Anda di halaman 1dari 6

Tinjauan Pustaka

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011


Tuberkulosis Paru pada
Pasien Diabetes Mellitus
Alius Cahyadi*, Venty**
*Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Atma Jaya/
Rumah Sakit Atma Jaya, Jakarta
**Dokter umum di Jakarta
Abstrak: Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko tersering pada pasien
tuberkulosis (TB) paru. Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan
peningkatan prevalensi pasien DM. Patofisiologi yang terjadi pada pasien DM turut
mempengaruhi patogenesis terjadinya TB paru di mana pada pasien DM terjadi defek pada
fungsi sel-sel imun. Manifestasi klinis TB paru yang terjadi tidak berbeda bermakna pada
pasien DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala klinik yang timbul pada pasien DM dapat
lebih banyak. Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang tidak DM.
Namun, perlu diperhatikan adanya interaksi dan efek samping obat antara obat antituberkulosis
dan obat oral untuk DM, misalnya antara rifampisin dengan obat golongan sulfonilurea.
Kata kunci: Diabetes Mellitus, tuberkulosis paru, antituberkulosis
Pulmonary Tuberculosis in Diabetes Mellitus Patients
Alius Cahyadi,* Venty**
*Department of Internal Medicine Medical Faculty of UNIKA Atma Jaya/Atma Jaya Hospital, Jakarta
** General Physician in Jakarta
Abstract: Diabetes mellitus (DM) is one of the most often risk factors for patient with pulmonary
tuberculosis (TB). Nowadays, the prevalence of pulmonary TB increases along with the increase
of DM patients. Pathophysiology in DM patient influence the pathogenesis of pulmonary TB whom
DM patients have functional defects in cellular immune system. The clinical manifestation of
pulmonary TB is not significantly different in a patient with or without DM, but the clinical
symptoms are more appeared in a patient with DM. Treatment for pulmonary TB in DM patients
is similar with the patient without DM. However, it is important to detect drug interactions and
adverse events between tuberculostatic drugs and oral antidiabetic drugs, for instance rifampicin
and sulfonylurea.
Keywords: Diabetes mellitus, pulmonary tuberculosis, tuberculostatic drugs
173
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011 174
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua
yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah
kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian
yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk
spora, bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi
pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain pada
sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan TB
yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga
populasi dunia, dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit
pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta pa-
siennya. Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia
untuk jumlah kasus TB.
1-3
Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu
di antara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Meskipun
keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus TB cukup
tinggi, keberadaan TB di berbagai belahan dunia menun-
jukkan kebutuhan untuk mengidentifikasi berbagai faktor
yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara lain usia dan
imunitas.
1-3
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor
risiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak
permulaan abad ke 20, para klinisi telah mengamati adanya
hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk
ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang
menimbulkan manifestasi klinis DM.
2,4
Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik
dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia
kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya.
5
DM dapat meningkatkan frekuensi
maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas yang
diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan
hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi.
2
Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan
prevalensi DM, terutama DM tipe II. Hal ini disebabkan oleh
perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan
berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada negara-
negara yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan
prevalensi DM, sebagai faktor risiko TB juga disertai dengan
peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai memberi perhatian
pada epidemi DM dan TB, terutama pada negara-negara
berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan India
yang mengalami peningkatan prevalensi DM tercepat dan
memiliki beban TB tertinggi di dunia.
2
Peningkatan kasus TB pada pasien DM juga terjadi di
Indonesia. Cukup banyak pasien DM yang mengalami TB
dan hal tersebut meningkatkan morbiditas maupun mortalitas
TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk diketahui
lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
maupun pengobatan kasus TB yang terjadi pada pasien DM.
Epidemiologi
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan
prevalensi DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan
sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali
lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan
kontrol yang non-diabetes.
4,6
Dalam studi terbaru di Taiwan
disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar
tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan
kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien.
7
Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Alisjahbana et al
8
di Indonesia pada
tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan pada pasien
baru TB paru dibandingkan dengan non TB.
