Anda di halaman 1dari 15

6

BAB II
LANDASAN TEORI

Fragmentasi adalah istilah umum untuk menunjukkan ukuran setiap bongkah
batuan hasil peledakan. Ukuran fragmentasi tergantung pada proses selanjutnya.
Untuk tujuan tertentu ukuran fragmentasi yang besar atau bongkah diperlukan,
misalnya disusun sebagai penghalang (barrier) ditepi jalan tambang. Namun
kebanyakan diinginkan ukuran fragmentasi yang kecil karena penanganan
selanjutnya akan lebih mudah.
Ada dua prinsip yang harus digunakan untuk mengontrol ukuran fragmentasi,
yaitu cukupnya jumlah energi yang dihasilkan bahan peledak terpakai di dalam
massa batuan dan saat pelepasan energi juga tepat agar terjadi interaksi yang
tepat. Lebih jauh, distribusi energi di dalam massa batuan terpecah ke dalam dua
tahap yang berbeda. Pertama harus ada energi yang cukup untuk menghancurkan
massa batuan dengan menggunakan jumlah bahan peledak yang tepat. Bahan
peledak juga harus ditempatkan dalam suatu konfigurasi geometri sehingga energi
optimum untuk fragmentasi. Konfigurasi geometri ini biasanya disebut dengan
pola peledakan. Pelepasan energi pada waktu yang salah dapat mengubah hasil
akhir, bahkan meskipun sejumlah energi yang tepat ditempatkan dengan strategis
diseluruh massa batuan dalam pola yang tepat. Jika waktu inisiasi tidak tepat,
6
7

maka dapat terjadi perbedaan pada pecahan batuan, getaran, airblast, flyrock dan
backbreak.
2.1 Analisis Fragmentasi Hasil Peledakan Dengan Model Kuz-ram
2.1.1 Perhitungan fragmentasi hasil peledakan
Kuznetsov melakukan penelitian tentang fragmentasi. Penelitiannya ini
menghubungkan ukuran rata-rata fragmentasi dengan powder factor TNT dan
struktur geologi. Penelitian ini kemudian menjadi hal yang penting karena
menunjukkan bahwa ada hubungan di antara ukuran rata-rata fragmentasi dengan
jumlah bahan peledak yang biasa digunakan untuk batuan. Kuznetsov
merumuskan hasil penelitiannya ini ke dalam suatu persamaan seperti yang
terlihat pada persamaan 2.1 di bawah ini :
Xmean = A ( V / Q )
0.8
Q
1/6
( 2.1 )
dimana : Xmean = Ukuran rata-rata fragmen batuan ( cm )
A = Faktor batuan, yaitu :
1 untuk batuan yang sangat rapuh
7 untuk batuan yang agak kompak
10 untuk batuan kompak dengan sisipan yang rapat *
13 untuk batuan kompak dengan sedikit sisipan
V
0
= Volume batuan per-lubang ledak ( B x S x H ) BCM
Q = Berat bahan peledak TNT yang energinya ekivalen
dengan energi dari muatan bahan peledak dalam
setiap lubang ledak
8

Agar dapat diaplikasikan untuk semua jenis bahan peledak, Cunningha ( 1983 )
menyempurnakan persamaan Kuznetsov menjadi :
Xmean = A ( V
0
/ Q )
0.8
Q
1/6
( 115/E )
19/30
( 2.2 )
Dimana E adalah kekuatan berat relatif (Relatif Weight Strength) bahan peledak
yang dipakai, ( untuk ANFO = 100 ).
Meskipun ukuran rata-rata fragmentasi bisa diprediksikan dengan
menggunakan persamaan-persamaan Kuznetsov dan Cunningham, akan tetapi
persamaan-persamaan ini mempunyai kelemahan , yaitu ukuran ini tidak bisa
menjelaskan tentang jumlah dari fragmen kecil dan bongkah yang dihasilkan dari
peledakan. Dengan kata lain ukuran fragmentasi rata-rata yang dihasilkan dari
perhitungan dengan persamaan-persamaan Kuznetsov dan Cunningham hanya
mampu menunjukkan ukuran rata-rata dari keseluruhan fragmen hasil peledakan
dan tidak bisa menjelaskan seberapa banyak ukuran yang kecil, besar atau bahkan
bongkah yang dihasilkan dari suatu peledakan. Kelemahan lain dari persamaan ini
adalah ukuran rata-rata fragmentasi yang dihasilkan diperoleh dengan merata-
ratakan data dengan kisaran yang besar sehingga tentu saja tingkat ketelitiannya
menjadi berkurang.
Berdasarkan pertimbangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa apa yang
sebenarnya penting untuk diketahui adalah distribusi ukuran fragmentasi batuan
sehingga akan diperoleh gambaran mengenai ukuran fragmentasi yang diinginkan.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu formula untuk menaksir distribusi ukuran
fragmentasi batuan.
9

