Briket arang berbahan baku sampah buatan Ujang ini tidak menimbulkan perih asap dan
tidak menyisakan limbah beracun B2 seperti halnya briket batu bara. Briket arang buatan
Ujang ini bisa digunakan untuk memasak dengan memakai kompor khusus, dan juga bisa
digunakan untuk bahan arang pembakar sate Niat saya sekarang memproduksi briket
arang ini bukan untuk menyaingi minyak tanah. Terlebih adalah untuk memanfaatkan
sampah yang sekarang menumpuk di TPA Handapherang dan TPA Ciminyak. Ada 40 KK
pemulung yang sudah siap dibina untuk menjadi produsen arang dari timbunan sampah di
kedua TPA tersebut. Bagaimana pun juga sampah kota, kini menjadi persoalan serius,
ingat saja kejadian TPA Leuwigajah atau musibah longsor TPA Bantargebang baru lalu,
imbuhnya.
Menurut Ujang, tumpukan sampah kota yang dibuang ke TPA tersebut sebenarnya bisa
digunakan dan bermanfaat. Salah satu diantaranya dibakar jadi arang dan arangnya
kemudian jadi briket.
Dengan bahan baku serbuk gergaji, arang batok, limbah tapas kelapa kini Ujang
memproduksi arang briket 1-2 kuintal per hari dengan mempekerjakan sembilan pemuda
pengangguran dan putus sekolah.
Tiap orang diberi upah secara borongan Rp 300/kg briket. Seorang pekerja mampu
mendapatkan upah Rp 15.000/hari, tergantung produktivitasnya, ujar Ujang yang
melakoni usaha briket arangnya ini setelah meminjam uang dari BRI sebesar Rp 31 juta
untuk membeli dan membuat berbagai mesin.
Bila usahanya berkembang, menurut Ujang, pihaknya akan bekerja sama dengan
sejumlah SLB yang ada di Ciamis, merekrut pemuda cacat untuk jadi pekerja pembuatan
arang briket. Yang penting yang bersangkutan bisa melihat akan kami terima. Pemuda
cacat kan susah masuk kerja dimana pun, ujarnya.
Ujang sendiri sekarang mengaku pusing karena pesanan briket arang terus mengalir.
Misalnya dari Pabrik Peleburan Tima Aki di Leuwigajah sebanyak 10 ton perminggu.
Dan dari Perkebunan Teh di Bandung selatan sebanyak 50 ton per bulan.
Sementara kami hanya mampu memproduksi briket arang 7 kuintal sampai 1 ton
seminggu. Untuk saja mereka mau menampung berapa pun adanya, ujar Ujang yang
berniat segera menyerahkan usaha arang briketnya kepada yang lebih professional.
Saya tentu tetap mengutamakan tugas saya sebagai prajurit. Usaha briket arang akan
serahkan kepada yang lebih professional. Saya sekarang, hanya punya keinginan untuk
mempaten hak cipta briket arang ini. Cuma biayanya cukup besar, katanya sampai Rp 10
juta, tutur Ujang yang setelah tamat STM Dr Sutomo Cilacap tahun 1987 lalu langsung
membuat PLTA mini di Curug Panganten Desa Kepel, Cisaga sehingga mampu
menerangi dua desa. Tapi PLTA minihidro yang dikelola Ujang ini tersingkir setelah
listrik PLN masuk desa tersebut pada tahun 1992. Ujang sendiri memilih masuk jadi
prajurit TNI yang kini berdinas di Ciamis.
Dari tumpukan sampah masih banyak yang mungkin bisa digunakan. Seperti untuk
membuat pavingblock, eternity, keramik, batako dan segala macamnya. Tinggal sekarang
bagaimana memilah-milah sampah yang mungkin digunakan, ujar Ujang tentang idenya
yang masih belum terlaksana dalam pemanfaatan tumpukan sampah di TPA
Handapherang. (andri m dhani)
0Pada kesempatan ini kami ingin mengusulkan agar Pemerintah memberikan
penghargaan kepada Pak Ujang atau para inventor Indonesia lainnya, agar makin
banyak yang ber-kreasi dan ber-innovasi untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Semoga bermanfaat.
Wassalam,
www.jingkiinstitute.org
http://greenliferepublic.blogspot.com
Tribun Jabar Online
Jl. Malabar no. 5 Bandung
email : tribunjabar@yahoo.com
Kompor Rakyat Tanpa Minyak
Briket sampah ala Nepal berhasil mengatasi masalah sampah, keiangkaan minyak, dan
polusi udara. Bakal diproduksi dalam skala besar. Indonesia bisa mencontohnya.
Kelokan kota tua Kadunandu, yang dibangun 14 abad silam, terusik oleh tumpukan
sampah di pinggir jalan, gorong-gorong, dan tebing sungai. Bau menyengat merebak ke
mana- mana, Belum lagi kondisi sosialnya yang mudah bergolak. Situasi ini membuat
Sanu Kaji Shrestha jengkel. "Hampir setiap hari warga Kathmandu harus antre untuk
mendapatkan minyak tanah," kata Sanu, aktivis lingkungan hidup itu, kepada Gatra.
Sebagai negara yang tergolong miskin, dengan pendapatan per kapita per ta-hun US$
1.400, Nepal tergencet oleh kenaikan harga minyak mentah pada tahun-tahun belakangan
ini. Maklum, BBM harus diimpor. Tak pelak, harga minyak tanah yangbbanyak
digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil di Nepal ikut membubung. Tapi, setiap
kali pemerintah menaikkan harga BBM, masyarakat bereaksi keras.
Unjak rasa menentang kenaikan harga BBM kerap berakhi rrusuh. "Para demonstran
membakari ban-ban bukas dan asapnya raengotori kota," nitur Sann. Problem laten ini
terjadi pula di kota-kota lain, sepcrti Bharatpur, Biratnagar, dan Nepalgunj. Kondisi ini
membuat Sanu yang pensiunan pegawai lembaga keuangan internasional itu putar otak
guna mengatasi masalah tadi.
Tahun 2003, bersama beberapa kawannya, ia mendirikan Foundation for Sustainable
Technologie (FoST). Lembaga ini berupaya secara mandiri untuk mengatasi masalah
sosial dan lingkungan hidup di Nepal. Uluran bancuan dari lembaga-lembaga asing
bukannya tak ada, terutama untuk program perbaikan lingkungan liidup. Tapi Sanu
menolak. "Kami tak man negara terperosok dalam utang. Kami ingin menunjukkan
kemampuan sendiri," cumrnya.
FoST akliimya melirik potensi yang terkandung dalam sampah yang menumpuk dan
mengotori jalan dan sungai di Kathmandu dan kota-kota lain di Nepal. "Sebagian besar
sampah itu adalah bahan organik, limbah nimah tangga, dan perta- niansehingga masih
bisa diolah," kata Sanu.
Sekitar 76% penduduk Nepal memang masih menggantungkan hidup dari usaha
pertanian, terutama tebu, tembakau, dan gandum, Sektor ini menyumbang 39%
pendapatan kotor domestik Nepal yang mencapai US$ 39 milyar setahun. Sektor itu pula
yang menyumbang sampah- sampah organik yang mengotori Nepal.
Dengan memanfaatkan sampah untuk bahan bakar, FoST berniat ikut menyelesaikan
masalah sampah dan kelangkaan minyak sekaligus. Lantas muncullah ide pembuatan
briket sampah, meniru briket
Batu bara yang lebih dulu dikenal masyarakat Nepal. "Hanya saja, residu dan asap briket
batu bara sangat mengotori udara," kata Sana.
Lagi pula, cara memproduksi briket sampah itu terhitung mudah. Briket ini pun, kctika
digunakan, relatif ramah lingkungan. Tak berasap dan tak beresidu.Lalu mulailah para
aktivis FoST memilah-milah berbagai jenis sampah yang mungkin untuk dibuat briket.
Sampah-sampah itu antara lain kertas, bambu, serbuk gergaji, ampas tebu, daun, dan
sampah organik lainnya.
