Anda di halaman 1dari 41

Sanksi Pelanggaran Etik

dan Etikolegal dalam


Profesi Kedokteran

Dr H Arif Fadillah SpPD-FINASIM
BAHAN2 DIKUTIP DARI KULIAH :
PROF DR H M YUSUF HANAFIAH SpOG
Pendahuluan

Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode
Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) telah tercantum
secara garis besar perilaku dan tindakan-tindakan yang
layak atau tidak layak dilakukan seorang dokter dalam
menjalankan profesinya. Namun ada saja dokter yang
tega melakukan pelanggaran etik bahkan pelanggaran
etik sekaligus hukum (etikolegal), terlebih dalam
lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis
akhir-akhir ini. Kenyataan menunjukkan pula bahwa
sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh organisasi
profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran
etik itu tidak tegas dan konsisten.
Hal ini disebabkan antara lain belum
dimanfaatkannya organisasi profesi kedokteran
oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan-
keluhannya dan tidak jelasnya batas-batas antara
yang layak dan tidak layak dilakukan seorang
dokter terhadap pasien, teman sejawat dan
masyarakat umumnya. Inilah bedanya etik
dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih
objektif menunjukkan hal-hal yang merupakan
pelanggaran hukum, sehingga jika terjadi
pelanggaran dapat diproses sesuai dengan hukum
yang berlaku.

Dalam makalah ini dibahas tentang perbedaan
etik dengan hukum, contoh-contoh
pelanggaran etik murni dan pelanggaran
etikolegal, termasuk contoh-contoh dalam
bidang Obstetri Ginekologi, prosedur
penanganan dan sanksi-sanksi yang dapat
diberikan terhadap pelaku pelanggaran etik
dan etikolegal profesi kedokteran.

Beda etik dengan hukum

Etika kedokteran merupakan seperangkat
perilaku anggota profesi kedokteran dalam
hubungannya dengan klien / pasien, teman
sejawat dan masyarakat umumnya serta
merupakan bagian dari keseluruhan proses
pengambilan keputusan dan tindakan medik
ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai
moral.
Hukum merupakan peraturan perundang-
undangan baik pidana, perdata maupun
administrasi. Hukum kesehatan merupakan
peraturan perundang-undangan yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan
kesehatan, jadi menyangkut penyelenggara
pelayanan kesehatan dan penerima pelayanan
kesehatan.

Perbedaan etik dengan hukum adalah :
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi. Hukum berlaku untuk
umum.
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi.
Hukum dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara
terinci dalam kitab undang-undang / lembaran negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya berupa
tuntunan. Sanksi terhadap pelanggaran hukum berupa
tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) yang dibentuk oleh Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang
dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DepKes). Pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti
fisik. Penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti
fisik.

Pelanggaran etik murni
Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI
dan/atau KODEKI ada yang merupakan
pelanggaran etik murni, dan ada pula yang
merupakan pelanggaran etikolegal.
Pelanggaran etik tidak selalu merupakan
pelanggaran hukum, dan sebaliknya,
pelanggaran hukum tidak selalu berarti
pelanggaran etik.

Yang termasuk pelanggaran etik murni antara lain :
1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari klien /
pasien atau menarik imbalan jasa dari sejawat dokter
dan dokter gigi beserta keluarga kandungnya.
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan
sejawatnya.
3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau
masyarakat.
4. Pelayanan kedokteran yang diskriminatif.
5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik.
6. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran
berkesinambungan.
7. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
Perilaku dokter tersebut di atas tidak dapat dituntut
secara hukum tetapi perlu mendapat nasihat / teguran
dari organisasi profesi atau atasannya.
Contoh-contoh kasus etikolegal
Pelanggaran di mana tidak hanya bertentangan
dengan butir-butir LSDI dan/atau KODEKI, tetapi
juga berhadapan dengan undang-undang hukum
pidana atau perdata (KUHP/KUHAP). Misalnya :
1. Pelayanan kedokteran di bawah standar
(malpraktek)
2. Menerbitkan surat keterangan palsu.
3. Membocorkan rahasia pekerjaan / jabatan
dokter.
4. Pelecehan seksual.
(dan sebagainya)

Etik kedokteran dan hukum kesehatan dalam obstetri
ginekologi.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan reproduksi
manusia merupakan masalah yang sangat khusus dan
paling rumit ditinjau dari segi etik, agama, hukum dan
sosial, terlebih dengan begitu pesatnya perkembangan
dalam bidang obstetri ginekologi dalam tiga dekade
terakhir ini.
Masalah-masalah kontrasepsi, aborsi, teknologi reproduksi
buatan, operasi plastik selaput dara dan sebagainya,
memerlukan perhatian penuh pihak profesi kedokteran,
hukum, agama dan masyarakat luas.

