SEMINAR PERPAJAKAN
1.
( 5)
2.
(10)
3.
(23)
4.
Teguh Kurniawan
(25)
5.
Wahyu Andriyadi
(29)
KELOMPOK 5
KELAS : VIII-B DIV REGULER AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TA
2014
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2HTML/2009100019AKSIBab2/page20.html
Gambaran umum freight forwarding dan perlakuanpemotonganPPh Pasal 23 atas transaksi yang dilakukan oleh
freight forwarding
https://www.scribd.com/document_downloads/direct/244805286?extension=pdf&ft=1414543721<=141454733
1&user_id=18728185&uahk=L3JzxvpYiIE+nApWsLTqnQ7wPuM
2
Dari definisi tersebut terlihat bahwa jasa Freight Forwarding mencakup rangkaian beberapa
kegiatan yang perlu dilakukan hingga diterimanya barang oleh pihak yang berhak.Hal ini dapat dibedakan
dengan Cargo Broker yang bertindak hanya sebagai perantara (broker) yang kegiatannya sebatas
mempertemukan pihak perusahaan pengangkutan (pelayaran) dengan pihak pemilik barang dan tidak
melakukan rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan oleh perusahaan jasa Freight Forwarding.3
Ada beberapa jasa lain yang bergerak di bidang transportasi barang yang telah ada sebelumnya
yaitu Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Kapal Udara (EMKU). EMKL pada
umumnya hanya beroperasi di wilayah pelabuhan yang mengurus dokumen-dokumen barang muatan dan
pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan penerimaan dan penyerahan barang muatan yang diangkut
melalui laut untuk diserahkan kepada dan diterimanya dari perusahaan pelayaran.
Freight forwarding bertanggung jawab mulai dari saat menerima barang dari pemilik barang di
tempat asal barang, meyerahkan barang kepada pihak pengangkut sampai dengan menyerahkan barang
tersebut kepada penerima yang ditunjuk di tempat tujuan akhir.
c. Tipologi freight forwarder
Berdasarkan tugas dan tanggungjawabnya, freight forwarder dikelompokkan menjadi dua tipe
yaitu:
1. Sebagai agen apabila:
a. Secara umum, menerima kewajiban atas kesalahan sendiri atau kesalahan yang dilakukan
pegawainya dengan pengaturan pengangkutan barang dilakukan atas dasar aturan
tradisional keagenan, melakukan pemesanan ruangan kapal, mengatur transportasi,
pengurusan di Bea Cukai dan sebagainya, dan dalam melaksanakan tugasnya patuh
kepada prinsipal, mematuhi instruksi-instruksi yang beralasan dan harus mampu
melaksanakan seluruh transaksi yang terjadi.
b. Secara umum, tidak bertanggung jawab terhadap tindakan atau kesalahan maupun
kelalaian pihak ketiga, seperti carriers, re-forwarder dan sebagainya, dengan catatan
bahwa pemilihan pihak ketiga tersebut telah dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Contoh-contoh kesalahan yang menjadi tanggung jawab freight forwarder sebagai agen
adalah: penyerahan barang tidak sesuai dengan instruksi pengiriman barang, kesalahan
mengasuransikan barang yang tidak sesuai dengan instruksi, kesalahan selama
pengurusan kepabeanan, barang dikirim ke pelabuhan yang salah, re-export dilakukan
tanpa memenuhi syarat kepabenan, serta penyerahan barang tanpa menagih uang freight
dari consignee
2. Sebagai principal apabila:
3
http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=7181
Forwarder Lokal(Kelas C)
Dari ketiga jelas yang dibagi oleh INFA/GAPEKSI yaitu pendekatan dari gabungan Forwarder
dan Expedisi Indonesia atau Indonesian National Forwarding yang terdaftar pada asosiasi tersebut akan
merupakan golongan kelas A seluruhnya, tetapi terbagi di dalam 3 kategori seperti disebutkan itu.