Sampah-sampah jenis inilah yang dijadikan bahan mentah briket sampah. Caranya, kata
Sanu, sederhana. Setelah dipilah, material tersebut dimasukkan ke sebuah tong berisi air
yang dipanaskan. Lalu sampah-sampah itu dihancurkan dan diaduk layaknya membuat
bubur kertas. Tak ada bahan kimia yang digunakan.
Kemudian bubur sampah tadi dicetak. Bentuknya macam-macam. Ada yang seperti
cakram dengan lubang di tengahnya, ada juga yang berbentuk tablet. Ukuran garis
tengahnya 5 cm dengan tebal 5 cm pula. Ada juga yang dicetak dengan genggaman
tangan. Saat ini, FoST mengembangkan 10 jenis briket sampah.
Untuk- pembakaran, FoST juga memperkenalkan kompor khusus yang disebut rocket
stove (kompor roket) berbentuk tabung dengan garis tengah sekitar 10 cm. Pada bagian
bawahnya dipasang kipas angin bertenaga baterai untuk membantu pembakaran. Dua
buah baterai 1,5 volt itu, menurut Sanu, tahan untuk sebulan penuh.
Tahun 2003 itu juga, FoST mengampanyekan penggunaan briket sampah sebagai
alternatif pengganti minyak tanah. Para tenaga penyuluh FoST tekun mendatangi rumahmmah penduduk. Mereka mendidik warga dalam memanfaatkan limbah rumah tangga
untuk dijadikan briket sampah untuk memasak. Hanya dalam tempo tiga tahun, hasilnya
segera terlihat.
Kata Sanu, kini hampir 80% penduduk Nepal sudah beralih menggunakan briket sampah.
Antrean pembeli minyak tanah pun makin jarang ditemukan. Dan yang membuat dia
senang, temuan sederhana ini ternyata bisa mengurangi volume sampah di Nepal.
"Sungai Bagmati, yang tadinya paling tercemar, kini sudah tcrlihat bersih," katanya.
Tahun. 2007 ini, tutur Sanu, FoST mulai berpiIdruntuk membangun pahrik briket sampah
untuk kebutuhan industri. "Di sini ada 100 lebih pabrik pcmbakaran bata. Kami akan
memasok untuk kebutuhan itu," katanya. Briket ini akan dijual seharga US$ 15 per 30
potong seberat 1,5 kilo gram. Dengan begitu, ia berharap, pencemaran udara dari pabrik
batu bata bisa ditekan.
Selain briket sampah, FoST juga membuat beberapa terapan teknologi sederhana lainnya,
semacam kompor, oven, dan alat pasteurisasi bertenaga matahari. "Pokoknya, kita harus
bisa mengubah sampah dan barang lain di sekitar kita menjadi energi untuk kebutuhan
hidup kita," kata Sanu mengenai prinsip organisasinya.
Sampah organik ternyata tidak cuma bisa diolah menjadi kompos tetapi juga bisa
dibuat sebagai bahan bio massa. Bentuk paling sederhananya adalah dibuat
menjadi briket. Jika selama ini, nenek moyang kita menggunakan aneka dedaunan
dan ranting sebagai bahan bakar pada tumangnya (tungku batu), prinsip kerja
briket sampah pun sama, sebagai bahan bakar alternatif pada kompor alternatif.
Kenapa perlu dibuat briket? Alasan utama adalah sampah yang sudah dibriket bisa
disimpan,sehingga ketika musim hujan tiba sementara daun dan ranting menjadi
lembab, maka ada alternatif bahan bakar yang murah meriah.
Proses pembuatannya seperti ini:
bahan baku& alat:
Cara membuatnya:
Pertama, sampah dan ranting dibakar dalam tong/tempayan tanah liat atau
dibakar langsung diatas tanah. Proses membakarnya dipisahkan berdasarkan jenis
bahan sampahnya karena waktu pembakarannya berbeda-beda. Dibakar cukup
menjadi arang saja jangan sampai menjadi abu. Jika sudah mengarang siram
dengan air dan biarkan dingin
Kedua, campur arang sampah dengan lem kanji secukupnya hingga adonan
menyatu
Ketiga, masukkan adonan arang sampah kedalam cetakan dorong kuat-kuat, lalu
jemur dibawah matahari langsung selama +/- 2 hari hingga benar-benar kering.
Jika ingin dipakai, aplikasikan pada kompor briket dengan cara dibakar langsung.
Tidak perlu direndam dalam minyak tanah, mudah, murah dan manfaatkan?
Notes:
bahan baku briket bisa diganti dengan
1. Serbuk kayu atau serbuk gergaji
2. Kompos yang sudah matang
3. Kotoran ternak /sapi
http://bandarsampah.blogdetik.com/index.php/archives/315
sampah organik yang mudah ditemukan di sekitar kita. Bahan dasarnya dapat
berupa, kayu-kayu sisa, daun-daun kering, makanan sisa, kertas.
Bahan-bahan tersebut, pertama-tama dibakar sampai menjadi bentuk arang berwarna
hitam pekat. Agar tidak sampai menjadi abu, pada saat bara api merata ke
seluruh bagian bahan, segera disiram air secukupnya.
Langkah selanjutnya, arang tersebut ditumbuk dengan menggunakan alat penumbuk,
martil, batu, atau alat-alat berat lainnya sampai menjadi halus. Saat menumbuk
ditambahkan daun-daun tanaman segar yang memiliki sifat lunak dan cukup
kandungan air. Daun-daunan ini dapat diambil dari sisa-sisa sampah pasar atau
sayuran yang sudah terbuang, contohnya bayam, kangkung, sawi, daun pepaya atau
jenis-jenis sayuran lain. Hal tersebut sekaligus dapat menjadi solusi
pengurangan penumpukan sampah yang banyak kita jumpai di pasar-pasar.
Persentase komposisi bahan pembuatan briket organik adalah 80% sampah organik
kering dan 20% campuran daun segar. Jadi bila ingin mencoba membuatnya,
seandainya sampah organik yang digunakan seberat 800 gram, maka daun segar yang
ditambahkan sebanyak 200 gram. Atau kelipatan dari jumlah tersebut.
Setelah kedua bahan tersebut tercampur rata, kemudian adonan dicetak dengan
ukuran dan bentuk menurut selera pembuatnya. Briket yang telah dibuat
selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari sampai kering.
Proses pengeringan bergantung kondisi cuaca. Pengeringan hanya memakan waktu
sehari bila matahari bersinar penuh. Sedangkan tanda-tanda briket sudah kering
atau belum mudah ditebak dengan cara meletakkan dan mengangkatnya di telapak
tangan.
Briket kering terasa lebih ringan dan jelaga di permukaan tidak terlalu
mengotori permukaan telapak tangan.
Nasi pulen
Sejumlah kelebihan penggunaan briket sampah organik adalah rasa dan aroma
masakan. Dari percobaan hasil pengolahan masakan yang menggunakan kompor minyak
tanah dan tungku briket sampah, diperoleh cita rasa berbeda. Nasi terasa lebih
pulen dan masakan lain lebih legit.
Berdasarkan hasil wawancara, 90% dari jumlah siswa dua kelas yang diuji coba
menyatakan, masakan dari bahan bakar briket lebih khas dibandingkan dengan
masakan dari bahan bakar minyak tanah yang kata mereka, "Bau asap!"
Kelebihan briket kedua adalah daya panas yang dihasilkan dari pembakaran briket
sampah tak kalah dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Hasil percobaan
penulis, untuk memanaskan 1 liter air hanya memerlukan sekitar 300 gram briket
dalam waktu kurang lebih 12 menit (dengan catatan bara api sudah merata).
Di samping itu, briket sampah memiliki kemampuan penyebaran bara api yang baik,
tak mudah padam, dan tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk pengipasan.
Tanpa dikipasi pun briket sampah organik mudah menyala dengan stabil.
