Anda di halaman 1dari 10

FOLLOW THE MONEY

Pertama kita akan melihat naluri penjahat. Tanpa disadarinya, nalurinya ini akan
meninggalkan jejak-jejak berupa gambaran mengenai arus uang. Jejak-jejak uang atau money
trails inilah yang dipetakan oleh penyidik.
Ketentuan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang menginagtkan
kita bahwa bukan kejahatan utamanya saja (seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan barang
dan manusia, pencurian, prostitusi, terorisme, dan lain-lain) yang merupakan tindak pidana,
tetapi juga pencucian uangnya adalah tindak pidana.
Uang sangat cair/likuid, mudah mengalir. Itulah sebabnya Follow The Money
mempunyai banyak peluang untuk digunakan dalam investigatif. Namun, mata uang kejahatan
atau currency of crime bukanlah uang semata-mata. Mengetahui currency of crimeakan
membuka peluang baru untuk menerapkan tehnik Follow The Money.

Naluri Penjahat
Dalam setiap kejahatan pada umumnya, dan fraud khususnya, ada suatu gejala yang
sangat lumrah, yakni pelaku berupaya memberi kesan bahwa ia tidak terlibat fraud. Untuk itu,
pelaku harus jauh dari fraud itu sendiri dan harus jauh dari uang yang merupakan hasil
kejahatan. Itulah sebabnya, salah satu aksioma dalam fraud ialah fraud is hidden atau fraud itu
tersembunyi.
Di lain pihak, motive dari perbuatan fraud itu sendiri pada umumnya, adalah
mendapatkan uang. Kalaupun bukanitu motive-nya ada aliran uang ke diri pelaku(atau
keluarganya).pada akhirnya ada arus uang atau dana dari tempat persembunyian atau tempat
penitipan yang mengalir ke alamat sipelaku utama.
Jejak-jejak kejahatan, dalam hal ini, berupa arus uang. Karena itu, dalam mencari pelaku,
investigator menelusuri jejak-jejak uang ini. Tehnik investigatif yang menelusuri arus dana dan
mencari muaranya, disebut Follow The Money.

Kriminalisasi dari pencucian uang
Pola perilaku pelaku kejahatan dengan menjauhkan uang dari pelaku dan perbuatannya
dilakukan melalui cara placement, layering, dan integration.

1. Placement: upaya menempatkan uang tunai hasil kejahatan ke dalam system keuangan
atau upaya menempatkan kembali dana yan sudah berada dalam system keuangan ke
dalam system keuangan.
2. Layering: upaya mentransfer harta kekayaan hasil kejahatan yang telah berhasil masuk
dalam system keuangan melalui tahap placement.
3. Integration: upaya menggunakan kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah
berhasil masuk dalam system keuangan melalui placement dan layering, seolah-olah
merupakan kekayaan halal

Tindak perbuatan ini denga tegas diperlakukan serbagai tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak pidana Pencucian uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003.
Dengan diperlakukannya pencucian uang sebagai tindak pidana (kriminalisasi dari
pencucian uang), maka banyak kasus kejahatan (termasuk tindak pidana korupsi) dapat diproses
(pengadilan) melalui kejahatan utamanya dan melalui pencucian uangnya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan lembaga yang
penting untuk mengungkapkan pelaku-pelaku dengan menelusuri laporan-laporan dari berbagai
sumber, tanpa harus membuktikan kejahatan utamanya.

Terorisme dan Pencucian Uang
Pengeboman di Hotel JW Marriott dan The Ritz-Carlton di Jakarta pada tanggal 17 Juli
2009 dapat berlangsung karena ada dukungan dana yang cukup memadai. Polisi menduga,
beberapa orang dalam kelompok tersebut menjadi semacam penghubung antara jaringan dan
sumber dana, yang berada di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut menunjukkan adanya
hubungan antara terorisme sebagai kejahatan utama atau tindak pidana asal (predicate crime)
dengan pencucian uang.
Pencucian uang yang lebih sulit ditelusuri atau dilacak adalah dengan menghindari
transaksi perbankan yang berkewajiban melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada
otoritas (di Indonesia PPATK). Salah satu cara pemindahan dana dikenal dengan nama hawala.


