Anda di halaman 1dari 47

PENGKAJIAN SISTEM IMUNOLOGI

Disusun oleh Kelompok VII :


1. Eko Winarto
2. Harmilah
3. Umi Istianah
4. Reni Sulistyowati
5. Argi Virgona B
6. Rahmawati

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
2006
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia selalu memiliki cara untuk melindungi diri dari
invasi substansi asing seperti mikroorganisme. Sistem pertahanan
yang kompleks telah berkembang untuk mencegah serangan ini secara
konstan. Sistem pertahanan pada manusia terdiri dari mekanisme dan
respon non spesifik serta respon imun spesifik.
Imunocompetence ada bila system imun tubuh dapat
mengidentifikasi dan menginaktifkan atau menghancurkan substansi
asing. Bila system imun tidakkompeten dan kurang responsive, maka
dapat terjadi infeksi berat, penyakit immunodefisiensi dan keganasan.
Bila sistem imun bereaksi berlebihan, akan terjadi gangguan
gangguan hipersensitivitas, seperti alergi dan penyakit autoimmun.
Untuk dapat menetapkan masalah keperawatan yang terkait
dengan sistem imun, perawat perlu melakukan pengkajian sistem imun
yang sistematis, mencakup anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan diagnostik.
B. TUJUAN
TUJUAN UMUM
Memberikan gambaran tentang pengkajian lanjut sistem imunologi
TUJUAN KHUSUS
1. Memberikan gambaran tentang komponen dan fungsi sitem imun
2. Memberikan gambaran tentang anamnesa yang diperlukan pada
sistem imun
3. Memberikan

gambaran

tentang

pemeriksaan

fisik

yang

diperlukan pada sistem imun


4. Memberikan gambaran tentang pemeriksaan diagnostik pada
sistem imun

5. Memberikan gambaran diagnosa keperawatan yang muncul pada


gangguan sistem imun
6. Memberikan gambaran tentang pengkajian lanjut pada gangguan
gangguan sistem imun seperti AIDS dan SLE

BAB II

PENGKAJIAN UMUM SISTEM IMUNOLOGI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Sistem imunologi terdiri dari sel darah khusus (limfosit dan monosit)
dan struktur khusus, termasuk diantaranya nodus limfe, spleen,
thymus, bone marrow, tonsil, tonsil, adenoid, dan appendiks.
Darah merupakan bagian terpenting dari sistem proteksi ini. Meskipun
darah dan sistem imun memiliki perbedaan, keduanya pada dasarnya
saling berhubungan karena sel selnya memiliki asalnya yang sama,
yaitu sumsum tulang belakang. Selain itu sistem imun menggunakan
aliran darah untuk mentransport komponen sistem imun ke tempat
invasinya.
B. IMUNITAS
Imunitas mengarah pada kemampuan tubuh untuk melawan invasi
organisme dan toksin, sekaligus mencegah kerusakan jariingan dan
organ. Untuk melaksanakan fungsi ini secara efisien, sistem imun
menggunakan 3 (tiga) strategi dasar, yaitu :
1. barier fisik dan kimiawi terhadap infeksi
2. respon peradangan
3. respon kekebalan
Barier fisik, seperti kulit dan membran mukosa mencegah invasi
hampir semua organisme ke dalam tubuh. Organisme yang melakukan
penetrasi pada barier yang pertama akan mencetuskan respon
peradangan dan kekebalan. Kedua respon meliputi sel sel (semua
variasi dari sel primitif dalam sumsum tulang belakang).

Cells of the Immune System

Tipe Imunitas
Secara umum, pertahanan host terhadap substansi asing adalah sama.
Sebaliknya, mikroorganisme khusus atau molekul dapat mengaktivasi
respon imun spesifik dan mengawali keterlibatan sekumpulan sel sel
imun. Respon spesifik ini diklasifikasikan sebagai kekebalan humoral
atau cell-mediated. Respon ini diproduksi oleh Lymphocytes (sel B dan
sel T)
Imunitas Humoral
Dalam respon ini, invasi antigen menyebabkan sel B membelah dan
berdifferensite

ke

memproduksi

dan

sel

plasma.

mensekresi

Akibatnya
sejumlah

setiap

besar

sel

plasma

antigen

spesifik

imunoglobulin (Ig) ke dalam aliran darah. Immunoglobulin terdiri dari 5


tipe IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Setiap tipe melaksanakan fungsi yang
khusus dan berbeda :
1. IgA, IgG, dan IgM melindungi terhadap invasi bakteri dan virus
2. IgD bertindak sebagai reseptor antigen dari sel B
5

3. IgE menyebabkan respon alergi


Imunitas Cell-mediated
Kekebalan jenis ini melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus, dan
jamur. Juga menolak transplantasi sel dan tumor. Respon imun ini
diperankan oleh makrofag yang memproses antigen yang kemudian
diarahkan ke sel T.
1. BONE MARROW

2. STEM CELLS

3. THYMUS

The site in the body

These cells have the

An organ located in the

where most of the cells potential to

chest which instructs

of the immune system differentiate and

immature lymphocytes

are produced as

to become mature T-

mature into the

immature or stem cells. different cells of the

lymphocytes.

4. B-LYMPHOCYTES

immune system.
5. T-LYMPHOCYTES

6. T-SUPPRESSOR

These lymphocytes

These lymphocytes

LYMPHOCYTES

arise in the bone

arise in the bone

These specialized

marrow and

marrow but migrate to lymphocytes

differentiate into

the thymus where they "suppress" T-helper

plasma cells which in

are instructed to

lymphocytes and

turn produce

mature into T-

thereby turn off the

immunoglobulins

lymphocytes.

immune response.

7. T-HELPER

8. PLASMA CELLS

9. IMMUNOGLOBULINS

LYMPHOCYTES

These cells develop

These highly

These specialized

from B-lymphocytes

specialized protein

lymphocytes "help"

and are the cells that

molecules, also known

other T-lymphocytes

make

as antibodies, fit

(antibodies).

and B-lymphocytes to immunoglobulins.

foreign antigens, such

perform their functions.

as polio, like a lock and


key. Their variety is so
extensive that they can

be produced to match
all possible
microorganisms in our
environment.

C. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan Sekarang
Keluhan umum yang dialami oleh pasien yang mengalami gangguan
imunologi termasuk diantaranya fatigue atau kekurangan energi,
kepala terasa ringan, sering mengalami memar, dan penyembuhan
luka yang lambat.
Ajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail
tentang penyakit pasien, seperti :
a

Apakah anda menyadari adanya pembesaran nodus limph?

Apakah anda pernah mengalami kelemahan atau nyeri sendi?


Jika iya, Kapan anda pertama kali merasakan keluhan tersebut?
Apakah hal itu menimpa sebagain dari tubuh anda atau
keduanya?

Pernahkah

dalam

waktu

dekat

ini

anda

menderita

rash,

perdarahan abnormal, atau slow healing sore?


d

Pernahkah anda mengalami gangguan penglihatan, demam,


atau perubahan dalam pola eliminasi?

2. Riwayat Kesehatan Dahulu


Eksplorasi penyakit utama yang pernah diderita oleh pasien, penyakit
ringan yang terjadi secara berulang, kecelakaan atau cedera, tindakan
operasi, dan alergi. Tanyakan jika ia pernah mengalami tindakan/
prosedur yang berdampak terhadap sistem imun, seperti transdusi
darah atau transplantasi organ

3. Riwayat Keluarga dan Sosial


Klarifikasi jika pasien memiliki riwayat kanker dalam keluarga atau
gangguan hematologi atau imun. Tanyakan tentang lingkungan dimana
ia bekerja dan tinggal utnuk membantu menentukan jika ia terpapar
oleh bahan kimia berbahaya atau lainnya.
4. Pemeriksaan Fisik
Efek dari gangguan sistem imun biasanya sulit untuk diidentifikasi dan
dapat berdampak pada semua sistem tubuh. Berikan perhatian khusus
pada kulit, rambut, kuku, dan membran mukosa.
a. Inspeksi
1) observasi terhadap pallor, cyanosis, dan jaundice. Juga cek
adanya erithema yang mengindikasi inflamasi lokal dan plethora.
2) Evaluasi integritas kulit. Catat tanda dan gejala inflamasi atau
infeksi, seperti kemerahan, pembengkakan, panas, tenderness,
penyembuhan

luka

yang

lama,

drainage

luka,

induration

(pengerasan jaringan) dan lesi.