Untuk menaksir ukuran fragmentasi batuan, Rosin Ramler, memperkenalkan
suatu formula yang menggunakan parameter ukuran rata-rata fragmentasi dari
Kuznetsov dan Cunningham, sebagai berikut :
R = e
[ X / Xc ]
100 % ( 2.3 )
Dimana : R = Banyaknya batuan yang tertahan pada ayakan
X = Ukuran ayakan, ( mm ) ;
Xc = Xmean / ( 0.693 )
1/ n ;

n = Indeks Keseragaman ;
e = ephsilon = 2.71 .
Parameter n akan menentukan bentuk kurva Rosin-Ramler . Nilai n yang
tinggi mengindikasikan keseragaman ukuran sedangkan sebaliknya nilai n yang
kecil menunjukkan ukuran yang tidak seragam. Kisaran nilai n yang normal
untuk fragmentasi peledakan adalah 0.75 1.5. Pengaruh perbedaan parameter
peledakan terhadap n seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Fungsi n Terhadap Parameter





Parameter " n " meningkat jika parameter
Burden/diamter lubang Menurun
Akurasi Pemboran Meningkat
Tinggi jenjang Meningkat
Spasi/burden Meningkat
10

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas dan dikembangkan dengan
persamaan Kuznetsov, maka terbentuklah suatu formula yang disebut Kuz-Ram
Model. Persamaannya adalah sebagai berikut :
n = ( 2.2 14B/d ) ( 1 W/B ) { 1 + ( A 1 )/2} L/H ( 2.4 )
dimana : B = Burden, ( m ) ;
d = Diameter lubang ledak, ( mm ) ;
W = Standar deviasi lubang bor, ( m ) ;
A = Ratio spasi terhadap burden ;
L = Panjang muatan bahan peledak, ( m ) ;
H = Tinggi jenjang, ( m ) .
2.1.2 Penaksiran kurva distribusi fragmentasi
Dalam menerapkan Model Kuz-Ram, terdapat batasan-batasan yang harus
diperhitungkan agar fragmentasi yang dihasilkan mendekati dengan yang
direncanakan. Batasan tersebut antara lain :
Perbedaan ratio spasi terhadap burden pemboran tidak melebihi 2 kalau
peledakan dilakukan dengan sistem tunda ;
Penyalaan dan pengaturan waktu peledakan harus diatur sedemikian rupa
agar diperoleh fragmentasi yang memuaskan dan tidak terjadi misfire ;
Bahan peledak sebaiknya menghasilkan energi yang hampir sama dengan
perhitungan kekuatan berat relatif-nya ;
Harus diperhatikan keberadaan bidang-bidang diskontinu karena
fragmentasi juga dipengaruhi oleh tingkat kerapatan diskontinuitas yang
ada pada batuan .
11

2.2 Analisis Fragmentasi Hasil Peledakan Dengan Metode Koefisien Tekstur
2.2.1 Perhitungan Koefisien Tekstur fragmentasi hasil peledakan
Tekstur adalah suatu faktor penting yang dianalisis untuk menentukan kekuatan
batuan. Hal ini disebabkan tekstur mempengaruhi perilaku batuan ketika gaya-
gaya seperti gaya tekan, tegang, putar dan geser bekerja. Gaya-gaya ini
menyebabkan perubahan susunan geometris di dalam massa batuan karena
mengganggu hubungan di antara bagian butiran. Suatu metode untuk menganalisis
ciri-ciri tekstur batuan telah diperkenalkan oleh Howarth dan Rowland ( 1986 ).
Metode ini digunakan sebagai dasar untuk menilai tekstur fragmentasi batuan
hasil peledakan.
Dasar utama dari analisis koefisien tekstur batuan meliputi korelasi di antara
bentuk butir, orientasi butir, pemanjangan butir dan tingkat pemadatan butir.
Interaksi antara komponen-komponen ini memberikan suatu angka yang
menyatakan koefisien tekstur. Howard dan Rowlands ( 1986 ) memberikan suatu
metode penilaian kuantitatif dari tekstur batuan dan menyederhanakannya ke
dalam suatu formula seperti terlihat pada persamaan di bawah ini :
KT = AW [{No/(No + N1)} x {1/(FFo)} + {N1/(No+N1)} x AR1 x AF1}] ( 2.5 )
Dimana :
KT = Koefisien Tekstur ;
AW = Pemadatan butir tertimbang ;
N
0
= Jumlah butir yang memiliki aspek ratio di bawah batas diskriminasi;
N
1
= Jumlah butir yang memiliki aspek ratio di atas batas diskriminasi ;
FFo = Rata-rata matematis dari faktor bentuk diskriminasi ;
12