Kewajiban Melapor bagi Penyelenggara Negara
Kewajiban melapor harta kekayaan bagi penyelenggara negara, ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan KPK
tersebut mendefinisikan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara sebagai harta benda yang
dimiliki oleh penyelenggara negara beserta istri dan anak yang masih menjadi tanggungan, baik
berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, maupun hak-hak lainnya yang dapat dinilai dengan
uang yang diperoleh penyelenggara negara sebelum, selama dan setelah memangku jabatannya.
Harta kekayaan penyelenggara negara dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara disingkat (LHKPN). LHKPN adalah daftar seluruh Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara, yang dituangkan dalam formulir yang ditetapkan oleh KPK.

Ketaatan dalam melapor harta
Teknik audit investigative dengan menggunakan perbandingan kenaikan dan penurunan
asset merupakan teknik yang ampuh , terutama jika diikuti dengan ketentuan beban pembuktian
terbalik.Di tingkaat penyelenggara Negara teknik audit investigative ini akan efektif kalau
penyelenggara Negara menaati ketentuan undang undang mengenai pelaoran harta kekayaan

Follow The Money dan Data Mining
Tehnik investigasi ini sebenarnya sangat sederhana. Kesulitannya adalah datanya sangat
banyak dalam hitungan terabytes. Kita tidak bisa mulai dengan pelakunya, yang kita ingin kita
lihat justru adanya pola-pola arus dana yang menuju ke suatu tempat (yang memberi indikasi
tentang pelaku atau otak kejahatan).
Disamping kerumitan karena data yang begitu besar, juga diperlukan kecermatan dan
persistensi dalam mengumpulkan bahan-bahannya. Kemajuan yang sangat pesat di bidang
teknologi informasi, memfasilitasi proses ini.

Mata Uang Kejahatan
Ciri dari penggunaan currency of crime yang bukan berupa uang adalah izin-izin atau
lisensi untuk akses ke sumber-sumber daya alam yang umumnya dialokasikan kepada keluarga
dan kerabat sang diktator.
Dalam hal itu currency of crime- nya bisa berupa intan berlian, minyak bumi, pasir laut,
kayu bundar (logs), ganja, dan lain sebagainya. Di sini ada dua arus yang bisa diikuti
investigator, yakni arus dana dan arus fisik barang. Arus fisik barang sering memberikan indikasi
kuat, karena adanya anomali. Contoh: data statistik resmi mengenai impor-ekspor yang
menunjukkan kesenjangan yang besar, antara data negara pengimpor dan negara pengekspor.













Investigatif Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana Korupsi (TPK) dilihat dari ketentuan perundangan yang berlaku di
Indonesia. Yang akan dipakai sebagai acuan dalam pembahasan ini adalah Undang-Undang
nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan TPK. Untuk TPK yang dilakukan sebelum berlakunya undang-undang
ini, yakni tanggal 21 november 2001, berlaku Undang-Undang nomor 3 tahun 1971.
Analisis pasal-pasal TPK akan menganalisis semua pasal yang mengandung TPK ke
dalam unsur-unsurnya, bagian inti atau bestanddeel. Pendekatan ini dipakai oleh penyelidik,
penyidik, dan jaksa penuntut umum.
Keberhasilan atau kegagalan suatu investigatif TPK, di luar masalah penyuapan kepada
penegak hukum, ditentukan oleh kemampuan membuktikan bagian-bagian inti dan meyakinkan
majelis hakim dalam persidangan pengadilan.