3) Cek adanya rash dan catat distribusinya
4) Observasi tekstur dan distribusi rambut, catat adanya alopecia.
5) Inspeksi kuku terhadap warna, tekstur, longitudinal striations,
onycholysis, dan clubbing.
6) Inspeksi membran mukosa oral terhadap plak, lesi, oedem gusi,
kemerahan, dan perdarahan
7) Inspeksi area dimana pasien melaporkan pembengkakan kelenjar
atau lump terutama abnormalitas warna dan pembesaran nodus
lymp yang visible
8) Observasi respiratory rate, ritme, dan energi yang dikeluarkan
saat melakukan upaya bernafas. Catat posisi pasien saat
bernafas.

9) Kaji sirkulasi perifer. Inspeksi adanya Raynauds phenomenon


(vasospasme arteriol pada jari tangan & kaki terkadang teling
dan hidung- secara intermitten)
10)

Inpeksi inflamasi pada anus atau kerusakan permukaan

mukosa
b. Palpasi
1) Palpasi nadi perifer, dimana seharusnya simetris dan reguler
2) Palpasi abdomen, identifikasi adanya pembesaran organ dan
tenderness
3) Palpasi joint, cek pembengkakan. Tenderness, dan nyeri
4) Palpasi nodus lymph superfisial di area kepala, leher, axilla,
epitrochlear, inguinal dan popliteal. Jika saat palpasi reveals
pembesaran nodus atau kelainan lain, catat lokasi, ukuran,
bentuk, permukaan, konsistensi, kesimetrisan, mobilitas, warna,
tenderness, suhu, pulsasi, dan vaskularisasi dari nodus.
c. Perkusi
Perkusi anterior, lateral, dan posterior dari thorax. Bandingkan satu
sisi dengan sisi lainnya. Bunyi dull mengindikasikan adanya
konsolidasi yang biasa terjadi pada pneumonia. Hiperesonan
(meningkatnya bunyi perkusi) dapat dihasilkan oleh udara yang
terjebak seperti pada asthma bronchial.
d. Auskultasi
1) Auskultasi diatas paru untuk mengecek suara tambahan yang
abnormal. Wheezing bisa ditimbulkan oleh asthma atau respon
alergi. Crackles disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan
seperti pneumonia.
2) Auskultasi bunyi jantung diatas precordium. Auskultasi normal
reveals hanya bunyi jantung 1 dan 2.
9

3) Auskultasi abdomen untuk bunyi bowel. Gangguan autoimmun


yang menyebabkan diare, bunyi bowel meningkat. Scleroderma
(pengerasan dan penebalan kuit dengan degenerasi jaringan
konektif) dan gangguan autoimmun lainnya yang menyebabkan
konstipasi, bunyi bowel menurun
5.Pemeriksaan Diagnostik
a. Aglutinin, Febrile/Cold
Nilai normal
Febrile aglitinin

: tidak ada penggumpalan pada titer 1:180

Cold aglutinin

: tidak ada penggumpalan pada titer 1:16

Rasional
Febrile/cold aglutini adalah antibodi yang menyebabkan agregasi
sel darah merah dalam suhu panas atau dingin. Hal ini dipercaya
disebabkan oleh organisme infeksus yang mempunyai grup
antigenik

sama

dengan

beberapa

yang

diteui

oleh

RBC.

Normalnya, aglutinin terjadi pada konsentrasi serum kurang dari


1:30 pengenceran
Febrile

aglutinin

terjadi

pada

infeksi

salmonella,

ricketsia,

bruselosis dan tularemia, neoplasma/leukimia


Cold aglutinin terjadi pada infeksi mycoplasma pneumonia,
infulensa mononukleosis, RA, limpoma, hemolitik anemia.
Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi teter aglutinin adalah beberapa
antibiotik (penicilin dan sevalosporin) yang mempengaruhi cold
aglutinin.
Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan

10

Jelaskan pada pasien bahwa pemeriksaan tidak memerlukan


waktu yang lama
Pengaturan temperatur penting untuk pemeriksaan ini; untuk
col aglutinin tube dihangatkan sampai suhu 370 c sebelum diisi
dengan spesimen. Untuk febrile aglutinin, tube di dinginkan.
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
Pastikan spesimen dikirimkan segera ke laboratorium sehingga
tidak terjadi homolisis. Lakukan pnedinginan pada cold
aglutinin dan pemanasan untuk febril aglitinin. Pastikan pasien
tidak terpapar pada temperatur abnormal, yang akan
mempengaruhi hasil tes.
b. Acquired

immunodeficiency

syndrome

AIDS

serology

(AIDS

screening, HIV antibody tes, western blot tes untuk HIV dan
antibody, ELISA untuk HIV dan antibody)
Tipe tes

darah

yang

didapat

dari

pungsi

vena

sebanyak 7 ml
Nilai normal : tidak ada HIV antigen atau antibodi
Rasional
AIDS serologi tes digunakan untuk mendeteksi antibodi HIV, virus
yang menyebabkan AIDS. HIV diketahui sebagai Human Tlyphotropic

virus

tipe

III

(HTLV-III)

atau

Lymphadenopathy-

asociated virus (LAV).


Karena dampak sosial dan medis tes positif HIV antibodi, hasil tes
dan interpretasi harus akurat. Individu yang terinveksi HIV setelah
EIA screening positif diulang dan tes lain (western blot atau IFA)
untuk memvalidasi hasil positif.

11

ELISA untuk tes antibodi HIV dalam serum atau plasma karena ini
tidak mendeteksi antigen virus, sehingga tidak dapat mendeteksi
sebelum antibodi tebentuk. Sensirivitas ELISA tes berkisar 99%
untuk darah dari orang terinfekasi HIV 12 minggu atau lebih.
Kemungkinan

false

negatif

bila

infeksi

terjadi

pada

mingu

pertama.
P24 antigen capture asay dapat mendeteksi lebih cepat dari 2-6
minggu setelah infeksi
Faktor yang mempengaruhi hasil serologi AIDS:
False

positif

Autoimun

disease,

limpoploriferatif

disease,

leukimia, limpoma, sipilis, alkoholik


False negatif pada masa awal inkubasi atau akhir AIDS
Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan
Jelaskan pada pasien bahwa pemeriksaan tidak memerlukan
waktu yang lama
Ikuti pentunjuk institusi untuk menjelaskan kerahasiaan dan
informed consent
Kebanyakan pasien akan cemas saat tes, pertahankan
penjelasan yang tidak menghakimi dan berikan waktu pada
klien untuk mengekspresikan perasaannya
Perhatikan universal precaution untuk badan dan darah, pakai
sarung tangan saat mengambil darah. Sarung tangan yang
robek memungkinkan sebagai temapt masuk virus

Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
Ikuti kebijakan institusi untuk menyampaikan hasil tes. Hasil
tidak diberikan lewat telpon

12

Jika hasil tes positif, jelaskan pada pasien bahwa dimungkinkan


akibat paparan dari virus dalam tubuh. Hasil positif tidak
mengindikasikan pasien terjangkit AIDS karena tidak semua
pasien dengan antibodi positif diikuti dengan AIDS
Kaji paien terhadap gejala AIDS seperti demam, kelelahan,
kehilangan berat badan, anoreksia, diare, pembengkakan
kelenjar leher.
Minta klien untuk mengidentifikasi kontak seksual yang
memungkinkan mereka untuk diinformasikan dan di tes.
Pasitkan klien memahami jika tida menggunakan proteksi saat
hubungan seksual dengan pasangannya akan menempatkan
pasangannya pada reiko tinggi HIV.
c. Anticardiolipin antibody (aCL, ACA)
Tipe tes

: darah 5-7 ml dari pungsi vena

Nilai normal
IgG anticardiolipin antibodi <23 g/L
IgM anticardiolipin antibodi <11mg/L

Rasional
Antifoffolipid antibodi termasuk ACAs dan lupus antikoagulan.
ACAs (IgG dan IgM) didapatkan sekitar 40% pada pasien dengan
SLE. Dinamakan lupus antikoagulan, karena diperlihtakan > 75%
pasien dengan SLE dan dapat sebagai antikoagulan untuk
memperpanjang fosfolipid dependen koagulasi tes (PTT). Meskipun
demikian

ini

yidak

diasosiasikan

dengan

kondisi

terjadinya

perdarahan. Pasien dengan SLE dengan ACAs positif dan lupus


antikoagulan beresiko tinggi untuk membentuk antifosfolipid
antibodi sindrom. Manifestasi klinik sindrom ini adalah: trombosis

13

arteri dan vena, neuropsikiatrik disease, abortus spontan rekuren,


trombositopenia.
dihubungkan

Stroke

dengan

pada

usia

peningkatan

dewasa

level

muda

antibodi

dapat

ini.

