Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TERRESTRIAL

Pengamatan Ekosistem Terrestrial


Mega Indriyanti Nuris

1110095000001

Arif Raditya Nugraha

1110095000007

Fuad Albani

1110095000011

Mirjani Adila

1110095000020

Renny Ambar Puspitanigrum

1110095000021

Firdaus Ramadhan

1110095000026

Sara Fadlah Iq

1110095000031

Kelompok / Semester : 1 (Satu) / 5 A


Tanggal Praktikum

: 10 11 Oktober 2012

Tanggal Pengumpulan : 16 Oktober 2012

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Ekologi yang merupakan suatu pengkajian ilmiah mengenai ekosistem

(Cambell, Reece, Mitchell, 2004), sedangkan ekosistem merupakan hubungan timbal


balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (Resosoedarmo, Kartawinata,
Soegiarto, 1985). Terestrial merupakan wilayah daratan atau permukaan tanah.
Ekosistem Terestrial merupakan hubungan timbal balik antar makhluk hidup dan
lingkungannya di wilayah daratan.
Pada tingkatan inklusif, suatu ekosistem melibatkan dua proses yang tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya pada tingkat yang lebih rendah, yaitu aliran energi dan
siklus kimia (Cambell, Reece, Mitchell, 2004). Pada dasarnya ekosistem merupakan
bagian dasar dari suatu ekologi, dimana aliran energi dan siklus kimia masuk dan
berada pada dua komponen di dalam suatu ekosistem, yaitu komponen biotik dan
komponen abiotik (Resosoedarmo, Kartawinata, Soegiarto, 1985).
Berdasarkan apa yang telah dipelajari, bahwa suatu ekosistem selalu terdiri
dari komponen abiotik dan biotik baik di daratan maupun di wilayah perairan.
Pengidentifikasian suatu ekosistem merupakan awal dari pembelajaran ekologi yang
sangat penting, maka dari itu pengamatan ekosistem di sekitar merupakan salah satu
tahap dalam pembelajaran mengenai ekosistem.
1.2. Tujuan
1. Mengamati komponen biotik dan abiotik pada beberapa ekosistem terestrial.
2. Mengetahui cara penggunaan alat-alat pengukuran komponen abiotik dan
biotik pada beberapa ekosistem terestrial.
3. Mengenal perbedaan dan kesamaan berbagai keadaan ekosistem terestrial.
4. Mengetahui batasan-batasan faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi
pada beberapa ekosistem terestrial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Ekosistem
Ekosistem merupakan bagian dari tingkat organisasi, makhluk hidup

mempunyai tingkat organisasi dari tingkat yang paling sederhana sampai tingkat yang
paling kompleks. Sebuah ekosistem terdiri atas semua organisme hidup (faktor
biotik) dan lingkungan abiotik (udara, tanah, air) yang mengelilinginya serta dapat
menompang semua kebutuhan hidupnya sendiri dengan bantuan sinar matahari.
Misalnya sebuah hutan, danau, padang rumput, kolam. Dengan bantuan energi
matahari, tumbuhan yang berklorofil mampu mengubah senyawa anorganik (CO2
dan H2O) menjadi senyawa organik (C6H12O6) melalui fotosintesis (Campbell,
2009).
Ekosistem merupakan kesatuan interdependen dari masyarakat biotik dan
lingkungan abiotiknya atau dapat juga dikatakan sebagai interaksi antara populasi
dalam suatu komunitas biotik dengan faktor abiotiknya (Djarubito, 1989). Batas
ekosistem umumnya tidak dapat dipastikan dengan jelas. Ekosistem dapat berawal
dari mikrokosmos laboratorium, danau hingga hutan. Para ahli ekologi menganggap
keseluruhan biosfer sebagai suatu ekosistem global yang merupakan gabungan
seluruh ekosistem yang ada di bumi. Faktor-faktor abiotik yang mempengaruhinya
adalah suhu, air, cahaya matahari, iklim serta tanah dan batuan (Campbell et al,
2004).
Terdapat organisme yang mempunyai kemampuan menyusun bahan organik
dalam suatu ekosistem, organisme tersebut dibagi menjadi dua, yaitu organisme
autotrof dan organisme heterotrof. Organisme autotrof merupakan organisme yang
menghasilkan senyawa organik kompleks (seperti karbohidrat, lemak, dan protein)
dari zat-zat sederhana yang ada di sekitarnya, umumnya menggunakan energi dari
cahaya (oleh fotosintesis) atau anorganik reaksi kimia (kemosintesis). Semua
organisme yang berklorofil termasuk ke dalam organisme autotrof karena mereka
dapat melakukan fotosintesis. Contohnya adalah tumbuhan hijau. Organisme

