Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia didefenisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit dan/atau


massa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Anemia merupakan abnormalitas hematologi yang sering terjadi pada
BBL. Konsentrasi hemoglobin pada BCB dan BKB mengalami perubahan khas
selama minggu-minggu awal kehidupan. Setelah lahir terjadi peningkatan
konsentrasi hemoglobin karena plasma mengalami ekstravasi ebagai kompensasi
terhadap transfusi plasenta dan peningkatan sirkulasi eritrosit yang terjadi saat
lahir. Pada minggu selanjutnya terjadi penurunan kadar hemoglobin yang menetap
selama 6-8 minggu dan setelahnya akan kembali normal.

BAB 2
TINJAUAN PUSAKA
2.1

DEFINISI
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritosit atau kadar Hb

sampai dibawah rentang orang normal. Anemia neonatus adalah anemia yang
terjadi pada saat lahir atau dalam minggu pertama setelah lahir. Selama periode
neonatal, beberapa abnormalitas dapat menyebabkan ternjadinya anemia akut dan
anemia kronik. Nilai normal hematologi saat lahir sampai usia 2 bulan dapat
dilihat pada tabel.
Lahir

2 minggu

2 bulan

Hemoglobin (g/dl)

14,9-23,7

13,4-19,8

9,4-13

Hematocrit (%)

0,47-0,75

0,41-0,65

0,28-0,41

MCV (fl)

100-125

88-110

77-98

Retikulosit (%)

110-450

10-85

35-200

Eritrosit berinti (l)

<5

<0,1

<0,1

Trombosit (x109/L)

150-450

150-450

150-450

Leukosit (x109/L)

10-26

6-21

5-15

Tabel 1. Nilai normal hematologi saat lahir sampai usia 2 bulan


Dalam minggu pertama kehidupan terjadi penurunan kadar hemoglobin,
hal ini menetap untuk kira-kira 6-8 minggu. Ini disebut anemia fisiologis bayi.
Anemia ini merupakan hal yang normal dan tidak memberikan dampak klinis
yang buruk. Pada BKB anemia yang terjadi lebih berat dan timbul lebih dini.

Anemia pada BBL yang tidak ditatalaksana dengan tepat dan adekuat akan
memberikan komplikasi pada BBL.
2.2 KLASIFIKASI
Secara umum anemia pada neonatus dapat dibagi menjadi 4:
1. Anemia karena perdarahan
2. Anemia karena penurunan/kegagalan produksi eritrosit
3. Anemia karena proses hemolitik
4. Anemia pada BKB/ anemia of prematurity
2.2.1. Anemia karena perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada saat prenatal, persalinan dan beberapa hari
setelah lahir. Perdarahan tsb dapat terjadi karena trauma persalinan, perdarahan
internal, dan kehilangan darah akibat pengambilan darah berkali-kali untuk
pemeriksaan laboratorium.
Perdarahan dapat terjadi secara akut atau kronik. Anemia karena
perdarahan kronis umumnya lebih dapat di toleransi, hal ini karena bayi akan
melakukan kompensasi bertahan terhadap terjadinya perdarahan kronis tersebut.
Perdarahan kronis dapat di diagnose dengan menemukan tanda-tanda kompensasi
dan pucat, dapat juga menunjukkan gejala gagal jantung. Anemia pada umumnya
disertai retikulosis, hipokrom dam normositosis.
Bayi dengan perdarahan akut mungkin tidak tampak anemis bila contoh
darah diambil segera setelah perdarahan dan hemodilusi terjadi. Anemia yang
timbul pada umumnya nomokrom dan terjadi dalam waktu 3-4 jam, sehingga

pemeriksaan darah harus diulang 6-12 jam setelah perdarahan terjadi dan hasilnya
dapat menggambarkan jumlah darah yang hilang.
Gagal klinis yang ditemukan pada perdarahan akut merupakan tanda dari
hipovolemik, hiposekmia (seperti takikardi, takipnue, hipotensi).
Beberapa tipe perdarahan pada BBL sebagai berikut:
1. Perdarahan okulta sebelum persalinan
Perdarahan ini dapat disebabkan oleh karena perdarahan fetus masuk
kedalam sikurlasi maternal atau perdarahan pada satu fetus masuk ke
fetus lain pada kehamilin gemeli.
A. Perdarahan feto-maternal
Sel darah fetal dapat ditemukan di dalam sirkulasi maternal sekitar
50% dari seluruh kehamilan. Perdarahan feto-maternal dapat
terjadi spontan atau karena trauma sekunder. Perdarahan fetomaternal secara spontan paling banyak terjadi pada trimester ketiga
atau selama persalinan.
Manifestasi klinik tergantung pada volume perdarahan dan
kecepatan perdarahan. Episode yang paling sering hanya
melibatkan darah dalam jumlah sedikit ( 5mL) tetapi pada
perdarahan akut > 20% darah dapat mengakibatkan kematian
interuterin, syok sirkulasi atau hidrops.