Kedua

antibodi ini bisa didapatkan pada drug induce lupus, pada nonoutoimune disease seperti sipilis dan infeksi akut dan proses
penuaan normal.
Faktor yang mempengaruhi
False positif pada pasien dengan infeksi sipilis, terjadi cross
reaksi dengan radiolabel antibodiyang digunakan dalam RIA atau
antibodi yang digunakan pada ELISA.
Fase transisi ACAs dapat terjadi pada pasien dengan infeksi,
AIDS, inflamasi, outoimun disease atau kanker
Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
d. Aldolase
Tipe tes

darah

yang

didapat

ddari

vena

pungsi

sebanyak 7 ml
Nilai normal
Dewasa

: 3.0 8.2 Sibley-Lehninger U/dl atau 22 59 mU

dalam suhu 370c (SI unit)


Anak : sekitar 2 kali nilai dewasa
Bayi : 4 kali nilai dewasa
Rasional

14

Aldolase adalah enzim yang digunakan dalam glikolisis glikosa


sama dengan enzim aspartat amino transferase (AST) dan CPK.
Aldolase ada dibanyak jaringan tubuh. Tes aldolase banyak
digunakan untuk mengidentifikasi muscular/hepatoseluler injuri
atau destruksi.
Aldolase meningkat pada muscular atropi, dermatomyositis dan
polimyositis, proses gangrene, trauma muskulus, muscular infeksi,
hepatitis kronik, obstruktif jaundice, sirosis hepar.
Aldolase normal pada neurology disease seperti poliomyelitis,
mistenia gravis, multiple sclerosis.
Faktor yang

mempengaruhi hasil tes diantaranya injeksi

intrmuskuler sebelum tes


Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan pada pasien bahwa pemeriksaan tidak memerlukan


waktu yang lama
Hindari pemberian injeksi intra muskuler karena akan
meningkatkan level serum aldolase
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
e. Antimyocardial antibody (AMA)
Tipe tes

: darah vena

Nilai normal

: negative (jika positif, serum diencerkan)

Rasional
AMA

tes

digunakan

untuk

mendeteksi

outoumun

yang

menyebabkan injuri dan penyakit pada miokardial: penyakit


jantung rematik, cardiomyopati, sindrom post torakotomi, post
myocardial infark.
15

Tes ini juga tidak hanya untuk outoimun tetapi juga untuk
monitoring respon treatmen. Penelitian menunjukan adanya serum
antibody termasuk komplemen dalam area lesi. Antimyocardial
antibody didapatkan pada 20%-40% pada pasien post myocardial
atau infark myocardial (dressens sindrom). AMA juga mendeteksi
cardiomyopati meskipun peran ini pada akhirnya tidak diketahui.
Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
f. Antinuclear antibody (ANA)
Tipe tes

: darah vena pungsi 7 ml

Nilai normal

: titer < 1:20

Rasional
Aouto antibody diarahkan kepada bahan inti sel lain (anti nuclear
antibody) atau material sitoplasma (anticytoplasmic antibody).
ANA

digunakan

untuk

diagnosa

bermacam-macam

penyakit

outoimun, tetapi yang pokok adalah untuk screening SLE; tes


serum lain harus untuk konfirmasi diagnosa karena penyakit
rematik lain (scleroderma, RA) dihubungkan juga dengan ANA.
False negative pada 5% pasien SLE . Hubungan antara titer
peningkatan

ANA

tes

dengan

beratnya

penyakit

adalah

proporsional.
Faktor yang mempengaruhi
False positif pada pengabatan dengan klorotiazid, grizeofulvin,
hidralazin, penicilin, procainamid, dan obat lain.
16

False negatif pada pengobatan dengan steroid.


Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
Indikasikan dalam hasil laboratorium adanya pengaruh obatobatan
Karena pasien ini selalu dalam kondisi imunocomprom.
Instruksikan pada pasien dengan penyakit autoimun untuk cek
tanda infeksi pada tempat vena pungsi.
g. Complement assay
Tipe tes

: darah vena pungsi 7 ml

Nilai normal
Total komplemen 75 160 U/ml atau 75 160 U/L (SI unit)
C3

: 55 120 mg/dl atau 0.55 1.20 gr/L (SI unit)

C4

: 20 50 mg/dl atau 0.20 0.50 g/L (SI unit)

Rasional
Pengukuran komplemen digunakan terutama untuk mendiagnosa
angioedema dan monitor aktifitas penyakit pada pasien SLE
nefritis, membranoproliferatif nefritis, post strepytokokal nefritis,
dan penyakit lain yang diperantarai imun. Serum komplemen
adalah kelompok protein globulin yang sebagian adalah enzim.
Enzim ini memfasilitasi respon imunologik dan inflamasi. Sistem
komplemen merusak sel asing dan mengisolasi antigen asing.
Total komplemen terkadang di beri label CH50, terbuat dari 9

17

mayor komponen: dar C1 sampai C9. Aktifasi komplemen klasik di


mulai ketika IgM atau IgG antibodi terikat dengan C1q, sub
komplemen dari C1. C1 mengaktifkan C4 yang mengakitifkan C2
dan selanjutnya sampai C9.
Satu diaktifkan, komplemen meningkatkan permiabilitas vaskuler,
antibodi dan WBC dikrimkan dari daerah ke area imun/antigen
komplek.

Beberapa

komplemen

meningkatkan

kemotaktik,

pagositosis, ikatan imun antibodi ke antigen.


C3 dan C4 komponen dapat dikuantitatifkan oleh penghitungan
dengan pengukuran imunologik langsung. C3 mengambil peran
mayor dari total komplemen. Kekurangan komplemen dapat
kongenital seperti pada angioedema herediter, penyakit yang
dihubungkan

dengan

peningkatan

antibodi/antigen

(serum

sicknes, SLE, penolakan transplantasi ginjal, beberapa bentuk


glomerulonefritis).
Komponen komplemen naik mengikuti onset macam-macam
inflamasi kronik atau kerusakan jaringan akut.
Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi level C3 adalah suhu ruangan. Jika
ditinggal dalam suhu kamar lebih dari 1 jam level komplemen
menjadi rendah.

Hal ini mengharuskan pengiriman sampel

segera, dan dimasukan dalam lemari pendingin.


Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama

Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.

18

h. C-reactive protein (CRP)


Tipe tes

: darah 7 ml dengan pungsi vena periver

Nilai normal

: <0.8 mg/dl

Rasional
C-reaktif protein (CRP) adalah non spesifik, reaktan fase akut yang
digunakan untuk mendiagnosa infeksi bakterial dan penyakit
inflamasi (akut rematik fever dan RS). CRP juga meningkat pada
nekrosisi jaringan. CRP dalah protein abnormal yang diproduksi
oleh lifer selama proses infeksi akut. Hasil tes positif menunjukan
kejadian, tetapi tida menunjukan penyebab dari reaksi inflamasi
akut. Sintesis CRP dikenalkan dengan antigen-imun kopleks,
bakteri, fungi, dan trauma. Fungsi CRP analog dengan IgG, kecuali
CRP adalah bukan antigen spesifik. CRP berinteraksi dengan
sistem komplemen. Tes CRP lebih sensitif dan indikator respon
cepat dibandingkan dengan ESR. Pda perubahan fase akut
inflamasi, CRP menunjukan peningkatan lebih awal dan dengan
intensitas lebih dibandingkan dengan ESR. CRP tidak tampak
ketika proses inflamasi ditekan dengan agen antiinflamasi, salisilat
atau steroid. Dengan demikian CRP bukanlah hal yang baik untuk
monitoring status penyakit.
Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan CRP menjadi false
positif adalh IUD akibat adanya proses inflamasi
Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama

Setelah pemeriksaan

19

Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah


perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.

i. Cryoglobulin
Tipe tes

: darah pungsi vena perifer 10 ml

Nilai normal

: tidak terdeteksi adanya cryoglobulin

Rasional
Cryoglobulin

adalh

dipresipitasikan

serum

pada

suhu

imunoglobulin
rendah

dan

abnormal
redissolve

yang
dengan

pemanasan. Cryoglobulid dapat presipitasi dengan blood vessels


dari jari ketika terpapar udara dingin. Pasien seperti ini dapat
menunnukan pupura, arthralgia, atau raynauds fenomena (nyeri,
sianosis, jari yang dingin).

