Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalh kekerasan yang dilakukan di
dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum
perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau
orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah
orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan
suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT
sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem
hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk
memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada
sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik,
seksual, emosional atau secara spiritual. Istilah ini dapat digunakan sebagai kata benda jika
merujuk pada perempuan yang menyukai sesama jenis, atau sebagai kata sifat apabila bermakna
ciri objek atau aktivitas yang terkait dengan hubungan sesama jenis antar perempuan.












BAB II
KASUS
Skenario 1
Ny. Dita, 27 tahun, bercerai dari suaminya akibat KDRT yang sering dilakukan
suaminya. Ia adalah anak perempuan tunggal dari keluarga yang terpandang
Skenario 2
Ny. Dita menceritakan riwayat hidupnya sebagai berikut :
Menjadi anak perempuan tunggal dari keluarga yang amat terpandang ternyata tidak
mudah. Segala sesuatu dipersiapkan untuk menjaga status orangtuaku di masyarakat. Hingga
pada akhirnya mereka mengetahui bahwa aku seorang lesbian dari surat pacarku yang mereka
temukan. Mama menangis dan papa marah besar. Sejak saat itu penjagaan terhadap aku
diperketat. Pulang pergi kuliah, aku ditunggui oleh sopir yang sudah diwanti-wanti untuk
mengatasi gerak-gerikku. Siapa temanku, kemana saja aku pergi dan berapa lama, itu semua
harus dilaporkan pada orang tuaku. Bahkan secara berkala mama membawa aku berobat ke
seorang psikolog dengan harapan sewaktu-waktu aku bisa berubah. Setelah lulus kuliah, papa
memaksa aku untuk menikah dengan seorang pria anak relasi bisnisnya. Papa khawatir kalau-
kalau aku masih berhubungan dengan pacarku itu. Aku menangis dan memohon kepada mama
untuk membatalkan pernikahan itu. Tetapi mama tidak berdaya, malah menangis menyesali
mengapa melahirkan anak seperti aku, seorang lesbian.
Seminggu sebelum pernikahan aku nekat mendatangi pacarku. Kami menangis berdua
dan ia meminta aku untuk tabah, pesta perkawinanpun berlangsung dengan sangat meriah. Aku
mencoba menjalani kehidupan perkawinan normalku dan berharap aku bisa berubah. Tetapi
semua usahaku sia-sia. Suamiku sering memperlakukan aku dengan kasar dan puncaknya ketika
mengetahui bahwa aku seorang lesbian. Aku sering dipukul dan dianiaya, apalagi ketika
menurutnya aku tidak melayani dengan baik diranjang. Aku pernah diperkosa beberapa kali.
Ketika tidak tahan lagi aku sering menelpon pacarku untuk mengadukan penderitaanku.
pacarku menyarankan aku mengadukan pada yang berwajib, apalagi luka dan memar di
tubuhku bisa dijadikan sebagai alat bukti. Aku tidak berani melakukan itu, apa jadinya kalau
keluargaku tahu dan ini lalu jadi bahan berita. Aku hanya diam, mungkin memang lebih baik
seperti itu, toh aku merasa lama-lama tubuhku menjadi imun terhadap kekerasan yang dilakukan
suamiku. Tetapi lama-kelamaan kekerasan itu terbongkar juga, ketika aku harus masuk ke rumah
sakit. Akhirnya aku bercerai dengan suamiku, tetapi hidupku tetap tidak berubah. Aku hanya
berpikir, seandainya saja dalam hidup ini setiap orang boleh bebas memilih, termasuk untuk
tidak jadi lesbian, mungkin hidupku tidak akan seburuk ini.


Skenario 3
Pasca perceraian, Ny. Dita kembali tinggal di rumah orang tuanya. Melihat kondisi
anaknya yang penuh penderitaan baik fisik maupun psikologis, ayah ibunya merasa tidak tega
dan mau menerima kembali anaknya. Ibunya malah sekarang sering menangis dan merasa tidak
mengerti mengapa hal yang demikian memalukan terjadi pada keluarganya, pada anaknya
sendiri. Sering ibunya berpikir, apakah ini suatu takdir? Apakah ini suatu hukuman dan teguran
dari Yang Maha Kuasa? Apakah ini suatu ujian kesabaran? Apakah ini suatu karma? Apa dosa-
dosa yang telah aku lakukan sehingga aku mendapat hukuman yang demikian beratnya ini.
Sebaliknya, ayahnya tetap tegar dan merasa yakin bahwa dalam keluarganya tidak ada keturunan
seperti kelakuan anaknya. Ia ingin sekali mencari penyebab yang membuat anaknya berperilaku
demikian. Oleh karena itu ayahnya lalu pergi menemui dokter yang mengobati anaknya saat
dirawat dirumah sakit. Menurut dokter, banyak faktor yang dapat menyebabkan penyimpangan
perilaku seksual seperti yang terjadi pada Ny. Dita, mungkin bisa dari aspek medis, psikologis,
sosiokultural, dan mungkin pula tidak diketahui penyebabnya. Yang paling obyektif untuk dicari
adalah aspek medis, yaitu dengan menganalisis bagaimana struktur kromosom dan hormonalnya,
apakah menunjukkan cirri-ciri kearah pria atau wanita. Kalau ada ketidak sesuaian dengan
bentuk fisik organ seksnya, bisa dikoreksi dengan operasi ganti kelamin.
Skenario 4
Setelah mendengar penjelasan dokter, keesokan harinya, ayahnya mengajak Ny. Dita ke
rumah sakit. Namun Ny. Dita serta merta tidak mau diperiksa dan menolak menandatangani
inform-consent. Ayahnya marah dan memaksa anaknya agar mau diperiksa dan menandatangani
inform-consent, Ny. Dita tetap menolak dan mengatakan bahwa ia memang benar anak ayah,
namun yang berhak atas tubuhnya adalah dia, bukan ayahnya. Biarlah apa-apa yang sudah
diberikan oleh Tuhan pada dirinya, tetap terjadi seperti kehendakNya. Apakah itu baik atau
buruk menurut penilaian orang. Akhirnya ayahnya mengalah dan mengajak Ny. Dita pulang.






BAB III
PEMBAHASAN KASUS
MASALAH :
Ny. Dita mengalami KDRT oleh suaminya.
Dari hasil anamnesis, Ny.Dita mengakui bahwa dirinya merupakan seorang lesbian. Dan
mengatakan, KDRT yang dilakukan oleh suaminya adalah karena menurut suaminya
dirinya tidak dapat melayani dengan baik di ranjang. Dan Ny. Dita mengaku bahwa
pernikahan tersebut dilatarbelakangi oleh keterpaksaan.
Kenyataan bahwa dirinya lesbian, membuat tekanan tersendiri terhadap dirinya, yang
harus menjaga status orangtua di masyarakat karena termasuk keluarga terpandang. Serta
kenyataan bahwa dirinya merupakan anak perempuan tunggal dari keluarga tersebut.
Tak dapat dielakkan, hingga pada akhirnya kedua orangtua Ny. Dita mengetahui
kenyataan tersebut langsung,membatasi ruang gerak Ny.Dita, dan mengambil langkah
tegas yaitu menikahkan Ny.Dita dengan seorang pria. Bahkan, secara berkala, sang ibu
membawa Ny. Dita ke psikolog.
Ibu dari Ny.Dita menjadi sering menangis dan merasa bahwa ini merupakan hukuman
dan teguran dari Yang Maha Kuasa.
Ayah Ny. Dita mencoba mencari penyebab perihal mengapa anaknya berperilaku
demikian, yang menurut dokter, banyak faktor yang mengakibatkan penyimpangan
perilaku seksual seperti yang terjadi pada Ny.Dita, bisa jadi dari aspek medis, psikologis,
sosiokultural, atau mungkinpula tidak diketahui penyebabnya.
Dokter menganjurkan untuk mengidentifikasi kelainan yang mungkin terdapat dari segi
medis (sebagai faktor yang paling objektif) yaitu dengan melakukan analisis struktur
kromosom dan hormonalnya, atau kalau ada ketidaksesuaian dengan bentuk fisik organ
seksnya.
Ny. Dita menolak untuk melakukan pemeriksaan anjuran tersebut.

PANDANGAN KELOMPOK KAMI MENGENAI KASUS :
KDRT seharusnya tidak dilakukan oleh suami Ny.Dita , karena dari sudut pandang
hukum, moral, maupun agama tidak memperbolehkan untuk terjadinya kekerasan di
dalam sebuah rumah tangga baik pihak laki-laki maupun pihak wanita
Ditinjau dari segi keluarga (orang tua) dari Ny.Dita kemungkinan faktor penyebab
terjadinya disorientasi seksual berasal dari pola asuh orang tua yang salah dimana
ayahnya bersikap terlalu otoriter dan kasar sehingga membentuk sikap antipati kepada
pria
Seharusnya, saat mengetahui bahwa kenyataan yang menimpa Ny.Dita, kedua orangtua,
tidak serta merta langsung mengambil langkah serius yakni menikahkan Ny.Dita, dengan
keterpaksaan tersebut. Dan seharusnya pula dilakukan pemeriksaan pra nikah untuk
mendeteksi kelainan secara kromosomal,hormonal, atau penyakit infeksi lainnya yang
mungkin bisa terdeteksi lebih dini pada masing-masing pasangan sebelum terjadinya
pernikahan tersebut.
Disorientasi seksual (lesbian) yang dialami Ny.Dita tetap dianggap perilaku seksual yang
abnormal yang bertentangan menurut hukum yang berlaku di Indonesia, agama dan
moral .
Pasca perceraian, , walaupun bagaimanapun, tetap harus diperiksakan untuk
mengidentifikasi adanya kelainan yang secara objektif memang ditemukan pada diri
Ny.Dita.
Ny.Dita yang masih menolak untuk dilakukannya pemeriksaan, seharusnya, diupayakan
untuk sebisa mungkin mengikuti pemeriksaan tersebut dan apabila ditemukan kelainan
pada seks kromosom dan kelainan anatomi pada alat genitalia Ny. Dita, dapat dianjurkan
untuk melakukan koreksi dengan operasi ganti kelamin.
Jika Ny.Dita tetap bersikukuh untuk tidak dilakukannya pemeriksaan, dijelaskan pula
dampak-dampak yang mungkin timbul perihal anggapan masyarakat, dan tetap
bertentangan dengan norma agama, hukum, moral. Berbeda halnya jika ia hendak
melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya kelainan fisik, dan bila memang
ditemukan adanya kelainan, maka, penatalaksanaan terkait transgender dapat segera
dilakukan, walau mungkin pada awalnya akan ada pro dan kontra di masyarakat, hal ini
lambat laun akan segera diterima oleh masyarakat karena disorientasi dapat dipahami
sebagai sesuatu yang terjadi sebagai kenyataan kelainan lahiriah atau kromosomal yang
awalnya tidak diketahui.

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.Dita
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : -
Alamat : -


ANAMNESIS
(untuk mengetahui adanya kelainan psikologis yang dialami pasien)
Riwayat Penyakit Sekarang
Apakah anda mempunyai masalah pribadi yang membuat anda membenci lwan jenis ?
Siapakah yang berpernan sebagai laki-laki dan perempuan dalam hubungan yang anda
jalani dengan pacar anda saat ini ?
Apakah ada unsur pemaksaan dari orang lain atau pacar anda untuk melakukakn
hubungan ini ?

Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah anda mengalami trauma masa lalu dengan lawan jenis sehingga membuat anda
melakukan hubungan yang anda jalani saat ini ?
Apakah anda pernah melakukan hubungan sesama jenis sebelum dengan pacar anda
yang sekarang ?
Apakah anda pernah melakukan terapi psikologis untuk keadaan anda yang seperti ini
dan bagaimana manfaat terapi tersebut menurut anda ?
Sejak kapan anda memiliki ketertarikan dengan sesama jenis ?
Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah di dalam keluarga anda ada yang mengalami hal yang sama sengan yang anda
hadapi saat ini ?


