Anda di halaman 1dari 4

2.

Hukum yang berlaku bagi Golongan Indonesia


Aturan-aturan hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia seperti yang diatur
dalam Pasal 131 IS. Sebelumnya terdapat dalam pasal 75 RR (baru) 1 Januari
1920, terdiri dari hukum perdata, hukum pidana material, dan hukum acara.
A. Hukum perdana material, yang berlaku yaitu hukum perdata Adat dalam bentuk
tidak tertulis dan ketentuan-ketentuannya mempunyai kekuatan mengikat bagi
setiap orang yang termasuk golongan Indonesia (bumiputra).
B. Hukum pidana material yang berlaku adalah Wetboek van Strafrecht sejak tahun
1918 berdasarkan S. 1915: 732
C. Hukum acara perdata yang berlaku bagi golongan Indonesia dalam peradailan
lingkungan pemerintahan untuk daerah Jawa dan Madura diatur pada Inlands
Reglement (IR). Selain itu hukum acara pidanya dijadikan satu buku dengan
hukum acara perdatanya dalam Herziene Inlands Reglement (HIR) berlaku
berdasarkan S. 1941: 44 tanggal 21 Februari 1941
Adapula susunan peradilan bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura terdiri
dari:
1. Districtsgerecht
Terdapat didaaerah pemerintahan distrik (kewedanaan) yang
diselenggarakan oleh wedana sebagai hakim tunggal
2. Regentschapsgerecht
Terdapat dikota-kota kabupaten yang diselenggarakan oleh bupati atau patih
sebagai hakim tunggal. Regentschapsgerecht sebagai pengadilan banding,
mengadili perkara yang diajukan banding terhadap keputusan
Districtsgerecht.
3. Landraad
Terdapat di kota-kota kabupaten dan beberapa kota lainnya yang diperlukan
adanya peradilan ini. Sebagai suatu majelis kehakiman, Landraad terdiri dari
seorang sarjana hukum sebagai ketua dengan anggota-anggota dari
pegawai pemerintahan atau pensiunannya dan dibantu oleh seorang
panitera.
Bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, mengenai susunan organisasi
peradilan untuk golongan Indonesia diatur dalam Rechtsreglement
Buitengewesten lembaga peradilan itu terdiri dari :
1. Negorijrechtbank
Terdiri dari kepala negorij sebagai ketua dengan anggota-anggota negorij
sebagai anggota majelis. Daerah wewenangnya hanya pada tiap-tiap
rechtbank-nya sendiri dennen mengadili perkara pidana pelanggaran tanpa
memilih golongan.
2. Districtsgerecht
Pengadilan ini ditangani oleh wedana sebagai hakim tunggal yang dibantu
oleh pegawai bawahannya sebagai penasihat. Wewenangnya disesuaikan
dengan perkara yang dihadapi.
3. Magistraatgerecht
Pengadilan ini ditangani oleh pegawai-pegawai pemerintah Belanda di
daerahnya masing-masing yang diangkat oleh residen dengan hakim

tunggal. Wewenang mengadilinya didaerah-daerah yang tidak terdapat


Landgerecht terhadap perkara pidana.
4. Landgerecht
Kedudukannya dan tugasnya sama dengan Landraad di Jawa, tetapi untuk
daerah-daerah tertentu seperti Landraad Gunungsitoli (Nias), Bengkulu,
Majene, Palopo, Pare-Pare, Manokwari dan Fak-Fak, jabatan ketua dapat
diserahkan kepada pegawai pemerintah Belanda karena kekurangan sarjana
hukum.
3. Hukum yang Berlaku bagi Golongan Timur Asing
1. Hukum perdata dan hukum pidana adat menurut Pasal 11 AB (S.1855:79),
namun karena bertentangan dengan S. 1917: 12, dikeluarkan S. 1942: 556
yang dalam pasal 1 peraturan itu menyatakan mencabut S.1855:79; berarti
bahwa bagi mereka dengan sukarela dapat tunduk kepada hukum perdata
Eropa.
2. Wetboek van Strafrech untuk hukum pidana material bagi golongan Timur
Asing.
3. Hukum Acara yang khusus bagi golongan Timur Asing tidak diatur dan
pengadilannya juga demikian
Dalam penyelenggaraan peradilan, di Indonesia masih ada daerah dan lembaga
peradilan lainnya yang ditentukan untuk melaksanakan pengadilan sendiri. Antara
lain :
1. Pengadilan Swapraja
Terdapat di daerah-daerah yang mempunyai pemerintah sendiri sebagai
akibat dari adanya kontarak politik
2. Pengadilan Agama
Pengadilan Agama terdapat didaerah-daerah seluruh Hindia Belanda
dengan wewenang mengadili setiap perkara yang menyangkut hukum
keluarga orang islam.
3. Pengadilan Militer
Terdapat didaerah Hindia Belanda yang berwenang mengadili perkar a
pidana bagi anggota Angkatan Darat dan Angkatan Laut tanpa membedakan
golongan nya
4. Perkembangan Pelaksanaan Politik Hukum Pemerintah Hindia Belanda
Pemerintah penjajahan Belanda mulai melaksanakan politik hukumnya sejak tahun
1848 (1 mei) melalui Pasal 11 AB, kemudian dilanjutkan dengan Pasal 75 RR, dan
yang terakhir dengan Pasal 131 IS. Politik hukum itu dilaksanakand engan corak
berlakunya dualistis terhadap hukum perdata. Hal itu untuk membedakan
berlakunya system hukum perdata itu bagi orang-orang di Hindi Belanda dengan
membedakan golongannya. Kalau diperhatikan isi dari ketentuan pasal 11 AB,75
Ayat 2.3 RR dan pasal 131 Ayat 2,4 IS, kehendak pemerintah Hindia
Belanda untuk
memberlakukan hukum perdata eropa kepada lain golongan selain
Eropa
dilaksanakan dengan di satu pihak mengandung paksaan dan lain
pihak sukarela.
Dengan begitu untuk realisasi dalam hubungan yang lebih baik antar
manusia
sebagai makhluk yang mempunyai kedudukan sama,kehendak untuk
unifikasi
hukum perdata itu dilaksanakan juga. Pelaksanannya ditempuh
dengan jalan
bertahap sebagai berikut:

