Anda di halaman 1dari 11

Prosiding PPI Standardisasi 2010 J akarta, 11 November 2010

KLASIFIKASI KEMATANGAN GAMBUT TROPIS BERDASARKAN


SIFAT RAPAT OPTIK

Oleh
Ahmad Kurnain
1


Abstrak
Kematangan gambut dapat dinilai dengan beberapa cara, baik secara visual di lapangan,
maupun melalui penetapan sifat fisika, kimia, dan spektroskopis di laboratorium. Pengukuran
rapat optik, yang biasanya disajikan sebagai nisbah rapat optik (E
4
/E
6
), yakni nisbah absorban
pada panjang gelombang lebih rendah (465 atau 400) terhadap absorban pada panjang
gelombang lebih tinggi (665 atau 600), biasa dilakukan untuk menyifatkan bahan humus yang
diisolasi dari tanah, sedimen, dan air. Data nisbah rapat optik E
4
/E
6
bahan humus yang diisolasi
dari gambut yang dicuplik dari beberapa tipe penggunaan lahan gambut dan kedalaman lapisan
dianalisis dan dibandingkan dengan data kadar seratnya dalam hal kesesuaiannya untuk
menilai kematangan gambut. Bahan humus yang terekstrak dari gambut fibrik memiliki nilai
E
4
/E
6
>6,8, hemik 4,76,8, dan saprik <4,7.

Kata Kunci: gambut, rapat optik, E
4
/E
6

Abstract
Ripeness of peat can be assessed with various methods including visual observation in fields,
and physical, chemical and spectroscopic determination in laboratories. Optical density
expressed as E
4
/E
6
ratio was usually measured to characterized humic substances isolated from
soils, sediments and water. Data of E
4
/E
6
ratio of humic substances isolated from peat samples
under land use types and in different peat layers, were analysed in comparison with fibre content
data in term of its suitability for assessing the ripeness of peat. The E
4
/E
6
of fibric, hemic, and
sapric peats is > 6.8, 4.76.8, and <4.7, respectively.

Keywords: peat, optical density, E
4
/E
6
.

1
Dosen Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Unversitas Lambung Mangkurat dan Ketua
Lembaga Penelitian Unversitas Lambung Mangkurat