Riwayat Kebiasaan
Apakah anda lebih merasa nyaman menjadi seseorang laki-laki daripada wanita ?
(contohnya lebih nyaman berpakaian seperti laki-laki, tidak suka berdandan)
Apakah anda merasa nyaman untuk bercerita tentang masalah yang anda hadapi kepada
ke dua orang tua anda

PENATALAKSANAAN
Dokter disini, juga harus berperan serta untuk menangani pasien secara holistik, dimana juga
terkait dengan tindakan bagaimana seharusnya orangtua pasien menghadapi pasien. Urutan
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien ini, antara lain :
Berusaha sebisa mungkin meyakinkan pasien untuk menjalani pemeriksaan untuk
mendeteksi kelainan genitalia, atau kelainan kromosomal ( dengan Analisis Kromosom)
yang dimiliki pasien sebagai salah satu kemungkinan faktor penyebab terjadinya
disorientasi seksual (lesbian) pada pasien ini.
Jika tidak ditemukan kelainan secara medis, bisa dilihat dari faktor psikologis dan
sosiokultural sebagai penyebab. Yang seharusnya dapat diubah secara bertahap, dimulai
dari perbaikan pola asuh orang tua.
Jika ditemukan kelainan secara medis berupa kelainan kromosom dan kelainan pada alat
genitalia Ny. Dita yang memiliki kencenderungan ke arah pria, maka dapat dianjurkan
untuk melakukan koreksi berupa operasi ganti kelamin.
Perbaikan pola asuh orang tua dilakukan untuk memulihkan keadaan psikologis pasien
sehingga pasien memiliki motivasi untuk berubah dan agar pasien tidak merasa dirinya
tidak berguna.
Dilakukan pula pendekatan secara keagaman, mengenai fitrah seorang wanita, serta
mengenai mana yang baik dan yang buruk




























BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

TRANSGENDER dan TRANSEKSUAL
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan,
merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir.
"Transgender" tidak menunjukkan bentuk spesifik apapun dari orientasi seksual orangnya.
Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual,
homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual, atau aseksual. Definisi yang tepat untuk
transgender tetap mengalir, namun mencakup:
"Tentang, berkaitan dengan, atau menetapkan seseorang yang identitasnya tidak sesuai
dengan pengertian yang konvensional tentang gender laki-laki atau perempuan,
melainkan menggabungkan atau bergerak di antara keduanya.
"Orang yang ditetapkan gendernya, biasanya pada saat kelahirannya dan didasarkan pada
alat kelaminnya, tetapi yang merasa bahwa deksripsi ini salah atau tidak sempurna bagi
dirinya."
"Non-identifikasi dengan, atau non-representasi sebagai, gender yang diberikan kepada
dirinya pada saat kelahirannya."
Gambar di kanan contohnya, adalah orang yang berpakaian sebagai wanita, tetapi ia menunjukan
tanda pada tangannya bahwa ia memiliki kromosom XY. Hal ini berarti ia terlahir sebagai pria.
Transeksual merupakan keadaan dimana seseorang memilikikeinginan untuk hidup dan
diterima sebagai bagian dari orang yang memiliki jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya,
biasanya disertai dengan sensasiketidak nyamanan dan ketidak sesuaian dengan genitalianya dan
memilikikeinginan untuk melakukan operasi dan terapi hormon untuk membuattubuhnya sesuai
dengan identitas gender yang diinginkan.
(1,2,3)


ETIKA DAN MORAL TERHADAP TRANSGENDER
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk
dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan
teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatan itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi
mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D
Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan
budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi)
kepada azas manfaat (aliran utilitarian).
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan bebrapa rules dibawahnya,
antara lain :
1. Prinsip otonomi
Yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the
right to self determination). Prinsip moral yang menjadi dasar informed consent
2. Prinsip beneficence
Yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien.
Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan
yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).
Dalam kasus ini jika memang terbukti bahwa pasien secara fisik dan genetik perlu
dilakukan operasi transgender, maka tindakan yang dilakukan tersebut bertujuan demi kebaikan
pasien contohnya seperti memperjelas identitas pasien yang sebenarnya dan memperbaiki
psikologis pasien yang tertekan karena keragu-raguan.
3. Prinsip non-maleficence
Yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip
ini dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm
4. Prinsip justice
Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun
dalam mendistribusikan sumber daya (distribute justice).
Dalam kasus ini apabila telah ditemukan indikasi medis maka pasien berhak untuk
mendapatkan tindakan yang sesuai (transgender).(1)
Dalam kasus ini apabila sudah terdapat indikasi medis namun pasien menolak, kita tetap
harus memegang kaidah dasar di atas mengenai prinsip otonomi (menghormati hak-hak pasien
untuk menentukan pilihan). Secara moral tindakan tersebut tidak dapat kita lakukan.
(4)






1. a Hukum yang mengatur tentang Transgender
Dari sumber yang kami dapatkan belum ada Hukum yang membahas mengenai
transgender secara langsung, namun apabila di lihat dari Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bisa disimpulkan bahwa transgender perlu
untuk di fasilitasi dan dilindungi. Berikut isi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan transgender.
Bab II (asas-asas dasar)
Pasal 2
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia sebagia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia,
yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 3
(1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat
serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
semangat persaudaraan.
(2) Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. (3) Setiap orang
berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 5
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan
hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang
objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompk masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 8
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi
tanggung jawab Pemerintah.
(5)


Bab III (Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia)

Pasal 13
Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya,
bangsa, dan umat manusia.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak
miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia
berada.

Bab V (Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah)

Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,dan hak
miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia
berada.
Pasal 74
Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah. partai,
golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak. Atau menghapuskan hak asasi
manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undangundang ini.
(5)


2. Pandangan dari 5 Agama
a. ISLAM
A. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

ISLAM MENENTANG KDRT

Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam
kehidupan rumah tangga. Prinsip yang diajarkan Islam dalam membangun rumah tangga
adalah mawaddah, rahmah dan adalah (kasih, sayang dan adil). Dalam al-Qur'an
disebutkan " Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (Ar-rum: 21). Daslam ayat
lain disebutkan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri
[mu], walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung [kepada yang kamu cintai], sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri [dari kecurangan],
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (An-Nisa: 129).

Allah s.w.t. juga berfirman: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo`alah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Arf, 7:56).
Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku, dan Aku
jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling menzalimi
satu sama lain. (Hadis Qudsi, Riwayat Imam Muslim).

Kalimat di atas sangat jelas menggariskan bahwa salah satu tujuan berumah
tangga, adalah untuk menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih
sayang. Keluarga saknah anggota yang ada di dalamnya. Atau keluarga saknah,
mawaddah wa rahmah hanya bisa terbentuk apabila setiap anggota keluarga berupaya
untuk saling menghormati, menyayangi, dan saling mencintai. Itulah fondasi dasar
sebuah keluarga dalam Islam. Maka kekerasan dalam rumah tangga sangat dicela Islam
dan sangat bertentangan dengan nilai-nailai keislaman.
(6)


B. LESBI/ HOMOSEKSUAL


Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, kaum homoseksual hukumnya adalah haram dipandang
dari segi apapun. Hal yang paling mengerikan, homoseksual dilaknat oleh Allah SWT
dalam beberapa firman-Nya seperti:

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka),
bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (al-Araaf:
81).

Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan
mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya
tidak lain hanya mengatakan: Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar (al-Ankabuut: 29)


Homoseksual dalam Tinjauan al-Quran dan al-Hadis

Perilaku homoseksual disebut diantaranya dalam Q.S. al-Araf/7 : 30-34; dan Q.S.
Hud/11 : 77-82, satu rangkaian dengan kisah Nabi Luth dan umatnya. Umat Nabi Luth
adalah sekelompok manusia yang mempraktikan homoseksual dalam kehidupan sehari-
hari. Dari fenomena itu, lantas Allah mengutus Nabi Luth untuk memberi peringatan
kepada umatnya atas perilaku mereka yang terkutuk tersebut, walaupun pada akhirrnya
umat Nabi Luth diadzab oleh Allah karena keengganan mereka menerima peringatan
Nabi Luth. Kisah itu (Q.S. al-Araf/7 : 30-34).
C. TRANSGENDER

PANDANGAN ISLAM TENTANG TRANSGENDER


A) Seseorang yang dilahirkan normal dan melakukan operasi ganti kelamin

Seseorang yang dilahirkan dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu
penis (laki-laki) dan vagina (perempuan) yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium,
tidak diperbolehkan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi
kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam Musyawarah Nasional II, tepatnya tanggal 1 Juni 1980 tentang Operasi
Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Isi fatwa MUI tersebut sebagai berikut:

1. Merubah jenis kelamin laki-laki menjadi kelamin perempuan, atau sebaliknya,
hukumnya haram. Karena bertentangan dengan al-Quran surat al-Nisa ayat 119,
bertentangan pula dengan jiwa syara.

2. Orang yang kelaminnya diganti, kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan
jenis kelamin semula sebelum dirubah.

3. Seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakianya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-
lakiannya. Demikian pula sebaliknya dan hukumnya menjadi positif.

Selain itu, Para ulama fiqih juga mendasarkan ketetapan hukum penggantian kelamin
tersebut pada dalil-dalil berikut ini, yaitu:

a) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal

b) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 119.

Artinya: Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga
binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya[351], dan akan aku suruh
mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya[352]."
Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka
sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata

Perbuatan manusia yang diharamkan menurut ayat diatas, yaitu termasuk mengubah
ciptaan Tuhan seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut
dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus
(seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan
sebaliknya);

c) Hadits Nabi saw.:

Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan
orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan
dengan mengubah ciptaan Allah. (HR. Al-Bukhari)

d) Hadits Nabi saw.:

Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-
laki. (HR. Ahmad).

B) Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil

Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan
bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum
syariat. Contoh, jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk
mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk
memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan, bahkan dianjurkan sehingga menjadi
kelamin yang normal. Karena kelainan kelamin seperti ini dapat dikategorikan sebaigai
penyakit sehingga harus dan wajib diobati. Seperti pernyaataan ulama Hasanain
Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131),
ia mengatakan bahwa:

orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan
sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal
serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau
melakukan homoseks dan lesbianisme.

Untuk menghindari hal-hal tersebut, maka operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip Mashalih Mursalah karena kaidah fiqih
menyatakan Adh-Dhararu Yuzal (Bahaya harus dihilangkan). Hal ini sejalan dengan
hadits Nabi saw.: Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah
tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit,
yaitu penyakit ketuaan. (HR. Ahmad)

C. Seseorang yang memiliki kelamin ganda

Untuk kasus ini, yaitu seseorang yang memiliki kelamin ganda, islam memperbolehkan
mereka untuk melakukan operasi kelamin. Hal ini bertujuan untuk memperjelas dan
memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, maka ia
diperbolehkan melakukan operasi untuk mematikan dan menghilangkan salah satu alat
kelaminnya.

Namun , operasi kelamin yang dilakukan, harus sejalan dengan bagian dalam alat
kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian
dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk
memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis
dan vagina, sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka
ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi
sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas.

Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di
bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena
operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya berarti
melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini
bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-
Rum:30).

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Oleh sebab itu, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin diperbolehkan, asalkan
sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan
kelamin atau kelamin ganda.selain itu, peranan dokter dan para medis dalam operasi
penggantian kelamin ini juga tidak kalah penting, dalam status hukumnya sesuai dengan
kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk
bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya adalah sesuai syariat
Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala dan terpuji karena termasuk
anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.

D. PERNIKAHAN

Hukum Pernikahan dalam Islam

Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi,
para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama,
nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam
bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu,
asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah:
Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah
tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-
benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik
dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan
membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang
perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani
(mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau
tidak mampu menghidupu keluarganya.

Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
(1) persetujuan kedua belah pihak,
(2) mahar (mas kawin),
(3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi
hukum.
Sedangkan rukun perkawinan adalah :
(1) calon suami,
(2) calon isteri,
(3) wali,
(4) saksi dan
(5) ijab kabul.

E. PERCERAIAN

Pandangan Islam tentang Perceraian

Sesungguhnya pernikahan diselenggarakan dalam rangka membentuk keluarga dan
sekaligus mewujudkan ketenangan di dalamnya. Jika di dalam kehidupan pernikahan
muncul persoalan yang dapat mengganggu keluarga hingga batas yang tidak
memungkinkan dipertahankan keutuhannya, maka harus ada jalan keluar bagi kedua
belah pihak untuk berpisah. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing pihak tidak harus
memaksakan diri untuk mempertahankan ikatan pernikahan yang sudah diliputi dengan
perselisihan terus-menerus atau bahkan mungkin juga kebencian. Sebagaimana Allah
Swt. telah mensyariatkan pernikahan, Dia juga telah mensyariatkan adanya perceraian
(talak).



Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf
atau menceraikannya dengan cara yang baik. (QS al-Baqarah [2]: 229).