Kelebihan ketiga adalah volume asap yang dikeluarkan briket sampah tidak
sebanyak yang dihasilkan kayu atau minyak tanah. Dan yang lebih utama,
kandungan karbon dioksida dan karbon monoksida sebagai hasil sampingan
pembakaran tidak sedahsyat kayu atau bahan bakar minyak tanah.
Indikasinya, terlihat dengan reaksi para siswa yang berada di sekitar tungku
briket tidak mengalami gejala sesak napas atau mata pedih akibat iritasi,
seperti halnya yang dikeluhkan para ibu rumah tangga yang memakai minyak tanah.
Berkurangnya asap yang diproduksi disebabkan karbon dioksida, karbon monoksida,
dan kandungan air yang tersimpan dalam bahan briket telah direduksi pada saat
proses pembakaran pertama (arang).
Kelebihan keempat adalah peralatan tungku yang digunakan untuk keperluan bahan
bakar briket relatif lebih murah dan lebih mudah dalam perawatannya. Jenis
tungku yang digunakan terbuat dari tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa.
Jenis tungku ini sudah dikenal sejak lama dalam masyarakat tradisional
Indonesia.
Dari segi aroma, briket sampah tidak jauh berbeda dengan bau khas arang yang
dibakar. Bahkan masyarakat daerah tertentu, seperti masyarakat pedesaan lebih
menyukai menggunakan bahan bakar nonminyak dengan alasan perbedaan rasa dan
aroma.***
Hermin N. Farid,
Praktisi pendidikan Biologi. Alumnus Biologi ITB.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/02/cakrawala/lainnya02.htm
http://www.mail-archive.com/info@rw14.web.id/msg01018.html
indosiar.com, Malang - Kian tingginya harga minyak tanah yang mengakibatkan
penderitaan rakyat kecil memicu munculnya sejumlah ide kreatif yang menghasilkan
bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Di Malang, Jawa Timur, seorang dosen
menciptakan briket sampah yang dapat digunakan hingga 5 jam untuk memasak.
Briket yang berdiameter 10 centimeter yang terbuat dari sampah ini mampu
menghasilkan energi panas hingga 500 derajat celsius selama 5 jam. Karenanya, briket
buatan seorang dosen kimia disebuah kampus di Malang, Jawa Timur ini cocok
digunakan untuk memasak. Bahkan dalam penggunaannya, briket ini tidak menimbulkan
asap.
Namun briket ini memiliki kelemahan yakni membutuhkan waktu 20 hingga 30 menit
hingga bisa menciptakan energi panas yang cukup tinggi untuk memasak. Dosen Tri
Puspowati menambahkan, briket buatannya ini dibuat dari sampah organik seperti daun
kering yang dibakar diatas tungku hingga menjadi arang.
Dalam prosesnya, hanya arang yang berwarna hitam pekat yang diolah karena lebih
berkualitas dalam menghasilkan energi. Arang daun ini ditumbuk hingga halus dan
dicampur dengan tepung kanji dengan takaran 1 berbanding 4.
Tepung kanji yang digunakan hanya sedikit karena hanya sebagai perekat. Setelah
tercampur rata, adonan ini dicetak sesuai kebutuhan dan dijemur hingga kering.
(Nurochman/Sup)
http://p3m.amikom.ac.id/detail.php?id=120&PENGOLAHAN-DAN-PEMANFAATANSAMPAH-ORGANIK-MENJADI-BRIKET-ARANG-DAN-ASAP-CAIR
Dengan pemanfaatan bahan baku ini juga mampu mengurangi timbunan sampah. Selain
itu briket sampah juga tidak mengandung belerang sehingga tidak berbau menyengat.
Harganya pun lebih murah dibandingkan dengan arang dari kayu.
Dari proses pembuatannya pun bisa dilihat bahwa asap yang ditimbulkan, ditangkap
dengan mesin khusus buatan kami dan ini tidak menimbulkan polusi, terang Hery
Fitrianto yang duduk di kelas 3 SMK.
Kelebihan lainnya dari briket arang ini adalah pada saat digunakan tidak cepat menjadi
abu karena lebih tahan lama. Namun sayang produksi briket arang ini belum bisa
dipasarkan secara umum karena alat pembuatannya masih terbatas. Sementara ini briket
arang bisa dipesan melalui sekolah.(K3-41)
KOMPOR BRIKET LIMBAH, Menjawab Masalah Sampah dan Energi
sampah memang menjadi masalah di hampir seluruh penjuru dunia. Semua turut
memikirkan bagaimana caranya menanggulangi sampah.
Data tentang sampah
Sebagian orang yang prihatin dan kreatif dengan sampah memanfaatkan sampah sebagai
bahan baku untuk diolah menjadi barang yang bernilai ekonomis tinggi dan bermanfaat.
Hasil kreasi dari sampah antara lain pupuk kompos, handicraft dari berbagai bahan
(plastik, kayu, sisik ikan, kertas, kain perca, dan lain-lain), payung, tas, serta barang
kebutuhan sehari-hari lainnya.
Dari kreativitas masyarakat, dihasilkan pula kompor dengan bahan baku sampah.
Kompor ini tidak saja murah, akan tetapi juga turut membantu mengatasi penumpukan
sampah, hemat energi serta menambah pendapatan.
Bahan dan bentuk kompor pun banyak ragamnya.
KOMPOR SEKAM
Sekam, adalah kulit bulir padi yang merupakan limbah dari pengolahan padi menjadi
beras. Limbah ini tidak banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, kecuali untuk membakar
batu bata yang berasal dari tanah liat. Untuk memanfaatkan sekam agar dapat digunakan
untuk keperluan memasak, diperlukan kompor khusus. Kompor ini di bagian bawah
terdapat tempat untuk sekam yang akan dipadatkan, biasanya berbentuk bundar.
Kemudian di atasnya terdapat tempat untuk meletakkan panci atau perlengkapan masak
lainnya.
KOMPOR LIMBAH GERGAJIAN KAYU
Sama halnya dengan sekam, limbah dari penggergajian kayu juga dapat digunakan
sebagai bahan bakar kompor. Gergajian kayu dipadatkan di kompor seperti halnya
kompor untuk sekam, kemudian dibakar. Nyala api yang dihasilkan dari pembakaran
gergajian kayu ini berwarna biru.
nara pidana dan orang-orang yang bermasalah untuk dibina menjadi perajin kompor
(kebetulan Darsono juga bekerja sebagai pegawai di Lembaga Pemasyarakatan).
Diharapkan, berbagai pihak khususnya pemerintah, peduli akan kreativitas masyarakat
untuk mengatasi masalah sampah dan energi ini dengan bijak dan langsung. Bantuan
training, marketing, modal, dan sosialisasi saat ini menjadi sangat penting untuk
pengembangan berikutnya.
http://www.edubenchmark.com/kompor-briket-limbah-menjawab-masalah-sampah-danenergi.html
19 September 2008 | 16:28 wib | Daerah
Di Magelang, Sampah Disulap Jadi Briket
Magelang, CyberNews. Warga Kampung Dumpoh, Kelurahan Potrobangsan, Kota
Magelang, memiliki keahlian di bidang pengelolaan sampah. Mereka dipilih Kementrian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai salah satu lokasi pilot project
pengembangan energi alternatif, yakni briket dari bahan baku sampah.
''Pengelolaan sampah menjadi briket saat ini menjadi usaha rumah tangga. Tapi nanti saya
harapkan menjadi usaha skala besar dan angotanya membentuk koperasi,''kata Asisten
Deputi Kemitraan dan Jaringan Usaha Kementrian Koperasi UKM, Herustiati, saat
meninjau lokasi pengelolaan sampah di Kampung Dumpoh.
Dalam kesempataan tersebut, pihaknya memberikan pendampingan dan memberikan alat
pengolah sampah menjadi briket. Timbunan sampah milik warga setempat yang telah
dikelola dengan baik, disulap menjadi briket untuk pengganti minyak tanah yang
sekarang ini sulit di dapat dan mahal.
