Anda di halaman 1dari 13

Mengenal Ragam Seni RUPA MURNI

DAERAH KALIMANTAN TENGAH


Sosial Budaya

Penduduk asli Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, suku ini merupakan masyarakat
terbesar yang mendiami Propinsi Kalimantan Tengah bersama dengan berbagai suku
lain di Indonesia. Suku Dayak terbagi atas beberapa sub etnis yang masing-masing
memiliki satu kesatuan bahasa, adat istiadat dan budaya. Sub-sub etnis tersebut
antara lain Suku Dayak Ngaju (termasuk Bakumpai dan Mendawai), Ot Danum,
Maanyan, Lawangan, Siang dan lain-lain.

Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan toleransi yang
tinggi yang tercermin dalam falsafah Huma Betang. Huma Betang adalah rumah khas
Kalteng, berupa rumah besar, dimana dalam satu rumah besar adat (Huma Betang)
Dayak Kalimantan Tengah tersebut tinggal bersama-sama bebera pa keluarga dengan
segala perbedaannya seperti status sosial, ekonomi maupun agama namun tetap hidup
secara harmonis.
Sifat gotong royong dalam masyarakat suku Dayak masih tetap terpelihara terutama
dalam gerak hidup bermasyarakat yang tercermin dari tradisi kerja Habaring Hurung,
Handep dan Harubuh.
Berbagai ragam dan jenis kesenian tradisional yang masih terpelihara dalam kehidupan
masyarakat di Kalimantan Tengah antara lain : Seni Tari, Seni Suara, Seni Rupa, Seni
Ukir, dan Seni Anyam-anyaman. Seni Suara berupa lagu -lagu Daerah dikenal dengan
istilah : Karungut, Kandan, Parung, Karinci Seni anyaman yang memiliki beragam corak
terus
dikembang
oleh
masyarakat
sebagai
kerajinan
rakyat.
Kerajinan anyaman tersebut antara lain yang terbuat dari rotan, bambu, pandan dan
purun. Disamping itu juga berkembang berbagai kerajinan etnik (tradisional) yang
terbuat purun, getah nyatu serta bahan kayu. Seni ukir dapat disaksikan pada
pembuatan benda-benda seperti Talawang (Peri- sai), bangunan Sandung, hulu dan
Sarung senjata khas Dayak Mandau, patung (Sapundu) dan bangunan pada rumah rumah
adat.
Disamping berbagai kerajinan Kalimantan Tengah juga kaya akan berbagai kegiatan
upacara adat / ritual seperti Tiwah, Manyanggar, Mamapas Lewu (bersih desa),
Mampakanan Sahur Parapah.Tiwah merupakan upacara ritual agama Kaharingan, yaitu
mengantarkan arwah orang yang telah meninggal ke Lewu Tatau (sorga). Acara ini

memakan
waktu
yang
cukup
lama
sekitar
satu
bulan
atau
lebih.
Sumpit yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut sipet merupakan senjata tradisional
yang sudah dikenal sejak jaman dahoeloe kala. Sipet terbuat dari kayu ulin yang
dibentuk dan dilobangi bagian dalamnya sehingga menyerupai pipa lurus, dengan ukuran
diameter bagian luar sekitar 3 cm, diameter rongga dalam sekitar 0,75 cm dan panjang
sekitar 200 cm. Setelah diraut dan digosok sampai rapi, biasanya kayu ulin tersebut
menjadi berwarna hitam mengkilat sehingga permukaannya mirip seperti logam. Pada
bagian ujung depan pipa tadi dipasang dua macam aksesori yang terbuat dari besi,
yaitu di sisi sebelah bawah dipasang mata tombak yang tajam, dan pada sisi sebelah
atas dipasang besi kecil menyerupai pisir pada ujung laras senjata api, yang berguna
sebagai alat bantu untuk membidik sasaran. Kedua aksesori tersebut dilekatkan pada
batang sipet menggunakan rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga terlihat rapi,
kuat dan artistik. Bagian permukaan batang sipet terkadang dihiasi dengan ukiran
relief atau ornamen dengan motif khas Dayak.