Diagnosis perdarahan feto-maternal dapat dipastikan dengan


penemuan

darah

fetal

dalam

sirkulasi

maternal

dengan

pemeriksaan aglutinasi diferensial, teknik antibodi fluoresens serta


pewarnaan sel fetal. Cara Kleihauer & Betke merupakan cara
mudah untuk mendeteksi darah fetal. Teknik ini berdasarkan
resistensi darah fetal terhadap media asam. Teknik ini dapat
dilakukan bila tidak ada keadaan lain yang menyebabkan
peningkatan Hb fetal maternal seperti thalassemia minor, anemia
sel sabit.
B. Transfusi feto-fetal
Transfusi feto-fetal ini hanya dapat ditemukan pada kelahiran
kembar monozigot dengan plasenta monochoriol. Diperkirakan 1333% dari seluruh kehamilan kembar plasenta monochorial terdapat
transfusi feto-fetal. Pertukaran darah menyebabkan anemia pada
donor dan polisitemia pada resipien. Tranfusi feto fetal kronik
mengakibatkan perbedaan berat badan pada kedua bayi kembar
tersebut,

meskipun

penelitian

menunjukkan

perbedaan

hemoglobinnya < 5g/dL. Bayi donor lebih kecil dan lebih pucat,
letargi atau mengalami gagal jantung. Bayi resipien mungkin lebih
pletorik, dengan hiperviskositas dan hiperbilirubinemia dan kadar
Hb jarang mencapai 30 g/dL. Pada keadaan hemoglobin atau
hematokrit yang sangat tinggi dapat terjadi PIM.

2. Perdarahan saat atau sesudah persalinan


Perdarahan pada saat persalinan biasanya karena komplikasi obstetric,
meliputi plasenta previa, abstruksi plasenta, atau insisi plasenta pada
seksio sesaria. Bayi mengalami sakit berat dengan syok sirkulasi, anemia
dengan cepat bertambah berat setelah kelahiran, ditemukan eritrosit berinti
dalam sirkulasi dan PIM. Perubahan hematologi serupa terjadi setelah
perdarahan internal masiv pada bayi seperti subaponeurotik, atau
perdarahan retorperitonial, dan mungkin menjadi berat apabila terjadi
kerusakan hati. Pada kondisi perdarahan internal yang berhubungan
dengan trauma persalinan perlu dilakukan pelacakan penyakit dasarnya,
khususnya hemophilia A atau B dan defisiensi vitamin K.
2.2.2. Anemia karena penurunan/kegagalan proses produksi eritrosit.
Anemia karena penurunan produksi eritrosit jarang terjadi pada periode
BBL. Petunjuk diagnosis utama adalah kombinasi retikulosit rendah (<20 x 109/L)
dengan Coombs test negatif.
Penyebab paling utama adalah infeksi kongenital (khususnya parvovirus)
dan kelainan genetik. Kegagalan produksi sel darah merah yang hanya melibatkan
seri eritrosit seperti anemia Diamond-Blackfan dan infeksi parvovirus sering
disebut anemia hipolastik atau pure red cell aplasia.
Infeksi yang menyebabkan anemia karena penurunan produksi eritroit
meliputi parvorius B19, CMV, toxoplasmosis, sifilis kongenital, rubella dan

herpex simpleks. Indentifikasi organisme penyebab biasanya berdasar temuan


klinis. Pada infeksi karena CMV, toxoplasmosis atau herpex simpleks, anemia
dan retikulositopenia biasanya ringan. Pada apusan darah tepi ditemui limfosit
vira abnormal, trombositopenia dan atau neutropenia. Kelainan kongenital yang
jarang disertai anemia BBL karena penurunan produksi eritrosit meliputi anemia
Diamond-Blackfan, anemia diseritropoetik kongenital, dan sindrom Pearson.
2.2.3. Anemia karena hemolisis
Proses

hemotilik

didefinisikan

sebagai

proses

patologik

yang

menyebabkan pemendekan umur eritrosit (> 120 hari). Hemolitik yang terjadi
pada masa neonatal umumnya mempunyai manifestasi salah satu di bawah ini:
-

Peningkatan hitung retikulosit secara persisten tanpa atau dengan


penurunan kadar Hb dan tanpa riwayat perdarahan.