2
I PENDAHULUAN

Kematangan gambut dinilai dengan beberapa cara (Kononova, 1966; Boelter, 1969;
Hayes, 1975; Soil Survey Staff, 1975; Kumada, 1987; Sapek dan Sapek, 1987;
Andriesse, 1988; Malterer et al., 1992; Blackford dan Chambers, 1993). Cara penilaian
tingkat (kelas) kematangan gambut tersebut dapat dipilah atas empat kategori, yaitu
pengujian secara visual, pengukuran sifat fisika gambut, pengukuran sifat kimia gambut,
dan penyarian (extraction) secara kimiawi atas bahan-bahan terlarut yang terdapat di
dalam bahan gambut (Blackford dan Chambers, 1993). Masing-masing cara memiliki
kelebihan dan kelemahan, sesuai dengan peruntukkannya.
Yang termasuk pengujian secara visual adalah pemakaian skala humifikasi van
Post dan uji pirofosfat. Kedua cara ini menilai tingkat kematangan bahan gambut secara
kualitatif. Kedua cara ini tidak cocok digunakan untuk menilai kemajuan (progress)
perombakan bahan gambut, apalagi jika nilai-nilai yang diperoleh dari kedua cara
tersebut ingin dihubungkan dengan perubahan sifat-sifat gambut lainnya. Meskipun
demikian, kedua cara ini sering digunakan dalam pemerian profil tanah gambut di
lapangan, karena mudah dan cepat.
Salah satu sifat fisika gambut yang sudah umum digunakan untuk menilai
tingkat kematangan gambut adalah kadar serat (Soil Survey Staff, 1975; Malterer et al.,
1992; Blackford dan Chambers, 1993). Yang tergolong ke dalam serat ialah butiran
gambut yang tidak lolos ayakan 100 mesh, atau yang bergaris >0,15 mm (Andriesse,
1988). Menurut cara pengayakannya terdapat dua jenis serat, yaitu serat tanpa digosok
(unrubbed fibre) dan serat digosok (rubbed fibre) (Linn et al., 1974). Berdasarkan bobot
atau volumenya, kadar serat cuplikan gambut dapat dinyatakan dalam bagian atau
persentase serat, dan secara kuantitatif dapat dihubungkan dengan perubahan sifat
gambut lainnya. Meskipun demikian, cara ini sering menunjukkan hasil yang sangat
beragam dan kasar, karena hasilnya tergantung atas ragam bahan asal gambut, kadar
lengas, dan kekuatan pemampatan volume cuplikan ketika penetapan dilakukan.
Sifat fisika gambut lainnya yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kematangan gambut adalah berat volume (bulk density) (Boelter, 1969; Soil Survey
Staff, 1975). Butiran gambut akan menjadi lebih halus dan volumenya menjadi lebih
mampat sejalan dengan proses pematangannya. Oleh karena itu, bahan gambut yang
terombak lanjut memiliki berat volume lebih tinggi daripada bahan gambut yang baru
terombak. Boelter (1969) menunjukkan bahwa bahan gambut fibrik memiliki berat
volume <0,075 kg dm
-3
, sedang bahan gambut saprik >0,195 kg dm
-3
, dan bahan
gambut hemik memiliki berat volume di antara keduanya. Pengelompokan Boelter
(1969) sejalan dengan Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1975) yang menunjukkan
bahwa bahan gambut fibrik dan saprik memiliki berat volume berturut-turut <0,1 kg dm
-3