heterotrof adalah organisme yang tidak dapat menyusun zat anorganik menjadi zat
organik sehingga ia mendapatkan nutrisi dengan cara memakan organisme lain.
Berdasarkan jenis makanannya, organisme heterotrof dibedakan menjadi
herbivora, kelompok hewan pemakan tumbuhan. Karnivora, kelompok hewan yang
memakan hewan lain atau daging. Omnivora, kelompok hewan yang memakan
segalanya, baik tumbuhan maupun hewan lain. Scavenger (pemakan bangkai),
kelompok hewan yang memakan tubuh hewan lain yang sudah mati, dan detrivor,
kelompok hewan yang memakan detritus (Gunawan, 1994).
2.2.

Faktor Abiotik dan Biotik dalam Suatu Ekosistem


Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah komponen tak hidup

(abiotik) dan komponen hidup (biotik). Komponen abiotik berupa cahaya matahari,
air, udara, angin, tanah dan lain-lain. sedangkan komponen biotik berupa organisme
yang hidup yaitu bakteri, jamur, tumbuhan, hewan dan manusia. Kedua komponen
tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang
teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan,
tumbuhan air, plankton yang terapung di air sebagai komponen biotik, sedangkan
yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang
terlarut dalam air (Sujarwanta, 2008).
2.2.1. Faktor Abiotik
Faktor abiotik adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia.
Faktor fisik utama yang mempengaruhi ekosistem adalah sebagai berikut :
2.2.1.1. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang
diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup
pada kisaran suhu tertentu. Suhu lingkungan merupakan faktor penting dalam
ekosistem karena pengaruhnya pada proses fisiologis organisme penghuni ekosistem.
Naiknya suhu 10C pada suhu yang masih dapat ditoleransi suatu organisme maka

metabolisme tubuh naik dua kali lipat. Terlalu tinggi suhu menyebabkan enzim
terdenaturasi dan rendahnya suhu lingkungan menyebabkan enzim organisme terkait
tidak bekerja secara optimal (Isnaeni, 2006).
2.2.1.2. Sinar Matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari
menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh
tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis. Matahari menjadi sumber energi
utama yang menggerakkan hampir seluruh ekosistem, meskipun hanya tumbuhan dan
organisme fotosintetik lain yang menggunakan sumber energi ini secara langsung
dengan menyerap sekitar 400 700 nm ( Salisbury dan Ross,1995). Cahaya juga
penting bagi perkembangan dan perilaku banyak tumbuhan dan hewan yang sensitif
terhadap fotoperiode, yaitu panjang relatif siang dan malam hari (Winarno dan
Agustinah, 2007).
2.2.1.3. Air
Air

berpengaruh

terhadap

ekosistem

karena

air

dibutuhkan

untuk

kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan,


perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan sebagai
air minum dan sarana hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan tempat
hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan
sebagai pelarut dan pelapuk. Sifat-sifat air yang unik berpengaruh pada organisme
dan lingkungannya. Air sangat penting bagi kehidupan, tetapi ketersediaannya
bervariasi secara dramatis di berbagai habitat. Organisme air tawar dan air laut hidup
terendam di dalam suatu lingkungan akuatik, tetapi organisme tersebut dapat
menghadapi permasalahan keseimbangan air. Organisme di lingkungan terestrial
menghadapi ancaman kekeringan (Campbell et al, 2004).
2.2.1.4. Tanah

Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda
menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga
menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.
Struktur fisik, pH, dan komposisi mineral batuan serta tanah akan membatasi
persebaran tumbuhan dan hewan yang memakannya, sehingga menjadi salah satu
penyebab timbulnya pola mengelompok pada area tertentu yang acak pada ekosistem
terrestrial. (Campbell et al, 2004).
2.2.1.5. Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat
tersebut, karena ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia
yang berbeda.
2.2.1.6. Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam
penyebaran biji tumbuhan tertentu. Angin juga dapat mempengaruhi suhu udara pada
suatu ekosistem. Angin memperkuat pengaruh suhu lingkungan pada organisme
dengan cara meningkatkan hilangnya panas melalui penguapan (evaporasi) dan
konveksi. Angin juga menyebabkan hilangnya air di organisme dengan cara
meningkatkan laju penguapan pada hewan dan laju transpirasi pada tumbuhan. Empat
faktor pertama yaitu suhu, air, cahaya, dan angin merupakan komponen utama iklim
(climate). Iklim adalah kondisi cuaca yang dominan pada suatu lokasi (Campbell et
al, 2004).
2.2.2. Faktor Biotik
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di
bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, produsen (tumbuhan hijau),
konsumen (herbivora, karnivora, dan omnivora), dan dekomposer/pengurai
(mikroorganisme). Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang
meliputi :
2.2.2.1. Individu

