Anda di halaman 1dari 24

LEMBAR PENGESAHAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Felicia Maya Saphira
Nomor Pokok Mahasiswa : 1006773736
Peserta Mata Kuliah Dinamika Kaawasan Eropa (SHI 30061) semester genap tahun Ajaran 2012
2013
Menyakatkan bahwa Makalah berjudul Hubungan Politik dan Keamanan Translantik Pasca
Berakhirnya Perang Dingin yang saya serahkan dalam mata kuliah ini adalah hasil karya saya sendiri
yang belum pernah diserahkan di mata kuliah lain, dan belum pernah dipublikasikan. Referensi untuk
semua kutipan langsung maupun tidak langsung sudah dicantumkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

Depok, 13 Mei 2013



Felicia Maya Saphira

1
Literature Review Mata Kuliah Dinamika Kawasan Eropa
Nama : Felicia Maya Saphira
NPM : 1006773736

Hubungan Politik dan Keamanan Translantik
Pasca Berakhirnya Perang Dingin

Americans are from Mars and Europeans are from Venus:
They agree on little and understand one another less and less.
-Robert Kagan-

Hubungan transatlantik antara Uni Eropa dan Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang
Dingin berhadapan pada situasi yang baru. Absennya balancing superpower bagi Amerika Serikat
pasca kerunuhan Uni Soviet, tidak hanya mengendorkan hubungan solidaritas AS dengan Eropa
dalam aspek keamanan, tapi juga semakin mendorong AS untuk bergerak secara unilateral.
1
Faktor lain yang memberikan pengaruh pada hubungan transatlantik ini adalah semakin
meningkatnya integrasi diantara negara-negara Eropa. Negara-negara besar di Eropa seperti Inggris,
Jerman, dan Prancis cenderung menggunakan pendekatan independen dalam pengaplikasian kebijakan
luar negerinya ketimbang melakukan pendekatan dengan AS.
2
Posisi AS di mata masyarakat Eropa pun
mengalami perubahan, dimana ketika dilakukan jejak pendapat oleh European Commission pada tahun
2003, 53% orang Eropa melihat AS sebagai ancaman terhadap perdamaian dunia ketimbang Korea
Utara maupun Iran.
3
Lebih lanjut, posisi AS sebagai kekuatan unilateral juga dlihat sebagai ancaman
terhadap Eropa di tahun-tahun mendatang.
4

Terkait dengan hubungan Amerika Serikat dengan Eropa tersebut, dalam tulisan ini akan dibahas
secara spesifik hubungan transatlantik dari aspek politik dan keamanan. Secara umum, hubungan
transatlantik semenjak Perang Dunia II telah dibangun melalui dua jenis institusi. Yang pertama adalah
aliansi Atlantik yang direpresentasikan melalui NATO dalam ruang lingkup keamanan, serta IMF dan
WTO dalam ruang lingkup ekonomi. Institusi kedua adalah Uni Eropa serta organisasi lain di bawahnya
yang merupakan bentuk dari integrasi Eropa. Pada bagian pertama, pembahasan akan menyoroti
bagaimana hubungan transatlantic, baik itu melalui aliansi atlantik maupun melalui integrasi Eropa.

1
Thomas L. Ilgen, The Atlantic Alliance and the Integration of Europe dalam Thomas L. Ilgen (ed.), Hard Power, Soft
Power and the Future of Translantic Relations (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2006), hlm. 9.
2
Joseph S. Nye, Jr. Soft Power and European-American Affairs dalam Thomas L. Ilgen (ed.), Hard Power, Soft Power and
the Future of Translantic Relations (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2006), hlm. 26.
3
Chris McGreal, EU Poll Sees Israel as Peace Threat dalam The Guardian (9 November 2003), diakses dari
http://guardiannews.com/world/2003/nov/03/eu.israel pada tanggal 9 Mei 2013 pukul 17.10 WIB.
4
Nye, Jr., op.cit.

2
Bagian kedua akan memaparkan perkembangan hubungan translantik setelah berakhirnya Perang
Dingin, beserta dengan uncertainties apa saja yang dihadapi aliansi ini. Perbedaan dalam memilih
preferensi kebijakan dan pendekatan dalam penyelesaian masalah menjadi aspek yang melatarbelakangi
pembahasan bagian ini, mengingat pada dasarnya kedua pihak dalam aliansi ini berbagi tujuan dan nilai-
nilai yang sama terkait demokrasi, hak asasi manusia, sampai dengan perdamaian. Bagian terakhir
berfokus pada pembahasan dinamika dan tantangan bagi AS dan Uni Eropa dalam melanjutkan kerja
sama di bidang keamanan. Dalam bagian ini pula dibahas mengenai new institutionalism dari hubungan
transatlantik.

Awal Hubungan Transatlantik
Diputuskannya melakukan perang di Iraq oleh pemerintah AS menjadi momentum dimana dua
pihak dalam aliansi transatlantik memiliki pandangan yang berbeda. Jika melihat lagi pada sejarah
hubungan antara Eropa dengan AS, sebenarnya krisis Iraq bukanlah event pertama dimana citra AS
dihadapan negara-negara Eropa menurun. Menurut Joseph Nye, setidaknya terdapat empat event yang
memperlihatkan hal tersebut, yaitu: (1) pasca berakhirnya krisis Terusan Suez di tahun 1956; (2) pada
masa pergerakan ban the bomb di akhir tahun 1950an sampai dengan awal tahun 1960an; (3) pada
masa Perang Vietnam; dan (4) pada masa penggelaran nuklir jarak menengah di beberapa negara oleh
Amerika Serikat pada tahun 1980an.
5

Meskipun demikian, hubungan yang terjalin antara kedua belah pihak ini tidak dapat dikatakan
seimbang. Keputusan Eropa untuk bergabung menjadi aliansi AS pada masa Perang Dingin dapat
dikatakan merupakan hasil dari weakness dibandingkan strength. Secara spesifik, Thomas Ilgen
mendeskripsikan posisi Eropa pada saat itu sebagai pihak yang membutuhkan aliansi besar,
dibandingkan pihak yang memang dengan bebas dapat memilih aliansinya. Meskipun Eropa tidak selalu
berbagi pandangan yang sama dengan Amerika Serikat terkait posisi Uni Soviet dan komunisme, namun
terdapat dua aspek yang membuat Eropa memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat, yaitu
kebutuhan besar untuk mendapatkan perlindungan militer, dan memanfaatkan aliansi untuk
memperbaiki perekonomian pasca Perang Dunia II.
6
Tidak seimbangnya power di dalam aliansi atlantik
ini terlihat dari dominasi AS baik dari segi ekonomi, politik, maupun militer. Analogi yang diberikan
oleh Ilgen terkait hubungan tersebut adalah AS berperan sebagai pedang melalui ekonomi dan
teknologinya, sedangkan Eropa berperan sebagai tameng aliansi melalui banyaknya jumlah pasukan
yang dimiliki.
7


