Anda di halaman 1dari 13

1 | P a g e

R I N G K A S A N
I. HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
1. TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Menurut Samuel P. Huntington, dalam 30 tahun terakhir ini banyak negara-negara
yang dikuasai oleh rezim otoritarian beralih menjadi negara demokrasi. Perubahan ini
banyak terjadi di negara berkembang Asia, Eropa Timur dan Amerika Latin. Rezim
otoritarian ini berkaitan erat dengan totaliterisme sehingga menjadi negara totaliter.
Hakekat totaliterisme, menurut George Orwell dalam bukunya Animal Farm, adalah
dimana penguasa memimpin negara tanpa gangguan dari masyarakat yang dipimpinnya dan
memonopoli kekuasaan. Penguasa totaliter mengatur semua hal tentang masyarakatnya,
bagaimana mereka hidup, makan, bekerja, belajar dan berbagai kegiatan lainnya. Rezim
totaliter yang paling terkenal adalah pemerintahan Nasional-Sosialisme (Nazi) yang
dipimpin oleh Adolf Hitler, dan Bolshevisme Soviet di bawah pimpinan Joseph W. Stalin.
Perubahan dari negara totaliter menjadi negara demokrasi terjadi karena beberapa hal.
Di beberapa negara terjadi penguatan kelompok reformis sehingga mendorong
pemerintahan menjadi demokratis. Ada pula yang terjadi karena negosiasi antara rezim
berkuasa dengan kelompok oposisi. Dalam sedikit kasus juga terdapat campur tangan
Amerika Serikat dalam menjatuhkan rezim otoriter dan menggantikannya dengan pimpinan
baru yang demokratis dan dipilih rakyat.
Rezim totaliter umumnya berkaitan erat dengan militer sebagai penguasa rezim.
Sementara itu, di dalam negara demokrasi, fungsi militer murni sebagai alat pertahanan dan
keamanan negara. Di dalam masa transisi ini biasanya diperlukan reposisi hubungan antara
militer dan sipil sehingga terjadi pengalihan kekuasaan di beberapa bidang yang awalnya
dikuasai oleh militer. Militer juga ditarik dari sektor politik dan kembali ke barak sebagai
alat pertahanan dan keamanan negara. Fungsi militer dan sipil dipetakan kembali sehingga
2 | P a g e

menjadi seimbang dan berperan sesuai fungsinya masing-masing. Supremasi sipil
ditegakkan, sehingga dapat menentukan kebijakan politik negara dan harus diikuti oleh
militer.
Akibat dari adanya perubahan dari rezim totaliter ke negara demokrasi, yang disebut
dengan transisi politik, maka perlu dibuat kebijakan-kebijakan baru yang dapat memberikan
perlindungan bagi masyarakat negara tersebut. Kebijakan ini diperlukan untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan rezim totaliter yang sebelumnya
memerintah. Penyelesaian masalah yang dilakukan tidak merupakan balas dendam politik,
tetapi lebih kepada penyelesaian masalah untuk membawa kepada kehidupan yang lebih
baik dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Tatanan sosial baru, berupa lembaga-
lembaga negara yang lebih bersifat demokratis harus dibentuk sebagai fungsi kontrol
terhadap pemerintah yang berkuasa sekaligus menyelesaikan permasalahan rezim
terdahulu.
Dalam kaitannya dengan masa transisi, perubahan dari rezim totaliter menjadi negara
demokratis tidak semata-mata hanya berupa demiliterisasi. Perlu perubahan paradigma dari
militer untuk mengubah doktrin fundamentalnya dan beralih menjadi alat pertahanan dan
keamanan semata.

2. HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
Dalam masa transisi politik ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat.
Akibat dari rezim totaliter yang represif, dengan adanya demokrasi maka timbul tuntutan-
tuntutan untuk mengadili kejahatan-kejahatan hak asasi manusia yang pernah terjadi.
Akan tetapi seringkali atas nama rekonsiliasi, para pelaku kejahatan hak asasi
manusia tersebut tidak mendapatkan hukuman yang pantas bahkan mendapatkan amnesti.
Para penuntut keadilan atas kejahatan hak asasi manusia tersebut melakukan protes dan
3 | P a g e

menganggap mereka melakukan kejahatan kemanusiaan dan pantas untuk dihukum berat.
Sementara pemerintah yang baru memberikan amnesti karena dianggap sebagai bagian dari
proses rekonsiliasi.
Perspektif hukum internasional menyatakan bahwa states to punish certain human
rights crimes committed in their territorial jurisdiction termasuk khususnya kejahatan
terhadap kemanusiaan. Perspektif ini mensyaratkan negara untuk memiliki suatu tata
hukum yang sah, yang dapat menjatuhkan hukuman, bukan untuk melakukan balas
dendam.
Perspektif hukum internasional ini memicu perdebatan antara dua kelompok. Ada
yang bersikap outward looking, yang berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-
badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Ada pula yang bersikap
inward looking yang berpendapat bahwa keputusan keputusan-keputusan internasional
memang perlu dihormati dan dilaksanakan, atas dasar konsep kedaulatan negara.

3. PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA
Beberapa ahli ilmu politik menyebutkan situasi rezim di beberapa negara Amerika
Latin pada masa pra-transisi politik bersifat otoriterisme birokratis dan tradisional.
Contohnya adalah transisi politik di Nikaragua yang dikuasai oleh rezim Somoza adalah
termasuk salah satu negara yang bersifat otoriterisme birokratis. Sementara di Peru
bersifat otoriter populis.
Sedangkan di Eropa, contohnya adalah yang terjadi di Yunani. Pada tanggal 21 April
1967 suatu kelompok perwira militer tingkat menengah yang disebut junta telah mengambil
alih pemerintahan dari Perdana menteri George Papandreou yang menjamin untuk
memegang kekuasaan secara sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari
korupsi dan mengembalikan Yunani ke arah demokrasi.
4 | P a g e

Sementara di Spanyol, pada tahun 1939 Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai
pemenang dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara totaliter dengan tujuan
untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat. Namun, pada tahun 1980-
an, rezim totaliter di Spanyol tersebut diganti dengan rezim yang demokratis yang benar-
benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

II. KEADILAN TRANSISIONAL
1. PENGANTAR
Masyarakat yang baru merasakan demokrasi berusaha untuk memutuskan kaitan
dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi. Reaksi masyarakat dapat
berupa hukuman untuk penguasa yang lama atau membiarkannya. Akan tetapi, sebagian
besar negara menutup mata terhadap masa lalunya.
Menurut Daan Bronkhorst, ada tiga hal yang perlu dibahas dalam konteks keadilan
pada masa transisi yaitu :
Kebenaran;
Rekonsiliasi; dan
Keadilan.
Dari tiga hal di atas, masalah keadilan paling banyak menimbulkan perdebatan.
Komisi-komisi negara yang dibentuk untuk menuntaskan masalah masa lalu yang
otoriter menunjukkan bahwa pentingnya konsepsi keadilan transisional. Menurut Ruti G.
Teitel, jika suatu negara yang otoriter sudah berubah ke arah demokrasi, maka akan timbul
permasalahan bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi
pada masa lampau. Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan masa depan negara.
Beberapa pertanyaan yang timbul antara lain :
5 | P a g e

Bagaimanakah pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap
aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?
Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif?
Adakah kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang
represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?
Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?

2. KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI
Permasalahan yang timbul pada masa transisi ini seringkali harus melibatkan pihak-
pihak lain di luar pemerintah baru yang berkuasa. Badan-badan internasional harus ikut
berperan serta untuk mengawal masa transisi dalam kaitannya dengan pihak-pihak yang
mencari keadilan.
Hukum internasional dapat menjadi pemecah kebuntuan dalam proses transisi.
Hukum internasional berguna untuk mengurangi perdebatan mengenai aturan hukum yang
dibuat oleh pemerintah baru pada masa transisi dan dapat menjustifikasi legalitas berkaitan
dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif (azas berlaku surut).
Pada bulan Februari 1948 di Cekoslowakia, komunis mendesak pemerintahan koalisi
untuk mundur dan kemudian mengambil alih kekuasaan tersebut. Rezim komunis di
Cekoslowakia tersebut memaksakan suatu sistem pemerintahan yang sama dengan Uni
Soviet dimana partai melakukan kontrol terhadap negara. Proses transisi di negara ini
dilakukan seperti terjadi di Uni Soviet.
Perekonomian ambruk, kemudian program ekonomi yang barupun dicanangkan. Pada
Januari 1968 terjadi reformasi demokrasi dan ekonomi. Hal tersebut mengakibatkan
munculnya pemerintahan baru yang dengan cepat melawan warisan-warisan ketidakadilan
dari rezim komunis. Pemerintah yang baru memberikan amnesti kepada 200,000
6 | P a g e

