Email : johannes@ub.ac.id SIFAT RUANG PUBLIK Dalam struktur ruang perkotaan, dikenal konsep ruang publik. Sesuai dengan istilah yang dipergunakan yaitu kata publik, ruang ini merupakan wadah bagi masyarakat untuk melaksanakan aktivitas yang sifatnya terbuka atau open access bagi semua lapisan masyarakat. Secara konseptual, ruang publik ini memiliki fungsi sebagai ranah yang me-manusia-kan masyarakat. Konsep the third place menjelaskan bahwa ruang publik berperan sebagai mediasi antara ranah domestik dengan ranah bekerja (Carmona, et al. 2003). Di ranah bekerja, manusia melaksanakan rutinitas berprofesi secara privat dalam suasana yang kompetitif. Kondisi ini mendorong tumbuhnya sifat soliter dan individualistik. Sementara itu di ranah domestik, manusia akan meninggalkan kehidupan kompetitif dan beralih ke kehidupan privat bersama keluarga dalam wujud isolated nuclear family. Ruang publik sebagai mediasi berperan untuk membawa manusia keluar dari kehidupan privat menuju kehidupan sosial dengan berinteraksi bersama manusia lainnya yang tidak dia kenal. Pola interaksi yang terjadi secara informal ini dilaksanakan dalam kesukarelaan (voluntary), dengan beberapa kualitas, antara lain : Bebas untuk masuk ke ruang publik tanpa ada format keanggotaan (open access). Dapat datang dan pergi sesukanya. Ruang publik tetap dibuka selama dan di luar jam kerja. Memiliki karakter rekreatif. Memberi kenyamanan psikologis. Dapat menjadi mimbar politik. Low profile. PERWUJUDAN RUANG PUBLIK Ruang dapat diibaratkan seperti sebuah mangkuk yang akan mewadahi sesuatu. Desain mangkuk ini tentu harus sesuai dengan benda karakteristik benda yang akan wadahi. Dengan demikian, ruang publik yang akan dibentuk mendukung kontinuitas kegiatan publik dengan beberapa karakterisitk di atas. Carr, et al dalam Carmona, et al (2003, p.165) mengungkapkan beberapa kualitas yang harus dimiliki ruang publik agar dapat berperan sesuai fungsinya, antara lain : Meaningful, dimana ruang publik harus memungkinkan manusia sebagai pengguna ruang untuk membuat hubungan (koneksi) yang kuat antara ruang / place dengan kehidupan mereka dan dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, ada sistem pemaknaan dalam ruang publik. Democratic, dimana ruang publik harus dapat diakses oleh siapa saja dan menjamin kebebasan dalam beraktivitas. Carmona, et al (2008, p.24) menguraikan bahwa aksesibilitas antara lain mencakup kemudahan akses ke lokasi dan kemudahan pergerakan di dalam ruang. Responsive, dimana ruang publik harus tanggap atau mampu memenuhi kebutuhan warga yang terwujud dalam desain fisik dan pengelolaannya. Lebih lanjut lagi, ada 5 kebutuhan dasar yang harus terpenuhi ketika warga mempergunakan ruang publik, antara lain : 1. Kenyamanan (comfort). Kenyamanan merupakan persyaratan utama keberhasilan ruang publik yang dapat diukur dari lama orang / pengguna tinggal dan beraktivitas. Beberapa elemen yang mempengaruhi kenyamanan antara lain : Faktor lingkungan (angin, sudut datang sinar matahari, dan lain sebagainya). Kenyamanan fisik (ketersediaan perabot lansekap, dan lain sebagainya). Kenyamanan sosial dan psikologis (ketenangan suasana, dan lain sebagainya). Carmona, et al (2008, p.24) menguraikan bahwa kenyamanan (comfortability) diindikasikan dengan kenyamanan pengguna untuk menghabiskan waktu di ruang publik yang didukung oleh beberapa kondisi, antara lain : bebas dari lalu lintas dengan intensitas yang tinggi, bebas dari kebisingan kendaraan bermotor, bebas dari gangguan kegiatan industri, penyediaan perabot jalan yang memadai, penyediaan tempat istirahat, toilet umum, kejelasan penanda lingkungan (signange) dan pelingkupan ruang yang jelas. 2. Relaksasi (relaxation). Kenyamanan mendukung terciptanya suasana relaksasi, yang secara fisik terwujud baik melalui penataan elemen alami (pohon, badan air, dan lain sebagainya) maupun pemisahan spasial antara jalur kendaraan bermotor dengan jalur pejalan kaki. 3. Penggunaan secara pasif (passive engagement). Penggunaan pasif yang dilakukan oleh pengguna ruang publik adalah mengamati lingkungan. Setting spasial ruang publik harus memungkinkan pengguna untuk berhenti bergerak dan menikmati suasana yang didukung oleh perabot lansekap yang memadai. Beberapa objek dapat ditambahkan untuk memberi point of interest seperti sculpture, air mancur, wahana kesenian, dan lain sebagainya. Adanya kegiatan pasif ini merupakan perwujudan konkrit dari relaksasi. 4. Penggunaan secara aktif (active engagement). Interaksi secara aktif terjadi di ruang publik dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang secara langsung melibatkan pengguna ruang dengan latar belakang yang berbeda. Interaksi yang terjadi dalam bentuk komunikasi antar pengguna ini dapat terjadi secara spontan maupun dengan stimulus yang disebut tringulasi (Carmona et al. 2003, p.167). Stimulus eksternal ini mendorong terbentuknya keterhubungan (linkage) antar pengguna ruang yang secara fisik terwujud dalam seni instalasi lansekap, sculpture, kegiatan kesenian publik dan lain sebagainya. Objek-objek ini akan menjadi topik komunikasi dan merangsang atau menjadi alasan bagi seseorang untuk berbicara dengan orang lain baik yang ia kenali maupun orang asing. Menurut PPS.Org, ada beberapa kriteria yang harus dicapai, antara lain : Ada banyak aktivitas publik yang dapat dilaksanakan dimana setiap orang dapat berpartisipasi. Ada keseimbangan yang baik antara partisipan pria dan wanita, dimana wanita memiliki kebutuhan ruang yang spesifik). Akses tidak dibatasi oleh usia. Ruang dapat dipergunakan sepanjang hari. Ruang harus kondusif untuk tempat berkumpul warga secara berkelompok dan menghindari dari adanya pemakaian ruang oleh warga secara tunggal (single person). Didukung oleh pengelolaan yang baik. 5. Petualangan / keanekaragaman fitur (discovery). Pengalaman ruang yang beragam akan meningkatkan ketertarikan orang untuk terlibat di suatu ruang publik. Pengalaman ruang ini dapat terwujud berupa desain lansekap yang unik, penampilan panorama alami yang menarik, pertunjukan kesenian, kios dan lain sebagainya. Kelima kebutuhan dasar ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan penataan ruang publik. Kenyamanan, relaksasi, kegiatan pasif, aktif dan keanekaragaman fitur kemudian harus diterjemahkan dalam perwujudan spasial secara fisik. Dengan dibarengi oleh pengelolaan ruang berbasis kemasyarakatan, ruang publik kemudian dapat berkembang secara optimal serta berperan sebagai buffer dalam kegiatan produktif dan domestik warga. REFERENSI Carmona, et al. 2003. Public Places, Urban Spaces. Architectural Press. Carmona, et al. 2008. Public Space: The Management Dimension. The Taylor & Francis e-Library. .. What Makes a Successful Place? PPS.Org.