5
Ibid, hlm. 27.
6
Ilgen, op.cit., hlm. 11.
7
Ibid.

3
Dominasi yang besar dari AS di dalam aliansi atlantik mendapatkan respon yang berbeda-beda
dari masing-masing negara Eropa. Inggris yang cenderung mengidentifikasi identitasnya sebagai negara
Atlantik dibandingkan Eropa, mendefinisikan kepentingannya sesuai dengan kepentingan AS, dimana
pada akhirnya semakin terbentuk special relationship diantara keduanya. Jerman Barat, yang pada saat
itu posisinya telah dilemahkan oleh kekalahan perang dan secara geografis berdekatan dengan Uni
Soviet, mengakui ketergantungannya kepada AS. Respon berbeda ditunjukkan oleh Prancis yang
memilih untuk tidak bergantung kepada AS. Kebijakan tersebut diperlihatkan ketika Prancis keluar dari
struktur komando NATO di tahun 1966. Namun demikian, krisis Cekoslovakia di tahun 1968 ketika
tentara Soviet menduduki negara tersebut, menjadi titik balik dimana Prancis memutuskan untuk
melanjutkan kolaborasi bersama NATO.
8

Tidak hanya aliansi atlantik, projek integrasi Eropa juga merupakan bentuk shared of interest
antara Eropa engan AS, yaitu untuk kembali munculnya nasionalisme yang berlebihan, dimana hal
tersebut telah membawa Eropa ke dalam perang besar sebanyak dua kali di abad ke-20. Eropa percaya
apabila dilakukan integrasi, maka akan semakin kecil kemungkinan lahirnya paham-paham nasionalis
ekstrem. Strategi dalam realisasi integrasi sendiri menjadi perdebatan antara negara-negara Eropa dan
AS. Beberapa pihak mendukung pembentukan integrasi Eropa sesuai dengan bentuk negara federal
sebagaimana AS. Dengan kata lain, negara-negara Eropa bergabung menjadi kesatuan negara federal
dibawah satu institusi dan konstitusi. Di lain pihak, terdapat pula pendapat yang lebih mendukung
proses integrasi yang lebih lambat dengan negara anggota memberikan sovereignty kepada institusi
Eropa secara bertahap. Secara spesifik, integrasi dilakukan berdasarkan sektor-sektor tertentu terlebih
dahulu, sampai pada akhirnya Eropa mencapai tingkat integrasi yang matang. Meskipun AS memiliki
interest tersendiri dalam integrasi Eropa, namun pada perjalanannya, integrasi serta pembentukan
kebijakan Uni Eropa dilakukan tanpa adanya campur tangan dari AS.

Hubungan Transatlantik Pasca Perang Dingin
Runtuhnya rezim Uni Soviet yang diidentifikasi sebagai ancaman oleh aliansi atlantik
melahirkan beberapa perubahan dalam hubungan transatlantik. Meskipun aliansi dalam membendung
pengaruh Soviet dapat dikatakan berhasil, namun ketegangan antara Eropa dengan AS mulai muncul.
Dengan semakin membaik dan meningkatnya perekonomian Eropa, negara-negara Eropa mulai
memberikan challenge pada dominasi AS. Challenge terhadap posisi AS tersebut sebenarnya sudah
mulai terasa sejak tahun 1960an, ketika mata uang negara-negara besar Eropa seperti Pound sterling dan
Deutsche Mark mulai menandingi Dollar di perekonomian global.

8
Ibid.

4
Tidak adanya ancaman eksternal bersama pada akhirnya membuat aliansi atlantik dihadapkan
pada uncertainties yang lebih besar. Mulai diperluasnya integrasi Eropa ke dalam sektor keamanan dan
pertahanan juga semakin membuat hubungan transatlantik dalam bidang keamanan semakin kompleks.
Terkait hal ini, Brenner dan Williams berargumen bahwa komitmen Eropa dan AS dalam
intitusionalisasi hubungan mereka pasca Perang Dingin justru semakin loose.
9
Thomas L. Ilgen
mengidentifikasi hal ini sebagai akibat dari tidak adanya motif signifikan yang membuat kedua belah
pihak memiliki komitmen di dalam institusi. Lebih lanjut, Ilgen memaparkan bahwa upaya untuk
menyelesaikan konflik Balkan, perang akan terorisme, sampai dengan dukungan dalam mengakhiri
rezim otoriter di Timur Tengah, telah menjadi bukti bagaimana aliansi transatlantik kesulitan dalam
membentuk kebijakan dan bertindak sesuai shared values.
10

Pasca Perang Dingin, setidaknya terdapat tiga sumber uncertainties dari hubungan transatlantik.
Yang pertama berasal dari jatuhnya perekonomian negara-negara Eropa Timur setelah rezim Uni Soviet
runtuh. Uncertainty kedua berasal dari peran AS di Eropa di masa mendatang. Secara spesifik, keadaan
politik dan ekonomi AS sekarang tidak mendukung posisi AS sebagai negara dominan di Eropa
sebagaimana pada masa Perang Dingin. Uncertainty ketiga berasal dari internal Eropa, yaitu kerjasama
pertahanan Eropa yang semakin berkembang.
11

Dari sisi kejatuhan ekonomi pasca rezim Soviet, kerentanan berada pada kemunculan konflik
etnis dan kebangsaan karena adanya ketidakpuasan akan pemerintah berkuasa, atupun tekanan terhadap
kelompok minoritas. Kekerasan yang muncul karena adanya disintegrasi politik dan sosial ini
memberikan ancaman pengaruh terhadap negara-negara Uni Eropa lain yang berbatasan dengan negara-
negara eks-Soviet. Dengan bergabungnya negara-negara Eropa Tengah dan beberapa negara Eropa
Timur eks-Soviet lainnya ke dalam Uni Eropa, uncertainty yang muncul dari sektor ini semakin
mengecil. Di lain pihak, ketidakpastian akan peran AS di Eropa di masa mendatang beriringan dengan
pengaruh AS di level global yang juga semakin menurun. NATO pun tidak lagi dilihat sebagai
automatic defence oleh sebagian besar negara-negara Eropa.
Semakin terintegrasinya Eropa dalam sektor pertahanan turut menjadi faktor dari ketidakpastian
masa depan hubungan transatlantik. Namun demikian, Uni Eropa masih belum bisa bergerak dari hanya
sekedar membentuk kebijakan pertahanan semata. Hasil dari pembentukan Lisbon Treaty yang
ditandatangani pada tahun 2007, pada akhirnya menjadi daftar panjang isu yang diatur kebijakannya
oleh Uni Eropa tanpa adanya kejelasan lebih lanjut pada mekanismena. Albert Bressand berargumen