1. Pelayanan kontrasepsi
Sejak program Keluarga Berencana (KB) menjadi
program nasional pada tahun 1970, berbagai cara
kontrasepsi telah ditawarkan dalam pelayanan KB
di Indonesia, mulai dari cara tradisional, barier,
hormonal (pil, suntikan, susuk KB), IUD/AKDR,
dan kontrasepsi mantap (Kontap). Seorang dokter
harus memberikan konseling kepada pasangan
suami istri (pasutri) atau calon akseptor, dengan
penjelasan lebih dahulu tentang indikasi kontra,
efektifitas dan efek samping atau keamanan
setiap jenis kontrasepsi, dan akhirnya pasutri lah
yang menentukan pilihannya.
Dari cara-cara kontrasepsi tersebut di atas, maka
cara AKDR dan kontap menjadi bahan diskusi
yang hangat, terutama karena menyangkut aspek
agama dan hukum. Mekanisme kerja AKDR
adalah sebagai kontrasepsi dan juga kontranidasi,
sehingga menimbulkan dilema bagi seorang
dokter. Seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup
insani (KODEKI, pasal 10), bahkan menghormati
setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan
(LSDI, butir 9). Jadi pemasangan AKDR dapat
dianggap mengupayakan pemusnahan telur yang
telah dibuahi.
Karena LSDI telah dikukuhkan dengan PP
no.26 tahun 1960, maka seorang dokter yang
melanggar sumpah tersebut berarti telah
melanggar peraturan pemerintah, sehingga
dapat diancam hukuman sesuai peraturan
yang berlaku. Namun, KB merupakan program
nasional, sehingga sanksi terhadap
pelanggaran tersebut agaknya tidak
diberlakukan.

Cara kontap baik pada pria maupun pada
wanita telah banyak dilakukan di Indonesia,
baik atas indikasi medik maupun indikasi
sosial-ekonomi dengan tujuan kontrasepsi
yang permanen. Peraturan perundang-
undangan tentang kontap belum ada di
Indonesia.
Pendapat tokoh-tokoh agama beraneka ragam
dan kenyataannya lebih banyak yang
menentang cara kontrasepsi itu karena
mengurangi harkat dan kodrat seseorang. Dari
segi etik kedokteran, cara kontap dapat
dibenarkan sesuai dengan KODEKI butir 10,
yaitu dengan tujuan melindungi hidup insani
dan mengutamakan kesehatan penderita.
Namun, dengan terbitnya UU RI no.10 tahun
1992 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
penyelenggaraan Keluarga Berencana dapat
dibenarkan dengan memperhatikan butir-
butir berikut :
Pasal 17
(1) Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara
yang berdaya guna dan berhasil guna serta dapat diterima
oleh pasangan suami istri sesuai dengan pilihannya.
(2) Penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan
dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi
kesehatan, etik dan agama yang dianut penduduk yang
bersangkutan.
Penjelasan
(1) Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu
memperhatikan harkat dan martabat manusia serta
mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang
berlaku di dalam masyarakat.
(2) Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif, setiap
alat, obat dan cara yang dipakai sebagai pengatur
kehamilan harus aman dari segi medik dan dibenarkan oleh
agama, moral dan etika.

Pasal 18
Setiap pasangan suami istri dapat menentukan
pilihannya dalam merencanakan dan mengatur
jumlah anak, dan jarak antara kelahiran anak
yang berlandaskan pada kesadaran dan tanggung
jawab terhadap generasi sekarang maupun
generasi mendatang.
Pasal 19
Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban
yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam
menentukan cara pengaturan kelahiran.