Di dalam as-Sunnah, ada riwayat yang bersumber dari Umar Ibn al-Khahthab yang
menyatakan, Nabi saw. sesungguhnya pernah menceraikan Hafshah, kemudian rujuk
kembali dengannya.

Sebagaimana pernikahan, perceraian adalah solusi bagi masalah dalam rumah tangga.
Sebagai solusi, perceraian boleh dilakukan tetapi tentu saja dengan cara yang baik dan
benar agar tidak justru menimbulkan persoalan baru.

Islam telah mengatur tentang talak, yaitu:
1. Wajib, jika perselisihan harus mendatangkan dua hakim akibat rumah tangga yang
mendatangkan keburukan, perselisihan, pertengkaran, bahkan menjerumuskan keduanya
pada kemaksiatan.
2. Sunnah, jika salah satu mengabaikan hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepadanya.
3. Mubah, jika salah satu mencerminkan akhlak yang tidak baik, pergaulan yang buruk,
dan menjauhkan dari tujuan pernikahan.
4. Makruh, jika dengan cara seperti ini akan mendatangkan kebaikan yang memang
disunnahkan.
5. Mahzhur (terlarang), jika kondisi istri dalam keadaan haid, nifas, dan tiga kalimat
talak dalam satu waktu.
Dengan demikian, menjadi perkara yang harus dihindari, meskipun dibolehkan dalam
islam, tetap saja yang namanya talak adalah perkara yang tidak disukai oleh Rasulullah
SWT.



b. KRISTEN

Pernikahan
Pernikahan adalah persekutuan seorang laki-laki dan seorang perempuan menurut tata
penciptaan suatu ikatan rohaniah antara pria dan wanita yang menikah. Pernikahan
harus merupakan hubungan ekslusif antara satu laki-laki dan satu perempuan, di mana
keduanya menjadi satu daging, disatukan secara fisik, emosional, intelektual dan
spiritual. Pernikahan dimaksudkan untuk seumur hidup.
Di dalam ketetapan pernikahan, suami dipanggil untuk menjadi kepala istri. Istri
dipanggil untuk tunduk kepada suaminya seperti kepada Tuhan. Suami dipanggil
untuk mengasihi istrinya.
Dasarnya adalah:
- Kejadian 1:27 Allah menciptakan laki-laki dan perempuan
- Kejadian 2:24-25 ... keduanya menjadi satu daging ...
Menurut agama kristen, tujuan pernikahan adalah:
- Propagasi atau prokreasi
Tugas suci untuk melanjutkan karya Allah menciptakan generasi penerus (Kej
1:28)
- Unifikasi atau kesatuan
Kesatuan daging/jiwa raga (Kejadian 2:24)
Sex hanya untuk pernikahan (1 Korintus 7:2)
- Rekreasi atau kesenangan
Wujud kesatuan dan tugas prokreasi serta dalam hubungan batin/rohani,
terjalin slaing percaya, bergantung da menolong sukacita, relasi
persahabatan (Amsal 5: 18-19)
Hakekat pernikahan kristen :
- Menganut azas monogami
Sejak awal, Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya
satu istri (Hawa)
Pernikahan untuk satu suami dan satu istri (1 Korintus 7:2, 1 Timotius 3:2)
Jangan mempunyai banyak istri (Ulangan 17:17)
Jangan mengingini istri orang lain (Keluaran 20:17)
- Pernikahan alkitabiah adalah antara seorang pria dan seorang wanita
Sejak awal Allah menciptakan laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:27,
Matius 19:4-5)
Reproduksi alamiah hanya terjadi bila melalui kesatuan pria dan wanita
(Kejadian 2:24)
Perkawinan homoseksual/lesbian, bukan pernikahan yang dikehendaki Allah/
tidak alkitabiah (Ulangan 23:17-18, Roma 1:27-28)
- Pernikahan adalah sesuatu yang suci
Suatu perjanjian di hadapan Allah yang menjadi saksi dan komitmen satu
sama lain (Kejadian 2:24, Maleakhi 2:14, Amsal 2:17)

1. Perceraian
Tuhan mengatakan bahwa pernikahan dimaksudkan untuk seumur hidup. Kesatuan
suami dengan istri ke dalam satu daging yang tidak dapat dibatalkan oleh ketetapan
manusia.
Apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata
Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN,
Allah Israel. Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen
seumur hidup. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua
manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi.
Di dalam kasus perzinahan setelah pernikahan, maka sah bagi pangan yang tidak
bersalah untuk mengajukan perceraian, dan setelah perceraian, untuk menikah dengan
orang lain sepertinya pasangan yang telah berzinah itu dianggap sudah mati.
Meskipun kecemaran manusia telah menimbulkan berbagai macam perbantahan
mengenai mereka yang telah disatukan oleh Allah dalam pernikahan, namun tetap
hanya atas dasar perzinahan atau ditinggalkan, maka baik gereja atau pemerintah sipil
dapat memberikan persetujuan untuk perceraian. Dengan kata lain, tidak ada kasus
lain yang cukup menjadi dasar bagi perceraian, ketertiban harus terus dijalankan, dan
pribadi-pribadi yang berkaitan dengan hal ini tidak boleh berjalan sesuai dengan
kehendaknya sendiri, dan kebijaksanaan mereka sendiri di dalam kasus mereka
masing-masing.
(7)


2. Lesbian
Lesbian ialah seseorang yang secara tubuh fisik adalah perempuan tetapi secara sifat,
tabiat, pembawaan dan keinginan adalah menyerupai laki-laki. Oleh sebab itu seorang
lesbian cenderung mencintai perempuan dan tidak tertarik (secara seksual) dengan
laki-laki.
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan,sebab
isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.
(Roma 1:26-27 )
Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa lesbian merupakan kasus penyimpangan,
dan karena itu aktifitas seks secara lesbian dapatlah dikategorikan sebagai tindakan
yang menyimpang dari kebenaran Firman Allah, yaitu: dosa!
(9)


3. Transgender
Interseksualitas adalah kelainan di mana pasiem memiliki ciri-ciri genetik, anatomik,
fisiologik yang meraguka antara pria atau wanita. Da merupakan penyakit secara fisik
(genitalnya) yang berpengaruh pada kondisi psikologisnya.
Transeksualitas merupakan kelainan psikik atau gangguan psikologis, tanpa disertai
kelainan fisik (genital)
Operasi pergantian kelamin (=penyesuaian kelamin) hanya dilakukan pada pasien
interseksual dan bukan transeksual
Menurut Akta Gereja Protestan (GPIB)
- Operasi kelamin dilaksanakan sejauh gangguan kerusakan atau
ketidaksempurnaan fisik
- Sekalipun pergantian jenis kelamin kelak dengan mudah dapat dilakukan karena
kemajuan bioteknologi namun tidak boleh diadakan pergantian jenis kelamin
- Pelayanan pastoral dapat dilakukan setelah adanya konsultasi/kerjasama dan
koordinasi bersama dokter.
(8)


C. KATOLIK
1. KDRT
Gereja Katolik, khususnya sejak Konsili Vatikan II, jelas menentang berbagai macam
bentuk kekerasan. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa berdasarkan hak-hak asasi setiap orang,
berbagai macam diskriminasientah sosial atau kultural, entah berdasarkan jenis kelamin, suku,
warna kulit, kondisi sosial, bahasa, atau agamaharus dihapuskan, sebab hal itu bertentangan
dengan kehendak Allah sendiri.
Oleh karenanya, kaum perempuan harus dimungkinkan untuk memilih suami sendiri,
memilih jalan hidupnya sendiri, serta mendapatkan pendidikan dan kebudayaan seperti yang
diperoleh kaum laki-laki (GSGaudium et Spes29). Konsili Vatikan II juga menandaskan
bahwa bila kaum perempuan belum mendapatkan kesetaraan dan keadilan baik di depan hukum
maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari dengan laki-laki, mereka berhak menuntutnya (GS,
9).
Dalam sidang paripurnanya yang keempat, tahun 1986, Federasi para Waligereja Asia
(FABC) menandaskan bahwa perempuanapa pun suku, kelas sosial, maupun agamanya
merupakan pribadi manusia yang integral. Ia diciptakan menurut citra Allah dan kepadanya juga
diberikan tanggung jawab untuk memelihara alam ciptaan-Nya. Dua tahun kemudian,
pemahaman seperti ini digarisbawahi oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam Surat
Apotolisnya tentang Martabat dan Panggilan Perempuan, Mulieris Dignitatem (MD).
Beliau menulis:
baik laki-laki maupun perempuan adalah manusia yang memiliki martabat yang setara;
keduanya diciptakan dalam gambaran Allah. Gambar dan keserupaan dengan Allah iniyang
mendasar bagi manusiadiwariskan oleh laki-laki dan perempuan sebagai pasangan dan
orangtua kepada keturunan mereka.... Paus Benediktus XVI, ketika memberikan sambutan
kepada para peserta Kongres Internasional yang disponsori oleh Vatikan pada 9 Februari 2008
untuk merayakan ulang tahun ke-20 dari Mulieris Dignitatem, juga memberikan perhatian
khusus terhadap kekerasan yang dialami oleh perempuan. Beliau mengecam chauvinisme dan
eksploitasi yang sangat serius dan tanpa belas kasih, diskriminasi, serta kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan. Beliau juga mengatakan bahwa terdapat banyak tempat dan
budaya di mana perempuan mengalami diskriminasi atau tidak dihargai hanya karena kenyataan
bahwa mereka adalah perempuan.
(10)

2. Lesbianisme
Menurut KGK (Katekismus Gereja Katolik) 2357, homoseksualitas adalah hubungan
antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata
atau terutama, kepada orang sejenis kelamin. Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu
dan kebudayaan dalam bentuk yang sangat bervariasi. Asal-usul psikisnya masih belum jelas
sama sekali. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar
(Bdk.Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10). Tradisi Gereja selalu menjelaskan,
bahwa perbuatan homoseksual itu tidak baik. Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena
kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari
satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun
perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.
Namun demikian, Gereja juga menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang
sedemikian mempunyai kecenderungan homoseksual yang tidak mereka pilih sendiri. Mereka ini
harus dilayani dengan hormat, dengan kasih dan bijaksana. Mereka harus diarahkan agar
dapat memenuhi kehendak Allah dalam kehidupannya, dengan hidup murni, melalui
kebajikan dan pengendalian diri dan mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa dan
sakramen, menuju kesempurnaan Kristen (KGK 2358-2359).
Jadi penting dipahami bahwa terdapat dua macam hal yang berbeda yaitu:
kecenderungan homoseksual dan menjadi pelaku homoseksual. Kecenderungan ketertarikan
terhadap sesama jenis itu belum membuahkan dosa sebelum dinyatakan dalam aktivitas seksual
homoseksual. Gereja Katolik menganggap kecenderungan ini sebagai objective disorder atau
ketidakteraturan yang obyektif, karena menjurus kepada hubungan seksual yang tidak wajar.
Perlu diketahui bahwa, kecenderungan homoseksual di sini menyerupai kecenderungan yang
dimiliki untuk kebiasaan buruk lainnya, misalmya ada orang yang memiliki kecenderungan
pemarah, pemabuk, pemalas, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, kita ketahui:
1. Kecenderungan ini baru akan berbuah menjadi dosa, jika terus dituruti
keinginannya, dalam hal ini, adalah jika mereka yang gay/homoseksual terus bergaul
dalam lingkungan homoseksual dan mempraktekkan kehidupan seksual gaya homosekual
ini. Namun, jika tidak, maka kecenderungan tersebut tidak berbuah dosa.
2. Jadi kecenderungan ini benar-benar ada atau nyata, walaupun bukan berarti kita
dapat membiarkannya. Contoh, tentu saja kita tidak dapat mengatakan karena
seseorang memiliki kecenderungan pemarah, maka ia boleh saja hidup sebagai seorang
pemarah. Kita justru harus mengalahkan kecenderungan itu dengan kuasa yang kita
terima dari kemenangan salib Kristus, sebab oleh Dia segala belenggu dosa dipatahkan.
Ryan Sorba, dalam talk-nya di Universitas Framingham State, tgl 31 Maret 2008, yang
memperkenalkan bukunya The Gay Gene Hoax menjelaskan bahwa kecenderungan homoseksual
bukan merupakan sesuatu yang genetik (seperti yang dipropagandakan beberapa pakar sekarang
ini). Karena berdasarkan penelitian yang diadakan di Scandinavia pada bayi-bayi kembar, dapat
diketahui bahwa salah satu dari bayi tersebut dapat menjadi gay, namun yang lainnya normal.
Seandainya homoseksual itu genetikal tentu kedua bayi itu menjadi gay. Menurut Sorba, perilaku
homoseksual banyak dipengaruhi oleh lingkungan, terutama penganiayaan seksual di masa kecil,
seperti yang dialami dan diakui sendiri oleh banyak aktivis homoseksual. Hal lain yang cukup
berpengaruh adalah kurangnya faktor bapa atau ibu, yang mempengaruhi seseorang di masa kecil
(misalnya karena faktor perceraian).
Jadi sebenarnya, orang-orang yang lesbi atau gay sebenarnya dapat menghindari dosa,
dengan tidak mengikuti dorongan nafsu seksualnya yang terarah kepada teman sejenis kelamin.
Jika mereka hidup mengikuti hawa nafsu tersebut, tentu saja mereka berdosa. Alkitab sangat
jelas menjabarkan hal ini. Namun, di dalam Kristus, mereka memiliki harapan untuk dapat
mengarahkan hidup mereka ke arah kebenaran. Itulah sebabnya Gereja Katolik tidak menolak
para gay dan lesbian, namun tidak membenarkan perbuatan mereka; melainkan mengarahkan
mereka untuk hidup sesuai dengan perintah Tuhan untuk menerapkan kemurnian (chastity).
Maka di sini perlu dibedakan akan perbuatan atau dosa homoseksual dan orangnya. Dosa atau
praktek homoseksual perlu kita tolak karena merupakan dosa berat yang melanggar
kemurnian, namun manusianya tetap harus dihormati dan dikasihi. Walaupun demikian,
Gereja tetap memegang bahwa kecenderungan homoseksual adalah menyimpang.
(11)

