Anda di halaman 1dari 172

0

i

Master of Economic Sciences
PROCEEDINGS
Volume 2, Nomor 1





Population and Human Resources Development

National Conference
Bandung, April 24 and 25
th
, 2013












Hak Cipta 2013 pada Departemen Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan UNPAD Press
Disusun oleh : Tim Ahli National Conference 2013
Editor : Tim Ahli National Conference 2013
Desain Sampul : Tim Ahli National Conference 2013
ISBN 9786029238457






Dilarang keras mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi karya ilmiah ini
serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan
UNPAD Press.

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG
ii

Ketentuan Umum Proceedings
Setiap penulis mematuhi izin publikasi yang bertanggungjawab atas informasi dalam
manuskrip masing-masing. Pihak penerbit berhak menyunting dan mengedit setiap tulisan
yang masuk, tanpa mengurangi maksud dan tujuan tulisan. Semua informasi dalam karya
ilmiah ini tidak mencerminkan kebijakan resmi Departemen Magister Ilmu Ekonomi
UNPAD. Setiap naskah yang diterbitkan berada dalam wewenang Departemen Magister Ilmu
Ekonomi UNPAD, dan tidak untuk dimuat di lembaga manapun. Hak milik tetap berada di
tangan penulisnya.


















Master of Economic Sciences Proceedings adalah kumpulan karya ilmiah hasil konferensi
nasional tahunan yang diadakan oleh Departemen Magister Ilmu Ekonomi Universitas
Padjadjaran (UNPAD). Diterbitkan atas kerjasama Magister Ilmu Ekonomi UNPAD dan
UNPAD Press. Beralamat di Jl. Cimandiri No. 6 8 Bandung. Bagi pihak yang tertarik atau
hendak berkomunikasi terkait Proceedings bisa menghubungi: Telepon (022) 4267779,
Faximile (022) 4267780 atau email: mie@fe.unpad.ac.id. Website: http://mie.fe.unpad.ac.id.
iii
DAFTAR ISI
Lembar Judul i
Ketentuan Umum Proceedings ii
Daftar isi iii
1. Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi 1
Abdul Holik

2. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pengangguran 20
Abdul Holik dan Aisyah Rosadi

3. Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan 35
Galuh Tresna Murti, Aurora Angela dan Ernie Soedarwati

4. Monitoring dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit Serta Dampaknya terhadap Prioritas
Pelayanan Rumah Sakit 48
Herny Nurhayati, Reinhard Chrismantsa dan Mawar Novita Yulianty

5. Analysis Of High Education Labor to GDP in Indonesia Analisis Tenaga Kerja
Berpendidikan Terhadap GDP di Indonesia 64
Ahmad Kafrawi Mahmud dan Galyn Ditya Manggala

6. Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Bank BUMN yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia Tahun 2005-2012 71
Galuh Tresna Murti dan Rakhmini Juwita

7. Pengaruh Fraud risk factors terhadap pendeteksian kemungkinan Fraudulent financial
statement 85
Annisa Nurbaiti dan Heikal Muhammad Zakaria

8. Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat 94
Gallyn Ditya Manggala dan Ahmad Kafrawi Mahmud

9. Peranan Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi Terhadap Implementasi
Sistem Informasi Akuntansi Manajemen 102
Muhammad Syaifullah

10. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi 119
Dahlia, Aditya Amanda Pane dan Marissa Putriana

11. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap
Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik serta dampaknya terhadap Good
Governance 134
Eka Nurmala Sari

12. Pro dan Kontra Pertumbuhan Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 154
Dian Lestari Siregar, Reti Anggraeini dan Retno Andrini

13. Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 163
Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, dan Jacobus Cliff Diky Rijoly
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
1

Analisis Hubungan Populasi, Pola Konsumsi, dan Pertumbuhan Ekonomi

Abdul Holik

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Abstract
This research aims to find the fundamental relation between population growth, economic
growth and consumption growth in Indonesia, from 1990 2011. It uses VECM (Vector
Error Correction Model) to find the dynamic relation among them and co-integration in the
long-run. This research uses variables such as GDP, population growth, and household final
consumption expenditure per capita. Data taken from WDI and ADB. Based on the analysis,
the result shows that economic growth (GDP) was supported positively by household final
consumption per capita (HFC) and population growth in the long-run. Meanwhile in the
short-run, economic growth can also be supported by population growth and HFC. However,
neither population growth nor HFC were affected by economic growth. This finding reflects
that consumption is still largest part of Indonesias GDP performance.

Keywords: population, economic growth, social welfare, food security.
Pendahuluan
Setiap tahun, jumlah penduduk Indonesia bertambah terus. Pada tahun 2010, jumlah
penduduk Indonesia berjumlah 237,641,326 jiwa. Persentase laju pertumbuhan penduduk saat
itu mencapai 1,49 persen per tahun. Sehingga jika diasumsikan tetap, maka pada setiap
tahunnya akan terjadi kenaikan penduduk sebesar 3,5 juta jiwa. Secara garis besar, dapat kita
lihat jumlah penduduk pada tabel di bawah ini:

1971 1980 1990 1995 2000 2010
119,208,229 147,490,298 179,378,946 194,754,808 206,264,595 237,641,326

Sumber: BPS

Namun masalah muncul, karena jumlah penduduk yang banyak itu tidak sebanding
dengan tingkat kesejahteraan sosial di masyarakat. Orang miskin di Indonesia masih banyak,
meskipun disinyalir mengalami penurunan. Ukuran pengeluaran yang menjadi tolok ukur
garis kemiskinan di Indonesia hanya berubah sedikit. Berikut bagannya menurut data BPS:

Garis Kemiskinan, Jumlah, dan Persentase Penduduk Miskin
Menurut Daerah, Maret 2011Maret 2012

Garis
Kemiskinan
per kapita/
Rp/ Bulan
Daerah/ Tahun Makanan
Bukan
Makanan Total
Jumlah Penduduk
Miskin
Persentase
Penduduk Miskin
Perkotaan
Maret 2011 177 342 75 674 253 016 11,05 9,23
Maret 2012 187 194 80 213 267 408 10,65 8,78
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
2


BPS menyebut seseorang disebut miskin jika pengeluarannya dalam sebulan tidak
melebihi Rp233.740,- per kapita per bulan pada Maret 2011. Kemudian sejak Maret 2012
ukuran itu naik menjadi Rp248.707,- per kapita per bulan (BPS, 2012: 64). Di sini kendati
ukuran tingkat kemiskinan meningkat, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar. Kemiskinan
terus menjadi kendala bagi pembangunan Indonesia. Orang miskin yang tidak bisa memenuhi
kehidupan layak, menjadi beban pembangunan. Nilai batas kemiskinan itu lebih rendah dari
ketetapan Bank Dunia, yakni: US$2 per hari. Padahal, PDB per-kapita Indonesia terus naik:

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
6,775 6,918 7,123 7,353 7,610 7,924 8,237 8,631 9,015 9,294 9,736 10,219
Sumber: BPS (Data PDB Skala 1000)

Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan dalam menahan laju pertumbuhan penduduk,
mengingat sebaran penduduk dan ketidaksetaraan pendapatan mereka cukup besar terjadi di
berbagai daerah di Indonesia. Prof. Widjodjo Nitisastroekonom yang melakukan
transformasi perekonomian Indonesia pasca jatuhnya Soekarnosempat mengingatkan
Presiden Sekarno bahayanya ledakan penduduk. Namun Soekarno tidak peduli peringatan
tersebut, karena baginya Indonesia membutuhkan jumlah penduduk yang besar sebagai
modal kemandirian bangsa dalam bekerja. Soekarno saat itu melihat jumlah penduduk
Indonesia yang besar sebagai asset yang suatu saat bisa diberdayakan.
Berbeda dengan Soekarno, Presiden Soeharto menerima saran Nitisastro dan
memberlakukan program KB (Keluarga Berencana). Program ini berhasil menahan laju
pertumbuhan penduduk, sehingga rencana pembangunan bisa fokus pada upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, alih-alih sekedar meningkatkan kuantitas
populasi. Nitisastro dan kelompoknya yang disebut mafia Berkeleypara ekonom lulusan
Berkeley Universitymemperkuat basis perekonomian Orde Baru, bahkan pengaruhnya
masih terasa sampai Kabinet Pembangunan V (Mudrajad Kuncoro, 2007: 86).

Kajian Pustaka
Dalam konteks kajian ekonomi makro, para ekonom umumnya sepakat apabila
jumlah penduduk terlalu besar, akibatnya pertumbuhan perekonomian berjalan lamban.
Akibatnya adalah peningkatan kemiskinan dan kelaparan. Food security menjadi amat
krusial. Dalam buku, Population Bomb, terbit 1968, Paul R. Ehrlich meramalkan akan adanya
bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dunia. Bencana itu disebabkan
ketersediaan pangan yang semakin tidak bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia di muka
bumi. Ramalan ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan Thomas Malthus dalam
bukunya, An Essay of Principle of Population, terbit tahun 1798. Bagi Malthus, manusia
bertambah sejalan dengan deret ukur (geometri), sedangkan kebutuhan pangan bertambah
sejalan dengan deret hitung (aritmetika).
Kekhawatiran akan munculnya kelaparan dan kemiskinan, serta kekacauan sosial
tidak bisa dipungkiri telah menjadi kenyataan. India pada era 1960-an mengalami kekacauan,
berupa kemiskinan dan kelaparan besar-besaran. Pemerintah negara itu tidak bisa memenuhi
kebutuhan pangan warganya yang jumlahnya sangat besar. Kondisi yang hampir sama juga
Pedesaaan
Maret 2011 165 211 48 184 213 395 18,97 15,72
Maret 2012 177 521 51 705 229 226 18,48 15,12
Kota + Desa
Maret 2011 171 834 61 906 233 740 30,02 12,49
Maret 2012 182 796 65 910 248 707 29,13 11,96
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
3

terjadi di Pakistantetangga India (pada waktu itu Bangladesh belum ada). Akibat
kelangkaan bahan pangan, perang India-Pakistan tidak terhindarkan. Perang memperebutkan
sumber makanan pokok berlangsung selama bertahun-tahun, dan semakin memperburuk
suasana. Sampai di sini, ramalan kekacauan sosial akibat ledakan penduduk memang terbukti.
Untuk mengatasi penduduknya yang amat besar, Deng Xiaoping pada 1979 berupaya
melakukan reformasi perekonomian di antaranya dengan pembatasan jumlah kelahiran.
Kebijakan ini merupakan adopsi pandangan Neo-Malthusian, yang mengajukan rumusan
keterbatasan sumber daya alam tidak sebanding dengan pertambahan penduduk. Cina
menerapkan kebijakan satu keluarga satu anak khusus pada suku Hansuku mayoritas
Cinabukan pada suku minoritas (Hongbin Li & Junsen Zhang, 2007: 110). Kebijakan itu
nampaknya berhasil mendorong perekonomian Cina tumbuh dengan amat cepat.
Namun dalam wacana ekonomi makro pada decade 1950-an, sebagian para teoretis
nampaknya cukup optimis dengan kondisi jumlah populasi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Solow telah mengingatkan bahwa jumlah populasi yang besar dalam sebuah perekonomian
dapat menjadi beban dalam jangka panjang, meskipun ditopang dengan simpanan cukup
besar. Terlebih jika populasi itu hanya berisi kelompok masyarakat tidak terdidik. Tetapi
Solow merasa yakin bahwa dengan peran ilmu dan teknologi, populasi tidak lagi menjadi
beban. Ilmu dan teknologi yang terus berkembang dalam suatu masyarakat dapat
memberdayakan populasi yang besar itu, sehingga bisa mendorong perekonomian, dan
melaju pesat sampai Kaidah Emas (golden rule) (N. Gregory Mankiw, 2003: 205).
Sayangnya Solow tidak menjelaskan determinan teknologi secara detail. Solow dan
para ekonom yang sependapat dengannyaseperti kritik Romermenganggap teknologi di
negara berkembang sama dengan kondisi teknologi di negara maju (Romer, 1994: 6).
Teknologi dianggap sebagai variabel eksogen. Paul Romer dan para ekonom setelahnya
menawarkan gagasan yang lebih maju dengan menjadikan teknologi sebagai variabel
endogen. Ia menilai bahwa ketika perkembangan teknologi dapat dikendalikan dan diukur,
melalui investasi dan sepenuhnya didukung oleh jumlah pekerja yang banyak, maka
pertumbuhan populasi bisa sangat efektif dalam mendorong perekonomian (Romer, 2012:
110). Tapi, populasi saja tanpa teknologi tidak cukup mendorong pertumbuhan (Romer,
1990: S71). Secara sederhana, model pertumbuhan ekonomi Romer didefinisikan menjadi:

net output; perubahan level teknologi; stok modal (Romer, 2012: 123).
Masalah krusial karena pertumbuhan populasi yang teramat besar adalah kelangkaan
sumber daya alam, terutama ketahanan pangan. Misalnya kasus kelaparan di India yang
memicu peperangan dengan Pakistan. Namun, kondisi mengerikan itu berakhir ketika di
akhir dekade 1960-an muncul Norman Bourlagtokoh yang menggagas Revolusi Hijau.
Green Revolution yang dimunculkan Norman berhasil menciptakan benih bahan pangan yang
kuat dan tahan uji pada berbagai kondisi. Pencapaian dan temuan Bourlag sebenarnya sudah
dimulai di Meksiko, saat negara itu terkena wabah kelaparan. Karena usahanya mewujudkan
India sebagai negara swasembada pangan dan mengakhiri perang, Bourlag kemudian
dianugerahkan hadiah Nobel Perdamaian. Ketika kebutuhan pangan terpenuhi, perang India-
Pakistan akhirnya usai (Rizal Mallarangeng, 2008: 260264). Kendati pertumbuhan
perekonomian suatu negara perlu ditopang dengan populasi yang besar, tetapi jumlah
populasi itu bisa menjadi beban, ketika inovasi teknologi sebagai elemen penting kemajuan
masyarakat berjalan lamban atau malah stagnan.
Romer melihat output per pekerja adalah sama dengan perkembangan teknologi atau
. Laju perkembangan disimbolkan dengan

. Fungsi produksi untuk pengetahuan baru


adalah:

() (

())

()

. Di mana adalah parameter pengubah;

fraksi
dari labor force yang dicurahkan untuk pengembangan pengetahuan; , dan adalah
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
4

parameter yang merefleksikan stok pengetahuan dalam kesuksesan R&D. Dalam persamaan
tersebut asumsi kita mengikuti Cobb-Douglas. Romer mendefinisikan

menjadi:

()

()
()

()

()


Dalam kelanjutannya, Romer melihat stok pengetahuan sebagai hal yang penting
agar pertumbuhan berjalan optimal. Ketika stok lebih kecil dari 1, peran perubahan teknologi
akan menjadi nol dan tidak bisa untuk mendorong pertumbuhan. Gambarnya seperti kurva di
bawah ini:


Pada kurva di atas,

adalah fungsi dari perkembangan . Pada awalnya output per pekerja


bertambah seiring dengan naiknya teknologi. Namun dalam jangka panjang teknologi akan
menurun, sehingga

sama dengan

yakni kondisi puncak kualitas output yang sama


dengan nol. Selebihnya, jika labor force ditambah, maka yang terjadi adalah output tidak bisa
bertambah, bahkan bertambahnya labor force justru mengembalikan titik jumlah output pada
kondisi sebelum ditambahnya labor force. Contoh ini termasuk kondisi ketika populasi
berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ilustrasinya seperti kurva di
bawah ini:

Di sisi lain Romer mengingatkan kondisi ketika Pada kondisi ini, pengetahuan
tambahan ternyata bisa mendorong pertumbuhan secara drastis. Bahkan pertumbuhan pada
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
5

titik ini tidak menunjukkan balanced-growth, tetapi fantastis luar biasa. Pengetahuan amat
berguna dalam mendongkrak output. Pertambahan labor force dalam R&D akan semakin
menaikkan pertumbuhan ekonomi. Di sini terlihat peran pentingnya populasi yang
berkontribusi secara positif terhadap pembangunan perekonomian. Kurvanya seperti di
bawah ini:

Dalam ulasan selanjutnya, Romer melihat perubahan teknologi cukup proporsional
dengan stok yang ada atau . Tampaknya teknologi yang ada cukup produktif dalam
menghasilkan teknologi baru dan akhirnya mendorong perekonomian terus meningkat.
Situasi ini mirip ketika . Tetapi dalam kasus ini, populasi bernilai positif. Jika populasi
nol, justru pertumbuhan konstan, mengingat tidak ada orang yang mencurahkan dirinya
dalam pengembangan teknologi baru (Romer, 2012: 109). Pada kasus ini kita dapat
mendefinisikan

()

()

dan

()

(). Artinya, perubahan

dan saving
rate bisa mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang. Dalam hal ini, pertumbuhan disebut
linear growth model, yang juga dinamai model ; teori dasar endogenous growth.
Tentunya para pengambil kebijakan ekonomi perlu berhati-hati melihat pertumbuhan
populasi dan ekonomi, agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat. Hal ini terutama
menyangkut pola konsumsi yang memuaskan kebutuhan mereka. Dalam kasus ini menarik
jika kita menyimak gagasan pembagian pola konsumsi menurut beberapa ekonom.
Secara umum kita batasi dua pola konsumsi, yakni konsumsi di bawah pendapatan
permanen dan konsumsi di bawah pendapatan tidak pasti. Dalam dua isu tersebut, Friedman
melampaui John M. Keynes yang melihat konsumsi individu dalam jangka pendek. Bagi
Keynes, konsumsi ditentukan oleh disposable income, atau pendapatan yang sudah dikurangi
pajak. Semakin besar pendapatan seseorang, semakin tinggi pola konsumsinya. Bagi Keynes,
kecenderungan rata-rata orang mengonsumsi (Average Propensity to Consume) turun ketika
pendapatan naik. Hal ini karena orang kaya lebih banyak menabung, sedikit mengalokasikan
uangnya untuk konsumsi daripada mereka yang miskin. Meskipun ia menganggap pengaruh
suku bunga terhadap konsumsi sebatas teori. Secara matematis kita tulis:


konsumsi;

konstanta; disposable income ; kecenderungan marjinal


Keynes tidak melihat individu akan menahan utilitasnya tetap sama sepanjang hidup,
karena itu fluktuasi konsumsi dimungkinkan adanya.
Bagi Friedman seseorang akan mengonsumsi sepanjang hidupnya secara sama dan
tanpa penurunan. Utilitas sepanjang hidup sejak usia kerja dan mendapat penghasilan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
6

diasumsikan tetap. Pendapatan berlebih menjadi akumulasi kekayaan. Model persamaannya
adalah:

) Seorang menyesuaikan konsumsinya dengan pertimbangan,


konsumsi tidak melebihi kekayaan awalnya dan pendapatannya ketika kerja:


Mengingat marjinal utilitas dari konsumsi selalu positif, maka seorang individu akan
menyesuaikan budget constraint-nya secara sama. Dalam masa sepanjang hidup, individu
akan memaksimalkan utilitasnya dalam model persamaan di bawah ini:
(

) (


First order condition of

) . Dari persamaan di atas, kita dapat menyimpulkan


bahwa marjinal utilitas individu itu selalu konstan atau tetap. Level konsumsi menentukan
utilitas marjinalnya, sehingga pola konsumsi individu itu selalu konstan sepanjang masanya.
Dengan demikian, konsumsi pada periode saat ini sama dengan waktu mendatang:

. Dengan mensubstitusikan budget constraint di atas, maka didapat:

) untuk semua (periode masa hidup). Ini konsumsi berpendapatan


tetap setiap periodenya (Romer, 2012: 372 373). Sedangkan konsumsi pada pendapatan
tidak tetapseperti digagas Robert Hallmengikuti ekspektasi rasional sebagai berikut:
[] [(

]
Di sini kita asumsikan bahwa suku bunga dan diskonto bernila nol. Individu menghadapi
ketidakpastian pendapatan. Tapi ia harus memaksimalkan utilitasnya. Kekayaannya untuk
konsumsi adalah rangkaian marjinal utilitas yang selalu bernilai positif. Budget constraint
didefinisikan menjadi:

artinya individu dalam kondisi ketidakpastian


pendapatan akan mempertimbangkan pola konsumsinya tidak lebih banyak dari kekayaan
awal yang ia miliki dan pendapatannya. Dengan demikian, ia akan menyesuaikan
konsumsinya sepanjang waktu dengan dana yang ada. Harapannya menjadi:

, dari sini kita dapat melihat konsumsi individu pada periode satu sebesar:

] . Individu akan terus berupaya agar utilitas sepanjang hidupnya tidak


turun. Maka harapan dalam konsumsi periode ke-2, dapat dilihat sebagai berikut:

)
Diketahui

. Kita bisa masukkan harapan pendapatan pada periode ke-2,


yakni

sebagai harapan kuantitas pendapatan periode ke-1:

ditambah
informasi yang didapat antara periode 1 dan periode 2:

. Maka:

) (

]
Dari pola konsumsi pada periode 1, diketahui bahwa

sama dengan

, sehingga persamaan di atas dapat dibentuk menjadi:


Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
7

)]

)
Dari persamaan di atas, diketahui bahwa perubahan dalam konsumsi antara periode 1 dan
periode 2 sama dengan perubahan dalam perkiraan sumber daya sepanjang hidup dibagi
jumlah periode masa hidup yang tersedia. Dari sini didapat bahwa pola konsumsi tidak
mempertimbangkan apakah pendapatannya tetap atau tidak. Ketidakpastian tidak
mempengaruhi pola konsumsi:

)] . Nilai utilitas marjinal konsumsi yang


diharapakan sama dengan utilitas marjinal konsumsi yang diharapkan:

]),
atau sama dengan :

]. Konsumsi saat ini sama dengan harapan konsumsi di masa


depan (Romer, 2012: 372 375).

Penelitian Sebelumnya

No Nama Judul Thn Masalah Metodologi Temuan
1 Tim
Hazledine
& R. Scott
Moreland
Population &
Economic Growth: A
World Cross-Section
Study
1977 Asumsi The
Neo-Malthusian:
low-level
equilibrium trap
OLS Ledakan
populasi
memperburuk
perekonomian
2 Hongbin
Li &
Junsen
Zhang
Do High Birth Rates
Hamper Economic
Growth?
2007 Pemberlakuan
satu anak pada
suku Han di
Cina
Panel & IV-
Method
Kelahiran tinggi
perekonomian
turun.
3 Paul
Beaudry,
Fabrice
Collard &
David A.
Green
Demographics &
Recent Productivity
Performance: Insights
from Cross-Country
Comparisons
2005 Perkembangan
teknologi dan
institusi dalam
mengintensifkan
pekerja dan
pengaruhnya
pada populasi
OLS & IV-
Method
Perkembangan
teknologi
menaikkan
performa
pekerja, sejalan
dengan naiknya
populasi
4 David E.
Bloom,
Jeffrey D.
Sachs,
Paul
Collier &
C. Udry
Geography,
Demography &
Economic Growth in
Africa
1998 Kemiskinan dan
pertumbuhan
yang lamban
ditopang oleh
iklim tropis,
populasi dan
institusi sosial
yang lemah
Panel &
GMM
system
estimation
Afrika jauh dari
terknologi.
Iklim, geografi,
populasi,
penyakit,
penyebab utama
lemahnya
ekonomi.
Lemahnya
institusi sebab
berikutnya
5 Jonathan
A. Parker
& Bruce
Preston
Precautionary Saving
& Consumption
Fluctuation
2005 Pola konsumsi
ditentukan
kekayaan
sekarang, bunga,
informasi, &
pendapatan
GMM
system
estimation
Ketidaksempurn
aan pasar
mempengaruhi
fluktuasi
konsumsi dan
simpanan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
8

Metodologi
Penelitian ini menggunakan data WDI (World Development Indicator) of World
Bank, dan ADB (Asian Development Bank) dari tahun 1990 sampai 2011. Data diambil pada
tahun 2012. Terdiri dari PDB (dari ADB), population growth, dan household final
consumption growth per capita (dari WDI). Metode analisisnya adalah VECM (Vector Error
Correction Model). Hal ini karena pada mulanya yang hendak dicari dari penelitian ini adalah
hubungan dinamis jangka pendek antar variabel, dan respon variasi antar variabel di masa
depan. Tapi setelah dilakukan test cointegration, ternyata didapat hubungan jangka panjang,
sehingga VECM lebih dipilih dalam proses analisis.
Melalui metode VECM, hubungan dinamis antar variabel dalam jangka pendek, juga
jangka panjang, pengaruh suatu shock dari masing-masing variabel yang diamati dapat
ditemukan. Modelnya terdiri dari tiga bentuk:

1)


2)


3)



Dimana





Sebelum menjalankan regresi, dilakukan beberapa pengujian berikut: Uji stasioneritas.
Pengujian ini dilakukan agar data yang diteliti tidak mengandung unit root, yang dapat
menyebabkan spurious regression. Data yang dianalisis stasioner pada first difference.
Tabelnya lihat di lampiran.
Lag pada analisis disesuaikan menurut penilaian AIC dan SIC agar tidak
menghabiskan degree of freedom dan tidak ada bias spesification. Kemudian dilakukan uji
kointegrasi melalui pendekatan Sren Johansen, untuk kelayakan VECM. Hasilnya lihat di
lampiran. Dari tabel analisis diketahui terdapat 1 hubungan kointegrasi pada model. Dengan
begitu, VECM adalah metode yang layak dalam menganalisis.

Hasil dan Pembahasan
1. Analisis VECM
Dari hasil perhitungan, diketahui R
2
dan adj-R
2
menandakan angka yang cukup besar,
secara berturut-turut yakni: 90% dan 88%. Dalam jangka panjang variabel populasi dan HFC
mempengaruhi variabel PDB dengan nilai t-statistik yang cukup signifikan. Artinya ketika
terjadi kenaikan populasi sebesar 1% akan menaikkan PDB sebesar 32.2%. Begitu juga jika
terjadi kenaikan pada konsumsi sebesar 1%, akan menyebabkan 2.2% kenaikan PDB. Ini
adalah bukti di Indonesia PDB masih cukup besar ditopang sisi konsumsi, dan besarnya
populasi yang menentukan itu semua. Untuk lebih jelasnya, hasil regresi lihat di lampiran.
Di Indonesia sektor konsumsi masih menduduki porsi yang besar dalam total Produk
Domestik Bruto, sedangkan sektor investasi relatif rendah. Berikut data yang dirilis ADB:

Tahun 1994 1999 2008 2010 2011
Porsi Konsumsi/ PDB 59,7 73,9 60,6 56,7 54,6
Investasi/ PDB 31,1 11,4 27,8 32,5 32,8
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
9

Dalam analisis jangka pendek, diketahui terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan
kointegrasi: pada variabel PDB sebesar -1.6%, sedangkan pada HFC dan variabel Population
tidak signifikan. Lihat tabel di lampiran.
Pada hasil perhitungan VECM, dalam jangka pendek PDB ditentukan secara positif
oleh HFC dan populasi, secara berturt-turut sebesar: 6% dan 55.8%. Hal ini wajar, terutama
jika kita melihat sektor konsumsi yang menjadi penopang PDB selama bertahun-tahun.
Bahkan populasi yang besar sama sekali tidak berdampak buruk pada perekonomian. Kasus
yang menarik jika dibandingkan dengan di beberapa negara. Kesuksesan program-program
pembangunan di era 1990-an telah menghasilkan kelompok terdidik yang saat ini sedang
berada pada usia produktif. Sehingga sebagaimana yang diyakini ekonom endogenous
growth, jika populasi yang besar ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih besar,
populasi bisa sangat efektif mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi.
Namun, baik pertumbuhan populasi maupun HFC sama sekali tidak dipengaruhi PDB.
Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, konsumsi tidak mempengaruhi populasi. Artinya
semakin tinggi konsumsi seseorang, tidak lantas menjadikannya memiliki keluarga yang
banyak. Malah justru yang terjadi sebaliknya, orang yang berpenghasilan tinggi dengan pola
konsumsi yang tinggi pula, lebih memilih anak yang sedikit. Inilah fenomena modernitas.
2. Analisis Granger Causality
Dari hasil hitung, null hypotheses of Population growth dan HFC does not granger
cause PDB tak dapat diterima, karena p-value keduanya tidak lebih dari 5%. Sebaliknya, null
hypotheses of PDB and HFC does not granger cause Population growth dapat diterima,
karena p-value menandakan lebih dari 5%. Juga null hypotheses of PDB and Population
growth does not granger cause HFC dapat diterima, karena p-value melebihi 5%. Hal ini
sesuai dengan kenyataan bahwa PDB Indonesia didukung penuh pola konsumsi yang tinggi,
dengan populasi yang besar. Tapi tidak sebaliknya. Keterangan lengkap lihat di lampiran.
3. Analisis Impulse Response
Dari hasil analisis Impulse Response, pada tabel pertama diketahui bahwa goncangan
variabel pertumbuhan PDB berdampak pada PDB 0.147420 SSD (Satuan Standar Deviasi) di
periode 1. Lalu nilainya menjadi mengecil, bahkan negatif dan terus berfluktuasi sampai
periode ke-10. Pengaruh goncangan pertumbuhan populasi terhadap PDB adalah 0 pada
periode ke-1. Lalu goncangan itu menjadi negatif sampai periode ke-10. Hal ini menandakan
dalam jangka panjang ke depan, populasi tak lagi menjadi anugerah pada perekonomian.
Justru yang terjadi adalah hambatan. Peran kelompok usia produktif saat ini, dalam tempo
beberapa tahun ke depan semakin berkurang, dan akhirnya menjadi minus. Goncangan HFC
terhadap PDB adalah 0 di periode ke-1. Lalu menjadi negatif, dan berfluktuasi sampai
periode ke-10. Hal ini menandakan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus meningkat,
sehingga dalam tahun-tahun ke depan beban ekonomi menjadi semakin tinggi.
Pada tabel kedua, terlihat guncangan PDB bernilai positif dan terus berfluktuasi
mempengaruhi Populasi sampai periode ke-10. Perekonomian yang baik, bisa berdampak
positif pada jumlah populasi. Terlihat juga pada tabel ke-3, guncangan PDB kembali
berdampak positif terhadap HFC, meskipun nilainya tidak lebih besar dari HFC sendiri.
4. Analisis Variance Decomposition
Dalam analisis ini, informasi hubungan dinamis jangka panjang antar variabel dan
seberapa besar pengaruh acak guncangan masing-masing variabel terhadap variabel endogen
dapat ditemukan. Pada tabel pertama, PDB ternyata di periode ke-1 lebih banyak dipengaruhi
oleh PDB sendiri sebesar 100% lalu periode ke-2 sebesar 71.85%, nilainya kemudian turun
dan berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian diikuti HFC, dan Populasi dengan nilai
yang berfluktuasi. Hanya sampai periode ke-10, populas menjadi lebih dominan. Pada tabel
kedua dan ketiga, populasi lebih banyak dipengaruhi variabel populasi, dan HFC lebih
banyak dipengaruhi HFC, dengan nilai yang berfluktuasi sampai periode ke-10. Kemudian
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
10

disusul PDB pada posisi kedua yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Sedangkan
antara variabel HFC dan populasi kurang begitu kuat pengaruhnya. Keterangan selengkapnya
bisa dilihat di lampiran.
5. Uji Asumsi Klasik
Hasil analisis dalam penelitian ini, sudah melewati pelbagai pengujian, termasuk tak
ada satu pun asumsi klasik yang dilanggar. Data sudah terdistribusi secara normal, tidak
terdapat autokorelasi, juga tidak terjadi multikolineraritas, serta tak ada heteroskedastisitas.
Untuk lebih detail lihat di lampiran.

Solusi Mengatasi Ledakan dan Pemerataan Penduduk di Indonesia

Kondisi pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan.
Pemerintah harus segera melancarkan langkah-langkah strategis menanganinya. Beberapa
kiat berikut perlu disimak, sebagai solusi ledakan penduduk yang kurang terkontrol:
1) Menerapkan kembali program Keluarga Berencana (KB) secara intensif di tengah-
tengah masyarakat. Kebijakan ini juga harus ditopang pada peningkatan kualitas anak,
melalui penyuluhan kesehatan bayi, ibu hamil dan pembinaan menyeluruh kepada
masyarakat.
2) Kembali menggalakkan program transmigrasi antar pulau di Nusantara. Pemerintah
mendorong pemerataan penduduk di berbagai wilayah Indonesia yang luas, dengan
perpindahan secara terorganisir, dengan pembekalan dan pembinaan secara teratur.
Saat ini masih banyak tanah-tanah Indonesia yang belum terjamah tangan-tangan
manusia, tetapi memiliki potensi yang belum diberdayakan. Sehingga pemerataan
penduduk di berbagai wilayah menjadi cukup urgen.
3) Pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Pemerataan ini diperlukan
agar pembangunan tidak terkonsentrasi di Pulau Jawa, tetapi ke berbagai daerah
lainnya.
4) Peningkatan pelayanan kesehatan publik bagi ibu hamil dan bayi. Saat ini kondisi
kesehatan wanita hamil masih cukup mengkhawatirkan. Misalnya, di desa
Bangsalrejo banyak wanita hamil terkena gondok, padahal desa itu wilayah ladang
garam (http://m.detik.com). Ketika persoalan kebutuhan dasar semacam ini belum
selesai, maka prestasi pembangunan ekonomi di Indonesia harus dipertanyakan.

Penutup
Pertumbuhan penduduk tidak menjadi masalah jika ditopang sumber daya manusia
yang lebih baik. Sehingga populasi yang besar dan produktif akhirnya bisa menjadi
pendorong pembangunan secara berkelanjutan. Tapi jika kemajuan ilmu pengetahuan kalah
cepat dibandingkan pertambahan penduduk, yang terjadi justru munculnya masalah
kemanusiaan seperti kelaparan dan peperangan. Hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan
konsumsi masyarakat, akibat pertambahan anggota keluarga tidak sebanding dengan
penghasilan.
Pertumbuhan populasi yang besar di Indonesia disebabkan pertumbuhan ekonomi
yang lebih baik. Kendati hasil penelitian menemukan pertumbuhan populasi berperan besar
mendorong perekonomian, namun dalam prediksi di masa mendatang pertumbuhan populasi
justru berdampak negatif terhadap pembangunan. Pasalnya, tingginya perekonomian
Indonesia ternyata ditopang oleh sisi konsumsi yang menandakan masyarakat lebih konsumtif
alih-alih memperbesar sektor lain sebagai penopang perekonomian. Temuan ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ekonom sebelumnya. Ledakan jumlah
penduduk itu akan berdampak buruk pada pembangunan. Yang didapat dari penelitian ini
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
11

adalah pola konsumsi masyarakat Indonesia berfluktuasi, tidak konstan sepanjang waktu.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih
mengikuti gagasan Keynes, dan bukan Friedman atau R. Hall. Yang juga harus disimak di
sini adalah soal pembatasan angka kelahiran, untuk menstabilkan perekonomian dalam
jangka panjang, agar persoalan kemanusiaan yang sering diramalkan ekonom klasik tidak
pernah terjadi.

Daftar Pustaka
BPS, Data Strategis, Jakarta: BPS, 2012.
Beaudry, Paul, Fabrice Collard & David A. Green, (2005), Demographics & Recent
Productivity Performance: Insights from Cross-Country Comparisons,
The Canadian Journal of Economics, Vol. 38, No. 2, 309 344.
Bloom, David E., Jeffrey D. Sachs, Paul Collier & C. Udry, (1998), Geography, Demography &
Economic Growth in Africa, Brooking Papers in Economic Activity, Vol.
1998, No. 2, 207 295.
Hazledine, Tim & R. Scott Moreland, (1977), Population & Economic Growth: A World
Cross-Section Study, The Review of Economics and Statistics, Vol. 59,
No. 3, 253 263.
Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?,
Yogyakarta: Andi, 2007.
Li, Hongbin & Junsen Zhang, (2007), Do High Birth Rates Hamper Economic Growth?,
The Review of Economics and Statistics, Vol. 89, No. 1, 110 117.
Mallarangeng, Rizal, (2008) Dari Langit, Gramedia: Jakarta.
Mankiw, N. Gregory, (2003), Teori Makroekonomi, terj., Jakarta: Erlangga, 2003.
Optimalisasi Peran Penyangga Ketahanan Pangan, Media Indonesia, 13/12/2012.
Parker, Jonathan A., & Bruce Preston, (2005), Precautionary Saving & Consumption
Fluctuation, The American Economic Review, Vol. 95, No. 4, 1119
1143.
Romer, David, (2012), Advanced Macroeconomics, New York: McGraw-Hill.
Romer, Paul, (1986), Increasing Returns and Long-Run Growth, Journal of Political
Economy, Vol. 94, 1002 1037.
----------------, (1990), Endogenous Technological Change, Journal of Political Economy,
Vol. 98, No. 5, part 2, S71 S102.
----------------, (1994), Origins of Endogenous Growth, Journal of Economic Perspectives,
Vol. 8, No. 1, 3 22.
http://m.detik.com/health/read/2012/12/18/082940/2121031/746/ironis-banyak-wanita-
hamil-kena-gondok-di-ladang-garam-desa-desa-bangsalrejo






Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
12

Lampiran
Uji Stasioneritas (Data belum Stasioner)
Null Hypothesis: PDB has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.008244 0.9476
Test critical values: 1% level -3.788030
5% level -3.012363
10% level -2.646119
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PDB)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:09
Sample (adjusted): 1991 2011
Included observations: 21 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PDB(-1) -0.000525 0.063659 -0.008244 0.9935
C 105.3426 85.12386 1.237521 0.2310
R-squared 0.000004 Mean dependent var 104.7619
Adjusted R-squared -0.052628 S.D. dependent var 213.5194
S.E. of regression 219.0659 Akaike info criterion 13.70701
Sum squared resid 911807.5 Schwarz criterion 13.80649
Log likelihood -141.9237 Hannan-Quinn criter. 13.72860
F-statistic 6.80E-05 Durbin-Watson stat 2.136122
Prob(F-statistic) 0.993508

Null Hypothesis: HFC has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.551562 0.9844
Test critical values: 1% level -3.788030
5% level -3.012363
10% level -2.646119
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(HFC)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:05
Sample (adjusted): 1991 2011
Included observations: 21 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
HFC(-1) 0.014671 0.026600 0.551562 0.5877
C 3.51E+09 2.87E+09 1.224487 0.2357
R-squared 0.015759 Mean dependent var 5.04E+09
Adjusted R-squared -0.036043 S.D. dependent var 3.32E+09
S.E. of regression 3.38E+09 Akaike info criterion 46.81302
Sum squared resid 2.18E+20 Schwarz criterion 46.91250
Log likelihood -489.5367 Hannan-Quinn criter. 46.83461
F-statistic 0.304220 Durbin-Watson stat 1.801303
Prob(F-statistic) 0.587678

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
13

Null Hypothesis: POP has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.762614 0.9993
Test critical values: 1% level -3.788030
5% level -3.012363
10% level -2.646119
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(POP)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:12
Sample (adjusted): 1991 2011
Included observations: 21 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
POP(-1) 0.020340 0.011540 1.762614 0.0940
C -1.249206 2.396613 -0.521238 0.6082
R-squared 0.140536 Mean dependent var 2.961905
Adjusted R-squared 0.095301 S.D. dependent var 0.911853
S.E. of regression 0.867315 Akaike info criterion 2.643564
Sum squared resid 14.29247 Schwarz criterion 2.743042
Log likelihood -25.75742 Hannan-Quinn criter. 2.665153
F-statistic 3.106809 Durbin-Watson stat 1.663060
Prob(F-statistic) 0.094045

Data sudah Stasioner : 1) PDB
Null Hypothesis: DLPDB has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.604345 0.0018
Test critical values: 1% level -3.808546
5% level -3.020686
10% level -2.650413
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DLPDB)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:11
Sample (adjusted): 1992 2011
Included observations: 20 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DLPDB(-1) -1.082143 0.235026 -4.604345 0.0002
C 0.116467 0.069887 1.666491 0.1129
R-squared 0.540816 Mean dependent var -0.001148
Adjusted R-squared 0.515306 S.D. dependent var 0.417870
S.E. of regression 0.290921 Akaike info criterion 0.463109
Sum squared resid 1.523429 Schwarz criterion 0.562682
Log likelihood -2.631085 Hannan-Quinn criter. 0.482546
F-statistic 21.20000 Durbin-Watson stat 2.033780
Prob(F-statistic) 0.000220

Data sudah Stasioner: 2) HFC
Null Hypothesis: DLHFC has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
14

t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.646429 0.0141
Test critical values: 1% level -3.808546
5% level -3.020686
10% level -2.650413
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DLHFC)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:07
Sample (adjusted): 1992 2011
Included observations: 20 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DLHFC(-1) -0.836020 0.229271 -3.646429 0.0018
C 0.040417 0.014301 2.826229 0.0112
R-squared 0.424855 Mean dependent var -0.001378
Adjusted R-squared 0.392902 S.D. dependent var 0.049085
S.E. of regression 0.038245 Akaike info criterion -3.594970
Sum squared resid 0.026328 Schwarz criterion -3.495397
Log likelihood 37.94970 Hannan-Quinn criter. -3.575532
F-statistic 13.29644 Durbin-Watson stat 2.022031
Prob(F-statistic) 0.001846

Data sudah Stasioner: 3) Populasi
Null Hypothesis: DLPOP has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.588389 0.0159
Test critical values: 1% level -3.808546
5% level -3.020686
10% level -2.650413
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(DLPOP)
Method: Least Squares
Date: 05/11/13 Time: 19:14
Sample (adjusted): 1992 2011
Included observations: 20 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DLPOP(-1) -0.835023 0.232701 -3.588389 0.0021
C 0.011736 0.003391 3.461331 0.0028
R-squared 0.417033 Mean dependent var 5.54E-06
Adjusted R-squared 0.384646 S.D. dependent var 0.005130
S.E. of regression 0.004025 Akaike info criterion -8.098163
Sum squared resid 0.000292 Schwarz criterion -7.998590
Log likelihood 82.98163 Hannan-Quinn criter. -8.078725
F-statistic 12.87654 Durbin-Watson stat 1.953075
Prob(F-statistic) 0.002101

Uji Kointegrasi
Date: 05/11/13 Time: 18:20
Sample (adjusted): 1993 2011
Included observations: 19 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted)
Series: DLPDB DLPOP DLHFC
Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
15

Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.884237 62.90258 42.91525 0.0002
At most 1 0.585270 21.93463 25.87211 0.1431
At most 2 0.239916 5.212205 12.51798 0.5662
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.884237 40.96795 25.82321 0.0003
At most 1 0.585270 16.72243 19.38704 0.1170
At most 2 0.239916 5.212205 12.51798 0.5662
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Hasil Analisis VEC Model
Vector Error Correction Estimates
Date: 05/11/13 Time: 18:20
Sample (adjusted): 1993 2011
Included observations: 19 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq: CointEq1
DLPDB(-1) 1.000000
DLPOP(-1) 32.26742
(9.49119)
[ 3.39972]
DLHFC(-1) 2.276558
(0.74839)
[ 3.04195]
@TREND(90) 0.015722
(0.00390)
[ 4.02627]
C -0.858188
Error Correction: D(DLPDB) D(DLPOP) D(DLHFC)
CointEq1 -1.641442 0.004296 -0.016057
(0.17892) (0.00559) (0.05500)
[-9.17395] [ 0.76875] [-0.29195]
D(DLPDB(-1)) 0.449016 -0.002265 0.008150
(0.12509) (0.00391) (0.03845)
[ 3.58945] [-0.57959] [ 0.21197]
D(DLPOP(-1)) 55.82650 -0.781802 1.824307
(9.42410) (0.29436) (2.89682)
[ 5.92380] [-2.65598] [ 0.62976]
D(DLHFC(-1)) 6.086553 -0.015284 -0.499821
(0.76527) (0.02390) (0.23523)
[ 7.95349] [-0.63941] [-2.12481]
C -0.018660 0.000114 -0.000783
(0.03411) (0.00107) (0.01049)
[-0.54700] [ 0.10717] [-0.07464]
R-squared 0.908287 0.372056 0.341601
Adj. R-squared 0.882083 0.192643 0.153487
Sum sq. resids 0.304256 0.000297 0.028748
S.E. equation 0.147420 0.004605 0.045314
F-statistic 34.66239 2.073742 1.815925
Log likelihood 12.31626 78.17476 34.72975
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
16

Akaike AIC -0.770133 -7.702606 -3.129447
Schwarz SC -0.521597 -7.454070 -2.880911
Mean dependent -0.000376 -0.000263 0.000980
S.D. dependent 0.429306 0.005125 0.049252
Determinant resid covariance (dof adj.) 7.26E-10
Determinant resid covariance 2.90E-10
Log likelihood 127.7428
Akaike information criterion -11.44661
Schwarz criterion -10.50217

Uji Granger Causality
VEC Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests
Date: 05/11/13 Time: 18:34
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Dependent variable: D(DLPDB)
Excluded Chi-sq df Prob.
D(DLPOP) 35.09146 1 0.0000
D(DLHFC) 63.25799 1 0.0000
All 72.35624 2 0.0000
Dependent variable: D(DLPOP)
Excluded Chi-sq df Prob.
D(DLPDB) 0.335925 1 0.5622
D(DLHFC) 0.408841 1 0.5226
All 0.558990 2 0.7562
Dependent variable: D(DLHFC)
Excluded Chi-sq df Prob.
D(DLPDB) 0.044930 1 0.8321
D(DLPOP) 0.396601 1 0.5288
All 0.421886 2 0.8098

TabeI Impulse Response
Response of DLPDB:
Period DLPDB DLPOP DLHFC
1 0.147420 0.000000 0.000000
2 0.022017 0.002876 0.093241
3 -0.180005 -0.216803 -0.216863
4 -0.004775 -0.080601 -0.033915
5 -0.011894 -0.062665 -0.040619
6 -0.048655 -0.105154 -0.059639
7 -0.053015 -0.103249 -0.078396
8 -0.031982 -0.092890 -0.055489
9 -0.037340 -0.089901 -0.058869
10 -0.042712 -0.099098 -0.063814

Response of DLPOP:
Period DLPDB DLPOP DLHFC
1 4.44E-06 0.004605 0.000000
2 0.000183 0.001667 -0.000218
3 0.000727 0.004112 0.000617
4 0.000146 0.002434 -4.94E-05
5 0.000342 0.003311 0.000190
6 0.000322 0.002841 9.60E-05
7 0.000386 0.003184 0.000225
8 0.000295 0.002934 0.000104
9 0.000344 0.003076 0.000165
10 0.000332 0.003006 0.000142

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
17

Response of DLHFC:
Period DLPDB DLPOP DLHFC
1 0.021437 -0.004383 0.039682
2 0.008779 0.003982 0.018397
3 0.013640 -0.006590 0.027341
4 0.012571 0.002955 0.024030
5 0.013015 -0.003841 0.025652
6 0.012631 0.000734 0.024840
7 0.012639 -0.002568 0.024919
8 0.012906 -0.000174 0.025193
9 0.012667 -0.001764 0.024938
10 0.012791 -0.000773 0.025098
Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC

Tabel Variance Decomposition
Variance Decomposition of DLPDB:
Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC
1 0.147420 100.0000 0.000000 0.000000
2 0.175839 71.85560 0.026752 28.11765
3 0.396679 34.71090 29.87652 35.41258
4 0.406231 33.11151 32.42473 34.46376
5 0.413209 32.08542 33.63873 34.27585
6 0.433271 30.44406 36.48597 33.06997
7 0.455346 28.91922 38.17542 32.90536
8 0.469117 27.71110 39.88790 32.40099
9 0.482714 26.77033 41.14101 32.08866
10 0.498728 25.81220 42.48960 31.69820

Variance Decomposition of DLPOP:
Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC
1 0.004605 9.31E-05 99.99991 0.000000
2 0.004905 0.139444 99.66239 0.198163
3 0.006471 1.341238 97.63657 1.022196
4 0.006915 1.218877 97.88094 0.900186
5 0.007677 1.187547 98.02069 0.791762
6 0.008193 1.196820 98.09419 0.708993
7 0.008801 1.229272 98.09090 0.679831
8 0.009283 1.205802 98.17061 0.623585
9 0.009786 1.208366 98.20217 0.589463
10 0.010244 1.208090 98.23460 0.557314

Variance Decomposition of DLHFC:
Period S.E. DLPDB DLPOP DLHFC
1 0.045314 22.38018 0.935658 76.68417
2 0.049848 21.59643 1.411439 76.99213
3 0.058837 20.87610 2.267510 76.85639
4 0.064854 20.93956 2.073937 76.98651
5 0.071051 20.80186 2.020243 77.17790
6 0.076324 20.76583 1.759982 77.47419
7 0.081318 20.70926 1.650158 77.64059
8 0.086104 20.71775 1.472213 77.81004
9 0.090550 20.69002 1.369126 77.94085
10 0.094834 20.68236 1.254871 78.06277
Cholesky Ordering: DLPDB DLPOP DLHFC


Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
18

Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
VEC Residual Normality Tests
Orthogonalization: Cholesky (Lutkepohl)
Null Hypothesis: residuals are multivariate normal
Date: 05/11/13 Time: 18:55
Sample: 1990 2011
Included observations: 19

Component Skewness Chi-sq df Prob.
1 0.032034 0.003249 1 0.9545
2 0.997991 3.153957 1 0.0757
3 -1.127519 4.025782 1 0.0448
Joint 7.182988 3 0.0663

Component Kurtosis Chi-sq df Prob.
1 1.969354 0.840933 1 0.3591
2 4.284763 1.306737 1 0.2530
3 3.148937 0.017561 1 0.8946
Joint 2.165231 3 0.5388

Component Jarque-Bera df Prob.
1 0.844182 2 0.6557
2 4.460694 2 0.1075
3 4.043343 2 0.1324
Joint 9.348219 6 0.1549

Uji Ketiadaan Autokorelasi
VEC Residual Portmanteau Tests for Autocorrelations
Null Hypothesis: no residual autocorrelations up to lag h
Date: 05/11/13 Time: 18:53
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Lags Q-Stat Prob. Adj Q-Stat Prob. df
1 7.466693 NA* 7.881510 NA* NA*
2 13.04184 0.1607 14.11256 0.1184 9
3 17.41623 0.4947 19.30715 0.3731 18
*The test is valid only for lags larger than the VAR lag order.
df is degrees of freedom for (approximate) chi-square distribution

Uji Ketiadaan Multikolinearitas
VEC Residual Serial Correlation LM Tests
Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h
Date: 05/11/13 Time: 18:52
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Lags LM-Stat Prob
1 7.277553 0.6082
2 12.12773 0.2062
3 6.718789 0.6664
Probs from chi-square with 9 df.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
19

Uji Ketiadaan Heteroskedastisitas
VEC Residual Heteroskedasticity Tests: No Cross Terms (only levels and squares)
Date: 05/11/13 Time: 18:57
Sample: 1990 2011
Included observations: 19
Joint test:

Chi-sq df Prob.
48.80527 48 0.4405

Individual components:
Dependent R-squared F(8,10) Prob. Chi-sq(8) Prob.
res1*res1 0.278722 0.483036 0.8427 5.295727 0.7256
res2*res2 0.239049 0.392681 0.9008 4.541925 0.8052
res3*res3 0.200228 0.312945 0.9435 3.804325 0.8743
res2*res1 0.292633 0.517117 0.8191 5.560032 0.6964
res3*res1 0.208533 0.329347 0.9356 3.962136 0.8605
res3*res2 0.356514 0.692544 0.6923 6.773764 0.5612



















Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
20

Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap Pengangguran

Abdul Holik
Aisyah Rosadi

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Abstract
This research purposes to analyze monetary policiesinflation, money supply, exchange rate
and interest ratetoward unemployment rate in Indonesia, using OLS (Ordinary Least
Square) method. Based on the result, gross domestic product (GDP), interest rate, exchange
rate, and inflation are significant in affecting unemployment rate in 10 percent level.
Meanwhile, money supply cannot have significant effect toward unemployment rate. It is
evidence that Indonesia adopts inflation targeting framework in controlling unemployment
rate conducted by monetary authority, other than monetary variables targeting.

Keywords: monetary policies, inflation targeting, unemployment, gross domestic products.

Pendahuluan

Salah satu instrumen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan
kestabilan jangka panjang adalah melalui kebijakan moneter, terutama penargetan inflasi.
Kebijakan ini cenderung dipilih sejumlah negara seperti Indonesia, alih-alih penargetan
moneter secara total. Hal ini juga umum diberlakukan di sejumlah negara ASEAN khususnya
pasca krisis moneter 1997 di Thailand yang menimbulkan contagion effect di kawasan dan
akhirnya menyebabkan tingginya angka pengangguran. Dalam kasus di Indonesia, isu
pengangguran menjadi masalah yang cukup besar dan menjadi penghambat pencapaian
kesejahteraan optimal masyarakat. Indonesia menurut sejumlah pengamat cenderung
lambatdibandingkan negara-negara semisal Malaysia, Korea Selatan, Thailanddalam
upaya mencapai stabilisasi perekonomian pasca krisis.
Dalam kajian ekonomi makro, pembangunan ekonomi tidak dapat diukur semata-mata
dari tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (Todaro, 2006). Namun, harus pula melihat
bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk dan mengetahui siapa yang
mendapat manfaat dari pembangunan tersebut. Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat
dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu di antaranya adalah tingkat
pengangguran. Selain itu dengan tingkat pengangguran, dapat dilihat pula ketimpangan atau
kesenjangan distribusi pendapatan yang diterima suatu masyarakat negara tersebut.
Pengangguran dapat terjadi sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja
yang tidak diimbangi dengan adanya lapangan pekerjaan yang cukup luas, serta penyerapan
tenaga kerja yang cenderung kecil persentasenya. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat
pertumbuhan penciptaan lapangan kerja di sektor riil untuk menampung tenaga kerja yang
siap bekerja.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun. Pada tahun 1980, penduduk Indonesia berjumlah 146.777.000 jiwa. Tahun
2007 jumlah itu meningkat menjadi sebesar 224.904.000 jiwa (BPS, 1980 dan 2007).
Kenaikan tersebut juga diikuti oleh kenaikan jumlah pengangguran. Hal ini menunjukkan
kenaikan jumlah penduduk usia kerja tidak terserap sepenuhnya ke lapangan pekerjaan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
21

sehingga jumlah pengangguran pun naik. Grafik pengangguran digambarkan dalam bagan di
bawah ini:


Sumber: World Bank

Dari data di atas diketahui bahwa pengangguran di Indonesia masih cukup besar.
Terlebih ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar subsidi di tahun 2005. Sampai tahun
2010, pengangguran terus menurun. Hanya saja, penurunan itu belum berhasil mencapai titik
seperti sebelum krisis 1997. Bahkan, pertumbuhan pasca krisis 1997 tidak dibarengi turunnya
tingkat pengangguran. Penelitian di Amerika Serikat pasca krisis mengindikasikan koefisien
hasil yang beragam (Weber, 1995).
Maka di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk bisa menyediakan lapangan
pekerjaan bagi jumlah usia kerja yang setiap tahun terus bertambah.Yang dibutuhkan adalah
kebijakan yang berorientasi pada upaya mendorong pertumbuhan iklim investasi di sektor
riil, dan bukan sektor finansial semata. Dalam hal ini BI (Bank Indonesia) memainkan
peranan penting dalam mengatur tingkat suku bunga, jumlah uang beredar, mengontrol laju
inflasi, serta menjaga agar aliran modal yang ada di dalam negeri agar tidak lari keluar.
Mengingat Indonesia adalah negara dengan sistem ekonomi terbuka kecil (small open
economy), maka wajar jika akhirnya penetapan suku bunga domestik melibatkan
pertimbangan suku bunga di dunia. Suku bunga ini dipatok berdasarkan suku bunga yang
ditetapkan The Federal Reserve Fund Rate, di Amerika Serikat. Kebijakan ini diambil agar
aliran modal asing tetap bertahan, dan terus digalakkan dalam meningkatkan investasi
(Pilbeam, 1998). Selain itu, pilhan nilai tukar mengambang bebas (floated exchange rate
system) juga menjadi pilihan yang paling baik, di mana pasar dapat dengan sendirinya
menentukan sisi permintaan dan penawaran kurs mata uang rupiah (Arifien, 2008).
Dengan semakin baiknya iklim berinvestasi di Indonesia, maka ketersediaan lapangan
kerja formal semakin banyak. Dengan begitu, penduduk usia kerja bisa terserap dan
pengangguran bisa turun. Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek-proyek pemerintah tidak bisa
menyerap semua supply pekerja. Sehingga peran sektor swasta amat dibutuhkan.
Oleh karena itu, peran sektor pemerintah dan peran swasta amat dibutuhkan dalam hal
penyedia lapangan pekerjaan. Isu pengangguran telah menjadi bahasan utama dalam
perencanaan ekonomi jangka panjang di banyak negara, termasuk di negara maju sekalipun.