Prosiding PPI Standardisasi 2010 J akarta, 11 November 2010

3
dan >0,2 kg dm
-3
, sedang bahan gambut hemik memiliki berat volume antara 0,070,18
kg dm
-3
.
Penggunaan berat volume tanah gambut untuk menilai tingkat perombakan
bahan gambut kadang-kadang dihadapkan pada ketidaktaatasasan, karena keragaman
berat volume tanah gambut juga tergantung pada kadar lengas tanah gambut pada saat
pencuplikan dan penanganannya sebelum dan selama penetapan. Selain itu, berat
volumenya juga tergantung pada bahan asal gambut dan kadar mineral yang
terkandung di dalamnya.
Pengukuran sifat kimia gambut untuk menilai tingkat kematangan gambut juga
menunjukkan keragaman yang sangat tinggi, karena proses alihragam (transformasi)
bahan kimia di dalam bahan gambut (bahan tanaman) yang mengalami perombakan
adalah sangat rumit dan masih belum dipahami sepenuhnya (Blackford dan Chambers,
1993). Sifat kimia tertentu dapat meningkat atau menurun ketika bahan gambut
terombak. Ketidaktaatasasan ini dapat terjadi ketika sifat kimia tertentu digunakan untuk
menilai kematangan bahan gambut. Beberapa sifat kimia gambut yang biasanya
dihubungkan dengan tingkat kematangan gambut antara lain nisbah C/N dan C/P, kadar
abu, dan kadar bahan humus (Sapek dan Sapek, 1987; Yonebayashi et al., 1992).
Penyarian bahan humus yang merupakan salah satu komponen utama
penyusun gambut juga dapat digunakan untuk menilai tingkat kematangan gambut
(Kumada, 1987; Sapek dan Sapek, 1987; Blackford dan Chambers, 1993). Kandungan
bahan humus dalam bahan gambut meningkat dengan perombakan (Stevenson, 1994).
Asam humat yang dihasilkan oleh perombakan bahan gambut memberikan warna coklat
terhadap filtrat humus. Kumada (1987) melaporkan bahwa peningkatan intensitas warna
coklat sejalan dengan pembentukan bahan humus. Karena itu, pengukuran rapat optik
filtrat humus dari bahan gambut dapat digunakan untuk menilai tingkat perombakan
bahan gambut.
Beberapa macam larutan kimia dapat digunakan untuk menyarikan bahan
humus (Hayes et al., 1975). Larutan natrium hidroksida (NaOH) sering digunakan untuk
menyarikan bahan humus dalam tanah. Penelitian Sapek dan Sapek (1987) dan
Blackford dan Chambers (1993) telah mengungkapkan bahwa rapat optik filtrat gambut
dalam larutan NaOH menunjukkan tingkat humifikasi selama perombakan bahan
gambut. Rapat optik biasanya disajikan sebagai nisbah rapat optik (E
4
/E
6
), yakni nisbah
absorban pada panjang gelombang lebih rendah (465 atau 400) terhadap absorban
pada panjang gelombang lebih tinggi (665 atau 600) (Kononova, 1966; Chen et al.,
1977; Kumada, 1987; Sapek dan Sapek, 1987; Blackford dan Chambers, 1993).
Nilai E
4
/E
6
biasa digunakan untuk menyifatkan (kerakterisasi) bahan humus
yang diisolasi dari tanah dan atau air (J eong et al., 2007). Bahan humus itu terutama
berupa asam humat (humic acids) dan asam fulvat (fulvic acids). Secara kuantitatif ia
dapat dihubungkan dengan perubahan sifat tanah gambut lainnya sebagai akibat
4
perombakan bahan gambut. Meskipun demikian, cara ini antara lain sangat tergantung
atas kadar abu (Blackford dan Chambers, 1993), dan ragam bahan asal gambut
(Stevenson, 1994).
Bahan asal gambut di wilayah tropika berbeda dengan yang di wilayah nontropika.
Gambut nontropis berasal dari sisa-sisa rerumputan (seperti Gramineae dan
Cyperaceae) dan tumbuhan lunak (seperti Sphagnum spp). Sedang gambut tropis
berasal terutama dari batang, cabang dan akar dari tetumbuhan berkayu (Rieley, 1992).
Ada juga gambut tropis yang berupa lembaran-lembaran daun. Karena kekhasan bahan
asal dan sifat gambut tropis ini, maka pengharkatan tingkat kematangan gambut
berdasarkan sifat rapat optiknya bisa berbeda dibandingkan yang dilakukan untuk
gambut nontropis. Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan untuk menurunkan kriteria
kematangan gambut tropis berdasarkan sifat rapat optiknya. Penyifatan kematangan
gambut dilakukan pada berbagai tipe penggunaan lahan gambut, sehingga bisa
menggambarkan perubahan kematangan gambut.

II BAHAN DAN METODE

Untuk memperoleh keragaman sifat bahan gambut yang dikaji, pengambilan cuplikan
gambut dilakukan menurut tipe penggunaan lahan dan kedalaman lapisan gambut yang
dicuplik. Cuplikan diambil dari kawasan hutan/lahan gambut dengan posisi global
terletak pada 2
o
17'2
o
21' LS dan 114
o
1'114
o
3' BT, dan di antara Sungai Sebangau dan
Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah. Cuplikan diambil dengan bor khusus gambut
"Eijkelkamp". Pengambilan cuplikan diatur menurut: (1) tipe penggunaan lahan yang
terdiri dari (a) hutan gambut tebang pilih, (b) hutan gambut terbakar, (c) lahan gambut
yang terbuka, dan (d) lahan gambut yang ditanami dengan (i) jagung, (ii) nenas, dan (iii)
karet, dan (2) kedalaman lapisan gambut yang dicuplik, yaitu: (i) 015 cm, (ii) 1545 cm,
dan (iii) 45100 cm.
Pengambilan cuplikan dari satu titik ke titik lainnya pada setiap plot terpilih
mengikuti pola pergerakan zigzag. Pola ini cocok untuk plot yang serba sama
(homogen), dan data yang terkumpul memberikan rekomendasi uji tanah yang lebih
konsisten daripada data yang terkumpul dengan pola acak lengkap (Sabbe dan Marx,
1987). Rigney (1956) juga mengungkapkan bahwa data yang terkumpul dengan pola
zigzag koefisien keragamannya lebih rendah daripada yang terkumpul dengan pola
acak lengkap. J arak antartitik berkisar 1520 m tergantung atas banyaknya titik dan luas
plot terpilih. Agihan dan jumlah cuplikan gambut pada setiap tipe penggunaan lahan
diringkas dalam Tabel 1.