Kondisi itulah yang mendorong Kementrian Koperasi dan UKM menjadikan Kampung
Dumpoh salah satu lokasi pilot project pembuatan energi alternatif dari sampah. Lima
daerah lainnya yang ditunjuk, antara lain Jombang Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Bekasi, Tangerang dan Bogor.
Dikatakannya, selain menghasilkan bahan bakar alternatif proyek tersebut merupakan
salah satu upaya melestarikan lingkungan. Sampah selama ini dipandang sebagai barang
tak berguna dan mengotori kotoran lingkungan, dimanfaatkan warga setempat untuk
disulap menjadi energi.
Herustiati mengakui, usaha yang dirintis saat ini masih dalam skala mikro dan dipasarkan
untuk kebutuhan rumah tangga. Meski demikian, pihaknya siap memfasilitasi produk
briket untuk dipasarkan ke perusahaan besar.
Dikatakannya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun Indocemen membutuhkan
briket tersebut 300 ton/hari.''Briket buatan warga bisa pengganti batu bara yang selama
ini dipakai PLN maupun Indocemen. Jika harga briket sampah terjangkau ini menjadi
peluang pasar yang menjanjikan,'' katanya.
( Sholahuddin Al-Ahmed / CN08 )
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2008/09/19/14179/Di.Magelang..Samp
ah.Disulap.Jadi.Briket
Peluang Usaha Briket Sampah Makin Terbuka Lebar
BANTUL, SELASA - Semakin mahalnya harga minyak tanah setelah program konversi
gas digulirkan, membuat peluang usaha briket sampah makin terbuka lebar. Masyarakat
seharusnya bisa menangkap peluang tersebut mengingat ketersediaan bahan baku sangat
memadai.
Hal itu diungkapkan Basriyanta, dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
(UGM), dalam pelatihan pengolahan sampah menjadi briket, di Balai Desa Gilangharjo,
Pandak Bantul, Selasa (18/11). "Saat inilah waktu yang tepat mengembangkan usaha usah
briket sampah, karena peluang besarnya cukup tinggi," katanya.
Menurutnya, dengan ditariknya minyak tanah bersubsidi membuat sebagian masyarakat
akan beralih ke bahan bakar alternatif yang lebih murah. Salah satunya adalah briket
sampah. Di daerah pedesaan, potensi sampah organik tergolong besar. "Selama ini
sampah organik hanya dibuang begitu saja. Padahal, sampah-sampah itu bisa diolah
menjadi barang komersial," katanya.
Untuk membangun usaha pembuatan briket sampah, lanjut Basiyanta, masyarakat bisa
membuat kelompok usaha. Lewat kelompok dana yang dikeluarkan untuk modal akan
lebih ringan. "Modalnya tidak terlalu besar karena bisa menggunakan peralatan-peralatan
sederhana seperti drum dan pipa untuk alat pengepresan," katanya.
Muryanto pembicara lainnya mengatakan, proses pembuatan briket sampah diawali dari
pembakaran sampah hingga menjadi arang. Selanjutnya arang digiling lalu dicampur
dengan perekat dan dicetak. Agar tampilan menarik, briket-briket itu dikemas dalam
plastik yang sudah diberi label.
"Cetakannya bisa bermacam-macam tergantung selera seperti kubus, silider, atau persegi
panjang. Harga jualnya berkisar Rp 2.000-2.500 per kilogram," katanya.
http://regional.kompas.com/read/xml/2008/11/18/20315766/peluang.usaha.briket.sampah
.makin.terbuka.lebar
Usama langsung bereaksi dan meyakini bahwa sampah dedaunan bisa juga dijadikan
briket.
"Jadi buat masyarakat jika banyak sampah daun-daunan sebaiknya jangan dibuang
begitu saja. Jangan juga cuma dibuat pupuk kompos. Ternyata sampah dedaunan
bisa dibuat menjadi briket. Caranya sangat mudah dan hasil penelitian saya ini
bisa diadopsi masyarakat Jakarta, " tutur Usman.
Hasil penelitian Usman dinyatakan berhasil dan berguna buat banyak orang. Di
SMA 17 Palembang, program pengolahan sampah dedaunan menjadi sebuah briket
diajarkan kepada siswa. "Kami menjadi pilot project buat sekolah lain," katanya.
Sementara itu, Arif Kusmianto (40), asal Sidoarjo, Jawa Tengah, yang sekarang
mengajar di SMAN 1 Bulukumba, Sulawesi Selatan, mempersembahkan hasil karya
berupa bahna bakar nabati dari biji-bijian.
Menurut arif, biji rambutan, biji buah banci, biji buah gayam, dan biji kelor
bisa dijadikan bahan bakar nabati. Caranya dengan merendam biji-bijian dari
satu jenis buah itu dicampur alcohol selama 24 jam atau sehari penuh.
Rendaman harus ditutup rapat sehingga terjadi penguapan.
Selanjutnya dilakukan proses destilasi yang bertujuan untuk memisahkan
penguapan tadi yang kemudian dibakar. "Hasilnya memang sedikit, karena sebagian
berubah menjadi seperti minyak nabati yang bisa digunakan untuk bahan bakar
ataun lilin.
Cara buat briket sampah
1. Kumpulkan sampah daun di halaman rumah
2. Sampah dibakar bersama campuran lem kanji dan arang batok kelapa.
3. Lamanya pembakaran tergantung dari volume sampah daun.
4. Campuran sampah daun, lem kanji, dan batok kelapa jangan sampai jadi arang.
5. Hasil pembakaran dicetak ke dalam pipa paralon.
6. Cetakan itu dikeringkan 1-2 hari dan hasilnya siap untuk memasak. Biasanya
untuk tukang sate.
Sumber : - Warta Kota
http://selatan.jakarta.go.id/bangunpraja/index.php?
option=com_content&task=view&id=89&Itemid=1
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
INOVASI KOMPOR SAMPAH
Sampah adalah benda tak berguna. Tapi, tahukah Anda, sampah bisa dijadikan
pencemaran udara, karena selama ini serbuk gergaji kayu yang ada hanya dibakar
begitu saja.Manfaat lainnya adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
bila pembuatan briket arang ini dikelola dengan baik untuk selanutnya briket
arang dijual.Bahan pembuatan briket arang mudah didapatkan disekitar kita
berupa serbuk kayu gergajian.
Cara Pembuatan Briket Arang :
1. Peralatan
a.. Ayakan ukuran lolos 50 mesh dan 70 mesh
b.. Cetakan briket
c.. Oven.
2. Bahan
- Serbuk gergaji
- Tempurang kelapa
- Lem kanji
Proses pembuatan media tumbuh jamur adalah sebagai berikut :
- Pengarangan
Serbuk gergaji dan tempurung kelapa dibuat arang dengan pengarangan manual
(dibakar).
- Pengayakan
Pengayakan maksud untuk menghasilkan arang serbuk gergajian dan tempurung
kelapa yang lembut dan halus. Arang serbuk gergaji diayak dengan saringan
ukuran kelolosan 50 mesh dan arang tempurung kelapa dengan ukuran 70 mesh.
- Pencampuran media
Arang serbuk gergaji dan tempurung kelapa yang telah disaring selanjutnya
dicampur dengan perbandingan arang serbuk gergaji 90 % dan arang tempurung
kelapa 10 %. Pada saat pencampuran ditambah dengan lem kanji sebanyak 2,5 %
dari seluruh campuran arang serbuk gergaji dan tempurung kelapa.
Pencetakan Briket Arang
Setelah bahan-bahan tersebut dicampur secara merata, selanjutnya dimasukkan ke
dalam cetakan briket dan dikempa.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
SAMPAH BISA JADI BRIKET
Jangan buang atau bakar daun yang berjatuhan! Sampah organik itu ternyata bisa
diolah menjadi briket atau bahan bakar padat untuk memasak. dengan demikian,
Anda tak perlu keluar uang atau pusing mencari minyak tanah atau gas.
