiknya saat UN tiba. Itulah sebabnya banyak guru yang enggan mengajar kelas akhir, terutama untuk mata pelajaran yang di-UN-kan. Padahal kesuksesan anak mengerjakan soal-soal UN bukan hanya tanggung jawab guru kelas akhir, melainkan semua guru dan orang tua. Karena memegang posisi yang sangat menentukan, guru harus menerima kenyataan untuk disalahkan ketika hasil UN kurang memuaskan. Pandangan yang menempatkan guru sebagai faktor utama kesuksesan UN tentu sangat beralasan. Tetapi, jangan lupa, dukungan orang tua pada anak juga sangat penting. Faktor dukungan orang tua ini sangat berarti untuk membesarkan hati (encouragement) anak agar menjalani UN dengan tenang. Orang tua dapat mendorong anaknya meraih prestasi setinggi mungkin dengan tetap menjunjung nilai-nilai kejujuran. Orang tua sesungguhnya dapat menjadi agen mengampanyekan kejujuran saat UN. Faktor yang juga turut menambah beban siswa saat pelaksanaan UN adalah tekanan pejabat publik. Pejabat terkait seperti kepala dinas pendidikan mulai tingkat provinsi hingga kabupaten/ kota biasanya ikut mematok target angka kelulusan. Pejabat publik yang tidak berhubungan secara langsung dengan pendidikan seperti presiden, gubernur, bupati, dan wali kota bahkan turut menaruh perhatian dengan tingkat kelulusan siswa. Kepala daerah jelas menyadari bahwa dalam konteks politik pencitraan, tingkat kelulusan dapat menjadi media untuk membangun citra kepemimpinannya. Seharusnya semua pihak mengajak siswa untuk menghadapi UN dengan sewajarnya. Jika perlu, siswa harus digembirakan seraya diajak untuk bernyanyi, UN telah tiba; UN telah tiba; hore, hore;

hatiku gembira. Cara ini bagian dari ikhtiar untuk mengurangi beban psikologis siswa yang meningkat saat UN. Guru juga harus berkeyakinan bahwa sepanjang mereka telah melakukan proses belajar dan mengajar (PBM) dengan baik tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Umumnya guru yang menempatkan UN sebagai beban adalah mereka yang tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan PBM. Mereka pun tidak memiliki rasa percaya diri saat siswanya UN. Akibat itu, mereka akan mudah tergoda untuk berperilaku tidak jujur. Perilaku tidak jujur itu dilakukan karena guru seringkali tidak dapat menerima kenyataan siswanya memperoleh nilai jeblok. Pertimbangan lain berkaitan dengan citra sekolah jika hasil UN tidak baik. Dalam alam pikiran guru dan kepala sekolah, citra sekolah salah satunya dilihat dari keberhasilannya dalam meluluskan siswa. Persentase kelulusan siswa dapat menjadi media untuk meyakinkan stakeholders-nya. Karena pemerintah masih berkeyakinan untuk melaksanakan UN, tidak ada pilihan lain, semua pihak harus diajak untuk menyongsong UN dengan penuh optimisme. Semua pihak harus berkomitmen dengan berikrar; prestasi yes, jujur harus. Komitmen ini penting karena persoalan kejujuran saat UN selalu menjadi perhatian. Masih sering terjadi ketakjujuran (dishonesty) itulah banyak pihak mempersoalkan kredibilitas UN. Padahal mulai tahun ini nilai UN akan menjadi pertimbangan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri dan swasta. Untuk mengurangi angka ketakjujuran, pemerintah mempertahankan mekanisme penentuan kelulusan siswa yang dihitung berdasarkan pembobotan; UN (60%) dan US (40%). Itu berarti secara normatif UN seharusnya dipahami bukan satu-satunya penentu kelulusan. Guru masih memiliki porsi yang cukup untuk menentukan kelulusan. Tetapi, semua orang tahu, perspektif sekolah terhadap UN tetap yang terutama. Kebijakan yang juga layak diapresiasi adalah variasi soal UN hingga 20 paket. Itu berarti jika dalam satu kelas ada 20 siswa, mereka pasti akan mengerjakan soal yang berbeda. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi perilaku tak jujur saat UN. Untuk mewujudkan UN yang jujur dan kredibel jelas membutuhkan komitmen semua pihak. Semua pihak harus menyadari bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Capaian nilai anak dari hasil UN jelas bukan tujuan pendidikan. Ujian harus dipahami sebagai salah satu tahapan yang harus dilalui siswa untuk menapaki jenjang pendidikan selanjutnya. Karena itulah, siswa harus diyakinkan bahwa yang jauh lebih penting dalam UN adalah berperilaku jujur. Sementara persoalan nilai tentu sangat bergantung pada kesiapan setiap siswa. Berkaitan dengan keinginan untuk mewujudkan UN yang jujur dan kredibel, kita telah diingatkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam salah satu pernyataannya, ICW mengingatkan bahwa perilaku tidak jujur saat ujian itu sangat berkorelasi dengan budaya korupsi. Peringatan ini layak dikemukakan karena jika kita telisik latar belakang pelaku korupsi, ditemukan fakta bahwa mereka produk lembaga pendidikan. Dia antara mereka bahkan alumni perguruan tinggi. Agar generasi masa depan bangsa tidak terlibat korupsi, budaya

jujur harus ditanamkan sejak dini.

BIYANTO Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

Membaca Petisi Dosen

Dosen iku sak mulyo-mulyone penggawean. Celetukan seorang saudara di kampung saya. Maknanya bahwa dosen adalah profesi paling mulyo. Dalam bahasa Jawa, diksi mulyo tidak sekadar bermakna mulia, tetapi juga tersemat atribut kehormatan, derajat, kebahagiaan, serta tentu saja kemakmuran dan kesejahteraan. Masyarakat kita secara sosiologis memandang dosen sebagai sebuah profesi dengan status sosial yang tinggi. Analoginya sangat sederhana. Kalau guru mengajar siswa, dosen pengajar mahasiswa. Adalah tidak berlebihan kalau kiranya sebagian masyarakat mengambil kesimpulan bahwa dosen semacam mahaguru yang lebih pandai, hebat, dan lebih mulyo. Konklusi ini juga diperkuat realitas begitu beratnya persyaratan menjadi seorang dosen. Tidak seperti guru yang hanya mensyaratkan kualifikasi akademik S-1 maupun diploma, seorang dosen minimal harus bergelar S-2, bahkan S-3. Menilik UU RI Nomor 14 Tahun 2005, dosen adalah pendidik profesional dan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mengemban amanah agung itu, sepanjang hayat kariernya dosen harus menjalankan laku dan olah kanuragan intelektual yang berat. Dosen harus selalu belajar dan berkutat dengan buku dan jurnal untuk dilahap sari pati ilmunya. Dosen pula dituntut melakukan penelitian dan publikasi dalam bentuk buku, artikel, jurnal, maupun dipresentasikan dalam temu ilmiah. Publish or perish adalah tagline yang harus sempurna diimani dan diamalkan para dosen dengan tetap mengindahkan norma akademik dan menjaga kesalehan intelektual. Tidak seperti profesi lain, tanpa penelitian dan publikasi, dosen tidak akan pernah bisa naik pangkat. Sebagai imbalan dan penghargaan kepadanya, dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Namun, membincang soal gaji, konon adalah sesuatu yang tabu dan saru. Sangat ora ilok (tidak pantas) apabila akademisi membincang soal gaji. Padahal realitasnya, membincang perihal gaji, bagi sebagian dosen ibarat mengupas bawang merah. Semakin dalam dikupas, semakin deras air mata tertumpah. Sesuatu yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam yang telanjur menganggap dosen sebagai profesi tinggi yang berlimpah materi. Tudingan sebagai orang yang mata duitan, tidak tahu berterima kasih kepada negara, atau lebih celakanya bahkan dianggap tidak mensyukuri nikmat Tuhan segera akan disematkan kepada siapa pun dosen yang mengeluh soal gaji. Pendek kata, dosen harus selalu ikhlas, bersyukur dengan NIP (narimo ing pandum) atas pendapatannya. Akumulasi Beban