Individu merupakan organisme tunggal. Contohnya : seekor tikus, seekor


kucing, sebatang pohon jambu, sebatang pohon kelapa, dan seorang manusia.
2.2.2.2. Populasi
Populasi adalah kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan
waktu tertentu. Contohnya kumpulan ikan lumba-lumba, kumpulan pohon karet dll.
2.2.2.3. Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu
waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Contohnya komunitas ikan piranha di sungai Amazon.
2.2.2.4. Ekosistem
Ekosistem adalah hubungan timbal balik (interaksi) antara makhluk hidup dan
lingkungannya.Contohnya ekosistem darat, ekosistem pantai dll
2.2.2.5. Biosfer
Biosfer merupakan sistem kehidupan yang paling besar karena terdiri atas
gabungan ekosistem yang ada di planet bumi.
2.3. Aliran energi dalam ekosistem
Proses yang berlangsung pada ekosistem, yaitu jaring-jaring makanan (food
web), siklus komponen-komponen kimia dan aliran energi yang terjadi terus menerus.
Jaring-jaring makanan dilakukan oleh produser, konsumer dan dekomposer. Produser
merupakan oranisme autotrof, konsumer didefinisikan sebagai organisme yang
menggunakan metabolik bahan organik dari organisme autotrof atau disebut juga
organisme heterotrof. Dekomposer merupakan perombakan bahan-bahan organik
menjadi bahan anorganik (Campbell et al, 2004).
Siklus unsur kimia merupakan suatu perputaran dari zat organik menjadi
anorganik lalu diubah menjadi zat organik yang baru dan melibatkan komponen
biotik dan abiotik suatu ekosistem, sehingga perputaran itu disebut juga siklus
biogeokimia (Campbell et al, 2004).

Aliran energi terjadi dalam rantai makanan ke dalam tingkat urutan makanan
yang disebut tingkat trofik. Setiap perpindahan trofik terjadi kehilangan energi.
Kehilangan energi yang terjadi dapat diketahui dengan hukum termodinamika II,
yaitu setiap perubahan energi menimbulkan hilangnya energy yang dipakai (Tim
Dosen Biologi, 2008).
Energi memasuki sebagian besar ekosistem dalam bentuk cahaya matahari ini
kemudian diubah menjadi energi kimia oleh organisme aurotrof, yang kemudian
diteruskan ke organisme heterotrof dalam bentuk senyawa-senyawa organik dalam
makanannya, dan dibuang dalam bentuk panas. Unsur-unsur kimia, sperti karbon dan
nirtogen, bersiklus diantara komponen-komponen abiotik dan biotik ekosistem.
Organisme fotosintetik mendapatkan unsur-unsur ini dalam bentuk anorganik dari
udara, tanah dan air dan mengasimilisikan unsur-unsur tersebut menjadi molekulmolekul organik yang sebagian dikonsumsi oleh hewan. Unsur ini dikembalikan
dalam bentuk anorganik ke udara, tanah dan air melalui metabolisme tumbuhan dan
hewan, serta melalui organisme lain, seperti bakteri dan fungi, yang menguraikan
buangan organik dan organisme mati (Campbell, 2009).
Pergerakan energi dan materi melalui ekosistem saling berhubungan karena
keduanya berlangsung melalui transfer zat-zat melewati hubungan makan-memakan.
Akan tetapi, karena energi berbeda dengan materi, tidak dapat didaur ulang (disiklus
ulang), suatu ekosistem harus diberi tenaga dengan terus-menerus mengalirkan energi
baru dari suatu sumber eksternal (matahari). Dengan demikian, energi mengalir
melewati ekosistem, sementara materi bersiklus di dalam ekosistem tersebut
(Campbell, 2009).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Lokasi dan Waktu Pengamatan