Prosiding PPI Standardisasi 2010 J akarta, 11 November 2010

5
Tabel 1 Agihan dan Jumlah Cuplikan Gambut yang Diambil untuk Studi
Pematangan Gambut pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan Gambut
Tipe penggunaan lahan Kode J umlah
titik
J umlah
lapisan
J umlah cuplikan
keseluruhan
Lahan yang ditanami
a) jagung
b) nenas
c) karet

P4
P5
P6

4
4
4

3
3
3

12
12
12
Lahan terbuka P3 6 3 18
Hutan gambut terbakar P2 6 3 18
Hutan gambut tebang pilih P1 7 3 21
J UMLAH 31 93

Penetapan kedalaman lapisan cuplikan didasarkan pada peluang paling besar
terjadinya perubahan. Untuk itu dipertimbangkan faktor kekerapan (frekuensi) dan
kekuatan (intensitas) keterusikan lapisan tanah gambut akibat pemanfaatannya bagi
budidaya tanaman, dan koncahan (fluktuasi) muka air tanah. Berdasarkan atas dua
faktor tersebut, ditetapkan lapisan 015 cm untuk mewakili lapisan tanah gambut yang
sering terusik oleh praktik budidaya tanaman dan berada di atas muka air tanah
(acrotelm). Lapisan berikutnya, yakni 1545 cm mewakili lapisan tanah gambut yang
sedikit terusik dan koncahan muka air tanahnya bersifat dinamis, kadang-kadang di atas
atau di bawah muka air tanah. Lapisan paling bawah, yakni 45100 cm mewakili lapisan
yang tidak terusik oleh praktik budidaya tanaman dan sering berada dalam mintakat
(zona) air tanah (catotelm).
Tingkat perombakan atau pematangan bahan gambut diukur dengan
menetapkan kadar serat (Soil Survey Staff, 1975) dan rapat optik filtrat alkali gambut
(Kumada, 1987; Sapek & Sapek, 1987; Blackford & Chambers, 1993). Kadar serat
ditetapkan secara volumetrik menuruti prosedur Linn et al. (1974).
Filtrat alkali gambut dipersiapkan dengan melarutkan 50 mg tanah gambut
kering-udara yang lolos ayakan bergaris tengah 0,5 mm ke dalam 50 ml larutan 0,1 N
NaOH dalam gelas kaca 100 ml. Suspensi dipanaskan di atas penangas air (water bath)
pada suhu 80
o
C selama 30 menit, dan selanjutnya didinginkan dan ditapis dengan
kertas tapis Whatman No.42. Filtrat ditepatkan menjadi 50 ml dengan air suling. Filtrat
alkali gambut diukur dengan segera rapat optiknya dengan Spektrofotometer UV-Vis
pada kisaran panjang gelombang cahaya tampak.