0
2
4
6
8
10
12
1
9
9
6
1
9
9
7
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
7
2
0
0
8
2
0
0
9
2
0
1
0
Pengangguran Dari Total Angkatan
Kerja
Pengangguran Dari
Total Angkatan Kerja
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
22

Kajian Pustaka

Salah satu target utama kebijakan moneter adalah penyediaan lapangan pekerjaan.
Dalam diskursus ekonomi makro, kondisi lapangan kerja penuh (full employment) merupakan
kondisi yang diharapkan untuk dicapai. Masalahnya adalah bagaimana kinerja otoritas
moneter berupaya menurunkan angka pengangguran sampai titik terendah.
Dalam kenyataannya kondisi lapangan kerja penuh tidak selamanya berarti bebas dari
pengangguran. Proses keluar masuk seseorang mencari pekerjaan akan menyebabkannya
menganggur untuk beberapa saat. Dibutuhkan waktu penyesuaian antara pekerja dan
pengusaha yang akan mempekerjakannya. Pengangguran friksional yang melibatkan waktu
penyesuaian ini menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan perekonomian.
Di sisi lain terdapat pengangguran struktural, yakni pengangguran yang disebabkan
ketidaksesuaian antara keahlian yang dibutuhkan dan kemampuan pekerja. Dalam kasus ini,
kebijakan moneter hanya sedikit bisa menanggulangi pengangguran semacam itu.
Dalam beberapa literatur, kondisi lapangan kerja penuh didefinisikan sebagai keadaan
dengan tingkat pengangguran di atas nol, yang selaras dengan sisi penawaran dan permintaan
tenaga kerja pada periode tertentu. Artinya, tingkat pengangguran alamiah (natural rate of
unemployment) boleh tidak melebihi 4% dari total angkatan kerja, meskipun nilai tersebut
masih diperdebatkan kalangan ekonom (Mishkin, 2007). Cukup sulit mencapai angka
tersebut.
Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa
inflasi, kendati prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Keynes mengajukan 4 bentuk
kondisi terkait kekakuan nominal dengan berpijak pada kondisi pasar untuk barang dan
pekerja, yang nantinya diselaraskan dengan kebijakan moneter (David Romer, 2012):
1) kondisi ketika upah bersifat kaku, harga fleksibel, dan pasar barang sangat
kompetitif. Dalam kondisi ini, upah disimbolkan dengan

. Karena harga fleksibel,


maka perusahaan mempekerjakan karyawan sampai

(marginal product of labor) sama


dengan upah riil: () .
Melalui asumsi ini, peningkatan demand menaikkan output. Perusahaan memproduksi
komoditas dengan lebih giat. Ketika supply uang naik, maka berangsur-angsur harga naik.
Mengingat kondisi upah yang tetap, perusahaan bisa menaikkan buruh untuk mengerjakan
permintaan pasar yang melonjak. Karena upah riil berada di atas market-clearing level, maka
supply pekerja dapat bertambah dan pekerja pun dengan senang hati mau memenuhi
kebutuhan produsen. Dengan demikian angka pengangguran bisa menurun.
Akan tetapi, pandangan sisi supply ini akhirnya bisa mendorong countercyclical real
wage (perekonomian turun karena upah yang dipaksakan untuk tetap) dalam merespon
aggregate demand shock. Perusahaan akan berhenti mempekerjakan karyawan ketika


sama dengan upah. Kita bisa melihat penjelasan ini dalam kurva. Level awal pekerjaan
ditentukan oleh permintaan pekerja dan upah riil yang ditujukan poin E, sedangkan
pengangguran berada pada perbedaaan supply dan demand upah riil (jarak EA):
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
23


Dari kurva di atas pengangguran awalnya bisa turun, dengan naiknya lapangan
pekerjaan. Tapi akhirnya dengan upah yang kaku memaksa perusahaan harus mengurangi
upah dari titik menjadi di titik . Dalam kasus ini perekonomian dalam kondisi tidak stabil
dan tidak menemukan dukungan untuk mencapai procyclical pertumbuhan.
2) kondisi ketika harga-harga kaku, upah fleksibel, dan pasar pekerja kompetitif.
Dalam kasus ini, diasumsikan perusahaan-perusahaan memiliki kekuatan pasar sehingga
harga yang memaksimalkan keuntungan bisa melampaui biaya marjinal. Tapi sebenarnya
menerapkan upah fleksibel berangsur-angsur menyebabkan perusahaan merugi. Peningkatan
demand yang terus-menerus akhirnya mendorong countercyclical atas biaya marjinal.
Terutama ketika naiknya permintaan pasar. Mungkin demand yang besar dapat
menggerakkan peningkatan pekerja terdidik, tetapi akhirnya mendorong kenaikan upah.
Kondisi ini ditunjukan dengan E` pada kurva sebagai berikut:

Dalam konteks ini, kebijakan penetapan upah fleksibel dan harga kaku tidak
mendukung procyclical pada perekonomian. Pada akhirnya harga-harga harus naik, karena
jika tidak akan merugikan produsen.
3) kondisi ketika harga kaku, upah fleksibel dan pasar kerja tidak sempurna. Dalam
kasus ini persamaan upah kita definisikan menjadi:

(). Dalam contoh kasus ini,


peningkatan demand menaikkan output sampai biaya marjinal sama dengan level harga.
Pekerjaan dan upah riil ditentukan melalui perpotongan kurva demand pekerja efektif dan
fungsi upah riil. Lapangan pekerjaan akan bertambah dengan naiknya demand atas output.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
24

Pengangguran dapat turun. Jarak EA menandakan pengangguran. Gambar kurvanya sebagai
berikut:

Akan tetapi demand yang semakin tinggi dan upah fleksibel akhirnya akan memaksa
harga-harga naik, karena jika tidak berakibat kerugian produsen.
4) kondisi ketika upah tetap, harga tetap dan pasar barang tidak sempurna. Dalam
kasus ini harga dibentuk dengan adanya markup: ()

()
; di mana () adalah
biaya marjinal; adalah markup. Maka upah riil didefinisikan menjadi: () () . Jika
constant, maka upah riil berlaku countercyclical karena adanya penurunan

. Jika ()
kecil, upah riil akan menjadi procyclical bahkan jika kekakuan nominal berlaku pada pasar
pekerja. Dalam situasi ini, upah dan harga tidak ditentukan dari perubahan . Tapi dari .
Pekerjaan akan ditentukan oleh demand pekerja efektif dari produsen.
Level demand menentukan wilayah perekonomian itu berada. Pengangguran berada di
antara perbedaan supply pekerja dan pekerjaan pada upah riil yang berlaku. Terdapat tiga
contoh kurva yang menggambarkan kondisi upah:
a. Menurun; b. Konstan; c. Naik.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
25




Dalam analisis lebih lanjut, Keynes menguraikan konsep aggregate demand yang
menggambarkan hubungan negatif antara harga dan output. Pada kondisi ini diasumsikan
jumlah uang yang beredar adalah konstan. Jika pemerintah melakukan kebijakan moneter
ekspansif maka kurva AD akan bergeser ke kanan. Sedangkan AS menggambarkan hubungan
positif antara harga dan output. Hal yang dapat menyebabkan kurva ini bergeser ke kanan
adalah kenaikan biaya produksi. Interaksi antara kurva AD dan kurva AS terjadi pada jangka
pendek. Hal tersebut tercermin pada kurva di bawah ini:
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
26


Setiap negara berusaha keras untuk bisa mencapai tingkat tenaga kerja penuh tanpa
inflasi. Dalam prakteknya hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Ahli ekonomi klasik telah
membuat simulasi empiris bahwa apabila tingkat pengangguran rendah, biasanya dibarengi
tingkat inflasi yang tinggi. Pada tahun 1950-an, A.W. Phillips, ekonom Inggris, melakukan
studi mengenai kebijakan stabilisasi perekonomian mengenai tingkat inflasi upah buruh dan
tingkat pengangguran. Ia membuat kurva sebagai berikut:

Namun, kedua konsep yang dikemukakan baik oleh Philips dan Keynes hanya berlaku
dalam jangka pendek. Milton Friedman menyatakan bahwa rezim moneter yang tidak bisa
menahan inflasi kronis takkan bisa menurunkan angka pengangguran. Dalam jangka panjang
inflasi berakibat sangat buruk pada perekonomian (Friedman, 1968). Contoh ekstrem seperti


Y
P
AD
AS
Gam
bar
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
27

kasus hyperinflation di Jerman pada dekade 1930-an. Inflasi dalam jangka panjang dapat
menghancurkan perekonomian.
Gagasan Philips sebenarnya merupakan trade off antara pengangguran dan inflasi.
Baginya ketika pembuat kebijakan ekonomi menginginkan tingkat inflasi yang rendah,
mereka harus membayarnya dengan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya,
ketika tingkat inflasi tinggi, pengangguran bisa turun.
Pertumbuhan ekonomi yang baik memiliki hubungan erat dengan penurunan
pengangguran. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hukum Okun, yakni suatu hubungan
terbalik antara tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Ketika perekonomian suatu
negara mencapai pertumbuhan yang signifikan, maka tingkat pengangguran dapat ditekan.
Dalam beberapa penelitian misalnya, asumsi Okun tersebut terbukti. Namun setelah masa
krisis yang dalam, hukum Okun membutuhkan beberapa penjelasan lanjutan (Weber, 1995).
Friedman sendiri mengakui bahwa kebijakan moneter mempunyai lag (rentang
waktu) agar bisa berpengaruh pada output riil. Di Amerika misalnya, kebijakan moneter
mempunyai waktu satu tahun guna mempengaruhi output dan waktu dua tahun dalam
mempengaruhi inflasi secara signifikan. Sedangkan di negara-negara yang mengalami inflasi
tinggi, di mana harga-harga lebih fleksibel, selang waktu bisa lebih pendek (Mishkin, 2007).
Kebijakan penargetan inflasi juga diterapkan pada berbagai negara maju dengan nilai
yang berbeda-beda. Berikut tabelnya:

Negara &
Tahun Berlaku
Definisi Rangkaian Target
Tingkat
penargetan
Jangka
waktu
Australia (1993)
Komponen IHK ( buah&sayuran, solar, harga-
harga sektor publik, dan harga-harga yang
fluktuatif)
2-3%
sepanjang
masa
Kanada
(Februari 1991)
Komponen utama IHK (makanan, energi, dan
pajak tidak langsung)
1-3% 18 bulan
Finlandia
(Februari 1993)
Komponen IHK ( subsidi pemerintah, pajak tidak
langsung, harga rumah dan tingkat bunga cicilan
rumah)
sekitar 2%
sepanjang
masa
Selandia Baru
(Maret 1990)
Komponen IHK (perubahan pada pajak tidak
langsung atau pengeluaran pemerintah, perubahan
pada harga ekspor dan impor, bencana alam)
0-3% 1 tahun
Spanyol (Januari
1995)
IHK (perubahan pajak tidak langsung) Dibawah 3%
Setelah
krisis
1997
Swedia (Januari
1993)
IHK 1-3%
sepanjang
masa
Inggris (Oktober
1992)
tingkat bunga cicilan property
Dibawah
2.5%
sampai
berakhir
parlemen
Tabel dikutip dari (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997)

Pertumbuhan ekonomi yang ideal ditandai dengan terpenuhinya stabilisasi harga.
Stabilisasi harga tidak diartikan sebagai perekonomian tanpa inflasi. Tapi biasanya diartikan
mendekati 2 persen per tahun (Ben S. Bernanke and Frederic S. Mishkin, 1997). Dalam
jangka panjang, inflasi yang tinggi tidak pernah berkaitan erat dengan turunnya
pengangguran. Stabilisasi harga adalah pilihan kebijakan yang ideal dalam menangani
pengangguran di jangka panjang. Meskipun pada sisi lain, stabilisasi harga dalam jangka
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
28

pendek justru bertentangan dengan tujuan penyediaan lapangan kerja dan stabilisasi suku
bunga.
Secara umum terdapat tiga bentuk mekanisme kebijakan untuk mencapai stabilisas
harga: penargetan moneter (monetary targetting), penargetan inflasi (inflation targetting),
kebijakan moneter dengan jangkar implisitbukan eksplisit (Mishkin, 2007). Berikut
penjelasan detailnya:
1. Penargetan Moneter (Monetary Targetting).
Kebijakan ini dilakukan dengan menargetkan pencapaian angka dan nilai tertentu
dari tingkat pertumbuhan tahunan agregat moneter. Misalnya, 5% tingkat pertumbuhan M1
dan atau 6% tingkat pertumbuhan M2. Dalam hal ini, bank sentral akan berupaya secara
maksimal memenuhi target yang sudah ditetapkan tersebut.
Melalui mekanisme kebijakan ini, bank sentral bisa secara langsung memberi
sinyal-sinyal kepada publik dan pasar khususnya terkait arah kebijakan moneter dan inflasi ke
depan. Pada kelanjutannya, sinyal dari bank sentral ini bisa membantu memperbaiki
perkiraan inflasi dan menghasilkan inflasi yang lebih rendah. Penargetan moneter juga
menunjukkan akuntabilitas kebijakan moneter untuk mempertahankan inflasi yang rendah,
sehingga membantu membatasi para pengambil kebijakan moneter agar tidak terperangkap
pada ketidakkonsistenan waktu.
Namun, di sisi lain penargetan moneter juga memiliki sejumlah kendala. Hal ini
bisa dilihat apabila tujuan dan penargetan moneter tidak sejalan. Jika hubungan antara
agregat moneter dan variabel tujuan lemah, penargetan moneter tidak bisa bekerja. Contoh
kasusnya seperti di Amerika Serikat. Pada negara ini hubungan antara penargetan aggregat
moneter dan variabel tujuan tidak kuat. Maka penargetan moneter tidak membantu
memperbaiki perkiraan inflasi dan sama sekali tidak merupakan petunjuk yang baik dalam
menilai akuntabilitas bank sentral, sehingga komunikasi yang terpercaya antara pihak bank
sentral dan publik secara luas tidak bisa terpenuhi. Terkadang bahkan kestabilan besaran
moneter sulit dikendalikan, yakni ketidak stabilan hubungan tingkat perputaran uang.
2. Penargetan Inflasi (Inflation Targetting).
Penargetan inflasi termasuk salah satu instrumen untuk mencapai stabilisasi harga.
Penargetan inflasi mencakup beberapa unsur: 1) pengumuman kepada publik mengenai
target-target numerik jangka panjang menengah untuk inflasi; 2) komitmen institusi atas
stabilisasi harga sebagai tujuan utama dan jangka panjang kebijakan moneter dan komitmen
untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi; 3) pendekatan penyertaan informasi (infomation-
inclusive approach) di mana banyak variabel (tidak hanya aggregat moneter) digunakan
dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan moneter; 4) transparansi mengenai
strategi kebijakan moneter yang meningkat melalui komunikasi dengan publik dan pasar
mengenai rencana dan tujuan pengambil keputusan moneter; 5) akuntabilitas bank sentral
yang meningkat untuk mencapai tujuan-tujuan inflasi.
Penargetan inflasi memiliki manfaat semisal otoritas moneter bisa menggunakan
semua informasi yang tersedia untuk menentukan pengaturan terbaik terkait kebijakan
moneter yang bakal diambil. Penargetan inflasi juga bisa lebih mudah dipahami publik dan
lebih transparan, dibandingkan dengan penargetan moneter yang tidak mampu memberikan
sinyal secara akurat.
3. Kebijakan Moneter dengan Jangkar Nominal Implisit.
Strategi kebijakan ini memberlakukan pengontrolan terhadap inflasi dalam jangka
panjang, dan memiliki orientasi ke depan (forward looking). Otoritas moneter memantau
secara ketat laju inflasi dan melakukan intervensi secara efisien dengan mempertimbangkan
informasi terkait sinyal-sinyal target inflasi di masa depan. Namun, sifat dari kebijakan ini
tidak diumumkan secara terbuka kepada publik, sehingga bersifat rahasia atau sekedar
implicit policy.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
29

Penargetan Inflasi di Indonesia

Penargetan inflasi di Indonesia diatur sepenuhnya oleh Bank Indonesia. Tapi, sejak
keluarnya UU No. 23 tahun 1999, sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah. Bank Indonesia
berkoordinasi dengan pemerintah menetapkan target atau sasaran inflasi. Dalam Nota
Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga
tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) (www.bi.go.id).
Penargetan inflasi diharapkan dijadikan acuan bagi masyarakat secara luas.
Penargetan itu ditujukan agar geliat perekonomian berjalan lebih optimal, mengingat kondisi
kenaikan harga menjadi lebih stabil dan terukur. Masyarakat diharapkan bisa mengacu pada
nilai yang sudah ditargetkan tersebut. Berikut tabel inflasi aktual dan penargetan inflasi
selama beberapa tahun:

Perbandingan Inflasi Aktual dan Penargetannya
Tahun
Aktual Target
2001 12.55 6
2002 10.03 10
2003 5.06 10
2004 6.4 6.5
2005 17.11 7
2006 6.6 9
2007 6.59 7
2008 11.06 6
2009 2.78 6.5
2010 6.96 6

Berikut ini mari perhatikan grafik IHK (Indeks Harga Konsumen) Indonesia menurut
World Bank di bawah ini:


Dari grafik IHK diketahui adanya kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK). Hal itu
bukan berarti penargetan inflasi gagal dalam mengontrol kenaikan harga dalam jangka
panjang. Stabilisasi harga dalam prakteknya bukan berarti inflasi bernilai nol. Akan tetapi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
IHK
IHK
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
30

biasanya tingkat rata-rata kenaikan harga bernilai mendekati 2% per tahun (Bernanke &
Miskin, 1997).
Dalam penelitian lanjutan, didapat hasil berikut ini:

Negara
Jangka
Waktu
Disinflasi
(thn)
Inflasi
Awal (%)
Inflasi
Akhir (%)
Sacrifice
Ratio
Selandia
Baru
6.25 15.38 1.13 2.05
Kanada 2.75 5.25 1.09 3.04
Australia 3.75 7.62 1.4 1.87
Inggris 3.75 8.64 2.16 2.19
Swedia 2.75 9.55 3.21 0.53
Sumber dari (Ben S. Bernanke et.all, 1999)


Penelitian Sebelumnya

Beberapa studi empiris telah memberikan bukti adanya hubungan signifikan antara
variabel-variabel moneter terhadap pengangguran dan variabel riil lainnya.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457
31

No Nama Judul Tahun Masalah Metodologi Temuan
1
Christian
E. Weber
Cyclical Output,
Cyclical
Unemployment,
and Okun's
Coefficient
1995
Pengujian
hukum okun di
Amerika pasca
krisis
Dynamic VAR
Pengangguran dan
Pertumbuhan ekonomi
2
Michael
Parkin
Unemployment,
Inflation, and
Monetary Policy
1998
Kebijakan
moneter
mempengaruhi
pengangguran
dan inflasi
Model DGE
(Dynamic General
Economy
Equilibrium)
Monetary
Kebijakan stabilisasi
moneter
menstabilkansektor riil.
3
Fajar
Bambang
Hirawan
Efektivitas
Quantum
Channel Dalam
Mekanisme
Transmisi
Kebijakan
Moneter: Studi
Kasus Indonesia
Tahun 1993-
2005
2007
Mekanisme
quantum
channeldi
Indonesia masa
sebelum krisis,
masa krisis, dan
masa setelah
krisis.
Bagaimanakah
quantum
channel
mendorong
pertumbuhan
ekonomi di
Indonesia?
Analisis standar
deviasi dan
koefisien variasi,
koefisien korelasi,
dan granger
causality test
Pada masa sebelum
krisis, metode quantum
channel yang stabil
adalah jalur kredit. Di
masa krisis, metode
quantum channel yang
lebih stabil adalah jalur
uang. Pasca krisis,
metode quantum
channel yang lebih
stabil dalam mekanisme
transmisi kebijakan
moneter adalah jalur
kredit.
4
Charles
Onyeiwu
Monetary Policy
and Economic
Growth of
Nigeria
2012
Peran kebijakan
moneter Nigeria
terhadap
pertumbuhan
dan
pembangunan
ekonomi.
Ordinary Least
Square(OLS)
Kebijakan moneter tidak
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap
inflasi di Nigeria
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

32

Metodologi

Pada penelitian ini, digunakan metode Ordinary Least Square (OLS) antara berbagai
variabel, yakni: pengangguran, pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar, nilai tukar,
tingkat suku bunga dan inflasi. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 1996
sampai tahun 2010. Data diambil dari World Bank dan Badan Pusat Statistik.
Penelitian ini menggunakan metode OLS karena untuk melihat seberapa besar
efektifitas pengaruh variabel moneter dengan fokus pada kebijakan penargetan inflasi
terhadap pengangguran Indonesia. Penelitian ini tidak bermaksud melihat shock (guncangan)
pada satu variabel terhadap variabel yang lain secara timbal balik. Mengingat penargetan
inflasi adalah kebijakan untuk stabilisasi harga jangka panjang, maka metode OLS lebih tepat
digunakan sebagai alat analisis.
Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Unem
t
= Rir
t
+ Xrate
t
+ Inflasi
t
+ M2
t
+ PDB
t
+ e
t
Dimana:
Unemp
t
adalah variabel unemployment pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
Rir
t
adalah variabel real interest rate pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
Xrate
t
adalah variabel exchange rate pada periode t. Data diukur dalam satuan rupiah per
dollar.
Inflasi
t
adalah variabel inflasi pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
M2
t
adalah variabel money supply pada periode t. Data diukur dalam satuan %.
PDB
t
adalah variabel Produk Domestik Bruto pada periode t, diukur triliun rupiah.
Sebelum dilakukan estimasi maka data dicek terlebih dahulu apakah stasioner atau
tidak. Setelah semua data stasioner maka dilakukan estimasi regresi dengan metode OLS
yakni meminimumkan nilai error sehingga didapatkan hasil yang efisien. Hasil estimasi yang
didapat kemudian dilakukan uji asumsi klasik agar tidak mengandung masalah dalam model.

Hasil dan Pembahasan

Dependent Variable: UNEM
Method: Least Squares
Date: 03/14/13 Time: 11:02
Sample (adjusted): 1998 2010
Included observations: 13 after adjustments
Convergence achieved after 16 iterations
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -1.308268 0.379512 -3.447239 0.0137
RIR 0.008406 0.003534 2.378409 0.0549
XRATE 8.96E-05 3.09E-05 2.897104 0.0274
INFLASI 0.769501 0.383433 2.006872 0.0916
M2_GROWTH 0.388278 0.341643 1.136503 0.2991
PDB -1.32E-07 3.33E-08 -3.958174 0.0075
AR(1) 0.132136 0.287040 0.460340 0.6615
R-squared 0.869159 Mean dependent var 0.031733
Adjusted R-squared 0.738318 S.D. dependent var 0.125091
S.E. of regression 0.063990 Akaike info criterion -2.356445
Sum squared resid 0.024568 Schwarz criterion -2.052241
Log likelihood 22.31689 Hannan-Quinn criter. -2.418972
F-statistic 6.642866 Durbin-Watson stat 1.774342
Prob(F-statistic) 0.018233
Inverted AR Roots .13

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

33

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, didapatkan bahwa koefisien dari variabel real
interest rate, exchange rate, inflasi, dan GDP bernilai signifikan, sedangkan variabel money
supply bernilai tidak signifikan terhadap pengangguran pada derajat 10%. Pada perhitungan
kasar di atas terdapat masalah autokorelasi. Maka melalui pengolahan data, memungkinkan
kita menghilangkannya.
Nilai koefisien real interest rate adalah 0,008406 yang berarti bahwa ketika bank
sentral menaikkan tingkat suku bunga sebesar 1% maka akan meningkatkan pengangguran
sebesar 0,008406% dari total labor force. Hal ini menunjukkan ketika pemerintah
memberlakukan kebijakan moneter ekspansif dengan menaikkan tingkat suku bunga, akan
ada peningkatkan pengangguran.Tentu saja kondisi sebaliknya akan dipilih untuk
menurunkan pengangguran.
Koefisien Variabel exchange rate bernilai positif terhadap pengangguran sebesar
0,000000896%. Saat nilai tukar mata uang rupiah terapresiasi sebesar 1 rupiah terhadap dolar
Amerika, pengangguran akan meningkat. Hal itu terjadi karena saat ini Indonesia sedang
bersaing dengan negara lain meningkatkan ekspor produk-produknya ke luar negeri. Jika nilai
tukar terapresiasi, produk-produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar internasional,
sehingga sektor industri domestik menjadi kurang baik.
Indonesia sejak krisis 1997 tidak menerapkan penargetan nilai tukar (exchange rate
targeting). Berbeda dengan Cina yang dengan sengaja merendahkan nilai tukar Yuan
terhadap dolar Amerika, guna mendorong ekspor produknya. Hal ini karena Indonesia
menganut perekonomian terbuka kecil, dengan mobilitas dana luar negeri yang cukup tinggi.
Akibat buruknya kebijakan moneter menjadi tidak independen, rentan terhadap tindakan
spekulasi dan terkena dampak buruk jika di salah satu negara besar terjadi gunjangan.
Koefisien variabel inflasi menunjukkan angka sebesar 0,769501. Hal ini menandakan
saat tingkat inflasi naik sebesar 1%, pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan
menurun, dan pada akhirnya meningkatkan pengangguran sebesar 0,769501%. Bank sentral
melalui kebijakan targeting inflation framework dapat mengontrol laju inflasi yang pada
gilirannya dapat menekan laju pengangguran.
Hasil estimasi Pertumbuhan money supply bernilai 0,388278. Berdasarkan hasil
pengolahan data di atas didapatkan hasil bahwa variabel jumlah uang yang beredar tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Ini sebagai penegas bahwa sebenarnya
otoritas moneter di Indonesia lebih memilih pengontrolan inflasi sebagai upaya tercapainya
stabilisasi harga, dan bukan pengontrolan aggregat moneter berupa money supply.
Koefisien Gross Domestic Product bernilai -0,000000132. Hal tersebut menunjukkan
bahwa ketika GDP menurun sebesar 1 triliun rupiah, pengangguran akan meningkat sebesar
0,00000000132%. Ringkasnya adalah negara mengalami penurunan produktifitas. Sebagai
contoh saat anggaran belanja pemerintah berkurang, maka akan semakin sedikit lapangan
pekerjaan yang tersedia dan pada gilirannya pengangguran akan meningkat.


Penutup

Tulisan ini menganalisis efek dari kebijakan penargetan inflasi terhadap
pengangguran. Hasil penelitian dengan metode OLS menemukan hubungan signifikan antara
tingkat suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan PDB terhadap pengangguran. Sedangkan jumlah
uang beredar tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan
moneter Indonesia, yakni mengendalikan inflasi. Melalui kebijakan ini, pemerintah dan
sektor swasta dapat berperan secara maksimal menentukan kebijakan yang dapat mendorong
laju pertumbuhan ekonomi dan menekan laju pengangguran di jangka panjang.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

34



Daftar Pustaka

Arifin, Sjamsul (ed.), (2008), Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah
Krisis, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Bernanke, Ben S. and Frederic S. Mishkin, ( Spring1997), Inflation Targeting: A New
Framework for Monetary Policy?, The Journal of Economic
Perspectives, Vol. 11, No. 2, 97 116.
Bernanke, Ben S. et. all, (1999) Inflation Targeting Lesson from the International
Experience, Princeton University Press.
BPS (Badan Pusat Statistik).
Christiano, Lawrence J., (Feb. 1996), The Effects of Monetary Policies: Evidence from the
Flow of Funds, The Review of Economics and Statistics, vol. 78, No.
1, 16 34.
Friedman, Milton, (March 1968), The Role of Monetary Policy, American Economic
Review, vol. 1, No. 58, 1 17.
Hirawan, Fajar Bambang, (Januari 2007), Efektivitas Quantum Channel dalam Mekanisme
Transmisi Kebijakan Moneter, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Indonesia, vol. 7, No. 02, 53 73.
Hoover, Kevin D., (March 1988), Money, Prices and Finance in the New Monetary
Economics, Oxford Economic Papers, vol. 40, No. 1, 150 167.
Mishkin, Frederic S., (2007), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets,
Boston: Pearson International Edition.
Onyeiwu, Charles, (2012), Monetary Policy and Economic Growth of Nigeria, Journal of
Economics and Sustainable Development, vol. 3, No. 7, 62 69.
Parkin, Michael, (Nov. 1998), Unemployment, Inflation, and Monetary Policy, The
Canadian Journal of Economics, vol. 13, No. 5, 1003 1032.
Pilbeam, Keith, (2006), International Finance, New York: Palgrave.
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith, (2006), Pembangunan Ekonomi, terj., Andri Yelvi,
jilid 1 & 2, Jakarta: Erlangga.
Weber, Christian E., (Oct. Dec. 1995), Cyclical Output, Cyclical Unemployment, and
Okuns Coefficient: A new Approach, Journal of Applied
Econometrics, vol. 10, No. 4, 433 445.
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Bank+Indonesia+dan+Inflasi/pengendalian.htm















Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

35

PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN PENGEMBANGAN KARIR TERHADAP
KINERJA PERUSAHAAN
Galuh Tresna Murti
Aurora Angela
Ernie Soedarwati
Magister Ilmu Ekonomi dan Bisnis
Universitas Padjadjaran
Abstract
This purpose of this research is to examine the human resources behavioral that accour in
an corporation and how its affect the company performance. In this research, writer simply
to choose an indicator of the company performance by using ROA ( return on assets ) and
performance indicators of an employee with discipline of work and career development in
Koperasi Usaha Pupuk Kujang with employees as a respondents. Method research used is
survey method. The research concludes that there is a positive and significant influence
between the disiplines of work with the company performance. There are also positive and
significant influence between the career development with the performance of the company.
And there is a positive and significant influence between the disiplince of work and career
development with the performance of the company.

Keywords : Dicipline of Work, Career Development, and Return on Assets (ROA)

I. PENDAHULUAN
Pengembangan koperasi dalam dimensi pembangunan nasional yang berdasarkan
sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya ditujukan untuk mengurangi masalah kesenjangan
pendapatan antar golongan dan antar pelaku, ataupun penyerapan tenaga kerja. Lebih dari itu,
pengembangan koperasi diharapkan mampu memperluas basis ekonomi dan dapat
memberikan kontribusi dalam mempercepat perubahan struktural, yaitu dengan
meningkatnya perekonomian daerah dan ketahanan ekonomi nasional.
Diantara berbagai sumber daya yang dimiliki koperasi adalah sumber daya manusia.
Hal ini yang paling penting dan strategis karena merupakan faktor penggerak kegiatan
koperasi. Disamping itu, hanya manusia yang memiliki perilaku, sifat, karakteristik yang
bervariasi, memiliki kemampuan berfikir rasional dan kreatif, memiliki kepribadian serta
nilai-nilai yang perlu dihargai dan dikembangkan, dapat dikatakan kunci keberhasilan setiap
organisasi saat ini terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki.
Mengingat betapa organisasi sangat berkepentingan dengan kinerja pegawai,
peningkatan kinerja tidak dapat diserahkan kepada pegawai semata. Organisasi harus
mengembangkan suatu program atau kebijakan bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat memotivasi pegawai untuk
meningkatkan kinerjanya. Faktor kepemimpinan yang bisa mengarahkan, membimbing dan
memberikan suri tauladan yang baik bagi pegawai dalam melaksanakan aturan-aturan
perusahaan juga merupakan salah satu faktor meningkatnya kinerja karyawan. Selain itu
faktor ketersediaan pengembangan karir yang jelas disertai dengan bimbingan karir bagi
pegawai sangat menentukan tingkat kinerja pegawai, karena dengan adanya pengembangan
karir yang jelas, pegawai termotivasi untuk dapat meraih karir yang mereka inginkan, dan
tentu saja hal tersebut meningkatkan kinerjanya. Kemampuan pegawai dalam melaksanakan
tugasnya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kinerja pegawai yang bersangkutan.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

36

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk
Kujang telah diperoleh fakta bahwa kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang
pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 mengalami fluktuasi, sebagaimana terlihat dari
pencapaian Key Performance Indicator (KPI) untuk indikator kinerja karyawan Koperasi
Usaha Warga Pupuk Kujang yang dicerminkan dalam pencapaian tingkat produktivitas laba
bersih per individu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.

Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu
periode 2006 2011
Key Performance
Indicators
(KPI)
UoM 06 07 08 09 10 11
Tingkat produktivitas laba
bersih per individu
Rp
juta/orang/tahu
n
Na na 7,8 2,4 4,1 16,75
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian Tingkat Produktivitas laba bersih per individu periode 2006 2011

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian tingkat produktivitas laba bersih per individu karyawan Koperasi Usaha
Warga Pupuk Kujang mengalami penurunan dari Rp. 7.800.000,- per orang selama tahun
2008 menjadi Rp. 2.400.000,- per orang selama tahun 2009, kemudian mengalami
peningkatan sebesar Rp. 4.100.000,- per orang selama tahun 2010, dan mengalami
peningkatan yang drastis pada tahun 2011 sebesar Rp. 16.750.000,- per orang, sementara
untuk tahun 2006 dan 2007 belum adanya data yang akurat yang bisa menggambarkan
tingkat produktivitas laba bersih per individu.
Tingkat produktivitas laba bersih per individu yang mengalami fluktuasi tersebut
mengindikasikan adanya permasalahan mengenai kinerja karyawan Koperasi Usaha Warga
Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011. Tingkat produktivitas sering dihubungkan dengan
kinerja, performansi dengan memberikan penekanan pada efisiensi.
Survey awal selanjutnya yang dilakukan peneliti pada Koperasi Usaha Warga Pupuk
Kujang telah diperoleh fakta bahwa disiplin karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai
dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key
Performance Indicator (KPI) untuk indikator disiplin kerja yang dicerminkan dalam
pencapaian tingkat kehadiran dan tingkat keterlambatan masuk kerja periode tahun 2006
sampai dengan tahun 2011. Pencapaian tingkat kehadiran karyawan dan tingkat
keterlambatan masuk kerjapun mengalami fluktuasi, hal ini mengindikasikan adanya
0
5
10
15
20
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tingkat produktifitas
laba bersih per individu
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

37

permasalahan mengenai disiplin kerja karyawan Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang
selama tahun 2006-2011.

Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011
Key Performance Indicators
(KPI)
UoM 06 07 08 09 10
11
Tk. Kehadiran % Rata-rata 96 95 94,4 94 96,8 96,4
Tk, Keterlambatan Masuk Kerja % Rata-rata 7,5 4 4,7 3,5 8,64 4,16
Sumber: Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian Tingkat Kehadiran dan Keterlambatan Masuk Kerja Periode 2006-2011

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Fakta selanjutnya adalah pengembangan karyawan koperasi pada tahun 2006 sampai
dengan tahun 2011 mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari pencapaian Key
Performance Indicator (KPI) untuk indikator pengembangan karyawan yang dicerminkan
dalam jam pelatihan periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Jam pelatihan karyawan
koperasi yang berfluktuasi tersebut mengindikasikan permasalahan mengenai pengembangan
pegawai di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang selama tahun 2006-2011.
Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011
Key Performance
Indicators (KPI)

UoM 06 07 08 09 10 11
Jam Pelatihan Karyawan

Cumm.jam/or
ang/tahun

18,7 25 29,2 17,6 na na
Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
Pencapaian Jam Pelatihan Karyawan Periode 2006-2011

Sumber : Laporan Pengurus Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang tahun 2006-2011
0
20
40
60
80
100
120
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tingkat kehadiran
pegawai
0
5
10
15
20
25
30
35
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jam Pelatihan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

38

Permasalahan-permasalahan diatas dapat menyebabkan turunnya kinerja karyawan
serta secara keseluruhan adalah penurunan kinerja Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dan
berdampak pada pelayanan yang diberikan terhadap anggota Koperasi Usaha Warga Pupuk
Kujang selaku stock holders dan semua pihak yang berkepentingan (stake holders).
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yang dapat diukur menggunakan
pendekatan Key Performance Indicator (KPI), dalam penelitian ini penulis hanya memilih
indikator disiplin kerja dan pengembangan karir di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang.

II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Pengukuran Kinerja Perusahaan
Stoner dan Freeman (1992:6) memberikan penjelasan mengenai kinerja organisasi
sebagai :
The measure of how well organizations do their job.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya kinerja organisasi
dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan.
Dalam hubungannya dengan hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan
perusahaan, maka perlu dilakukan penilaian atas hasil kinerja tersebut. Atkinson,et.al., (1995
: 46) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai berikut :

Performance measurement is measure the performance of each activity in the
process (value chain) from the perpective of customer requirement while assuring that
the overall performance of activities meets the requirements of the organizations
other stakeholders.

Martin et al., (1995: 138) menyatakan bahwa profitabilitas juga berfungsi sebagai
indikator kinerja pengelolaan perusahaan, efektivitas manajemen, alat untuk memproyeksi
laba dan sebagai alat pengendalian manajemen. Profitabilitas jangka panjang sangat penting
untuk diamati mengingat keuntungan yang memadai diperlukan untuk mempertahankan arus
sumber sumber modal perusahaan dan untuk kelangsungan hidup perusahaan (going
concern). Teknik analisis profitabilitas melibatkan hubungan antara pos pos tertentu dalam
laporan keuangan, yaitu pada laporan laba rugi untuk memperoleh ukuran ukuran yang
dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai efisiensi dan kemampuan perusahaan dalam
memperoleh laba.
Gaspersz (2002:40) menyatakan bahwa untuk menilai profitabilitas perusahaan dapat
dilihat melalui rasio profitabilitas perusahaan itu sendiri. Menurut Gaspersz (2002:40) rasio
profitabilitas adalah rasio untuk mengukur efektivitas manajemen yang ditunjukkan melalui
keuntungan (laba) yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan yang sering
digunakan untuk menggambarkan profitabilitas suatu perusahaan, yaitu Gross Profit Margin,
Net Profit Margin, Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE). Dalam penelitian ini
peneliti memilih mengunakan indikator ROA untuk mengukur kinerja perusahaan.
Return On Asset (ROA) merupakan perbandingan antara net income dengan total
assets, rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan dengan memanfaatkan seluruh sumber daya yang dimilikinya. Semakin besar
ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar.
Perhitungan ROA terdiri dari:
1. Menghitung Earning Before Tax (EBT) laba perusahaan (bank) sebelum dikurangi pajak.
2. Menghitung keseluruhan aktiva yang dimiliki oleh bank yang terdiri dari aktiva lancar
dan aktiva tetap.
Formula perhitungan ROA yang digunakan sebagai berikut:
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

39


2.2 Disiplin Kerja
Menurut Henry Simamora (1995:565), disiplin adalah bentuk pengendalian diri
karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja di
dalam suatu organisasi. Kedisiplinan harus ditegakkan dalam organisasi, karena tanpa
dukungan disiplin karyawan yang baik, maka sulit perusahaan untuk mewujudkan tujuannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedisiplinan merupakan kunci keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dalam menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu perusahaan dengan harapan
karyawan mengerjakan pekerjaannya dengan seefektif dan seefesien mungkin sehingga pada
akhirnya kinerja perusahaan diharapkan meningkat.
2.3 Pengembangan Karir
Pengembangan karir menurut Andrew J. Furbin (1982:197) sebagaimana yang dikutip
oleh Anwar Prabu (2007:77) adalah : Career Development, from the standpoint of the
organization, is the personnel activity which helps individuals plan their future career within
enterprise, in order to help the entreprise achieve and the employee achieve maximum self-
development. Berdasarkan pendapat Andrew J. Durbin ini, pengembangan karir adalah
aktivitas kepegawaian yang membantu pegawai merencanakan karir masa depannya di
perusahaan, agar perusahaan dan pegawai dapat mengembangkan diri secara maksimum.
Sementara menurut Henry Simamora (1995:410), pengembangan karir adalah
pendekatan formal yang diambil suatu organisasi untuk memastikan bahwa orang-orang
dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan. Pengertian
Pengembangan karir menurut Bernandin & Russel (1993:341) sebagaimana yang dikutip oleh
Faustino Cardoso (2003:215) adalah sebagai berikut :
A Career development system is a formal, organized, planned effort to achieve a
balance between individual career needs and organizational workforce requirement. It
is mechanism for meeting the present and future human resources needs of an
organization.
Dua proses utama dalam pengembangan karir dikemukakan oleh pendapat dari Bernandin &
Russel (1993:341) yang dikutip oleh Faustino Cardoso (2003:214), yakni :
a. Career planning
b. Career management

2.4 Model Penelitian dan Pengembangan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Disiplin Kerja terhadap Kinerja Perusahaan
Disiplin kerja pegawai sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, hal tersebut
terlihat dari pendapat-pendapat dari pakar berikut ini : Malayu S.P Hasibuan (2001:190)
dengan jelas mengatakan bahwa :
Semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat
dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi perusahaan untuk
mencapai hasil yang optimal.
Menurut Prijodarminto (1994:23) Disiplin merupakan suatu kondisi yang terbentuk
melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan,
kesetiaan, keteraturan dan atau ketertiban. Dengan indikator penelitian sebagai berikut :
1. Pegawai datang tepat waktu.
2. Pegawai pulang tepat waktu.
3. Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik .
Return on Assets (ROA) = Laba sebelum pajak
Rata-rata total aset
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

40

4. Mematuhi tenggat waktu yang diberikan oleh pimpinan.
5. Mematuhi semua peraturan perusahaan.
6. Mematuhi norma-norma sosial yang berlaku.
Dari kutipan diatas dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh disiplin kerja
terhadap kinerja perusahaan. Semakin disiplin karyawan maka ia akan bekerja dengan
optimal, sehingga beban operasional menurun dan laba persahaan akan meningkat.

2.4.2 Pengaruh Pengembangan Karir terhadap Kinerja Perusahaan
Pengembangan karir merupakan kebutuhan individu setiap karyawan. Hal tersebut
tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang yang bekerja dalam suatu perusahaan tidak sekedar
memperoleh pekerjaan dan mendapatkan gaji, akan tetapi ia ingin maju, sejahtera, dihargai,
dan mencapai posisi tertinggi dalam perusahaan. Oleh karena itu karir sebagai kebutuhan
akan memotivasi individu untuk meraihnya, sehingga karyawan akan meningkatkan
kinerjanya. Apabila kinerja karyawan baik maka kinerja perusahaan pun akan meningkat.
Pengembangan karir bermula dari perencanaan karir, baik karir pegawai maupun karir
organisasional. Kedua hal tersebut berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Menurut Andrew J. Dubrin (1982:198) sebagaimana yang dikutip oleh Anwar Prabu
(2007:77) tujuan pengembangan karir adalah : To aid in achieving individual and
organizational goals. Jadi menurut Andrew J. Dubrin, tujuan dari pengembangan karir
adalah membantu pencapaian tujuan perusahaan dan individu. Seorang pegawai yang sukses
dengan prestasi kerja sangat baik kemudian menduduki posisi jabatan yang lebih tinggi, hal
ini berarti tujuan perusahaan dan tujuan individu tercapai.
Dari kutipan-kutipan para ahli diatas dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh
pengembangan karir dengan kinerja perusahaan. Semakin tinggi tingkat perusahaan
memperhatikan karir pegawainya melalui pengembangan karir, maka tujuan perusahaan
dapat tercapai sehingga kinerja perusahaan menjadi baik.

2.4.3 Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengembangan Karir terhadap Kinerja
Perusahaan
Keputusan yang berupa kebijaksanaan dan rencana-rencana kerja dimaksudkan untuk
lebih meningkatkan disiplin kerja personel, disamping gairah kerja yang meningkat setiap
waktu sehingga kinerja perusahaan akan semakin meningkat pula. Kinerja perusahaan sangat
dominan di pengaruhi oleh kemampuan dan motivasi setiap karyawannya, sedangkan
kemampuan dan motivasi tersebut dipengaruhi oleh lingkungan antara lain: bentuk pekerjaan,
pengembangan karir, kepuasan kerja, kondisi tempat bekerja dan kinerja karyawan tersebut.
Dengan demikian dapat diduga terdapat pengaruh disiplin kerja dan pengembangan karir
secara bersama-sama terhadap kinerja perusahaan.
Keterhubungan antara variabel Disiplin Kerja, Pengembangan Karir dan Kinerja
Perusahaan diatas dapat divisualisasikan dalam model penelitian sebagai berikut :




Disiplin kerja
(X1)
1. Ketaatan
2. Keteraturan dan
ketertiban
3. Kepatuhan
Pengembangan karir
(X2)
1. Perencanaan karir
2. Manajemen Karir
Bernandin & Russel
Kinerja Perusahaan
(Y)

Return on Assets
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

41

2.5 Hipotesis
Berdasarkan model penelitian tersebut maka dinyatakan hipotesis sebagai berikut:
1) Disiplin kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
2) Pengembangan karir berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan.
3) Disiplin kerja dan pengembangan karir berpengaruh positif-signifikan pada perusahaan.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei. Menurut Moh Nazir (1988:65) bahwa
metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala
yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang instansi sosial,
ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah. Metode survei membedah dan
mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktek-
praktek yang sedang berlangsung. Dalam metode survei juga dikerjakan evaluasi serta
pembandingan terhadap hal-hal telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah
yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan
keputusan di masa yang akan datang.
Penelitian ini dilakukan di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang dengan responden
sebanyak 50 orang karyawan koperasi tersebut.

3.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan langsung pada
obyek yang diteliti.
2. Kuesioner, yaitu pengumpulan data dengan menggunakan seperangkat daftar pertanyaan
yang telah disusun yang kemudian disebarkan kepada responden untuk memperoleh data
yang dibutuhkan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup yang dibuat
dengan skala Likert sebagai berikut:
Sangat Setuju (SS) dengan bobot nilai 1
Setuju (S) dengan bobot nilai 2
Ragu-Ragu (R) dengan bobot nilai 3
Tidak Setuju (TS) dengan bobot nilai 4
Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai 5
3. Studi literatur, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan
teori-teori atau konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan yang telah
dirumuskan. Informasi tersebut diperoleh melalui dokumen laporan pengurus, buku-
buku, majalah, makalah, jurnal, surat kabar, brosur, yang dapat melengkapi informasi
berkaitan dengan variabel yang diteliti.

3.3 Operasionalisasi Variabel
Variabel Dimensi Indikator Skala No Item
Disiplin Kerja
(X1)
Ketaatan - Pegawai datang tepat waktu Ordinal 3,4
- Pegawai pulang tepat waktu Ordinal 10,6
Keteraturan
dan
ketertiban
- Mengerjakan semua pekerjaan dengan baik Ordinal 5,7
Sumber : - Mematuhi tengat waktu yang diberikan oleh
pemimpin
Ordinal 1,2
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

42

Prijodarminto,
1994:23
Kepatuhan - Mematuhi semua peraturan perusahaan Ordinal 8
- Mematuhi norma-norma sosial yang berlaku Ordinal 9
Pengembangan
Karir (X2)
Perencanaan
Karir
- Pilihan jabatan Ordinal 21,22
- Pilihan organisasional Ordinal 25,26
- Pilihan penugasan pekerjaan Ordinal 23,24
- Pengembangan karir pribadi Ordinal 15,16
Manajemen
Karir
- Rekruitmen dan seleksi Ordinal 17,18
Sumber : - Penempatan sumber daya manusia Ordinal 19,2
Benandin &
Russel
(1993:341)

- Penilaian dan evaluasi Ordinal 11,12
- Pelatihan dan pengembangan Ordinal 13,14

Kinerja
Perusahaan (Y)
Profitabilitas Return on Assets Rasio
Sumber :
Gasperz (2002:
41-43)


VI. HASIL ANALISIS DATA
4.1 Tinjauan Umum Objek Penelitian & Data Responden
Penelitian ini dilakukan di Koperasi Usaha Warga Pupuk Kujang yang terletak di
dalam lingkungan kompleks Perumahan PT. Pupuk Kujang. Dengan alamat Jalan Ahmad
Yani no. 39 Cikampek, Jawa Barat.
Total karyawan yang bekerja pada satuan unit usaha Koperasi Usaha Warga Pupuk
Kujang tercatat 73 karyawan yang terdiri dari 50 orang karyawan tetap dan 23 orang
karyawan kontrak. Responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 50 karyawan
tetap saja dengan asumsi subjektivitas karyawan tetap lebih jelas mengenai jenjang karir dan
tanggung jawab kerja terhadap kinerjanya masing-masing.
Komposisi responden
berdasarkan masa kerja

Masa Kerja Jumlah Prosentase
1 5 Th 22 Orang 44 %
5 10 Th 21 Orang 42 %
> 10 Th 7 Orang 14 %
Total 50 Orang 100 %
Sumber : Data Primer
Komposisi responden berdasarkan masa kerja dapat secara dominan memiliki masa kerja
diantara 1 dan 10 tahun. Hal ini dianggap cukup baik karena dengan masa kerja selama itu
mereka dianggap cukup mengenal kondisi lingkungan kerja mereka.

4.2 Uji Validitas
Tujuan dilakukan uji validitas adalah untuk mengukur apakah data yang diberikan
pada kuesioner dapat dipercaya atau tidak serta dapat mewakili apa yang hendak diteliti.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

43

Dalam penelitian ini uji validitas dipergunakan rumus korelasi Product Moment (Sudjana,
1996). Dengan kaidah pengambilan keputusan yang digunakan adalah:
a. Jika nilai hitung r lebih besar (>) dari nilai tabel r maka item angket dinyatakan valid.
b. Jika nilai hitung r lebih kecil (<) dari nilai tabel r maka item angket dinyatakan tidak valid.
c. Nilai tabel r dapat dilihat pada a = 5% dan db = n-2

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0
Berdasarkan uji validitas nilai-nilai korelasi Pearson Product Moment yang
diperoleh oleh masing-masing variabel lebih besar dari angka r Product Moment tabel yang
bernilai r = 0,284 (dapat dilihat pada Tabel nilai r Product Moment dengan taraf signifikansi
= 5% dan db = n-2) maka dapat disimpulkan bahwa seluruh instrument variabel dinyatakan
valid untuk dijadikan data penelitian.

4.3 Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah tingkat kestabilan suatu alat pengukur dalam mengukur suatu
gejala atau kejadian. Semakin tinggi reliabilitas suatu alat pengukur, semakin stabil pula alat
pengukur tersebut untuk mengukur suatu gejala dan sebaliknya jika reliabilitas tersebut
rendah maka alat tersebut tidak stabil dalam mengukur suatu gejala. Dengan penggunaan
tingkat alpha dengan rumus (Sudjana, 1996). Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur
sampai sejauh mana derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh
instrumen pengukuran. Uji reliabilitas dilakukan dengan metode internal consistency.
Internal consistency diukur dengan menggunakan koefisien Cronbach Alpha. Apabila Alpha
nilainya lebih besar dari 0.60 maka data penelitian dianggap cukup baik dan reliabel untuk
digunakan sebagai input dalam proses analisis data guna menguji hipotesis penelitian.

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel-variabel tersebut terlihat nilai-nilai alpha
lebih besar dari 0.60. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing variabel dianggap cukup
baik dan reliabel untuk digunakan sebagai input dalam proses analisis data guna menguji
hipotesis penelitian

Variabel Jumlah item Homogenitas item
Disiplin kerja
Ketaatan 4 .551 - .947
Keteraturan & ketertiban 4 .472 - .783
Kepatuhan 2 .503 - .593
Pengembangan karir
Perencanaan karir 8 .544 - .851
Manajemen karir 8 .392 - .883
Variabel Jumlah item Homogenitas item
Disiplin kerja
Ketaatan 4 .873 - 1.000
Keteraturan & ketertiban 4 .693 - .908
Kepatuhan 2 .620 - .712
Pengembangan karir
Perencanaan karir 8 .731 - .838
Manajemen karir 8 .602 - .941
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

44

4.4 Pengujian Hipotesis

4.4.1 Pengujian Hipotesis 1
Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara variabel Disiplin Kerja terhadap Kinerja
Perusahaan, dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (KP). Besarnya nilai koefisien
determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya nilai R Square.

Persamaan Regresi
Disiplin Kerja (X1) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0
Dari tabel perhitungan persamaan regresi menggunakan SPSS diatas di atas dapat diketahui
bahwa nilai a = 10,237 dan b = 0,959 . Persamaan regresi antara variabel Disiplin Kerja
terhadap variabel Kinerja Perusahaan adalah :
Y = a + bx
Y = 10,237 + 0,959 x
Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan, maka
variabel kinerja perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 11,196.
Koefisien Determinasi
Disiplin Kerja (X1) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Sumber : Hasil olah SPSS Versi 15.0

Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya
nilai R Square. Besarnya nilai R Square sebesar 0,291 atau dapat dikatakan bahwa besarnya
koefisien determinasi (KP) sebesar 29,1%, artinya bahwa pengaruh variable Disiplin Kerja
(X1) terhadap Kinerja Perusahaan (Y) adalah sebesar 29,1%.

4.4.2 Pengujian Hipotesis 2
Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara pengembangan karir (X2) terhadap
kinerja perusaan, dapat dilihat dari besarnya koefisien determinasi (KP). Besarnya nilai
koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya nilai R Square.


Coeffici ents
a
10.237 10.009 1.023 .312
.959 .216 .540 4.440 .000
(Constant)
Disiplin
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coef f icients
Beta
Standardized
Coef f icients
t Sig.
Dependent Variable: Kinerja a.
Model Summary
b
.540
a
.291 .276 7.844
Model
1
R R Square
Adjusted
R Square
St d. Error of
the Estimate
Predictors: (Const ant ), Disiplin a.
Dependent Variable: Kinerja b.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

45

Persamaan Regresi Hasil SPSS 15.0
Pengembangan karir (X2) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Dari tabel perhitungan persamaan regresi menggunakan SPSS diatas di atas dapat diketahui
bahwa nilai a = 25,902 dan b = 0,501 . Persamaan regresi antara variabel Pengembangan
karir Terhadap variabel Kinerja Perusahaan adalah :
Y = a + bx
Y = 25,902 + 0,501 x
Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel Pengembangan karir (X2) sebesar 1 satuan,
maka variabel kinerja Perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 26,403
Persamaan Regresi
Pengembangan karir (X2) terhadap Kinerja Persahaan (Y)

Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya
nilai R Square. Besarnya nilai R Square sebesar 0,341 atau dapat dikatakan bahwa besarnya
koefisien determinasi (KP) sebesar 34,1%, artinya bahwa pengaruh variabel Pengembangan
Karir (X2) terhadap variabel kinerja perusahaan (Y) adalah sebesar 34,1%.

4.4.3 Pengujian Hipotesis 3
Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara variabel Disiplin kerja dan
Pengembangan karir terhadap variabel kinerja perusahaan, dapat dilihat dari besarnya
koefisien determinasi (KP). Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS
dapat dilihat dari besarnya nilai R Square.
Persamaan Regresi Disiplin Kerja (X1)
dan Pengembangan Karir (X2) terhadap Kinerja Perusahaan (Y).