9
Michael Brenner dan Phil Williams, The United States and European Security in the 1990s dalam Colin McInnes (ed.),
Security and Strategy in the New Europe, (London: Routledge, 1992), hlm. 146
10
Thomas L. Ilgen, Conclusion: The Future of the Transatlantic Partnership dalam Thomas L. Ilgen (ed.), Hard Power,
Soft Power and the Future of Translantic Relations (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2006), hlm. 194.
11
Brenner dan Williams, op.cit., hlm. 147 148.

5
bahwa daftar isu yang dimasukkan ke dalam Lisbon Treaty, termasuk salah satunya adalah isu
pertahanan, tidak mendapatkan elaborasi lebih lanjut terkait pada titik mana Uni Eropa harus melihat
dan membuat kebijakan yang berbeda dengan sebelumnya, dan bagaimana perbedaan tersebut harus
dibuat.
12
Di sisi lain, terdapat pula pandangan apabila Uni Eropa semakin meningkatkan integrasi di
dalam bidang pertahanan tersebut, maka akan semakin besar pula kemungkinan disengagement dengan
AS. Terdapat dua alasan mengapa preediksi disengagement tersebut muncul. Yang pertama, AS akan
merasa Eropa berperan sebagai pihak oposisi dalam aspek preferensi isu dan kebijakan. Harus
dicapainya satu suara di dalam Uni Eropa menjadi dasar dari pemikiran ini. Alasan lainnya adalah
kemungkinan besar AS tidak lagi merasa Eropa membutuhkan perlindungan keamanan. Hal ini
berkaitan dengan alasan awal Eropa menjadi aliansi AS pada masa Perang Dingin.
13

Terlepas dari permasalahan kemungkinan disengagement di dalam hubungan translantik
tersebut, pada dasarnya terdapat aspek lain yang membuat masa depan Uni Eropa di sektor pertahanan
masih menghadapi ketidakpastian. Dari sisi internal sendiri, ketidakpastian tersbut dimunculkan karena
sulitnya mencapai triangle cooperation dari tiga negara besar Uni Eropa, yaitu Inggris, Jerman, dan
Prancis.
14
Dari ketiga negara tersebut konsepsi Inggris dengan Prancis merupakan yang paling
berseberangan terkait aliansi atlantik dan kerja sama dengan AS. Prancis yang sebelumnya pernah
menarik diri dari struktur komando NATO di tahun 1966 memiliki konsepsi untuk independen dari
pengaruh Amerika Serikat. Berbeda halnya dengan Inggris yang condong untuk memilih bekerja sama
secara komprehensif dengan AS. Meskipun demikian, AS sendiri membutuhkan Uni Eropa sebagai
aliansi yang tidak hanya kuat, tapi juga independen sehingga tidak bergantung banyak akan AS. Uni
Eropa yang kuat dan independen pada akhirnya menguntungkan AS dalam hal burden sharing tanpa
harus diikuti dengan responsibility sharing.
15

Uncertainties yang dihadapi oleh hubungan transatlantik pada akhirnya direspon dengan
malakukan reformasi di tubuh NATO sebagai institusi yang paling mengikat kedua pihak atlantik di
sektor keamanan dan pertahanan. Perubahan pertama terlihat dari postur pertahanan yang pada awalnya
berada di level deterrence and defence menjadi postur yang lebih fleksibel dan berfokus pada
manajemen krisis. Rencana akan perubahan postur tersebut dihasilkan dari pertemuan NATO di New
York tahun 1991. Perubahan selanjutnya dilakukan pada aspek strategi khususnya pada masalah nuklir
, perubahan hubungan terhadap negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur, dan perubahan

12
Albert Bressand, Between Kant and Machiavelli: EU Foreign Policy Priorities in 2010s dalam International Affairs, Vol.
87, No. 1, hlm. 60.
13
Brenner dan Williams, op.cit., hlm. 148.
14
Ibid.
15
Lihat Brenner dan Williams (1992), Waltz (1964).

6
balance of roles and responsibilities antara AS dan Eropa.
16
Meskipun demikian, masih terdapat
pandangan skeptic terhadap eksistensi NATO pasca berahirnya Perang Dingin. Konsep Eropa akan
OSCE dianggap lebih sesuai dengan aturan dunia sekarang. Tidak hanya dikarenakan keanggotaannya
yang lebih bersifat universal, tapi juga tidak adanya ketergantungan terhadap standing force dan
permanent command.

Behaviour Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam Hubungan Translantik
Ketika ancaman utama yang berperan sebagai dasar pembentukan aliansi telah mengilang, dan
perubahan yang dilakukan masih dianggap tidak lagi sesuai dengan world order, pertanyaan yang
kemudian muncul adalah, mengapa NATO masih dipertahankan baik oleh Eropa maupun AS? Alasan
utama dari masih dipertahankannya NATO adalah masih dirasakannya ancaman potensial dari Rusia
sebagai negara eks-Soviet. Alasan yang sama menjadi dasar dari negara-negara eks-Soviet lainnya
memilih untuk menjadi anggota NATO, dan menukarkan dominasi Rusia akan kepentingan keamanan
mereka dengan kontrol dari AS. Disamping itu, masih belum dimilikinya pasukan militer yang bergerak
secara efektif baik dari Uni Eropa maupun OSCE membuat negara-negara Eropa masih bergantung
dengan NATO terkait penyelesaian konflik. Eropa masih belum mampu menyelesaikan agenda yang
terintegrasi terkait keamanan dan pertahanan. Hal ini juga berkaitan dengan tidak dapat diselesaikannya
semua permasalahan melalui negosiasi dan kompromi. Alasan lain dari masih dipertahankannya NATO
berhubungan dengan terjadinya tindak terorisme di New York pada tanggal 11 September 2001, dan
Madrid pada tanggal 11 Maret 2003. Kejadian tersebut mendorong AS dan Eropa untuk mendefinisikan
lagi ancaman eksternal bagi aliansi mereka. Ironisnya, aspek terorisme masih belum berhasil membuat
Eropa maupun AS mencapai kesepakatan dalam pengambilan kebijakan. Keputusan invasi AS ke Iraq
merupakan salah satu contohnya, dimana negara-negara Eropa anggota NATO lainnya merasa
keterlibatan Iraq di dalam terorisme sangan tidak signifikan.
17