Penurunan kadar Hb yang cepat tanpa peningkatan hitung retikulosit, dan


tanpa adannya perdarahan.
Anemia karena proses hemolitik dapat dibagi menjadi anemia hemolitik

karena proses autoimun dan non-imun.


1. Anemia hemolitik karena proses autoimun
Penyakit hemolitik pada BBL merupakan konsekuensi dari alloimunisasi
ibu yang disebabkan oleh aliran eritrosit fetel ke dalam sirkulasi maternal
yang menimbulkan stimulasi produksi antibodi. Antibodi IgG kembali
kedalam sirkulasi fetal, menempal pada permukaan antigenik eritrosit dan
menyebabkan perpindahan cepat oleh retikuloendotel fetal. Insiden dan

manifestasi klinis alloimmunisasi ini tergantung tipe inkompatibilitas


darah antara ibu dan bayi. Antigen eritrosit janin yang sering
menyebabkan hemolisis alloimun adalah antigen AB dan Rhesus.
a. Inkompatibilitas Rh
Ibu dengan Rh (-) dapat terpapar dengan antigen Rh dengan 2 cara
yaitu transfuse fetomaternal dan transfuse darah. Resiko terjadinya
transfusi fetomaternal meningkat abrupsi plasenta, abortus, toksemia,
seksio sesaria, kehamilan ektopik serta beberapa prosedur seperti
amniosintesis dan kordosentesis.
Paparan melalui transfuse darah jarang terjadi karena telah dilakukan
cross match antara darah pendonor dengan darah resipien. Pada
paparan pertama sebanyak 0,1 mL darah Rh (+) sudah dapat memicu
terbentuknya anti-Rh, yang sebagian besar berupa IgG. Hal ini
mengakibatkan hemolisis yang terjadi pada inkompatibilitas Rh lebih
berat terjadi pada kehamilan berikutnya setelah terjadi sensitisasi.
Meskipun bias dicegah, penyakit hemolisis masih merupakan
penyebab tersering anemia berat. Saat lahir Coomb test positif kuat
dan retikulosit meningkat. Anemia yang terjadi bervariasi dari ringan
sampai berat.
Penyakit alloimun bias disebabkan inkompatibilitas grup darah yang
lain (anti-c, anti-e dan anti-C dalam sistem Rh dan anti-Kell adalah
penyebab yang sering terjadi).

b. Inkompatibilitas ABO
Sensitisasi maternal pada ibu dengan golongan darah O oleh antigen A
atau B janin akan memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG, yang
dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi janin dan
menimbulkan hemolisis. Ibu dengan golongan darah A atau B
memiliki anti-A dan anti-B yang berupa IgM yang tidak dapat
menembus plasenta.
Kondisi ini sering menyebabkan hiperbilirubinemia tetapi jarang
mengakibatkan anemia yang bermakna. Test antiglobulin direk hanya
positif lemah. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apusan
darah tepi, didapatkan mikroferosit.
2. Anemia hemolitik non-imun
Anemia hemolitik non-imun dapat terjadi karena kelainan membran
eritrosit herediter dan defek enzim eritrosit.
a. Kelainan membran eritroit herediter
Yang termasuk kedalam kelainan ini adalah sferosis herediter,
heliptositosis herediter, dan xerosis herediter. Semua kelainan ini
dapat bermanifestasi pada periode perinatal. Pada kelainan

membran

eritrosit

ini

selain

didapatkan

adanya

anemia

hiperbilirubinemia juga didapatkan gambaran anemia hemolitik.