Coeffici ents
a
25.902 5.814 4.455 .000
.501 .100 .584 4.987 .000
(Constant)
Pengembangan.Karir
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coef f icients
Beta
Standardized
Coef f icients
t Sig.
Dependent Variable: Kinerja a.
Model Summary
b
.584
a
.341 .328 7.561
Model
1
R R Square
Adjusted
R Square
St d. Error of
the Estimate
Predictors: (Const ant ), Pengembangan.Karir a.
Dependent Variable: Kinerja b.
Coeffici ents
a
8.767 9.249 .948 .348
.555 .239 .312 2.320 .025
.353 .115 .412 3.061 .004
(Constant)
Disiplin
Pengembangan.Karir
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coef f icients
Beta
Standardized
Coef f icients
t Sig.
Dependent Variable: Kinerja a.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

46

Dari tabel perhitungan persamaan regresi menggunakan SPSS 15.0 diatas, diketahui bahwa
nilai a = 8,767 dan b1 = 0,555 dan b2= 0,353. Persamaan regresi antara Disiplin Kerja dan
Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Perusahaan adalah :
Y = a + b1x1 + b2x2
Y = 8,767 + 0,555 X1 + 0,353X2
Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan dan
variabel pengembangan karir (X2) 1 satuan, maka variabel kinerja perusahaan (Y) akan
meningkat menjadi 9,675.
Koefisien Determinasi Disiplin Kerja (X1)
dan Pengembangan Karir (X2) terhadap Kinerja Perusahaan (Y)

Besarnya nilai koefisien determinasi dalam tampilan output SPSS dapat dilihat dari besarnya
nilai R Square. Besarnya nilai R Square sebesar 0,121 atau dapat dikatakan bahwa besarnya
koefisien determinasi (KP) sebesar 40,9%, artinya bahwa pengaruh variabel Disiplin Kerja
dan variabel Pengembangan Karir terhadap Kinerja Perusahaan adalah sebesar 40,9% dan
sisanya sebesar 50,1 % dipengaruhi oleh variable lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan dari penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Disiplin Kerja dengan Kinerja
Perusahaan dengan Koefisien diterminasi 0,291 atau sebesar 29,1 %. Hal ini berarti
Kinerja Perusahaan dipengaruhi oleh Pengembangan Karir sebesar 29,1 % .
Persamaan regresi antara variable Disiplin kerja (X
1
) dan Kinerja Perusahaan (Y)
adalah Y = 10,237+ 0,959 X.
Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan,
maka variabel kinerja (Y) akan meningkat menjadi 11,196.

2. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Pengembangan Karir dengan
Kinerja Perusahaan dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,584 atau 58,4 %. Koefisien
diterminasi 0,341 atau sebesar 34,1 %. Hal ini berarti pengaruh variabel
Pengembangan karir terhadap kinerja perusahaan sebesar 34,1 % Persamaan regresi
antara variable Pengembangan Karir (X2) dan Kinerja Perusahaan (Y) adalah Y =
25,902+0,501 X.
Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel Pengembangan Karir (X2) sebesar
1 satuan, maka variabel kinerja perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 26,403

3. Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara disiplin kerja dan
Pengembangan Karir dengan Kinerja Perusahaan dengan Koefisien Diterminasi 0,409
atau sebesar 40,9 %. Hal ini berarti pengaruh variabel disiplin kerja (X1)
Pengembangan karir (X2) terhadap kinerja perusahaan (Y) sebesar 40,9 % Persamaan
regresi antara variable Pengembangan Karir (X2) dan Kinerja Perusahaan (Y) adalah
Y = 8,767+0,555X1+0,353X2.
Model Summary
b
.639
a
.409 .384 7.238
Model
1
R R Square
Adjusted
R Square
St d. Error of
the Estimate
Predictors: (Const ant ), Pengembangan.Karir, Disiplin a.
Dependent Variable: Kinerja b.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

47

Artinya setiap penambahan skor jawaban variabel disiplin kerja (X1) sebesar 1 satuan
dan variabel Pengembangan Karir (X2) sebesar 1 satuan, maka variabel kinerja
perusahaan (Y) akan meningkat menjadi 9,675.







DAFTAR PUSTAKA
Anwar Prabu Mangkunegara.2007. Evaluasi Kinerja SDM, Bandung : Refika Aditama
Anwar Prabu Mangkunegara.2000. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Bandung : Refika Aditama.
Faustino Cardoso Gomes. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Andi
Offset.
Gasperz, V. 2002. Total Quality Management. Edisi Manajemen Bisnis Total. Jakarta:
Gramedia.
H. Malayu S.P Hasibuan. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia Dasar dan Kunci
Keberhasilan. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.
Henry Simamora. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Bagian Penerbitan
STIE YKPN.
Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia,.
Prijodarminto, Soegeng. 1994. Disiplin Kiat Menuju Sukses. Jakarta : Pradnya Paraminta.
Stoner, James A.F. and R. Edward Freeman. 1992. Management. Fifth Edition. International
Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Edisi ke.6. Bandung : Tarsito.









Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

48

MONITORING DAN EVALUASI OTONOMI RUMAH SAKIT SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP PRIORITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT
- STUDI KASUS PADA RSUD R SYAMSUDIN, S.H -

Herny Nurhayati
Reinhard Chrismantsa
Mawar Yulita Novianty

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Abstract
Autonomy is intended to accelerate the process of realization of public welfare through
improved service, empowerment and community participation. This local government
autonomy is expected to increase competitiveness, through the principles of democracy,
equality, equity in development, improve the usability and the potential diversity of regional
resources. RSUD (Local Public Hospital) R SYAMSUDIN, S.H Sukabumi as government
hospital shave indirectly dealing with the impact of regional autonomy policy. In carrying out
the duties and functions in the health sector, RSUD R Syamsudin, S.H Kota Sukabumi is
expected to implement activities as planned and expected by society. This research analyzes
and evaluates the performance of public hospitals that are expected following the regional
autonomy. The data used in this study is secondary data time series covering aspects of
financial and non-financial aspects during the period 2007-2011 in hospitals. R
SYAMSUDIN, S.H Sukabumi West Java. Qualitative research. Research results generated in
granting autonomy to public hospitals are expected to improve performance so that
management can make better strategic decisions efficiently and effectively to the hospital and
remain focuse don the optimization of public service. So that the management can contribute
freely on available resources management in order to realized the priority health services
and creates the best in centives for hospitals in order to raise revenue independently. But
autonomy can move ambitiously, so the incentive occurs un controllably from hospital
management behavior. Accounting and rules are made and necessary to avoid the
occurrence of fraud in the management of existing resources for the welf are of the
Indonesian people in generalon the priority of service in public hospitals.

Keywords: Autonomous Hospital, Hospital Performance, Priority Community Services

PENDAHULUAN
Pelaksanaan otonomi daerah secara tidak langsung akan memaksa pemerintah daerah
untuk melakukan perubahan, baik perubahan struktur maupun proses birokrasi. Perubahan
struktur adalah perubahan yang bersifat kelembagaan institutional reform, yaitu dapat berupa
perampingan struktur birokrasi agar lebih efektif dan efisien. Perubahan proses meliputi
keseluruhan aspek siklus pengendalian manajemen di pemerintah daerah, yaitu perumusan
strategi, perencanaan strategik, penganggaran, pelaporan kinerja, dan penilaian kinerja.
RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi sebagai rumah sakit pemerintah secara tidak
langsung telah menghadapi dampak kebijakan otonomi daerah. Dalam mengemban tugas
pokok dan fungsinya di bidang kesehatan diharapkan dapat melaksanakan kegiatannya sesuai
dengan yang direncanakan dan diharapkan masyarakat. Untuk dapat memenuhi harapan
tersebut, RSUD R Syamsudin SH dituntut untuk mampu mempertanggungjawabkan, baik
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

49

keberhasilan maupun kegagalan dari pelaksanaan visi, misi, dan strategi organisasi dalam
mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
Kualitas merupakan faktor dasar yang dapat mempengaruhi pilihan konsumen untuk
berbagai jenis jasa yang berkembang saat ini dan telah menjadi salah satu faktor dalam
keberhasilan dan pertumbuhan suatu organisasi
Tahun 2008 Terjadi perubahan Pengelolaan Keuangan rumah sakit dari Swadana
menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berdasarkan Keputusan Walikota Sukabumi
Nomor 31 tahun 2008 tentang RSUD R. Syamsudin, SH sebagai SKPD yang menerapkan
PPK-BLUD secara Penuh.
Dalam usahanya untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya, RSUD R.
Syamsudin, S.H telah meningkatkan kualitas pelayanan disertai pelayanan yang tersertifikasi
ISO 9001:2000/SNI 19-9001-2001 dengan sertifikat Quality System Certificate Reg. No. 201-
07/131 yang kemudian RSUD R. Syamsudin, S.H juga telah meningkatkan kualitas
pelayanan disertai pelayanan yang tersertifikasi SNI ISO 9001:2008 dengan sertifikat Quality
System Certificate Reg. No. 323-07/131
Selanjutnya RSUD R. Syamsudin, S.H pada tahun 2011 telah meningkatkan kualitas
pelayanan implementasi System Management Terpadu untuk Mutu, Keamanan Keselamatan
Kerja (K3), dan Lingkungan Hidup. Dengan mengacu kepada ISO 9001 : 2008 dengan
sertifikat Quality System Certificate Reg No. 288 07/131), OHSAS 18001: 2007 (K3)
dengan sertifikat Occupational Health and Safety System Certificate Reg No. 06 11/06, dan
ISO 14001 : 2004 dengan sertifikat Environmental Management System Certifikate Reg No.
05 11/05.
Berkembangnya jumlah rumah sakit di Sukabumi menjadikan masyarakat Sukabumi
memiliki banyak pilihan untuk menentukan rumah sakit. Tumbuh persaingan antar rumah
sakit yang semakin ketat dan tajam. Untuk itu rumah sakit harus mengetahui apa saja faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Kualitas merupakan faktor dasar yang
dapat mempengaruhi pilihan konsumen untuk berbagai jenis jasa yang berkembang saat ini
dan telah menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan dan pertumbuhan suatu organisasi.
Selain itu RSUD R. Syamsudin SH dihadapkan pada fenomena kinerja organisasi
pelayanan kesehatan biasanya menggunakan kriteria pengukuran yang melibatkan ukuran
internal dan eksternal. Ukuran kriteria internal diukur meliputi efisiensi produk dan utilitas,
dipertimbangkan dengan konstruk kualitas proses dan pelayanan. Sedangkan ukuran eksternal
diukur melalui hal yang ada diluar organisasi, kriterianya dievaluasi dengan menggunakan
data kondisi keuangan dan market share yang dikumpulkan dari pihak ketiga. Dengan kata
lain, kriteria kualitas eksternal difokuskan pada persepsi dan kepuasan konsumen dari produk
atau jasa yang dihasilkan oleh pelayanan kesehatan. Mencari apakah ada kesenjangan antara
kualitas pelayanan yang dipersepsikan dengan kualitas pelayanan yang diharapkan pasien
rumah sakit. Dan variabel apa yang harus diprioritaskan pada masing-masing rumah sakit.
Maka untuk mengacu kinerjanya kita melihat pedoman yang dibuat dalam RSUD R
Syamsudin S.H yaitu: 1) VISI RSUD R Syamsudin S.H adalah tahun 2013 menjadi Rumah
Sakit Daerah Terunggul Dalam Bidang Pelayanan dengan unggulan Surgery, Neurology,
Afiliasi Pendidikan dan Penelitian. 2) MISIyang ditetapkan yaitu menyelenggarakan kegiatan
peningkatan mutu seluruh pelayanan secara berkesinambungan berbasis kompetensi dan
Integrasi Moral. Mengembangkan fasilitas Unggulan Pelayanan sesuai dengan perkembangan
IPTEKDOK Medikolegal berbasis penelitian dan Penelusuran Riset Pasar.
Menyelenggarakan Layanan Sosial Kesehatan yang bermutu tinggi Menyelengarakan Afiliasi
Pendidikan dan Penelitian. 3) STRATEGI Berdasarkan Dokumen Sistem Manajemen Mutu
Terpadu (SMT). RSUD R.Syamsudin, SH tahun 2011 sebagaimana diketahui bahwa salah
satu arah kebijakan umum Kota Sukabumi adalah meningkatnya mutu pelayanan kesehatan
melalui upaya promotif, preventif, kuratif secara professional maka salah satu strategi yang
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

50

dapat menunjang adalah meningkatkan pelayanan rumah sakit yang aman, nyaman dan
sembuh. 4) ARAH KEBIJAKAN Adapun kebijakan untuk mencapai tujuan dan saran
melalui strategi meningkatkan pelayanan rumah sakit yang aman, nyaman, dan sembuh
diantaranya: Intensifikasi dan ekstensifikasi pengelolaan pendapatan rumah sakit, KSO
dengan Pihak III, Memberikan ketepatan dan kecepatan pelayanan, Memberikan jaminan
kepuasan pelanggan.
RSUD R Syamsudin SH, Sebagai rumah sakit pemerintah yang dikelola secara
sosioekonomis, maka misi sosial menjadi prioritas utama. Namun, dalam pengelolaannya
tidak meninggalkan prinsip-prinsip bisnis dalam mengembangkan produk layanan. Adanya
penerapan ISO tersebut, maka perlu ada pengkajian terhadap tingkat kepuasan masyarakat
tentang pelayanan yang diberikan selama ini. Untuk itu perlu dilakukan penilaian kinerja,
baik dari segi keuangan maupun nonkeuangan. Penilaian kinerja yang tepat adalah penilaian
kinerja yang mempertimbangkan faktor eksternal dan internal, keuangan dan nonkeuangan,
jangka panjang dan jangka pendek.

KAJIAN PUSTAKA
Otonomi berarti pindah dari unit administrasi pemerintahan, yaitu pemisahan antara
agen pendanaan (Departemen Kesehatan atau dinas kesehatan setempat) dan rumah sakit.
Dengan demikian, otonomi rumah sakit dapat didefinisikan sebagai pengurangan kontrol
pemerintah langsung atas rumah sakit umum, dan pergeseran dari keputusan sehari-hari
membuat dari hirarki kepada tim manajemen rumah sakit. Hal ini dapat diringkas sebagai
"letting managers manage" (Harding dan Preker, 2003).Seperti yang diterapkan oleh analogi
kontinum, otonomi bukanlah negara absolut, di mana rumah sakit atau tidak otonom (Collins
et al, 1999.). Dengan kata lain, rumah sakit dapat lebih otonom dalam fungsi tertentu dan
kurang otonom pada orang lain, dan satu rumah sakit dapat berbeda dari orang lain mengenai
tingkat dan intensitas otonomi di masing-masing fungsi (Chawla et al., 1996).
Sebuah tahap yang lebih maju dari otonomisasi disebut korporatisasi oleh beberapa
penulis. Ied (2001) menyebutnya sebagai "hybrid organizational form" dimana otonomi
diberikan namun kepemilikan publik dipertahankan. Harding dan Preker (2003)
mendefinisikan entitas corporatized sebagai salah satu meniru Pemantauan 4 swasta dan
Mengevaluasi otonomisasi Rumah Sakit dan Efek Terhadap perusahaan Prioritas Pelayanan
Kesehatan yang bekerja dalam kendala anggaran keras dan akuntabilitas keuangan penuh,
tetapi tetap memiliki kepemilikan publik dan memenuhi sosial dan publik kewajiban. Bentuk
ekstrem dari otonomisasi adalah bahwa privatisasi, dimana rumah sakit kerugian bersifat
publik dan benar-benar ditransfer ke pemilik swasta, baik untuk keuntungan atau tidak-untuk-
keuntungan.
Otonomisasi dapat berlangsung dengan atau tanpa desentralisasi sistem kesehatan yang
lebih luas perawatan. Bahkan ketika suatu sistem kesehatan terpusat yang didesentralisasikan
ke subunit regional atau lokal, rumah sakit dapat disimpan di bawah komando unit-unit
subnasional dan kekurangan setiap otonomi untuk membuat keputusan sendiri.

Dua dimensi otomoni rumah sakit
Terdapat dua dimensi otonomi rumah sakit Chawla dkk (1996) menyatakan bahwa
definisi otonomi rumah sakit berada pada dua dimensi, yaitu: (1) seberapa jauh sentralisasi
pengambilan keputusan; dan (2) jangkauan keputusan untuk menentukan kebijakan dan
pelaksanaan program oleh rumah sakit.
Dengan demikian, konsep otonomi rumah sakit dapat dipergunakan pada rumah sakit-
rumah sakit pemerintah ataupun swasta. Pada konteks rumah sakit swasta, otonomi rumah
sakit diartikan sebagai seberapa jauh direksi rumah sakit dapat melakukan keputusan
manajemen, misalnya menentukan anggaran. Di rumah sakit pemerintah derajat otonomi
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

51

dapat diukur, misalnya dari indikator mengenai proses rekruitmen dokter. Jika rumah sakit
pemerintah tidak mempunyai wewenang untuk menerima dokter, rumah sakit tersebut tidak
otonom dalam manajemen SDM. Perlu dipahami bahwa semakin besar level tingkatan
otonomi sebuah rumah sakit pemerintah tidak berarti mengarah pada privatisasi, selama tidak
ada pemindahan pemilikan ke pihak masyarakat.
Dalam kriteria evaluasi terlihat bahwa hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip
ekonomi seperti efisiensi, akuntabilitas, pemerataan dan mobilisasi sumber daya merupakan
hal penting dalam reformasi rumah sakit. Dengan demikian, perubahan rumah sakit dari
lembaga sosial menjadi lembaga usaha membutuhkan kemampuan dan keterampilan
menggunakan ilmu ekonomi yang tidak hanya mencari keuntungan keuangan semata, tetapi
juga penggunaan ilmu ekonomi untuk pemerataan dan etika lembaga usaha rumah sakit.

Pelayanan Publik
Menurut H.A.S Moenir (1995), pelayanan publik merupakan upaya yang dapat
memberikan manfaat bagi pihak lain dan dapat ditawarkan untuk digunakan dengan
membayar kompensasi penggunaan. Pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor materil melalui sistem, prosedur
dan metode tertentu dalam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Pelayanan publik dapat dilakukan oleh perorangan, badan usaha, dan negara dalam hal
ini baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun badan usaha milik pemerintah.
Pelayanan publik di Indonesia banyak dikenal dengan sifatnya yang terlalu birokratis.
Sehingga tidak jarang sering mendapatkan keluhan dari masyarakat. Hal ini bisa terjadi tak
lain karena birokrasi kurang memperhatikan kepentingan masyarakat dalam melayani.
Sejalan dengan perkembangan manajemen pemerintahan negara dalam upaya
mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas, paradigma pelayanan publik berkembang
dengan fokus pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan yang memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: Pertama, lebih memfokuskan diri kepada fungsi pengaturan melalui berbagai
kebijakan. Kedua, memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat. Ketiga, menerapkan
sistem kompetensi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu. Keempat, fokus pada
pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes). Kelima,
mengutamakan keinginan masyarakat. Keenam, pada hal tertentu, pemerintah juga berperan
untuk memperoleh masukan dari pelayanan yang dilaksanakan. Ketujuh, mengutamakan
antisipasi terhadap permasalahan pelayanan. Kedelapan, lebih mengutamakan desentralisasi
dalam pelaksanaan pelayanan. Sembilan, menerapkan sistem pasar dalam memberikan
pelayanan. (Lembaga Administrasi Negara).
Di Indonesia upaya menerapkan pelayanan berkualitas dilakukan melalui konsep
pelayanan prima. Konsep ini dijabarkan dalam berbagai sistem seperti pelayanan satu atap
atau pelayanan satu pintu. Perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah juga tidak lepas dari upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan. Perubahan tersebut juga didasari pergeseran
paradigma dari sentralistis ke desentralisasi dalam upaya meningkatkan efisiensi, mutu dan
efektivitas pelayanan.

Standar Pelayanan Publik
Adanya otonomi daerah belum tentu menjamin pelayanan akan menjadi lebih baik.
Namun, pemerintah harus lebih tegas dalam membuat kebijakan berkaitan dengan pelayanan
kepada masyarakat. Salah satunya adalah dengan membuat standar pelayanan publik. Setiap
penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan
sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

52

ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh
pemberi dan atau penerima pelayanan. Menurut Keputusan MENPAN No. 63/2004.

Prioritas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit.
Rumah sakit adalah rumah tempat merawat orang sakit, atau tempat menyediakan dan
memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai masalah kesehatan (Depdikbud,
1991).Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI, No. 159 b / Men. Kes / PER /II/1988
menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan
tenaga kesehatan dan penelitian.
Menurut Permenkes RI, No. 159b, 1988, yang dimaksud dengan klasifikasi rumah sakit
adalah pengelompokan rumah sakit berdasarkan pembedaan bertingkat menurut kemampuan
pelayanan kesehatan yang dapat disediakan.
Keberhasilan rumah sakit untuk memecahkan sebagian besar masalah kesehatan
masyarakat harus diakui. Berbagai keberhasilan yang dicapai telah pula menyebabkan
tingginya tingkat ketergantungan sebagian masyarakat terhadap rumah sakit untuk mengatasi
berbagai keluhan kesehatannya (Foster and Anderson, 1986; Jhonson and Sargent, 1990).
Berdasarkan pendapat Mills et al (1991), dapat disimpulkan bahwa tuntutan masyarakat
terhadap kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit telah menjadi masalah mendasar yang
dihadapi sebagian besar rumah sakit di berbagai negara.
Tuntutan ini menjadi dasar pengembangan organisasi kesehatan dan sistem pelayanan
kesehatan diberbagai negara melalui pelaksanaan desentralisasi. Kompleksitas masalah
kualitas pelayanan rumah sakit tidak saja terkait dengan keterbatasan sumber daya dan
lingkungan, tetapi juga bersumber dari perbedaan persepsi diantara pemakai jasa pelayanan,
petugas kesehatan, dan pemerintah atau penyandang dana terhadap ukuran kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit.

Fenomena Kepuasan Pasien
Berdasarkan pendapat Wexley dan Yukl (1977) yang mengutip definisi kepuasan dari
porter, dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah selisih dari banyaknya sesuatu
yangseharusnya ada dengan banyaknya apa yang ada. Semakin besar kekurangan dan
semakin banyak hal penting yang diinginkan, semakin besar rasa ketidakpuasan.
Asumsi teoritis di atas selaras pendapat Gibson (1987), yang dapat disimpulkan
bahwa kepuasan seseorang (pekerja, pasien atau pelanggan) berarti terpenuhinya kebutuhan
yang diinginkan yang diperoleh dari pengalaman melakukan sesuatu, pekerjaan, atau
memperoleh perlakuan tertentu dan memperoleh sesuatu sesuai kebutuhan yang diinginkan.
Penilaian terhadap kondisi rumah sakit (mutu baik atau buruk) merupakan gambaran kualitas
rumah sakit seutuhnya berdasarkan pengalaman subjektif individu pasien.
Penilaian pasien terhadap mutu rumah sakit bersumber dari pengalaman pasien.
Aspek pengalaman pasien rumah sakit, dapat diartikan sebagai suatu perlakuan atau tindakan
pihak rumah sakit yang sedang atau pernah dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh
seseorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan rumah sakit.
Berpedoman pada konsep akreditasi rumah sakit, dapat disimpulkan bahwan mutu
pelayanan rumah sakit (meliputi aspek administrasi, pelayanan medis, pelayanan gawat
darurat, pelayanan keperawatan, rekam medis, kamar operasi, pelayanan perinatal resiko
tinggi, pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium, pengendalian infeksi di rumah sakit,
pelayanan sterilisasi, keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana) merupakan
indikator kepuasan pasien (redaksi jendela rumah sakit, 1996).
Dengan demikian, pada suatu saat tertentu seseorang dapat merasa puas pada suatu
aspek dari suatu keadaan. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan Taylor (1994), dapat
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

53

disimpulkan bahwa aspek mutu pelayanan rumah sakit sebagai indikator kepuasan pasien
cenderung merupakan suatu penomena yang diterima secara luas dikalangan para ahli.
Beberapa karakteristik individu yang diduga menjadi determinan utama atau penentu
prioritas indikator kualitas pelayanan kesehatan, dan penentu prioritas tingkat kepuasan
pasien, adalah (1) Kinerja tenaga dokter, (2) Kinerja tenaga perawat, (3) Makanan dan menu,
(4) Pembiayaan, Rekam medis. Indikator pelayanan kesehatan yang dipilih pasien sebagai
prioritas ukuran kualitas pelayanan kesehatan, cenderung akan menjadi sumber utama
terbentuknya tingkat kepuasan pasien.
Kepuasan pasien adalah hasil penilaian pasien berdasarkan perasaanya, terhadap
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang telah menjadi bagian dari
pengalaman atau yang dirasakan pasien rumah sakit atau dapat dinyatakan sebagai cara
pasien rumah sakit mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat kualitas pelayanan di rumah
sakit, sehingga dapat menimbulkan tingkat rasa kepuasan.
Peningkatan Efesiensi dan Kualitas Pelayanan
Diharapkan rumah sakit umum akan meningkatkan kinerja ketika diberikan otonomi.
Harapan ini bersandar pada dua asumsi utama. Asumsi pertama adalah bahwa non-otonom
rumah sakit dibatasi oleh kekakuan organisasi pemerintahan hirarkis, dan kekakuan tersebut
tidak memungkinkan administrator rumah sakit untuk membuat keputusan yang akan
meningkatkan kinerja. Asumsi kedua adalah bahwa, setelah diberikan otonomi, rumah sakit
umum akan terkena persaingan dengan rumah sakit saingan, yang akan menekan mereka
untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi untuk bertahan hidup.


PENELITIAN TERDAHULU

Govindaraj and Chawla (1996)
Govindaraj dan Chawla dilakukan lima studi kasus negara (Ghana, Kenya, Zimbabwe,
India, dan Indonesia), di setiap negara, satu atau beberapa rumah sakit dianalisis dengan
menggunakan M & E toolkit oleh Chawla et al. (1996). Mereka menyimpulkan bahwa
meskipun sulit untuk memisahkan efek dari desain yang buruk dari orang-orang miskin
implementasi, efek keseluruhan dari otonomisasi terhadap kinerja rumah sakit tampaknya
menjadi terbatas. Namun, hal ini dapat dikaitkan dengan waktu singkat yang berlalu sejak
pemberian otonomi.
Mereka juga menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya adalah alasan utama untuk
pemberian status otonomi dalam banyak kasus. Ini tersirat pergeseran dari line-item, untuk
memblokir anggaran hibah, dalam banyak kasus, dana tambahan dari fee user atau biaya-
recovery pendapatan sangat terbatas, meskipun Indonesia adalah pengecualian yang luar
biasa untuk temuan ini. Dalam semua kasus, sumber daya manusia yang dipertahankan di
bawah berbagai tingkat kontrol pusat. Meskipun studi menunjukkan tidak ada efek yang
terlihat pada efisiensi, kualitas, dan indikator akuntabilitas, mereka menemukan indikator
ekuitas negatif terpengaruh atau tidak terpengaruh. Data keterbatasan dari penelitian ini
adalah relevan untuk studi lebih lanjut.

Preker and Harding (2003)
Delapan studi kasus negara (Inggris, Selandia Baru, Victoria (Australia), Hong Kong,
Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Tunisia) yang dilakukan oleh penulis yang berbeda
setelah pengukuran dan evaluasi yang diusulkan oleh toolkit Preker dan Harding (2003).
Meskipun toolkit mencakup indikator dari respon rumah sakit dan dampak dari reformasi,
studi kasus yang difokuskan pada implementasi.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

54

Implementasi dinilai dari segi tingkat pencapaian di masing-masing dari lima elemen
utama dari struktur rumah sakit, yaitu, status penuntut sisa, hak keputusan, eksposur pasar,
akuntabilitas, dan mandat didanai (ini akan dijelaskan di bagian berikutnya). Para penulis
dihitung sebagai keberhasilan pelaksanaan suatu proses yang membutuhkan rumah sakit
menuju otonomi penuh yaitu sebuah rumah sakit diprivatisasi.
Mengingat bahwa dampak sulit untuk menganalisa karena ketersediaan data dan efek
kovariat yang sulit untuk mengisolasi dalam sejumlah kecil unit analisis, studi kasus tidak
kuat konklusif tentang efek otonomisasi.
Hawkins dan Ham (2003) merangkum delapan studi. Mereka menemukan bahwa
Singapura, Hong Kong, Tunisia, Malaysia, dan negara bagian Victoria adalah kasus yang
paling sukses. Kasus-kasus ini menunjukkan perbaikan dalam output dan kualitas, tetapi juga
meningkatkan biaya dan gaji, dan efek pengganggu dari reformasi dalam sistem pembayaran.
Pengalaman Inggris dianggap sebagai sebagian berhasil dalam hal efisiensi, tetapi ada juga
efek pembaur reformasi lainnya. Kasus yang kurang berhasil adalah mereka dari Selandia
Baru dan Indonesia, di mana pelaksanaan beberapa elemen reformasi tidak selesai, atau
bahkan terbalik. Dalam analisis lebih lanjut dari studi kasus dan kasus tambahan lainnya,
Jakab et al. (2002a) menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan seluruh lima
elemen struktur organisasi. Setiap kali sebuah rumah sakit membuat kemajuan penting dalam
beberapa elemen, tetapi sedikit kemajuan pada orang lain (misalnya, pengambilan keputusan
tentang sumber daya manusia disimpan di tingkat pusat), tidak hanya itu reformasi kurang
berhasil tetapi juga organisasi yang beresiko menjadi disfungsional.

McPake et al. (2003)
McPakeetal. (2003) memberikan bukti sugestif dari dampak positif dari otonomisasi
pada kualitasdan efisiensi di lima rumah sakit di Bogot, Kolombia. Sebuah reformasi
kesehatan luas perawatan disahkan di negara ini pada tahun 1993, yang termasuk pemberian
status otonomi ke rumah sakit umum. Meskipun dampak positif sulit untuk atribut untuk
otonomisasi itu sendiri, dapat dikatakan penelitian ini bahwa pembayaran reformasi,
penggerak utama perubahan dalam output, lebih mungkin untuk memberi efek mereka dalam
konteks rumah sakit otonom.
Para penulis juga menyoroti bahwa keterbatasan seperti ketersediaan dan kualitas data
yang disimpan mereka dari melakukan analisis statistik yang lebih rumit dan mencapai
kesimpulan yang kuat. Mengingat rentang waktu yang lama mereka bertujuan untuk
menganalisis (1990-1998), perubahan dalam prosedur akuntansi dan kebijakan selama
periode itu membuat sulit untuk membandingkan atau menginterpretasikan tren. Mereka juga
menekankan perlunya metode penelitian kualitatif untuk mencapai pemahaman yang lebih
baik tentang dinamika hubungan pembeli-penyedia.

Russel et al. (1999)
Penelitian ini merangkum temuan dari lima studi kasus negara: Ghana, Zimbabwe,
India (Tamil Nadu), SriLanka, dan Thailand. Meskipun studi ini berfokus pada pelaksanaan
reformasi New Public Management (NPM) di sektor kesehatan, temuan yang relevan seperti
kebijakan rumah sakit umum yang bersangkutan. Para penulis menunjukkan bahwa, dalam
banyak kasus, reformasi NPM tidak menikmati dukungan politik yang kuat, tetapi bahkan
jika mereka lakukan, negara tidak memiliki keahlian teknis untuk melaksanakan reformasi.
Mereka juga menekankan kebutuhan untuk membangun kembali kapasitas pemerintah
peraturan dan memperkuat sistem informasi.
Batley (1999) merangkum penelitian yang dilakukan oleh Russeleta dan studi lain di
beberapa daerah manajemen publik yang merupakan bagian dari proyek besar untuk
menganalisa pelaksanaan reformasi NPM di negara berkembang. Dia menunjukkan bahwa
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

55

pemisahan antara pembeli dan penyedia tidak berhasil, terutama karena hanya satu sisi dari
persamaan liberalisasi diimplementasikan yaitu pemberian otonomi kesisi penyedia. Sisi lain
dari persamaan, yaitu, penguatan kapasitas pengaturan di sisi pembeli, telah ditinggalkan. Hal
ini menyebabkan kurangnya kontrol atas otonom, entitas corporatized atau diprivatisasi. Ia
juga menganggap bahwa biaya transaksi dari kontrak berbasis hubungan baru lebih besar dari
pada keuntungan dari otonomisasi.

METODE PENELITIAN
Variabel yang dianalisis adalah Monitoring Dan Evaluasi Otonomi Rumah Sakit,
Prioritas Pelayanan Rumah Sakit. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan maksud
memperoleh gambaran yang mendalam tentang evaluasi dan monitoring terhadap prioritas
pelayanan kesehatan akibat adanya otonomi di RSUD R Syamsudin S.H Kota Sukabumi.
Penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca berbagai buku
literature dan referensi lainnya, termasuk hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan bisa memperoleh landasan
teori yang dapat mendukung analisis yang dilakukan nantinya. Sedangkan Penelitian
lapangan dimaksudkan untuk menghimpun data dan informasi yang diperoleh dari RSUD R
Syamsudin S.H Kota Sukabumi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtut waktu (time
series) yang meliputi aspek keuangan dan aspek non keuangan selama kurun waktu 2007-
2011. Data keuangan meliputi laporan keuangan tahunan berupa Neraca, Laporan Aktivitas
dan Laporan Arus Kas. Sedangkan data non keuangan yang meliputi informasi kinerja,
informasi jumlah kunjungan penderita di rumah sakit yang bertujuan memperoleh infornasi
kemampuan tenaga kesehatan dalam melayani penderita yang datang.
Dalam pengumpulan data penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik
diantaranya: (1) Wawancara, penulis melakukan wawancara tidak terstruktur dengan pihak
terkait di RSUD R Syamsudin S.H Kota Sukabumi diantaranya dengan staf keuangan rumah
sakit; (2) Dokumentasi, penulis mengumpulkan dokumen pendukung yang diantaranya
laporan keuangan, laporan tahunan dan data penunjang lain; (3) Studi kepustakaan, penulis
berupaya mendapatkan teori yang berhubungan dengan penelitian ini.

PEMBAHASAN

1. Analisis Monitoring
1.1. Kinerja Pelayanan Masa Kini (menurut berbagai aspek pelayanan dan capaian
terhadap SPM).
Kinerja Pelayanan BLUD RSU R. Syamsudin,SH berorientasi pada visi yang ingin
dicapai dimana pada tahun 2010 diharapkan menjadi rumah sakit daerah terunggul dalam
bidang pelayanan dan afiliasi pendidikan dengan menyelenggarakan kegiatan mutu diseluruh
bidang pelayanan secara berkesinambungan berbasisi kompetensi, mengembangkan fasilitas
unggulan pelayanan sesuai denan perkembangan Ipteknok Medicolegal berbasis penelitian
dan menyelenggaakan layanan sosial kesehatan yang bermutu tinggi. Untuk capaian terhadap
SPM rumah sakit menyediakan berbagai Jenis Pelayanan Minimal seperti : pelayanan gawat
darurat, pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan bedah sentral, pelayanan
persalinan, pelayanan intensif, radiologi, pelayanan laboratorium patologi klinik, pelayanan
rehabilitasi medik, pelayanan farmasi, pelayanan gizi, pelayanan cuci darah, pelayanan
keluarga miskin, pelayanan rekam medis, pengolahan limbah, pelayanan administrasi
manajemen, pelayanan ambulance / kereta jenazah, pelayanan pemulasaraan jenazah.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

56

1.2. Kekuatan dan Kelemahan Internal
ANALISA LINGKUNGAN INTERNAL
Kritikal Faktor Sukses Bobot Rating Skor Bobot
Kekuatan :
a. Akreditasi penuh 12 pelayanan
b. Brand name
c. Tersedianya peralatan canggih
d. Rumah sakit rujukan
e. Tersedianya fasilitas VIP dan Super VIP
f. Difersifikasi unit revenue center
g. Total Revenue meningkat (performance
penerimaan fungsional meningkat setiap
tahun)
h. Keterlibatan komite dalam decision making
i. Variasi pelayanan Dokter Spesialis
j. Lokasi Rumah Sakit strategis
k. Implementasi PKK-BLUD
l. Sertifikasi ISO 9000 : 2001
m. Master plan RSUD dan SIMRS
Jumlah

0.03
0.10
0.03
0.01
0.01
0.04
0.02


0.01
0.04
0.06
0.10
0.12
0.03
0.60

2
4
3
2
2
2
3


4
2
3
4
2
2

0.06
0.40
0.09
0.02
0.02
0.08
0.06


0.04
0.08
0.18
0.40
0.24
0.06
1.73
Kelemahan :
a. Motivasi dan produktivitas SDM belum
optimal
b. Kepatuhan terhadap SOP belum optimal
c. Utilisasi peralatan belum oprimal
d. Rigiditas Anggaran RSUD
e. Master plan RSUD dalam Proses
Penyelesaian
f. Beberapa SMF belum optimal
g. Marketing &Public Realtion belum
profesional
h. Belum terpenuhi rasio pengembangan SDM
5 hari per orang per tahun
i. Pengembangan Karir staf belum
proporsional
j. Remunerasi belum memadai dan
berkeadilan
Jumlah


0.02

0.02
0.04
0.08
0.03

0.07
0.02

0.02

0.02
0.08
0.40

2

4
3
3
4

2
2

3

3
2

0.04

0.08
0.12
0.24
0.12

0.14
0.04

0.06

0.06
0.16
SELISIH 0.20 0.67


1.3 Peluang dan Tantangan Eksternal
ANALISA LINGKUNGAN EKTERNAL
Kritikal Faktor Sukses Bobot Rating Skor Bobot
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

57

Peluang
a. Perbendaharaan Negara
b. Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah
c. Undang-undang nomor 40 tahun 2004
tentang System Jaminan Sosial Nasional
d. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
e. Permendagri nomor 61 tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah
f. Banyaknya Manajer dan staf Perusahaan
Swasta yang membutuhkan layanan
kesehatan
g. Meningkatnya kepuasan masyarakat
terhadap layanan yang diberikan sesuai
dengan brand image RS
h. Masih mendapat subsidi dana dan
seumber-sumber lainnya (hibah-pihak
ketiga-Public service Obligation

Jumlah


0.04
0.04

0.07

0.09


0.17


0.07


0.15


0.05



0.68

4
3

2

2


3


4


2



2



0.44
0.12

0.14

0.18


0.51


0.28


0.30



0.14
Ancaman :

a. Regulasi tenaga profesi / ahli
b. Kompetisi layanan kesehatan rujukan
berkualitas pada segmen-segmen menengah
atas
c. Kompetisi tenaga profesi Pemerintah
dengan Swasta
d. Undang-undang nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran yang berkaitan
dengan SIP di tiga tempat
e. Konflik of interest penerapan Undang-
undang nomor 08 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bagi sektor
kesehatan
Jumlah


0.03
0.07


0.12

0.03


0.07

0.32



4
2


1

3


2


0.04
0.14


0.12

0.09


0.14


0.47
SELISIH 0.36 1.60

2. Analisis Evaluasi
Menurut Bambang Riyanto (2009 : 329) dalam mengadakan interpretasi dan analisa
laporan suatu perusahaan, seorang penganalisa memerlukan adanya ukuran atau yard-stick
tertentu. Ukuran yang sering digunakan dalam analisa finansial adalah rasio. Pengertian
rasio itu sebenarnya hanyalah alat yang dinyatakan dalam arithmetical terms yang dapat
digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansial.
Penggunaan analisis rasio finansial sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas
diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

58

publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada
kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Mardiasmo (2002 : 123).
lndikator kinerja finansial dapat dilihat dari aspek keuangan yaitu dengan menggunakan rasio
likuiditas, rasio struktur modal, rasio aktivitas dan rasio profitabilitas. Arifin dan Prasetya
(2007 : 7).
Dalam organisasi sektor publik, analisis terhadap rasio-rasio tersebut dapat disesuaikan
dengan kondisi yang ada, yaitu: (1) Rasio Likuiditas (2) Rasio Struktur Modal (3) Rasio
Aktivitas (4) Rasio Profitabilitas . Berikut adalah tabel Rasio Finansial:

Tabel 1 Rasio Finansial
No. Keterangan
1 Rasio Likuiditas
a. Rasio lancar
b. Rasio cepat (Quick ratio)
2 Rasio Struktur Modal
a. Rasio biaya modal (equity financing ratio)
b. Rasio hutang terhadap modal
3 Rasio Aktivitas
a. Perputaran total aktiva
b. Perputaran aktiva tetap
c. Perputaran aktiva lancar
4 Rasio Profitabilitas
a. Mark up ratio
b. Marjin operasi
c. Return on assets
d. Return on equity

Menurut Mardiasmo (2002:123), informasi non finansial dapat dipakai sebagai tolak
ukur penilaian kinerja. Indikator kinerja non finansial bagi rumah sakit di klasifikasikan
untuk dapat memudahkan dalam menilai kinerja berdasarkan dimensi efisiensi (BOR, TOI,
BTO) dan dimensi kualitas (GDR dan NDR). Menurut Departemen Kesehatan Rl (2005)
uraian pengklasifikasian tersebut adalah sebagai berikut: (1) BOR (Bed Occupancy Rate)
lndikator ini memberikan gambar tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah
sakit yang telah tersedia; (2) TOI (Tum Over Interval) lndikator ini memberikan gambaran
tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur; (3) BTO (Bed Tum Over) adalah frekuensi
pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan
waktu tertentu; (4) ALOS (Average Length Of Stay) Indikator ini disamping memberikan
gambaran tingkat efisiensi, juga sebagai gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada
diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut; (5) GDR
(Gross Death Rate) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar; (6)
NDR (Net Death Rate) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000
penderita keluar. lndikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Perhitungan terhadap rasio tersebut dapat dipakai sebagai acuan dalam menilai kinerja
dari sisi non finansial. Tinggi rendahnya nilai yang di dapat, lalu dibandingkan hasilnya
antara beberapa tahun yang menjadi objek penelitian. Hal ini dilakukan untuk melihat tren
peningkatan atau penurunan nilai rasio yang menunjukan kinerja rumah sakit jika dilihat dari
aspek non finansial yang mengindikasikan kinerja dari tingkat pelayanan yang diberikan
pihak rumah sakit seperti yang terlihat dalam table ratio non financial berikut:


Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

59

Tabel 2 Rasio Non Finansial
No Jenis Rasio
1. BOR (Bed Occupancy Rate)
2. TOI (Turn Over Interval)
3. BTO (Bed Turn Over)
4. ALOS ( Average Length Of Stay)
5. GDR (Gross Death Rate)
6. NDR (Net Death Rate)
Sumber: Standar Nasional Asuhan Kesehatan RS di Indonesia dalam Muninjaya (2004).
Pengertian Kinerja
Menurut Bastian (2001:85), kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi
dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategi suatu organisasi.
Mardiasmo (2002:121) menambahkan bahwa sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah
suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu
strategi melalui alat finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan
sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja biasanya diikuti oleh sistem
reward dan punishment. Bagi sektor publik, pengukuran kinerja dilakukan untuk memenuhi
tiga maksud, yaitu: (1) Membantu memperbaiki kinerja pemerintah; (2) Digunakan untuk
pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; (3) Untuk mewujudkan pertanggung
jawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Kinerja sektor publik bersifat multi dimensional sehingga tidak ada indikator tunggal
yang dapat menunjukan kinerja secara komprehensif. Berbeda dengan sektor swasta, output
sektor publik bersifat tidak berwujud (intangible output) sehingga aspek keuangan saja tidak
cukup untuk menilai kinerja sektor publik. Pengukuran kinerja finansial dan non finansial
secara berimbang memungkinkan untuk penelusuran perkembangan pencapaian strategi.
Berdasarkan teori-teori pendukung diatas, penulis merangkumnya kedalam gambar
kerangka berpikir seperti dibawah ini :










MONITORING
INTERNAL
EKSTERNAL
EVALUASI
RASIO FINANSIAL
RASIO NON FINANSIAL
PRIORITAS PELAYANAN
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

60

KINERJA FINANSIAL
RSUD R. SYAMSUDIN, SH KOTA SUKABUMI
Per tahun 2007 2011

No. Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011
1 RasioLikuiditas
a. Rasio lancer 4,343 4,362 2,920 2,830 2,118
b. Rasio cepat (Quick ratio) 2,552 3,651 2,761 2,697 1,962
2 Rasio Struktur Modal
a. Rasio hutang terhadap modal 0,027 0,020 0,070 0,088 0,119
b. Rasio hutang terhadap aktiva
tetap
0,029 0,022 0,081 0,105 0,137
3 RasioAktivitas
a. Perputaran total aktiva 0,458 0,519 0,525 0,685 0,749
b. Perputaran aktiva tetap 0,516 0,569 0,650 0,888 0,966
c. Perputaran aktiva lancer 4,068 5,935 2,741 2,984 3,326
4 RasioProfitabilitas
a. Mark up ratio 0,135 0,040 0,075 0,119 0,103
b. Marjin operasi 0,138 0,058 0,102 0,141 0,119
c. Return on assets 0,063 0,030 0,054 0,097 0,089
d. Return on equity 0,065 0,031 0,057 0,105 0,100

Pada perhitungan likuiditas digunakan rasio lancar dan rasio cepat yang menjelaskan
kemampuan rumah sakit dalam membayar kewajiban jangka pendeknya. Dianalisis bahwa
terjadinya kewajiban jangka pendek yang meningkat dari tahun ke tahun selama lima tahun
yang tidak diikuti oleh perkembangan aktiva lancarnya. Sebagai catatan kemampuan tahun
2007-2008 tinggi dalam melunasi kewajiban jangka pendek dikarenakan penumpukan
persediaan yang tinggi dan mengalami kestabilan di tahun mendatang.
Perhitungan rasio kewajiban jangka panjang dibandingkan dengan modal rumah sakit
dapat dijelaskan bahwa selama kurun waktu lima tahun adanya kewajiban jangka panjang
yang harus dibayar oleh pihak rumah sakit yang meningkatkan bersama jumlah ekuitas rumah
sakit. Perhitungan terhadap rasio hutang dibandingkan dengan aktiva tetap dalam kurun
waktu lima tahun juga ada kewajiban jangka panjang yang harus dilaksanakan oleh rumah
sakit. Adanya kewajiban jangka panjang yang terdapat dalam unsur aktiva tetap
mengidentifikasikan peningkatan dalam pengembangan rumah sakit dalam hal meningkatkan
jumlah aktiva tetap dengan mengandalkan dana yang berasal dari pinjaman jangka panjang.
Dalam kurun waktu lima tahun adanya kewajiban jangka panjang yang harus dibayar oleh
rumah sakit sehingga mengembangkan pelayanan dan kinerja rumah sakit dari sumber
pinjaman yang dilakukan rumah sakit. Akan tetapi diharapkan adanya kestabilan yang
dilakukan rumah sakit dalam kemampuan finansial pembayaran kewajiban yang lebih baik.
Faktor kontribusi aktiva untuk mendukung performa rumah sakit dalam meningkatkan
pendapatan serta pelayanan rumah sakit terangkum dalam rasio aktivitas. Hal ini sangat
tergambar dalam aktiva tetap yang dianalisis mengalami peningkatan yang stabil dikarenakan
faktor-faktor penyediaan alat-alat kesehatan yang baik.
Peningkatan hasil usaha yang stabil dan terus meningkat tergambar dalam ROA dan
ROE yang dimiliki oleh rumah sakit sehingga dapat dikatakan kinerja yang dimiliki dalam
menghasilkan laba per tahun dinilai baik melalui pengelolaan aktiva ataupun modal yang ada.
Marjin operasi menunjukan adanya kemampuan dalam menghasilkan pendapatan yang lebih
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

61

mandiri dalam rangka otonomi yang dilakukan oleh rumah sakit. Sedangkan mark up ratio
mengukur kinerja dalam sebesar apa yang dapat terjadinya mark up ratio hasil usaha akibat
beban yang dihasilkan, ternyata cukup tinggi sehingga diperlukan perhatiaan yang lebih baik.

OUTPUT PELAYANAN
RSUD R. SYAMSUDIN, SH KOTA SUKABUMI
No Jenis Rasio 07 s/d 08 08 s/d 09 09 s/d 10 10 s/d 11
1. BOR (Bed Occupancy Rate) 84.34 % 74.16 % 74.06 % 74.06 %
2. TOI (Turn Over Interval) 0.83 hari 1.49 hari 1.40 hari 1.54 hari
3. BTO (Bed Turn Over) 53.78 kali 54.72 kali 68.58 kali 66.02 kali
4. ALOS ( Average Length Of Stay) 4.98 hari 4.87 hari 4.70 hari 4.80 hari
5. GDR (Gross Death Rate) 48.31% 46.63 % 43.317 % 39.981 %
6. NDR (Net Death Rate) 23.81% 23.26 % 22.874 % 22.995 %
Sumber: Data
Analisis:
1. Dalam Pencapaian Indikator Pelayanan angka Bed Occupancy Rate (BOR) mengalami
stabilitas yang terjadi tiap tahunnya namun masih dalam standar normal.
2. Sedangkan untuk Turn Over Interval (TOI) yaitu pasien lama kepada yang baru juga
meningkat sehingga kebersihan dan ke-higienis tempat tidur dapat terjamin dari tiap
tahun yang terjadi yaitu dari tahun 2007 hingga 2011.
3. Dengan meningkatnya jumlah pasien rawat inap angka Bed Turn Over (BTO) juga
meningkat tiap tahunnya dan menjadi normal di angka 60 sehingga dinilai cukup
memuaskan dimana standar rasio (40-50) saat ini karena berada pada angka 6.60
4. Untuk Average Lenght Of Stay (ALOS) menunjukan angka angka yang stabil dalam
waktu 5 tahun dari 2007 hingga tahun 2011 sehingga menunjukan kinerja yang baik
5. Demikian pula dengan menurunnya angka Gross Death Rate (GDR) mengalami
penurunan tiap tahun hingga 33.9% menunjukan adanya upaya menurunkan rata-rata
pertumbuhan kematian sehingga berhasil berada dibawah posisi standar rasio yakni 45
per seribu.
6. Menurunnya angka Net Death Rate (NDR) artinya bahwa jumlah rata-rata pasien yang
meninggal dari jumlah pasien yang dilayani stabil berada dibawah standar rasio, hal ini
menunjukan bahwa kemapuan SDM dan sarana / prasarana sudah lebih baik dan
meningkat dari tahun sebelumnya.

3. Analisis Prioritas Pelayanan
Tahun
No. Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011
1 Rasio Kemandirian RS 0,596347 1 0,999301 0,997983 0,915112

Meskipun dalam gambaran di atas rumah sakit mampu meningkatkan kinerjanya
dalam kemandirian secara baik dan stabil, akan tetapi dalam prioritas pelayanan pasien masih
kurang. Data yang didapat dilapangan baik keuangan (askes, askeskin, dsb) ataupun survey
mandiri rumah sakit menunujukan prioritas pasien untuk sama rata dalam pelayanan adalah
moderat dengan trend yang turun. Otonomi memungkinkan pendapatan yang meningkat
secara baik tetapi kadang pelayanan terbengkalai. Tidak lebih dari 50% dukungan dari
pemerintah dalam askes untuk mendukung prioritas pelayanan masyarakat di rumah sakit.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

62

SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil perhitungan terhadap rasio finansial yaitu dengan mengunakan data-data dari
laporan keuangan rumah sakit menunjukan kecendrungan peningkatan dilihat dari
kinerja keuangan rumah sakit. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan tren yang terlihat
dari grafik yang disajikan pada bab pembahasan.
2. Hasil perhitungan terhadap rasio non finasial yaitu dengan mengunakan data-data dari
Instalasi Rekam Medik bertujuan melihat efisiensi dan mutu pelayanan rumah sakit
menunjukan bahwa terjadinya peningkatan yang terus baik sehingga menjadi standar
yang baik sesuai dengan keinginan manajemen yang terangkum dalam visi dan misi
perusahaan.
3. Hasil evaluasi baik finansial ataupun non finansial menunjukan tingkat kemandirian
yang tinggi, tetapi dalam mengatasi prioritas pelayanan masih perlu ditingkatkan
sehingga kualitas dalam persamaan pelayanan menjadi lebih baik. Monitoring dari
dalam menunjukan masih adanya permasalahan dalam manajemen pelayanan
meskipun secara garis kualitas baik. Keterbukaan data yang semakin baik
menunjukan adanya kesadaran perilaku dalam good governance terutama dari sisi
akuntansi.
4. Secara menyeluruh terjadi peningkatan yang cukup baik dalam kinerja di RSUD R
Syamsudin S.H dari tahun ke tahun yang dilakukan oleh pihak manajemen akan tetapi
faktor prioritas pelayanan pasien perlu ditingkatkan lebih baik untuk mendukung
terjadinya otonomi secara positif dalam rumah sakit.

Setelah melakukan penelitian maka ada beberapa hal yang dapat disarankan penulis yaitu:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rentang waktu penelitian yang lebih lama
sehingga analisis terhadap kecendrungan peningkatan dan penurunan kinerja dapat
terlihat lebih jelas.
2. Perlu adanya sosialisasi tentang pengukuran kinerja sektor publik dengan analisis
yang menyeluruh sehingga dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam
peningkatan kinerja rumah sakit dalam mengelola sumber daya yang ada.
3. Kontribusi yang menyeluruh dan keterbukaan dari pihak-pihak internal rumah sakit
dalam menunjang perilaku manajemen yang sehat sehingga terjadinya good
governance seperti penyelesaian masalah pasien yang cepat, informasi yang akurat
dalam transparansi keuangan.














Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

63

DAFTAR PUSTAKA

Azwar A, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1991.
Departemen Kesehatan RI, Peraturan Kesehatan RI, No.159b/Menkes/Per/II/1988, Jakarta,
1988.
Depdagri. 2006. Pedoman Pelayanan Bagi Pemerintah Daerah Bidang Pelayanan Publik.
Jakarta.
Dr. Drs. Surya Utama, MS Memahami Fenomena Kepuasan Pasien Rumah Sakit
Referensi Pendukung Untuk Mahasiswa, Akademik, Pimpinan, organisasi,dan
Praktisi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Foster Gm, Anderson Bg, Medical Antropology, John Willey & Sons, Inc., California, 1986.
Fraser TM, Stres dan Kepuasan Kerja, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1986.
Gibson JL, Ivancevich JM, Donnely JH, Organisasi dan Manajemen-prilaku, Struktur,
Proses; Erlangga, Jakarta, 1987.
Harbianto D dan Trisnantoro L. 2004. Desentralisasi Pembiayaan Kesehatan dan Teknik
Alokasi Anggaran. Paper pada seminar nasional3 tahun desentralisasi kesehatan di
Indonesia.
Johnson TM, Sargent CF, Medical Anthropology, Contemporary Theory and Metod,
Greenwood Press, New York, 1990.
LAKIP RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi 2007-2011
Laporan keuangan RSUD R Syamsudin SH 2007-2011
LPPD RSUD R Syamsudin SH Kota sukabumi 2011-2012
Masnah 27 Februari 2012,Analisis Rasio Financial Dan Rasio Non Financial Sebagai
Dasar Pengukuran Kinerja Rsup Dr. Muhammad Hoesin Palembang, Jurnal
Universitas Binadarma
Mohammad Khozin Evaluasi Implementasi Kebijakan Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan Di Kabupaten Gunungkidul Sinergi Visi Utama Konsultan
Yogyakarta, Email: ozin_siin@yahoo.com
Ni Ketut Rasmini,Ni Luh Supadmi,Ni Luh Putu Herawati Sucandra Penilaian Kinerja
Badan Rumah Sakit Umum Tabanan Berdasarkan Balanced ScorecardJurusan
Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Udayana
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi,
Jakarta 2001
Profil RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi 2011.
Ramn Castao, MD, MS,Bitran & Asociados ,Ricardo Bitran, Ph.D.Bitran & Asociados,
Ursula Giedion, M.S.Bitran & Asociados, September 2004Monitoring
andEvaluatingHospitalAutonomizationand ItsEffects onPriority
HealthServicesPrepared by:PHRplus Resource Center
Sabarno Hari, 2002, Sambutan Lokakarya, Peran Gubernur Dalam Penyelenggaraan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Era Otonomi, Jakarta, 2002
Sidik M, Raksaka Mahi B, Simanjutak R, Brodjonegoro D. 2002. Dana ALokasi Umum:
Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah.Penerbit Buku Kompas
Jakarta, November 2002 Solomon C.M. 1994. Human Resources facilitates the
learning organizations concept. Personnel Journal. Nov. pp 56-66.
Sufandi, Trisnantoro,L & Utarini A.2000. Analisis Mutu Dokumen Perencanaan Strategik
Rumah Sakit Umum Daerah: Hasil Pelatihan Manajemen Strategik di
Indonesia.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

64

Analysis of High Education labor to GDP in Indonesia
Analisis Tenaga Kerja Berpendidikan terhadap GDP di Indonesia
Ahmad Kafrawi Mahmud
Gallyn Ditya Manggala

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Abstract
Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang ada
didalamnya, baik itu dari segi jumlah maupun kualitasnya.Peningkatkan kualitas sumber
daya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini sesuai teori Endogenous Growth
yang menyatakan bahwa kualitas tenaga kerja akan sangat memengaruhi tingkat
pertumbuhan suatu ekonominegara, sehingga pendidikan dijadikan sebagai variabel yang
sangat penting dan akan berpengaruh positif terhadap kualitas tenaga kerja / sumber daya
manusia. Untuk kondisi di Indonesia, peningkatan investasi sumber daya manusianya melalui
pendidikan menjadi sangat urgen.Dalam penelitian ini data yang dipakai adalah PDB,
Tenaga Kerja dan Tenaga Kerja terdidik (SMA ke atas).Untuk analisisnya digunakan alat
analisis ekonometrika dengan menggunakan model regresi OLS dan menggunakan software
Stata 11. Kemudian hasil analisisnya menyatakan bahwa variabel pendidikan terbukti
berpengaruh secara positif terhadap PDB, dan berdasarkan model diketahui bahwa
Indonesia termasuk Negara yang padat karya dengan nilai koefisien pekerja lebih besar dari
nilai koefisien modal secara umum.