Patogenesis Tuberkulosis
Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet, yang
dikeluarkan dengan cara batuk, bersin, atau percikan ludah
orang terinfeksi TB paru. Droplet ini dapat bertahan di udara
dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet yang sangat
kecil (<5-10 m) menyebabkan droplet tersebut dapat
mencapai jalan napas terminal jika terhirup dan membentuk
sarang pneumonia, yang dikenal sebagai sarang primer atau
afek primer.
1,3
Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran
getah bening (limfangitis lokal) yang diikuti pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis re-
gional membentuk kompleks primer. Kompleks primer ini
dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan
meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi, ataupun menyebar
secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, maupun
hematogen. Kejadian tersebut merupakan perjalanan tuber-
kulosis primer.
1,3
Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun
setelah tuberkulosis primer. Bentuk tuberkulosis ini menjadi
masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukkan
sarang dini (sarang pneumonia), umumnya di segmen apikal
lobus superior maupun inferior.
1,3
Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan
sembuh tanpa cacat, meluas dan menyembuh dengan fibrotik
dan perkapuran, atau meluas dan mengalami nekrosis kaseosa
membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas dan
membentuk sarang pneumonia baru, membentuk tuber-
kuloma, atau menyembuh membentuk kavitas terbuka yang
sembuh.
1,3
Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan
dalam mekanisme defensi terhadap M. tuberculosis. Imunitas
alamiah yang diawali oleh ikatan antara M. tuberculosis
dengan reseptor fagosit dan masuknya M. tuberculosis ke
dalam makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit,
merupakan kunci untuk terbentuknya imunitas adaptif
terhadap M. tuberculosis. Imunitas adaptif berupa imunitas
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011 175
yang diperantarai oleh sel, akan menimbulkan resistensi
terhadap M. tuberculosis dan menyebabkan terbentuknya
hipersensitivitas terhadap antigen TB. Imunitas alamiah dan
imunitas adaptif tersebut akan menentukan hasil akhir dari
paparan terhadap M. Tuberculosis.
9
Terdapat tiga kemungkinan hasil akhir paparan M.
tuberkulosis. Pada beberapa orang, kuman TB ini langsung
segera dieliminasi oleh pejamu setelah inhalasi. Frekuensi
dan penyebab dari penyembuhan spontan tidak diketahui
dengan pasti. Kemungkinan kedua dan kelompok terbesar
ialah bertahannya infeksi melalui keberhasilan pembentukan
granuloma, sebuah fungsi respon imun alamiah dan adaptif
yang kuat oleh pejamu dan menghasilkan infeksi laten. Pada
kelompok ini, reaktivasi dari infeksi laten dapat terjadi akibat
beberapa faktor, seperti penuaan atau status imunokom-
promais dari pejamu. Pada sejumlah kecil pejamu yang
terinfeksi, imunitas adaptif gagal dan terbentuklah infeksi
primer.
9
Rangkaian interaksi antara makrofag dengan kuman TB
dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali dengan
ikatan M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian
dilanjutkan dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan
pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk
respons inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T
untuk perkembangan imunitas adaptif.
1,9-11
Fagositosis M. tuberculosis oleh makrofag alveolar
yang belum teraktivasi merupakan peristiwa pertama yang
terjadi dalam hubungan pejamu dengan patogen, yang akan
menentukan hasil akhir terjadinya infeksi. M. tuberculosis
masuk ke dalam makrofag alveolar dengan cara endositosis.
Terjadinya endositosis tersebut diperantarai oleh sejumlah
reseptor yang terdapat di permukaan makrofag. Reseptor
komplemen (CR1, CR2, CR3, dan CR4), reseptor mannosa
(MR), dan molekul reseptor yang lain (CD14, scavenger re-
ceptor) memainkan peranan penting dalam terjadinya ikatan
antara kuman dengan fagosit. Sejumlah sitokin mempengaruhi
ekspresi dari reseptor permukaan sel tersebut. Prostaglan-
din E2 (PGE2) dan interleukin (IL)-4 meningkatkan ekspresi
reseptor komplemen dan reseptor mannosa, sedangkan in-
terferon- (IFN-) menurunkan ekspresi reseptor dan
menyebabkan berkurangnya kemampuan mikobakteria untuk
melekat pada makrofag.