Briket dari sampah dedaunan ini merupakan hasil penelitian usman (26), guru
SMAN 17 Palembang, Sumatra Selatan. Sarjana Biologi dari Universitas Sri-Wajaya
ini merupakan salah satu dari 10 peraih penghargaan dalam bidang pendidikan
sains. Usman memperoleh hadiah Rp 17,5 juta.
Ditemui usai penerimaan penghargaan di Ball Room Hotel, Sangrila Jakarta Pusat
Rabu (13/2), Usman menjelaskan, ide membuat briket dedaunan ini muncul tahun
2006. Gagasan itu terealisasi tahun 2007 dan dilombakan diajang Indonesia Toray
Science Foundation ( ITSF ) yang di gelar tiap tahun
Sebagai orang yang banyak menggeluti dunia Biologi, Usman teringat dengan batu
bara. Briket itu ternyata berbahan bakunya bisa dari mana saja. Saat itu juga
Usama langsung bereaksi dan meyakini bahwa sampah dedaunan bisa juga dijadikan
briket.
"Jadi buat masyarakat jika banyak sampah daun-daunan sebaiknya jangan dibuang
begitu saja. Jangan juga cuma dibuat pupuk kompos. Ternyata sampah dedaunan
bisa dibuat menjadi briket. Caranya sangat mudah dan hasil penelitian saya ini
bisa diadopsi masyarakat Jakarta, " tutur Usman.
Hasil penelitian Usman dinyatakan berhasil dan berguna buat banyak orang. Di
SMA 17 Palembang, program pengolahan sampah dedaunan menjadi sebuah briket
diajarkan kepada siswa. "Kami menjadi pilot project buat sekolah lain," katanya.
Sementara itu, Arif Kusmianto (40), asal Sidoarjo, Jawa Tengah, yang sekarang
mengajar di SMAN 1 Bulukumba, Sulawesi Selatan, mempersembahkan hasil karya
berupa bahna bakar nabati dari biji-bijian.
Menurut arif, biji rambutan, biji buah banci, biji buah gayam, dan biji kelor
bisa dijadikan bahan bakar nabati. Caranya dengan merendam biji-bijian dari
satu jenis buah itu dicampur alcohol selama 24 jam atau sehari penuh.
Rendaman harus ditutup rapat sehingga terjadi penguapan.
Selanjutnya dilakukan proses destilasi yang bertujuan untuk memisahkan
penguapan tadi yang kemudian dibakar. "Hasilnya memang sedikit, karena sebagian
berubah menjadi seperti minyak nabati yang bisa digunakan untuk bahan bakar
ataun lilin.
Cara menggunakan
Untuk pembakaran, FoST juga memperkenalkan kompor khusus yang disebut rocket
stove (kompor roket) berbentuk tabung dengan garis tengah sekitar 10 cm. Pada
bagian bawahnya dipasang kipas angin bertenaga baterai untuk membantu
pembakaran. Baterai yang digunakan, dua buah baterai 1,5 volt itu, yang tahan
untuk sebulan penuh. Cukup praktis.
Apa Indonesia bakal turut menggunakan teknologi tepat guna ini? Saya harap
begitu. Kita tunggu saja nanti.
Briket Limbah Menghilangkan Sampah
Berbicara mengenai sampah dan permasalahannya seakan-akan tidak ada habisnya.
Bahkan berbagai argumen dan solusi pemecahan masalah sampah sudah sering kali
kita dengar maupun baca dari berbagai media massa.
Kali ini, penulis tidak akan menyoroti sampah sebagai sumber permasalahan yang
menimbulkan polemik di masyarakat, tapi cenderung berasumsi sampah sebagai
sumber berkah.
Dari sekian banyak berita yang penulis baca, sebagian besar para penulis atau
"pakar" sampah menyodorkan berbagai pandangan alternatif pemecahan masalah
sampah hanya sebagai sebuah wacana yang belum terealisasi. Meskipun tidak
dimungkiri opini-opini tersebut secara keseluruhan bertujuan memberikan
kontribusi positif bagi pihak-pihak yang terkait dalam penanggulangan sampah.
Tetapi apa yang penulis utarakan dalam tulisan ini kiranya dapat dipandang
sebagai tindak konkret dalam penyelesaian masalah sampah.
Bagi penulis, sampah bukan objek yang perlu didakwa sebagai sumber masalah,
menjijikkan, sumber bencana, bau, polusi atau tetek-bengek lainnya. Alangkah
bijaksananya bila kita menyadari, sampah merupakan bagian realita hidup yang
harus dihadapi.
Hal yang perlu dikembangkan dalam setiap insani anggota masyarakat adalah
bagaimana caranya menjadikan sampah sebagai objek yang memberikan manfaat bagi
manusia dan lingkungannya?
Komposisi sampah
Bila melihat dari segi komposisi kandungan sampah, ternyata sampah memiliki
potensi luar biasa. Kandungan materi dan komposisi sampah terdiri dari sejumlah
mikroorganisme bermanfaat, bahan organik dan anorganik. Kedua elemen tersebut
telah terbukti memberikan manfaat cukup besar bagi peri kehidupan manusia.
Sampah anorganik seperti plastik, besi, atau bahan logam lainnya yang notabene
sulit terdemineralisasi mikroorganisme tanah, oleh sebagian masyarakat
hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri sampai tahun 2010.
Jadi, sudah selayaknya semua pihak memikirkan alternatif bahan bakar lain yang
tidak hanya mengandalkan bahan dasar minyak.
Berdasarkan percobaan yang penulis terapkan pada siswa-siswa kelas VII SMP
Negeri 3 Rancaekek, Bandung, ternyata diperoleh beberapa informasi mengenai
keunggulan briket sampah dibandingkan penggunaan bahan bakar minyak tanah atau
kayu.
Pertama, cara pembuatan briket sampah ini relatif mudah, murah dan tidak
memakan waktu lama. Cara pembuatannya mudah, karena yang diperlukan hanya
sampah organik yang mudah ditemukan di sekitar kita. Bahan dasarnya dapat
berupa, kayu-kayu sisa, daun-daun kering, makanan sisa, kertas.
Bahan-bahan tersebut, pertama-tama dibakar sampai menjadi bentuk arang berwarna
hitam pekat. Agar tidak sampai menjadi abu, pada saat bara api merata ke
seluruh bagian bahan, segera disiram air secukupnya.
Langkah selanjutnya, arang tersebut ditumbuk dengan menggunakan alat penumbuk,
martil, batu, atau alat-alat berat lainnya sampai menjadi halus. Saat menumbuk
ditambahkan daun-daun tanaman segar yang memiliki sifat lunak dan cukup
kandungan air. Daun-daunan ini dapat diambil dari sisa-sisa sampah pasar atau
sayuran yang sudah terbuang, contohnya bayam, kangkung, sawi, daun pepaya atau
jenis-jenis sayuran lain. Hal tersebut sekaligus dapat menjadi solusi
pengurangan penumpukan sampah yang banyak kita jumpai di pasar-pasar.
Persentase komposisi bahan pembuatan briket organik adalah 80% sampah organik
kering dan 20% campuran daun segar. Jadi bila ingin mencoba membuatnya,
seandainya sampah organik yang digunakan seberat 800 gram, maka daun segar yang
ditambahkan sebanyak 200 gram. Atau kelipatan dari jumlah tersebut.
Setelah kedua bahan tersebut tercampur rata, kemudian adonan dicetak dengan
ukuran dan bentuk menurut selera pembuatnya. Briket yang telah dibuat
selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari sampai kering.
Proses pengeringan bergantung kondisi cuaca. Pengeringan hanya memakan waktu
sehari bila matahari bersinar penuh. Sedangkan tanda-tanda briket sudah kering
atau belum mudah ditebak dengan cara meletakkan dan mengangkatnya di telapak
tangan.
Briket kering terasa lebih ringan dan jelaga di permukaan tidak terlalu
mengotori permukaan telapak tangan.
Nasi pulen
Sejumlah kelebihan penggunaan briket sampah organik adalah rasa dan aroma
masakan. Dari percobaan hasil pengolahan masakan yang menggunakan kompor minyak
tanah dan tungku briket sampah, diperoleh cita rasa berbeda. Nasi terasa lebih
pulen dan masakan lain lebih legit.