Keyword: Pendidikan, PDB, Tenaga Kerja Berkualitas

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Human Capitalmemiliki hubungan yang sangat erat terhadap pencapaian pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Ada beberapa indikator yang bisa digunakan dalam mengukur kualitas
human capital, diantaranya Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pendidikan, Indeks
Kesehatan.Dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi, yang harus dilakukan adalah
pembangunan manusia secara merata di seluruh daerah di Indonesia.
Ramirez dkk (1998) menyebutkan bahwa ada hubungan timbal balik (two-way
relationship) antara human capital dan pertumbuhan ekonomi.Studi Ramirez tersebut
berangkat dari hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia
(human development). Hubungan yang dimaksudkan oleh Ramirez dkk tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Pertumbuhan Ekonomi ke Human Development.
GNP merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan
manusia, khususnya melalui aktivitas rumah tangga dan pemerintah; civil society
seperti melalui organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat juga.Hal
tersebut dapat dilihat ketika dalam membelanjakan pendapatannya, rumah tangga
cenderung membelanjakan barang-barang yang memiliki kontribusi langsung
terhadap pembangunan manusia seperti makanan, air, pendidikan dan kesehatan yang
tergantung pada sejumlah faktor seperti tingkat dan distribusi pendapatan antar rumah
tangga, dan tergantung siapa yang mengontrol alokasi pengeluaran rumah tangga.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

65

Namun secara umum, penduduk miskin menghabiskan porsi pendapatannya
lebih banyak ketimbang penduduk kaya untuk kebutuhan pembangunan manusia dan
andil perempuan cukup besar dalam mengatur pengeluaran rumah tangga. Ketika
tingkat kemiskinan tinggi, yang dikarenakan rendahnya pendapatan per kapita atau
karena buruknya distribusi pendapatan, maka pengeluaran rumah tangga untuk
kebutuhan pembangunan manusia akanmenjadi rendah.
Peranan fungsi alokasi pemerintah untuk meningkatkan pembangunan
manusia adalah fungsi total pengeluaran sektor publik, seberapa besar alokasi
pengeluaran sector public untuk sector pembangunan manusia. Perananan alokasi
pengeluaran public oleh pemerintah ini sangat memegang peranan penting dalam
pembangunan manusia. Peranan organisasi masyarakat dan LSM memegang peranan
sebagai factor pendukung dan pelengkap dalam pembangunan manusia.
2. Human Development ke Pertumbuhan Ekonomi
Memerhatikan hubungan kedua variabel tersebut, dari pembangunan manusia
ke pertumbuhan ekonomi, diketahui masyarakat yang lebih sehat, dipelihara dengan
baik dan berpendidikan akan berkontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Tingginya pembangunan manusia akan mempengaruhi ekonomi melalui
peningkatan kemampuan atau kapabilitas masyarakat. Sebagai konsekuensinya
akanmenciptakan peningkatan tingkat kreatifitas dan produktifitas masyarakat.

Pendidikan merupakan variabel yang sangat berpengaruh dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah / Negara, terlebih lagi hal tersebut dapat dilihat
pada penciptaan tenaga kerja yang memiliki tingkat produktifitas yang tinggi. Tenaga kerja
yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan mampu untuk menggunakan teknologi-
teknologi baru dan akan semakin produktif dalam dunia kerjanya. Oleh karena itu, ketika
tenaga kerja semakin berpendidikan tentunya hal ini akan dapat menciptakan pertumbuhan
ekonomi ke arah yang lebih baik demi tercapainya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Selanjutnya seseorang akan memilih untuk berinvestasi melalui pendidikan dalam
rangka peningkatan kualitas dan taraf hidupnya dapat dijelaskan dengan terlebih dahulu
memerhatikan gambar berikut :

Gambar 1 : Keputusan berinvestasi melalui pendidikan

Sumber : Modern Labor Economics (Ronald G.Ehrenberg dan Robert S. Smith)
Berdasarkan gambar tersebut, seseorang akan lebih memilih untuk berinvestasi melalui
pendidikan terlebih dahulu (Kuliah )atau lebih memilih untuk langsung bekerja setelah lulus
Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat dijelaskan sebagai berikut :
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

66

a. Ketika A merupakan seseorang yang setelah lulus SMA pada umur 18 tahun lebih
memilih untuk langsung bekerja, maka dia akan mendapatkan gaji seperti yang
ditunjukkan pada line earnings stream A.
b. Sedangkan ketika B merupakan seseorang yang lebih memilih setelah lulus SMA
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi (universitas), maka dia memerlukan biaya-
biaya untuk keperluan kuliahnya tersebut, diantaranya biaya buku, pembayaran yang
tergantung pada apakah si B melanjutkan ke perguruan tinggi swasta atau negeri.
Selain itu si B juga akanmenunda untuk mendapatkan pendapatan seperti yang
ditunjukkan pada Forgone Earnings.Namun setelah si B selesai kuliah, dia akan
menerima pendapatan sesuai dengan tingkat pendidikan yang dia tempuh, dan pada
jangka waktu itu si B akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dari
pendapatan yang di terima oleh si A.

Dalampaper ini, penulis mencoba lebih spesifik melakukan kajian terhadap tingkat
pendidikan tenaga kerja yang akan dikaitkan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi.Untuk
melihat tingkat pencapaian pendidikan itu, berikut ini disajikan tabelIndeks Pembangunan
Manusia Nasional di Indonesia dari tahun 1996-2010 :

Tahun Nilai IPM
1996 67,70
1999 64,30
2002 65,80
2004 68,70
2005 69,57
2006 70,10
2007 70,59
2008 71,17
2009 71,76
2010 72,27
Data IPM Indonesia Tahun 1996-2010

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa selalu terjadi peningkatan IPM dari tahun ke tahun,
kecuai pada tahun 1996-1999 terjadi penurunan.Selain itu dapat kita lihat pula bahwa tingkat
peningkatan IPM tersebut belum menggambarkan tentang apakah dengan semakin
meningkatnya IPM berbanding lurus terhadap peningkatan serapan tenaga kerja di Indonesia?
atau apakah sebenarnya tidak terdapat hubungan dan pengaruh yang signifikan antara
peningkatan IPM dan tingkat serapan tenaga kerja?
Kajian dalam penelitian ini diarahkan untuk melihat dan membandingkan antara
serapan tenaga kerja yang High Education Labor dengan Labor yang berpendidikan biasa,
serta kontribusinya terhadap GDP. Penulis ingin melihat lebih jauh kondisi ketenagakerjaan
di Indonesia, apakah sudah terjadi pemerataan hak yang sama, sehingga harapan terciptanya
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia bukan lagi hanya sebagai isapan jempol.

Metode Penelitian dan Data
Data yang digunakan merupakan data sekunder dalam kurun waktu tahun 2000
hingga tahun 2010, yang diperoleh dari berbagai sumber. Adapun perinciannya adalah
sebagai berikut:

Sumber : BPS 2011
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

67

Tahun GDP (milyar
rupiah)
Kapital
(milyar rupiah)
Labor (ribu orang) High Educated Labor
(ribu orang)
1990 210866 64790 75851 19.99952259
1991 249969 80028 76423 20.15034099
1992 282395 91512 78518 20.70272659
1993 329776 97213 79210 20.88518522
1994 382220 118707 82039 21.63110353
1995 454514 145118 80110 21.12248691
1996 532568 163453 85702 22.5969214
1997 627695 199301 85406 22.51887551
1998 955754 160327 87672 23.11634842
1999 1099732 125011 88817 23.41824891
2000 1389770 309164 89838 23.68745449
2001 1684280 371069 90807 23.9429493
2002 1821833 389947 91647 24.16443088
2003 2013675 515470 92811 24.47134106
2004 2295826 552292 93722 24.7115431
2005 2774281 695829 93958 24.77376888
2006 3339217 848168 95177 25.09518083
2007 3949321 985161 97583 25.72956735
2008 4954029 1377247 102553 27.04
Sumber : BPS (2000)
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan alat analisis
ekonometrika, dengan menggunakan model regresi dengan asumsi OLS, dan dalam
pengolahan data tersebut diolah dengan bantuan software Eviews.
Adapun model dugaan yang digunakan dalam paper ini adalah sebagai berikut :

, dimana :
Y = PDB

=Intercept (Autonomous Consumption)

=Koefisien regresi variable independent


X
1
= Kapital
X
2
= Angkatan Kerja Terdidik SMA ke atas
= error term
Berdasarkan model yang telah dibuat, terdapat empat variabel yang akan digunakan yaitu
variabel PDB sebagai dependent variabel dan variabel kapital, tenaga kerja dengan tingkat
pendidikan maksimum SMA, tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SMA keatas sebagai
independent variabel.
PDB / GDP dijadikan sebagai variabel devendent karena variabel tersebut
menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara, sedangkan variabel kapital
yang digunakan merupakan variabel yang menggambarkan besaran alokasi modal yang
digunakan, dan variabel tingkat pendidikan tenaga kerja yang dipisah berdasarkan tingkat
pendidikan terkhirnya yaitu tenaga kerja dengan tingkat pendidikan maksimum SMA dan
tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SMA keatas digunakan untuk menggambarkan
pengaruh tingkat pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut dalam menggambarkan
kontribusinya terhadap PDB / GDP.


Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

68

PEMBAHASAN
Konstribusi Pendidikan terhadap Kesuksesan Ekonomi
Setiap masyarakat di seluruh dunia ini senantiasa menghendaki kesejahteraan. Khusus
untuk kesejahteraan fisik, mereka secara praktis bersama mengembangkan sistem yang
mengatur bagaimana seluruh anggotanya berproses memperoleh kesuksesan, mengupayakan
distribusi pemuas kesejahteraan serta menjamin bagaimana alokasi wahana kesuksesan
tersebut dapat dianugerahkan kepada pihak-pihak yang berhak memperolehnya. Dalam kaitan
tersebut, terminologi sosiologi memfokuskan studi tentang kesejahteraan dan sistem
kesejahteraan fisik tersebut dalam suatu wadah subkajian bernama lembaga sosial ekonomi.
Dalam perkembangannya, pranata ekonomi memilihara kelangsungan sistem nilainya tidak
pernah lepas dari keterkaitan dengan ruang-ruang sosial lainnya baik itu pranata politik,
pendidikan, kemasyarakatan atau keluarga maupun agama. Di sini dapat diamati karakteristik
hubungan pranata sosial dalam masyarakat terkini yang cenderung bersifat kompleks,
fungsional, independen, serta memiliki ketergantungan yang tinggi sehingga mampu
menjabarkan sebuah pola hubungan yang bersifat sistemik.
Dalam konteks tersebut, keniscayaan aktivitas pendidikan senantiasa dibingkai dari
realitas sosial ekonomi masyarakat tertentu. Oleh karena itu, hubungan yang bersifat
deterministis menjadi karakter hubungan kedua pranata sosial tersebut. Asumsi-asumsi yang
berkembang selalu menekankan pengaruh persepsi umum mengenai simbol-simbol yang
terbentuk dari pranata sosial ekonomi. Keyakinan umum bahwa seseorang yang memiliki
bekal pendidikan formal akan cenderung menuai sukses ekonomi merupakan suatu contoh
pengaruh pranata pendidikan terhadap aktivitas ekonomi para anggota suatu masyarakat.
Situasi tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan pemerintah terhadap
tenaga terdidik untuk mengoperasikan skill dan keahliannya dalam rangka industrialisasi dan
modernisasi pembangunan negara. Selain itu, keyakinan umum tersebut juga bukanlah hal
yang baru.Puluhan tahun yang lalu ketika politik etis diterapkan oleh pemerintah kolonial
belanda berhasil membentuk pola piker masyarakat kita tentang pendidikan dengan
kesuksesan ekonomi.Para pribumi (meskipun hanyalah bangsawan dan golongan priyayi)
yang memiliki ijasah dari sekolah-sekolah bentukan kolonial mendapat kesempatan untuk
ditempatkan pada instansiintansi pemerintah kolonial.Meskipun posisi mereka hanya sebagai
pegawai rendahan, namun keberadaan mereka yang telah mendominasi lembaga birokrasi
kolonial berhasil menggeser persepsi masyarakat. Lembaga pendidikan dianggap sebagai
tangga strategis untuk meraih kemapanan hidup tanpa harus melalui usaha-usaha ekonomi
lain yang tampaknya lebih lambat dan beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan.

Pendidikan dan Ekonomi pada Zaman Modern
Pada umumnya, kita melihat bahwa masyarakat kita berbeda dengan kehidupan masa
lalunya. Secara tegas perbedaan demikian oleh Schoorl (1974) disebut sebagai efek dari
modernisasi. Schoorl menegaskan bahwa modernisasi merupakan upaya pergantian dari
penggunaan teknik industri yang bersifat tradisional menjadi cara-cara yang cenderung
modern. Sementara kalangan sosiolog lebih berfokus melihat proses diferensiasi sosial yang
cenderung menggejala pada kondisi sosial masyarakat tersebut.
Dalam segi kelembagaan, proses diferensiasi sosial juga tidak bisa ditolak
kehadirannya, termasuk lembaga pendidikan ekonomi dan lembaga pendidikan di
dalamnya.Perbedaan keterkaitan dua lembaga tersebut cukup mencolok apabila kita
bandingkan aplikasinya pada masyarakat tradisional.Pada masyarakat demikian seluruh
pranata-pranata sosial cenderung bersifat lebur dan belum terpilah-pilah pada orientasi
spesifik.Pranata keluarga memiliki peranan yang cukup dominan dalam melayani seluruh
kebutuhan para anggota baik itu pendidikan, kesehatan, religi dan peribadatan, kelangsungan
ekonominya dan lain sebagainya.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

69


Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Secara lebih khusus hubungannya menyangkut modal fisik, tenaga kerja dan
kemajuan teknologi yang menjadi tiga faktor pokok sebagai masukan (input) dalam produksi
pendapatan nasional.Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan
penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi.Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhirakhir ini berkaitan dengan
perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang
tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan,
bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting
adalah dari segi kualitas. Berikut hasil analisisnya dengan Eviews:

Dependent Variable: LNGDP
Method: Least Squares
Date: 05/17/13 Time: 13:14
Sample (adjusted): 1991 2008
Included observations: 18 after adjustments
Convergence achieved after 26 iterations
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -17858814 3074310. -5.809048 0.0000
LNCAP 682214.6 257242.0 2.652035 0.0190
LNLABHIGH 464562.0 123566.9 3.759598 0.0021
AR(1) 0.744494 0.136557 5.451886 0.0001
R-squared 0.967656 Mean dependent var 1618714.
Adjusted R-squared 0.960725 S.D. dependent var 1385630.
S.E. of regression 274603.8 Akaike info criterion 28.07718
Sum squared resid 1.06E+12 Schwarz criterion 28.27504
Log likelihood -248.6946 Hannan-Quinn criter. 28.10446
F-statistic 139.6143 Durbin-Watson stat 1.905503
Prob(F-statistic) 0.000000
Inverted AR Roots .74

Berdasarkan output pada model pertama diperoleh hasil bahwa model yang dibangun
dapat dipergunakan untuk menjelaskan perilaku PDB, hal ini ditandai dari perolehan nilai
Prob > F sebesar 0,000 , dan nilai adj R
2
sebesar 0,967 menunjukkan bahwa keragaman PDB
dapat dijelaskan oleh capital dan angkatan kerja sebesar 97 persen.
Berdasarkan hasil regresi model tersebut sudah sangat jelas menjelaskan bahwa
tenaga kerja yang High Education Model memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap
peningkatan GDP jika dibandingkan dengan tenaga kerja yang tingkat pendidikan
biasa.Olehnya itu hasil analisis telah membuktikan teori bahwa tingkat pendidikan
memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Melalui peningkatan tingkat pendidikan terhadap para tenaga kerja, tentunya hal tersebut
akan meningkatkan kualitas dari tenaga kerja itu sendiri sehingga hal tersebut akan menjadi
faktor utama yang mendorong tenaga kerja untuk dapat selalu meningkatkan kualitas
hidupnya agar mencapai kesejahteraan. Dengan semakin berpendidikannya para tenaga kerja
di Indonesia maka hal tersebut akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dalam kehidupan
bermasyarakat, karena selain mereka akan lebih dibutuhkan oleh perusahaan atau kantor dan
instansi-instansi, juga mereka dengan skill yang mereka miliki dalam hal ini dengan adanya
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

70

peningkatan pendidikan yang mereka dapatkan maka akan dapat berwirausaha bagi
masyarakat yang belum dapat bekerja atau terserap kedalam sektor-sektor formal.

Kesimpulan
Human investment dipandang sebagai sesuatu kekuatan produktif baik sebagai subjek
maupun sasaran pembangunan nasional. Salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam teori
invertasi sumber daya manusia adalah pendidikan. Pemerataan pendidikan diperlukan sebagai
prasyarat untuk percepatan pembangunan ekonomi dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia . Pendidikan dasar yang baik akan membekali anak didik untuk mengembangkan
diri dalam pekerjaannya maupun untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun,
pendidikan dasar tanpa kualitas tidak banyak memberikan kegunaan bagi seseorang.
Oleh karena itu harus ada perubahan arah kebijakan oleh pemerintah dengan lebih
memberikan perhatian dalam hal pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia,
agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang mampu
mengolah SDA dan tentunya agar semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya
tujuan pembangunan pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan
pembangunan pendidikan di tingkat makro dengan berbasiskan kepada pluralitas daerah.
Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan
dan penguatan masyarakat.
Selain itu penguatan kesehatan masyarakat harus tetap menjadi fokus perhatian,
karena walaupun sistem pendidikan sudah bagus tapi tanpa didukung oleh Sumber Daya yang
sehat tentunya juga pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, dan begitupun sebaliknya walau
tingkat kesehatan sudah bagus, tapi tanpa adanya dukungan sistem pendidikan yang baik,
juga tidak akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Saran-Saran
Untuk mencapai suatu pertumbuhan ekonomi pada suatu negara, tentunya harus
tercapai pareto optimum dan distribusi of income yang merata. Pencapaian Sumber Daya
Manusia yang unggul tersebut tentunya dipengaruhi oleh tingkat kesehatan dan tingkat
pendidikan yang didapatkan oleh seluruh masyarakat. Sehigga pemerintah harus dapat fokus
terhadap perbaikan sistem pendidikan dan perbaikan layanan kesehatan bagi semua.

Daftar Pustaka
Suryadi, Ace (2002) Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori, dan Aplikasi.
Jakarta: Balai Pustaka.
Suhardan, Dadang (2006) Pengawasan Profesional. Bandung: Dewa Rhuci.
Sidik, Indra Djati: Memperbaiki Kelemahan Masa Lalu. Republika, Minggu, 30 Mei 2004
PPRI Nomor 55 Tahun 1998, Tentang Perubahan Atas PPRI Nomor 28 Tahun 1990 Tentang
Pendidikan Dasar.
Pendidikan dalam Program 100 Hari Mendiknas. Kompas, Selasa, 23 November 2004
Steven G., Smith (1992) The Concept of Human Nature. Philadelphia: Temple University
Press.
WHO Regional Office For South-East ASIA( 2002): Regional Conference of
Parliamentarians on the Report of the Commission on Macroeconomics and Health,
Bangkok, Thailand 15 17 December 2002.
Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics.The McGraw-Hill Companies, Inc.New
York.
Ronald G. Ehenberg & Robert S. Smith 2009. Modern Labor Economics.Pearson Education.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

71

PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP KINERJA BANK BUMN
YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2005-2012
THE INFLUENCE OF INTELLECTUAL CAPITAL TO STATE BANK
PERFORMANCE LISTED IN I NDONESIA STOCK EXCHANGE ON 2005-2012

Galuh Tresna Murti
Rakhmini Juwita

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

galuh.tresna@yahoo.com
rakhminijuwita@yahoo.com

Abstract
The purpose of this paper is to examine the influence of Intellectual capital (human capital
efficiency (HCE), structural capital efficiency (SCE) and capital employed efficiency (CEE)
to state bank performance on 2005-2012 as parsial and simultanuous. The method used in
this paper is multiple regression model, the data collected from financial report state bank
listed in Indonesia Stock Exchange on 2005-2012. The result found that human capital
efficiency (HCE), and capital employed efficiency (CEE) has positif and significant influence
to return on asset (ROA), structural capital efficiency (SCE) has negatif significant to return
on asset (ROA). VAIC (The human capital efficiency (HCE), capital employed efficiency
(CEE) and structural capital efficiency (SCE)) as simultinuous has a positif and significant
influence to return on asset (ROA).

Keywords : Intellectual Capital (human capital eficiency, structural capital
efficiency,capital employed efficiency), financial performance (ROA)

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dunia industri saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dari
ekonomi berbasis produksi menjadi ekonomi berbasis pengetahuan (Drucker, 1993 ; Powell
dan Snelman, 2004 dalam Huang dan Wu, 2010). Pada ekonomi berbasis pengetahuan ini
keunggulan kompetitif yang dimiliki perusahaan tidak lagi ditentukan oleh kepemilikan dan
penggunaan faktor-faktor produksi konvensional seperti mesin-mesin atau tenaga kerja
lainnya, tetapi lebih pada penggunaan faktor produksi berbasis pengetahuan, inovasi, dan
teknologi. Agar dapat bertahan, perusahaan mengubah bisnisnya yang pada awalnya
didasarkan pada tenaga kerja (labor based business) menjadi knowledge based business
(bisnis berdasarkan pengetahuan) yang memiliki karateristik utama ilmu pengetahuan
(Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
maka akan dapat diperoleh suatu cara dalam menggunakan sumber daya lainnya secara
efisien dan ekonomis yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert dalam
Sawarjuwono, 2003).
Dengan meningkatnya peran dari knowledge sebagai aset yang vital bagi perusahaan,
identifikasi dan pengelolaanya dalam bentuk intangible asset dirasa makin penting. Namun,
hal ini tidak diimbangi dengan pelaporan dan identifikasi yang jelas dalam praktik akuntansi
tradisional yang ada saat ini. Menurut Canibao et al (2001), banyak investasi perusahaan
pada berbagai intangible asset tidak dapat ditemukan pada neraca karena adanya keterbatasan
dalam kriteria akuntansi untuk pengakuan dan penilaian aset tersebut. Intangible asset yang
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

72

baru seperti kompetensi staf, hubungan konsumen, model simulasi, sistem administrasi dan
komputer tidak mendapatkan pengakuan dalam model keuangan tradisional dan pelaporan
manajemen ( Stewart, 1997 dalam Hong et al, 2007).
Akibat dari tidak dilaporkannya intangible asset, laporan keuangan perusahaan menjadi
kurang informatif karena tidak melaporkan semua nilai perusahaan secara utuh. Bagi
perusahaan yang sebagian besar asetnya berbentuk modal intelektual seperti bank misalnya,
tidak adanya informasi mengenai modal intelektual dalam laporan keuangan akan
menyesatkan, karena dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan (Satria, 2010). Model
akuntansi tradisional, yang asalnya dikembangkan bagi perusahaan yang aktivitasnya
terfokus pada aktivitas manufaktur dan pengolahan sumber daya alam, harus diperluas
cakupannya agar dapat mencakup intangible asset dalam pelaporannya. Salah satu
pendekatan yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran intangible asset adalah
pendekatan intellectual capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang,
baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Petty dan Guthrie, 2000).
Pengukuran yang tepat terhadap intellectual capital perusahaan belum dapat ditetapkan.
Misalnya, Pulic (1998; 1999; 2000) tidak mengukur secara langsung intellectual capital
perusahaan, tetapi mengajukan suatu ukuran untuk menilai efisiensi dari nilai tambah sebagai
hasil dari kemampuan intelektual perusahaan. Menurut Pulic (1998), tujuan utama dalam
ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added. Sedangkan
untuk dapat menciptakan value added dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital
(yaitu dana-dana keuangan) dan intellectual potential (direpresentasikan oleh karyawan
dengan segala potensi dan kemapuan yang melekat pada mereka). Lebih lanjut Pulic (1998)
menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAIC)
menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual
potential) telah secara efisiensi dimanfaatkan oleh perusahaan. Penelitian ini berusaha
mengukur pengaruh intellectual capital (dalam hal ini diproksikan dengan VAIC) terhadap
kinerja keuangan bank BUMN. Pemilihan sektor perbankan sebagai sampel mengacu pada
penelitian Kamath (2006); Mavridis (2005); dan Firer dan William (2003). Sektor perbankan
dipilih karena menurut Firer dan William (2003) industri perbankan adalah salah satu sektor
yang paling intensif intellectual capital -nya. Selain itu, dari aspek intelektual, secara
keseluruhan karyawan sektor perbankan lebih homogen dibandingkan dengan sektor ekonomi
lainnya (Kubo dan Saka, 2002). Pemilihan model VAIC sebagai proksi atas intellectual
capital mengacu pada penelitian Firer dan William (2003); Chen et al. (2005); dan Tan et al.
(2007). Kinerja keuangan yang digunakan adalah profitabilitas ROA Pemilihan indikator
kinerja tersebut mengacu pada penelitian Chen et al. (2005) dan Firer dan William (2003).
Berdasar hal tersebut diatas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh intelektual capital
(dengan proksi VAIC) terhadap kinerja keuangan bank BUMN tahun 2005-2012.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Apakah HCE (Human Capital Efficiency) berpengaruh terhadap Return on Asset (ROA)?
2. Apakah SCE (Structural Capital Efficiency) berpengaruh terhadap Return on Asset
(ROA)?
3. Apakah CEE (Capital Employed Efficiency) berpengaruh pada Return on Asset (ROA)?
4. Apakah VAIC
TM
(HCE,SCE,CEE) berpengaruh secara simultan terhadap (ROA) ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji dan memberikan bukti empiris:
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

73

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh HCE (Human Capital Efficiency) terhadap
Return on Asset (ROA)
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh SCE (Structural Capital Efficiency) terhadap
Return on Asset (ROA)
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh CEE (Capital Employed Efficiency) terhadap
Return on Asset (ROA)
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh VAIC
TM
(HCE,SCE,CEE) secara simultan
terhadap ROA

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Akademisi, diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu akuntansi
dalam lingkup akuntansi keuangan, khususnya yang berkenaan dengan intellectual capital
dan kinerja keuangan perusahaan
2. Bagi Praktisi khususnya Perusahaan, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi
pelaksanaan peningkatan kinerja keuangan (ROA) dalam aspek intellectual capital


LANDASAN TEORI
A. Intellectual Capital
Klein dan Prusak dalam Sawarjuwono (2003) menyatakan pendapat mengenai definisi
intellectual capital yang kemudian menjadi standar pendefinisian intellectual capital : ... we
can define intellectual capital operationally as intellectual material that has been formalized,
captured, and leveraged to produce a higher value asset
Dalam kajian mengenai intellectual capital, banyak definisi yang telah diajukan oleh para
peneliti. Pendapat awal lain mengenai definisi intellectual capital dinyatakan oleh Stewart,
1991 (dalam Ulum, 2009) : the sum of everything everybody in your company knows that
gives you a competitive edge in the market place. It is intellectual material knowledge,
information, intellectual property, experience that can be put to use to create wealth
Edvinsson dan Malone (1997) dalam Huang dan Liu (2009) menyebutkan bahwa intellectual
capital adalah suatu jenis kontrol atas pengetahuan, pengalaman yang bersifat empiris, teknik
organisasi, hubungan dengan pelanggan dan keahlian profesional. Hal tersebut akan
memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
Bukh et al (2005) dalam Ulum (2009) mendefinisikan intellectual capital sebagai
sumber daya pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang
mana perusahaan dapat menggunakannya dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan.
Marr (2004) mempertimbangkan intellectual capital sebagai sebuah penggerak keunggulan
kompetitif dan penghubung kemampuan perusahaan untuk mengatur dan memanfaatkan
pengetahuan yang dimiliki perusahaan.
Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi
tiga konstruk utama dari Intellectual Capital, yaitu: human capital (HC), structural capital
(SC), dan customer capital (CC). Menurut Bontis et al. (2000), secara sederhana HC
merepresentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh
karyawannya. HC merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience, and
attitude tentang kehidupan dan bisnis. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa
SC meliputi seluruh nonhuman storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam
hal ini adalah database, organisational charts, process manuals, strategies, routines dan
segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya. Sedangkan
tema utama dari CC adalah pengetahuan yang melekatdalam marketing channels dan customer
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

74

relationship dimana suatu organisasi mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al.,
2000).
Pada umumnya peneliti menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu
1. Human capital (HC)
Human capital merupakan lifeblood dalam intellectual capital. Pada human
capital inilah terdapat sumber innovation dan improvement. Akan tetapi merupakan
komponen yang sulit diukur (Sawarjuwono dan Kadir, 2003) dalam Pramelasari 2010.
human capital merupakan sumber innovation dan improvement, karena didalamnya
terdapat pengetahuan, ketrampilan dan kompentensi yang dimiliki oleh karyawan
perusahaan. Human capital dapat meningkat jika perusahaan dapat memanfaatkan dan
mengembangkan pengetahuan, kompentensi dan ketrampilan karyawannya secara
efisien. Oleh karena itu, human capital merupakan sumber daya kunci yang dapat
menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga perusahaan mampu bersaing
dan bertahan di lingkungan bisnis yang dinamis. Dengan memiliki karyawan yang
berkeahlian dan berketerampilan, maka dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan
menjamin keberlangsungan perusahaan tersebut. Meningkatnya kinerja perusahaan juga
akan meningkatkan persepsi pasar.
2. Structural capital (SC)
Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam
memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha
karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis
secara keseluruhan, misalnya : sistem operasional perusahaan, proses manufacturing,
budaya organisasi, dan filosofi manajemen (Sawarjuwono dan Kadir dalam
Pramelasari,2010).
3. Relational capital (RC) atau customer capital (CC)
Relational capital merupakan hubungan yang harmonis association network yang
dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok,
pelanggan dan juga pemerintah dan masyarakat. Relational capital dapat muncul dari
berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi
perusahaan (Sawarjuwono dan Kadir dalam Pramelasari,2010).

B. Value Added Intellectual Coefficient (VAIC)
Metode VAIC, dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk menyajikan
informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak
berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan
kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). Value added adalah indikator
paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). VA dihitung sebagai selisih antara
output dan input (Pulic, 1999).
Tan et al. (2007) menyatakan bahwa output (OUT) merepresentasikan revenue dan
mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup
seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Menurut Tan et al. (2007), hal
penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk
dalam IN. Karena peran aktifnya dalam proses value creation, intellectual potential (yang
direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai biaya (cost) dan tidak
masuk dalam komponen IN (Pulic, 1999). Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah
memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai (value creating entity) (Tan et
al., 2007). VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC) dan Structural Capital
(SC). Hubungan lainnya dari VA adalah customer capital (CC), yang dalam hal ini dilabeli
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

75

dengan CEE (Capital Employed Efficiency). CEE adalah indikator untuk VA yang diciptakan
oleh satu unit dari physical capital.
Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CC menghasilkan return yang lebih
besar daripada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam
memanfaatkan CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CC yang lebih baik merupakan
bagian dari IC perusahaan (Tan et al., 2007).
Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. human capital efficiency (HCE)
menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk
tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk
menciptakan nilai di dalam perusahaan (Tan et al., 2007). Konsisten dengan pandangan para
penulis IC lainnya, Pulic (1998) berargumen bahwa total salary and wage costs adalah
indikator dari HC perusahaan.
Hubungan ketiga adalah structural capital efficiency (SCE), yang menunjukkan
kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. SCE mengukur jumlah SC yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana
keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Tan et al., 2007). SC bukanlah ukuran yang
independent sebagaimana HC, SC dependent terhadap value creation (Pulic, 1999). Artinya,
menurut Pulic (1999), semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan
semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic (1999) menyatakan bahwa
SC adalah VA dikurangi HC, yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian empiris pada
sektor industri tradisional (Pulic, 2000). Rasio terakhir adalah menghitung kemampuan
intelektual perusahaan dengan menjumlahkan coefisien-coefisien yang telah dihitung
sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan dalam VAIC (Tan et al., 2007).

C. Model Pulic
VAIC
TM
merupakan metode yang dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk
menyajikan informasi mengenai value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset)
dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai
dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah indikator
paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). Selain itu VAIC juga merupakan alat
manajemen pengendalian yang memungkinkan organisasi untuk memonitor dan mengukur
kinerja intellectual capital dari suatu perusahaan (Kammath, 2007 dalam Saleh, et al,. 2008).
VA dihitung sebagai selisih antara - output dan input (Pulic, 1998). VA secara teknik
merupakan penjumlahan, retained profit, interest expense, salaries dan wages, depreciation,
dividend, minority share, dan tax untuk pemerintah. Oleh karena itu, VA didefinisikan
sebagai peningkatan pada nilai bersih perusahaan dikarenakan kegiatan operasi perusahaan.
Menurut Tan et al., (2007) dalam Ulum dkk (2008), menyatakan bahwa output (OUT)
mempresentasikan revenue dan mencangkup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar,
sedangkan input (IN) mencangkup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh
revenue. Menurut Tan et al., (2007), hal penting di dalam model ini adalah bahwa beban
karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN dikarenakan peran aktifnya di dalam
kegiatan value creation, sehingga tidak dihitung sebagai biaya (cost).
VAIC
TM
juga dikenal sebagai Value Creation Efficiency Analysis, merupakan sebuah
indikator yang dapat digunakan dalam menghitung efisiensi nilai yang dihasilkan dari
perusahaan yang didapat dengan menggabungkan CEE (Capital Employed Efficiency), HCE
(Human Capital Efficiency), dan SCE (Structure Capital Efficiency) (Pulic, 1998)



Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

76

D. Kinerja Perusahaan
Mahoney et al.(1963) dalam Listianingsih dan Mardiyah (2005) menyebutkan bahwa
kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang serta tanggung jawab masing-masing, dalam rangka
mencapai tujuan organisasi. Perusahaan harus terus melakukan peningkatan terhadap kualitas
dan kinerja perusahaan, agar tujuan perusahaan tercapai. Laporan tahunan perusahaan
merupakan informasi yang memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan yang diberikan
oleh manajemen perusahaan kepada stakeholder. Menurut Fiori et al., (2007) konsep
pengukuran kinerja perusahaan tradisional terdiri dari: profitabilitas, solvency,financial
efficiency, dan repayment capacity. Akuntansi berdasarkan ukuran kinerja keuangan
digunakan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomi yang mungkin
dikendalikan di masa depan.
Return on asset (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang mengukur
efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang
dimilikinya. ROA merefleksikan keuntungan bisnis dan efisiensi perusahaan dalam
pemanfaatan total aset (Chen et al., 2005)
Return on assets (ROA) yaitu indikator kemampuan unit usaha untuk memperoleh laba
atas sejumlah aset yang dimiliki oleh unit usaha tersebut.ROA dapat diperoleh dengan cara
menghitung rasio antara laba setelah pajak dengan total aktiva (Net Income dibagi Total
Assets).Munawir (2002:269), Return On Asset merefleksikan seberapa banyak perusahaan
telah memperoleh hasil atas sumber daya keungan yang ditanamkan oleh perusahaan.
Rasio ROA ini sering dipakai manajemen untuk mengukur kinerja keuangan
perusahaan dan menilai kinerja operasional dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki
perusahaan, disamping perlu mempertimbangkan masalah pembiayaan terhadap aktiva
tersebut. Nilai ROA yang semakin mendekati 1, berarti semakin baik profitabilitas
perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba. Dengan kata lain semakin
tinggi nilai ROA maka semakin baik kinerja keuangan perusahaan tersebut.

E. Hipotesis
H1 : Human capital efficiency (HCE) berpengaruh terhadap ROA
H2 : Structural capital efficiency (SCE) berpengaruh terhadap ROA
H3 : Capital employed efficiency (CEE) berpengaruh terhadap ROA
H4 : Value Added Intellectual Coeficient (VAIC
TM
) berpengaruh terhadap ROA

METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek Penelitian
Objek Penelitian ini adalah perusahaan perbankan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) yaitu BTN, BRI, BNI, Mandiri. Sehingga sampel dalam penelitian ini
adalah laporan keuangan yang dipublikasi oleh BTN,BRI,BNI, Mandiri yang telah diaudit
tahun 2005-2012. Sampel dalam penelitian ini dapat dilihat table sebagai berikut.
Tabel 1
Sampel Perbankan BUMN yang terdaftar di BEI
NO NAMA
PERUSAHAAN
JUMLAH TAHUN
(2005-2012)
1 BTN 8
2 BRI 8
3 BNI 8
4 Mandiri 8
Total 32
Sumber : Pengolahan data
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

77

B. Metode Pengumpulan data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data dengan metode dokumentasi dengan jenis
data sekunder. Data diperoleh dari internet (www.idx.go.id dan situs perusahaan). Dari
sumber tersebut diperoleh data kuantitatif berupa data laporan keuangan (annual report)
yang telah diaudit.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel independen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital (IC)
menggunakan metode dalam penelitian Pulic (2000), yang terdiri atas human
capital, structural capital dan customer capital. Berdasarkan penelitian Pulic
(2000), Chen, et al., (2005) menggunakan efisiensi nilai tambah dari kemampuan
intellectual capital atau yang disebut juga dengan value added of intellectual
Coefficient (VAIC) yang diciptakan oleh human capital efficiency (HCE),
structural capital efficiency (SCE) dan capital employed efficiency (CEE).
a) Value added yang dihasilkan oleh perusahaaan dihitung dengan cara sebagai
berikut :

VA = OUT - IN

Keterangan :
VA = Value Added
OUT = Output = Total penjualan dan pendapatan lain
IN = Input = Beban (selain beban karyawan)

b) Rumus komponen VAIC adalah :
1. Human Capital Efficiency (HCE)
HCE menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang
dikeluarkan untuk tenaga kerja. Beban karyawan dalam perhitungan HCE
di ambil dari beban gaji, upah dan kesejahteraan karyawan.


HCE = VA
HC

Keterangan :
VA = Value Added
HC = Beban Karyawan

2. Structural Capital Efficiency (SCE)
SCE merupakan kalkulasi untuk kemampuan organisasi dalam
perusahaan. Rasio ini mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana
keberhasilan SC dalam penciptaan nilai.


SCE = SC
VA

Keterangan :
SC = VA-HC
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

78


VA = Value Added

3. Capital Employed Efficiency (CEE)
CEE adalah indikator dari VA yang diciptakan oleh satu unit dari
physical capital

CEE = VA
CE


Keterangan :
VA = Value Added
CE = Capital Employee

4. Value Added Intellectual Capital (VAIC
TM
)
VAIC
TM
merupakan instrumen untuk mengukur kinerja intellectual
capital perusahaan.


VAIC
TM
= HCE + SCE + CEE


2. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan perusahaan,
dengan menggunakan proksi Return on Asset (ROA).
ROA memperlihatkan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan dalam
melakukan efisiensi penggunaan total asset untuk operasional perusahaan. Adapun
rumus yang digunakan menurut Ghozali dan Chariri (2008) untuk menghitung rasio
return on asset (ROA), adalah sebagai berikut :


ROA = Net Income
Total Asset

Tabel 2
Operasionalisasi Variable Penelitian
No Variable Penelitian Dimensi Indikator Skala
1
Intellectual Capital
(Pulic, 2000)
Human Capital
Efficiency (HCE)
X1
HCE = VA
HC
Rasio
Structural Capital
Efficiency (SCE)
X2
SCE = SC
VA
Rasio
Capital Employed
Efficiency (CEE)
X3
CEE = VA
CE
Rasio
2 Kinerja Keuangan
Perusahaan
(Ghozali & Chariri 2008)
Return on Asset (ROA)
Y
ROA = Net Income
Total Aset
Rasio
Sumber : data sekunder diolah, 2013

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

79

D. Metode Analisis
Teknik penyelesaian penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis
kuantitatif, yaitu pendekatan yang lebih fokus kepada tujuan untuk generalisasi, dengan
melakukan pengujian statistik dan steril dari pengaruh subjektif peneliti (Sekaran, 1992).
Dalam penelitian ini, analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengkuantifikasi data-
data penelitian sehingga menghasilkan informasi yang dibutuhkan dalam analisis. Alat
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda
Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan program SPSS.
Alasan penggunaan alat analisis regresi linier berganda adalah karena penelitian ini
meneliti hubungan pengaruh yang cocok untuk digunakannya alat analisis regresi
berganda. Selain itu, penelitian ini menggunakan skala rasio yang sesuai untuk
pengukuran menggunakan analisis regresi linier berganda.
Langkah dalam analisa regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Uji Asumsi Klasik
1. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah variabel dalam model
regresi ditemukan adanya korelasi antara variable bebas (independen). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variable bebas. Uji
Multikolinieritas dapat dilakukan dengan melihat VIF (Variance Inflation
Factors) dan nilai tolerance. Jika VIF > 10 dan nilai tolerance < 0,10 maka terjadi
gejala Multikolinieritas

Model Summary
b

Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .854
a
.730 .701 .0044822 .879
a. Predictors: (Constant), CEE, HCE, SCE
b. Dependent Variable: ROA

Coefficients
a

Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. Correlations
B Std.
Error
Beta Zero-
order
Partial Part
1
(Constant) .000 .005 -.057 .955
HCE .017 .006 1.275 2.740 .011 .631 .460 .269
SCE -.076 .033 -1.085
-
2.303
.029 .587 -.399
-
.226
CEE .415 .073 .702 5.691 .000 .801 .732 .559
a. Dependent Variable: ROA

Terlihat dari luaran SPSS, nilai R
2
cukup tinggi sebesar 73%, sedangkan seluruh
variabel independen memiliki nilai t statistic yang signifikan pada =5%. Oleh
karena R
2
cukup tinggi dan kebanyakan variabel independenya signifikan, maka
tidak ada indikasi terjadi multikolinieritas antar variabel independen.



Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

80

2. Uji Heteroskedastisitas & Homogenitas
Uji heteroskedastisitas dalam model dilakukan dengan menggunakan Uji Glejser
dengan cara meregresikan nilai absolute residual (AbsUi) terhadap variabel
independen lainya.

Coefficients
a

Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. Correlations
B Std.
Error
Beta Zero-
order
Partial Part
1
(Constant) -.001 .002 -.698 .491
HCE -.001 .003 -.248 -.305 .763 .174 -.059 -.046
SCE .015 .017 .730 .915 .368 .240 .173 .140
CEE .079 .049 .448 1.594 .123 .036 .293 .243
a. Dependent Variable: AbsUi

Hasil tampilan luaran SPSS dengan jelas menunjukkan variabel HCE, SCE dan
CEE memiliki nilai sig > = 0.05. Berarti tidak terdapat heterokedastisitas dalam
model ini, dengan kata lain semua variabel independen yang terdapat dalam model
ini memiliki sebaran varian yang sama (homogen).

3. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi
antara kesalahan pengganggu pada periode t-1. Model regresi yang baik adalah yang
bebas dari autokorelasi. Dalam penelitian ini uji Durbin-Watson akan digunakan
untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi.

Runs Test
Unstandardized Residual
Test Value
a
.1191
Cases < Test Value 16
Cases >= Test Value 16
Total Cases 32
Number of Runs 10
Z -2.336
Asymp. Sig. (2-tailed) .191
a. Median

Hasil luaran SPSS menunjukkan nilai test 0,1191 dengan probabilitas (Sig)
0,191 > = 0.05. Hal ini berarti bahwa residual bersifat random atau tidak terjadi
autokorelasi antar nilai residual.

4. Uji Normalitas
Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov
terhadap nilai residual hasil persamaan regresi. Jika signifikansi > 0,05 (uji dua arah
dengan nilai /2 = 2.5%), maka data berdistribusi normal



Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

81

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 32
Normal
Parameters
a,b

Mean 0E-7
Std. Deviation .00425984
Most Extreme
Differences
Absolute .158
Positive .085
Negative -.158
Kolmogorov-Smirnov Z .892
Asymp. Sig. (2-tailed) .404
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Besarnya nilai uji Kolmogorov Smirnov adalah 0,892 dengan tingkat
signifikansi jauh diatas 0,05, yaitu 0,404. Dengan kata lain bahwa nilai Kolmogorov
Smirnov tidak signifikan, berarti residual terdistribusi secara normal.

b. Uji Hipotesa
1. Koefisien Determinasi

Model Summary
b

Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
Durbin-
Watson
1 .854
a
.730 .701 .0044822 .879
a. Predictors: (Constant), CEE, HCE, SCE
b. Dependent Variable: ROA
Tampilan luaran SPSS Model Summary menunjukkan bahwa besarnya
adjusted R
2
sebesar 0,701, hal ini berarti bahwa 70,1% variasi kinerja keuangan
(ROA) dapat dijelaskan oleh variasi dari ketiga variabel independen HCE, SCE dan
CEE. Sedangkan sisanya (100%-70,1%=29,9%) dijelaskan oleh sebab sebab lain di
luar model yang diteliti. Standard error of estimate (SEE) sebesar 0,0044822,
semakin kecil nilai tersebut maka model regresi semakin tepat dalam memprediksi
variabel dependen

2. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

ANOVA
a

Model Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
1
Regression .002 3 .001 25.226 .000
b

Residual .001 28 .000
Total .002 31
a. Dependent Variable: ROA
b. Predictors: (Constant), CEE, HCE, SCE

Berdasarkan tabel ANOVA, diperoleh nilai F hitung sebesar 29,475 dengan
probabilitas (sig) = 0,000. Oleh karena nilai probabilitas (sig) < = 0.05, maka
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

82

dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel independen HCE, SCE dan CEE secara
simultan berpengaruh terhadap kinerja keuangan.

3. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)

Coefficients
a

Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig. Correlations
B Std.
Error
Beta Zero-
order
Partial Part
1
(Constant) .000 .005 -.057 .955
HCE .017 .006 1.275 2.740 .011 .631 .460 .269
SCE -.076 .033 -1.085
-
2.303
.029 .587 -.399 -.226
CEE .415 .073 .702 5.691 .000 .801 .732 .559
a. Dependent Variable: ROA

Seluruh variabel independen yang dimasukkan di dalam model memiliki nilai
signifikansi < = 0.05. Semua variabel independen terbukti memiliki pengaruh
parsial yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kinerja
keuangan (ROA) dipengaruhi oleh HCE, SCE dan CEE dengan persamaan
matematis sebagai berikut:
ROA = 0,00 + 0,17 HCE 0,076 SCE + 0,415 CEE

Hasil perhitungan diatas dapat dirangkum dalam tabel berikut ini
Variabel
Hasil Uji Statistik t
B t hitung Sig
VAIC 0,007 4,483 0,000
HCE 0.017 2.740 0.011
SCE -0.076 -2.303 0.029
CEE 0.415 5.691 0.000
Uji Statistik F F hitung :25,226 Sig: 0.000
Adjusted R Square 0,701

Hipotesis 1 adalah human capital efficiency (HCE) berpengaruh terhadap
Profitabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel Human capital efficiency
(HCE) signifikan. Hal ini dapat dilihat pada nilai koefisien sebesar 0,017 dengan
nilai signifikansinya sebesar 0,011 lebih kecil dari = 0,05 dan nilai t hitung sebesar
2,740. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda secara individual dapat
disimpulkan bahwa hipotesis H1 yang menyatakan bahwa Human capital efficiency
(HCE) berpengaruh terhadap ROA diterima. Berpengaruhnya HCE terhadap ROA
menunjukkan bahwa karyawan dari perusahaan sampel dimungkinkan pengetahuan
maupun keterampilan yang dimiliki karyawan telah dapat berpengaruh terhadap
profitabilitas seperti memiliki motivasi yang tinggi untuk berinovasi dan
memperbaiki proses bisnis agar lebih efisien yang akhirnya dapat meningkatkan
profitabilitas.
Hipotesis 2 adalah structural capital efficiency (SCE) berpengaruh terhadap
profitabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel Structural capital efficiency
(SCE) signifikan. Hal ini dapat dilihat pada nilai koefisien -0.076 dengan nilai
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

83

signifikansinya sebesar 0.029 lebih kecil dari = 0,05 dan nilai t hitung sebesar -
2.303. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda secara individual dapat
disimpulkan bahwa hipotesis H2 yang menyatakan bahwa Structural capital
efficiency (SCE) berpengaruh terhadap profitabilitas diterima. Koofisien regresi
bernilai negative menyatakan bahwa dengan mengasumsikan ketiadaan variabel
lainnya, apabila SCE mengalami peningkatan maka ROA cenderung mengalami
penurunan.
Hipotesis 3 adalah capital employed efficiency (CEE) berpengaruh terhadap
profitabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel Capital employed efficiency
(CEE) sangat signifikan dengan tanda positif. Hal ini dapat dilihat pada nilai
koefisien 0.415 dengan nilai signifikansinya sebesar 0,000 lebih kecil dari = 0,05
dan nilai t hitung yang positif sebesar 5.691. Berdasarkan hasil pengujian regresi
berganda secara individual dapat disimpulkan bahwa hipotesis H3 yang menyatakan
Capital Employed Efficiency (CEE) berpengaruh terhadap ROA diterima.
Hipotesis 4 adalah intellectual capital (VAIC
TM)
)

berpengaruh terhadap ROA.
Hasilnya menunjukkan bahwa variabel intellectual capital adalah sangat signifikan
dengan tanda positif. Hal ini dapat dilihat pada koefisien 0,007 dengan nilai
signifikansinya sebesar 0,000 lebih kecil dari = 0,05 dan nilai t hitung yang positif
sebesar 4.483. Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda secara individual dapat
disimpulkan bahwa hipotesis H4 yang menyatakan bahwa intellectual capital
(VAIC
TM
) berpengaruh terhadap ROA dierima. Hal ini menunjukkan perusahaan
sampel telah menggunakan baik asset yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dengan efektif dan efisien. Selain itu value added (nilai tambah) yang disebut juga
sebagai penciptaan kekayaan telah dipertimbangkan sebagai konsep profitabilitas
dalam arti kemampuan perusahaan untuk dapat meningkatkan pembagian
keuntungan bagi pemegang saham. Hasil ini juga memberikan bukti bahwa
intellectual capital yang merupakan asset yang tidak berwujud yang dimiliki
perusahaan dapat menciptakan nilai yaitu meningkatkan atau memperbaiki
profitabilitas perusahaan yang diukur dengan ROA.
Simpulan
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan terbukti bahwa human capital
efficiency dan capital employed efficiency secara parsial mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap intellectual capital, sementara structural capital efficiency
mempunyai pengaruh negative signifikan terhadap ROA. Selain itu terbukti pula
bahwa variabel-variabel bebas secara bersama- sama terbukti mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hal ini terlihat
probabilitasnya yang lebih kecil dari taraf signifikansi (0,000 < 0,05). Tingkat
kepercayaan yang diambil dalam penelitian ini sebesar 95% dengan sebesar 5%.
Besarnya kontribusi pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel
terikat adalah 70,1% sedangkan sisanya 29,9% dipengaruhi oleh variabel lainnya
yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini..









Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

84

DAFTAR PUSTAKA

Bontis, N. (2000). Assesing Knowledge Assets: A Review of The Models Used to Measure
Intellectual Capital, http://www.business.queensu.ca/kbe.
Canibao, Leandro, Manuel Garcia A, Paloma Sanchez. 2000. Accounting for Intangibles : A
Literature Review. Journal of Accounting Literature . Vol 19, pp 102-130
Firer, S. Williams, S.M.2003.Intellectual capital and traditional measures of corporate
performance Journal of Intellectual Capital Vol.4 No. 3. Pp. 348-360
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi analisis Multivariate dengan Program SPSS Cetakan IV.
Badan Penerbit Universitas Dipenogoro : Semarang
Huang Yi-Chun , Yen-Chun Jim Wu. 2000. Intellectual capital and knowledge
productivity. the Taiwan biotech industry", Management Decision, Vol. 48 Iss: 4,
pp.580 599
James Guthrie, Richard Petty, Federica Ricceri, (2006) "The voluntary reporting of
intellectual capital: Comparing evidence from Hong Kong and Australia", Journal
of Intellectual Capital, Vol. 7 Iss: 2, pp.254 271
Kamath, G.B.2007.The Intellectual capital performance of Indian banking sector.Journal
of Intellectual Capital Vol. 8 No. 1 pp.96-123
Mavridis. Dimitrios.The Intellectual Capital Performance of the Japanese banking sector.
Journal of Intellectual Capital.Vol. 5 Iss: 1 pp.92-115
Pulic, A.1998. Measuring the performance of intellectual potential in knowledge
economy.available at : www.vaic-on,net
Pulic dan Bornemann, M.and Leitner, K.H.1999. Measuring and reporting intelectual
capital: the case of a research technology organisation, Singapore Management
Review, vol.24 No. 3, pp.7-19
Pulic. 2000.VAIC-An Accounting tool for IC Management, International Journal of
Technology Management, 20(5)
Sawarjuwono, T., dan A.P. Kadir.2003.Intellectual Capital :Perlakuan, Pengukuran dan
Pelaporan.Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol.5, No. 1. Mei:35-57
Sekaran, U. 1992. Research methods for business, a skill building approach.4th ed. John
Wiley & Sons, Inc. NY
Ulum, Ihyaul,2009. Intelectual capital:Konsep dan kajian empiris. Yogyakarta. Graha Ilmu












Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

85

PENGARUH FRAUD RI SK FACTORS TERHADAP PENDETEKSIAN
KEMUNGKINAN FRAUDULENT FINANCIAL STATEMENT
(Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011)
Annisa Nurbaiti
Heikal Muhammad Zakaria
Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh fraud risk factor terhadap pendeteksian
kemungkinan fraudulent financial statement (FFS) pada perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-2011. Sampel yang digunakan adalah 22
perusahaan yang aktif dan terdaftar di BEI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif analisis. Data yang didapat dianalisis secara kuantitatif. Pengujian
statistik dalam penelitian ini menggunakan metode regresi logit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proksi variabel DL menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,464
lebih besar dari =5%. yang menyatakan eksternal pressure diproksikan dengan debt
leverage berpengaruh positif terhadap kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan
ditolak. Proksi variabel RTP% menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,088, lebih besar
dari =5%. Berarti dengan adanya traksaksi pihak yang memiliki hubungan istimewa belum
tentu memungkinankan adanya tindak kecurangan pelaporan keuangan. Proksi variabel
AUDCHANGE menunjukkan tingkat signifikasi (p) sebesar 0,023, lebih kecil dari =5%.
Maka hipotesis ke 3 berhasil didukung. Faktor risiko rasionalisasi yang diproksikan dengan
pergantian KAP oleh perusahaan berpengaruh positif terhadap kemungkinan kecurangan
pelaporan keuangan.

