Anda di halaman 1dari 10

BANISHING BUREAUCRACY

The Five Strategies For Reinventing Government

(David Osborne & Peter Platrik)

Untuk Mata Kuliah Sejarah Teori Organisasi

DEDDI NORDIAWAN

Program Doktor Ilmu Administrasi


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Jakarta
Oktober 2009

BANISHING BUREAUCRACY
The Five Strategies For Reinventing Government

A. REINVENTING GOVERNMENT

Latarbelakang

Kondisi resesi dan/atau kondisi negative lainnya merupakan batu ujian bagi birokrasi sekaligus
momentum untuk melakukan perubahan. Banyak contoh kasus yang mengajarkan kepada kita
tentang lompatan yang luar biasa dilakukan organisasi atau unhit pemerintahan setelah melewati
masa krisis.

Terdapat berbagai permasalahan birokrasi yang muncul ke permukaan yang kemudian menjadi
perhatian dan concern para ahli kebijakan publik dan manajemen. Permasalahan itu kadang
sudah dirakan bertahun-tahun, kita semua sudah frustasi, namun kita juga tidak mempunyai
kekuatan apapun untuk menyelesaikannya.

Ada beberapa organisasi atau institusi yang berhasil melakukan reinventing, namun kemudian
kembalai bertanya bagaimana mereka memelihara momentum perbaikan yang telah dibangun.
Ada yang sudah melakukan berbagai cara, namun kemudian mengatakan bahwa mereka
terbentur budaya organisasi yang sepertinya tidak bisa dirubah lagi.

Memahami Reinventing Government

Berbagai upaya reinventing banyak dilakukan. Namun, kerapkali kita terjebak pada apa yang
sebenarnya bukan reinventing. Berikut adalah “What Reinvention is Not” :

• Reinventing bukanlah upaya untuk merubah struktur politik


• Reinventing bukan berarti reorganisasi
• Reinventing bukanlah sekear upaya memangkas anggaran belanja
• Reinventing bukan sinonim dari downsizing atau privatisasi

Reinventing juga bukan sekedar menciptakan efisiensi. Efisiensi memang salah satu tujuan
reinventing tetapi tujuan reinventing sendiri jauh lebih luas dari itu. Osborne menyatakan bahwa
reinvention adalah Transformasi yang bersifat fundamental atas sistem dan organisasi organisasi
pemerintahan yang kemudian meningkatkan efisiensi, efektivitas, kemampuan adaptasi dan
kemampuan berinovasi. Selanjutnya disampaikan, transformasi tersebut dilakukan melalui
perubahan sistematis atas tujuan organisasi, penerapan insentif, akuntabilitas, struktur kekuatan,
dan budaya.

Tentang Buku Banishing Bureaucracy

Buku ini berisi lima strategi penting dalam melakukan reinventing dalam organisasi
pemerintahan. Lima strategi tersebut diawali dengan pembahasan tentang leverage, yaitu clue
utama yang menjadi pemicu efektifnya pelaksanaan reinventing. Dan di bagian akhir, dijelaskan
tentang bagaimana “aligning the strategies”.

Dengan demikian, buku ini mempunyai tiga bagian besar, yaitu:

1. Finding your leverage


2. The Five Strategies
3. Using the Strategies
A. THE LEVERAGE

Leverage merupakan gerbang proses reinventing government. Setiap pemerintahan yang akan
melakukan reinventing harus mengenali gerbang tersebut, untuk selanjutnya merancang strategi
yang tepat agar dampak dari proses reinventing tepat masuk pada gerbang-gerbang tersebut. Jika
tidak, segala upaya yang dilakukan tidak akan mencapai dampak yang akan dilakukan.

Pengalaman Inggris di bawah pemerintahan Margaret Tatcher memberikan pelajaran bagaimana


merka menermukan the leverage tersebut. Setelah memegang tampuk kepemimpinan pada tahun
1979, Perdana Menteri melakukan langkah-langkah privatisasi dan efisiensi yang drastic.
Berbagai penghematan berhasil dilakukan. Namun, setelah berjalan beberapa tahun,
pemerintahan Tatcher menyadari tidak adanya efek domino atas efisiensi tersebut.

Beberapa pemikiran strategis kemudian dipetakan kembali dan mendapatkan beberapa


kesimpulan mendasar antara lain:

• Perlunya memperjelas tujuan setiap organisasi

Dalam roda pemerintahan, diperlukan pemisahan yang tegas antara organisasi yang
berperan steering dengan organisasi yang berperan rowing. Perlu pemisahan antara unit
pemerintahan yang bertindak merumuskan kebijakan dengan unit pemerintahan yang
memang didesain untuk melakukan pelayanan publik di garis depan. Harapannya, unit
pemerintahan yang melaksanakan pelayanan publik benar-benar memiliki otonomi dan
fleksibilitas sehingga memiliki kecepatan dalam menindaklanjuti dinamika yang ada di
masyarakat.

Pemisahan tersebut juga berguna untuk pengukuran kinerja yang tentu saja berbeda
antara kinerja unit pelayanan dengan kinerja unit kebijakan.