Pembagian kualifikasi tersebut adalah atas dasar daerah operasional, pengalaman kerja perusahaan, dan
mitra usahanya di luar negeri serta beberapa kreteria lainnya.
a. Forwarder internasional
Forwarder kelas A ini biasanya disebut juga secara umum dengan sebutan Internasional Freight
Forwarder adalah merupakan Forwarder yang professional dalam hal menjalankan kegiatan Freight
Forwarding dengan memberikan jasa pengiriman barang kepada para pemakai jasanya ,yaitu telah
melampaui batas Negara dengan tujuan barang di salah satu Negara di luar negeri. Jenis Forwarder seperti
inilah yang banyak diminati oleh para pemilik barang terutama pada Exportir atau Importir.
Faktor-faktor yang mendukung mengapa mereka yang selalu diminati oleh para pemakai jasa
adalah karena :
Berhak menerbitkan /menggunakan FIATA B/L dan memiliki tenaga ahli di bidang
pengangkutan barang.
Adanya jaringn kerja secara Internasional serta Agen/Mitra kerja yang tangguh.
Berpengalaman luas serta mampu memberikan saran-saran yang diperlukan oleh pemilik barang
terhadap suatu maksud untuk pengiriman barang ke Negara tujuan tertentu.
Mampu memberikan tariff angkutan yang relative murah serta dapat membantu mencari jalan
keluar untuk menurunkan biaya produksi terhadap suatu barang yang akan di pasarkan di dunia
internasional,serta selalu membayar tuntutan ganti rugi.
b. Forwarder Domestik/Regional
Perbedaan yang mendasar dengan Internasional Freight Forwarder adalah mereka berhak untuk
menggunakan FIATA/BL sedangkan dari Forwarder Domestik/Regional belum berhak menggunakannya
atau menerbitkan B/L sendiri (House B/L)
c. Forwarder Lokal
Jenis Forwarder ini merupakan forwarder dengan klasifikasi yang minim, karena disini yang
termasuk golongn Forwarder local adalah mereka yang belum memiiki agen di luar negeri dan mereka
adalah para pengelola EMKL, EMKU dan EMKA.
2. Atas dasar sarana angkutan
Jenis Forwarder yang termasuk pada jenis golongan atau jenis ini adalah :
a. Sea Freight Forwarder
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah mereka yang telah mengkhususkan kegiatan
usahanya pada pengiriman barang muatan melalui angkutan laut atau melalui kombinasi antara angkutan
darat lainnya. Ada kategoriumum mengenai barang muatan atau cargo yang harus diketahui oleh seorang
Forwarder tentang tehnik pelayanannya (Cargo handling) masing-masing jenisnya yaitu :
1) Bulk cargo
Yaitu semua jenis barang yang secara fisik bentuknya tidak dapat atau tidak harus dikemas
tersendiri dengan jenis kemasan apapun juga kecuali disesuaikan dengan unit alat angkutan itu sendiri.
Contoh dari katagori jenis ini adalah biji-bijian, bijih tambang,kayu-kayuan, berbagai macam jenis mesinmesin serta produk-produk lain yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu jenis kemasan atau
dimasukkan ke dalam peti kemas, kendaraan bermotor, berbagai macam jenis produk besi-besi atau jenis
produk metal lainnya yang telah selesai maupun berupa semi proses.
2) Unit load cargo
Yaitu satu atau lebih kemasan barang yang digabung/diikat atau ditumpuk menjadi satu tumpukan
pada sesuatu palet atau bentuk lainnya sedemikian rupa (skidded), sehingga dengan demikian seluruh
unit tersebut dapat di terima oleh kapal dan siap dimuat dengan aman serta ditata di atas kapal dan di
bongkar dengan mudah di pelabuhan tujuan dengan menggunakan alat mekanik tertentu.
Adapun maksud dan tujuan untuk mengelompokkan komoditi tersebut pada satu unit Pallet
adalah karena hal-hal sebagai berikut :
-
Menghemat biaya tenaga kerja (labor saving), item unit load ini akan memperkecil biaya
operasional untuk pelayanan barang muatan , yaitu dengan jalan menggunakan peralatan
bongkar/muat,seperti forklift, yang hanya dengan satu orang operator mampu melaksanakan
pekerjaan mengangkat sebagian besar barang muatan/cargo; demikian pula dengan crane, yang
mampu membongkar/memuat sejumlah besar peti, karton maupun karung-karung, untuk sekali
angkat.