Tanggung jawab profesi dosen tidak bisa dianggap sederhana karena memforsir tidak hanya tenaga fisik, tetapi juga psikis, otak, dan pikiran. Semakin sulitnya kenaikan pangkat, ancaman crab mentality, sulitnya studi lanjut dan beasiswa, regulasi yang acapkali berganti, SIPKD, menjadi hal yang semakin melelahkan. Terlebih bagi sebagian dosen yang masih harus berjibaku memenuhi kebutuhan finansial. Bagi sebagian dosen, akumulasi beban tersebut terpicu untuk meletup dengan disahkannya Perpres RI No 88 Tahun 2013 pada 11 Desember. Pasal 3.1.f. menyebutkan bahwa dosen dikecualikan sebagai penerima tunjangan kinerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagian dosen menganggap perpres ini sebuah bentuk diskriminasi negara terhadap profesi dosen hingga akhirnya menggulirkan petisi yang dilansir melalui change.org. Tercatat, ribuan dosen telah menandatangani petisi yang ditujukan kepada pemerintah untuk merevisi perpres. Sebagian karena memang secara riil membutuhkan tunjangan remunerasi sebagai peringan beban finansial. Sedangkan sebagian lainnya karena ungkapan solidaritas atas rasa keadilan yang tercederai. Kendati demikian, ada pula dosen yang tampaknya memilih untuk tidak peduli. Sebagian mungkin karena memang merasa tidak membutuhkan, memandang gajinya telah mencukupi, atau karena menganggap tabu meminta kenaikan gaji. Sebagian yang lain, terutama yang telah merasa nyaman menjadi pejabat kampus, memilih bermain aman (play save) karena takut akan risiko yang mungkin ditimbulkan. Para penggalang petisi, dengan kesalehan intelektualnya, tentu saja tidak sedang iri hati, apalagi membenci. Apa yang tengah diperjuangkan dosen sesungguhnya sistem penghargaan (reward) yang semestinya lebih adil di negeri ini sesuai kualifikasi, beban, dan tanggung jawab pegawai. Tanpa bermaksud mengklaim diri paling penting, secara objektif haruslah dipahami bahwa core business perguruan tinggi adalah pendidikan, belajar-mengajar, dan transfer ilmu, di mana dosen tulang punggungnya. Dengan begitu, agak ganjil rasanya apabila penghasilan yang diterima para dosen ternyata lebih rendah ketimbang gaji pegawai nondosen. Padahal, kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan kepada seorang dosen serta tanggung jawab intelektual mendidik, mentransmisi, serta menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan jelas lebih berat berada di pundak para dosen. Tuntutan yang diajukan sesungguhnya sederhana. Pertama, pemerintah merevisi Perpres 88/2013 dengan mencabut pengecualian dosen di bawah Kemdikbud agar berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Tuntutan ini membangun kesetaraan dengan dosen di instansi lain yang ternyata juga memperoleh remunerasi. Kedua, merevisi Perpres 65/2007 tentang Tunjangan Dosen yang sudah berumur hampir tujuh tahun yang menempatkan tunjangan fungsional dosen jauh berada di bawah jabatan fungsional yang lain. Petisi ini mengingatkan pemerintah tidak lupa realita bahwa sebagian besar dosen di Indonesia belum tersertifikasi karena terbatasnya kuota. Data menunjukkan bahwa masih ada lebih dari 50% dosen yang belum tersertifikasi. Realitas ini memilukan karena para dosen yang belum tersertifikasi tersebut akan mendapatkan penghasilan yang jauh di bawah staf nondosen. Juga jauh di bawah korps guru SD-SMA yang

jauh-jauh hari sudah tersertifikasi. Ini berarti bahwa di tengah himpitan tugas yang memberat, sebagian dosen masih harus bersiap berjibaku, mencari nafkah sampingan, mengerjakan proyek, menjadi guru, memberikan les, berdagang, atau bekerja serabutan yang terkadang tidak nyambung dengan profesi mereka. Kondisinya tidak sederhana karena secara pribadi penulis telah pernah mengalami kondisi yang sungguh sangat berat dan melelahkan seperti ini. Rendahnya penghargaan pemerintah terhadap korps dosen sesungguhnya juga membawa implikasi yang kurang sehat bagi perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Ketidakadilan dan diskriminasi berpotensi besar untuk menurunkan motivasi kerja para dosen. Di sisi lain, kondisi tidak ideal ini juga mengabarkan bahwa fenomena brain drain kelak mungkin bukan lagi sebuah ancaman, melainkan akan menjadi realita. Putra-putri terbaik bangsa yang cerdas, mumpuni dalam kapasitas dan kapabilitas keilmuan, semakin sedikit yang memilih mengabdikan diri menjadi dosen. Para cendekia tersebut mungkin memilih untuk berdiaspora mencari rezeki dan penghidupan yang lebih layak di negeri orang atau memilih berkarier pada profesi lain yang menawarkan penghasilan yang lebih menyejahterakan dengan tuntutan dan beban kerja yang lebih sederhana ketimbang dosen. Lalu, siapa lagi yang akan berkenan mendidik dan memandu para mahasiswa, intelektual muda calon pemimpin bangsa? Sebagian dosen, meski merasa terdiskriminasi, mereka masih bisa berkata, Aku rapopo. Semoga bukan sebuah ungkapan penyangkalan (denial) untuk memotivasi diri agar tetap kuat di tengah kegetiran yang mereka alami. Tapi, jelas di sana, ribuan dosen yang merasa terzalimi, di ujung harapnya masih setia berharap kearifan para pembuat kebijakan. Setidaknya mereka masih bisa berdoa, Gusti ora sare.