Pengamatan ekosistem terrestrial dilaksanakan pada dua hari rabu dan

kamis, pukul 08.00 - 09.10 dan 10.00 - 11.05 WIB di Kawasan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta untuk ekosistem tanaman obat (ekosistem A) dan
ekosistem kebun rambutan (ekosistem C), serta ekosistem kebun karet di kawasan
Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Jakarta (ekosistem B).
3.2.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ekosistem terrestrial adalah

termometer, sling psychrometer, Lux meter, anemometer, soil tester, core sampler,
alat gali tanah, pita meteran clinometer, plastik sample, jangka sorong, camera
digital.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ekosistem terrestrial adalah tanah,
tisu, dan aquadest serta seluruh komponen biotic dan abiotik pada masing-masing
ekosistem.
3.3. Cara Kerja

Termometer (mengukur suhu udara dan suhu tanah dengan satuan C/K/F)
Memegang alat pada pegangannya kemudian lihat skala yang
ditunjukkan. Bila perlu sebelum digunakan skala alat harus diskala nol
dengan diberi pendingin.

Sling psychrometer (untuk mengukur kelembaban udara)


Kain yang terdapat pada salah satu bagian termometer dibasahi dan
biarkan termometer yang lain tetap kering. Sling diputar selama 3 menit
dengan posisi jauh dari tubuh, sehingga termometer membaca suhu udara
bukan suhu tubuh. Hasil pengukuran pada kedua termometer dibaca sebagai
suhu kering dan suhu basah. Nilai suhu kering dan selisih antara suhu basah

dan suhu kering tersebut dimasukkan ke dalam tabel sehingga didapat nilai
kelembaban relatif.

Lux Meter (untuk mengukur intensitas cahaya dengan satuan lux)


Ditekan tombol on/off untuk menyalakan alat. Alat dikalibrasi
sebelum digunakan yaitu dengan cara:
1. Sensor cahaya dibiarkan tetap tertutup kemudian dipilih range
pengukuran melalui tombol range switch. Setelah itu tombol
zero ditekan sehingga layar menunjukkan nilai 0.
2. Penutup sensor kemudian dibuka untuk melakukan pengukuran.
3. Pengukuran dilakukan dengan menghadapkan sensor pada sumber
cahaya yang akan diukur kemudian nilai intensitas cahayanya akan
tertera pada layar.

Anemometer ( untuk mengukur kecepatan angin)


Kalibrasi anemometer dengan cara

memutar

baling-baling

anemometer sehingga skala besar menunjukkan angka 0. Setelah anemometer


menunjukkan skala 0 maka cari arah angin. Bila baling-baling berputar maka
disitulah arah angin dan skala besar dan skala kecil akan berputar berdasarkan
kecepatan angin dilingkungan sekitar.

pH Tanah menggunakan soil tester


Cara penggunaannya: Keseluruhan sensor dari soil tester ditancapkan
ke dalam tanah pH dan kelembaban tanah dapat langsung dibaca. Setelah
dipakai, bagian sensor dibersihkan dari bekas-bekas tanah dengan air
aquades.

Perkolasi tanah
Bersihkan tanah terlebih dahulu dari rumput dan serasah. Selanjutnya
dari ke tiga core sampler tersebut diukur ketinggian dan volumenya
menggunakan jangka sorong. Kemudian core sampler diletakkan diatas tanah
dengan alas pelastik. Pada lingkaran tersebut diisi dengan air hingga penuh

batas lingkaran tersebut. Kemudian plastik yang sebagai alas ditarik secara
perlahan- lahan dan diamati seberapa cepat air itu diserap oleh tanah.

Clinometer ( untuk mengukur tinggi pohon )


Posisi yang mengukur diam di satu tempat. Digunakan dua mata terbuka,
satu mata melihat ke lensa, sedangkan mata yang lain melihat ke obyek yang
dibidik. Otak kita akan menggabungkan skala pada lensa dengan obyek yang
dibidik.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan ekosistem terrestrial menghasilkan data-data yang kami ambil
secara langsung di lapangan dan dapat dilihat secara lengkap pada lampiran. Datadata tersebut kami sajikan dalam grafik dan tabel di bawah ini dengan
menggambarkan perbandingan atau hubungan suatu faktor biotik dan abiotik yang
keduanya saling mendukung membentuk suatu ekosistem.
Penelitan mengenai pengamatan ekosistem terrestrial ini kami mengamati
tiga ekosistem, dari tiga ekosistem satu ekositem yang kami beri label Ekosistem B
merupakan ekosistem yang memiliki karakteristik reflektansi mirip dengan hutan,
ekosistem ini berbatasan dengan tempat penelitian agroteknik fakultas pertanian UMJ
yang berupa tempat becocok tanam, namun masih berupa lahan yang sudah digarap