Serum cryoglobulin yang lebih tingi dari 5 mg/ml


diasosiasikan dengan multipel myeloma, macroglobulinemia, dan
leukimia.

Cryoglobulin antara 1 5 mg/ml diasosiasikan dengan


rematoid artritis.

Level kurang dari 1 mg/ml dapat diasosiasikan dengan


SLE, RA, infeksius mononukleus (IM), hepatitis viral, endokarditis,
sirosis dan glomerulonefritis. Cryoglobulin idiopatik atau primer
tidak diasosiasikan dengan penyakit primer.

Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Instruksikan pada
pasien untuk fast 8 jam sebelum mengikuti tes, jika
diindikasikan dari laboratorium.

Setelah pemeriksaan

20

Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah


perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
Cryoglobulin dapat disebabkan oleh penyakit yang
diasosiasikan dengan defek koagulasi. Observasi tempat
pungsi vena terhadap kemungkinan hematom
Jika cryoglobulin tredeteksi, instruksikan pasien menghindari
suhu dingin, untuk meminimalkan gejala Raynauds
Phenomenon.
j. Epstein-Barr virus titer (EBV)
Tipe tes

: darah pungsi vena perifer 5-10 ml

Nilai normal

Titer 1:10 non diagnostik

Titer 1:10 1:60 indikasi infeksi saat undetermin

Titer 1:320 menunjukan infeksi aktif

Rasional
Epstein-Barr virus (EBV) menginfeksi 80% populasi US. Setelah
infeksi, virus dormant tetapi dapat diaktifkan kembali. EBV dapan
menghasilkan infeksi monoklonal (IM), yang dapat terlihat pada
anak-anak, remaja dan dewsa. Manifestasi klinis berupa fatigue
akut,

demam,

nyeri

tenggorokan,

limpadenopati

dan

splenomegali. Hasil laboratorium menunjukan adanya limpositosis,


limposit atipik, transien serum heterophil antibodi ditunnukan oleh
EBV fase akut.
Viral Capsid Antigen (VCA) dapat menjadi IgG atau IgM. Inti EBV
inti antigen terletak di nukleus limposit yang terinfeksi. Antigen
EBV yang lain adalah early antigen (EA). Ada 2 tipe EA yaitu EA-D
(difus di sitoplasma limposit), EA-R (restricted) terbatas di salah
satu area sitoplasma.

21

Interpretasi antibody EBV didasarkan pada asumsi:


Setelah infeksi EBV, anti-VCA antibodi tampak pertama

kali

Anti-EA antibodi mengikuti anti-VCA antibodi awal dalam

kejadian sakit. Anti-EA antibodi titer lebih dari 80 menunjukan 2


tahun setelah infeksi monoklonal akut, mengindikasikan EBV
kronis.
Selama

pemulihan,

anti-VCA

dan

anti-EA

antibodi

menurun, dan anti EBNA antibodi terlihat. Anti-EBNA terlihat


selama hidup yang menunjukna pernah terinfeksi sebelumnya.
Setelah pemulihan, anti VCA dan anti-EBNA antibodi

tetap nampak tetapi dalam rentang rendah.


Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
Instruksikan pasien dengan inffeksi mononukleus untuk
megikuti aspek perawatan diri: bed rest selama periode panas,
gunakan analgesik (aspirin) untuk ketidaknyamanan umum dan
demam, dan gunakan pelega tenggorokan dan berkumur
dengan air hangat untuk mengatasi tenggorokan sakit.
k. Erythrocyte sedimentation rate (ESR)
Tipe tes

: darah pungsi vena perifer 5-10 ml

Nilai normal
Metode westergren

22

Pria

15 mm/jam

Perempuan 20 mm/jam

Anak 10 mm/jam

Bayi 0-2 mm/jam

Rasional
Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) adalah tes non-spesifik
untuk mendeteksi penyakit yang dihubungkan dengan akut atau
kronik infeksi, inflamasi (penyakit vaskuler kolagen), neoplasma,
nekrosis jaringan infark.
ESR mengukur endapan RBC dalam larutan saline atau plasma
dalam periode spesifik. Karena inflamasi, neoplasma, infeksi dan
nekrosis meningkatkan protein (terutama fibrinogen) yang mengisi
plasma, RBC cenderung bertumpuk satu dengan yang lain., yang
meningktakan berat dan menyebabkan turun dengan cepat.

Faktor yang mempengaruhi


Terlambat melakukan testing; hasil rendah akan terjadi

ketika spesimen dibiarkan berdiri lebih dari 3 jam sebelum tes


Kehamilan (trimester 2 dan 3) menyebabkan elevasi

hasil

Menstruasi, menyebabkan elevasi hasil

Beberapa

anemia

akan

menyebabkan

peningkatan

palsu nilai ESR

Polisitemia akan menurunkan nilai ESR

Penyakit yang meningkatkan prtein akan menunjukan


peningkatan semu ESR.

Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan

23

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
l. Human lymphocyte antigen (HLA)
Tipe tes

: darah vena sekitar 10 ml dalam heparin.

Nilai normal

: negatif

Rasional
Human lymphocyte antigens (HLAs) berada di permukaan WBC
dan semua nukleus sel di jaringan lainnya., HLA selalu mendeteksi
lebih mudah permukaan limfosit. Keberadaan dan kehilangan
antigen ini dijelaskan oleh 4 gen kromosom 6. Kontrol gen lain
menunjukan atau menutupi adanya HLA-A, B, C atau D.
Sistem

HLA

antigen

digunakan

untuk

mengindikasikan

kompatibilitas jaringan dengan transpalntasi jaringan. Jika HLA


antigen donor tidak kompatibel dengan resipien, resipien akan
membuat antibodi untuk antigen tersebut dan mempercepat
penolakan.

Survival

transplanatsi

jaringan

meningkat

jika

kecocokan HLA baik.


HLA sistem juga digunakan untuk membantu mendiagnosa
beberapa penyakit. Contohnya; HLA-B27 menunjukan 80% pasien
dengan reiters sindrom.
Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama

Setelah pemeriksaan

24

Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah


perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
m. Human T-cell lymphotropic virus I/II antibody (HTLV)
Tipe tes

: darah vena 7 ml

Nilai normal

: negative

Rasional
Beberapa tipe HTLV, retrovirus, affect human. Virus endemik di
Jepang, pulau Karibia, Amerika selatan, dan Afrika.
HTLV-I di asosiasikan dengan T-sel leukimia dewasa/limpoma dan
penyakit neurologik seperti Spastik tropikal paraparesis. HTLV_II di
asosiasikan dengan adult hairy cell leukimia.
Meskipun HTLV dan HIV keduanya agen HIV, dan kedauanyya
retrovirus, infeksi HTLV tidak dihubungkan dengan AIDS. Transmisi
HTLV

hampir

sama

dengan

transmisi

HIV

(cairan

tubuh

terkontaminasi, obat IV, kontak seksual, menyusui).


Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
n. Imunoglobulin electrophoresis (Gamma Globulin Electrophoresis)
Tipe tes

: darah pungsi vena 7 ml

Nilai normal
IgG:
Dewasa

:565-1765 mg/dl
25

Anak:
4-12 tahun

: 460-1600 mg/dl

2-3 tahun

: 420-1200 mg/dl

1 tahun

: 340-1200 mg/dl

6-9 bulan

: 220-900 mg/dl

2-5 bulan

: 200-700 mg/dl

1 bulan

: 250-900 mg/dl

IgA:
Dewasa

: 85-385 mg/dl

Anak:
4-12 tahun

: 25-350 mg/dl

2-3 tahun

: 18-150 mg/dl

1 tahun

: 15-110 mg/dl

6-9 bulan

: 8-80 mg/dl

2-5 bulan

: 4-80 mg/dl

1 bulan

: 1-4 mg/dl

IgM:
Dewasa

:55-375 mg/dl

Anak:
9-12 tahun

: 50-250 mg/dl

1-8 tahun

: 45-200 mg/dl

6-9 bulan

: 35-125 mg/dl

2-5 bulan

: 25-100 mg/dl

1 bulan

: 20-80 mg/dl

IgD dan IgE : minimal


Rasional
Protein serum terdiri dari albumin dan globulin. Beberapa tipe
globulin, salah satu diantaranya adalah gamma globulin. Antibodi
berisi gama globulin protein yang dinamakan imunoglobulin
(antibodi). IgG memberikan 75% dari semua serum imunoglobulin,
merupakan mayoritas antibodi serum sirkulating. IgA 15% dalam
26

imunoglobulin tubuh dan terutama didalam saliva, kolostrum,


sekresi respirasi dan gastrointestinal. IgM adalah imunoglobulin
terutama berespon terhadap grup ABO darah dan rematoid faktor.
IgM tidak melewati plasenta, jadi jika ada peningkatan IgM pada
bayi baru lahir menunjukan adanya infeksi intrauterin. (rubela,
sitomegalovirus, atau STI). IgE selalu memperantarai respon alergi
dan

diukur

untuk

memberikan

mengetahui

jumlah

terkecil

penyakt
dalam

alergi.

IgD

imunoglobulin

yang
jarang

dievaluaisi atau didetektsi.


Serum

imun

elektriforesis

digunakan

untuk

mendetksi

dan

monitoring penyakit, termasuk hipersensitifitas, defisiensi imun,


penyakit autoimun, penyakit kronik, myeloma multipel, infeksi
viral kronik, infeksi fetal intrauterin.
Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.

o. Lymphocyte immunophenotyping
Tipe tes

: darah pungsi vena 10 ml dalam sodium heparin, 5

ml dalam EDTA
Nilai normal
Sel
Sel T
Thelper (CD4)
T
suppressor

Prosentase (%)
60-95
60-75
25-30

Jumlah sel/l
800-2500
600-1500
300-1000

(CD8)
27

Sel B
Natural killer cell
CD4/CD8
rasio

4-25
4-30

100-450
75-500

>1.0
Rasional
Semua limfosit berasal dari sel stem dalam sumsum tulang.
Limfosit yang matang di bone marrow dinamakan limfosit sel B.
Limfositt

ini

menyediakan

humoral

antibody

(memproduksi

antibody). Limfosit yang mature di thymus dinamakan limfosit T,


dan berespon terhadap imunitas seluler. CD4 helper dan CD8
supresor merupakan contoh limfosit T. Limfosit yang tidak
mempunyai T atau B dinamakan natural killer cell dan penyerang
bahan kimia asing atau kanker.
Faktor yang menghambat
Variasi diurnal; meskipun ini tidak selalu signifikan,

mungkin ada beberapa sebab ketika limfosit rendah. Hasil yang


lebih tinggi dihitung ketika diperkirakan akhir pagi.
Penyakit viral ayang ada, dapat menurunkan jumlah

total limfosit
Nikotin dan aktifitas berat dapat menurunkan limfosit,

meskipun data ini pada akhit\rnya masih menjadi pertanyaan.

Styeroid dapat meningkatkan jumlah limfosit

Obat imunosupresi akan menurunkan jumlah limfosit.

Implikasi keperawatan

Sebelum pemeriksaan
Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa
pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Pertahankan sikap tidak menghakimi terhadap praktek seksual
pasien
Berikan waktu bagi pasien untuk mngekspresikan perasaannya
terkait dengan kemungkinan hasil tes

28

Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
Anjurkan pasien untuk memperhatikan tempat vena pungsi.
Pasien dengan AIDS atau resipien organ adalah imunocompromi
dab mudah untuk infeksi
Minta pasien untuk mendiskusikan harapannya terhadap
informasi prognosa yang dapat ditunjukan dari hasil tes ini.
p. Mononucleosis spot tes
Tipe tes

: darah vena 7-10 ml

Nilai normal

: 1:28 titer

Rasional
Mononukleus spot tes membantu dalam mendiagnosa infeksi
mono nukleus, penyakit yang disebabkan oleh EBV. Sering orang
dewasa

muda

terinfeksi

mononukleosis.

Penampakan

klinis

adanya demam, paringitis, limpadenopati, splenomegali. Setelah 2


minggu onset penyakit, banyak pasien ditemukan IgM heterofil
antibodi dalam serumnya. Ketika antibodi secara serial diencerkan
sampai 1:56, infeksi monoklonal menjadi lebih kuat terlihat.
Meskipun false positif dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
lain yang menyebabkan peningkatan heterofil antibodi (sepeerti
limpoma dan SLE).
Heterofil antibodi normalnya terlihat pada sebagian besar individu
yang terinfeksi infelksi monoklonal.
Monospot tes dilakukan dengan menambahkan serum pasien
dengan equine RBC dalam slide. Jika terjadi aglutinasi, berarti ada
heterofil

antibodi

dalam

serum

pasien

tersebut,

yang

mengindikasikan infeksi EBV. Sekitar 30% dari kasusu IM memiliki

29

heterofil antibodi negatif. Saat suspec IM, disarankan monospot


tes atau EBV serologi diulang.
Implikasi keperawatan
Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.
q. Rheumatoid factor (RF)
Tipe tes

: darah pungsi vena 7 ml

Nilai normal
Negatif (<60 U/ml dengan nephelometric testing)
Pasien Lansia bisa secara nyata menunjukan peningkatan
nilai
Rasional
Rematoid Faktor (RF) tes digunakan untuk mendiagnosa RA,
inflamasi kronik pada sebagian besar persendian. Pada penyakit
ini, IgG antibodi diproduksi oleh limfosit dalam membran sinovial
bertindak sebagai antigen. IgG dan IgM antibodi lain bereaksi
dengan antigen ini untuk memproduksi kompleks imun. Kompleks
imun ini mengakstifkan sistem komplemen dan sistem inflamasi
yang menyebabkan kerusakan sendi.
RF tes mengidentifikasi IgM antibodi. Hampir 80% pasien dengan
RA mempunyai titer RF positif. RF harus dijumpai dalam titer
pengenceran lebih

besar

dari

1:80.

Jika

kurang

dari

1:80

menunjukan penyakit auto imun seperti SLE dan scleroderma.


Implikasi keperawatan
30

Sebelum pemeriksaan

Jelaskan prosedur pemeriksaan pada pasien. Katakan bahwa


pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama
Setelah pemeriksaan
Berikan tekanan pada bekas vena pungsi untuk mencegah
perdarahan. Awasi adanya perdarahan pada tempat vena
pungsi.

D. DIAGNOSA DAN PERENCANAAN


Diagnosa keperawatan untuk penyakit defisiensi imun sangat
bervariasi sangat tergantung dari individu dan gangguannya. Sebagai
contoh, diagnosa keperawatan untuk anak anak dan dewasa dengan
defisiensi imun (seperti X-linked agammaglobulinemia dan variable
defisiensi pada umumnya) dapat termasuk pola nafas tidak efektif,
gangguan bersihan jalan nafas dan gangguan pertukaran gas ketika
seseorang mengalami infeksi pernafasan. Diagnosa keperawatan
potensial yang relevan terhadap penyakit imunodefisiensi tercantum
dalam table 1
Rencana

asuhan

keprawatan

spesifik

untuk

individu

yang

menderita pentakit imunodefisiensi juga sangat tergantung pada asal


penyakit dan
pengobatannya. Sebagai contoh, individu dengan defisiensi fungsi sel
B seperti X-linked agammaglobulinemia diobati secara periodic dengan
infuse intravena immunoglobulin.
Table 1

Nursing diagnoses for Immunodeficiency diseases


Potensial intoleransi aktivitas

Potensial gangguan body image

Potensial koping keluarga tidak efektif

31

Potensial koping individu tidak efektif

Potensial gangguan tumbuh kembang

Potensial infeksi

Potensial deficit pengetahuan

Potensial gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

Potensial nyeri

Potensial gangguan integritas kulit

32

BAB III
PENGKAJIAN LANJUT PADA GANGGUAN SISTEM IMUNOLOGI
A. Human Immunodeficiency Virus Acquired
Immunodeficiency

Syndrome (HIV AIDS)

Definisi
AIDS adalah suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem
imun dan bagi kebanyakan penderita, kematian dalam 5 tahun setelah
diagnosis (Corwin hal 78, 2001).