3. Transgender
Memang diperlukan kebijaksanaan untuk menyikapi hal transgender, seperti halnya
homoseksualitas. Sebab Gereja Katolik dalam menjalankan misi cinta kasihnya, harus tetap
merangkul mereka, namun juga tidak dapat membenarkan tindakan penyimpangan seksualitas
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat. Prinsipnya sederhana, hate the sin, but love the
sinner. Dengan demikian, kasih tidak dapat dan tidak boleh mengaburkan kebenaran, inilah
salah satu pesan inti surat ensiklik Paus Benediktus XVI yang terbaru, Caritas in Veritate.
Maka untuk menyikapi hal ini memang diperlukan kebijaksanaan dari pihak otoritas Gereja, dan
umat Katolik sekalian. Itulah sebabnya misalnya, di rumah-rumah sakit Katolik di Amerika tidak
memberikan fasilitas pergantian kelamin.
Dalam ajaran Gereja Katolik, pergantian kelamin dari laki-laki menjadi perempuan itu
dianggap melibatkan tindakan mutilasi, yang melanggar penghormatan terhadap integritas tubuh
manusia, seperti yang disebutkan dalam KGK 2297. Dalam KGK 369 dicantumkan juga bahwa
pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu
pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. Kepriaan
dan kewanitaan adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita,
memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah,
Penciptanya (Kej 2:7). Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama menurut citra Allah.
Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan
Pencipta.
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa sesungguhnya, sejak kita diciptakan Tuhan di
dalam rahim ibu kita, jenis kelamin kita-pun dikehendaki Allah, dan bukan hanya sekedar
kecelakaan. Jika kenyataannya terdapat suatu kecenderungan tertentu yang tidak normal, maka
selayaknya hal itu tidak serta merta ditolak, sebab dapat saja Tuhan mengizinkan hal itu terjadi,
sebagai salib yang harus dipikul orang itu demi pertumbuhan imannya. Jika orang-orang yang
mengalami hal demikian, dapat tetap menerima jenis kelaminnya dengan iman dan kasih kepada
Tuhan dan kebijaksanaan Tuhan, maka dapat dipastikan bahwa Tuhan juga akan memberikan
rahmat yang cukup dan kesembuhan yang sejati bagi mereka.
(12)

4. Pernikahan
Arti Perkawinan Katolik
Arti perkawinan katolik menurut KHK (Kitab Hukum Kanonik) 1983 kan.1055 1 adalah
perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk
kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II (Gaudium et
Spes 48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
(13)


Tujuan Perkawinan
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan
pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini
berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).

Sifat Dasar Perkawinan Katolik.
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita
menyebutnya sifat monogam dan indissolubile. Monogam berarti satu laki-laki dengan satu
perempuan, sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang
dibaptis (ratum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi
tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983
(kan. 1141). Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti tata
cara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang
dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi perkawinan itu terjadi
antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik. Perkawinan antara orang-
orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061), sedangkan perkawinan antara orang yang salah
satunya tidak Katolik disebut perkawinan non ratum. Perkawinan ratum, setelah disempurnakan
dengan persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang ratum et consummatum yang
tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141).
Perkawinan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan
salah satu pasangan (kan. 1142)
(13)


Kesepakatan Nikah
Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang menikah adalah
satu-satunya unsur penentu yang membuat perkawinan itu sendiri. Kesepakatan ini harus muncul
dari pasangan suami-isteri itu sendiri, bukan dari orang lain. Kesepakatan ini mengandaikan
kebebasan dari masing-masing pihak untuk meneguhkan perkawinannya. Ini berarti masing-
masing pihak harus:
Bebas dari paksaan pihak luar,
Tidak terhalang untuk menikah, dan
Mampu secara hukum.
Kesepakatan ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum. Gereja melarang
adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan.
Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai
ada atau bereksistensi sejak terjadinya kesepakatan nikah. Namun perkawinan sakramen itu baru
tak terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena setelah itu
menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek
kesepakatan nikah adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae) yang terarah pada
3 tujuan perkawinan di atas. Sebelum membahas masalah pembatalan perkawinan, pertama-tama
haruslah kita memiliki pemahaman yang jelas mengenai perkawinan. Ketika orang-orang Farisi
mempertanyakan perihal perceraian kepada Tuhan kita, Ia menjawab, Tidakkah kamu baca,
bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia
(Mat 19:3-6). Berdasarkan ajaran ini, kita orang-orang Katolik yakin bahwa ketika seorang laki-
laki yang dibaptis Kristiani secara sukarela menikahi seorang perempuan yang dibaptis Kristiani,
mereka membentuk suatu ikatan sakramental yang tak terceraikan. Jadi, baik perkawinan itu
menyangkut dua orang yang dibaptis Katolik, atau dua orang yang dibaptis Protestan, atau dua
orang yang dibaptis Orthodox, atau kombinasi di antaranya, maka perkawinan dua orang yang
dibaptis Kristiani merupakan suatu sakramen. Ikatan sakramental yang tak terceraikan ini
dinyatakan dalam Janji Perkawinan yang saling mereka ikrarkan, Di hadapan Romo, para saksi,
saya menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa yang hadir di sini, mulai sekarang menjadi
isteri (atau suami) saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat
dan sakit, saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup. Demikianlah janji saya
demi Allah dan Injil suci ini (Ritus Perkawinan). Ikrar ini mengungkapkan kasih yang tetap,
eksklusif, setia, saling berkurban, dan memberi hidup.

Di samping itu, janganlah kita pernah lupa bahwa perkawinan adalah sungguh suatu
sakramen. Tuhan Sendiri menganugerahkan kepada pasangan rahmat untuk hidup dalam
perkawinan. Dengan berpaling kepada Tuhan setiap hari dan memohon pertolongan-Nya, dengan
bersukacita dalam rahmat berkat tak terhitung yang saling mereka bagi bersama, pula saling
berbagi salib mereka dengan-Nya, suami dan isteri akan memiliki perkawinan yang kokoh.

Meski demikian, sayangnya, perceraian memang terjadi. Statistik menunjukkan bahwa 50
persen dari seluruh perkawinan di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian dalam masa lima
tahun perkawinan. Pengadilan negara memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian, bukan
sebagai suatu sakramen. Dekrit perceraian menetapkan hak-hak bagi kedua belah pihak, dan
sekarang secara sah, mereka yang bercerai dapat menikah kembali secara sipil. Namun demikian,
di mata Tuhan dan Gereja, suatu perkawinan yang secara sakramental tak terceraikan telah
terjadi, Perkawinan mendapat perlindungan hukum; karena itu dalam keragu-raguan haruslah
dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya (Kitab Hukum Kanonik,
No. 1060). Orang tak dapat menyangkal bahwa pasangan telah saling bertukar janji perkawinan
di hadapan Tuhan, keluarga dan sanak saudara, teman dan sahabat, dan sungguh di hadapan
segenap Gereja; dan mereka yang menjadi saksi sungguh beranggapan bahwa janji perkawinan
saling diucapkan secara sukarela dan tulus - hingga maut memisahkan kita. Sebab itu, tak
seorang pun dapat berpura-pura bahwa perkawinan itu tidak pernah terjadi dan karenanya bebas
menikah kembali.

Karena janji perkawinan saling dipertukarkan di hadapan publik dan berarti hingga maut
memisahkan kita, maka haruslah ada suatu pernyataan publik yang memaklumkan bahwa janji
perkawinan itu tidak mengikat. Gereja dengan tulus berusaha membantu individu-individu yang
menderita tragedi perceraian sembari pula menjunjung tinggi ajaran Tuhan kita. Seorang yang
bercerai dapat mohon kepada Gereja untuk meninjau kembali perkawinan dan menyelidiki
apakah suatu kesepakatan yang sepenuhnya dan sukarela (semaksimal yang dapat diberikan
seorang) saling dipertukarkan pada saat perkawinan. Kitab Hukum Kanonik menyatakan bahwa
Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling
menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tak dapat ditarik kembali (No. 1057.2). Apabila Gereja mendapati adanya suatu cacat dalam
kesepakatan pada saat perkawinan, maka suatu Pernyataan Pembatalan Perkawinan akan
diberikan. Pernyataan Pembatalan Perkawinan memaklumkan bahwa salah satu atau kedua belah
pihak tidak (tidak dapat) memberikan kesepakatan yang sepenuhnya dan sukarela, dan karenanya
tidak ada ikatan sakramen yang tak terceraikan. Ya, upacara memang ada, tetapi tidak ada
sakramen.

Dalam menyelidiki kasus-kasus ini, Pengadilan Gereja dengan cermat memeriksa
keadaan pasangan pada masa perkawinan: usia dan tingkat kedewasaan; adanya pola
penyalahgunaan alkohol, obat-obatan atau lainnya; adanya kekejaman secara fisik atau
emosional dalam sejarah pribadi dan dalam hubungan mereka; adanya praktek penyimpangan
seksual; perselingkuhan; kondisi seputar perkawinan; keterbukaan mereka terhadap anak-anak;
adanya sejarah masalah psikologis yang serius atau penyakit mental; adanya perkawinan
sebelumnya atau usaha untuk menikah; dan kemampuan untuk masuk ke dalam suatu persatuan
yang tetap, setia dan eksklusif. Dalam menyelidiki keadaan-keadaan ini dan bagaimana
dampaknya terhadap kemampuan pasangan untuk memberikan suatu kesepakatan yang
sepenuhnya dan sukarela, Pengadilan melihat hubungan pasangan selama masa berpacaran, pada
masa perkawinan dan hidup mereka dalam perkawinan. Pengadilan juga akan menghubungi
saksi-saksi yang mengenal pasangan sepanjang kerangka waktu di atas, dan meminta mereka
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Pada intinya, Pengadilan berusaha untuk
berbelas kasih dan adil. Di samping itu, segala prosedur dilakukan secara sangat rahasia.

Memang, mendapatkan Pernyataan Pembatalan Perkawinan tidaklah mudah. Prosesnya
menyangkut dokumentasi dan wawancara-wawancara yang sungguh membangkitkan kenangan-
kenangan yang menyakitkan. Prosesnya juga dapat berlangsung selama duabelas bulan atau
lebih, oleh sebab banyaknya kasus yang harus ditangani Pengadilan. Namun demikian, segala
proses itu sungguh mendatangkan penyembuhan dan mengakhiri masa lalu yang menyakitkan.
Di samping itu, andai dikabulkan, maka Pernyataan Pembatalan Perkawinan mendatangkan
kebebasan bagi orang yang sekarang dapat masuk ke dalam suatu perkawinan baru dengan
bebas.

Terkadang orang bertanya, Jika suatu perkawinan dinyatakan batal, apakah ini
menjadikan anak-anak mereka tidak sah? Pernyataan Pembatalan Perkawinan sekedar
menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tidak ada sejak dari awal, dan sebab itu kedua pihak
sekarang bebas untuk menikah. Pernyataan Pembatalan Perkawinan tidak memiliki dampak sipil
terhadap legitimasi anak-anak.