Menghemat waktu pelayanan, banyak sekali waktu yang berharga terbuang percuma untuk
melayani barang muatan yang terdiri dari berbagai macam bentuk kemasan. Dengan
menggunakan system Unit Load akan mampu menggerakkan atau memindahkan sebagian
besar komoditi di pelabuhan dengan menggunakan berbagai peralatan mesin bongkar/muat.
Meningkatkan kemasan barang, kerusakan maupun pencurian barang muatan akan merupakan
suatu factor yang sangat mahal dalam hal pelayanan barang pada suatu pengapalan barang.
Dengan Unit load systemakan banyak sekali pengurangan terhadap kerusakan maupun
kehilangan atas suatu barang, dibandingkan system konvensional.
Mengurang biaya pengemasan barang, karena secara umum peti kemas itu sebenarnya adalah
merupakan alat kemasan yang sebenarnya (actual packing material)
Mengurangi biaya tenaga kerja yang berlebihan, terhadap proses pelayanan barang bersangkutan
sebagai contoh bahwa unit peti kemas yang harus dimuat ke atas kapal dapat dilaksanakan dalam
waktu satu hari, sedangkan kapal konvensional dengan volume barang yang sama akan
memerlukan waktu muat paling sedikit 5 hari.
-
Mengurangi masa transit kapal, sehingga masa perjalanan kapal menjadi lebih pendek
(turnaraound time), sehingga perjalan kapal menjadi lebih ekonomis.
Guna mengatur tempat penimbunan yang sesuai dengan tata ruang yang telah ditentukan,
menjelang keberangkatan maupun kedatangan barang bersangkutan.
Untuk mengatur komunikasi tertentu apabila terjadi sesuatu hal selama dalam proses
penerbangan.
Memberikan kesempatan kepada pengirim barang untuk mengatur segala sesuatunya baik di
tempat transit maupun di tempat tujuan barang.
lanjut
dalam
PMK
Nomor
38/PMK.011/2013
juga
ditegaskan
bahwa Pajak
Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang
di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang
dilakukan oleh pengusaha jasa pengurusan transportasi tidak dapat dikreditkan (pasal 3 huruf d).
Secara umum kegiatan Freigh Forwarding dapat meliputi:
a.
b.
Kegiatan mengurus Freight & kegiatan jasa lainnya (Freight + Jasa non Freight)
c.
Kegiatan
Jasa
Non Freight,
dimana
untuk
setiap
jenis
kegiatan
tersebut
akan
FREIGHT FORWARDINGhttp://newfanyaauraresta.blogspot.com/2012/06/freight-forwarding_10.html
menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-33/PJ/2013 tanggal 12 Juli 2013 Tentang Perlakuan PPN atas
Penyerahan FF (JPT) yang di dalam Tagihan Jasa Pengurusan Transportasi tersebut Terdapat Biaya
Transportasi (freight charges).
Ada 2 (dua) point penting terkait pengenaan PPN atas penyerahan FF/JPT, yakni:
1. Dalam melakukan kegiatan usahanya, pengusaha FF/JPT dapat menyerahkan FF/JPT yang dapat
terdiri dari satu atau beberapa kegiatan, dimana kegiatan yang dilakukan dalam penyerahan
FF/JPT dapat termasuk biaya transportasi (freight charges). Walaupun penyerahan FF/JP dapat
terdiri dari satu atau beberapa kegiatan, satu atau beberapa kegiatan yang diserahkan tersebut
tetap merupakan satu kesatuan, yaitu penyerahan FF/JPT, sehingga kewajiban PKP untuk
membuat Faktur Pajak atas setiap penyerahan JKP wajib dilakukan. Faktur Pajak yang dibuat
harus memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13
ayat (9) UU PPN.