tanpa tanaman yang ditanami. Dua ekosistem berikutnya terletak bersebelahan yang
dipisahkan oleh bata konblok selebar sepuluh meter, dan yang menjadi fokus
penelitian kami adalah aktivitas manusianya, dimana pada ekosistem yg kami label
dengan Ekosistem A terdapat aktifitas manusia namun tidak terlalu intense sehingga
terlihat seperti tidak terawat, dengan pola persebaran acak, sedangkan ekosistem yang
kami labeli Ekosistem C juga terdapat aktivitas manusia namun dengan insensitas
yang tinggi sehingga terlihat terawat dari pola persebaran vegetasi yang seragam
(uniform). Berikut deskripsinya.
1. Ekosistem A
Berlokasi di halaman depan Gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ekosistem tersebut
merupakan sebuah ekosistem tanaman obat yang didominasi padang rumput,
dan berbagai tumbuhan bawah, serta terdapat beberapa pohon besar.
Tumbuhan tersebut terletak secara berkelompok di sudut plot pengamatan,
sementara sisanya berupa padang rumput dan ilalang.
2. Ekosistem B
Berlokasi di kebun karet Kawasan Fakultas Pertanian UMJ.
Ekosistem tersebut merupakan ekosistem semi alami berupa pohon-pohon
karet, pohon besar lain, dan

berbagai macam tumbuhan bawah serta

rerumputan (kelas graminacea).


3. Ekosistem C
Berlokasi di halaman depan Gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ekosistem tersebut
merupakan ekosistem buatan yang didominasi oleh pohon rambutan yang
ditanami dengan pola seragam. Terdapat pula pohon jambu air, sawo, mangga
dan belimbing. Dibagian bawah terdapat rerumputan dan ilalang.
Tabel 1. Perbandingan Faktor Abiotik

FAKTOR ABIOTIK
Temperatur udara
Temperatur tanah
pH tanah
Kecepatan angin
Kelembaban udara
Intensitas cahaya
Profil tanah
Perkolasi tanah

HASIL PENGUKURAN
Ekosistem A

Ekosistem B

Ekosistem C

32C
37C
6,8
0,65 m/s
68%
52,4 klx
Tanah liat
5,31 cm3/s

32,5C
28 C
5,2
0,10 m/s
68%
4,66 klx
Tanah merah
13.01 cm3/s

31 C
26 C
6
0,3 m/s
48%
28,53 klx
Tanah merah
7,8 cm3/s

Dari hasil yang didapat dari pengamatan dapat kita lihat bahwa suhu udara
yang didapat tidak terlampau jauh berbeda hanya berkisar 0.5 1 C, hal ini
menunjukan bahwa ada keseragaman panas yang diterima dari matahari ataupun
panas yang dikeluarkan oleh organisme yang ada dalam ekosistem. Suhu udara
merupakan faktor penting dalam persebaran organisme karena pengaruhnya pada
proses biologis dan ketidak mampuan sebagian besar organisme untuk mengatur suhu
tubuhnya secara tepat. Sel bisa pecah jika air yang terdapat di dalamnya membeku
pada suhu dibawah 0C , dan protein sebagian besar organisme akan mengalami
denaturasi pada suhu di atas 45C. Suhu internal suatu organisme sesungguhnya
dipengaruhi oleh pertukaran panas dengan lingkungannya, dan sebagian besar
organisme tidak dapat mempertahankan suhu tubuhnya lebih tinggi beberapa derajat
di atas atau di bawah suhu lingkungan sekitarnya (Campbell, 2004).
Kemudian jika kita lihat faktor insensitas cahaya ekosistem A memikiki
presentase terbesar diikuti oleh ekosistem C kemudian B, hal ini dikarenakan
ekosistem A didominasi oleh padang rumput, sehingga lebih banyak terpapar sinar
matahari, sedangkan ekosistem B dan C didominasi oleh pohon. Sebenarnya
penaungan oleh kanopi yang besar pada ekosistem membuat persaingan untuk
mendapatkan cahaya matahari dibawah kanopi tersebut menjadi sangat ketat. Cahaya
juga penting bagi perkembangan dan perilaku banyak tumbuhan dan hewan yang