Pertanyaan lain muncul sehubungan dengan status seorang-yang-bercerai dalam Gereja.
Karena perceraian menyangkut keputusan sipil oleh negara dan tidak diakui oleh Gereja, maka
seorang-yang-bercerai tetap dalam kedudukan yang baik dan dapat menyambut sakramen-
sakramen. Namun demikian, jika seorang yang bercerai itu menikah kembali tanpa Pernyataan
Pembatalan Perkawinan, maka secara tegas saya katakan, suatu tindak perzinahan telah
dilakukan: sebab perkawinan yang pertama masih diakui sebagai sah; menikah kembali tanpa
pembatalan perkawinan menempatkan orang dalam keadaan dosa berat dan menjauhkannya dari
Komuni Kudus. Oleh karena itu, Gereja mendorong seorang yang bercerai, yang berharap suatu
hari dapat menikah kembali, untuk segera menemui imam paroki dan mengurus proses
pembatalan perkawinan.
(14,15)

D. BUDHA
1. Homoseksual
Tidak seperti Agama lainnya yang kebanyakan mengutuk homoseksual (yang dapat
dilihat dalam Kitab Suci mereka), Agama Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau
siapapun dan itu dapat dibuktikan bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi dalam
perkembangan Agama Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci Agama
Buddha Tipitaka
Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksplisit dibicarakan dalam khotbah Buddha,
kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa dievaluasi dengan cara yang
sebagaimana adanya heteroseksual. Dan sesungguhnya atas dasar inilah, homoseksual tidak
secara khusus dikupas.

Dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita, dimana ada kesepakatan bersama,
dimana tidak ada perbuatan penyelewengan, dan di mana hubungan seksual adalah ungkapan
rasa cinta, hormat, kesetiaan, dan kehangatan, ini semua tidaklah melanggar sila ke-3 Pancasila
Buddhis (berusaha untuk tidak melakukan perjinahan). Dan sama pula halnya apabila kedua
orang tersebut berjenis kelamin sama. Tindakan seperti penyelewengan dan pengabaian perasaan
pasangan kita akan menjadikan suatu perbuatan seksual tidak tepat, baik itu homoseksual
ataupun heteroseksual. Semua prinsip yang kita gunakan untuk mengevaluasi hubungan
heteroseksual akan kita gunakan pula untuk mengevaluasi hubungan homoseksual.

Homoseksualitas sudah dikenal di zaman India kuno; masalah ini secara eksplisit
disinggung dan dilarang di dalam Vinaya. Akan tetapi, tidak dituding secara khusus, melainkan
disebutkan di antara banyak jenis perilaku penyimpangan seksual lain yang bertentangan dengan
keharusan hidup seharusan hidup selibat seorang biarawan/wati. Hubungan seksual, apakah
dengan pasangan sejenis atau lawan jenis, di mana organ seks memasuki vagina, mulut, atau
anus, adalah tindakan yang bisa mengakibatkan dikeluarkannya seseorang dari Sangha. Tindakan
seksual lainnya seperti saling masturbasi, walaupun bukan dianggap sebagai pelanggaran berat
dan tidak mengakibatkan dikeluarnnya dari sangha, tetapi harus diakui di depan anggota sangha
(persaudaraan Bhikku/bhikkuni).

Tipe orang yang disebut dengan pandaka seringkali disinggung dalam Vinaya untuk
menggambarkan seseorang yang berperilaku seksual tidak tepat. Vinaya juga menetapkan bahwa
para pandaka tidak diperbolehkan untuk ditahbiskan, dan apabila secara tidak disengaja telah
ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari sangha. Menurut penjelasan kitab, hal ini
disebabkan para pandaka tersebut penuh dengan nafsu, haus akan birahi, dan didominasi oleh
keinginan seksual. Kata pandaka diterjemahkan sebagai banci atau kaum homoseksual yang
berperilaku seperti layaknya perempuan. Oleh karena Buddha mempunyai pemahaman yang
mendalam akan sifat manusia, dan sungguh-sungguh bebas dari segala pasangka, dan
karena tidak ada bukti bahwa kaum homoseksual mempunyai tingkat birahi yang lebih tinggi
atau lebih sulit mempertahankan hidup sebagai biarawan/wati. Oleh karenanya, istilah
pandaka kemungkinan besar tidak mengacu kepada homoseksual secara umum, melainkan
segelintir kaum homoseksual yang feminis, yang secara terang-terangan berpenampilan seperti
wanita di depan umum.

Kajian tentang homoseksualitas

Di dalam agama Buddha, bisa kita katakan bahwa bukanlah objek dari nafsu seksual seseorang
yang menentukan apakah suatu hubungan seksual seseorang yang baik atau tidak, melainkan
sifat dari emosi dan maksud yang melandasinya.Walaupun demikian, Buddha kadangkala
menganjurkan untuk menghindari perilaku tertentu, bukan karena hal ini salah dari sudut
pandang etika melainkan akan menjadi seseorang aneh di dalam lingkungan sosial, atau karena
akan mengakibatkan sanksi akibat pelanggaran hukum yang berlaku. Dalam hal-hal seperti ini,
Buddha berkata bahwa menjauhkan diri dari perilaku seperti itu akan membebaskan seseorang
dari kecemasan dan rasa malu yang disebabkan oleh ketidaksetujuan sosial atau ketakutan akan
sanksi hukum. Homoseksualitas tentu saja akan masuk dalam kategori perbuatan ini. Dalam hal
ini, seorang homoseksual haruslah memutuskan apakah ia akan mengikuti arus harapan
masyarakat umum atau mencoba mengubah sikap publik.

Pandangan yang menolak homoseksualitas
Sekarang kita akan secara ringkas menelaah berbagai penolakan terhadap homoseksualitas dan
memberikan pandangan penolakan dari sisi ajaran Buddha. Penolakan yang paling umum di
dalam masyarakat adalah karena homoseksualitas tidaklah alami dan melanggar hukum alam.
Tampaknya sedikit sekali landasan bagi pendapat seperti ini. Miriam Rothschild, seorang ahli
biologi ternama, telah menunjukkan bahwa perilaku homoseksualitas juga telah ditemukan
dalam hampir semua jenis spesies hewan. Kedua, walaupun bisa disanggah bahwa fungsi
biologis dari seks adalah reproduksi, kebanyakan hubungan seksual dewasa ini bukanlah untuk
tujuan reproduksi, melainkan sebagai hiburan dan pemuasan emosi, dan bahwa ini juga
merupakan fungsi sah dari hubungan seksual. Dengan demikian, walaupun hubungan
homoseksual tidaklah alami dalam arti tidak bisa menghasilkan fungsi reproduksi, hubungan ini
adalah alami karena bisa memberikan pemuasan fisik dan emosi bagi pelakunya.

Beberapa orang berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam diri seorang
homoseksual karena begitu banyaknya kaum homoseksual yang jiwa atau emosinya yang
terganggu. Sekilas, tampak ada benarnya pernyataan ini. Di barat, setidak-tidaknya banyak kaum
homoseksual yang menderita masalah kejiwaan, kecanduan alkohol, dan menujukkan perilaku
seksual yang sangat menggoda. Dalam pengelompokan data, kaum homoseksual menduduki
peringkat tertinggi dalam kasus bunuh diri. Kemungkinan sekali bahwa kaum homoseksual
lebih menderita akibat perlakuan sosial masyarakat terhadap mereka atas dasar orientasi seksual
mereka, dan apabila mereka akan menunjukkan gejala yang sama pula. Sesungguhnya, inilah
yang menjadi argumen terkuat untuk menerima dan memahami homoseksualitas.

Walaupun di negara-negara yang banyak penganut agama Buddha, homoseksual tidak
ditentang secara nyata-nyata dalam hukum yang berlaku, bukanlah berarti homoseksualitas bisa
diterima di negara-negara tersebut. Hal ini lebih disebabkan karena pengaruh agama Buddha
yang berlandaskan manusiawi dan penuh toleransi. Walaupun demikian, seringkali ditemui
adanya prasangka dan diskriminasi terhadap kaum homoseksual di negara-negara tersebut.
Sekali lagi perlu dijelaskan bahwa tidak ada bagian dalam agama Buddha yang
membenarkan adanya kutukan, hukuman, maupun penolakan terhadap kaum
homoseksual atau perilaku homoseksual.

Tidak seperti Agama lainnya yang kebanyakan mengutuk homoseksual (yang dapat
dilihat dalam Kitab Suci mereka), Agama Buddha tidak pernah mengutuk homoseksual atau
siapapun dan itu dapat dibuktikan bahwa segala jenis pengutukan tidak pernah terjadi
dalam perkembangan Agama Buddha sehingga tidak pernah tercatat dalam Kitab Suci
Agama Buddha Tipitaka.
(16)


Alasan yang kuat untuk itu adalah bahwa Agama Buddha berlandaskan pada Kasih
Sayang dan Kebijaksanaan. Dan selama lebih dari 2500 tahun perkembangan Agama Buddha
selalu dilandasi oleh Kasih Sayang dan Kebijaksanaan sehingga tidak pernah terjadi paksaan atau
pertumpahan darah atas nama Agama Buddha.

Pancasila (Buddhis) yang dianjurkan untuk dijalankan dalam hal mencapai kebahagiaan
dalam Buddhisme:
(17)

1. Saya berusaha untuk menghindari pembunuhan.
2. Saya berusaha untuk menghindari pencurian
3. Saya berusaha untuk menghindari perzinahan
4. Saya berusaha untuk menghindari kata-kata bohong.
5. Saya berusaha untuk menghindari mabuk-mabukan.

Tidak ada alasan seorang gay atau lesbian atau kaum transexual tidak bisa melaksanakan
ke 5 sila dalam Pancasila Buddhis itu. Mungkin ada pertanyaan tentang sila ke 3. Berusaha
untuk menhindari perjinahan. Dalam Buddhis, hubungan sexual yang direstui adalah sex yang
dilakukan dengan dasar cinta, tanpa paksaan tapi atas dasar kesadaran pelaku seiring dengan
kedewasaan pelakunya. Jadi sama sekali tidak mengacu ke surat nikah sebagai sahnya sebuah
hubungan badan.

Akan tetapi perlu diingat bahwa Agama Buddha juga tidak mendukung atau
menggalakkan seseorang menjadi Gay atau Lesbian. Kata-kata yang lebih tepat adalah
Agama Buddha menerima siapa saja dalam kondisi alami mereka untuk mengapai kebahagiaan,
karena semua orang berhak untuk memperoleh kebahagiaan.
(16)

2. Pernikahan
Didalam Buddhisme, perkawinan dianggap sebagai persoalan pribadi dan setiap orang
memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing . Oleh karena itu perkawinan
menurut agama Buddha tidak dianggap sebagai sesuatu yang suci ataupun tidak suci, bukan
merupakan larangan ataupun kewajiban suatu agama.

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai
berikut: "Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa".

Tentu saja kata kekal yang terdapat didalam undang-undang tersebut tidak berkesesuaian
dengan sifat hukum alam, bahwasanya tidak ada sesuatupun yang kekal didunia ini, semua akan
mengalami perubahan. Namun kata kekal tersebut dapat diartikan sebagai suatu pesan moral
sebagai pengingat bagi suami-isteri yang terikat dalam hubungan pernikahan yang sah , yang
akan berakhir bilamana salah satu diantaranya meninggal dunia atau hanya kematianlah yang
dapat memisahkan sebuah perkawinan.

Perkawinan dalam pengertian Buddhisme adalah lebih berarti sebagai
"suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma".

ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah
menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, dalam
hal ini Sang Buddha pernah bersabda :

"Inilah, O perumah tangga, empat jenis pernikahan."
Apabila sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini
maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu
keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila (moral), setara dalam
kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/ pengertian (panna). (Anguttara
Nikaya II, 62).
(17)


Sang Buddha Merestui Pernikahan

Ada semacam anggapan di beberapa orang bahwa Sang Buddha tampaknya anti terhadap
apa yang namanya pernikahan, sebisa mungkin umat awam menjadi anggota Sangha, begitu pikir
mereka. Namun kenyataannya tidak demikian. Sang Buddha merestui pernikahan antara dua
insan yang benar-benar berkomitmen dan mampu menjalankan kehidupan pernikahan mereka
sesuai dengan Dhamma sehingga berhasil mencapai tingkat-tingkat kesucian.