1,9-11
Stadium awal TB primer ditandai oleh proliferasi M. tu-
berculosis di dalam makrofag alveolar. Proliferasi ini pada
akhirnya dapat menyebabkan lisis makrofag. Lisisnya
makrofag melepaskan berbagai kemoatraktan, seperti
komplemen, molekul bakteri, dan sitokin yang merekrut dan
mengaktivasi lebih banyak makrofag imatur, termasuk sel
dendrit. Makrofag-makrofag tersebut kemudian bermigrasi
ke dalam aliran limfatik dan mempresentasikan antigen M.
tuberculosis pada limfosit T, dengan perantara MHC kelas
II. Pada saat ini, pembentukan imunitas yang diperantarai sel
dimulai.
1,9-11
Reseptor menyerupai Toll (TLR) juga diperkirakan
memiliki peranan dalam pembentukan imunitas adaptif
terhadap M. tuberculosis. Akibat utama dari interaksi antara
TLR pada makrofag dan sel dendrit dengan M. tuberculosis
adalah terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. Sitokin dan
kemokin ini selanjutnya bertanggung jawab dalam pemben-
tukan respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis.
1,9-11
Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran
paling penting dalam respon imun adaptif terhadap M. tu-
berculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh
sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol
infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel
Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Pada saat ini,
dikenal tiga jenis sitokin yang menginduksi perubahan sel T
menjadi Th1. Ketiga jenis sitokin tersebut adalah IL-12, yang
merupakan sitokin yang dominan dalam induksi dan
pemeliharaan Th1; IL-23, yang memiliki aktivitas pada sel T
memori; dan IL-27, yang terlibat dalam inisiasi Th1.
1,9-11
Th1 memproduksi IFN- dan IL-2, sedangkan Th2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada
timbulnya imunitas humoral. Namun, hingga saat ini peran
sel Th2 pada TB masih kontroversial.
1,9-11
Limfosit T CD8 juga memiliki peranan dalam proteksi
terhadap TB. Sel CD8 juga memiliki kemampuan untuk
mensekresi sitokin, seperti IFN- dan IL-4, dan berperan dalam
meregulasi keseimbangan sel Th1 dan Th2 pada paru pasien
dengan TB paru.
1,9-11
Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik,
menghasilkan IFN-. IFN- merupakan molekul efektor
penting yang menyebabkan makrofag mampu menahan
infeksi M. tuberculosis. Sitokin ini dapat meningkatkan
presentasi antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit
T CD4 dan atau limfosit T sitotoksik yang akan berpartisipasi
pada pembunuhan M. tuberculosis.
1,9-11
IFN- juga menstimulasi pembentukan fagolisosom pada
makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman pada suatu
lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN- menstimulasi
ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang
menghasikan nitric oxide (NO). NO menyebabkan timbulnya
reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya
yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif pada bagian-
bagian kuman, mulai dari dinding sel hingga DNA.
1,9-11
Selain menstimulasi makrofag untuk membunuh M. tu-
berculosis, respons Th juga merancang pembentukan granu-
loma dan nekrosis kaseosa. Makrofag teraktivasi, yang disti-
mulasi oleh IFN-, memproduksi tumor necrosis factor
(TNF), yang merekrut monosit. Monosit-monosit ini
berdiferensiasi menjadi histiosit epiteloid, yang merupakan
gambaran respon granulomatosa. Pada sebagian orang,
respon ini tidak menimbulkan destruksi jaringan yang
signifikan maupun penyakit. Akan tetapi pada sebagian
orang yang lain, infeksi bersifat progresif menyebabkan
destruksi jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi.
Progresivitas infeksi ini berkaitan dengan umur dan imuno-
supresi. Di samping itu, TNF juga berperanan dalam
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
176
menginduksi terbentuknya reactive nitrogen intermediates
dan terjadinya apoptosis makrofag yang terinfeksi, sehingga
mengurangi jumlah kuman.
1,9-11
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuber-
kulosis paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek
pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu.
Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih
belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat
sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu
molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia
terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal
leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada
mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.