Kegunaan utama sipet adalah sebagai senjata atau alat berburu, walaupun bisa juga
digunakan sebagai senjata pada saat berperang. Sebagai senjata, ia dilengkapi dengan
peluru yang dimasukkan ke dalam lobang laras dan dilontarkan ke arah sasaran dengan
cara ditiup menggunakan mulut. Jenis pelurunya ada 2 macam. Jenis pertama terbuat
dari tanah liat dalam keadaan setengah basah dibentuk berupa bola-bola kecil sebesar
ukuran lubang laras, biasanya digunakan untuk jarak dekat (sekitar 5 meter) untuk
berburu binatang kecil misalnya tupai dan burung-burung yang terbang rendah. Jenis
peluru yang kedua disebut damek atau lahes, terbuat dari bilah bambu yang
diruncingkan seperti anak panah dan di bagian belakangnya dipasang potongan kayu
gabus untuk mengatur arah, kurang lebih berfungsi sama dengan bulu angsa yang
dipasang pada shuttlecock (bola badminton). Lahes tersebut dibuat dalam jumlah
banyak, disimpan di dalam tabung bambu yang sudah diisi dengan cairan bisa atau
racun dari binatang liar, sehingga apabila melukai sedikit saja tubuh hewan sasaran
akan langsung mematikan. Biasanya lahes digunakan untuk berburu hewan yang lebih
besar, misalnya kancil, kijang atau hewan primata (misalnya monyet dll) yang tinggal di
atas pohon-pohon tinggi.

Suatu hal yang unik pada sumpit ialah ketika pelurunya dilontarkan menuju sasaran,
tidak akan terdengar bunyi apapun yang membuat sasarannya mengetahui dari mana
sumber asal serangan. Hal ini berbeda dengan senapan atau senjata api. Konon hal ini
jugalah yang membuat Belanda kewalahan dalam perang gerilya melawan suku Dayak di
Kalimantan. Kita tahu bahwa sebagai bangsa Eropa, orang Belanda itu mempunyai rasa
ingin tahu yang sangat tinggi terhadap setiap hal yang belum dimengerti olehnya.
Suatu ketika pasukan serdadu Belanda melintasi hutan. Kebetulan tidak jauh dari situ
ada beberapa orang suku Dayak sedang mengintai. Mereka pun melontarkan peluru
sumpit dari tanah liat yang sengaja diarahkan pada sebatang pohon di depan salah
seorang serdadu Belanda. Para serdadu tadi langsung berkerumun meneliti benda
apakah gerangan yang tiba-tiba melesat di depan hidungnya. Ketika mereka asyik
berkerumun itulah mereka diserang dengan peluru beneran, yaitu lahes yang
mengandung racun.

Pada masa kini, anak-anak Dayak di daerah pedalaman Kalimantan masing sering
bermain perang-perangan menggunakan sumpit-sumpitan yang terbuat dari ruas
bambu kecil dengan peluru tanah liat. Meskipun maksudnya cuma sekedar main-main
tapi sesekali peluru tanah tersebut sering juga tanpa disengaja mengenai tubuh lawan.

Seni Rupa/Ukir
Seni Rupa/Ukir Kalimantan Tengah memiliki corak khas dan unik. Hal ini bisa
dilihat dari topeng, perisai, bangunan sandung (tempat menyimpan tulang
belulang), hulu dan sarung mandau, patung sapundu dan lain-lain.
Seni Anyaman/Kerajinan
Kalimantan Tengah memiliki beragam jenis kerajinan rakyat yang berbahan
rotan, pandan, purun, getah nyatu serta perhiasan dari batu alam Kalimantan
Tengah lain yang sangat menarik untuk dijadikan Souvenir (Cenderamata).
Senjata Khas/Tradisional
Suku Dayak memiliki senjata khas/tradisional seperti : Mandau, Sipet
(Sumpitan), Lunjo (Lembang), Duhung (sejenis keris), semua memiliki bentuk dan
artistik yang cukup tinggi.
Transportasi Tradisional
Sesuai kondisi alamnya, Suku Dayak banyak menggunakan perahu sebagai jenis
transportasi. Jenis-jenis perahu tradisional Suku Dayak : Jukung Rangkan dan
Banama (perahu besar).