Marilah kita simak kutipan Sumagadhavadana ini:
Anathapindada [Anathapindika] memohon nasehat berkaitan dengan putrinya, dengan berkata;
"Putri kami Sumagadha sekarang telah dewasa, putra Natha, pedagang gula, seorang pemuda
bernama Vrisabhadatta telah melamar untuk menikahinya. Mengingat bahwa Sang Bhagavan
adalah pembimbing kami dalam segala kegiatan serta guru bagi kehidupan kami, kami mohon
petunjuk atas persoalan ini: Apakah putri kami memang berjodoh dengan pemuda ini?" Sang
Bhagava menyetujui pasangan tersebut sehingga dilangsungkanlah perkawinannya.
(Sumagadhavadana).
(17)


3. Perceraian

Agama Buddha tidak melarang perceraian, namun agama Buddha jelas juga tidak
mendukung perceraian. Ajaran Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk
menjalankan kehidupan pernikahan dan keluarga yang harmonis dan saling mencintai, oleh
karena itulah apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan dan
jadikan perceraian sebagai usaha yang terakhir apabila usaha-usaha yang lain gagal. Janganlah
menyerah untuk menanggulangi masalah dalam rumah tangga, seberapapun beratnya itu, dan
juga jangan terlalu gampang untuk mengatakan dan menggugat cerai, karena hal itu jelas-jelas
tidak dianjurkan dalam agama Buddha.

Dalam kitab Vinaya Pitaka vol I bagian Vinitavatthu ada sebuah kisah :

"Ketika itu seseorang wanita bertengkar dengan suaminya lalu kembali ke rumah ibunya.
Seorang bhikkhu yang kerap mengunjungi keluarganya berupaya mendamaikan (mereka)
kembali. Muncul penyesalan pada dirinya
"Bhikkhu, apakah dia sudah diceraikan?"
"Belum diceraikan, Bhagavan."
"Bhikkhu, bukanlah suatu pelanggaran dalam hal belum diceraikan."

Bukanlah merupakan suatu pelanggaran apabila seorang bhikkhu berusaha mendamaikan
seorang wanita yang bertengkar dengan pasangannya. Maka dari itu, usaha bhikkhu tersebut
patut dicontoh oleh kita, bahwa perceraian seharusnya dhindari dan pertengkaran atau
permasalahan di antara pasangan sebisa mungkin diselesaikan dengan baik-baik.

Dalam Kode Monastik Dalam Empat Divisi (Taisho Tripitaka 1428) juga disebutkan bahwa
seorang bhiksu diizinkan untuk membantu "jika seorang pria dan wanita yang telah menjalin
relasi namun telah berpisah (cerai) dan ingin [kembali] bersama lagi."

Dari sana bisa dilihat bahwa ajaran sang Buddha sangat mendukung usaha untuk mendamaikan
kembali pasangan yang bertengkar ataupun yang telah cerai. Cerai akandapat membawa
penderitaan bagi anak-anak mereka dan menimbulkan efek psikologis yang negatif bagi kedua
orang pasangan suami istri.

Salah satu bukti lainnya bahwa ajaran Buddha mendukung keharmonisan hubungan suami istri
dapat dilihat dalam Tripitaka Mahayana:

"Jika sepasang suami istri tidak rukun dan harmonis, keadaannya seperti air dan api, carikan bulu
bagian belakang dari bebek mandarin, di depan rupang Bodhisattva Avalokitesvara yang Maha
Pengasih, lafalkan Mantra Agung [Maha Karuna Dharani] sebanyak 1008 ditujukan kepada bulu-
bulu tersebut dan berikan kepada kedua pasangan itu untuk dipakai, maka pasangan suami istri
tersebut akan berbahagia dan saling menghormati dan mencintai satu dengan lainnya sampai
akhir hayatnya." (Maha Karunacitta Dharani Sutra)

Maha Karuna Dharani adalah Dharani yang diucapkan oleh Bodhisattva Avalokitesvara, sang
Bodhisattva welas asih. Maknanya di sini adalah ketidak-rukunan suami istri dapat diatasi
apabila kedua pasangan mengembangkan cinta kasih pada pasangannya (maitri karuna),
sehingga dengan demikian perceraian tidak akan terjadi, seperti kata-kata Sang Buddha yaitu
kebencian hanya dapat diatasi oleh cinta kasih. Meskipun suami atau istri kita adalah seorang
yang tidak berbudi baik, maka sesuai nasehat Sang Bodhisatta, kita harus mencoba untuk
memaafkannya, memahaminya dan membuatnya berubah, jadi jangan langsung minta cerai.
Cerai hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah terakhir sendainya cara-cara yang
lain sudah dicoba semua namun gagal.
(17)

4. KDRT

Oleh: B. Nyanasuryanadi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan agama termasuk dalam memanipulasi hubungan
seksual sebagai salah satu bentuk ibadah, diskriminasi tertentu terhadap jabatan-jabatan
keagamaan, larangan perceraian walaupun keadaan sangat membahayakan perempuan,
pelecehan seksual, perkosaan dan pembakaran diri dalam keadaan hidup-hidup bagi perempuan
yang ditinggal mati suaminya untuk membuktikan kesetiaan.

Buddha Dharma menolak sama sekali tindak kekerasan, karena Buddha sangat menghargai
kehidupan sekalipun itu tumbuh-tumbuhan. Buddha tidak merusak biji-bijian yang masih dapat
tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan. Tidak membunuh makhluk. Buddha
menjauhkan diri dari membunuh makhluk. la telah membuang alat pemukul dan pedang. la tidak
melakukan kekerasan karena cinta kasih, kasih sayang dan kebaikan kepada semua makhluk.

Buddha mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormati kaum perempuan. Janganlah
bertindak kasar kepada perempuan, cinta kasih kepada sesama adalah perbutan terpuji. Karena
sosok ibu anak-anak lahir ke dunia, ibu merawat dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang,
supaya anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang baik. Menurut Buddha dalam Maha
Parinibbana Sutta : suatu negara yang menginginkan negara terus maju, sejahtera, tidak ada
tindak kekerasan atau penculikan maupun penahanan terhadap perempuan atau gadis-gadis
(D.II.16). Karena kekerasan hanya akan menimbulkan kesengsaraan, pelaku kekerasan hatinya
tidak tentram, korban kekerasan akan merasa tersiksa jasmani dan mentalnya.

Dengan kesadaran, kita mewaspadai apa yang sedang terjadi dalam tubuh kita, perasaan kita,
pikiran kita, dan di dunia, dengan demikian, kita akan menghindari untuk melakukan perusakan,
baik terhadap diri sendiri maupun berbagai pihak lainnya. Kesadaran melindungi diri, keluarga,
dan masyarakat kita, disamping memastikan saat sekarang yang aman dan bahagia, serta masa
depan yang bahagia.

Dengan memupuk kedamaian di dalam, kita membawa perdamaian ke masyarakat. Perdamaian
tergantung pada diri kita sendiri. Melatih kedamaian di dalam diri adalah mengurangi jumlah
peperangan antara perasaan ini dan itu, atau persepsi ini dan itu, setelah itu, baru kita akan
merasakan damai yang sesungguhnya dengan orang-orang lain, termasuk para anggota keluarga
kita sendiri.

Energi cinta kasih ini membawakan kita perasaan keamanan, kesehatan, serta kegembiraan, dan
perasaan ini menjadi nyata di saat kita memutuskan untuk menerima dan melatih sila pertama.
Merasa berbelas kasih saja tidak cukup. Kita harus belajar untuk mengekspresikannya. Itulah
sebabnya mengapa cinta kasih harus jalan berbarengan dengan pengertian. Pengertian dan insight
menunjukkan kita cara untuk bertindak.

Biasanya, cinta mengandung elemen diskriminasi, nafsu, dan kemelekatan. Menurut Bhante,
cinta jenis ini menimbulkan kecemasan, penderitaan, dan keputus-asaan. Bagaimana seseorang
dapat mencintai tanpa nafsu dan kemelekatan? Bagaimana aku menghindari timbulnya
kecemasan dan penderitaan dari cinta kasih yang kurasakan untuk anak-anakku?" Buddha
menjawab, "Kita perlu melihat sifat dasar cinta kita. Cinta kita seharusnya membawa kedamaian
dan kebahagiaan kepada mereka yang kita cintai. Jika cinta kita didasarkan pada nafsu egois
untuk memiliki orang-orang lain, kita tak akan pernah dapat membawa kedamaian dan
kebahagiaan bagi mereka. Sebaliknya, cinta kita akan membuat mereka merasa terperangkap.
Cinta semacam itu tak lebih dari sebuah penjara.


Krisis Keluarga dan Ketahanan Keluarga

Setiap keluarga menghadapi tekanan internal maupun ekstemal. perubahan sosial dan tekanan
ekonomi telah membuat orang lebih mengutamakan kekayaan dan sukses duniawi dengan
mengabaikan nilai-nilai tradisional. Kebanyakan orang termasuk anak-anak tereks-pos dan
terangsang dengan berbagai pengharapan, pola konsumsi yang ditawarkan oleh dunia ikian, atau
tuntutan menyesuaikan diri dengan pergaulan modem. Ketika kesetiaan dan kerukunan tidak
dapat dipertahankan, keluarga retak (broken home). Tidak jarang luntur-nya cinta kasih
menimbulkan tindak kekerasan dalam keluarga, atau membawa penyakit menular seksual masuk
ke dalam rumah. Suami istri hidup berpisah, dan biasanya berakhir dengan perceraian. Orang tua
dikritik oleh anak-anak, dan timbul jurang antargenerasi. Anak-anak yang kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang terje-rumus dalam pergaulan yang buruk, dan terlibat dalam berbagai
ben-tuk kenakalan remaja atau perbuatan antisosial. Ada yang minggat; menyalahgunakan
narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya; melakukan hubungan seks bebas, tawuran, dan tindak
kriminal.

Parabhava-sutta menyebutkan sejumlah penyebab kemerosotan, antara lain senang bermain
perempuan, tidak puas dengan istri sendiri, cemburu, mabuk-mabukan, berjudi, menghamburkan
kekayaan, memberi kekuasaan dan percaya kepada perempuan atau laki-laki pe-mabuk dan
pemboros. Dia yang cukup mampu namun tidak menyokong orang-tuanya, atau memandang
rendah handai-tolan dan sanak keluarganya juga akan menghadapi kemerosotan (Sn. 106-112,
98, 104). Dalam Vasala-sutta, orang yang mempunyai hubungan gelap dengan istri orang lain,
yang tidak merawat ayah-ibunya yang sudah tua dan lemah, yang menyerang atau memaki orang
tua, mertua dan saudaranya disebut sebagai manusia sampah (Sn. 123-125).

Keluarga mana pun yang bertahan lama di dunia ini, disebabkan oleh empat hal, atau salah satu
di antaranya. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah mencari apa yang telah hilang,
memperbaiki apa yang telah rusak, makan dan minum tak berlebihan, dan memberi kekuasaan
kepada seorang perempuan atau laki-laki yang baik moralnya" Kebalikannya akan membuat
suatu keluarga mengalami kemunduran (A.II, 249).

Kehidupan Keluarga Saling Melengkapi

Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri, anak-anak (bila ada)
yang terikat atau didahului dengan perkawinan. Pembentukan keluarga adalah berawal dari
perkawinan. Menurut Sri Dhammananda (1995) dalam A Happy Married Life A Buddhis
Perspective dijelaskan bahwa perkawinan persekutuan antara dua individu, yang diperkaya dan
ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan kepribadian yang bersangkutan tumbuh.


Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keharmonisan (keserasian) dari pada sekedar
mencari pasangan tepat. Kedua belah pihak terus-menerus berusaha menjadi orang yang
mempunyai sikap saling menghormati, mencintai, dan memperhatikan anggota keluarga yang
lain. Buddha bersabda Demikianlah perumah tangga, bila wanita dan pria keduanya
mengharapkan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan kehidupan yang akan datang, harus
memiliki keyakinan yang sebanding, sila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding, dan
kebijaksanaan yang sebanding, maka akan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan pada
kehidupan yang akan datang . . . Demikianlah di dunia ini, hidup sesuai dengan petunjuk
Dhamma, pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai
kebahagiaan yang di idam-idamkan (A. II.61).