2
Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan
disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit
T. Wang et al.
11
mengemukakan adanya peningkatan jumlah
makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada
pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan
jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan
DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur
yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM, seperti
yang ditemukan dalam penelitian ini, dianggap bertang-
gungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah
bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM.
Pada percobaan eksperimental yang dilakukan
Stalenhoef et al.
11
pada plasma darah manusia didapatkan
bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien
TB dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2
dibandingkan dengan kontrol yang sehat, produksi IFN-
spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN-
yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok
DM. Diduga bahwa berkurangnya IFN- yang non-spesifik
tersebut menunjukkan adanya defek pada respon imun
alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko pasien DM
untuk mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme
yang mendasari terjadinya hal tersebut masih perlu ditelusuri
lebih lanjut.
11
Manifestasi Klinis
Bacakolu et al.
12
melakukan penelitian untuk melihat
apakah diabetes mellitus mempengaruhi manifestasi klinis
dan radiologis tuberkulosis pada pejamu non-imuno-
kompromais dan untuk melihat keterlibatan lapangan paru
bawah. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa DM tidak
memengaruhi gejala, hasil bakteriologi, reaktivitas tuberkulin,
dan lokalisasi infiltrat pada gambaran radiografi. Pada pasien
DM yang lebih tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin wanita
didapatkan adanya keterlibatan lapangan paru bawah yang
secara statistik berbeda secara bermakna dibandingkan
dengan yang tidak DM.
12
Pada penelitian Wang et al.
6
didapatkan bahwa pasien
DM dengan TB paru menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi
terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan sputum BTA yang
positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah,
serta angka kematian yang lebih tinggi.
6
Penelitian lain yang dilakukan oleh Alisjahbana et al.
13
menemukan adanya beberapa perbedaan manifestasi klinik
pada pasien TB yang juga menderita DM dan pasien TB
tanpa DM. Pada pasien TB yang juga DM ditemukan gejala
klinis yang lebih banyak dan keadaan umum yang lebih buruk
(menggunakan indeks Karnofsky). Penjelasan detail
mengenai penelitian ini dapat dibaca di referensi no 13. Tetapi
hasil penelitian tersebut juga tidak menunjukkan hasil yang
signifikan. Pada penelitian itu juga didapatkan pengaruh
negatif dari DM terhadap hasil akhir pengobatan anti-
tuberkulosis. DM secara signifikan berkaitan dengan kultur
sputum yang masih positif setelah enam bulan pengobatan.
13
Berdasarkan ketiga penelitian di atas tidak ditemukan
adanya perbedaan yang signifikan manifestasi klinis antara
pasien TB yang menderita DM maupun pasien TB tanpa
DM. Dengan demikian pada pasien TB yang juga menderita
DM dapat ditemukan gejala, seperti batuk, batuk berdarah,
sesak nafas, demam, keringat malam, dan penurunan berat
badan, namun gejala cenderung lebih banyak dan keadaan
umum lebih buruk. Sedangkan gambaran hasil pemeriksaan
darah, radiologi, dan bakteriologi tidak menunjukkan
perbedaan.
Diagnosis
Secara klinis, berbagai keluhan dapat ditemukan pada
pasien DM, baik keluhan klasik maupun keluhan tambahan.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penye-
babnya. Keluhan tambahan lainnya berupa lemah badan,
kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
14
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara.
Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan
glukosa darah sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila keluhan klasik
ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/
dL, maka pasien dapat didiagnosis DM. Ketiga, dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO).
Berdasarkan standar WHO, tes tersebut dilakukan
setelah pasien puasa minimal delapan jam lalu diberikan beban
glukosa 75 g yang dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum
dalam lima menit. Bila pemeriksaan glukosa darah setelah
dua jam pemberian glukosa ini >200 mg/dL, maka diagnosa
DM dapat ditegakkan.
14
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi,
radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis
yang dapat timbul, antara lain demam dan keringat malam,
penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu, batuk
darah, sesak napas, dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas
yang melemah, dan rhonki basah.