Berdasarkan hasil wawancara, 90% dari jumlah siswa dua kelas yang diuji coba
menyatakan, masakan dari bahan bakar briket lebih khas dibandingkan dengan
masakan dari bahan bakar minyak tanah yang kata mereka, "Bau asap!"
Kelebihan briket kedua adalah daya panas yang dihasilkan dari pembakaran briket
sampah tak kalah dibandingkan dengan bahan bakar minyak. Hasil percobaan
penulis, untuk memanaskan 1 liter air hanya memerlukan sekitar 300 gram briket
dalam waktu kurang lebih 12 menit (dengan catatan bara api sudah merata).
Di samping itu, briket sampah memiliki kemampuan penyebaran bara api yang baik,
tak mudah padam, dan tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk pengipasan.
Tanpa dikipasi pun briket sampah organik mudah menyala dengan stabil.
Kelebihan ketiga adalah volume asap yang dikeluarkan briket sampah tidak
sebanyak yang dihasilkan kayu atau minyak tanah. Dan yang lebih utama,
kandungan karbon dioksida dan karbon monoksida sebagai hasil sampingan
pembakaran tidak sedahsyat kayu atau bahan bakar minyak tanah.
Indikasinya, terlihat dengan reaksi para siswa yang berada di sekitar tungku
briket tidak mengalami gejala sesak napas atau mata pedih akibat iritasi,
seperti halnya yang dikeluhkan para ibu rumah tangga yang memakai minyak tanah.
Berkurangnya asap yang diproduksi disebabkan karbon dioksida, karbon monoksida,
dan kandungan air yang tersimpan dalam bahan briket telah direduksi pada saat
proses pembakaran pertama (arang).
Kelebihan keempat adalah peralatan tungku yang digunakan untuk keperluan bahan
bakar briket relatif lebih murah dan lebih mudah dalam perawatannya. Jenis
tungku yang digunakan terbuat dari tanah liat yang dibentuk sedemikian rupa.
Jenis tungku ini sudah dikenal sejak lama dalam masyarakat tradisional
Indonesia.
Dari segi aroma, briket sampah tidak jauh berbeda dengan bau khas arang yang
dibakar. Bahkan masyarakat daerah tertentu, seperti masyarakat pedesaan lebih
menyukai menggunakan bahan bakar nonminyak dengan alasan perbedaan rasa dan
aroma.
Briket Sampah
Ujang Sulap Sampah Jadi Briket
KOPRAL Kepala (Kopka) Ujang Solichin boleh dibilang prajurit rancage (kreatif). Di
sela-sela kesibukannya sebagai prajurit TNI ia mampu memanfaatkan waktunya dengan
ingat saja kejadian TPA Leuwigajah atau musibah longsor TPA Bantargebang baru lalu,
imbuhnya.
Menurut Ujang, tumpukan sampah kota yang dibuang ke TPA tersebut sebenarnya bisa
digunakan dan bermanfaat. Salah satu diantaranya dibakar jadi arang dan arangnya
kemudian jadi briket.
Dengan bahan baku serbuk gergaji, arang batok, limbah tapas kelapa kini Ujang
memproduksi arang briket 1-2 kuintal per hari dengan mempekerjakan sembilan pemuda
pengangguran dan putus sekolah.
Tiap orang diberi upah secara borongan Rp 300/kg briket. Seorang pekerja mampu
mendapatkan upah Rp 15.000/hari, tergantung produktivitasnya, ujar Ujang yang
melakoni usaha briket arangnya ini setelah meminjam uang dari BRI sebesar Rp 31 juta
untuk membeli dan membuat berbagai mesin.
Bila usahanya berkembang, menurut Ujang, pihaknya akan bekerja sama dengan
sejumlah SLB yang ada di Ciamis, merekrut pemuda cacat untuk jadi pekerja pembuatan
arang briket. Yang penting yang bersangkutan bisa melihat akan kami terima. Pemuda
cacat kan susah masuk kerja dimana pun, ujarnya.
Ujang sendiri sekarang mengaku pusing karena pesanan briket arang terus mengalir.
Misalnya dari Pabrik Peleburan Tima Aki di Leuwigajah sebanyak 10 ton perminggu.
Dan dari Perkebunan Teh di Bandung selatan sebanyak 50 ton per bulan.
Sementara kami hanya mampu memproduksi briket arang 7 kuintal sampai 1 ton
seminggu. Untuk saja mereka mau menampung berapa pun adanya, ujar Ujang yang
berniat segera menyerahkan usaha arang briketnya kepada yang lebih professional.
Saya tentu tetap mengutamakan tugas saya sebagai prajurit. Usaha briket arang akan
serahkan kepada yang lebih professional. Saya sekarang, hanya punya keinginan untuk
mempaten hak cipta briket arang ini. Cuma biayanya cukup besar, katanya sampai Rp 10
juta, tutur Ujang yang setelah tamat STM Dr Sutomo Cilacap tahun 1987 lalu langsung
membuat PLTA mini di Curug Panganten Desa Kepel, Cisaga sehingga mampu
menerangi dua desa. Tapi PLTA minihidro yang dikelola Ujang ini tersingkir setelah
listrik PLN masuk desa tersebut pada tahun 1992. Ujang sendiri memilih masuk jadi
prajurit TNI yang kini berdinas di Ciamis.
Dari tumpukan sampah masih banyak yang mungkin bisa digunakan. Seperti untuk
membuat pavingblock, eternity, keramik, batako dan segala macamnya. Tinggal sekarang
bagaimana memilah-milah sampah yang mungkin digunakan, ujar Ujang tentang idenya
yang masih belum terlaksana dalam pemanfaatan tumpukan sampah di TPA
Handapherang
Sumber : google.com
Prev: Metode Takakura Ubah Sampah Jadi Kompos
Next: blog
C
E
T
A
K
B
R
I
K
E
T
U
N
T
U
K
B
I
O
M
A
S
S
A
T
A
U
S
A
M
P
A
H
O
R
G
A
N
I
K
M
E
N
J
A
D
I
B
A
H
A
N
B
A
K
A
R
Negara Asal:
Harga:
Jumlah:
Kemas &
Pengiriman:
Indonesia
SESUAI KAPASITAS
chemaco.indonesia@gmail.com
untuk rumah tangga dan industri kecil di Nepal ikut membubung. Tapi, setiap kali
pemerintah menaikkan harga BBM, masyarakat bereaksi keras.
Unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM kerap berakhir rusuh. "Para demonstran
membakari ban-ban bekas dan asapnya mengotori kota," tutur Sanu. Problem laten ini
terjadi pula di kota-kota lain, seperti Bharatpur, Biratnagar, dan Nepalgunj. Kondisi ini
membuat Sanu yang pensiunan pegawai lembaga keuangan internasional itu putar otak
guna mengatasi masalah tadi.
Tahun 2003, bersama beberapa kawannya, ia mendirikan Foundation for Sustainable
Technologie (FoST). Lembaga ini berupaya secara mandiri turut mengatasi masalah
sosial dan lingkungan hidup di Nepal. Uluran bantuan dari lembaga-lembaga asing
bukannya tak ada, terutama untuk program perbaikan lingkungan hidup. Tapi Sanu
menolak. "Kami tak mau negara terperosok dalam utang. Kami ingin menunjukkan
kemampuan sendiri," tuturnya.
FoST akhirnya melirik potensi yang terkandung dalam sampah yang menumpuk dan
mengotori jalan dan sungai di Kathmandu dan kota-kota lain di Nepal. "Sebagian besar
sampah itu adalah bahan organik, limbah rumah tangga, dan pertanian sehingga masih
bisa diolah," kata Sanu.
Sekitar 76% penduduk Nepal memang masih menggantungkan hidup dari usaha
pertanian, terutama tebu, tembakau, dan gandum. Sektor ini menyumbang 39%
pendapatan kotor domestik Nepal yang mencapai US$ 39 milyar setahun. Sektor itu pula
yang menyumbang sampah-sampah organik yang mengotori Nepal.