Kata kunci : fraud risk factors, fraudulent financial statement.

I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap manusia ingin menampilkan sesuatu yang terbaik dari yang dia
miliki. Hal tersebut terlihat saat kita akan beraktifitas di luar rumah, kita pasti memakai
pakaian yang terbaik. Juga terlihat pada orang yang ingin melakukan hal sesuatu demi
pengakuan sosial masyarakat luas. Ilustrasi ini terjadi pula pada perusahaan, Ketika
perusahaan publik menerbitkan laporan keuangannya maka perusahaan tersebut ingin
menggambarkan kinerja keuangan dalam keadaan terbaik. Isi laporan keuangan tidak hanya
sekedar angka-angka karena seharusnya informasi tersebut mencakup posisi keuangan dan
kinerja perusahaan yang nantinya akan berguna untuk pengambilan suatu keputusan. Hal ini
dapat menimbulkan potensi kecurangan yang akan menyesatkan para investor dan pengguna
laporan keuangan lainnya dalam mengambil keputusan. Di saat terdapat salah data dalam
laporan keuangan tersebut, maka informasi di dalamnya tidak relevan digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan karena laporan keuangan tersebut tidak berdasarkan informasi
yang sebenarnya.
Menurut SPAP pada PSA No. 70, dijelaskan kecurangan pelaporan keuangan yaitu
salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan
keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan, sehingga efek yang timbul adalah
ketidaksesuaian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi secara umum.
Dewasa ini kasus fraud banyak bermunculan. Fraud sendiri dapat diartikan dalam
banyak hal tergantung situasi dan kondisi yang terjadi. IAI (2001) menjelaskan kecurangan
akuntansi sebagai: (1) Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

86

yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan
keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan; (2) Salah saji yang timbul dari
perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (terkait penyalahgunaan atau penggelapan)
berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Istilah fraud yang
melibatkan kecurangan atau salah saji dalam laporan keuangan disebut kejahatan akuntansi.
Kejahatan akuntansi atau skandal akuntansi melibatkan kaum elit bisnis dan kaum
profesional. Contoh kasus yang populer adalah kasus Enron, dimana harga saham perusahaan
tersebut anjlok karena ulah pendirinya, mantan CEO, eksekutif Enron lainnya serta Kantor
Akuntan Publik Arthur Anderson yang bersekongkol memanipulasi laporan keuangan.
Setelah terjadi kasus-kasus skandal perusahaan besar di Amerika Serikat, seperti Enron dan
Worldcom, masyarakat dunia merasa kaget karena skandal-skandal perusahaan besar justru
terjadi di negara yang selama ini dianggap sebagai panutan berbagai aturan dan standar
mengenai bursa saham, profesi akuntan, dan transparansi dalam laporan keuangan.
Perusahaan dapat dikatakan sehat atau tidak dilihat dari informasi yang tertuang
dalam laporan keuangannya. Selain itu laporan keuangan dapat juga dijadikan sebagai
pedoman bagi pemakai laporan keuangan eksternal, atau perusahaan-investor, untuk
pengambilan keputusan (Ghozali dan Chariri, 2007).
Guna meminimalisasi kecurangan yang terjadi dalam suatu laporan keuangan,
digunakanlah jasa akuntan publik untuk mengaudit seluruh proses bisnis dalam perusahaan.
Proses audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik eksternal biasa disebut dengan
Auditor Independent.
Namun meski dilakukan audit oleh auditor independent, kemungkinan fraud dalam
perusahaan masih bisa terjadi. Auditor independent dalam mengaudit suatu perusahaan
mengeluarkan sebuah opini auditor, yaitu : WTP, WDP, Disclaimer untuk hasil auditnya.
Bank Indonesia pun sebagai regulator menerbitkan ketentuan anti fraud. Ketentuan ini
tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.13/28/DPNP bertanggal 9 Desember 2011,
perihal Penerapan Strategi Anti Fraud, bagi Bank Umum sebagai upaya mencegah kasus-
kasus penyelewengan yang merugikan nasabah. Pengaturan ini sebagai bagian penguatan
sistem pengendalian intern Bank dan sebagai pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Umum.
Paper penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Lou dan Wang
(2009). Penelitian mereka dilakukan di Taiwan yang menghubungkan variabel-variabel dari
fraud triangle dengan terjadinya financial statement fraud. Penelitian ini mengadopsi
penelitian Lou dan Wang, tetapi tidak semua perhitungannya. Hanya perwakilan dari setiap
bagian fraud triangle saja yang kami teliti.

II. KAJIAN PUSTAKA

Fraud
Statement on Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai an
intentional act that results in a material misstatement in financial statements that are the
subject of an audit. Sedangkan The Treadway Commission mendefiniskan fraud sebagai
melakukan tindakan secara sengaja atau ceroboh, apakah (oleh) perbuatan atau kelalaian,
yang menghasilkan materi laporan keuangan yang menyesatkan.
Dari beberapa definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa fraud yaitu kecurangan
yang di lakukan oleh pihak perusahaan dalam hal keuangan atau non-keuangan untuk
memperindah suatu pelaporan yang disajikan.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

87

Hal senada terdapat dalam ACFE yang mendefinisikan fraud sebagai perbuatan-
perbuatan melawan hukum, yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi
atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain), yang dilakukan orang-orang dari dalam
atau luar organisasi, untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.
Hal-hal yang berkaitan dengan kecurangan atau rekayasa dalam pengungkapan
laporan keuangan termasuk kedalam financial statement fraud yang merupakan salah satu
bentuk kejahatan akuntansi.
Dalam SAS No. 99 terdapat dua jenis penipuan: pertama, salah saji yang timbul dari
kecurangan pelaporan keuangan (misalnya pemalsuan catatan akuntansi); kedua, salah saji
yang timbul dari penyalahgunaan aset (misalnya pencurian aset atau pengeluaran penipuan).
Standar ini menggambarkan Fraud Triangle.
Konsep segitiga kecurangan (Fraud Triangle) pertama kali diperkenalkan oleh
Cressey (1953). Teori risiko kecurangan menyediakan kerangka kerja bagi identifikasi
perusahaan fraud risk factors. Cressey (1953) dalam Skousen (2006) berpendapat bahwa
dalam penipuan laporan keuangan, selalu hadir tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi dalam
berbagai derajat. Kerangka fraud risk factors diadopsi dari America Institute of CPA
(AICPA) dalam Pernyataan Standar Auditing (SAS) No. 99, Consideration of Fraud in a
Financial Statement Audit.
Teori Fraud Triangle
Teori ini di memproksikan fraud risk factors sebagai variabel independent. Untuk
mengetahui penyebab terjadinya kejahatan akuntansi dapat menggunakan konsep segitiga
kecurangan. Konsep segitiga kecurangan (Fraud Triangle) pertama kali diperkenalkan oleh
Cressey (1953). Melalui serangkaian wawancara dengan orang-orang yang telah dihukum
karena penggelapan, Cressy menyimpulkan bahwa penipuan umumnya terbagi ke dalam tiga
ciri umum: pertama, koruptor memiliki kesempatan melakukan penipuan; Kedua, individu
memiliki kebutuhan keuangan (tekanan); Ketiga, individu terlibat dalam rasionalisasi
penipuan tindakan, sebagai konsistensi kode etik masing-masing. (Skousen, 2006)

Tekanan (Pressure)
Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud. Terdapat
dua jenis faktor tekanan, yaitu tekanan dari faktor keuangan (financial), dan tekanan dari
faktor sosial (non-financial). Contohnya seperti seseorang yang memiliki hutang atau tagihan
yang menumpuk, memiliki gaya hidup mewah, kebiasaan berjudi atau obat-obatan, seseorang
yang merasa tertekan ketika performanya kurang diakui oleh manajemen, dan sebagainya.

Kesempatan (Opportunity)
Adanya kesempatan memungkinkan fraud terjadi. SAS No. 99 menyebutkan bahwa
peluang pada financial statement fraud dapat terjadi pada tiga kategori. Kondisi tersebut
adalah nature of industry, ineffective monitoring, dan organizational structure.

Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi adalah komponen kecurangan yang tidak kalah pentingnya, ketika
pelaku mencari pembenaran atas tindakannya. Misalnya, tindakan kecurangan yang
dilakukan untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, masa kerja
pelaku cukup lama dan dia merasa gajinya kurang besar, dan kondisi saat perusahaan
mendapatkan keuntungan yang sangat besar sehingga tak mengapa jika mengambil bagian
sedikit dari keuntungan tersebut.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

88

Dalam SAS No. 99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure
yang mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external
pressure, personal financial need, and financial targets.

Financial Statement Fraud
Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan laporan
keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam
bentuk salah saji material laporan keuangan, yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan ini dapat bersifat finansial atau non-finansial.

Penyebab Kejahatan Akuntansi
Menurut (Koroy, 2008), terdapat faktor yang menyebabkan identifikasi kecurangan
menjadi sulit, sehingga auditor gagal dalam usahanya, yaitu: karakteristik terjadinya
kecurangan, standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan. Dalam table di bawah
ini disajikan kecurangan menurut Steve & Chad (2002):

Tabel 1 Tipe-tipe kecurangan yang dilakukan perusahaan

Sumber: Albrecht W.Steve and Albrecht Chad O, 2002 . Fraud Examination Thomson South- Western,
dikutip dari Amrizal, Ak, MM, CFE, Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Oleh Internal Auditor,
www.bpk.go.id
Penelitian Yung-I Lou et al (2009), yang juga meneliti mengenai likelihood of
fraudulent financial repoting menggunakan proksi yang sama dengan pembahsan dalam SAS
No. 99. Penelitian ini berkesimpulan bahwa fraudulent financial reporting memiliki
hubungan yang positif dengan more financial pressure of a firm or supervisor of a firm,
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

89

higher percentage of complex transaction of a firm, more questionable integrity of a firm's
managers, or more deterioration in relation between a firm and its auditor.
Kecurangan Laporan keuangan telah menjadi salah satu cerita yang mendominasi
berita korporasi selama beberapa tahun terakhir. Publikasi yang cukup dengan bukti yang
dihasilkan, meruntuhkan integritas proses pelaporan keuangan dan secara substansial
menjadi kerugian investor maupun kreditur. Kecurangan telah mengikis kepercayaan publik
pada kegunaan dan keandalan laporan keuangan yang dipublikasikan
Berdasarkan uraian di atas, maka pada gambar 1 dapat menunjukkan suatu kerangka
pemikiran dari variabel dalam penelitian ini.
Gambar 1



H1


H2


H3



Pengembangan Hipotesis
Pada bagan di atas, digambarkan pengaruh Kemampuan Perusahaan Memenuhi
Kewajiban terhadap Fraudulent Financial Statement. Dalam penelitian ini tekanan eksternal
diukur dengan menggunakan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban (DL). H1 :
Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban berpengaruh positif terhadap Fraudulent
Financial Statement.
Begitu juga Transaksi Pihak Istimewa yang diasumsikan berpengaruh terhadap
Fraudulent Financial Statement. Lou dan Wang (2009) berpendapat bila presentase transaksi
lebih tinggi dan kompleks, perusahaan kemungkinan menghadapi kecurangan yang lebih
besar.
Dalam penelitian ini kesempatan diukur dengan transaksi pihak istimewa (RTP%). H2
: Transaksi pihak istimewa berpengaruh positif terhadap Fraudulent Financial Statement.
Pergantian KAP oleh Perusahaan berpengaruh terhadap Fraudulent Financial
Statement. Variabel ini digunakan sebagai proksi dari rasionalisasi. Maka H3 : Pergantian
KAP oleh Perusahaan berpengaruh positif terhadap Fraudulent Financial Statement.
Tekanan (Pressure)

Eksternal :
Kemampuan perusahaan
Kesempatan
(Opportunity)

Transaksi pihak istimewa
Rasionalisasi
(Rationalization)

Pergantian KAP oleh
perusahaan
Kecurangan
(Fraud)
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

90

III. METODE PENELITIAN
Sampel dan Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini diambil dari perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) periode 2009 2011. Pemilihan sample menggunakan purposive sampling
yaitu sample yang sengaja ditentukan berdasarkan kriteria tertentu oleh peneliti, sebanyak 22
perusahaan. Penelitian ini didasarkan pada data laporan keuangan yang diperoleh dari Bursa
Efek Indonesia (BEI) dan www.idx.co.id selama 3 tahun periode, sehingga total pengamatan
seluruhnya adalah 66 perusahaan.
Proses indentifikasi perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam fraudulent financial
statement bukan hal yang mudah, karena BAPEPAM tidak menerbitkan data perusahaan
yang memiliki kemungkinan melakukan fraud. BAPEPAM hanya menerbitkan perusahaan
yang sudah terbukti melakukan fraud. Berbeda dengan Skousen, et al (2008) yang
menggunakan data dari SEC dan AAERs untuk mengindentifikasi perusahaan yang
melakukan financial statement.
Peneliti memproksikan kemungkinan fraudulent financial statement sebagai variabel
dependen dengan opini audit Tidak Wajar (TW)), tidak Menyatakan Pendapat (TMP) dan
Wajar dengan Pengecualian (WDP) yang diperoleh perusahaan. Peneliti juga menggunakan
variabel dummy, yang dikodekan dengan 1 untuk perusahaan yang tergolong FFS, dan 0
untuk perusahaan non-FFS. Sedangkan untuk fraud risk factors sebagai variabel independen,
peneliti menggunakan model fraud triangle yaitu faktor pressure yang diproksikan dengan
Debt Leverage (DL) yaitu total assets atau total liabilities pada tahun perhitungan,
opportunity yang diproksikan dengan Kemampuan Perusahaan Memenuhi Kewajiban
(RTP%) yaitu total hutang pihak istimewa atau total kewajiban pada tahun perhitungan, dan
rationalization yang diproksikan dengan melihat pergantian KAP oleh perusahaan.
Metode Analisis Data
Analisis regresi logit digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel terikat
yang berubah atau data dikotomik (biner) dengan variabel bebas yang berupa data berskala
interval dan atau kategorik (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Variabel terikat berskala biner
adalah variabel terikat Y yang menghasilkan dua kategori (dikotomik) yang dinotasikan
sebagai Y = 1 menyatakan kejadian sukses, dan y = 0 menyatakan kejadian gagal.
Variabel Y ini mengikuti sebaran/distribusi Bernouli.
Model regresi logistik dalam penelitian ini adalah :
FRAUD = 0 + 1 DL + 2 AUDCHANGE + 3 RTP% +
Keterangan:
FRAUD = Variabel dummy yang dikodekan dengan 1 untuk perusahaan yang
tergolong FFS, dan 0 untuk perusahaan non FFS.
DL = Total Aktiva terhadap Total Kewajiban.
AUDCHANGE = Variabel dummy, dengan kode 1 jika perusahaan melakukan
perubahan auditor dalam dua tahun, dan kode 0 jika tidak
melakukan perubahan auditor dalam dua tahun.
RTP% = Hutang yang harus di bayarkan oleh pihak istimewa.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah emiten yang terdaftar di BEI pada
tahun 2009-2011. Dari seluruh sampel dilihat apakah indikasi perusahaan menuju terjadinya
kemungkinan kecurangan (fraud) yang diproksi dalam opini auditor atas laporan keuangan
berupa wajar dengan pengecualian (WDP), tidak wajar dan tidak memberikan pendapat
(TMP) dan tidak melakukan kecurangan yang diproksi dengan opini auditor atas laporan
keuangan berupa wajar tanpa pengecualian (WTP).
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

91

Uji Klasifikasi 2x2
Prediksi ketepatan model juga dapat menggunakan tabel klasifikasi 2x2 yang
menghitung nilai estimasi yang benar (correct) dan salah (incorrect) pada variabel dependen.
Menurut prediksi, perusahaan yang kemungkinan tidak melakukan tindak kecurangan (0)
adalah 26 perusahaan. Sedangkan hasil observasi hanya 9 perusahaan, sehingga ketepatan
klasifikasi adalah 34.6%. Sedangkan dalam memprediksi perusahaan yang melakukan tindak
kecurangan (1) adalah 40 perusahaan, hasil observasi hanya 36 sehingga ketepatan klasifikasi
adalah 90%. Dengan demikian secara keseluruhan ketepatan klasifikasi adalah 68.2%. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Classification Table
a


Observed Predicted

PROBABILITY Percentage
Correct
nonffs ffs
Step 1 PROBABILITY Nonffs 9 17 34.6
Ffs 4 36 90.0
Overall Percentage

68.2
a. The cut value is .500

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.
Step 1 Step 9.286 3 .026
Block 9.286 3 .026
Model 9.286 3 .026

Pengujian signifikansi variabel secara bersama-sama dalam regresi logistic
menunjukkan nilai chi square sebesar 9.286 dengan signifikansi sebesar 0,026. Nilai
signifikansi yang lebih kecil dari tingkat o sebesar 0,05 menunjukkan adanya kemungkinan
pengaruh yang signifikan dari ketiga variabel independen tersebut dalam menjelaskan
probabilitas Fraudulent financial statement pada tingkat o sama dengan 5%.
Interpretasi Hasil
Analisis model regresi logistik dapat dilihat dari ringkasan hasil estimasi model
logistik yang tersaji dalam table ebagai berikut:

Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1
a
DL .093 .128 .535 1 .464 1.098
AUDITCHANGE
(1)
-1.592 .700 5.177 1 .023 .204
RPT 1.762 1.033 2.910 1 .088 5.824
a. Variable(s) entered on step 1: DL, AUDITCHANGE, RPT.

Pengujian Hipotesis
a. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ke 1
Proksi variabel DL menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,464 lebih besar dari
=5%. Oleh karena tingkat signifikan (p) lebih besar dari =5% maka hipotesis ke-1 yang
menyatakan eksternal pressure diproksikan dengan debt leverage berpengaruh positif
terhadap kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan ditolak pada tingkat =5%.
Penelitian ini bertentangan dengan Ema kurniawati (2010), yang memperoleh sebaliknya.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

92

b. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ke 2
Proksi variabel RPT% menunjukkan tingkat signifikan (p) sebesar 0,088, lebih besar dari
=5%. Hal ini mengindikasi bahwa perusahaan dengan adanya traksaksi pihak yang memiliki
hubungan istimewa belum tentu memungkinankan adanya tindak kecurangan pelaporan
keuangan. Penelitian ini tidak membuktikan adanya pengaruh faktor risiko kesempatan
melalui proksi variabel transaksi terhadap pihak yang memiliki hubungan istimewa terhadap
kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini bertentangan sama dengan penelitian
yang dilakukan Lou dan Wang (2009), yaitu transaksi pihak istimewa menimbulkan risiko
salah saji material akibat fraud, karena sangat rentan terhadap manipulasi transaksi dengan
pihak yang memiliki hubungan istimewa. Tapi pada derajat 10%, RPT% menunjukkan
signifikansinya.

c. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis Ke 3
Proksi variabel AUDCHANGE menunjukkan tingkat signifikasi (p) sebesar 0,023,
lebih kecil dari =5%. Maka hipotesis ke 3 berhasil didukung. Penelitian ini membuktikan
bahwa faktor risiko rasionalisasi yang diproksikan dengan pergantian KAP oleh perusahaan
berpengaruh positif terhadap kemungkinan kecurangan pelaporan keuangan. Hasil penelitian
ini senada dengan yang dilakukan oleh Loebbecke et al. (1989).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menganalisis pengaruh antara risk fraud factor dengan beberapa proksi
dari fraudulent financial statement. Pengukuran financial statement fraud pada penelitian ini
menggunakan analisis fraud triangle seperti yang dilakukan oleh Lou dan Wang (2009) dan
Ema Kurniawati (2011). Penelitian ini menggunakan proksi opini auditor atas laporan
keuangan perusahaan sebagai variabel dependen. Indikasi adanya kecurangan ditandai
dengan opini selain wajar tanpa pengecualian (WTP).
Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis, dapat ditarik kesimpulan berikut
ini: (1) Debt Leverage (DL) tidak berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
kemungkinan fraudulent financial statement. DL tidak bisa menjadi proksi dalam terjadinya
kemungkinan fraudulent financial statement pada perusahaan; (2) Transaksi pihak istimewa
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap financial statement fraud, kecuali jika derajat
kesalahan dalam perhitungan ditingkatkan menjadi 10%. (3) Perpindahan KAP yang
diproksikan dengan AUDCHANGE berpengaruh secara positif - signifikan terhadap
kemungkinan fraudulent financial statement. Hal tersebut dapat diartikan bahwa perpindahan
KAP dapat dijadikan sebagai proksi mengidentifikasikan terjadinya financial statement fraud.

Saran
Ada beberapa keterbatasan pada penelitian ini, antara lain: (1) terlalu sedikitnya
waktu sampel data yang diambil; (2) sampel perusahaan yang diambil hanya 33 perusahaan
yang terdaftar di BEI; (3) Indikator yang diambil untuk memproksikan variabel independen
hanya terdiri dari Debt leverage, Audit Change dan hubungan dengan pihak istimewa.
Penelitian selanjutnya diharapkan perlu memperbanyak indicator lainnya agar lebih kaya.
Peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut dalam pengkajian lanjutan: (1)
menambah variabel proksi dari fraud triangle agar cakupan penelitian menjadi lebih luas; (2)
menambah jumlah sampel perusahaan agar dapat memprediksi kasus fraudulent financial
statement pada kategori perusahan lain; (3) melibatkan atau bahkan mengganti proksi yang
sudah ada dalam penelitian ini, sebagai pengukur kemungkinan fraudulent financial
statement secara lebih luas.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

93

DAFTAR PUSTAKA
Cendrowski, H., J.P. Martin, dan L.W. Petro., 2007, The Handbook of Fraud Deterrence.
New York: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 41 48.
Christopher J. Skousen. CONTEMPORANEOUS RISK FACTORS AND THE
PREDICTION OF FINANCIAL STATEMENT FRAUD. Texas. 2006.
Cressey, D. 1953. Other Peoples Money; a Study in the Social Psychology of Embezzlement.
Glencoe, IL, Free Press.
Ghozali, Imam dan Anis Chari. 2007. Teori Akuntansi. Edisi 3. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Dipinegoro.
Koroy, Tri Ramaraya. 2008. Pendeteksian Lecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh
Auditor Eksternal. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Banjarmasin.
Rezaee, Z., 2002, Financial Statement Fraud: Prevention and Detection. New York: John
Wiley & Sons, Inc. Halaman 1 2.
You-I Lou, and Ming-Long Wang (2009). Fraud risk factor of the fraud triangle assessing
the likelihood of fraudulent financial reporting, Journal of business &
economics research, Vol. 7, No. 2.


















Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

94

Analisis Pengaruh Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, dan Jumlah Guru terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat
Gallyn Ditya Manggala
Ahmad Kafrawi Mahmud

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Abstract
Penelitian ini menggunakan regresi panel data dengan variabel-variabel IPM, jumlah
sekolah, jumlah murid, dan jumlah guru di tingkat SD dan SMP. Hasil penelitian
menunjukkan koefisien dari variabel-variabel jumlah sekolah dan jumlah murid
menunjukkan hasil yang tidak signifikan, artinya variabel tersebut kurang berpengaruh
terhadap pembentukan IPM di Jawa Barat. Kecuali variabel jumlah guru yang menunjukkan
hasil yang signifikan, hal ini mengindikasikan bahwa variabel tersebut mempunyai pengaruh
terhadap pembentukan IPM di Jawa Barat.

Keyword : IPM, Jumlah sekolah, Jumlah murid, Jumlah Guru

I. Latar Belakang
Sekitar tahun 1996, untuk pertama kalinya Badan Pusat Statistik (BPS) dan United
Nations Development Programme (UNDP) Indonesia mempublikasikan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai alat tolok ukur pembangunan manusia. IPM mengukur
aspek-aspek yang relevan dengan pembangunan manusia melalui indeks komposit yang
terdiri dari tiga komponen utama yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan (daya beli).
Pada saat ini IPM dianggap lebih mencerminkan hasil-hasil pembangunan yang berfokus
pada pembangunan manusia. Indikator ini merupakan penentu apakah daerah atau kawasan
tersebut maju atau tidak, suatu daerah bisa dikatakan maju apabila di daerah tersebut tingkat
IPM sudah tinggi. Hal ini dikarenakan Indek Pembangunan Manusia merupakan indikator
dari tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan indek daya beli di suatu wilayah tersebut.
Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, ini
merupakan sesuatu hal yang positif apabila sebagian besar masyakarat-nya produktif. Dapat
dikatakan bahwa pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu
masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian proses sosial, ekonomi dan
institusional demi mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sangat dilemmatis sekali memang kalau melihat IPM Jawa Barat yang berada di
kisaran angka 16 dari 34 propinsi yang ada di Indonesia. Berbeda sekali dengan dengan
tetangga dekatnya seperti Jakarta yang berada di posisi ke-1. Hal ini merupakan persoalan
yang harus diselesaikan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat untuk bisa menanggulangi
masalah tersebut, seharusnya dengan sumberdaya yang ada di Jawa Barat, baik itu dari
sumberdaya manusia, alam, maupun dalam hal infrasturktur, Jawa Barat hendaknya berada di
posisi 5 besar dari 34 propinsi yang ada di Indonesia dalam hal IPM-nya. Oleh karena itulah
hendaknya permasalahan ini harus segera di selesaikan, agar propinsi Jawa Barat ini bisa
menjadi propinsi yang unggul dan juga sebagai pelopor dari propinsi-propinsi lainnya.
Berikut ini adalah perbandingan IPM Jawa Barat dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta.



Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

95

gambar 1: Perbandingan IPM ketiga propinsi

II. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah sekolah dasar (SD) dan jumlah sekolah
menengah pertama (SMP) terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui pengaruh jumlah murid sekolah dasar (SD) dan jumlah murid
sekolah menengah pertama (SMP) terhadap IPM di Jawa Barat.
3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah guru sekolah dasar (SD) dan jumlah guru sekolah
menengah pertama (SMP) terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.

III. Tinjauan Teoritis
Sebagai tokoh utama dari aliran ekonomi klasik, Adam Smith menganggap bahwa
manusialah sebagai faktor produksi utama yang menentukan kemakmuran suatu bangsa.
Alasan utama yang mendasari pernyataan Smith tersebut karena beliau menganggap alam
tidak ada artinya kalau tidak ada sumber daya yang pandai mengelolanya sehingga
bermanfaat bagi kehidupan. Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya yang efektif
adalah pertumbuhan ekonomi. Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu
proses perluasan pilihan bagi penduduk untuk membangun hidupnya yang dianggap
berharga. Beberapa hal esensial dalam pembangunan manusia adalah agar manusia dapat
merasakan kehidupan yang panjang dan sehat, berpengetahuan, dan mempunyai akses
terhadap sumber-sumber yang diperlukan untuk hidup layak. Pada tahun 1990, UNDP
memperkenalkan suatu indikator yang telah dikembangkannya, yaitu suatu indikator yang
dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan
representatif, yang dinamakan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Angka IPM berkisar antara 0 hingga 100. Semakin mendekati 100, maka hal
tersebut merupakan indikasi pembangunan manusia yang semakin baik.
Pelaksanaan pembangunan seutuhnya senantiasa menempatkan manusia sebagai titik
sentral dalam pembangunan. Dalam kerangka ini maka pembangunan ditujukan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan
partisipasi rakyat dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Dengan demikian maka
pembangunan manusia menjadi tujuan utama pembangunan melalui peningkatan kemampuan
sumber daya manusia, agar mampu sebagai subyek pembangunan. Untuk mencapai tujuan
66
68
70
72
74
76
78
2006 2007 2008 2009 2010
Indeks Pembangunan Manusia
DKI Jakarta
Jawa Barat
Yogyakarta
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

96

tersebut maka setiap negara dalam hal ini pemerintah perlu melakukan upaya meningkatkan
kualitas penduduk sebagai sumber daya, baik dari aspek fisik (kesehatan), aspek
intelektualitas (pendidikan), aspek kesejahteraan ekonomi (daya beli) maupun aspek
moralitas (keimanan dan ketaqwaan) sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan
sendirinya meningkat (BPS Jawa Barat, 2000). Menurut UNDP (1990), pembangunan
manusia merupakan model pembanguanan yang ditujukan untuk memperluas pilihan yang
ditumbuhkan melalui upaya pemberdayaan penduduk. Pemberdayaan penduduk ini dapat
dicapai melalui upaya yang menitikberatkan pada peningkatan kemampuan dasar manusia
yaitu meningkatkan derajat kesehatan, pengetahuan dan keterampilan agar dapat digunakan
untuk mempertinggi partisipasi dalam kegiatan produktif, sosial, budaya dan politik.
Upaya untuk mengangkat manusia sebagai tujuan utama pembangunan, sebenarnya
telah muncul dengan lahirnya konsep basic need development. Paradigma ini mengukur
keberhasilan pembangunan dengan menggunakan Indeks Mutu Hidup (Physical Quality Life
Index), yang memiliki tiga parameter, yaitu: angka kematian bayi (infant motality rate),
angka harapan hidup waktu lahir (life expentancy) dan tingkat melek huruf (literacy rate).
Indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia terus dikembangkan,
sehingga muncul paradigma baru pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index). Pada dasarnya IPM mengukur tiga
dimensi pokok pembangunan manusia, yaitu:
1. Umur panjang dan sehat yang mengukur peluang hidup
2. Berpengetahuan dan berketarampilan, serta
3. Akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak.
Lebih jelasnya UNDP menentukan beberapa komponen besaran Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), yaitu usia hidup (longevity) diukur dari angka harapan hidup waktu lahir,
pengetahuan (knowledge) diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, dan
standar hidup layak (decent living) diukur dengan rata-rata konsumsi riil yang telah
disesuiakan. Untuk lebih jelasnya teknis penentuan IPM dapat dilihat pada gambar ini:
gambar 2: Komponen Indeks Pembangunan Manusia

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

97

Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh banyak indikator antara lain:
pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan, peningkatan daya beli, peningkatan
kualitas kesehatan, dan banyak lagi indikator yang lain. Dari berbagai indikator kemajuan
pembangunan ekonomi, salah satunya adalah keberhasilan dalam meningkatkan kualitas
pembangunan manusia. Indikator peningkatan kualitas pembangunan manusia terlihat dari
perubahan indeks pembangunan manusia (human development index). Perubahan dalam
indeks pembangunan manusia dipengaruhi oleh tiga indikator, yaitu: indeks kesehatan, indeks
pendidikan, dan indeks daya beli. Oleh karena itu, perubahan dalam IPM terkait erat dengan
perubahan ketiga indeks tersebut.
Dalam perhitungan indeks kesehatan, digunakan angka harapan hidup sebagai
indikator. Selain memasukkan indeks kesehatan, perhitungan IPM juga memasukkan indeks
pendidikan. Indeks pendidikan berbeda dengan indeks kesehatan, karena di dalam indeks
pendidikan mengakomodir dua indikator komponen prestasi, yaitu: indeks melek hurup dan
indeks rata-rata lama sekolah. Indeks melek hurup dihitung berdasarkan perubahan angka
melek huruf, sedangkan indeks rata-rata lama sekolah dihitung berdasarkan angka rata-rata
lama sekolah.

Penelitian Sebelumnya:
No Nama Judul Thn Masalah Metode Temuan
1 Nur Isa
Pratowo
Analisis Faktor-
Faktor Yang
Berpengaruh
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia
2010 Indeks
Pembangunan
Manusia di
Indonesia masih
rendah bahkan jauh
di bawah Malaysia.
Analisis data
Belanja
daerah, Gini
rasio, Proporsi
pengeluaran
non makanan,
Rasio
ketergantunga
n, IPM
Belanja Daerah dan
Proporsi
Pengeluaran non-
Makanan signifikan
positif terhadap
IPM. Gini Rasio dan
Rasio
Ketergantungan
signifikan negatif
terhadap IPM.
2 Paulus
Grans
Naput
Analisis Pengaruh
Daya Beli
Masyarakat,
Belanja Pendidikan,
dan Belanja
Kesehatan
Terhadap
Indeks
Pembangunan
Manusia
di Indonesia
2012 Indeks
Pembangunan
Manusia masih
tergolong rendah
jika dibandingkan
dengan negara-
negara lainnya.
Penelitian
kuantitatif
cross-section
yang
dikumpulkan
dengan
metode
dokumentasi.
Belanja kesehatan
kabupaten/kota
tahun 2007 tidak
signifikan
berpengaruh
terhadap angka
harapan hidup tahun
2007, 2008, dan
2009..
3 Prieska
Pretty
Madogucc
i
Analisis Faktor-
Faktor Yang
Mempengaruhi IPM
di Indonesia.
2010 Tantangan
Indonesia
menghadapi
ekonomi global
dengan IPM yang
rendah.
Ordinary
Least Square
dengan
menggunakan
regresi linear
berganda
Estimasi penelitian
ini menunjukkan
semua variabel
bebas berpengaruh
positif terhadap IPM
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

98

IV. Metodologi
Penelitian ini menggunakan regresi panel guna menganalisis pengaruh jumlah sekolah,
murid, dan guru terhadap Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat. Metode panel
merupakan gabungan data time series dan cross section yang mampu menyediakan data yang
lebih banyak sehingga akan menghasilkan degree of freedom yang lebih besar. Regresi model
panel juga dapat memperlihatkan karakteristik masing-masing kabupaten dan kota di Jawa
Barat. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat
mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (omitted-variable).
Variabel penelitian terdiri dari Jumlah Sekolah, Jumlah Murid, Jumlah Guru, dan
Indeks Pembangunan Manusia. Adapun periode penelitian dalam kasus ini adalah tahun 2008
sampai tahun 2010 di provinsi Jawa Barat. Data diambil dari www.jabarprov.go.id.
Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :



IPM
it
: Variabel Indek Pembangunan Manusia pada periode t dan wilayah i.
Data diukur dalam angka.
Sekolah
it
: Variabel jumlah sekolah pada periode t dan wilayah i. Data diukur dalam
satuan unit sekolah.
Murid
it
: Variabel jumlah murid pada periode t dan wilayah i. Diukur dalam orang.
Guru
it
: Variabel jumlah guru pada periode t dan wilayah i. Diukur dalam orang.

Prosedur pengolahan data panel adalah pertama dilakukan uji hausman untuk melihat
apakah pengolahan panel data akan dilakukan denga metode random effect atau fix effect.
V. Hasil dan Analisis
Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Pool: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 4.665420 3 0.1980
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
SEKOLAH? -0.001533 -0.001488 0.000000 0.6114
MURID? -0.000001 -0.000001 0.000000 0.0650
GURU? 0.000144 -0.000132 0.000000 0.0680
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: IPM?
Method: Panel Least Squares
Date: 05/10/13 Time: 22:46
Sample: 2008 2010
Included observations: 3
Cross-sections included: 26
Total pool (balanced) observations: 78
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 72.54461 0.102792 705.7397 0.0000
SEKOLAH? -0.001533 0.001484 -1.033145 0.3066
MURID? -9.57E-07 3.17E-06 -0.302358 0.7637
GURU? 0.000144 6.46E-05 -2.226947 0.0306
Effects Specification
IPM
it
= Sekolah
it
+ Murid
it
+ Guru
it
+ e
t
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

99

Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.987956 Mean dependent var 72.20423
Adjusted R-squared 0.981074 S.D. dependent var 2.728066
S.E. of regression 0.375306 Akaike info criterion 1.156552
Sum squared resid 6.901879 Schwarz criterion 2.032764
Log likelihood -16.10552 Hannan-Quinn criter. 1.507316
F-statistic 143.5519 Durbin-Watson stat 1.890354
Prob(F-statistic) 0.000000

Ho : Model Random Effect
Ha : Model Fixed Effect
Kriteria: Prob Chi Square > do not reject Ho. Gunakan model random effect.
Kesimpulan: 0.1980 > 0.05
Berdasarkan hasil uji hausman maka diperoleh kesimpulan bahwa penelitian ini akan
menggunakan metode panel dengan random effect. Hal ini juga sesuai dengan syarat yang
terdapat dalam random effect yakni objek data silang (cross section) harus lebih besar
daripada banyaknya koefisien. Dalam analisis ini jumlah data silang sebanyak 26 buah yaitu
kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat. Sedangkan jumlah variabel sebanyak 4 buah.
Berikut adalah hasil pengolahan data maka didapatlah hasil estimasi seperti berikut ini:
Dependent Variable: IPM?
Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)
Date: 05/10/13 Time: 22:43
Sample: 2008 2010
Included observations: 3
Cross-sections included: 26
Total pool (balanced) observations: 78
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 72.52886 0.537025 135.0567 0.0000
SEKOLAH? -0.001488 0.001481 -1.004866 0.3182
MURID? -1.33E-06 3.16E-06 -0.419507 0.6761
GURU? 0.000132 6.43E-05 -2.047009 0.0442
Random Effects (Cross)
_KABBOGORC -0.385800
_KABSUKABUMIC -1.958608
_KABCIANJURC -3.521780
_KABBANDUNGC 1.773571
_KABGARUTC -1.299409
_KABTASIKMALAYA--C -0.646659
_KABCIAMISC -1.335006
_KABKUNINGAN--C -1.776480
_KABCIREBONC -3.980561
_KABMAJALENGKA--C -2.501995
_KABSUMEDANG--C -0.260034
_KABINDRAMAYU--C -4.793020
_KABSUBANGC -1.414063
_KABPURWAKARTA--C -1.538800
_KABKARAWANG--C -2.684100
_KABBEKASIC 0.588587
_KABBANDUNGBARAC 0.753555
_KOTBOGOR--C 3.310690
_KOTSUKABUMI--C 2.159532
_KOTBANDUNG--C 4.144029
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

100

_KOTCIREBON--C 2.245995
_KOTBEKASI--C 3.832943
_KOTDEPOK--C 6.504606
_KABCIMAHI--C 2.758551
_KOTTASIKMALAYA--C 1.514353
_KOTBANJAR--C -1.490098
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 2.688222 0.9809
Idiosyncratic random 0.375306 0.0191
Weighted Statistics
R-squared 0.178852 Mean dependent var 5.801179
Adjusted R-squared 0.145562 S.D. dependent var 0.410561
S.E. of regression 0.379506 Sum squared resid 10.65783
F-statistic 5.372564 Durbin-Watson stat 1.216027
Prob(F-statistic) 0.002113
Unweighted Statistics
R-squared -0.025917 Mean dependent var 72.20423
Sum squared resid 587.9127 Durbin-Watson stat 0.022044

IPM
it
= 72,52886 0,001488 Sekolah
it
1,33E-06 Murid
it
+ 0,000132 Guru
it
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka didapatkan hasil bahwa koefisien dari
variable jumlah sekolah dan jumlah murid tidak signifikan, pada derajat 5%. Sedangkan
variabel jumlah guru berpengaruh signifikan pada derajat 5%.
Nilai koefisien Jumlah Sekolah adalah 0,001488 yang berarti bahwa ketika jumlah
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertambah pada Kabupaten dan
Kota di Jawa Barat maka akan menyebabkan menurunkan IPM sebesar 0,001488 di Jawa
Barat, hal tersebut bisa terjadi jika kualitas sekolah yang dibangun masih kurang memenuhi
standar yang layak, dan belum mempunyai fasilitas yang memadai. Bertambahnya jumlah
sekolah jika tidak dibarengi dengan mutu dan kualitas sarana dan prasarananya justru hanya
menjadi sekolah yang pajangan saja, tidak mempunyai kontribusi yang positif terhadap
peningkatan pendidikan dan IPM di Jawa Barat.
Besaran hasil estimasi variabel jumlah murid adalah 1,33E-06 yang berarti bahwa
ketika jumlah murid Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertambah
pada Kabupaten dan Kota di Jawa Barat maka akan menyebabkan penurunan IPM sebesar
1,33E-06. Hal ini juga bisa terjadi jika kualitas peserta didik yang ada tidak mempunyai
bobot dan kualitas, hal ini bisa terjadi karena sarana dan prasarana sekolah tersebut kurang,
ataupun ada faktor yang lainnya, seperti kurangnya motivasi murid-murid dalam belajar.
Nilai hasil estimasi variabel jumlah guru adalah 0.000132 yang berarti bahwa ketika
jumlah guru bertambah pada Kabupaten dan Kota di Jawa Barat maka akan menyebabkan
menaiknya IPM di propinsi Jawa Barat sebesar 0.000132. Ini bisa terjadi karena guru adalah
sosok yang menjadi panutan bagi siswanya, guru yang baik ialah guru yang mempunyai
murid yang baik juga. Guru yang mempunyai metode-metode pembelajaran yang baik
biasanya akan membuat muridnya termotivasi untuk giat belajar dan mengejar cita-citanya.

VI. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah di bahas dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
jumlah sekolah dan jumlah murid kurang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan IPM di Jawa Barat. Kedua variabel tersebut malah berpengaruh negatif
terhadap pembentukan IPM, hal ini bisa terjadi jika kualitas sekolah, serta sarana dan
prasarananya kurang memadai, sedangkan untuk muridnya sendiri kurangnya motivasi dalam
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

101

mengikuti kegiatan belajar mengajar dan juga kurangnya sarana dan prasarana dalam sekolah
tersebut. Sedangkan variabel jumlah guru dalam penelitian ini mempunyai pengaruh yang
signifikan dalam terbentuknya IPM di Jawa Barat, dengan bertambahnya jumlah guru dengan
kualitas yang baik serta dengan metode pembelaran yang baik bisa membuat murid-muridnya
termotivasi untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Saran
Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan lagi kualitas sekolah-sekolah yang
dibangun, serta memperbaiki sarana dan prasarana yang ada di sekolah tersebut. Pemerintah,
keluarga serta sivitas akademik juga harus lebih memberikan perhatian serta dukungan
kepada anak-anak didiknya supaya bisa lebih termotivasi dan lebih giat belajar.








Daftar Pustaka
- Ace Suryadi (2002) Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori, dan
Aplikasi. Jakarta: Balai Pustaka.
- Badan Pusat Statistik , Indeks Pembangunan Manusia 2006-2010. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
- Gujarati, Damodar.2007 Dasar-dasar Ekonometrika. Terjemahan oleh Julius A. Mulyadi.
Penerbit Erlangga, Jakarta. (On-line) diakses tanggal 17 januari 2011
- Hausman, J. A, 1978, Specification Test in Econometrics , Econometrica Journal, Vol.
46, No. 6. (November, 1978), pp. 1251-1271.
- Hsiao, Cheng. 2003. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge University Press
(On-line)
- LIPI, Pusat Penelitian Kependudukan. 2008. Pengembangan Sumber Daya Manusia
diantara Peluang & Tantangan. LIPI Press. Jakarta (On-line)
- Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart, 1998. Economic Growth and Human Capital. QEH
Working Paper No. 18.
- Richard, Pierre Agenor. The Economics of Adjustment and Growth. LA Editorial UPR (On-
line).
- Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics.The McGraw-Hill Companies, Inc.New
York.
- Steven G. Smith (1992) The Concept of Human Nature. Philadelphia: Temple University
Press.
- www.jabarprov.go.id.





Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

102

PERANAN KOMITMEN MANAJEMEN PUNCAK DAN BUDAYA ORGANISASI
TERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI AKUNTANSI
MANAJEMEN
(Studi Pada Bank Perkreditan Rakyat di Kota Pontianak)

Muhammad Syaifullah

Doktor Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung
zeliq_ipul@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji: (1) peranan komitmen manajemen puncak dan
budaya organisasi terhadap implementasi system informasi akuntansi manajemen ; (2)
peranan komitmen manajemen puncak terhadap implementasi sistem informasi akuntansi
manajemen; 3) peranan budaya organisasi terhadap implementasi sistem informasi
akuntansi manajemen. Penelitian ini dilakukan pada 8 BPR di kota Pontianak. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah untuk pengumpulan data primer dengan mendia
pengunpul data melalui kuesioner. Responden penenlitian adalah direktur, para manajer
akuntansi dan staf akuntansi. Metode penelitian yang digunakan adalah Structural Equation
Modeling (SEM). Hipotesis dari penelitian ini adalah: (1) terdapat peranan komitmen
manajemen puncak dan budaya organisasi terhadap implementasi system informasi
akuntansi manajemen ; (2) terdapat peranan komitmen manajemen puncak terhadap
implementasi sistem informasi akuntansi manajemen; 3) terdapat peranan budaya organisasi
terhadap implementasi sistem informasi akuntansi manajemen. Hasil penelitian adalah
sebagai berikut: (1) komitmen manajemen puncak dan budaya organisasi berperan signifikan
terhadap implementasi sistem informasi akuntansi manajemen; (2) komitmen manajemen
puncak berperan secara signifikan terhadap implementasi sistem informasi akuntansi
manajemen; (3) budaya organisasi berperan terhadap implementasi sistem informasi
akuntansi manajemen. Konstrak yang paling dominan berperan terhadap implementasi
sistem informasi akuntansi manajemen adalah konstrak komitmen manajemen puncak.

Kata Kunci: Budaya Organisasi, Komitmen Manajemen Puncak, dan Implementasi System
Informasi Akuntansi Manajemen.

PENDAHULUAN

Nugroho dan Soekarni (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sebagai
upaya memperkuat ekonomi, stabilitas sektor perbankan dan keuangan yang efisien akan
memberikan landasan bagi efektivitas implementasi kebijakan stabilitas ekonomi makro dan
mobilitas modal pada penggunaan yang tepat. Oleh sebab itu penting bagi suatu negara
untuk terus memperhatikan kondisi stabilitas sektor perbankan dan keuangannya.
Halim Alamsyah (2012), menyatakan bahwa peranan dan fungsi bank sentral dalam
perekonomian Indonesia adalah menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, mendorong
pengembangan pasar keuangan serta menjamin sistem pembayaran yang aman dan efisien.
Dalam menjalankan tugas utama dari bank sentral, kebijakan yang diambil sering kali
bertentangan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Menyikapi hal ini, dalam
menjalankan perannya, bank sentral juga selalu berkoordinasi dengan Pemerintah.
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau
Kalimantan dan beribukotakan Pontianak. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

103

146.807 km (7,53% luas Indonesia). Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu
daerah yang dapat dijuluki provinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi
geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering
dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama
untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau
sebagian besar kecamatan. Kalimantan Barat berbatasan darat dengan negara bagian
Sarawak, Malaysia. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan
laut, akan tetapi Kalimantan Barat memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak
berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan
dengan Provinsi kepulauan Riau (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Barat).
Salah satu potensi ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat adalah unit Koperasi dan
UMKM, yang belakangan menjadi penting untuk mendapatkan perhatian dari Pemerintah.
Berbagai program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM yang dilaksanakan
Pemerintah pada dasarnya untuk mewujudkan Koperasi dan UMKM sebagai pelaku ekonomi
yang memiliki daya saing yang tinggi, profesional dan mampu memberikan kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (www.indonesia.go.id).
Kenyataannya menunjukkan bahwa kinerja perekonomian Kalimantan Barat pada
triwulan I-2011 dibandingkan triwulan IV-2010, yang diukur dari Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 3,39 persen.
Hampir seluruh sektor mengalami penurunan kinerja, kecuali sektor pertanian yang tumbuh
12,10 persen, sektor pertambangan-penggalian 3,22 persen, dan sektor listrik-gas-air bersih
0,63 persen. (BPS Provinsi Kal-Bar, 2011). Demikian pula halnya dengan perkembangan
perbankan daerah Kalimantan Barat, dimana secara triwulanan, aset perbankan di daerah
Kalimantan Barat selama triwulan I-2011 tumbuh melambat dibandingkan triwulan IV-2010
(Bank Indonesia, 2011).
Perkembangan perekonomian nasional dan perubahan lingkungan strategis yang
dihadapi dunia usaha termasuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan usaha kecil
menengah saat ini sangat cepat dan dinamis. BPR sebagai badan usaha senantiasa harus
diarahkan dan didorong untuk ikut berperan secara nyata meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat agar mampu mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan
sosial, sehingga lebih mampu berperan sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat.Oleh
karena itu sudah saatnya untuk menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di
pedesaan, pedagang dipasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung
kelontong) di barisan terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the
Last First).Terkait dengan hal tersebut, serta dalam rangka pemberdayaan dan
pengembangan sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak
lembaga keuangan daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat
penting.BPR dianggap yang paling dekat dan paling mengetahui nasabahnya
dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya (Bramantyo & Ronny, 2007).
Ada tujuh dimensi yang digunakan sebagai instrumen untuk mengukur budaya kerja,
yakni inovasi, stabilitas, menghargai orang (respect for people), orientasi pada hasil (outcome
orientation), orientasi pada detail (detail orientation), orientasi pada tim (team orientation),
dan agresivitas (OReilly, C., Chatman, J.A. and Caldwell, D., 1991). Ini menggariskan
bahwa budaya kerja mampu memengaruhi pencapaian kinerja perusahaan atau bank. Paul
Sutaryono, mengatakan menambahkan bahwa Pemimpin memiliki peran sentral dalam
setiap perubahan, termasuk dalam budaya kerja yang memuat tata nilai utama (core
values)...
Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono dalam Asia Pacific Conference and
Exhibition 2010, di Jakarta pada 28 April 2010 menegaskan bahwa kredibilitas informasi
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

104

menjadi sangat penting dalam menentukan pengambilan keputusan...
(http://www.infobanknews.com/2010/04/)
Sistem informasi berkembang selama masa hidup suatu perusahaan. Artinya,
suatu sistem informasi yang baru (atau paling tidak yang telah ditingkatkan mutunya
secara besar besaran) akan menggantikan sistem yang sedang digunakan jika tidak
memadai lagi. Karena setiap sistem informasi mempunyai siklus hidup tertentu, maka
pengembangan sistem merupakan suatu kegiatan bersiklus yang terdiri dari beberapa tahap
dimulai dengan perencanaan sistem, analisis sistem, pengkajian dan pemeliharaan sistem,
implementasi sistem dan diakhiri dengan pengoperasian sistem (Setianingsih dan Nur
Indriantoro, 1998).
Kesuksesan pengembangan sistem informasi sangat tergantung pada kesesuaian
harapan antara sistem analis, pemakai (user), sponsor dan Customer (Setianingsih dan Nur
Indriantoro, 1998). Pengembangan sistem informasi akuntansi memerlukan suatu
perencanaan dan implementasi yang hati hati, untuk menghindari adanya penolakan
terhadap sistem yang dikembangkan (resistance to charge), karena perubahan dari
sistem manual ke sistem terkomputerisasi tidak hanya menyangkut perubahan teknologi
tetapi juga perubahan perilaku dan organisasional untuk menghindari adanya penolakan
terhadap sistem yang dikembangkan, maka diperlukan adanya partisipasi dari pemakai.
Partisipasi pemakai pada tiap tahap pengembangan sistem informasi tentunya akan
berpengaruh pada tingkat kepuasan pemakai atas sistem yang dikembangkan (Elfreda
Aplonia Lau, 2004).
Dalam tahap perencanaan dan pengembangan sistem informasi seharusnya lebih
memperhatikan faktor mnusia tersebut, sebab seandainya dalam tahapan tersebut yang
diperhatikan adalah peran teknologinya saja, maka akan muncul permasalahan baru dari
faktor manusia tersebut, seperti timbulnya ketidakpastian dalam pekerjaan yang tentunya akan
sangat merugikan organisasi tersebut (Setianingsih dan Nur Indriantoro, 1998). Untuk itu,
dalam perancangan sistem sebaiknya pemakai dapat terlibat aktif, demikian juga sampai
dengan proses pengujiannya ( Setianingsih dan Nur Indriantoro, 1998).

KAJIAN PUSTAKA, DAN HIPOTESIS

Sistem Informasi Akuntansi Manajemen (SIAM) adalah sistem informasi yang
dirancang untuk menyediakan informasi akuntansi manajemen bagi manajer dan karyawan
untuk membuat keputusan mengenai penggunaan berbagai sumber daya yang ada dalam
perusahaan seperti uang, fasilitas fisik dan sumber daya manusia (Atkinson, et.al., 2004).
Informasi akuntansi manajemen yang dapat disajikan secara finansial maupun non-
finansial (Atkinson, et.al., 2004; Blocher dan Chen, 2006; Horngren et.al., 2006).
Persaingan yang ketat diantara industri sejenis menyebabkan perusahaan harus
melakukan berbagai perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang diadopsi perusahaan
akan efektif, jika didukung oleh SIAM yang menyediakan informasi bagi manajemen untuk
memahami dampak dari perubahaan-perubahan tersebut terhadap organisasi. Peran SIAM
dalam perubahan lingkungan tersebut adalah dengan merumuskan ukuran-ukuran
keberhasilan implementasi perubahan tersebut (Chenhall dan Morris, 1986).
Bukti empirik tentang perilaku organisasi mencatat bahwa komitmen manajemen
puncak merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi keberhasilan aktivitas-aktivitas yang
berkaitan dengan pemrosesan informasi (King, et.al., 1989). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan keyakinan manajemen puncak tentang kemampuan sistem informasi untuk
membantu tercapainya tujuan organisasi. Dengan adanya komitmen manajemen puncak
berupa penyediaan seluruh sumber daya yang diperlukan untuk mengefektifkan SIAM
(Ahire dan OShaughnessy, 1997; Brah, 2002), maka departemen pemroses informasi akan
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

105


memperoleh berbagai fasilitas untuk melaksanakan pekerjaannya, dan mereka merasa hasil
pekerjaannya diakui dan dihargai oleh manajemen puncak (Raghunathan, 1998).
Hasil penelitian tentang komitmen manajemen puncak terhadap SIAM
menunjukkan bahwa (1) keterlibatan manajemen puncak dalam fungsi SIAM cukup kuat;
(2) manajemen puncak memahami pentingnya peranan SIAM dalam pelaksanaan operasi
perusahaan; (3) manajemen puncak memandang SIAM merupakan sumber daya strategis,
dan (4) manajemen puncak menekankan kepada unit-unit operasi untuk bekerja sama dengan
departemen akuntansi agar diperoleh keefektifan informasi akuntansi manajemen
(Raghunathan, 1998).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa komitmen manajemen puncak dapat
mempengaruhi sistem informasi akuntansi manajemen. Peran komitmen manajemen puncak
sangat penting karena merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi keberhasilan aktivitas-
aktivitas yang berkaitan dengan pemrosesan informasi sistem informasi akuntansi
manajemen.

Hubungan antara Budaya Organisasi dengan Implementasi Sistem
Informasi Akuntansi Manajemen

Budaya organisasi, sebagai variabel mediasi kepemimpinan dan kinerja organisasi,
juga berasosiasi dengan strategi organisasi dan sistem akuntansi manajemen perusahaan
(Goddard, 1997; Thomas, 1989; Dent, 1991). Budaya organisasi yang sesuai dengan strategi
organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi (Doise, 2008). Budaya organisasi akan
tercermin dalam semua fungsi dalam organisasi termasuk akuntansi (Thomas, 1989).
Efek budaya perusahaan terhadap kinerja perusahaan telah menjadi topik penelitian Allen
(1985), Davis (1984), Dennison (1984), Gordon (1985), Buono, Bowditch dan Lewis
(1985), Lorsch (1985). Posner, Kouzes dan Schmidt (1985) dalam studinya menemukan
bahwa pemahaman karyawan yang benar mengenai budaya organisasi akan menuntun pada
perbedaan kinerja organisasi yang signifikan. Budaya organisasi adalah seperangkat nilai-
nilai, yang jika diatur dengan baik akan menghasilkan return keuangan yang lebih tinggi
(Baker dan Hawes, 2001).
Budaya dan struktur organisasi adalah alat-alat untuk mencapai tujuan. Oleh
sebab itu, persoalan dalam desain organisasi bagaimana dan mengapa variasi struktur
dan struktur organisasi dipilih. Hal ini mengingat keduanya berfungsi untuk
mengendalikan organisasi, dan memotivasi setiap individu untuk mencapai tujuan
(Jones, 1995: 11-14) dan menghadapi berbagai tekanan baik dari dalam maupun dari
luar organisasi (Nazaruddin, 1998).
Kultur organisasional merupakan cara yang tepat untuk dilakukan pada sebuah
organisasi meskipun hal tersebut seringkali lewat asumsi yang tidak terucapkan
(Schein, 1991: 13-15; Kotter dan Hesket, 1992: 15). Kotter dan Hesket, 1992: 141;
Gibson, et.al, 1991: 48), menyatakan bahwa budaya organisasi akan mempengaruhi
motivasi para manajer untuk mencapai tujuan organsisasi. Oleh karenanya para
manajer harus selalu terus menerus meningkatkan kualitas informasi akunt ansi
manajemen untuk proses pengambilan keputusan. Karena keputusaan manajer akan
berdampak signifikan terhadap usaha perusahaan dimasa datang.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat mempengaruhi
sistem informasi akuntansi manajemen. Peran budaya organisasi akan tercermin dalam semua
fungsi yang ada dalam organisasi termasuk didalam sistem informasi akuntansi akuntansi
manajemen.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

106

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Secara spesifik,
penelitian ini menggunakan metode survai eksplanatory (Singarimbun & Effendi,
1995: 5). Metode survai adalah penelitian dengan cara mengajukan pertanyaan kepada
orang-orang atau subjek dan merekam jawaban tersebut kemudian dianalisis secara kritis
(Sugiama, 2008: 135).