ACHMAD M AKUNG Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Siluman Century & Medali untuk KPK

Proses hukum megaskandalBank Century akhirnya mencapai tahapan baru yang strategis. Setelah proses penyelidikan dan penyidikan bertahun-tahun yang rumit dan berliku serta sarat hambatan, satu berkas perkara dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sekaligus mematahkan pernyataan Presiden SBY bahwa Boediono atau kebijakan tidak bisa disalahkan atau dipidana. Lebih dari itu, hasil pemeriksaan KPK berdasarkan pengakuan mantan Menteri Keuangan dan Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) Sri Mulyani di Washington DC, juga membuktikan bahwa Presiden SBY mengetahui masalah Bank Century karena telah dilaporkan Sri kepada Presiden SBY pada 13 November 2008 saat transit di Tokyo, Jepang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat untuk mengikuti acara G20. Bahkan menurut keterangan Sri, Presiden memberikan arahan dan kemudian memerintahkan dirinya kembali ke Tanah Air untuk mengatasi masalah Bank Century. Kalau boleh dan dimungkinkan oleh aturan dan undang-undang, ingin rasanya DPR atas nama rakyat Indonesia menganugerahkan Medali Keberanian kepada pimpinan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah menyentuh salah satu mahkota kekuasaan. Keberanian tersebut harus kita kawal pada tahapan strategis berikutnya di pengadilan. Jangan sampai hakim Pengadilan Tipikor kehilangan nyali saat memeriksa para aktor pembantu dan aktor utama perumus kebijakan bailout yang berujung pada penjarahan triliunan rupiah uang negara itu. Jika diibaratkan titik pencapaian, proses hukum skandal Bank Century hingga tahap persidangan Budi Mulya di pekan pertama Maret 2014 sudah menempuh perjalanan sangat panjang, rumit, dan berbelit. Ukuran waktunya mengacu pada rekomendasi Sidang Paripurna DPR tentang proses hukum kasus Bank Century pada Maret 2010. Dalam rentang waktu hampir tiga tahun (2010, 2011, dan 2012), penanganan megaskandal ini lebih banyak menyuguhkan sandiwara atau rekayasa. Penegak hukum hanya menyergap orang-orang kecil yang tidak tahu bagaimana proses merumuskan penyelamatan Bank Century oleh beberapa orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK). Rekomendasi Paripurna DPR menegaskan ada penyalahgunaan wewenang pada level elit institusi BI dan KSSK. Namun, para elite dari dua institusi itu nyaris tak tersentuh. Bahkan, ada semacam upaya mengacaukan konstruksi hukum kasus ini, dengan cara menangkap dan mengadili sejumlah orang dari luar BI maupun KSSK. Baru pada 2013, KPK berupaya meluruskan kembali konstruksi hukum kasus Bank Century. Dimulai dengan

menetapkan dua mantan deputi gubernur BI sebagai tersangka, serta memeriksa ulang mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani di Washington, dan memeriksa juga mantan gubernur BI yang kini menjabat wakil presiden, Boediono. Tidaklah mengejutkan ketika pada sidang pertama terdakwa Budi Mulya, Kamis, 6 Maret 2014, jaksa penuntut umum KPK langsung menyebut keterlibatan sejumlah nama. Terdakwa (Budi Mulya) selaku deputi gubernur BI, menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya secara bersama-sama dengan Boediono selaku gubernur BI, Miranda S Goeltom selaku deputi senior BI, Siti Fadjriah selaku deputi gubernur Bidang 6, Budi Rochadi almarhum selaku deputi gubernur Bidang 7, Robert Tantular dan Harmanus H Muslim, demikian dakwaan jaksa penuntut KPK. Bunyi dakwaan yang demikian itu predictable alias tidak mengejutkan. Pasalnya, semua kebijakan atau keputusan BI yang strategis dirumuskan dan ditetapkan oleh dan dalam Rapat Dewan Gubernur BI. Dengan demikian, keputusan rapat bersifat kolektif kolegial. Jadi, tidak logis kalau hanya Budi Mulya yang dituduh menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri atau orang lain. Apalagi dalam berkas perkara Budi Mulya No.BP/06/23/01/2014 yang disusun jaksa penuntut KPK pada poin11, dengan jelas menegaskan ada motif atau niat jahat dan konflik kepentingan dalam penyelamatan Bank Century. Setelah sidang perdana Budi Mulya itu, masih banyak yang harus digali oleh penyidik KPK maupun para hakim tipikor. Paling penting yang harus digali hakim tipikor dari terdakwa maupun para saksi adalah menemukan aktor utama dibalik rangkaian proses penyelamatan Bank Century. Tidak kalah pentingnya adalah sosok yang mengotaki mark up atau penggelembungan gila-gilaan nilai bailout itu. Menemukan aktor utama sangatlah penting karena bisa jadi Boediono hanyalah pemain figuran. Apalagi, Boediono sendiri sudah cuci tangan dengan menunjuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pihak yang semestinya bertanggung jawab dan menjelaskan gelembung dana talangan itu. Pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini adalah soal aliran dana. Begitu banyak kejanggalan atas masalah yang satu ini. Untuk memperjelasnya, hakim tipikor juga perlu menggali ke mana saja triliunan rupiah dana talangan yang diambil dari LPS itu mengalir. Siapa saja pihak yang mengambil keuntungan. Sekadar patokan, hakim tipikor bisa mengacu pada sinyalemen mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang pernah mengungkap sejumlah nama. Timwas DPR untuk kasus Bank Century pun sedang mendalami informasi itu. Hakim Harus Berani Mendalami Saat menghadirkan Boediono sebagai saksi Budi Mulya, hakim tipikor hendaknya mau mendalami pernyataan Boediono yang tiba-tiba menuding LPS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas gelembung dana talangan dari Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun. Bukankah KSSK yang seharusnya bertanggung jawab karena jumlah yang dikeluarkan LPS sejatinya berdasarkan rekomendasi KSSK? Apalagi, dalam dakwaan jaksa penuntut KPK

untuk terdakwa Budi Mulya, sama sekali tidak disebutkan keterlibatan LPS secara detail. Demikian juga dengan ketua KSSK Sri Mulyani, yang dalam berkas pemeriksaannya tegastegas mengatakan bahwa data BI tidak akurat. Dan, data itu sangat memengaruhi perhitungan besaran dana penyelamatan Bank Century. Sri Mulyani kecewa dan sangat marah. Pasalnya, Sabtu pukul 05.00 WIB, 22 November 2008, dia menandatangani persetujuan jumlah dana bailout Rp632 miliar sesuai permintaan Boediono. Tanpa sepengetahuannya, dana bailout tiba-tiba bisa membengkak menjadi Rp2,7 triliun pada posisi Senin, 24 November 2008. Banyak kalangan heran karena penggelembungan terjadi dalam dua hari, Sabtu dan Minggu pula. Sejarah kemudian mencatat bahwa penggelontoran dana talangan Bank Century tidak berhenti pada angka Rp2,7 triliun itu. Bank sarat masalah itu terus diberi dana talangan hingga jumlahnya membengkak menjadi Rp6,7 triliun pada Juli 2009, seusai pemilu presiden dan wakil presiden yang dimenangkan pasangan SBY-Boediono dari Partai Demokrat. Ada begitu banyak kejanggalan dalam kasus ini, dan semua kejanggalan itu sudah dibeberkan kepada publik. Majelis hakim tipikor tentunya juga mencatat kisah kemarahan Wakil Presiden (saat itu) Jusuf Kalla yang tidak diberikan laporan mengenai proses penyelamatan Bank Century. Bahkan, Wapres tampaknya diisolasi oleh KSSK dan BI dari operasi penyelamatan Bank Century. Sebagai pelaksana tugas presiden saat itu (karena presiden sedang di luar negeri), KSSK dan BI mestinya berkonsultasi dan melapor kepada Jusuf Kalla. Ketua KSSK dan Gubernur BI pasti memahami aturan sederhana ini. Pertanyaannya, mengapa menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani dan Gubernur BI/Anggota KSSK Boediono berani meremehkan dan mengisolasi Wakil Presiden/Pelaksana Tugas Presiden Jusuf Kalla dari kebijakan menyelamatkan Bank Century? Boleh jadi, ada kekuasaan lebih besar yang memerintahkan mereka berperilaku demikian. Akhirnya, soal yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun institusi di negara ini yang mau mempertanggungjawabkan penggunaan dana LPS sebesar Rp6,7 triliun lebih itu. Pasalnya, KSSK hanya mau bertanggung jawab atas penggunaan Rp632 miliar. Sri menuding BI sebagai biang keroknya karena menyajikan data yang tidak akurat. Lucunya, Boediono justru menunjuk LPS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Namun, LPS menolak dan membantah tudingan Boediono. Kalau begitu, ada siluman dalam manajemen pemerintahan ini yang leluasa menggunakan uang triliunan rupiah tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Mudah-mudahan, semua keanehan ini tidak luput dari perhatian majelis hakim tipikor. Begitulah. Para pejabat hebat itu akhirnya saling tunjuk dan buang badan. Kalau pemerintah atau KSSK dan BI tidak mau bertanggung jawab, sama artinya rakyat disuruh meminta pertanggungjawaban kepada siluman. Ini sangat memalukan, karena KSSK dan BI mau diperalat untuk menjarah dana di LPS. Walaupun, tentu kita tidak boleh curiga bahwa pada akhirnya mantan gubernur BI itu menjadi wakil presiden dan Sri Mulyani tetap