III HASIL DAN PEMBAHASAN

Pematangan bahan gambut dapat berlangsung secara kimiawi melalui proses
perombakan (oksidasi). Perombakan bahan gambut menghasilkan bahan-bahan yang
sebagiannya dimanfaatkan oleh tumbuhan tingkat tinggi atau didaur-ulang ke atmosfer,
atau diimobilisasi oleh jasad renik tanah (biomassa tanah), dan sebagian lagi diubah
menjadi bahan humus (Stevenson, 1994; Zech et al., 1997). Atas dasar itu, tingkat
kematangan dan sekaligus juga tingkat perombakan dapat dinilai dengan mengukur
kadar atau sifat bahan humus yang dihasilkan selama perombakan bahan gambut.
Salah satu sifat bahan humus yang seringkali diukur adalah rapat optik (serapan
cahaya, absorbance) filtrat bahan humus yang diisolasi dari tanah (bahan gambut)
(Kononova, 1966; Kumada, 1987; Sapek dan Sapek, 1987; Kalbitz et al., 1999; Rivero
et al., 2004). Hasil pengukuran rapat optik pada kisaran panjang gelombang cahaya
tampak atas filtrat alkali gambut dengan tingkat kematangan fibrik, hemik, dan saprik
disajikan pada Gambar 1. Bahan gambut tersebut menunjukkan rapat optik yang
berbeda pada kisaran panjang gelombang 380700 nm. Rapat optiknya meningkat
berturut-turut dari gambut fibrik, hemik, ke saprik. Dengan perkataan lain, rapat optik
filtrat alkali gambut meningkat dengan meningkatnya kematangan bahan gambut.
Panjang gelombang
(nm)
350 400 450 500 550 600 650 700 750
R
a
p
a
t

o
p
t
i
k
(
l
o
g

E
0
,
1
%
)
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
fibrik
hemik
saprik

Gambar 1 Kurva Serapan Cahaya Tampak Filtrat Alkali Gambut 0,1% (B/V) dalam
Larutan 0,1 M NaOH dari Tiga Cuplikan Gambut yang Berbeda Tingkat
Kematangannya

6
Prosiding PPI Standardisasi 2010 J akarta, 11 November 2010

7
Pematangan bahan gambut ditandai oleh terbentuknya senyawa organik
dengan struktur lebih rumit dan bandel (recalcitrant) (Zech et al., 1997). Senyawa
organik ini dicirikan oleh struktur C-aromatik yang lebih banyak, terpolimerisasi, dan
berbobot molekul tinggi (Stevenson, 1994; Zech et al., 1997; Kalbitz et al., 1999; Rivero
et al., 2004). Senyawa organik demikian akan menyerap cahaya lebih banyak jika
kepadanya dilewatkan seberkas cahaya, sehingga nilai rapat optiknya lebih tinggi.
Menurut hukum Beer-Lambert nilai rapat optik berbanding lurus dengan
kepekatan atau kadar bahan atau zat yang terlarut (Stevenson, 1994). Dengan
demikian, rapat optik yang tinggi juga menunjukkan kadar bahan humus yang
dikandung oleh bahan gambut tinggi atau tingkat humifikasinya tinggi. Hal yang sama
juga pernah diungkapkan oleh Kumada (1987) serta Blackford dan Chambers (1993).
Selisih rapat optik di antara ketiga cuplikan gambut tersebut mengecil pada
panjang gelombang 380450 nm dan membesar pada panjang gelombang 600700
nm. Dengan kata lain, kemiringan kurva serapan cahaya tampak oleh filtrat gambut
fibrik lebih curam daripada oleh filtrat gambut hemik dan saprik. Atas dasar ini,
penyajian nisbah rapat optik pada dua panjang gelombang rendah dan tinggi dapat
membedakan tingkat kematangan bahan gambut. Cara ini pernah dilakukan oleh
Kononova (1966) pada panjang gelombang 465 nm dan 665 nm, dan Kumada (1987)
pada 400 nm dan 600 nm, untuk menyifatkan bahan humus yang diisolasi dari tanah.
Pemilihan sepasang panjang gelombang terbaik didasarkan atas kelinearan
kurva serapan cahaya oleh filtrat alkali dari ketiga cuplikan gambut tersebut pada
kisaran panjang gelombang terpilih. Hasil uji kelinearan kurva pada beberapa kisaran
panjang gelombang terpilih menunjukkan bahwa kurva serapan cahaya antara panjang
gelombang 400 nm dan 600 nm adalah paling linear (Tabel 2). Dengan demikian
nisbah rapat optik filtrat alkali gambut pada panjang gelombang 400 nm dan 600 nm
dapat digunakan untuk menilai tingkat kematangan bahan gambut. Nisbah rapat
optiknya dinyatakan dengan E
4
/E
6
(Kononova, 1966; Kumada, 1987; Sapek dan Sapek,
1987; Blackford dan Chambers, 1993; Stevenson, 1994; Rivero et al., 2004), yakni
nisbah rapat optik (absorban) pada panjang gelombang 400 nm dan 600 nm.
Tabel 2 Kelinearan Kurva Serapan Cahaya Filtrat Alkali Gambut pada Beberapa
Kisaran Panjang Gelombang Terpilih
Koefisien korelasi (r) untuk kurva
Kisaran panjang gelombang
fibrik hemik saprik
400 600 nm
420 620 nm
440 640 nm
460 660 nm
480 680 nm
-0,9987
-0,9970
-0,9964
-0,9868
-0,9878
-0,9992
-0,9982
-0,9977
-0,9944
-0,9952
-0,9987
-0,9977
-0,9976
-0,9949
-0,9954