Beberapa macam seni rupa khas Kalimantan Tengah, antara lain :


Sipet

Sumpitan (sipet) merupakan pula salah satu senjata etnik Dayak di Kalimantan. Senjata
ini umumnya digunakan sebagai alat berburu, menyerang musuh dan melawan segala
mara bahaya. Menurut kepercayaan Etnik Dayak sumpitan (sipet) tidak boleh digunakan
untuk membunuh sesama umat manusia.
Peluru atau anak sumpitan yang tajam seperti panah disebut domek. Untuk menambah
ampuh, lazimnya, domek diberikan suatu zat racun yang diperoleh dari getah sejenis
akar yang diolah sedemikian rupa disebut ipu. Ipu ditaruh (digosok) pada ujung anak
sumpitan. Karena itu manusia atau binatang yang terkena ipu akan keracunan. Sebelum

digunakan domek disimpan dalam suatu tempat khusus, disebut telep. Cara melepaskan
domek dari sumpitan ialah dengan meniup sekeras mungkin melalui lobang sumpitan
yang lurus.
Jarak capai anak sumpitan ini cukup jauh sehingga ia merupakan senjata yang praktis
untuk berburu. Menurut bentuknya itu, nenek moyang Etnik Dayak mengharapkan
bahwa setiap orang harus jujur, lurus seperti lobang sumpitan sehingga dapat tercipta
ketulusan dan perdamaian.
Mandau

Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya
pulau ini tidak hanya merupakan daerah asal orang Dayak semata karena di sana ada
orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak
sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan
perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama
persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya.
Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang
disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari
pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga
berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu
mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu
seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.
Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan
saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual
tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu
(sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang
digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk
menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka
rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat
ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata,
barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipihpanjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya
berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya
dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan
untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil
dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon,
mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur
khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas,
perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku
untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin.
Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan
bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan
palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah
mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat
hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah
mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili
banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan
sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan
palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah
bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung.
Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga,
paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu
binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat
membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas
dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan
sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang,
burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau
juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada
sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Nilai Budaya
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai
yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi

masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan,


ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang
dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan,
ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan
terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.
Mandau adalah salah satu senjata yang diciptakan oleh nenek moyang Etnik Dayak di
Kalimantan umumnya. Terbuat dari besi yang kuat dan baik. Oleh Etnik Dayak, mandau
dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan sesuai kesaktian besinya.
Dalam kaitan itu, besi Montallat paling terkenal diantara bahan-bahan lainnya untuk
membuat senjata mandau. Oleh masyarakat Dayak, selain untuk merantas hutan dan
bertani, mandau juga digunakan untuk menghadapi musuh. Para pahlawan dulu
menggunakan mandau sebagai senjata yang tidak dapat terpisah dari tubuhnya,
kemanapun pergi selalu dibawa.Umumnya mandau memiliki hulu (pegangan) terbuat dari
tanduk atau kayu terpilih dan dihiasi ukiran. Bentuk ukiran pada hulu mandau ini dapat
membedakan tempat asal usul mandau dibuat, suku dan derajat pemakainya. Itu bisa
terlihat dari gaya serta motif ukirannya. Selain itu, di bagian hulu mandau disisipi
rambut, yang berfungi menambah keangkeran dan keampuhannya.
Telawang

TELAWANG atau KELABET adalah alat pertahanan diri dari serangan musuh yang
menggunakan senjata tajam yang terkenal dan digunakan di seluruh Kalimantan.
Terbuat dari kayu yang kuat, begian depannya diberi ukiran khas dayak.

Gong

Gong dalam etnik Dayak, berfungsi sebagai alat komunikasi yang vital dan alat seni
budaya. Sebagai alat komunikasi gong juga dibunyikan untuk pemberitahuan, baik
adanya bahaya, musuh datang dari luar, kebakaran atau panggilan untuk sesuatu
pekerjaan gotong royong. Dalam peristiwa kematian, misalnya, gong dibunyikan tiga kali
berturut-turut dalam waktu tertentu selama mayat masih belum dimakamkan. Bunyi itu
terdengar sampai kampung-kampung yang jauh sehingga kaum kerabat dari tempat
jauh datang untuk menghadiri upacara pemakaman. Dalam acara seni budaya, gong juga
mempunyai peranan penting, seperti pada upacara-upacara "BOKAS", "TIWAH",
upacara penyambutan tamu-tamu yang dihormati, perkawinan dan acara kesenian
lainnya.
Jukung Sudur