bertahan di posisinya sebagai menteri keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid-2. Karena hal tersebut adalah hak prerogatif presiden terpilih. Karena itu, setelah jaksa penuntut dari KPK memperjelas keterlibatan Boediono melalui dakwaan terhadap mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya, penyidik KPK hendaknya mulai memburu siluman atau aktor utama yang mengotaki penjarahan dana talangan Bank Century menjelang Pemilu 20092014 tersebut.

BAMBANG SOESATYO Anggota Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Century DPR RI

Generasi yang hilang


Jum'at, 14 Maret 2014

JAM terbang saya lumayan tinggi dalam memberikan workshop dan diskusi di lingkungan BUMN atau perusahaan swasta dengan topik kepemimpinan atau masalah kebangsaan. Dibandingkan dunia parpol ada kesan dan perbedaan mencolok dalam hal regenerasi kepemimpinan. Di perbankan, misalnya, saya bertemu profesional muda dengan jabatan dan tanggung jawab besar. Mereka memiliki latar belakang pendidikan bagus, sebagian besar pernah studi di luar negeri, dan rekam jejak jenjang karier transparan. Ketika dipromosikan, yang menjadi pertimbangan pun jelas. Begitu pun ketika menduduki jabatan lebih tinggi, tugas dan target yang diemban juga memiliki ukuran jelas sehingga akhirnya mudah menilai seseorang itu gagal atau sukses. Banyak kolega saya yang umurnya belum mencapai 45 tahun sudah memiliki posisi amat strategis dan bertanggung jawab mengelola dana ratusan triliun. Belum lagi mereka yang bergerak di dunia bisnis. Kompetensi dan kemampuan komunikasinya sangat mengesankan, termasuk dengan mitra-mitra asing. Namun, suasana ini sulit saya temukan di dunia politik dan parpol. Di sana terjadi kemandekan kaderisasi dan proses rekrutmennya kurang didukung oleh rekam jejak pendidikan dan prestasi yang bagus di masa lalu. Suasana di lingkungan parpol dan LSM agak mirip. Siapa yang aktif yang akan lebih berpeluang naik. Jadi, aktivisme lebih menonjol, dan idealnya didukung oleh intelektualisme. Tergolong sedikit jumlahnya mereka yang termasuk aktivis politik sekaligus intelektual yang berkarakter. Jika kita amati, terdapat indikasi hilangnya sebuah generasi. Ada mata rantai generasi emas anak bangsa yang hilang dalam rekrutmen politik. Fenomena ini akan mudah dilihat jika kita bandingkan dengan regenerasi di dunia bisnis, dunia kampus, dan kalangan profesional. Semula dengan hadirnya era reformasi dan multipartai kita berharap akan bermunculan kader-kader muda calon negarawan melalui jalur kepartaian. Kita sempat optimistis dengan masuknya para aktivis kampus dan tokoh-tokoh gerakan mahasiswa bergabung ke parpol serta duduk di kursi DPR. Ada juga aktivis muda yang berkiprah di daerah. Namun, bersama berjalannya waktu, optimisme itu memudar. Tentu saja masih ada beberapa politisi muda yang bertahan di jalan yang lurus. Namun kesan dan persepsi masyarakat yang lebih menonjol mereka sangat kecewa bahwa para politisi muda itu pada berguguran di tengah jalan. Sangat rapuh ketika dihadapkan pada godaan materi. Mereka seakan mabuk dengan jabatan barunya, popularitas, dan fasilitas.

Padahal, masyarakat, tetangga rumahnya, dan teman sekolahnya masih ingat dan menjadi saksi bagaimana kehidupan ekonomi sebelum dan sesudah bergabung ke parpol. Perubahannya sangat drastis. Sulit dicerna nalar awam, dari mana asal-usul kekayaan yang tiba-tiba mencolok, dari mana mobil dan rumahnya yang mewah, dan gaya hidup keluarga yang berubah. Karenanya, masyarakat tidak kaget, bahkan mungkin ada yang senang, ketika banyak politisi dan pejabat publik yang akhirnya berurusan dengan KPK dan penjara. Hal yang sangat menyedihkan, mereka itulah yang semula diharapkan menjadi wakil generasi muda bangsa yang akan mengganti generasi senior sebelumnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah yang muda tidak tahan godaan dan kagetan, ataukah yang tua tidak membimbing dan melindungi terhadap kader-kadernya? Lebih memilukan lagi andaikan yang terjadi adalah sebuah konspirasi dan koalisi busuk dan murahan antara yang tua dan muda untuk menjarah uang dan fasilitas negara hanya untuk memenuhi selera dan tuntutan gaya hidup hedonis. Kemuliaan politik menjadi rusak. Politik yang awalnya bertujuan menyelenggarakan pemerintahan untuk melayani, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, dibajak hanya untuk menyejahterakan kelompok. Ini sebuah pengkhianatan yang lebih keji dari penjajahan bangsa asing di masa lampau. Hilangnya sebuah generasi itu sangat berdampak jauh bagi masa depan bangsa. Ibarat hutan jati yang ditebang namun tidak disiapkan generasi pohon yang muda sebagai penggantinya, maka hutan itu akan mengalami kerusakan panjang dengan berbagai dampaknya. Demikianlah, panggung politik ini semakin heboh, seru, mahal ongkosnya, namun miskin kader dan bintang-bintang calon negarawan yang diharapkan oleh masyarakat yang telah dahaga untuk maju dan bangkit. Suasana ini akan terasa berbeda ketika kita masuk di kalangan profesional. Di sana kita tidak sulit menemui anak-anak muda yang cerdas, gesit, dan mitra serta jaringan kerjanya lintas bangsa. Hanya saja, dikhawatirkan jangan sampai para profesional muda itu kurang memahami dan mencintai bangsa dan rakyatnya. Ini merupakan gejala yang mesti kita perhatikan dengan saksama, karena mereka merasa kurang tertarik dengan panggung politik, yang memang kurang menarik ditonton dan ditiru.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