Penjelasan.
Suami dan isteri harus sepakat mengenai
pengaturan kehamilan dan cara yang akan dipakai
agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan
atau tindakan sepihak dapat menimbulkan
kegagalan atau masalah di kemudian hari.
Kewajiban yang sama antara keduanya berarti
juga, bahwa apabila isteri tidak dapat memakai
alat, obat dan cara pengaturan kelahiran,
misalnya karena alasan kesehatan, maka suami
mempergunakan alat, obat dan cara yang
diperuntukkan bagi laki-laki.
2. Abortus Provokatus
Masalah aborsi telah dibahas di berbagai
pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3 dekade
terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun
regional, namun hingga waktu ini Rancangan
Pengaturan Pengguguran berdasarkan
Pertimbangan Kesehatan belum terwujud.
Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal
yang mengancam pelaku abortus ilegal
sebagai berkut :
a. Wanita yang sengaja menggugurkan
kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya (KUHP pasal 346, hukuman
maksimum 4 tahun).
b. Seseorang yang menggugurkan kandungan
wanita tanpa seijinnya (KUHP pasal 347,
hukuman maksimum 12 tahun dan bila wanita
itu meninggal, hukuman maksimum 15
tahun).
c. Seorang yang menggugurkan kandungan wanita
dengan seijin wanita tersebut (KUHP pasal 348,
hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita
itu meninggal, hukuman maksimum 7 tahun).
d. Dokter, Bidan atau Juru Obat yang melakukan
kejahatan di atas (KUHP pasal 349, hukuman ditambah
sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya).
Dalam pasal 80 UU Kesehatan tercantum, bahwa
"Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan
medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak dalam
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa
ibu dan atau janin yang dikandungnya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,-
(limaratus juta rupiah)".

3. Teknologi Reproduksi Buatan
Pada tahun 1978, Steptoe & Edwards
melahirkan bayi tabung pertama Louise Brown
di Inggris, hasil Fertilisasi In Vitro (FIV) dan
Pemindahan Embrio (PE). Ini merupakan
terobosan yang telah mengubah dunia
kedokteran terutama di bidang reproduksi
manusia. Di Indonesia, bayi tabung pertama
lahir 10 tahun kemudian (1988) hasil upaya
Tim Melati RSAB Harapan Kita Jakarta.
FIV dan PE merupakan upaya terakhir untuk
menolong pasutri memperoleh keturunannya,
karena upaya ini memerlukan biaya yang
besar, keberhasilan "take home baby" yang
rendah dan menyebabkan distres pada pasutri
yang bersangkutan. Selain cara FIV dan PE
telah dikembangkan pula teknologi reproduksi
buatan lainnya seperti Tandur Alih Gamet atau
Embrio Intra Tuba dan Suntikan Sperma Intra
Sitoplasmik.
Dari segi hukum, di Indonesia telah terdapat
peraturan perundang-undangan tentang
kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara
tersebut hanya dapat dilakukan pada pasangan
suami istri yang sah, dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu, dan pada sarana
kesehatan yang memenuhi syarat (UU Kesehatan,
pasal 16). Dengan demikian, masalah donasi
oosit, sperma dan embrio, masalah ibu pengganti
adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku
dan juga etik kedokteran.

4. Bedah Plastik Selaput Dara
Wanita yang meminta dilakukan bedah plastik
selaput dara umumnya berdasarkan berbagai
motif. Ada yang ingin memberi kesan kepada
suaminya bahwa dirinya masih perawan,
sehingga bertujuan menyelamatkan hidup
bersama suaminya, padahal pasien pernah
melakukan hubungan seksual di luar nikah
dengan pria lain. Di Indonesia, masalah
keperawanan di malam pertama pengantin
baru dianggap penting, walaupun hal ini
sebenarnya tidak adil dalam kedudukan
wanita dan pria.
Ada pula wanita yang minta bedah plastik selaput
dara dengan tujuan komersialisasi keperawanan,
dengan mengharapkan imbalan yang besar.
Dalam hal ini hati nurani dokterlah yang
menentukan sikapnya dalam menghadapi godaan
dari pasien bersangkutan. Jika robeknya selaput
dara disebabkan trauma atau akibat tindakan
dilatasi dan kuretase yang dilakukan karena
indikasi medik (misalnya pada kasus-kasus
perdarahan uterus disfungsional yang
menyebabkan anemia berat dan tidak tanggap
terhadap terapi medikamentosa), maka dalam hal
ini bedah plastik selaput dara masih dapat
dibenarkan.

Prosedur penanganan pelanggaran etik
kedokteran

Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK
dan MKEKG telah menghasilkan pedoman kerja
yang menyangkut para dokter antara lain sebagai
berikut :
1. Pada prinsipnya semua masalah yang
menyangkut pelanggaran etik diteruskan lebih
dahulu kepada MKEK.
2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.
3. Masalah yang tidak murni serta masalah yang
tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke
P3EK propinsi.