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
177
Diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan
menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam spu-
tum atau jaringan paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah dengan pencitraan radiologi, pemeriksaan
BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction), ELISA (Enzym
Linked Immunosorbent Assay), ICT (Immunochromato-
graphic Tuberculosis), Mycodot, PAP (Peroksidase Anti
Peroksidase), dan IgG TB.
3,15
Tatalaksana
Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian
besar pasien DM akan meninggal karena TB paru bila mereka
berhasil bertahan dari koma diabetes. Setelah diperkenalkan
terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi
ancaman yang serius dan mematikan pada pasien DM.
Namun, dengan pengobatan anti-TB yang efektif, progno-
sisnya akan jauh lebih baik.
Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa
dengan yang bukan pasien DM, dengan syarat kadar gula
darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan dilanjutkan
dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pengobatan
TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah kontrol kadar
gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang
biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
etambuto,dan streptomicin.
3,13,15
Dosis harian isoniazid ialah 4-6 mg/kg berat badan (BB)/
hari dengan dosis maksimal 300 mg. Efek samping ringan
dapat berupa gejala-gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait dengan
terjadinya defisiensi piridoxin (Vit B6) sehingga dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/
hari atau dengan vitamin B kompleks. Kelainan akibat
defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra.
Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis
imbas obat yang t timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila
terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang bersifat
hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid)
dihentikan dan pengobatan TB dilanjutkan sesuai pedoman
pengobatan TB pada keadaan khusus.
3,13
Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan
dosis hariannya 8-12 mg/kg BB/hari dan dosis maksimal 600
mg. Efek samping ringan yang didapat berupa sindrom flu
(misalnya demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut
(sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan
sindrom kulit (gatal-gatal).
Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis
imbas obat, sesak nafas, dan bila terjadi salah satu gejala
sepeti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka
pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan
tidak diberikan lagi walaupun gejala telah menghilang.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin,
keringat, air mata, air liur. Hal itu terjadi karena metabolit obat
dan hal ini tidak berbahaya.
Keadaan yang perlu diperhatikan ialah pemberian
rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral
antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengu-
rangi efektivitas obat tersebut dengan cara meningkatkan
metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM,
pemberian sulfonilurea harus dengan dosis yang diting-
katkan.
3,13
Saat ini penulis belum dapat menemukan literatur
yang menjelaskan cara meningkatkan dosis sulfonilurea pada
kasus ini.
Sementara itu, pirazinamid sebagai antituberkulosis
dapat diberikan dengan dosis harian: 20-30 mg/kg BB/hari.
Efek samping utama obat ini ialah hepatitis imbas obat. Dapat
pula terjadi nyeri akibat serangan arthritis gout yang
disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila hal ini terjadi
maka perlu dimonitor karena bila kadar asam urat terlalu tinggi
mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
3,13
Etambutol diberikan pada pasien TB dengan dosis
harian 15-20 mg/kg BB/hari. Antituberkulosis ini dapat
menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, serta buta warna hijau dan merah. Gangguan
penglihatan akan kembali normal beberapa minggu setelah
obat dihentikan. Penggunaan etambutol pada pasien DM
harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata,
padahal pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit
berupa kelainan pada mata.
3.13
Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada
dosis harian 15-18 mg/kg BB/hari dan dengan dosis maksimal:
1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII
yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan kehi-
langan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 25 mg dari dosis
total yang diberikan. Jika pengobatan streptomisin diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan akan
menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping
ringan lainnya yang dapat terjadi demam, sakit kepala,
muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf
pendengaran janin.
3,13
Obat-obat ini dapat diberikan dalam bentuk terpisah
ataupun dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose
Combination/FDC), kecuali streptomisin. Jenis kombinasi
dan lama pengobatan TB paru tergantung dari kasus TB
paru yang diderita pasien dan disesuaikan dengan kategori
pengobatan TB.
3
Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa
efikasi rifampisin tergantung pada paparan terhadap obat
dan konsentrasi maksimum obat yang dapat dicapai. Menurut
Nijland,
13
kadar plasma rifampisin pada pasien TB dengan
DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB tanpa DM.