Berdasarkan sabda Buddha, dapat dirumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
dari dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dengan me-
laksanakan Dharma (termasuk vinaya). Apa yang disebut kebahagiaan dalam kehidupan seorang
ataupun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, sila, kemurahan hati, dan
kebijaksanaan yang sebanding. Tujuan dari perkawinan tiada lain adalah saling melengkapi,
saling mendukung, dan melindungi, sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat
mencapai kesempumaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan
tempat untuk mengembangkan kekuatan secara sinergis dari dua individu yang membentuk
pasangan, membebaskannya dari kesepian, kekhawatiran, ketakutan, kekurangan dan kelemahan.

E. HINDU
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Ajaran Hindu sangatlah banyak mengatur agar manusia menghormati wanita sebagai
salah satu mahluk ciptaan Tuhan. Penghormatan terhadap wanita diyakini menjadi kewajiban
bagi semua orang sehingga kekerasan yang dilakukan oleh para suami terhadap istrinya
seharusnya dapat dihindarkan. Salah satu ayat dalam ajaran Hindu yang menerangkan perlunya
menghormati wanita yaitu :
Santosa trisu kartavyah
Swadare bhojane dhane
Trisu caiva na kartavyo
Dyayane japa daanayoh
(Canakya Nitisastra, VII, 4)
Artinya:
Puaslah terhadap tiga hal, dengan istri sendiri, makanan yang ada dan kekayaan yang diperoleh.
Sebaliknya janganlah pernah puas terhadap tiga hal yaitu mencari ilmu, berjapa dan berdana
punya.
Tekanan yang pertama pada ayat tersebut menempatkan bahwa wanita (dalam hal ini
sebagai istri) harus menjadi perhatian khusus bagi kaum lelaki khususnya karena ternyata wanita
diberi kedudukan yang terhormat dalam ajaran Hindu. Khusus terhadap butir pertama yaitu
puaslah hanya dengan istri sendiri , kita dapat pula menemukan kutipan sastra yang dapat
mendukung hal tersebut. Posisi wanita ternyata sangat diagungkan menurut kitab suci Hindu.
Hal ini dapat kita temukan dalam Manawa Dharma Sastra Bab IX, 101, 102 disebutkan
bahwa; "Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya, hal ini harus
diyakini sebagai hukum yang tertinggi bagi suami-istri". Hendaknya laki-laki dan perempuan
yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan supaya mereka tidak bercerai dan jangan
melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain. Manava Dharmasastra III.45 : Hendaknya
suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas dengan istrinya
seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk
mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik. Tujuan setiap pasangan membentuk
suatu rumah tangga adalah untuk menjalankan kewajiban Dharma, menciptakan keturunan yang
Suputra dan bukan sekedar tempat berkumpul suami istri, makan dan minum bersama, tetapi
justru untuk terbinanya ketenangan lahir bathin, hidup rukun dan damai, tenteram dan bahagia.
"Keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula istri terhadap suaminya,
di sana kebahagiaan pasti kekal abadi" (Manawa dharma Sastra III.60). Suami wajib menggauli
istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan
keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian. Untuk
mencapai ketenangan lahir batin, hidup tenang dan damai; masing-masing suami istri harus
mampu memenuhi dan memperhatikan kebutuhan dan keinginan pasangannya. Keduanya harus
dapat saling mengerti, harus berusaha untuk dapat memahami latar belakang hati masing-masing,
sehingga tidak ada yang merasa tertekan, menderita dan tidak puas. Suami terlebih dahulu wajib
menghormati istrinya dan demikian pula istri harus mampu membalas penghormatan itu dalam
berbagai bentuk perilaku dan kewajiban istri yang baik menurut sastra agama. Salah satu ayat
yang dapat dijadikan referensi utama dalam hal ini adalah Manawa Dharma Sastra Bab III, 56
dan Bab IX, 29 yang menyatakan bahwa dimana wanita dihormati, di sanalah Dewa-dewa
(Tuhan Yang Maha Esa) akan bersemayam dan merasa senang, tetapi dimana mereka
(wanita/istri) tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang diterima olehNya dan apapun
yang dilakukan tidak akan mendapatkan pahala.
Dalam Canakya Niti Sastra bab I, sloka 6, disebutkan merupakan kewajiban bagi rumah
tangga untuk menyimpan uang/kekayaan untuk persiapan menghadapi kesulitan, dan
korbankanlah harta dan kekayaan tersebut demi menjaga dan melindungi (martabat) istri. Sloka
ini menunjukkan bahwa posisi seorang istri sangatlah sentral dan patut dijaga dengan baik,
meskipun harus mengorbankan harta benda dan bahkan nyawa suami. Dalam bab 7, sloka 1
disebutkan orang yang bijaksana hendaknya tidak mengatakan kepada orang lain tentang
kelakuan istrinya yang jelek.
Meskipun dalam kitab suci Hindu tidak dinyatakan secara eksplisit larangan kekerasan
terhadap perempuan, namun kutipan di atas dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri sangat
dilarang dalam kitab suci Agama Hindu. Hendaknya umat Hindu dapat menjaga istri dan
menempatkan istri sebagai patner yang sejajar dalam menghadapi kehidupan. Sloka berikut ini
bersumber dari Manawa Dharmasastra yang menunjukkan betapa pentingnya kita menghormati
dan menyayangi istri sendiri agar tidak sampai terjadi peristiwa KDRT.
Sloka 55:
Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ibu dan mertuanya, kakakkakaknya, adik-
adiknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.
Sloka 56.
Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak
dihormati tidak ada upacara suci apapun yang berpahala.
Sloka 57.
Dimana ada warga yang wanitanya hidup dalam kesepian, keluarga itu cepat akan hancur tetapi
dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.
Sloka 58.
Rumah dimana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan; keluarga
itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.
Sloka 59.
Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera hendaknya selalu menghormati wanita pada hari-hari
raya dengan memberikan perhiasan, pakaian dan makanan.
Dari sekian banyak sloka tersebut diatas jelaslah bahwa secara hukum agama Hindu
diwajibkan untuk menghormati wanita mengingat kedudukan wanita begitu pentingnya. Bahkan
didalam Vanaparva Mahabharata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang
menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira
menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama
dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah
dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus sebagaiman halnya bumi yang dengan
ikhlas mengorbankan dirinya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan umat
manusia tanpa mengharapkan balasan apapun. Demikian pula saat seorang ibu melahirkan
anaknya maka nasibnya dapat diibaratkan tergantung pada sehelai rambut; kondisi yang sangat
berbahaya dan bila terjadi kesalahan sedikit saja, maka bisa jadi ibu atau bayi atau bahkan
keduanya dapat menjadi korban. "Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama
rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak
baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya dan
mereka itu, tidak ada yang melebihi kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anak-anaknya'
(Sarasamuccaya 245)..
Perlu juga diingatkan kepada kaum wanita bahwasanya walaupun ajaran ajaran suci kita
mewajibkan kita untuk menyayangi dan menghormati wanita, tetapi aturan tersebut tentu saja
tidak mudah diterapkan dalam praktek. Hal ini disebabkan karena sebagai manusia baik laki-laki
maupun perempuan akan terbawa oleh sifat dan perilakunya masing-masing yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai hal sehingga dapat menjauhkannya dari sifat-sifat mulia yang
dikehendaki oleh Sang Pencipta ketika manusia tersebut dilahirkan. Interaksi manusia dengan
alam sekitarnya akan membentuk sifat dan perilakunya yang sangat mungkin dapat
berseberangan dengan apa yang tersurat dalam sloka-sloka tersebut diatas.
Demikian pula wanita yang menjadi obyek yang harus dihormati dan disayangi tentunya
wajib mengkondisikan dirinya sedemikian rupa agar memang pantas untuk dihormati dan
disayangi. Tanpa adanya usaha dan peran wanita yang sungguh-sungguh untuk berperilaku
sesuai ajaran Hindu, maka sloka-sloka yang tersebut diatas menjadi tiada guna dan justru
membuat kaum laki-laki seolah-olah memperoleh pembenaran untuk tidak menghormati dan
menyayangi wanita dan bahkan melakukan KDRT; karena dia merasa bahwa tidak ada unsur
yang mendukung dia harus menghormati dan menyayangi wanita karena wanita sendiri yang
tidak dapat membuktikan dirinya sebagi wanita yang sesungguhnnya.
PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN
Dibawah akan diuraikan sekilas tentang perkawinan dan perceraian menurut hukum Hindu
berdasakan kitab Manawa Dharma Sastra
BAB IX Sloka 59 :
Dewa radwa sapindadwa
striya samyangniyukta ya
prajepsitadhi gantawya
samtanasya parisaye.
Artinya :
Kegagalan memperoleh anak oleh seorang wanita dari suaminya, dengan secara khusus ia dapat
memperoleh anak melalui levirat dengan saudara angkatnya atau saudara yang sedarah dengan
suaminya.
Penjelasan :
Berdasarkan ayat ini suami dapat menguasakan istrinya atau setelah mati suaminya kepada sanak
keluarga suaminya. Sapinda adalah satu ikatan keluarga yang terikat dalam satu pinda yang
dalam sistem kekeluargaan sapinda ini dihitungtiga ke atas dan tiga ke bawah jika ditarik garis
lurus dalam kelompok kekeluargaan itu disebut sapinda. Atas kuasa Undang Undang untuk
memperoleh anak laki laki itu suami dapat menguasakan istrinya. Ayat ini yang sering dijadikan
landasan untuk melakukan perkawinan levirat atau untuk angkat sentanan atau merubah status
anaknya yang perempuan sebagai status anak laki laki dengan berakibat kawin.
Selanjutnya Kitab Manawa Dharma sastra Bab IX Sloka 68 :
Tatah prabhrti yo mohat
pramita patikam striyam
niyojayatyampatyartham tam wigarhanti sadhwah
Artinya :
Sejak waktu itu, orang orang bijaksana melakukan perkawinan levirat dengan wanita yang
suaminya telah meninggal dunia hanya karena untuk memperoleh anak laki laki dari lelaki
lainnya.
Selanjutnya pada BAB IX Sloka 72 dinyatakan :
Widhiwatparati grhyapi tyajed
kanyam wigarhitam
wyadhitam wipra dustam
wa chadmana copapaditam
Artinya :
Walaupun seorang laki laki mungkin telah menrima seorang gadis / dikawini sesuai hukum, ia
boleh meninggalkannya bila ia cacad berpenyakit atau telah diperkosa dan itupun bila telah
diberikan dengan tipu daya. Cacad, misalnya memiliki cacad dalam tubuh atau tanda-tanda yang
dapat dianggap tidak baik atau misalnya karena turunan dari orang yang tidak layak atau
keluarga hina. Demikian, sebaikanya sebelum menikah harus diperiksakan terlebih dahulu ke
dokter seperti yang dilakukan oleh kaum Islam.
Manawa Dharma Sastra Bab IX Sloka 77 :
Samwatsaram pratikseta
dwisantim yositam patih,
urdhwam samwatsarattwenam
dayam khrtwana samwaset.
Artinya :
Hendaknya suami bertahan selama satu tahun terhadap istri yang membencinya, tetapi bila waktu
itu telah lewat, ia boleh berbagi harta dan bercerai dari padanya.
Penjelasan :
Harta miliknya yaitu barang barang atau benda benda yang diberikan kepada istrinya olehnya
(Medhaditi, Nanda) yang di dalam kitabnya Narayana disebut dengan istilah stridhana yaitu harta
benda yang diberikan olehnya tetapi terpisah dari harta campuran dan bukan merupakan barang
bawaan dari keluarganya sendiri.
Manawa Dharma Sastra BAB IX Sloka 81 :
Bandhastame dhiwedyambde
dacame tu mrtappraja,
ekadace strijanani sadyas twa priyawadini.
Artinya :
Wanita yang tak berketurunan dapat diganti setelah delapan tahun, ia yang anknya semua
meninggal dalam sepuluh tahun, ia yang hanya mempunyai anak perempuan saja dalam waktu
sebelas tahun, tetapi ia yang suka bertengkar tidak menunggu nunggu waktu lagi.
Penjelasan :
Wanita tak berketurunan artinya tak bisa punya anak (mandul) menurut ayat ini dapat dimadu
dan statusnya diganti oleh istri kedua bila telah lewat masa delapan tahun, sedangkan pernah
punya anak tetapi anaknya meninggal akan diganti kedudukannya bila lewat masa sepuluh tahun,
tidak berketurunan lagi tetapi ia baru punya hanya anak perempuan saja dapat dimadu setelah
masa sebelas tahun. Ketentuan ini didasarkan atas hukum bahwa hanya anak laki laki sajalah
yang berhak melakukan sraddha.
Manawa Dharma sastra BAB IX Sloka 82 :
Ya rogini syattu hita
sampanna caiwa cilatah
sanujnapyadhi wettawya
nawamanya ca karhicit.
Artinya :
Tetapi istri yang sakit, terhadap suaminya bertingkah laku yang baik, dapat diganti hanya dengan
persetujuannya dan tidak boleh dihina.
Penjelasan :
Berdasarkan ayat ini pengecualian diberikan terhadap wanita yang setia sebagai istri tetapi
karena sakit tidak dapat mempunyai anak maka penggantiannya atau pemaduannya hanya dapat
dilakukan dengan persetujuannya dan berdasarkan syarat ini sela waktu tidak disebutkan dan
karena itu tergantung pada pembuktian ketidak mampuannya karena sakit bila harus dilakukan
sebelum waktu minimal 8 tahun yang telah ditentukan.
(19,20)