sensitif terhadap fotoperiode, yaitu panjang relatif siang dan malam hari. Fotoperiode
merupakan suatu indikator yang lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan suhu,
dalam memberi petunjuk mengenai kejadian musiman,seperti perbungaan atau
perpindahan (migrasi). Intensitas cahaya juga berpengaruh tehadap populasi
berbagai ,jenis makrofauna tanah, semakin tinggi intensitas cahaya populasi
makrofauna tanah cenderung semakin menurun (Sugiarto, 2007).
Suhu dan pH tanah, ekositem B dan C akan lebih banyak dapat menyokong
kehidupan makro fauna tanah ataupun kehidupan vegetasi dibandingkan dengan
ekosistem A karena ekosistem A memiliki suhu tanah yang cenderung tinggi yaitu
37C. struktur fisik, Ph, dan komposisi mineral batuan serta tanah akan membatasi
persebaran tumbuhan dan hewan yang memakannya, sehingga timbulnya pola
mengelompok pada area tertentu (Campbell, 2004).
Pengukuran kecepatan angin, ekosistem A memiliki kecepatan angin tertinggi
disusul ekosistem C dan B. Hasil ini mengacu pada banyaknya vegetasi pohon yang
terdapat pada ekosistem tersebut. Angin juga dapat memperkuat pengaruh suhu
lingkungan pada organisme dengan cara meingkatkan hilangnya panas melalui
penguapan (evaporasi) dan konveksi(faktor wind-chill atau pendinginan oleh angin).
Angin juga menyebabkan hilangnya air di organisme dengan cara meningkatkan laju
penguapan pada hewan dan laju transpirasi pada tumbuhan. Selain itu, angin juga
dapat menyebabkan pengaruh yang sangat mendasar pada bentuk pertumbuhan
tumbuhan,yaitu dengan cara menghambat pertumbuhan anggota tubuh pohon yang
terdapat pada sisi arah tiupan angin; anggota tubuh pohon yang berada pada arah
yang berlawanan dengan arah tiupan angin akan tumbuh secara normal,yang
menghasilkan suatu penampakan lamabaian bendera (Campbell, 2004).

Gambar 1 menyajikan grafik yang menunjukan perbandingan kondisi faktor


biotik dari ketiga ekosistem yaitu ekosistem A adalah ekosistem tanaman obat FKIK
UIN jakarta, ekosistem B adalah ekosistem kebun karet kawasan fakultas pertanian
UMJ, dan ekosistem C adalah ekosistem kebun rambutan FKIK UIN jakarta.
Persentase tutupan kanopi tertinggi terdapat pada ekosistem kebun rambutan
sebesar 84% dan terendah pada ekosistem tanaman obat

sebesar 28%. Hal ini

disebabkan pada ekosistem ini didominasi oleh pohon rambutan yang berukuran
besar dengan jangkauan tutupan kanopi yang luas sehingga hampir menutupi seluruh
wilayah ekosistem tersebut, sedangkan pada ekosistem tanaman obat didominasi oleh
rerumputan dan tumbuhan bawah sehingga memiliki nilai penutupan kanopi yang
relatif kecil.
Kerapatan vegetasi memiliki presentase sebaliknya dari penutupan kanopi,
persentase terbesar dimiliki ekosistem tanaman obat dan terkecil adalah ekosistem
kebun rambutan. Persentase kanopi dan kerapatan vegetasi secara langsung ataupun
tidak langsung akan mempengaruhi keberadaan tumbuhan, hewan, dan jumlah
spesies yang hidup di ekosistem tersebut.

Gambar 2 merupakan grafik yang menunjukan perbandingan banyaknya


spesies tumbuhan dan hewan yang teramati pada masing-masing ekosistem,
tumbuhan bawah paling banyak ditemukan pada ekosistem tanaman obat dan paling
sedikit pada ekosistem kebun rambutan. Terkait dengan persentase tutupan kanopi,
ekosistem dengan persentase kanopi tertinggi dapat memiliki tumbuhan bawah yang
sedikit jumlahnya. Penyebabnya dapat dikarenakan terhambatnya suplay energy
sinar matahari sampai ke bawah yang akan digunakan oleh tumbuhan bawah
melakukan fotosintesis sehingga menyulitkan tumbuhan bawah untuk terus
berkembang. Ekosistem kebun karet masih dapat digolongkan sebagai ekosistem
alami, dengan ditemukannya berbagai macam spesies pohon tinggi antara lain pohon
karet, pohon jati, pohon pisang, pohon bambu, pohon kecapi dan tumbuhan kelas
graminea yang tumbuh subur disekitarnya.
Tingkat keanekaragaman pohon yang tinggi ini mempengaruhi jenis hewan
dan organisme tanah yang terdapat pada ekosistem tersebut. Berdasarkan grafik 2
terlihat hewan di ekosistem kebun karet UMJ lebih banyak jumlah spesiesnya, secara

langsung akan erat kaitannya dengan rantai makanan dan jaring-jaring makanan yang
alami tanpa adanya aktivitas manusia yang relatif sedikit.
Pengukuran biomassa suatu ekosistem dapat diukur berdasarkan berat total
organisme dalam satuan berat (gr/kg) per satuan luas tertentu (m atau hektar) yang
biasanya diukur dalam berat kering. Berdasarkan hasil pengamatan perkiraan
biomassa tertinggi didapati pada ekosistem kebun karet yang berlokasikan di area
fakultas pertanian UMJ. Pada ekosistem kebun karet UMJ terdapat kenekaragaman
yang cukup tinggi baik dari tumbuhan maupun hewannya, selain itu tumbuhan yang
terdapat di ekosistem kebun karet juga didominasi oleh pohon-pohon besar seperti
karet, Jati, mangga, sukun, dan kecapi yang berukuran relatif besar, dengan dominasi
tumbuhan alami tersebut bahan biologis yang dihasilkan baik dari organisme hidup
maupun mati yang paling besar adalah ekosistem kebun karet.
Ekosistem yang memiliki biomassa terendah adalah ekosistem tanaman obat
yang berlokasikan di halaman FKIK UIN Jakarta yang dapat digolongkan sebagai
ekosistem peralihan. Biomassa yang rendah dapat terlihat dari tumbuhan dan hewan
yang terdapat di ekosistem tanaman obat didominasi oleh tumbuhan bawah atau kelas
graminea (rerumputan) yang relatif kecil. Perbandingan biomassa dari tiga ekosistem
pengamatan, ekosistem kebun karet UMJ dikatakan sebagai ekosistem dengan
biomassa terbesar.
Berdasarkan tingkat keragaman spesies dapat dilihat ekosistem yang
menyediakan lebih banyak jalur jaring-jaring makanan adalah ekosistem kebun karet.
Suatu ekosistem didalamnya terdapat rantai makanan yang berlangsung secara
kompleks. Hal ini terjadi karena tiap-tiap organisme dapat memakan organisme lain
dalam satu tingkatan konsumen atau dari tingkatan konsumen lain di dalam ekosistem
yang dikenal dengan rantai makanan dan antara rantai rantai makanan itu saling
berhubungan satu dengan lainnya yang dikenal dengan jaring-jaring makanan. Pada
ekosistem kebun karet terdapat keanekaragaman yang lebih kompleks dari pada dua

ekosistem lain. Keanekaragaman tersebut dapat menunjukan keragaman jaring-jaring


makanan yang terjadi.
Ketiga ekosistem tersebut dapat dikatakan sebagai ekosistem semi alami
karena terdapat campur tangan manusia baik dalam pembuatannya maupun
pengelolaannya. Strategi yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian habitat dan
organisme dimasing-masing ekosistem sebaiknya dilakukan dengan melihat peranperan sebagian ataupun seluruh organism yang terdapat pada ekosisitem tersebut bagi
lingkungannya.
Tipe ekosistem yang memiliki kemampuan lebih besar dalam menyokong
kehidupan berbagai organisme adalah ekositem B, karena pada ekosistem ini terdapat
keseimbangan antara berbagai faktor abiotiknya. Tipe ekosistem yang berpeluang
besar membatasi keanekaragaman organisme yaitu ekosistem C, karena walaupun
faktor abiotiknya cukup untuk mendukung kelangsungan hidup organisme, pada
ekosistem C terdapat aktivitas manusia yang dapat mengurangi keanekaragaman dari
organisme pada ekosistem. Dan secara langsung kita dapat melihat bahwa Ekosistem
C memiliki total jumlah spesies terendah dari ketiga ekosistem.
Faktor abiotik dan biotik yang memiliki pengaruh paling besar dalam
membatasi keanekaragaman organism antara lain suhu, kelembaban udara, insensitas
cahaya, dan angin. Keempat faktor ini merupakan komponen yang berpengaruh
terhadap cuaca yang dominan di suatu lokasi, yang secara langsung akan berdapak
pada keanekaragaman, dan persebaran organisme.
Kemungkinan keanekaragaman organisme tanah paling tinggi dapat dijumpai
pada ekosistem B, karena selain presentase kanopi besar, ekosistem ini memiliki suhu
tanah, dan kelembaban yang cukup untuk menunjang kehidupan organism tanah. Tipe
ekosistem yang kemungkinan merupakan ekosistem peralihan atau ekotone adalah
Ekosistem A, karena ekosistem A kemungkinan mengandung organisme dari berbagai
komunitas yang saling tumpang tindih, selain itu pada ekosistem A jumlah jenis dan
kepadatan organismenya paling besar dibanding dua ekosistem lainnya.
Ekosistem yang memiliki aliran energi paling rendah adalah ekosistem C
karena ekosistem C memiliki jumlah dan jenis vegetasi yang paling sedikit yang