2. Tidak termasuk penyerahan FF/JPT adalah reimbursement tagihan dari pihak ketiga, sepanjang
memenuhi kondisi sebagai berikut:
i.
dalam hal:
a. tagihan dari pihak ketiga (selain pemerintah/negara), identitas pengguna JPT/FF
tercantum sebagai pihak yang tertagih dalam dokumen tagihan dari pihak ketiga (selain
pemerintah/negara) tersebut; atau
b. pembayaran kewajiban kepada pemerintah/negara yang menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP), Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (SSPCP),
Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSPNBP), dan/atau dokumen
pembayaran lainnya kepada pemerintah/negara, identitas pengguna JPT/FF tercantum
sebagai pihak yang wajib melakukan pembayaran kepada pemerintah/negara tersebut;
ii. diatur dalam kontrak/perjanjian antara pengusaha JPT/FF dan pengguna JPT/FF yang menyatakan
bahwa terdapat reimbursement tagihan dari pihak ketiga yang harus dibayar oleh pengguna
JPT/FF yang kemudian akan disetorkan oleh pengusaha JPT/FF kepada pihak ketiga; dan
iii. penerimaan pembayaran untuk reimbursement tagihan dari pihak ketiga yang diterima dari
pengguna JPT/FF tidak dicatat/diakui sebagai penghasilan oleh pengusaha JPT/FF dan
penyetoran reimbursement tagihan kepada pihak ketiga yang bersangkutan tidak dicatat/diakui
sebagai biaya/beban oleh pengusaha JPT/FF.
Contoh reimbursement tagihan dari pihak ketiga antara lain pembayaran PPN Impor, PPh Pasal
22 Impor, Bea Masuk, Pajak Ekspor, dan biaya transportasi (freight charges). Freight charges adalah
biaya transportasi yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya oleh pengguna jasa, yang dapat berupa
biaya transportasi dengan menggunakan moda angkutan berupa pesawat, kapal, dan/atau kereta api.
Termasuk dalam pengertian freight charges biaya-biaya yang dikeluarkan yang terkait dengan
menggunakan moda angkutan, antara fuel surcharge.
3. Penerapan PPN Atas Jasa Forwarding
Contoh beberapa transaksi penyerahan JPT/FF beserta perlakuan ppn atas penyerahan JPT/FF
yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE - 33/PJ/2013 adalah sebagai berikut :
Contoh 1:
PT ABC sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF berupa biaya transportasi
menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut, dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00 (belum termasuk
PPN), kepada PT Z.
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan
JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya
ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan
Pajak = 10% x (10% x Rp50.000.000,00) = Rp500.000,00.
Contoh 2:
PT DEF sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan
penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp30.000.000,00,
pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi
menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai
total penyerahan JPT/FF adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT Y.
PT DEF melakukan penagihan kepada PT Y dengan menerbitkan satu dokumen tagihan.
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan
JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya
ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan
Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00.
Contoh 3:
PT GHI sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan
penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp30.000.000,00,
pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi
menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai
total JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT X.
transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x
Dasar Pengenaan Pajak = 10% x Rp22.000.000,00 = Rp2.200.000,00.
Contoh 5:
PT MNO sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari
kegiatan penyimpanan sementara atas barang yang akan diekspor dengan nilai sebesar Rp14.000.000,00,
pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp6.000.000,00, dan biaya transportasi
menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp62.000.000,00, sehingga nilai
total JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar Rp82.000.000,00 (belum termasuk PPN) kepada PT V.
Dalam melakukan penyerahan JPT/FF tersebut, PT MNO menggunakan moda angkutan (freight)
kapal laut, di mana dalam dokumen tagihan dari pengusaha jasa angkutan (freight) laut tersebut PT MNO
tercantum sebagai pihak yang tertagih.
Atas penyerahan JPT/FF dengan nilai penyerahan total sebesar Rp82.000.000,00 tersebut PT
MNO menerbitkan tiga dokumen tagihan. Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT MNO
menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan penyerahan
JPT/FF.
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan
JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya
ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges).
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan
Pajak = 10% x (10% X Rp82.000.000,00) = Rp820.000,00.