Sferositosis herediter ditandai dengan adanya sferosit pada sediaan
apusan darah tepi disertai anemia hemolitik. Defek yang terjadi
pada anemia ini menimbulkan perubahan stabilitas ikatan antara
sitoskeleton dengan lapisan ganda lipid yang akan menghasilkan
sel yang fragil dan kaku. Luas permukaan sel sferosit yang lebih
kecil menyebabkan penurunan distensibilitas sehinggal sel mudah
lisis bila terkena cairan hiperosmolar. Diagnosa lebih mudah
ditegakkan bila didapatkan adanya gambaran morfologi yang
abnormal.
Eliptositosis herediter adalah kelainan yang ditandai adanya sel
darah merah berbentuk elip. Kelainan ini disebakan oleh karena
defek protein yang menyebabkan struktur sel menjadi lemah
sehingga stabilitas sel dan kemampuan deformalibilitas sel yang
terganggu.
Gambaran klinis kelainan morfologi dari eliptositosis herediter
umumnya tidak dapat ditemukan dalam minggu pertama setelah
lahir dan lebih banyak ditemukan sel piknosit. Bentuk eliptositosit
akan lebih mudah ditemukan setelah bayi berusia beberapa
minggu.
b. Defek enzim eritrosit

10

Defisiensi glukosa-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) termasuk dalam


kelainan ini. Enzim ini penting dalam proses metabolisme eritrosit,
yaitu mengatur langkah pertama dari serangkaian reaksi jalur
pentosa yang berfungsi menghasilkan sumber energi bagi eritrosit
untuk melaksanakan metabolismenya. Enzim ini mengubah
glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat dan pada saat yang sama
juga mereduksi NADP (nikotinamide adenosine dinucleotide
phosphate) menjadi NADPH (NADP terinduksi).
Sumber energi NADPH ini merupakan ko-faktor dalam mereduksi
glutation. Adanya glutation tereduksi sangat penting unntuk
menjaga eritrosit dari kerusakan akibat pengaruh oksidasi dari luar,
sehingga defisiensi enzim ini secara tidak langsung akan
menyebabkan eritrosit rentan terhadap oksidasi dari luar sehingga
dapat menyebabkan hemolisis eritrosit. Beberapa jenis oat yang
dapat menyebabkan oksidasi pada Hb dan membran eritrosit antara
lain primaquin, salisilat, sulfonamide, nitrofuran, fenasetin, dan
naftalen.
Defisiensi G6PD diturunkan secara X-linked dan dapat ditemukan
pada etnis tertentu seperti Afrika, Mediterania, dan Asia. Pada bayi
dengan defisiensi G6PD dapat ditemukan Heinz bodies pada
sediaan apus darah meskipun hanya pada awal hemolitik. Diagnosa
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kadar enzim.
3. Anemia pada BKB

11

Anemia pada BKB merupakan respon patologis pada BKB terhadap


periode transisi dan ditandai dengan rendahnya kadar EPO. Anemia pada
BKB ini merupakan anemia paling sering ditemukan pada BBL terutama
dengan umur gestasi kurang dari 32 minggu.
Patogensis secara keseluruhan belum diketahui dengan pasti tetapi factor
yang mendukung meliputi pemendekan umur eritrosit fetal, konsentrasi
eritropotein yang relative rendah dan pertumbuhan yang cepat. Defisiensi
asam folat dan besi jarang terlibat. Disisi lain, iatrogenik pengambilan
darah untuk pemeriksaan penunjuang turut berperan dalam proses ini pada
BKB yang dirawat dirumah sakit.
Penurunan Hb pada BKB terjadi pada usia minggu ke 4-8 dengan kadar
hemoglobin mencapai 6,5-9 g/dL. Diagnosa dapat langusng ditegakkan
apabila pada BKB sehat mengalami penurunan Hb dengan apusan darah
tepi menunjukkan normokromik-hemositik, retikulosit rendah (20 x 109/L)
dan tidak ada eritrosit berinti. Tatalaksananya yaitu dengan menyingkirkan
penyebab anemia yang lain, dan menimbangkan perlu atau tidak dilakukan
transfusi.
2.3 Diagnosa
Penegakkan diagnosa anemia pada BBL dapat dimulai dengan evaluasi
riwayat pasien meliputi medis dan diet, perdarahan, transfusi dan riwayat sakit
sebelumnya. Riwayat anggota keluarga anemia. Riwayat maternal meliputi diet
dan minum obat selama kehamilan. Umur saat anemia timbul mempunyai nilai
diagnostik. Anemia yang timbul saat lahir biasanya akibat perdarahan atau

