0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
37 tayangan14 halaman
Laporan kasus ini membahas seorang wanita berusia 64 tahun yang didiagnosis menderita herpes genitalis setelah mengalami nyeri saat berkemih dan luka melepuh di vulvanya. Pasien juga mengalami hiperestesi yang menyebar hingga kaki setelah episode herpes genitalis pertamanya. Kondisinya membaik setelah diberi antivirus dan obat anti nyeri. Namun, pasien mengalami episode kedua dengan gejala ringan yang juga responsif terhad
Laporan kasus ini membahas seorang wanita berusia 64 tahun yang didiagnosis menderita herpes genitalis setelah mengalami nyeri saat berkemih dan luka melepuh di vulvanya. Pasien juga mengalami hiperestesi yang menyebar hingga kaki setelah episode herpes genitalis pertamanya. Kondisinya membaik setelah diberi antivirus dan obat anti nyeri. Namun, pasien mengalami episode kedua dengan gejala ringan yang juga responsif terhad
Laporan kasus ini membahas seorang wanita berusia 64 tahun yang didiagnosis menderita herpes genitalis setelah mengalami nyeri saat berkemih dan luka melepuh di vulvanya. Pasien juga mengalami hiperestesi yang menyebar hingga kaki setelah episode herpes genitalis pertamanya. Kondisinya membaik setelah diberi antivirus dan obat anti nyeri. Namun, pasien mengalami episode kedua dengan gejala ringan yang juga responsif terhad
Hani Amalia Paparan kasus Kami memaparkan sebuah kasus tentang guru perempuan berusia 64 tahun yang mendatangi klinik kesehatan seksual di Newcastle, Australia.
Enam minggu sebelumnya, pasien mendatangi dokter pelayanan primer dengan keluhan nyeri saat berkemih diobati sebagai infeksi saluran kemih, namun gejala tidak membaik Beberapa hari kemudian, pasien menyadari adanya luka melepuh di kedua vulvanya Pasien didiagnosis : herpes genitalis valacyclovir 500mg selama satu minggu Luka melepuh membaik setelah lima hari, namun ia merasakan sensasi terbakar dan peningkatan sensitivitas terhadap sentuhan di kedua paha bagian dalam dan bokong sebelah kiri sampai ke kaki kiri, hingga telapak kaki dan ujung jari kaki. Riwayat seksual mempunyai satu pasangan seksual, yang telah bersama selama empat bulan pasangannya tersebut sedang dalam pengobatan untuk herpes simplex tipe 2 (HSV2), tipe infeksi genital Mereka tidak menggunakan kondom secara Pasien tidak ada riwayat herpes genitaliskonsisten. normal Pemeriksaan daerah genital hiperestesi pada dermatom s1, s2, dan s3 pada sisi kiri. Tidak ada abnormalitas sensorik lain atau defisit motorik yang ditemukan Pemeriksaan neurologis Hasil PCR pada bagian vulva yang telah menyembuh negatif, baik untuk virus varicella zoster dan virus herpes simplex (HSV). PCR Pada pemeriksaan PCR urin, hasilnya negatif untuk Neisseria gonorrhoea dan Chlamydia trachomatis. Pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan serologi untuk infeksi herpes simplex. Terapi anti depressan trisiklik dengan dosis rendah, gabapentin, dan pereda nyeri . pasien kembali empat hari kemudian dan mulai diterapi dengan amitriptilin hidroklorid 10 mg dan dinaikkan menjadi 20 mg setelah dua minggu Rasa nyeri menghilang setelah empat minggu menggunakan amitriptilin hidroklorid 20 mg, dan pengobatan berhenti Tiga bulan kemudian, pasien kembali mengalami episode adanya lecet di bagian vulva, dan diobati sendiri menggunakan asiklovir topikal. Lesi pada vulva menghilang dalam dua hari, namun pasien kembali mengalami nyeri sisa neuropati dengan distribusi yang sama. Episode kali ini lenih ringan dari episode pertama, dan responsive terhadap pengobatan amitriptilin hidroklorid selama tiga minggu. Herpes genitalis umumnya disebabkan oleh HSV tipe dua Faktanya, baik HSV1 atau 2 dapat menginfeksi genital atau daerah diluar genital Walaupun secara mikrobiologi tidak terbukti, pasien ini menunjukkan gejala klasik herpes genitalis dengan komplikasi radikulopati sakral, yang memberikan gejala hiperestesi. Sekali terinfeksi, virus akan berdiam diri dia ganglion dorsalis, tidak menimbulkan gejala, dan dapat ter reaktivasi kembali dari waktu ke waktu. Hasil studi menunjukkan bahwa HSV2 lebih sering kambuh dibandingkan dengan HSV1 Episode pertama infeksi dihhubungkan dengan penyakit yang lebih luas, gejala sistemik, dan penyebaran virus yang lebih parah dibandingkan dengan kekambuhan. Komplikasi neurologis biasnaya dihubungkan dengan infeksi primer, walaupun, tidak seperti meningitis aseptik dan meningisme yang terjadi cukup sering yaitu sekitar 20%- 30%, disfungsi sistem syaraf autonom dan radikulopati sakral cukup jarang yaitu sekitar 1%-2% kasus. Walaupun kebanyakan laporan kasus pada pasien yang didiagnosis HSV2, komplikasi neurologi perifer mungkin terjadi pada HSV tipe lain neuralgia post herpetik 3%-7% pasien mempunyai nyeri yang menetap selama tiga bulan setelah timbul lesi, dan 2%-5% setelah satu tahun Patogenesis dari neuralgia post herpetik dan sindroma nyeri neuropati, ialah dikarenakan inflamasi, kerusakan neuron, dan disregulasi sistem imun, walaupun mekanisme sesungguhnya belum jelas Studi menunjukkan bahwa insidensi dan durasi neuralgia post herpetik berhubungan dengan usia
Riwayat klinis pasien, dan dengan tidak ditemukannya lesi pada daerah oro labia, membantu menyingkirkan diganosis banding yang lain seperti erupsi karena obat (fixed drug eruotion, eritema multiforme), pemfigus, penyakit kelompok pemfigoid, gigitan serangga dan infestasinya. Gejala kekambuhan pada pasien membantu mengkonfirmasi adanya herpes genitalis.
Kelemahan utama dari kasus ini adalah kami tidak dapat membuat diagnosis laboratorium yang pasti. Bagaimanapun juga, lesi yang khas dan gejala kekambuhan, riwayat pajanan terhadap sumber positif HSV2, dan penyembuhan yang cepat pada lesi dengan menggunakan pengobatan antivirus membuat kami semain yakin bahwa diagnosis klinis pada pasien adalah herpes simplex pada kedua episode.