Komitmen Manajemen Puncak
Komitmen Manajemen Puncak merupakan kekuatan relatif manajemen puncak dan
keterlibatannya pada organisasi, percaya pada tujuan organisasi, selalu berupaya sekuat
tenaga bagi kepentingan organisasi (Kreitner dan Kinicki, 2005; Luthan, 2006). Variabel ini
berkedudukan sebagai variabel eksogenus, yang selanjutnya dilambangkan dengan X.
Variabel Komitmen Manajemen Puncak (X), diukur melalui 3 (tiga) dimensi yaitu
dimensi komitmen afektif, komitment continuance dan komitmen normatif (Allen dan Meyer,
1997) dengan indikator-indikator yang merupakan ciri dari variabel ini sebanyak 8
pernyataan. Dimensi komitmen afektif diukur melalui 4 indikator yang dioperasionalkan
menjadi 4 pertanyaan/pernyataan yang merupakan ciri dari dimensi ini. Komitmen afektif
manajemen puncak ditunjukkan kepeduliannya terhadap suatu program (Robbins, 2007).
Dimensi komitmen afektif berkaitan pula dengan hubungan emosional manajemen puncak
terhadap perusahaan, yang didasarkan pada keyakinan yang kuat dan erat terhadap tujuan
dan nilai suatu organisasi serta dan keterlibatannya dalam kegiatan perusahaan (Allen dan
Meyer, 1997; Durkin, 1999; Luthan, 2006).
Dimensi komitmen continuance dioperasionalkan menjadi 2 indikator dan diukur
dengan 2 pernyataan. Komitmen continuance dari manajemen puncak ditunjukkan dengan
keinginannya yang kuat untuk terus menjadi anggota organisasi (Allen dan Meyer, 1997;
Luthan, 2006). Dimensi komitmen continuance dari Manajemen Puncak diukur dengan
menggunakan instrumen berupa kuesioner.
Dimensi komitmen normatif dioperasionalkan menjadi 2 indikator yang diukur
dengan 2 pernyataan/pertanyaan. Komitmen normatif dari manajemen puncak ditunjukkan
dengan perasaan keterikatannya untuk tetap berada dalam organisasi karena adanya
kewajiban untuk melaksanakan suatu tugas (Allen dan Meyer, 1997).
Seluruh indikator dalam variabel komitmen manajemen puncak diukur dengan
menggunakan instrumen berupa kuesioner. Hasil dari kuesioner ini merupakan data yang
berskala ordinal, dengan skor berkisar 1- 5 setiap item-nya (Likert, 1989).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data demografi dalam penelitian ini berjumlah 8 (delapan) BPR yang berada di
Kota Pontianak. Responden yang diambil dari masing-masing BPR sebanyak 4
responden, sehingga total kuesioner yang dikirim berjumlah 36 (tigapuluh enam) set,
ternyata dari jumlah tersebut yang mengembalikan 10 set. Berdasarkan data demografi
responden yang diperoleh kemudian dibagi dalam 6 profil, yaitu: (1) nama; (2) umur;
(3) jenis kelamin; (4) latar belakang pendidikan; dan (5) masa jabatan.
Berdasarkan jenis kelamin, mayoritas responden dalam penelitian ini berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 70 %. Usia mayoritas berada pada rentang 20 tahun
sampai dengan 35 tahun yaitu sebanyak 50 %. Untuk pendidikan terakhir mayoritas
responden berpendidikan S1 yaitu sebanyak 60 %. Mayoritas responden mempunyai
masa jabatan 1 sampai dengan 4 tahun sebesar 85 %.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

107

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
1. UJi Validitas
Menurut Sudarmanto (2004: 77), Uji validitas adalah alat uji yang digunakan untuk
mengetahui apakah alat ukur (instrumen penelitian) yang telah disusun dapat digunakan
untuk mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Uji validitas dilakukan pada tiap item
kuesioner dengan metode korelasi Product Moment Pearson. Hasil korelasi tersebut harus
signifikan berdasarkan ukuran statistik tertentu. Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan
kesesuaian antara fungsi item dengan fungsi ukur secara keseluruhan atau dengan kata lain
instrumen tersebut valid. Pengukuran dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila
dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama. Untuk melihat validitas instrumen
yang dipergunakan, terlebih dahulu diujicobakan pada responden yang mewakili karakteristik
yang sama dengan subjek penelitian. Dimana syarat minimum suatu instrument penelitian di
anggap valid jika nilai p<0,05 (Sugiyono, 2004: 124). Untuk mengetahui hasil uji validitas
instrumen penelitian, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 4.1
Uji Validitas Instrumen Untuk Variabel Komitmen Manajemen Puncak
Item Koefisien koerlasi ( r ) signifikansi Keterangan
x1.1 0.813 0.004 Valid
x1.2 0.891 0.001 Valid
x1.3 0.838 0.002 Valid
x1.4 0.696 0.025 Valid
x1.5 0.718 0.019 Valid
x1.6 0.91 0,00 Valid
x1.7 0.779 0.008 Valid
x1.8 0.698 0.025 Valid
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012.
Berdasarkan hasil pengujian validitas untuk item-item variable Komitmen
Manajemen Puncak pada Tabel 4.1, semua item sudah valid mengukur variabel Komitmen
Manajemen Puncak. Selanjutnya adalah melakukan uji validitas terhadap item-item yang
digunakan untuk mengukur variable Budaya Organisasi, hasil perhitungan validitasnya dapat
dilihat pada Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2
Uji Validitas Instrumen Untuk Variabel Budaya Organisasi
Item Koefisien koerlasi ( r ) signifikansi Keterangan
x2.1 0.82 0.00 Valid
x2.2 0.73 0.02 Valid
x2.3 0.88 0.00 Valid
x2.4 0.77 0.01 Valid
x2.5 0.69 0.03 Valid
x2.6 0.83 0.00 Valid
x2.7 0.86 0.00 Valid
x2.8 0.82 0.00 Valid
x2.9 0.67 0.03 Valid
x2.10 0.87 0.00 Valid
x2.11 0.70 0.02 Valid
x2.12 0.70 0.02 Valid
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

108

x2.13 0.70 0.02 Valid
x2.14 0.79 0.01 Valid
x2.15 0.90 0,00 Valid
x2.16 0.82 0.00 Valid
x2.17 0.84 0.00 Valid
x2.18 0.83 0.00 Valid
x2.19 0.86 0.00 Valid
x2.20 0.86 0.00 Valid
x2.21 0.83 0.00 Valid
x2.22 0.88 0.00 Valid
x2.23 0.76 0.01 Valid
x2.24 0.74 0.01 Valid
x2.25 0.88 0.00 Valid
x2.26 0.68 0.03 Valid
x2.27 0.90 0,00 Valid
x2.28 0.88 0.00 Valid
x2.29 0.79 0.01 Valid
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012.
Berdasarkan Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa semua item yang digunakan untuk
mengukur variable Budaya Organisasi sudah memenuhi kriteria validitas.
Tabel 4.3
Uji Validitas Instrumen Variabel Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen
Item Koefisien koerlasi ( r ) Signifikansi Keterangan
Y1.1 0.709 0.022 Valid
Y1.2 0.718 0.019 Valid
Y1.3 0.807 0.005 Valid
Y1.4 0.858 0.001 Valid
Y1.5 0.706 0.022 Valid
Y1.6 0.84 0.002 Valid
Y1.7 0.737 0.015 Valid
Y1.8 0.725 0.018 Valid
Y1.9 0.783 0.007 Valid
Y1.10 0.77 0.009 Valid
Y1.11 0.726 0.017 Valid
Y1.12 0.788 0.007 Valid
Y1.13 0.787 0.007 Valid
Y1.14 0.712 0.021 Valid
Y1.15 0.757 0.011 Valid
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012

Bedasarkan hasil perhitungan uji validitas pada Tabel 4.53. dapat diketahui bahwa
semua item yang digunakan untuk mengukur variable Implementasi Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen, sudah valid atau handal dalam mengukur Implementasi Sistem
Informasi Akuntansi Manajemen.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

109

2. Uji Reliabilitas
Menurut Sudarmanto (2004: 89), Suatu alat ukur atau instrumen penelitian
(kuesioner) dikatakan memilki reliabilitas yang baik apabila alat ukur atau instrumen tersebut
selalu memberikan hasil yang sama meskipun digunakan berkali-kali baik oleh peneliti yang
sama maupun oleh peneliti yang berbeda. Pengujian reliabilitas dianalisis dengan
menggunakan Alpha Cronbach, suatu instrumen penelitian diketahui valid bila memiliki nilai
koefisien kehandalan atau lapha sebesar 0,6 atau lebih (Sudarmanto, 2004: 99).
Untuk mengetahui hasi uji relialibelitas instrumen penelitian, dapat dilihat berikut ini.
Tabel 4.4
Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian
Variabel Cronbach's Alpha Keterangan
Komitmen Manajemen Puncak 0.913 Reliabel
Budaya Organisasi 0.977 Reliabel
Implementasi Sistem Informasi Akuntansi
Manajemen
0.944 Reliabel
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.
Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas instrumen dengan menggunakan SPSS 18.0
diperoleh nilai koefisien Cronbachs Alpha untuk Komitmen Manajemen Puncak Budaya
Organisasi dan Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen masing-masing
sebesar 0.913, 0.977 dan 0.944. Karena koefisien Cronbachs Alpha yang diperoleh dari hasil
perhitungan > 0.60 maka dapat disimpulkan bahwa item yang digunakan untuk mengukur
variabel Komitmen Manajemen Puncak, Budaya Organisasi dan Implementasi Sistem
Informasi Akuntansi Manajemen sudah reliable. Artinya: item pertanyaan yang digunakan
sudah memiliki konsistensi internal yang baik.

Uji Asumsi Klasik (Asumsi Regresi Linear)

1. Uji Normalitas Residual (nilai sisaan) Regresi
Salah satu uji persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan analisis parametrik
yaitu uji normalitas data. Menurut Putrawan dalam Sudarmanto (2004: 105), Suatu
penelitian yang melakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t dan atau uji F,
menuntut suatu asumsi yang harus diuji yaitu data harus berdistribusi normal. Uji normalitas
bisa dilakukan dengan menggunakan statistik Kolmogrov Smirnov. Alat uji ini biasa disebut
dengan uji K-S yang tersedia di dalam program SPSS.
Ketentuan untuk menyatakan normal tidaknya suatu data dapat dilihat dari tingkat
alpha atau signifikan si, apabila Asymp. Sig > alpha atau KS Statistik < KS Tabel, maka
residual regresi berdistribusi normal. Hasil pemeriksaan asumsi normalitas menggunakan
Kolmogorve Smirnonov dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5
Pengujian Normalitas
Statistik Uji Standardized Residual
Kolmogorov-Smirnov Z 0.188
Kolmogorove Tabel 0,480
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.
Berdasarkan hasil pengujian normalitas diperoleh asimptotic signifikansi (untuk uji
dua arah) sebesar 0,188 Karena KS statistic < KS tabel maka terima H
0
artinya: Residual
regresi berdistribusi normal

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

110

2. Uji Linearitas
Menurut Sudarmanto (2004: 124), Uji linieartias garis regresi digunakan untuk
mengambil keputusan dalam memilih model regresi yang akan digunakan. Uji liniearitas
garis merupakan kunci yang digunakan untuk memilih model regresi linier. Apabila
persyaratan liniearitas tidak terpenuhi artinya model regresi linear tidak dapat digunakan
dalam menganalisis data, oleh karena itu untuk menlanjutkan proses analisis data harus
dipilih model regresi selain linear.
Uji asumsi liniearitas garis regresi berkaitan dengan suatu pembuktian apakah model
garis linear yang ditetapkan benar-benar sesuai dengan keadaannya atau tidak. Pengujian ini
perlu dilakukan sehingga hasil analisis yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan dalam
pengambilan beberapa kesimpulan penelitian yang diperlukan.
Pengujian linieritas garis di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan diagram
pencar (scatterplot). Ketentuan penerimaan dan penolakan H0 adalah: Jika data menyebar
disekitar garis lurus maka terima hipotesis nol (H
0
), artinya: Model regresi mengikuti model
linear. Hasil pemeriksaan linearitas melalui diagram pencar menggunakan SPSS 18 dapat
dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 berikut:


Gambar 4.1 Uji Linearitas Antara Variabel Komitmen Manajemen Puncak dengan Implementasi
Sistem Akuntansi Manajemen.

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

111


Gambar 4.2 Uji Linearitas Antara Variabel Budaya Organisasi dengan Implementasi Sistem
Akuntansi Manajemen.
Berdasarkan hasil pemeriksaan asumsi linearitas pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2
dapat diketahui bahwa hubungan antara komitmen manajemen puncak dan budaya organisasi
memiliki hubungan yang linear dengan implementasi sistem informasi akuntansi manajemen
karena data menyebar disekitar garis lurus (garis linear).

3. Uji Heteroskedasitas
Uji asumsi heteroskedasitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah variasi residual
absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan, apabila asumsi ini tidak terpenuhi
maka penaksir menjadi tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar
dan estimasi koefisien dapat dikatakan menjadi kurang akurat. Model regresi yang baik
adalah yang homoskedasitas atau tidak terjadi heteroskedasitas. (Ghozali, 2005: 206).
Asumsi persyaratan heteroskedasitas diperlukan untuk mengetahui variansi
i
c
konstan yaitu var ( )
i
c =
2
o identik atau sama untuk setiap i. Cara pengujian
heterocedasticity dapat dilakukan dengan:
Plot residual
2
c
dengan

Y

Uji Glesjer
Apabila pengujian heterocedasticity tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat
dilakukan dengan:
Transformasi data
Metode Weighted Least-Squares
Ada beberapa cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedasitas, di antaranya dilakukan dengan memploting antara nilai prediksi variabel
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

112

terikat yaitu Zpred dengan residualnya (Sresid). Jika plot Zpred dengan SResid membentuk
pola tertentu seperti bergelombang atau menyempit berarti ada indikasi terjadi
heteroskedasitas. Sebaliknya jika plot antara Zpred dengan SResid tidak membentuk pola
tertentu (plot menyebar secara acak di bawah angka nol pada sumbu Y) artinya tidak ada
indikasi heteroskedasitas residual (varians homogen). Selanjutnya diberikan hasil output
SPSS sebagai berikut:

Gambar 4.3 Plot Uji Heteroskedasitas
Berdasarkan Scatterplot antara Studentized Residual dengan Standardizet Predicted
Value pada Gambar 4.2, tampak nilai-nilai residual menyebar secara acak dan tidak
membentuk pola tertentu, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual regresi tidak terjadi
heteroskedasitas

4. Uji Autokorelasi
Uji Independen atau uji autokorelasi residual (error) merupakan salah satu asumsi
utama di dalam model regresi linear yang harus dipenuhi. Autokorelasi adalah adanya
korelasi antara naggota seri observasi (pengamatan) yang disusun menurut urutan waktu
(time series) atau urutan tempat/ruang (cross section), atau korelasi yang timbul pada dirinya
sendiri. Berdasarkan konsep tersebut, maka uji asumsi tentang autokorelasi sangat penting
untuk dilakukan tidak hanya pada data yang bersifat time series saja, akan tetapi semua data
(independent variabel) yang diperoleh perlu diuji terlebih dahulu autokorelasinya apabila
akan dianalisis dengan regresi linier berganda.
Asumsi persyaratan independent yaitu covarians
( )
,
i j
c c = 0, untuk setiap i j = atau
tidak terdapat autokorelasi. Cara pengujian independent dilakukan dengan:
Plot autocorrelation function (ACF) dari residual
Uji durbin-watson
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

113

Apabila 4
u w u
d d d < < maka H
0
ditolak yang berarti tidak terdapat autokorelasi
antara residual atau dengan cara membandingkan antara DW statistik dengan DW tabel, jika
DW hitung/statistik > DW artinya tidak terjadi autokorelasi antar pengamatan. Untuk
mendeteksi autokorelasi di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji Durbin Watson,
karena nilai dari perhitungan Durbin Watson dapat langsung diperoleh pada saat melakukan
uji regresi berganda melalui SPSS 18.00 for Windows.
Dari hasil analisis diperoleh nilai durbin watson
w
d = 2.231, jika dibandingkan
dengan tabel Durbin Watson (du) yaitu sebesar 1,699 (diperoleh dari, =0,05, k= 2 dan n=9)
yang berada pada interval 1, 699 2, 231 4 1, 699 1, 699 2, 231 2,301 < < = < < , sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi antara residual dalam model.

5. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas sering terjadi pada regresi linear ganda, sehingga harus dideteksi
adanya koerlasi linear antar variabel bebas. Untuk melihat hal ini dapat dideteksi dari VIF
(Variance Inflantion factors). Jika nilai VIF lebih dari 10 maka diduga ada Multikolinearitas.
Dari hasil analisis diatas tidak ada nilai VIF yang lebih dari 10, maka tidak ada
multikolinearitas antar variabel bebas. Oleh karena itu, dari keempat asumsi yang ada
semuanya terpenuhi sehingga model tersebut dapat digunakan untuk pendugaan.
Tabel 4.6
Pengujian Multikolinearitas Regresi
Variabel Bebas Tolerence VIF Keterangan
Komitmen Manajemen
Puncak
0.472 2.120 Tidak Terjadi Multikolinearitas
Budaya Organisasi 0.472 2.120 Tidak Terjadi Multikolinearitas
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa nilai VIF untuk variabel Komitmen
Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi masing-masing sebesar 2.120 , karena tidak
ada satupun yang melebihi 10, sehingga dapat disimpulan bahwa tidak terjadi
mulitkolinearitas (korelasi linear yang signifikan di antara sesama variabel bebas).

Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linier berganda merupakan salah satu alat analisis statistik yang
digunakan untuk menguji pengaruh dari beberapa variabel bebas terhadap variabel satu
variabel terikat. Metode regresi multiple yang digunakan dalam pengolahan data dalam
penelitian ini adalah metode enter, yaitu metode analisis regresi yang digunakan untuk
menganalisis secara bersama-sama yang meliputi semua variabel independen berpengaruh
signifikan maupun yang tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
1. Penilaian Ketepatan Model Regresi Linear Berganda
Untuk melihat seberapa tepat atau seberapa akurat prediksi yang dihasilkan oleh
regresi berganda, dapat dilihat dari beberapa kriteria diantaranya nilai R dan R
2
yang
mendekati 1, serta standar error yang kecil menunjukkan bahwa hasil prediksi regresi
semakin tepat atau mendekati sempurna. Penilaian ketepatan model regresi dapat dilihat dari
ouput SPSS berikut:
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

114

Tabel 4.7
Penilaian Ketepatan Model Regresi Berganda Berdasarkan Nilai Korelasi Ganda (R)
Koefisien Determinasi (R
2
), dan Standar Error of the Estimate
R R
Square
Std. Error of the
Estimate
0.929 0.863 4.910
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.

Berdasarkan kriteria ketepatan model yang diperoleh dari hasil analisis regresi dengan
bantuan software SPSS 18.0, diperoleh:
Korelasi ganda (R) sebesar 0.929. Karena nilai koefisien koerlasi melebihi 0.5
(Sugiyono, 2004), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat koerlasi yang signifikan
antara variabel Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi dengan
Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen .
Koefisien determinasi (R
2
) sebesar 0,863 atau 86,30%. Artinya: Varisi perubahan
Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen dapat dijelaskan oleh
Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi sebesar 86,30%
sedangkan sisanya sebesar 13,70% variasi Implementasi Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat di dalam
penelitian (extraneous variable).
Estimasi kesalahan baku (standar error of the estimate) sebesar 4,849. Nilai standar
error sebesar 4,910 berada di bawah 10 dengan katagori yang kecil, nilai ini
memberikan informasi bahwa semakin kecil nilai standard error menunjukkan
semakin baik atau semakin tepat model regresi yang digunakan.

2. Uji Pengaruh Secara Simultan (Bersama-Sama)
Untuk menilai apakah variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
variabel terikat atau tidak dapat diketahui dari hasil Uji F (F test). Hasil Uji F dengan
bantuan SPSS 18.0 dapat dilihat pada Tabel 4.9 Berikut.

Tabel 4.8
Tabel ANOVA Regresi Linear Berganda
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 1059.242 2 529.621 21.968 0.001
Residual 168.758 7 24.108
Total 1228.000 9
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2012.
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada Tabel 4.8 (tabel Anova) diperoleh
nilai F hitung sebesar 21.968dengan siginfikansi sebesar 0.001. Karena Signifikansi < alpha
(0.05) maka H
0
ditolak: Artinya: Terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara
Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi terhadap Implementasi Sistem
Informasi Akuntansi Manajemen.

3. Uji Pengaruh Secara Parsial (Individu)
Untuk menilai kekuatan pengaruh variabel independen (variabel bebas) secara
individu terhadap variabel dependen (variabel terikat), dapat diketahui dari uji t (t test) yang
diperoleh dari analisis regresi berganda. Hasil uji signifikansi pengaruh variabel bebas secara
individu terhadap variabel terikat (uji t) dapat dilihat pada Tabel 4.9. berikut:
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

115

Tabel 4.9
Nilai Koefisien Regresi dan Uji Parsial
Variabel B Std.
Error
T Sig.
Konstanta -8.389 9.399 -.893 .402
Komitmen Manajemen Puncak 1.036 .419 2.469 .043
Budaya Organisasi .275 .113 2.430 .045
Sumber: Data Olahan SPSS 18.0, Tahun 2011.
Berdasarkan Tabel 4.9, diperoleh nilai t hitung (t test) sebagai berikkut :
Nilai t hitung untuk Komitmen Manajemen Puncak sebesar 2,469 dengan
signifikansi sebesar 0.043 (sig<alpha) hipotesis nol (H
0
) ditolak. Artinya:
Komitmen Manajemen Puncak berpengaruh signifikan secara individu terhadap
Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen.
Nilai t hitung untuk variabel Budaya Organisasi sebesar 2,430dengan signifikansi
sebesar 0.045 (sig<alpha) hipotesis nol (H
0
) ditolak, artinya Budaya Organisasi
berpengaruh signifikan secara individu terhadap Implementasi Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen.
Variabel yang memiliki pengaruh paling kuat atau paling dominan terhadap
Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen adalah Komitmen Manajemen
Puncak karena memiliki nilai t statistic paling tinggi jika dibandingkan dengan
variabel Budaya Organisasi yaitu sebesar 12.469 dengan nilai signifikansi 0,043.

4. Interpretasi Terhadap Model Taksiran Regresi Linear Berganda
Koefisien regresi ( | ) pada Tabel 4.10 dapat disusun ke dalam persamaan
regresi (model regresi) sebagai berikut:

Interpretasi:
Nilai konstanta (konstanta /
0
| ) sebesar -9,389 artinya: Implementasi Sistem
Informasi Akuntansi Manajemen mengalami penurunan sebesar sebesar 9,389
satuan jika di asumsikan variabel Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya
Organisasi adalah konstan (0).
Koefisien regresi untuk variabel Komitmen Manajemen Puncak (
1
|
) sebesar
1,036. Artinya: Jika variabel Komitmen Manajemen Puncak bertambah sebesar
1 satuan, akan mengakibatkan meningkatnya Implementasi Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen sebesar 1,036 satuan.
Koefisien regresi untuk variabel Budaya Organisasi (
2
| ) sebesar -0275. Artinya:
Jika variabel Budaya Organisasi bertambah sebesar 1 satuan, akan
mengakibatkan naiknya Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen
sebesar 0.275 satuan.

4.2. Pembahasan
Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan adanya hubungan antara komitmen
manajemen puncak, budaya organisasi, dan implementasi sistem informasi akuntasi
manajemen.
= -9,389 + 1,036X
1
+ 0.275X
2

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

116


Komitmen manajemen puncak telah diidentifikasi sebagai variabel yang dapat
mempengaruhi Implementasi sistem informasi akuntansi manajemen (Choe, JM,, 1996; Delone,
W.H.,, 1988; Raghunathan, 1998;). Sistem Informasi Akuntansi Manajemen (SIAM) adalah
sistem informasi yang dirancang untuk menyediakan informasi akuntansi manajemen bagi
manajer dan karyawan untuk membuat keputusan mengenai penggunaan berbagai
sumber daya yang ada dalam perusahaan seperti uang, fasilitas fisik dan sumber daya
manusia (Atkinson, et.al., 2004). Informasi akuntansi manajemen yang dapat disajikan
secara finansial maupun non-finansial (Atkinson, et.al., 2004; Blocher dan Chen, 2006;
Horngren et.al., 2006).
Bukti empirik tentang perilaku organisasi mencatat bahwa komitmen manajemen
puncak merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi keberhasilan aktivitas-aktivitas yang
berkaitan dengan pemrosesan informasi (King, et.al., 1989). Hasil penelitian King, et.al
sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan yang menunjukkan keyakinan
manajemen puncak tentang kemampuan sistem informasi untuk membantu tercapainya tujuan
organisasi. Dengan adanya komitmen manajemen puncak berupa penyediaan seluruh sumber
daya yang diperlukan untuk efektifitas implementasi SIAM (Ahire dan OShaughnessy,
1997; Brah, 2002), maka departemen pemroses informasi akan memperoleh berbagai
fasilitas, dan hasil pekerjaannya lebih dihargai oleh manajemen puncak (Raghunathan, 1998).
Hasil penelitian tentang komitmen manajemen puncak terhadap SIAM menunjukkan
bahwa (1) keterlibatan manajemen puncak dalam fungsi SIAM cukup kuat; (2) manajemen
puncak memahami pentingnya peranan SIAM dalam pelaksanaan operasi perusahaan; (3)
manajemen puncak memandang SIAM merupakan sumber daya strategis, dan (4)
manajemen puncak menekankan kepada unit-unit operasi untuk bekerja sama dengan
departemen akuntansi agar diperoleh keefektifan informasi akuntansi manajemen
(Raghunathan, 1998).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen manajemen puncak dapat
mempengaruhi implementasi sistem informasi akuntansi manajemen. Peran komitmen
manajemen puncak sangat penting karena merupakan faktor kunci dalam mempengaruhi
keberhasilan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pemrosesan informasi sistem
informasi akuntansi manajemen.
Budaya organisasi, sebagai variabel mediasi kepemimpinan dan kinerja organisasi,
juga berasosiasi dengan strategi organisasi dan sistem akuntansi manajemen perusahaan
(Goddard, 1997; Thomas, 1989; Dent, 1991). Budaya organisasi yang sesuai dengan strategi
organisasi akan mempengaruhi kinerja organisasi (Doise, 2008). Budaya itu akan tercermin
dalam semua fungsi yang ada dalam organisasi termasuk akuntansi (Thomas, 1989).
Efek budaya perusahaan terhadap kinerja perusahaan telah menjadi topik penelitian
Allen (1985), Davis (1984), Dennison (1984), Gordon (1985), Buono, Bowditch dan Lewis
(1985), Lorsch (1985). Posner, Kouzes dan Schmidt (1985) dalam studinya menemukan
bahwa pemahaman karyawan yang benar mengenai budaya organisasi akan menuntun pada
perbedaan kinerja organisasi yang signifikan. Budaya organisasi adalah seperangkat nilai-
nilai, yang jika diatur dengan baik akan menghasilkan return keuangan yang lebih tinggi
(Baker dan Hawes, 2001).
Budaya dan struktur organisasi adalah alat-alat untuk mencapai tujuan. Oleh
sebab itu, persoalan dalam desain organisasi bagaimana dan mengapa variasi struktur
dan struktur organisasi dipilih. Hal ini mengingat keduanya berfungsi untuk
mengendalikan organisasi, dan memotivasi setiap individu untuk mencapai tujuan
(Jones, 1995: 11-14) dan menghadapi berbagai tekanan baik dari dalam maupun dari
luar organisasi (Nazaruddin, 1998).
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

117

Struktur organisasi mempengaruhi kemampuan organisasi tersebut dalam
mengumpulkan, mengolah aliran informasi (Duncan, 1987). Pada struktur organisasi
yang tersentralisasi aliran informasi akan terpusat pada pihak manajemen puncak.
Sebaliknya pada struktur organisasional yang terdesentralisasi aliran informasi akan
menyebar ke berbagai level manajemen dibawahnya. Bagi para manajer akan sangat
bermanfaat dalam pengambilan keputusan (Hongrens, et.al, 1993: 9).
Kultur organisasional merupakan cara yang tepat untuk dilakukan pada sebuah
organisasi meskipun hal tersebut seringkali lewat asumsi yang tidak terucapkan
(Schein, 1991: 13-15; Kotter dan Hesket, 1992: 15). Kotter dan Hesket, 1992: 141;
Gibson, et.al, 1991: 48), menyatakan bahwa budaya organisasi akan mempengaruhi
motivasi para manajer untuk mencapai tujuan organsisasi. Oleh karenanya para
manajer harus selalu terus menerus meningkatkan kualitas informasi akuntansi
manajemen untuk proses pengambilan keputusan. Karena keputusaan manajer akan
berdampak signifikan terhadap usaha perusahaan dimasa datang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat mempengaruhi sistem
informasi akuntansi manajemen. Peran budaya organisasi akan tercermin dalam semua fungsi
yang ada dalam organisasi termasuk didalam sistem informasi akuntansi manajemen.
Hasil pengujian hipotesis yang telah diuraikan sebelumnya, Hipotesis 1 membuktikan
bahwa Komitmen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi berpengaruh signifikan secara
bersama-sama terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Choe, JM, 1996; Delone, W.H, 1988; Mahdi Saleh &
Abdoraze Abdipour, 2011; Raghunathan, 1998; Goddard, 1997; Thomas, 1989; Dent, 1991;
Thomas, 1989; Jean, Francois Henri, 2006; dan Wanyama G. Indeje & Qin Zheng, 2010,
yakni bahwa untuk mengatasi masalah akibat komitmen manajemen puncak dan budaya
organisasi, diperlukan implementasi sistem informasi akuntansi manajemen yang andal.
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan betapa pentingnya mengetahui komitmen
manajemen puncak terhadap implementasi system informasi akuntansi manajemen, dapat
dilihat dari hasil pengujian hipotesis ke 2 diatas, menyatakan bahwa Komitmen Manajemen
Puncak berpengaruh signifikan secara individu terhadap Implementasi Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Choe, JM, (1996); Delone, W.H, (1988); Mahdi Saleh & Abdoraze Abdipour,
(2011); Raghunathan, (1998); dan Jean, Francois Henri, (2006), yang menyatakan bahwa
pentingnya akan komitmen manajemen puncak terhadap implementasi system akuntansi
manajemen didalam pelaksanaan operasi perusahaan.
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan pentingnya budaya organisasi terhadap
terhadap implementasi sistem akuntansi manajemen di perusahaan. Hasil ini ditunjukkan oleh
hasil pengujian hipotesis ke 3 seperti tertera diatas yang menyatakan Budaya Organisasi
berpengaruh signifikan secara individu terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi
Manajemen, dapat diterima. Hasil pengujian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Schein (1991); Kotter & Hesket (1992); Gibson, et.al (1991); Jean, Francois
Henri, (2006); Wanyama G. Indeje & Qin Zheng, (2010); yang menyatakan bahwa budaya
organisasi akan mempengaruhi motivasi para manajer untuk mencapai tujuan organisasi.
Oleh karenanya para manajer harus selalu terus menerus meningkatkan kualitas dalam
implementasi sistem akuntansi manajemen untuk proses pengambilan keputusan. Karena
keputusan manajer akan berdampak signifikan terhadap usaha perusahaan dimasa mendatang.
SIAM adalah sistem informasi yang dirancang untuk menyediakan informasi
akuntansi manajemen bagi manajer dan karyawan untuk membuat keputusan mengenai
penggunaan berbagai sumber daya yang ada dalam perusahaan seperti uang, fasilitas fisik dan
sumber daya manusia (Atkinson, 2004). Informasi akuntansi manajemen dapat disajikan
secara finansial maupun non finansial.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

118

Informasi yang berintegrasi diperlukan karyawan untuk mengetahui dampak
keputusan terhadap input dan output dari perbaikan proses (Banker et.al, 1993; Atkinson,
2004). Ketepatan waktu merupakan kriteria yang harus dipenuhi oleh informasi akuntansi
manajemen dalam menyediakan informasi bagi manajer, (Cane, 1998; Wellington 1998).

KESIMPULAN
1. Komtimen Manajemen Puncak dan Budaya Organisasi berperan signifikan
terhadap Implementasi Sistem Informasi Akuntansi Manajemen.
2. Komitmen Manajemen Puncak berperan signifikan terhadap Implementasi
Sistem Informasi Akuntansi Manajemen.
3. Budaya Organisasi berperan signifikan terhadap Implementasi Sistem Informasi
Akuntansi Manajemen.
4. Komitmen Manajemen Puncak memiliki peran paling dominan jika dibandingkan
dengan Budaya Organisasi.
SARAN
1. Bagi peneliti selanjutnya, disarankan melakukan teknik pengumpulan data
tambahan, memperbanyak responden, melakukan pilot study untuk menjamin
bahwa kuesioner dapat difahami dengan benar oleh responden.
2. Menambahkan variabel kontekstual yang berkorelasi dengan karakteristik sistem
informasi akuntansi, seperti persaingan pasar, strategi bisnis, dan ketergantungan.
3. Menggunakan populasi dan sampel yang lebih luas. Misalnya, semua BPR yang
ada di satu provinsi tertentu. Sehingga generalisasi kesimpulan lebih luas lagi.
4. Instrumen yang digunakan untuk mengukur adalah persepsi jawaban responden,
sehingga akan menimbulkan bias jika presepsi itu berbeda dengan kenyataan.
5. Data metode survey via pos memiliki kelemahan, karena kuesioner bisa diisi
bukan oleh responden. Guna mengantisipasi kelemahan itu, dilakukan uji
validitas dan reabilitas, baik terhadap sampel maupun responden sesungguhnya.

Daftar Pustaka
Agus Procoyo, 2003, Teknologi Informasi Indonesia dalam Sorotan, Diakses dari
www.ebizzasia.com. Diakses pada tanggal 25 September 2011.
Abernethy dan Guthrie, C. H, 1994, An Empirical Assesment of the Fit between
Strategy and Management Information System Design,Accounting and
Finance.November.pp. 49-66.
Azhar Susanto, 2004, Sistem Informasi Manajemen, Edisi 3, Lingga Jaya, Bandung
Azhar Susanto, 2008, Sistem Informasi Akuntansi : Konsep dan Pengembangan Berbasis
Komputer, Edisi Perdana, Cetakan Pertama, Lingga Jaya, Bandung
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2011.Bentley, Lonnie D. &
Whitten, Jeffrey L, 2007,Systems Analysis & Design for the Global
Enterprise.McGraw-Hill Irwin. Seventh Edition, New York
Bromwich, M, 1990, The Case for Strategic Management Accounting: The Role of
Accounting information for Strategy in Competitive Market,Accounting
Organization and Society. Vol. 15, pp. 27-46.
Drajad Wibowo, 2011, Usai Benahi Masalah Internal, Modal Bank Harus Segera
Dinaikkan, Diakses dari finance.detik.com. pada tanggal 30 September 2011.
Chenhall, R.H., & Morris, D, 1986,The impact of structure, environment, and
interdependence on the perceived usefulness of management accounting systems.
Accounting Review, 61, 16 -35.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

119

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH
TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
(Survei Pada LP Klas I Sukamiskin Kota Bandung)

Dahlia
Aditya Amanda Pane
Marissa Putriana

Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
korupsi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada para
tahanan yang terlibat kasus korupsi di LP Klas I Sukamiskin Bandung. Adapun metode yang
digunakan untuk menentukan pemilihan responden adalah random sampling dimana para
responden dipilih secara acak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
Tekanan, Kesempatan, Sikap dan Tindakan Korupsi. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan metode Analisis Jalur untuk melihat pengaruh antara variable eksogen
terhadap variable endogen baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil analisis
menunjukkan bahwa faktor-faktor berupa tekanan, kesempatan dan rasionalisasi/sikap
berpengaruh signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi secara simultan. Sementara
secara parsial hanya variabel rasionalisasi/sikap saja yang berpengaruh signifikan terhadap
korupsi. Tindak korupsi yang terjadi memiliki dampak yang sangat buruk terhadap
pembangunan bangsa. Korupsi mengakibatkan semakin tingginya biaya sosial ekonomi
seperti rendahnya kualitas pelayanan publik baik secara fisik ataupun jasa. Untuk
meminimalisir terjadinya tindak korupsi maka harus dilakukan antisipasi sejak dini yaitu
dengan membudayakan sikap jujur yang anti terhadap penyimpangan dan penyelewengan
dimulai dari lingkungan keluarga, menanamkan sikap moral yang baik pada setiap individu,
memberikan imbalan yang sesuai atas kinerja, meningkatkan pengawasan dan peran serta
para akuntan, dan menegakkan aturan hukum serta pemberian sanksi yang tegas kepada
para pelanggar-pelanggarnya sehingga memungkinkan adanya efek jera.

Kata Kunci: Korupsi, Tekanan, Kesempatan dan Rasionalisasi/Sikap


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kenyataan pahit yang sedang kita rasakan sebagai bangsa Indonesia dengan peringkat
Negara terkorup di dunia. Republik ini telah masuk pada barisan Negara-negara dengan label
tinggi prilaku korupsinya. Indonesia memiliki reputasi internasional yang buruk dari segi
korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Prestasi Indonesia dalam
mengendalikan korupsi juga dinilai makin lama makin buruk. Orang Indonesia mengetahui
hal ini dan mengibaratkan bahwa korupsi sebagai Penyakit yang harus dibasmi, dengan
memaparkan setiap kasus yang diketahui walaupun persepsi tersebut diimbangi dengan
munculnya keterbukaan baru di Indonesia yang demokratis, tingkat korupsi memang sangat
tinggi dan membebani biaya sosial dan ekonomi yang berat
1
. Korupsi juga turut
menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintah.

1
The World Bank 2004, halaman 42.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

120

Korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan tetapi juga terjadi pada sektor-sektor
swasta. Beberapa contoh kasus korupsi yang akhir-akhir ini terjadi mulai dari kasus
penyuapan di level pemerintahan yang paling rendah sekalipun seperti di kelurahan yang
memberikan pungutan-pungutan saat pengurusan surat-surat dan KTP, hingga sampai kepada
kasus-kasus dengan level high class seperti kasus korupsi pajak oleh Gayus Tambunan, kasus
korupsi berupa penggelapan dan penipuan nasabah Citybank Malinda Dee senilai Rp
17.000.000.000 yang bertindak selaku Relationship Manager, kasus yang menyeret selebritis
sekaligus tokoh salah satu partai politik Angelina Sondakh dalam kasus korupsi suap
kepengurusan anggaran di kementerian Pemuda dan Olah Raga serta kementerian Pendidikan
Nasional serta menerima uang hadiah senilai Rp 2.500.000.000 dan $1.200.000 Amerika dari
Grup Permai, hingga kasus yang menyeret salah satu menteri aktif Kementrian Pemuda dan
Olahraga Andi Mallarangeng sebagai tersangka kasus Hambalang.
Maraknya kasus korupsi di Indonesia juga turut diperkuat dengan data dari
Transparency International (TI) yang merilis indeks persepsi korupsi untuk tahun 2012.
Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara. Ini menunjukkan Indonesia masih butuh
banyak perbaikan untuk membenahi berbagaisektor yang dipersepsikan masih terjerat
korupsi. Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan
level korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Indonesia memiliki indeks sebesar
32, setingkat dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador, dan Madagaskar di peringkat 118.
Dari 27 negara di regional Asia Pasifik, Indonesia berada di peringkat 18, tepat di bawah
Timor-leste yang mendapat nilai indeks 33. Dibanding dengan negara-negara di ASEAN,
Indonesia sangat jauh ketinggalan dengan Singapura, Brunei, dan Malaysia yang mendapat
peringkat 2, 46, dan 54 dari 176 negara. Ada empat negara ASEAN yang peringkatnya
berada di bawah Indonesia, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Pada tahun 2011
Indonesia memperoleh peringkat 100 dari 183 negara dengan indeks 3.0. Tahun ini Indonesia
turun 18 posisi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) selaku organisasi non-pemerintah (NGO) yang
mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi
yang terjadi di Indonesia menyatakan, tahun 2013 ini menjadi tahun dengan kemarakan kasus
korupsi. Di dalam konferensi persnya yang diadakan di Jakarta, Kamis (7/2/2013), ICW
memaparkan ada kecenderungan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
khususnya dari bantuan sosial dan hibah yang akan digunakan untuk kepentingan suksesi
Pemilu 2014. Ada tren peningkatan anggaran bantuan sosial hibah yang akan rawan dibajak
oleh fungsionaris partai yang masih menjabat.
Korupsi di Indonesia semakin sulit dicegah dan diberantas secara tuntas karena
banyak sebab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa kondisinya sudah sangat rumit, kompleks dan parah. Keadaan ini bukan karena tidak
adanya upaya pemerintah untuk mencegah dan memberantas korupsi, akan tetapi karena
sangat banyak orang yang tidak peduli dibandingkan dengan orang yang peduli dengan
masalah ini. Serta korupsi yang subur juga disebabkan oleh sikap mental individu yang
kontra produktif, seperti ingin sukses atau berhasil dengan cepat tanpa melalui prosedur dan
tahapan yang wajar yang seharusnya dilandasi dengan kejujuran dan profesionalisme. Dalam
prakteknya ternyata justru para pelaku korupsi semakin merajalela tanpa mengenal rasa takut
atau sungkan-sungkan lagi dalam melakukan tindak pidana korupsi mereka, sehingga
nilainya sudah mencapai milyaran atau bahkan trilliunan rupiah yang kemudian disimpan
diberbagai negara-negara lain.
Persoalan korupsi bukanlah sekedar persoalan penegakan hukum semata melainkan
juga terkait dengan persoalan sosial dan psikologis yang juga parah. Alasan mengapa
dimasukkan kedalam persolan sosial psikologis karena korupsi ini telah mengakibatkan tidak
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

121

adanya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan Korupsi pun merupakan
penyakit sosial yang sulit disembuhkan
2
.
LP Sukamiskin Bandung merupakan salah satu lapas yang diperuntukkan bagi para
koruptor memiliki dengan tahanan sejumlah 216 narapidana kasus korupsi dari berbagai
daerah. Sejumlah tahanan korupsi sudah dipindahkan ke LP tersebut sepanjang 2012. Satu di
antaranya mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus H Tambunan, yang menjadi
terpidana kasus korupsi perpajakan dan pencucian uang
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dibidang ini dan menuangkannya ke dalam bentuk paper dengan judul Analisis
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tindak Pidana Korupsi (Survei Pada LP
Klas I Sukamiskin Kota Bandung). Penulis akan menganalisis mengenai faktor penyebab,
implikasi hingga alternatif upaya pencegahan yang dapat dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang dapat dibuat
suatu rumusan masalah yaitu Faktor-Faktor apa saja Yang Berpengaruh Terhadap Tindak
Pidana Korupsi ?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi Penulis adalah dapat menambah wawasan khususnya mengenai faktor-faktor
yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, serta bagaimana upaya penanggulangan
yang dapat dilakukan sekaligus sebagai bentuk nyata kepedulian tim penulis akan
maraknya kasus korupsi di Indonesia.
2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu menjadi
referensi berbagai pihak dalam memahami mengenai faktor-faktor yang berpengaruh
pada tindak pidana korupsi dan upaya penanggualangannya.

2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Korupsi
Membahas persoalan korupsi/kecurangan memanglah sesuatu yang tidak ada
habisnya, hal ini sudah berlangsung sejak dari dulu sampai sekarang. Layaknya sebuah cerita
dalam sebuah buku kita tidak mengetahui kapan lembaran cerita dari buku ini akan segera
berakhir meskipun para pembacanya sudah sangat ingin mengetahui bagaimana endingnya.
Apabila dilihat dari perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun
kualitasnya maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan
merupakan kejahatan biasa melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa
(Extraordinary Crime)
3
. Terdapat berbagai macam pandangan mengenai korupsi ini, Robert
Klitgaard (2005:2). Dalam arti luas korupsi berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan
pribadi. Jabatan dalam hal ini adalah kedudukan atau kewenangan. Seseorang bisa diberikan
kewenangan atau bertindak atas nama lembaga, baik itu lembaga pemerintah, lembaga
swasta, maupun nirlaba lainnya. Korupsi dapat berarti memungut uang bagi layanan yang
sudah seharusnya diberikan (pemerasan), atau menggunakan wewenang untuk mencapai

2
Romli Atmasasmita, 2002, halaman 9.
3
Romli Asmasasmita, 2002.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

122

tujuan yang tidak sah. Korupsi ini pun ada yang dilakukan secara free lance artinya secara
sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk
meminta suap. Namun korupsi juga dapat menjadi sistematis dan kadang disebut sebagai
korupsi Berjamaah.
Korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan realitas perilaku manusia
dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang. Dilihat ari sudut terminology istilah
korupsi berasal dari kata Corruptio dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau
kebobrokan dan dipakai pula untuk menunjuk sesuatu keadaan dan perbuatan yang buruk.
Definisi lain dari korupsi yang banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah:
the abuse of public office for private gain. Pengertian ini jika dialihbahasakan ke bahasa
Indonesia dapat berarti: penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Korupsi juga didefinisikan seperti berikut:
an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty
and the rights of other
4

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di
dalam UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU no 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah :

Pasal 2 ayat (1) : Perbuatan korup diartikan sebagai tindakan melawan hukum dengan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.

Fraud/kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja yang
dimaksudkan untuk mengambil harta atau hak orang lain atau pihak lain
5
. Dalam konteks
audit atas laporan keuangan kecurangan didefinisikan sebagai salah saji laporan keuangan
yang disengaja.
Terdapat 2 (dua) kategori yang utama dalam fraud ini yaitu :
1. Fraudulent financial reporting, adalah salah saji laporan keuangan yang disengaja
terhadap nilai atau disclosure dengan tujuan untuk menyesatkan penggunananya.
2. Misappropriation of assets, adalah fraud yang melibatkan pencurian asset milik entitas
Terdapat berbagai macam bentuk-bentuk fraud beberapa diantaranya adalah
pencurian, penggelapan asset, penggelapan informasi, penggelapan kewajiban, penghilangan
atau penyembunyian fakta. Oleh karena itu fraud dikelompokkan menjadi 3 yaitu
(Misappropriation of assets, Fraudulent financial reporting,corruption)
6
. Dari berbagai
definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa korupsi sebagai kejahatan Extraordinary
Crime merupakan perbuatan yang merugikan orang lain, keuangan negara atau perekonomian
negara yang patut diperangi.
Beberapa elemen-elemen korupsi berdasarkan Association of Certified Fraud
Examiners (ACFE):
1. Bribery/Penyuapan.

4
Hendry Campbell dalam Blacks Law Dictionary, 1990.
5
Arens, 2008, halaman 430.
6
Tuankotta, 2007, halaman 96 - 98
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

123

Suap yaitu tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesutau
yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seseorang dalam melaksanakan
kewajiban publik.
2. Conflict of interest/ Konflik Kepentingan
Conflict of interest terjadi ketika kepentingan individu bertentangan dengan kepentingan
lingkungan sekitarnya.
3. Ilegal gratuties/ Penerimaan yang tidak sah
Pemberian sesuatu yang mempunyai nilai kepada seseorang tanpa disertai dengan nilai
untuk mempengaruhi keputusannya. Pemberian tersebut biasanya dilakukan setelah
keputusan menguntungkan orang atau pihak tertentu telah dilakukan. Pihak-pihak yang
diuntungkan oleh keputusan tersebut memberikan hadiah kepada orang yang mengambil
keputusan.
4. Economic Extortion/Pemerasan
Suatu tindakan yang dapat mengancam rekanan. Ancaman ini bisa terselubung tetapi
tidak jarang pula yang dilakukan secara terbuka. Ancaman semacam ini disebut
pemerasan.

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Seseorang tidak akan melakukan kecurangan/korupsi apabila tidak disertai dengan
faktor penyebab atau pun dorongan untuk melakukannya. Menurut teori Cressey
7
, terdapat
tiga kondisi yang selalu hadir dalam tindakan fraud yaitu pressure, opportunity, dan
rationalization yang disebut sebagai fraud triangle. Ketiga kondisi tersebut merupakan faktor
risiko munculnya kecurangan dalam berbagai situasi.
Fraud triangle theory merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab
terjadinya kecurangan. Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953)
yang dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga
faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud:
1. Pressure (Tekanan/dorongan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan
fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan
ekonomi, dan lain-lain baik itu aspek keuangan maupun non keuangan.
2. Opportunity (Kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen
atau pegawai untuk melakukan suatu kecurangan. Kesempatan biasanya disebabkan oleh
lemahnya pengendalian internal /pengawasan dan perputaran personil akuntansi atau
kelemahan lain dalam proses akuntansi dan informasi.
3. Rationalization (Rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai
etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau
orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka
merasionalisasi tindakan fraud. Dengan kata lain bahwa rasionalisasi dijadikan sebagai
alasan pembenar seseorang untuk membenarkan tindakannya melakukan korupsi.
Ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Meskipun terdapat
tekanan atau dorongan untuk melakukan korupsi tetapi tidak disertai dengan kesempatan
dan rasionalisasi yang mendukungnya maka peluang untuk korupsi kecil. Sehingga jika
ketiga hal ini terpenuhi, maka seseorang sangat berpeluang untuk melakukan tindak
pidana korupsi.
Ketiga hal di atas digambarkan seperti dibawah ini :


7
Skousen et al, 2009.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

124


Gambar1. Fraud Triangle
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sampel dan Data Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin bandung
Jawa Barat. Adapun yang menjadi objek khusus untuk memperoleh data dan informasi adalah
para tahanan atau koruptor. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data primer dan
sekunder dengan menyebarkan angket, wawancara dengan pihak pengelola dan ditambah
dengan dokumen dari peraturan perundang-undangan dan beberapa media di Internet. Teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah penyebaran angket. Pengambilan
sampel dilakukan dengan metode random sampling.

3.2. Metoda Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kuantitatif dengan menggunakan analisis jalur. Dengan terlebih dahulu dilakukan pegujian
validitas dengan menggunakan teknik korelasi Spearman, sedangkan untuk uji reliabilitas
instrument akan dilakukan adalah dengan menggunakan Cronbach Alpha.

3.3 Operasionalisasi Variabel
Dalam mengukur variabel penelitian diatas, dilakukan operasionalisasi variabel yang
penjabaran variabel-variabel tersebut kedalam indikator tertentu. Secara lengkap
operasionalisasi variabel adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel
VARIABEL DIMENSI INDIKATOR KUISIO
NER
Tekanan atau Dorongan
/ Pressure (

)
(Arens 2008,
Zimmerman 2004,
Tuanakotta 2007)
1. Tekanan
Manajemen

a. Tekanan dari pimpinan atau atasan
terhadap pegawai
b. Menurunnya prospek keuangan
perusahaan/organisasi sehingga
melakukan manipulasi untuk
menjaga reputasi
1


2
2. Tekanan Individu a. Tekanan keuangan berupa
kewajiban keuangan yang besar
untuk memenuhi kebutuhan pribadi
b. Dorongan gaji yang diberikan
sesuai dengan pekerjaan
3



4
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

125

c. Mendapatkan bonus untuk
performa yang baik
d. Mendapatkan kenaikan gaji secara
berkala sesuai dengan kinerja
aparat
e. Mendapatkan promosi dan jenjang
karis yang sesuai dengan prestasi
f. Non keuangan berupa
Mendapatkan penghargaan atas
prestasi yang telah dicapai
g. Mendapatkan penugasan khusus
terkait dengan kinerja aparat
h. Mendapat hukuman atas kinerja
yang buruk


5

6



7



8


9

10
Kesempatan /
Opportunity (

)
(Arens 2008,
Zimmerman 2004,
Tuanakotta 2007)
1. Kewenangan a. Kekuasaan pimpinan
b. Pemanfaatan masa jabatan
11

12
2. Tidak efektifnya
pengawasan
a. Pengendalian internal dan
eksternal yang lemah
b. Perputaran personil akuntansi.
13,14,
15

16
3.Aturan yang
tidak tegas.
a. Aturan tertulis
b. Sanksi yang setimpal dengan
pelanggaran
17

18
Sikap/rationalization
(

)
(Arens 2008,
Zimmerman 2004,
Tuanakotta 2007)
1. Sikap
manajemen
puncak

a. Sikap manajemen terhadap nilai
etis
b. Menganggap penyelewangan
merupakan hal yang lumrah
19

20

2. Sikap Pegawai a. Pengaruh lingkungan/pergaulan
b. Keserakahan
21

22
Korupsi (Y)
Tuanakotta 2007
1. Bribery a. Memberikan sesuatu atau
menjanjikan sesuatu dengan
maksud berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang melanggar
kewajibannya
b. Menerina hadiah dari pihak yang
berkepentingan dengan mengingat
jabatan atau kekuasaan yang
melekat pada jabatan itu
1





2
2. Conflict of interest a. Dengan sengaja langsung atau
tidak langsung turut serta dalam
pelaksanaan pekerjaan untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan
3
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

126

untuk mengawasi atau
mengurusnya
3. Ilegal gratuities a. Menerima gratifikasi yang
berhubungan dengan jabatan atau
berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya dan gratifikasi itu
tidak dilaporkan kepada KPK
4
4.Economic
Extortion

a. Dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum memaksa orang
lain memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan
atau mengerjakan sesuatu bagi
dirinya kepada penyelenggara
negara atau pihak lain
5

3.4. Model Penelitian
Pengujian atas hipotesis penelitian menggunakan model persamaan sebagai berikut:



dimana Y adalah variabel tindak pidana korupsi,

adalah variabel tekanan,

adalah
variabel kesempatan dan ,

adalah variable rasionalisasi/sikap.