4. Dalam sidang MKEK dan P3EK untuk pengambilan
keputusan, Badan Pembela Anggota IDI dapat
mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang
bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkit profesi dokter atau dokter
gigi akan ditangani bersama oleh MKEK dan MKEKG
terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK apabila
diperlukan.
6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus
pelanggaran etik kedokteran serta penyelesaiannya
oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.
7. Kasus-kasus pelanggaran etikolegal, yang tidak dapat
diselesaikan oleh P3EK Propinsi, diteruskan ke P3EK
Pusat.
8. Kasus-kasus yang sudah jelas melanggar peraturan
perundang-undangan dapat dilaporkan langsung
kepada pihak yang berwenang.

Pedoman penilaian kasus-kasus pelanggaran
etik kedokteran

Etik lebih mengandalkan itikad baik dan
keadaan moral para pelakunya dan untuk
mengukur hal ini tidaklah mudah. Karena itu
timbul kesulitan dalam menilai pelanggaran
etik, selama pelanggaran itu tidak merupakan
kasus-kasus pelanggaran hukum. Dalam
menilai kasus-kasus pelanggaran etik
kedokteran, MKEK berpedoman pada :

1. Pancasila
2. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya
3. Ciri dan hakekat pekerjaan profesi
4. Tradisi luhur kedokteran
5. LSDI
6. KODEKI
7. Hukum kesehatan terkait
8. Hak dan kewajiban dokter
9. Hak dan kewajiban penderita
10. Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran
11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi
kedokteran senior.
Selanjutnya, MKEK menggunakan pula
beberapa pertimbangan berikut, yaitu :
1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai
2. Manfaat bagi kesembuhan penderita
3. Manfaat bagi kesejahteraan umum
4. Penerimaan penderita terhadap tindakan
itu
5. Preseden tentang tindakan semacam itu
6. Standar pelayanan medik yang berlaku

Jika semua pertimbangan menunjukkan
bahwa telah terjadi pelanggaran etik,
pelanggaran dikategorikan dalam kelas ringan,
sedang atau berat, yang berpedoman pada :
1. Akibat terhadap kesehatan penderita
2. Akibat bagi masyarakat umum
3. Akibat bagi kehormatan profesi
4. Peranan penderita yang mungkin ikut
mendorong terjadinya pelanggaran
5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka

Bentuk-bentuk sanksi

Dalam pasal 6 PP no.30 tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Sipil terdapat
uraian tentang tingkat dan jenis hukuman,
sebagai berikut :
1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari :
a. Hukuman disiplin ringan
b. Hukuman disiplin sedang, dan
c. Hukuman disiplin berat
2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :
a. Teguran lisan
b. Teguran tulisan, dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari :
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk
paling lama satu tahun
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan
gaji berkala untuk paling lama satu tahun,
dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling
lama satu tahun
4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang
setingkat lebih rendah untuk paling lama satu
tahun
b. Pembebasan dari jabatan
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri
Sipil, dan
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil.

Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal, di
samping pemberian hukuman sesuai peraturan
tersebut di atas, maka selanjutnya diproses ke
pengadilan.
Kesimpulan

1. Profesi kedokteran adalah profesi kemanusiaan, oleh karena itu etika
kedokteran harus memegang peranan sentral bagi para dokter dalam
menjalankan tugas-tugas pengabdiannya untuk kepentingan masyarakat.
2. Bidang Obstetri Ginekologi merupakan bidang yang demikian terbuka
untuk kemungkinan penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma,
sehingga rawan untuk timbulnya pelanggaran etik kedokteran bahkan
pelanggaran hukum. Karena itu diperlukan pedoman etik dan peraturan
perundang-undangan terkait yang menuntun para dokter / SpOG untuk
berjalan di jalur yang benar.
3. Sanksi terhadap pelanggaran etik kedokteran hendaknya diberikan
secara tegas dan konsisten sesuai dengan berat ringannya pelanggaran,
bersifat mendidik dan mencegah terulangnya pelanggaran yang sama
pada masa depan baik oleh yang bersangkutan maupun oleh para
sejawatnya.
4. IDI bersama-sama organisasi profesi dokter spesialis dan organisasi
kedokteran seminat lainnya, hendaknya dapat meningkatkan komunikasi,
informasi dan edukasi secara berkesinambungan, sehinggat setiap
anggotanya dan masyarakat umumnya dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan etika kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai