(Sanderson 1993:9).
Negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia yang saat ini telah mengalami
perkembangan melalui indutrialisasi, agricultur, urbanisasi, ekonomi, sosial dan politik
ternyata menuai banyak permasalahan dan berimplikasi ke wilayah pedesaan, dimana
hubungan sosial,politik, hingga kelembagaan yang terbentuk di masyarakat pedesaan
dimana nilai-nilai tradisional semakin tergerus oleh budaya modernisasi. Sehingga yang
menjadi pertanyaan Apakah teori struktural fungsional masih relevan dalam
menjelaskan kondisi pedesaan saat ini?. Kondisi pedesaan saat ini yang ada di Indonesia
bisa dikatakan bukan lagi pedesaan yang sangat tradisional ditambah program
kemiskinan, teori struktural fungsional bisa dipakai untuk melihat situasi sosial yang
berjalan saat ini. Hal ini bisa dilihat dari sistem yang berjalan, mulai dari lembaga
perekonomian, kebijakan pemerintah, peran-peran lembaga hukum dan agama, serta
peran keluarga dan pendidikan dalam kontribusinya terhadap kemiskinan.
Kemiskinan memiliki cakupan yang luas dalam definisinya, seperti kemiskinan
yang berkaitan dengan pembangunan, yaitu kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat
rendahnya pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh
hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). Kemiskinan sosial, seperti kemiskinan
yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas, dan terakhir
kemiskinan konsekuensional, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian
lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam,
kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk (Suharto 2005). Analisis
struktural fungsional tidak melihat kemiskinan sebagai sebuah konflik kelas, akan tetapi
melihat sistem yang berperan dalam kemiskinan seperti situasi sosial di desa Babakan
Kabupaten Pangandaran.
Batavia. Ada seorang senopati yang bernama Sutawijaya membuka daerah ini. Babakan
berasal dari kata ngababak, yang artinya membuka hutan untuk tempat tinggal
penduduk dan areal pertanian. Selanjutnya Babakan dipimpin oleh keturunan Wira
Manggala, Kuwu pertama desa Babakan. Kuwu adalah sebutan untuk kepala desa pada
masa lampau. Oleh karenanya trah Wira Manggala, dulu merupakan kalangan terhormat
di Babakan dan memiliki posisi sosial yang tinggi di desa. Sampai saat ini sudah 19
kepala desa dalam generasi kepemimpinan yang pernah menjabat di desa Babakan. Pada
periode tahun 2000-2010 Desa ini mengalami beberapa pergantian kepala desa, berganti
setiap 2 tahun sekali dan tidak sampai menyelesaikan hingga akhir jabatannya karena
diminta turun oleh masyarakat oleh karena terjadinya kasus penyalahgunaan
kewenangan.
Menurut penuturan tokoh masyarakat, penduduk desa Babakan terdiri dari dua
golongan besar yaitu penduduk Sunda yang bermigrasi dari Tatar Pasundan, yakni dari
Ciamis, Tasikmalaya dan sekitarnya, dan penduduk Jawa yang bermigrasi dari
Banyumas (Kebumen) dan sekitarnya tahun 1965. Ada dugaan bahwa migrasi dari Jawa
Tengah terjadi berkait tuduhan sebagai PKI pada masa itu. Masyarakat desa Babakan
juga mengalami kekerasan yang terjadi pada masa pemberontakan DI/TII dimana
wilayah ini dijadikan markas persembunyian. Masyarakat Babakan di beberapa dusun
yang berdekatan dengan pantai mengalami bencana tsunami pada tahun 2007 yang
mengakibatkan kerusakan fisik dan korban jiwa.
bertransformasi menjadi wilayah perkotaan. Hal ini bisa dilihat dari skema program
PNPM yang bukan PNPM Perdesaan namun masuk dalam kategori PNPM Perkotaan.
Jumlah penduduk desa Babakan pada tahun 2007 adalah 9.447 jiwa terdiri dari
4.548 (48,1%) laki laki dan 4.899 (51,9%) perempuan. Penduduk terbagi ke dalam 2
etnis besar, yaitu Sunda dan Jawa. Sebagian besar orang Jawa berasal dari daerah
Kebumen yang berpindah sejak 1-2 generasi sebelumnya. Bahasa sehari-hari di desa
Babakan adalah bahasa Sunda dan Jawa (Banyumasan). Sebagai desa pertanian yang
dekat dengan lokasi pariwisata, sebagian besar masyarakat bermata pencaharian
sebagai petani dan buruh tani, selain juga menjadi nelayan, pedagang/pengusaha kecil
dan pekerja bidang jasa di daerah wisata Pangandaran.
melakukan mobilitas yaitu bermigrasi sirkuler ke kota (terutama Bandung dan Jakarta)
untuk bekerja sebagai buruh pabrik, pengasuh bayi atau pembantu rumahtangga.
Migrasi sirkuler juga dilakukan pelajar, terutama untuk bersekolah kejuruan ke Ciamis
hingga Tasikmalaya.
Kondisi infrastruktur desa tergolong baik, seperti fasilitas jalan kabupaten dan
jalan antar kampung yang telah disemen dan Setelah tsunami dibangun jalan yang
menjadi jalur evakuasi dari pantai menuju jalan utama (jalan kabupaten) yang
pembangunannya merupakan bantuan dari organisasi sosial luar negeri. Air bersih
berasal dari sumber air dekat cagar alam Pananjung
penduduk dalam kondisi layak tinggal. Kondisi infrastruktur desa tergolong baik,
seperti fasilitas jalan kabupaten dan jalan. Di jalan utama ada SPBU, Pusat penjualan
oleh-oleh, hingga Pusat Penelitian penyakit Bersumber Binatang dari DepKes.
Perkembangan wisata dan penetapan sebagai kabupaten membuat desa ini semakin
terbuka dan fasilitas umum semakin baik untuk menyokong Pangandaran sebagai salah
satu tujuan wisata.
sesungguhnya adalah pedesaan. Dia hanya menduga bahwa hal ini terkait dengan
proyeksi bahwa wilayah ini akan menjadi perkotaan seiring dengan ditetapkannya
Pangandaran sebagai kabupaten.
Berdasarkan penuturan fasilitator PNPM, salah satu temuan masalah mereka di
desa Babakan adalah semakin lunturnya ikatan sosial dan kegotong-royongan
masyarakat. Ketika mengadakan pertemuan kelompok, sering kali masyarakat
membandingkan waktu jika bekerja akan mendapatkan hasil berapa rupiah padahal
kegiatan adalah untuk mereka sendiri, pembangunan saranan prasarana sebenarnya
adalah mereka yang akan merasakan gunanya.
Program PNPM adalah sebuah program yang berusaha mengajak masyarakat
untuk
merencanakan,
melakukan
dan
memonitoring
dan
evaluasi
kegiatan
(2000-2004), ketua KTNA Kecamatan Pangandaran, dan ketua kelompok tani Mitra
Saluyu, terdapat 8 kelompok tani di desa Babakan. Mitra Saluyu memiliki anggota 60
orang dengan luas sawah 25 Ha. Hal ini mengakibatkan ikatan sosial dalam kelompok
menjadi lebih menurun, meski dari segi penerapan program dan teknologi lebih efisien.
Berbagai program pemerintah telah diberikan kepada kelompok tani, terutama
adalah bantuan sarana produksi dan alat pertanian seperti handtractor. Namun bantuan
seringkali tidak tepat waktu , misalnya bantuan benih atau pupuk cair datang ketika
petani sudah menanam. Hal tersebut membuat bantuan menjadi sia-sia. Pemerintah juga
mendorong kelompok untuk membentuk gapoktan (gabungan kelompok tani), namun
gapoktan desa Babakan tidak aktif dalam 3 tahun terakhir sehingga aktivitas petani lebih
berbasis di tingkat kelompok. Gapoktan pernah menerima bantuan ketahanan pangan
dari pemerintah sebesar Rp.70 juta di tahun 2002 namun terjadi salahurus sehingga
bantuan tidak bergulir dan kurang tepat sasaran.
Meskipun kegiatan bertumpu pada kelompok, alasan sibuk mencari nafkah
membuat kegiatan kelompok tidak berlangsung efektif. Pernah ada kegiatan sekolah
lapang yang justru lebih banyak dihadiri perempuanyang mewakili para suami yang
sibuk bekerja. Itupun kegiatan hanya berlangsung satu bulan, dari semai hingga padi
berbunga. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa program sekolah lapang
dipandang hanya proyek semata, yang penting terlaksana. Peran penyuluh pertanian
minim karena jarang mengunjungi langsung petani di sawah. Di sisi lain, perempuan
sebagai peserta sekolah lapang dinilai lebih berhasil karena perempuan memang banyak
melakukan kegiatan pertanian.
Sebagian sawah desa Babakan adalah sawah guntai, dimana pemilik sawah
adalah berasal dari luar desa. Luasan sawah milik semakin mengecil karena faktor
pembagian waris berdasarkan jumlah anak yang dimiliki. Rata rata petani memiliki
lahan 50-150 bata (1 bata = 14 m2), namun ada pemilik sawah yang memiliki sawah 9
hektar. Harga sawah terus meningkat dan bisa mencapai jutaan untuk setiap bata
terutama untuk sawah yang dekat jalan. Berdasarkan wawancara, jual beli sawah
cenderung lebih lambat ketika tumbuh pariwisata. Sebagian besar petani lahan sempit
memiliki penghasilan ganda,
perdagangan dan jasa.
sektor
Informasi dari beberapa petani yaitu Muhaimin (73 tahun), Pidin (49 tahun), dan
sepasang suami istri yaitu Dopir dan Mursinah (usia mereka sekitar 60 tahun). Pak
Muhaimin memiliki 60 bata dgn hasil 400kg per panen. Padi ini dikonsumsi sendiri.
Untuk kebutuhan lain, pak Muhamin berjualan es, rokok dan gorengan, sedang istrinya
berjualan pecel. Dopir dan Mursinah menyebut produksi padi mencapai 8-9 ton per
hektar, angka yang relatif tinggi dibanding produksi di daerah sentra padi seperti
Pantura, dengan harga jual Rp. 4.800/kg gabah kering. . Namun demikian keuntungan
petani tak besar karena
berkurang karena serangan hama. Pak Muhamin, misalnya, menyebut pada panen lalu
dua pertiga panennya hilang akibat serangan hama tikus
Masalah utama petani adalah hama penyakit tanaman dan ketersediaan air.
Hama yang dirasa paling sulit diatasi adalah tikus yang pemberantasannya memerlukan
kegiatan bersama (tanam serempak, gropyokan), hal yang mulai memudar di kalangan
petani. Tanam serempak sulit dilakukan karena pemilik sawah guntai menentukan
waktu tanamnya sendiri, berbeda dengan petani sehamparan. Kegotong-royongan juga
memudar dalam pengelolaan air irigasi, dimana saat ini dikelola oleh P3A Mitra Air
yang menarik biaya iuran air pada petani. Sistem iuran ini mengakibatkan petani kurang
memperhatikan kondisi saluran tersier karena merasa sudah membayar. Kerusakan dan
pendangkalan saluran tersier berujung pada kasus perebutan air. Kesulitan lain adalah
berkurangnya tenaga buruh tani untuk tanam dan olah lahan. Buruh tani sebagian besar
berumur tua. Pada faktanya upah buruh cangkul adalah Rp. 30ribu/hari kerja, buruh
rambet dan tanam Rp.20ribu/hari, buruh bangunan Rp.40ribu/hari untuk kenek dan
Rp.50ribu/hari untuk buruh bangunan utama (tukang). Minat generasi muda di sektor
pertanian makin minim, karena tersedianya banyak lapangan usaha dalam perdagangan
karena tumbuhnya pariwisata.
Tanaman kayu yang ditanam adalah jenis cepat panen dengan permintaan pasar
tinggi, seperti sengon/albasia dan jabon. Oleh masyarakat setempat, albasia disebut
emas hijau karena pendapatan dari panen per 3-5 tahun sangat besar. Adalah petani
albasia dari Pagergunung, desa sebelah yang berbukit, yang belakangan menjadi
pembeli tanah sawah di desa. Pendapatan pertanian yang juga penting berasal dari
kelapa dan tanaman kayu. Buah kelapa dipanen muda ataupun tua (dipasarkan untuk
kelapa santan atau kopra), atau bunga kelapa disadap dan diolah menjadi gula kelapa
perbandingan harga kelapa muda dengan gula kelapa. Pada saat kunjungan (Nopember
2012), harga gula kelapa yang mencapai Rp.11,000/kg (setara harga gula pasir)
membuat pemilik kelapa memilih sadap dibanding petik.
Desa tersebut juga dijumpai warga yang membuat gula kelapa, seperti salah
seorang Ibu pembuat gula kelapa menghasilkan gula kelapa 10 kg per hari (waktu
memasak sekitar 6 jam) . Produksi lebih rendah pada awal musim hujan, saat kelapa
berakar muda. Saat nira banyak, produksi gula kelapa mencapai 15kg/hari. Apabila
nira berasal dari pohon kelapa milik orang lain, pemilik pohon mendapatkan 2kg gula
per bulan per pohon. Bandar gula kelapa adalah tetangga pemilik usaha pengupasan
kelapa.
Wilayah desa Babakan yang berdekatan dengan wilayah pesisir membuat
sebagian masyarakatnya juga bekerja sebagai nelayan. Pak Supri, nelayan udang asal
Cilacap. Ia bermigrasi ke Pangandaran sekitar 6 tahun lalu, selain bekerja sebagai
nelayan udang juga menyewakan perahu untuk wisata. Pekerjaan sebagai nelayan dan
kapal pesiar juga dikerjakan anak pak Dopir dan bu Marsinah. Pak Supri pindah ke
Pangandaran agar dekat pemasaran hasil tangkapannya dan ada penampung hasil laut
seperti Ibu Susi, dan banyak hotel/restoran yang memerlukan ikan segar, hal mana tak
ada di Cilacap.
Penyediaan lapangan pekerjaan yang memadai di desa Babakan sangat terbatas.
Kemampuan yang terbatas serta keinginan untuk menghasilkan pendapatan yang lebih
banyak membuat sebagian masyarakatnya lebih memilih menjadi TKI. Namun Di
Babakan didapati kasus pelanggaran kontrak kerja TKW seperti pembayaran gaji yang
tidak sesuai. Cukup banyak perempuan desa Babakan yang menjadi pengasuh bayi
atau pembantu rumah tangga di Bandung atau Jakarta.
Kasus yang dialami Abah Duwong yang juga seorang petani, dimana oleh anak
perempuan saat menjadi TKW di Dubai sedang jatuh sakit. Berbeda dengan Kuwait
dan Arab Saudi yang biaya berobat gratis, di Dubai ia harus mengeluarkan biaya
pengobatan sendiri.. Kondisi tersebut membuat anak Abah melarikan diri dari
majikannya, bekerja secara ilegal, namun kemudian ditangkap polisi.
Untuk
memulangkan anaknya, Abah membayar Rp.11 juta untuk membayar hutang biaya
berobat dan tiket pesawat pulang. Tak ada bantuan diperoleh dari Konjen RI di Dubai.
minuman keras dan . Tsunami 2007, meluluh lantakkan bangunan di Bulaksetra, daerah
dekat pantai dan baru setahun kemudian kegiatan wisata mulai pulih..
Masalah sosial penting adalah migrasi keluar dan migrasi masuk pada
masyarakat desa Babakan. Pada satu sisi, keberadaan pariwisata mampu menyerap
tenaga kerja dan memberi tambahan pendapatan bagi masyarakat, namun pada sisi lain
hanya tenaga kerja yang siap masuk dalam ekonomi wisata yang mampu bersaing.
Masyarakat yang tidak terserap kemudian merantau keluar desa untuk menjadi buruh,
karyawan maupun pembantu rumah tangga. Sebaliknya ekonomi wisata juga
mengakibatkan arus migrasi masuk ke desa, untuk meraup pendapatan dari sektor ini.
Kesimpulan
Sistem sosial dan kemiskinan akan selalu berkaitan, dimana lembaga ekonomi
masyarakat, sistem kebijakan pemerintah, kelembagaan yang terbentuk di Desa
Babakan, serta pendidikan menjadikan sebagian warga desa Babakan berada dalam
garis kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana sistem tersebut bekerja. Adaptasi
masyarakat bisa dilihat dari lembaga ekonomi warga desa Babakan khususnya petani
dan nelayan banyak mengalami periode pasang surut sehingga mereka harus melakukan
pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang ojek, penjual es hanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Namun penghasilan yang mereka dapat tidak dapat
memenuhi kebutuhan, dan terkadang mereka harus berhutang. Ditambah pendidikan
yang mereka miliki tidak dapat digunakan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.
Pencapaian tujuan melalui kebijakan pemerintahan desa hanya bisa menjalankan
program yang tersedia namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan warga desa
Babakan. Pembangunan pariwisata yang dilakukan pemerintah daerah hanya akan
membuat sebagian petani dan warga desa kehilangan lahan karena dijual untuk
pembangunan kios-kios, dan hotel. Selain itu pembangunan pariwisata membuat buruh
tani semakin berkurang karena banyak beralih ke sektor pariwisata dan menjadi buruh
bangunan karena penghasilan sebagai buruh petani lebih rendah dibanding sebagai
buruh bangunan.
Teori struktural Fungsional bisa digunakan dalam menangkap fenomena
kemiskinan di masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari sistem-sistem yang berkaitan
sehingga kemiskinan masih lenggeng di masyarakat. Setiap sistem menjalankan
fungsinya, namun kemiskinan tetap ada, baik dalam bentuk kemiskinan struktural,
kultural, absolut, dan relatif karena pembangunan wilayah dan ekonomi tidak
menyentuh masyarakat miskin secara langsung tetapi melanggengkan sistem sosial yang
ada.
Daftar Pustaka
Alvin Y.So, Suwarsono. 2006. Perubahan sosial dan Pembangunan. LP3S. Jakarta.
Kelompok 4 Desa Babakan Field Trip Pangandaran Pascasarjana SPD IPB. 2012.
Laporan Studi Lapangan Pangandaran. SPD IPB. Bogor.
Pemerintah Kabupaten Ciamis. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJM-Des). Badan Permusyawaratan Desa. Desa Babakan Kecamatan
Pangandaran
Ritzer George, Goodman J Douglas (Editor:Inyiak Ridwan Muzir). 2012. Teori
Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Kreasi Wacana. Bantul.
Suharto dan Edi. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.