4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1) Sejarah Singkat Lapas Klas I Sukamiskin Bandung
Penjara Sukamiskin yang sekarang di kenal dengan nama Lapas Klas I
Sukamiskin dibangun pada masa kolonial Belanda tahun 1918 dan mulai difungsikan
pada tahun 1924 sebagai tempat hukuman bagi kaum intelektual yang dianggap
melakukan kejahatan politik karena bertentangan dengan Penguasa Belanda dengan
nama STRAFT GEVANGENIS VOOR INTELECTUELEN, berlokasi di Jalan A.H.
Nasution Nomor 114 Bandung. Penjara Sukamiskin memiliki nilai sejarah bagi
Bangsa Indonesia karena banyak tokoh nasional pernah dipenjarakan disini, antara
lain Presiden RI pertama, Ir. Soekarno pernah menghuni Kamar No. 1 Blok Timur
Atas. Dipenjara inilah Ir. Soekarno menulis buku berjudul Indonesia Menggugat.
Bangunannya memiliki ciri khas tersendiri, jika dilihat dari atas mirip kincir angin,
karena pembagian blok mengikuti arah mata angin, kemana bilah kincir menunjuk:
blok utara, blok selatan, blok barat dan blok timur. Masing-masing blok memiliki 2
(dua) lantai yang saling berhubungan melalui bangunan bundar paling tinggi ditengah
sebagai porosnya.
Sejalan dengan perkembangan konsep perlakuan terhadap pelanggar hukum dari
sistem penjara ke Sistem Pemasyarakatan, Penjara Sukamiskin berubah menjadi
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Dewasa Muda Sukamiskin Bandung, kemudian
berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: 01-PR.07.03
Tahun 1985 ditetapkan menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas I Sukamiskin. Dan
pada tanggal 22 Juni 2010 telah dilakukan penandatanganan Prasasti Lapas klas I
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

127

Sukamiskin menjadi Lapas Pariwisata oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.
Sebagai Unit Pelaksana Teknis di bidang pemasyarakatan yang berada dibawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Barat, Lapas Sukamiskin mempunyai tugas
melakukan pembinaan guna meningkatkan kualitas narapidana, meliputi kualitas
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; kualitas intelektual; kualitas sikap dan
prilaku; kualitas profesionalisme/keterampilan; dan kualitas kesehatan jasmani dan
rohani serta kualitas keamanan dalam pelayanan.
Gambaran infra struktur LAPAS Klas I Sukamiskin Bandung dengan
kepemilikan tanah seluas 146.355 M2, terdiri dari :

Tabel 2. Infrastruktur Lapas Klas I Sukamiskin

1 Tanah Bangunan Lapas 54.730 M2
2 Perumahan Dinas 9.360 M2
3 Tanah Pertanian dan Tegalan 70.920 M2
4 Lain-lain 11.345 M2
5 Sarana Olahraga dan Peribadatan Lapangan tenis, bulu tangkis,
bola, mesjid, gereja
6 Sarana Fisik Blok Hunian Daya tampung 522
No Infrastruktur Keterangan


Sumber : http://lapassukamiskin.com

2) Sumber Daya Manusia
Pada saat ini jumlah pegawai LAPAS Klas I Sukamiskin Bandung 142 orang,
Terdiri dari :
Tabel 3. Sumber Daya Manusia Lapas Klas I Sukamiskin

1 Magister (S2) 13 orang
2 Strata 1 (S1) 37 orang
3 Diploma 4 (D4) 4 orang
4 Diploma 3 (D3 5 orang
5 SLTA 83 orang
No Uraian Keterangan

Sumber : http://lapassukamiskin.com
3) Data Responden
Saat ini Lapas Klas I Sukamiskin memiliki tahanan khusus koruptor sejumlah
266 tahanan per 1 April 2013. Adapun kuisioner yang dibagikan sebanyak 40 rangkap
tetapi yang dikembalikan hanya sebanyak 35 rangkap, dengan kata lain response rate
yaitu sebesar 87,5%. Berikut rekap data tahanan yaitu :
Tabel 4. Responden Lapas Klas I Sukamiskin
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

128


1 Doktor (S3) 1
2 Magister (S2) 5
2 Strata 1 (S1) 19
3 Diploma 2
4 SLTA 7
5 SLTP 1
35
No Uraian Keterangan
Berdasarkan Tingkat Pendidikan :
Jumlah

Sumber: data diolah

1 20 - 30 Tahun 5
2 31 - 40 Tahun 7
3 41 - 50 Tahun 12
4 51 - 60 Tahun 8
5 61 - 70 Tahun 3
35
No Uraian Keterangan
Berdasarkan Umur :
Jumlah

Sumber: data diolah
b. Pengujian Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dilakukan untuk menilai instrument penelitian yang digunakan dapat
mengukur apa yang ingin diukur dalam penelitian tersebut. Uji reliabilitas untuk
memberikan kepercayaan atas hasil dari instrumen penelitian yang digunakan. Hasil
uji validitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa untuk variabel tekanan, terdapat
dua item kuesioner yang tidak valid yaitu pertanyaan nomor 1 dan 3 sehingga tidak
dapat digunakan dalam penelitian ini. Untuk variabel kesempatan terdapat satu
kuesioner yang tidak valid, yaitu pertanyaan nomor 2. Sedangkan variabel
rasionalisasi dan korupsi semua item pertanyaannya telah valid. Keempat instrumen
penelitian untuk menilai keempat variabel dalam penelitian ini telah lulus uji
reliabilitas dengan hasil untuk variabel tekanan, kesempatan, rasionalisasi dan korupsi
dengan nilai cronbach alpha berturut-turut sebesar: 0.733; 0.724; 0.743; 0.783
sehingga hasil pengukuran atas keempat variabel tersebut dapat dipercaya.



Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

129

c. Pengolahan Data
1. Persamaan Struktur Penelitian
Coefficients
a

Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -1.735 4.128

-.420 .677
Pressure .088 .122 .113 .721 .477
Opportunity .054 .143 .060 .381 .706
Rationalization .927 .195 .639 4.752 .000
a. Dependent Variable: Corruption
Berdasarkan hasil penelitian di atas persamaan struktur dalam penelitian ini adalah:






2. Hubungan antara Variabel-Variabel Eksogen dan Endogen
Correlations

Pressure Opportunity Rationalization Corruption
Pressure Pearson Correlation 1 .513
**
.043 .171
Sig. (2-tailed)

.002 .805 .326
N 35 35 35 35
Opportunity Pearson Correlation .513
**
1 .021 .131
Sig. (2-tailed) .002

.903 .453
N 35 35 35 35
Rationalization Pearson Correlation .043 .021 1 .646
**

Sig. (2-tailed) .805 .903

.000
N 35 35 35 35
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

130

Corruption Pearson Correlation .171 .131 .646
**
1
Sig. (2-tailed) .326 .453 .000

N 35 35 35 35
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
a) Hubungan antara Tekanan dengan Korupsi
Hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai hubungan antara Tekanan dan
Tindak Korupsi adalah sebesar 0.171. Hasil ini memberikan gambaran bahwa
hubungan antara kedua variabel tersebut adalah searah dan lemah. Dimana semakin
besar tekanan yang terjadi di lingkungan pekerjaan maka menyebabkan tindak korupsi
yang terjadi juga meningkat. Hasil ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh
Cressey, dimana semakin tinggi tekanan yang dirasakan seorang karyawan seperti
tekanan kebutuhan ekonomi, maka keinginan untuk melakukan korupsi juga semakin
tinggi, selain didukung oleh dua faktor penyebab korupsi lainnya. Namun demikian
hubungan antara kedua variabel ini sangat lemah.
b) Hubungan antara Kesempatan dengan Korupsi
Hasil penelitian menunjukkan nilai hubungan antara variabel Kesempatan
dengan Tindak Korupsi adalah sebesar 0.131. Hasil ini dapat memberikan gambaran
bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut searah dan lemah. Dimana semakin
besar kesempatan yang ada untuk melakukan tindak korupsi, maka tindak korupsi
yang terjadi juga semakin besar, walaupun hubungan antara kedua variabel ini lemah.
c) Hubungan antara Rasionalisasi/Sikap dengan Korupsi
Hasil penelitian menunjukkan nilai hubungan antara variabel
Rasionalisasi/Sikap dengan Tindak Korupsi adalah sebesar 0.646. Hasil ini dapat
memberikan gambaran bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut adalah searah
dan erat. Dimana semakin tinggi sikap karyawan dalam merasionalisasikan bahwa
tindakan penyelewengan atau kecurangan yang dilakukan adalah hal yang benar atau
wajar, maka semakin banyak/tinggi pula tindak korupsi yang terjadi. Dengan
hubungan antara kedua variabel tersebut erat.
d) Hubungan antara variable-variabel Tekanan, Kesempatan dan
Rasionalisasi/Sikap
Dalam penelitian ini, ketiga variabel eksogen memiliki hubungan/keterkaitan
dimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Donald R. Cressey (1953) menjelaskan
bahwa ketiga faktor yang dirumuskan dalam fraud triangle saling berhubungan dan
saling mempengaruhi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara tekanan
dan kesempatan adalah sebesar 0.513, artinya terdapat hubungan positif antara kedua
variabel tersebut. Untuk hubungan antara variabel Tekanan dan Rasionalisasi/Sikap
adalah sebesar 0.043, angka ini menunjukkan bahwa antara kedua variabel tersebut
terdapat hubungan yang positif yang tidak erat. Kemudian untuk hubungan antara
kesempatan dan rasionalisasi/sikap adalah sebesar 0.021. Angka ini menunjukkan
bahwa antara kedua variabel terdapat hubungan positif yang cukup erat.




Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

131

3. Menghitung Koefisien Jalur Secara Simultan dan Parsial
ANOVA
b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 169.022 3 56.341 8.115 .000
a

Residual 215.221 31 6.943

Total 384.243 34

a. Predictors: (Constant), Rationalization, Opportunity, Pressure
b. Dependent Variable: Corruption
Coefficients
a

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -1.735 4.128

-.420 .677
Pressure .088 .122 .113 .721 .477
Opportunity .054 .143 .060 .381 .706
Rationalization .927 .195 .639 4.752 .000
a. Dependent Variable: Corruption

a) Koefisien Jalur Secara Simultan

: x
1
y = x
2
y = x
3
y = 0 (Tekanan, kesempatan dan rasionalisasi/sikap tidak
berpengaruh signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi)

: x
1
y = x
2
y = x
3
y 0 (Tekanan, kesempatan dan rasionalisasi/sikap
berpengaruh signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi)

Kriteria uji: Probabilitas Sig. < Probabilitas 0.05, maka Ho ditolak. Ternyata pada
penelitian tersebut menunjukkan bahwa prob. Sig < prob. 0.05 yaitu 0.000 < 0.05,
hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tekanan,
kesempatan dan rasionalisasi secara simultan terhadap terjadinya tindak korupsi.
b) Koefisien Jalur Secara Parsial
Dari hasil pengujian masing-masing variabel tekanan, kesempatan dan
rasionalisasi/sikap terhadap terjadinya tindak korupsi menunjukkan bahwa tekanan
dan kesempatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya tindak
korupsi sedangkan untuk variabel rasionalisasi/ sikap dalam penelitian ini memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi.

4.2 Pembahasan
Dari hasil penelitian dapat kita lihat bahwa para responden dalam hal ini para
terpidana tindak korupsi memberikan respon terhadap faktor-faktor yang menjadi motif
dilakukankannya korupsi yaitu adanya rasionalisasi/sikap yang tidak anti terhadap korupsi itu
sendiri. Tindak korupsi yang mengakar disebabkan karena personal individu yang
menganggap itu adalah hal yang umum atau lumrah. Dalam penelitian ini, tekanan
kesempatan tidak berpengaruh signifikan, sedangkan rasionalisasi berpengaruh secara
signifikan terhadap terjadinya tindak korupsi. Hal ini menunjukkan, sebagian besar koruptor
atau pelaku tindak pidana korupsi melakukan tindak kecurangannya bukan karena adanya
tekanan ekonomi melainkan pada umumnya para koruptor menganggap apa yang
dilakukannya adalah hal umum yang biasa dilakukan dan tidak melanggar hukum dan
kemanusiaan sehingga tindak korupsi kerap terjadi dan kesadaran/sensitifitas masyarakat
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

132

akan dampak kecurangan tersebut tidak ada. Oleh karena itu, selain upaya reformasi birokrasi
yang dilakukan, yang sekiranya dapat menghilangkan celah kesempatan untuk melakukan
korupsi, perlu dilakukan berbagai upaya dalam pembentukan karakter individu yang lebih
antipati terhadap korupsi dan benar-benar memahami setiap dampak dari tindak korupsi.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk penanganan korupsi adalah:
1. Preventif
- Membudayakan sikap anti korupsi/semangat untuk membenci korupsi seperti
(membudayakan sikap untuk tidak menerima suap dan keserakahan (greediness),
- Membudayakan sikap anti korupsi dari pendidikan di lingkungan keluarga,
pendidikan dilingkungan sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pendidikan ini
mengenai etika dan kejujuran menanamkan nilai-nilai moral secara meluas kepada
generasi muda bangsa ini bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan.
- Menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup entitas pemerintahan di pusat,
daerah maupun entitas swasta.
- Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan
- Memaksimalkan peranan internal auditor dalam mengawasi dan mendeteksi
kemungkinan terjadinya korupsi
- Penguatan sistem pengendalian internal
- Pemberian reward sesuai dengan kinerja
- Memberikan imbalan bagi pihak yang mengungkap kasus korupsi
- Menyediakan layanan pengaduan atas adanya indikasi awal korupsi
2. Kuratif
- Mendorong penegakan hukum dengan pemberian hukuman yang setimpal atas kasus
korupsi sehingga menimbulkan efek jera
- Gunakan hukuman-hukuman non formal seperti (pemindahan, hilangnya reputasi
professional, tidak diterima di lembaga manapun)
- Memaksimalkan pembinaan mental/moral
- Pemisahan fungsi yang jelas diantara beberapa lembaga peradilan

5. KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama ketiga variabel yang terkait
dengan faktor-faktor/motif korupsi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya
tindak korupsi itu sendiri. Tetapi secara parsial, faktor rasionalisasi/sikap saja yang
berpengaruh secara signifikan, sementara dua faktor lain yaitu tekanan dan kesempatan tidak
berpengaruh secara signifikan. Selain itu, antara ketiga faktor tersebut juga saling memiliki
hubungan positif (searah).
Oleh karena itu, peneliti memberikan saran kepada penelitian selanjutnya untuk
melakukan penelitian dengan menspesifikasi sampel, seperti kasus korupsiyang terjadi pada
sektor pemerintahan saja atau swasta saja. Diharapkan dengan demikian dapat memberikan
masukan yang lebih mendalam dan spesifik terhadap salah satu sektor. Penelitian berikutnya
juga dapat memperluas penelitian dengan menambah jumlah responden.








Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

133

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2010. Proteksi Dini Penyakit Korupsi Berbasis Syariah. Jurnal Karsa, Vol.
XVII No. 1 April 2010
Arens. 2008. Auditing and Assurance Services. Diterjemahkan oleh Herman Wibowo. Jakarta
: Erlangga.
Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di
Indonesia. Departemen Kehakiman dan Ham RI:Jakarta
Aunalal Zany Irayati. 2008. Penanganan Korupsi Di Dunia Birokrat. Jurnal Administrasi
Bisnis (2008), Vol.4, No.1: hal. 3445, (ISSN:02161249)
Diansyah, Febri. 2009. Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi dari
Pengadilan Tipikor. Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli
Idris, Fahmi. 2010. Selamatkan Uang Negara dengan Tata Kelola Keuangan Negara yang
Benar. Ekspose: Jakarta.
Klitgaard, Robert & Ronald Maclean Abaroa.2005. Corrupt Cities A proctica Guide to Cure
and Prevention. Diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
____________. 2005. Controlling Corruption. Diterjemahkan oleh Selo Soemardjan. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia
Kemendagri. 2013. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Peringkat 118 Dunia.
http://www.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 5 April 2013.
Suradi. Mengapa Seseorang Korupsi?. Diakses dari:
http://www.bppk.depkeu.go.id/bdk/palembang/attachments/178_MENGAPA-
SESEORANG-KORUPSI.pdf
Tuanakotta, Theodorus. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE Universitas Indonesia
World Bank. 2004. Memerangi Korupsi di Indonesia.
























Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

134

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMPETENSI APARATUR DAERAH
TERHADAP EFEKTIVITAS PENERAPAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP
GOOD GOVERNANCE
(Studi Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Medan)

Oleh
Eka Nurmala Sari


Doktor Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh budaya organisasi dan kompetensi
aparatur daerah terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik serta dampaknya
terhadap good governance pada satuan perangkat daerah (SKPD) di kota Medan.Penelitian
ini dilakukan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Medan dengan menggunakan
sensus. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan online survei di
official websitepemerintahan kota Medan. Analisis data dan pengujian hipotesis dilakukan
dengan menggunakan Path Analysis (Analisis Jalur). Hasil penelitian menunjukkan: (1)
Budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah secara parsial dan simultan
berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik. Hal ini
menunjukkan budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah memberikan kontribusi
dalam meningkatkan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik, namun belum mencapai
maksimal.(3) Efektifitas penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh signifikan terhadap
Good Governance.

Kata Kunci: Efektivitas, Akuntansi Sektor Publik, Good Governance, Budaya Organisasi,
Kompetensi Aparatur Daerah

I. Pendahuluan
Konsep good governance merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh sektor publik,
khususnya pemerintah daerah. Mardiasmo (2006:2) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga)
mekanisme yang dapat dilaksanakan agar pemerintahan daerah lebih responsif, transparan,
dan akuntabel serta dapat mewujudkan good governance, yaitu: (1) mendengarkan suara atau
aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama pemberdayaan masyarakat, (2) memperbaiki
internal rules dan mekanisme pengendalian, dan (3) membangun iklim kompetisi dalam
memberikan layanan terhadap masyarakat serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme
tersebut saling terkait, untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah.
Dalam merealisasikan pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
dalam UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, maka pengembangan dan pengaplikasian
akuntansi sektor publik sangat mendesak, sebagai alat untuk melakukan transparansi dalam
mewujudkan akuntabilitas publik.
Akuntansi sektor publik juga terkait erat dengan paradigma otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yang saat ini sedang berjalan. Kaitannya dengan reformasi sektor publik,
otonomi daerah menjadi salah satu bagian dari reformasi sektor publik itu sendiri. Otonomi
memberikan keleluasaan (diskresi) pada daerah untuk mengembangkan sistem pengelolaan
keuangan daerah secara luas (Mardiasmo,2002).
UUNo.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UUNo.25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, menjadi tonggak di mulainya
Otonomi Daerah. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
tantangan yang dihadapi akuntansi publik adalah menyediakan informasi yang dapat
digunakan untuk memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

135

finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial accountability),
akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik (political accountability),
dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability).
Akuntansi sektor publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan.
Hal ini dipertegas oleh Mardiasmo (2002)yang menyatakan bahwa Good governance dan
akuntansi sektor publik memiliki hubungan kuat, dimana akuntansi publik sebagai alat dalam
elaborasi good governanance ke tatanan yang lebih riil.Urif Santoso dan Yohanes (2008) di
dalam penelitiannya menemukanbahwa penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh
terhadap akuntabilitas pemerintah. Selain itu N. C.Shil (2008) menyatakan:...accounting will
show us the way to proceed with corporate governance where bad governance generally
comes from financial dissatisfaction and over exercising of power.
Pendapat laindikemukan Vijay Kelkar (2009), bahwa akuntansi memberikan kerangka
dasar yang mempengaruhi kualitas good governance. Dari beberapa pendapat tersebut,
dipercaya bahwa akuntansi khususnya akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat
penting dalam terciptanya good governance.Penelitian di Indonesia mengenai hal ini
dilakukan olehUrif Santoso dan Yohanes (2008) yang menemukan bukti bahwa penerapan
akuntansi sektor publik dan kualitas informasi akuntansi berpengaruh terhadap akuntabilitas
pemerintahan.
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan
akuntansi domain publik (Mardiasmo,2009). Menurut American Accounting Association
(1970) dalam Glynn (1993), tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah
memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi
sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta
memberikan informasi untuk melaporkan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
tersebut, serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Dengan demikian,
akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan informasi untuk pengendalian manajemen
dan akuntabilitas. Agar tujuan akuntasi pada organisasi sektor publik dapat tercapai maka
perlu adanya peningkatan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik.
Pengembangan akuntansi dapat dijelaskan baik, dari segi budaya dan lingkungan.
Budayadan lingkungan adalah kedua faktor yang membentuk konteks tempat akuntansi
beroperasi, dan dampak budaya pada akuntansi merupakan kontribusi penting dari literatur
akuntansi internasional, menurut Cingdem Solas and Sinan Ahyan (2008l).
Budaya perusahaan dapat mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi.Budaya
organisasi dapat membentuk tindakan manajer dan pengambilan keputusan, termasuk pilihan
sistem kontrol.Dengan demikian, budaya organisasi mempengaruhi perilaku pekerja terutama
efektivitas praktek akuntansi, seperti integrasi informasi keuangan, pembentukan pelaporan,
diseminasi laporan keuangan, informasi akuntansi yang kredibel(Hanpuwadal, Nupakorn dan
Ussahawanitchakit, Phapruke, 2010).
Budaya organisasi adalah sistem nilai bersama yang ada di dalam organisasi.
Hanpuwadal, Nupakorn dan Ussahawanitchakit, Phapruke (2010) menyatakan budaya
organisasi didefinisikan sebagai dukungan perusahaan untuk pengembangan etika dan
teknologi pelatihan, yang bertujuan meningkatkan hubungan dan keselarasan para anggota
organisasi dan pengaruh yang penting terhadap setiap aspek dari operasi perusahaan.
Selanjutnya Cingdem Solas and Sinan Ahyan (2008) memberikan bukti di negara
China bahwa...the criteria which claim that Chinese accounting has been shaped by
together with cultural, economical and political factors in the last century. Senada dengan
penelitian di Iran oleh Iraj Noravesh, Zahra Dianati Dilami, Mohammad S.Bazaz (2007):The
results of this research show the relationships among cultural and accounting values in Iran
and found support for more than one-half of Gray's hypotheses.Temuan-temuan ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara budaya organisasi dan penerapan akuntansi.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

136

Penerapan akuntansi yang efektif dapat berjalan jika didukung oleh kompetensi
pegawai yang melaksanakan tugas di bidang akuntansi. Seperti yang dikemukan Hanpuwadal
dan Ussahawanitchakit (2010), bahwa kemampuan sumber daya manusia membuat
penerapan akuntansi berjalan efektif, dan pada gilirannya memberikan pengaruh pada
integrasi informasi akuntansi, pembentukan pelaporan yang berguna, diseminasi laporan
keuangan efektif, dan informasi yang dapat dipercaya. Kompetensi akuntan adalah
kemampuannya untuk mengoperasikan akuntansi yang memberikan nilai informasi untuk
mencapai tujuan organisasi (Fowler, 1999).
Selanjutnya menurut Djadja S. (2009), dalam menyikapi terbitnya serangkaian
peraturan di bidang keuangan negara, banyak pemda mengalami kesulitan, karena laporan
keuangan merupakan hal baru, dan terbatasnya sumber daya manusia yang menguasai
pengelolaan keuangan. Hal senada dinyatakan Anwar Nasution (2009), sesungguhnya bukan
cuma faktor waktu pemberlakuan yang masih tergolong baru, hampir semua tenaga atau
birokrat yang bertanggung jawab pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak
memahami akuntansi karena tidak pernah mempelajarinya.
Selain itu Bagus Rumbogo (2009) berpendapat bahwa dalam rangka membangun
sistem akuntansi instansi, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 59 Tahun 2005, yang perlu diupayakan adalah sumber daya manusia (brainware)
yang memiliki kemampuan yang memadai dalam hal akuntansi dan pengoperasian komputer.
Secara garis besar bahwa permasalahan di atas menurut Mardiasmo (2006)
merupakan penghambat terwujudnya good governance. Dilihat dari sisiakuntansi publik,
terdapat tiga permasalahan utama mengapa Good Governance masih jauh dari kenyataan,
yaitu: Pertama, belum adanya sistem akuntansi pemerintahan daerah yang baik yang dapat
mendukung pelaksanaan pelaporan secara handal.Tidak adanya sistem akuntansi yang handal
menyebabkan lemahnya pengendalian intern (internal control) pemerintah daerah. Kedua,
sangat terbatasnya jumlah personel pemerintahan daerah yang berlatarbelakang pendidikan
akuntansi, sehingga mereka tidak mengerti dengan permasalahan ini. Di sisi lain, sangat
sedikit sarjana akuntansi berkualitas yang tertarik mengembangkan profesinya di
pemerintahan daerah. karena kompensasi yang rendah. Ketiga, belum diterapkannya secara
penuh standar akuntansi keuangan sektor publik yang baku, sebagai pedoman pembuatan
laporan keuangan dan mekanisme pengendalian. Belum diterapkannya standar akuntansi
secara penuh akan menimbulkan implikasi negatif berupa rendahnya reliabilitas informasi
keuangan serta menyulitkan pengauditan.
Berdasarkan hal ini peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh
Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor Publik Serta Dampaknya Terhadap Good Governance Pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Medan.
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh terhadap
Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
2. Apakah Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh terhadap Good
Governance

2. Kajian Teoritis
2.1. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor
Publik

Stephen B. Salter dan Frederick Niswander (1995) menyatakan bahwa praktik
pelaporan keuangan di pengaruhi oleh budaya.Iraj Noravesh, Zahra Dianati Dilami,
Mohammad S.Bazaz (2007) menemukan hasil bahwa terdapat hubungan antara nilai budaya
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

137

dan akuntansidi Iran. Cingdem Solas and Sinan Ahyan (2008) menyatakan pengembangan
akuntansi dapat dijelaskan baik, dari segi faktor budaya dan lingkungan. Hauriasi Abrahan
dan Davey, Howard (2009) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa terdapat pengaruh
budaya terhadap praktik akuntansi di Kepulauan Solomon.
Budaya perusahaan dapat mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi
(Hanpuwadal, Nupakorn dan Ussahawanitchakit, Phapruke,2010). Budaya organisasi dapat
membentuk tindakan manajer dan pengambilan keputusan, termasuk pilihan sistem kontrol.
Sistem kontrol dan struktur kekuasaan perusahaan merupakan komponen penting dari budaya
perusahaan yang unik, yang mencerminkan pola pikir yang mendasari paradigma perusahaan
(Williams dan Triest, 2009). Dengan demikian, budaya organisasi mempengaruhi perilaku
pekerja terkait efektivitas praktek akuntansi, seperti integrasi informasi keuangan,
pembentukan pelaporan, diseminasi laporan keuangan, informasi akuntansi terpercaya.

2.2. Pengaruh Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor Publik

Kompetensi aparatur daerah merupakan pilar peyangga penyelenggaraan
pemerintahan daerah, khususnya dalam penerapan akuntansi yang efektif. Kemampuan
sumber daya manusia meningkatkan efektivitas praktik akuntansi, dan pada gilirannya
berpengaruh pada integrasi informasi akuntansi, pembentukan pelaporan yang berguna,
diseminasi laporan keuangan yang efektif, dan informasi akuntansi yang dapat dipercaya.
Menurut Hanpuwadal, Nupakorn dan Ussahawanitchaki, Phapruke (2010) bahwa
Kompetensi Akuntan adalah kemampuan akuntan dengan pengetahuan profesional dan
keterampilan, termasuk pengalaman. Selain itu Menurut Hanpuwadal, Nupakorn dan
Ussahawanitchaki, Phapruke (2010) bahwa kompetensi akuntan merupakan faktor penting
untuk mempromosikan efektivitas penerapan akuntansi.
Selanjutnya Fowler (1999) menyatakan bahwa Pengetahuan akuntan adalah
kemampuan akuntan untuk mengoperasikan akuntansi yang memberikan nilai informasi
untuk mencapai tujuan organisasi Artinya, akuntan yang melakukan pekerjaan akuntansi
(mengumpulkan, mengubah proses, laporan, dan menyebarkan pelaporan) dilatih untuk
menangani dengan menggunakan standar akuntansi dan pengetahuan teknologi informasi dan
operasi untuk mendukung praktik akuntansi.

2.3. Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good
Governance

Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik
(Mardiasmo, 2010). Sementara World Bank (1994) mendefinisikannya sebagai suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan
dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi,
dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, serta menjalankan disiplin
anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Selanjutnya United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 1997
mendefinisikan Good Governance sebagai: Kepemerintahan adalah pelaksanaan
kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola
berbagai urusan negara pada semua tingakatan dan merupakan instrumen kebijakan negara
untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam
masyarakat. Dengan kata lain suatu hubungan yang sinerjik dan konstruktif di antara negara,
sektor swasta, dan masyarakat (state, prevate, society). Namun dalam kenyataan, negara
(state) masih menjadi yang paling dominan. UNDP mengajukan 9 (sembilan) prinsip sebagai
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

138

karakteristik good governance yaitu: partisipasi, rule of law, transparansi, responsiveness,
consensus orientation, equity, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, strategic vision.
Dari kesembilan prinsip tersebut menurut Mardiasmo (2010,18) paling tidak terdapat
tiga hal yang dapat diperankan oleh akuntansi sektor publik yaitu penciptaan transparansi,
akuntabilitas publik, serta efektifitas dan efisiensi.
Dalam rangka mewujudkan good governance, pemerintah diharapkan melakukan
berbagai upaya perbaikan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, salah
satunya dengan penerapan akuntansi sektor publik yang lebih efektif.
Akuntansi sektor publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan
sebagai salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik.Penerapan akuntansi sendiri
adalah suatu proses akuntansi untuk mengumpulkan, proses merubah, laporan, dan
menyebarkan pelaporan kepada pengguna. Umumnya, penerapan akuntansi menyajikan
informasi akuntansi organisasi untuk manajemen (Hakansson dan Lind, 2004) dan
merupakan alat untuk administrasi sumber daya yang efisien, dan dukungan pengambilan
keputusan yang tepat (Quattrone, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan akuntansi
memiliki peran penting dalam membangun pelaporan keuangan dan informasi bagi pengguna
eksternal dan internal yang difungsikan untuk menilai status kinerja keuangan perusahaan.
Penelitian Richard G.Sloan (2001) menunjukkan bahwa Akuntansi keuangan adalah
bahan utama dalam proses corporate governance. Sama halnya dengan penelitian Eugene
(2003) yang menyatakan bahwa akuntansi dan auditing merupakan komponen dari system
corporate governance yang lebih luas dan tidak bisa "diperbaiki" dengan cara apa pun,
kecuali perubahan substantive dalam proses governance secara keseluruhan. Nikhil C. Shil
(2009) menyatakan bahwa akuntansi disebut sebagai kendaraan untuk memastikan good
corporate governance (GCG), dan bahwa dunia harus mengadopsi standar akuntansi global.
Vijay Kelkar (2009) menyatakan bahwa kerangka kerja akuntansi berdampak pada
kualitas governance. Penelitian yang dilakukan oleh P.Brown et all (2010) menyimpulkan
bahwa ada hubungan yang positif antara good governance dengan kualitas akuntansi.
Pembahasan mengenai pengaruh akuntansi sektor publik terhadap good governance di
Indonesia telah dilakukan oleh Mardiasmo (2002) yang menyatakan Good governance dan
akuntansi sektor publik memiliki hubungan yang kuat, dimana akuntansi sektor publik
sebagai alat untuk melakukan elaborasi good governanance ke tatanan yang lebih riil.
Selanjutnya Mardiasmo (2006) menyatakan akuntansi sektor publik, yang diartikulasikan
melalui akuntansi manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing sektor publik sudah sangat
mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai alat untuk mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good governance.Sama halnya dengan
hasil penelitian yang di lakukan oleh Urif Santoso dan Yohanes (2008) yang menemukan
bukti bahwa penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh terhadap good governance
dalam hal ini terhadap akuntabilitas pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka bagan kerangka pemikirannya sebagai berikut:










Gambar 2.1
Bagan kerangka Pemikiran
Budaya
Oganisasi
Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor
Publik
Good
Governance
Kompetensi
Aparatur
Daerah
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

139

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh secara parsial dan
simultanterhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik .
2. Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh terhadap Good
Governance

III. METODE PENELITIAN
3.1. Operasionalisasi Variabel
Sebelum variabel dalam penelitian ini dioperasionalisasikan maka berikut di bawah
ini didentifikasikan terlebih dahulu variabe-variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Budaya Organisasi (X1) didefinisikan budaya organisasi merupakan seperangkat nilai,
norma atau etika yang ada dalam organisasi yang dapat mengendalikan anggota dalam
organisasi sehingga tercipta keselarasan diantara para anggota organisasi dan orang-
orang di luar organisasi(Hofstede,Geert, Michael Harris Bond dan Chung-Leung
Luk:1993).
2. Kompetensi Aparatur Daerah (X2) didefinisikan kemampuan yang dimiliki seseorang
melalui pengetahuan profesional dan keterampilan, termasuk di dalamnya pengalaman,
juga menyangkut fungsi, peran, tugas, keterampilan, kemampuan atau sifat-sifat pribadi
seseorang, yang mendasari seseorang untuk mampu menunjukkan suatu prestasi kerja
yang baik dalam bidang pekerjaan, peran dan situasi tertentu (Spencer, Lyle M. JR and
Signe M Spencer:1993).
3. Efektivitas penerapan akuntansi merupakan variabel eksogenus (X) didefinisikan
sebagai hasil dari praktik akuntansi mengenai proses pemeriksaan akuntansi,
transformasi, penjelasan, analisis, penyebaran laporan, dan berbagi informasi akuntansi
untuk manajer yang didukung oleh keandalan informasi (Hanpuwadal and
Ussahawanitchakit: 2010).
4. Good Governance merupakan variabel endogenus (Y) Kepemerintahan adalah
pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administratif
umtuk mengelola berbagai urusan negara pada semua tingakatan dan merupakan
instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan,
integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat (UNDP,1997).

3.2.Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh SKPD yang ada di Kota Medan. Dalam
penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah seluruh SKPD yang ada di Kota Medan.
Sedangkan yang dijadikan responden dari setiap SKPD adalah Kepala atau Wakil SKPD dan
Bendahara atau Kepala Bagian Akuntansi. Sehingga dari masing-masing SKPD yang
dijadikan responden adalah 2 orang. Jadi jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 31
x 2 orang = 62 orang.
Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, yang merupakan data Primer. Data
ini diperoleh melalui: Kuesioner,Wawancara, dan Observasi. Data yang dikumpulkan melalui
penyebaran kuesioner perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa
responden bersungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan. Untuk itu diperlukan dua
macam pengujian yaitu uji Validitas (test of validity) dan uji reliabilitas (test of reliability).

3.3.Analisis Data
Untuk menganalisis data yang diperoleh melalui kuesioner, terdapat dua langkah yang
dilakukan, yaitu: Statistik Deskriptif
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

140

Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai jawaban responden
mengenai variabel-variabel penelitian. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teknik
Analisis Indeks, untuk menggambarkan tanggapan responden atas item-item pertanyaan yang
diajukan. Teknik skoring yang dilakukan dalam penelitian ini adalah minimum 1 dan
maksimum 5, maka perhitungan indeks jawaban responden dilakukan dengan rumus dari
Augusty Ferdinand (2006) sebagai berikut:
Nilai Indeks = ((%F1x1)+(%F2x2)+(%F3x3)+(%F4x4)+(%F5x5)/5
Dimana:
F1 = frekuensi responden yang menjawab 1
F2 = frekuensi responden yang menjawab 2 dst,
F5 = frekuensi responden yang menjawab 5
Atas dasar perhitungan tersebut, dengan menggunakan kriteria three box method,
interpretasi angka indeks dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu:
10.00 40.00 = rendah
40.01 70.00 = sedang
70.01 100.00= tinggi

Analisis Jalur (Path Analysis).
Teknik analisis selanjutnya yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah
Analisis Jalur (Path Analysis). Alasan digunakan model ini, selain karena tujuan dari
penelitian adalah melihat sejauh mana pengaruh variabel exogen terhadap variabel endogen,
juga karena hendak menguji hubungan kausal antar variabel. Analisis Jalur merupakan bagian
dari statistika parametrik yang mensyaratkan skala minimal interval, sehingga data ordinal
hasil kuesioner perlu dinaikkan menjadi skala interval melalui metode interval berurutan
(Method of Successive Interval). Penaikan skala dari ordinal ke interval dilakukan untuk
setiap item per subvariabel/variabel berdasarkan kepada skor ordinal responden.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1Tanggapan Responden Mengenai Variabel Budaya Organisasi
Tabel 4.1.
Tanggapan Responden Mengenai Budaya Organisasi
INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG
BUDAYA ORGANISASI
(dalam persentase)
Indeks
(%)
1 2 3 4 5
1. Profesionalisme - 0,95 12,95 38,80 46,30 86,29
2. Jarak Dari Manajemen - 0,63 13,60 50,60 35,17 84,06
3. Percaya Pada Rekan
Sekerja
- - 7,40 38,30 54,30 89,38
4. Keteraturan - - 7,43 38,30 53,37 89,47
5. Permusuhan/ Konflik - 0,63 7,40 28,40 63,57 90,98
6. Integrasi - 1,40 11,1 37,90 49,60 92,18
Rata-rata 88,73
Sumber : Data primer diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel budaya organisasi memiliki indeks
88,73%, sehingga kesimpulannya bahwa budaya organisasi yang meliputi: profesionalisme,
jarak dari manajemen, percaya pada rekan kerja, keteraturan, permusuhan/konflik dan
integritas berada dalam kategori tinggi. Dari keenam indikator yang digunakan untuk
mengukur variabel budaya organisasi, indikator mengenai integritas memiliki skor tertinggi
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

141

yaitu 92,18% sedangkan indikator jarak dari manajemen memiliki skor terrendah yaitu
84,06%. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi pada SKPD di Kota Medan dalam
kategori baik.

4.1.2Tanggapan Responden Mengenai Variabel Kompetensi Aparatur Daerah

Tabel 4.2.
Tanggapan Responden Mengenai Kompetensi Aparatur Daerah
INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG
KOMPETENSI APARATUR DAERAH
(dalam persentase)
Indeks
(%)
1 2 3 4 5
1. Motif 7,34 3,73 3,70 14,83 70,4 87,44
2. Karakter / watak 3,71 2,55 8,56 36,8 48,38 84,72
3. Konsep Diri 1,30 3,70 12,37 56,80 25,90 80,50
4. Pengetahuan - 0,62 12,36 54,30 32,72 83,82
5. Keterampilan - 0,95 21,80 53,30 23,95 80,05
6. Pengalaman 0,46 2,34 23,85 47,29 22,06 75,23
Rata-rata 81,96
Sumber : Data primer diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel kompetensi aparatur daerah memiliki
indeks 81,96%, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi aparatur daerah yang
meliputi: motif, watak, konsep diri, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman berada dalam
kategori tinggi. Dari keenam indikator yang digunakan, indikator mengenai Motif memiliki
skor tertinggi yaitu 87,44% sedangkan indikator pengalaman memiliki skor terrendah yaitu
75,23%. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi apaatur daerah yakni, pengalaman, masih
kurang optimal sehingga perlu perhatian lebih dari para pimpinan SKPD di Kota Medan.

4.1.3. Tanggapan Responden Mengenai Variabel Efektifitas Penerapan Akuntansi
Sektor Publik
Tabel 4.3.
Tanggapan Responden Mengenai Efektivitas
Penerapan Akuntansi Sektor Publik
INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG
EFEKTIVITAS PENERAPAN
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
(dalam persentase)
Indek
s
(%)
1 2 3 4 5
Integrasi Informasi Keuangan
yang memadai
0,45 6,02
3
24,53 50.93 18,08 76.04
Pembentukan Pelaporan
Keuangan yang Berguna
0,45 0,93 15,3 55,1 28,23 81,95
Penyebaran pelaporan
keuangan yang efektif
0,93 0,48 15,28 43,05 40,28 84,26
Informasi Akuntansi yang
dipercaya
2,8 6,03 16,6 44,93 29,63 78,50
Rata-rata 80,19
Sumber: Data primer diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor
publik memiliki indeks 80,19%, sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik yang meliputi: integrasi informasi keuangan yang memadai,
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

142

PYX
1

PYX
2

pembentukan laporan keuangan yang berguna, penyebaran laporan keuangan yang efektif
dan, informasi akuntansi yang dipercaya berada dalam kategori tinggi. Dari kempat indikator
yang digunakan, indikator penyebaran pelaporan keuangan yang efektif memiliki skor
tertinggi yaitu 84,26%, sedangkan indikator integrasi informasi keuangan yang memadai
memiliki skor terrendah yaitu sebesar 76,04%. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi
informasi keuangan yang memadai masih kurang optimal sehingga perlu perhatian yang
lebih dari para pimpinan SKPD di Kota Medan.

4.1.4. Variabel Good Governance
Tabel 4.4.
Tanggapan Responden Mengenai Good Governance
INDIKATOR JAWABAN RESPONDEN TENTANG
GOOD GOVERNANCE
(dalam persentase)
Indeks
(%)
1 2 3 4 5
Akuntabilitas Publik 3,71 2,89 6,59 34,57 52,28 85,79
Transparansi 4,44 5,2 12,98 42,58 34,8 79,64
Rata-rata 82,72
Sumber : Data primer diolah

Tabel di atas menunjukkan bahwa variabel good governance memiliki indeks 82,72%,
sehingga dapat disimpulkan bahwa good governanceyang meliputi: akuntabilitas dan
transparansi berada dalam kategori tinggi. Dari kedua indikator di atas, indikator
akuntabilitas publik memiliki skor tertinggi yaitu 85,79%. Sedangkan indikator transparansi
memiliki skor paling rendah yaitu 79,64%. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi yang ada
pada SKPD di Kota Medan masih kurang optimal sehingga perlu di tingkatkan lagi.

4.2. Pengujian Kualitas Data
Sebelum analisis data dikerjakan, maka terlebih dahulu perlu dilakukan pengujian atas
data yang diperoleh meliputi uji validitas dan uji reliabilitas dengan menggunakan bantuan
program SPSS version 17. Berdasarkan output SPSS bahwa semua pertanyaan pada
kuesioner tentang variabel-variabel yang di teliti dinyatakan valid dan reliable.

4.3. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Analisis data dilakukan dengan analisis jalur path analysis) atas variabel dependen,
yaitu Good Governance (Z) dan Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik (Y), dan
variabel independen yakni Budaya Organisasi (X1) dan Kompetensi Aparatur Daerah (X2).
Data berskala ordinal terlebih dahulu ditransformasi menjadi skala interval melalui Methode
of Successive Interval (MSI). Sehingga model penelitiannya digambarkan sebagai berikut:












Gambar 4.1. Model Penelitian
X
1
Y

2

PZ
2

X
2
Z
PZY
PY
1

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

143


Model di atas akan diuraikan menjadi tiga sub struktur sebagai berikut :
Sub struktur 1 : Y = P
YX1
.X
1
+ P
YX2
.X
2
+
1
Sub struktur2 : Z = P
ZY
.Y +
2
Keterangan:
X1 = Budaya Organisasi
X2 = Kompetensi Aparatur Daerah
Y = Efektivitas Penerapan akuntansi Sektor Publik
Z = Good Governance

4.3.1. Hasil Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Derah
Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Model Sub struktur 1 : Y = P
YX1
.X
1
+ P
YX2
.X
2
+
1
Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan SPSS, diperoleh koefisien jalur
untuk mencari P
YX1
dan P
YX2
sebagai berikut:
Tabel 4.5
Koefisien Jalur Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah
Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Coefficients
a

Model Unstandardized
Coefficients
Standardiz
ed
Coefficient
s
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 11.899 7.087

1.679 .099
BUDAYA.ORGANISASI .357 .085 .495 4.193 .000
KOMPETENSI.APARATU
R.DAERAH
.167 .082 .240 2.036 .047
a. Dependent Variable: EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan output SPSS di atas, nilai standardized beta budaya organisasi dan
kompetensi aparatur daerah pada persamaan pertama untuk P
YX1
sebesar 0,495 danP
YX2-
sebesar 0,240 pada taraf signifikansi 0,000 untuk budaya organisasi dan taraf signifikansi
0,047 untuk kompetensi aparatur daerah. Hal ini berarti bahwa budaya organisasi dan
kompetensi aparatur daerah mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi sektor publik.
Besarnya pengaruh simultan dari variabel budaya organisasi dan kompetensi aparatur
daerah terhadap variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik dapat dilihat dari
koefisien deteminasi. Lihat tabel berikut ini:
Tabel 4.6.
Koefisien determinasi Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah
Terhadap Variabel Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change
1 .626
a
.392 .368 7.305867928 .392 16.442
a. Predictors: (Constant), KOMPETENSI.APARATUR.DAERAH, BUDAYA.ORGANISASI

Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh R
2
sebesar 0,392. Artinya Budaya
Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh terhadap Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor Publik sebesar 39,2% dan sisanya sebesar 60,8% dipengaruhi variabel lain
di luar model. Maka persamaan jalur sub struktur kedua di peroleh sebagai berikut:

Y = 0,495.X
1
+ 0,240.X
2
+ 0,608

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

144








Gambar 4.2
Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas
Penerapan Akuntansi Sektor Publik

Untuk mendapatkan pengaruh parsial dari setiap variabel bebas terhadap variabel
terikat, berikut dilakukan perhitungan dekomposisi pengaruh langsung dan tidak
langsungnya, dengan ketentuan rumus sebagai berikut: pengaruh langsung diperoleh dari
kuadrat koefien jalur dikalikan 100%, sedangkan pengaruh tidak langsung merupakan
perkalian dari dua koefisien jalur yang berkaitan dikalikan dengan koefisien korelasi antara
kedua variabel bebas dikalikan 100% atau P
YXi
x P
YXj
X r
XiXj
X 100%.Hasil perhitungan
selengkapnya disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.7
Besaran Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap
Variabel Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Variabel Koefisien
Jalur
Pengaruh
Langsung
(dalam
%)
Pengaruh tidak
langsung (dalam %)

Total
Pengaruh
Tidak
Langsung
( dalam %)
Total
Pengar
uh
(dalam
%)
X1 X2
X1
0,495
24,50 4,5 4,5 29,0
X2
0,240
5,7 4,5 4,5 10,2
Total Pengaruh 39,2
Sumber: Hasil Pengolahan Data (lampiran)

Pengujian Hipotesis
Untuk membuktikan budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah secara
simultan berpengaruh terhadap variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik maka
hipotesis yang ada akan diuji.Dengan menggunakan SPSS diperoleh hasil uji hipotesis
simultan (uji F) sebagai berikut:
Tabel 4.8
Uji Hipotesis Simultan Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah
Terhadap Variabel Efektivitas
Penerapan Akuntansi Sektor Publik
ANOVA
b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 1755.242 2 877.621 16.442 .000
a

Residual 2722.161 51 53.376

Total 4477.403 53

a. Predictors: (Constant), KOMPETENSI.APARATUR.DAERAH, BUDAYA.ORGANISASI
b. Dependent Variable: EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai F hasil perhitungan sebesar 16,442 dan nilai
signifikansi sebesar 0,000. Nilai F hitung akan dibandingkan dengan nilai F pada tabel
distribusi F, sedangkan nilai signifikansi akan dibandingkan dengan . Dengan = 0,05,
derajat bebas (db) db
1
= 2 dan db
2
= 51, diperoleh nilai F tabel sebesar 3,18. Dikarenakan
X
1
Y
0,240
X
2
0,495
0,608
0,378
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

145

nilai F hitung (16,44) lebih besar dari nilai F tabel (3,18) maka H
0
ditolak dan H
1
diterima.
Hal ini bersesuaian dengan nilai signifikansi hasil perhitungan sebesar 0,000 yang lebih kecil
dibandingkan dengan = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Budaya Organisasi dan
Kompetensi Aparatur Daerah secara simultan memberikan pengaruh terhadap Efektivitas
Penerapan Akuntansi Sektor Publik.
Selanjutnya untuk membuktikan apakah budaya organisasi dan kompetensi aparatur
daerah secara parsial berpengaruh terhadap variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor
publik maka hipotesisnya diuji sebagai berikut:
Tabel 4.9
Uji Hipotesis Parsial Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah
Terhadap Variabel Efektivitas
Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Coefficients
a

Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 11.899 7.087

1.679 .099
BUDAYA.ORGANISASI .357 .085 .495 4.193 .000
KOMPETENSI.APARATUR.
DAERAH
.167 .082 .240 2.036 .047
a. Dependent Variable: EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai t hasil perhitungan untuk variabel budaya
organisasi sebesar 4.193 pada taraf signifikansi sebesar 0,000 dan variabel kompetensi
aparatur daerah sebesar 2.036 pada taraf signifikansi 0,047. Nilai t hitung akan dibandingkan
dengan nilai t pada tabel t distribusi t, sedangkan nilai signifikansi akan di bandingkan
dengan = 0,05. Dengan = 0,05 dan derajat bebas (db) sebesar 51 diperoleh nilai t tabel
sebesar 2,009. Dikarenakan nilai t hitung untuk budaya organisasi (4.193) dan nilai t hitung
untuk kompetensi aparatur daerah ( 2.036) lebih besar dari t tabel (2,009) maka H
0
ditolak
dan H
1
diterima. Hal ini bersesuaian dengan nilai signifikansi hasil perhitungan untuk
variabel budaya organisasi sebesar 0,000 dan untuk kompetensi aparatur daerah sebesar 0.047
yang lebih kecil dari = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Budaya Organisasi dan
Kompetensi Aparatur Daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas
Penerapan Akuntansi Sektor Publik.

4.3.2. HasilAnalisis Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap
Good Governance
Model sub struktur 2Y = P
ZY
.Y +
2
Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan SPSS, diperoleh koefisien jalur
untuk mencari P
ZY
sebagai berikut:
Tabel 4.10
Koefisien Jalur Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap
Good Governance
Coefficients
a

Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 23.587 5.136

4.592 .000
EFEKTIVITAS.PENER
APAN.AKUNTANSI
.418 .105 .483 3.973 .000
a. Dependent Variable: GOOD.GOVERNANCE
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

146

Berdasarkan output SPSS di atas, nilai standardized beta efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik pada persamaan keempat sebesar 0,483 dan signifikansi pada 0,000.
Ini berarti efektivitas penerapan akuntansi sektor publik mempengaruhi good governance.
Besarnya pengaruh dari variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik
terhadap variabel good governance dapat dilihat dari koefisien deteminasi. Koefisien
determinasi diperoleh dari mangkuadratkan nilai koefisien jalur, jadi koefisien determinasi
efektivitas penerapan akuntansi sektor publik terhadap variabel kualitas informasi akuntansi
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
R
2
Z = (PZY)2 = (0,483)2 = 0,233
Tabel . 4.11.
Koefisien determinasi Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
Terhadap Good Governance
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .483
a
.233 .218 7.035234058
a. Predictors: (Constant), EFEKTIVITAS.PENERAPAN.AKUNTANSI

Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh R
2
sebesar 0,233 atau 23,3%. Dengan
demikian maka dapat disimpulan bahwa Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
memberikan pengaruh terhadap Good Governance sebesar 23,3% dan sisanya sebesar 76,7%
lainnya merupakan pengaruh dari variabel lain yang tidak diteliti.Dengan demikian maka
persamaan jalur sub struktur ketiga di peroleh sebagai berikut: Z = 0,483Y + 0,767






Gambar 4.4
Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good Governance

Pengujian Hipotesis
Selanjutnya untuk membuktikan apakahefektivitas penerapan akuntansi sektor publik
berpengaruh terhadap good governance maka hipotesis yangada akan diuji. Dengan
menggunakan SPSS diperoleh hasil uji hipotesis sebagai berikut:
Tabel 4.12.
Uji Hipotesis Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik TerhadapGood
Governance
Coefficients
a

Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 23.587 5.136

4.592 .000
EFEKTIVITAS.PENERA
PAN.AKUNTANSI
.418 .105 .483 3.973 .000
a. Dependent Variable: GOOD.GOVERNANCE

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai t hasil perhitungan sebesar 3,973 dan nilai
signifikansi sebesar 0,000. Nilai t hitung akan dibandingkan dengan nilai t pada tabel t
distribusi t, sedangkan nilai signifikansi akan di bandingkan dengan = 0,05. Dengan =
0,05 dan derajat bebas (db) sebesar 53 diperoleh nilai t tabel sebesar 2,009. Dikarenakan
Y Z
0,767
0,483
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

147

nilai t hitung (3,973) lebih besar dari t tabel (2,009) maka H
0
di tolak dan H
1
diterima. Hal ini
bersesuaian dengan nilai signifikansi hasil perhitungan sebesar 0,000 yang lebih kecil dari =
0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik
berpengaruh signifikan terhadap Good Governance.

4.3.3. Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi Aparatur Daerah Terhadap
Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Serta Dampaknya Terhadap
Good Governance

Dari hasil perhitungan tiga sub struktur di atas maka diperoleh model jalur
keseluruhan sebagai berikut:













Gambar 4. 5
Diagram Dan Koefisien Jalur Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kompetensi
Aparatur Daerah Terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Serta
Dampaknya Terhadap Good Governance

Berdasarkan data di atas maka dapat dihitung pengaruh langsung dan pengaruh tidak
langsung dari variabel X
1
dan X
2
terhadap Variabel Z sebagai berikut:
1. Pengaruh X
1
melalui Y terhadap Z:
(P
YX1
) x (P
ZY
) x 100% = (0,495) x (0,483) = 23,9%
2. Pengaruh X
2
melalui Y terhadap Z:
(P
YX1
) x (P
ZY
) x 100% = (0,240) x (0,483) = 11,6%
Berdasarkan model di atas dapat diambil ksimpulan sebagai berikut:
1. Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi
Sektor Publik dengan pengaruh sebesar 29%
2. Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor Publik dengan pengaruh sebesar 10,2%
3. Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik dengan pengaruh
sebesar 39,2%
4. Efektifitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh signifikan terhadap Good
Governance dengan pengaruh sebesar 23,3%
5. Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor
Publik dan berdampak terhadap Good Governance dengan besar pengaruh sebesar
23,9%.
6. Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi
Sektor Publik dan berdampak terhadap Good Governance dengan besar pengaruh sebesar
11,6%.

BUDAYA
ORGANISASI
KOMPETENSI
APARATUR
DAERAH
EFEKTIVITAS
PENERAPAN
AKUNTANSISEKT
OR PUBLIK
GOOD
GOVERNANCE
0,378
0,495
0,240
0,483
0,767
0,608
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

148

4.2. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
4.2.1. Pengaruh Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah terhadap
Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Secara Simultan.

Hasil pengujian pengaruh budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah secara
simultan terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik menunjukkan nilai F hitung
(16,442) > F tabel (3,18), maka pada tingkat kekeliruan 5% (=0,05) diputuskan untuk
menolak H
0
dan menerima H
1
. Hal ini berarti budaya organisasi dan kompetensi aparatur
daerah secara simultan berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan akuntansi
sektor publik pada SKPD di Kota Medan.
Dari hasil pengujian statistik juga didapat nilai koefisien determinasi R
2
sebesar
0,392.Nilai ini menunjukkan besarnya variasi dari variabel efektivitas penerapan akuntansi
sektor publik yang dapat dijelaskan oleh budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah
sebesar 39,2 %, sedangkan sisanya sebesar 60,8 % dijelaskan atau merupakan kontribusi
variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Pengaruh variabel ini dapat dikategorikan
sedang. Nilai koefisien determinasi (R
2
) ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dan
kompetensi aparatur daerah secara bersama-sama cukup mampu mempengaruhi efektivitas
penerapan akuntansi sektor publik pada SKPD yang ada di Kota Medan.
Sedang atau cukupnya tingkat pengaruh budaya organisasi dan kompetensi aparatur
daerah dapat dijelaskan berdasarkan deskriptif data tanggapan responden hasil penelian. Hal
ini sesuai dengan rata-rata skor aktual yang diperoleh untuk variabel budaya organisasi
berdasarkan analisis deskriptif yang diperoleh dalam kategori baik yaitu dengan skor 88,73%
dan demikian pula dengan variabel kompetensi aparatur daerah masuk pada kategori baik
yaitu dengan skor 81,96%. Temuan dilapangan ini menunjukkan bahwa budaya organisasi
pada SKPD di Kota Medan sudah baik dan sebaiknya tetap dipertahankan dan jika perlu lebih
ditingkatkan lagi agar mencapai tingkat yang ideal.Sedangkan untuk variabel kompetensi
aparatur daerah juga ternyata menunjukkan skor yang tinggi, hal ini berarti kompetensi
aparatur daerah pada SKPD di Kota Medan sudah baik. Walaupun rata-rata skor ini tinggi
namun ternyata salah satu indikator kompetensi aparatur daerah memiliki skor di bawah 80%
yaitu mengenai indikator pengalaman yang memiliki skor 75,23%. Hal ini menunjukkan
bahwa pengalaman yang dimiliki oleh aparatur daerah di SKPD Kota Medan masih perlu
ditingkatkan lagi melalui pemberian pendidikan dan pelatihan, seminar-seminar, dan
workshop yang lebih banyak lagi khususnya yang berhubungan dengan bidang akuntansi, dan
sebaikknya pimpinan SKPD dalam menempatkan orang-orang berpengalaman dalam
pengelolaan keuangan setidaknya di atas dua tahun. Temuan di lapangan juga menunjukkan
bahwa efektivitas penerapan akuntansi sektor publik pada SKPD di Kota Medan sudah sangat
baik, namun ada beberapa indikator yang perlu ditingkatkan lagi agar menjadi lebih efektif.