Tanda dan Gejala


a. Gejala mirip flu, termasuk demam ringan, nyeri badan, menggigil,
dapat muncul beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi.
b. Selama periode laten, orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak
memperlihatkan gejala, atau pada sebagian kasus mengalami
limfadenopati (pembengkakkan kelenjar getah bening) persisten.
c. Antara 2 sampai 10 tahun setelah infeksi HIV, sebagian besar
pasien

mulai

mengalami

berbagai

infeksi

oportunistik,

yang

mengisyaratkan munculnya AIDS dan berupa infeksi ragi pada


vagina atau mulut dan berbagai infeksi virus misalnya varisela
zoster (cacar air dan cacar ular), sitomegalovirus atau herpes
simpleks persisten. Wanita dapat menderita infeksi ragi kronik atau

33

penyakit radang panggul.


d. Setelah terbentuk AIDS sering terjadi infeksi saluran nafas, oleh
organisme

oportunistik

Pneumocytis

carinii.

Dapat

timbul

tuberkulosis yang resisten bermacam-macam obat karena pasien


AIDS tidak mampu melakukan respon imun yang efektif untuk
melawan bakteri walaupun dibantu antibiotik.
e. Gejala

susunan

saraf

pusat

adalah

defek

motorik,

kejang,

perubahan kepribadian dan demensia. Pasien dapat menjadi buta


dan akhirnya koma.
f.

Diare dan berkurangnya lemak tubuh. Diare terjadi akbiat infeksi


virus dan protozoa.

Infeksi jamur (thrush) dimulut dan esofagus

menyebabkan nyeri hebat sewaktu menelan dan mengunyah dan


ikut berperan menyebabkan berkurangnya lemak dan gangguan
pertumbuhan.
g. Berbagai kanker muncul pada pasien AIDS akibat tidak adanya
respons imun selular terhadap sel-sel neoplastik.

Yang sering

terjadi adalah kanker yang sebenarnya jarang dijumpai, Sarkoma


kaposi, yaitu kanker sistem vaskular yang ditandai oleh lesi-lesi
kulit berwarna merah.
Pemeriksaan Diagnostik
Studi diagnostik
Diagnosis Infeksi HIV.

Tes skrining yang sangat berguna untuk HIV

adalah untuk mendeteksi antibodi-antibodi HIV spesifik.

Masalah

utama pada pemeriksaan ini adalah terdapatnya kelambatan pada


pertengahan waktu 2 bulan setelah infeksi sebelum antibodi dapat
dideteksi.

Hal ini menimbulkan window period dimana hasil

pemeriksaan pada individu yang terinfeksi menunjukkan antibodi HIV


nya positif.

Pemeriksaan skrining antibodi HIV menghasilkan hasil

dengan keakuratan yang tinggi. Pemeriksaan antibodi HIV sekarang ini


dapat

dilakukan

melalui

pemeriksaan

cairan

oral

dan

urine.
34

Pemeriksaan darah untuk HIV terbaru memakan waktu cepat (20


menit) dan bisa dilakukan di lingkungan kerja. Pemeriksaan ini sangat
dapat dipercaya dan memungkinkan untuk memberikan umpan balik
kepada klien untuk kemudian dapat dikonsulkan mengenai pengobatan
dan pencegahannya.
Diagnosis HIV pada bayi baru lahir dapat menjadi suatu masalah
tersendiri. Semua infant yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV pada
pemeriksaan antibodi HIV pasti hasilnya positif, karena antibodi si ibu
melewati barrier plasenta.

Antibodi tersebut tetap akan ada pada

infant sampai usianya diatas 18 bulan. Karena alasan itu, deteksi dini
terhadap infeksi HIV pada infant tergantung pada pemeriksaan antigen
HIV melalui penggunaan HIV DNA polymerase chain reaction (PCR), HIV
RNA PCR atau kultur viral. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dapat
secara pasti mendiagnosa HIV pada infant berusia 4 minggu yang
terinfeksi.
Studi laboratorium untuk infeksi HIV
Perkembangan infeksi HIV dimonitor oleh jumlah sel T CD4 +. Sesuai
dengan perkembangan penyakit, biasanya terdapat penurunan jumlah
sel T CD4+ yang merupakan suatu tanda terjadinya penurunan fungsi
imun.

Walaupun jumlah sel T CD4 + sangat penting, hal itu hanya

menampakkan bagian dari gambaran klinik. Pemeriksaan laboratorium


yang mengukur aktifitas viral merupakan penilaian yang lebih baik dari
status klinik dan perkembangan penyakit.
Viral load/sejumlah muatan virus merupakan jumlah partikelpartikel virus pada suatu sampel darah.

Viral load dapat ditetapkan

dengan HIV RNA PCR atau dengan tes branched-chain DNA (bDNA).
Pemeriksaan ini menyediakan informasi yang membantu menetapkan
kapan memulai terapi, keberhasilan terapi dan apakah tujuan-tujuan
klinik tercapai.

35

Bermacam-macam pemeriksaan laboratorium untuk darah yang


abnormal umum ditemukan pada kasus infeksi HIV yang tidak dapat
diobati.
Proses pemeriksaan Skrining Antibodi HIV.
Berikut ini langkah-langkah yang digunakan dalam pemeriksaan
antibodi darah untuk HIV:
a.

EIA (Enzim immunoassay) yang sangat sensitif digunakan


untuk mendeteksi serum antibodi yang mengikat antigen HIV pada
kaca pemeriksaan. Hasil pemeriksaan sampel darah yang negatif
dilaporkan juga sebagai negatif.

b.

Konseling

setelah

dilakukannya

pemeriksaan

harus

meliputi pengkajian terhadap perilaku yang beresiko, terutama


untuk mengetahui siapa saja yang berisiko terakhir (recent risk)?
c.

Apabila

risiko

terakhir

ditemukan,

anjurkan

untuk

melakukan tes kembali setelah 3 minggu, 6 minggu dan 3 bulan


kemudian.
d.

Apabila darah klien mengandung EIA positif, tes harus


harus diulang.

e.

Apabila hasil pemeriksaan EIA ulangan masih positif,


dilakukan

kembali

pemeriksaan

yang

lebih

spesifik

untuk

menegaskan hasil, seperti pemeriksaan Western Blot (WB) atau


Immunofluorescence Assay (IFA).
f.

Pemeriksaan WB menggunakan antigen HIV electrophorese


on gel yang sudah dibersihkan, yang diinkubasi dengan sampel
serum.

Hal tersebut dapat mendeteksi apabila terdapat antibodi

didalam serum. IFA digunakan untuk mengidentifikasi HIV didalam


sel-sel yang terinfeksi. Darah diobati dengan suatu antibodi yang
berpijar (fluorescent) untuk melawan antigen p17 atau p24
kemudian diuji dengan menggunakan mikroskop fluorescent.
g.

Darah yang reaktif di ketiga langkah pertama diatas


36

dilaporkan sebagai antibodi HIV yang positif.


h.

Apabila hasilnya tidak dapat ditentukan, maka langkahlangkah berikut ini diambil:
Apabila dari hasil pengkajian yang lebih dalam terhadap risiko
terinfeksi ditemukan bahwa individu tidak memiliki riwayat
aktifitas yang berisiko tinggi, tenangkan klien bahwa dia tidak
mungkin

terinfeksi

HIV

dan

anjurkan

untuk

melakukan

pemeriksaan kembali 3 bulan kemudian.