Terkait dengan perbedaan behaviour antara AS dengan Uni Eropa, hal tersebut terletak pada
kebijakan luar negeri yang diterapkan, serta preferensi penggunaan soft power atau hard power. Soft
power pada dasarnya merupakan kemampuan negara mempengaruhi pihak lain dalam mencapai
kepentingannya melalui attractiveness aspek kebudayaan, pemikiran-pemikiran politik, sampai dengan
kebijakan pemerintah. Sedangkan hard power merupakan kemampuan negara untuk melakukan tindaka
koersif, baik itu melalui aspek militer maupun ekonomi. Amerika Serikat, menurut Joseph Nye,
merupakan negara yang mampu mengembangkan kedua jenis power tersebut untuk memenuhi
kepentingannya. Namun, pasca diambilnya kebijakan untuk melakukan invansi ke Iraq oleh pemerintah

16
Brennre dan Williams, op.cit., hlm. 154.
17
Ilgen, The Atlantic Alliance and the Integration of Europe, op.cit., hlm. 15 16.

7
AS, soft power negara tersebut terhadap Eropa menurun.
18
Hal ini juga diiringi dengan semakin
besarnya soft power yang dimiki Eropa, dimana Eropa menjadi pesaing utama AS dalam penggunaan
soft power.
Secara kualitas, masih belum ada satu negara Eropa pun yang mampu menyaingi power AS,
namun hasil berbeda muncul dengan dilakukannya integrasi melalui Uni Eropa. Melalui nilai-nilai yang
dibawa oleh Uni Eropa, telah membuat institusi ini melahirkan citra sebagai wilayah yang
mengutamakan perdamaian dan kesejahteraan. Ditentangnya kebijakan-kebijakan AS untuk
menggunakan pasukan militer di beberapa wilayah oleh sebagian negara Eropa dan mayoritas
masyarakat Eropa, semakin membuat Uni Eropa memainkan peran positif di lingkungan global
dibandingkan AS.
Lebih lanjut, Nye memaparkan bahwa Uni Eropa dan AS memainkan peran sebagai good cop
dan bad cop di level internasional. Contohnya dapat dilihat dari kasus pengembangan teknologi nuklir
oleh Iran. AS secara terang-terangan menentang program nuklir Iran beserta adanya ancaman sanksi
ekonomi. Di lain pihak, Uni Eropa lebih mengutamakan penggunaan negosiasi, dimana dalam
permasalahan ini Uni Eropa menawarkan diri sebagai pihak yang akan menjadi pihak ketiga antara Iran
dengan AS.
19
Kunci permasalahan disini adalah, peran bad cop dan good cop baru akan menjadi efektif
sebagai salah satu cara kerjasama transatlantik apabila kedua pihak memahami fungsi dan peran masing-
masing.
Salah satu analogi yang paling popular terkait hubungan Uni Eropa dan AS datang dari Robert
Kagan yang mengatakan bahwa orang-orang Eropa berasal dari Venus, dan orang-orang Amerika
Serikat berasal dari Mars.
20
Meskipun Uni Eropa dan Amerika Serikat berbagi nilai-nilai yang sama
seperti demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan perdamaian, namun Kagan tidak melihat kedua
piak berbagi common view terhadap perkembangan dunia. Berangkat dari pandangan ini, Kagan
menjelaskan bagaimana AS sebenarnya lebih bersifat konservatif dengan tetap mengutamakan kekuatan
militer dan masih berupaya mengembangkap power melalui hukum-hukum internasional di dunia
internasional yang anarki. Berbeda dengan Eropa yang menurut Kagan telah bergerak beyond power
menuju pembentukan dunia yang lebih tunduk pada aturan, dimana salah satunya adalah dengan
diutamakannya negosiasi dan kerjasama. Secara spesifik, Kagan menggolongkan upaya Uni Eropa ini
sebagai bentuk realisasi dari pemikiran perpetual peace oleh Immanuel Kant.
21
Pada praktik penerakan
kebijakan luar negeri, Uni Eropa lebih sabar untuk melakukan pendekatan diplomatic ketimbang AS.

18
Nye, op.cit., hlm. 27.
19
Ibid, hlm. 33 34.
20
Robert Kagan, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order (New York: Alfred A. Knopf,
2003), hlm. 3.
21
Ibid.

8
Pada akhirnya, hubungan antara Uni Eropa dengan AS terkesan tidak membuktikan bahwa
partnership antara major powers dapat dengan baik terinstitusionalisasi. Setidaknya terdapat dua factor
utama yang menahan hubungan transatlantik ini semakin terintegrasi. Pertama, masih adanya values gap
antara Uni Eropa dan AS sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, adanya perbedaan
terkait pemikiran world order. AS cenderung terus bergerak dan terus mempertahankan sifat
unilateralnya di level internasional. Berbeda dengan Uni Eropa yang condong multilateral.
22


Masa Depan Hubungan Transatlantik
Pada tanggal 10 11 Desember 1999, Uni Eropa mencapai suatu kesepakatan untuk membentuk
Common European Security and Defence Policy (CESDP), dimana pembentukannya memberikan Uni
Eropa peran yang lebih besar di dalam hubungan internasional terkait isu-isu keamanan. Dari sisi AS
sendiri, terdapat argumen klasik terkait penentanga sistem keamanan yang dibentuk oleh Uni Eropa. AS
mengkhawatirkan mekanisme yang dilakukan oleh Uni Eropa justru menjadi pintu belakang bagi
negara anggotanya yang tidak dilindungi oleh Artikel 5 Washington Treaty.
23
Argumen yang sama
melatarbelakangi hubungan antara NATO dan WEU, dimana seluruh anggota WEU haruslah anggota
Uni Eropa yang juga menjadi anggota NATO.
Jika memang AS tidak ingin badan keamanan dari Uni Eropa menjadi pintu belakang bagi
negara Eropa lain untuk mendapat jaminan keamanan dari NATO, lalu mengapa pada akhirnya AS
membiarkan pembentukan institusi kemanan di dalam Uni Eropa? Van Ham berendapat bahwa terdapat
peran Inggris dan pengaruh dari pengalaman NATO di dalam perang Kosovo. Dalam permasalahan
pembentukan CESDP, Inggris bergerak mendukung integrasi Eropa pada aspek keamanan. Padahal, jika
melihat kembali sejarah hubungan antara Inggris, Uni Eropa, dan AS, Inggris lebih condong
mengidentifikasi dirinya sebagai negara atlantik dibandingkan Eropa. Dari sini, AS yang merasa
kehilangan aliansi besarnya yang sepenuhnya memiliki orientasi kemanan ke atlantik, pada akhirnya
dipaksa untuk memikirkan ulang pandangannya terhadap CESDP. Disamping itu, pengalaman pada
perang Kosovo di tahun 1998, mempengaruhi pemikiran AS bahwa permasalahan di wilayah Eropa
harus dapat diselesaikan oleh orang-orang Eropa sendiri.
24