Dengan memanfaatkan sampah untuk bahan bakar, FoST berniat ikut menyelesaikan
masalah sampah dan kelangkaan minyak sekaligus. Lantas muncullah ide pembuatan
briket sampah, meniru briket batu bara yang lebih dulu dikenal masyarakat Nepal.
"Hanya saja, residu dan asap briket batu bara sangat mengotori udara," kata Sanu.
Lagi pula, cara memproduksi briket sampah itu terhitung mudah. Briket ini pun, ketika
digunakan, relatif ramah lingkungan. Tak berasap dan tak beresidu. Lalu mulailah para
aktivis FoST memilah-milah berbagai jenis sampah yang mungkin untuk dibuat briket.
Sampah-sampah itu antara lain kertas, bambu, serbuk gergaji, ampas tebu, daun, dan
sampah organik lainnya.
Sampah-sampah jenis inilah yang dijadikan bahan mentah briket sampah. Caranya, kata
Sanu, sederhana. Setelah dipilah, material tersebut dimasukkan ke sebuah tong berisi air
yang dipanaskan. Lalu sampah-sampah itu dihancurkan dan diaduk laiknya membuat
bubur kertas. Tak ada bahan kimia yang digunakan.
Kemudian bubur sampah tadi dicetak. Bentuknya macam-macam. Ada yang seperti
cakram dengan lubang di tengahnya, ada juga yang berbentuk tablet. Ukuran garis
tengahnya 5 cm dengan tebal 5 cm pula. Ada juga yang dicetak dengan genggaman
tangan. Saat ini, FoST mengembangkan 10 jenis briket sampah.
Untuk pembakaran, FoST juga memperkenalkan kompor khusus yang disebut rocket
stove (kompor roket) berbentuk tabung dengan garis tengah sekitar 10 cm. Pada bagian
bawahnya dipasang kipas angin bertenaga baterai untuk membantu pembakaran. Dua
buah baterai 1,5 volt itu, menurut Sanu, tahan untuk sebulan penuh.
Tahun 2003 itu juga, FoST mengampanyekan penggunaan briket sampah sebagai
alternatif pengganti minyak tanah. Para tenaga penyuluh FoST tekun mendatangi rumahrumah penduduk. Mereka mendidik warga dalam memanfaatkan limbah rumah tangga
untuk dijadikan briket sampah untuk memasak. Hanya dalam tempo tiga tahun, hasilnya
segera terlihat.
Kata Sanu, kini hampir 80% penduduk Nepal sudah beralih menggunakan briket sampah.
Antrean pembeli minyak tanah pun makin jarang ditemukan. Dan yang membuat dia
senang, temuan sederhana ini ternyata bisa mengurangi volume sampah di Nepal.
"Sungai Bagmati, yang tadinya paling tercemar, kini sudah terlihat bersih," katanya.
Tahun 2007 ini, tutur Sanu, FoST mulai berpikir untuk membangun pabrik briket sampah
untuk kebutuhan industri. "Di sini ada 100 lebih pabrik pembakaran bata. Kami akan
memasok untuk kebutuhan itu," katanya. Briket ini akan dijual seharga US$ 15 per 30
potong seberat 1,5 kilogram. Dengan begitu, ia berharap, pencemaran udara dari pabrik
batu bata bisa ditekan.
Selain briket sampah, FoST juga membuat beberapa terapan teknologi sederhana lainnya,
semacam kompor, oven, dan alat pasteurisasi bertenaga matahari. "Pokoknya, kita harus
bisa mengubah sampah dan barang lain di sekitar kita menjadi energi untuk kebutuhan
hidup kita," kata Sanu mengenai prinsip organisasinya.
Beberapa pekan lalu, Sanu dan FoST berkesempatan memperkenalkan teknologi
sederhana itu dalam seminar Better Air Quality (BAQ) di Yogyakarta. Ia sempat
mendemonstrasikan penggunaan briket sampah itu. Ternyata bara api yang dihasilkan
briket sampah ini memang tak mengeluarkan asap dan residu berbahaya.
Beberapa aktivis lingkungan hidup Indonesia yang menyambangi gerai FoST menyatakan
apresiasinya atas usaha mereka. "Mereka bisa membuktikan, tanpa harus berutang bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan lingkungan hidup," kata Tubagus Haryo Karbyanto
dari Kaukus Lingkungan Hidup Indonesia.
Menurut Bagus, Indonesia seharusnya meniru semangat Nepal dalam menyelesaikan
persoalan lingkungan tanpa berutang. Ia sempat menyampaikan rasa kecewanya karena
untuk program BAQ di lima kota, termasuk Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya,
pemerintah mesti berutang ke Bank Pembangunan Asia sebesar US$ 219 juta. "Utang itu
akan membebani rakyat, sementara hasilnya belum tentu maksimal," tuturnya.
menengah.
Reporter/Kamerahttp://www.kompas-tv.com/content/view/7155/2/wan/Penulis:
Tomo, Jawa Timur/ Vo: Ola, Derly/ Editor: Dinda
Klik: 2413
Kli
k untuk melihat foto lainnya...
Sampah organik yang mencemari lingkungan ternyata dapat diolah menjadi briket
sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah. Cara mengolahnya mudah, penggunaannya
lebih hemat.
Purwanti tak pernah tampak pada barisan para ibu yang mengantre minyak tanah.
Sepuluh bulan terakhir warga Sidomulyo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, itu memang
meninggalkan minyak tanah. Ia memanfaatkan briket sampah sebagai bahan bakar. Briket
berwarna hitam sepanjang 6 cm itu ia masukkan ke dalam kompor. Begitu Suwarni
menyalakannya, lidah api biru membakar wajan atau ketel.
Sekilo briket terdiri atas 30 buah, cukup untuk memasak selama 2 jam. Jika durasi
memasak kurang dari sejam-misalnya 30 menit-ia tinggal mematikan nyala api dengan
cara menutup permukaan atas briket. Biobriket itu dapat dinyalakan ulang ketika
Purwanti hendak memasak lagi. Perempuan kelahiran 1976 itu membeli sekilo briket
Rp2.500. 'Saat ini susah sekali mendapat minyak tanah. Saya mencari hingga 50
kilometer dari sini, tapi tak ada. Kalau pun ada harganya mahal,' katanya.
Bandingkan dengan seliter minyak tanah yang juga digunakan selama 2 jam memasak.
Saat ini harga minyak tanah Rp5.000 per liter. Artinya, Suwarni menghemat Rp2.500 per
2 jam memasak. Briket yang digunakan Purwanti itu oleh Basriyanta, sang produsen,
disebut biobriket. Ada pula yang menyebutnya briket bioarang, briket biomassa, dan
briket sampah. Basriyanta memproduksi biobriket sejak 2007.
Mandiri
Untuk mencegah rusaknya lingkungan akibat pemakaian kayu bakar, Basriyanta
menawarkan biobriket. 'Biobriket teknologi alternatif atau tepatguna pengganti kayu
bakar yang lebih murah dan efektif,' kata alumnus Magister Sistem Teknik Universitas
Gadjah Mada itu. Selain itu peningkatan konsumsi minyak bumi mengakibatkan
menipisnya cadangan sumber energi yang tak terbarukan. Pemanfaatan biobriket
sekaligus menahan laju konsumsi energi fosil.
Dalam jangka panjang, penggunaan biobriket yang ramah lingkungan menjadi pengganti
bahan bakar minyak bumi. Menurut Basriyanta biomassa limbah industri, hutan,
perkebunan, pertanian, dan sampah-semua bahan baku biobriket-merupakan sumber
energi alternatif terbesar. Potensi energi biomassa mencapai 885-juta gigajoule per tahun.
'Sampah organik salah satu sumber biomassa potensial dalam bentuk padat atau biobriket,
gas (biogas), dan bentuk cair (bioliquid) sebagai bahan bakar organik ramah lingkungan,'
ujarnya.