a. Menyatakan berlakunya hukum perdata Eropa bagi golongan yang


dipersamakan dengan golongan bumiputra.
Pernyataan berlakunya hukum perdata Eropa itu dilakukan oleh Gubernur
Jendral Mr. A.J. Duymaer van Twist atas usul raad van nederlands indie setelah
melalui
perdebatan. Dengan S. 1855 : 79 dinyatakan bahwa hukum perdata
Eropa
diberlakukan hanya bagi golongan yang dipersamakan dengan golongan
bumiputra,kecuali terhadap hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat.
Tetapi,
ketentuan-ketentuan tentang hukum keluarga tidak berlaku. Maksudnya bagi golongan yang
dipersamakan dengan golongan bumiputra itu dalam
membentuk keluarga dengan
jalan perkawinan dan akibat-akibat hukumnya
akan tetap berlaku ketentuanketentuan hukum adatnya. Jadi, berdasarkan S.
1855: 79 secara terpaksa orang yang
disamakan dengan golongan bumiputra
harus melaksanakan sebagian besar
ketentuan-ketentuan hukum perdata eropa dalam pergaulan sehari-hari.
b. Perkawinan antargolongan (campuran)
Pasal 6,7,8,9,10 dan 11 AB yang berlaku 1848-1955 dan pasal 75,109 RR (lama) berlaku
tahun 1855-1920 sebagai pasal politik hukum dan pembagian golongan,
membedakan
berlakunya hukum perdata eropa untuk golongan eropa dan hukum
perdata adat untuk
golongan bumiputra. Pembagian golongan yang berasaskan
perbedaan agama Kristen dan
bukan Kristen itu,ketika membuat peraturan dan diberlakukan,
tidak
dipikirkan
dalam
kaitannya dengan pergaulan hidup manusia
yang menjadi penghuni hindia belanda. Yang
diperhatiakn hanyalah untuk
untuk kepentingan orang belanda sebagai penjajah yang
pada umunya Bergama
Kristen. Pemerintah hindia belanda ikut campur tangan untuk
menyelesaikan
persoalan,maka pada tahun 1898 mengeluarkan peraturan yang
dicantumkan
dalam S.1898;158 tentang peraturan perkawinan campuran (regeling op
de
gemengde huwelijken). Yang dimaksud dengan perkawinan campuran itu bukanlah
pencampuran manusianya yang melangsukan perkawinan,melainkan hukum yang
digunakan menyatu dalam dua aturan hukum yang semula berlaku sendiri-sendiri
bagi
masing-masing calon suami istri. Kalau tidak diatur,berarti tdak akan aka
nada
perkawinan. Adanya konflik hukum itu berarti ada perselisihan hukum. Untuk
menyelesaikannya digunakan hukum perselisihan yang dinyatakan dalam S.
1898:158. Pasal 1 menytakan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh orangorang
yang baginya di hindia belanda berlaku hukum yang berlainan merupakan
perkawinan
campuran.
Setelah Indonesia merdeka dan sejak berlakunya undang-undang nomor 1 tahun
1974,tentang perkawinan,peraturan perkawinan campuran yang diatur dalam S.
1898 :158 itu sifat berlakunya berubah. Perubahannya tamak dari asas sahnya
perkawinan yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun
1974,tentang perkawinan. Pasal dan ayat itu menyatakan bahwa : perkawinan
adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Jadi,tidak dibenarkan terjadinya peristiwa hukum perkawinan

beda agama seperti yang diatur dalam S.1898:158,tentang perkawinan campuran


pada pasal 7. Hal itu Karena perkawinan bukan suatu hubungan perdata.

c. Tunduk dengan sukarela


Pada tahun 191,sebagai hasrat zendingorang belanda untuk memperbaiki
golongan bumiputra yang beragama Kristen,oleh pemerintah hindia belanda
dikeluarkan peraturan tentang tunduk secara sukarela kepada hukum perdata
eropa melalui S. 1917 :12 Peraturan itu membuka kesempatan dengan tiga
kemungkinan penundukan secara sukarela sebagai berikut:
1. Tunduk secara sukarela kepada seluruh hukum perdata eropa
Ketentuannya dicantumkan dalam pasal 1-17. Maksudunya terhadap penundukan
itu mempunyai larangan sebagai pengecualian. Larangan sebagai pengecualian
diuraikan
sebagai berikut:
Laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang. Hal ini berkenaan dengan asas

hukum keluarga yang monogamy.


Wanita yang bersuami,dalam hukum perkawinan mengandung asas kesatuan hukum

suami yang berlaku bagi kehidupan keluarga.


Anak dibawah umur, menurut hukum perdata eropa seseorang yang belum dewasa

yang lazim disebut anak dibawah umur.


Orang di bawah pewali,ialah setiap orang yang telah dewasa atau belum dan

dalam
keadaan sakit ingatan atau tidak normal daya berpikirnya ia kaan berada di bawah
asuhan wali.

Anda mungkin juga menyukai