12

alloimunisasi yang berat. Anemia yang timbul 2 hari pertama kehidupan sering
disebabkan perdarahan internal atau eksternal, anemia yang timbul 48 jam
pertama kehidupan biasanya karena hemolitik dan biasanya disertai ikterik.
Pada gangguan eritrosit neonatal dan fetal terdapat 3 manifestasi klinis
utama yaitu kadar hemoglobin rendah (anemia), ikterik atau hidrop. Manifestasi
klinis secara umum pada anemia akut adalah syok, perfusi perifer jelek, distress
pernafasan, takikardia, pucat, letargi dan hipotensi. Manifestasi tersebut muncul
setelah kadar Hb dibawah 12 g/dL. Pada anemia kronik didapati pucat, biasanya
disertai hepatoslenomegali, pada pemeriksaan apusan darah tepi biasanya ditemui
eritrosit hipokromik-mikrositik, dan banyak eritrosit imatur.
Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah lengkap,
retikulosit dan apusan darah tepi, untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut (Coomb test, hemoglobin elektroforesis, kultur, atau titer, G6PD, dll)
disesuaikan dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang didapat.
2.4 Penatalaksanaan
2.4.1 Manajemen umum
Manajemen umum dengan anemia akut meliputi, menjaga kehangatan,
monitor tanda vital, penilaian dan perhitungan yang tepat intake dan luaran sangat
penting dilakukan. Pemasangan jalur infus diperlukan untuk mengganti cairan dan
untuk kepentingan pengambilan sampel darah mungkin dilakukan jalur vena atau
arteri umbilical. Setelah dilakukan stabilisasi awal dilanjutkan tatalaksana untuk
mencegah/mengurangi terjadinya perdarahan lanjut.

13

Pada BBL dengan anemia kronik perhatian utama tatalaksana adalah


mengendalikan atau mengeliminasi penyebab anemia. Anemia kronik pada BCB
dan BKB dikaitkan dengan defiensi diet yang dapat dieredikasi dengan terapi
penggantian (replacement teraphy). Tiga factor utama diet yang mempengaruhi
eritrosit adalah zat besi, folat dan vitamin E. Pada anemi kronik dapat diberikan
terapi simptomatik berupa transfusi dan pemberian eritroprotein.
Gambar 1. Alur diagnosa anemia pada BBL
Anemia

Jumlah
retikulosit

Menurun

Anemia aplasia
parvovirus B19

Positif

anemia Diamond Blackfan

Mungkin penyakit hemolitik,


identifiksasi antibodi, periksa
apusan darah tepi

sindrom pearson

Meningkat
Coomb test

Negatif
Kleihauer darah
maternal

Negatif

Positif

Periksa MCV

Perdarahan feto maternal

MCV normal/tinggi
Konsul hematologist
Abnormal
Kelainan membran eritrosit

MCV rendah
Thalassemia atau HbH
Perdarahan kronis intrauterine
(pada kehamilan kembar)

14

2.4.1.1 Transfusi darah


Transfusi sel darah merah pada BBL untuk menjamin oksigenasi jaringan
adekuat, khususnya selama perawatan intensif, dan sebagai tatalaksana anemia
simptomatik yang bermakna. Keputusan memberi tranfusi darah hendaknya
dipertimbangkan mengingat komplikasi yang mungkin timbul, seperti infeksi,
graft-versus-host disease, gangguan asam basa dan elektrolit, gangguan
eritroporesis, dan imunosupresi. Dibawah ini kriteria pemberian transfusi pada
BBL resiko tinggi
1. Distress pernapasan, diberikan transfusi bila: hematokrit < 40%;
hypovolemia (pucat, takipnue, hipotensi, perfusi buruk); kekurangan >
10% volume darah dalam 48 jam dan hematokrit < 45%.
2. Tanpa distress pernapasan; tranfusi diberikan diberikan bila hematokrit <
30%; takikardi, takipnue atau kardiomegali pada photo thoraks;
peningkatan berat badan suboptimal dan hematokrit < 30%.
2.4.1.2 Recombinant human erytropoertin (rHuEPO)
Saat ini pemberian rHuEPO pada bayi ditujukan untuk pencegahan anemia
pada bayi yang mendapatkan tranfusi intrauterine pada anemia mediasi
alloantibodi dan pada keadaan keluarga menolak tranfusi. Tidak ada kesepakatan
tentang saat pemeberian, dosis, cara atau lama pengobatan. Dosis efektif
15