AR1 = Rata-rata matematis dari aspek ratio diskriminasi ;
AF1 = Faktor sudut, Pengukuran orientasi butir .
Pengamatan dilakukan pada butiran yang dipilih dari dalam daerah acuan yang
mewakili kondisi spesimen keseluruhan. Foto adalah media penting untuk
membantu pengamatan. Oleh karena itu metode ini hanya ideal untuk satu lapis
batuan, yang diamati dalam bentuk 2 dimensi. Lapisan-lapisan lain disekitar dan
di bawah daerah acuan dianggap memiliki kondisi yang sama. Foto dapat juga
dihasilkan dengan menggunakan kamera khusus untuk pengamatan sayatan tipis
di bawah mikroskop atau kamera biasa jika pengamatan dilakukan pada
fragmentasi batuan. Foto sebaiknya bisa memperlihatkan bentuk butir, orientasi
butir, pemanjangan butir dan pemadatan butir dengan jelas. Luas, keliling, sudut,
ukuran terpanjang dan terpendek dari masing-masing butir kemudian diukur.
Dalam kasus ini, ukuran terpanjang dan terpendek dari butir-butir diukur
mengikuti format Feret, yang didefinisikan sebagai diameter feret maksimum dan
minimum dihitung setiap 5 sekeliling gambar butiran. Diameter Feret
didefinisikan sebagai jarak tegak lurus diantara dua garis sejajar, tangens sebelah
luar dari objek. Gambar 2.1 menunjukkan ukuran terpanjang dan terpendek Feret
seperti yang didefinisikan di atas dan arah sudutnya.
Berdasarkan persamaan 2.5 dapat dilihat bahwa paling sedikit ada 5 istilah
yang harus dipahami untuk menyelesaikan analisis koefisien tekstur. 5 istilah itu
adalah pemadatan butir tertimbang (AW), Aspek Ratio butir (AR), Faktor bentuk
butir (FFo), batas diskriminasi dan faktor sudut (AF
1
).

13


Sumber : Howard and Rowlands, Development of an index to quality rock texture for qualitative
assessment of intact rock properties

Gambar 2.1. Diameter maksimum dan minimum Feret
Penjelasan untuk masing-masing istilah itu dijabarkan secara lebih lanjut di
bawah ini.
Pemadatan Butir Tertimbang ( AW )
Pemadatan butir tertimbang (AW) mewakili suatu daerah tertimbang,
berdasarkan pada berat jenis pemadatan butir. Semua butir di dalam daerah
acuan diukur menurut kondisi dan posisinya. Pemadatan butir tertimbang
dihitung sebagai persentase luas daerah butir di dalam keseluruhan luas
daerah acuan. Gambar 2.2 menunjukkan gambar contoh daerah yang dipilih
sebagai batas daerah acuan. Persamaan untuk menghitung pemadatan butir
tertimbang (AW) seperti terlihat pada persamaan 2.6 di bawah.

( 2.6 )
Dimana :
AW = Pemadatan butir tertimbang
14

GA = luas butir di dalam daerah acuan
A = Batas daerah acuan

Sumber : Howard and Rowlands, Development of an index to quality rock texture for qualitative
assessment of intact rock properties

Gambar 2.2. Batas daerah acuan yang dipilih
Faktor bentuk butir ( FFo ) dan Aspek Ratio Butir ( AR )
Sebagaimana bentuk butiran yang tidak teratur, maka perlu untuk
mendefinisikan deviasi baik di dalam bentuk butir yang lonjong maupun
yang bulat. Deviasi ini menyebabkan bentuk butir yang lonjong paling
baik ditentukan dengan aspek ratio butir dan bentuk yang bulat ditentukan
dengan faktor bentuk ( form factor ).
Aspek ratio ( nisbah aspek ) butir didefinisikan sebagai perbandingan
antara ukuran butir terpanjang terhadap ukuran terpendeknya. Dengan
demikian, nisbah aspek akan meningkat jika bentuk butir semakin lonjong
dan sebaliknya. Persamaan untuk menentukan nisbah aspek butir dan
faktor bentuk butir seperti terlihat pada persamaan 2.7 dan 2.8 berikut.