Analisis Komparatif Perhitungan PPN antara
Kebijakan Lama dengan Kebijakan Baru
Elemen Tagihan
Nilai Tagihan
IDR
30.000.000
10.000.000
1.000.000
4.000.000
600.000
400.000
3.000.000
49.000.000
PPN
(Kebijakan
Lama)
IDR
PPN
(Kebijakan Baru)
IDR
0
1.000.000
100.000
400.000
60.000
40.000
300.000
1.900.000
300.000
Perbedaan
IDR
300.000
100.000
(900.000)
10.000
(90.000)
40.000
(360.000)
6.000
(54.000)
4.000
(36.000)
30.000
(270.000)
490.000 (1.410.000)
Dari tabel di atas, dapat diduga bahwa penerimaan Negara akan mengalami penurunan akibat
penerapan aturan baru. Jika dilihat pada tabel di atas, penerimaan negara dengan aturan baru akan
menghasilkan pendapatan PPN sebesar lebih rendah Rp 1.410.000 dibandingkan dengan menggunakan
penerapan aturan PPN yang lama. Namun, aturan baru mensyaratkan bahwa Pajak Masukan yang
berhubungan dengan penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan
jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) yang dilakukan oleh
perusahaan JPT/IFF, tidak dapat dikreditkan. Efek dari syarat tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Elemen Tagihan
Nilai Tagihan
(exclude PPN)
Trucking
Handling
Penumpukan (storage)
Documentation fee
Administration fee
CFS
Total
IDR
10.000.000
1.000.000
4.000.000
600.000
400.000
3.000.000
49.000.000
*Selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Jika Perusahaan Melakukan Mark up merupakan mark up atas tagihan
yang dibebankan kepada shippers/consignees. Selisih tersebut merupakan pajak kurang bayar yang harus dibayarkan
perusahaan jika menggunakan aturan lama.
Dari Tabel di atas dapat dilihat jika perusahaan melakukan mark up sebesar lebih dari 30%, maka
pajak yang akan didapatkan oleh Negara bila menggunakan penerapan baru akan mengalami penurunan.
Namun, Jika Perusahaan tidak melakukan mark up, maka sebenarnya aturan baru akan meningkatkan
pendapatan PPN bagi Negara. Selain itu, analisis di atas juga tergantung dengan jumlah Freight Charges
yang ditagihkan kepada pelanggan. Jika jumlah Freight Charges yang ditagihkan signifikan terhadap total
tagihan, maka penerimaan PPN Negara juga akan mengalami kenaikan. Namun, jika jumlah Freight
Charges yang ditagihkan tidak signifikan, maka terdapat potensi penurunan penerimaan Negara.
4. Aspek PPh Jasa Forwarding
Secara umum, Kegiatan operasional jasa freight forwarding mencakup kegiatan penerimaan,
penyimpanan, fumigasi (penyemprotan anti hama sebelum barang dimuat dalam kontainer), sortasi,
pengepakan, penandaan, pengukuran, dan penimbangan. Selain itu, freight forwarder juga bertugas
melakukan pengurusan penyelesaian dokumen,penerbitan dokumen, perhitungan biaya angkutan, klaim
asuransi, serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang
tersebut.
Jika kita melihat proses bisnis dari jasa freight forwarding tersebut, dapat kita katakan, bahwa
beberapa kemungkinan Pajak Penghasilan yang timbul adalah terkait penghasilan pegawainya (PPh Pasal
21), PPh Pasal 23 atas jasa-jasa yang diberikan dan PPh lainnya yang masih mungkin terkait. Terkait PPh
Pasal 21 mungkin tidak terlalu menjadi masalah dan belum ada yang perlu diperdebatkan. Bagaimana
dengan PPh pasal 23? Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk diperbincangkan. Berikut ini,
akan dicoba dibahas terkait aspek PPh Pasal 23 Jasa Freight Forwarding.
PPh Pasal 23 Jasa Freight Forwarding
UU no. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 23 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa
atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa
lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong
pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% dari jumlah bruto imbalan yang dimaksud.
Kemudian timbul multi tafsir ketika kita membicarakan jasa freight forwarding. Apakah jasa freight
forwarding termasuk kategori jasa lain tersebut?