Pengharkatan nilai E
4
/E
6
untuk menggolongkan tingkat kematangan bahan
gambut ke dalam fibrik, hemik, atau saprik dipandu dengan penggolongannya
berdasarkan kadar serat dalam bahan gambut yang sama. Gambar 2 menunjukkan
bahwa nisbah rapat optik (E
4
/E
6
) berbanding lurus eksponensial dengan kadar serat
bahan gambut yang dicuplik pada enam tipe penggunaan lahan gambut yang diamati.
Hal ini berarti bahwa bahan gambut dengan kadar serat tinggi (kurang matang)
menunjukkan nisbah E
4
/E
6
yang lebih tinggi daripada bahan gambut dengan kadar serat
rendah (matang). Kurva hubungan antara kadar serat dan E
4
/E
6
(Gambar 2) digunakan
sebagai acuan untuk menetapkan nilai E
4
/E
6
yang memotong titik pada kurva tersebut
yang bersesuaian dengan nilai kadar serat untuk setiap tingkat kematangan bahan
gambut menurut kriteria USDA (Soil Survey Staff, 1975). Berdasarkan itu, diperoleh
kriteria untuk menggolongkan tingkat kematangan bahan gambut atas dasar E
4
/E
6
filtrat
alkali gambut seperti yang disajikan dalam Tabel 3.
Kadar serat tanpa digosok
(% volume)
0 20 40 60 80 100
N
i
s
b
a
h

r
a
p
a
t

o
p
t
i
k
(
E
4
/
E
6
)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
data (n =69)
y =2,72*e
0,01x
r
2
=0,51
Kadar serat digosok
(% volume)
0 10 20 30 40 50 60
data (n =69)
y =4,43*e
0,01x
r
2
=0,24

Gambar 2 Hubungan Antara Kadar Serat Gambut dan Nisbah Rapat Optik, E
4
/E
6

Filtrat Alkali Gambut 0,1% (B/V) dalam Larutan 0,1 M NaOh

Tabel 3 Kriteria untuk Menggolongkan Tingkat Kematangan Bahan Gambut
Berdasarkan Kadar Serat dan Nisbah Rapat Optik (E
4
/E
6
)
Kriteria Fibrik Hemik Saprik
Kadar serat tanpa digosok (%vol)
Kadar serat digosok (%vol)
E
4
/E
6
>68
>40
>6,8
34 68
16 40
4,7 6,8
<34
<16
<4,7