Sayang selama ini sampah cuma dibuang atau dibakar sehingga mencemari lingkungan.
Padahal, jika diolah menjadi biobriket bermanfaat sebagai bahan bakar rumahtangga,
pengganti minyak tanah. 'Kita bisa mandiri, tidak tergantung pada minyak tanah.
Kelangkaan dan kemahalan minyak tanah tidak jadi masalah,' kata Basriyanta. Selain itu
harga beli biobriket relatif murah.
Menurut Nisandi, alumnus Magister Sistem Teknik Universitas Gadjah Mada, murahnya
biobriket karena untuk memperoleh bahan tanpa eksplorasi ke perut bumi. Bahan baku
biobriket diperoleh di halaman rumah. Beragam jenis sampah organik kering seperti
dedaunan, tongkol jagung, kulit kacang, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku. 'Selain
masalah energi, masalah sampah juga tertanggulangi dengan adanya briket sampah,' kata
Nisandi.
Pati singkong
Untuk membuat biobriket relatif sederhana. Basriyanta memasukkan bahan baku berupa
sampah organik kering ke dalam drum. Menurut Ketua Lembaga Sentra Inovasi Energi
itu, sampah terbaik adalah bonggol jagung. Setelah biji-biji jagung dipipil, tersisa
tongkol. Daun pohon berkayu keras juga lebih baik ketimbang daun berkayu lunak.
Bahan baku biobriket itu lalu dimasukkan ke dalam drum hingga sepertiga drum. Ia
lantas membakarnya dengan udara terbatas dalam drum.
Dalam proses pembakaran itu terjadi proses pirolisis atau karbonisasi. Pirolisis yaitu
proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen. Material mentah mengalami pemecahan
struktur kimia menjadi fase gas sehingga menimbulkan karbon sebagai residu.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Nasional
Malang, Jawa Timur, membuat briket sampah di laboratorium kampus, Sabtu (26/4),
untuk mengatasi semakin mahalnya harga bahan bakar di pasaran. Briket sampah ini
memiliki kandungan kalori 3.000 joule hingga 5.000 joule, bisa menyala selama 4 jam.
Satu kilogram briket sampah sama dengan 1,5 liter minyak tanah. Briket sampah
merupakan bahan bakar terbarukan (renewable resources).
/
Artikel Terkait:
Tegep, Tetap Tegap dengan "Boots"
Yusuf Zainal, Raja Kerupuk dari Indramayu (3)
Yusuf Zainal, Raja Kerupuk dari Indramayu (1)
Anindya Bakrie, Kenal Bisnis Sejak Balita
Kristison, Menjadi Dokter Gigi karena Pulsa
Kamis, 2 April 2009 | 08:49 WIB
Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia masukkan ke
dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam. Agar cepat dingin,
arang kulit kacang itu kemudian dijemur. Setelah dihancurkan hingga menyerupai tepung,
adonan itu diaduk dengan lem kanji. Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket
siap pakai. Eny Prihtiyani
Warga Dusun Plebengan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, DI
Yogyakarta, ini menggeluti usaha itu setidaknya sejak lima tahun terakhir. Briket
produksinya itu sudah dipasarkan ke berbagai kota, seperti Surabaya dan Jakarta.
Sebagian besar pelanggannya adalah kalangan industri rumah tangga.
Gagasan membuat briket kulit kacang muncul ketika Edy menghadapi banyaknya sampah
kulit kacang di daerahnya. Sampah itu dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau dibuang
begitu saja di kebun-kebun. Di rumahnya sendiri, sampah kulit kacang juga tidak kalah
banyaknya. Apalagi istrinya adalah pengepul kacang tanah.
Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah dikupas,
oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama di Beringharjo.
Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk, katanya.
Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat pengupas
kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia sempurnakan hingga
kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya setelah mengamati alat
perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.
Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin banyak. Tidak
hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung Kidul dan Kulon Progo. Itu
membuat usaha istri saya berkembang pesat. Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya
sampah kulit kacang di rumah kami, ujarnya.
Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu seharga
Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai sebagai bahan bakar
mengolah tahu.
Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan tentang
pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. Saat itu yang
diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun, karena bahan
bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya saya coba saja, cerita
Edy.
Eksperimen
Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk gergaji. Dia
khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya tidak bisa sempurna.
Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan hanya menggunakan kulit
kacang.
Keuletan dan ketelatenan Edy melakukan eksperimen membawanya pada satu
kesimpulan, yakni briket bisa dibuat dari semua jenis limbah organik. Selain kulit kacang,
briket juga bisa dibuat dari bahan baku seperti cangkang jarak, tempurung kelapa, dan
tongkol jagung.
Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku yang lain.
Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit kacang praktis selalu
tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit kacang kadang memang agak
berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya saya beralih ke tongkol jagung, katanya.
Dalam sehari Edy bisa memproduksi sekitar 70 kilogram briket. Setiap 1 kg briket
membutuhkan sekitar 2 kg kulit kacang. Jadi, dalam sehari kebutuhan bahan bakunya
mencapai 180 kg kulit kacang.
Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari petani
seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy menjualnya dalam
bentuk kemasan 2 kg.
Produksinya memang belum terlalu tinggi, padahal permintaannya cukup banyak. Salah
satu kendalanya adalah peralatan yang kami gunakan sebagian besar masih tradisional.
Kalau saja ada investor yang tertarik, mungkin usaha ini bisa dikembangkan lebih
maksimal mengingat potensi sampah organik di sini sangat besar, ujar Edy.
Sederhana
Semua peralatan yang dipakai Edy memang tergolong sederhana. Ia memodifikasi
semuanya sendiri. Latar belakang pendidikan teknik mesin semasa belajar di STM 2 Jetis
Bantul ternyata cukup membantu.
Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan meniru
prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia menghabiskan sekitar Rp 2
juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai Rp 5 juta. Untuk mencetak briket,
Edy juga memanfaatkan alat cetakan genteng yang sudah dia modifikasi.
Untuk memanfaatkan briket, konsumen tinggal membeli tungku yang terbuat dari tanah
liat seharga sekitar Rp 10.000. Sebelumnya memang belum ada perajin gerabah yang
membuat tungku untuk briket. Ketika itu yang ada tungku dari besi seharga Rp 150.000.
Setelah saya bicarakan dengan para perajin, mereka lalu memproduksi tungku gerabah
sehingga konsumen tidak kesulitan mendapatkannya, kata Edy.
Untuk menyalakan briket di tungku gerabah tidaklah susah. Caranya, briket ditaruh di
lubang di atas tungku lalu dinyalakan dari atas. Menyalakannya pun tidak sesulit briket
batu bara. Untuk menyalakan api, orang bisa menggunakan bantuan secuil kain atau
kertas.
Keuletan Edy dalam mengembangkan usahanya ternyata mendapat respons positif.
November tahun lalu dia berhasil menggondol juara pertama tingkat nasional kategori
pengembangan entrepreneurship yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia
bekerja sama dengan Citi Peka.
Penghargaan itu membuat Edy semakin bersemangat. Atas prestasinya tersebut, dia
mendapat hadiah Rp 11 juta. Rencananya uang itu akan dimanfaatkan untuk
mengembangkan usaha.
Dia yakin, usahanya akan semakin berkembang mengingat ketersediaan minyak tanah
bersubsidi semakin langka. Di wilayah Kota Yogyakarta dan Sleman, misalnya, minyak
tanah bersubsidi sudah ditarik, sedangkan di kawasan Bantul kemungkinan hanya sampai
Desember mendatang.
Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan semakin
banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif, kata Edy.
Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg briket bisa
menghasilkan panas hingga sekitar dua jam.
Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit dibandingkan
dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi, sayur, dan lauk, jika
menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan sekitar satu liter minyak yang
harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi). Jika memakai briket, hanya mengeluarkan
uang Rp 2.500.
Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga sehingga
tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy. (Eny Prihtiyani)
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/04/02/08493451/edy.dan.briket.kulit.k
acang