HOMOSEKSUALITAS
Homoseksualitas adalah ketertarikan seksual dengan sesama jenis dan hal ini
bertentangan dengan ajaran agama Hindu dimana perkawinan berlaku dengan pasangan yang
berlawanan jenis yaitu laki-laki dengan perempuan. Perilaku ini bertentangan dengan adat
istiadat, kebiasaan masyarakat. Dengan demikian ajaran Hindu tidak membenarkan perilaku ini.
Perkawinan dalam arti ikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut
masyarakat adat Bali, ucapan perkawinan memiliki kata sinonim dengan mesakapan, yang
berasal dari kata sakap yang mengandung arti menyatu, dalam hal ini diartikan sebagai
menyatunya lingga dengan yoni, dengan sebutan ardhanareswari sebagai kekuatan
peleburan dosa. Upacara perkawinan sering juga disebut upacara penganten yang
mengandung arti siap sebagai pengganti tanggungjawab orang tua.
Menurut hukum agama Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan seorang pria dan
wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan
keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka, yang
dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smerti.
Menurut ajaran Agama Hindu, manusia mengalami Catur Asrama atau
empattingkatan hidup manusia, yaitu Brahmacari (tingkatan saat mencari ilmu pengetahuan),
Grahasta (tingkatan saat membina rumah tangga), Wanaprasta (tingkatan saat
mempersiapkan meningkatkan kerohanian), Bhiksuka (tingkatan melepaskan dari ikatan
duaniwi). Dalam pelaksanaan tingkatan Grahasta itulah bagi umat Hindu perkawinan
itudilak sanakan. Jadi, perkawinan disini mempunyai tujuan membentuk keluarga (Grahasta
Asrama) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dimaksudkan bahwa perkawinan tersebut adalah Yadnya (bagi umat Islam
disebut Ibadah), karena mengandung pengertian sebagai jalan untuk bisa membayar
hutang (Rna) kehadapan para leluhur melalui jalan melahirkan anak yang suputra. Itulah
sebabnya perkawinan bagi umat Hindu merupakan kawin suci yang bersifast religius
sehingga ritualnya disebut samskara Wiwaha dan hal ini pulalah yang mendasari bahwa
perkawinan sejenis tidak dibenarkan dalam agama Hindu karena dalam perkawinan sejenis tidak
mungkin menghasilkan keturunan.
TRANSGENDER
Ajaran hindu memandang keberadaan 3 (tiga) jenis kelamin, yaitu pums-prakriti (pria), stri-
prakriti (perempuan), tritiya-prakriti (seks ketiga). Jenis seks ketiga ini terdiri dari shanda (male
female) dan shandi (female male). Karena adanya pengakuan, pemilik tritiya prakriti
diijinkan hidup bebas dan terbuka. Contohnya dalam kisah Baratayudha terdapat masa dimana
Arjuna berperan sebagai Brihannala. Dengan begitu, operasi pergantian kelamin pun bebas
dilakukan.

3. Dampak transgender
Yang pertama yang terjadi pada orang transgender ialah dikucilkan, tidak diterima dalam
pergaulan sehari-hari dan masyarakat umum. Hal itu membuat mereka menjadai hanya bergaul
sesama mereka, dan akhirnya lebih banyak bersosialisasi disitu-situ saja yang mungkin berbuat
hal-hal yang tidak baik. Kemudian mungkin mereka yang tidak tahan tekanan yang seperti itu
akan mengalami depresi. Lalu yang pasti akan mendapatkan dosa besar karena memang semua
agama tidak memperbolehkan transgender atau transseksual.

Solusi terbaik yang pertama ialah pencegahan dimana selalu dipromosikan pola asuh anak yang
baik sehingga membentuk psikologis anak berkembang dengan baik. Kemudian jika memang hal
ini telah terjadi terapinya. Mungkin secara psikologis dengan bantuan keluarga untuk
mendukung penuh anaknya agar tidak down dan menyetuh anak tersebut dengan hal-hal yang
bisa meluruskan kembali pandangannya baik secara agama, kebiasaan, ataupun perlakuan.
kemudian juga disosialisasikan untuk masyarakat agar membantu dalam meluruskan kembali
pandangan yang menyimpang tersebut dengan tidak mengucilkan, tapi memperlakukan pelaku
tersebut seperti halnya gender sebenarnya.
Transgendered does not imply any specific form of sexual orientation yang
menyatakan bahwa transgender tidak hanya sekedar orientasi seksual yang salah dari individu-
nya yang lebih sering terjadi karena faktor psikologis, faktor lingkungan, ataupun yang faktor
lain-nya. Dan begitu juga dengan ini a person who believes that his or her body does not reflect
his or her true inner gender. Karena kaum transgender ini bisa memiliki orientasi seksual
layaknya mereka yang bukan transgender, bisa dengan lawan jenis, sesama jenis, atau bisa
dengan kedua-dua-nya
(2)
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain:
- perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya;
- berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain;
- mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan
bukan hanya ketika dating stress;
- adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal;
- dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P.
Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di
antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan
afektif serta tingkah laku negativisme.
Transeksual dapat diakibatkan
- faktor bawaan (hormon dan gen) dan
- faktor lingkungan.
o Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan
membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada
masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan
seks dengan pacar, suami atau istri.
Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena
keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna
mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya
normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan
berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah
sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar
belakangnya.
Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
1. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir
memiliki kelamin normal;
2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang
atau tidak sempurna.;
3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang
sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ
kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi
dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk
melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/
Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula
normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil yaitu:
1. firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari
mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan
hukum yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini
tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya;
2. firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir
Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir
(hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang
diharamkan karena termasuk mengubah ciptaan Tuhan sebagaimana dimaksud ayat di
atas yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan
sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang
pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya);
3. Hadits Nabi saw.: Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang
menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya
itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah. (HR. Al-Bukhari);
4. Hadits Nabi saw.: Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki. (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari
kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah
melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological
therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan)
dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat.
Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan
mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya
dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini
merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina,
maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat
kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan menghilangkan salah satu alat
kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam
tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama
jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan
dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena
keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan
merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit
ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan
sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut
Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang
penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi kelamin yang
dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang
memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia
tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula
sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam
kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang
vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi
jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian
dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin
yang berbeda dengan kondisi bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat
dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak
ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status
hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut
berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya
adalah sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala dan terpuji karena
termasuk anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir
(mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak
berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang
melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria
(dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan
kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau
penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang
tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa)
didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan
kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan
menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan
demi kejelasan status hukumnya

Tetapi dalam hal ini, komunikasi rasional itu harus dilokomotifi negara. Sesuai amanat
UUD 1945, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pengayoman, serta
mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain berkomunikasi dengan kelompok transeksual,
pemerintah juga harus melakukan komunikasi kepada rakyat. Jika komunikasi kepada
transeksual diharapkan dapat mewadahi dan mewujudkan aspirasinya, komunikasi dengan rakyat
diharapkan bisa membawa pencerahan terhadap pola pikir masyarakat yang memandang sebelah
mata kelompok tersebut.Teknisnya, pemerintah bisa menggandeng kelompok agamawan,
seniman, akademisi, serta tokoh masyarakat, untuk menyadarkan masyarakat bahwa keberadaan
transeksual tersebut merupakan realitas sosial yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya.















BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini yang di alami oleh Ny. Dita adalah KDRT oleh suaminya. Hal ini
disebabkan banyak faktor-faktor yaitu, Ny, Dita adalah seorang lesbian yang pada akhirnya
diketahui oleh orang tuanya dan suaminya, pernikahan paksaan oleh Ayahnya kepada Ny.Dita.
dalam hal ini Ny. Dita bukan merupakan pilihan untuk menjadi seorang lesbian sehingga
akhirnya Ny.Dita mau menikah dengan yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan tujuan semoga
kembali normal, tidak ke penyimpangan suka sama suka sesama jenis. Lesbian didalam Negara
kita berdasarkan moral, dan agama kita dilarang.
Pada kasus ini, Ny.Dita dan Ayahnya melakukan pemeriksaan.Dalam hal ini Ny. Dita
berhak menolak inform consent oleh dokter karena Ny.Dita yang diatas 20 tahun, bukan
merupakan masalah mental, dan dalam keadaan sadar.
Untuk kasus ini, diperlukan solusi yang baik untuk Ny.Dita yaitu nasehat untuk
melakukan transgender karena dalam hal ini Ny.Dita menolak melakukan pemeriksaan,
berkomukasi baik dengan orang tua agar semua masalah dapat teratasi, dukungan dari orang tua
dan orang sekitarnya sangat diperlukan.












DAFTAR PUSTAKA
1. Transgender. [Online]. 2013 january 13.Available. from: URL:
http://id.wikipedia.org/wiki/Transgender
2. Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin. [Online]. 2009 August 12 [cited
2012 january 13]. Available. from: URL:
http://www.dakwatuna.com/2009/08/3427/fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-
kelamin/
3. Transeksual & Transgender. [Online]. 2008 August 15 [cited 2012 january 13].
Available. from: URL: http://nhrmidwife.blogspot.com/2008/08/transeksual-
transgender.html?zx=ea8761f7abc86d9f
4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka
Dwipar; 2007. P.30-2.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
6. Pandangan islam tentang kdrt.Available.
http://syariahonline.com/new_index.php/id/6/cn/511
7. Penceraian dan menikah menurut Kristen.available at.
http://www.gotquestions.org/indonesia/perceraian-menikah-kembali.html
8. Sproul, RC. Kebenaran-kebenaran dasar iman kristen. Malang: literatur SAAT. 2008.
9. Lesbian Menurut Kristen. Available
at.http://gkbigombong.wordpress.com/pengajaran/ada-apa-dengan-lesbian/
10. Kleden PB, Iswanti, Pati IL, Utama ILM, Prior J, Hayon YS. In: Iswanti, Utama ILM,
Editors. Memecah kebisuan: agama mendengar suara korban kekerasan demi keadilan
(respon katolik). Jakarta: Komnas Perempuan; 2009. p. 47-9
11. Listiati I. Homoseksual: dosakah dan dapat sembuhkah? Available at:
http://katolisitas.org/2009/08/27/homoseksual-dosakah-dan-dapat-sembuh-kah/.
Accessed on January 14
th
, 2012
12. Listiati I. Ganti kelamin, bolehkah? Available at: http://katolisitas.org/2010/01/04/ganti-
kelamin-bolehkah/. Accessed on January 14
th
, 2012
13. Santoso E. Hukum gereja mengenai pernikahan katolik. Available at:
http://www.kaj.or.id/dokumen/kursus-persiapan-perkawinan-2/hukum-gereja-mengenai-
pernikahan-katolik. Accessed on January 14th, 2012
14. Widyasanti CG, Basuki ZD. Analisis yuridis pembatalan perkawinan beda agama
(katolik-islam) menurut hukum kanonik dan undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Available at:
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=130060. Accessed on January
14
th
, 2012
15. Saunders WP. Pembeatalan perkawinan = perceraian katolik? Available at:
http://yesaya.indocell.net/id1189.htm. Accessed on January 14
th
, 2012

16. http://artikelbuddhist.com/2011/07/homoseksual-dan-ajaran-theravada.html
17. http://artikelbuddhis.blogspot.com/2010/01/pandangan-buddhis-mengenai-
perkawinan.html
18. http://tamandharma.com/forum/index.php?topic=12569.0;wap2
19. http://eprints.undip.ac.id/20232/2/PERKAWINAN_CAMPURAN.pdf
20. http://www.hukumhindu.com/sekilas-perkawinan-dan-perceraian-hindu/

Anda mungkin juga menyukai