narapidana dan mengungkapkan kasus 100,000 tahanan politik yang diidentifikasikan
sebagai kolaborator dan informan yang kemudian memuncak dengan diberlakukannya Law
on Lustration pada 4 Oktober 1991.
Ada empat skenario yang diperkirakan terjadi pasca jatuhnya komunis, yaitu:
Suatu negara pascakomunis secara gradual bertransformasi menjadi suatu negara
demokrasi pluralis yang stabil;
Dari suatu sistem otoritarian, beberapa peneliti menghasilkan suatu gradasi yang baik
dari hal ini, dan dapat diargumentasikan bahwa suatu pembedaan harus dibuat antara
kelompok populis, nasionalis, militer, dan bahkan versi-versi, dengan asumsi adanya
kemungkinan kembalinya ke sistem komunis lama, meskipun tidak terdapat sinyal-
sinyal yang meyakinkan tentang kemungkina terjadinya hal ini padasaat ini, dalam
konteks komunis;
Secara essential tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana pemerintah
berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah;
Skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; skenario ini tidak dapat
diprediksi, karena tidak dapat dimasukkan dalam kategori-kategori yang telah ada
sebelumnya.
Skenario-skenario ini dibuat untuk mengelompokkan negara-negara komunis, karena
ada lebih dari 30 (tiga puluh) negara yang pernah mengalami rezim otoriter (komunis) dan
tidak mungkin dilakukan penelitian satu-persatu.

3. KEADILAN DALAM MASA TRANSISI POLITIK
Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat
dua pandangan yang berbeda, yakni pandangan kelompok realis melawan pandangan
7 | P a g e

kelompok idealis, dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang
pembangunan demokrasi.
Keadilan transisional adalah keadilan yang diasosiasikan dengan konteks ini dan
keadaan-keadaan politik. Transisi mengimplikasikan pergeseran-pergeseran paradigma
dalam konsepsi keadilan; karenanya, fungsi hukum menjadi secara mendalam dan secara
inheren berlawanan azas (paradoxical).
Apabila kondisi politik suatu negara berubah, maka hukumnya akan berubah juga.
Jadi hukum adalah alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Dalam penyusunan teori liberal, yang dominan dalam hukum internasional dan
politik, hukum pada umumnya mengikuti konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak
dipengaruhi oleh konteks politik. Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis,
sebagaimana kelompok realis menekankan pada kaitan yang erat antara hubungan hukum
dan politik.
Dalam penelitiannya di Indonesia, Moh. Mahfud Mahmudin menyimpulkan bahwa
ada intervensi antara politik terhadap hukum. Dalam realitanya, hukum tidak steril dalam
pembentukannya. Politik sering berperan dalam pembuatan dan pelaksanaannya.

4. DILEMA PENERAPAN ATURAN HUKUM
Pada masa transisi politik timbul suatu dilema dalam hal penghormatan terhadap
aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan masalah keadilan pada rezim yang
menggantikan. Pertanyaan yang muncul adalah, atas dasar apa rezim yang terdahulu dapat
dibawa ke pengadilan?
Sebagai contoh, di Jerman ada 2 (dua) ahli hukum yang saling bertolak belakang
dalam hal penghukuman terhadap para mantan kolaborator Nazi, yaitu: Hart dan Fueller.
Hart menganut aliran positivisme hukum yang menyatakan bahwa seluruh hukum yang
8 | P a g e

masih berlaku wajib dilaksanakan sebelum ada ketentuan-ketentuan hukum baru, jadi
walaupun tidak bermoral tetap harus dijalankan. Sedangkan menurut Fueller peraturan yang
menghukum para Nazi tersebut adalah hukum yang baru dibuat berdasarkan demokrasi
karena putusnya hubungan dengan rezim otoriter maka putus pula hubungan hukum Nazi
tersebut. Pada akhirnya pemerintahan Jerman memakai cara Fueller untuk menghukum para
kolaborator Nazi tersebut.