8
Prosiding PPI Standardisasi 2010 J akarta, 11 November 2010

9
Penggunaan nisbah rapat optik (E
4
/E
6
) untuk menggolongkan tingkat
kematangan bahan gambut, yang dicuplik pada enam tipe penggunaan lahan gambut,
menunjukkan hasil masing-masing 91% dan 81% dari 69 cuplikan gambut sama dengan
penggolongannya atas dasar kadar serat tanpa digosok dan kadar serat digosok. J ika
yang digunakan adalah rerata dari setiap tipe penggunaan lahan dan lapisan cuplikan
gambut, maka semua hasil penggolongan tingkat kematangan bahan gambut atas
dasar E
4
/E
6
sama dengan hasil penggolongannya atas dasar kadar serat tanpa digosok
(Tabel 4). Oleh karena itu, keduanya dapat digunakan untuk menilai perubahan tingkat
kematangan atau sekaligus juga tingkat perombakan bahan gambut sebagai akibat
kegiatan pertanian di lahan gambut dan kebakaran hutan gambut.

Tabel 4 Nisbah Rapat Optik (E
4
/E
6
) Filtrat Alkali Gambut, Kadar Serat Tanpa
Digosok dan Tingkat Kematangan Bahan Gambut dari Beberapa Tipe Penggunaan
Lahan
Tingkat
kematangan
Tipe
penggunaan
lahan
Kedalaman
(cm)
E
4
/E
6
Kadar serat
tanpa digosok
(% vol) 1 2
Hutan gambut
tebang plih
0-15
15-45
45-100
10,1(1,0)
5,1(0,4)
5,2(0,5)
74(6)
57(10)
61(4)
fibrik
hemik
hemik
fibrik
hemik
hemik
Hutan gambut
terbakar
0-15
15-45
45-100
5,3(0,4)
5,1(0,3)
6,4(1,0)
43(12)
45(6)
56(11)
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
Lahan terbuka
0-15
15-45
45-100
4,6(0,4)
5,4(0,5)
6,0(0,2)
35(5)
52(3)
63(3)
saprik
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
Lahan jagung
0-15
15-45
45-100
5,1(0,1)
5,3(0,2)
6,1(0,5)
58(6)
62(7)
62(5)
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
Lahan nenas
0-15
15-45
45-100
4,9(0,2)
5,5(0,4)
6,0(0,2)
40(6)
54(5)
64(8)
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
Lahan karet
0-15
15-45
45-100
5,6(0,1)
6,0(0,3)
5,7(0,1)
45(11)
49(9)
68(1)
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik
hemik

Catatan: Data disajikan berupa rerata dan simpangan bakunya (dalam tanda kurung). Kriteria tingkat
kematangan gambut pada kolom 1 berdasarkan nilai E
4
/E
6
dan pada kolom 2 berdasarkan kadar serat
(Soil Survey Staff, 1975).


10
IV KESIMPULAN

Kematangan bahan gambut dinilai dengan nisbah rapat optik (E
4
/E
6
) filtrat alkali gambut,
selain dengan kadar serat. Bahan humus yang terekstrak dari gambut fibrik memiliki
nilai E
4
/E
6
>6,8, hemik 4,76,8, dan saprik <4,7. Berdasarkan pengukuran kadar serat
tanpa digosok dan nisbah E
4
/E
6
, keduanya menunjukkan bahan gambut lapisan atas di
lahan gambut terusik lebih matang daripada yang di lahan gambut tak terusik. Secara
empiris klasifikasi kematangan gambut tropis berdasarkan sifat rapat optik bersesuaian
dengan klasifikasinya menurut kadar serat.