Pengertian Jasa Freight Forwarding pernah didefinisikan dalam Per-178/PJ/2006 tentang jenis
jasa lain dan perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UndangUndang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang nomor 17 tahun 2000 yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM/10
Tahun 1988 tentang Jasa PengurusanTransportasi. Berdasarkan SK Menhub tersebut terlihat bahwa jasa
Freight Forwarding mencakup rangkaian beberapa kegiatan yang perlu dilakukan hingga diterimanya
barang oleh pihak yang berhak. Setelah itu barulah perusahaan Freight Forwarding akan menerima uang
jasa dari Pemilik Barang.
Per-178/PJ/2006 ini kemudian dicabut dengan Per-70/PJ/2007 dan mulai menimbulkan masalah
karena tidak mendefinisikan secara tegas apa yang dimaksud dengan jasa freight forwarding maupun jasa
perantara yang cukup sering mencakup jasa forwarding di dalamnya. Menjawab permohonan salah satu
wajib pajak terkait pelaksanaan Per-70/PJ/2007, Dirjen Pajak mengeluarkan surat Nomor S09/PJ.032/2008 tentang Permohonan Penegasan terhadap Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-70/PJ/2007.
Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa definisi dari jasa perantara dalam Per-70/PJ/2007 adalah jasa
yang diberikan oleh orang pribadi yang bertindak sebagai perantara dalam perikatan perjanjian di bidang
tertentu, dengan mendapat imbalan balas jasa atau pembagian keuntungan dan bertindak atas perintah
atau atas nama orang-orang yang tidak ada ikatan kerja tetap dengan dirinya, selain jasa yang telah
dipotong PPh Pasal 21. Dengan demikian, jasa forwarding tidak termasuk dalam kategori jasa
perantara tersebut. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007, jasa
Internet, jasa Freight Forwarding, Tour Travel Agency, agen Pelayaran dan Agen Advertensi tidak
tercantum sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23. Oleh karena itu atas pembayaran
yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau penggunaan harta
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) atau jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2
huruf b angka 4). PER-70/PJ/2007 merupakan positive list yang berarti bahwa hanya jasa-jasa yang
tercantumlah yang dianggap sebagai jasa-jasa lain yang merupakan obyek pemotongan PPh pasal 23
sebagaimana di maksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh. Jasa Freight Forwarding tidak tercantum
dalam PER-70/PJ/2007,sehingga dapat dikatakan tidak termasuk yang dikenakan pemotongan PPh pasal
23. Perlu diingat bahwa pertimbangan Per-70/PJ.032/2008 merujuk pada UU No. 17 Tahun 2000 tentang
pajak penghasilan.
Babak baru dari Per-70/PJ.032/2008 adalah dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008 tentang Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) Huruf c Angka
2 undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak Penghasilan Sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang nomor 36 tahun 2008 menggantikan Per-70/PJ.032/2008 yang mulai
berlaku per 1 Januari 2009 .
Pasal 1 huruf c UU no.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang disahkan tanggal 23 September 2008 mewajibkan setiap
perusahaan sebagai wajib pajak untuk melakukan pemotongan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Menindaklanjuti ketentuan perundang-undangan diatas maka dikeluarkanlah PMK 244 tahun
2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf C angka 2 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. PMK ini tidak jauh berbeda dengan Per-70/PJ.032/2008
yang tidak menegaskan terkait posisi jasa forwarding sebagai jenis jasa lain maupun definisi dan cakupan
jasa perantara. Melalui PMK tersebut jasa freight forwarding (Contohnya: Panalpina, Schenker,DHL
Forwarder, DSV, SDV, C&P Logistic, dll) bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Akan tetapi, jasa freight forwarding tidak bebas sepenuhnya dari pemotongan PPh 23, jika dalam
tagihan freight forwarding terdapat unsur sewa harta dan atau jasa-jasa lain yang menjadi Objek PPh
Pasal 23, maka tagihan freight forwarding dapat dipotong PPh 23.
Hal ini agar dipahami oleh seluruh procurement/logistic dalam berhubungan dengan para vendor
Jasa Forwarder, karena menurut ketentuan peraturan pajak perusahaan yang menerima jasalah yang wajib
memotong PPh Pasal 23. Hal tersebut perlu dilakukan agar penerima jasa terhindar dari sanksi-sanksi
perpajakan pada saat terjadi pemeriksaan pajak.