Jukung Sudur Perahu ini bahannya dibuat dari sebatang pohon yang kuat, dibelah dua
kemudian dibentuk menjadi semacam badan perahu dengan lambung yang rendah.
Dengan bentuk seperti itu, jukung sudur terlihat sangat surut dan mengkhawatirkan
bagi yang tidak pernah menaikinya. Sebenarnya bentuk seperti ini sangat praktis,
karena tahan gelombang, mudah untuk melintasi riam-riam serta praktis jika harus
diangkat. Sebagai alat angkutan, perahu (jukung sudur) inipun dapat pula diberi
dinding-dinding
papan
yang
kuat
(tambit
bahasa
daerah).
Sesuai dengan keadaan geografis daerah Kalimantan, yang banyak memiliki anak sungai
dan hutan rimbanya, perahu ini dibuat dari bahan alam yang tersedia. Sebagai

hasil kultural asli masyarakatnya, jukung sudur menjadi alat angkutan untuk pergi
berhuma dan alat komunikasi antar desa. Di masa perjuangan, perahu (jukung sudur) ini
digunakan pahlawan-pahlawan, seperti Panglima Batur dan lainnya sebagai alat
transportasi menghadapi tentara Belanda.
Rumah betang

A. Selayang Pandang
Di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Propinsi Kalimantan Tengah, masih banyak
terlihat rumah-rumah penduduk yang berbentuk rumah betang. Rumah betang adalah
rumah tradisional Suku Dayak di Kalimantan, berbentuk rumah panggung yang
memanjang ke belakang dengan kayu ulin sebagai bahan utama bangunannya. Rumahrumah betang yang ada di Kecamatan Delang rata-rata berumur ratusan tahun dan
masih terpelihara dengan baik hingga saat ini. Hal itu menandakan bahwa penduduk di
Kecamatan Delang sampai saat ini masih melestarikan adat-istiadat dan budaya yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Salah satu rumah betang di Kecamatan Delang yang masih terawat dengan baik dan
sering dikunjungi oleh banyak wisatawan adalah Rumah Betang Ojung Batu. Yang
membedakan Rumah Betang Ojung Batu dengan rumah-rumah betang lainnya adalah di
dalamnya terdapat banyak tajau. Konon, rumah betang ini dulunya dikenal sebagai
tempat kediaman seorang tokoh masyarakat Dayak yang sangat kaya yang memiliki
ribuan tajau, sebuah benda mirip tempayan yang oleh masyarakat setempat dijadikan
sebagai simbol kekayaan dan kehormatan seseorang.

Tajau juga dianggap sebagai benda yang memiliki kekuatan gaib dan dapat membawa
rejeki bagi orang yang memilikinya. Konon, orang yang membuat tajau bukanlah orang
sembarangan, karena dia harus menguasai upacara khusus sebelum membuatnya.
Namun sayang, jumlah tajau yang ada di rumah betang ini sekarang sudah jauh
berkurang, menjadi ratusan saja. Saat ini, rumah betang yang sudah berumur hampir
1.000 tahun dimiliki oleh Omas Petinggi Kaya, salah satu tetua adat di Kecamatan
Delang. Oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau, Rumah Betang Ojung Batu ditetapkan
sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi.
B. Keistimewaan
Rumah Betang Ojung Batu memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. Bentuknya
memanjang ke belakang sekitar dua ratus meter, bertiang panggung dari kayu ulin
dengan diameter di atas 50 sentimeter dan tinggi 1,5 meter, serta beratap sirap yang
juga terbuat dari kayu ulin. Di dalam rumah betang ini terdapat puluhan bilik dan satu
bilik dihuni oleh satu keluarga. Setiap keluarga penghuni bilik memiliki koleksi barang-