Demokrasi (Tanpa) Uang

Pemilu legislatif (pileg) sudah di depan mata. Para calon anggota legislatif (caleg) mulai berlomba meraih simpati rakyat. Mereka tak hanya bersaing melawan caleg partai lain, tapi juga caleg sesama partai. Berbagai cara mereka lakukan untuk menggalang suara, mulai cara yang normal hingga cara yang tak normal. Cara normal dilakukan dengan memasang gambar sosialisasi dan pendekatan langsung ke rakyat. Sedangkan, cara tak normal dilakukan dengan menabrak rambu-rambu. Misalnya, politik uang atau money politic untuk membeli suara rakyat, dan manipulasi suara di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam politik, uang bukan segala-galanya. Namun, uang bisa menentukan nasib politisi. Karena itulah, melihat pertarungan para caleg saat ini, tak berlebihan jika disebut dengan pertarungan uang. Politisi akan cenderung menghalalkan segala cara agar bisa menang. Di sisi lain, rakyat yang mulai bosan melihat distorsi politik perwakilan, cenderung bersikap pragmatis. Selama era reformasi, rakyat telah tiga kali mengikuti pemilu. Toh hasilnya selalu mengecewakan. Wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat, lebih patuh kepada partai yang dikendalikan penguasa dan pemilik modal. Alhasil, rakyat yang merasa sudah frustrasi, akan menyerahkan suaranya kepada caleg yang berduit. Kondisi itulah yang memaksa politisi harus punya modal politik besar. Selain untuk melakukan sosialisasi, modal besar juga untuk merayu rakyat dengan berbagai modus. Mulai dari sumbangan hingga langsung membeli suara. Pertanyaannya, dari mana uang itu didapat? Bukankah politik uang malah membuat subur praktik korupsi? Demokrasi transaksional yang kini berkembang di Indonesia memaksa para politisi mencari sumbersumber pendanaan instan untuk menjalankan mesin politiknya. Bisa jadi uang itu dikumpulkan dari mengorup uang rakyat. Pendek kata, money politic dalam bentuk langsung atau tidak masih menjadi hantu di Pemilu 2014. Berbagai riset yang dilakukan sejumlah lembaga survei independen menunjukkan bahwa praktik politik uang masih akan mewarnai Pemilu 2014. Parahnya, mayoritas pemilih memaklumi politik uang. Bahkan, mereka akan menjatuhkan pilihan kepada caleg yang memberi uang atau dalam bentuk lain. Hanya sedikit rakyat yang memilih berdasarkan hati nurani. Pileg yang akan digelar tanggal 9 April 2014 sejatinya akan menentukan wajah Indonesia lima tahun ke depan. Namun, jika uang menjadi faktor utama orang menjatuhkan pilihan, betapa kecilnya peluang caleg miskin yang jujur dan amanah. Bagi caleg berduit yang melenggang ke parlemen, sulit bagi mereka untuk menjalankan amanat rakyat dengan baik. Apalagi mereka merasa telah membeli suara rakyat saat pemilu. Di sisi lain, partai politik

juga melakukan segala cara untuk mendulang suara di pemilu. Faktor popularitas figur lebih diutamakan ketimbang visi-misi dan gagasan membangun Indonesia yang lebih baik. Karena itu, tak mengherankan jika dalam setiap pemilu banyak artis yang ditampilkan sebagai caleg. Memang tak semua caleg artis dengan popularitas tinggi minim kemampuan. Namun, melihat hasil Pileg 2004 dan 2009, betapa banyak caleg artis yang hanya menjadi pelengkap di parlemen. Ketika masa kampanye, gambar mereka bertebaran mengisi ruangruang publik. Namun, setelah terpilih hanya beberapa dari mereka yang mampu eksis. Netralitas Penyelenggara Pemilu Potensi kecurangan pemilu terbuka lebar di tengah makin pragmatisnya pemilih. Pemilih bisa jadi tak hanya menerima uang dari salah satu politisi. Pemilih bisa menggunakan prinsip aji mumpung. Uang dari mana pun akan diterima, ketimbang menunggu hasil kerja konkret mereka di parlemen yang belum tentu jelas. Dalam situasi seperti ini, caleg yang kalah populer atau yang khawatir terhadap suara yang didapat bisa jadi akan merapat ke panitia pemungutan suara. Mereka akan memanfaatkan penyelenggara pemilu yang mau menerima suap. Yang penting mereka bisa lolos ke parlemen lewat manipulasi suara. Terkait itu, netralitas penyelenggara pemilu mendapat ujian serius. Mereka akan menjadi sasaran rayuan politisi berduit yang berani menghalalkan segala cara untuk menang. Apalagi, selama beberapa kali pemilu desas-desus adanya jual-beli suara di tingkat penyelenggara pemilu telah terjadi. Sayangnya, aroma itu masih sulit dibuktikan. Kekhawatiran itu cukup masuk akal. Pasalnya, KPU di daerah banyak yang main mata dengan calon. Lihat saja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah menghukum puluhan penyelenggara pemilu. Institusi yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie itu telah memecat 95 anggota KPU Daerah yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik terhadap penyelenggaraan pilkada di daerah. Perinciannya, pada 2013 lebih dari 60 penyelenggara pemilu dipecat oleh DKPP. Jumlah ini lebih banyak daripada tahun 2012, saat sebanyak 31 penyelenggara pemilu dipecat DKPP. Fenomena banyaknya pemecatan, salah satunya disebabkan latar belakang komisioner KPU di daerah. Rata-rata komisioner KPU Daerah berusia muda, yang merupakan mantan aktivis, dan kebetulan gaji penyelenggara pemilu di daerah terbilang masih rendah. Kondisi ini dimanfaatkan sejumlah pihak, terutama calon kepala daerah yang incumbent. Temuan itu didapat DKPP di persidangan. Potret kinerja KPU di daerah juga terlihat dari tingkat kepuasan publik terhadap hasil pilkada. Jumlah gugatan sengketa pilkada atau perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi (MK) masih sangat tinggi. Pada 2012 sebanyak 112 perkara PHPU masuk ke meja MK. Sedangkan, pada 2011 MK menangani 138 kasus PHPU. Dan, pada 2010 dengan 230 perkara. Memang tidak semua gugatan yang masuk dikabulkan oleh MK. Namun, masih adanya praktik pelanggaran dan kecurangan menandakan demokrasi di

Indonesia masih buram. Mulai dari kasus daftar pemilih tetap (DPT), penyalahgunaan kekuasaan, keterlibatan aparat birokrasi, mandulnya Bawaslu, KPU yang berpihak, hingga manipulasi dan jual-beli hasil penghitungan suara. Parahnya lagi, ketika kecurangan pemilu terjadi, rasanya rakyat masih sulit percaya terhadap institusi MK yang sampai kini masih diguncang prahara. Itu menyusul tertangkapnya Akil Mochtar saat menjabat sebagai ketua MK karena terlibat sejumlah kasus suap. Dalam situasi seperti ini, demokrasi dengan proses pemilu yang menghabiskan uang triliunan rupiah, dikhawatirkan menimbulkan anarki di masyarakat. Aroma kecurangan pemilu dan politik uang selalu berhembus kencang dalam pemilu. Namun, sampai saat ini praktik penodaan demokrasi itu sulit dibuktikan. Hanya beberapa yang masuk meja pengadilan, termasuk kasus yang melibatkan Akil Mochtar. Adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang harus meningkatkan pengawasannya. Namun, Bawaslu saja tentu tidak cukup. Rakyatlah yang bisa menangkal pengaruh terjadinya politik uang. Menjalankan demokrasi dalam keadaan perut rakyat yang sedang lapar tak mungkin bisa optimal. Logistik kerap menghilangkan logika orang. Selama kehidupan rakyat masih jauh dari sejahtera, rasanya sulit menghapus demokrasi transaksional dan pragmatisme politik di Indonesia.