Terkait dengan masa depan NATO sebagai bentuk aliansi Eropa dan AS dalam bidang
keamanan, AS telah menyampaikan dalam Helsinki Summit bahwa pihaknya menginginkan adanya
prioritas Uni Eropa terhadap NATO. Disini, secara implicit AS menyatakan keinginannya untuk

22
John Peterson dan Rebecca Steffenson, Transatlantic Institutions: Can Partnership be Engineered? dalam The British
Journal of Politics and International Relations, Vol. 11 (2009), hlm. 41.
23
Peter van Ham, Europes Common Defense Policy: Implications for the Transatlantic Relationships dalam Security
Dialogue, Vol. 31, No. 2 (2000), hlm. 220.
24
Ibid, hlm. 220 221.

9
dilibatkan di dalam proses pembuatan kebijakan, terlepas akan dikirim atau tidaknya pasukan AS dalam
isu yang dibahas. Pemikiran yang mendasari keinginan AS ini adalah kekhawatiran dimilikinya otonomi
Uni Eropa dalam hal keamanan dan pertahanan tanpa adanya pengawasan AS, dimana nantinya hal
tersebut dapat berisiko melahirkan perbedaan pendapat dan perpecahan di dalam tubuh NATO.
25

Permasalahannya di sini adalah, Uni Eropa sendiri masih belum memiliki rencana yang jelas
terkait isu keamanan. Maka tidak heran apabila sampai sekarang operasi-operasi militer yang dipimpin
oleh negara-negara Eropa masih sangat bergantung pada struktur komando NATO, dan logistik serta
intelijen AS. Van Ham berargumen bahwa AS akan terus bersikap mendukup integrasi di Uni Eropa
dalam sektor keamanan, selama kerjasama tersebut meringankan beban AS tanpa harus bertentangan
atau bahkan menjadi challenge terhadap status quo.
26
Dianalisa berdasarkan perpektif realis, terdapat
dua hipotesis yang muncul dalam melihat masa depan hubungan transatlantik. Hipotesis pertama, AS
akan memberikan dukungan terhadap perjanjian multilateral di dalam Uni Eropa jika pada akhirnya
kerjasama tersebut mampu membatasai kemampuan negara lain untuk memberikan challenge kepada
AS. Hipotesis kedua, apabila Uni Eropa bergerak dalam satu kesatuan, mereka akan cenderung tetap
menjalankan agreements yang dibuat meskipun hal tersebut memberikan pengaruh negatif terhadap AS.
Sebaliknya, ketika kebijakan yang diadopsi lahir dari independent states anggota Uni Eropa, mereka
akan cenderung untuk membentuk kebijakan yang mendukung posisi AS.
27
Tantangan yang harus
dihadapi oleh Uni Eropa dan AS di dalam hubungan transatlantik ini adalah menemukan common
strategy yang dapat memenuhi kepentingan kedua pihak.
28


Kesimpulan
Melihat kembali latar belakang dari dibentuknya hubungan transatlantik di bidang keamanan, hal
ini didasari oleh diidentifikasinya common external threat oleh negara-negara Eropa Barat dan AS.
Meskipun kedua belah pihak dilihat sebagai major powers di dalam sistem internasional, namun
hubungan yang pada saat itu direalisasikan melalui pembentukan NATO, tidaklah seimbang. AS yang
membayar cost lebih besar dalam aliansi tersebut, bergerak sebagai negara yang lebih dominan
dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya. Posisi Eropa untuk masuk ke dalam aliansi ini pun
lebih didorong oleh adanya kebutuhan untuk memperbaiki kondisi ekonomi pasca Perang Dunia II, dan
tidak adanya kemampuan militer yang besar untuk membendung power Uni Soviet.

25
Ibid, hlm. 224.
26
Ibid, hlm. 226.
27
Thomas S. Mowle, Allies at Odds?: The United States and the European Union (New York: Palgrave Macmillan, 2004),
hlm. 19.
28
Ilgen, The Atlantic Alliance and the Integration of Europe, op.cit., hlm. 19.

10
Berubahnya international order selepas Perang Dingin meletakkan hubungan transatlantik di
dalam lingkungan yang berbeda. Perbedaan utama dalam hubungan tersebut adalah absennya ancaman
eksternal utama yang menyatukan komitmen kedua belah pihak untuk bekerja sama. Ancaman
kontemporer yang sekarang diidentifikasi sebagai common threat, seperti terorisme, tidak cukup kuat
menyatukan komitmen antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Hal ini masih belum ditambah
dengan tidak adanya dukungan besar dari masyarakat dalam operasi yang dijalankan sebagaimana masa
Perang Dingin terdahulu. Perbedaan lain muncul dari semakin terintegrasinya Uni Eropa di dalam isu
keamanan. Namun demikian, perkembangan ini tidak diiringi oleh pengaturan yang jelas serta
kapabilitas pertahanan yang ideal bagi Uni Eropa. Maka tidak heran apabila NATO lebih diandalkan
oleh negara-negara Eropa dibandingkan institusi keamanan lain di Eropa. AS sendiri pada dasarnya
khawatir apabila integrasi tersebut membuat Uni Eropa semakin memiliki stance yang berseberangan
dengannya, mengingat dalam pengambilan keputusan, Uni Eropa harus mencapai satu suara yang sama
melalui consensus dari seluruh anggotanya. Akan tetapi, AS diprediksi akan tetap mendukung integrasi
tersebut selama tidak ada indikasi akan munculnya challenge terhadap status quo.
Kekhawatiran AS akan stance Uni Eropa yang berseberangan ini juga didasari oleh pendekatan
yang bebeda terhadap pengaplikasian kebijakan luar negeri. AS cenderung bergerak unilateral dan lebih
cepat mengambil keputusan untuk menggunakan hard power. Berbeda halnya dengan Uni Eropa yang
lebih memilih bertindak multilateral dan tidak cepat merubah pendekatan melalui negosiasi menjadi
lebih koersif.