barang antik berupa piring keramik, gong, meriam kuno, talam tembaga, dan berbagai
bentuk perhiasan Cina dan Belanda yang sudah sangat jarang dijumpai. Para penghuni
Rumah Betang Ojung Batu dikenal pula memiliki seni budaya cukup tinggi, yang dapat
dilihat dari berbagai bentuk ukiran yang menghiasi hampir di seluruh bagian rumah,
mandau (senjata khas Suku Dayak) yang menempel di dinding rumah, tombak, dan
berbagai bentuk anyaman yang terbuat dari rotan.
Meskipun ukuran rumah ini terbilang luas dan besar, namun hanya ada satu pintu masuk
utama untuk memasuki rumah ini. Hal ini menyiratkan makna filosofis yang luhur, yaitu
agar semua anggota keluarga yang menghuni rumah ini memiliki persamaan persepsi dan
tujuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Apapun aktivitas yang dilakukan oleh
para penghuni rumah, mereka tetap masuk dan keluar dari pintu yang sama. Di samping
itu, dengan hanya memiliki satu pintu utama, diharapkan penghuni rumah dapat lebih
mampu mengenal antara penghuni yang satu dengan penghuni lainnya secara lebih
dekat. Untuk memasukinya, penghuni rumah harus melewati anak tangga yang berada di
bawah kolong rumah.
Selain memiliki keistimewaan dari sisi arsitekturnya, Rumah Betang Ojung Batu juga
memiliki sisi keistimewaan lainnya, yaitu keramahan para penghuninya. Setiap
pengunjung yang datang akan disambut dengan ramah, tidak dipungut biaya, dan cukup
mengisi buku tamu sebagai media perkenalan. Apabila berkenan, pengunjung akan
diajak untuk minum tuak (minuman tradisional dari beras ketan) dan makan sirih karena
dianggap menghargai budaya masyarakat lokal.
Pemandangan bersahaja lainnya juga dapat dilihat dari ekspresi kebersamaan dan
persaudaraan di antara para penghuni rumah, terutama ketika ada permasalahan yang
menimpa salah satu penghuni. Misalnya, jika salah satu anggota keluarga ada yang
meninggal dunia maka masa berkabung mutlak diberlakukan selama satu minggu bagi
semua penghuni dengan tidak menggunakan perhiasan, tidak berisik, tidak minum tuak,
dan tidak menghidupkan peralatan elektronik.

Kebudayaan suku Dayak

Tudung

Balanga

Pot dari Rotan

Berbagai jenis Kain dan pakaian


Anyaman :

Topi

Lampit/Amak/Tikar

Tas

Tempat Tisu

Motif-motif :

Motif batang garing

Motif talawang

Motif tanaman

Motif Sulur

Motif Perhiasan

Motif campuran

Motif campuran

Motif Sulur

Penjelasan mengenai pola dan motif-motif khas Kalimantan Tengah :


Pola-pola serta motif-motif yang umumnya digunakan oleh suku Dayak
terinspirasi secara keseluruhan dari alam. Hal ini disebabkan karena kehidupan suku
Dayak sangat bergantung dan dekat dengan alam. Sehingga rupanya hal tersebut juga
mempengaruhi keseniannya, khusus dalam hal ini adalah seni rupa.
Dapat kita lihat bahwa pola suku Dayak memiliki bentuk yang dinamis, berupa
bentuk-bentuk yang asimetris, zig-zag, atau gelombang-gelombang spiral. Hal ini
menandakan kehidupan masyarakat suku Dayak yang sangat aktif mengelola hidup
mereka, namun tetap dengan wawasan alam.
Motif yang paling sering kita temukan adalah motif batang garing, motif sulur,
motif talawang, motif tanaman, motif perhiasan, atau motif dengan kombinasi dari
beberapa motif yang ada sekaligus. Batang garing bagi suku dayak berarti hierarki
dalam kehidupan. Semua manusia diibaratkan hidup dalam satu pohon yang kompleks,
dengan Tuhan pada puncaknya, dan masyarakata dayak pada urutan-urutannya masingmasing. Walaupun terdapat kelas sosial khusus, tetapi antar masyarakat selalu
tercipta hubungan yang harmoni dan saling bergotong-royong.
Motif-motif lain juga kebanyakan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di
daerah kalimantan. Contohnya motif tanaman dan motif sulur yang terinspirasi dari
tanaman-tanaman sulur rawa yang banyak tumbuh di daerah pedalaman dan hutan
kalimantan. Selain itu ada pula mitf bulu burung enggang, dimana bagi masyarakat
dayak, burung enggangmemberikan pengaruh kedamaian, kekuasaan, kekuatan, serta
kecerdasan. Begitu pula dengan berbagai macam motif-motif lainnya.

A. Daftar Kepustakaan
___________.2004. Ensiklopedi Populer Anak Jilid ke-4. Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Riwut.Tjilik ( disunting oleh Nila Riwut ).2003. Maneser Panatau Tatu Hiang
(Menyelami Kekayaan Leluhur). Palangkaraya : Indonesia Publishing
House.
Tim Abdi Guru. 1978. Kesenian untuk SMP Kelas VII. Jakarta : Erlangga.

B. Sumber Internet
www.Melayu Online.com
www.wisatamelayu.com
http://balekkampong.multiply.com
http://id.wikipedia.org
http://www.sinarharapan.co.id
http://noesantara.com
www.hupelita.com
www.kalteng.go.id

Anda mungkin juga menyukai