ATHIK HIDAYATUL UMMAH Mahasiswa S2, Mantan Ketua Korps PMII Putri Jatim

Kebijakan Perburuhan dan Tantangan Pasar ASEAN

Menteri Perdagangan yang baru, M. Lutfhi, menggelar Rapat Kerja Kementrian Perdagangan 2014 yang diselenggarakan pada hari Rabu, 12 Maret 2014 lalu di Jakarta. Menurut Luthfi, rapat kerja ini memiliki arti strategis dalam mengarahkan kebijakan untuk menghadapi persaingan global yang sangat ketat, salah satunya pembicaraan mengenai kesiapan Indonesia menghadapi ASEAN Economic Community 2015. Arah diskusi yang berkembang, sebagaimana dilaporkan oleh portal berita SINDONEWS, adalah proses transformasi industrialisasi ke arah industri berbasis nilai tambah tinggi secara bertahap. Secara global, saat ini terdapat tren perdagangan dunia yang disebut global value chain yang terfragmentasi, di mana sebuah barang tidak hanya dihasilkan oleh satu negara, namun dalam proses produksinya barang tersebut diproduksi di berbagai negara. Salah satu contoh yang populer adalah iPhone yang diproduksi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Tak hanya di sektor industri manufaktur elektronik, tren global value chain juga dijalankan di sektor-sektor lain, misalnya industri kimia. Dahulu, sebuah negara bisa mengekspor produk akhir dan menjalankan proses produksi dari mulai bahan baku, industri kimia dasar, industri kimia menengah, industri kimia akhir, sampai dengan produk akhir, seperti cat, botol plastik, atau ban di satu negara tersebut. Saat ini, banyak produk kimia memecah proses produksinya sehingga komponen-komponen dari sebuah produk akhir tidak harus dihasilkan di satu negara saja. Dengan pola semacam ini, kemungkinan sebuah perusahaan di sebuah negara untuk berpartisipasi dalam rantai produksi global menjadi semakin terbuka. Tetapi, keuntungan yang lebih tinggi akan diperoleh oleh perusahaan hilir yang memproduksi produk akhir atau semi-akhir. Sebaliknya, pengekspor barang-barang mentah, hanya akan mengeruk sumber daya alam dengan marjin keuntungan yang lebih kecil dibandingkan produk yang dihasilkan dengan teknologi tinggi dan inovasi kreatif. Pembicaraan mengenai kesiapan Indonesia dalam berbagai sektor ekonomi telah menjadi perbincangan di berbagai kalangan dan pemangku kepentingan. Salah satu industri yang mempunyai dasar pertumbuhan yang cukup kuat adalah industri manufaktur. Di atas kertas, angka pertumbuhan industri manufaktur Indonesia sangat bagus, bahkan di atas angka pertumbuhan ekonomi nasional. Selama periode 20012012 ekonomi nasional tumbuh 5,4% dan beberapa industri manufaktur tumbuh di atasnya, seperti industri peralatan, mesin, dan perlengkapan transportasi sebesar 10,1% dan industri produk pupuk, kimia, dan karet sebesar 5,7%.

Sumbangan industri manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) juga besar. Menurut catatan Kementrian Perindustrian, industri manufaktur berkontribusi terhadap 20% pertumbuhan PDB kita. *** Di luar perhitungan tersebut, masih terdapat tantangan dalam industri manufaktur kita, terutama peningkatan investasi dalam negeri, mengurangi ketergantungan bahan baku impor, dan kebijakan perburuhan. Dalam soal kebijakan perburuhan, Indonesia harus waspada dengan kompetitor di ASEAN yang juga andal dalam industri manufaktur, terutama Vietnam, dan Filipina, yang baru-baru ini makin memantapkan kestabilan hubungan industrial mereka. Di Vietnam, Undang-Undang Perburuhan yang baru telah disahkan dan diterapkan 1 Mei 2013 lalu. Undang-undang ini memberikan berbagai kelonggaran kepada buruh di Vietnam, termasuk kebebasan berserikat, mekanisme dialog, serta outsourcing. Dalam undang-undang ini, misalnya, buruh outsourcing mendapatkan perilaku yang seimbang dengan pekerja tetap (non-outsourcing). Selain itu, cuti hamil dapat diambil karyawan selama enam bulan. Insentif non-upah di undang-undang ini, menurut banyak pihak, termasuk International Labour Organization (ILO), membuat kepastian hukum di bidang perburuhan, terutama bagi investor. Di Filipina, hubungan industrial juga relatif stabil karena upah buruh yang cukup tinggi sehingga protes dapat diminimalisasi. Upah buruh di Filipina tercatat paling tinggi dibandingkan dengan upah buruh di Thailand, Vietnam, Indonesia, dan China (JETRO, 2013). Bagaimana dengan Indonesia? Menjelang pemilu legislatif dan eksekutif, banyak janji manis dalam kampanye diberikan kepada buruh, khususnya soal kesejahteraan buruh. Tetapi, dalam proses sebenarnya, perumusan upah minimum dan kesejahteraan buruh, tak semanis janji pemilu. Perubahan upah minimum dari Rp2,2 juta menjadi Rp2,4 juta dari tuntutan semula sebesar Rp3,7 juta telah memicu banyak kontroversi dari pengusaha, asosiasi usaha, maupun serikat buruh. Bagi pengusaha, menyejahterakan buruh bukanlah perkara mudah di tengah persoalan yang menghimpit perusahaan. Pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjaga daya saing. Daya saing salah satunya ditentukan dari tingkat pendidikan pekerja yang akan menentukan output produksi. Secara umum, tingkat pendidikan buruh di Indonesia juga tergolong rendah di ASEAN. Menurut data Japan Economic Research Organization (JETRO), lulusan universitas yang masuk dalam angkatan kerja hanya 5,3%. Sementara, lulusan SMU dan yang lebih tinggi hanya berjumlah 25,5% dari angkatan kerja. Sisanya, sekitar 75 % dari angkatan kerja diisi oleh lulusan SMP, SD, atau lebih rendah. Hal ini kontras dengan Malaysia yang angkatan kerjanya diisi oleh 73% dari angkatan kerja lulusan SMU dan 18,2% diisi oleh lulusan universitas. Thailand dan Filipina juga mempunyai lulusan SMU yang lebih banyak di lapangan kerja dibandingkan Indonesia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 55,5 juta pekerja Indonesia hanya berpendidikan SD atau lebih rendah, hal yang mengakibatkan produktivitas buruh di Indonesia dinilai rendah. Terlebih dalam era global value chain ini, buruh yang berpendidikan tinggi semakin dibutuhkan karena tuntutan produksi untuk dapat diterima secara global juga semakin meningkat. Ketika proses demokrasi berjalan semakin kencang di Indonesia, yang diikuti dengan gerakan serikat buruh yang makin terorganisasi, pendidikan dan kebijakan sosial lainnya juga seharusnya dapat mengimbangi pergerakan tersebut. Perbaikan kebijakan sosial di Indonesia, termasuk kesehatan, pendidikan, dan perumahan, selama ini berjalan kurang cepat, hal ini bisa dilihat dari laju perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang stagnan dan Indeks Gini Indonesia yang semakin meningkat. Untuk meningkatkan hubungan industrial antara buruh dan pengusaha, pemerintah dapat mendorong perusahaan untuk melakukan perbaikan instrumen non-upah yang juga merupakan indikator kesejahteraan. Di Nitto (2010) dalam bukunya Social Welfare: Politics and Public Policy menulis bahwa indikator kesejahteraan bukan semata soal pendapatan, tapi juga kualitas pendidikan, kesehatan, perumahan, serta jaminan sosial. Dalam cakupan ini, instrumen non-upah, seperti pelatihan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, maupun layanan kesehatan, tak kalah pentingnya dengan upah. Untuk mendorong peningkatan pengetahuan karyawan, perusahaan sebaiknya membangun learning center yang bisa dimanfaatkan secara mandiri oleh karyawan. Inisiatif-inisiatif yang dilakukan di tingkat perusahaan untuk memperbaiki hubungan industrial juga harus diikuti upaya pemerintah meningkatkan layanan dan inovasi pendidikan. Tanpa didukung pendidikan dan keterampilan yang memadai, sulit bagi Indonesia untuk bersaing di pasar ASEAN maupun global.