Namun apabila sebaliknya, ternyata dari pengkajian ditemukan
bahwa individu memiliki riwayat aktifitas yang berisiko tinggi,
ulangi pemeriksaan antibodi pada 1, 2 dan 6 bulan; diskusikan
cara

untuk

menurunkan

risiko

infeksi

untuk

melindungi

pasangannya; pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan


untuk mendeteksi antigen HIV.
Pengkajian Keperawatan
Data subyektif
a. Informasi kesehatan yang penting
Riwayat kesehatan yang lalu: rute infeksi; hepatitis; tuberkulosa;
riwayat bepergian ke daerah lain; riwayat menderita infeksi virus,
jamur dan atau bakteri.
Pengobatan: penggunaan obat-obat imunosupresi.
b. Pola kesehatan fungsional
Persepsi kesehatan manajemen kesehatan:
Nutrisi metabolik: penurunan berat badan, anoreksia, mual,
muntah; lesi, perdarahan atau ulserasi pada bibir, mulut, gusi,
lidah atau tenggorokan; sensitif terhadap makanan asam, asin
atau pedas; kesulitan menelan; kram perut, ruam pada kulit, lesi
atau perubahan warna; luka yang tidak sembuh.

37

Eliminasi: diare yang terus menerus, perubahan karakter feses;


nyeri berkemih.
Aktifitas latihan: kelelahan kronis, kelemahan otot, kesulitan
berjalan; batuk, nafas pendek.
Istirahat tidur: insomnia; berkeringat dimalam hari, kelelahan.
Persepsi kognitif : sakit kepala, kaku pada leher, nyeri dada,
nyeri

pada

fotopobia;

rektal,

nyeri

diplopia,

retrosternal;

kehilangan

penglihatan

penglihatan;

kabur,

gangguan

pendengaran; bingung, pelupa, kurang perhatian, perubahan


status mental, kehilangan memori, perubahan kepribadian;
parestesia, hipersensitif pada kaki, pruritis.
Peran hubungan: suport sistem, sumber keuangan.
Seksual reproduksi: lesi pada genital (internal atau eksternal),
gatal atau rasa panas pada vagina, nyeri saat berhubungan
intim, perubahan menstruasi, adanya kotoran pada vagina atau
penis;

melakukan

tindakan

untuk

mengontrol

kelahiran,

kehamilan, keinginan untuk memiliki anak dimasa yang akan


datang
Mekanisme

koping

toleransi

stres:

tingkat

stres,

rasa

kehilangan sebelumnya, pola koping, konsep diri.


Data obyektif
c. Umum:

lesu, demam terus menerus, limfadenopati, kehilangan

massa tubuh perifer, tumpukan lemak didaerah trunkal dan


punggung atas; menarik diri dari kehidupan sosial.
d. Integumen: penurunan turgor kulit, kulit kering atau diaforesis;
pucat, sianosis; lesi, erupsi, perubahan warna atau memar pada
kulit dan membran mukosa; ekskoriasi pada vagina atau perianal;
alopesia, lambatnya penyembuhan luka.
e. Mata: terdapatnya eksudat; lesi atau perdarahan pada retina;

38

papiledema.
f.

Pernafasan:

takipnea,

dispnea,

retraksi

interkostal;

krakles,

wheezing, batuk produktif atau non produktif.


g. Kardiovaskuler:

perikardial

friction

rub,

murmur,

bradikardia,

takikardia.
h. Pencernaan: lesi pada mulut, melepuh (HSV), bintik-bintik berwarna
putih abu-abu (kandida), lesi putih yang tidak terasa nyeri pada
aspek

lidah

lateral

(leukoplakia

berbulu),

perubahan

warna;

gingivitis, kerusakan atau kehilangan gigi; lesi yang berwarna


kemerahan atau putih pada tenggorokan; suara bowel hiperaktif,
massa pada perut, hepatosplenomegali.
i.

Muskuloskeletal: kehilangan massa otot.

j.

Persarafan: ataksia, tremor, kurang koordinasi; kehilangan sensori;


kata-kata yang tertela, afasia; kehilangan ingatan, apati, agitasi,
depresi, perilaku yang tidak tepat; penurunan tingkat kesadaran,
serangan, paralisis, koma.

k. Reproduksi:

lesi atau kotor pada genital, perut teraba lembut

sekunder akibat peradangan pelvis (PID).


l.

Kemungkinan temuan: antibodi HIV assay positif (EIA) atau ELISA,


diperkuat oleh WB atau IFA); jumlah level virus yang dapat
dideteksi

oleh

bDNA

atau

PCR,

penurunan

CD4+

lymfosit,

pembalikan perbandingan CD4 : CD8; penurunan jumlah WBC,


limfopenia, anemia, trombositopenia; ketidakseimbangan elektrolit;
tes fungsi hati abnormal; peningkatan kolesterol, trigliserida dan
glukosa darah.
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a.

Nyeri akut

b.

Antisipasi berduka

c.

Cemas

d.

Harga diri rendah kronis


39

e.

Gangguan body image

f.

Gangguan pola tidur

g.

Gangguan proses pikir

h.

Kelelahan

i.

Hyperthermia

j.

Diare

k.

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

l.

Gangguan mukosa oral

m.

Ketidakefektifan koping dan manajemen regimen


terapeutik

n.

Kurang perawatan diri

o.

Harga diri rendah situasional

p.

Isolasi sosial

q.

Distress spiritual

r.

Ketegangan petugas pemberi pelayanan kesehatan

s.

Konflik keputusan

t.

Ketidakefektifan denial (menolak)

u.

Gangguan proses keluarga

v.

Ketidakrelaan

w.

Kehilangan kekuatan

x.

Gejala stres relokasi dan resiko sindrom disuse (merasa


tidak berguna)

B. SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


Definisi
SLE adalah penyakit peradangan kronik multisistem yg dihubungkan
dg ketidaknormalan sistem imun. SLE berpengaruh pd kulit,
persendian & membran serosa (pleura, perikardium), jantung, ginjal,
sistem hematologi & neurologi (Lewis et al, 2004)

40

Tanda dan Gejala


Keluhan umum adalah demam, penurunan BB, arthralgia, kelemahan
yg berlebihan.
Dermatologi
a. Lesi pembuluh darah di kulit dpt timbul di semua lokasi, namun plg
sering

di area kulit yg terpapar sinar matahari. Reaksi kulit yg

berat dpt tjd pd org yg fotosensitif.


b. Tanda rash kupu2 didaerah pipi, melewati area hidung dialami oleh
50% pasien dg SLE (lihat gambar dibawah).
c. Ulser pada mulut atau membran nasopharing tjd lebih dari
pasien dg SLE.
d. Umum tjd: gatal pd kulit kepala & rambut rontok shg tjd kebotakan
(alopesia) dg atau tanpa lesi pd kulit kepala.

Gbr.: Rash berbentuk seperti kupu-kupu pada penderita SLE


e. Rambut dpt tumbuh kembali selama masa penyembuhan, tapi
kehilangan rambut dpt menjadi permanen di sekitar lesi.
f.

Kulit kepala menjadi kering, bersisik & atrofi.

Muskuloskeletal
a. Polyarthralgia dg kekakuan di pagi hari mrpkn keluhan pertama
klien.
b. Arthritis dialami oleh >90% pasien dg SLE.
41

c. Lupus yg dihubungkan dg arthritis umumnya tdk erosif tp dpt


menyebabkan deformitas spt dpt dilihat bentuk leher angsa pd jari2
& penyimpangan ulnar.
Cardiopulmonal
a. Takipnea & batuk pada pasien dg SLE menandakan adanya gg pada
paru.
b. SLE dpt mempercepat tjdnya CAD & risiko perkembangan CAD jg
meningkat.
Ginjal
a. Lupus Nefritis (LN) tjd pd sktr 50% px SLE.
b. Manifestasi LN bervariasi dari proteinuria ringan sampai berat,
glomerulonefritis yg terus berkembang.
c. Hampir semua pasien SLE menunjukk ketidaknormalan jaringan
renal pd hsl biopsi renal atau hsl otopsi.
Sistem Syaraf
a. Dpt tjd neuropati perifer yg mengarah kpd defisit sensori & motorik
bahkan sindrom otak organik akibat dari endapan komplek imun
diantara jaringan otak, yg dikarakteristikkan dg gg proses pikir,
disorientasi, defisit memori & gjl2 psikiatrik spt depresi berat &
psikosis susah membedakan neuro psikiatrik akibat SLE dr mslh2
neurologik yg disebabkan oleh non SLE/penyebab lain.
b. Kdg2 stroke atau meningitis aseptik dpt tjd jg
Hematologi
a. Pembentukan antibodi dlm melawan sel2 darah spt eritrosit,
leukosit, trombosit & faktor2 pembekuan merupakan ciri2 dari SLE
anemia, leukopenia ringan, thrombositopenia srt muncul pd klien
dg SLE.