15

AR = Ukuran Terpanjang Butir ( 2.7 )
Ukuran Terpendek Butir
Faktor Bentuk = 4 ( Luas / Keliling
2
) ( 2.8 )
Faktor bentuk = 1, menggambarkan bentuk butir yang benar-benar
bulat. Karena terjadi penyimpangan bentuk bulat
yang diakibatkan meningkatnya kelonjongan,
maka faktor bentuk menurun dengan nilai lebih
kecil dari 1.
Batas Diskriminasi
Digunakan untuk membedakan penyimpangan sudut setiap butir.
Penentuan batas diskriminasi akan tergantung pada bentuk umum butiran
dengan menggunakan perbandingan antara ukuran terpanjang dan
terpendek Feret. Jika paling banyak butir tampaknya memiliki ukuran
terpanjang Feret 2 kali lipat dari ukuran terpendeknya maka didefinisikan
batas diskriminasinya 2. Kemudian, butiran dengan aspek ratio lebih dari 2
akan berada di atas batas diskriminasi ini. Sedangkan sebaliknya butiran
yang lolos batas ini dikategorikan sebagai butiran di bawah batas
diskriminasi. Untuk mendapatkan nilai persamaan 2.5, jumlah butiran
yang memiliki aspek ratio di atas dan di bawah batas diskriminasi juga
harus ditentukan.
Faktor Sudut ( AF
1
)
Menggambarkan orientasi angular dari butiran. Faktor ini hanya
dihitung untuk butiran berbentuk lonjong yang aspek rationya di atas batas
16

diskriminasi. Untuk sekelompok N butir yang memiliki aspek ratio di atas
batas diskriminasi, jumlah sudut pembeda unik ( unique angular
difference) dapat dihitung dengan persamaan 2.9 di bawah.

( 2.9 )
Faktor sudut dihitung dengan sistem bobot kelas berlaku pada absolute,
sudut pembeda yang jelas ( acute angular difference ) ( = 0 - 90 ) di
antara setiap butir lonjong. Contoh di bawah ini menggambarkan prosedur
untuk menghitung faktor sudut.
Anggap 4 butir lonjong seperti tampak pada gambar 2.3. Untuk 4
butir, No. = 6 dengan formasi sebagai berikut
1. Sudut Absolut diantara butir A-B = 60
2. Sudut Absolut diantara butir A-C = 90
3. Sudut Absolut diantara butir A-D = 165
4. Sudut Absolut diantara butir B-C = 30
5. Sudut Absolut diantara butir C-D = 75
6. Sudut Absolut diantara butir B-D = 105
Acute, absolute, unique angular difference ( ) didapatkan dengan
cara mengurangi 180 dari setiap absolute angular difference yang
lebih besar dari 90. Hasil akhir seperti terlihat di bawah ini :
1. [ A-B ] = 60
2. [ A-C ] = 90
3. [ A-D ] = [165 - 180] = 15
4. [ B-C ] = 30
17

5. [ C-D ] = 75
6. [ B-D ] = [105 - 180] = 75

Sumber : Howard and Rowlands, Development of an index to quality rock texture for
qualitative assessment of intact rock properties

Gambar 2.3. Perhitungan faktor sudut untuk 4 butir
Absolut, acute angular differences dibagi kedalam 9 kelas, yang
mana masing-masing memiliki bobot ( lihat tabel 2.2 ). Kemudian
faktor sudut dihitung dengan menjumlahkan hasil dari bobot kelas
dan fraksi dari jumlah total angular difference dalam setiap kelas.
( Persamaan 2.10 ).
Tabel 2.2. Perhitungan Faktor Sudut
No Interval Kelas Bobot Faktor Sudut
( ) ( i ) ( AF )
1 0 - 10 1 0
2 10 - 20 2 1/6 x 2
3 20 - 30 3 1/6 x 3
4 30 - 40 4 0
5 40 - 50 5 0
6 50 - 60 6 1/6 x 6
7 60 - 70 7 0
8 70 - 80 8 2/6 x 8
9 80 - 90 9 1/6 x 9
Total Faktor Sudut = 6
18

( 2.10 )
Dimana :
N = Jumlah total dari butir-butir berbentuk lonjong
Xi = Jumlah angular difference dalam setiap kelas
i = Faktor bobot kelas
Total faktor sudut ( AF1 ) dibagi dengan 5 * untuk memastikan
kemiripan faktor sudut terhadap faktor-faktor lain. Dengan
demikian, sebagai contoh , AF1 = 6/5 = 1.2. Untuk menghilangkan
bias pada faktor sudut, disarankan agar jumlah butir-butir yang
dihitung di dalam daerah acuan sebaiknya berkisar antara 30 50
butir.
2.2.2 Analisis koefisien tekstur fragmentasi hasil peledakan
Analisis koefisien tekstur ini dilakukan pada fragmentasi hasil peledakan. Hasil
dari analisis ini adalah suatu angka koefisien tekstur yang mengiindikasikan
tingkat keseragaman fragmentasi batuan hasil peledakan tanpa memperhatikan
berapa besar ukuran fragmentasi batuan tersebut.
Angka koefisien tekstur menunjukkan tingkat keseragaman fragmen batuan
hasil peledakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis
fragmentasi hasil peledakan dengan koefisien tekstur, antara lain:
Nilai koefisien tekstur = 1, mengindikasikan fragmentasi batuan hasil
peledakan yang seragam ;
19

Nilai koefisien tekstur di bawah dan di atas satu menunjukkan
fragmentasi batuan hasil peledakan yang tidak seragam .
2.3 Perbedaan Antara Metode Koefisien Tekstur dan Model Kuzram
Pada dasarnya model Kuzram dan metode Koefisien Tekstur adalah metode
yang digunakan untuk menganalisis fragmentasi hasil peledakan. Bila
dibandingkan dengan koefisien tekstur maka dapat dilihat bahwa analisis
fragmentasi hasil peledakan dengan model Kuzram lebih dikenal dan dipakai. Hal
ini dikarenakan penggunaan model Kuzram untuk analisis fragmentasi hasil
peledakan tidak membutuhkan analisis data yang berkesinambungan. Dalam arti
analisis fragmentasi hasil peledakan dengan model Kuzram dapat dilakukan hanya
sekali untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini berbanding terbalik dengan
analisis fragmentasi hasil peledakan dengan metode Koefisien Tekstur yang
berkesinambungan. Dalam pengertian bahwa analisis fragmentasi hasil peledakan
dengan koefisien tekstur harus sering dilakukan bersamaan dengan kegiatan
peledakan. Biasanya analisis fragmentasi dengan metode koefisien tekstur
dilakukan setelah adanya kegiatan peledakan karena yang dianalisis adalah
fragmentasi batuan yang baru diledakkan.
Selain perbedaan yang dijelaskan di atas, terdapat perbedaan teknis yang
mendasar di antara kedua metode ini. Analisis fragmentasi hasil peledakan dengan
model Kuz-ram memperhatikan ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan dalam
hubungan dengan kegiatan selanjutnya ( aktivitas Pengolahan di crushing plant )
yang diindikasikan dengan adanya kurva distribusi fragmentasi batuan sebagai
hasil dari analisis dengan model ini yang bertujuan untuk mengetahui
20

keseragaman fragmentasi batuan hasil peledakan. Sedangkan analisis fragmentasi
batuan dengan koefisien tekstur tidak memperhatikan ukuran fragmentasi batuan
yang dihasilkan tetapi langsung kepada tingkat keseragaman fragmentasi batuan
hasil peledakan yang diindikasikan dengan nilai koefisien tekstur = 1 atau
mendekati 1. Secara umum perbedaan di antara kedua metode analisis fragmentasi
di atas tampak seperti pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3. Perbedaan Model Kuzram Dan Metode Koefisien Tekstur
Model Kuzram Metode Koefisien Tekstur
Analisis biasanya dilakukan sekali Analisis dilakukan sesering mungkin
Memperhatikan ukuran fragmen batuan Tidak memperhatikan ukuran fragmen
Hasil analisisnya berupa kurva distribusi
fragmen batuan
Hasil analisisnya berupa nilai koefisien
tekstur
Sumber data untuk analisis fragmentasi
berasal dari geometri peledakan dan
bahan peledak
Sumber data untuk analisis fragmentasi
berasal dari fragmentasi batuan hasil
peledakan

Anda mungkin juga menyukai