Anda di halaman 1dari 1

Pulpen Tipuan

(Rania Hendradwiputri X IPA 2)



Bagi anak-anak rumahan sepertiku, jalan-jalan ke Gramedia sudah kugolongkan
sebagai rutinitas mewah. Lagipula, aku senang sekali menulis, rencana masa depanku adalah
menjadi novelis. Kesan pertama kalian semua setelah membaca dua kalimat sebelumnya pasti
aku ini kutu buku dan pendiam. Salah besar! Rhena, penghuni kelas 10-C, itu termasuk
kategori anak iseng, malah kejam. Aku jamin, kalian semua tidak ada yang berani mengisengi
orang tua secara disengaja. Soal itu, aku masternya. Objek utama kali ini adalah pulpen unik
yang tutupnya berbentuk ujung pensil, dari jauh pasti disangka pensil warna biasa. Dan aku
berhasil mengerjai ayahku tersayang sampai-sampai ibuku tertawa terpingkal-pingkal. Tapi,
hal seperti itu saja belum memuaskan naluri kejamku.
Target kedua, lihat jadwal pelajaran pertama hari Selasa.
Dan sampailah aku pada hari yang dinantikan. Sudah lama aku ingin membalas
dendam kepada guru yang mengajarkan mata pelajaran yang kubenci, Sejarah.
Guru itu bernama Bu Ida. Guru yang disenangi banyak anak-anak kelasku karena dia
memang baik dan humoris. Walau aku mengakui hal tersebut, tetap saja tidak ada toleransi
kepada pelajaran yang diajarkannya.
Pagi ini, kelas kami mengoreksi pekerjaan rumah bersama-sama. Usai mengoreksi,
Bu Ida hendak menilai pekerjaan rumahku lokasi dudukku tepat dekat dengan pintu kelas
namun setelahnya ia mengernyit kebingungan. Nampaknya ia lupa membawa pulpen, dan itu
adalah kesempatan emas untukku.
Rhena, bisa pinjam pulpenmu? pinta Bu Ida.
Aku pun menyerahkan pulpen tipuanku dengan sukarela. Sesuai rencana, ia tak
membuka tutup pulpennya dan ia pakai begitu saja.
Lho? Ini nggak ada isinya!
Aku cekikikan geli.
Teman sedudukku, Airen, merespon dengan lantang, Bu, tutupnya belum dibuka!
Gelak tawa sekelas pun terdengar.
Astagfirullah! pekik Bu Ida. Rhenaaaa! Dasar anak iseng! Bu Ida langsung
menjitak kepalaku dengan pelan.
Itu kan namanya revolusi kebudayaan, Bu! Diciptakannya pulpen sebagai alat tulis!
Seiring berkembangnya zaman, pulpen hadir dengan berbagai variasi bentuk, termasuk untuk
mengerjai orang!
Hening pun menguasai atmosfer. Sekali lagi, sekelas tertawa terbahak-bahak.
Bu Ida pun hanya bisa menggelengkan kepala, sembari menatapku dengan tatapan
yang seolah berkata, Entah anak ini mengerti pelajaran saya atau tidak.
Semenit pun berselang dan tawa masih membahana, Bu Ida yang sedari tadi terdiam
mematung pun bersuara kembali, Sudah cukup istirahatnya, anak-anak! Diam semuanya!
Instruktur dari sang guru pun mengembalikan suasana damai di kelas 10-C. Drama
komedi pagi pun ditutup.
Tak lupa Bu Ida mengembalikan buku PR-ku beserta objek yang menjadi sumber
tawa sekelas tadi. Awalnya kupikir PR-ku tidak dinilai.
Ternyata, dinilai juga. Nilainya 10.

Anda mungkin juga menyukai