9 | P a g e

T A N G G A P A N

Dari pembahasan dalam buku Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia
oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, SH, M. Hum., ada beberapa hal yang perlu dicermati. Yang
utama adalah semakin majunya peradaban, teknologi dan kesejahteraan, maka semakin
banyak rezim otoriter yang runtuh dan berganti menjadi pemerintahan yang demokratis.
Hal ini dapat terlihat dari perkembangan yang terjadi di beberapa negara dalam beberapa
tahun terakhir ini. Yang terhangat adalah tumbangnya rezim otoriter di Irak, Mesir dan
Libya yang memicu pertumpahan darah dan saat ini berada dalam masa transisi.
Apabila kita cermati, rezim otoriter ini pada akhirnya tumbang akibat adanya people
power. Gelombang reformasi dan revolusi yang dikumandangkan oleh rakyat mampu untuk
menjatuhkan pemimpin yang otoriter dan represif. Saat ini sudah tidak banyak lagi negara
yang diperintah oleh rezim otoriter dan telah berganti menjadi negara demokratis yang
mencerminkan suara rakyat.
Dari pengamatan dan informasi yang didapatkan, perubahan dari negara totaliter
menjadi negara demokrasi terjadi karena beberapa hal. Di beberapa negara terjadi
penguatan kelompok reformis sehingga mendorong pemerintahan menjadi demokratis. Ada
pula yang terjadi karena negosiasi antara rezim berkuasa dengan kelompok oposisi. Dalam
sedikit kasus juga terdapat campur tangan Amerika Serikat dalam menjatuhkan rezim
otoriter dan menggantikannya dengan pimpinan baru yang demokratis dan dipilih rakyat.
Kepentingan Amerika Serikat ini biasanya dibungkus dengan isu hak asasi manusia.
Walaupun apabila kita gali lebih dalam, kepentingan ekonomi lebih banyak berperan di
dalamnya. Amerika Serikat sebagai negara adikuasa dan adidaya tidak ingin ada suatu
negara lain yang memiliki power lebih besar dan mampu untuk menyaingi sebagai negara
adikuasa.
10 | P a g e

Khusus untuk negara-negara di Timur Tengah yang kaya akan minyak, kita tidak
dapat menafikan campur tangan Amerika Serikat dalam proses revolusi yang terjadi disana.
Walaupun harus diakui, negara-negara tersebut diperintah oleh rezim otoriter, tetapi mereka
sesungguhnya berhak untuk menentukan nasib diri mereka sendiri tanpa campur tangan
pihak luar.
Apabila kita kaitkan dengan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1998, hal ini
juga terjadi di negara kita. Setelah selama 32 tahun kita berada di bawah rezim Orde Baru
di bawah pimpinan Soeharto yang otoriter, melalui gerakan reformasi yang dimotori
mahasiswa, maka akhirnya pemerintahan Orde Baru tumbang. Tumbangnya pemerintahan
Orde Baru ini membawa korban yang tidak sedikit, akan tetapi relatif lebih mulus
dibandingkan tumbangnya rezim-rezim otoriter di negara-negara lain yang seringkali
menimbulkan revolusi dan pertumpahan darah dan mengakibatkan korban jiwa dalam
jumlah yang besar dan bahkan mengakibatkan perang saudara dan perpecahan seperti yang
terjadi di negara-negara Balkan.
Tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, dilanjutkan oleh
B.J. Habibie kemudian Abdurrahman Wahid serta Megawati Soekarnoputri yang mengawal
masa transisi sebelum diadakannya pemilihan presiden secara langsung dan demokratis
yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Selama masa transisi tersebut banyak pencapaian yang diperoleh walaupun banyak
juga perdebatan dan pro-kontra mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di negara ini.
Salah satu perubahan signifikan adalah dicabutnya Dwifungsi ABRI, dan mengembalikan
tentara ke barak sebagai alat pertahanan. Kemudian pemisahan Polri dari TNI,
menempatkan Polri sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan. Dihilangkannya fraksi
TNI Polri dari DPR/MPR juga mencerminkan ditariknya TNI/Polri dari politik. TNI aktif
11 | P a g e