4.2.2. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor
Publik .

Hasil pengujian pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas penerapan akuntansi
sektor publik menunjukkan nilai t hitung (4.193) > t tabel (2,009), maka pada tingkat
kekeliruan 5% (=0,05) diputuskan untuk menolak H
0
dan menerima H
1
. Hal ini berarti
budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor
publik pada SKPD di Kota Medan.Besaran pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas
penerapan akuntansi sektor publik adalah 29%. Besaran ini termasuk ke dalam kategori
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi memberikan kontribusi yang cukup
dalam meningkatkan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik namun belum mencapai
tingkat maksimal yang diharapkan.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

149

Temuan dilapanganmenunjukkan bahwabudaya organisasi pada SKPD do Kota
Medan sudah baik, hal ini dapat ditunjukkan secara deskriptif yang dapat dilihat dari skor
rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 88,73%. Dari seluruh indikator yang ada untuk
mengukur budaya organisasi menunjukkan skor di atas 80%. Hal ini berarti budaya
organisasi di SKPD Kota Medan secara keseluruhan sudah baik namun belum mencapai
tingkat maksimal yang diharapkan, sehingga perlu adanya peningkatan lagi sesuai dengan apa
yang diharapkan. Sedangkan temuan dilapangan untuk variabel efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik yang dilakukan oleh SKPD telah baik. Kondisi ini dapat ditunjukkan
secara deskriptif yang dapat dilihat dari skor rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 80,18%.
Namun dari keempat indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik ternyata terdapat dua indikator yang memilki skor di bawah 80%
yaitu; integrasi informasi keuangan yang memadai dengan skor 76,04% dan indikator
informasi akuntansi yang dipercaya dengan skor 78,50%. Berdasarkan kondisi ini
diharapkan SKPD yang ada di Kota Medan perlu meningkatkan lagi integrasi informasi
keuangan yang memadai dengan cara lebih memperhatikan pengelolaan dokumen secara
sistematis di setiap bagian yang ada, membuat standar tunggal yang lebih ketat di dalam
mengintegrasikan informasi antar bagian, memberikan perhatian lebih dalam menjembatani
informasi antar bagian. Selain itu juga dalam meningkatkan hasil informasi akuntansi yang
dipercaya dapat dilakukan dengan cara selalu menggunakan standar akuntansi disetiap
praktek akuntansi yang ada di dalam SKPD, dan lebih mempertimbangkan proses yang ada di
dalam maupun dari luar SKPD dalam menghasilkan informasi akuntansi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hanpuwadal, Nupakorn
dan Ussahawanitchakit, Phapruke (2010) yang menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi. Selain itu Hauriasi Abrahan dan Davey,
Howard (2009) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa terdapat pengaruh budaya
terhadap praktik akuntansi di Kepulauan Solomon.Selanjutnya Stephen B. Salter dan
Frederick Niswander (1995) menyatakan bahwa praktik pelaporan keuangan secara aktual di
pengaruhi oleh budaya. Selain itu penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh S. J. GRAY1988; Jeremy F. Dent 1991; Iraj Noravesh, Zahra Dianati
Dilami, Mohammad S.Bazaz 2007;George T. Tsakumis 2007;Cingdem Solas and Sinan
Ahyan 2008, yang secara tersirat menyatakan bahwa praktik akuntansi dipengaruhi oleh
budaya organisasi atau perusahaan.

4.2.3. Pengaruh Kompetensi Aparatur Daerah terhadap Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor Publik.

Hasil pengujian pengaruh kompetensi aparatur daerah terhadap efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik menunjukkan nilai t hitung (2,036) > t tabel (2,009), maka pada
tingkat kekeliruan 5% (=0,05) diputuskan untuk menolak H
0
dan menerima H
1
. Hal ini
berarti kompetensi aparatur daerah berpengaruh signifikan terhadap efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik pada SKPD di Kota Medan.Besaran pengaruh kompetensi aparatur
daerah terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik adalah 10,2%. Besaran ini
termasuk ke dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi
memberikan kontribusi yang kurang mampu dalam meningkatkan efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik sehingga belum mampu mencapai tingkat maksimal yang diharapkan.
Kurang optimalnya besaran pengaruh kompetensi aparatur daerah terhadap efektivitas
penerapan akuntansi sektor publik didasarkan dari hasil analisis deskriptif yang
menunjukkan hasil yang belum maksimal. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa skor
rata-rata kompetensi aparatur daerah masuk pada kategori baik yaitu dengan skor 81,96%.
Namun walaupun rata-rata skor ini tinggi ternyata salah satu indikator kompetensi aparatur
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

150

daerah memiliki skor di bawah 80% yaitu mengenai indikator pengalaman yang memiliki
skor 75,23%. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh aparatur daerah di
SKPD Kota Medan masih kurang optimal sehingga masih perlu ditingkatkan lagi. Kondisi ini
menyebabkan kurang optimalnya kontribusi yang diberikan terhadap peningkatan efektivitas
penerapan akuntansi sektor publik. Dari hasil temuan juga menunjukkan bahwa efektivitas
penerapan akuntansi sektor publik secara umum termasuk dalam kategori baik. Hal ini dapat
ditunjukkan dari skor rata-rata analisis deskriptif yaitu sebesar 80,18%. Namun dari keempat
indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas penerapan akuntansi sektor publik
ternyata terdapat dua indikator yang memilki skor di bawah 80% yaitu; integrasi informasi
keuangan yang memadai dengan skor 76,04% dan indikator informasi akuntansi yang
dipercaya dengan skor 78,50%. Berdasarkan kondisi ini diharapkan SKPD yang ada di Kota
Medan perlu meningkatkan lagi integrasi informasi keuangan yang memadai dan dapat
memberikan informasi akuntansi yang dapat dipercaya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hanpuwadal, Nupakorn
dan Ussahawanitchakit, Phapruke (2010) yang menyatakan bahwa kompetensi khususunya
kompetensi dari akuntan dapat mempengaruhi efektivitas penerapan akuntansi. Selain itu
juga Gregory (2008) dalam penelitiannya menyatakan pengetahuan dan keterampilan akuntan
berarti apa yang akuntan perlukan untuk mengetahui di dalam rangka melakukan peran
kompeten mereka. Selanjutnya Fowler (1999) menyatakan pengetahuan akuntan adalah
kemampuan akuntan untuk mengoperasikan akuntansi yang memberikan nilai informasi
untuk mencapai tujuan organisasi.

4.2.4. Pengaruh Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik Terhadap Good
Governance

Hasil pengujian pengaruh efektivitas penerapan akuntansi sektor publik terhadap good
governance menunjukkan nilai t hitung (3,973) > t tabel (2,009), maka pada tingkat
kekeliruan 5% (=0,05) diputuskan untuk menolak H
0
dan menerima H
1
. Hal ini berarti
efektivitas penerapan akuntansi sektor publik berpengaruh signifikan terhadap good
governance pada SKPD di Kota Medan.
Dari hasil pengujian statistik juga didapat nilai koefisien determinasi R
2
sebesar
0,233.Nilai ini menunjukkan besarnya variasi variabel good governanceyang dapat
dijelaskan oleh efektivitas penerapan akuntansi sektor publik sebesar 23,3 %,. Sedangkan
sisanya sebesar 76,7 % dijelaskan variabel lain yang tidak terdapat dalam model penelitian.
Pengaruh variabel ini dapat dikategorikan sedang. Nilai koefisien determinasi (R
2
) ini
menunjukkan bahwa efektivitas penerapan akuntansi sektor publik kurang mampu
mempengaruhi good governancepada SKPD yang ada di Kota Medan.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa efektivitas penerapan akuntansi sektor
publik pada SKPD di Kota Medan sudah sangat baik, namun ada beberapa indikator yang
perlu ditingkatkan lagi sehingga penerapan akuntansi sektor publik dapat berjalan lebih
efektif lagi. Sedangkan temuan dilapangan menunjukkan good governance pada SKPD di
Kota Medan juga menunjukkan kondisi yang sangat baik. Hal ini dapat di lihat dari hasil
statistik deskriftif yang memiliki skor rata-rata 82,72%. Walaupun rata-rata skor ini tinggi
namun ternyata salah satu indikator good governance memiliki skor di bawah 80% yaitu
indikator mengenai transparansi yang memiliki skor 79,64%. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa transparansi pada SKPD di Kota masih perlu di tingkatkan lagi, sehingga transparansi
pada SKPD di Kota Medan dapat berjalan sesuai dengan harapan.
Berdasarkan hasil pengolahan data dihasilkan bahwa pengaruh variabel efektivitas
penerapan akuntansi sektor publik terhadap good governance tergolong sedang, yaitu hanya
23,3%. Kondisi ini dapat terjadi karena efektivitas penerapan akuntansi sektor publik hanya
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

151

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi good governance, sedangkan faktor
yang dapat mempengaruhi good governance cukup banyak, sedangkan faktor-faktor itu tidak
diteliti dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian RichardG.Sloan (2001) yang
menyatakan bahwa akuntansi keuangan adalah bahan utama dalam proses governance.
Selanjutnya Mardiasmo (2002) yang menyatakangood governance dan akuntansi sektor
publik memiliki hubungan yang kuat, dimana akuntansi sektor publik sebagai alat untuk
melakukan elaborasi good governanance ke tatanan yang lebih riil.Begitu pula dengan Shil,
N. C.(2008), Vijay Kelkar (2009),dan Urif Santoso dan Yohanes (2008) yang secara tersirat
menyatakan bahwa penerapan akuntansi dapat mempengaruhi good governance.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya , maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Budaya Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi
Sektor Publik. Besaran pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas penerapan
akuntansi sektor publik termasuk ke dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan
bahwa budaya organisasi cukup memberikan kontribusi dalam meningkatkan
efektivitas penerapan akuntansi sektor publik namun belum mencapai tingkat
maksimal yang diharapkan.
2. Kompetensi Aparatur Daerah berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan
Akuntansi Sektor Publik. Besaran pengaruh kompetensi aparatur daerah terhadap
efektivitas penerapan akuntansi sektor publik termasuk ke dalam kategori rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa Kompetensi Aparatur Daerah kurang mampu memberikan
kontribusi dalam meningkatkan efektivitas penerapan akuntansi sektor publik
sehingga belum mampu mencapai tingkat maksimal yang diharapkan.
3. Budaya Organisasi dan Kompetensi Aparatur Daerah secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik. Besarnya variasi
dari variabel efektivitas penerapan akuntansi sektor publik yang dapat dijelaskan oleh
budaya organisasi dan kompetensi aparatur daerah adalah sebesar 39,2 %, sedangkan
sisanya sebesar 60,8 % dijelaskan atau merupakan kontribusi variabel lain tetapi tidak
terdapat dalam model penelitian ini. Pengaruh variabel ini dapat dikategorikan
sedang. Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dan
kompetensi aparatur daerah secara bersama-sama cukup mampu mempengaruhi
efektivitas penerapan akuntansi sektor publik pada SKPD yang ada di Kota Medan.
4. Efektifitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh signifikan terhadap Good
Governance. Namun, efektivitas penerapan akuntansi sektor publik kurang mampu
mempengaruhi good governancepada SKPD yang ada di Kota Medan.
5.2. Saran
Berdasarkan uraian di atas maka saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi SKPD yang ada di Kota Medan sebaiknya tetap mempertahankan budaya
organisasi, selain diperlukan peningkatan kompetensi aparatur daerah melalui
peningkatan pengalaman dengan memperbanyak pemberian pendidikan dan pelatihan,
serta memperbanyak kesempatan untuk mengikuti seminar-seminar ataupun workshop
yang berkaitan dengan akuntansi. Diperlukan juga integrasi informasi keuangan yang
memadai dengan cara lebih memperhatikan pengelolaan dokumen secara sistematis.
SKPD Kota Medan sebaiknya lebih terbuka kepada publik.
2. Bagi peneliti berikutnya, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat pengaruh dari
variabel lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

152

DAFTAR PUSTAKA

American Institute of Certificated Public Accountants (AICPA), Statement Accounting
Board, New York, Oktober 1970.
Ali Masykur Musa ,2009, Hampir 90% SKPD Belum Bisa Buat Laporan Keuangan, kuliah
umum mengenal BPK-RI dan pemeriksaan berperspektif lingkungan di aula FE USU,
Jumat (15/1/2009), Sumber : Harian Global, Selasa 16 Januari 2009
Alan D. Morrison dan William J. Wilhelm, Jr. (2004) Culture, Competence, and the
Corporation, JEL CLASSIFICATION: J24, L20, M14, M53, O33 , First Version:
October 2004
Anwar Nasution ,2009,Benang Kusut Laporan Keuangan Daerah, Majalah Akuntan
Indonesia, Mitra Dalam Perubahan, Edisi. No.18/Tahun III/ Juli 2009, hal 17-20
Arvanitidou Virginia, Konstantinidou Eleni, Papadopoulos Dimitrios, Xanthi Chrysoula,
2007, The role of financial accounting information in strengthening corporate control
mechanisms to alleviate corporate corruption, university of macedonia, greece
Asian Development Bank,1999,Governance : Sound Development Management, hal 7 -13
Arikunto,Suharsimi,2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta. Rineka
Cipta.
Bastian, Indra., 2006, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar, Jakarta ,Penerbit Erlangga.
BPK, 2010, Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2010 Melalui penguatan SPIP
sesuai amanat PP 60/2008
BPKP , 2010, Pengawalan BPKP terhadap RKP 2009 dan 2010
BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara,(2009), Penyimpangan Anggaran di Sumut
Mencapai Rp. 57,3 Miliar : Anggaran Panwaslih Pilgubsu Rp. 62,3 Miliar Belum
Dipertanggung Jawabkan, Analisa, Kamis 30 April 2009, 20 April 211 , di download
20 april 2011
Bonson, E., Cortijo, V., and Escobar, T., 2009, "Towards the global adoption of XBRL using
International Financial Reporting Standards (IFRS)", International journal of
Accounting Information Systems, Vol.10, pp. 46-60.
Carlos Batista, 2003,ICTs and Good Governance:The Contribution of Information and
Communication Technologies to Local Governance in Latin America, NP - Ncleo de
Pesquisa em Polticas Pblicas Universidade de Brasilia, Brazil , January, 2003,
Daeng M.Nazir kepala Direktorat Utama Revbang Diklat BPK ,2009, Kualitas Laporan
Keuangan Daerah Makin Buruk, Workshop Pemaparan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
BPK Semester II tahun 2008, di kantor BPK, Jakarta, Selasa (28/4).
Deshpande, R., J.U. Farley & F.E. Webster ,1993, Corporate culture, customer
orientation, and innovativeness in Japanese firms: A quadrad analysis,Journal of
Marketing, Vol. 57, pp. 23-27
Enceng, LiestyodonoBI, dan Purwaningdyah MW, 2008,Meningkatkan Kompetensi Aparatur
Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Good Governance,Jurnal Kebijakan dan
Manajemen PNS,Vo. 2 No. 1, Juni 2008
Eugene A.Imhoff,Jr, 2003, Accounting Quality, Auditing, and Gorporate Governance.
Accounting Horizons, Supplement, pp 117-128
Fowler, Carolyn J.,1999,"The management accountant's role in quality management: A
Queensland perspective", International Journal of Applied Quality Management. 2(1):
41-57.
Ghazali, Imam, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Cetakan
Keempat, Semarang, Penerbit Universitas Diponegoro.
Gregory, A., 2008 "Competencies of senior communication practitioners in the UK: An
initial study", Public Relations Review, Vol.34, 215-223.
Glynn, J.J., 1993, Public Sector Financial Control and Accounting, 2
nd
Ed., Oxford: Blackwell.
George T. Tsakumis ,2007, The Influence of Culture on AccountantsApplication of Financial
Reporting Rules, ABACUS, Vol. 43, No. 1, 2007, doi: 10.1111/j.1467-
6281.2007.00216.xJournal compilation 2007 Accounting Foundation, The University
of Sydney
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

153

Governmental Accounting Standards Boards (GASB), 1999, Concepts Statement No. 1:
Objectives of Financial Reporting in Governmental Accounting Standards Boards Series
Statement No. 34: Basic Financial Statement and Management Discussion and Analysis for
State and Local Government, Norwalk.
Hakansson, H. and Lind, J., 2004, "Accounting and network coordination", Accounting
Organizations and Society, Vol.29, pp.51-72.
Hanpuwadal, Nupakorn and Ussahawanitchakit, Phapruke, 2010,Accounting practice
effectiveness and financial performance of Thai listed firms: mediating effects of
decision making efficiency for tax management, competent resource allocation, and
strategic planning success, European Journal of Management Jan, 2010 Source
Volume: 10 Source Issue: 1
Hashem Nejad, H. Sajady, and M.Dastgir and, 2008,Evaluation Of The Efectiveness of
Accounting Information System , International Journal of Information Science and
Technology, Volume 6 no. 2, Juli/December 2008
Hauriasi Abrahan dan Davey, Howard ,2009, Accounting and culture: The case of Solomon
Islands.Pacifis Accounting Review, 21(3) p. 228-259. Publisher
Emerald;http://www.emeraldinsight.com/journsl.htm?articleid=1826923&show=html
Huang, K. T., Lee, Y.W., & Wang, R.Y.,1999, Quality Information and Knowledge: Pentice
Hall PTR Upper Saddle River, NJ, USA
International Federation of Accountants (IFAC), 2003, Handbook of International Public
Sector Accounting Standards
International Federation of Accountants, 2000, Preface to International Public Sector Accounting
Standards, New York.
Iraj Noravesh, Zahra Dianati Dilami, Mohammad S.Bazaz ,2007, The impact of culture on
accounting: does Gray's model apply to Iran?, 2007, Review of Accounting and
Finance, Vol. 6 Iss: 3, pp.254 272, publisher Emerald Group Publishing Limited
Jane Fedoworicz and Yang W. Lee ,1999, Accounting Information Quality ,The Review of
Accounting Information System Volume 3 No.1
Jeremy F. Dent ,1991, Accounting and organizational cultures: A field study of the emergence of a
new organizational reality,Accounting, Organizations and Society, Volume 16, Issue 8,
1991, Pages 705-732
Jones,Gareth R., 2004, Organizational Theory, Design and Change , Pearson
Education,Inc.,Upper Saddle River,New Jersey,07458.
Keith Kefgen and Manav Thadani, 2003, Corporate Governance and Organizational
Culture, Ambika Mehta, Nov 4, 2003, http://www.hvs.com/article/658/corporate-
governance-and-organizational-culture/, di download tgl 7 nopember 2011
Local Governance Forum ,2002,Introducing Good Local Governance The Indonesia, A
Related Event in Conjunction with The Fourth Preparatory Committee Meeting For the
World Summit on Sustainable Development Denpasar, Bali, 3-4 June 2002
Mardiasmo ,2007,Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah Masih Dihadapi Beberapa
Kesulitan, Jurnal Otonomi Daerah. Vol VII No 2 Juni-Juli 2007
Mardiasmo,2006,Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi
Sektor Publik:Suatu Sarana Good Governance Jurnal Akuntansi PemerintahVol. 2,
No. 1, Mei 2006 Hal 1 17











Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

154

PRO DAN KONTRA PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Dian Lestari Siregar
Reti Anggraeni
Retno Andrini
Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Abstract
Rapid population growth makes Indonesia as a country with the fourth largest
population in the world. In the study of Kuznets (1967) showed that there is a positive
correlation between population growth and per capita income growth among some groups in
some countries. While Joshi and Schultz (2007) and Schultz (2009) in his research show that
the decline in birth rates had a positive impact on the level of income and health, particularly
for women and children. Zhang (2009) and Miller (2010) found that the decline in the birth
rate has a positive effect on improving the quality of education. This study use secondary
data on GDP per capita, population and government capital expenditure to identify pro-
population growth in Indonesia and use the data to identify the unemployed and HDI counter
population growth. The methodology is Pooled Least Squares from 2001 to 2010 on the
islands throughout Indonesia, Sumatra; Java and Bali; Kalimantan; Sulawesi; and Papua,
Nusa Tenggara and Maluku. The results from this study are population growth increases
economic growth in Indonesia increasing output and productivity countries.

Keywords: Economic growth, pro and contra rapid population

1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk dunia menunjukkan trend peningkatan yang sangat pesat.
Data survei resmi United Nation dalam The 2010 Revision 1, mengestimasi bahwa jumlah
penduduk dunia akan mencapai 7 miliar di akhir tahun 2011. Dapat dikatakan bahwa jumlah
penduduk dunia meningkat lebih dari dua kali lipat dari 2,53 miliar sejak tahun 1950. Lebih
lanjut, United Nation memperkirakan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2050 akan menjadi
9 miliar dan 10 miliar pada tahun 2100. Tambahan tiga miliar penduduk hingga tahun 2100
akan meningkatkan jumlah penduduk di negara berkembang, atau diprediksi akan meningkat
dari 5,7 miliar pada tahun 2011 menjadi 8 miliar pada tahun 2050 dan 8,8 miliar pada tahun
2100. Di lain pihak, populasi di negara maju diperkirakan akan meningkat lebih sedikit dari
negara berkembang yaitu: 1,24 miliar pada tahun 2011 menjadi 1,34 miliar pada tahun 2100.












Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

155

Gambar 1
Populasi Dunia Tahun 1950-2011 dan Proyeksi Tahun 2012-2050


Sumber: United Nation Population Division (2011)

BKKBN mencatat Indonesia menduduki peringkat ke empat untuk negara berpopulasi
terbesar setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Tahun 2010 populasinya mencapai 237,6
juta jiwa, maka diperkirakan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,49% per tahun.
Artinya populasi tahunan terus tumbuh sebesar 3,5 - 4 juta jiwa.
Pada gambar berikut menyajikan data mengenai piramida populasi di Indonesia
beserta proyeksinya pada tahun 2020. Pada tahun 2000, penduduk Indonesia tertinggi berada
pada kelompok umur 0 60 tahun, sedangkan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia
tertinggi berada pada kelompok umur 10 65 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pada
tahun 2020, semakin sedikit jumlah penduduk usia muda (0-15 tahun).

Gambar 2
Piramida Populasi di Indonesia tahun 2000 - 2020

Sumber: UNDP World Population Prospects (2008)

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

156

Jika diperhatikan lebih seksama, piramida populasi Indonesia pada tahun 2020
menunjukkan pergeseran demografi, dimana terjadi penurunan proporsi penduduk usia muda
dan usia lanjut, sementara proporsi usia menengah mengalami peningkatan. Kondisi ini dapat
dikatakan sebagai bonus demografi dimana Indonesia pada tahun 2020 akan mengalami
ledakan usia produktif yang tentunya akan memengaruhi produktivitas ekonomi negara ini.
Gambar 3
Masterplan Ekonomi Indonesia

Sumber: Komite Ekonomi Nasional (KEN)

Gambar 4
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sumber: Komite Ekonomi Nasional (KEN)

Berdasarkan kedua gambar diatas, dengan pertambahan penduduk yang semakin
meningkat, menurut Ketua KEN Indonesia, Chairul Tanjung, perekonomian di Indonesia juga
akan semakin tumbuh dengan cepat. Pada Gambar 3, GDP meningkat seiring dengan
meningkatnya populasi di Indonesia.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

157

Pertumbuhan penduduk khususnya pada usia produktif terhadap perekonomian suatu
negara telah menjadi perdebatan yang cukup lama diantara para ekonom. Selalu ada pro dan
kontra terhadap pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap perekonomian. Beberapa ekonom
yang berpandangan positif menganggap bahwa pertumbuhan penduduk dapat meningkatkan
produktivitas serta konsumsi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara
ekonom yang kontra terhadap pandangan tersebut berpandangan bahwa pertumbuhan
penduduk akan menambah beban negara khususnya dalam menyediakan lapangan pekerjaan
serta pelayanan publik yang justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Pendapat awal yang paling terkenal dalam menganalisis hubungan antara
pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh Kuznet (1967). Dalam
penelitiannnya, ia menemukan adanya korelasi positif antara pertumbuhan populasi dengan
pertumbuhan pendapatan perkapita antar beberapa kelompok negara yang berbeda. Hasil
penelitian ini kemudian menginspirasi peneliti-peneliti lainnya yang mendapat hasil hampir
serupa seperti Kelley (1988), Barro (1991), Mankiw, Romer, dan Weil (1992), serta Bloom
dan Canning (2008). Para peneliti ini kebanyakan mendasarkan penelitiannya pada model
pertumbuhan Solow serta meregres pertumbuhan penduduk usia produktif (jumlah angkatan
kerja) terhadap peningkatan pendapatan per kapita yang menghasilkan korelasi positif.
Michael Kremer memberikan dukungan pada pertumbuhan penduduk yang tinggi
dalam artikel yang berjudul Population Growth and Technological Change: One Million
B.C. to 1990, pada tahun 1993. Kremer memulai analisisnya dengan berpendapat bahwa
sepanjang sejarah manusia, pertumbuhan dunia berkembang seiring peningkatan
pertumbuhan penduduk. Contohnya adalah ketika pertumbuhan dunia lebih cepat pada saat
jumlah penduduk berjumlah 1 miliar (pada tahun 1800), dibandingkan dengan ketika jumlah
penduduk hanya berjumlah 100 juta (tahun 500 SM). Oleh karena itu, Kremer menarik
kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah penduduk maka semakin cepat tingkat kemajuan
teknologi, atau dengan kata lain jumlah penduduk yang besar menjadi syarat terjadinya
kemajuan teknologi. Kelemahan hasil penelitian ini adalah alpa memasukkan variabel-
variabel instrumental (instrument variables), seperti tingkat kesehatan atau partisipasi tenaga
kerja wanita yang cukup menjadi permasalahan identifikasi model, dan memengaruhi
signifikansi dari hasil penelitian yang diperoleh.
Sementara itu di sisi lain, Malthus (1978) menyatakan bahwa populasi akan tumbuh
secara eksponensial, sedangkan produksi makanan meningkat secara linear. Sehingga pada
titik tertentu akan terjadi krisis pangan.
Gambar 5
Malthusians Curve

Sumber: Malthus (1978)

Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

158

Point penting dari ilustrasi diatas adalah, dalam kondisi sumber daya yang jumlahnya
tetap, pertumbuhan populasi akan mempengaruhi konsumsi secara langsung. Sebagai
konsekuensi dari hukum diminishing marginal return, produktivitas tenaga kerja akan
berkurang seiring dengan penambahan tiap satu orang tenaga kerja, sementara input produksi
lainnya bersifat tetap. Hal ini berarti pendapatan per kapita akan cenderung konstan.
Fenomena populasi yang semakin besar memberikan dampak yang cukup luas yang
lebih condong kearah negatif. Populasi dinilai sebagai sebuah ancaman yang cukup besar,
yang mampu mendatangkan berbagai permasalahan seperti permasalahan lingkungan. Bila
populasi bertahan pada taraf ideal, keseimbangan antar lingkungan dan generasi populasi
mampu tercapai. Tapi kenyataannya, populasi tumbuh lebih pesat dari pada kemampuan
bumi dan lingkungan dalam hal menghasilkan sumber daya yang ada. Pada akhirnya,
kemampuan bumi akan terlampaui dan berimbas pada kualitas hidup manusia yang rendah.
Seiring dengan peningkatan penduduk, eksploitasi sumber daya alam semakin besar.
Worlds Resources Institute mencatat, Indonesia kehilangan 72% hutan alam yang areal
hutannya menurun rata-rata 3,4 juta hektar pertahun.
Tekanan populasi, keterbatasan sumber daya, pertumbuhan ekonomi telah berdampak
pada permasalahan lingkungan seperti deforestasi, sanitasi, kelangkaan air bersih, sampah,
krisis energi, polusi air, udara, dan tanah. Air bersih terkontaminasi oleh limbah industri dan
sampah rumah tangga yang langsung dibuang ke sumber air. Banyak sungai di Asia yang
terkontaminasi oleh polutan seperti nitrogen, fosfor, bakteri patogen, dan residu pestisida.
Polusi udara juga menjadi masalah yang sangat serius akibat emisi dari industri, rumah
tangga, dan kendaraan bermotor telah melebihi kemampuan alami kota untuk mengembalikan
emisi ke tingkat yang tidak berbahaya bagi kesehatan (Brennan, 1999).
Para ekonom yang berpandangan kontra terhadap pertumbuhan penduduk dengan
perekonomian, seringkali menggunakan pendekatan mikro dalam studi mereka. Misalnya,
Joshi dan Schultz (2007) serta Schultz (2009), menemukan penurunan angka kelahiran
berdampak positif terhadap tingkat pendapatan dan kesehatan, khususnya bagi perempuan
dan anak-anak. Zhang (2009) serta Miller (2010) menemukan bahwa penurunan tingkat
kelahiran berpengaruh positif pada peningkatan kualitas pendidikan dan tingkat independensi
perempuan. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan korelasi yang positif antara
penurunan angka kelahiran dengan tingkat pertisipasi tenaga kerja.
Populasi yang tumbuh dengan cepat tanpa diimbangi oleh lapangan pekerjaan,
sementara pasar sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia pada akhirnya
melahirkan pengangguran. Hal itu sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, yang
semakin diperparah oleh adanya pemusatan-pemusatan lapangan pekerjaan di daerah
perkotaan. Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang modern menekankan pada pengaruh
pertumbuhan penduduk terhadap akumulasi modal. Jika pertumbuhan populasi tinggi akan
mengurangi angka PDB per tenaga kerja. Dengan kata lain, semakin cepat populasi tumbuh
maka semakin rendah modal bagi masing-masing tenaga kerja. Modal yang lebih kecil per
tenaga kerja akan menyebabkan tingkat produktivitas dan PDB per tenaga kerja yang lebih
rendah. Di negara-negara berkembang, pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan
jumlah anak usia sekolah semakin besar sehingga menjadi beban terhadap pendidikan. Oleh
karena itu, tingkat pencapaian pendidikan cenderung rendah di negara-negara berkembang.
Masih terbatasnya literatur yang membahas mengenai pengaruh peningkatan
penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi daya tarik dilakukannya
penelitian ini. Berbagai penelitian yang telah dilakukan di negara lain, serta hasil yang
menunjukkan perdebatan antar para ekonom juga telah ikut melatarbelakangi penelitian
dampak populasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

159

2. Identifikasi Masalah
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat
pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 1,49% atau sekitar 3,5 4 juta jiwa tiap
tahunnya. Sementara UNDP memproyeksi adanya perubahan struktur usia penduduk di
Indonesia dari tahun 2000 ke 2020 dimana pada 2020 mendatang penduduk Indonesia akan
didominasi oleh penduduk usia produktif. Indonesia akan memiliki lebih banyak angkatan
kerja yang tentunya secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan lapangan pekerjaan.
Berbagai penelitian menunjukkan pendapat yang berbeda-beda mengenai dampak
pertumbuhan penduduk terhadap perekonomian. Sebagian berpendapat bahwa peningkatan
jumlah penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas
dan konsumsi. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk hanya
akan menambah beban negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan serta fasilitas publik
seperti kesehatan dan pendidikan. Terlebih lagi, meningkatnya populasi seringkali berkorelasi
positif dengan degradasi lingkungan yang akan mendatangkan lebih banyak permasalahan.
Mengingat cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Indonesia, penelitian mengenai
dampak pertumbuhan populasi terhadap pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan. Penelitian
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai apakah pertumbuhan
penduduk yang terjadi di Indonesia sebenarnya memberikan dampak yang positif atau negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi negara, sehingga dapat memberikan arahan bagi penentuan
kebijakan pemerintah dalam hal pengendalian penduduk di Indonesia.

3. Metodologi Penelitian
Dalam menganalisis pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesia, kami menggunakan metode Pooled Least Squares berdasarkan data
time series dari tahun 2001 2010 dan cross section di pulau-pulau seluruh Indonesia yaitu
Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, Nusa Tenggara dan Maluku.
Variabel-variabel yang kami gunakan dalam penelitian ini antara lain :
a) PDB per kapita; b) Jumlah Penduduk; c) Belanja Modal Pemerintah

4. Hasil Penelitian
4.1. Pro Pertumbuhan Penduduk
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dikarenakan semakin meningkatnya populasi
maka semakin meningkatnya konsumsi masyarakat.
Gambar 6
Total GDP dan Pengeluaran Konsumsi Tahun 1960 - 2010


Sumber: Asian Development Bank (ADB)
$-
$50.000.000.000
$100.000.000.000
$150.000.000.000
$200.000.000.000
$250.000.000.000
$300.000.000.000
1
9
6
0
1
9
6
5
1
9
7
0
1
9
7
5
1
9
8
0
1
9
8
5
1
9
9
0
1
9
9
5
2
0
0
0
2
0
0
5
2
0
1
0
$

Tahun
Konsumsi
GDP
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

160

Pada Tabel 1 menunjukkan hasil estimasi bahwa Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) dipengaruhi oleh jumlah penduduk di setiap pulau di Indonesia secara
signifikan. Jumlah penduduk yang tinggi menandakan bahwa terdapat banyak penduduk yang
akan mengkonsumsi barang dan jasa. Tingginya jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat Indonesia mempengaruhi PDRB di setiap pulau. Oleh karena itu, pertumbuhan
ekonomi di setiap pulau di Indonesia masih dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat
Indonesia yang padat penduduk. Sehingga tingginya jumlah penduduk di Indonesia dapat
menopang perekonomian Indonesia.
Tabel 1
Hasil Estimasi
Variabel Dependen : PDRB
Variabel Independen Coefficient t-statistika Prob
C -2.90E+08 -1.79853 0.0794
Populasi 13.80138 3.522274 0.0010
Belanja_Pemerintah 13.75804 2.442598 0.0188
R-Squared 0.984272

F-Statistic 448.495

DW-Stat 0.582949

Sumber : pengolahan data oleh penulis

Tabel 2
Intersep Hasil Regresi
Fixed Effects (Cross)
Jawa -5.35E+08
Kalimantan 2.55E+08
Sulawesi 1.42E+08
Sumatera -1173776
Papua 1.40E+08
Sumber : pengolahan data oleh penulis

4.2. Kontra Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk Indonesia menyisakan berbagai persoalan. Pada Gambar 7
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pengangguran selama 10 tahun yaitu daari tahun
1996 2006. Selain itu Gambar 7 juga menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
yang ada di 5 pulau di Indonesia menurun. Dengan melihat kedua komponen tersebut, maka
diketahui bahwa pertumbuhan penduduk yang meningkat tidak disertai meningkatnya
pertumbuhan lapangan kerja yang menimbulkan pengangguran. Pemerintah tidak
menyiapkan pendidikan, kesehatan serta fasilitas yang mendukung bagi pertambahan
penduduk. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk di Indonesia harus diatur oleh pemerintah
agar pertumbuhan penduduk seiring dengan pertumbuhan fasilitas serta lapangna kerja.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

161

Gambar 7

Sumber : Asian Development Bank (ADB)

Gambar 8
Pertumbuhan IPM

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

5. Kesimpulan

1. Pertumbuhan penduduk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sehingga
meningkatkan output serta produktivitas negara.
2. Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat di Indonesia,yg tidak diiringi oleh fasilitas
yang disediakan oleh pemerintah menjadikan kualitas penduduk menurun.
3. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk Indonesia yang terkontrol akan berdampak
positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

0
2
4
6
8
10
12
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pengangguran
Pengangguran
0
0,002
0,004
0,006
0,008
0,01
0,012
0,014
2005 2006 2007 2008 2009
P
e
r
t
u
m
b
u
h
a
n


Tahun
Sumatera
Jawa dan Bali
Kalimantan
Sulawesi
Papua
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

162

Daftar Pustaka

Ashraf, Q. H., Weil, D. N., & Wilde, J. (2012). The effect of fertility reduction on economic
growth.
Barro, R. J. (1991). Economic growth in a cross section countries. Quarterly Journal of
Economics , 106 (2) : 407-443.
Bloom, D. E., & Canning, D. (2009). Fertility, female labor participation, and the
demographic dividend. Journal of Economic Growth , 14(2) : 79-101.
Joshi, S., & Schultz, T. P. (2007). Family planning as an investment in development :
Evaluation of a program's consequences in Matlab, Bangladesh. IZA Discussion
Paper 2639. Institute for The Study of Labor.
Kelley, A. C. (1998). Economic consequences of population change in the Third World.
Journal of Economic Literature , 26(4) : 1685-1728.
Kuznetz, S. (1967). Population and economic growth. Proceedings of American
Philosophical Society , 111(3) : 170-193.
Malthus, T. R. (1978). An essay of the principle of population. Oxford University Press.
Miller, G. (2010). Contraception as development? New evidence of family planning in
Columbia. Economic Journal , 120(545) ; 709-736.
































Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

163

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota
di Jawa Barat 2006-2009
Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, Jacobus Cliff Diky Rijoly
Magister Ilmu Ekonomi Fakultas
Universitas Padjadjaran

Abstrak
Dengan tingkat permasalahan kemiskinan yang tinggi di Jawa Barat menjadikan sebuah
pertanyaan besar mengapa hal tersebut dapat terjadi. Hal yang paling mempengaruhi
tingkat kemiskinan di Jawa Barat adalah tingkat pengangguran yang tetap cukup tinggi di
Jawa Barat. Dengan tingkat pengangguran yang tinggi akan menyebabkan rendahnya
tingkat pendapatan masyarakat yang ada di Jawa Barat. Ada beberapa hal yang
mempengaruhi tingkat pengangguran di Jawa Barat. Salah satu hal yang paling yang
mempengaruhi tingkat pengangguran tersebut adalah berapa besar tingkat penyerapan
tenaga kerja dari setiap sektor atau lapangan pekerjaan utama di Jawa Barat. Penelitian ini
meneliti bagaimana pengaruh beberapa lapangan pekerjaan utama terhadap pengurangan
tingkat pengangguran seperti lapangan pekerjaan pertanian, industri manufaktur dan
perdagangan. Penelitian dilakukan dengan cara Fixed Effect Model yang menunjukkan
bahwa tingkat lapangan pekerjaan utama yaitu pertanian, industri manufaktur, dan
perdagangan memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat pengangguran di Jawa Barat
atau dengan kata lain dengan meningkatnya atau meluasnya lapangan pekerjaan pertanian,
industri manufaktur, dan perdagangan akan mengurangi jumlah pengangguran di Jawa
Barat.

Keywords: Kemiskinan, Pengangguran, Fixed Effect Models

Pendahuluan
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar yakni 43.021.826 jiwa (BPS Jawa
Barat 2010), pastilah Jawa Barat tidak lepas dengan berbagai permasalahan seperti masalah
sanitasi,masalah kesehatan, masalah pendidikan, masalah pemerataan pendapatan, masalah
kemiskinan, masalah pengangguran , dan banyak masalah kependudukan lainnya. Masalah
pengangguran merupakan masalah yang sangat krusial karena berdampak besar dan dapat
menjadi pemacu atau penyebab terjadinya masalah yang lain di penduduk Jawa Barat.
Dengan tingginya tingkat pengangguran akan menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat
Jawa Barat yang rendah dan hal ini akan mendorong rendahnya tingkat pendidikan dan
tingkat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data BPS Jawa Barat 2010, Jawa Barat memiliki
4.852.520 jiwa masyarakat miskin dan tingkat pengangguran yang tinggi adalah salah satu
penyebab dari tingkat kemiskinan tersebut.
Pada tahun 2010, Jawa Barat memiliki angkatan kerja sebesar 18.981.260 orang
dengan yang aktif bekerja sebanyak 16.901.430 jiwa dan sisanya adalah pengangguran
sebesar 2.079.830 (BPS Jawa Barat 2010). Jumlah pengangguran ini adalah tingkat
pengangguran yang cukup tinggi dengan persentase sekita 10 persen. Hal ini pasti mendorong
masyarakat yang menganggur akan mengalami kemiskinan dan juga akan berdampak kepada
keluarga yang mereka topang. Tingkat pengangguran yang tinggi tidak terjadi dengan
sendirinya. Ada begitu banyak hal yang bisa menyebabkan tingkat pengangguran di suatu
daerah tidak menurun atau malah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Dan tentu saja
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

164

hal ini pasti memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Tingkat pengangguran yang
terjadi di Jawa Barat tidak terpusat pada satu daerah saja,melainkan tersebar juga ke daerah
lain. Dan berdasarkan angkatan kerja di masing-masing kabupaten/kota tahun 2009, kota
bogor memiliki persentase tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan dengan
kabupaten/kota lain yaitu sebesar 19,04 % dari angkatan kerja kota bogor dan yang paling
rendah adalah kabupaten Ciamis dengan 6,31% dari total angkatan kerja di kabupaten
Ciamis(BPS Jawa Barat 2010).
Tingkat pengangguran yang berbeda-beda pada setiap daerah pasti disebabkan oleh
berbedanya beberapa faktor tertentu di masing-masing daerah. Tingkat populasi dan jumlah
lapangan pekerjaan yang berbeda di masing-masing kabupaten/kota pasti akan berpengaruh
terhadap jumlah masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan di daerah tersebut. Di Jawa Barat
terdapat beberapa lapangan pekerjaan utama yaitu pertanian, industri dan yang lain. Masing-
masing daerah memiliki persentase lapangan pekerjaan utama yang berbeda-beda juga. Pada
tahun 2010, Kabupaten Cianjur memiliki persentasi pertanian sebagai lapangan pekerjaan
utama sebesar 61,38% yang berarti sebanyak 61,38% angkatan kerjanya bekerja pada sektor
pertanian (BPS Jawa Barat 2010). Sementara kota Bandung merupakan daerah yang memiliki
lapangan pekerjaan utama terkecil di sektor pertanian yaitu hanya sebesar 1,47% (BPS Jawa
Barat 2010). Dengan berbedanya sektor-sektor potensial di masing-masing daerah pastinya
akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan yang tepat dengan
jumlah anggaran belanja pemerintah daerah yang tepat akan mendorong tumbuhnya lapangan
pekerjaan dan mengurangi tingkat pengangguran secara signifikan.
Teori dan Metode Penelitian
Dalam salah satu publikasinya ILO (International Labor Organization) menyatakan
bahwa "The rules of the global economy should be aimed at improving the rights, livelihoods,
security, and opportunities of people, families and communities around the world." - World
Commission on the Social Dimension of Globalization, 2004 ( ILO: A Fair Globalization:
Creating opportunities for all, Report of the World Commission on the Social Dimension of
Globalization (Geneva, 2004), p. 143)

. Artinya Organisasi ketenagakerjaan dunia ini
menginginkan agar perekonomian dunia haruslah memfokuskan diri pada pengembangan
standard hidup masyarakat yang layak melalui pemberian kesempatan bagi semua orang
untuk dapat memperoleh haknya, untuk mewujudkan hal ini (kesejahteraan) seseorang
haruslah memiliki penghasilan yang layak melalui kesempatan kerja yang bebas serta
terbuka, hal inilah yang sampai sekarang masih menjadi permasalahan utama bagi pakar-
pakar ekonomi maupun pemerintahan di seluruh dunia untuk memberikan kehidupan yang
layak bagi masyarakatnya, karena terbatasnya kesempatan kerja bagi individu atau kelompok
masyarakat tersebut. Kurangnya kesempatan kerja tersebut mengakibatkan suatu fenomena
ekonomi yang disebut dengan pengangguran (Unemployment).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Pengangguran adalah istilah untuk orang yang
tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama
seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan. Fenomena
unemployment ini juga terjadi di Indonesia, sejak merdeka hingga sekarang pemerintah
Indonesia selalu berusaha untuk mereduksi kemiskinan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.Jawa Barat sebagai Provinsi dengan
total penduduk yang besar juga mengalami permasalahan yang sama, sebagai penyokong
kawasan industri permasalahan ini menjadi tak terhindarkan dengan luas wilayah yang sangat
luas menjadikan masalah penaggguran ini sebagai fenomena tersendiri dalam pembangunan
masyarakat jawa barat. Penyebaran tingkat pengagguran di Provinsi Jawa Barat relatif tinggi
di akibatkan adanya banyak factor diantaranya rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

165

setempat serta adanya clustering industri mengakibatkan rendahnya diversivikasi jenis
industri, oleh karena itu kebanyakan jenis pekerjaan mungkin hanya terkonsentrasi pada
beberapa lapangan pekerjaan saja.

Grafik 2.1 Tingkat pengangguran Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2008-2009
Sumber : BPS Jawa Barat 2010,diolah.

Dari grafik diatas kita dapat melihat bahwa banyak sekali daerah kabupaten/kota yang
mengalami kenaikan tingkat pengangguran dari tahun 2008 ke tahun 2009. Dari grafik di atas
kita juga dapat melihat bahwa tingkat pengangguran tertinggi terdapat di Kabupaten Bogor,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, dan
hampir di semua kotamadya kecuali kota Banjar. Dan tiga daerah kabupaten/kota yang
mengalami peningkatan tingkat pengangguran hingga menyentuh 15% atau lebih adalah kota
Bogor, kota Sukabumi, dan kota Cimahi. Kecenderungan tingkat pengangguran lebih tinggi
di perkotaan dibandingkan di daerah kabupaten disebabkan adanya perpindahan masyarakat
pedesaaan ke perkotaan. Hal ini tidak didukung dengan perkembangan atau pertumbuhan
lapangan pekerjaan yang ada di perkotaan dan mengakibatkan pertumbuhan populasi lebih
cepat dibandingkan pertumbuhan lapangan pekerjaan, sehingga naiknya pengangguran.
Secara umum pengertian tenaga kerja adalah menyangkut manusia yang mampu
bekerja untuk menghasilkan barang atau jasa dan mempunyai nilai ekonomis yang
dapat berguna bagi kebutuhan masyarakat. Secara fisik kemampuan bekerja diukur
dengan usia. Orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja. Menurut Undang-
Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa, baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Di Indonesia, sejak tahun 1998 BPS
menggunakan usia 15 tahun ke atas sebagai kelompok penduduk usia kerja. Rendahnya
kesempatan kerja yang ada kemudian berimplikasi pada rendahnya pendapatan sehingga
kemudian tingkat kemiskinan masyarakat meningkat.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan data BPS Jawa Barat dari tahun 2005 hingga tahun 2009
yang terdiri atas data 25 kabupaten/kota yang terdapat di Jawa Barat. Data yang diteliti
0
5
10
15
20
K
a
b
u
p
a
t
e
n

B
o
g
o
r
K
a
b
u
p
a
t
e
n

S
u
k
a
b
u
m
i
K
a
b
u
p
a
t
e
n

C
i
a
n
j
u
r
K
a
b
u
p
a
t
e
n

B
a
n
d
u
n
g
K
a
b
u
p
a
t
e
n

G
a
r
u
t
K
a
b
u
p
a
t
e
n

K
a
b
u
p
a
t
e
n

C
i
a
m
i
s
K
a
b
u
p
a
t
e
n

K
u
n
i
n
g
a
n
K
a
b
u
p
a
t
e
n

C
i
r
e
b
o
n
K
a
b
u
p
a
t
e
n

K
a
b
u
p
a
t
e
n

S
u
m
e
d
a
n
g
K
a
b
u
p
a
t
e
n

I
n
d
r
a
m
a
y
u
K
a
b
u
p
a
t
e
n

S
u
b
a
n
g
K
a
b
u
p
a
t
e
n

K
a
b
u
p
a
t
e
n

K
a
r
a
w
a
n
g
K
a
b
u
p
a
t
e
n

B
e
k
a
s
i
K
o
t
a

B
o
g
o
r
K
o
t
a

S
u
k
a
b
u
m
i
K
o
t
a

B
a
n
d
u
n
g
K
o
t
a

C
i
r
e
b
o
n
K
o
t
a

B
e
k
a
s
i
K
o
t
a

D
e
p
o
k
K
o
t
a

C
i
m
a
h
i
K
o
t
a

T
a
s
i
k
m
a
l
a
y
a
K
o
t
a

B
a
n
j
a
r
Tingkat
Pengangguran
Tahun 2008
Tingkat
Pengangguran
Tahun 2009
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

166

meliputi data tingkat pengangguran per kabupaten/kota, tingkat populasi per kabupaten/kota,
persentase lapangan pekerjaan pertanian per kabupaten/kota, persentase lapangan pekerjaan
industri/manufaktur per kabupaten/kota dan tingkat belanja pemerintah daerah. Pengolahan
data menggunakan Fixed Effect Model. Estimasi pada model regresi data panel dengan
pendekatan fixed effect tergantung pada beberapa asumsi yang dipergunakan pada intercept,
koefisien, dan error term yang terdapat pada hasil regresi (Gujarati 2003). Asumsi dalam
fixed effect model adalah bahwa intercept dan koefisien slope dalam model adalah konstan
antar waktu dan ruang sementara error term adalah berbeda sepanjang waktu dan individu.
Model penelitian yang digunakan adalah :
TP
it
=
1
+
2
LKP
it
+
3
LPI
it
+
4
LPer
it
+
it
Dimana :
TP merupakan Tingkat Pengangguran (%)
LKP merupakan Tingkat Lapangan Kerja Utama Bidang Pertanian (%)
LPI merupakan Tingkat Lapangan Kerja Utama Bidang Industri/Manufaktur (%)
LPer merupakan Tingkat Lapangan Kerja Utama Bidang Perdagangan (%)
i merupakan unit cross section
t merupakan unit time series
Hasil Pembahasan

Berdasarkan hasil regresi melalui Fixed Effect Model didapatkan bahwa terdapat
pengaruh negatif antara berbagai lapangan pekerjaan utama dengan tingkat pengangguran di
Jawa Barat.

Dependent Variable: LOG(TP?)
Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)
Date: 04/25/13 Time: 00:39
Sample: 2006 2009
Included observations: 4
Cross-sections included: 24
Total pool (balanced) observations: 96
Linear estimation after one-step weighting matrix


Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


C 11.87192 0.335555 35.37995 0.0000
LPI? -0.017347 0.006276 -2.763871 0.0073
LPer? -0.014213 0.005351 -2.656206 0.0098
LKP? -0.006869 0.004697 -1.462680 0.1481


Dari hasil pengolahan diatas di dapatkan beberapa kesimpulan bahwa :
1. C sebesar 11,87 menjelaskan bahwa tingkat pengangguran alamiah yang terdapat di
25 kabupaten kota Jawa Barat adalah berkisar pada rata-rata 11,87 % dengan asumsi
bahwa variabel lain adalah konstan.
2. LPI sebesar -0,017 menjelaskan bahwa ketika tingkat lapangan pekerjaan bidang
industri manufaktur mengalami kenaikan 1% akan menyebabkan tingkat
pengangguran di Jawa Barat akan berkurang sebesar 0,017%,cateris paribus.
Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

167

3. LPer sebesar -0,014 menjelaskan bahwa ketika tingkat lapangan pekerjaan bidang
perdagangan mengalami kenaikan 1% akan menyebabkan tingkat pengangguran
mengalami penurunan sebesar -0,014,cateris paribus.
4. LKP sebesar -0,006 menjelaskan bahwa ketika tingkat lapangan pekerjaan bidang
pertanian mengalami kenaikan 1% akan menyebabkan tingkat pengganguran akan
mengalami penurunan sebesar -0,006, cateris paribus.
Berdasarkan hasil t-stat diatas ditunjukkan bahwa terdapat dua lapangan pekerjaan
utama yakni lapangan pekerjaan utama industri manufaktur dan perdagangan yang
berpengaruh signifikan terhadap pengurangan tingkat pengangguran di Jawa Barat sedangkan
lapangan pekerjaan utama pertanian tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan
tingkat pengangguran di Jawa Barat. Hal ini disebabkan oleh ketertarikan sebagian besar
masyarakat Jawa Barat yang berada di pedesaan untuk melakukan migrasi ke perkotaan dan
mendapat pekerjaan dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi seperti bekerja di bidang
industri/manufaktur atau perdagangan. Saat ini bidang pertanian tidak menjadi daya tarik
yang kuat bagi masyarakat Jawa Barat. Hal ini juga mendorong semakin banyaknya
pengalihan lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri di Jawa Barat.

Weighted Statistics


R-squared 0.971785 Mean dependent var 18.05899
Adjusted R-squared 0.961153 S.D. dependent var 9.160112
S.E. of regression 0.223471 Sum squared resid 3.445824
F-statistic 91.40344 Durbin-Watson stat 2.232851
Prob(F-statistic) 0.000000

Tabel diatas menunjukkan bahwa R
2
dalam model tersebut adalah sebesar 0,9717 yang
menunjukkan bahwa model tersebut dapat dijelaskan sebesar 97,17% oleh variabel-variabel
yang terdapat di dalam model sedangkan sisanya sebesar 2,83 dijelaskan oleh variabel yang
berada diluar model tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan data 25 Kabupaten/Kota di Jawa Barat menunjukkan bahwa
kecenderungan tingkat pengangguran di Jawa Barat dapat berkurang secara signifikan dengan
bertambahnya lapangan pekerjaan di bidang industri manufaktur dan perdagangan.
Sedangkan lapangan pekerjaan bidang pertanian tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap penyerapan tenaga kerja di Jawa Barat. Secara kontur geografis, Provinsi Jawa Barat
memang memiliki potensi yang besar di bidang pertanian, tetapi yang terjadi adalah hal yang
sebaliknya pendapatan utama provinsi justru berasal dari sektor industri dan perdagangan, hal
ini dapat disebabkan beberapa hal:
1. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menitikberatkan pembangunan sektor
industri dan perdagangan, dengan menjadikan daerah-daerah seperti karawang dan
Bekasi sebagai sentra industri terutama manufaktur, sehingga mengabaikan
industrialisasi sektor pertanian itu sendiri.
2. Kabupaten/ kota yang dekat ke Jakarta, terkondisikan lebih sebagai daerah penopang
ibukota sehingga, sebagian besar hanya menjadi kawasan residensial sementara
penduduknya malah bekerja di Daerah Jakarta.
3. Adanya tren dari masyarakat Jawa Barat itu sendiri terutama yang Fresh Graduate dari
Perguruan-perguruan Tinggi untuk mengabaikan sektor pertanian sebagai salah satu
areal untuk mendapatkan pekerjaan dengan asumsi bahwa ekspektasi pendapatan yang
akan didapatkan tidak akan maksimal jika di bandingkan sektor lainnya.


Proceedings National Conference, Population and Human Resources Development, Vol. 2, No.1, April 2013: 1 168
Magister Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran ISBN 9786029238457

168

Saran Kebijakan
Berdasarkan hasil penelitian, apabila pemerintah ingin secara cepat melakukan pengurangan
tingkat pengangguran di Jawa Barat, maka pemerintah Jawa Barat haruslah:
1. Menyusun regulasi yang tepat dengan memperhatikan secara baik bidang industri
manufaktur dan perdagangan dengan cara mempermudah birokrasi dalam pendirian
industri.
2. Perdagangan juga harus benar-benar didukung dengan pembangunan sarana dengan
pembangunan sentral/pusat pasar di setiap daerah kabupaten/kota di Jawa Barat.
3. Melakukan ekspansi kebijakan dengan tidak hanya menitikberatkan pada industri
manufaktur saja, tetapi juga melakukan industrialisasi di sektor pertanian, agar
paradigma dalam sektor inipun menjadi berubah.

Daftar Pustaka

BPS, Berbagai Penerbitan, Jawa Barat Dalam Angka . Bandung : Badan Pusat
Statistik.
Gujarati, Damodar. 2009. Basic Econometrics. 3 Ed. Mc Graw Hill International.
ILO: A Fair Globalization: Creating opportunities for all, Report of the World
Commission on the Social Dimension of Globalization (Geneva, 2004), p. 143
Todaro, Michael. 1994. Pembangunan Ekonomi. Jakarta : Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai