Anda di halaman 1dari 214

PERINGATAN !!!

Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
KONSTRUKSI GAYA HIDUP POSMO WANITA KARIER DALAM
NOVEL CINTAPUCCINO

Studi Deskriptif Analitis dengan Data Kualitatif mengenai Konstruksi Gaya Hidup
Posmo Wanita Karier Sebagai Salah Satu Unsur Budaya Populer dalam Novel
Cintapuccino

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Bandung


Disusun Oleh :
KARTIKA SAFITRI
10080001084
JURNALISTIK

U
N
I
V
E
R
S
I
TA
S

I
S
L
A
M
B
A
N
DU
N
G



FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
TAHUN 2006
Motto :

Sebab itu sekali-kali tidaklah bernama bahagia dan nikmat jika hati dan khayal
kita hanya perhubungkan dengan barang isi alam yang lahir ini, yang harganya
hanya menurut keinginan kita

(Prof. DR. Hamka)








Skripsi ini kupersembahkan sebagai rasa baktiku kepada mama yang telah
melahirkanku ke dunia, mama yang selalu memenuhi hidupku dengan kasih
sayangnya, mama yang selalu menjadi tempatku bersandar, dan papa yang
selalu memberikan doa dan mendukung jalanku, serta adikku yang paling
kusayang

ABSTRAKSI

Sebuah novel dapat juga dikatakan berwatak komunikatif, karena novel
merupakan suatu media untuk memuat semua pesan dan ideologi pengarang
(komunikator) kepada pembacanya (komunikan), sehingga dapat dilihat bentuk
komunikasi antara pengarang (komunikator) dengan pembacanya (komunikan)
adalah melalui karya sastra yang dibacanya. Novel ChickLit yang dijadikan bahan
penelitian oleh penulis adalah sebuah ChickLit asli Indonesia karya Icha Rahmanti
sebagai novel pertamanya yaitu Cintapuccino. Wanita yang menjadi tokoh
utama mempunyai permasalahan yang cukup kompleks, apalagi bagi wanita karier
masa kini yang belum menikah. Mereka dihadapkan pada pergulatan masalah
seputar pilihan karier, jodoh, fashion, bentuk tubuh, dan keuangan.
Dalam novel Cintapuccino ini digambarkan bagaimana sebuah gaya
hidup posmo sebagai bagian dari kebudayaan pop melalui seorang wanita karier
yang belum menikah. Ketika konstruksi gaya hidup posmo sebagai bagian dalam
budaya pop digambarkan melalui seorang wanita karier yang belum menikah yang
menjadi titik sentral dari novel tersebut maka khalayak media (pembaca) didorong
untuk mulai terlibat dengan tokoh-tokoh dan membayangkan konteks arena fisik,
keadaan emosi, dan situasi sosial yang terjadi dalam novel. Sehingga hal tersebut
menyebabkan adanya sebuah konstruksi realitas mengenai gaya hidup wanita
karier dalam benak pembaca.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
konstruksi gaya hidup posmo wanita karier sebagai salah satu unsur budaya
populer dalam unsur pemplotan, unsur penokohan, unsur pelataran, dan unsur
gaya bahasa yang terdapat dalam novel Cintapuccino karya Icha Rahmanti.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif
analitis dengan datanya yang bersifat kualitatif. Penulis menggunakan metode
tersebut untuk membedah isi teks novel Cintapuccino yang mengandung
konstruksi gaya hidup posmo wanita karier, kemudian memaparkan serta
menjelaskan bagian dari teks novel tersebut sesuai dengan operasionalisasi
variabel yang telah ditetapkan sebelumnya. Operasionalisasi variabel yang
dipergunakan adalah unsur pemplotan, unsur penokohan, unsur pelataran, dan
unsur gaya bahasa.
Dari hasil penelitian atas teks novel Cintapuccino tersebut telah
menghasilkan deskripsi atas konstruksi yang terkandung di dalamnya. Penulis
melihat bahwa dalam teks novel Cintapuccino terkandung unsur-unsur
kebudayaan populer. Kebudayaan populer ini juga menawarkan gaya hidup yang
khas dan cenderung berkesan elit. Gaya hidup tersebut dikomoditaskan oleh
media massa, dimana media massa tersebut memang berfungsi sebagai alat utama
untuk mempromosikan produk-produk kebudayaan populer yang berdasarkan dari
Barat.
Dengan kata lain, novel Cintapuccino ini memiliki posisi yang khas. Di
satu pihak berpretensi untuk menyampaikan message, dan di pihak lain
ditempatkan sebagai komoditas. Dalam posisi terakhir ini, nilainya sama saja
dengan produk kebudayaan populer semacam mode pakaian yang diproduksi
massal atau gimmick lainnya.
i
KATA PENGANTAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Assalaamu alaikum wr. wb.
Maha Besar Allah SWT yang senantiasa memberikan Rahmat-Nya kepada
kita serta shalawat dan salam senantiasa diberikan pada junjungan kita Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga Allah senantiasa memberikan Rahmat-Nya kepada
beliau, keluarga, sahabat dan kita semua hingga akhir zaman nanti.
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
menganugerahkan setetes Ilmu-Nya yang Maha Luas tak terbatas kepada penulis
yang memiliki banyak kedangkalan akal, sehingga Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang diberi judul Konstruksi Gaya Hidup Posmo
Wanita Karier dalam Novel Cintapuccino. Skripsi ini penulis susun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Bidang Kajian Ilmu
J urnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung.
Skripsi ini mencoba untuk mengangkat pemahaman yang ada selama ini
pada kebanyakan kita tentang bagaimana sebuah gaya hidup (life style) pada
wanita karier yang bermukim di perkotaan yang merupakan salah satu unsur dari
budaya populer. Kemudian metode yang coba penulis gunakan adalah metode
deskriptif analitis dengan data kualitatif dengan operasionalisasi variabel yang
menggunakan unsur-unsur intrinsik dalam novel.
Penulis menyadari manusia yang tidak sempurna, bahwa tentu saja di
dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, apalagi bagi orang-orang
yang lebih ahli dalam bidang ini. Dan juga penulis menyadari bahwa tema yang
ii
penulis angkat mungkin masih tidak terlalu dalam dibandingkan penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa Bidang Kajian J urnalistik FIKOM-UNISBA lainnya.
Ditambah lagi hal-hal yang berkaitan dengan dimensi penguasaan metodologi
yang penulis gunakan mungkin sudah banyak yang menggunakan sebelumnya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan dan menghargai sekali
berbagai sumbangsih saran, teguran dan kritik dari siapa saja yang memeriksa dan
membaca skripsi ini, sebagai bahan untuk lebih baik kedepannya.
Dan dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat,
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu DR. Hj. Neni Yulianita, Dra., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Bandung.
2. Ibu Ema Khotimah, Dra., S.Pd., M.Si., selaku pembimbing I yang dengan
kesabarannya telah memotivasi dan banyak memberikan kematangan
berpikir hingga selesainya skripsi ini.
3. Bapak Askurifai Baksin, Drs., selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan masukan dan terima kasih atas dorongannya.
4. Ibu Hj. Kiki Zakiah, Dra., M.Si., selaku Ketua Bidang Kajian Ilmu
J urnalistik yang memberikan dorongan dan kemudahan administrasi.
5. Ibu Nila Nurlimah, Dra., M.Si., selaku Sekretaris Bidang Kajian Ilmu
J urnalistik yang juga memberikan dorongan dan kemudahan administrasi.
6. Ibu DR. Hj. Atie Rachmiatie, Dra., M.Si., selaku dosen wali yang telah
banyak memberikan perhatian dan nasihatnya kepada penulis.
iii
7. Seluruh Dosen-dosen Fikom-Unisba yang telah memberikan transfer ilmu
pada penulis selama empat tahun ini.
8. Serta seluruh staf dan karyawan Fikom-Unisba yang telah membantu
kelancaran akademis penulis.
9. Mama dan Papa yang tercinta dan selalu mengisi hidupku dengan kasih
sayang serta selalu memberikan doa dan dukungan yang tak terhingga.
Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat-Nya kepada mereka.
10. Ridwan, adikku tercinta yang semakin hari semakin menggemaskan.
11. Garfield tersayang, Chandra Taruno Supardi, yang selalu memberi warna
pada hari-hariku dan menjadi pegangan bagiku di saat aku bimbang.
12. Sepupuku yang terlucu, Kurnia Adi Saputra, B.Comm., yang telah rela
memberikan sebagian waktunya untuk mengantar dan menemaniku pada
saat kubutuhkan.
13. Sahabatku, Ressa P. K, yang tanpa bosannya mendengarkan curhatku dan
mengajariku untuk positive thinking.
14. Kakak yang kuhormati, Aditya Ali, S.Sos., yang telah memberikan banyak
masukan dan nasihatnya yang berharga serta atas pinjaman bukunya.
15. Mbak Icha Rahmanti, sebagai penulis Cintapuccino, terima kasih atas
kesempatan dan keramahannya.
16. Mas Denny, Mbak Windy dan Mbak Ida, sebagai Editor GagasMedia yang
telah memberikan berbagai data yang diperlukan.
iv
17. Teman-teman baikku, Ari Permash, Ceri Permash, Igey, QeeQee, dan
Widya yang selalu ada untuk memberikan dukungan padaku walaupun
dari jauh, dukungan kalian sangat berarti bagiku.
18. Temanku Tiwi, Echa, Sapta dan Tita yang telah memberikan bantuan yang
sangat berharga untukku.
19. Temanku Ririe, Alfrida, dan Ani yang selalu bersama-sama ketika kuliah
dan bimbingan skripsi.
20. Rekan-rekan J urnalistik Fikom-Unisba angkatan 2001. Terima kasih atas
persahabatannya.
21. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima
kasih atas dukungan moril maupun materilnya.
Akhir kata, penulis menghaturkan terima kasih bagi berbagai pihak yang
telah memberikan kontribusi hingga selesainya makalah ini. Mudah-mudahan
semua ini bernilai ibadah dan amal sholeh dihadapan Allah SWT untuk kita
semua.

Wassalaamu alaikum Wr. Wb.
Bandung, J anuari 2006


Penulis


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI
Nama : Kartika Safitri
NPM : 1008001084
J enis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : J akarta, 24 Oktober 1983
Agama : Islam
Alamat : J l. Prambanan II No. 8 Komp. Pharmindo
Bandung, 40534

DATA ORANG TUA
Nama Ayah : Ir. Syafran Zukri
Pekerjaan : Karyawan BUMN
Nama Ibu : S. Fatmanita
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : J l. Prambanan II No. 8 Komp. Pharmindo
Bandung, 40534

Pendidikan Formal :
1. TK Tunas Harapan Bandung 1988-1989
2. SDN Tunas Harapan 1 Bandung 1989-1995
3. SMP Negeri 1 Bandung 1995-1998
4. SMU Negeri 6 Bandung 1998-2001
5. Universitas Islam Bandung 2001-2006

Pendidikan Non Formal : Alansalin Communications School 2003

Pengalaman Organisasi : Anggota OSIS SMUN 6 Bandung 1998-1999

Pengalaman Kerja : Radio Trijaya 91,30 FM Bandung (Reporter) 2005
v
DAFTAR ISI


Hal
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL ix

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Perumusan Masalah 7
1.3 Identifikasi Masalah 7
1.4 Pembatasan Masalah 8
1.5 Tujuan Penelitian 8
1.6 Kegunaan Penelitian 9
1.7 Kerangka Pemikiran 10
1.8 Pengertian Istilah 13
1.9 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 13
1.9.1 Metode Penelitian 13
1.9.2 Teknik Pengumpulan Data 15
1.10 Langkah dan Tahap Penelitian 15
1.11 Operasionalisasi Variabel 16
1.12 Organisasi Karangan 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan umum Komunikasi 20
2.1.1 Pengertian Komunikasi 20
2.2 Tinjauan Komunikasi Massa 23
2.2.1 Pengertian Komunikasi Massa 23
2.2.2 Ciri-ciri Komunikasi Massa 23
2.3 Pengertian J urnalistik 25
vi
2.3.1 Pengertian dan Ciri-ciri Pers 26
2.3.2 Fungsi Pers 28
2.3.3 Hubungan J urnalistik dan Pers 29
2.4 J urnalisme Baru 30
2.4.1 J urnalisme Sastra 32
2.5 Tinjauan mengenai Novel 34
2.5.1 Sejarah Singkat dan Pengertian Novel 34
2.5.2 Novel Sebagai Media Massa Cetak 39
2.5.3 J enis Novel 41
2.5.4 Unsur Intrinsik Novel Fiksi 45
2.5.4.1 Unsur Pemplotan 45
2.5.4.2 Unsur Penokohan 46
2.5.4.3 Unsur Pelataran 49
2.5.4.4 Unsur Gaya Bahasa 50
2.6 Model Konstruktivisme 53
2.6.1 Definisi Konstruktivisme 53
2.6.2 Karakteristik Konstruktivisme 54
2.6.3 Konstruktivisme dalam Media Massa 56
2.6 Tinjauan mengenai Posmodernisme 61
2.6.1 Sejarah Posmodernisme 61
2.6.2 Ciri-ciri dan Kritik Bagi Posmodernisme 64
2.6.3 Posmodernisme dan Budaya Populer 66
2.8 Tinjauan mengenai Budaya Populer 70
2.8.1 Definisi Budaya Populer 70
2.8.2 Perkembangan Budaya Populer 72
2.9 Gaya Hidup Posmo 74
2.9.1 Posmodernisme dalam Konstruksi Media 74
2.9.2 Penampilan Fisik Wanita Karier 79



vii
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tinjauan mengenai Penelitian Kualitatif 82
3.1.1 Pengertian Penelitian Kualitatif 82
3.1.2 Perbedaan Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif 83
3.1.3 Sifat-sifat Desain Penelitian Kualitatif 84
3.1.4 Kedudukan Peneliti dalam Penelitian Kualitatif 85
3.2 Metode Penelitian untuk Novel Populer 86
3.2.1 Unsur-unsur Penelitian dalam Novel Populer 88
3.3 Metode Deskriptif Analitis 89

BAB IV OBJEK PENELITIAN
4.1 Profil Penerbit GagasMedia 91
4.1.1 Sejarah Singkat 91
4.2 Visi dan Misi GagasMedia 94
4.2.1 Visi dari GagasMedia 94
4.2.2 Misi dari GagasMedia 94
4.3 Proses Produksi 94
4.4 Struktur Organisasi GagasMedia 96
4.5 Bidang Usaha 99
4.6 Penggolongan Buku GagasMedia 100
4.7 Profil Icha Rahmanti sebagai Penulis Novel Cintapuccino 104

BAB V ANALISIS NOVEL CINTAPUCCINO
5.1 Sinopsis Novel Cintapuccino 110
5.2 Unsur Pemplotan dalam Novel Cintapuccino 113
5.2.1 Peristiwa dalam Novel Cintapuccino 115
5.2.1.1 Peristiwa Fungsional dalam Novel Cintapuccino 116
5.2.1.2 Peristiwa Kaitan dalam Novel Cintapuccino 119
5.2.1.3 Peristiwa Acuan dalam Novel Cintapuccino 122
5.2.2 Konflik dalam Novel Cintapuccino 124
5.2.3 Klimaks dalam Novel Cintapuccino 128
viii
5.3 Unsur Penokohan dalam Novel Cintapuccino 131
5.3.1 Fungsi Penampilan Tokoh dalam Novel Cintapuccino 133
5.3.2 Perwatakan Tokoh dalam Novel Cintapuccino 138
5.3.3 Pencerminan Tokoh dalam Novel Cintapuccino 143
5.4 Unsur Pelataran dalam Novel Cintapuccino 146
5.4.1 Latar Tempat dalam Novel Cintapuccino 148
5.4.2 Latar Waktu dalam Novel Cintapuccino 149
5.4.3 Latar Sosial dalam Novel Cintapuccino 151
5.5 Unsur Gaya Bahasa dalam Novel Cintapuccino 153
5.5.1 Unsur Leksikal dalam Novel Cintapuccino 155
5.5.2 Unsur Gramatikal dalam Novel Cintapuccino 157
5.5.3 Retorika dalam Novel Cintapuccino 159
5.6 Analisis mengenai Posmodernisme dan Budaya Populer dalam novel
Cintapuccino 161

BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan 169
6.2 Saran-saran 172

DAFTAR PUSTAKA x

LAMPIRAN






ix
DAFTAR TABEL



Tabel Hal
2.1 Karakteristik Paradigma Klasik, Kritis, dan Konstruktivisme 48
3.1 Karakteristik Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif 77
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang Masalah
Manusia selalu mencoba untuk berkomunikasi dan membuat dirinya
sendiri paham atau mengerti perihal sesuatu. Komunikasi telah berlangsung entah
mulai kapan namun dari peninggalan beberapa jaman yang lampau terlihat bahwa
manusia dahulu telah melakukan kegiatan komunikasi di kehidupan sehari-hari
mereka. Komunikasi telah melahirkan berbagai macam ilmunya yang dapat selalu
kita jumpai pada kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah bidang
kejurnalistikan yang bisa kita temukan pada tulisan mengenai suatu berita pada
surat kabar-surat kabar ataupun berita yang ada pada media elektronik seperti
televisi dan radio.
Kemajuan di bidang jurnalistik melahirkan istilah jurnalisme sastra.
Mengingat perkembangan teknologi komunikasi memicu perkembangan dalam
bidang kejurnalistikan. Terlebih saat ini manusia semakin sadar akan pentingnya
komunikasi. Dan hal itu menjadikan media begitu berpengaruh dalam kehidupan
manusia. Hal tersebut memicu perkembangan media. Dan bila media elektronik
mampu menghadirkan informasi dengan cepat bahkan menghadirkan kelebihan
audio dan visual ditengah-tengah masyarakat lalu apa yang ditawarkan media
cetak sehingga dapat bersaing dengan media elektronik yang semakin
berkembang.
2
Ketika akses informasi yang dilakukan media cetak dengan berbagai
proses telah memakan waktu yang tidak sedikit. Hal tersebut tidak terjadi pada
media elektronik yang dapat dengan mudah menyampaikan pesan informasi
dalam hitungan waktu yang cukup singkat kepada publiknya. Karena itulah jalur
sastra merupakan alternatif penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan
untuk menjadikan pesan yang akan disampaikan menjadi suatu konsumsi yang
ringan dan enak dibaca, dan novel adalah salah satunya.
Seorang komunikator pasti memerlukan media sebagai perantara untuk
merepresentasikan suatu fenomena yang ingin disampaikan sebagai pesan. Sebuah
novel dapat juga dikatakan berwatak komunikatif, karena novel merupakan suatu
media untuk memuat semua pesan dan ideologi pengarang (komunikator) kepada
pembacanya (komunikan), sehingga dapat dilihat bentuk komunikasi antara
pengarang (komunikator) dengan pembacanya (komunikan) adalah melalui karya
sastra yang dibacanya. Demikian pula novel bukan sekedar Out Put dari karya
sastra, terlebih dengan kehadirannya dalam media massa.
Di awal tahun 1960-an, demam novel memunculkan temuan-temuan baru
dalam penulisan jurnalisme. Gaya penyajiannya kemudian mencairkan batas-batas
penulisan feature sebagaimana disyaratkan dan dikembangkan oleh para jurnalis
(Wolfe dalam Santana,2002:33). Perlu dicatat bahwa keberadaan novel memang
mempengaruhi pemunculan jurnalisme baru (sastra), walaupun pengaruhnya itu
bukanlah jiplakan semata (Wolfe dalam Santana,2002:32).
Para pembaca buku sastra, khususnya pembaca fiksi dan lebih khusus lagi
novel, sebenarnya mempunyai kebebasan dalam memilih bacaan yang mereka
3
sukai. Psikologi pembaca memang berbeda dengan kebanyakan pelaku atau
pengamat sastra. Mereka cenderung santai-santai saja menerima arus baru
kapitalisasi sistem produksi buku fiksi. Hal ini antara lain terbukti dari kembali
maraknya pasar buku fiksi atau novel yang tergolong sastra hiburan.
Sastra hiburan tampaknya tak akan kehilangan pembaca, sampai kapan
pun. Chick Lit (chick literature atau sastra perempuan) yang merupakan genre
baru di dunia penerbitan, mampu meraup banyak pembaca. Novel ini digolongkan
ke dalam jenis novel pop. Istilah novel pop ini biasa dipakai untuk menyebut
novel-novel yang berisi romantika kehidupan sehari-hari -biasanya seputar
masalah cinta dan keluarga- yang disajikan secara ringan dan populer. Ini dimulai
ketika Helen Fielding menulis Bridget Jones`s diary pada tahun 1996 yang
kemudian menjadi best seller pada tahun 1998 (apa lagi setelah difilmkan dengan
judul sama dan melibatkan aktris cantik peraih Oscar, Renee Zelwegger). ChickLit
yang kini cukup menguasai pasar buku dunia gampang ditandai karena digemari
pembaca perempuan dari kalangan perkotaan (kosmopolitan) yang mandiri dari
segi sosial ekonomi.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang menjadi salah satu pintu
utama Masuknya ChickLit ke Indonesia memberi slogan untuk jenis bacaan ini :
being single and happy. Dari slogannya saja, kita bisa menangkap target pembaca
perempuan perkotaan (dari zaman ke zaman kita tahu perempuan sering kali
menjadi pasar utama novel sebagaimana sudah terjadi di Inggris pada abad ke-19).
Cirinya, dibandingkan dengan novel klasik, adalah cerita yang mudah ditangkap-
umumnya bercerita tentang problem perempuan kosmopolitan- dengan tema
4
sangat personal. ChickLit biasanya juga ditulis dengan bahasa tutur sehari-hari
yang ringan dan lincah, banyak bumbu kisah cinta dan humor
(http://www.kompas.com).
Novel ChickLit yang dijadikan bahan penelitian oleh penulis adalah
sebuah ChickLit asli Indonesia karya Icha Rahmanti sebagai novel pertamanya
yaitu Cintapuccino (GagasMedia, 2004). Novel tersebut menjadi best seller
karena novel tersebut berusaha mengajak pembaca untuk melihat pengalaman
yang dialami oleh pelaku utama yang mungkin saja pernah terjadi pada setiap
orang khususnya wanita. Wanita yang menjadi tokoh utama mempunyai
permasalahan yang cukup kompleks, apalagi bagi wanita yang belum menikah.
Mereka dihadapkan pada pergulatan masalah seputar pilihan karier, jodoh,
fashion, bentuk tubuh, dan keuangan. Wanita karier pada masa kini memang
mempunyai banyak tuntutan, diantaranya harus tampil sempurna, yaitu cantik,
langsing, seksi, cerdas sekaligus berpakaian yang up to date.
Dalam novel Cintapuccino ini digambarkan bagaimana sebuah gaya
hidup posmo sebagai bagian dari kebudayaan pop melalui seorang wanita karier
yang belum menikah. Gaya hidup posmo pada wanita karier diasosiasikan dengan
gaya hidup dari Barat karena gaya hidup masyarakat Barat selalu punya daya
pesona yang luar biasa. Seringkali membuat orang tergila-gila dan ingin
menirunya. Gaya hidup kaum selebritis di kawasan Hollywood dalam sekejap
sampai dan ditiru sebagian bangsa kita. Banyak sekali gaya hidup orang sana yang
sekarang menjadi bagian kehidupan masyarakat elit. Kini kehidupan metropolitan
semakin kasat mata.
5
Ketika konstruksi gaya hidup posmo sebagai bagian dalam budaya pop
digambarkan melalui seorang wanita karier yang belum menikah yang menjadi
titik sentral dari novel tersebut maka khalayak media (pembaca) didorong untuk
mulai terlibat dengan tokoh-tokoh dan membayangkan konteks arena fisik,
keadaan emosi, dan situasi sosial yang terjadi dalam novel. Sehingga hal tersebut
menyebabkan adanya sebuah konstruksi realitas mengenai gaya hidup wanita
karier dalam benak pembaca.
Gaya hidup posmo yang ada sebagai bagian dari budaya populer disiarkan
dan dipromosikan secara luas oleh media massa. Sebuah gaya hidup dalam
budaya populer adalah gaya hidup yang hanya mementingkan tampilan
permukaan dan gaya dan bukan kegunaannya. Kini gaya hidup (lifestyle) pun
menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya hidup. Bahkan kini gaya
hidup telah menjadi sesuatu yang dikomoditaskan oleh industri kebudayaan dan
media massa. Industri kebudayaan dan media massa disini adalah produsen yang
mempromosikan bagaimana Barang yang mereka jual sebelum beredar di
pasaran. Mereka mempersuasi masyarakat bahwa kepuasan hanya dapat diperoleh
dengan mengkonsumsi Barang tersebut yang dapat berupa gaya hidup (life
style), citra (image), gagasan, dan ideologi dalam budaya pop.
Mereka mempengaruhi masyarakat bahwa realitas yang ditampilkan
oleh media massa adalah refleksi dari kenyataan yang terjadi di lingkungan
padahal itu semua hanyalah sebuah realitas semu yang mempunyai tujuan, yaitu
agar masyarakat terus mengkonsumsi dan mencari kepuasan tanpa batas serta
kenikmatan sesaat dengan hal-hal yang dijajakan oleh media. Budaya populer
6
telah menawarkan mimpi dan angan-angan yang didam-idamkan oleh setiap
orang, dan menjerumuskan orang-orang terutama wanita agar mencapai
kesuksesan dengan cara instant tanpa memedulikan proses, ketekunan dan kerja
keras untuk mendapatkan hasil yang sempurna.
Wanita tak akan mencapai kepuasan dan kesuksesan apabila belum
mendapatkan wajah yang cantik dan mulus, kulit yang putih, badan yang langsing
dan sintal, serta rambut yang panjang dan lurus, tak lupa juga harus mempunyai
penampilan yang anggun. Stereotipe inilah yang telah dibuat oleh media massa
yang mendorong banyak wanita selalu merasa tidak puas dengan penampilannya
dan apa yang mereka punya.
Mereka rela untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar dan
mengorbankan waktu yang tidak sedikit hanya untuk memperbaiki penampilannya
dengan pergi ke salon-salon kecantikan hanya untuk merawat rambutnya dengan
creambath atau toning, luluran, spa dan sauna, serta manicure dan pedicure.
Terkadang ada di antara mereka yang pergi ke spesialis kulit dan dokter bedah
untuk memperbaiki wajahnya dengan menyuntik silicon di bagian hidung atau
payudara agar berkesan seksi, menyedot lemak-lemak yang ada di bagian
tubuhnya agar badannya menjadi langsing, serta menyuntik kulitnya agar kulitnya
menjadi putih mulus seperti artis-artis yang ada di sinetron.
Tak heran bila kini di kota-kota besar banyak salon-salon yang berdiri dan
menawarkan berbagai macam paket perawatan dengan harga murah, tempat
fitness atau gymnasium, sampai kursus kepribadian untuk memoles penampilan
wanita agar anggun dan menawan. Hal ini sebenarnya telah menjadi gaya hidup
7
tersendiri bagi wanita dengan menggantikan kebiasaan mengobrol di telepon
berjam-jam atau bergosip dengan tetangga dekat rumah. Namun tanpa disadari,
kini banyak wanita yang berpenampilan sama dengan kecantikan yang hampir
sama pula, karena mereka kini tak mempunyai keunikan lagi. Sebagian besar
wanita mempunyai persepsi sukses dan cantik adalah seperti yang direfleksikan
oleh media massa.

I. 2 Perumusan Masalah
Karena itu, melalui beragam aspek yang terdapat dalam bentuk karya
sastra novel tersebut, penulis dapat menangkap satu bentuk perumusan masalah
sebagai berikut : Bagaimana Konstruksi Gaya Hidup Posmo Wanita Karier
dalam Novel Cintapuccino Sebagai Salah Satu Unsur Budaya Populer ?.

I. 3 Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah pemplotan yang terdapat dalam novel Cintapuccino
karya Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo
wanita karier?
2. Bagaimana penokohan yang terdapat dalam novel Cintapuccino
karya Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo
wanita karier?
3. Bagaimana pelataran yang terdapat dalam novel Cintapuccino karya
Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo wanita
karier?
8
4. Bagaimana gaya bahasa yang terdapat dalam novel Cintapuccino
karya Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo
wanita karier?

I.4 Pembatasan Masalah
Agar dalam penelitian ini tidak terjadi pembahasan yang meluas dan salah
pengertian, maka penulis melakukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah
ini dimaksudkan agar penulisan lebih terarah pada tujuan semula. Yang menjadi
objek penelitian yaitu:
1. Penelitian hanya difokuskan pada keseluruhan isi teks yang kata, kalimat,
dan paragrafnya menunjukkan sebuah konstruksi gaya hidup posmo
wanita karier sebagai salah satu unsur budaya populer dalam novel
Cintapuccino karya Icha Rahmanti.
2. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan data
kualitatif pada isi teks yang menunjukkan sebuah konstruksi gaya hidup
posmo wanita karier yang bermukim di kota metropolitan sebagai salah
satu unsur budaya populer dalam novel Cintapuccino karya Icha
Rahmanti.

I.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pemplotan yang terdapat dalam novel Cintapuccino karya
Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo wanita karier.
9
2. Mengetahui penokohan yang terdapat dalam novel Cintapuccino karya
Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo wanita karier.
3. Mengetahui pelataran yang terdapat dalam novel Cintapuccino karya
Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo wanita karier.
4. Mengetahui gaya bahasa yang terdapat dalam novel Cintapuccino karya
Icha Rahmanti menunjukkan konstruksi gaya hidup posmo wanita karier.

I. 6 Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan studi ilmu
komunikasi, khususnya jurnalistik tentang menganalisis media dan juga
diharapkan menjadi stimulus lebih lanjut dan sempurna untuk
menganalisis sebuah novel yang di dalamnya mengandung sebuah
konstruksi sebuah gaya hidup.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi media yang diteliti, baik yang sejenis dan pihak lain yang berminat
untuk melakukan penelitian, sehingga diharapkan dapat memberikan
landasan bagi penelitian selanjutnya tentang sebuah konstruksi gaya hidup
dalam sebuah novel.



10
I.7 Kerangka Pemikiran
Model yang dipakai penulis adalah model konstruktivisme. Model
berfikir konstruktivisme dalam ilmu sosial memang termasuk dalam
postpositivisme interpretif, tetapi memang agak memiliki kekhususan.
Konstruktivis sebagaimana interpretif, menolak obyektivitas. Obyektivitas
sebagaimana dianut oleh positivis mengakui adanya fakta, adanya realitas
empirik, sedangkan konstruktivis berpendapat bahwa yang ada adalah pemaknaan
kita tentang empiri di luar diri yang kita konstruks, empirical-constructed facts
(Muhadjir, 2000:189).
Sesuai dengan konsep dasar model konstruktivisme dimana pemaknaan
kita mengenai sesuatu yang berada di luar diri kita adalah sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pikiran kita. Sehingga realitas yang diketahui oleh kita adalah
realitas yang telah kita konstruksikan sendiri. Dalam hal ini media massa menjadi
alat utama dalam mengonstruksi realitas, yang di baliknya ada subjek sebagai
pelaku utama dalam mengontrol maksud-maksud tertentu yang diproduksi oleh
media massa untuk masyarakat. Seperti yang dikemukakan Eriyanto, bahwa
konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana
serta hubungan-hubungan sosialnya (Eriyanto, 2001:5). Konstruksi realitas
tersebut, dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh individu
atau kelompok yang notabene bernaung di bawah media massa yang kemudian
menghasilkan suatu produk media massa (yang dalam hal ini novel pop) untuk
dikonsumsi oleh masyarakat.
11
Produk dari media massa tersebut mengandung sebuah posmodernisme.
Posmodernisme tersebut yang ditandai dengan adanya budaya populer
dikonstruksikan melalui media massa untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Seperti
yang dikemukakan oleh Strinati dalam bukunya bahwa :
Posmodernisme dikatakan menguraikan lahirnya suatu tatanan sosial di
mana arti penting maupun kekuatan media massa dan budaya populer yang
berarti kesemuanya itu mengatur dan membentuk segala macam hubungan
sosial. Gagasannya adalah bahwa tanda-tanda budaya populer maupun
citra media semakin banyak mendominasi rasa realitas kita, maupun
bagaimana kita mendefinisikan diri kita maupun dunia sekitar kita
(Strinati, 2004:256).

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa, posmodernisme dapat dilihat
melalui budaya populer dalam media massa. Gagasan dalam posmodernisme
adalah bagaimana media massa memainkan peranan dalam mengonstruksi realitas
kita yang didalamnya ada citra, gaya, gaya hidup, dan ideologi agar sesuai dengan
realitas yang ditampilkan oleh media massa dalam bentuk unsur-unsur budaya
populer. Namun sebenarnya posmodernisme itu sendiri memang merupakan
refleksi dari keinginan masyarakat itu sendiri dalam mendefinisikan dirinya
sehingga tanpa disadari, posmodernisme kini telah berada di dalam kehidupan kita
sehari-hari seperti musik, film, arsitektur, dan yang lainnya.
Pada budaya populer, permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan sifat
main-main dan senda gurau, dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi,
substansi, dan makna (Strinati, 2003:257). Pop dalam budaya pop
sesungguhnya berarti bahwa impuls-impuls dan citra budaya berasal dari
lingkungan sehari-hari dan kemudian diperhatikan, diinterprestasi, dan dipakai
oleh orang-orang biasa-kadang-kadang, tetapi tidak selalu, dengan cara-cara yang
12
sangat bertentangan- setelah dikomoditaskan dan diedarkan oleh industri
kebudayaan dan media massa (Lull,1998:87). Media massa menjadi alat yang
utama bagi budaya populer untuk menyiarkan, mempromosikan serta
menerangkan dan memperantarai budaya populer ke dalam kehidupan sehari-hari
di masyarakat agar masyarakat terus mengkonsumsi produk-produk kebudayaan
pop.
Budaya pop ini telah mengakibatkan adanya sebuah konstruksi gaya
hidup posmo bagi wanita karier yang digambarkan melalui salah satu media
massa yaitu novel pop yang tergolong fiksi. Seperti yang dikatakan oleh Paul
Ricoeur bahwa fiksi mempunyai kekuatan mencipta ulang realitas, dan khususnya
dalam kerangka fiksi naratif (Ricoeur dalam Piliang, 2004:74).
Gaya hidup posmo bagi wanita karier menunjukkan kesuksesan mereka.
Tetapi kesuksesan seorang wanita karier bukan dinilai oleh wanita itu sendiri yang
menjalaninya namun oleh media massa. Karena sukses atau prestasi di dalam
masyarakat lama sekali menjadi monopoli kaum lelaki, profil perempuan kerap
disuguhkan dari sudut pandang kesuksesan ala pria atau ala sebagaimana yang
diinginkan oleh pria (Yatim dalam Ibrahim-Sutanto, 1998:138).
Sehingga dalam novel pop ini digambarkan sebuah konstruksi gaya hidup
bagi seorang wanita karier yang berhasil di mata masyarakat (pria) yaitu sebuah
gaya hidup posmo yang hanya mementingkan permukaan dan gaya.



13
I.8 Pengertian Istilah
1. Konstruksi adalah susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau
kelompok kata (Poerwadarminta, 1976:520).
2. Gaya hidup adalah sebuah istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa
seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan
hal-hal yang lain (Sobur, 2002:167).
3. Post-modernism relating to a style of art, architecture, etc that reacts
against modern tendencies (Hornby, 1995:901).
4. Novel merupakan hasil cipta sastra yang berupa prosa fiktif yang
panjang dan tersusun secara rapi, yang melukiskan sebagian hidup para
tokoh (Tarigan, 1986:170).

1.9 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.9.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan
menggunakan paradigma kualitatif karena penelitian ini tidak menggunakan
model-model matematik, statistik atau komputer dan proses penelitian yang
dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir tersebut selanjutnya
diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk
memberikan penjelasan dan argumentasi. Maka dari itu penelitian kualitatif
banyak diterapkan dalam penelitian deskriptif dan historis.
Menurut Ratna (2004:53), metode deskriptif analitik dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara
14
etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian,
analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein ( ana =atas, lyein =lepas,
urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan
juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
Dalam penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan data kualitatif. Yaitu
data yang naratif, deskriptif, dalam kata-kata mereka yang diteliti, dokumen
pribadi, catatan lapangan, artifak, dokumen resmi dan video tape, transkrip
(Moleong, 2002:35). Mengingat novel adalah sebuah out put dari karya sastra,
maka penulis mengadaptasi sedikit dari metodologi penelitian sastra yang
menyatakan bahwa pada umumnya dalam penelitian sastra dipergunakan teknik
penelitian kualitatif. Penelitian ini menitikberatkan pada segi alamiah dan
mendasar pada karakter yang terdapat dalam data. Penelitian kualitatif sering
diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan atau dengan
angka-angka (moloeng dalam J abrohim, 2003:25). Darma (1997) juga
mengatakan bahwa:
Genre sastra seperti novel, cerita pendek, puisi, esai dan sebagainya
tentu saja memiliki kekhasan dalam analisisnya. Yang penting dicatat
adalah bahwasanya teori sastra bukanlah formulasi pikiran, akan tetapi
Deskripsi dari pikiran itu. Karena itu Deskripsi teori sastra dinyatakan
bukan dalam rumus-rumus, tapi dalam esai (Darma (1997) dalam
Alwasilah, 2002:75).

Karena itulah penulis memilih teknik penelitian ini karena didasarkan pada
anggapan bahwa novel pop yang di dalamnya mengandung sebuah konstruksi
gaya hidup posmo bagi wanita karier sebagai bagian dalam budaya populer sangat
tepat untuk diteliti secara mendalam. Karena itu, penelitian deskriptif analitis
15
dengan data kualitatif, penulis anggap dapat memenuhi kapasitas dari akar
permasalahan yang penulis angkat.

1.9.2 Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
deskriptif dengan data kualitatif, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Analisis teks novel Cintapuccino karya Icha Rahmanti yang diterbitkan
oleh GagasMedia secara mendalam.
2. Studi dokumentasi, yaitu mencari data-data penunjang dari buku-buku.
Dalam hal ini penulis menganalisis dokumen berupa artikel, berita on-line,
dan lain-lainnya.
3. Wawancara, yaitu dengan mengadakan tanya jawab langsung pada nara
sumber yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu Perusahaan
GagasMedia (penerbit novel Cintapuccino) dan Icha Rahmanti
(pengarang novel Cintapuccino).

1.10 Langkah dan Tahap Penelitian
Karena penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah deskriptif analitis
dengan datanya yang bersifat kualitatif maka tahap penelitian yang dilakukan
terdiri atas tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data
(Moleong, 2002:127-148).

16
1. Tahap Pra-lapangan
Ada tujuh tahap kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti dalam
tahapan ini yaitu menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan
penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan menilai lapangan, memilih
dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian, dan
memahami etika penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap pekerjaan lapangan dibagi atas tiga bagian, yaitu : (1) memahami
latar penelitian, dan persiapan diri, (2) memasuki lapangan, dan (3)
berperanserta sambil mengumpulkan data.
3. Tahap Analisis Data
Tahap ini terdiri atas analisis data yang telah didapatkan dan dikumpulkan
kemudian dideskripsikan dan diinterprestasi oleh penulis berdasarkan
pendekatan yang telah ditetapkan sebelumnya.

1.11 Operasionalisasi Variabel
Pernyataan masalah yang diajukan dalam penelitian ini hanya terdiri dari
satu variabel, dengan operasionalisasi variabel sebagai berikut : (Nurgiyantoro,
1995: xii-xiv)
Variabel penelitian : Konstruksi Gaya Hidup Posmo Wanita Karier dalam Novel
Cintapuccino
Indikator 1 : Unsur pemplotan dalam novel Cintapuccino

17
Alat ukur : - Peristiwa dalam teks novel Cintapuccino
- Konflik dalam teks novel Cintapuccino
- Klimaks dalam teks novel Cintapuccino
Indikator 2 : Unsur Penokohan dalam novel Cintapuccino
Alat ukur : - Fungsi penampilan tokoh dalam novel Cintapuccino
- Perwatakan tokoh dalam novel Cintapuccino
- Pencerminan tokoh dalam novel Cintapuccino
Indikator 3 : Unsur pelataran dalam novel Cintapuccino
Alat ukur : - Latar tempat dalam novel Cintapuccino
- Latar waktu dalam novel Cintapuccino
- Latar sosial dalam novel Cintapuccino
Indikator 4 : Unsur gaya bahasa dalam novel Cintapuccino
Alat ukur : - Unsur leksikal dalam teks novel Cintapuccino
- Unsur gramatikal dalam teks novel Cintapuccino
- Unsur retorika dalam teks novel Cintapuccino

I.12 Organisasi Karangan
Untuk dapat memudahkan pembahasan selanjutnya, maka pada pembahasan
ini dikemukakan organisasi karangan, sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan
Pada bab ini ditengahkan latar belakang masalah, perumusan masalah
identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran,
18
pengertian istilah, metode dan teknik pengumpulan data, langkah dan tahap
penelitian serta operasionalisasi variabel.

BAB II Tinjauan Pustaka
Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan umum mengenai komunikasi yang
terdiri atas pengertian dan proses komunikasi. Kemudian tinjauan mengenai
komunikasi massa yang terdiri atas pengertian komunikasi massa, efek
komunikasi massa, bentuk media massa, novel sebagai media massa dan novel
sebagai pesan komunikasi massa serta paradigma konstruktivisme. Selain itu
dibahas pula pengertian novel dan jenis novel. Serta penjelasan mengenai
konstruksi gaya hidup posmo sebagai unsur dari budaya populer.

BAB III Metode Penelitian
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian metode penelitian kualitatif,
perbedaan metode penelitian kualitatif dengan metode penelitian kuantitatif,
karakteristik penelitian kualitatif, kemudian pengertian metode deskriptif. Dan
unsur intrinsik novel sebagai operasionalisasi variabel yang akan diteliti.

BAB IV Objek Penelitian
Pada bab ini akan dibahas mengenai GagasMedia sebagai penerbit novel
Cintapuccino, dan Icha Rahmanti sebagai penulis novel Cintapuccino dan
penggagas novel ChickLit Indonesia.

19
BAB V Analisis Novel Cintapuccino
Bab ini berisi sinopsis dari novel Cintapuccino kemudian interprestasi
penulis mengenai konstruksi gaya hidup posmo wanita karier sebagai salah satu
unsur dalam budaya populer yang terdapat dalam novel Cintapuccino dengan
menggunakan metode deskriptif analitis dengan datanya yang bersifat kualitatif.

BAB VI Penutup
Dalam bab terakhir ini akan diberikan rangkuman, kesimpulan dan saran-
saran dari penulis mengenai hasil penelitian novel Cintapuccino karya Icha
Rahmanti.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Komunikasi
Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan bukan hanya sebagai makhluk
Tuhan, melainkan pula sebagai makhluk sosial. Dan sesuai dengan fitrah tersebut
manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini, tentunya berinteraksi
dengan manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia memiliki
pemikiran-pemikiran, gagasan, ide, emosi, dll, yang kesemuanya itu disampaikan
kepada sesamanya melalui sebuah proses. Sehingga pemikiran-pemikiran,
gagasan, ide, ataupun emosi tadi dapat dimengerti oleh orang lain. Proses
penyampaian tersebutlah disebut dengan komunikasi.
Bagaimanapun proses itu berlangsung, dengan cara apapun, yang terpenting
dalam komunikasi adalah adanya pesan yang disampaikan oleh komunikator
kepada komunikan melalui media tertentu. Sesuai dengan yang diungkapkan
Harold D. Lasswell, who says what in which channel to whom and what effect.
Maka ketika komponen-komponen itu ada maka proses yang disebut dengan
komunikasi itu berlangsung.

2.1.1 Pengertian Komunikasi.
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari
bahasa latin yaitu communis yang berati sama. Communis atau communicare
yang berarti memuat sama. Istilah communis adalah istilah yang paling sering
21
dibuat sebagai asal usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata
lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna
atau suatu pesan dianut secara sama (Deddy, 2001 : 41).
Ada banyak definisi mengenai komunikasi, dan dari definisi yang ada tidak
ada definisi yang salah maupun benar. Namun sebagai salah satu bahan acuan
penulis akan menyampaikan beberapa definisi komunikasi menurut para ahli yaitu
menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner, komunikasi adalah transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya dengan menggunakan
simbol-simbol, kata-kata, figur, grafik dan sebagainya. Tindakan atau proses
transimisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. Sedangkan menurut Everett
M. Rogers, komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber
kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka.
Pandangan dari pakar komunikasi di atas menunjukkan bahwa komunikasi
adalah suatu proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan
sebagainya dari sumber dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, dan lain-
lain kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah mereka.
Kemudian Deddy Mulyana menjabarkan pemahaman mengenai komunikasi yaitu:
Suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah
komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari
seseorang (atau lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya,
baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat
(selebaran), surat kabar, majalah radio, atau televisi. Misalnya, seseorang
itu mempunyai informasi mengenai suatu masalah, lalu ia
menyampaikannya kepada orang lain, orang lain mendengarkan, dan
mungkin berperilaku sebagai hasil mendengarkan pesan tersebut, lalu
komunikasi dianggap telah terjadi. J adi, komunikasi dianggap suatu proses


22
linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada
penerima, sasaran atau tujuannya (Mulyana, 2001:61).

Penulis menilai ketiga konsep komunikasi ini cukup mewakili sebagai
dasar dalam penelitian ini, yakni: komunikasi sebagai tindakan satu arah dan
komunikasi sebagai proses transmisi. Dalam arti ketika komunikasi melalui novel
ini hanya melulu menyampaikan pesan dari komunikator (penulis novel) dan
kemudian dimaknai oleh komunikan (pembaca), maka peristiwa komunikasi
tersebut hanya merupakan tindakan satu arah.
Kemudian seorang teorisi media, J ames W. Carey mengemukakan bahwa
communication is a symbolic process whereby reality is produced, maintained,
repaired and transformed (dalam Fiske, 2004:x). Carey menegaskan bahwa
komunikasi dan realitas saling berhubungan karena komunikasi adalah proses
yang tertanam dalam kehidupan kita sehari-hari yang menginformasikan cara kita
menerima, memahami, dan mengkonstruksi pandangan kita tentang realitas dan
dunia. Maka dengan kata lain kita mengonstruksi pandangan kita mengenai
realitas yang berada di sekitar kita dengan menggunakan komunikasi. Sehingga
pengertian mengenai komunikasi menurut Carey-lah yang selaras dengan
permasalahan yang penulis angkat.
Sebenarnya konsep-konsep tersebut tidak bisa disimpulkan begitu saja
untuk setiap peristiwa komunikasi, misalkan dalam satu peristiwa komunikasi kita
simpulkan berlaku satu konsep. Pada kenyataannya, dalam satu peristiwa
komunikasi bisa saja berlaku satu, dua atau tiga konsep sekaligus. Maka untuk


23
menentukan hal itu, tentunya akan sangat bergantung sekali dengan peristiwa
komunikasi apa yang sedang berlangsung.

2.2 Tinjauan Komunikasi Massa
2.2.1 Pengertian Komunikasi Massa
Berikut ini beberapa definisi komunikasi massa dari para ahli :

Bittner (1980:10) : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah besar orang. Ahli komunikasi yang
lain mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik
komunikasi massa. Gerbner (1967) menulis bahwa komunikasi massa
adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga
dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam
masyarakat industri.

J alaluddin Rakhmat kemudian merangkum definisi-definisi dari para ahli
sehingga didapatkan arti komunikasi massa adalah sebagai jenis komunikasi yang
ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui
media cetak elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak
dan sesaat (Rakhmat, 2001:186-189).

2.2.2 Ciri ciri Komunikasi Massa
Sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu
organisasi formal, dan sang pengirimnya sering kali merupakan komunikator
profesional. Pesannya tidak bersifat unik dan biasanya beraneka ragam, serta
dapat diperkirakan. Disamping itu, pesan tersebut seringkali diproses,
distandarisasi, dan selalu diperbanyak. Pesan itu juga merupakan suatu produk


24
dan komoditi yang mempunyai nilai tukar, serta acuan simbolik yang
mengandung nilai kegunaan.
Hubungan antara pengirim dan penerima bersifat satu arah dan jarang
sekali bersifat interaktif. Hubungan tersebut juga bersifat impersonal, bahkan
mungkin sekali seringkali bersifat non moral dan kalkulatif, dalam pengertian
bahwa sang pengirim biasanya tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang
terjadi pada para individu dan pesan yang diperjualbelikan dengan uang atau
ditukar dengan perhatian tertentu. Dalam buku Ilmu Komunikasi, Teori, dan
Praktek dijelaskan beberapa ciri-ciri dari komunikasi massa diantaranya :
1. Komunikasi Massa Berlangsung Satu Arah.
Komunikasi massa berlangsung satu arah, ini berarti bahwa tidak terdapat
arus balik dari komunikan kepada komunikator. Dengan kata lain,
wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan para
pembacanya terhadap pesan atau berita yang disiarkannya itu. Sebagai
konsekuensi dari komunikasi itu, komunikator pada komunikasi massa
harus melakukan perencanaan dan persiapan sedemikian rupa sehingga
pesan yang disampaikannya kepada komunikan harus komunikatif dalam
arti kata dapat diterima secara inderawi dan secara rohani (Effendy,
1999:22).

2. Komunikator pada Komunikasi Massa Melembaga.
Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga,
yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu, komunikatornya
melembaga atau dalam bahasa asing disebut institutionalized
communicator atau organized communicator (Effendy, 1999:22).

3. Pesan pada Komunikasi Massa Bersifat Umum.
Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (publik)
karena ditujukan kepada umum. J adi ditujukan kepada perseorangan atau
kepada sekelompok orang tertentu (Effendy, 1999:23).

4. Media Komunikasi Massa Menimbulkan Keserempakan.
Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan
keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang
disebarkan. Hal inilah yang merupakan ciri paling hakiki dibandingkan
dengan media komunikasi lainnya (Effendy, 1999:24).



25
5. Komunikan Komunikasi Massa Bersifat Heterogen.
Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat
yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju
komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-
pencar, dimana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak
memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal
seperti : jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan,
pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, dan sebagainya (Effendy,
1999:25).

2.3 Pengertian Jurnalistik
Secara etimologis istilah jurnalistik, atau dalam Bahasa Inggrisnya
journalism, berasal dari perkataan Prancis Journal yang artinya surat kabar. Istilah
jurnal itu sendiri berasal dari kata Latin, Diurna yang artinya tiap hari, harian,
atau catatan harian. Erat kaitannya dengan kata Diurna ini ialah Diurnarii, artinya
pencatat. Dari kata Diurnarii muncul istilah Inggris Journalist, yaitu orang-orang
yang pekerjaannya mengumpulkan, mengolah, dan kemudian menyiarkan
catatan-catatan harian itu (Diktat Dasar J urnalistik, 1999:1).
Adinegoro menyebut jurnalistik ini sebagai suatu kepandaian karang-
mengarang yang pokoknya untuk memberi pekabaran pada masyarakat dengan
selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya (Palapah & Syamsudin, 1983:14).
Dari berbagai literatur dapat dikaji definisi jurnalisti yang jumlahnya begitu
banyak, tetapi semuanya berkisar pada pengertian bahwa jurnalistik adalah suatu
pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan
sampai penyebarannya kepada masyarakat. Apa saja yang terjadi di dunia, apakah,
itu peristiwa faktual (fact) atau pendapat seseorang (opinion), jika diperkirakan
akan menarik perhatian khalayak, akan merupakan bahan dasar jurnalistik, akan
menjadi bahan berita untuk disebarluaskan kepada masyarakat.


26
Secara umum dapat dikatakan bahwa jurnalistik adalah suatu kegiatan
mengumpulkan, mengolah serta menyebarkan pemberitaan kepada publiknya
dalam waktu yang cepat kepada jumlah audience yang sebanyak-banyaknya
(Diktat Dasar J urnalistik, 1999:2).
Sekarang timbul lagi istilah baru yang sebetulnya sudah umum
dipergunakan, yakni jurnalisme. Pada hakikatnya jurnalistik merupakan sifat
dari kegiatan jurnalisme. Dengan kata lain, kalau jurnalisme merupakan kata
benda, maka jurnalistik adalah kata sifat. Sebagai kata sifat, ia bisa melekat pada
kata-kata benda yang lain, seperti etik, integritas, keterampilan, dan sebagainya.

2.3.1 Pengertian dan Ciri-ciri Pers
Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris
berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiyah berarti
penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas
meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran
dan televisi siaran, sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada
media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, buku, novel, dan bulletin berita.
Meskipun pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas,
pada umumnya orang menganggap pers itu media massa cetak : surat kabar,
majalah, dan buku. Anggapan seperti itu disebabkan oleh ciri khas yang terdapat
pada media itu, dan tidak dijumpai pada media lain. Yang dijadikan pokok


27
bahasan disini adalah pers dalam arti sempit, yakni surat kabar dan majalah
dengan ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Komunikasi dengan menggunakan media massa.
2. Prosesnya berlangsung satu arah.
3. Komunikatornya melembaga.
4. Pesannya bersifat umum.
5. Medianya menimbulkan keserempakan.
6. Komunikannya heterogen (Effendy, 1999:145).
Ciri-ciri diatas telah dipenuhi, baik oleh media massa cetak surat kabar dan
majalah maupun oleh media massa elektronik radio dan televisi. Namun
demikian, antara media massa cetak dan media massa elektronik terdapat
perbedaan yang khas dari audience dalam menerima pesan, diantaranya :
1. Pesan yang disiarkan oleh media massa elektronik diterima oleh
khalayak harus selalu berada di depan pesawat, sedangkan pesan yang
disampaikan media cetak dapat diulang kaji dan dipelajari serta
disimpan untuk dibaca di tiap kesempatan.
2. Pesan yang disampaikan media massa elektronik harus mudah dicerna
oleh pendengar dan pemirsa, sedangkan pesan yang disampaikan
media massa cetak dapat canggih dan ilmiah.
3. Media massa cetak lebih tinggi daya persuasinya dari pada media
massa elektronik. Karena lebih persuasif pesan melalui media cetak
lebih banyak ditujukan kepada rasio atau pikiran, sedangkan pesan
persuasif melalui media elektronik lebih banyak ditujukan pada
perasaan (Effendy, 1999:145-146).












28
2.3.2 Fungsi Pers
Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan
fungsinya, selain menyiarkan informasi juga mendidik, menghibur, dan
mempengaruhi. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Fungsi menyiarkan informasi (to inform)
Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang pertama dan utama
pembaca membaca surat kabar karena memerlukan informasi
mengenai berbagai hal dimuka bumi ini.
2. Fungsi mendidik (to educate)
Sebagai sarana pendidikan massa surat kabar dan majalah memuat
tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak
pembaca bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik bisa dalam
bentuk artikel atau tajuk rencana atau kadang berbentuk cerita
bersambung atau berita bergambar yang mengandung aspek
pendidikan.
3. Fungsi menghibur (to entertain)
Hal-hal yang bersifat hiburan seringkali dimuat oleh surat kabar dan
majalah untuk mengimbangi berita-berita yang berat (hard news) dan
artikel yang berbobot.
4. Fungsi mempengaruhi (to influence)
Fungsi mempengaruhi dari surat kabar dan surat kabar secara implicit
terdapat pada tajuk rencana dan artikel (Effendy, 1999:149-150).

Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya
disamping fungsi pers secara universal. Hal tersebut dapat dikaji dalam pasal 2
Undang-undang No. 11 Tahun 1966 yang kemudian ditambah ayat baru
berdasarkan undang-undang No. 21 Tahun 1982 yang berbunyi :
1. Pers Nasional adalah alat perjuangan nasional dan merupakan mass
media yang bersifat aktif, dinamis kreatif, edukatif infomartiris dan
mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya
pikiran kritis dan progresif meliputi segala perwujudan kehidupan
masyarakat Indonesia.
2. Dalam rangka meningkatkan peranannya dalam pembangunan, pers
berfungsi sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan
aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta
melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu


29
dikembangkan interaksi positif antara pemerintah, pers, dan
masyarakat (Effendy, 1999:150).

Rumusan fungsi pers yang dituangkan dalam undang-undang tersebut,
selain telah memenuhi fungsi pers secara universal, juga menunjukkan bahwa pers
Indonesia memiliki indentitas mandiri yakni pers pembangunan yang dilandasi
interaksi positif antara pemerintah, pers, dan masyarakat.

2.3.3 Hubungan Jurnalistik dan Pers
Dalam abad modern sekarang ini, kehidupan masyarakat tidak lagi dapat
dilepaskan dari jurnalistik dan pers. Secara ekstrim, para ahli jurnalistik
menyamakan pers dengan makanan dan minuman yang dibutuhkan manusia untuk
kelangsungan hidupnya. Manusia masa kini tidak lagi dapat hidup tanpa
mendapatkan apa yang disuguhkan oleh pers, yang memenuhi kebutuhan
masyarakat yang haus dan lapar akan informasi.
Dalam hubungannya dengan pers, banyak yang mengartikan jurnalistik
sebagai suatu kegiatan mengumpulkan, mengolah, serta menyebarkan berita
kepada publiknya dalam waktu yang cepat kepada sejumlah audience yang
sebanyak-banyaknya. Secara gambalang orang menyamakan jurnalistik dengan
pers, dan terkadang lebih mudah dengan menyamakan jurnalistik sebagai surat
kabar atau majalah. Hal ini disebabkan karena media massa yang paling tua dan
yang paling pertama ditemui manusia adalah media tercetak. Karena itu lazim
sekali orang mencampuradukan pengertian jurnalistik dengan pers.


30
Dari segi asal kata, jurnalistik dapat ditelusuri lebih jauh, sampai kepada
asal mula surat kabar yang disebut acta diurnal, yang terbit di zaman Romawi,
dimana berita-berita dan pengumuman ditempelkan atau dipasang di pusat kota
yang dikala itu disebut Forum Romanum. Namun asal kata jurnalistik adalah
Journal atau Du Jour yang berarti hari dimana segala berita atau warta
sehari itu termuat dalam lembaran yang tercetak. Karena kemajuan teknologi dan
ditemukannya pencetakan surat kabar dengan sistem silinder (rotasi), maka istilah
pers muncul, sehingga orang lalu mensenadakan istilah jurnalistik dengan
pers.
Secara fungsional, memang jurnalistik tidak dapat dipisahkan dengan pers.
Tetapi secara ilmiah, jurnalistik selalu dapat dibedakan dengan pers secara ilmiah,
jurnalistik adalah bentuk komunikasinya, bentuk kegiatannya, isinya, sedangkan
Pers adalah medianya dimana jurnalistik itu disalurkan. Tetapi pers yang
dimaksud disini ialah pers dalam pengertian sempit, yaitu media massa cetak
seperti surat kabar, majalah dan buku.

2.4 Jurnalisme Baru
J urnalisme Baru lahir dan kemudian tumbuh sepanjang decade 1960-an di
Amerika. J urnalisme baru merupakan terjemahan dari New Journalism, yaitu
sebuah fenomena di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an, yang menggabungkan
kaidah-kaidah pers dan kaidah-kaidah sastra dalam laporan jurnalistiknya.
Motivasi awal para penulis dan redaktur jurnalisme baru, umumnya bermula dari
penolakan mereka terhadap cara kerja jurnalisme tradisional dan dasar-dasar


31
pemikiran mereka yang membatasi kerja jurnalistik dalam perkembangannya
dianggap punya nilai sakral. Dalam perkembangannya ternyata masyarakat
menuntut para reporter muda itu untuk lebih banyak menulis laporannya dalam
reportase yang lebih menyeluruh dan mendalam.
Usaha pembaharuan itu akhirnya membuahkan hasil. Penolakan jurnalis
baru terhadap kinerja jurnalisme lama, menghasilkan bentuk-bentuk
pengembangan jurnalisme dan banyak kegiatan lain. Ada yang
mengembangkannya ke kegiatan opini publik. Ada yang mengarahkannya ke
spesialisasi pembaca. Ada yang menggunakan metode ilmiah menjadi teknik
reportase. Secara konsep, jurnalisme baru mengembang ke banyak pengertian.
Fedler sebagai seorang komunikolog, mencatat fenomena itu. Berdasarkan
pengamatannya terhadap keempat perkembangan itu, ia membagi jurnalisme baru
dalam empat pengertian, yaitu : advocacy journalism, alternative journalism,
precision journalism, dan literary journalism.
1. Advocacy Journalism
Advocacy journalism atau jurnalisme advokasi adalah kegiatan
jurnalistik yang berupaya menyuntikkan opini ke dalam berita. Tiap
reportase, tanpa mengingkari fakta, diarahkan untuk membentuk opini
publik. Rangkaian opini yang terbentuk dan hendak diapungkan
didapat dari kerja para jurnalis ketika memproses liputan fakta-demi-
fakta secara intens dan sungguh-sungguh. J adi opini mereka memiliki
korelasi erat dengan realitas-fakta-peristiwa yang terjadi di masyarakat
(Santana, 2002:9).
2. Alternative Journalism
Alternative journalism atau jurnalisme alternatif merupakan kegiatan
jurnalistik yang menyangkut publikasi internal dan bersifat lebih
personal. Berbeda dengan underground news-paper, jurnal-jurnal
alternatif kerap lebih profesional, lebih terfokus pada item pemberitaan
tertentu, dan coba menarik khalayak yang lebih berumur. J urnal-jurnal
alternatif memunculkan tulisan-tulisan yang hendak membasmi
korupsi, dengan tampilan yang lain dari anjing pelacak, dan melebihi
media underground konvensional dalam performa kritikan dan


32
liputannya. Tujuan mereka adalah menggerakkan minta, dan sikap,
bahkan perilaku sekelompok khalayak yang mereka tentukan sebagai
pangsa konsumen (Santana, 2002:13).
3. Precision Journalism
Precision journalism atau jurnalisme presisi adalah kegiatan
jurnalistik yang menekankan ketepatan (presisi) informasi dengan
memakai pendekatan ilmu sosial dalam proses kerjanya.
Perkembangan jurnalisme presisi difokuskan pada kerja pencarian
data. Kerja jurnalistik dibatasi dengan ukuran ketepatan informasi yang
empirik. Hasil kerja liputan para jurnalisnya harus memiliki
kredibilitas akademis ketika diinterprestasi oleh masyarakat (Santana,
2002:15).
4. Literary Journalism
Literary journalism atau jurnalisme sastra membahas pemakaian gaya
penulisan fiksi untuk kepentingan dramtisasi pelaporan dan membuat
artikel menjadi memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya
penyajian fiksi yang memberikan detail-detail potret subyek, yang
secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk dipikirkan,
digambarkan, dan ditarik kesimpulannya. Pembaca disuruh
mengimajikan tampakan fakta-fakta yang telah dirancang jurnalis
dalam urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana (Santana,
2002:16-17).

2.4.1 Jurnalisme Sastra
Pada tahun 1965 jurnalisme baru lahir. Seorang redaktur majalah Nugget,
diberitahu oleh Pete Hamill yang ingin menulis tentang dua wartawan: Jimmy
Breslin dan Gay Talese. Tulisannya disebut jurnalisme baru, yang ternyata
semacam biografi yang ditulis dengan mendalam. New itu sendiri dipakai oleh
Tom Wolfe, wartawan New York Herald Tribune, yang pada 1973 menerbitkan
buku berjudul The New Journalism. Kata baru itu hanya bersifat temporer dan
lahir tanpa manifesto. Pada kurun yang sama lahir aktivitas dan nama-nama the
new poetry, the new humanist, the new left, dan lain-lain.
J urnalisme baru itu, dalam perkembangannya, dianggap sebagai salah satu
pemicu ide perkembangan jurnalisme sastrawi pada tahun 1990-an. J urnalisme


33
sastrawi dan jurnalisme baru berkembang dan disukai di Amerika Serikat. Ini
terjadi lantaran perkembangan media komunikasi di sana sangat pesat. Kecepatan
televisi dalam pemberitaan membuat media cetak merasa kalah bersaing. Media
cetak lalu menemukan jurnalisme sastrawi yang mendalam, terinci, akrab, dan
enak dibaca. Hasilnya bisa tampil dalam bentuk feature atau artikel, dengan fungsi
utama memberi informasi, menghibur, dan mendidik. Ciri khasnya antara lain
mendalam dan struktur ceritanya bertema atau dalam bentuk kilas balik (flash
back).
J urnalistik Sastra diperkenalkan oleh para pengarang atau sastrawan yang
bekerja sebagai wartawan. Gaya penulisannya seperti features, mengisahkan
isinya mendalam (depth reporting) dan detil. Peristiwa yang dikemukakan tidak
jarang berupa hasil riset dan penyelidikan (investigative reporting). Karena di
dalam karya J urnalistik Baru tidak tabu adanya opini si penulis, maka dia juga
merupakan interpretative reporting. Identitas sebagai karya jurnalistik tetap
dipertahankan, yaitu adanya unsur fakta.
Yang digali terutama adalah cerita di balik berita. Tiga orang [endekar
J urnalistik Baru ini Truman Capote, Tom Wolfe, Norman Mailer memberikan
beberapa catatan. Penulis J urnalistik Baru melibatkan diri ke dalam peristiwa serta
memanfaatkan hubungan dengan peristiwa secara baik. Penulisan yang dahulunya
objektif menjadi subjerktif. Untuk menyiapkan sebuah karya J urnalistik Baru
diperlukan ketekunan dalam mencari bahan yang berbobot dan mendetail. Bahan-
bahan itu meliputi babak-babak dalam peristiwa, dialog-dialog yang mantap dan


34
memang diperlukan, kebiasaan-kebiasaan yang terinci serta emosi yang
menghidupkan.
Dalam melakukan penulisan pelaporan para jurnalis memakai dua teknik
menulis realisme dan teknik menulis roman. Laporan dibuat sedemikian rupa agar
pembaca secara nyata dapat merasakan apa yang terjadi. Untuk memperoleh fakta
yang utuh, pencarian materi berita menjadi penting. Dari teknik penulisan roman,
jurnalisme mendapat jalan untuk pengisahan news story secara lancar. Daya tarik
roman terletak pada gaya penceritaan yang dibangun dengan pembuatan dialog,
penyusunan adegan, pemunculan tokoh-tokoh dengan berbagai karakter (sudut
pandang), dan detail-detail yang menghidupkan imajinasi pembaca.

2.5 Tinjauan mengenai Novel
2.5.1 Sejarah Singkat dan Pengertian Novel
Istilah novel berasal dari kata Latin, Novellus yang diturunkan pula dari
kata Novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan
dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, maka jenis
novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1993:164). Namun Cecep Syamsul Hari
dalam salah satu artikelnya menjelaskan bahwa istilah novel berasal dari bahasa
Italia, Novella, yaitu sebuah prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks,
yang secara imajinatif berjalan-berkelindan dengan pengalaman manusia melalui
suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan
melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar
(setting) yang spesifik.


35
Berdasarkan keterangan Cecep, bentuk-bentuk awal novel modern dapat
ditemukan di sejumlah tempat, antara lain pada zaman Roma klasik, di J epang
pada sekitar abad ke-10 dan ke-11, dan pada masa Elizabeth di Inggris, novel Don
Quixote de la Mancha (1605) karya pengarang Spanyol, Miguel de Cervantes,
dipandang sebagai asal muasal novel modern. Kemudian sejumlah novel yang
menarik perhatian bermunculan di Perancis pada abad ke-17, akan tetapi pada
pertengahan abad ke-18 di Inggrislah novel sebagai suatu genre sastra meletakkan
dasar-dasar literernya melalui karya-karya novelis Daniel Defoe dan Samuel
Richardson (peletak dasar-dasar penulisan epistolary novel). Popularitas novel
kemudian menjadi umum di Eropa hingga memasuki abad ke-19, ketika novel
berkembang bukan saja sebagai karya prosa naratif fiksional semata-mata, tetapi
juga tumbuh sebagai karya sastra dengan variasi tema, karakterisasi, plot, latar,
dan gaya yang berbagai-bagai dan luar biasa.
Novel menjadi karya yang memikat perhatian banyak orang karena dapat
memberikan pencitraan dan perlambangan yang lebih meyakinkan (a more
faithful image) dari suatu realitas kehidupan sehari-hari daripada yang dilakukan
genre sastra lainnya. Pada dasarnya perkembangan novel menjadi bagian tak
terpisahkan dari sejarah tarik-menarik antara upaya si pengarang untuk keluar dari
konvensi-konvensi mapan sebuah zaman dan upaya untuk terus-menerus
menangkap, mengolah, menilai, melukiskan tanpa pretense atau bahkan
melecehkan spirit zaman itu. Inilah yang menjelaskan kenapa novel-novel realis
dan naturalis bermunculan pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, sebuah
zaman ketika karya sastra menemukan audiensnya yang sangat luas dan media


36
massa belum begitu berperan. Pada masa inilah Charles Dickens, Thackeray, dan
George Elliot menulis di Inggris; Balzac, Gustave Flubert, dan Emile Zola di
Perancis; Turgenev, Tolstoy, dan Dostoevsky di Rusia; Nathaniel Hawthorne dan
Herman Melville di Amerika.
Dengan datangnya abad ke-20 dan akibat-akibat yang ditimbulkan
peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di masa itu, khususnya Perang Dunia I dan
II, karakter dalam novel pun menjadi semakin kompleks dan konvensi-konvensi
lama yang secara kuat direpresentasikan dalam bahasa dan struktur novel
sebelumnya dipertanyakan. Hal itu antara lain dilakukan J ames J oyce, Virginia
Woolf, dan Franz Kafka, para penulis yang memeriksa kembali bagaimana
realitas diletakkan novel-novel konvensional karena kesetiaan terhadap
konvensi-konvensi sastrawi lama.
Di Indonesia, novel-novel awal yang terbit yaitu pada zaman Balai Pustaka
dan Pujangga Baru, dan masa-masa sesudahnya, seperti karya-karya Mochtar
Lubis, Pramoedya Ananta Toer, hingga karya-karya Mangunwijaya, Umar
Kayam, dan Ahmad tohari. Kemudian novel Belenggu karya Armijn Pane dapat
dikatakan sebagai tonggak novel Indonesia modern, dan pada novel-novel yang
ditulis Iwan Simatupang dan Budi Darma. Kegairahan menulis novel sampai akhir
tahun 1990-an berlangsung biasa-biasa saja, namun sejak awal tahun 2000-an
penerbitan novel di Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat dan para
novelis berbakat bermunculan, misalnya Dewi Lestari, Eliza Vitri Handayani, Eka
Kurniawan, Dewi Sartika, dan Ratih Kumala. Di sisi lain kegairahan penerbitan
novel di Indonesia tahun 2000-an diramaikan dengan menjamurnya novel-novel


37
teenager yang memiliki ciri-ciri arbitrasi yang seragam (homogeny arbitarary),
baik dari aspek lingkungan sosial, kultural, psikologis, maupun lingkungan
kebahasaan. Segi struktur novel-novel teenager yang cenderung ringan (light) ini,
meskipun di sana-sini mengundang kritik dan polemik, memperliharkan resepsitas
yang tinggi di kalangan para pembaca yang menjadi sasaran pasarnya.
Sebenarnya, di Indonesia istilah novel baru dikenal setelah massa
kemerdekaan yakni setelah orientasi sastrawan kita beralih kepada karya sastra
berbahasa Inggris setelah sebelumnya hanya berfokus kepada sastrawan dan karya
sastra Belanda. Istilah sebelumnya di Indonesia lebih dikenal istilah roman, yang
muncul dan berkembang sejak zaman penjajahan Belanda. Tetapi akibat
perkembangan zaman, istilah roman menjadi tersisih, terdesak oleh novel yang
semakin populer.
Ada beberapa yang mengatakan bahwa roman dan novel itu berbeda tetapi
ada yang mengatakan sama. Para ahli yang membedakan pengertian novel dan
roman beranggapan bahwa roman berisi kehidupan tokoh mulai dari masa kecil
sampai meninggal dunia, sedangkan novel hanya melukiskan sebagian peristiwa
kehidupan tokoh cerita dalam mengarungi nasibnya. Dan para ahli yang
menyamakan roman dan novel mengatakan bahwa itu hanya perbedaan istilah dan
pengaruhnya saja. Kalau roman merupakan warisan dari akibat persentuhan
dengan kebudayaan Belanda, maka novel merupakan hasil sentuhan dengan
kebudayaan Eropa lainnya. Seperti yang dikatakan Sumardjo (1984:65) dalam
bukunya Memahami Kesusastraan, bahwa pengertian novel dan roman
sebenarnya sama saja, hanya karena pengaruh waktulah yang menyebabkan


38
timbulnya kedua pengertian tersebut. Istilah roman lebih dikenal di Indonesia
sebelum perang dunia kedua karena istilah roman ini lebih banyak dipakai di
negeri Belanda dan Perancis. Sebelum perang dunia kedua pengaruh sastra
Belanda dan Eropa sangat kuat dan semuanya menggunakan bahasa Belanda.
Sedangkan istilah novel masuk ke Indonesia setelah selesai perang dunia karena
banyak sastra berbahasa Inggris yang masuk ke Indonesia dan dipelajari oleh
sastrawan Indonesia.
Ada beberapa pengertian novel yang dikemukakan oleh beberapa ahli
sastra, diantaranya adalah:
1. Novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan
menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun (Sudjiman,
1990:55).
2. Novel adalah cerita tentang suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan
seseorang (luar biasa karena dari kejadian ini tersalur suatu konflik atau
pertikaian) yang mengalihkan jurusan nasib mereka (J assin, 1984:54).
Sedangkan pengertian novel menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi
kedua adalah: karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak
dan sifat setiap pelaku.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah
cerita fiktif yang panjang yang melukiskan keadaan dan kehidupan para tokoh
cerita, disajikan secara tersusun dengan serangkaian peristiwa yang
melatarbelakanginya.


39
Novel merupakan hasil cipta sastra yang berupa prosa fiktif yang panjang
dan tersusun secara rapi, yang melukiskan sebagian hidup para tokoh. Untuk itu
kita bisa membedakan novel dengan jenis karya lainnya dengan melihat ciri-ciri
yang terkandung dalam karya tersebut. H. G Tarigan (1986:170) dalam bukunya
prinsip-prinsip dasar sastra menguraikan ciri-ciri novel, diantaranya adalah :
1. Menyajikan lebih dari satu impresi (kesan)
2. Menyajikan lebih dari satu efek
3. Menyajikan lebih dari satu emosi
4. Skala lebih besar
5. Kelanjutan cerita lebih lama
6. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas kurang diutamakan

2.5.2 Novel sebagai Media Massa Cetak
Media merupakan salah satu komponen dari komunikasi selain
komunikator (source sender), pesan (message), komunikan (receiver), dan efek.
Peran media dalam komunikasi tentunya sangat penting, terlebih dalam proses
komunikasi massa. Karena pada dasarnya istilah komunikasi massa sendiri
diadopsi dari istilah bahasa Inggris yaitu mass communication yang merupakan
kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya,
komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass
mediated. (Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, 2000 : 2).
Mengingat komunikasi massa melibatkan banyak orang, maka media
yang digunakan merupakan media publisistik yang tentunya mampu menggapai
massa yang diinginkan sehingga dapat bersentuhan dengan pesan yang akan


40
disampaikan. Media publisistik sendiri sesuai dengan sifatnya dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu media umum yang merupakan media yang dapat
dipergunakan oleh segala bentuk komunikasi, baik komunikasi persona maupun
komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Dan media massa atau mass media
yang merupakan media yang khusus digunakan pada komunikasi massa, disebut
sebagai media massa karena memiliki karakteristik massal.
Media massa adalah media yang khusus digunakan oleh komunikasi
massa, disebut media massa adalah karena ia mempunyai karakteristik massal
(M.O dan Atang, 1982:70).
Sedangkan media yang dianggap memiliki karakter massal tersebut
adalah :
a. Pers
b. Radio
c. Film, dan
d. Televisi.
Dan pers sebagai salah satu media massa yang ada dalam arti luas dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu pertama buku (textbooks, religius books, buku-
buku cerita, comics, dan sebagainya) dan yang kedua adalah periodicals (Daily
Newspaper, Weekly Newspaper, dan General Magazine). Hal ini menggambarkan
bahwa novel merupakan salah satu media massa.
Novel yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
karangan prosa yang panjangnya mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan


41
sifat pelaku. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 618), dapat menjadi media
massa bila novel tersebut dicetak dan keberadaannya dapat dinikmati oleh massa.
Sehingga novel yang ada bukan hanya sebuah prosa atau karangan saja,
melainkan novel is a printed and bound book that is an extended work of fiction
(http://www.yourdictionary.com). Dengan melihat definisi tersebut maka dapat
diambil kesimpulan, bahwa novel yang keberadaannya dicetak dan disebarkan
kepada massa, maka akan menjadikan novel tersebut sebagai salah satu bentuk
pers dan pers merupakan salah satu bentuk dari media massa.

2.5.3 Jenis Novel
Adapun jenis novel itu sendiri, Mohtar Lubis dalam Tarigan (1984:167-
168), membagi novel ke dalam lima jenis, yaitu:
1. Novel Avontur, novel yang dipusatkan pada seorang lakon yang dimulai dari
titik A sampai Z sebagai tujuan akhir dengan diselingi pengalaman-
pengalaman lain yang bersifat rintangan dan disusun secara kronologis.
2. Novel Psikologis, dalam novel ini tidak ditujukan kepada Avontur yang terjadi
secara bertahap, tetapi lebih menekankan pada pemeriksaan semua pikiran
para pelaku.
3. Novel Sosial dan Politik, tokoh novel dalam cerita ini larut dalam masyarakat
yang mempunyai kelasnya atau golongannya. Persoalan yang sedang dihadapi
ditinjau dari lingkup golongan dalam masyarakatnya. Inisiatif dari setiap
golongan akan timbul terhadap, masalah tersebut dan peranan para pelaku
hanya dipergunakan sebagai pendukung.


42
4. Novel Kolektif, isinya mementingkan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas,
suatu keseluruhan dengan memadukan pandangan antropologis dan sosiologis
dalam karyanya. Ditinjau dari struktur cerita novel kolektif merupakan bentuk
yang paling banyak liku-likunya.
5. Novel Detektif, novel yang menceritakan pembongkar rahasia kejahatan dan
biasanya dibutuhkan bukti untuk menangkap si pembunuh.
Menurut J akob Soemardjo melalui buku Novel Popular Indonesia, jenis
novel berdasarkan kualitas sastra dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Dalam kualitas bentuk cerita karya-karya Ashadi menduduki tempat teratas.
Novel-novelnya mempunyai struktur cerita yang kuat. Plot terjaga baik.
Penuturan ceritanya segar dan terarah. Namun karya-karya Ashadi tetap
bersifat pop karena persoalan yang digarapnya hanyalah bersifat permukaan
dan diselesaikan secara ringan saja. Dia memasukkan masalah sosial yang
cukup penting (otoritas dosen, kerusakan moral orang tua dan sebagainya).
Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir ini merupakan novel-novel
Ashadi yang terbaik.
2. Marga T. novelis ini nampak berhasil dengan karyanya yang rapih, padat,
cermat, dalam novel-novelnya yang pendek, seperti Di Ujung Sebuah Dunia.
Tetapi dalam karyanya yang panjang seperti Badai Pasti Berlalu dia nampak
kedodoran dalam menyusun bentuk. Namun harus diakui bahwa Marga T.
selalu berhasil menyusun plot yang menarik. Ceritanya memang menarik,
tetapi jelas tidak nyata dan dibuat-buat. Rata-rata karya Marga T. dikerjakan
secara halus dan lembut, dan cerita-ceritanya indah tentang dunia muda.


43
3. Kelompok ketiga dalam barisan novel popular Indonesia adalah novel pop
remaja. Novel demikian ditulis oleh Eddy D. Iskandar sebagai pelopornya.
Novel pop remaja Eddy yang pertama bernama Cowok Komersil. Novel ini
bersetting kehidupan remaja di sekolah-sekolah menengah. Struktur cerita
mengarah pada kisah petualangan, berbeda dengan struktur cerita Marga dan
Katoppo yang lebih bulat dalam hubungan sebab akibat.
Menurut J akob Soemardjo melalui buku Novel Popular Indonesia, novel
berdasrkan sasaran pembaca dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Novel Remaja
Ciri utama jenis bacaan ini adalah setting ceritanya anak-anak sekolah
SMA atau mahasiswa di bawah sarjana muda. Tema masih sekitar percintaan
antara para pelajar. Mereka berkenalan dan dilanjutkan dengan pacaran. Dan
sekitar masa pacaran inilah suasana cerita dibangun. Biasanya suasana cerita
menjadi penuh kemesraan, penuh humor ringan yang meletup dengan nada
kecerdasan anak muda, pergaulan intim biasanya hanya sampai pada ciuman dan
tidak mempersoalkan ranjang, sopan santun masih dijaga dan sebagainya.
Protogonisnya bisa seorang gadis pelajar atau seorang perjaka. Novel jenis ini
karena diperankan oleh anak muda dan menggambarkan gaya hidup pelajar-
pelajar, maka dapat disimpulkan bahwa massa pembacanya adalah anak-anak
muda pelajar dan mahasiswa tingkat permulaan. Meluapnya pembaca remaja ini
bisa kita maklumi pula berdasarkan sinyalemen sosiologis.




44
2. Novel Kampus
Masih dekat dengan sifat-sifat novel remaja adalah novel yang bersetting
kampus. J ustru kehidupan inilah yang mula-mula muncul dalam novel pop
Indonesia (Karmila dan Cintaku di Kampus Biru). Tema utama masih cinta
asmara di antara mahasiswa. Karena protogonisnya sudah termasuk manusia
cukup dewasa, maka sifat main-main dan senda gurau dalam menghadapi
persoalan hidup ini lebih berkurang dari pada novel remaja, ini dengan tandas
terdapat pada novel remaja Yudistira Massardi Arjuna Mencari Cinta. Tetapi
dalam novel kampus keseriusan menghadi persoalan kehidupan ini mulai nampak,
dan itu jelas sekali pada novel-novel Ashadi Siregar.
3. Novel Wanita
J enis ini ditulis oleh penulis wanita yang biasanya ibu rumah tangga dan
jumlahnya makin banyak. Novel wanita bukan hanya ditulis oleh penulis wanita
tetapi juga penulis pria seperti Motinggo Busye, Saut Poltak Tambunan, Eddi
Elison, sedangkan penulis-penulis wanitanya adalah La Rose, Titiek W.S.,
Sardjono, Yati M. Wiharja, dan sebagainya.
Novel jenis ini kebanyakan berprotogonis wanita dan bermasalah sekitar
percintaan rumah tangga. Tema kebanyakan malahan problematik, bukan main-
main lagi seperti novel pembaca-pembaca anak muda. Setting kehidupan yang
digambarkan oleh pengarang wanita kebanyakan kalangan masayarakat atas di
J akarta. Kehidupan orang-orang yang berumah mewah, mobil mutakhir,
berpendidikan baik. Kehidupan keluarga yang harmonis merupakan dambaan
novel-novel wanita. Saling pengertian antara kekasih, antar suami dan istri, saling


45
menghargai dan menghormati karakter masing-masing sering merupakan
gambaran kemesraan yang mengharukan.
4. Novel Lelaki Dewasa
Novel-novel Melayu Cina yang banyak berkisar pada masalah criminal
digemari oleh pembaca lelaki dari pada wanita. Novel-novel semi pornografi juga
jelas hanya dibaca kaum lelaki. Dalam novel-novel itu wanita hanyalah
berperanan sebagai obyek, sedangkan pada novel wanita sebagai subyek yang
bahkan membicarakan juga kaum lelaki sebagai obyek. J uga jenis ini sifat novel
lebih banyak menonjolkan sifat-sifat keberanian, kejantanan, keadilan, dan
kesatriaan yang sesuai dengan kekaguman pembaca lelaki.

2.5.4 Unsur Intrinsik Novel Fiksi
2.5.4.1 Unsur Pemplotan
Plot mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya: peristiwa demi
peristiwa yang susul menyusul namun ia lebih dari sekedar jalan cerita itu
sendiri. Atau tepatnya: ia lebih dari sekedar rangkaian peristiwa. Plot adalah salah
satu unsur penting dalam membangun cerita, karena kita dapat mengerti cerita
yang terdapat dalam sebuah novel apabila pengembangan plotnya beraturan.
Pengembangan penokohan dan pelataran takkan lengkap tanpa adanya
pengembangan plot.
Abrams (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:113) mendefinisikan bahwa
plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana
yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa terbentuk untuk


46
mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Plot mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang
lain (Luxemburg dkk dalam Nurgiyantoro, 1995:117).
2. Konflik
Meredith dan Fitzgerald mengartikan konflik yaitu sesuatu yang bersifat tidak
menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang,
jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka)
tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Meredith & Fitzgerald
dalam Nurgiyantoro, 1995:122).
3. Klimaks
Stanton mengartikan klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat
intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita,
peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks sangat
menentukan (arah) perkembangan plot (Stanton dalam Nurgiyantoro,
1995:127).

2.5.4.2 Unsur Penokohan
Dalam sebuah cerpen atau prosa tentu saja takkan lengkap tanpa adanya
penokohan begitu pula dengan novel. Bagi novel yang merupakan cerita yang
berkesinambungan penokohan adalah salah satu unsur penting yang membantu


47
pengembangan plot. Karena sejalan dengan pengembangan plot tentu saja
karakter penokohan pun ikut berkembang karena setiap suatu peristiwa atau
konflik yang terjadi akan menghasilkan pengubahan perilaku pada seorang tokoh.
Menurut J ones (J ones dalam Nurgiyantoro, 1995:165), penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Penokohan mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. J ika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam pengembangan plot maka
tokoh cerita terdiri dari tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi-yang salah satu jenisnya
secara populer disebut hero-tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-
norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam
Nurgiyantoro, 1995:178).

Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang pasti berlawanan dengan tokoh
protagonis, secara langsung maupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin.
Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis bisa disebabkan karena tokoh
antagonis.
2. J ika dilihat dari perwatakannya tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh
sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat (complex atau round
character).
Tokoh sederhana dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja.
Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai sisi kemungkinan
sisi kehidupannya (Nurgiyantoro, 1995:182-183).

Misalnya tokoh tersebut diceritakan adalah seorang kaya namun pemalas atau
seorang yang pintar namun kurang pergaulan. Sedangkan Nurgiyantoro
menjelaskan bahwa tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan


48
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati
dirinya (Nurgiyantoro, 1995:183). Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang
dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan
tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan sulit
diduga. Misalnya tokoh tersebut diceritakan memiliki semuanya seperti
ketampanan, kekayaan, jabatan yang tinggi, pendidikan yang tinggi pula,
namun di satu sisi ia ternyata mengalami suatu depresi karena merasa selalu
ada yang kurang pada dirinya sehingga ia selalu haus akan kenikmatan sesaat
yang dikiranya dapat mengatasi rasa kekurangannya tersebut.
3. Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok)
manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh
tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character).
Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan
terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga,
atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia
nyata (Nurgiyantoro, 1995:190).

Misalnya seorang tokoh cerita yang mewakili kehidupan si pengarang yang
berkecimpung di dunia entertainment maka dalam kehidupan tokoh cerita pun
kehidupannya selalu berhubungan dengan dunia entertainment. Sedangkan
Nurgiyantoro mengartikan tokoh netral adalah sebagai tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner
yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Misalnya tokoh cerita
yang dulunya seorang miskin namun tiba-tiba diceritakan ia sudah menjadi
kaya mendadak karena mendapat warisan dari saudara jauh yang tidak pernah
ia temui.


49
2.5.4.3 Unsur Pelataran
Dalam pengembangan pemplotan dan penokohan tentu saja takkan
lengkap tanpa adanya pelataran, karena latar (setting) menjadi salah satu unsur
penting dalam pembangun cerita. Sebuah peristiwa akan menimbulkan efek
tertentu terhadap tokoh cerita ketika peristiwa tersebut terjadi pada situasi,
waktu, dan tempat yang tertentu. Misalnya tokoh cerita tak akan emosi apabila
suatu peristiwa terjadi pada waktu dan tempat yang tepat namun lain cerita
ketika tokoh cerita mengalami perisitiwa mengalami peristiwa pada waktu dan
situasi yang salah sehingga ia akan mengeluarkan emosi yang berlebihan.
Menurut Abrams, (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216) latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan, Pelataran mengandung unsur unsur sebagai berikut:
1. Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995:227). Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial
tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas Misalnya ketika peristiwa
tersebut terjadi ketika tokoh utama berada di sebuah hotel, restoran atau
sebuah rumah.
2. Latar Waktu
Latar Waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro,


50
1995:230). Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa
sejarah Misalnya peristiwa yang dialami tokoh utama terjadi pada tahun
keberapa ketika krisis moneter tengah terjadi di Indonesia.
3. Latar Sosial
Nurgiyantoro mengartikan latar sosial sebagai hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks (Nurgiyantoro,
1995:233). Misalnya bagaimana kehidupan sehari-hari tokoh utama yang
hidup di perkotaan dan terbiasa dengan gaya hidup metropolitan.

2.5.4.4 Unsur Gaya Bahasa
Kita dapat mengetahui bahasa dengan salah satu cirinya yaitu sebagai
serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk
berkomunikasi. Dan bahasa juga merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini
membentuk suatu arti tertentu. Kemudian manusia mengumpulkan lambang-
lambang ini dan menyusun apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata.
Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan kumpulan pemikiran dan
pengalaman mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka
punyai maka manusia dapat menkomunikasikan segenap pemikiran dan
pengalaman mereka.


51
Oleh karena itu bahasa dalam novel adalah unsur yang sangat penting
yang tak dapat ditawar lagi. Kita dapat mengetahui isi pesan yang mengandung
pemikiran, pendapat, dan pengalaman pengarang di novel tersebut dari bahasa
yang dikemukakan. Bahasa yang kaku dan formal serta denotatif untuk novel
yang tergolong non fiksi seperti biografi, autobiografi, dan sejarah, dan ada pula
bahasa yang konotatif dan emotif untuk novel yang tergolong fiksi seperti novel
populer, novel detektif, atau novel psikologis. Bahasa adalah alat utama sang
pengarang dalam menuangkan ide-idenya agar dimengerti oleh pembaca. Tentu
saja karena setiap pengarang mempunyai kepribadian dan cara penulisan yang
berbeda-beda maka gaya bahasa yang terdapat dalam novel-novel pun beragam.
Menurut Abrams (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:276) stile, (style,
gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapakan sesuatu akan dikemukakan. Abrams
menandai stile dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur
kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Unsur-
unsur stile antara lain :
1. Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi yaitu yang
mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih
oleh pengarang (Nurgiyantoro, 1995:290). Hal ini berarti suatu kata yang
banyak dipakai oleh penulis tentulah mempunyai tujuan tertentu untuk
menghasilkan efek yang diinginkan oleh pengarang.



52
2. Unsur Gramatikal
Nurgiyantoro (Nurgiyantoro, 1995:292-293) mengartikan unsur gramatikal
sebagai sturuktur kalimat. Selain itu dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga
jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna
daripada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga
dipengaruhi oleh pilihan katanya. Kalimat yang telah dibuat oleh pengarang
dalam membentuk sebuah dialog atau narasi tentu saja juga mempunyai tujuan
atau arti tertentu dan bahkan bisa saja mempunyai tujuan atau arti yang
tersembunyi dari penggunaan kalimat tersebut.
3. Retorika
Berdasarkan penjelasan Nurgiyantoro (Nurgiyantoro, 1995:295) maka yang
dimaksud dengan retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk
memperoleh efek estetis. Retorika ini dapat diperoleh melalui kreativitas
pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai
sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Bahasa yang dipergunakan oleh
pengarang dapat berbeda-beda, seperti bahasa daerah dengan dialeknya untuk
novel mengenai suatu daerah tertentu secara khusus seperti novel Siti Nurbaya
karya Marah Roesli atau bahkan bahasa filsafat untuk novel yang didalam
ceritanya mengandung sebuah filsafat seperti novel Supernova karya Dewi
Lestari. Dan bahkan ada yang menggunakan bahasa bertutur dan dicampur
dengan bahasa Inggris (American Style) seperti yang banyak digunakan dalam
novel pop, salah satunya adalah Cintapuccino karya Icha Rahmanti.



53
2.6 Model Konstruktivisme
2.6.1 Definisi Konstruktivisme
Paradigma konstruktivisme muncul melalui proses yang cukup lama
setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma positivisme
selama berabad-abad. Berdasarkan penjelasan Salim, pada awal
perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah indikator sebagai
pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa
indikator tersebut antara lain: (1) penggunaan metode kualitatif daripada metode
kuantitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data; (2) mencari
relevansi indikator kualitas untuk lebih memahami data-data lapangan; (3) teori-
teori yang dikembangkan harus lebih bersifat membumi (grounded theory); (4)
kegiatan ilmu harus bersifat natural (apa adanya) dalam pengamatan dan
menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta
berorientasi laboratorium; (5) pola-pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori
jawaban menjadi unit analisis dari variabel penelitian yang kaku dan steril; (6)
penelitian bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber informasi dan lain-
lainnya (salim, 2001:61-62).
Model berfikir konstruktivisme dalam ilmu sosial memang termasuk
dalam postpositivisme interpretif, tetapi memang agak memiliki kekhususan.
Konstruktivis sebagaimana interpretif, menolak obyektivitas. Obyektivitas
sebagaimana dianut oleh positivis mengakui adanya fakta, adanya realitas
empirik, sedangkan konstruktivis berpendapat bahwa yang ada adalah pemaknaan


54
kita tentang empiri di luar diri yang kita konstruks, empirical-constructed facts
(Muhadjir, 2000:189).
Maka gagasan utama dalam konstruktivisme adalah dimana pemaknaan
kita mengenai sesuatu yang berada di luar diri kita adalah sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pikiran kita. Sehingga realitas yang diketahui oleh kita adalah
realitas yang telah kita konstruksikan sendiri.

2.6.2 Karakteristik Konstruktivisme
Untuk dapat membedakan paradigma positivisme, postpositivisme (yang
dimasukkan ke dalam paradigma klasik), kritis, dan konstruktivisme maka penulis
mencoba menjabarkan karakteristik konstruktivisme dilihat dari dimensi-dimensi
paradigma melalui tabel di bawah ini :
TABEL 2.1
KARAKTERISTIK PARADIGMA KLASIK, KRITIS, DAN
KONSTRUKTIVISME
PARADIGMA
KLASIK
PARADIGMA KRITIS PARADIGMA
KONSTRUKTIVISME

DIMENSI
ONTOLOGIS



Critical realism :
Ada realitas yang
real yang diatur oleh
kaidah2 tertentu yang
berlaku universal;
walaupun kebenaran
pengetahuan tersebut
mungkin hanya bisa
diperoleh secara
probabilistik.
Historical realism :
Realitas yang teramati
merupakan realitas
semu (virtual reality)
yang telah terbentuk oleh
proses sejarah dan
kekuatan-kekuatan sosial,
budaya, dan ekonomi,
politik.
Relativism :
Realitas merupakan
konstruksi sosial. Kebenaran
suatu realitas bersifat relatif,
berlaku sesuai konteks
spesifik yang dinilai relevan
oleh pelaku sosial.




55

DIMENSI
EPISTEMOLOGIS

Dualist / objectivist :

Ada realitas objektif,
sebagai realitas yang
external di luar diri
peneliti. Peneliti harus
sejauh mungkin
membuat jarak dengan
objek penelitian.

Transactionalist / sub-
jectivist :
Hubungan peneliti deng-
an yang diteliti selalu
dijembatani nilai-nilai
tertentu. Pemahaman
tentang suatu realitas
merupakan value
mediated findings.

Transactionalist / subjec-
tivist :
Pemahaman suatu realitas,
atau temuan suatu penelitian
merupakan produk interaksi
peneliti dengan yang diteliti.



Observer :
Nilai, etika dan pilih-
an moral harus berada
di luar proses
penelitian.
Activist :
Nilai, etika dan pilihan
moral merupakan bagian
tak terpisahkan dari
penelitian.
Facilitator :
Nilai, etika dan pilihan
moral merupakan bagian tak
terpisahkan dari penelitian.
Peneliti berperan
sebagai disinterested
scientist.
Peneliti menempatkan diri
sebagai trans-formative
intelellectual, advokat dan
aktivis.
Peneliti sebagai passionate
participant, fasilitator yang
menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial.


DIMENSI
AKSIOLOGIS

Tujuan penelitian :
Ekspalanasi, prediksi,
dan kontrol realitas
sosial.
Tujuan penelitian : kritik,
sosial, transformasi,
emansipasi dan social
empowerment.
Tujuan penelitian :
rekonstruksi realitas sosial
secara dialektis antara
peneliti dan yang diteliti.
Interventionist :
Pengujian hipotesis
dalam struktur
hypothetic-deductive
method; melalui lab.
eksperimen atau
survey eksplanatif,
dengan analisis
kuantitatif.

Participative :
Mengutamakan analisis
Komprehensif;
kontekstual, dan multi-
level analysis yang bisa
dilakukan melalui
penempatan diri sebagai
aktivis / partisipan dalam
proses transformasi sosial.

Reflective / Dialectical :
Menekankan empati, dan
interaksi dialektis antara
peneliti-responden untuk
merekonstruksi realitas yang
diteliti, melalui metode-
metode kualitatif seperti
participant observation.












DIMENSI
METODOLOGIS
Kriteria kualitas
penelitian :
Objectivity, reliability
and validity (internal
dan external validity).

Kriteria kualitas
penelitian :
Historical situatedness:
Sejauhmana penelitian
memperhatikan konsteks
histories, sosial, budaya,
ekonomi dan politik.
Kriteria kualitas penelitian
:
Authencity dan reflectivity:
Sejauh mana temuan
merupakan refleksi otentik
dari realitas yang dihayati
oleh para pelaku sosial.



56
Sumber: Adaptasi dari Dedy N. Hidayat, Metodologi Penelitian dalam Sebuah Multi-Paradigm Science, Mediator
,J urnal Komunikasi, Vol. 3, No. 2, 2002, hlm. 204-205.



2.6.3 Konstruktivisme dalam Media Massa
Pandangan konstruktivisme melihat realitas sebagai hasil konstruksi
manusia atas realitas (Eriyanto, 2001:54) maka konstruktivisme menganggap
manusia sebagai faktor utama yang menentukan untuk menafsirkan dan
mengkonstruksikan realitas. Kemudian pandangan konstruktivisme menganggap
realitas yang terdapat dalam media massa adalah realitas yang telah
dikonstruksikan, seperti yang dikemukakan Eriyanto bahwa konstruktivisme
justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta
hubungan sosialnya (Eriyanto, 2001:5). Hal tersebut menjelaskan bahwa
konstruktivisme menganggap bahwa ketika realitas dikonstruksikan melalui
media massa, di baliknya ada subjek sebagai pelaku utama yang mengontrol
makna-makna yang diproduksi untuk masyarakat. Subjek sebagai pelaku utama
yang berupa individu atau kelompok yang bernaung di bawah bendera media
massa mengonstruksi realitas baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
menghasilkan suatu produk media massa untuk dikonsumsi masyarakat.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai penilaian sendiri bagaimana
media, wartawan, dan berita dilihat. Namun berkaitan dengan penelitian ini maka
peran wartawan dapat disamakan dengan peran pengarang novel karena mereka
sama-sama mengkonstruksi realitas melalui tulisannya, dan berita yang ditulis
oleh wartawan disamakan dengan teks novel yang ditulis oleh pengarang.
Penilaian tersebut akan diuraikan satu persatu di bawah ini:


57
1. Fakta / peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi konstruksionis fakta
merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif,
berlaku sesuai konteks tertentu (Eriyanto, 2002:20). Realitas yang hadir dalam
suatu media dikarenakan adanya konsep subjektif wartawan atau pengarang.
Realitas yang ada tercipta lewat suatu konstruksi dengan sudut pandang
tertentu yaitu tergantung bagaimana realitas tersebut dipahami oleh wartawan
atau pengarang. Karena itulah kebenarannya disebut relatif dan berlaku pada
konteks tertentu.
2. Media adalah agen konstruksi. Konstruksionis menganggap bahwa media
sebagai agen konstruksi pesan (Eriyanto, 2002:23). Dalam pandangan
konstruksionis media bukanlah sekedar saluran yang bebas dan netral tetapi di
baliknya ada subjek yang mengonstruksi realitas lengkap dengan pandangan,
bias dan pemihakannya. Dengan suatu cara media memilih mana realitas yang
akan diambil untuk ditampilkan kepada khalayak dengan tujuan dan makna
tertentu di dalamnya. Teks novel yang kita baca bukan menggambarkan
sebuah realitas namun merupakan konstruksi media itu sendiri. Maka karena
itulah Eriyanto menegaskan bahwa media dikatakan sebagai agen konstruksi
sosial yang mendefinisikan realitas.
3. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi realitas. Dalam
pandangan konstruksionis, berita tidak mungkin merupakan cermin dan
refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas
realitas (Eriyanto, 2002:25). Maka seperti yang disebutkan di atas, berita atau
teks novel adalah hasil dari konstruksi realitas di mana terdapat pandangan,


58
gagasan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan / pengarang dan media. Semua
proses konstruksi yang bermula dari memilih fakta sebagai latar belakang,
sumber, pemakaian kata, gambar, sampai pengeditan memberi kontribusi
bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.
4. Berita bersifat subjektif / konstruksi atas realitas. Pandangan konstruksionis
melihat berita bersifat subjektif : opini tidak dapat dihilangkan karena ketika
meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif
(Eriyanto, 2002:27). Mengacu dari penjelasan di atas, maka berita atau teks
novel merupakan sebuah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas,
dan itu semua tidak terlepas dari perspektif dan pertimbangan wartawan ketika
meliput atau ketika pengarang sedang menulis secara subjektif. Karena itulah
produk media yang dihasilkan oleh wartawan atau pengarang tidak bersifat
netral atau objektif namun bersifat subjektif.
5. Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi sosial. Pandangan
konstruksionis melihat wartwan sebagai partisipan yang menjembatani
keragaman subjektifitas pelaku sosial (Eriyanto, 2002:29). Dari keterangan di
atas, wartawan atau pengarang adalah agen konstruksi realitas karena ia
merupakan bagian intrinsik dalam pembentukan berita atau teks novel yaitu
dari proses produksi dan organisasi serta interaksi antara wartawannya atau
pengarangnya. Realitas yang terbentuk adalah hasil dari relasi antara
wartawan atau pengarang dengan sumber dan lingkungan sosial yang
membentuknya. Karena itulah wartawan atau pengarang disebut partisipan
yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.


59
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan waratwan adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Pandangan konstruksionis melihat nilai, etika,
atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan
pelaporan suatu penelitian (Eriyanto, 2002:32). Dari keterangan di atas, nilai,
etika, atau keberpihakan wartawan atau pengarang tidak bisa dipisahkan dari
proses peliputan hingga penulisan berita begitu pula yang terjadi dengan
pengarang novel yang berawal dari proses pengumpulan data hingga penulisan
teks novel. Karena wartawan atau pengarang adalah seorang manusia yang
tentu saja tak bisa lepas dari nilai dan keyakinan yang dianutnya dalam
lingkungan sosialnya sehingga di dalam pelaporan hasil liputan dari wartawan
atau hasil tulisan yang berupa teks novel dari pengarang mengandung nilai,
etika, dan keberpihakannya terhadap suatu kelompok, lembaga atau
perusahaan dimana ia berada.
7. Nilai, etika, dan pilhan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam
penelitian. Pandangan konstruksionis melihat nilai, etika, dan pilihan moral
adalah bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian (Eriyanto, 2002:35).
Berdasarkan keterangan di atas, peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai
karena ada nilai, etika, dan pilihan moral yang menyertai dalam penelitian
karena peneliti ikut berinteraksi dengan objek penelitian agar ia dapat
menafsirkan, mengerti, serta memahami hal-hal yang terdapat dalam objek
penelitian sehingga ia dapat merekonstruksi kembali apa realitas yang telah
dikonstruksikan oleh penelitian.


60
8. Khalayak mempunyai penafsiran sendiri atas berita. Pandangan
konstruksionis menganggap bahwa khalayak mempunyai penafsiran sendiri
yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita (Eriyanto, 2002:35). Dari
keterangan di atas, khalayak bukanlah subjek yang pasif namun ia juga aktif
dalam menafsirkan apa yang ia baca. Seperti yang dikemukakan oleh Stuart
Hall (dalam Eriyanto, 2002:36) bahwa makna dari suatu teks bukan terdapat
dalam pesan atau berita yang dibaca oleh pembaca. Setiap individu
mempunyai opini yang berbeda ketika mendengar suatu informasi atau
membaca buku karena kesemuanya bergantung dari apa pendidikan,
lingkungan keluarga, keyakinan, dan nilai-nilai dalam lingkungan sosial
khalayak. Sehingga masing-masing meresepsi pesan baik berbentuk verbal
maupun non verbal dengan pikiran yang berbeda-beda pula. Begitu pun yang
terjadi dengan pembaca novel, belum tentu pembaca novel memaknai teks
novel sesuai apa yang diinginkan oleh pengarang.
Paul Ricoeur menegaskan bahwa fiksi mempunyai kekuatan mencipta
ulang realitas khususnya dalam kerangka fiksi naratif (Ricoeur dalam Piliang,
2004:74) maka sebuah konstruksi realitas yang telah ditampilkan pengarang
dalam novelnya akan mengakibatkan adanya sebuah refleksi realitas yang
ditangkap oleh pembaca. Konstruksi realitas tersebut dianggap pembaca telah
mewakili realitas yang ada dalam masyarakat namun tentu saja kesemuanya
adalah sebuah realitas semu yang diciptakan oleh penulis yang disesuaikan
dengan konstruksi realitas dalam dirinya sendiri.



61
2.7 Tinjauan mengenai Posmodernisme
2.7.1 Sejarah Posmodernisme
Dengan melihat garis besar sejarah kebudayaan Barat, yaitu Zaman Purba
(abad 9-500 SM), Zaman Pertengahan (500-1500 SM), dan Zaman Modern (1500-
sekarang) maka Zaman Posmodern belumlah dianggap zaman yang berdiri
sendiri. Posmodern pada dasarnya masih merupakan bagian integral zaman
modern. Zaman Purba, yang lebih dikenal dengan Zaman Klasik (dari kata
clasicus, yang secara etimologis sesungguhnya berarti besar atau utama), mulai
dengan lahirnya penulis ephos Homerus dengan karyanya yang terkenal Illias dan
Odyssee, yang dilanjutkan dengan Zaman Plato (429-347 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM), dan berakhir dengan runtuhnya kekaisaran Romawi Barat tahun
476. Zaman pertengahan, sesuai dengan namanya, adalah masa 1000 tahun antara
tahun 500 hingga tahun 1500, diakhiri dengan jatuhnya kekaisaran Romawi Timur
atau direbutnya Constantinopel oleh Turki tahun 1453, sekaligus penemuan benua
Amerika oleh Colombus tahun 1492. Zaman Pertengahan didominasi oleh ajaran
Kristiani, oleh karena itulah, Zaman Pertengahan juga disebut Zaman Patristik. Di
samping itu, sejak abad ke-14, diawali oleh pengarang Petrarca (1304-1374) dan
Boccacio (1313-1375), Abad Pertengahan juga diwarnai oleh usaha-usaha
penemuan kembali kebudayaan lama, yaitu kebudayaan klasik itu sendiri. Oleh
karena itulah, Zaman Pertengahan disebut juga dengan Zaman Renaisssance atau
Zaman Humanisme, sebagai masa kebangkitan kembali kebudayaan dan manusia
lama.


62
Dalam kesusastraan, khususnya tradisi sastra Abad Pertengahan, pengaruh
kebudayaan klasik inilah melahirkan Aliran Klasik. Zaman Modern merupakan
Zaman penemuan dalam berbagai bidang kehidupan yang pada gilirannya
mengantarakan manusia ke puncak peradabannya. Zaman Modern ditandai
dengan dimanfaatkannya metode eksperimental dan matematis, sekaligus
ditinggalkannya secara definitif visi Aristotelian. Beberapa perintis, diantaranya:
Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolas Copernicus (1473-1543), J ohannes
Kepler (1571-1630), Galileo Galilei (1564-1643), Francis Bacon (1561-1623), dan
sebagainya. Meskipun demikian, yang dianggap sebagai bapak filsuf modern
adalah Rene Descartes (1596-1650) dengan semboyannya cogito ergo sum (saya
berpikir, saya ada). Sejarah intelektual Barat, termasuk sejarah sastranya dengan
demikian memiliki perkembangan yang sangat panjang, berakar dalam
kebudayaan Yunani dan Romawi kuno, tersebar dalam Abad Pertengahan dan
Abad Modern, hingga Abad Kontemporer.
Modern, dari kata modo (Latin), berarti baru saja, jelas sangat sulit untuk
dikaitkan dengan Zaman Modern yang berlangsung hampir selama 500 tahun.
Oleh karena itulah, timbul pendapat bahwa baik istilah modern maupun
posmodern diartikan sebagai aktivitas pada saat suatu kemajuan berhasil untuk
dicapai. Posmodern, misalnya, terkandung dalam setiap aktivitas, dalam hubungan
ini aktivitas modernisme, di mana di dalamnya terkandung suatu pembaruan.
Modernisme dan posmodernisme dalam sastra berkaitan dengan ciri-ciri
karya sastra, sebagai aliran, bukan teori. Sebagai aliran modernisme dan
posmodernisme, maka karya sastra tumpang tindih dengan seni lukis dan filasafat.


63
Hubungan dengan gejala pertama terjadi oleh karena keduanya dihasilkan melalui
sistem informasi dan tujuan estetika yang sama. Perbedaannya, seni lukis sebagai
kualitas seni ruang sedangkan sastra sebagai kualitas seni waktu. Ciri-ciri yang
juga mendasari perbedaan antara modernisme dengan posmodernisme tidak
menunjukkan garis yang jelas, tidak hitam putih (Ratna, 2004:148-150).
Ratna (2004:151) lebih lanjut mengemukakan modernisme dan
posmodernisme merupakan dua gejala yang saling melengkapi, posmodernisme
tidak menghancurkan modernisme, posmodernisme hanya membangkitkan
kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan
terlalaikan. Semua yang terlupakan tersebut bagi kelompok posmodernisme tetap
memiliki fungsi, yang dengan sendirinya juga harus diberikan arti.
Timbulnya posmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan
modernisme dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai
kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan pada umumnya. Menurut Pauline M. Rosenau (dalam Ratna,
2004:151-152), kegagalan tersebut paling sedikit meliputi lima aspek, di
antaranya: a) kegagalan dalam mewujudkan perbaikan dalam berbagai bidang, b)
modernisme gagal dalam melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas, misalnya, penggunaan referensi-referensi yang
mendahului penelitian, c) dalam perkembangan teori modern sering terjadi
kontradiksi antara teori dan fakta, d) ilmu pengetahuan modern ternyata tidak
mampu untuk menanggulangi kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologinya, e) ilmu pengetahuan


64
modern terlalu menekankan pada dimensi fisik, mengabaikan dimensi mitis, dan
metafisika yang lain.
Lebih lanjut Ratna menegaskan bahwa posmodernisme muncul untuk
mengoreksi linearitas modernisme. Tujuannya jelas untuk mengembalikan
kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, di luar wacana hegemoni.
Sebagaimana diketahui baik secara teoretis konseptual maupun praktis pragmatis,
Barat dianggap sebagai sesuatu yang universal dan superior, yang secara
keseluruhan mensubordinasikan dunia non-Barat. Konsekunsinya adalah Barat
seolah-olah memaksakan agar dunia Timur menyesuaikan diri dengan dunia
Barat. Dalam hubungan inilah posmodernisme mengemukakan konsep relativisme
budaya sehingga gejala yang selama ini dianggap berada di luarnya dapat
dipertimbangkan kembali.
Hal ini berarti menunjukkan bahwa posmodern masih merupakan bagian
dari modernisme namun tentu saja ada perbedaan yang mendasar dalam berbagai
segi tergantung bagaimana sudut pandang dari yang melihatnya. Agar lebih jelas
maka kita akan mencoba membedakannya melalui ciri-ciri posmodernisme
apabila dibandingkan dengan modernisme.

2.7.2 Ciri-ciri dan Kritik bagi Posmodernisme
Untuk dapat membedakan posmodernisme dengan modernisme maka
Robert Dunn (Ratna, 2004:151) mencoba mengemukakan ciri-ciri posmodernisme
antara lain :


65
1. Pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi,
dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dari seniman ke penikmat.
2. Pergeseran dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan (populer),
dari kedalaman ke permukaan, dari universal ke partikular.
3. Kebangkitan kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an.
4. Munculnya politik representasi periode 1970-an yang menentang struktur
otoritas.
5. Dan kebangkitan kembali tradisi primordial, dan nilai-nilai masyarakat lama
lainnya.
Penjelasan ciri-ciri posmodernisme di atas akan lebih dijelaskan lagi oleh
penulis dengan melihatnya dari budaya populer yang menandai adanya
posmodernisme. Namun posmodernisme ini juga menuai kritik karena dianggap
hanyalah sebagai sebuah gagasan saja yang digunakan oleh kaum anti
modernisme.
Ariel Heryanto menjelaskan (dalam Ratna, 2004:153-154) bahwa sebagai
gerakan yang baru, posmodernisme dikritik dengan berbagai alasan, di antaranya:
a) posmodernisme dianggap sebagai relativisme, atau sebagai sekedar metode
kritik, dan tradisi ini sudah lama ada di Indonesia, b) sebagai gerakan yang
bersifat relatif, maka posmodernisme dianggap menawarkan konsep apa saja
bisa terjadi , c) posmodern juga dituduh terlalu sempit, dikonstruksi, misalnya,
dianggap sebagai konsep yang menghancurkan segala sesuatu yang sudah ada, d)
posmodern lahir terlalu dini, sementara masalah-masalah yang berkaitan dengan
modernisme pun belum tuntas, e) posmodernisme sulit dipahami. J adi sebenarnya


66
dalam kenyataannya, di Indonesia sendiri posmodernisme belum dapat dipahami
sepenuhnya oleh masyarakat. Bagi masyarakat sendiri era yang terjadi masih
disebut era modernisme walaupun di kalangan sebagian ahli ada yang
mengatakan bahwa sekarang yang terjadi adalah era posmodernisme.

2.7.3 Posmodernisme dan Budaya Populer
Seperti yang telah dikemukakan oleh Robert Dunn bahwa adanya
pergeseran nilai yang ada di posmodernisme yaitu seperti dari pencipta ke
penerima, atau dari produksi ke konsumsi. Hal tersebut terlihat dari adanya
budaya konsumerisme yang kini tengah melanda masyarakat. Sebagian besar
masyarakat enggan untuk memproduksi sesuatu seperti pada beberapa waktu
terdahulu dimana masyarakat sedang giat untuk membangun infrastruktur
material seperti jalan-jalan, pabrik, mesin, pembangkit energi, sistem komunikasi,
dan sebagainya.
Seperti kita lihat di Indonesia (yang kini telah terkena dampak
posmodernisme Barat) banyak sekali pembangunan jalan-jalan yang terlantar atau
macet seperti proyek pembangunan jalan tol yang berada J akarta sebagai kota
metropolitan dan Bandung terbilang sangat sedikit. Dahulu banyak sekali
industri-industri yang berdiri baik industri kecil, menengah, dan besar yang ada di
Indonesia. Namun perindustrian tersebut kini sedang mengalami kelesuan karena
masyarakat lebih memilih mengimpor dari luar negeri. Masyarakat menjadi lebih
senang untuk menjadi penikmat suatu objek yang baru dan mutakhir dari negara
lain tanpa ingin menjadi penciptanya. Dalam sistem informasi dan komunikasi


67
kini sedang berkembang seperti media massa, iklan, pemasaran, kartu kredit, dan
berbagai hubungan masyarakat lainnya, demikian juga budaya populer seperti
televisi, video, komputer, taman hiburan, pusat perbelanjaan, sastra populer, dan
lain sebagainya menjadi penting.
Adanya pergeseran yang ada dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai
permainan (populer). Hal tersebut dapat kita lihat di Indonesia dimana adanya
kejuaraan sepak bola lebih diminati daripada olimpiade fisika atau kimia. Padahal
kita lebih mendapatkan gelar juara dalam olimpiade fisika kemarin daripada
kejuaran sepak bola yang selalu kalah karena kurang berkualitasnya pemain
sepak bola dalam negeri.
Kemudian kita pun lebih menghargai sesuatu yang terlihat bagus pada
penampilan luarnya saja dibanding kedalaman isinya. Di Indonesia orang-orang
lebih menghargai penampilan wanita karier berusia muda dan menawan yaitu
wajah yang cantik, tubuh yang langsing dan seksi, serta kulit yang putih dan
mulus namun sebenarnya ia tidak mempunyai wawasan luas, dibandingkan
wanita setengah baya dengan penampilan seadanya tetapi telah banyak
mempelajari sesuatu dari berbagai pengalaman kehidupan yang didapatnya.
Orang Indonesia mungkin lebih mengenal Sarah Azhari sebagai pemain sinetron
yang seksi dibandingkan Ma Eroh yang dahulu pernah mendapatkan hadiah
kalpataru dari pemerintah karena usahanya dalam melindungi lingkungan.
Di Indonesia pun film-film yang ada sekarang telah mengalami pergeseran
tema, kini dalam sinetron yang ada setiap hari saja kebanyakan bertema yang
tidak terlalu serius seperti bertema pergaulan anak muda dalam hal cinta dan


68
persahabatan saja. J arang sekali ada sinetron yang membahas mengenai
perjuangan anak-anak yang berada di bawah garis kemiskinan agar bisa sekolah
atau bagaimana perjuangan para orang tua dalam mendidik anaknya. Hal ini pun
dapat terlihat dari maraknya film-film Indonesia yang bertema cinta, seperti Ada
Apa Dengan Cinta (AADC), Andai Ia Tahu, 30 Hari Mencari Cinta, Eiffel I`m In
Love, Virgin, Brownies, Ungu Violet, Cinta Silver, dan masih banyak lagi film
bertema serupa yang belum beredar di pasaran.
Kemudian adanya nilai-nilai estetis periode 1960-an yang bangkit kembali,
seperti yang dapat kita lihat dalam seni arsitektur , seni musik dan desain pakaian.
Dalam seni arsitektur banyak yang mengadopsi gaya arsitekstur pada tahun 1960-
an tetapi tidak secara keseluruhan hanya dalam ide dasarnya saja, seperti langit-
langit yang tinggi dengan ventilasi yang banyak agar pertukaran udara lebih lancar
tetapi bagian luarnya adalah gaya arsitektur yang modern. Dalam seni musik pun
ada sebuah perpaduan antara era 60-an dengan sekarang. Di Indonesia saja banyak
band-band yang mengusung konsep 60-an namun disesuaikan dengan pop masa
kini, sebutlah band-band indie yang ada sekarang yang selalu dipakai untuk
membuat soundtrack film Indonesia, seperti Mocca dan ten 2 five. Selain itu
desain pakaian yang sedang menjadi trend pun bergeser kepada perpaduan antara
tahun 60-an dengan masa kini, seperti untuk wanita kini sedang trend adalah rok
di atas lutut dengan model bertingkat-tingkat dan mengembang serta lain
sebagainya.
Maka pernyataan di atas adalah sebuah gagasan bahwa di dalam kondisi
posmodernisme menjadi lebih sulit untuk memilih antara ekonomi dengan budaya


69
populer. Bidang konsumsi -apa yang kita beli dan apa yang menentukan apa yang
kita beli- semakin dipengaruhi oleh budaya populer. Konsumsi semakin terikat
dengan budaya populer karena budaya populer semakin menentukan konsumsi.
Di Indonesia posmodernisme dapat dilihat dari adanya budaya populer
yang dikonstruksikan melalui media massa seperti yang kemukakan oleh Strinati
(2004:256) dalam bukunya bahwa:
Posmodernisme dikatakan menguraikan lahirnya suatu tatanan sosial di
mana arti penting maupun kekuatan media massa dan budaya populer yang
berarti kesemuanya itu mengatur dan membentuk segala macam hubungan
sosial. Gagasannya adalah bahwa tanda-tanda budaya populer maupun
citra media semakin banyak mendominasi rasa realitas kita, maupun
bagaimana kita mendefinisikan diri kita maupun dunia sekitar kita.


Kutipan di atas dapat diartikan bahwa, posmodernisme dapat dilihat
melalui budaya populer dalam media massa. Gagasan dalam posmodernisme
adalah bagaimana media massa memainkan peranan dalam mengonstruksi realitas
kita yang didalamnya ada citra, gaya, gaya hidup, dan ideologi agar sesuai dengan
realitas yang ditampilkan oleh media massa dalam bentuk unsur-unsur budaya
populer. Namun sebenarnya posmodernisme itu sendiri memang merupakan
refleksi dari keinginan masyarakat itu sendiri dalam mendefinisikan dirinya
sehingga tanpa disadari, posmodernisme kini telah berada di dalam kehidupan kita
sehari-hari seperti musik, film, arsitektur, dan yang lainnya. Mc Quail pun
menegaskan bahwa media pun seringkali menyerap budaya pop untuk
kepentingan isi dan bentuknya. Budaya tersebut tercermin dalam media dan
kadangkala ditampilkan dalam bentuk yang telah disesuaikan oleh rakyat sendiri
(Mc Quail, 1987, 38).


70
Media memainkan peranan dalam mengonstruksi rasa kita akan realitas
sosial, maupun rasa kita sebagai bagian dari realitas ini (Curran dkk & Bennet
dalam Strinati, 2004:257). Masyarakat menganggap media adalah sebuah cermin
yang merefleksikan realitas yang ada di dalam masyarakat, padahal apa yang telah
ditampilkan oleh media adalah hasil dari sebuah konstruksi oleh pelaku utama
yang bernaung dalam media.
Salah satu implikasi penting butir pertama adalah bahwa di dalam dunia
posmo, tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting (Strinati, 2004: 257).
Gagasan dalam posmodernisme adalah bahwa kita semakin sering mengkonsumsi
citra maupun tanda itu sendiri dan bukannya manfaatnya atau nilai-nilai lebih
dalam yang mungkin terdapat di dalam sebuah simbol. Hal ini tampak nyata pada
budaya populer itu sendiri di mana permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan
sifat main-main dan senda gurau, dikatakan mendominasi dengan mengorbankan
isi, substansi, dan makna.

2.8 Tinjauan mengenai Budaya Populer
2.8.1 Definisi Budaya Populer
Secara sederhana budaya populer lebih sering disebut dengan budaya pop
adalah apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu pakaian,
film, musik, makanan, semuanya termasuk dalam bagian dari kebudayaan
populer. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Music Television (MTV)
adalah budaya yang nge-pop. Ada pula yang beranggapan bahwa gaya hidup
terkinilah yang disebut dengan budaya pop.


71
Secara sederhana, budaya populer -lebih sering disebut dengan budaya
pop- adalah apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu
pakaian, film, musik, makanan, semuanya termasuk dalam bagian dari
kebudayaan populer. Sebelum menjelaskan lebih jauh maka penulis akan
membahas definisinya satu persatu.
Definisi dari popular/populer adalah diterima banyak orang, disukai atau
disetujui oleh masyarakat banyak. Sedangkan definisi budaya adalah satu pola
yang merupakan kesatuan dari pengetahuan, kepercayaan serta kebiasaan yang
tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan menyebarkannya ke
generasi selanjutnya. Selain itu, budaya juga dapat diartikan sebagai kebiasaan
dari kepercayaan, tatanan sosial dan kebiasaan dari kelompok ras, kepercayaan
atau kelompok sosial (dari http://www.sekitarkita.com).
Berdasarkan penjelasan J ames Lull, bahwa pop dalam budaya pop
sesungguhnya berarti bahwa impuls-impuls dan citra budaya berasal dari
lingkungan sehari-hari dan kemudian diperhatikan, diinterprestasi, dan dipakai
oleh orang-orang biasa -kadang-kadang, tetapi tidak selalu, dengan cara-cara yang
sangat bertentangan- setelah dikomoditaskan dan diedarkan oleh industri
kebudayaan dan media massa (Lull,1998:87). Media massa menjadi alat yang
utama bagi budaya populer untuk menyiarkan, mempromosikan serta
menerangkan dan memperantarai budaya populer ke dalam kehidupan sehari-hari
di masyarakat, agar masyarakat terus mengkonsumsi produk-produk kebudayaan
pop.


72
Terkadang sebagian besar masyarakat yang mengkonsumsi budaya
populer selalu menjadi kontroversi bagi orang lain, apakah kaum itu intelektual,
para pemimpin politik ataupun para ahli agama. Orang-orang lain ini seringkali
memiliki pandangan bahwa kalangan masyarakat awam ini seharusnya secara
ideal mengisi hidupnya dengan sesuatu yang lebih bermakna atau lebih berharga
dari budaya populer. Berbagai macam kontroversi yang bisa jadi timbul karena
adanya hal-hal yang berkenaan dengan kriteria yang disetujui untuk menentukan
apa yang seharusnya dikonsumsi masyarakat.
Dari perkembangannya, banyak orang yang menilai perkembangan budaya
pop berdasarkan pada media. Lalu, pengaruh Barat yang juga sangat kuat dalam
berbagai negara. Terlepas dari pengaruh Barat, media memang menjadi alat utama
yang mempunyai peranan penting dalam penyebaran gagasan tentang budaya
pop. Ini dapat terlihat dari iklan-iklan mereka yang menjual satu kebiasaan atau
produk yang nantinya akan menjadi satu kebiasaan populer.

2.8.2 Perkembangan Budaya Populer
Banyak hal yang bisa mempengaruhi perkembangan budaya pop di tengah
masyarakat. Dari penelitian yang dilakukan oleh salah satu sekolah di Kanada,
terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi, antara lain: (Dari
http://www.sekitarkita.com)
1. Hiburan
Manusia membutuhkan hiburan dalam hidupnya. Menonton televisi dan
membaca media cetak dapat dikatakan kebiasaan yang paling populer di


73
semua negara. Berbagai macam jenis hiburan dapat dikatakan kebiasaan yang
paling populer di semua negara. Berbagai macam jenis hiburan dapat
disediakan oleh media massa. Secara tidak langsung, sadar atau tidak sadar,
kita akan terbawa dengan apa yang muncul dalam hiburan tersebut.
2. Makanan
Banyak sekali jenis makanan yang menjadi populer di tengah-tengah
masyarakat. Kita sebut saja Mc Donalds, KFC, Dunkin Donuts, Coke, Pepsi,
Pizza Hut dan sebagainya. Banyak orang yang menjadikannya sebagai pilihan
makanan utama saat makan siang ataupun dalam kesempatan lainnya.
Makanan-makanan tersebut sepertinya telah menjadi bagian hidup dari
masyarakat Indonesia. Walaupun kita tahu bersama terkadang orang makan
/minum hanya dengan pertimbangan gengsi.
3. Fashion
Khusus untuk fashion, dapat dikatakan faktor yang paling mudah diterima.
Kita bisa lihat dari berkembangnya berbagai merek seperti Nike, GAP, Levi`s,
Lea, Tommy, dan banyak lagi yang digemari dan kerap kali menjadi ukuran
dalam pergaulan. Cara berpakaian, pernak-pernik, dan potongan rambut,
terkadang menjadi mode yang harus diikuti.
4. Gaya hidup
Penggunaan anting, tatto, telepon selular (ponsel) merupakan salah satu gaya
hidup yang paling mudah kita temui di kalangan remaja. Selain itu, memiliki
kendaraan pribadi, baik itu mobil maupun motor seperti sudah menjadi hal
yang wajib dalam kehidupan sehari-hari.


74
5. Musik
Siapa yang tidak kenal dengan Westlife atau Britney Spears? Mereka
merupakan penyanyi yang mempunyai daya tarik tersendiri terhadap remaja
saat ini. Banyak remaja yang senang pada penampilan atau musiknya saja.
Remaja yang cenderung senang terhadap lagu yang mempunyai beat / irama
ceria. Mereka cenderung melihat para penyanyi tersebut sebagai contoh yang
baik dalam kehidupannya. Mandiri, percaya diri, kaya, berhasil, cantik dan
sekian banyak alasan lainnya.
6. Tempat terkenal
Banyak orang yang memilih tempat seperti Mall, Caf, dan tempat sejenis
lainnya untuk menghabiskan waktu. Kebiasaan remaja untuk menghabiskan
waktu di Mall, eksekutif muda di Caf yang menyediakan kopi,
memghilangkan kepenatan di Caf seperti Hard Rock dan tempat yang sejenis
merupakan kebiasaan yang paling mudah kita temui saat ini.

2.9 Gaya Hidup Posmo
2.9.1 Posmodernisme dalam Konstruksi Media
Sebagai salah satu akibat dari budaya populer, adalah adanya gaya hidup
posmo. Gaya hidup posmo merupakan akibat yang dapat dilihat dan dirasakan
secara langsung. Dan hal tersebut terjadi karena adanya peranan yang sangat besar
dari media massa. Tak bisa dibayangkan apabila manusia masa kini hidup tanpa
media massa, baik itu media cetak ataupun media elektronik. Media massa telah
menjadi bagian dari hidup manusia. Dengan media massa terjadi interaksi tak


75
langsung antar manusia. Lewat media massa pula manusia memperoleh hampir
segala informasi kejadian yang ada di planet bumi ini.
Media massa menjadi mantra ampuh untuk mempengaruhi pandangan
masyarakat. Lewat media massa seseorang bisa langsung menjadi public figure.
Namun media massa pula yang bisa menghancurkan reputasi individu. Besarnya
pengaruh media massa terhadap opini publik telah membawa pengaruh bagi gaya
hidup masyarakat. Terlebih lagi individu. Maka dengan mengacu dari sesuatu
yang ditampilkan oleh media massa, masyarakat mempunyai anggapan bahwa apa
yang ditampilkan oleh media massa adalah suatu kebaruan. Banyak individu yang
takut apabila dirinya tidak mengikuti apa yang ditampilkan oleh media massa,
maka akan dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman. Padahal itu semua
hanyalah persepsi masing-masing yang berbeda dari individu itu sendiri.
Maka dalam kehidupan kita sehari-hari media massa tak terpisahkan dalam
gaya hidup kita. Media massa turut menentukan tren, dengan menampilkan trend
setters maupun menampilkan unsur-unsur gaya hidup yang sedang ngetren.
Sementara itu makin tinggi posisi kita dalam masyarakat, apalagi jika menjadi
public figure, makin besar kemungkinan kita menjadi trend setters dan sorotan
publik, yang berarti harus berhati-hati dalam menjaga public image. Gaya hidup
pun harus sesuai dengan image tersebut dan peran media massa sebagai
perpanjangan alat indra khalayak sangat besar dalam menentukan public image
tersebut.
Suatu fakta/ opini ditawarkan oleh media. Sajian itu cuma
dibaca/didengar/ditonton oleh orang di kota. Karena sifat penyajiannya
yang direstriksi oleh peraturan, gambaran yang disampaikan oleh media
itu tidak lengkap. Karena terbiasa dengan kondisi restriktif itu, sang


76
pembaca/pendengar/penonton yang orang kota itu terbiasa pula untuk
menelan sajian media itu secara tidak kritis (Yatim dalam Ibrahim-
Suranto, 1998:135).

Maka seperti yang telah dikemukakan oleh Debra H. Yatim di atas,
kebanyakan masyarakat (pembaca/pendengar/penonton) di perkotaan hanya
menerima secara bulat-bulat apa yang telah ditampilkan oleh media tanpa
mengolah informasi tersebut terlebih dahulu. Masyarakat bersikap pasrah dalam
menerima apa yang media sajikan mengenai sesuatu yang tengah terjadi di
sekelilingnya. Masyarakat tidak mengetahui bahwa apa yang ada di media tentu
saja mengandung sebuah maksud tertentu yang sebelum diproduksi telah
direncanakan secara matang oleh subjek, baik secara individu maupun kelompok
yang berada di dalam perusahaan media massa.
Media mempunyai kepentingan yang paling utamanya adalah kepentingan
perusahaan media itu sendiri agar bisa bertahan dalam persaingan yang ketat baik
dalam kepentingan politik maupun kepentingan bisnis. Atas nama kebenaran
milik perusahaan media itulah realitas yang ditampilkan oleh media. Seperti yang
dikemukakan oleh Karlina Leksono bahwa:
Media bukan hanya menentukan realitas macam apa yang akan
mengemuka, tetapi juga siapa saja yang layak dan tidak layak masuk
menjadi bagian dari realitas itu. Dan media juga menunjukkan bukan
hanya apa yang dapat dan harus dipikirkan tetapi juga bagaimana
masyarakat harus berpikir mengenai realitas (Leksono-Supelli dalam
Ibrahim-Suranto, 1998:135).

Dalam hal ini yang lebih sering menjadi korban adalah perempuan.
Bagaimana konsep-konsep yang ditampilkan oleh media dan diterima tanpa
kekritisan tampak misalnya ketika media mewawancarai seorang perempuan yang
sukses dalam profesinya. Perempuan tersebut akan selalu ditampilkan dalam


77
konteks keberhasilannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul selalu saja
berhubungan dengan bagaimana membina karier dan menyeimbangkannya
sehingga berhasil sebagai istri, ibu, atau tetap feminin, seakan-akan tanpa itu
keberhasilan perempuan belum lengkap. Hal tersebut sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Debra yaitu :
baik koran, majalah, televisi, maupun radio gemar menyuguhkan ulasan
mengenai perempuan yang berprestasi. Profil wanita karier, lembar
wanita, wanita sukses- apa pun namanya, rubrik profil umumnya mencoba
menampilkan sosok yang sangat berhasil, yang kebetulan ber-gender
perempuan. Karena sukses atau prestasi di dalam masyarakat lama sekali
menjadi monopoli kaum lelaki, profil perempuan kerap disuguhkan dari
sudut pandang kesuksesan ala pria atau ala sebagaimana yang diinginkan
oleh pria (Yatim dalam Ibrahim-Suranto, 1998:138).

Memang dalam kenyataannya apa yang dilakukan oleh wanita apakah ia
sukses atau tidak yang menilainya adalah pria. Kesuksesan tersebut tidak bisa
dinilai dari sudut pandang wanita itu sendiri yang telah melakukan berbagai
macam langkah dan proses untuk mencapai kesuksesan. Misalnya masyarakat
(pria) menilai bahwa Madonna adalah sebagai wanita yang sukses karena ia telah
mempunyai segala-galanya (secara duniawi) yaitu karier menyanyinya yang
gemerlap, penampilannya yang selalu up to date, dan juga pintar dalam mengelola
image untuk dirinya sendiri sehingga ia selalu menjadi perbincangan di media.
Padahal sebagai wanita, ia adalah seorang yang tidak menjaga harga dirinya
sebagai perempuan. Ia telah mengeksploitasikan aurat-aurat kewanitaan yang
seharusnya dihormati dan dijaga oleh dirinya sendiri serta sebuah gaya hidup yang
free sex dan tanpa batasan-batasan agama. Padahal dari situlah seharusnya wanita


78
dinilai apakah ia bisa menjaga kehormatannya atau tidak untuk menetukan
bagaimana nilainya di mata Allah SWT.
Sehingga dari sini timbullah suatu konstruksi bagaimanakah sosok seorang
wanita karier yang sempurna di mata masyarakat (pria). Seperti yang
dikemukakan oleh A.B. Susanto (2001:24), seorang penulis tetap di majalah Tiara
dan pendiri The Jakarta Consulting Group (seorang eksekutif muda), wanita
masa kini tampil mempesona sebagai penunjang untuk meraih kesuksesan.
Pesona yang ia maksudkan bukan hanya berkaitan dengan penampilan fisik
belaka, tetapi berkaitan dengan citra diri yang berati berkaitan pula dengan gaya
hidup yang dianutnya. Sehingga wanita karier masa kini akan disebut sempurna
apabila telah mengikuti gaya hidup yang dicitrakan oleh media massa mengenai
sosok wanita karier yang seharusnya. Untuk mendukung gaya hidup ini tidak
jarang media mesti mengangkatnya menjadi berita yang menarik, di samping
menyediakan kolom khusus sebagai tempat mereka bertukar pikiran. Dalam
bentuk lain misalnya setiap minggu surat kabar Kompas menampilkan salah satu
kolomnya yang bertajuk Urban untuk urusan mode atau fashion.
Gaya hidup posmo wanita karier biasanya adalah seorang wanita yang
memaknai hidup di tengah pergulatan kehidupan metropolitan seperti seputar
pilihan karier, mencari jodoh, bentuk tubuh, dan keuangan. Maka sekarang ini
banyak sekali wanita yang berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilannya
agar memperoleh kesuksesan secara instant tanpa memedulikan proses dan
ketekunan. Ditambah lagi teknologi kecantikan yang semakin maju dan luas


79
pengertiannya terus memicu meningkatnya kebutuhan wanita akan peralatan-
peralatan tercanggih yang membantu memperbaiki penampilannya.
Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Idy Subandy Ibrahim (1998:363)
bahwa ideologi rancang bangun, kemasan penampilan, manajemen tubuh,
hingga rekayasa gen tidak hanya begitu telanjang dipertontonkan untuk suatu
kontes kecantikan wanita dalam industri kebudayaan yang didalamnya
disuntikkan tanpa henti lewat media. Kriteria yang menjadi ukuran penampilan di
muka publik adalah bagaimana cara berpakaian, berbicara, berlenggak-lenggok,
dan bertingkah laku untuk membuat suatu manajemen kesan.
Kemudian tidaklah aneh apabila di masa kini banyak wanita yang
perannya harus disejajarkan dengan laki-laki dalam hal karier dan seorang wanita
diharuskan menjaga feminitasnya dalam mengarungi dunia kerja. Bahkan
wanita memerlukan sebuah penampilan yang feminin menawan bagi
kesuksesannya dalam hal karier dan dalam meniti hari-hari yang penuh kesibukan
untuk mendaki kariernya sehingga wanitapun memerlukan perawatan untuk
dirinya sendiri. Dalam perburuan mencari bentuk tubuh dan kecantikan yang
dibayangkan ideal itu mereka hidup dalam gaya hidup yang mengesampingkan
kepercayaan atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang sepenuhnya
dikonstruksi oleh kapitalisme yang beroperasi di balik ideologi kebudayaan pop.

2.9.2 Penampilan Fisik Wanita Karier
Wanita karier yang dimaksud oleh penulis adalah wanita yang mandiri
dari segi sosial dan ekonomi dan biasanya bermukim bagian kota metropolitan.


80
Wanita karier masa kini banyak yang memerlukan penampilan yang sempurna
untuk menunjang kariernya tetapi mereka mau penampilan yang sempurna secara
cepat atau instant agar langsung dapat dinikmati hasilnya. Untuk hal tersebut
wanita karier tidak sungkan-sungkan untuk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
demi kecantikan yang sempurna.
Tak heran apabila kini menjamur salon dan klinik-klinik kecantikan
yang menawarkan paket perawatan diri dengan harga murah. Banyak wanita
terutama sebagian besar wanita karier yang menghabiskan sebagian besar uangnya
di sini. Perawatan rambut, seperti treatment, toning, rebonding, hair spa, atau
creambath kemudian dalam perawatan tubuh seperti luluran, sauna dan spa,
manicure dan pedicure, serta dalam menjaga bentuk tubuhnya adalah dengan
aerobic, body language, dan yang lainnya sehingga mengakibatkan maraknya
Gymansium atau tempat fitness di mana-mana. Kemudian untuk perawatan
wajahnya agar terlihat selalu muda dan cantik adalah dengan facial, face lift,
menyuntikkan botox, memperbaiki bentuk wajah yang kurang bagus dengan
operasi seperti operasi hidung dan memutihkan kulit dengan menyuntikkan zat
tertentu agar putih mulus seperti artis-artis.
Kemudian dalam pakaian dan aksesoris lainnya yang dikenakan wanita
karier haruslah up to date agar dapat dihargai dalam pergaulan di kantornya atau
oleh rekan bisnisnya, yaitu dengan mengikuti dan mengetahui mode yang terbaru
dan merek terkenal yang mana banyak dipakai oleh kalangan atas serta selebritis.
Merek baju dan aksesorisnya yang terkenal seperti Prada, Gucchi, Yves Saint
Lauren, Channel, Versace, Mango, dan lain-lain. Bahkan untuk tas kerjanya saja


81
mereka rela untuk merogoh sakunya hingga mencapai ratusan juta rupiah hanya
untuk membeli tas kulit Hermes yang sedang populer di wanita kalangan atas dan
selebritis atau untuk sepatunya mungkin bermerek Nine West, Linea Pelle, atau
Manolo Blahnik yang harganya dapat mencapai jutaan.
Dalam memperbaiki kepribadian, tak jarang wanita karier masa kini
yang mengikuti kursus-kursus kepribadian secara cepat untuk memoles bagaiman
penampilan wanita tersebut yang anggun di mata umum. Namun tanpa
memperhatikan aspek yang paling penting dalam tingkah laku yaitu perasan
empati serta rasionalitas dalam diri yang harus menggunakan hati sehingga
tercermin dalam setiap tindakannya. Sehingga wanita karier masa kini banyak
yang hanya mementingkan egoismenya sendiri tanpa memperdulikan perasaan
orang lain. Individualisme adalah hal yang biasa sehingga banyak wanita karier
yang saling berkompetisi (yang terkadang secara tidak sehat) dengan rekannya
sendiri untuk mendapatkan promosi dari atasan.
Hal-hal tersebut di atas mengakibatkan banyaknya wanita yang kecantikan
dan penampilannya serupa karena mereka semua mengacu dari media yang sama
yaitu harus bagaimana agar menjadi cantik di mata masyarakat seperti yang
ditampilkan lewat sinetron dan iklan produk kecantikan. Sehingga mereka semua
hanya menerima bagaimana media menyiapkan mimpi dan angan-angan terhadap
wanita agar ia mengonsumsinya secara terus menerus karena kenikmatan sesaat,
ia pun tidak akan pernah selalu merasa puas dengan penampilan yang dimiliki
olehnya. Padahal itu semua adalah sebuah karunia dari Allah SWT.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tinjauan mengenai Penelitian Kualitatif
3.1.1 Pengertian Penelitian Kualitatif
Untuk lebih mengerti terhadap penelitian kualitatif, ada hal utama yang
perlu kita perhatikan dari penelitian kualitatif tersebut. Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 2001:3) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Lebih lanjut mereka berpendapat bahwa pendekatan ini diarahkan pada
latar dan individu terebut secara holistik (utuh); subjek penelitian, baik berupa
organisasi atau individu, tidak dipersempit menjadi variabel yang terpisah atau
menjadi hipotesis, melainkan dipandang sebagai bagian yang utuh dari suatu
keseluruhan.
Kemudian Ratna menjelaskan bahwa metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaannya. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan
pengarang, lingkungan sosial di mana pengarang berada, termasuk unsur-unsur
kebudayaan pada umumnya. Dalam ilmu sastra sumber datanya adalah karya,
naskah, sedangkan data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata,
kalimat, dan wacana (Ratna, 2004:47).

83
3.1.2 Perbedaan Penelitian Kualitatif dan Penelitian Kuantitatif
Menurut Sanapiah Faisal dalam tulisannya yang berjudul Uraian-uraian
Kontemporer Penelitian Sosial (dalam Bungin, 2001:25) di tingkat metodologi
(philosophy of research process; a general approach to studying research topic),
sejak awal pertumbuhan ilmu-ilmu sosial, sudah dikenal dua mazhab penelitian
sosial, yaitu : pertama, mazhab penelitian sosial yang menggunakan pendekatan
kualitatif, atau lebih populer dengan sebutan pendekatan penelitian kualitatif.
Kedua, mazhab penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kuantitatif, atau
lebih populer dengan sebutan pendekatan penelitian kuantitatif.
Munculnya dua mazhab pendekatan penelitian tersebut merupakan
konsekuensi metodologis dari perbedaan asumsi masing-masing tentang realitas
sosial dan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, kehadiran penelitian kuantitatif
di satu pihak, dan kehadiran penelitian kualitatif di lain pihak, tidak terlepas dari
perbedaan paradigma antara keduanya di dalam memandang hakikat realitas
sosial.
Perbedaan antara pendekatan penelitian kualitatif dengan pendekatan
penelitian kuantitatif dapat kita lihat dari tabel di bawah ini (dalam Alwasilah,
2002:92).
TABEL 3.1
KARAKTERISTIK PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
ASPEK KUALITATIF KUANTITATIF
FOKUS
PENELITIAN
Kualitas (hakikat, esensi) Kuantitas (berapa banyak)
84
AKAR
FILSAFAT
Fenomenologi, interaksi sim-
bolik
Positivisme, empirisme logis

FRASE
TERKAIT
Kerja lapangan, etnografi,
naturalistik, grounded, sub-
jektif
Eksperimen, empiris, statis-
tik
TUJUAN Pemahaman, deskripsi, temu-
an, pemunculan, hipotesis
Prediksi, kontrol, deskripsi,
konfirmasi, pembuktian, hi-
potesis
DESAIN Kenyal, berevolusi, mencuat Ditentukan, berstruktur
LATAR Alami, akrab Tidak akrab, sampel
SAMPEL Kecil, tidak acak, teoretis Besar, acak, representatif
PENGUMPULAN
DATA
Peneliti sebagai instrumen
inti, interviu, observasi
Bukan manusia (skala, tes,
survai, kuesioner, komputer)
MODUS
ANALISIS
Induktif (oleh peneliti) Deduktif (oleh metode sta-
tistik)
TEMUAN Komprehensif, holistik, eks-
pansif
Persis, sempit, reduksionis
Sumber : Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif, PT. Dunia Pustaka Jaya, J akarta, 2002,
Halaman 92 (diadaptasi dari Merriam, 1998:18)

3.1.3 Sifat-sifat Desain Penelitian Kualitatif
Berbeda dengan desain penelitian konvensional yang bersifat kuantitatif,
dalam penelitian kualitatif desain itu tidak dapat ditentukan sebelumnya. Adapun
mengenai desain penelitian kualitatif salah satunya seperti dikemukakan oleh
Nasution (1992:29-30) sebagai berikut:
- Teori yang digunakan tidak dapat ditentukan sebelumnya a priori.
Penelitian tidak bertujuan untuk menguji atau membuktikan kebenaran
suatu teori. Teori itu bahkan dikembangkan berdasarkan data yang
dikumpulkan.
- Tidak ada pengertian populasi dalam penelitian ini. Sampling berbeda
tafsirannya. Sampling ialah pilihan peneliti aspek apa dari peristiwa apa
dan siapa dijadikan fokus pada saat dan situasi tertentu dan karena itu
dilakukan terus menerus sepanjang penelitian. Sampling bersifat purposif
yakni bergantung pada tujuan fokus pada suatu saat.
- Instrumen penelitian tidak bersifat eksternal atau objektif, akan tetapi
internal, subjektif yaitu peneliti itu sendiri tanpa menggunakan test, angket
atau eksperimen.
85
- Analisis data bersifat terbuka, open-ended, induktif. Dikatakan terbuka,
karena, terbuka bagi perubahan, perbaikan, dan penyempurnaan
berdasarkan data baru yang masuk. Tak dapat ditentukan lebih dahulu data
apa yang diperlukan pada taraf permulaan.
- Hipotesis tidak dapat dirumuskan pada awal penelitian, karena tidak ada
maksud menguji kebenarannya. Namun, sepanjang penelitian selalu akan
timbul hipotesis-hipotesis sebagai pegangan atau petunjuk dalam
penafsiran data untuk mengetahui maknanya.
- Statistik tidak diperlukan dalam pengolahan dan penafsiran data karena
datanya tidak bersifat kuantitatif melainkan bersifat kualitatif yang tidak
dapat dinyatakan dengan angka-angka. Lagi pula sampelnya sangat kecil.
- Analisis data berarti mencoba memahami makna data, verstehen,
mendapatkan maknanya. Analisis dilakukan sejak mulai diperoleh data
pada awal penelitian dan berlanjut terus sepanjang penelitian.
- Lama penelitian tidak dapat ditentukan sebelumnya. Pada hakikatnya
penelitian dapat berjalan terus menerus, namun suatu saat harus diakhiri
bila kehabisan waktu, biaya, dan tenaga.
- Hasil penelitian tidak dapat diramalkan atau dipastikan sebelumnya.
Mungkin banyak hal-hal baru yang terungkap yang tidak diduga
sebelumnya.


3.1.4 Kedudukan Peneliti dalam Penelitian Kualitatif
Kedudukan peneliti dalam pendekatan penelitian kualitatif berbeda dengan
kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif seperti diungkapkan Moleong (1996:4)
berperan sebagai alat atau instrumen utama dalam penelitian. Peneliti dalam
penelitian kualitatif bertindak sebagai alat pengumpul dan penafsir data utama.
Hal serupa diungkapkan oleh Nasution (1992:9), dalam istilah yang lainnya
Nasution menyebutkan kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif berfungsi
sebagai key instrument. Lebih jauh Nasution mengemukakan hanya manusia
sebagai instrumen yang dapat memahami makna interaksi antar manusia,
membaca gerak muka, menyelami perasaan, dan nilai yang terkandung dalam
ucapan atau perbuatan responden. Walaupun menggunakan alat rekam atau
kamera, peneliti tetap memegang peranan utama sebagai alat penelitian.
86
3.2 Metode Penelitian untuk Novel Populer
Novel yang dijadikan bahan penelitian oleh penulis termasuk ke dalam
karya sastra fiksi populer yang lazim disebut novel populer (novel pop). Fiksi
merupakan sebuah cerita, yang di dalamnya terkandung sebuah tujuan untuk
memberikan hiburan bagi siapa saja yang membacanya di samping adanya tujuan
estetik. Fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, yang di dalam hal ini
adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap bersinonim
dengan novel (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:4).
Mengapa novel yang menjadi bahan penelitian oleh penulis dikategorikan
novel populer? Karena seperti yang dikemukan oleh Umar Kayam (dalam
Nurgiyantoro, 1995:17) bahwa kata pop erat diasosiasikan dengan kata
populer, mungkin karena novel-novel itu sengaja ditulis untuk selera populer
yang kemudian dikemas dan dijajakan sebagai suatu barang dagangan populer,
dan kemudian dikenal sebagai bacaan populer. Dan, jadilah istilah pop itu
sebagai istilah baru dalam dunia sastra kita.
Novel pop ini memang lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati
karena ia memang semata-mata hanya menyampaikan cerita yang bertujuan untuk
menghibur pembaca. Karena itulah novel pop tidak selalu mengejar efek estetis, ia
hanya mementingkan kepuasan dari pembacanya. Masalah yang diceritakan pun
yang ringan-ringan, tetapi aktual menarik, yang selalu menjadi masalah umum
yang terjadi pada setiap manusia, seperti cinta (yang kadang-kadang sedikit
berbau porno) dengan model kehidupan yang berkesan mewah. Kisah percintaan
87
antara pria dan wanita mungkin akan menjadi media hiburan bagi pembaca untuk
sejenak melupakan kepahitan dalam hidup yang dialaminya secara nyata.
Widati (Widati dalam J abrohim, 2003:31-32) mengemukakan bahwa
secara garis besar, penelitian dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok besar,
yaitu:
1. Penelitian yang bersifat menjelajah, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
memperdalam suatu gejala tertentu, guna merumuskannya secara lebih rinci;
2. Penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, atau gejala yang terjadi atau yang nyata,
dan
3. Penelitian yang bersifat menerangkan, yaitu penelitian yang dilakukan
terhadap gejala yang telah diabstraksikan teori-teori dasarnya.
Novel pop ini dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis
dengan data yang bersifat kualitatif karena seperti yang dikatakan oleh Moleong
dalam buku Metodologi Penelitian Sastra yang menyatakan bahwa pada umumnya
dalam penelitian sastra dipergunakan teknik penelitian kualitatif. Penelitian ini
menitikberatkan pada segi alamiah dan mendasar pada karakter yang terdapat
dalam data. Penelitian kualitatif sering diartikan sebagai penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan atau dengan angka-angka (moloeng dalam J abrohim,
2003:25).



88
3.2.1 Unsur-unsur Penelitian dalam Novel Pop
Novel pop sebagai sebuah karya fiksi menampilkan sebuah dunia kecil
yaitu dunia yang berisi sebuah model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif,
yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan
penokohan, latar, gaya bahasa, dan lain sebagainya yang tentu saja semuanya
bersifat imajinatif.
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 1995:6) mengemukakan bahwa
realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan
yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.
Konstruksi realitas yang berada dalam novel ditunjang dengan adanya
kesatupaduan yang selaras antara unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam novel.
Kedua unsur inilah yang menjadi kajian dalam karya sastra atau novel pada
umumnya.
Unsur intrinsik (intrinsic) dalam novel adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 1995:23). Unsur intrinsik
yaitu berupa plot, tokoh dan penokohan, latar, gaya bahasa, sudut pandang, dan
lain sebagainya. Unsur inilah yang secara langsung membangun cerita. Kepaduan
antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuah sebuah novel berwujud.
Sedangkan unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di
luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisasi karya sastra (Nurgiyantoro, 1995:23). Unsur ekstrinsik ini cukup
mempengaruhi terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Menurut
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 1995:24) yang dimaksud unsur
89
ekstrinsik dalam novel adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang
memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik yang lainnya adalah
situasi dan keadaan yang berada di lingkungan pengarang seperti ekonomi,
politik, sosial, budaya.
Unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra yang kerap dianalisis
oleh para peneliti karya sastra dengan tujuan untuk mengetahui dan menerangkan
mengenai, misalnya apa peranan masing-masing unsur tersebut, bagaimana kaitan
antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, bagaimana ketepatan dalam
pembentukan plot, tokoh dan penokohan, latar, gaya bahasa yang terdapat dalam
novel dalam menyampaikan cerita, dan sebagainya.

3.3 Metode Deskriptif Analitis
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan
menggunakan paradigma kualitatif karena penelitian ini tidak menggunakan
model-model matematik, statistik atau komputer dan proses penelitian yang
dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir tersebut selanjutnya
diterapkan secara sistematis dalam pengumpulan dan pengolahan data untuk
memberikan penjelasan dan argumentasi. Maka dari itu penelitian kualitatif
banyak diterapkan dalam penelitian deskriptif dan historis.
Metode deskriptif analitis dengan data kualitatif berfungsi sebagai pisau
bedah untuk menganalisis teks dalam novel pop yang mengandung sebuah
konstruksi gaya hidup posmo wanita karier. Seperti yang telah diketahui bahwa
90
pengertian konstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah susunan
dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata (Poerwadarminta,
1976:520). Maka untuk mengetahui konstruksi yang mengandung gaya hidup
posmo wanita karier, teks akan dianalisis dengan melihat dari unsur-unsur
intrinsik novel tersebut yang menjadi operasionalisasi variabel.
Ratna lebih lanjut menjelaskan bahwa metode deskriptif analitik dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian,
analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein ( ana =atas, lyein =lepas,
urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan
juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004:53).

BAB IV
OBJEK PENELITIAN

4.1 Profil Penerbit GagasMedia
4.1.1 Sejarah Singkat
GagasMedia adalah salah satu anak cabang penerbitan besar yaitu
Agromedia Pusataka yaitu sebuah penerbit buku pertanian. AgroMedia Pustaka
berdiri pada 1 April 2001, dan mulai memasarkan pada J uni 2001. Kalau pada
awal berdirinya AgroMedia ditangani oleh dua orang, sekarang ini tidak kurang
dari 152 orang karyawan, 27 orang produksi, 25 orang administrasi, dan 100
orang pemasaran.
AgroMedia Pustaka selain dikenal sebagai penerbit buku pertanian dalam
arti luas, juga dikenal sebagai distributor buku. Sebagai penerbit buku pertanian
kiprah AgroMedia dimulai pada bulan April 2001 dan mulai memasarkan
terbitannya dua bulan setelah itu. Pada awal kegiatannya AgroMedia hanya
memiliki enam judul buku. Setelah hampir empat tahun berkiprah, sekarang ini
terbitan AgroMedia Pustaka telah mencapai lebih dari 255 judul buku.
Berdasarkan temanya, terbitan AgroMedia dapat dikelompokkan kedalam 16
tema, yaitu Ikan Hias, Ikan Konsumsi, Burung, Unggas, Bisnis Tanaman Buah,
Tanaman Sayur, Tanaman Hias, Perawatan Tanaman, Teknologi Tanaman,
Wacana Pertanian, Perkebunan, Ternak, Ramuan Tradisional, Aneka masakan,
Hewan Peliharaan, dan Keterampilan.
92
Dalam menerbitkan bukunya Agromedia melakukan strategi keseragaman
dalam pola cover. Terbitan AgroMedia dengan mudah dikenal dengan hanya
melihat pola desain covernya. Cover AgroMedia memiliki list warna yang
menandakan identitasnya. Pola ini cukup efektif untuk mengenalkan terbitan
AgroMedia pada toko buku dan khalayak pembacanya.
Dari sisi penulis, terbitan AgroMedia seratus persen ditulis oleh penulis
lokal. Artinya, sampai saat ini AgroMedia belum menerbitkan karya Terjemahan.
Para penulis AgroMedia Pustaka adalah orang yang berkompeten di bidangnya,
yaitu para pakar dan praktisi pertanian. Strategi ini cukup efektif, karena jika
pembaca ingin mengetahui informasi lanjutan dari tema buku yang dibacanya,
pembaca dapat langsung berkonsultasi dengan penulisnya, bahkan beberapa
penulis bisa langsung menyediakan produk yang dibahas dalam bukunya. Itulah
sebabnya, slogan yang dikampanyekan oleh AgroMedia Pustaka adalah Menimba
Ilmu dari Pakar dan Praktisi Pertanian.
Sampai saat ini buku-buku tentang tanaman obat masih mendominasi buku
laris terbitan AgroMedia. Contoh buku AgroMedia yang laris adalah Mahkota
Dewa: Obat Pusaka Para Dewa, Terapi J us dan Ramuan Tradisional untuk
Kolesterol, Tanaman Obat untuk Mengatasi Asam Urat dan Rematik,
Menaklukkan Penyakit bersama Mahkota Dewa, Tanaman Obat untuk Mengatasi
Diabetes Mellitus, Bertaman Vanili, Petunjuk Perawatan Anggrek, Membuat
Anggrek Rajin Berbunga, Aneka Masakan dari Ayam, dan lain-lain.
Sejalan dengan perkembangan usaha, setahun setelah berdiri AgroMedia
mempunyai sister company Kawan Pustaka yang menerbitkan buku keterampilan,
93
pendukung pelajaran, kesehatan, dan bahasa. Saat ini Kawan Pustaka memiliki
110 judul. Pada tahun 2003, WahyuMedia yang dikenal sebagai penerbit buku
anak bergabung kedalam AgroMedia. Pada tahun yang sama, sister company
AgroMedia bertambah lagi, yaitu GagasMedia. GagasMedia ini berkonsentrasi
pada penerbitan buku pop culture. Perkembangan GagasMedia ini tergolong
cepat, dan beberapa bukunya menjadi best seller, seperti J omblo, Cintapuccino,
J akarta Undercover 2, 99% SMS Cinta, dan lain-lain. Bahkan, GagasMedia ini
mempelopori penerbitan novel yang berdasarkan skenario film, seperti 30 hari
Mencari Cinta, Tusuk J elangkung, Dara Manisku, dan Brownies. Keluarga
penerbit AgroMedia bertambah lagi pada tahun 2004 dengan berdirinya
QultumMedia yang menyasar buku-buku Islam.
Untuk masalah pemasarannya, keempat penerbit itu memasarkan lewat
AgroMedia Pustaka. Dengan demikian, sekarang ini AgroMedia Pustaka selain
memasarkan lewat AgroMedia Pustaka, juga memasarkan Kawan Pustaka,
GagasMedia, WahyuMedia, dan QultumMedia. Bahkan, AgroMedia Pustaka juga
menjadi distributor dari lebih 50 penerbit. Dari sisi judul buku, jumlah buku yang
dipasarkan AgroMedia Pustaka mencapai 1.650 judul terdiri dari 550 judul
terbitan group sendiri dan 1.100 judul terbitan penerbitan relasi. Buku-buku
tersebut sekarang ini telah dipasarkan di 550 lebih toko buku yang menjadi relasi
AgroMedia, dengan tekanan pemasaran di J awa dan Sumatera.



94
4.2 Visi dan Misi GagasMedia
4.2.1 Visi dari GagasMedia
Visi dari GagasMedia adalah berpartisipasi dalam mengembangkan dunia
perbukuan di Indonesia serta menghadirkan variasi bacaan sehingga dapat
membantu meningkatkan minat baca, menciptakan iklim serta budaya membaca
dan menulis di kalangan generasi muda.

4.2.2 Misi dari GagasMedia
Misi dari PT. GagasMedia adalah :
1. Menghadirkan bacaan yang memuat realita hari ini.
2. Membangun dan meningkatkan hubungan dengan generasi muda yang
merupakan target pasar dengan menghadirkan buku-buku bacaan yang
membingkai dunia mereka.
3. Membuka wacana tentang isu-isu dan fenomena budaya yang ada di
masyarakat.
4. Mengembangkan dunia industri perbukuan di Indonesia.
5. Meningkatkan minat dan daya baca masyarakat Indonesia, khususnya
generasi muda.

4.3 Proses Produksi
Untuk menerbitkan sebuah buku, penulis dapat mengirimkan naskah atau
memberikannya naskahnya secara langsung ke redaksi GagasMedia Yang terletak
di Pesona Depok 2 Estate Blok AR No.9. Naskahnya diketik di kertas A4 yang
95
berkurang 21 x 29,7 cm. Format tulisan bebas dengan font-nya, Times New
Roman, ukuran 12. Minimal 150 halaman, dan disertakan dengan sinopsis dan
judul pada naskah. Naskah sudah berupa print out yang disertakan dengan cd
writer yang berisi ketikan nasakahnya.
Sesudah diberikan kepada redaksi, penulis dapat menunggu kabar
selanjutnya dari editor GagasMedia. Oleh karena GagasMedia adalah penerbitan
yang lebih bertujuan untuk buku yang tergolong Pop Culture maka editor harus
menyesuaikan tema naskah yang sesuai dengan jenis buku yang diterbitkannya.
Apabila editor mau untuk menerbitkan karya penulis tersebut maka penulis akan
dihubungi lebih lanjut untuk merevisi naskahnya. Naskah yang sudah disetujui
oleh editor harus mengalami perbaikan atau revisi agar layak cetak.
Penulis dapat berkali-kali mengalami revisi dalam kata-kata dalam
naskahnya ataupun judul. Seperti Cintapuccino yang menjadi objek penelitian ini
telah berkali-kali berganti judul. Pertama judulnya adalah Finding Nimo dengan
sub judulnya, yang kemudian berganti beberapa kali sehingga menjadi
Cintapuccino.
Untuk layout dan settingnya, penerbit biasanya telah mengatur sesuai
dengan tema dari buku tersebut namun ada kalanya penulis sendiri yang mengatur
layout untuk bukunya. Kemudian ukuran bukunya tergantung dari jumlah
halaman naskah dari penulis. Apabila penulis memberikan lebih dari 200 halaman
(A4) maka yang akan dicetak adalah buku dengan ukuran 11,5 x 19 cm,
sedangkan apabila lebih dari 100 halaman (A4) maka yang akan dicetak adalah
buku dengan ukuran 13,5 x 19 cm.
96
Setelah bukunya selesai dicetak maka barulah siap untuk didistribusikan
dan dijual ke toko-toko buku dan cabang-cabangnya yang berada di daerah-daerah
tertentu yang dilakukan oleh tim Ekspedisi.

4.4 Struktur Organisasi GagasMedia
1. Direktur Utama : Anthonius Riyanto
Tugas pokok :
Memimpin dan mengendalikan kegiatan serta mengepalai bagian
Produksi, Pemasaran, Akuntansi dan Keuangan, dan Personalia dan
Umum.
2. Sekretaris Redaksi: Tria Viliana
Tugas Pokok :
Menyelenggarakan kesekretariatan yang berkaitan dengan kegiatan
produksi dan redaksi.
3. Manajer Pemasaran : Samuel & Budi Ahyar
Tugas pokok :
1) Memonitor keadaan pasar, pesaing serta persaingan,
mengembangkan strategi pemasaran yang sesuai dengan kondisi
pasar dan persaingan.
2) Menyusun sasaran, rencana, dan strategi pemasaran untuk diusulkan
ke atasan.
3) Melakukan supervisi pemasaran termasuk kegiatan penjualan dan
administrasinya.
97
4. Manajer Akuntansi dan Keuangan : Alexander Riyanto
Tugas Pokok :
1) Menghasilkan neraca dan laporan laba/rugi sesuai dengan kondisi
usaha yang sebenarnya.
2) Mengendalikan aliran kas agar perusahaan dapat berjalan dengan
baik.
3) Menyelesaikan setiap masalah perpajakan.
4) Memberikan analisa keuangan yang tepat.
5. Manajer Promosi dan Pengembangan: Angel & Mourin
Tugas Pokok :
1) Memimpin dan mengendalikan kegiatan yang berhubungan dengan
promosi, seperti pameran, seminar, talkshow, dll.
2) Melakukan kegiatan dan pengembangan dari usaha-usaha yang
selama ini dilakukan oleh perusahaan.
6. Pemimpin redaksi : FX. Rudy Gunawan
Tugas Pokok :
1) Memimpin dan mengendalikan kegiatan redaksional dan produksi
buku-buku terbitan AgroMedia Pustaka.
2) Bertanggung jawab terhadap manajemen biaya untuk semua produk
yang dihasilkan.
3) Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan eksternal redaksi dan
menjadi wakil perusahaan dalam melakukan hubungan dengan pihak
luar.
98
7. Supervisor Cabang: Yadi (Bandung), Rudi (Surabaya), Agus Waskito
(Yogya), Eko Suwarno (Palembang), Lamboh (Pekanbaru), Arief
Hisbullah (Medan)
Tugas Pokok :
1) Mengepalai dan mengendalikan kegiatan pemasaran di area
pemasaran yang menjadi wewenangnya.
2) Mengendalikan semua biaya yang masuk dalam kegiatan penasaran
di area yang menjadi wewenangnya.
8. Kepala Editor: Denny Indra
Tugas Pokok :
Mengkoordinasikan pekerjaan bagian redaksi, mulai dari perencanaan
judul, pembagian tugas, kontrol naskah sampai menyiapkan naskah yang
siap cetak.
9. Editor :Windy Ariestanty, Icha Rachmanty, Ida Ayu Maruti
Tugas Pokok :
Membuat perencanaan judul dan mengadakan naskah sampai naskah
siap cetak.
10. Staff Keuangan (G/L dan A/R): Leni Apriani, Sri, Nani
Tugas Pokok :
1) Menyusun laporan neraca R/L dan buku besar (G/L)
2) Membuat laporan piutang dan stock (A/R)


99
11. Staff Administrasi: Ayu Kridaningsih
Tugas Pokok :
1) Membuat dan mengentri faktur penjualan
2) Mengarsip faktur dan surat-surat
12. Staff Gudang: Maman & Marno
Tugas Pokok :
Menerima, menyimpan, mendistribusikan dan merawat buku-buku yang
ada di gudang.
13. Ekspedisi : Arief, Yoce, Gemini
Tugas Pokok :
Melakukan pengiriman buku ke toko buku dan cabang-cabang.
14. Setter
Tugas Pokok :
Melaksanakan kegiatan layout dan setting semua buku sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
15. Salesman
Tugas Pokok :
Melakukan penjualan buku berikut penagihannya

4.5 Bidang Usaha
Bidang usaha dari GagasMedia adalah penerbitan buku Pop. Secara luas
untuk memasarkan buku-bukunya, AgroMedia memiliki enam cabang pemasaran,
yaitu di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, dan Palembang.
100
Cabang Bandung mempunyai area pemasaran di J awa Barat. Cabang Yogyakarta
melakukan pemasaran di area DI Yogyakarta, dan J awa Tengah. Cabang Surabaya
mempunyai area pemasaran di J awa Timur, Bali, dan Indonesia bagian Timur.
Cabang Medan menggarap area pemasaran Sumatera bagian Utara. Cabang
Pekanbaru menggarap area pemasaran Sumatera bagian Tengah termasuk Padang
dan Batam. Cabang Palembang area pemasarannya Sumatera bagian Selatan,
seperti Palembang, Lampung, dan Bangka Belitung.
Pada tahun 2005, AgroMedia Group hanya akan fokus pada kegiatan dan
distribusi buku. Belum ada rencana untuk menggarap bidang lain, termasuk
mempunyai percetakan atau toko buku. Pada tahun ayam ini, AgroMedia Group
merencanakan untuk menerbitkan 360 judul buku per tahun, atau sama dengan 30
judul buku baru per bulan. Dengan rata-rata judul cetak ulang sebanyak 70 judul
per bulan, termasuk revisi setidaknya setiap bulan ada 100 judul yang dicetak oleh
AgroMedia Group.

4. 6 Penggolongan Buku GagasMedia
Pengertian buku pop culture atau budaya pop yang dikibarkan sebagai
slogan GagasMedia mencakup :
A. Novel Pop Remaja: buku-buku kategori ini paling banyak diterbitkan oleh
GagasMedia, yaitu novel-novel yang ditulis oleh penulis-penulis muda tentang
berbagai persoalan (terutama cinta) dalam hidup mereka. Yang termasuk
kategori ini adalah :

101
1. Red Diary
2. J omblo
3. Semau Gue
4. Puspa Indah Taman Hati
5. Roman Picisan
6. Gita Cinta dari SMA
7. Kugapai Cintamu
8. Cintaku di Kampus Biru
9. Cewek Komersil
10. Miss J utek
11. Terminal Cinta Terakhir
12. Lovely Luna
13. Detektive Diary
14. Always Laila
15. 10 ARRRRRRGH
16. First Date
17. Kok Putusin Gue
18. Gege Mengejar Cinta
19. 365 Hari 3 Cinta 2 Selingkuhan
20. Ei Tu Ze
21. Sheila vs Playboy Kaleng
B. Tren Perilaku: pengertian buku-buku tentang tren adalah buku mengenai
sesuatu yang digemari masayarakat (terutama remaja) seperti misalnya tren
102
handphone membuat GagasMedia menerbitkan buku-buku tentang sms. Yang
termasuk kategori ini adalah:
1. Kumpulan Humor SMS
2. 99% SMS Cinta
3. 1001 SMS Bijak
4. Seabreg SMS Gaul
5. Gope SMS Gaul Taon J ebot
6. SMSAnear & Bergaulnya Si Upik
7. SMS Congrads!
C. Novel Adaptasi Film: masih dalam konsep pop. GagasMedia memberi porsi
cukup besar untuk menerbitkan novel karya adaptasi film (dan/atau sinetron)
yang tengah populer di masyarakat. Yang termasuk kategori ini adalah :
1. 30 Hari Mencari Cinta
2. Tusuk J elangkung
3. Dara Manisku
4. Brownies
5. Bangsal 13
D. Lifestyle: yang dimaksud sebagai lifestyle di sini adalah buku-buku tentang
berbagai fenomena yang tengah populer di masayarakat. Yang termasuk
kategori ini adalah:
1. Malam Pertama
2. Kisah Sukses J .K. Rowling
3. Sex on The Phone
103
4. J akarta Undercover 2
5. J akarta Undercover Kimik
6. Romansa Cyber
7. Katakan Cinta(mu)
8. Gaul J akarta
9. Ade Ape dengan Mak Erot
10. Welcome to Bantal Corner
E. Novel ChickLit/TeenLit: GagasMedia mencoba mengangkat ChickLit/TeenLit
penulis-penulis lokal dengan mengibarkan logo ChickLit asli buatan Indonesia
karena ChickLit adalah genre baru yang sedang berkembang dan memiliki
peluang untuk di-Indonesia-kan. Yang termasuk kategori ini adalah :
1. Cintapuccino
2. Love Sucks
3. Beauty Case
F. Novel Sastra Populer: GagasMedia juga menerbitkan novel-novel sastra
yang masih bernuansa populer seperti misalnya:
1. J akarta City Tour
2. Cinta di Tengah Kengerian Perang
3. 170,8 FM; Radio Negeri Biru
4. Komedi 4 Musim
5. Di Atas Siang di Bawah Malam
6. Subject; Re;
104
G. Sosial-Politik-Budaya: buku-buku kategori ini merupakan bentuk kepedulian
GagasMedia pada persoalan masyarakat secara luas, misalnya :
1. Si Parasit Lajang
2. Danger Zone
3. Wild Reality
4. J akarta; Metropolis Tunggang Langgang
5. Dolly Hitam Putih Prostitusi
6. Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan
7. Cak Munir; Engkau Tidak Pernah Pergi

4.7 Profil Icha Rahmanti Sebagai Penulis Novel Cintapuccino
Nisha Rahmanti yang akrab dipanggil Icha Rahmanti ini lahir di Bandung
pada tanggal 22 April 1978. Icha lahir dari Bapak yang berdarah J awa dan Ibunya
yang berdarah Sunda. Semula keduanya adalah pegawai negeri namun Bapaknya
sudah pensiun dan kini menjadi konsultan akuntan publik. Sedangkan Ibunya
masih bekerja di BPKP. Icha adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara yang kakak dan
adiknya adalah lelaki, jadi ia adalah satu-satunya perempuan yang berada di
keluarga.
Icha menempuh pendidikan berawal dari Taman Kanak-kanak
Bhayangkara di kota Surabaya dan Sekolah Dasar 009 Bhayangkara yang berada
di kota Samarinda, propinsi Kalimantan Timur. Kemudian dilanjutkan dengan
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bandung, Sekolah Menengah Atas Negeri 3
bandung, serta menempuh kuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik
105
Arsitektur. Sekarang ia bekerja menjadi seorang konsultan arsitek dan interior
bersama teman-temannya dari kuliah di PT. Rayya Cipta Inspirasi tetapi ia lebih
banyak bergerak di bidang marketing, kemudian ia juga menjadi editor freelance
di GagasMedia, serta masih menjadi penyiar di radio Oz FM Bandung, selain itu
ia juga menjadi kontributor untuk Bandung City Magazine setelahnya ia pun juga
menulis novel, bahkan ia pun menjadi salah satu tenaga pengajar di D3 FIKOM
UNPAD.
Awalnya Icha mulai menulis karena ia senang membaca buku yang
kemudian menjadi suatu hobi. Karena sewaktu kecil ia tinggal di Samarinda tidak
seramai ketika tinggal di J awa, jadi oleh Ibu diberi satu kebiasaan yaitu membaca
sehingga pada setiap Minggu, dibelikan buku baru di toko buku. Kemudian
karena senang membaca lalu menjadi senang mengkhayal dan butuh media untuk
menuangkan khayalannya. J adi sedari kecil ia mulai menulis karangan-karangan
tetapi ditujukan hanya untuk Ibu dan menjadi tugas sekolah saja. Ketika ia duduk
di bangku SMP, ia menulis cerita bersambung, hingga pada liburan panjang untuk
naik dari SMP ke SMA, ia mencoba mengetik dan mengirimkan ceritanya dan
ternyata ceritanya dimuat di majalah remaja Kawanku. Namun pada waktu itu, ia
hanya merasa senang saja karena mendapat wesel dan ceritanya dimuat, ia sama
sekali tidak berpikiran untuk menjadikan menulis sebagai profesi.
Ketika kuliah, Icha sempat mengikuti tabloid kampus yang ada di ITB
yaitu Boulevard hanya selama satu semester dan sesudah itu pada waktu liburan
semester berikutnya ia mengikuti kursus broadcasting. Sesudah kursus itulah ia
terus bekerja di radio hingga sekarang, namun ia tetap berada di bidang penulisan
106
karena ia pernah menjadi script writer, dan ia pernah pula menjadi produser di
radio Oz FM Bandung untuk membuat acara sandiwara radio dan acara-acara
yang lain. Tepatnya ia mulai terjun ke dunia penulisan novel adalah ketika novel
Cintapuccino dirilis yaitu pada tahun 2004 lalu.
Icha menjelaskan bahwa sebenarnya Cintapuccino dibuat bukanlah karena
adanya ide cerita dahulu namun karena keinginan membuat ChickLit buatan
Indonesia. Ia merasa bahwa novel ChickLit yang berasal dari luar negeri itu
ceritanya menyenangkan dan sangat menggambarkan dirinya. Dan ia memikirkan
ternyata perempuan yang berada di manapun baik di Indonesia, di Amerika, di
Eropa, di Afrika, kesemuanya mempunyai suatu benang merah yaitu pada sisi
keperempuanan yang hampir mempunyai kesamaan dalam permasalahan yang
ada. Perbedaan yang ada mungkin hanya pada segi budaya karena geografinya
yang berbeda. Dari senang membaca ChickLit dari luar negeri, ia pun menjadi
gemas karena melihat banyak perempuan Indonesia yang berada di usia dewasa
muda juga mempunyai banyak permasalahan yang menarik untuk diketengahkan.
Ide cerita Cintapuccino berasal dari pengalaman pribadi Icha yaitu ketika
ia sedang mengalami masa Quarter Life Crisis (dewasa muda) yang biasa terjadi
pada perempuan. Masalah dimulai ketika ia baru lulus kuliah, kemudian ia harus
mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan dirinya kemudian masalah
jodoh. Ia menegaskan bahwa masalah utama perempuan ada dua yaitu karier dan
jodoh. Bahkan banyak orang tua yang beranggapan bahwa jodoh adalah yang
utama setelah itu barulah kariernya. Sedangkan di luar negeri seorang perempuan
melajang pada umur 30 tahun ke atas adalah hal yang biasa. Dari situlah ia
107
berpikir bahwa dari masalah perempuan Indonesia banyak hal yang bisa digali,
apalagi masyarakat kita kaya akan perbedaan kulturnya. Maka dari itu ia berusaha
membuat cerita yang berlatar belakang Bandung dengan tokoh utamanya seorang
perempuan Bandung . Namun tentu saja perempuan yang menjadi tokoh utamanya
adalah perempuan urban karena ia mencari setting yang dekat dengan
kehidupannya sehari-hari.
Selain itu di masa sekarang ini sedang terjadi benturan-benturan antara
nilai-nilai tradisional dan dengan nilai-nilai yang berasal dari Barat atau Icha
menyebutnya dengan adanya nilai-nilai yang nge-blend. Ia menganggap benturan
ini terjadi karena banyaknya informasi yang berasal dari Barat. Informasi ini
diserap oleh masyarakat karena hadirnya teknologi komunikasi yang canggih
seperti internet, film, dan lain sebagainya. Di satu sisi ketika perempuan dewasa
muda sedang bersama keluarganya yang berperan adalah nilai tradisional
sedangkan ketika perempuan sedang berada dalam pergaulannya yang berperan
adalah nilai-nilai yang berasal dari Barat. Hal-hal seperti inilah yang menjadi latar
belakang permasalahan dalam novelnya.
Icha menyayangkan banyak penulis yang kurang serius dalam menanggapi
genre ChickLit ini, padahal menurutnya genre ini sangat potensial. Ia berpikir
bahwa gaya penulisan novel itu bagus sekali karena berkesan dekat dan akrab
terhadap pembaca. Kemudian setelah itu, ia meneliti bagaimana pokok-pokok
yang ada pada ChickLit luar negeri. Pokok-pokoknya yang diambil dari ChickLit
luar negeri yaitu tokoh utamanya adalah perempuan yang berusia dewasa muda,
dan sisi yang diangkat bukanlah kesempurnaanya namun kelemahannya. Karena
108
tokoh yang ia inginkan adalah seorang tokoh yang sesuai dengan realitas. Setting
yang ia pakai pun kebanyakan berada di perkotaan seperti di rumah, tempat kerja,
kampus, dan yang lainnya.
Namun ada yang berbeda antara ChickLit luar negeri dengan ChickLit
yang Icha buat, yaitu pada slogannya. Slogan yang ada pada ChickLit luar negeri
adalah Being single and happy, sedangkan slogan yang ia berikan terhadap
bukunya adalah Being smart, honest, and happy. Ia memberikan slogan itu
karena ia mengharapkan perempuan Indonesia menjadi perempuan yang pintar,
jujur pada diri sendiri, dan dapat mengejar kebahagiaan yang ia inginkan. Ia pun
menginginkan perempuan Indonesia dapat menjadi pahlawan setidaknya bagi
dirinya sendiri dengan berusaha mengatasi masalah-masalah yang menimpa
dirinya dengan tegar dan berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Icha berharap dengan adanya ChickLit Indonesia ini dapat menjadi salah
satu pilihan bacaan bagi masyarakat untuk meng-counter banyaknya buku yang
berasal dari luar negeri. Ia menginginkan suatu hari nanti penulis lokal dapat
menjadi penulis internasional yang dapat bersaing dengan penulis dari luar negeri
baik dari segi kualitas maupun dari segi selling-nya. Icha menegaskan bahwa ia
membuat novel ChickLit ini bukan karena sekedar ikut-ikutan saja, namun ia ingin
agar novelnya dapat menjadi good companion bagi pembaca. Karena kalau
menjadi teman maka itu bisa dapat menjadi tempat curhat (curahan hati),
membuat tertawa atau untuk mengisi waktu ketika mengantri, menunggu di
stasiun, menunggu jeda kuliah, dan bahkan untuk berdiskusi untuk berbagai
pertanyaan yang kerap timbul dalam benak perempuan. Namun Icha pun tidak
109
memposisikan dirinya sebagai yang serba tahu untuk menjawab pertanyaan
tersebut, ia hanya berusaha menghadirkan kemungkinan jawaban yang ada pada
diri perempuan.
Kontribusi GagasMedia dalam membesarkan nama Icha sangat besar
sekali, karena ketika itu Icha sedang mencari penerbit yang mau menerbitkan
bukunya sedangkan penerbitan yang ada kebanyakan menolak dengan alasan Icha
belum mempunyai nama. Kemudian Icha melihat penerbitan GagasMedia yang
berani menerbitkan buku yang penulisnya belum mempunyai nama sama sekali
selain itu, prioritasnya pun terhadap buku yang bertema pop culture. Ternyata
GagasMedia pun mau untuk menerbitkan buku Icha yang menjadikan buku
tersebut ramai diperbincangkan karena menjadi pelopor ChickLit dari Indonesia.
Bagi Icha sendiri GagasMedia adalah partner untuk menerbitkan bukunya dan
bahkan ia pun menjadi salah satu editor freelance di GagasMedia.

BAB V
ANALISIS NOVEL CINTAPUCCINO

Pada bab ini akan mencakup sinopsis dan analisis novel sekaligus untuk
menjawab permasalahan yang dikemukakan pada bab I, mengenai bagaimana
konstruksi gaya hidup posmo wanita karier di dalam novel Cintapuccino.

5.1 Sinopsis Novel Cintapuccino
Novel Cintapuccino ditulis oleh Icha Rahmanti. Novel ini menceritakan
mengenai seorang perempuan yang beranjak dewasa berumur 26 tahun yang
bernama Appraditha Arrahmi. Ia mempunyai pekerjaan sebagai pengusaha sebuah
toko distro baju khusus perempuan. Distro` adalah distribution store, tempat
menjual berbagai clothing company buatan lokal yang memproduksi sendiri juga
sebagai perluasan jaringan pemasaran clothing company. Distro` berawal dari
idealisme untuk memperkuat eksisitensi komunitas (Kompas Muda, J umat 22
Agustus 2003 dalam Rahmanti, 2004:259).
Kemudian Rahmi mempunyai seorang tunangan yang sempurna bernama
Danang Raka Soediro. Hubungannya dengan Raka telah disetujui oleh keluarga
besar Rahmi dan keluarga Raka. Dalam waktu dekat mereka pun akan menikah.
Di umur yang sudah bahaya tersebut bisa dibilang kehidupan Rahmi sangat
lengkap karena telah mempunyai pekerjaan yang dapat membuatnya mandiri serta
mempunyai seorang tunangan yang termasuk kategori pria sempurna.
111
Namun tanpa disangka sebuah nama dari masalalunya muncul kembali
yaitu Dimas Geronimo atau Nimo. Pertemuan mereka sangat tak disangka hanya
karena sepupu Rahmi, Alin yang lighternya tertinggal di sebuah meja warung
yang telah ditempati oleh Nimo.
Nimo oleh Rahmi disebut sebagai obsesinya selama sepuluh tahun. Obsesi
itu telah sedemikian parahnya dan kental hingga ia merasa seperti sakit mental
dan mempertanyakan kewarasannya.
Obsesinya itu dimulai ketika pada masa penataran siswa baru di SMU,
disitulah ia bertemu Nimo yang memperkenalkan diri sebagai seorang anggota
badan keamanan sekolah. Kemudian Rahmi merasa bahwa cowok tersebut adalah
cowok imajiner khayalannya. Cowok yang ia khayalkan sejak kelas 2 SMP itu
memiliki ciri-ciri yaitu tinggi, berbadan tegap dan berdada bidang yang ia
namakan Nimo. Kemudian mulailah obsesinya itu tumbuh. Rahmi mulai
menyelidiki semua yang ada dalam kehidupan Nimo melalui teman se-ganknya
yaitu Maya, Ucan, Sissy, dan Tia. Rahmi mengetahui semua mantan pacarnya,
dan mengenali seluruh anggota keluarganya hingga menjadikan namanya sebagai
password emailnya.
Pada waktu SMU Rahmi sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk
berdekatan dengan Nimo karena Nimo yang seorang kakak kelas dan telah
mempunyai pacar. Rahmi pun tak bisa berbicara dengan lancar apabila bertemu
dengan Nimo karena salah tingkah.
Masa SMU pun berlalu kemudian Rahmi ketika memasuki kuliah
memiliki jurusan yang sama dengan Nimo yaitu Teknik Sipil di perguruan tinggi
112
yang sama pula yaitu Sekolah Tinggi Teknologi Nusantara. Rahmi berharap
dengan mengikuti Nimo di kampus yang sama ia pun akan mempunyai waktu
yang lebih banyak dengan Nimo. Tetapi ternyata sia-sia saja karena jadwal yang
berbeda, ia tidak bisa sering bertemu dengan Nimo dan Nimo pun tetap
mempunyai banyak pacar dan Rahmi tidak pernah termasuk dalam daftar mantan
Nimo.
Ketika lulus kuliah secara iseng-iseng Rahmi mengikuti test pekerjaan
yang banyak dimasuki mahasiswa jurusannya dan merupakan tempat dimana
Nimo bekerja. Ternyata Rahmi pun diterima bekerja di tempat tersebut, D`estain
Compagnie (DC). Rahmi pun ditempatkan di Balikpapan. Di sana ia bekerja
sebagai Field Engineer yang mengawasi pekerjaan para pekerja ketika melakukan
stimulating, bored atau piling sebuah sumur minyak.
Selama 2 tahun ia bekerja disitu ia selalu merasa ingin pergi dan
kesempatan itu datang ketika ada rombongan televisi swasta yang datang untuk
membuat sebuah feature tentang pekerja di lapangan. Rombongan tersebut
dipimpin oleh seorang produser yang memperkenalkan diri sebagai Raka. Itu
adalah sebuah pertemuan pertama bagi keduanya.
Setelah itu obsesi Rahmi terhadap Nimo pun mulai pudar karena telah
berhubungan dengan Raka yang dapat menggantikan bayang-bayang Nimo di
hatinya. Hubungan mereka berjalan hingga setahun.
Dan ketika keadaan mulai berjalan sempurna Nimo mulai menghubungi
Rahmi, suatu hal yang tak pernah ia lakukan sekali pun. Rahmi dibuat terombang-
ambing karenanya. Rahmi mulai meragukan cintanya terhadap Raka.
113
Hingga suatu hari Nimo melamarnya yang membuatnya terkejut karena ia
tak pernah sekalipun berhubungan dengan Nimo, dan bahkan Nimo pun belum
mengetahui sama sekali mengenai Rahmi. Tentu saja Rahmi menolak lamaran
tersebut dan membuatnya menjadi benci terhadap Nimo yang dianggap telah
mengganggu hidupnya yang telah berjalan dengan tenang tanpa terganggu oleh
obsesinya terhadap Nimo.
Namun suatu hari, Raka memintanya untuk memikirkan kembali
pernikahannya dengan Raka karena Raka tidak mau apabila Rahmi salah memilih
karena menganggap pernikahannya dengan Raka tak bisa diundur lagi.
Hal tersebut membuat Rahmi semakin bingung karena ternyata alasan
Raka berbuat itu karena ia telah berbicara dengan Nimo, dan menurut Raka, Nimo
selalu memperhatikan Rahmi sejak SMU dulu. Namun, ketakutannya dengan
Rahmilah yang membuat ia tidak bisa mendekati Rahmi.
Akhirnya setelah Raka memutuskan pertunangannya dengan Rahmi dan
bahkan selama beberapa bulan ia sama sekali tidak menghubungi Rahmi membuat
Nimo memasuki kehidupan Rahmi dan Rahmi pun mencoba untuk memberi
kesempatan kepada Nimo. Tak disangka ternyata hubungan Rahmi dengan
Nimolah yang membawa ia ke jenjang pernikahan. Nimo ternyata adalah sebuah
obsesi yang menjadi nyata bagi Rahmi.

5.2 Unsur Pemplotan dalam Novel Cintapuccino
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.
114
Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti
kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah karya fiksi yang
kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antar peristiwanya,
menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami. Berdasarkan keterangan
Nurgiyantoro (1995:110-111), hal yang demikian sering dapat ditemui dalam
karya yang memanfaatkan plot dan teknik pemplotan sebagai salah satu cara
untuk mencapai efek keindahan karya itu. Itulah sebabnya novel yang lebih
bersifat menceritakan sesuatu, atau tujuan utamanya adalah menyampaikan cerita
akan selalu memilih cara-cara pemplotan yang sederhana, bahkan tak jarang
bersifat stereotip. Sebaliknya, novel yang tergolong aluran akan sangat
memperhatikan struktur plot sebagai salah satu kekuatan novel itu untuk mencapai
efek estetis.
Nurgiyantoro (1995:111) menjelaskan bahwa untuk menyebut plot, secara
tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita,
sedangkan dalam teori-teori yang lebih berkembang dikenal adanya istilah
struktur naratif, susunan, dan juga sujet. Penyamaan begitu saja antara plot dengan
jalan cerita, atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita, sebenarnya
kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita -atau tepatnya:
peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul- namun ia lebih dari sekedar jalan
cerita itu sendiri. Atau tepatnya: ia lebih dari sekedar rangkaian peristiwa.
Stanton (dalam Nurgiyantoro,1995:113) mengemukakan bahwa plot
adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
115
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny lebih lanjut (dalam
Nurgiyantoro, 1995:113) menjelaskan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang
ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. J auh
sebelumnya, seperti ditunjukkan di atas, Forster juga telah mengemukakan hal
yang senada. Plot, menurut Forster adalah peristiwa-peristiwa sedangkan Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 1995:113), yang juga menyetujui adanya perbedaan antara
cerita dengan plot, mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan
struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan
dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional
tertentu.
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial
dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat
ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Dalam penelitian ini penulis akan mencoba
menganalisis peristiwa, konflik, dan klimaks yang menunjukkan adanya sebuah
konstruksi gaya hidup posmo wanita karier sebagai salah satu unsur dari budaya
populer.

5.2.1 Peristiwa dalam Novel Cintapuccino
Menurut Luxemburg dkk (dalam Nurgiyantoro, 1995:117) peristiwa dapat
diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Berdasarkan
pengertian itu, kita akan dapat membedakan kalimat-kalimat tertentu yang
menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Misalnya, antara kalimat-kalimat yang
116
mendeskripsikan tindakan tokoh dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik
tokoh. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam sebuah karya fiksi pastilah
banyak sekali, namun tidak semua peristiwa tersebut berfungsi sebagai pendukung
plot.
Menurut Nurgiyantoro (1995:117), peristiwa dapat dibedakan ke dalam
beberapa kategori tergantung dari mana ia dilihat. Dalam hubungannya dengan
pengembangan plot, atau perannya dalam penyajian cerita, peristiwa dapat
dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan.

5.2.1.1 Peristiwa Fungsional dalam Novel Cintapuccino
Nurgiyantoro (1195:118) mengartikan peristiwa fungsional sebagai
peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot.
Urut-urutan peristiwa fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi yang
bersangkutan. Dengan demikian, kehadiran peristiwa-peristiwa itu dalam
kaitannya dengan logika cerita merupakan suatu keharusan. J ika sejumlah
peristiwa fungsional ditinggalkan, hal itu akan menyebabkan cerita menjadi lain
atau bahkan menjadi kurang logis.
Di novel Cintapuccino ini ada beberapa peristiwa yang menjadi titik
utama dari cerita. Peristiwa fungsional yang dipilih oleh penulis adalah peristiwa
fungsional yang menunjukkan adanya sebuah konstruksi gaya hidup posmo
wanita karier. Peristiwa fungsional yang terjadi adalah berawal dari bertemunya
kembali antara Rahmi dengan Nimo secara tidak sengaja. Peristiwa ini menjadi
117
awal mula cerita bagaimana Rahmi menemukan kembali obsesinya selama
bertahun-tahun, yaitu Nimo. Terdapat dalam teks berikut ini:
Lalu seorang laki-laki dengan kaos hitam mengulurkan lighter Alin yang
berwarna silver dengan ukiran gambar kincir angin khas Belanda di sisi
depannya. Yang ini ya Dan saat itulah aku cuma bisa terdiam dengan
mata membelalak melihat Nimo yang Bicara. Nimo alias Dimas Geronimo
(Rahmanti, 2004:10-11).

Peristiwa ini terjadi secara tidak sengaja yaitu ketika Rahmi menemani
Alin, sepupunya mengambil lighternya yang tertinggal di sebuah warung yamien
di kota Bandung. Apabila peristiwa ini tidak terjadi maka Rahmi tidak mungkin
mengingat kembali tentang Nimo, dan Nimo pun tidak akan berusaha untuk
mencoba menghubungi Rahmi kembali. Sehingga tidak akan ada lagi cerita antara
mereka berdua. Akibat yang terjadi dari peristiwa ini adalah Rahmi yang kembali
mengingat-ingat bagaimana obsesinya terhadap Nimo bisa tumbuh selama
bertahun-tahun, dan Nimo pun mencoba untuk menghubungi Rahmi dengan
mendekati Alin, sepupu Rahmi setelah sekian lama tidak pernah bertemu.
Di sini terlihat pula sebuah bagian dari gaya hidup posmo wanita karier,
yaitu merokok. Alin adalah salah satu sepupu Rahmi, ia berumur 26 tahun. Dia
mempunyai pekerjaan yaitu sebagai salah satu staf dari usaha distro Barbietch
yang didirikan oleh Rahmi. Apabila zaman dahulu merokok hanya dilakukan oleh
pria, dan apabila ada wanita yang merokok maka ia mendapat cap perempuan
nakal`. Namun di zaman yang maju ini, merokok bagi wanita dianggap biasa saja,
bahkan ada yang menganggap bahwa merokok adalah sebagai sebuah trend.
Wanita yang merokok kini banyak yang terang-terangan di tempat umum
seperti di restoran atau di pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan di sinetron-sinetron
118
dari stasiun televisi swasta di Indonesia terkadang menampilkan seorang wanita
kantoran yang sedang mengobrol dengan teman kerjanya sambil merokok ketika
jam istirahat. Banyak isu yang beredar di antara wanita bahwa merokok dapat
menguruskan tubuh, maka banyak model-model yang malas makan karena sedang
diet mencari alternatif lain sebagai pengganti makanan yaitu merokok, karena
dengan merokok dapat menutup rasa lapar.
Sinetron-sinetron, film dari Barat, dan bahkan model-model telah
memperlihatkan kepada khalayak media terutama wanita bagaimanakah sebuah
gaya hidup masa kini dengan merokok. Seperti model internasional Claudia
schiffer yang menjadi model dalam iklan cerutu di majalah Cigar Aficionado.
Duduk santai di kursi rancangan Troy. Bercelana coklat muda ciptaan
Isaac at Barneys New York. Dadanya setengah terbuka, ditutupi kaos ketat
warna coklat tua ciptaan J. Mishra, dan kakinya bertelapak sandal ciptaan
Sigerson Morris. Dalam pose santainya itu, si cantik dari J erman ini
dengan nikmatnya memegang sebatang cerutu, besar, dan menyala.
Claudia dan cerutunya dipotret dalam pose berganti-ganti, mengisi enam
halaman majalah, termasuk cover depannya. Dan kata Claudia, I love the
smell of a good cigar, the elegance, the feel (Sindhunata dalam Ibrahim-
Sutanto, 1998:382).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa seorang model wanita kelas
internasional menyukai sebuah cerutu karena harum dan sensasi perasaan ketika
mengisapnya. Produser pengiklan sengaja memilih Claudia Schiffer sebagai
model cerutunya dengan harapan bahwa seorang wanita akan berkesan glamour
dan seksi apabila mengisap cerutu. Hal ini digambarkan dengan penampilan
Claudia yang memakai busana ketat dengan dada sedikit terbuka yang
menggambarkan keseksiannya. Kemudian ke-glamouran-nya digambarkan lewat
merek terkenal dari aksesoris dan pakaian yang dikenakannya.
119
Dari sini terlihat bahwa tentu saja wanita karier masa kini selalu dikaitkan
dengan gayanya yang harus seksi dan berkesan wah, bahkan rokok ditambahkan
ke dalam kesan tersebut. Claudia Schiffer adalah model terkenal bertaraf
internasional yang tentu saja menjadi panutan dan dambaan setiap wanita. Bukan
tidak mungkin hal-hal yang dilakukannya ditiru oleh wanita-wanita lain.

5.2.1.2 Peristiwa Kaitan dalam Novel Cintapuccino
Nurgiyantoro (1995:118) menjelaskan bahwa perisitiwa kaitan adalah
peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (baca:
peristiwa fungsional) dalam pengurutan penyajian cerita (atau secara plot). Lain
halnya dengan peristiwa fungsional, peristiwa kaitan kurang mempengaruhi
pengembangan plot cerita. Atau paling tidak, kita masih dapat mengetahui inti
cerita secara keseluruhan. Misalnya, perpindahan dari lingkungan yang satu ke
lingkungan yang lain, atau dari suasana yang satu ke suasana yang lain, masing-
masing dengan permasalahannya ditampilkan peristiwa-peristiwa kecil yang
berfungsi mengaitkan keduanya.
Terdapat beberapa peristiwa kaitan dalam novel Cintapuccino ini,
namun yang dipilih oleh penulis hanyalah peristiwa-peristiwa yang menunjukkan
bagaimanakah gaya hidup posmo wanita karier yaitu bagaimana mereka menilai
lawan jenisnya yaitu pria. Peristiwa kaitan yang dipilih oleh penulis adalah ketika
Rahmi menerima ajakan Nimo untuk makan siang bersama setelah pertemuan
mereka kembali untuk kedua kalinya. Makan siang ini menjadi suatu peristiwa
yang berfungsi sebagai penjelas bagaimana ketika Rahmi dan Nimo berjalan
120
bersama untuk `pertama kalinya`. Dan ini merupakan suatu langkah awal dalam
cerita antara Rahmi dengan Nimo.
Siang itu betul-betul tak terbayangkan sebelumnya. Aku dan Nimo, satu
mobil, on a lunch date! I used to dream about this, tapi betul-betul tidak
menyangka bakalan seexcited ini. Perasaanku campur aduk antara
senang, takut, dan tentunya nervousNimo, the legend himself, sitting
right next to me, and I am on his car seri 7 warna hitam, kalau boleh
ditambahkan. Aku merasa high school babe in a dream date with to-die-
for-hunk (Rahmanti, 2004:82).

Dalam teks ini terlihat bagaimana Rahmi sebagai seorang wanita karier
masa kini menilai kehebatan Nimo (selain sebagai obsesinya) juga melihat dari
mobil yang dipakainya. Mobil seri 7 warna hitam adalah sebuah mobil dengan
merek BMW. Mobil bagi mereka -kaum eksekutif- bukanlah alat transportasi
semata. Mobil memancarkan pula identitas pemakainya. Mobil adalah sebuah
simbol. Karena sebuah simbol, maka menjadi wajar bila mobil menduduki tempat
terhormat bagi eksekutif untuk dimiliki (Susanto, 2001:13). Mobil telah dijadikan
sebagai lambang prestasi dan prestise bagi para eksekutif.
BMW disediakan untuk kalangan baby boomers, yang berusia muda, kaya,
dan ambisius. Dengan semboyan the ultimate driving machine, BMW
menonjolkan performanya. Di Indonesia, BMW seri 7 sudah sejajar
dengan Mercedes E 320 Elegance (Susanto, 2001:14-15).

Rahmi, sebagai wanita karier yang pernah bekerja di suatu perusahaan
besar berskala international tentu saja mengetahui hal tersebut, yaitu bagaimana
mobil yang dipakai oleh Nimo adalah sebuah BMW seri 7 yang berarti posisi
Nimo di perusahaan adalah posisi penting dan menampilkan citra Nimo di mata
Rahmi yaitu seorang pemuda yang kaya dan ambisius dalam pekerjaan. Sebagai
seorang wanita karier, menilai seseorang berdasarkan prestasi dan prestise yang
121
ditampilkannya adalah suatu hal yang biasa. Karena itu sudah merupakan bagian
dari gaya hidup posmo sebagai salah satu unsur budaya populer dimana Pada
budaya populer permukaan dan gaya lebih mendominasi dibandingkan manfaat
dan maknanya.
Selain itu peristiwa kaitan yang kedua adalah ketika Rahmi diterima
bekerja di DC (D`estain Compagnie) yaitu sebuah industri perminyakan dunia di
mana Nimo (obsesinya) juga bekerja di situ. Tetapi lain dengan Nimo yang
ditempatkan di Oklahoma sebagai International Staff, Rahmi ditempatkan di
Balikpapan sebagai Field Engineer yang mengawasi pekerjaan para pekerja ketika
melakukan stimulating bored atau piling sebuah sumur minyak. Ini menjadi
sebuah peristiwa kaitan dimana Rahmi akan bertemu Raka, yang akan menjadi
penolongnya dalam menjadikan obsesinya sebuah kenyataan.
Sebagai Field Engineer, aku mengawasi pekerjaan para pekerja ketika
melakukan stimulating bored atau piling sebuah sumur minyak. Kadang
juga ikut turun tangan supaya tidak berkesan terlalu bossy dan sebagai
atasan perempuan, aku merasa perlu membuktikan diri bahwa aku juga
bisa mengerjakan pekerjaan mereka, to gain respect tentunya (Rahmanti,
2004:120).

Dari teks ini terlihat bahwa dalam pekerjaan wanita karier masa kini dapat
mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pria namun kesuksesan wanita karier
tidak hanya dinilai dari penampilan fisiknya namun juga dengan kepribadiannya
sebagai power untuk mempengaruhi orang lain.
Rahmi sebagai atasan para pekerja, ia harus memberi kesan yang baik
terhadap bawahannya agar disegani dan dihormati. Ia tidak bersifat sok
memerintah bawahannya, tetapi ia juga ikut turun tangan dalam pekerjaan tersebut
untuk membuktikan bahwa walaupun wanita ia dapat mengerjakan pekerjaan itu.
122
Menurut Susanto (2001:22), kepribadian menunjukkan power, sedang
power sendiri merupakan alat untuk menunjukkan segala kemampuan di depan
orang lain. Bahkan dengan power seseorang (baca: wanita) mampu
mempengaruhi jalan pikiran orang lain. Wanita masa kini perlu untuk
memamerkan pesonanya. Apalagi di tengah persaingan di segala bidang yang
semakin tajam ini.

5.2.1.3 Peristiwa Acuan dalam Novel Cintapuccino
Luxemburg mengartikan peristiwa acuan sebagai peristiwa yang tidak
secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot,
melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan
masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Dalam
hubungan ini, bukannya alur dan peristiwa-peristiwa penting yang diceritakan,
melainkan bagaimana suasana alam dan batin dilukiskan (dalam Nurgiyantoro,
1995:119).
Di dalam novel Cintapuccino ini terdapat beberapa peristiwa acuan
namun yang dipilih oleh penulis adalah hanya peristiwa acuan yang menunjukkan
bagaimanakah gaya hidup posmo bagi wanita karier yaitu bagaimana lingkungan
pergaulan dalam kesehariannya. Peristiwa acuan yang terjadi adalah suatu malam
ketika Rahmi sedang berada di ruang rekreasi bagi pekerja DC (D`estain
Compagnie) dan rombongan kru tv dimana ada Raka juga ikut bergabung di
ruangan itu. Di sini Rahmi memperlihatkan bagaimana ia tidak merasa betah
123
dengan keadaan di situ. Keadaan seperti inilah yang memicunya untuk kembali
pulang ke Bandung kota asalnya.
Malam itu kebetulan aku sedang bermain billiard sambil minum bir
dengan Danu, Malik, dan Steve- mereka teman-teman baikku di sana,
semuanya sudah menikah dan mereka menganggapku seperti adik kecil
mereka. Aku baru belajar billiard di sana karena itu adalah satu-satunya
hiburan yang menarik. Pergi ke klub atau lainnya selain memakan waktu
perjalanan yang cukup panjang, hasilnya tidak memuaskan. Terbiasa
dengan Rave party di Bandung dan Jakarta dengan DJs line up-nya yang
spektakuler, membuat klub dan hiburan malam di sana jauh dari
kriteriaku. Bikin malas pokoknya (Rahmanti, 2004:123).

Dalam teks terlihat bagaimana Rahmi yang seorang wanita karier dan
sudah terbiasa dengan kehidupan metropolitan yang gemerlap dengan kehidupan
malamnya merasa malas bekerja di Balikpapan yang tak mempunyai hiburan yang
dapat memuaskannya. Selain itu di sini juga terlihat bagi Rahmi meminum bir
adalah suatu hal yang biasa, padahal bir adalah minuman yang memabukkan dan
jelas sekali hal tersebut dilarang oleh agama Islam dan di Indonesia hal tersebut
masih dinilai tabu apalagi bagi seorang wanita.
Namun kini hal tersebut tidak berlaku lagi, karena terkadang wanita karier
mencari tempat untuk mengobrolnya di sebuah pub atau bar, kafe, nite club yang
berada di sebuah gedung atau hotel yang berada di tengah kota, karena mereka
mencari tempat pergaulan yang bagi mereka terlihat eksklusif dan gaya. Dan tentu
saja di tempat seperti itu, minuman yang tersedia adalah minuman yang berasal
dari luar negeri (pastinya mengandung alkohol) seperti wine, bir, atau vodka.
Minuman seperti itulah yang akrab dengan wanita karier yang terbiasa dengan
kehidupan malam penuh gemerlap di metropolitan.
124
Seperti yang ditegaskan oleh Susanto (2001:35) bahwa gaya hidup yang
satu ini, belakangan tampak sangat jelas, pengikutnya cukup banyak. J ika
nongkrong di pub merupakan cara eksekutif muda berkumpul dan melepasakan
penat sesusai bekerja, maka duduk-duduk di kafe juga digemari oleh para ibu,
keluarga, bahkan para ABG (anak baru gede). Selain bersantai dengan gaya,
sebenarnya ada motivasi lain orang suka pergi ke kafe, to see and to be seen.
Karena di sini berbagai jenis manusia penting atau yang ingin dianggap penting,
apa pun profesinya, selebritis dan calon selebritis merasa wajib untuk sering-
sering bertandang dan bercengkrama di tempat-tempat trendy semacam ini.

5.2.2 Konflik dalam Novel Cintapuccino
Berdasarkan keterangan Nurgiyantoro (1995:122), konflik (conflict) yang
notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa
fungsional, utama, atau kernel), merupakan unsur yang esensial dalam
pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan dipengaruhi
untuk tidak dikatakan: ditentukan- oleh wujud dan isi konflik, bangunan konflik,
yang ditampilkan. Misalnya, peristiwa-peristiwa manusiawi yang seru, yang
sensasional, yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan menyebabkan
munculnya konflik (-konflik) yang kompleks, biasanya cenderung disenangi
pembaca.
Meredith dan Fitzgerald lebih lanjut menjelaskan bahwa konflik menyaran
pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau
dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai
125
kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa
dirinya (dalam Nurgiyantoro, 1995:122). Kemudian Wellek dan Warren juga
mengemukakan bahwa konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada
pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan
balasan (dalam Nurgiyantoro, 1995:122). Maka Nurgiyantoro (1995:122)
menyimpulkan konflik, dalam pandangan kehidupan yang normal -wajar- faktual,
artinya bukan dalam cerita, menyaran pada konotasi yang negatif, sesuatu yang
tak menyenangkan. Itulah sebabnya orang lebih suka memilih menghindari
konflik dan menghendaki kehidupan yang tenang.
Namun dalam sebuah novel ada berbagai macam bentuk konflik, sebagai
bentuk kejadian. Stanton membagi bentuk konflik ke dalam dua kategori, yaitu :
konflik fisik dan konflik batin, serta konflik eksternal (external conflict) dan
konflik internal (internal conflict) (dalam Nurgiyantoro, 1995:124). Lebih lanjut
Nurgiyantoro mengartikan konflik eksternal sebagai konflik yang terjadi antara
seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan
alam, atau mungkin dengan lingkungan manusia. Dengan demikian J ones
membagi konflik eksternal ke dalam dua kategori yaitu konflik fisik (phsycal
conflict) dan konflik sosial (sosial conflict) (dalam Nurgiyantoro, 1995:124).
Menurut Nurgiyantoro (1995:124), konflik fisik (atau disebut juga konflik
elemental) adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh
dengan lingkungan alam, misalnya konflik akibat adanya benacana alam seperti
gempa bumi atau banjir besar. Sedangkan konflik sosial adalah konflik yang
disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia, atau masalah-masalah yang
126
muncul akibat adanya hubungan antarmanusia, seperti masalah penindasan,
pemerasan, atau peperangan. Konflik internal (atau konflik kejiwaan) adalah
konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita.
J adi, ia lebih merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia
lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia, misalnya hal itu terjadi
akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang
berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya.
Dalam novel Cintapuccino ini tentu saja ada berbagai macam bentuk
konflik yang dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita. Namun tentu saja hanya konflik
yang menunjukkan bagaimana gaya hidup posmo pada wanita karier yaitu dalam
berpikir mengenai dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Konflik yang terjadi
adalah konflik internal (konflik kejiwaan) atau konflik batin di dalam diri Rahmi
yaitu ketika Rahmi sedang berimajinasi mengenai dirinya yang dilamar oleh
Nimo padahal Nimo sendiri mengetahui bahwa Rahmi akan menikah dengan
Raka.
J adi muncullah sebuah pertentangan antara dua pilihan yang berbeda di
mana pilihan pertama adalah Rahmi yang telah bertunangan dengan Raka, seorang
pria yang sempurna, dan mereka akan segera menikah. Sebaliknya di dalam
pilihan yang ke dua, seorang pria yang menjadi cinta pertama dan yang menjadi
obsesinya selama sepuluh tahun, mengajukan lamaran secara tiba-tiba kepadanya.
Hal ini mengakibatkan imajinasi-imajinasi yang berlebihan dalam dirinya. Dari
gambaran imajinasinya terlihat bahwa di masa kini kelajangan bagi pria dan
wanita di umur yang seharusnya sudah menikah adalah suatu hal yang lumrah,
127
selain itu di masa kini yang paling penting adalah sebuah image dimana kita harus
menghabiskan uang kita sebanyak yang kita mampu untuk mendapat image
bagus.
Sekarang giliran Catherine, setelah ikut tertawa kecil, si cantik itu
kemudian berkata, Tonite, here, on the annual Single Sexy and Fabulous
Nite, kami akan memberikan sebuah penghargaan. Inilah hebatnya hidup
di tengah arus konsumsi global, atau dunia pencitraan, di mana yang
paling penting adalah image dan spend as much as you can! Sebuah status
yang beberapa dasawarsa ke belakang bisa menjadi aib, julukan-julukan
seperti gak laku, bujang lapuk atau perawan tua tidak terdengar
seseram dulu karena digantikan oleh kata-kata macam single, sexy,
fabulous! Hubungannya ya itu tadi, zaman sekarang, status yang dulunya
aib bisa jadi sebuah perhelatan glamour tahunan para socialite ibu kota.
Bayangkan beberapa ratusan juta rupiah yang beredar hanya untuk
malam itu setiap tahunnya (Rahmanti, 2004:160).

Dari teks ini terlihat ketika Rahmi sedang mengkhayalkan sebuah acara
penghargaan bagi seorang pria atau wanita yang lajang. Mereka dihargai karena
selain lajang mereka juga mempunyai image yang bagus. Tentunya kelajangan
yang dinilai bagi wanita yang masih lajang selain dalam sukses dalam karier juga
penampilannya yang terlihat up to date. Kemudian terlihat juga bahwa Rahmi
memikirkan sebuah acara penghargaan yang glamour yang dapat menghabiskan
ratusan juta rupiah hanya untuk sebuah penghargaan bagi kelajangan.
Catherine Wilson yang disebutkan oleh Rahmi adalah seorang model dan
artis terkenal. Catherine Wilson selain menjadi model iklan, ia juga pernah
membintangi film layar lebar yang berjudul Cinta Silver. Selain itu ia juga
pernah membintangi sinetron berseri yang berjudul Ngaca Doong yang
pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. Catherine adalah sebuah
contoh konkrit yang dianggap wanita karier yang berhasil. Karena ia bahkan
pernah diwawancara dan dimuat dalam satu kolom khusus di surat kabar Kompas
128
dalam kolomnya Urban Sosialita. Hal ini berarti jelas sekali media massa telah
memberinya image sebagai seorang wanita karier yang berhasil.
Dari teks novel di atas menunjukkan bahwa untuk wanita yang berkarier,
gaya hidup yang glamour adalah sangat penting untuk sebuah status. Bahkan
pengarang menegaskan hal tersebut melalui pikiran Rahmi dalam teksnya bahwa
di arus konsumsi global atau dunia pencitraan, image sangat penting. Maka
dengan melihat sosok pemain sinetron atau penyanyi terkenal maka yang terlintas
adalah sesosok manusia yang selalu hidup dengan dunia penuh glamour. Gaya
hidupnya dari sejak bangun tidur hingga tidur kembali selalu bernuansa serba
gemerlap. Lihat gaya dandanannya. Bajunya, celana panjangnya, rambutnya,
sepatunya hingga perhiasan yang melingkar di tubuhnya. Semuanya serba mahal.
Lihat pula tempat-tempat berliburnya. Atau restoran, hotel, dan kafe yang
dipilihnya. J elas orang kebanyakan tak bakalan mampu merengkuhnya. Hal-hal
seperti inilah yang menjadi acuan bagi wanita karier masa kini untuk menjadi
gaya hidupnya, begitu pun yang terjadi dengan Rahmi yang sebagai wanita karier,
ia sudah terbiasa untuk menghabiskan waktu dengan party atau clubbing dalam
kehidupan malam di kota besar.

5.2.3 Klimaks dalam Novel Cintapuccino
Konflik dan klimaks merupakan hal yang amat penting dalam struktur
plot, keduanya merupakan unsur utama plot pada karya fiksi. Nurgiyantoro
(1995:126-127) menjelaskan bahwa konflik demi konflik yang terjadi baik
internal maupun eksternal yang jika telah mencapai titik puncak akan
129
menyebabkan terjadinya klimaks. Dengan demikian, terdapat kaitan erat dan logis
antara konflik dan klimaks. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan terjadi jika ada
konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai klimaks hal itu mungkin
sejalan dengan keadaan bahwa tidak semua konflik harus mempunyai
penyelesaian. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak (diselesaikan atau
tidak), dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan (barangkali juga :
kemampuan), dan tujuan pokok pengarang dalam membangun konflik sesuai
dengan tuntutan dan koherensi cerita.
Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995:127), klimaks adalah saat
konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya berdasarkan tuntutan dan
kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak.
Klimaks sangat menentukan (arah) perkembangan plot. Klimaks merupakan titik
pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan
menentukan bagaimana permasalahan (konflik) itu akan diselesaikan.
Dalam novel Cintapuccino ini ada klimaks yang menunjukkan
bagaimana salah satu bagian dari gaya hidup posmo wanita karier yaitu dalam
kehidupan percintaannya. Klimaks yang terjadi yaitu ketika setelah Rahmi
dilamar oleh Nimo dan Nimo menarik kembali lamarannya, maka Nimo pun
datang menemui Raka untuk mengetahui pria seperti apakah yang dipilih oleh
Rahmi. Setelah Raka berkelahi dengan Nimo dan dilerai oleh Rahmi, secara tiba-
tiba Raka kembali ke J akarta dan menolak untuk berbicara apa-apa dengan
Rahmi. Raka hanya meninggalkan sepucuk surat untuk Rahmi yang menyatakan
130
penyesalannya karena harus memutuskan pertunangannya dengan Rahmi.
Kemudian Rahmi pun merasa tidak dapat menerima penjelasan Raka sehingga ia
memutuskan untuk menelepon Raka. Klimaks ini terjadi karena merupakan
penyelesaian konflik yang terjadi sebelumnya (ketika Nimo melamar Rahmi).
Di dalam percakapan Rahmi kepada Raka ada salah satu kalimat yang
mengandung sebuah pemikiran Rahmi bagaimana ketika menjalin hubungan
dengan pria. Di dalam teks dikatakan :
Apa sesusah itu buat kamu terima kalau Nimo adalah masa lalu? Kamu
tahu nggak? Aku bahkan nggak punya romance sama Nimo yang bisa aku
ceritain ke kamu dan bisa bikin kamu cemburunggak pernah ada apa-
apa antara aku dan NimoIt just doesnt make any senseKalo aku
dululet say pernah pacaran sama dia, terus sampe pernah tidur ama
diamungkin itu hal yang bisa kamu cemburuin (Rahmanti,
2004:222).

Dalam teks di atas, ada kalimat yang digaris bawahi oleh penulis yaitu
pernah pacaran sama dia, terus sampe pernah tidur ama dia. Dalam kalimat ini
tidur` bukan berarti hanya sekedar tidur biasa namun menjurus kepada
berhubungan seks seperti layaknya suami istri. Hal ini menjelaskan bahwa Rahmi
menganggap apabila berhubungan dengan pria dan melakukan seks sebelum
menikah adalah hal yang biasa terjadi. Padahal dengan budaya ketimuran dan
agama mayoritas yang dianut masyarakat Indonesia yaitu Islam, jelas-jelas
melarang pria dan wanita untuk melakukan seks sebelum menikah secara sah.
Namun karena masuknya nilai-nilai dari Barat yang menjadi acuan gaya hidup
masa kini, maka banyak wanita yang berpandangan bahwa keperawanan tidak
terlalu penting lagi untuk dipertahankan, padahal dari mempertahankan
keperawanan itulah kehormatan seorang wanita dinilai.
131
Masri singarimbun (dalam Ibrahim, 1997:189) menegaskan pandangan di
atas dengan mengemukakan bahwa menurut Elise jones, dkk: film, musik, radio,
bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis,
merangsang, dan menggairahkan. Selain itu rangsangan-rangsangan seks
bertambah semarak. Tambah bertubi-tubi. Tiada hari tanpa rangsangan seks dari
berbagai media; komersialisasi seks merajalela.

5.3. Unsur Penokohan dalam Novel Cintapuccino
Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, unsur tokoh dan
penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Plot boleh saja
dipandang orang sebagai tulang punggung cerita, namun kita pun dapat
mempersoalkan: siapa yang diceritakan itu? Siapa yang melakukan sesuatu dan
dikenai sesuatu, sesuatu yang dalam plot disebut sebagai peristiwa, siapa
pembuat konflik, dan lain-lain adalah urusan tokoh dan penokohan.
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.
Nurgiyantoro menegaskan bahwa watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk
pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih
menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi-
karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak (-watak) tertentu
dalam sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan oleh J ones (dalam Nurgiyantoro,
132
1995:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995:165) mengemukakan bahwa
penggunaan istilah karakter (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa
Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh
cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, character
dapat berarti pelaku cerita` dan dapat pula berarti perwatakan`. Antara seorang
tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang, merupakan suatu kepaduan
yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang, langsung mengisyaratkan
kepada kita perwatakan yang dimilikinya, memang, merupakan suatu kepaduan
yang utuh.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:165), tokoh cerita
(character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Maka Nurgiyantoro (1995:165-166) menyimpulkan
bahwa dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh
dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal
ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang
memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu
dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku (nonverbal).
133
Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas
pribadi daripada dilihat secara fisik.
Untuk menganalisis lebih lanjut maka penulis menggunakan faktor fungsi
penampilan tokoh (tokoh protagonis dan tokoh antagonis), berdasarkan
perwatakannya (tokoh sederhana dan tokoh kompleks), dan berdasarkan
kemungkinan pencerminan tokoh cerita (tokoh tipikal dan tokoh netral). Penulis
menggunakan faktor ini untuk mengetahui bagaimana konstruksi gaya hidup
posmo wanita karier sebagai salah satu unsur budaya populer dalam penokohan di
novel Cintapuccino.

5.3.1 Fungsi Penampilan Tokoh dalam Novel Cintapuccino
Melihat dari fungsi penampilan tokoh, maka Nurgiyantoro (1995:178)
membedakan tokoh cerita ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Menurut Altenbernd dan Lewis, membaca sebuah novel, pembaca sering
mengidentifikasikan diri dengan tokoh (-tokoh) tertentu, memberikan simpati dan
empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang
disikapi demikian oleh pembaca disebut sebagai tokoh protagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi -yang salah satu jenisnya secara
populer disebut hero- tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,
nilai-nilai, yang ideal bagi kita (dalam Nurgiyantoro, 1995:178).
Dalam novel Cintapuccino ini yang menjadi tokoh utama dan sebagai
tokoh protagonis adalah Appraditha Arrahmi (Rahmi) karena dalam teks novel
Cintapuccino ini ada yang menggambarkan bahwa Rahmi adalah tokoh
134
Protagonis karena tokoh ini membiarkan pembaca melibatkan diri secara
emosional terhadap setiap kejadian atau peristiwa yang ia alami. Seperti yang
terdapat dalam teks berikut ini:
Jadi, pernahkan kamu terobsesi dengan seseorang? Begitu dalamnya
obsesi itu sampai-sampai kamu mempertanyakan kesehatan mentalmu
sendiri? Begitu terobsesinya sampai-sampai kamu memilih jurusan kuliah
yang sama dengannya dan kamu juga mati-matian berjuang supaya
diterima bekerja di tempat yang sama dengannya? Begitu terobsesinya
sampai kamu tahu semua mantan pacarnya, dan lewat orang-orang yang
mengenal dia dan keluarganya, kamu berusaha menggali semua informasi
sampai akhirnya kamu tahu dan seperti mengenal setiap anggota
keluarganya? Oya dan tidak lupa juga, selama bertahun-tahun aku
menjadikan namanya sebagai password emailku. Pernah seperti itu?
(Rahmanti, 2004:13-14).

Dalam teks ini tergambar bahwa ia mengajak pembaca untuk berbagi
bagaimana pengalaman pembaca ketika sedang menyukai seseorang hingga
merasa dirinya sakit jiwa. Hal ini dipertegas dengan adanya tanda tanya di akhir
kalimat yang artinya Rahmi sedang bertanya kepada pembaca untuk ikut
merasakan bagaimana perasaannya ketika mengalami peristiwa itu. Sehingga
pembaca akan menempatkan diri di tempat yang sama dengan Rahmi sebagai
tokoh utama dalam novel Cintapuccino.
Rahmi sebagai seorang tokoh protagonis adalah seorang wanita karier
Maka untuk menganalisis bagaimana gaya hidup posmo pada wanita karier,
penulis akan mengutip teks yang menunjukkan gaya hidup posmo wanita karier
yang ditunjukkan melalui Rahmi sebagai tokoh protagonis. Teksnya yaitu :
Dan mulailah aku merintis Barbietch! bersama Alin dengan modal
tabungan gajiku dulu (Rahmanti, 2004:141) Barbietch! adalah duniaku
sekarang. Bukan cuma dsitronya, tapi juga misi yang kami wujudkan
dalam setiap produknya membuat aku mulai mencintai yang aku lakukan
ini. Dari seorang Rahmi yang sangat bingung dengan status karier dan
135
pekerjaannya, sekarang aku mulai menemukan Rahmi yang berwiraswasta
(Rahmanti, 2004:142-143).

Dari teks di atas terlihat bahwa Rahmi lebih memilih karier dengan
berwiraswasta dengan sepupunya, Alin. Rahmi lebih memilih berkarier di bidang
yang sangat ia sukai daripada berkarier di kantoran yang tidak ia sukai walaupun
gajinya lumayan besar. Dan ternyata usaha distro` nya ini mengalami
perkembangan yang cukup lumayan. Disini juga menunjukkan gaya hidup posmo
wanita karier dari segi pemikirannya yaitu menjadi seorang wanita mandiri yaitu
mempunyai pekerjaan sendiri dan tidak tergantung kepada laki-laki. Seperti yang
dikatakan oleh Andre A. Hardjana (dalam Ibrahim-Suranto, 1998:91) dalam
masyarakat industrial di perkotaan khususnya di masyarakat pasca industri fokus
kesadaran wanita ada pada perwujudan cita-cita (self actualization) sesuai
dengan martabatnya. Hal ini berarti wanita masa kini lebih memilih pekerjaan
yang benar-benar sesuai dengan dirinya, karena pekerjaan tersebut adalah wadah
untuk aktualisasi diri bagi wanita.
Menurut Nurgiyantoro (1995:179), tokoh penyebab terjadinya konflik
disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi
dengan tokoh protagonis. Dalam teks novel Cintapuccino ada beberapa tokoh
antagonis yang menyebabkan konflik dalam diri tokoh protagonis (Rahmi). Tokoh
antagonis adalah teman kuliah Rahmi dahulu yang bernama Tika dan ia
membangkitkan emosi Rahmi dengan perkataannya yang membuat Rahmi merasa
terpojok karena sewaktu itu ia baru saja berhenti dari pekerjaannya di D`Estaine
Compagnie (DC). Hal tersebut terdapat dalam teks berikut ini:
136
Bukannya aku iri ya sama keberhasilannya (well, ada sihsedikittapi
sumpah kok, caranya show off memang annoying!), tapi ada satu line
perkataan Tika yang membuatku naik darah ketika kami bertemu di suatu
pesta kawinan untuk yang kesekian kalinya. Mi, lo kerja di kantor gue
aja kalo gitu, asisten gue kemaren keluarlo masukin aja lamaran ke
kantor gue lewat gue (Rahmanti, 2004:136).

Dari teks di atas terlihat bahwa Tika ingin menyindir Rahmi yang tidak
mempunyai pekerjaan dengan menyarankan kepada Rahmi untuk melamar di
kantornya sebagai asisten Tika. Hal ini tentu saja berarti merendahkan harga diri
Rahmi yang merasa ia dan Tika adalah sederajat karena kuliah di tempat yang
sama. Kemudian dalam tokoh antagonis terlihat gaya hidup posmo wanita karier,
yaitu terdapat dalam teks berikut ini:
Tika salah satunya. Dia adalah teman kuliah dulu yang sekarang bekerja
di sebuah bank internasional yang buka cabang di Jakarta. Dari dulu dia
selalu spektakuler karena lulus tepat 4 tahun dan cum laude. Konon
sekarang kariernya gemilang. Di setiap acara kawinan, Tika selalu
datang dengan setelan glamour plus cowok yang diperkenalkan sebagai
tunangannya (katanya sih insinyur elektro lulusan Amrik yang punya
karier cemerlang di perusahaan IT multinasional) itu selalu mengikutinya
kemana-mana. Belum lagi kalau setelahnya ada acara kumpul-kumpul,
dia selau sibuk menerima telepon, atau menelpon supaya orang-orang
melihat Communicator-nyaatau dengan ribut dia selalu
berkata,Aduhdisini pake visa gold bisa kan? (Rahmanti, 2004:136).

Di sini terlihat sebuah gaya hidup posmo yang biasanya dianut oleh wanita
karier (dalam teks disebutkan bahwa Tika bekerja di sebuah bank Internasional
yang buka cabang di J akarta), yaitu terlihat dari penggunaan barang yang
berteknologi terbaru yaitu ponsel (telepon selular). Dalam teks terlihat bahwa di
kehidupan sehari-harinya dan bahkan untuk mengurus pekerjaannya, Tika
menggunakan jenis Communicator, yaitu ponsel yang selain digunakan untuk
berkomunikasi, ia juga dapat dipakai seperti komputer (walaupun tidak selengkap
137
komputer) karena di dalamnya juga terdapat program komputer seperti Microsoft.
Tika memamerkan Communicator- nya karena ia merasa yang menggunakan
barang tersebut hanyalah kalangan masyarakat kelas atas saja. Hal ini termasuk ke
dalam salah satu sifat yang ada dalam budaya populer yaitu hanya mementingkan
penampilan saja untuk ditunjukkan pada orang lain tanpa mementingkan manfaat
dan kegunaan barang tersebut.
Penggunaan Communicator ini selain mencerminkan kekinian, ia juga
mencerminkan simbol status bagi penggunanya, seperti yang ditegaskan oleh
Alfathri Adlin (dalam Ibrahim, 1997:167-168) bahwa dalam era informasi seperti
saat ini -yang kemudian sering diidentikkan dengan era globalisasi- fungsi
perangkat elektronik yang berkaitan dengan komunikasi menjadi sangat penting.
Setiap penemuan baru dalam bidang teknologi -terutama elektronika- pada awal
peluncurannya ke masyarakat luas cenderung akan menjadi milik masyarakat
kelas atas. Hal ini dikarenakan biaya riset dan pengembangannya selama ini telah
dikeluarkan oleh industri menjadi tanggungan konsumen. Oleh karena itu, harga
jual dari produk-produk canggih tersebut sangat mahal dan belum tentu terjangkau
oleh masyarakat biasa. Dalam hal ini, desainer pun bekerjasama dengan
pemegang modal dan pabrik untuk memasukkan idiom dari tanda-tanda sosial
yang akan menguatkan eksklusivitas dari produk tersebut, sebuah tanda baru yang
akan menciptakan gaya hidup yang baru pula.



138
5.3.2 Perwatakan Tokoh dalam Novel Cintapuccino
Menurut Nurgiyantoro (1995:181), berdasarkan perwatakannya, tokoh
cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan
tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Pembedaan
tersebut berasal dari Forster dalam bukunya Aspects of Novel yang terbit pertama
kali 1927. Pembedaan tokoh ke dalam sederhana dan kompleks (dalam
Nurgiyantoro, 1995:181) tersebut kemudian menjadi sangat terkenal. Hampir
semua buku sastra yang membicarakan penokohan, tak pernah lupa menyebut
Pembedaan itu, baik secara langsung menyebut nama forster maupun tidak.
Nurgiyantoro (1995:181-182) menjelaskan bahwa tokoh sederhana, dalam
bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu satu sifat-watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan
tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan
tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya
mencerminkan satu watak tertentu. Watak yang pasti itulah yang mendapat
penekanan dan terus-menerus terlihat dalam fiksi yang bersangkutan. Perwatakan
tokoh sederhana yang benar-benar sederhana, dapat dirumuskan hanya dengan
sebuah kalimat, atau bahkan sebuah frase saja.
Dalam novel Cintapuccino, Penulis hanya mengambil salah satu tokoh
sederhana karena penulis lebih menitikberatkan pada wanita karier yang
mempunyai gaya hidup posmo. Salah satu tokoh sederhanya adalah Alin, sepupu
Rahmi. Icha Rahmanti sebagai pengarang novel ini menegaskan bahwa Alin
139
mempunyai watak yang sangat sederhana yaitu lebih percaya diri dan cuek
terhadap sekitarnya. Bahkan dengan santainya ia mempengaruhi Rahmi untuk
menelepon Raka untuk bertemu (sebelum mereka berhubungan) yang terdapat
dalam teks berikut ini:
Penakut! Alin mencibir. Nggak zamannya lagi jadi Cewek kayak
loya cuek aja, lo nggak akan pernah tahu kan kalo nggak nyoba? Ya
udah, santai, kalo lo telpon dia nge-bt-inya udah, biarin ajabt dikit
kan wajar buat cowok se-oke dialagian ntar kita nyari lagiJakarta
segede-gede gini kok susah sih nyari laki (Rahmanti, 2004:129).

Dari kata-kata yang diucapkan Alin kepada Rahmi khususnya yang
digarisbawahi menunjukkan bahwa Alin berkesan acuh tak acuh terhadap apapun
apabila sesuatu itu tidak dicoba terlebih dahulu, ia tidak merasa takut menerima
risiko yang terjadi atas perbuatan yang ia lakukan karena ia akan memikirkannya
sesudah hal itu benar-benar terjadi. Dan Alin pun menunjukkan gaya hidup posmo
yang bebas untuk membicarakan seks tanpa batasan. Dalam teks novel berikut ini
Alin sedang membicarakan mengenai bentuk dan ukuran bagian vital yang
dimiliki oleh pria dengan teman kelompok fitness-nya (termasuk Rahmi).
Eh, gue pernah dapat yang bengkok cetus Alin disambut tawa yang
lain. Tapi lumayan lohkalo dibandingin sama yang terakhir, ga ada
apa-apanyatapi sini ya gue kasi tahu, biasanya orang yang tinggi besar
belon tentu adiknya besar juga Yup, kami sedang membicarakan
soal Mr. Happy begitukan nama kondang untuk penis yang menjadi
vocab - nya Cosmopolitan? (Rahmanti, 2004:179).

Dari teks di atas terlihat bahwa Alin tampak biasa saja dalam
membicarakan hal tersebut, karena mereka juga kerap disuguhkan hal-hal tersebut
oleh salah satu bentuk media cetak yang mereka baca. Cosmopolitan adalah
sebuah majalah yang ditujukan untuk wanita metropolitan yang berusia dewasa
140
muda yang sudah mempunyai penghasilan sendiri. Di dalam majalah tersebut ada
kolom yang khusus membahas mengenai tips-tips seks dengan pasangan, dan juga
membahas mengenai bagian vital pria. Karena itu banyak wanita karier yang
menjadikan majalah Cosmopolitan sebagai bacaannya.
Piliang (2004:387-388) menegaskan pandangan di atas dengan
mengemukakan mengenai pornografi dalam posmodernisme yaitu bahwa dengan
digiringnya tubuh ke arah sebuah proses objektivikasi ekstrim, maka tubuh
ditinggalkan dari berbagai batasan moral, batasan sosial, batasan spiritual. Tubuh
kini tidak memerlukan lagi nilai-nilai subjektivitas, seperti privacy, rahasia, rasa
malu, rasa risih, atau rasa berdosa. Selain itu, batas-batas antara ruang pribadi
(privat space) dan ruang publik (public space) yang selama ini membatasi
penggunaan tubuh kini telah didekonstruksi. Segala sesuatu yang selama ini
dianggap sebagai domain private (aurat, kemaluan, organ, tubuh, seks) kini
dipertotonkan sebagai domain publik, dan akhirnya menjadi milik publik inilah
budaya ketelanjangan (obscene culture) (Baudrillard dalam Piliang, 2004:388).
Batas mengenai apa yang boleh/tidak boleh ditampilkan, dipampangkan,
dipamerkan, dipertontonkan, disuguhkan, dipasarkan, dijual, kini telah
didekonstruksi di dalam wacana tubuh masyarakat cabul society of the obscene.
Dari pandangan Piliang jelas sekali bahwa media dan pornografi dalam
konteks masyarakat kontemporer tidak dapat dilepaskan dari perbincangan
mengenai bagaimana berbagai prinsip, konsep, pandangan dunia, makna, dan
nilai-nilai yang berasal dari posmodernisme memberi bentuk pada media dan
pornografi tersebut. Khususnya bagaimana tubuh digunakan di dalam wacana
141
posmodernisme (khususnya di dalam media), sehingga ia berkembang ke arah
yang melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat tabu, dan agama.
Maka kini banyak yang menjadikan tubuh sebagai faktor utama dalam mencari
keuntungan. Misalnya, banyaknya majalah pria seperti Popular yang
menampilkan tubuh wanita dengan gaya tampilan yang lebih berani sehingga
pernah menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat (kasus Sophia Latjuba
dalam cover depan Popular dengan pose yang seperti telanjang).
Menurut Nurgiyantoro (1995:183), tokoh bulat atau tokoh kompleks,
berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati
dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun
ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam,
bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 1995:183) menegaskan dengan mengemukakan bahwa
dibandingkan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia
yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan
tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.
Dalam novel Cintapuccino ini yang menjadi tokoh bulat atau tokoh
kompleks adalah Rahmi karena apa yang ia lakukan tidak dapat ditebak dan
terkadang tidak sesuai dengan apa yang ia biasa lakukan. Icha Rahmanti sebagai
pengarang novel ini mengatakan bahwa sifat Rahmi adalah persisten (keras hati),
loyal, keras kepala dan tegas, namun ia juga kurang nekat dalam menghadapi
sesuatu seperti sepupunya, karena walaupun ia tegas, terkadang ia tidak berani
142
dalam mengambil risiko ketika melakukan sesuatu. Sifatnya yang keras kepala
dan terkadang berbuat sesuatu yang tidak biasanya terlihat ketika Rahmi
memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya di Balikpapan yang sudah
dijalaninya selama dua tahun. Dengan berhenti dari pekerjaannya maka ia akan
kembali ke Bandung namun tanpa mempunyai pekerjaan yang jelas. Hal ini
terdapat dalam teksnya bagaimana Rahmi mengundurkan diri dari pekerjaannya
setelah sampai di J akarta :
Kamu tahu apa yang aku lakukan kemudian? Aku tidak langsung pulang
ke Bandung, tapi aku check in di Mulia. Tinggal di Jakarta beberapa hari.
Kepada Mr. Jefferson, manajerku, aku mengirim email pengunduran
diriku dengan alasan harus meneruskan bisnis keluarga di Bandung
setelah sesuatu terjadi pada `kakekku. Ini benar-benar sinting! Tidak saja
aku menjadi sangat impulsif, tapi ini adalah hal ternekad yang pernah aku
lakukan seumur hidupku. Aku sama sekali tidak punya rencana apa-apa.
Aku bukan Rahmi gadis dengan check list things to do seperti
biasanyaDan aku belum pernah sebahagia ini (Rahmanti, 2004:126-
127).

Di teks ini juga terlihat bagaimana sebuah gaya hidup posmo yang
dilakukan Rahmi sebagai wanita karier yaitu terbiasa dengan teknologi
komunikasi dan informasi yang terbaru. Maka mereka dapat dengan bebas dan
cepat untuk mengirim email kepada atasannya sebagai pengganti dari surat
pengunduran dirinya. Apabila dahulu untuk mengundurkan diri seorang bawahan
harus menemui atasannya secara langsung dengan membawa surat keterangan
pengunduran diri, tapi kini cukup dengan email saja, bahkan Rahmi yang sedang
berada di J akarta dapat dengan mudah menghubungi manajernya yang tidak
diketahui sedang berada di mana, untuk memberitahukan pengunduran dirinya.
Dari sini terlihat bahwa Rahmi sudah sangat terbiasa dengan dunia virtual
di dalam komputer yaitu internet. Internet telah menjadi ajang untuk
143
bersosialisasi, berekspresi, dan bahkan untuk mencari jodoh. Karena seseorang
dapat menyembunyikan jati dirinya, dunia virtual juga dapat menjadi ajang
katarsis atau pelepasan emosi (Susanto, 2001:43). Begitu pun dengan Rahmi yang
menggunakan email sebagai pengganti surat kepada atasannya. Dengan begitu ia
tidak usah bertatap muka dengan bosnya dan mendapat tekanan karena dia
dianggap kabur dari pekerjaannya. Bahkan Rahmi setelah mengirim email merasa
lega karena dapat keluar tanpa harus bertemu muka dengan karyawan-karyawan
perusahaannya.
Terlebih lagi di zaman ini wanita memang harus mampu menguasai
komputer untuk menunjang pekerjaannya namun di baliknya menguasai komputer
juga merupakan bagian dari sebuah gaya hidup. Susanto pun (2001:41)
mengatakan bahwa gaya hidup sekarang memang banyak diwarnai oleh dunia
komputer. Dunia virtual ini mampu memberikan warna tersendiri dalam gaya
hidup individu maupun kelompok.

5.3.3 Pencerminan Tokoh dalam Novel Cintapuccino
Menurut Nurgiyantoro (1995:190), berdasarkan kemungkinan
pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata,
tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh
netral (neutral character).
Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 1995:190) menjelaskan
bahwa tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
144
kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Nurgiyantoro
(1995:190-191) lebih lanjut menjelaskan bahwa tokoh tipikal merupakan
penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok
orang yang terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian
dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Penggambaran ini tentu saja bersifat
tidak langsung dan tidak menyeluruh, dan justru pihak pembacalah yang
menafsirkannya secara demikian berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan
persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan pemahamannya terhadap tokoh
cerita di dunia fiksi.
Penokohan yang tipikal ataupun bukan berkaitan erat dengan makna,
intentional meaning, makna intensional, makna yang tersirat, yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Melalui tokoh tipikal itu pengarang
tak sekedar memberikan reaksi atau tanggapan, melainkan sekaligus
memperlihatkan sikapnya terhadap tokoh, permasalahan tokoh, atau sikap dan
tindakan tokohnya itu sendiri.
Yang menjadi tokoh tipikal dalam novel Cintapuccino adalah Rahmi,
karena ia mewakili wanita karier yang biasa hidup di perkotaan dengan gaya
hidup masa kini dan terbiasa dengan sesuatu yang serba instant serta bersifat
konsumerisme, bahkan dalam novel ini terlihat bahwa pengarang ingin
menceritakan masalah yang kerap terjadi pada wanita yang berusia dewasa muda,
mempunyai pekerjaan, dan biasa hidup di perkotaan. Hal ini terlihat dalam teks
berikut ini:
Aku dan Alin berjalan-jalan, menikmati kehidupan metropolitan dengan
godaan konsumerismenya itu. Setiap hari kami lewati dengan nongkrong
145
di mal dan berbelanja, atau ngafe, atau merawat diri di spa (Rahmanti,
2004:127).
, sedangkan akuhmm tipikal perempuan kota yang bisanya cuma
masak frozen food, mie instant, dan nasi goreng (Rahmanti, 2004:139).

Dari teks di atas terlihat bahwa Rahmi merupakan cerminan dari wanita
karier dengan gaya hidup posmo. Rahmi mempunyai sifat konsumerisme yang
tinggi dan ia juga senang dengan sesuatu yang bersifat hura-hura, hiburan, dan
mementingkan penampilan yang terlihat dari caranya menghabiskan uang dengan
berbelanja di mall, pergi kafe` dan merawat diri melalui spa. Selain itu ia pun
lebih menyenangi sesuatu yang bersifat instant karena ia tidak perlu bersusah-
susah dahulu. Maka karena itu ia lebih menyenangi memasak makanan beku atau
mie instant karena tidak perlu bumbu masak yang rumit dan susah didapat.
Hal di atas ditegaskan oleh Piliang (1997:177), ia mengatakan bahwa
mengalirnya fashion di pusat-pusat perbelanjaan dalam kecepatan yang tinggi
memberikan cara yang sangat efektif dalam memacu kecepatan produksi dan
konsumsi. Ini tentunya tidak hanya berlaku pada model pakaian, tetapi juga pada
model barang konsumer lainnya, termasuk kebutuhan yang berkaitan dengan gaya
hidup dan rekreasi, yang kini bernaung di bawah panji-panji fashion. Pelipatan
waktu produksi dan konsumsi dalam bentuknya yang ekstrem melalui sistem
fashion memungkinkan konsumer untuk mengganti produk mereka setiap hari.
Pelipatan waktu semacam ini telah menggiring masyarakat konsumer (Barat) ke
dalam budaya kesesatan (instant food, fast food, instant furniture, dan
sebagainya). Pelipatan waktu yang dimaksud oleh Piliang adalah sebuah proses
penaklukan ruang, lebih jelasnya yaitu berbagai bagian dari dunia yang berbeda-
146
beda (dalam wujud komoditas) dalam satu ruang dan waktu yang sama, ruang
yang memungkinkan masyarakat Indonesia, misalnya mengikuti kejadian-
kejadian aktual atau model-model yang lagi hangat di New York secara langsung.
Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995:191), tokoh netral di pihak lain,
adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar
merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi.
Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya
yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak
berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya,
seseorang yang berasal dari dunia nyata. Atau paling tidak, pembaca mengalami
kesulitan untuk menafsirkannya sebagai bersifat mewakili berhubung kurang ada
unsur bukti pencerminan dari kenyataan di dunia nyata.
Dalam novel Cintapuccino ini terdapat tokoh netral yaitu tokoh yang
merupakan tokoh imajiner karena sifatnya mendekati sempurna, yaitu Raka.
Dalam teks novel pun terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa tokoh ini
mempunyai sifat yang sempurna namun karena tokoh ini adalah seorang pria
maka ia tidak mewakili permasalahan yang dibahas penulis yaitu mengenai wanita
karier yang mempunyai gaya hidup posmo, sehingga penulis tidak akan
menganalisisnya.

5.4 Unsur Pelataran dalam Novel Cintapuccino
Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan
dengan sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah
147
dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun, tentu saja hal itu
kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu
memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan
manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, di samping
membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga perlu latar.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216) latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995:216) mengelompokkan latar,
bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah
yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika
membaca cerita fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung
membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian
yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan di mana dan kapan.
Nurgiyantoro (1995:217) menjelaskan bahwa latar memberikan pijakan
cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah sungguh-sungguh ada
dan terjadi. Pembaca, dengan demikian, merasa dipermudah untuk
mengoperasikan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan
secara kritis Sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat
merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa
menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya.
148
5.4.1 Latar Tempat dalam Novel Cintapuccino
Menurut Nurgiyantoro (1995:227-228), latar tempat menyaran pada lokasi
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial
tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat menjadi sesuatu yang
bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan
penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan.
Namun, dalam sejumlah karya tertentu, penunjukkan latar hanya sekedar sebagai
latar, lokasi hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa-peristiwa, dan kurang
mempengaruhi perkembangan alur dan tokoh.
Dalam novel Cintapuccino latar tempat yang ada di dalam novel adalah
Bandung sebagai kota kelahiran Rahmi dan tempat Rahmi bekerja sebagai
pengusaha toko distro` baju perempuan, kemudian di Balikpapan dimana Rahmi
bekerja pertama kali sebagai Field Engineer di sebuah sumur minyak, dan di
J akarta sebagai tempat di mana kantor Raka berada dan tempat Rahmi berlibur
setelah berhenti kerja di Balikpapan.
Kebanyakan latar tempat yang menjadi salah satu pendukung cerita adalah
di J akarta sebagai kota metropolitan dan Bandung yang notabene adalah sebuah
kota besar. Tentu saja dalam perkotaan besar seperti Bandung dan J akarta sarat
dengan gemerlapnya hiburan di waktu malam, tempat-tempat sebagai pusat
fashion berada seperti Mall dan juga tempat hiburan dan hura-hura seperti kafe,
nite club, diskotik, pub, atau bar, serta tempat-tempat lainnya yang mengundang
hasrat konsumerisme masyarakat.
149
Salah satu latar tempat yang menunjukkan bagaimana gaya hidup posmo
wanita karier adalah ketika Rahmi berada di J akarta di mana Rahmi
menghabiskan uangnya. Yang terdapat dalam teks berikut ini:
Hari ke-2 di Jakarta aku mengabari Alin, mengajaknya menginap di
Mulia dengan catatan dia harus merahasiakan semuanya pada
kerluargaku. Aku dan Alin berjalan-jalan, menikmati kehidupan
metropolitan dengan godaan konsumerismenya itu. Setiap hari kami
lewati dengan nongkrong di mal dan berbelanja, atau ngafe, atau
merawat diri di spa (Rahmanti, 2004:127).

Dari teksnya saja terlihat bahwa ketika berada di J akarta, Rahmi menginap
di salah satu hotel berbintang, yaitu hotel Mulia yang berlokasi di daerah Senayan,
J akarta pusat dan berbelanja di Mall, mengobrol di kafe dan merawat diri di spa.
Dari sini terlihat gaya hidup posmo yang tercermin dari tempat dimana Rahmi
menghabiskan waktu dan uangnya dengan cepat. Tempat-tempat di atas adalah
tempat dimana terdapat produk kebudayaan pop. Mall dan kafe adalah salah satu
dari tempat dimana biasanya wanita karier masa kini menghabiskan waktunya.
Mereka memilih tempat ini karena memiliki pertimbangan gengsi dan meniru
kebiasaan selebritis atau kalangan atas yang memang memiliki gaya hidup yang
serba wah karena mereka ingin diidentifikasikan mempunyai status sosial yang
sama dengan kalangan tersebut.

5.4.2 Latar Waktu dalam Novel Cintapuccino
Nurgiyantoro (1995:230) menjelaskan bahwa latar waktu berhubungan
dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan
150
waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa
sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian
dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha
memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya
yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan
perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk
mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Dalam novel Cintapuccino, cerita mengenai Rahmi berlangsung pada
tahun 2003 ketika di Indonesia sedang mengalami masalah dengan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka). Pada tahun itu, diberlakukannya DOM (Daerah Operasi
Militer) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), adanya pengeboman di hotel J W
Marriot, dan adanya Sea Games serta tertangkapnya Sadam Husein. Hal berikut
terdapat dalam teks berikut ini:
Lagipula sekarang bulan Desember, dan semenjak diberlakukannya DOM
alias Daerah Operasi Militer di NAD sekitar Mei 2003 lalu, seharusnya
DOM ini sudah selesai dalam kurun waktu 6 bulan. Aku sendiri hanya
mengikuti sepintas masalah NAD itu - mengikuti saja apa yang
diberitakan di TV, seperti pemboman Marriot, Sea Games, sampai
tertangkapnya Sadam Husein tanggal 13 Desember kemarin membuat
headline berita-berita di koran dan khususnya TV tidak lagi memberitakan
tentang DOM di NAD (Rahmanti, 2004:144-145).

Waktu yang tertera di dalam teks di atas menunjukkan di mana tengah
terjadi globalisasi yang menimpa Indonesia. Sehingga banyak pengaruh dari Barat
yang mengubah nilai, gagasan, dan ideologi masyarakat. Hal tersebut yang
menjadi bagian dari budaya pop yang kini tengah merambah masyarakat
Indonesia. Maka tak heran apabila dalam novel ini ada sebuah gaya hidup posmo
151
wanita karier karena memang terjadi pada zaman globalisasi dimana sistem
informasi dan komunikasi kini sedang berkembang seperti media massa, iklan,
pemasaran, kartu kredit, dan berbagai hubungan masyarakat lainnya, demikian
juga budaya populer seperti televisi, video, komputer, taman hiburan, pusat
perbelanjaan dan lain sebagainya menjadi penting.

5.4.3 Latar Sosial dalam novel Cintapuccino
Nurgiyantoro (1995:233) menjelaskan bahwa latar sosial menyaran pada
hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat
mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan
sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial
tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.
Latar sosial yang terdapat dalam novel Cintapuccino, terdiri dari latar
belakang keluarga, agama, pandangan, dan cara berpikir serta cara bersikap yang
dimiliki oleh Rahmi sebagai tokoh utama cerita. Dari segi latar belakang keluarga
dan agama, Rahmi berasal dari keluarga Sunda yang beragama Islam dan telah
lama menetap di Bandung. Terlihat dari teks berikut ini:
Adalah suatu ciri khas keluarga besar Sunda yang gemar ngariung
(kumpul-kumpul). Keluarga besar kami punya permainan ritual yang
selalu dijalankan setiap ketemuan untuk melengkapi acara ngariung itu.
Entah itu acara lebaran, tahun baru, atau arisan para tetua keluarga
(Rahmanti, 2004:1).

152
Maka dari teks terlihat ada bahasa daerah yang digunakan oleh Rahmi
yaitu bahasa Sunda, yaitu ngariung yang berarti kumpul-kumpul. Agama yang
dianut Rahmi adalah Islam dapat terlihat dari teks di atas yang menyebutkan
adanya acara lebaran yang hanya dirayakan oleh umat Muslim. Selain itu gaya
hidup posmo yang dianut Rahmi memang turunan dari ibunya yang dulunya
sering memakai pakaian yang sedang trend pada masanya serta merokok dan
senang berpesta. Hal tersebut ditegaskan oleh pengarang dalam teks berikut ini
yang di akhir kalimat kata-kata dalam kurung mengatakan so it`s genetic yang
berarti bahwa itu semua adalah sifat turunan.
Semasa hidup Uyud (ibu nenekku), beliau kerap bercerita betapa
khawatirnya dulu beliau melihat kelakuan mamaku dan Ua-Ua yang lain
semasa mereka muda dulu sebagai generasi bunga` - ada banyak
bukti kalau mereka berlima dulu adalah party girl` keluarga besar kami
dengan rok mikro mini, dan rambut dibuat kribo serta sandal setebal
ulekan cabe, dan tentunya rokok (so it`s genetic) (Rahmanti, 2004:2).

Dari segi pandangan hidup dan cara berpikir, Rahmi terlihat mengikuti
nilai-nilai, gagasan yang merupakan produk dari budaya pop karena globalisasi
yang merambah Indonesia melalui media massa, sehingga berpengaruh terhadap
gaya hidupnya. Hal tersebut terlihat dari teks berikut ini:
Was it just about great sex ?
Aku sering mendengar bahwa great sex adalah salah satu kunci sukses
kelanggengan sebuah hubungan, atau setidaknya satu perekat erat sebuah
hubungan, satu alasan kuat kenapa kadang orang bertahan dengan orang
lainnya, dan merasa jatuh cinta (Rahmanti, 2004:56).

Teks di atas menunjukkan pandangan Rahmi bahwa seks adalah suatu hal
yang biasa, padahal dengan latar belakang agamanya yang Islam, seks sebelum
menikah adalah haram hukumnya. Namun, karena adanya pengaruh Barat, maka
153
bagi Rahmi seks dalam berpacaran adalah hal yang biasa. Seperti telah
dikemukakan sebelumnya oleh Singarimbun bahwa kini komersialisasi seks
semakin merajalela.
J adi dari yang telah dikemukakan di atas jelas sekali bahwa gaya hidup
yang dianut Rahmi adalah karena memang latar belakang keluarganya dan cara
hidupnya. Keluarganya juga mempunyai pandangan yang kebarat-baratan dan
bebas. Selain itu juga dalam latar spiritual, Rahmi dan keluarganya tidaklah
berasal dari keluarga yang rajin dalam menjalankan ibadah agama Islam karena
dalam cerita sama sekali tidak pernah diceritakan adanya ibadah yang dilakukan
oleh Rahmi dan keluarganya seperti shalat 5 waktu yang biasanya sering
dikerjakan oleh umat Islam. Sehingga mereka pun menerima saja nilai-nilai yang
berasal dari Barat yang diedarkan dan dikomoditaskan oleh media dalam bentuk
produk kebudayaan pop.

5.5 Unsur Gaya Bahasa dalam Novel Cintapuccino
Kita dapat mengetahui bahasa dengan salah satu cirinya yaitu sebagai
serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk
berkomunikasi. Dan bahasa juga merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini
membentuk suatu arti tertentu. Kemudian manusia mengumpulkan lambang-
lambang ini dan menyusun apa yang kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata.
Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan kumpulan pemikiran dan
pengalaman mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka
154
punyai maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pemikiran dan
pengalaman mereka.
Oleh karena itu bahasa dalam sastra adalah unsur yang sangat penting
yang tak dapat ditawar lagi. Kita dapat mengetahui isi pesan yang mengandung
pemikiran, pendapat, dan pengalaman pengarang tersebut dari bahasa yang
dikemukakan. Bahasa adalah alat utama sang pengarang dalam menuangkan ide-
idenya agar dimengerti oleh pembaca seperti yang dikatakan Nurgiyantoro
(1995:272) bahwa bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya yaitu
fungsi komunikatif. Tentu saja karena setiap pengarang mempunyai kepribadian
dan cara penulisan yang berbeda-beda maka gaya bahasa yang terdapat dalam
karya sastra pun beragam.
Fowler (dalam Nurgiyantoro, 1995:272) menjelaskan bahwa sastra,
khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga
dikatakan dunia dalam kata. Hal itu disebabkan dunia yang diciptakan,
dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata,
lewat bahasa. Apa pun yang akan dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan
oleh pembaca, mau tak mau harus bersangkut-paut dengan bahasa. Struktur novel
dan segala sesuatu yang dikomunikasikan senantiasa dikontrol langsung oleh
manipulasi bahasa pengarang.
Menurut Abrams (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:276) stile, (style,
gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapakan sesuatu akan dikemukakan. Abrams
menandai stile dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur
155
kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Sedangkan menurut Leech dan Short (dalam Nurgiyantoro, 1995:276), makna
stile adalah suatu hal yang umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial,
menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh
pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian, stile
dapat bermacam-macam sifatnya, tergantung konteks di mana dipergunakan,
selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri.

5.5.1 Unsur Leksikal dalam Novel Cintapuccino
Menurut Nurgiyantoro (1995:290), unsur leksikal yang dimaksud sama
pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan
kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat bahwa karya
fiksi adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-
kata, pemilihan kata-kata tersebut tentulah melewati pertimbangan-pertimbangan
tertentu untuk memperoleh efek tertentu, Efek ketepatan (estetis). Masalah
ketepatan itu sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan
makna, yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang
bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu
mengungkapkan gagasan seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.
Dalam novel Cintapuccino ini pengarang menggunakan kata-kata
denotatif atau bermakna sebenarnya. Karena Icha Rahmanti sendiri menekankan
bahwa bahasa yang ia pergunakan adalah bahasa bertutur yang dipakai dalam
sehari-hari. Maka kata-kata yang dipergunakan adalah kata-kata yang seperti
156
diucapkan antara seseorang dengan temanya. Namun dalam novel ini kata-kata
yang dipergunakan adalah kata-kata yang kerap digunakan oleh wanita karier
yang berusia dewasa muda dan mempunyai gaya hidup posmo dan hidup di
perkotaan (kata gaul dan dicampur sedikit kata dari bahasa Inggris). Dalam teks
terdapat bahasa Inggris yang menggantikan suatu kata dalam bahasa Indonesia.
Dan ada juga yang mengganti kata dalam bahasa Indonesia resmi dengan bahasa
gaul yang ada dalam pergaulan sehari-hari di perkotaan. Seperti dalam teks
novel berikut ini :
JADI begitulah ceritanya, di saat aku hampir menginjak usia 25, di
tengah quarter life crisis-ku karena baru saja kabur dari pekerjaan yang
tidak pernah aku cintai, tapi sangat berprospek, dan sudah hampir dua
tahun betul-betul menjomblo (tanpa gebetan sama sekali!), Raka datang
seperti pahlawan (Rahmanti, 2004:133).

Di kata-kata yang diberi garis bawah adalah contoh penggunaan sinonim.
Wibowo (2002:38) mengartikan sinonim sebagai penghubung antar kalimat,
diyakini sangat efektif dalam menjaga kesegaran kalimat. Menurut Wibowo
penggunaan sinonim adalah salah satu hal yang diperhatikan agar penulis dapat
memilih kata-kata secara cermat. Quarter life crisis berasal dari kata-kata, yaitu
quarter yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris berarti seperempat (Kamus
Lengkap, 1982:166), life yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris berarti hidup
(Kamus Lengkap, 1982:101) dan crisis yang berasal dari kata dalam bahasa
Inggris berarti krisis atau saat yang genting (Kamus Lengkap, 1982:35), berarti
apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah krisis dalam
seperempat hidup.
157
Kata tersebut digunakan sebagai sinonim dari kata yang mengandung arti
sebuah usia yang merupakan masa rawan karena di saat itu wanita harus sudah
mempunyai calon pendamping atau pekerjaan yang merupakan sebuah kategori
untuk disebut dewasa. Hal itu merupakan masa yang sangat sensitif bagi wanita
dewasa muda, karena apabila tidak mempunyai calon pendamping atau pekerjaan
akan selalu ditanyakan oleh orang-orang terdekat atau keluarga. Sedangkan
menjomblo adalah sebuah kata dari bahasa gaul bagi masyarakat urban yang
menjadi sinonim dari kata yang berarti tidak mempunyai pacar sama sekali.

5.5.2 Unsur Gramatikal dalam Novel Cintapuccino
Menurut Chapman (dalam Nurgiyantoro, 1995:292-293), yang dimaksud
unsur gramatikal menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan
komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting
dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal
juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan (baca: struktur
batin), dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (baca: struktur lahir)
yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya.
Dalam novel Cintapuccino, struktur kalimat yang dipergunakan tidak
sempurna (subjek-predikat-objek) karena kalimat yang ada dalam novel
kebanyakan adalah seperti kalimat yang bersifat menceritakan saja, sehingga
pembaca dapat langsung menangkap gagasan pesan di baliknya. Kalimat dalam
teks tersebut menunjukkan salah satu gaya hidup posmo wanita karier yaitu dalam
kehidupan percintaan. Teksnya adalah sebagai berikut:
158
Setelah telepon berakhir, Bye langsung aku tutup teleponku,
melemparnya ke atas tempat tidur dan membalas ciuman Raka dengan
pikiran tak karuan. (Rahmanti, 2004:93).

Struktur kalimat di atas mempunyai struktur kalimat yang tidak harmoni
atau seimbang karena subjek dan predikatnya tidak jelas. Setelah adalah salah satu
kata depan, dan kata depan tidak bisa berfungsi sebagai subjek. Wibowo
(2002:82-83) menjelaskan bahwa kalimat efektif dapat diketahui dari salah satu
ciri khasnya yaitu keharmonian atau keseimbangan antara gagasan (konsep) dan
struktur bahasa yang dipakai. Sedangkan keharmonian kalimat dapat dilihat dari
salah satu cirinya yaitu subjek dan predikatnya yang jelas. Sehingga dalam novel
Cintapuccino ini pengarang terlihat tidak terlalu memperhatikan bagaimana
cara penulisan kalimat yang efektif agar ide pokoknya mampu terpatri kuat-kuat
atau menempel erat-erat di benak pembacanya.
Sedangkan kalimat di atas berarti, ketika telepon berakhir, setelah Rahmi
menaruh telepon, ia pun membalas ciuman Raka dengan pikiran yang tidak tertuju
kepada Raka. Dan dalam teks di atas terlihat ketika Rahmi sedang berada di
kamarnya dan Nimo menelponnya, secara kebetulan Raka memasuki kamar
Rahmi dan mencium Rahmi. Kalimat yang dipilih oleh pengarang menunjukkan
bagaimana Rahmi mempunyai pandangan yang bebas mengenai hubungan antara
pria dan wanita. Ia tidak merasa keberatan dengan Raka (yang bukan muhrimnya)
untuk memasuki kamarnya dan saling berciuman yaitu suatu perbuatan yang dapat
merangsang untuk melakukan seks.


159
5.5.3 Retorika dalam Novel Cintapuccino
Nurgiyantoro (1995:295) mengemukakan bahwa retorika merupakan cara
penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui
kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa
sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam
sastra, seperti telah dibicarakan di atas, mencerminkan sikap dan perasaan
pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan
perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Untuk itu, bentuk pengungkapan
bahasa haruslah efektif yaitu mampu mendukung gagasan secara tepat sekaligus
mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni.
Dalam novel Cintapuccino, bahasa yang dipakai selain bahasa gaul`
sehari-hari (khas perempuan urban) juga dicampur dengan bahasa Inggris dengan
logat American Style. Penggunaan bahasa ini berfungsi sebagai sarana identifikasi
yang menunjukkan bagaimanakah sosok seorang Rahmi itu. Seperti yang terdapat
dalam teks berikut ini:
Damn, kalau Alin sudah ngedugem, itu tandanya dia baru bisa dihubungin
besok siang sekitar jam 1. Itu pun untuk hang over kadar normal, kalau
lebih, mungkin dia baru bisa dihubungin dengan arwah yang menyatu di
badannya sekitar pukul 4 sore (Rahmanti, 2004:95).

Dari paragraf di atas terdapat kata Damn, yang dari Kamus Lengkap
(1982:37) berarti mengutuki, dalam bahasa Indonesia hal ini berupa kata makian
atau umpatan. Kemudian kata hang over berasal dari kata hang dan over. Hang
dalam Kamus Lengkap (1982:73) berarti bergantung, sedangkan over dalam
Kamus Lengkap (1982:134) berarti di atas, jadi hang over apabila diterjemahkan
160
ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti bergantung di atas. Namun dalam
pengertian yang sebenarnya, kata-kata ini mengacu kepada kata mabuk setelah
minum minuman beralkohol. Sedangkan ngedugem adalah bahasa gaul` yang
biasa dipakai oleh orang-orang di perkotaan untuk menyebutkan mengenai
hiburan dan hura-hura ketika malam di kota (dugem artinya dunia gemerlap)
seperti clubbing atau party. J adi arti dari paragraf di atas berarti bahwa Alin baru
bisa dihubungi pada siang hari, karena ia masih pusing akibat mabuk karena
clubbing atau party semalam, namun itu pun apabila ia tidak terlalu mabuk,
namun apabila ia telah minum secara berlebihan, mungkin ia baru bisa dihubungi
pada sore hari.
J adi bahasa yang digunakan oleh pengarang menunjukkan bahwa Rahmi
adalah seorang wanita karier dengan gaya hidup posmo, selain itu terlihat pula
dari kehidupannya yang terbiasa dengan kehidupan malam hari yang berkesan
hura-hura semata. Dan hiburan yang mereka cari pun adalah hiburan yang
biasanya dilakukan oleh selebritis, sehingga agar mendapat status yang sama,
banyak orang yang mengikuti gaya hidup sang selebritis. Hal di atas juga sesuai
dengan seperti yang pernah dikatakan oleh Samuel Mulia, seorang penulis mode
dan gaya hidup, di salah satu tulisannya di koran Kompas dalam kolomnya yang
bertajuk Urban, bahwa budaya Barat seperti ucapan (maaf) fuck you sambil
mengangkat jari tengah ke atas, kini juga sudah menjadi budaya banyak
masyarakat Indonesia termasuk dia juga. Bahkan kalau ia mengumpat dengan
bahasa Barat berbunyi shit, ia merasa cool (hebat) dan lebih sopan ketimbang
bicara bangsat .
161
Hal ini menegaskan bahwa kini masyarakat yang kebanyakan hidup di
perkotaan merasa lebih hebat apabila memakai bahasa Indonesia yang dicampur
bahasa Inggris walaupun terkadang ada yang salah pengucapannya dan tidak
mengerti arti sebenarnya dari kata itu. Bahkan ada orang yang langsung
membetulkan apabila temanya salah dalam menggunakan bahasa Inggris namun ia
tidak membetulkan ketika ada orang lain yang salah dalam menggunakan bahasa
Indonesia yang sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Di kota-kota
besar sendiri banyak sekali kita lihat toko-toko atau Mall yang namanya
menggunakan bahasa Inggris seperti The Plaza semanggi dan Cilandak Town
Square (citos). Karena itulah kini Indonesia sedang diserbu segala sesuatu yang
berbau Barat, dan Indonesia pun menerimanya tanpa mengolahnya secara
bijaksana karena menganggap bahwa hal ini adalah wajar karena merupakan salah
satu akibat dari globalisasi.

5.6 Analisis mengenai Posmodernisme dan Budaya Populer dalam Novel
Cintapuccino
Sebelum menganalisis mengenai posmodernisme dan budaya pop dalam
novel Cintapuccino, maka terlebih dahulu penulis akan menganalisis mengenai
posmodernisme yang telah penulis paparkan di bab sebelumnya. Karena seperti
yang kita ketahui sebelumhya bahwa posmodernisme masih menjadi perdebatan.
Di satu sisi ada kalangan yang mengatakan bahwa ini adalah era posmodernisme
namun di sisi lain ada kalangan yang menganggap bahwa sebenarnya
posmodernisme hanyalah sebuah label bagi suatu gerakan saja namun pada
162
dasarnya kita masih berada di era modernisme. Namun di balik perdebatan itu
semua yang tentu saja belum ada penyelesaiannya, penulis akan mencoba
mengambil inti dari pendapat para ahli tersebut untuk dijadikan dasar analisis.
Zaman kita kini merupakan masa dimana realitas di bidang ekonomi
mengalihkan etika, dan realitas dikalahkan oleh image. Inilah masa di mana
produksi barang digeser oleh produksi budaya. Teknologi informasi dan
industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi untuk
nilai guna tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio, video, visual) menjadi
alat utama perdagangan dengan advertising sebagai intinya. Inilah era yang
disebut pascamodern (the postmodern) atau dimana orang kemudian bicara
tentang budaya konsumen. Semua hal bisa diproduksi dan semua hal dikonsumsi,
tanpa batas, seolah orang diberikan kebebasan untuk memilih apa yang perlu dan
apa yang tidak perlu dibeli.
Featherstone (1993:5) menjelaskan bahwa jika modern dan pascamodern
merupakan istilah umum, segera tampak bahwa awalan pasca berarti sesuatu yang
datang kemudian, sebuah pemutusan atau pemecahan dengan kata modern yang
didefinisikan dalam perbedaan yang bertentangan dengannya. J adi, istilah
pascamodernisme (posmodernisme) lebih berangkat dari penyangkalan terhadap
kata modern, sesuatu yang terlepas, terputus atau terpisah dari ciri-ciri kata
modern, dengan penekanan yang kuat pada hilangnya sifat hubungan tersebut. Hal
ini membuat pascamodern menjadi istilah yang relatif tak didefinisikan, seolah
kita berada pada ambang pintu yang akan bergeser secara tak terduga, dan kita
163
tidak berada dalam posisi untuk menghormati pascamodern sebagai sebuah
kepastian yang sepenuhnya siap landas, sehingga dapat didefinisikan oleh dirinya.
Robert Dunn (1993:38-40) kemudian menyebutkan bahwa istilah
pascamodernisme` yang bermakna ganda dan angkuh telah jarang digunakan
untuk menyebut suatu gaya, gerakan, kurun budaya massa sekarang. Di samping
ketidakjelasannya, istilah ini menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang
merosotnya wewenang dan daya tarik modernisme serta munculnya kepekaan dan
epistemologi baru, yang dalam seluruh jangkauan khasanah kesenian dan
intelektual memutuskan hubungan dan/atau berlawanan dengan paradigma
modernis.
Dalam pandangan ini, pascamodernisme mencakup pembelotan dari
berbagai kaidah dan pranata modernisme, yang sekarang dipandang sebagai
kemapanan. Pascamodernisme juga merupakan pembubaran lebih lanjut berbagai
praktik budaya menjadi keragaman gaya, genre serta gerakan baru. Dengan
mendefinisikan dirinya menentang modernisme, pascamodernisme memperoleh
makna yang samar. Masih tetap belum jelas apakah perkembangan ini merupakan
pemutusan hubungan yang menentukan dengan modernisme ataukah hanya
kelanjutan, perpanjangan, atau akhir darinya. Pascamodernisme ini sendiri telah
membentuk populisme kebudayaan jenis baru. Di belakang populisme ini terdapat
kekuasaan media massa dan masyarakat konsumen di satu sisi serta pluralisme
budaya di sisi lain, yakni berbagai kecenderungan kontradiktif yang
bertanggungjawab atas sifat makna gandanya budaya pascamodernisme.
164
Dunn (1993:41) juga menjelaskan bahwa, suatu tanda adanya praktik
pascamodernisme dapat kita rasakan dari adanya pergeseran mendasar dari
estetika produksi ke estetika konsumsi yang menunjukkan kenaikan yang berdaya
penuh dari nilai-nilai permainan. Hal tersebut jelas memang telah banyak terjadi
di Indonesia. Timbulnya posmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan
modernisme dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai
kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan pada umumnya. Ratna (2004:151) menegaskan bahwa
posmodernisme muncul untuk mengoreksi linearitas modernisme yang bertujuan
untuk mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, di
luar wacana hegemoni. Sebagaimana diketahui baik secara teoretis konseptual
maupun praktis pragmatis, Barat dianggap sebagai sesuatu yang universal dan
superior, yang secara keseluruhan mensubordinasikan dunia non-Barat.
Konsekunsinya adalah Barat seolah-olah memaksakan agar dunia Timur
menyesuaikan diri dengan dunia Barat. Dalam hubungan inilah posmodernisme
mengemukakan konsep relativisme budaya sehingga gejala yang selama ini
dianggap berada di luarnya dapat dipertimbangkan kembali.
Kemudian seperti yang telah dikemukakan Strinati (2004:256) di bab
sebelumnya bahwa posmodernisme dikatakan menguraikan lahirnya suatu tatanan
sosial di mana arti penting maupun kekuatan media massa dan budaya populer itu
mengatur dan membentuk segala macam hubungan sosial. Lebih lanjut Strinati
mengatakan bahwa gagasan dalam posmodernisme adalah dimana tanda-tanda
budaya populer maupun citra media semakin banyak mendominasi rasa realitas
165
kita, maupun bagaimana kita mendefinisikan diri kita maupun dunia sekitar kita.
Hal ini berarti bahwa posmodernisme telah melahirkan budaya populer yang biasa
disebut budaya pop dalam masyarakat.
Berdasarkan penjelasan J ames Lull, bahwa pop dalam budaya pop
sesungguhnya berarti bahwa impuls-impuls dan citra budaya berasal dari
lingkungan sehari-hari dan kemudian diperhatikan, diinterprestasi, dan dipakai
oleh orang-orang biasa-kadang-kadang, tetapi tidak selalu, dengan cara-cara yang
sangat bertentangan- setelah dikomoditaskan dan diedarkan oleh industri
kebudayaan dan media massa (Lull,1998:87). Hal ini menegaskan pandangan di
atas bahwa media massa menjadi alat yang utama bagi budaya populer untuk
menyiarkan, mempromosikan serta menerangkan dan memperantarai budaya
populer ke dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, agar masyarakat terus
mengkonsumsi produk-produk kebudayaan pop.
Media kerap disebut sebagai cermin dari masyarakatnya, namun pada saat
ia menyampaikan kebudayaan populer, sebagai cermin ia tidak memantulkan
kenyataan, tetapi lebih banyak merefleksikan bayangan-bayangan yang diinginkan
oleh masyarakat tersebut. Dan kita pun lebih jauh dapat melihat bahwa produk
kebudayaan populer ikut dalam arus yang sedang berlangsung dalam masyarakat.
Kondisi masyarakatlah yang akan membentuk produk kebudayaan populer yang
biasanya berasal dari Barat. Seperti apa yang dikatakan oleh J alaluddin Rakhmat
(1997:201) bahwa apa yang dianggap penting oleh Barat kita anggap penting pula.
Menurut Ashadi Siregar (1997:209) kebudayaan populer semacam film,
musik, novel telah mengisi mekanisme pasar, tidak sekedar menyampaikan pesan
166
(message) kesenian. Dengan kata lain, benda-benda ini memiliki posisi yang khas.
Di satu pihak berpretensi untuk menyampaikan message, dan di pihak lain
ditempatkan sebagai komoditas. Dalam posisi terakhir ini, nilainya sama saja
dengan produk kebudayaan populer semacam mode pakaian yang diproduksi
massal atau gimmick lainnya.
Kebudayaan populer ini juga menawarkan gaya hidup yang khas dan
cenderung berkesan elit. Bagi kelas atas sendiri ia merupakan mode yang menarik,
dan bagi kalangan bawah merupakan impian yang apabila sekali direngkuh seolah
-olah dapat mewujudkan kenyataan yang tak mungkin dicapai dengan cara-cara
normal. Gaya hidup ini begitu ingin direngkuh oleh masyarakat bawah karena
gaya hidup inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial.
Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang sebagai KTP bagi keanggotaan
masyarakat di dalam lingkungan sosialnya. Untuk menangkap gaya hidup ini
dapat kita lihat dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang
biasanya bersifat modis, cara berperilaku (etiket), sampai bahasa yang digunakan
tidak untuk tujuan berkomunikasi semata-mata, tetapi juga untuk simbol identitas.
Novel Cintapuccino yang merupakan media massa komersial adalah
salah satu bagian dari posmodernisme karena didalamnya mengandung hal-hal
yang merupakan produk dari kebudayaan populer seperti yang telah penulis
jelaskan di bab sebelumnya, yaitu :
1. Dari segi hiburannya yaitu dari yang biasanya hanya menonton televisi kini
lebih banyak browsing ke internet, mengirim email, dan melakukan chatting
dengan teman-teman virtual.
167
2. Dari segi makanan dan minumannya yaitu Mc Donalds, KFC, Pizza Hut,
Dunkin Donuts, Coke, Pepsi, Wine, dan sebagainya. Banyak orang yang
menjadikannya sebagai pilihan makanan utama saat makan siang ataupun
dalam kesempatan lainnya.
3. Dari segi fashionnya, yang menjadi acuan adalah pakaian dan aksesoris yang
bermerek internasional seperti, Mango, Nine West, Channel, Versace, Calvin
Klein dan yang lain.
4. Dari segi gaya hidupnya, adanya penggunaan telepon seluler yang
berteknologi tinggi seperti Communicator, selain itu memiliki kendaraan
pribadi yaitu mobil mewah seperti BMW seri 7.
5. Dari segi tempat terkenal, tempat-tempat yang bisa dikunjungi yaitu tempat-
tempat untuk menghabiskan waktu dan memuaskan hasrat konsumerisme
seperti Mall, Caf, lobby hotel serta nite club.
Biasanya faktor utama dari hal tersebut di atas adalah pertimbangan dari
segi penampakan atau kulit luarnya saja demi sebuah gengsi atau status di
hadapan orang lain. Hal ini merupakan salah satu akibat dari media yang
merupakan alat utama dalam menyebarkan gagasan mengenai budaya populer. Ini
dapat terlihat dari iklan-iklan media yang menjajakan satu kebiasaan atau suatu
produk yang nantinya akan menjadi satu kebiasaan populer.
Kebanyakan dari kita berhubungan langsung dengan posmodernisme
melalui televisi, film, arsitektur, musik pop dan periklanan namun secara tidak
disadari oleh kita. Posmodernisme ini telah melahirkan kebudayaan populer.
Kebudayaan populer selamanya akan merefleksikan impian-impian masyarakat.
168
Gaya hidup kelas atas kota metropolitan muncul dalam berbagai produk
kebudayaan populer semacam majalah, film, musik, dan novel. Melalui novel
Cintapuccino ini kita dapat merasakan adanya unsur kebudayaan populer dari
apa yang dikemukakan oleh teks. Bahasa yang digunakan oleh pengarang untuk
narasi cerita adalah bahasa yang mencerminkan gaya hidup dalam kebudayaan
populer ditunjukkan oleh penggunaan dialek J akarta serta bercampur dengan
bahasa Inggris (American Style). Dialek yang semula dimaksud untuk
menampilkan suasana dalam cerita, dapat menjadi alat pula untuk menciptakan
citra bahwa produk kebudayaan populer tersebut bagian dari gaya hidup tertentu.
Dengan demikian sebagai produk, ia serupa dengan benda-benda kebudayaan
populer yang dapat menunjukkan identitas lingkungan sosial pemakainya. Maka
jelaslah bahwa novel Cintapuccino ini memang merupakan produk kebudayaan
populer dari era posmodernisme.

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Gaya hidup posmo pada wanita karier yang dikomunikasikan melalui teks
novel ini diartikan sebagai gaya hidup masa kini yang merupakan bagian dari
kebudayaan pop. Yang dimaksud posmodernisme adalah sebuah zaman dimana ia
mencoba mengkritik modernisme yang baginya tidak dapat menanggulangi
masalah baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Gagasannya
adalah bahwa tanda-tanda budaya populer maupun citra media semakin banyak
mendominasi rasa realitas kita, maupun bagaimana kita mendefinisikan diri kita
maupun dunia sekitar kita.
Kebudayaan populer adalah bagaimana pada sebuah produk dalam
kehidupan yang dipentingkan adalah hanya permukaan dan gaya, tampakan
sesuatu, sifat main-main dan senda gurau, dengan mengorbankan isi, substansi,
dan makna. Selain itu kecenderungan yang banyak muncul adalah gaya hidup
yang sukses tanpa proses. Kebudayaan populer banyak menggambarkan
kehidupan yang mencerminkan keberhasilan material, tanpa pernah lahir plot
yang memaparkan bagaimana keberhasilan itu dicapai.
Melalui isi teks novelnya, Cintapuccino berisi gambaran yang ada
dalam pemahaman kita selama ini mengenai sebuah gaya hidup posmo, kemudian
tiap-tiap kalimat dalam salah satu paragrafnya memberikan penjelasan pada
audience tentang bagaimanakah sebuah gaya hidup posmo wanita karier sebagai
170
salah satu unsur dari budaya populer tersebut. Kebudayaan populer yang ada
dalam novel tersebut dapat kita amati dari segi media yang menjadi hiburannya,
segi makanannya, segi fashionnya, segi gaya hidupnya, dan dari segi tempat
terkenalnya, seperti yang telah penulis paparkan di bab sebelumnya
Berdasarkan analisis terhadap isi teks novel Cintapuccino karya Icha
Rahmanti dengan menggunakan metode deskriptif analitis dengan data kualitatif ,
dimana pendeskripsian kita ada dalam empat unsur, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Unsur pemplotan mengandung konstruksi gaya hidup posmo pada wanita
karier dengan digambarkannya dalam cerita yaitu seorang wanita karier
yang terbiasa merokok di tempat umum, memandang kendaraan pribadi
sebagai simbol prestasi dan prestise, menilai lelaki dari kesuksesan yang
telah dicapainya, ikut turun tangan dalam pekerjaan beserta bawahannya,
terbiasa meminum minuman beralkohol, clubbing atau party, lebih
mementingkan image (citra) yaitu dengan gaya hidup glamour dan
menghabiskan uang sebanyak mungkin, serta pandangan yang terbiasa
seks pra nikah bersama pasangan.
2. Unsur penokohan mengandung konstruksi gaya hidup posmo pada wanita
karier dengan digambarkannya tokoh wanita yang mempunyai karier
sesuai dengan kesukaannya karena merupakan wadah bagi aktualisasi
dirinya serta mandiri, penggunaan ponsel yang terbaru dan canggih yaitu
jenis communicator, membicarakan mengenai hal yang menyangkut seks
(mengenai alat kelamin pria) tanpa rasa malu dan risih, menggunakan

171
email sebagai pengganti surat, menghabiskan waktu dan uang di hotel
berbintang, berbelanja di mall, caf, dan merawat diri di sauna atau spa,
menyukai yang serba instant seperti mie instant atau frozen food.
3. Unsur pelataran mengandung konstruksi gaya hidup posmo pada wanita
karier dengan digambarkannya tokoh wanita karier yang hidup di
perkotaan seperti Bandung dan J akarta yang sarat dengan hiburan
malamnya, terbiasa dengan tempat eksklusif seperti hotel berbintang, caf,
lalu tempat untuk memuaskan hasrat konsumerisme yaitu mall, kemudian
hidup di zaman globalisasi yaitu tahun 2003 dimana arus informasi dari
Barat masuk dengan derasnya melalui teknologi informasi yang
tercanggih, keluarganya yang memang terbiasa dengan yang berbau Barat
serta dirinya yang berpandangan bahwa seks sebelum menikah dalam
berhubungan dengan pasangan adalah hal yang biasa.
4. Unsur gaya bahasa mengandung konstruksi gaya hidup posmo pada wanita
karier dengan narasi yang kata-kata, kalimatnya, dan bahasanya cenderung
berbahasa gaul` (bahasa remaja perkotaan) dan dicampur dengan bahasa
Inggris yang bergaya Amerika seperti penggunaan kata menjomblo dan
istilah quarter life crisis, kalimat (seperti kalimat bertutur pada teman)
yang tidak efektif karena subyek dan predikatnya tidak jelas, penggunaan
bahasa gaul` seperti ngedugem dan bahasa Inggris dengan gaya Amerika
seperti damn (untuk makian) dan hang over untuk mengganti istilah
mabuk.


172
6.2 Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis ketengahkan adalah sebagai berikut :
1. Bagi pengarang novel dan pemerhati sastra
- Agar selalu memperhatikan apakah fungsi dari sebuah karya sastra
tersebut. Tentu saja bukan hanya fungsi untuk menghibur saja yang harus
diperhatikan, namun ada pula fungsi yang kurang mendapat perhatian bagi
kalangan pengarang novel, yaitu fungsi mendidik.
- Agar tetap meneruskan dan mengembangkan karya sastra Indonesia dalam
hal ini adalah novel, agar dapat bersaing dengan novel dari luar negeri baik
dari segi kualitas maupun dari segi penjualannya namun tanpa melupakan
salah satu fungsi novel tersebut untuk mencerdaskan bangsa.
2. Bagi Icha Rahmanti
Untuk selalu tetap berkarya dengan tidak terlepas dari misi untuk dapat
meng-counter buku-buku dari luar negeri. Dengan menajamkan rasa
ketimuran dalam kata-kata agar kata-kata ini bisa memperkaya nilai estetika,
namun tetap memperhatikan realitas dengan memperhatikan ketepatan kata-
kata yang digunakan dalam novel. Sehingga siapa pun orang yang
membacanya akan dengan mudah mengingat apa pesan dibalik kata-kata
tersebut tanpa terlalu terlena dengan yang berbau Barat.
3. Bagi Perusahaan Media Massa yang Bergerak di Bidang Penerbitan Novel
Untuk tetap eksis memberikan kontribusi positif membangun
masyarakat melalui media massa yang tidak sekedar menghibur saja, agar

173
masyarakat Indonesia juga bangga memiliki novelnya sendiri dengan tidak
bercampur baur dengan kepentingan yang bersifat komersialisasi.
4. Bagi Dunia Akademis
Penulis sangat berharap sekali khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Bandung untuk banyak menelaah novel-novel
pop yang kini tengah menjamur di masyarakat. Karena novel-novel tersebut
mengandung hal-hal yang tanpa disadari dapat menjerumuskan pembacanya
agar terlena dengan gaya kehidupan yang didominasi oleh Barat.


x
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif, PT. Dunia Pustaka J aya, J akarta,
2002
Bungin, Burhan (Ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada,
J akarta, 2001
Devito, J oseph A., Komunikasi Antarmanusia : Kuliah Dasar, Edisi Kelima,
Professional Books, J akarta, 1997
Dunn, Robert, 1993, Pascamoderenisme: Populisme, Budaya Massa dan Garda
Depan, Prisma, No.1, J anuari 1993
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi, Teori, dan Praktek, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1999
------------------------------, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, LKIS, Yogyakarta,
2001
----------, Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS,
Yogyakarta, 2002
Fiske, J ohn, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif, J alasutra, Yogyakarta, 2004
Featherstone, Mike, 1993, Moderen dan Pascamoderen: Tafsiran dan Tetapan,
Prisma, No.1, J anuari 1993.

xi
Hidayat, Dedy N., 2002, Metodologi Penelitian dalam Sebuah Multi-Paradigm
Science, Mediator, Jurnal Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Hlm. 204-205,
2002
Hornby, A. S., Oxford Advanced Learners Dictionary, Oxford University
Press,United Kingdom, 1995
Ibrahim, Idy Subandy (Ed), Lifestyle Ecstacy, Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia, J alasutra, Yogyakarta, 1997
Ibrahim, Idy Subandy & Hanif Suranto (Eds), Wanita dan Media, Konstruksi
Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1998
J abrohim (Ed), Metodologi Penelitian Sastra, Hanindita Graha Widya,
Yogyakarta, 2003
Lull, J ames, Media Komunikasi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Global, Yayasan
Obor Indonesia, J akarta, 1998
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Edisi Kedua,
Erlangga, J akarta, 1987
Moleong, Lexy J ., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002
Muhadjir, H. Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Rake Sarasin,
Yogyakarta, 2000
Mulia, Samuel, 2005, Saya Bukan Es Campur, Kompas, 9 Oktober 2005
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001

xii
Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Penerbit Tarsito, Bandung,
1988
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1995
Palapah, M O dan Atang Syamsudin, Studi Ilmu Komunikasi, Fikom UNPAD,
Bandung, 1983
Piliang, Yasraf Amir, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era
Posmetafisika, J alasutra, Yogyakarta, 2004
Poerwadarminta W.J .S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1976
Rahmanti, Icha, Cintapuccino, PT. GagasMedia, J akarta, 2004
Rahmat, J alaluddin, Psikologi Komunikasi , PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2001
Ratna, Nyoman Kutha, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2004
Salim, Agus (Ed), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K.
Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya), PT. Tiara Wacana Yogya,
2001
Santana, Septiawan, Jurnalisme Sastra, PT. Gramedia Pustaka Utama, J akarta,
2002
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002
Strinati, Dominic, Popular Culture, Pengantar menuju Teori Budaya Populer, PT.
Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2004
Sudjiman, Novel Popular Indonesia, J akarta, 1990

xiii
Sumardjo, J akob, Memahami Kesusastraan, J akarta, 1984
Susanto, AB, Potret-Potret Gaya Hidup, Kompas, J akarta, 2001
Syamsul Hari, Cecep, 2005, Passion for Novel, Kompas, 31 J uli 2005
Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Angkasa, Bandung, 1984
Tarigan, Hendry Guntur, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Angkasa, Bandung, 1986
-------------------- ---------, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, Angkasa, Bandung, 1993
Wibowo, Wahyu, 6 Langkah Jitu Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak
Dibaca, PT. Gramedia Pustaka Utama, J akarta, 2002
Winarni, Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, 2003
Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, PT. Grasindo, J akarta, 2000
Wojowasito, S & Tito Wasito, Kamus Lengkap, Inggris-Indonesia, Indonesia-
Inggris, Hasta, Bandung, 1982

www.kompas.com
www.yourdictionary.com
www.sekitarkita.com


NASKAH PERTANYAAN WAWANCARA
Kepada Editor GagasMedia


1. Bagaimana sejarah singkat PT. GagasMedia?
2. Alasan didirikannya PT. GagasMedia?
3. Apakah visi dan misi PT. Gagasmedia?
4. Bagaimanakah proses produksi di PT. GagasMedia?
5. Bagaimanakah struktur organisasi di PT. GagasMedia?
6. Bagaimanakah uraian tugas dan tata kerja khususnya pada redaksi PT.
GagasMedia?
7. Apakah bidang usaha PT. GagasMedia?
8. Apa yang melatarbelakangi perusahaan untuk menerbitkan novel ChickLit
Indonesia Cintapuccino karya Icha Rahmanti?
9. Apakah sasarannya atau pangsa pasarnya novel Cintapuccino ini?
10. Untuk segmentasi novel ChickLit Indonesia Cintapuccino, kira-kira
berkisar usia berapa sampai berapa?








NASKAH PERTANYAAN WAWANCARA
Kepada Icha Rahmanti

Assalamu`alaikum Wr. Wb.,
1. Bagaimana dengan data diri, riwayat hidup, dan latar belakang keluarga dari
Mbak Icha?
2. Bagaimana awalnya Mbak Icha mulai menyukai menulis novel dan sejak
kapan terjun ke dunia penulisan novel?
3. Dan apakah novel menjadi satu-satunya tempat untuk mengapresiasikan
tulisan Mbak Icha?
4. Bagaimana awal dibuatnya novel Cintapuccino dan apakah tema
utamanya?
5. Novel pertama Mbak Icha tergolong sukses di pasaran, apakah itu karena
temanya?
6. Lalu mengapa Mbak Icha memberi label ChickLit Indonesia asli untuk novel
Mbak yang pertama?
7. Bagaimana kontribusi GagasMedia dalam membesarkan nama Mbak Icha
dan Cintapuccino sendiri?
8. Bagaimana cara Mbak Icha membuat atau tepatnya menciptakan karakter
tokoh-tokoh di Cintapuccino?
9. Menurut Mbak Icha, sebenarnya di bagian manakah klimaks terjadi dalam
Cintapuccino?
10. Kenapa Mbak Icha mengambil sebagian besar latar tempatnya adalah kota
Bandung?
11. Tepatnya pada tahun berapa dan masa yang bagaimana yang Mbak Icha
gunakan untuk menjadi latar waktu dan sosial untuk Cintapuccino?
12. Bagaimana gaya bahasa yang Mbak Icha pakai dalam menulis novel
Cintapuccino?
13. Menurut Mbak Icha sendiri, gaya hidup wanita karier masa kini khususnya
yang usia dewasa muda bagaimana?























Bagaimana dengan data diri dari Mbak Icha?
Nama Nisha Rahmanti, lahir di Bandung, 22 April tahun `78. Terus sekolah TK-
nya di Surabaya, TK Bhayangkara, terus SD-nya di SD 009 Bhayangkara,
Samarinda, Kalimantan Timur, SMP-nya di SMPN 2 Bandung, SMA-nya di SMA
3 Bandung, terus kuliah di arsitek ITB.
Kerjanya dimana sekarang Mbak?
Kalau kerja sebenarnya aku lebih banyak kerja sendiri Freelancer gitu, cuman aku
tuh punya konsultan sama teman-teman kuliah waktu arsitek dulu namanya PT.
Rayya Cipta Inspirasi. Itu konsultan arsitek dan interior, tetapi sekarang aku lebih
banyak jadi kayak marketing gitu, jadi udah nggak ngedesain lagi.
Tapi saya dengar Mbak jadi editor di GagasMedia?
Editor Freelance di GagasMedia, terus siaran sih tinggal seminggu 2x di OZ, terus
sisanya menulis. Yahsekarang sih prioritasnya lebih ke nulis ya
Nulis Novel ya Mbak?
Yah, nulis apapun ya, maksudnya kan sekarang juga jadi kontributor di Bandung
City Magazine gitu kan, terus jadi Basicly sekarang prioritasnya lebih ke nulis.
Kalau latar belakang keluarga Mbak?
Bokap tuh orang J awa, Nyokap orang Sunda, terus dua-duanya pegawai negeri
tapi bokap udah pensiun sekarang kerja jadi apa yabikin kayak konsultan
akuntan publik gitu, nyokap sih masih kerja di BPKP gitu. Terus aku tuh 3
bersaudara, anak ke 2, perempuan sendiri, kakak, adik aku cowok.
Mmmapalagi atuh neng?
Terus kalau awalnya sendiri Mbak Icha nulis novel dan sejak kapan terjun
ke dunia penulisan novel?
Sebenarnya nulis itu kan karena hobi ya. Awalnya banget aku senang baca. Waktu
kecil kan tinggalnya di Samarinda itu nggak serame waktu di J awa ya. J adi udah
gitu sama mama tuh ada dikasih satu kebiasaan tuh dari kecil senang baca lalu tiap
Minggu tuh kita pergi ke toko buku beli buku baru. Sampe akhirnya jadi lebih
senang baca. Dari senang baca, standar ya, akhirnya jadi senang ngekhayal,
khayalannya butuh dituangin, butuh media gitu. Dan aku dari kecil tuh udah mulai
nulis-nulis karangan gitu, tapi ya biasanya ditunjukkin ke mama doang gitu, kan
waktu itu mama juga ayo dong kirimin ke Bobo gitu, atau kemana gitu, males
banget, soalnya mikirnya kan harus diketik, terus ngetiknya juga belum bisa
,masih kecil kan. Terus yabelum kepikiran aja gitu jadi paling ditunjukkin ke
mama atau dijadiin tugas sekolah doang. Lanjut sampai SMP terus, masih terus
nulis, jaman dulu komputer juga belum ini kan, nulisnya tuh di buku-buku
catetan, kalau naik kelas kan ganti buku gitu, sisanya tuh dipakai buat nulis cerita
gitu, udah mulai bikin cerita bersambung juga sih dari mulai SMP nah terus
sekali-kalinya ngirimin cerita tuh waktu SMP mo ke SMA kan liburnya panjang,
terus diketik segala macem, dikirimin, lupa tuh, sampe pas SMA tau-tau dapet
wesel dimuat di Kawanku gitu. Seneng, gitu cuman apa ya? Karena nggak
kepikiran dijadiin profesi jadi seneng ya udah lupa. Ya tapi masih tetep nulis
sampe akhirnya waktu kuliah pun ikut tabloid kampus di ITB, Boulevard, satu
semester, terus udah gitu, pas libur semester berikutnya nemu kursus
Broadcasting kan. J ustru dari dulu tuh pengen jadi penyiar gitu lho. Ya akhirnya
waktu ikutan live broadcasting segala macem dan ya udah di radio gitu. Dari
kuliah ampe sekarang di radio dan apa ya, menulisnya masih tetep dilakukan
dengan berbagai versinya gitu, jadi kayak kalo di radio kan berarti sempet jadi
scrip writer juga, sempet jadi produser, bikin acara sandiwara radio, bikin
naskahnya segala macem. Terjun secara profesional sih sejak Cintapuccino rilis
ya, berarti sejak tahun lalu, 2004.
Kalau awal dibuatnya novel Cintapuccino ini gimana dan tema utamanya
apa di Cintapuccino?
Sebenarnya sih bukan dari ceritanya dulu. Aku tuh waktu itu mulai dari suatu ide,
lagi banyak baca buku nih, sampe akhirnya kenal ChickLit gitu ya, nah terus pas
lagi baca tuh seneng gitu, terus lucu ya gitu, terus gue banget. Nah udah gitu
aku mikir apa ya, cewek tuh mau di Indonesia, mau di Amerika, mau di Afrika, itu
tuh, ya ada sisi benang merahnya perempuan gitu lho, dan perempuan tuh ada sisi
yang perempuan banget gitu lho dan dimana-mana sama kalau masalah. Ya
mungkin yang beda tuh, mungkin culture-nya, kebiasaannya gitu, karena
geografinya beda kan. Tapi ada sisi-sisi yang perempuan banget, kayak cewek
kalau jatuh cinta mikirnya ginigitu-gitulah, ada gitu, nah dari situ dari seneng
akhirnya gemes, gemesnya tuh mikir, gila ya cewek-cewek di Indonesia umur-
umur dewasa muda masalahnya juga banyak gitu lho. Yang aku ngerasain waktu
aku baru lulus kuliah juga ibaratnya dapet apa ya, Quarter Life Crisis gitu, nyari
kerja yang bener-bener sreg di hati terus yah jodoh lah. Sebenarnya kan
problemnya dua yah, problem yang paling gede, nyari identitas lewat ya, tugasnya
kan kalo udah lulus kuliah apa sih? Mulai mandiri kan, ngapain? Bekerja gitu.
Tapi nyari kerja juga yang bener-bener disenengin kan yah prosesnya panjang
juga gitu, dari situasi ideal yang dipengenin sama kenyataan kadang-kadang suka
nggak balance gitu, jadi banyak deh dilema-dilema di situ. Terus yang kedua, ya
apalagi kalau bukan jodoh, karena di sini kan rentang umur single-nya lebih
pendek, orang udah kuliah tingkat akhir aja orang tuh mulai nanya-nanya, atau
nggak pas udah lulus juga kayaknya kalo ke anak perempuan tuh lebih pengen
aduh jodoh dulu deh, karier ntar belakangan ato nggak kalo udah dapet kerja
masih belum tau kerjanya cocok apa nggak di kita tapi yang penting udah, kamu
udah kerja, ayo dong cepet cari yang serius gitu kan. Sebenarnya kan kalo di luar
30 masih single kan biasa banget gitu ya. Dari situ aku mikir, justru sebenarnya
kita ini banyak cerita yang bisa digali apalagi kita sangat kaya masyarakatnya
dengan culture yang berbeda gitu, terus heterogen banget lah. Ibaratnya nanti aku
misalnya ngambil setting-nya di Bandung, akan ada cerita yang Bandung banget
tapi cewek banget gitu, ke J ogja pasti ada cerita yang J ogja banget tapi apa ya,
perempuan. Akhirnya local insert-nya banyak yang bisa digali gitu. Dan kalaupun
dibilang perempuan Indonesia lebih banyak luar negeri, memang saya ngambilnya
lebih banyak perempuan Urban gitu lho. Bukan karena sok exclusive atau apa gitu
ya, gue nyari satu setting yang deket dengan kehidupan sehari-hari, sebenernya
yang gue alamin gitu, sebenernya tidak mungkin menutup kemungkinan setting-
nya di pedesaan atau gimana gitu tapi karakter tokohnya akan tetap ya misalnya
dia tinggal di kota besar gitu lho, nggak di kota besar lah, di kota, Urban gitu ya.
Karena apa ya? Karena lebih deket dengan keseharian aku aja. Dari kecil aku kan
latar belakang aku kan tinggal di kota. J adi dari situ ya udah aku juga melihat
ternyata ChickLit ini banyak yang suka gitu lho, plus gemes, gemes keduanya itu
adalah, gila ya kalo ngeliat ke toko buku, buku-buku yang seharusnya bagus itu
selalu buku luar negeri atau terjemahan gitu kan, jarang sekali yang ada buku-
buku kita. Buku luar itu banyak sekali di kita jadi dan aku liat ChickLit itu banyak
yang suka terus serbuan buku luarnya banyak nah yang ketiga itu belum ada
penulis yang mengambil genre itu dengan spesifik gitu lho, diseriusin jadi masih
nanggung-nanggung gitu. Padahal aku liat potensinya gede gitu lho, dan terus
apalagi ya, mmmya aku pikir, aku suka sekali dengan gaya nulis itu kesannya
deket, akrab, mungkin karena latar aku juga belajar dari broadcasting ya,
komunikasi, jadi aku lebih seneng satu cerita tuh atau satu buku tuh, bukunya
komunikatif alias dalam artian nggak usah bahasa-bahasa yang njelimet jadi
ketika aku bilang A ya artinya A gitu lho. Lebih kepengen ada pending yang sama
sama yang baca, jadi bukan buku yang njelimer-njelimet gitu ya. Seperti itu gitu
lho. Sampe akhirnya aku mulai dengan konsep pengen ngebuat ChickLit
Indonesia. Waktu itu juga aku browsing di internet tentang genre ChickLit-nya
apa sih gitu, yang lebih aku ambil lebih ke pakem-pakemnya gitu, kayak misalnya
tokohnya kebanyakan memang perempuan, dewasa muda, yang diangkat tuh
bukan sisi sempurnanya dia ,tapi sisi-sisi apa ya, kelemahannya dia, flows-nya dia
kayak di Cintapuccino, nih cewek keliatan normal ternyata di dalam obsesse
banget sama cowok, terus yang di Beauty Case juga, Naja, pencariannya
tentang jati diri, tentang kecantikan itu apa, segala macem, jadi satu tokoh yang
aku pikir sangat membumi gitu ya karena semua orang nggak ada yang perfect ya
sebenernya. Udah gitu setting-nya memang kebanyakan di perkotaan gitu, setting-
setting-nya real kayak di rumah, tempat kerja, kampus, atau apapun lah gitu. J adi
lebih ke pakemnya yang aku ambil, sementara value-nya sendiri kalo di prolog di
Cintapuccinotuh aku sempet nulis kan ChickLit Indonesia, being smart, honest,
and happy gitu, karena ChickLit ini kan genre ya, ketika ada campaign dari buku-
buku ChickLit luar being single and happy, saya sendiri sih nggak setuju dengan
slogan itu karena buat aku, single atau nggak itu pilihan gitu ya, jadi kalo buat aku
sendiri as much as I love my single live but I don`t wannabe single forever, bagi
saya single itu pilihan. J adi aku pengennya spirit yang di ChickLit Indonesia lebih
ke perempuan Indonesia adalah perempuan yang smart, jujur sama diri sendiri,
dan bahagia. J adi single apa nggak ya terserah elo gitu lho asal bahagia dengan
apapun pilihan elo, go ahead gitu lho. J adi kalo dibilang ikut-ikutan enggak juga
gitu ya, karena ya sebenarnya, ya gini kayak musik kita banyak yang ambil
kiblatnya dari luar dan akhirnya diolah gitu. J adi kalo dibilang ikut-ikutan, di satu
sisi emang iya, cuman konteksnya apa dulu gitu lho, kalo buat aku konteksnya
adalah, ada satu spirit kepengen support local literacy movement-nya gitu, pengen
dong penulis lokal bukunya nanti bukunya, someday (Amin), bisa go
international gitu, atau paling nggak dalam skala kecil di sininya sendiri dia bisa
jadi sebelum meng-counter buku luar dia bisa jadi option yang sama-sama
bersaing dengan buku luar gitu lho, dari segi selling, dari segi kualitasnya kayak-
kayak gitu. Tema utama Cintapuccino itu obsesi tapi cuman kalo diambil
benang merahnya antaraBeauty Case dengan Cintapuccinoya bisa dibilang
aku tuh lagi ngambil Quarter Life Crisis cewek-cewek umur dewasa muda dengan
tema kecilnya masing-masing, tema-tema yang lebih spesifik kalo di
Cintapuccino ya tentang obsess, jatuh cinta, arti Cintapuccino sendiri buat
aku, penggambaran sebuah cinta dengan obsesi gitu. Sebenernya di kedua buku
ini aku pengen buku-buku aku tuh selalu jadi Good Companion bagi permbaca,
kalo jadi temen itu kan bisa diajak curhat, bisa bikin ketawa, bikin senyum gitu,
dimana aja atau kalau nggak pun, kalo elo sama temen mulai berdiskusi yang
nggak serius amat tapi paling nggak inspiring tentang pertanyaan-pertanyaan yang
aku juga belum tau jawabannya, jadi aku bagi-bagi pertanyaan itu gitu kan. Umur-
umur segini kan kita mulai mempertanyakan banyak hal gitu ya, ngapain sih gue
gini, dan ada yang nggak bisa dibagi dengan orang lain gitu. Hal-hal itu yang
pengen aku bagi gitu lho, karena aku nggak pengen memposisikan ketika aku
menulis tuh aku lebih tau masalahnya ini solusinya ini, nggak justru aku pengen
bagi aja. Eh, gue pengen cerita nih, atau gue punya pemikiran nih menurut elo
gini-gini-giniYa aku merasa di umur sekarang ini masih banyak hal-hal yang
juga buat aku masih jadi pertanyaan gitu. Ada manfaat, inspiring, paling nggak
buat yang baca, intinya gini sih spirit yang pengen dikasih di cerita buku-buku
aku tuh lebih kepengen nanti kalo yang baca gitu ya, elo tuh nggak harus jadi
wonder woman atau jadi siapa gitu, untuk elo bisa merasa bahwa elo tuh pahlawan
paling nggak bagi diri elo sendiri. Terus apa ya, elo tuh nggak usah bertempur
demi membela nusa dan bangsa gitu, tapi seenggaknya dengan dealing dengan
masalah keseharian kita bertahan di situ, berusaha untuk nyelesainnya, dan
berusaha selalu berubah untuk menjadi yang lebih baik itu adalah sesuatu yang
sangat hebat.
Novel pertama Mbak Icha, Cintapuccino ini tergolong sukses di pasaran
apa karena temanya?
Mmm, mungkin itu tadi ya, banyak yang komentar gue banget gitu. Mungkin
kesatu, temanya, temanya sangat manusiawi ya, cewek-cowok bisa ngerasa gue
banget gitu, terus yang kedua, dengan gaya bertutur yang diiniin, ada kedekatan
sama yang baca. Sampe jadi akhirnya, bukunya tuh deket aja ama yang baca gitu.
Aku nggak ngambil setting yang susah banget, kayak F-tse, ada berapa banyak sih
orang yang kayak A Tse, gila ya rumahnya gede banget. J adi akhirnya aku ambil
yang realitas aja jadi sama yang baca tuh intinya deket gitu.
Lalu kenapa Mbak Icha memberi label ChickLit Indonesia asli untuk novel
pertama ,Cintapuccino ini?
Ya karena yang aku jelasin tadi. Ide awalnya karena adanya konsep dari aku yang
memang ingin membuat sebuah novel ChickLit asli dari Indonesia.
Dan bagaimana kontribusi GagasMedia dalam membesarkan nama Mbak
Icha dan Cintapuccino sendiri?
Aku menganggap GagasMedia sebagai partner aku untuk menerbitkan ChickLit
Indonesia, selain itu kami sama-sama untung karena aku menulis buat mereka dan
mereka menerbitkan buku aku, pokoknya win-win deh dan aku kan juga jadi
editor freelance dari GagasMedia. GagasMedia itu berani menerbitkan novel yang
namanya belum dikenal sebagai aku ini.
Bagaimana cara Mbak Icha menciptakan karakter tokoh dalam novel
Cintapuccino?
Ya aku dapet dari waktu siaran tuh, kalo kita siaran kita ngomong sama mike ya,
tapi kita harus berasa deket sama yang dengerin, jadi waktu itu kita sempet
diajarin untuk bikin imaginary friends, terus kayak misalnya namanya siapa,
hobinya apa, nomor sepatunya berapa, sifatnya dan keluarganya gimana, jadi itu
tuh bener-bener kita karang sampe kayak jadi suatu sosok yang real, ketika kita
siaran kita harus mengimajinasikan kita lagi ngobrol ama dia gitu. Dan itu
akhirnya aku pake juga waktu lagi nulis novel ato karakter di buku-buku aku gitu
lho, aku bikin kayak gitu. Terus sifat-sifatnya tuh combine, ada yang dari aku
sendiri, ada yang dari temen-temen deket, terus ada yang dari aku khayalin gitu,
jadi semuanya combine jadi satu karakter gitu. Kayak Rahmi, Rahmi itu apa ya,
persisten orangnya, terus dia loyal, terus sebetulnya dia itu keras kepala tapi
dalam beberapa hal dia bisa jadi sangat-sangat mengalah gitu, tapi terus udah gitu
juga dalam beberapa hal dia cenderung sangat tegas tapi dalam beberapa hal lain
dia juga cenderung bisa jadi labil. Terus cenderung agak lebih banyak mikir gitu
lho, sebenernya kalo dia cenderung sanguinis plegmatislah, kadang-kadang,
sementara dia kurang adventurious kali ya ato kurang nekat, kalo si Alin kan lebih
nekat, berani, kalo Rahmi tuh lebih banyak mikir-mikir dulu, nimbang,nimbang
dulu, dan sebagainya kayak-kayak gitu. Kalo Alin lebih percaya diri, lebih cuek,
lebih nyantai orangnya.
Terus menurut Mbak Icha, di bagian mana klimaks terjadi di novel
Cintapuccino ini?
Klimaksnya, yang bener-bener puncaknya ketika Nimo ngelamar Rahmi di
Yamien Lela gitu.
Kenapa Mbak Icha mengambil sebagian besar latarnya adalah kota
Bandung?
Karena kalo buat aku cerita ini personal banget ya, dari pengalaman pribadi ya,
aku punya Nimoku sendiri, ya terus feel ceritanya harus Bandung gitu, karena itu
juga dari aku tuh kejadiannya di Bandung kan, terus kalo ditanya berapa persen
pengalaman pribadinya mungkin 30% lah, terutama jaman SMA ya, sisanya sih
gue khayalin dengan harapan akhirnya akan seperti itu, entahlah gitu ya. Tapi ya
gue tuh sangat cinta Bandung dan kepengen Bandung, ya Bandung tuh indah
bangetlah kalo buat gue.
Tepatnya pada tahun berapa dan masa yang bagaimana yang Mbak Icha
pakai untuk jadi latar waktu dan sosial dalam Cintapuccino?
Kalo latar itu jaman SMA-nya jaman `93 ampe `96, terus waktunya ampe 2005.
Kalo sekarang sih aku belum tau yang akan terjadi sekarang tapi kalo yang
ngambil taun 2003-2004 sih jaman-jamannya pas waktu itu ya kayak GAM, Aceh
segala macem dan juga sama gitu ya, cuman kalo yang ngambil setting 2005-nya
tuh lebih-lebih ke waktunya doang sih karena situasinya juga aku belum tau kan
Indonesia bakal kayak gimana. Karena aku lebih butuh waktunya doang.
Lalu gimana gaya bahasa apa yang dipakai Mbak Icha dalam
Cintapuccino?
Basicly sih kayak itu tadi. Karena aku konsepnya aku pengen buku aku jadi temen
yang enak buat yang baca, jadi ada unsur kedekatan. Akhirnya bahasanya yang
aku pake bahasa bertutur sehari-hari gitu karena ketika itu dibikin formil, ya beda
ya, konteksnya beda ya, jadi nggak luwes. Kayak aku ngobrol sama kamu tiba-
tiba aku EYD gitu kan, Bomau kemana? J adi berat banget. J adi nggak dapet
konsepnya karena ya itu tadi tujuan buku aku tuh jadi temen.
Terus kalau menurut Mbak Icha sendiri gaya hidup wanita karier masa kini
yang usia dewasa muda sekarang gimana?
Mmm, kalo di kita, ini masih yang aku liat ya, masih apa ya, ada nilai-nilai dulu
yang dan sekarang entah bentrok akhirnya nge-blend gitu kan, di satu sisi kan
perempuan-perempuan sekarang banyak yang udah mulai mandiri kan, dalam arti
finansial segala macem gitu, tapi di satu sisi lagi orang tua kita adalah masih yang
jamannya dulu gitu, tuntutan keluarganya jadi masih tetep ya untuk nikah, punya
anak, segala macem-segala macem. Di satu sisi kita pengen mandiri, tapi di satu
sisi lagi kita dituntut untuk, apa ya, ada tuntutan yang masih seperti waktu dulu
gitu, jadinya sih suatu hal yang menarik aja sih buat perempuan karier yang
sekarang gitu lho. Kayak nggak mau mikirin nikah gitu ya, tapi dipikir-pikir juga
semua orang, temen-temennya pada nikah gitu, mulai panik-panik sendiri, terus
orang tua juga ribut.
Mbak setuju nggak kalau wanita-wanita karier sekarang banyak yang
mengadaptasi dari Barat, kehidupan metropolisnya?
Itu kayaknya di kota-kota besar ya, terutama J awa karena informasinya juga
banyak ya, film, internet. Tapi ya seperti aku bilang tadi sisi-sisi tradisionalnya
justru masih banyak gitu ya, karena itu tadi kita tuh, kekeluargaan sini kan gede
ya, jadi kita nggak mungkin bener-bener putus sama keluarga gitu, yang akhirnya
kita menentukan hidup kita sendiri maunya begini gitu, jadi ya masih ada enggak
enak sama orang tua lah, udah punya kerja segala macem kalo belum nikah masih
tinggal barengnya sama orang tua lah. Tapi di beberapa value, ada sedikit,
terutama J akarta, aku liat dari temen-temen di J akarta tuh ada yang mulai
bergeser. Kayak yang mulai bergeser berubah gitu, tapi belum berani seekstrim
kayak di luar. Karena ya itu tadi kan keluarga di sini masih gede. J adi kadang-
kadang bisa jadi orang tuh punya dua sisi gitu, pas di J akarta dia kerja sampe jam
sembilan malem, udah gitu mungkin sampe punya pacarpun dia suka yang one
night stand yang kayak-kayak gitu. Cuman ketika dia balik, ya dia menjadi satu
anggota keluarga yang sangat bertolak belakang dengan kehidupannya di J akarta
gitu. Ada yang kayak-kayak gitu, temen-temen aku tuh ada yang kayak gitu, yang
udah sampe pada tahap itu. J adi ya itu tadi makanya aku bilang bentrok atau nge-
blend.










LAMPIRAN
"Booming" Buku Fiksi
Oleh Rachmat H Cahyono
J IKA saya menggunakan istilah booming buku fiksi, pengertiannya hanya sebatas
kategori buku fiksi yang mungkin bisa kita kelompokan ke dalam "sastra hiburan"-untuk
membedakannya dengan buku fiksi yang ditulis dengan orientasi sastra yang kuat.
Namun, sebelum masuk ke dalam masalah itu, marilah kita menengok apa yang terjadi di
Inggris pada abad ke-19, ketika profesionalisasi pengarang mendapatkan bentuknya
yang semakin nyata. Sapardi Djoko Damono (1978: 61-63), seraya mengutip Diana
Laurenson, mengungkapkan bahwa abad ke-19 di Inggris adalah masa yang
menguntungkan sastrawan, terutama novelis. Penyebaran sastra semakin luas,
perpustakaan semakin banyak jumlahnya, dan distribusi buku semakin sempurna
sehingga buku tidak lagi hanya tersebar di kota besar.
Sebagian pengarang menunjukkan karya mereka langsung kepada pembaca; tujuan
mereka adalah menghasilkan karya sastra yang laku keras. Sebagian lagi berpegang
pada standar nilai yang tinggi, sambil mengejek golongan pertama tadi sebagai
"pedagang". Kedua golongan itu berhasil mendapatkan status profesional. Orang-orang
yang bergerak di bidang sastra dihormati secukupnya. Mereka pun tidak mau
memerosotkan derajat mereka dengan menulis cerita picisan-untuk menyokong
kehidupannya, mereka menulis artikel dan sorotan buku. Tokoh-tokoh seperti penyair
Robert Browning, novelis Charles Dickens, dan tiga bersaudara Bronte bahkan
mendapat tempat istimewa di tengah-tengah masyarakat Kota London.
Produksi buku menjadi usaha kapitalis, tidak ada bedanya dengan usaha di bidang lain.
Pada tahun 1880-an, para novelis berhasil mengumpulkan kekayaan luar biasa
banyaknya untuk ukuran saat itu. Dickens, misalnya, meninggalkan warisan sebesar
93.000 poundsterling ketika meninggal dunia.
Lebih seabad kemudian, spesialisasi dalam kepengarangan semakin tajam karena
semakin banyaknya kebutuhan akan bacaan yang terpecah-pecah dalam kelompok-
kelompok dengan selera bacaan tertentu. Dan tampaknya, kapitalisasi sistem produksi
semacam itu juga bergaung dalam lingkup penerbitan buku fiksi di Indonesia.
Para pembaca buku sastra, khususnya pembaca fiksi dan lebih khusus lagi novel,
sebenarnya sudah lama menerapkan demokrasi, kebebasan dalam memilih bacaan yang
mereka sukai. Psikologi pembaca memang berbeda dengan kebanyakan pelaku atau
pengamat sastra. Mereka cenderung santai-santai saja menerima arus baru kapitalisasi
sistem produksi buku fiksi. Hal ini antara lain terbukti dari kembali maraknya pasar buku
fiksi atau novel yang tergolong sastra hiburan.
Sampai sekitar satu-dua dasawarsa lalu, orang masih mendikotomikan antara novel
hiburan (novel pop) dengan novel sastra. Istilah "novel pop" biasa dipakai untuk
menyebut novel-novel yang berisi romantika kehidupan sehari-hari-biasanya seputar
masalah cinta dan keluarga-yang disajikan secara ringan dan populer. Namun,
belakangan dikotomi ini tidak lagi dipersoalkan.
Sastra hiburan tampaknya tak akan kehilangan pembaca, sampai kapan pun. Sekarang
saja, ChickLit (Chick Literature atau sastra perempuan) yang merupakan genre baru di
dunia penerbitan, mampu meraup banyak pembaca. Ini dimulai ketika Helen Fielding
menulis Bridget J oness Diary pada tahun 1996 yang kemudian menjadi best seller pada
tahun 1998 (apa lagi setelah difilmkan dengan judul sama dan melibatkan si cantik peraih
Oscar, Renee Zelwegger). ChickLit yang kini cukup menguasai pasar buku dunia
gampang ditandai karena digemari pembaca perempuan dari kalangan perkotaan
(kosmopolitan) yang mandiri dari segi sosial ekonomi.
Makanya, Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang menjadi salah satu pintu
utama masuknya ChickLit ke Indonesia memberi slogan untuk jenis bacaan ini: being
single and happy. Dari slogannya saja, kita bisa menangkap target pembaca perempuan
perkotaan (dari zaman ke zaman kita tahu perempuan sering kali menjadi pasar utama
novel sebagaimana sudah terjadi di Inggris pada abad ke-19). Cirinya, dibandingkan
dengan novel klasik, adalah cerita yang mudah ditangkap-umumnya bercerita tentang
problem perempuan kosmopolitan-dengan tema sangat personal. ChickLit biasanya juga
ditulis dengan bahasa tutur sehari-hari yang ringan dan lincah, banyak bumbu kisah cinta
dan humor.
Contoh sukses ChickLit asli Indonesia adalah novel pertama karya Icha Rahmanti,
Cintapuccino (GagasMedia, 2004). Sebelumnya tak ada yang mengenal perempuan
pengarang bernama asli Nisha Rahmanti ini. Namun, sebelas ribu eksemplar cetakan
pertama novel karya cewek lulusan Teknik Arsitektur ITB ini laris dan habis terjual hanya
dalam waktu tiga minggu setelah diluncurkan pada awal J uni lalu-hal yang sulit
dibayangkan terjadi untuk novel sastra yang masih harus berperang melawan "kutukan"
(meminjam istilah praktisi penerbitan Richard Oh) cetakan 3.000 eksemplar.
Kini, tidak kurang dari 30.000 eksemplar novel karya perempuan penulis berusia 26
tahun ini ludes di pasaran (Koran Tempo, 1/8-2004). Untuk novel sejenis, karya Aditya
Mulya-nama yang sebelumnya juga tidak pernah terdengar oleh pengamat sastra yang
paling rajin mengikuti perkembangan sekali pun-yang lebih dulu diluncurkan juga laris
manis dan sudah tujuh kali naik cetak. J udulnya sangat cocok untuk kategori penggila
novel hiburan: J omblo (rasanya kata yang populer dalam bahasa gaul remaja ini belum
masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Penerbit semacam GPU sejak beberapa waktu lalu juga menawarkan genre lain bacaan
ringan semacam ini di bawah tema TeenLit (Teens Literature alias sastra remaja).
Secara sederhana, TeenLit bisa dimaknai sebagai sastra yang dihasilkan oleh remaja,
sastra yang diucapkan dengan gaya remaja, atau sastra yang dipenuhi tema-tema
remaja. Meski kerap dinilai sebagai karya-karya kelas dua, baik ChickLit maupun TeenLit
membuat pengarangnya menuai kesuksesan dari segi komersial. Mungkin sebelumnya
tidak ada yang mengenal pengarang belia seperti Dyan Nuranindya atau Maria Ardelia.
Namun, ketika karya mereka diterbitkan GPU di bawah tema TeenLit, buku mereka pun
laris manis dan mengalami cetak ulang. Untuk TeenLit, GPU bahkan berani setiap
judulnya dicetak awal 10.000 eksemplar (bandingkan dengan "kutukan" 3.000 eksemplar
cetakan awal versi buku sastra). Hebatnya, ada novel yang baru dua minggu sudah habis
dan harus cetak ulang sebanyak 15.000 kopi lagi (Kompas, 6/8-2004). Kesuksesan ini
membuat banyak penerbit mengekor dengan menerbitkan ChickLit dan TeenLit versi
masing-masing. Boleh dibilang, saat ini penerbitan buku-buku fiksi ringan atau sastra
hiburan berada di jajaran terdepan penjualan buku fiksi.
Bagaimana sebaiknya kita membaca realitas semacam ini? Ya, sebaiknya santai-santai
sajalah seperti kebanyakan publik pembaca itu sendiri.
Realitas teks sastra semacam ChickLit atau TeenLit yang memimpin dalam pasar buku
fiksi saat ini-termasuk buku fiksi Islami yang ternyata juga punya pasar yang bagus-
memang terkesan memperlihatkan semacam paradoks. Di satu sisi, penetrasi pasar
sastra hiburan secara umum mengalir cukup deras. Sejumlah penerbit menilai potensi
pasar buku fiksi semacam ini "lebih seksi" daripada bacaan umum-dan booming ini
tampaknya masih akan berlangsung meskipun entah sampai kapan. Namun, di sisi lain,
kenyataan ini tidak mendorong munculnya perhatian yang lebih besar dari berbagai
kalangan yang sebetulnya berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung,
terhadap peningkatan kualitas sastra secara keseluruhan, apa pun genrenya.
Kita hampir tidak menemukan adanya pengamat yang intens dan serius mengikuti
perkembangan teks sastra remaja, misalnya. Secara umum kritik sastra yang
bermunculan, dengan atau tanpa menggunakan pendekatan disiplin ilmu tertentu, lebih
didominasi pada sorotan terhadap karya-karya sastra serius yang tidak ditujukan bagi
segmentasi pembaca sastra hiburan. Masih ada semacam stigmatisasi bahwa sastra
hiburan adalah karya yang "kurang bobot dan orientasi sastranya", atau bacaan pop yang
tidak perlu disoroti serius.
Masih sulit menghapus kesan adanya pengabaian terhadap kebutuhan pembaca dari
berbagai segmentasi bacaan untuk memperoleh referensi bacaan berkualitas sesuai
dengan tingkat usia, minat, dan pengetahuannya. Padahal, ibarat sepatu, kita tidak dapat
memaksakan ukuran sepatu kita kepada orang lain. Begitu pula realitas teks sastra,
semestinya dicermati sesuai dengan kondisi sosiologis pembaca teks sastra
bersangkutan. Sebuah teks sastra sejak awal sudah mengandaikan siapa pembacanya.
J ika teks sastra yang dianggap serius pun beragam kualitasnya, realitas serupa juga bisa
kita temukan pada teks sastra hiburan. Tidak semua teks sastra serius tergolong "berlian"
yang kilaunya menggetarkan. Namun, juga tidak semua teks sastra hiburan bisa kita
golongkan sebagai "sampah".
Mencermati maraknya pasar buku fiksi yang tergolong sastra hiburan, rasanya sudah
saatnya berbagai pihak-editor, penerbit, penulis, pengamat-mengakui perlunya
penajaman dalam spesialisasi kepengarangan. Ke depan, akan semakin banyak
kebutuhan akan bacaan yang terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok dengan selera
bacaan tertentu. Ukuran profesionalisme-sebagaimana juga berlaku pada profesi lainnya-
salah satunya adalah mengakui spesialisasi. J adi, kalau rezeki Anda memang dari sastra
hiburan, jalani saja dengan enjoy, serius, jujur, dan profesional. Buatlah jutaan orang
terhibur. Mudah-mudahan, selain kaya dari menulis (kenapa enggak? Halal kok), itu juga
bisa menjadi tiket Anda masuk surga.
Rachmat H Cahyono, Pengarang
Budaya Pop, Apa Lagi Itu?

Ada orang yang mengatakan bahwa Music Television (MTV) adalah budaya yang
nge-pop. Ada pula yang beranggapan bahwa gaya hidup terkini-lah yang disebut
dengan budaya pop. Lalu sebenarnya apa yang dimaksud dengan budaya pop?

Apa itu budaya populer?
Secara sederhana, budaya populer-lebih sering disebut dengan budaya pop- adalah
apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu pakaian, film,
musik, makanan, semuanya termasuk dalam bagian dari kebudayaan populer.
Baik, sebelum kita lanjut lebih jauh, mari kita bahas definisinya satu persatu.
Definisi dari popular/populer adalah diterima oleh banyak orang, disukai atau
disetujui oleh masyarakat banyak. Sedangkan definisi budaya adalah satu pola
yang merupakan kesatuan dari pengetahuan, kepercayaan serta kebiasaan yang
tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan menyebarkannya ke
generasi selanjutnya. Selain itu, budaya juga dapat diartikan sebagai kebiasaan
dari kepercayaan, tatanan sosial dan kebiasaan dari kelompok ras, kepercayaan
atau kelompok sosial.

J adi, dapat didefiniskan kebudayaan pop adalah satu kebiasaan yang diterima oleh
kelompok-kelompok sosial yang terus berganti/berkembang di setiap generasi

Pengaruh Media dan Amerika
Dari perkembangannya, banyak orang yang menilai perkembangan budaya pop
berdasarkan pada media. Lalu, pengaruh Amerika sangat kuat dalam budaya pop
di berbagai negara Apakah itu benar? Terlepas dari itu, media memang memegang
peranan penting dalam penyebaran gagasan tentang budaya pop. Ini dapat terlihat
dari iklan-iklan mereka yang menjual satu kebiasaan atau produk yang nantinya
akan menjadi satu kebiasaan populer.

Tentang Amerika, tidak dapat kita pungkiri bahwa pengaruhnya sangat kuat di
berbagai negara sehingga pernyataan tersebut tidak dapat disangkal. Kalau kita
lihat, seperti pakaian Levis dan sepatu Nike sudah menjadi produk dunia.
Belum lagi jika kita lihat dari musik dan gaya hidup Amerika yang banyak diserap
oleh berbagai negara.

Tetapi yang jelas, budaya pop akan terus berkembang atau berganti dari setiap
generasi. Kita bisa lihat perkembangannya, mari kita ambil Indonesia sebagai
contohnya. Dari masa 70-an hingga saat ini, budaya pop terus berganti seiring
dengan perubahan generasi.

J ika kita kembali membahas tentang peranan Amerika dalam hal ini, banyak hal
yang bisa menjawabnya. Ini tidak terlepas dari satu sistem yang sering kita dengar
tentang kapitalisme. Dalam sistem ini, satu negara yang mempunyai modal
(kapital) akan menjadi produsen dan berusaha membuat negara lain menjadi
konsumtif sehingga produknya terus bisa terjual.

Bagaimana budaya pop bisa berkembang?
Banyak hal yang bisa mempengaruhi perkembangan budaya pop di tengah
masyarakat. Dari penelitian yang dilakukan oleh salah satu sekolah di Kanada,
terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi, antara lain:

Hiburan
Mau tidak mau, semua manusia membutuhkan hiburan dalam hidupnya.
Menonton TV dapat dikatakan kebiasaan yang paling populer di semua negara.
Berbagai macam jenis hiburan disediakan oleh layar kaca. Secara tidak langsung,
sadar atau tidak sadar, kita akan terbawa dengan apa muncul dalam hiburan
tersebut.

Banyak orang yang senang menghabiskan waktunya untuk menonton di TV di
rumah. Ada juga yang mencarinya di bioskop untuk menonton film atau mencari
tempat-tempat yang menyajikan hiburan.

Makanan
Banyak sekali jenis makanan yang menjadi populer di tengah-tengah masyarakat.
Kita sebut saja Mc Donalds, KFC, Dunkin Donuts, Coke, Pepsi, Pizza Hut dan
sebagainya. Banyak orang yang menjadikannya sebagai pilihan makanan utama
saat makan siang ataupun dalam kesempatan lainnya.

Makanan-makanan tersebut sepertinya telah menjadi bagian hidup dari
masyarakat Indonesia. Walaupun kita tahu bersama terkadang orang
makan/minum hanya dengan pertimbangan gengsi.

Fashion
Khusus untuk fashion, dapat dikatakan faktor yang paling mudah diterima. Kita
bisa lihat dari berkembangnya berbagai merek seperti Nike, GAP, Levis, Lea,
Tommy, Diesel dan banyak lagi yang digemari dan kerap kali menjadi ukuran
dalam pergaulan.

Remaja kita cenderung mudah mengikuti mode yang berkembang. Mulai dari cara
berpakaian, pernak-pernik hingga potongan rambut. Terkadang cara berpakaian
juga disahkan dengan penggunaan dress code, baik di pesta hingga ke sekolah.

Gaya Hidup
Penggunaan anting, tatto, telepon selular (ponsel) merupakan salah satu gaya
hidup yang paling mudah kita temui dikalangan remaja. Mungkin pada saat,
ponsel yang menjadi salah satu gaya hidup masyarakat. Bahkan hingga ke tingkat
pelajar, ponsel sudah menjadi barang yang sangat lazim dan tidak asing lagi.

Selain itu, memiliki kendaraan pribadi, baik itu mobil maupun motor seperti
sudah menjadi hal yang wajib dalan kehidupan sehari-hari. Banyak remaja
sekarang yang menjadikan kendaraan tersebut sekedar buat mejeng tetapi menjadi
kebutuhan.

Musik
Siapa yang tidak kenal dengan Westlife atau Britney Spears? Mereka merupakan
penyanyi yang mempunyai daya tarik tersendiri terhadap remaja saat ini. Banyak
remaja yang senang pada penampilan atau musiknya saja. Remaja yang cenderung
senang terhadap lagu yang mempunyai beat/irama ceria

Mereka cenderung melihat para penyanyi tersebut sebagai contoh yang baik
dalam kehidupannya. Mandiri, percaya diri, kaya, berhasil, cantik dan sekian
banyak alasan lainnya. Namun, banyak juga pihak yang tidak setuju dengan hal
ini. Tetapi yang jelas, mereka mempunyai daya untuk mempengaruhi kita.

Tempat terkenal
Kalau kita ingat kata nongkrong, kita akan sangat teringat bagaimana kita
menghabiskan waktu kita selama berjam-jam dengan kawan-kawan kita. Tidak
sembarang tempat bisa menjadi tempat yang nyaman untuk nongkrong. Baanyak
orang yang memilih tempat seperti Mall, Caf, dan tempat sejenis lainnya.

Kebiasaan remaja untuk nongkrong berjam-jam di mall, eksekutif muda di caf
yang menyediakan kopi, menghilangkan kepenatan di caf seperti Hard Rock dan
tempat yang sejenis merupakan kebiasaan yang paling mudah kita temui saat ini.

Olah Raga
Basket dan Sepak bola merupakan olahraga yang di gandrungi oleh hampir setiap
orang. Saat ini tengah berkembang berbagai olahraga yang sebenarnya bukan
berasal dari Indonesia, seperti Baseball dan Bowling. Pelan tapi pasti olahraga
seperti ini akan menjadi bagian dari kebiasaan kita sehari-hari.

bagian 1 dari 3

top


www.sekitarkita.com 2002



Sabtu, 17 April 2004

"Chick Lit", Rahasia Perempuan Kota yang Mendunia


"Mengapa kau belum menikah, Bridget?" cemooh Woney (panggilan sayang
Fiona, yang menikah dengan teman J eremy, Cosmo) agak khawatir sambil
mengelus perutnya yang besar karena sedang hamil. "Karena aku tidak ingin
berakhir seperti kau. Kau sapi perah Sloaney yang gemuk membosankan, itulah
yang seharusnya kukatakan Tapi aku tidak bilang begitu karena, ironisnya, aku
tidak ingin melukai perasaannya. J adi aku hanya tersenyum simpul, dan pada saat
itu seseorang bernama Alex menyela, Yah, kau tahu, sekali kau melewati usia
tertentu"

SIAPA itu Bridget yang rupanya menemukan kesulitan dalam menjawab
pertanyaan: mengapa ia belum juga menikah? Bridget yang diilustrasikan ini
bernama lengkap Bridget J ones. Ia adalah seorang perempuan berusia di atas 30
tahun, masih lajang. Bridget J ones bermukim dan meniti karier di Kota London,
Inggris. Sejak memasuki usia di atas 30 tahun, percakapan yang melulu
menanyakan kenapa dirinya masih belum menikah memang bukan hanya sekali
dialami. Ia sendiri tidak tahu mengapa belum juga menemukan pria yang tepat
untuk menjadi pasangan hidup.

Kisah Bridget J ones memang hanya rekaan belaka, dicuplik dari sebuah novel
berjudul Bridget J oness Diary. Pada pertengahan tahun 1990-an, novel yang
bertutur tentang perempuan itu hadir dan langsung menggebrak dunia. Dalam
novel, Bridget J ones memang digambarkan bukan dalam sosok perempuan yang
ideal: cantik, langsing, cerdas, dan sukses. Bridget J ones adalah seorang
perempuan gemuk, belum menikah padahal sudah berusia 32 tahun, tidak
menyukai karier yang sedang ia jalani, seorang perokok berat, dan alkoholik.
Perjuangan Bridget J oness dalam menjalani hidup dengan ketidaksempurnaan
yang dimilikilah yang menjadi inti cerita dalam novel.

Akan tetapi, siapa sangka, Bridget J oness Diary yang bertutur tentang kehidupan
perempuan yang serba tidak sempurna ini ternyata disukai pasar. Novel ini tidak
hanya mencatat rekor penjualan tinggi di negara asalnya, Inggris. Kepopulerannya
juga kemudian merambah ke negeri Paman Sam. Bahkan, pada tahun 1998, pihak
produser film di Hollywood mengangkat Bridget J oness Diary ke versi layar
lebar. Dibintangi oleh Rene Zellweger, Bridget J oness Diary juga tercatat
sebagai salah satu film box office.

Sebenarnya, selain Bridget J oness Diary, pada pertengahan tahun 1990-an juga
terbit sebuah novel karya Melissa Bank, yaitu The Girls Guide to Hunting and
Fishing. Meski novel karya Melissa Bank tidak sesukses Bridget J oness Diary,
keduanya sama-sama mendapat sambutan baik pasar dan belakangan juga
membawa angin baru dalam khazanah bacaan perempuan di dunia.

Bridget J oness Diary dan The Girls Guide to Hunting and Fishing memang
muncul sebagai dua buku yang sukses di pasar. Rupa-rupanya banyak perempuan
perkotaan yang suka membaca kisah tentang para perempuan yang tidak
sempurna ini. Belakangan, setelah kemunculan dan kesuksesan dua novel ini,
banyak penulis baru menulis cerita-cerita tentang perempuan-perempuan muda,
lajang, dan tidak sempurna ini.

Sama dengan dua novel pendahulu, buku-buku yang muncul belakangan ternyata
juga mendapat sambutan baik pasar.

Akan tetapi, novel-novel yang bercerita tentang sepak terjang para perempuan
lajang dan tidak sempurna (cantik, langsing, lembut, cerdas, dan sukses) ini
setelah banyak bermunculan juga akhirnya mengundang reaksi dari beberapa
kalangan, khususnya para kritikus sastra. Bagi mereka, sebagai bacaan, buku-buku
ini dianggap terlalu ringan dan hanya bermuatan hiburan. Akhirnya, karena
nuansa ketidakseriusan atau hiburan ini, para kritikus sastra menempatkan buku-
buku yang populer ini ke dalam satu genre baru, yaitu chick lit, kependekan dari
chick literature. Oleh para kritikus, kata chick dinilai lebih cocok digunakan
ketimbang woman karena mengacu pada perempuan muda yang dinamis dan
kurang serius. Demikianlah, kemudian novel-novel serupa Bridget J oness Diary
banyak bermunculan, laku di pasaran, dan mendapat label chick lit.

Kehadiran novel-novel chick lit memang kemudian menjadi fenomena dalam
industri perbukuan. Selain disukai pasar, juga mengundang reaksi dari berbagai
kalangan, termasuk para aktivis feminisme. Namun, lepas dari segala kritik,
novel-novel yang dikemas dengan sampul berwarna pastel, ceria, dan berilustrasi
ala kemasan boneka Barbie ini memang menyerbu pasar di hampir seluruh
belahan dunia. Buku-buku tersebut bisa dipastikan mencatat peringkat atas
sebagai buku laris. Sebagai contoh, Bridget J oness Diary dan sekuelnya, The
Edge of Reason, hingga kini tercatat sudah terjual lebih dari 10 juta kopi dalam
kurun sekitar delapan tahun sejak pertama kali diterbitkan. Sebuah angka
penjualan yang fantastis jika mengingat umumnya satu judul buku tergolong
normal angka penjualannya jika selama enam bulan hingga satu tahun sejak
diterbitkan bisa terjual sebanyak 3-5 ribu eksemplar. Tak heran jika banyak
penulis muda-dan umumnya perempuan-tertarik untuk menulis cerita-cerita yang
tergolong dalam genre chick lit ini.

Lalu, kenapa novel-novel chick lit ini mendapat sambutan baik di pasar? Menurut
Intan Paramaditha, pengamat sastra dan budaya, pembaca chick lit umumnya
adalah para perempuan seusia tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Menurut
Paramaditha, para perempuan tersebut melihat refleksi diri melalui tokoh yang
coba memaknai hidup di tengah pergulatan dengan isu-isu perempuan modern.
Isu-isu tersebut berkisar seputar pilihan karier, mencari jodoh, bentuk tubuh (body
image-Red), dan keuangan.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Ibnu Wahyudi, pengajar di Fakultas Ilmu
Budaya. Menurut Ibnu Wahyudi, mengapa pasar begitu antusias menyambut
novel-novel chick lit tersebut, tak lain adalah karena para pembacanya-para
perempuan dewasa-merasa seolah-olah terwakili. Lebih jauh lagi, para pembaca
juga dikatakan akhirnya merasa mampu mengaktualisasi diri sebagai bagian dari
kehidupan modern yang memang diangkat di dalam chick lit.

Selain dari sisi tema dan persoalan yang diangkat, menurut Intan Paramadhita,
kesuksesan chick lit di pasar juga dipengaruhi dari teknik penuturan yang berbeda
dengan gaya bertutur pada novel pada umumnya. Cerita-cerita pada chick lit,
seperti dalam Bridget J oness Diary, banyak yang bertutur dengan gaya ke-"aku"-
an, seperti seseorang bertutur dalam sebuah catatan harian. "Teknik penulisan aku
(orang pertama-Red) yang biasanya berbentuk diary (buku catatan harian-Red)
atau e-mail (surat elektronik) menciptakan kedekatan dengan para pembaca
karena bisa mengintip langsung isi kepala tokoh (dalam cerita)," ujar
Paramadhita menjelaskan.

Pendapat dua pemerhati budaya dan sastra ini juga dirasakan oleh para pembaca
chick lit. Mayang, salah seorang mahasiswi di J akarta, mengungkapkan, menyukai
chick lit karena cerita di dalamnya benar-benar mewakili dirinya sebagai
perempuan muda. "Ceritanya cewek banget, lucu, dan mewakili wanita," ia
menjelaskan. Pembaca lainnya, Palupi, salah seorang karyawan swasta yang
mengaku mengoleksi novel-novel chick lit, mengungkapkan, kesukaan membaca
novel-novel tersebut disebabkan oleh gaya bahasa yang apa adanya dan persoalan
keseharian yang diangkat di dalamnya. "J adi, enggak pusing setelah membaca
novel-novel itu," ungkap Palupi.

Di Indonesia, chick lit sebagai novel karya terjemahan pertama kali muncul pada
awal tahun 2003. Kesuksesan novel-novel chick lit, termasuk kontroversi genre
baru tersebut, menjadi alasan penerbit Gramedia Pustaka Utama untuk
menerjemahkan dan menerbitkan. "Kami melihat sudah ratusan judul chick lit di
Inggris dan Amerika Serikat sehingga dirasa perlu untuk diperkenalkan sebagai
bacaan baru di sini," kata Siska Yuanita dari Gramedia Pustaka Utama
menjelaskan.

Akhirnya, pada Maret 2003, empat novel chick lit, termasuk di dalamnya
terjemahan dari Bridget J oness Diary, Buku Harian Bridget J ones, diluncurkan.
Peluncuran empat buku sekaligus dilakukan oleh Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, mengingat baik para pengarang maupun buku-buku tersebut belum
dikenal pada waktu itu. "Waktu itu kami terbitkan dan luncurkan empat judul
sekaligus supaya bunyi begitu," ungkap Yuanita. Selain promosi melalui
peluncuran buku, untuk memperkenalkan lebih lanjut, bentuk promosi lain yang
dilakukan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama untuk buku yang di sampul
depan diberi slogan: being single and happy ini juga dilakukan dengan rutin
mengirimkan resensi ke beberapa majalah perempuan. Alhasil, novel-novel chick
lit ini di sini mendapat sambutan baik pasar. Empat judul buku yang diluncurkan
pada bulan Maret 2003, J emima J , Buku Harian Bridget J ones, Buku Harian sang
Calon Pengantin, dan Pengakuan si Gila Belanja hingga kini telah mengalami
cetak ulang dan terjual sebanyak belasan ribu eksemplar.

Menurut Sisca Yuanita dari Penerbit Gramedia Utama, selain berpromosi dengan
cukup gencar, pada dasarnya kelarisan chik lit di Indonesia adalah karena adanya
kekosongan bacaan untuk para perempuan muda yang tergolong sebagai pembeli
potensial. "Genre seperti itu kosong di sini. Novel-novel sebelumnya, seperti
Harlequin atau karya-karya Danielle Steel memang ada, tapi jiwanya berbeda,"
kata Yuanita. Kemunculan novel-novel tentang pergulatan perempuan perkotaan
seperti chick lit inilah yang akhirnya mengisi kekosongan tersebut.

Berbicara tentang novel-novel untuk perempuan muda perkotaan di Indonesia,
pada tahun 1970 sampai 1980-an sebenarnya juga bermunculan novel-novel
populer karya penulis perempuan, seperti Marga T, Mira W, Maria Sardjono, dan
sebagainya. Novel-novel tersebut-karena memang merupakan karya asli, bukan
terjemahan-juga banyak mengangkat problem para perempuan perkotaan. Frans
Parera, salah seorang pengamat industri perbukuan, mengungkapkan, kehadiran
novel-novel chick lit ini bisa dianggap sebagai serial lanjutan novel-novel
sebelumnya meski sosok perempuan yang ditampilkan berbeda. "Perbedaan lebih
disebabkan karena perkembangan dari masa ke masa," ungkap Frans Parera.
Diakui, dari sisi pasar, kaum perempuan memang tergolong sebagai pembaca
potensial sehingga ketika muncul bacaan baru, apalagi menampilkan perempuan
sesuai dengan perkembangan masanya, dengan cepat akan diserap pasar.
(nca/umi/wen/Litbang Kompas)

Design By KCM
Copyright 2002 Harian KOMPAS

Anda mungkin juga menyukai