42

Infeksi
a. Pasien

dg

SLE

memiliki

kerentanan

yg

tinggi

thd

infeksi,

kemungkinan b.d kerusakan pd kemampuannya memfagositosis


serbuan bakteri.
b. Infeksi yg plg umum tjd adalah pneumonia disertai dg inflamasi
penyebab utama kematian.
c. Demam hal serius yg mrpkn awal gejala infeksi.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Riwayat dan pemeriksaan fisik
b. Antibodi:
b. Antibodi anti-DNA
c. Antibodi anti-Sm
d. Antibodi antinuklear (ANA)
e. Jumlah sel darah lengkap
f.

LE sel prep

g. Urinalysis
h. X-ray pada persendian yang terpengaruh
i.

X-ray dada

j.

Pemeriksaan ECG untuk menetapkan keterlibatan ekstraartikuler

Pengkajian Keperawatan
Data subyektif
a. Informasi kesehatan yang penting

Riwayat kesehatan yang lalu: paparan terhadap radiasi ultra


violet, obat-obatan, bahan-bahan kimia, infeksi virus; stres fisik
atau

psikologis;

adanya

pernyataan

peningkatan

aktifitas

estrogen, meliputi lebih awalnya periode menstruasi, kehamilan


dan periode post partum; pola penyembuhan dari penyakit dan
serangan penyakit.

Pengobatan: penggunaan obat kontrasepsi oral, Procainamide


43

(Pronestyl), Hydralazie (Apresoline), Isoniazid (INH), obat-obat


anti

serangan,

antibiotik-antibiotik

(ada

kemungkinan

mempercepat timbulnya gejala SLE); Kortikosteroid, NSAID.


b. Pola kesehatan fungsional

Persepsi kesehatan manajemen kesehatan: riwayat keluarga


yang

menderita

penyakit-penyakit

autoimun;

seringnya

mengalami infeksi; kelemahan.

Nutrisi metabolik: penurunan berat badan, ulser pada mulut


dan hidung; mual dan muntah; xerostomia (kekeringan kelenjar
saliva), disfagia; fotosensitif disertai timbulnya rash; seringnya
mengalami infeksi.

Eliminasi: penurunan output urine; diare atau konstipasi.

Aktifitas latihan: kekakuan di pagi hari; pembengkakan sendi


dan

deformitas;

nafas

pendek,

dyspnea;

kelelahan

yang

berlebihan.

Istirahat tidur: insomnia.

Persepsi kognitif : gangguan penglihatan; vertigo; sakit


kepala; polyarthralgia; nyeri dada (perikardial, pleuritik); nyeri
abdomen; nyeri persendian; nyeri, berdebar, rasa dingin pada
jari-jari disertai dengan mati rasa dan rasa geli (tingling).

Seksual reproduksi: amenorhea, periode menstruasi yang


tidak teratur.

Mekanisme koping toleransi stres: depresi, menarik diri.

Data obyektif
a. Umum: demam, limpadenopati, edema pada periorbital
b. Integumen:

alopesia;

keratokonjunctivitis,

ruam

kering,
berbentuk

kulit
seperti

kepala

bersisik;

kupu-kupu

pada

wajah; eritema pada telapak tangan, urtikaria, periungual eritema,


purura atau petekiae; ulser pada kaki.

44

c. Pernafasan: pleural friction rub, penurunan suara nafas.


d. Kardiovaskuler:

vaskulitis;

pericardial

friction

rub;

hipertensi,

edema, aritmia, murmur, pucat dan sianosis bilateral dan simetris


didaerah jari-jari (fenomena Raynauds).
e. Pencernaan: ulser pada mulut dan faring; splenomegali.
f.

Persarafan: kelemahan wajah, neuropati perifer, edema pada papil,


disartria, bingung, halusinasi, disorientasi, psikosis, timbulnya
serangan, afasia, hemiparese.

g. Muskuloskeletal: miopati, miositis, artritis.


h. Perkemihan: proteinuria.
i.

Kemungkinan-kemungkinan ditemukan: anti-DNA, Sm dan antibodi


antinuklear

(ANA);

anemia,

leukopenia,

trombositopenia;

peningkatan nilai endapan eritrosit (ESR); sel LE prep positif;


peningkatan serum kreatinin; mikroskopik hematuria, adanya
cetakan sel dalam urine; hasil pemeriksaan x-ray dada terdapat
perikarditis atau efusi pleura.
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a. Kelemahan

berhubungan

dimanifestasikan

oleh

dengan

proses

kekurangan

energi,

penyakit

yang

ketidakmampuan

mempertahankan aktifitas sehari-hari


b. Nyeri

akut

berhubungan

dengan

proses

penyakit

dan

ketidakadekuatan ukuran rasa nyaman yang dimanifestasikan


dengan keluhan nyeri pada persendian
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fotosensitif, rash
pada kulit dan alopesia
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan arthralgia, kelemahan
dan kelelahan
e. Ketidakefektifan manajemen/penatalaksanaan regimen terapeutik
berhubungan

dengan

kurang

pengetahuan

dari

pengobatan

penyakit jangka panjang.


45

BAB IV
PENUTUP
Sistem imunologi merupakan sistem yang berperan dalam
pertahanan tubuh manusia. Sistem ini terdiri dari sel darah khusus
( Limfosit dan Monosit ) dan struktur khusus seperti nodus limfe,
spleen, thymus, bone marrow, tonsil , adenoid dan appendiks. Imunitas
tubuh manusia ini meliputi imunitas humoral dan imunitas cellmediated.
Untuk

dapat

memberikan

asuhan

keperawatan

yang

komprehensif kepada klien dengan gangguan sistem imunologi,


diperlukan pengkajian yang komprehensif meliputi anamnesa terhadap
riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu dan keluarga
dan sosial, pengkajian fisik terhadap berbagai sistem tubuh yang
dipengaruhi oleh sistem imunologi serta pemeriksaan diagnostik yang
meliputi pemeriksaan Aglutinin, AIDs Serologi, ACA, Aldolase, AMA,
ANA, Complement Assay, CRP, Cyroglobulin, EBV, ESR, HLA, HTLV,
Gamma Globulin Electrophoresis, Lymphocyte Immunophenotyping,
Monocleosis Spot Test dan Rhemathoid Factor.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan gangguan sistem imunologi adalah : Kelemahan berhubungan
dengan proses penyakit yang dimanifestasikan oleh kekurangan
energi, ketidakmampuan mempertahankan aktifitas sehari-hari, Nyeri
akut berhubungan dengan proses penyakit dan ketidakadekuatan
ukuran rasa nyaman yang dimanifestasikan dengan keluhan nyeri pada
persendian,
fotosensitif,

Gangguan
rash

pada

integritas
kulit

dan

kulit

berhubungan

alopesia,

dengan

Intoleransi

aktifitas

berhubungan dengan arthralgia, kelemahan dan kelelahan, dan


Ketidakefektifan

manajemen/penatalaksanaan

regimen

terapeutik

berhubungan dengan kurang pengetahuan dari pengobatan penyakit


jangka panjang.
46

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa
Brahm U. Pendit. EGC. Jakarta.
Lewis, Sharon Mantik et al. (2004). Medical Surgical Nursing Vol.
2. Mosby Year Book. St. Louis, Missouri.
Jaffe, Marie S. (1996). Medical Surgical Nursing Care Plans
(Nursing Diagnosis and Intervention). Appleton and Large.
Connecticut.
Pagana, Kathleen Deska, 1999. Diagnostic Testing and Nursing
Implications, A Case Study Approach 5 th edition. Mosby Inc.
St Louis Missoury
Sneltzen, Suzanne C. & Brenda G. Bare. (1996). Medical Surgical
Nursing 8th edition. Lippincot. Philadelphia.
http://www.healthatoz.com/healthatoz/atoz/ency/aids_test.jsp.
akses 8 September 2006

tanggal

http://www.medicinet.com/rheumatoid_arthritis/page4.html.
akses 8 September 2006

tanggal

http://health.reports.com/lupus-wellness.html.
September 2006

tanggal

akses

http://evolve.elsevier.com/black/medsurg/. tanggal akses 8 September


2006

47

Anda mungkin juga menyukai