• Perlunya insentif yang kuat

Diceritakan tentang sebuah dokumen yang disebut sebagai “Competing for Quality” yang
dikeluarkan pada tahun 1991. Pemerintah Inggris mengeluarakn kebijakan untuk
melakukan evaluasi setiap 3 tahun sekali untuk melihat apakah sebuah unit organisasi
pemerintah benar-benar masih dibutuhkan atau sebaiknya dibubarkan. Unit-unit
organisasi kemudian berlomba menghadirkan kualitas di bidangnya masing-masing.
Mereka ditantang untuk melakukan perbandingan dengan kualitas yang dihasilkan oleh
sektor privat, itulah yang disebut dengan “Market Testing”.

• Perlunya akuntabilitas langsung pada customer

Dua faktor leverage pertama telah terbukti mampu menghadirkan efisiensi yang
signifikan. Namun demikian, tujuan pemerintahan bukan saja efisiensi. Masyarakat
menghendaki efektivitas pemerintahan berupa hasil konkrit yang ditunjukkan di
kehidupan sehari-hari, mulai dari kualitas pendidikan sampai dengan hilangnya
kemacetan jalan raya.

Untuk mendorong efektivitas tersebut, pemerintah Inggris membuat janji yang


didokumentasikan secara tertulis dan juga dipublikasikan. Dokumen tersebut disebut
Citizen’s Charter. Beberapa contoh isinya antara lain:

If you call an emergency ambulance, you can expect it to arrive


within 14 minutes in an urban area, or 19 minutes I a rural area.

If you are delayed for more than an hour on any leg of your rail
journey, we will normally offer voucher to the value of 20% or more
the price paid for the journey.

• Perlu menentukan dimana kekuasaan itu berada

Kekuatan dalam proses pengambilan keputusan menjadi salah satu faktor penentu.
Permasalahannya adalah dimana dan kepada siapa sebuah birokrasi meletakkan kekuatan
tersebut.Sebuah pemerintahan yang sentralisasi, kekuatan terpusat pada pucuk pyramid
paling atas. Birokrasi yang ada di bawahnya kemudian berada pada posisi yang serba
salah. Mereka tidak memiliki kekuatan, hanya mendapatkan perintah saja padahal
birokrasi di tingkat menengah ke bawah inilah yang berhdapan langsung dengan
masyarakat. Akibatnya adalah pengambilan keputusan tidak fleksible, lambat dan salah
sasaran
• Perlu meneguhkan budaya

Aspek leverage yang terakhir adalah budaya, yang di dalamnya meliputi tata nilai,
norma-norma, sikap, dan juga harapan-harapan pegawai. Budaya ini dibentuk oleh aspek
leverage sebelumnya. Dikatakan, kalau kita berhasil meramu tujuan organisasi dengan
baik, insentifnya, sistem pertanggungjawabannya dan juga struktur kekuatannya maka
dengan sendirinya budaya akan terbentuk.
A. STRATEGY

Kondisi-kondisi yang dinyatakan dalam leverage harus dicapai dengan beberapa strategi utama.
Apa yang dinyatakan dalam leverage merupakan kondisi-kondisi yang harus dicapai. Arah dan
cara mencapainya tertuang dalam strategi. Ada lima strategi yang diperkenalkan oleh Osborne
dalam bukunya, yaitu:

Core Strategy Lever:


PURPOSE

Culture
ControlLever:
Consequences
CustomerStrategy
Strategy
Str
ACCOUNTABILIT
INCENTIVE
CULTUR
POWE
R
Y
E
S

The Core Strategy

Osborne dalam bukunya menyebutkan strategi pertama disebut sebagai core strategy karena
strategi tersebut berkaitan langsung dengan fungsi-fungsi utama atau core dari organisasi
perusahaan. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan fungsi steering. Sedangkan keempat
strategi yang lain lebih berfokus pada fungsi rowing. Strategi ini meneliminasi fungsi-fungsi
yang tidak lagi tepat ditangani oleh sektor publik (pemerintahan) atau fungsi-fungsi yang lebih
baik ditangani oleh tingkat pemeritahan yang lebih rendah atau oleh sektor privat. Strategi ini
juga memisahkan fungsi-fungsi steering yang tercampur dengan fungsi-fungsi rowing. Dengan
demikian setiap unit organisasi pemerintahan dapat fokus pada satu tujuan.

Dalam kasus pemerintah Inggris, Margareth Thatcher menerapkan strategi ini sebagai langkah
pertama dalam reinventing government. Implementasinya dapat dilihat dari langkah-langkahnya
melakukan privatisasi dan restrukturisasi departemen sehingga memperjelas mana departemen
yang fokus pada kebijakan dan departemen yang fokus pada pelayanan publik.