V DAFTAR PUSTAKA

1. Blackford, J .J ., and F.M. Chambers. 1993. Determining the degree of peat
decomposition for peat-based palaeoclimatic studies. International Peat
Journal 5:7-24.
2. Boelter, D.H. 1969. Physical properties of peat as related to degree of
decomposition. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 33:606-609.
3. Chen, Y., N. Senesi, and M. Schnitzer. 1977. Information provided on humic
substances by E
4
/E
6
ratios. Soil Sci. Soc. Am.J. 41:352-358.
4. Hayes, H.M.B., R.S. Swift, R.E. Wardle, and J .K. Brown. 1975. Humic
materials from an organic soil: A comparison of extractants and of the
properties of extracts. Geoderma 13:231-245.
5. J eong, C.Y., C.W. Park, J .G. Kim, and S.K. Lim. 2007. Carboxylic content of
humic acid determined by modeling, calcium acetate, and precipitation
methods. Soil Sci. Soc. Am.J. 71:86-94.
6. Kalbitz, K., W. Geyer, and S. Geyer. 1999. Spectroscopic properties of
dissolved humic substances a reflection of land use history in a fen area.
Biogeochemistry 47:219-238.
7. Kononova, M.M. 1966. Soil Organic Matter, its Nature, its Role in Soil
Formation and Soil Fertility. Edisi ke 2. Pergamon Press, London. 544 pp.
8. Kumada, K. 1987. Chemistry of Soil Organic Matter. J apan Sci. Soc. Press,
Tokyo. 241 pp.
9. Linn, W.C., W.E. Mickinzi, and R.B. Grossman. 1974. Field laboratory test
for characterization of histosols. In A.R. Aandahl, S.W. Boul, D.E. Hill, H.H.
Bailey, M. Stelly, and R.C. Dinaues (eds.), Histosols: Their Characteristics,
Classification, and Use. Soil Sci. Soc. Am. Special Publ. 6. Madison,
Wisconsin. p:1112.
Prosiding PPI Standardisasi 2010 J akarta, 11 November 2010

11
10. Malterer, T.J ., E.S. Verry, and J . Erjavec. 1992. Fiber content and degree of
decomposition in peats: a review of national methods. Soil Sci. Soc. Am. J.
56:1200-1211.
11. Rigney, J .A. 1956. Sampling soils for composition studies. Proc. Am. Soc.
Hort. Sci. 68:569-575.
12. Rivero, C., T. Chirenje, L.Q. Ma, and G. Martinez. 2004. Influence of
compost on soil organic matter quality under tropical conditions. Geoderma
123:355-361.
13. Sabbe, W.E. and D.B. Marx. 1987. Soil sampling: spatial and temporal
variability. In J .R. Brown (ed.), Soil Testing: Sampling, Correlation,
Calibration, and Interpretation. SSSA Special Publication No.21. SSSA Inc.,
Madison, Wisconsin, USA. p:1-14.
14. Sapek, B., and A. Sapek. 1987. Changes in the properties of humus
substances and the sorption complex in reclaimed peat soils. International
Peat Journal 2:99-117.
15. Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy, a Basic System of Soil Classification
for Making and Interpreting Soil Survey. Agricultural Handbook No. 36. US
Government Printing Offices. Washington DC. 754 pp.
16. Stevenson, F.J . 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, and
Reaction. Edisi ke 2. J ohn Wiley & Sons, Inc. New York. 496 pp.
17. Yonebayashi, K., M. Okazaki, K. Kyuma, Y. Takai, A.B. Zahari, P. J iraval,
and V. Pisoot. 1992. Chemical decomposition of tropical peat. In B.Y.
Aminuddin, S.L. Tan, B. Aziz, J . Samy, Z. Salmah, H. Siti Petimah, and S.T.
Choo (eds.), Tropical Peat. Proceedings of the International Symposium on
Tropical Peatland. MARDI. Malaysia. p:158-168.
18. Zech, W., N. Senesi, G. Guggenberger, K. Kaiser, J . Lehmann, T.M. Miano,
A. Miltner, and G. Schroth. 1997. Factors controlling humification and
mineralization of soil organic matter in the tropics. Geoderma 79:117-161.

Anda mungkin juga menyukai