Dalam konteks ini, pihak-pihak yang berhubungan dengan jasa forwarder harus memahami apa
saja jenis jasa atau services yang disediakan oleh perusahaan freight forwarder dan bagaimana cara
penulisan pada kuitansi penagihan (invoicing) yang dilakukan. Karena bisa saja jasa-jasa yang tertulis di
invoice tersebut merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Secara garis besar, kegiatan operasional freight forwarding mencakup kegiatan penerimaan,
penyimpanan, fumigasi (penyemprotan anti hama sebelum barang dimuat dalam kontainer), sortasi,
pengepakan, penandaan, pengukuran, dan penimbangan, penyimpanan. Selain itu, freight forwarder juga
bertugas melakukan pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen, perhitungan biaya
angkutan, klaim asuransi, serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan
pengiriman barang tersebut.
Dalam praktik di lapangan, sebagian dari kegiatan-kegiatan operasional tersebut dilakukan sendiri
oleh perusahaan freight forwarder (dengan menggunakan sarana dan prasarana milik sendiri atau sewaan)
namun ada pula yang menggunakan jasa-jasa dari pihak ketiga yang memiliki sarana dan prasarana yang
lebih lengkap dan memadai. Untuk itu, apabila tagihan (invoice) atas imbalan kegiatan operasional
tersebut dilakukan secara menyatu (misalnya dengan menuliskan imbalan jasa forwarders fee atau
handling fee), maka seluruh imbalan atas jasa-jasa operasional tersebut semestinya tidak dipotong PPh
Pasal 23. Akan tetapi, jika tagihannya dilakukan secara terpisah (di-breakdown), dan ini yang biasanya
terjadi, maka sebagian dari tagihan tersebut dapat menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 secara pasti,
seperti jasa pengepakan atau jasa fumigasi (jasa pembasmian hama terhadap barang-barang yang akan
dimasukan ke kontainer) yang ditagih secara terpisah, maka imbalan jasa tersebut akan menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam praktik, memang tidak banyak perusahaan freight forwarding yang menyediakan sendiri
semua jasa-jasa yang diperlukan dalam proses pengiriman barang. Oleh karena semua kegiatan tersebut
membutuhkan modal yang tidak sedikit dan beberapa di antaranya membutuhkan izin usaha dan
sertifikasi yang khusus seperti misalnya jasa fumigasi, jasa survey/inspeksi. Artinya, dalam hal ini
perusahaan freight forwarding biasanya akan memanfaatkan pihak ketiga penyedia jasa.
Bagi penerima jasa agar terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan, sebaiknya apabila terdapat
obyek PPh Pasal 23 dalam tagihan jasa forwarding tersebut, maka pembayaran kepada vendor tersebut
dipotong PPh 23. Namun jika Forwarder tersebut menolak untuk dipotong PPh 23 oleh karena mereka
merasa jasa yang diberikan merupakan Jasa Freight Forwarding, maka diharuskan mereka untuk
menuliskannya pada kuitansi atau Invoice (tidak di breakdown) per transaksi. Bagi perusahaan jasa
freight forwarding, apabila tidak dipotong dalam mekanisme PPh pasal 23, maka penghasilannya tidak
berarti bebas pajak, tetap saja melalui mekanisme self assessment,penyetoran PPh Pasal 29 dalam SPT
Tahunannya.
Jika keseluruhan pendekatan tidak dapat dilakukan diharapkan wajib pajak untuk mencari jasa
freight forwarder yang bersedia untuk mengikuti ketentuan perpajakan di Indonesia sampai dengan nanti
ada ketegasan dari Direktorat Jenderal Pajak terkait masalah ini.
Daftar Referensi
http://www.prabukesuma.com/?p=139
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2HTML/2009100019AKSIBab2/page20.html
https://www.scribd.com/document_downloads/direct/244805286?extension=pdf&ft=1414543721
<=1414547331&user_id=18728185&uahk=L3JzxvpYiIE+nApWsLTqnQ7wPuM
http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=7181
http://newfanyaauraresta.blogspot.com/2012/06/freight-forwarding_10.html