11


Brenner, M. dan Phil Williams, The United States and European Security in the 1990s dalam
McInnes, C. (ed.), Security and Strategy in the New Europe, London: Routledge, 1992, hlm. 145 163.
The beginning of post cold war era is shaped by a fluidity and unpredictability that defy old
strategic formulas and structures direct threat has been replaced by unpredictable risks of
contingent circumstances (145)
Approaches to defining americas role and responsibilities post cold war:
a. Holistic approach embodied in the concept of new world order based on a grand of
somewhat elusive vision of a world operating in accordance with the precepts of the UN
charter nder the benign direction of cooperative great powers provide the basis for a new
IS role in the world
b. Pragmatic approach deals with issues case by case without underlying all-embracing
philosophy
Point: uncertainties of European security to consider US attitudes towards security
institution in Europe (esp. towards European defence cooperation)

THE UNCERTAINTIES
Europe america postwar highly institusionalised commitment loose relationship. (146)
The fabric of the cooperation is modified, albeit still recognizable
Diminished security threat loss of US economic supremacy and progress of the European
community security policy involved jadi ngga Cuma dismantling military structures aja.
Condition 1990 memunculkan false hope (an European collective security system yg mampu
remove all concern about military confrontation) dan false fear ( a powerful Germany yang
carving out a zone at the expense of its Community and Atlantic affiliation) (147)
Uncertainties:
- from FSU: Economic downfall ethnic and nationalities disputes violence political
and social disintegration whose effects would be felt beyond the borders
- US role in Europe lack of abundant economic resources; world scene lacks a menacing
enemy to actvate the sense of national mission; NATO no longer characterized by the
automatic defence of the European government American leadership seem natural or
preordained

12
- Progress towards Europan defence cooperation unable to move towards a more coherent
and self-reliant stance on defence policy there was a concern if European dis cooperate
more fully, this could encourage US disengagement either because US would feel that the
Europeans identity in opposition to US preferences and policies, or because that allies no
longer needed American protection (148)
There was never really a triangle cooperation from Britain France Germany. (france
was outside NATOs integrated organization, Germany was not a nuclear country,
Britain lebih ngerasa sebagai Talantic rather than European). French conception of
Europe itu yang independent of the US, beda sama Britain yang conception of the Europe
nya adalah second pillar of the Atlantic Alliance working close with the US.
Waltz: Washington pengen Europe yang strong and independent ecough buat burden
sharing US always more interested in burden sharing than in responsibility sharing.
(149)
France bilang kalo WEU harus lebih diintegrasi ke European community, mereka pengen
bikin European Europe. Britain pengen bikin WEU sebagai basis for European pillar in
the Atlantic Alliances, mereka still thinking in ters of atlantic Europe. Germany masih
internally stress whther mau condong ke France atau US. Cancellor Kohl stresses NATO,
Genscher pengen European community
RESULT: Uncertainties about the future directions of Western Europe
THE US AND EUROPEAN SECURITY IN THE 1990s
US preference is for NATO (151)
Skepticism about NATOs future:
- By its nature, NATO has a selective membership built on the principle of differentiation
between who support it and those who are threaten it.
- The particular intitutionalisation is a sign of strength in polarized international system
limits nato flexibility in accepting new members and in adjusting its internal methods of
consultation and coordination
- Nato is designed to perform military function it has limited capacity for mediation of
disputes, or conducting negotiation
- Inequal relationship in NATO
CSCE seems more appropriate for new order: (152)
- Universal membership
- Does not depend on standing forces and permanent command

13
Legge Committee to rreview alliances areas of strategic interest: (154)
- Residual soviet challenge related both to the continued military strength of soviet, and the
intensifying of uncertainty (reversion or disintegration to dictatorship)
- Instability in Eastern Europe
- Threats on the periphery (turkey on the Gulf War)
- There is no direct threat to the territory of NATO member states
Reform process: change in:
- Force posture from a high levels of preparedness for deterrence and defence to a more
relaxed posture with graeter emphasis on flexibility and crisis management. (meeting in
spring 1991 in New York)
- Strategy (esp. nuclear dimension)
- Relationship with the nations of Central and Eastern Europe
- Balance of roles and responsibilities between the US and Western Europe
STRATEGIC PERSPECTIVES
Drawbacks for the US in greater European defence cooperation a single European voice on
security matters, along with an organizational vehicle for expressing it, would challenge the US
traditional dominance over Alliance policy (159)
Bush administration opposed the idea that the WEU should take instruction from the European
Council or become subject supervision by the European Communitys foreign affair
commissioner (160)
Such an arrangement would transform the flexible intra-Alliance process of consultation and
deliberation into formal exchanges between the US and the EC.
CONCLUSION
European acceptance of larger responsibilities needs to be matched by an American readiness to
let go of the exceptional powers it has enjoyed as leader of the alliance.


Joseph S. Nye, Jr., Soft Power and European-American Affairs dalam Thomas L. Ilgen (ed.), Hard
Power, Soft Power and the Future of Translantic Relations (Hampshire: Ashgate Publishing Limited,
2006).
Americas attractiveness in Europe has diminished in the past few years: (26)
- A recent poll found that majorities in Britain, Germany, and France all want to take a more
independent approach to diplomatic and security affairs than in the past.

14
- In fall 2003, a majority of Europeans ranked the US as a threat to world peace comparable to
North Korea or Iran.
- And in a dramatic turnabout from the Cold War, strong majorities in Europe now see US
unilateralism as an important international threat to Europe in the next ten years.
The US is feared, but it is less loved
AMERICAN SOFT POWER
Soft power ability to get what you through attraction rather than coercion or payments
arises from the attractiveness of a countrys culture, political ideals, and policies depends on
how we frame our objectives
Hard power the ability to coerce, grows out of a countrys military and economic might
The soft power of the US in Europe declined sharply in 203 (Iraq war). The Iraq War was not the
first time that a controversial security policy reduced the attractiveness of the American image in
other countries. In Europe, there were four prior periods: (27_
1. after the 1956 Suez Canal crisis;
2. during the ban the bomb movement of the late 1950s and early 1960s (though primarily in
Britain and France);
3. during the Vietnam War era in the late 1960s and early 1970s; and
4. during the deployment of intermediate range nuclear weapons in the early 1980s. (27)