HERJUNO NDARU KINASIH Peneliti ASEAN Studies Program di The Habibie Center

Menembak di Kuda MK

Suatu sore pada awal November 2013 setelah lama pensiun dari Mahkamah Konstitusi (MK), saya didatangi kiai besar dari Banten yaitu Kiai atau Abuya Muhtadi. Ditemani beberapa orang, Kiai Muhtadi datang ke kantor saya mengantar Arief Wismansyah, calon wali kota Tangerang yang saat itu baru memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara mutlak. Kiai Muhtadi dan Arief Wismansyah datang untuk meminta tolong perkara yang dihadapinya di Mahkamah Konstitusi (MK). Arief yang menang mutlak dalam pilkada wali kota digugat ke MK oleh pasangan calon yang kalah agar kemenangannya dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Kiai Muhtadi dan Arief meminta saya untuk membantu agar MK tetap mengukuhkan kemenangannya. Mereka takut kalau ada permainan di antara para hakim MK dengan penggugat sehingga kemenangannya dibatalkan MK. Arief Wismansyah menanyakan, harus melakukan apa dan menemui siapa untuk tetap menang di MK. Setelah saya baca berkasnya, saat itu juga saya bilang, Baiklah, perkara Pak Arief saya urus. Tak usah menghubungi siapa pun di MK biar saya yang tangani. Saya mantan ketua MK, tahu jalannya memenangkan kasus ini. Setelah itu mereka saya persilakan pulang dan menunggu saja hasilnya. Beberapa hari setelah itu, pada 19 November 2013 sore, saya ditelepon dan dikirimi SMS oleh tim yang ikut Arief Wismansyah ke kantor saya. Dia berteriak kegirangan, Terima kasih, Pak Mahfud atas bantuannya. Pak Arief sudah menang di MK. Dr Chaidir Bamuallim, teman saya saat sama-sama jadi aktivis mahasiswa di Yogya pada 1990-an, ikut mengontak saya dan mengucapkan terima kasih atas bantuan saya memenangkan Arief di MK. Kata mereka, Pak Arief akan sowan kepada saya untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Saya tergelak mendengar reaksi mereka atas kemenangan itu. Mereka tidak tahu bahwa saya tak melakukan apa pun atas kemenangan Arief Wismansyah. Saya tidak menghubungi siapa pun di MK untuk memenangkannya. Arief itu menang sendiri karena secara hukum memang menang. Eh, saya tak pernah mengurus agar Pak Arief menang di MK. Dia itu memang menang sendiri. Jadi tak perlu berterima kasih kepada saya, jawab saya kepada mereka. Cerita tentang Arief Wismansyah yang sekarang sudah mapan sebagai wali kota Tangerang itu bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, orang yang beperkara merasa khawatir kalau dikalahkan karena hubunganhubungan gelap antara pihak yang beperkara dan orang-orang MK sehingga mereka akan berusaha juga mencari jalan di luar jalur sidang resmi. Jangankan yang kalah atau penggugat, yang menang pun masih khawatir dikalahkan secara

tidak fair kalau tak punya jalur-jalur khusus ke orang dalam di pengadilan. Kedua, banyak kasus yang sebenarnya dengan dibaca sekilas saja sudah bisa disimpulkan akan memang atau kalah. Seperti kasus kemenangan Arief Wismansyah sebagai walikota Tangerang, sejak awal saya yakini akan menang di MK tanpa perlu diurus di luar sidang karena posisi kasusnya sudah jelas. Nah, di sinilah bisa terjadi penyalahgunaan oleh orang-orang pengadilan. Orang-orang yang sudah pasti menang dihubungi oleh hakim atau oleh orang-orangnya untuk dimintai uang agar bisa memang, padahal mereka memang sudah menang sendiri. Itulah yang dalam khazanah perkorupsian disebut sebagai teori menembak dari atas kuda yakni memeras orang untuk dimenangkan, padahal memang sudah pasti menang sendiri. Menembak dari atas kuda bisa juga dilakukan setelah ada putusan, tetapi belum diucapkan di sidang terbuka karena vonis yang harus dibacakan harus dikonsep dan diteliti bersama-sama lebih dulu. Biasanya antara waktu penetapan putusan oleh majelis hakim dan pembacaannya di depan sidang terbuka ada jarak waktu sampai berhari-hari, bahkan bisa berminggu-minggu. Penembakan dari atas kuda untuk mengambil untung bisa dilakukan oleh hakim atau orangorangnya dalam kurun waktu menunggu pembacaan vonis itu dengan meminta sejumlah uang agar perkaranya bisa menang, padahal memang sudah menang sendiri. Dalam melakukan korupsi yang seperti itu seorang hakim bisa saja melakukannya sendirian tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain. Hakim yang tidak ikut memeriksa perkara pun secara sendirian bisa mengintip vonis dan menggorengnya agar menghasilkan suap tanpa sepengetahuan atau melibatkan hakim-hakim lain. Selain itu, ada juga cara brutal. Hakim korup tidak menembak dari atas kuda dengan memeras orang yang memang menang sendiri, tetapi sengaja membalik perkara dengan bayaran tertentu sehingga yang menang jadi kalah dan yang kalah jadi menang. Karena ada hakim-hakim yang seperti itulah, hampir semua orang yang beperkara merasa takut sehingga sama-sama berusaha menyuap hakim, baik yang dalam posisi kalah maupun yang dalam posisi menang. Dalam kaitan ini bisa saja banyak hakim lain yang terlibat melalui persekongkolan untuk memenangkan atau mengalahkan pihak tertentu karena vonis ditetapkan bersama majelis. Aparat penegak hukum seperti KPK wajib membongkar korupsi hakim sampai ke akar-akarnya, termasuk mengungkap siapa saja hakim-hakim lain yang terlibat.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