pemberian rHuEPO yaitu 300 g/kgBB dosis tunggal injeksi subkutaneus


3x/minggu dimulai minggu pertama kehidupan. Sebagai tambahan zat besi harus
diberikan sesegera mungkin untuk mencegah defisiensi besi pada bayi yang
diberikan rHuEPO. Pemberian rHuEPO untuk pencegehan anemia pada bayi
masih perlu penelitian lebih lanjut.
2.4.2 Manajemen Khusus
Manajemen khusus pada anemia BBL berdasarkan penyebab dan gejala
yang ditimbulkan.
2.4.2.1 Anemia karena perdarahan
Pada BBL yang kehilangan darah baik yang disebabkan perdarahan atau
yang lebih sering karena pengambilan sampel darah dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi sel darah merah. Pada bayi yang kehilangan 5%-10% volume
darah dalam waktu singkat memerlukan penggantian darah. Jika diperlukan
pemberian volume ekspansi akut, titer rendah, tipe O negatif, plasma, albumin,
atau salin isotonic bias diberikan 10-20 ml/kgBB sampai didapatkan hasil crossmatch dan tipe darah. Jika respon tidak membaik menandakan perdarahan internal
yang berlanjut.
2.4.2.2 Anemia karena hemolisis
Aspek penting dalam tatalaksana anemia hemolitik alloimun adalah
penilaian saat antenatal, termasuk skrining maternal dan pada kehamilan
tersensitisasi perlu pengamatan berkala untuk menentukan intervensi persalinan
prematur atau transfusi intrauterin. Tetapi intervensi ini jarang dilakukan pada

16

inkompatibilitas ABO mengingat jarang sekali terjadi kasus yang berat dan
sebagian besar memiliki prognosis yang baik. Hiperbilirubinemia merupakan
problem hamper disemua kasus. Hiperbilirubin umumnya ringan dan cukup
ditatalaksana dengan fototerapi. Bayi lahir dengan Hb tali pusat 14 g/dL dan
bilirubin serum lebih dari 4 mg/dL, atau bilirubin 12-14 jam pasca lahir lebih dari
10 mg/dL dapat dilakukan transfusi tukar.
2.4.2.3 Anemia pada BKB
Tatalaksana anemia pada BKB meliput aspek pencegahan berupa
pengurangan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, transfuse darah
dan recombinant human erythropoietin (rHuEPO). Suplementasi yang diberikan
untuk mengurangi kebutuhan transfusi pada anemia BKB adalah zat besi (Fe) 3
mg/kgBB/hari pada usia 4-6 minggu atau formula dengan fortifikasi zat besi 0,50,9 mg/dL dan asam folat 50 g/hari atau 500 g/minggu.

17

BAB III
PENUTUP
Anemia merupakan abnormalitas hematologi yang sering terjadi pada
BBL. Konsentrasi hemoglobin pada BCB dan BKB mengalami perubahan khas
selama minggu-minggu awal kehidupan. Setelah lahir terjadi peningkatan
konsentrasi hemoglobin karena plasma mengalami ekstravasi ebagai kompensasi
terhadap transfusi plasenta dan peningkatan sirkulasi eritrosit yang terjadi saat
lahir.
Anemia pada BCB merupakan hal yang normal dan tidak memberikan
dampak klinis yang buruk. Anemia pada BKB terjadi lebih berat dan timbul lebih
cepat.
Anemia pada BBL yang tidak ditatalaksana dengan tepat dan adekuat
akan memberikan komplikasi pada BBL. Pada BBL dengan anemia akut dapat
terjadi kollaps kardiovaskular sampai dengan gagal napas.
Mekanisme anemia pada BBL secara umum dapat digolongkan menjadi;
anemia karena perdarahan, anemia karena penurunan/kegagalan produksi eritrosit,
anemia karena proses hemolitik, dan anemia pada BKB/ anemia of prematurity.
Diagnosa ditegakkan secara komprehensif, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang.

18

Manajemen tergantung pada etiologi, dan tranfusi tidak merupakan


indikasi rutin pada setiap jenis anemia pada BBL.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yulidar Hafidh, Dwi Hidayah, Sunyataningkamto. Anemia pada Bayi
Baru Lahir. Buku Ajar Neonatologi. IDAI: Jakarta 2008. Hal 199-208
2. Moeslichan Mz, Endang Windiastuti. Anemia pada Neonatus. Buku Ajar
Hematologi Onkologi Anak. IDAI: Jakarta 2006. Hal 24-29
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Anemia Fisiologis pada Masa Bayi.
Ilmu Kesehatan Anak UI: Jakarta 1985
4. John A Widness. Pathophysiology, Diagnosis, and Prevention of Neonatal
Anemia. From http://neoreviews.aappublications.org/content/1/4/e61. 20
August 2014

19

Anda mungkin juga menyukai