Since democracy cannot be imposed by force and requires a considerable time to take root, the
most likely way to achieve our long-term goals is through international legitimacy and burden
sharing with allies and institutions. (30)
SOFT POWER IN EUROPE
Europe is US main competitor in terms of soft power
No single Europe states could compete with US, but the uniting Europe carries a good deal of
soft power (31)
War is unthinkable among EU member states bikin Europe jadi punya image island of
peace and prosperity
The decision to oppose the USs idea upon Iraq War made publics felt EU plays a more
positive role than the US on a variety of transnational issues
While European soft power can be used to counter American soft power and raise the price of
unilateral actions, it can also be a source of assistance and reinforcement for American soft
power and increase the likelihood of the United States achieving its objectives. European

15
promotion of democracy and human rights helps advance shared values that are consistent with
American objectives.
THE CURRENT US EU DYNAMIC
Europes behavior towards Iran regarding to its nuclear programme: deal with us, and well deal
with the US (33)
Britain, germany, and France tries to use their international legitimacy to shape an agenda that
Iran could accept without losing too much face result: good cop / bad cop dynamic (34)
Key problem: good cop / bad cop only works effectively if both cops know they are playing the
game.
US should pay more atetion to its soft power and EU should develop both its commitment as
well as its capability to employ hard power
The paradox of American power in the twenty-first century is that world politics is changing in a
way that makes it impossible for the strongest world power since Rome to achieve some of its
most crucial international goals alone. Instead, the United States must cooperate with Europe
and others to address these shared threats and challenges.


Thomas L. Ilgen, The Atlantic Alliance and the Integration of Europe
The absence of a balancing superpower not only reduced the need for US and European
solidarity on security issues but it also encouraged the US to act unilaterally rather than engage
in the cumbersome and time consuming process of building alliance consensus and agreement
- US pursuing wide-ranging interests around the globe
- Europe focusing on regional goals on the continent and in Eurasia. (9)
Kagan: Europeans are from venus reliance n diplomacy is a function of military weakness;
America is from Mars preference for military force
Atlantic relations since WWII have been shaped by two sets of institutions that shape the way
the two Atlantic partners view the contemporary world: (10)
- Atlantic alliance NATO and its economic counterpartz IMF and WTO
- European Unioon and all of bodies and organizations that preceded it under the rubric of
European integration
THE LEGACY OF THE ATLANTIC ALLIANCE

16
Europes alliance participation was a product of weakness rather than strength, driven by
necessity rather than choice willing and eager the partners even if they did not always share
American views of the Soviet and communist menace (11)
- Desperate for military protection
- Economic means for recovery
The altantic alliance was not conceived as a partnership of equals American dominance of the
alliance and its institutions (economically, politically, and military) American technology
provide the sword, European troops provide the shield
Response upon unhappiness of American dominance:
- London (uncomfortably European): define its interest in common with Washington and
cultivate what has come to be known as special relationship
- Bonn: politically enfeebled by its war record and geographically closest to the Soviet threat,
acknowledged its dependence on Washington and paid both economically and militarily to
keep Americans happy.
- Paris: sought to carve out a more independent position Paris independence had its limits
as Paris acknowledged in 1968 when Soviet marched into Czechslovakia resumed
collaboration with NATO
Early years: American paid cost more than Europe they felt entitled to shape and mold the
alliance to American purposes European were free-riders, they were not entitled to make
decisions. (12)
Post cold war: the military strategic purposes of the alliance declined for the US and shared
economic interests took on added importance.
Europes primary interest in the alliance WAS economic recovery
THE LEGACY OF EUROPEAN INTEGRATION
The primary interest and motive for the European integration project was broadly shared in
western Europe and the US: TO ADDRESS THE CONSEQUENCES OF UNBRIDLED
NATIONALISM THAT RESULTED IN DEVASTATNG CONTINENTAL WAR TWICE IN
THE FIRST HALF OF 20
TH
CENTURY
The strategy for integration was debated within Europe and in the US (13):
- Some advocate a US of Europe in the American model with a common constitution and fully
sovereign federal institutions at the outset
- Slower and more gradual transfer of sovereignty to European-wide institutions economy
first, social policy, and defence and security matters latter

17
European integration and policies of the EU have been achieved without direct American
participation (14)
Integration has been the product of negotiations among the states, none of which occupies a
position of dominance or hegemony policy decisions in the early years required unanimity
among member states, the invocation of qualified majority voting diminishes the influence of
even the most powerful states like Germany, France, or the UK.

LESSON LEARNED
Atlantic alliance was motivated by external threat (USSR) states gather together and
following the leadership of a dominant power (15)
As the aliiance succeed, the tensions between US and Europe began to grow amerika kan
bantu pemulihan ekonomi Europe, setelah ekonomi recover mereka mulai ngga terima dominasi
US early 1960s, as European goods challenged American products, and Eropean currencies
proved worthy rivals of the American dollar, Europeans began more actively resist American
leadership:
- More foreign policy independence
- Receding Soviet threat as nuclear parity
- Replacing global expansion with peaceful coexistence
why sustaining the alliance?
- Potential threat from a nationalistic and expansion-minded Russion state remains many
ex-soviet countries willing to trade soviet or Russian dominance of their security interest for
American control.
- Conflict in the Balkans reminded all Europeans that some conflicts on its home turf cannot
be solved by nogosiasi dan kompromi penggunaan force, at some extent, diperlukan.
Unless sampai EU memiliki effective military force, Europe will continue to rely on
American military assistance
- 9/11 and 11 Maret 2003 di Madrid bikin US nad Europe redefined external threats for the
alliance strategy. Kenapa opposed di Iraq? Karena Europe menganggap terrorist involvement
di Iraq was weak. (16)
- Remain strongly commited to the core principle that have remained at the center of the
elliance economic relationship (since 1940s) free trade and currency convertability
together they have fostered steady growth in Atlantic trade, the integration of atlantic
financial, and extraordinary levels of foreign investment

18
European integration: threat: nationalism that had plunged Europe into war (17) integration
makes extreme nationalism became less possible.
The longer the process continued, the less likely it was to be hijacked by one powerful nation or
another

THE FUTURE OF ATLANTIC PARTNERSHIP
Challenge: to find a common strategy to address them together for Europeans to sever fully
their security dependence in the US and NATO, they will have to move decisively to construct a
common securitt policy and the forve structure to support it (19)
Tantangan bgt buat commit ke security buat EU. Salah satu alasan kenapa NATO ttp survive
smp sekarang adalah Europe is unable to complete the integration agenda and provide security
on its own
Economic issues more hopeful Europeans have become more equal partners
Kalo nato yang put defence first and economic second bisa terbentuk dan bertahan, kenapa
Europe integration yg commit into economic first justru susah buat masuk ke security?
because the parties were particularly cooperative or willing to compromise. It succeeded
because a real threat existed that demanded a response and because the distribution of
power among the membership enabled one member to lead, regardless of any
unhappiness among the rest.