The Consequences Strategy

Strategi yang kedua bertujuan untuk menciptakan insentif bagi brokrasi. Insentif yang dibangun
tersebut harus merupakan insentif yang kuat yang dapat mendorong perubahan prilaku dari
aparat pemerintah. Cara membuat insentif tersebut tentu berbeda dengan insentif di sektor privat.
Kita memahami bahwa organisasi pemerintahan merupakan organisasi yang statis. Setiap
pegawai dibayar pada besaran yang sama meskipun produktivitasnya berbeda-beda. Organisasi
pemerintahan di pasar juga merupakan pelaku monopoli yang terjaga dari kemungkinan rugi.

Untuk membangun insentif tersebut dibutuhkan consequences strategy yang intinya adalah
menyatakan konsekuensi atas setiap kinerja yang dicapai oleh birokrasi. Seperti halnya yang
dilakukan oleh pemerintah Inggris melalui “competing for quality”. Strategi ini juga dapat
dilakukan dalam bentuk yang sederhana dengan cara menetapkan pengukuran kinerja yang jelas
dan transparan serta menetapkan konsekuensinya baik positif maupun negatif.

The Customers Strategy

Strategi ini terkait dengan upaya-upaya mencapai akuntanbilitas yang lebih baik. Strategi ini
memberikan customer pilihan-pilihan atas layanan yang dibutuhkan dari organisasi pemerintah.
Birokrasi kemudian menetapkan standar pelayanan minimum yang harus dicapai. Strategi ini
menciptakan keterkaitan akuntabilitas yang sangat erat kepada customer. Pemerintah Inggris
melakukan strategi ini dengan membuat Citizen Charter.
Terdapat tiga alternatif bagi pemerintah dalam mekanisme penetapan konsekuensi. Pertama,
enterprise management, dengan menjadikan unit-unit pemerintahan seperti layaknya perusahaan,
untuk kemudian bersaing dengan perusahaan. Bagi yang kalah bersaing akan ditutup atau
dinyatakan tidak dibutuhkan lagi.

Kedua, managed competition, dengan membuat kompetisi antara unit pemerintah dengan swasta,
namun bukan pada bottom line melainkan pada kontrak. Ketiga, performance management,
dimana kita menetapkan target-target indakator tertentu yang terukur untuk dicapai oleh unit
organisasi. Pada waktu yang ditetapkan, dibuat evaluasi untuk kemudian menetapkan
reward/punishment yang cocok.

The Control Strategy

The Control Strategy mendorong penurunan kewenangan pengambilan keputusan melalui


hierarki yang berlaku dan pada beberapa waktu turun sampai ke komunitas yang merupakan
bagian terendah dalam hierarki. Strategi ini menggeser bentuk pengendalian (kontrol) yang
digunakan dari aturan yang detil dan perintah yang hierarkis menjadi pembagian misi dan sistem
yang menciptakan akuntabilitas dan kinerja.

Margareth Thatcher melakukan strategi ini ketika dia memutuskan untuk menjual 1,25 juta unit
rumah pada penyewan dan memberikan kuasa pengendalian atas sekolah pada komunitas.

Dalam kerangka control strategy ini, terdapat tiga pendekatan dalam melakukan pergeseran
kekuatan. Tiga pendekatan tersebut adalah organizational approach, employee empowerment,
dan community empowerment.

The Culture Strategy

Strategi ini berfokus pada budaya organisasi publik seperti values, norma, perilaku, dan harapan
pegawai. Budaya-budaya ini dibentuk oleh unsur strategi yang lain seperti tujuan organisasi,
sistem insentif yang dikembangkan, sistem akuntabilitas, dan struktur kekuasaannya.
Sistem birokrasi menggunakan spesifikasi detil --seperti unit fungsional, aturan prosedur, dan
deskripsi pekerjaan—untuk mengatur apa yang dikerjakan oleh pegawai. Hal ini sebetulnya
sangat riskan karena jika pegawai menjadi terbiasa dengan kondisi tertentu mereka menjadi
pembawa budaya tersebut. Mereka dapat menjadi reaktif, terlalu bergantung, dan takut untuk
mengambil inisiatif.

Banyak pemimpin menggunakan tiga pendekatan untuk membetuk budaya yaitu membentuk
kebiasaan organisasi, hati, dan pikiran. Kebiasaan baru dibentuk dengan memberikan
pengalaman-pengalaman baru pada karyawan. Sedangkan pendorongan prilaku yang baru
dilakukan dengan membantu karyawan menggeser keinginan-keinginan emosional mereka
seperti harapan, ketakutan, mimpi mereka. Terakhir, tekad emosional pegawai dibangun melalui
sosialisasi visi masa depan serta posisi organisasi saat ini dan bagaimana mencapai visi tersebut.

B. ALIGNING THE STRATEGIES

Berikut adalah catatan penting dalam implementasi strategi shingga kita mendapatkan sinergi
yang diharapkan;

• Pada saat core strategy diterapkan, gunakan consequences dan control dalam malakukan
transformasi prilaku pada organisasi yang menangani pelayanan

• Gunakan selalu consequences dan control secara berpasangan. Jangan gunakan satu
diantaranya tanpa satunya lagi.

• Ketika kita menciptakan akuntabilitas pada customer, harus disertai dengan consequences
dan control

Anda mungkin juga menyukai