Mistery Flight MH-370


Sabtu, 15 Maret 2014

PESAWAT Boeing 777200 Malaysia Airlines (MAS) MH-370 yang hilang, kini sudah memasuki hari ketujuh dan belum juga ada tanda-tanda yang jelas menunjukkan ke mana gerangan pesawat terbang itu bergerak. Tim SAR lebih dari delapan negara sudah bekerja keras turut mencari dengan hasil yang masih sia-sia. Salah satu yang belum jelas adalah munculnya pemberitaan yang simpang siur mengenai kemungkinan pesawat tersebut mengubah jalur dan terbang kembali ke Malaysia. Dalam hal keberadaan pesawat terbang MH-370, kiranya diperlukan kerja sama erat antarnegara, juga antar-satuan atau unit radar sipil dan militer. Radar militer, dalam hal ini adalah perangkat radar yang merupakan instalasi dari unit pertahanan udara nasional. Prinsip kerja dari radar penerbangan sipil (pensip) dengan radar pertahanan udara (hanud) sangat jauh berbeda. Radar pensip menangkap data pergerakan pesawat yang dilengkapi dengan transponder dan bertujuan memberikan pelayanan keselamatan penerbangan. Sementara, radar hanud bekerja untuk menjaga ruang udara wilayah kedaulatan negara dari penerbangan-penerbangan liar tanpa izin yang datang menerobos dengan maksud-maksud tertentu. Pelacakan dengan radar tracking (lintasan terbang pesawat di layar radar) terhadap posisi akhir dari keberadaan MH370 akan sangat menentukan cepat dan lambatnya keberhasilan upaya pencarian yang dilakukan. Di hari-hari pertama upaya pencarian, muncul banyak pemberitaan yang tidak jelas tentang di mana sebenarnya posisi terakhir pesawat yang hilang tersebut. Satu hal yang sangat diperlukan untuk menentukan arah pencarian harus atau dapat dimulai. Bahkan, Vietnam dan China sempat mengajukan kekecewaannya terhadap otoritas penerbangan Malaysia yang terkesan tidak terbuka dalam menjelaskan aneka informasi terkait dengan penerbangan MH370. Anggapan China dan Vietnam disebabkan dengan berubah-ubahnya penjelasan tentang adanya penumpang yang naik menggunakan paspor curian serta beberapa penumpang yang membatalkan niatnya berangkat dengan MH-370 setelah check-in. Demikian pula tentang posisi terakhir sebelum hilang, yang sempat dikatakan bahwa pesawat berbelok arah pulang ke KL yang kemudian segera diralat kembali. Kini banyak pihak kemudian curiga terhadap sikap Pemerintah Malaysia yang terkesan menutup-nutupi keterangan-keterangan yang justru sangat diperlukan bagi tim search and rescue (SAR) dalam berusaha sesegera mungkin untuk dapat menemukan jejak pesawat B-777-200 Malaysia dengan nomor penerbangan MH-370 tersebut.

Pada setiap kecelakaan pesawat terbang, hampir semua orang ingin segera mengetahui apa gerangan yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan tersebut. Di sisi lain, pada setiap kecelakaan, maka hampir dapat dikatakan mustahil untuk dapat segera mengetahui penyebab kecelakaan, terutama yang kondisi pesawatnya mengalami rusak total dan tidak ada penumpang serta awak pesawat yang selamat. Lebih-lebih lagi pada kasus pesawat hilang yang belum ditemukan. Sebenarnya pesawat terbang modern dipastikan dilengkapi dengan emergency locator transmitter (ELT) atau emergency locator beacons (ELBA). Alat ini adalah berupa transmitter, atau pemancar radio yang akan segera memancarkan sinyal elektro magnetik pada frekuensi "emergency", begitu alat ini lepas dari pegangannya dan atau mengalami benturan. Alat ini akan memancarkan sinyalnya selama 2x24 jam yang tujuannya memudahkan tim SAR menemukan lokasi kecelakaan dan menolongnya. Di samping ELT, pesawat juga dilengkapi dengan black box, yang terdiri dari cockpit voice recorder (CVR) dan flight data recorder (FDR). Alat ini akan merekam kejadian pada 30 menit terakhir sebelum terjadinya kecelakaan. Dengan demikian, maka penyebab kecelakaan akan dengan mudah dapat dipelajari sehingga kejadian serupa di masa datang akan dapat dihindari. Yang menyulitkan dalam kasus MH370 ini adalah, pesawat hilang tiba-tiba dan pancaran transmitter ELT dan atau ELBA tidak pula terlacak. Di sinilah letak misterinya, pesawat yang tiba-tiba hilang lenyap bak tertelan bumi. Pada kasus pesawat mengalami keadaan darurat, maka pilot akan melaporkan keadaan emergency yang dihadapinya dan melaporkan posisi pesawat terbangnya. Dengan demikian, bila dibutuhkan pertolongan, tim pencari dan penolong dapat dengan mudah menuju tempat kejadian kecelakaan. Pada kejadian MH-370, tidak ada laporan dari pilot tentang terjadinya keadaan darurat. Dengan kondisi yang seperti ini, dapat diperkirakan MH-370 mengalami keadaan darurat yang sangat tiba-tiba sehingga pilot tidak sempat melapor ke air traffic control (ATC) di menara pengawas di darat. Dapat saja dicurigai di sini bahwa pesawat telah dibajak dan kendali komando diambil alih oleh para pembajak. Pembajak mematikan semua peralatan komunikasi pesawat sehingga pilot tidak bisa melaporkan keadaan yang tengah dihadapinya. Khusus tentang pembajakan, sebenarnya ada alat transponder di kokpit yang dapat diset oleh pilot pada moda yang memancarkan sinyal sebagai tanda pesawat tengah mengalami pembajakan. Namun, apakah sang pilot masih cukup berdaya untuk dapat melakukannya, hal itu masih merupakan tanda tanya besar. Banyak faktor lain dan salah satunya adalah pada kasus terjadinya ledakan di pesawat. Khusus tentang ledakan ini, paling tidak ada dua kemungkinan yang terjadi. Apabila ledakan yang terjadi itu cukup besar dan menghancurkan pesawat sampai berkeping-keping pada ketinggian di atas 30.000 kaki, maka serpihannya akan bertebar ke arah yang relatif luas dan berhamburan pada kawasan yang sangat jauh sekali. Dengan hembusan angin dan lain sebagainya, maka pecahan-pecahan bagian badan pesawat akan sangat sulit untuk ditemukan. Berikutnya, bila ledakannya kecil tetapi merusak sistem kendali pesawat, maka pesawat akan

jatuh ke laut dengan kecepatan tinggi dan masuk ke kedalaman sampai terdampar di dasar laut. Sekali lagi, dengan data yang relatif terbatas, akan menjadi sangat sulit untuk dapat menerka apa gerangan yang terjadi dengan penerbangan MH-370 di hari Sabtu lalu. Setiap kejadian kecelakaan pesawat terbang memang selalu saja muncul spekulasi dugaan penyebab kecelakaan, namun apabila black box belum ditemukan dan analisis belum dilakukan oleh para investigator yang kompeten, maka kita tidak akan memperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Semoga yang terbaik yang terjadi, insya Allah, amin.

CHAPPY HAKIM Pemegang Airline Transport Pilot License (ATPL) No. 2391

Anda mungkin juga menyukai