Thimas L. Ilgen, Conclusion: The Future of the Translantic Partnership
CHANGE AND THE ATLANTIC PARTNERSHIP
1. the end of the cold war ga ada lagi a compelling common threat less compelling
motives to commit containing conflict in Balkans, response to global terrorism with
selling democracy to skeptical regimes in the middle east some evidence about the difficulty
of alliance effort to act on shared values (194)
2. integration of global market
intinya EU US relations face a different environment


Albert Bressand, Between Kant and Machiavelli: EU foreign policy priorities in the 2010s

19
Lisbon treaty: Europe has begun to draw up a long list of all the issues on which it wants to make
a difference through the pursuit of a European foreign policy. European council meeting in
2010 didnt expressing a clear view on where, how and why Europe should make a difference on
these issues (60)
Machiavellian agenda essential European interests can be articulated separately from
universal Kantian causes and the interests of the more powerful US ally. realist normal
FP agenda (61)
Kantian universal peace center of creation of public goods climate change, preserved
biodiversity, eradicated poverty, and peace in the Middle East. (63) Europe indeed will
cooperate even when the rest of the world free-rides and competes


Kagan, of paradise and power

Europeans and Americans do not share a common view of the world (3)
Europe is turning away from power it is moving beyond power into a self-contained world of
laws and rules and transnational negotiation and cooperation realization of Kants oeroetual
peace theyre in post historic paradise
the United States remains mired in history, exercising power in an anarchic Hobbesian world
where international laws and rules are unreliable, and where true security and the defense and
promotion of a liberal order still depend on the possession and use of military might.
Europeans are from venus, Americans are from mars agree on little and understand one
another less and less
America: less patient with diplomacy (4)
European: more tolerant of failure, more patient when solutions don't come quickly. (5)


Peterson and Steffenson, translantic institution
Prediction over translantic alliance demise and doom (25)
What went wrong?
- Iraq? No, it was just political accident waiting to happen, karena foundation of the alliance
had become weak already

20
Is it naive to think that a new and modernised translantic relationship could ever be
institusionalised or engineered? Arguments: (26)
- The US is a sort of regulator of European integration gives incentives to the EU to show
unity both when it looks for a single Europe to share the burden of managing global issues as
well as when it engages in divide and rule tactics.
- EU institutional channel is only one, but continues to gain importance for Washington
- American FP thinking is the assumption of Europe as an increasingly single player, with the
EU as its institutional focus
THE NEW INSTITUTIONALISM OF TRANSLANTIC RELATIONS
New channel for US EU dialogue:
- Tranlantic declaration (1990)
- The new tranlantic agenda (1995)
Still not replace US links to European states, both bilaterally and via NATO (27)
Centrepiece of NTA (new translantic agenda) framework EU US summit (between US
president and the presidents bit the European Commission and Council of Ministers)
Translanctic relations have registered legalisation and theres a regular interaction between
actors these structures help translantic actors cope with the uncertainties of the post cold war
weak
(28)

21

USEU relations offer no real evidence to suggest that partnership between major powers can be
institutionalised or even that bilateral institutions can prevent strategic divorce (see Herd and
Forsberg 2008). (41):
- Poor chemistry from US to EU (40)
- values gap tapi ngga gede2 banget (41)

22
- Conflicting nations of sovereignty America (unilateral, EU( multilateral)

Van Ham, Europe Common Defence Policy
10 11 December 1999 development of a new Common European Security and Defence
Policy (CESDP) aimed at giving the EU a stronger role in international affairs backed up by
credible military force (215)
Classical US argument buat against EU-based security system: this would provide a backdoor
security guarantee to EU members who are not covered by NATOs Article 5 (catatan kuliah
mas Edy) why now US has given up to the organization of Europan defence within the EU?
(220 221)
- The british change of heart in Europe defence urges the USA buat rethink its attitude to the
EUs budding defence ambitions
- Intinya US udah kehilangan ally yang 100% orientasinya atlanticist security US believes
that its vitality should be renewed by supporting the novel CESDP
- Dengan adanya pengalaman di Kosovo, ngga Cuma bikin Europeans malu, tapi juga
convinced USA that crises in the EUs backyard should preferably be solved by the
European themselves
Trus NATO gimana? In the lead-up to the Helsinki Summit, US udah made clear kalo mereka
mau NATO to be given a first option (or right of first refusal) intinya, dikirim atau tidaknya
US troops, Washington ttp pengen dilibatkan dalam decision making process from the beginning
(224)
Helsinki declaration sendiri pada dasarnya stresses the need for EU autonomy over the
involvement of non-EU states in decision-making the scenario which Washington fears may
provoke a trans-Atlantic decoupling and spell the end of NATO
Sampe sekarang Europan-led military operation will still be highly dependent upon NATO
command structures, as wll as on US intelligence and logistics (225)
Masalahnya, New EU sendiri ngga punya plan yang jelas mau gimana focus upon regional
concerns and not (yet) adopt a global scope, tp London coined the phrase that the EU will
operate in and around Europe.
Washington tends to support European cooperation as long as it takes weight off US shoulders,
but not if it challenges its own political primacy and economic interests (226)

Thomas Mowle Allies at Odds

23
Iraqi crisis made clear that the US and its allies in Europe are increasingly odds germany and
France were the most vocal opponents of American policy (1)
WHY DESPITE THEIR PROFESSED SIMLARITY OF GOALS, DO THEIR POLICY
PREFERENCES OF THE EU AND US DIVERGE ON SO MANY MULTILATERAL
ISSUES?
Same values: democracy, human rights, peace and stability
Realist hypotheses: 19
- H1A: the US bakal support multilateral agreements kalo pada akhirnya bakal limit other
states ability to challenge the US, at least as much as they limit American capabilities or
autonomy of action
- H1B: when European states act in unison, they will accept multilateral agreements if they
have negative impact on American relative power or autonomu of action, selama US juga
setuju buat ikutan. Tp kalo adopt policy as an independent state, mereka bakal lebih milih
buat badwagoning

Anda mungkin juga menyukai