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011 178
Begitu pula pasien TB dengan DM, konsentrasi plasma
maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan
pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan
pada 47% pasien. Hal ini mungkin dapat menjelaskan respon
pengobatan yang lebih rendah pada pasien TB dengan DM.
Namun, studi tambahan lain yang menjelaskan respon
pengetahun lebih rendah pada TB dengan DM ini tetap
diperlukan. Untuk mengontrol kadar gula darah dilakukan
pengobatan sesuai standar pengobatan DM yang dimulai
dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa
waktu. Bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat oral anti dia-
betes dan atau dengan suntikan insulin. Namun dalam
pemberian obat oral anti diabetes pada kasus ini harus diper-
hatikan adanya interaksi dengan obat anti tuberkulosis.
14
Ringkasan
DM merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam
hal terjadinya perburukan TB paru. Peningkatan prevalensi
DM di Indonesia disertai dengan peningkatan prevalensi
TB paru. Peningkatan prevalensi ini cenderung lebih tinggi
seiring dengan bertambahnya usia.
Dalam hal manifestasi klinis, tidak ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru yang juga
menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala
yang muncul cenderung lebih banyak dan keadaan umum
lebih buruk pada yang menderita DM. Namun dari gambaran
radiologi dan bakteriologi, kedua jenis pasien dnegan TB ini
tidak ada yang lebih buruk dibandingkan satu sama lain.
Prinsip pengobatan DM pada TB atau non TB tidak
berbeda, tetapi harus diperhatikan adanya efek samping dan
interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk DM.
Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting
dan utama yang harus diperhatikan demi keberhasilan
pengobatan TB paru pada pasien DM.
Daftar Pustaka
1. Raviglione MC, OBrien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS,
Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et
al. penyunting. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi
ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.1006-
20.
2. Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increases the risk of
active tuberculosis: a systematic review of 13 observational stud-
ies. PLoS Med [serial internet]. 2008 [sitasi 15 Juli 2008];5(7):
11p. Diunduh dari: http://www.plosmedicine.org.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhim-
punan Dokter Paru Indonesia; 2006.
4. Yamashiro S, Kawakami K, Uezu K, Kinjo T, Miyagi K, Nakamura
K, et al. Lower expression of Th1-related cytokines and indu-
cible nitric oxide synthase in mice with streptozotocin-induced
diabetes mellitus infected with mycobacterium tuberculosis. Clin
Exp Immunol. 2005;139:57-64.
5. Department of Noncummunicable Disease Surveillance. Defini-
tion, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its
Complications: Report of a WHO Consultation. Geneva: World
Health Organization; 1999.
6. Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ,
et al. Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment
outcome of pulmonary tuberculosis. Epidemiol Infect.
2009;137:203-10.
7. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. Impact of
diabetes mellitus on treatment outcomes of patients with active
tuberculosis. Am J Trop Med Hyg. 2009;80(4):634-9.
8. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M,
Maya A, Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated
with tuberculosis in indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;
10(6):696-700.
9. Bhatt K, Salgame P. Host innate immune response to Mycobac-
terium tuberculosis. J Clin Immunol. 2007;27(4):347-62.
10. Raja A. Immunology of tuberculosis. Indian J Med Res.
2004;120:213-32.
11. Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, van der Ven-Jongekrijg,
Ottenhoff THM, van der Meer JWM, et al. The role of inter-
feron gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes
mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008;27:97-103.
12. Bacakolu F, Baolu K, ok G, Sayiner A, Ate M. Pulmonary
tuberculosis in patients with diabetes mellitus. Respiration.
2001;68:595-600.
13. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y,
Ottenhoff THM, dkk. The effect of type 2 diabetes mellitus on
the presentation and treatment response of pulmonary tubercu-
losis. J Clin Infect Dis. 2007;45:428-35.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006.
Jakarta: PB PERKENI; 2006.
15. Kritski A, de Melo FAF. Tuberculosis in adults. Dalam: Palomino
JC, Leo SC, Ritacco V, penyunting. Tuberculosis 2007: From
Basic Science to Patient Care. Edisi ke-1. Brazil; 2007.h.487-
524.
KN

Anda mungkin juga menyukai