dilarang untuk menjadi kepala daerah, sesuatu yang umum di zaman Orde Baru dalam
program kekaryaan TNI.
Dalam masa transisi tersebut juga muncul lembaga-lembaga baru yang bertugas
mengawal proses transisi dan menjaga kelangsungan negara. Mahkamah Konstitusi lahir
sebagai lembaga yang memiliki fungsi dan peran menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip
konstitusionalitas hukum.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans
Kelsen, pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of
Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi
dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas
untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak
konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus
berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat
juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong
Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah
Mahkamah Konstitusi pertama di dunia yang kemudian diikuti di negara lain termasuk
Indonesia.
Selain itu muncul pula beberapa lembaga lain yang baik secara langsung maupun
tidak langsung bertugas sebagai pengawas dan supervisi bagi pemerintah yang berkuasa.
Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga yang khusus melindungi dan mengawasi
mengenai pelanggaran HAM. Selain itu dibentuk pula Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Ada adagium yang menyatakan power
tends to corrupt. KPK secara tidak langsung hadir untuk mengawal agar kekuasaan
12 | P a g e

berjalan pada koridornya dan tidak menjadi absolut, atau sebaliknya memanfaatkan uang
negara secara tidak sah melalui korupsi untuk melanggengkan kekuasaan.
Akan tetapi dibalik semua perubahan itu ada beberapa hal yang sampai saat ini terus
mengganjal. Adanya tuntutan dari masyarakat untuk mengadili pejabat-pejabat atas
pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan pada rezim Orde Baru belum semuanya
terpenuhi. Soeharto, yang dituntut atas dasar korupsi kolusi dan nepotisme, sampai akhir
hayatnya tidak dapat dihukum. Mungkin juga pemerintah saat ini mementingkan
rekonsiliasi demi menjaga kelangsungan dan kestabilan negara.
Selain itu, di masa Orde Baru juga banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang
saat ini dituntut untuk dibuka kembali. Rezim Orde Baru yang otoriter banyak
meninggalkan korban-korban yang sampai saat ini masih menuntut keadilan. Seperti korban
Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, pelanggaran HAM di Timor Timur dan Papua, kasus
penculikan dan hilangnya aktivis politik, sampai dengan kasus Trisakti dan Semanggi I & II
yang banyak mengorbankan mahasiswa.
Tekanan baik dari dalam negeri maupun luar negeri sudah cukup keras. Tetapi
pemerintah tidak mempunyai political will untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Padahal perangkat dan aturan hukum atas pelanggaran-pelanggaran tersebut sudah jelas.
Lembaga dan badan dunia juga sudah menekan dan mengancam untuk membawa para
pelanggar HAM ke Mahkamah Internasional.
Saat ini negara kita masih mengalami pergolakan dan secara politik belum stabil.
Sistem multi partai dan jumlah partai yang terlalu banyak, dapat menghambat kemajuan
bangsa baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Memang secara demokrasi hal tersebut
merupakan indikator positif bagi demokrasi di negara kita. Tapi secara praktis dapat kita
lihat hal ini berpotensi menimbulkan perpecahan dan hambatan bagi kemajuan bangsa.
Apabila kita lihat saat ini Presiden sebagai kepala pemerintahan banyak tersandera secara
13 | P a g e

politik. Mulai dari pemilihan menteri yang banyak mengakomodir kepentingan partai
politik daripada membuat kabinet ahli (zaken kabinet), sampai pengambilan keputusan-
keputusan penting yang seringkali harus memperhatikan kepentingan partai politik lain.
Sesungguhnya hal ini bagus sebagai proses pendewasaan berdemokrasi. Akan tetapi
euphoria reformasi ini tidak boleh terlalu lama dan kita harus segera bergerak maju untuk
menyongsong kejayaan bangsa sebagai salah satu negara besar di dunia.

Anda mungkin juga menyukai