Analisis Pasal-Pasal TPK
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mencakup 30 tindak pidana yang diartikan sebagai tindak pidana korupsi (TPK). Ini dapat dilihat
dalam pasal-pasal dan ayat-ayat yang berikut:

No. Pasal No. Pasal No. Pasal
1. 2 11. 7 ayat (2) 21. 12 huruf f
2. 3 12. 8 22. 12 huruf g
3. 5 ayat (1) huruf a 13. 9 23. 12 huruf h
4. 5 ayat (1) huruf b 14. 10 24. 12 huruf i
5. 6 ayat (1) huruf a 15. 11 25. 12 B
6. 6 ayat (1)huruf b 16. 12 huruf a 26. 12 C
7. 7 ayat (1) huruf a 17. 12 huruf b 27. 13
8. 7 ayat (1) huruf b 18. 12 huruf c 28. 14
9. 7 ayat (1) huruf c 19. 12 huruf d 29. 15
10. 7 ayat (1) huruf d 20. 12 huruf e 30. 16


1. Pasal 2: Memperkaya diri
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara taau perekonomian
negara.

2. Pasal 3: Penyalahgunaan wewenang
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saranayang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

3. Pasal 5, ayat (1), a: Menyuap pegawai negeri
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya

4. Pasal 5, ayat (1), b: Menyuap pegawai negeri
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan yang bertentangan dengan jabatannya, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya

5. Pasal 13: Memberi hadiah kepada pegawai negeri
Setiap orang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukantersebut.

6. Pasal 5, ayat (2): Pegawai negeri terima suap
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji

7. Pasal 12, a: Pegawai negeri terima suap
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakan atau melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

8. Pasal 12, b: Pegawai negeri terima suap
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

9. Pasal 11: Pegawai negeri terima hadiah
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan secara jabatan.

10. Pasal 6, ayat (1), a: Menyuap hakim
memberi atau menanjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

11. Pasal 6, ayat (1), b: Menyuap advokat
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advocat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendengar yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

12. Pasal 6, ayat (2): Hakim dan advokat terima suap
bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksu pada ayat (1) huruf a atau
advocad yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksu pada ayat (1) huruf b.

13. Pasal 12, c: Hakim terima suap
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.

14. Pasal 12, d: Advokat terima suap
Advokat untuk menghadiri sidang, menerima hadiah atau janji. Padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan.

15. Pasal 8: Pegawai negeri menggelapkan uang/membiarkan penggelapan
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.

16. Pasal 9: Pegawai negeri I memalsukan buku
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-
buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

17. Pasal 10, a: Pegawai negeri I merusakkan bukti
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai jabatannya.

18. Pasal 10, b: Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

19. Pasal 10, c: Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

20. Pasal 12, e: Pegawai negeri memeras
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau
untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

21. Pasal 12, f: Pegawai negeri memeras
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, atau
pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

22. Pasal 12, g: Pegawai negeri memeras
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta,
menerima, memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggaranegara yang lain atau kas
umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang.

23. Pasal 7, ayat (1), a: Pemborong berbuat curang
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

24. Pasal 7, ayat (1), b: Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau peneyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang.

25. Pasal 7, ayat (1), c: Rekanan TNI/Polri berbuat curang
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan dalam keadaan perang.

26. Pasal 7, ayat (1), d: Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

27. Pasal 7, ayat (2): Perima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan membiarkan perbuatan curang.

28. Pasal 12, h: Pegawai negeri menggunakan tanah negara
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, paahal diketahuinya bahwa
perbuatan tersebut bertentangann dengan peraturan perundang-undangan.

29. Pasal 12, i: Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada
saat dilakukan perbuatan, u ntuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

30. Pasal 12B jo.12C: Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya

Pemeriksa memfokuskan investigasinya pada pencarian indikasi-indikasi atau bukti awal dari
masing-masing unsur atau bagian inti TPK. Dengan meningkat dan mendalamnya investigasi,
maka upaya diarahkan kepada pengumpulan dan penyajian alat-alat bukti.
Karena itu, penting sekali bagi pemeriksa untuk mengetahui bagian inti atau berstanddeel
dari ke 30 TPK. Dalam uraian pasal-pasal dan ayat-ayat yang mencangkup ke 30 TPK,
berstanddeel ini digaris bawahi. Pasal-pasal ini juga disertai dengan penjelasan undang-
undangnya.
Dalam dokumentasi investigasinya, pemeriksa merinci semua indikasi dan alat bukti
untuk masing-masing bagian inti atau tindak pidana korupsi yang disangkakan atau didakwakan.

Anda mungkin juga menyukai