berimbas pada produktivitas primer. Kemudian jika dilanjutkan ke produktivitas


sekundernya maka akan menjadi semakin sedikit.

BAB V
KESIMPULAN
1. Faktor biotik pada suatu ekosistem dapat diamati secara langsung menggunakan
panca indera dengan mengestimasi hasil

2. Faktor abiotik pada suatu ekosistem diamati menggunakan alat khusus yang
spesifik berdasarkan

hasil yang diinginkan

misalnya, anemometer untuk

mengukur kecepatan angin.


3. Penggunaan alat-alat pengukuran faktor biotik dan abiotik memiliki spesifikasi
tersendiri sesuai dengan kegunaan alat dan setiap penggunaan alat dimulai
dengan mengkalibrasi terlebih dahulu alat tersebut.
4. Ekosistem tanaman obat, ekosistem kebun karet dan ekosistem kebun rambutan
termasuk ke dalam ekosistem semi alami.
5. Ekosistem tanaman obat memiliki keanekaragaman tanaman yang rendah dengan
dominasi rerumputan dan sedikit biota di dalamnya.
6. Ekosistem kebun karet memiliki keanekaragaman tanaman paling tinggi dengan
dominasi pohon besar dan banyak biota yang hidup di dalamnya.
7. Ekosistem kebun rambutan memiliki keanekaragaman tanaman terendah dengan
dominasi pohon rambutan dan sedikit biota yang hidup di dalamnya.
8. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan suatu ekosistem adalah :
a. Faktor biotik meliputi persentase kanopi, ketinggian vegetasi, kerapatan
vegetasi, spesies tumbuhan bawah dan pohon serta keberadaan hewanhewan dan aktivitas manusia.
b. Faktor abiotik meliputi temperatur udara dan tanah, pH tanah, kecepatan
angin, kelembaban udara, intensitas cahaya, profil dan perkolasi tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Campbel, Neil A.2009.Biologi Jilid III.Erlangga: Jakarta
Campbell, N.A., J.B. Reece dan L.G. Mitchell. 2004. Biologi. Penerjemah Wasmen
Manalu. Erlangga. Jakarta

Gunawan, Asim. Ilmu Pengetahuan Populer Jilid 4. Jakarta: Pb. Itner Masa.
Indriyato. 1982. Ekologi Hutan. Jakarta: Buku Aksara
Isnaeni, W. Fisiologi Hewan. Kanisius. Yogyakarta
Resosoedarmo, Kartawinata, Soegiarto. 1985. Pengantar Ekologi. Gramedia. Jakarta
Salisbury, F. dan C. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Penerjemah : Diah, Lukman
dan Sumayono. ITB Press. Bandung
Sugiyarto. 2007. Preferensi Berbagai Jenis Makrofauna Tanah Terhadap Sisa Bahan
Organik Tanaman Pada insensitas Cahaya Berbeda.FMIPA Universitas
Sebelas Maret:Surakarta
Sujarwanta, Agus.2009. Panduan Praktikum. Metro:UMM
Tim Dosen Biologi. 2008. Biologi Dasar. Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jakarta
Winarno, F.G. dan W. Agustinah. 2007. Pengantar Bioteknologi. Embrio
Press.Bogor

LAMPIRAN

Gambar3. Ekosistem Tanaman Obat di Utara FKIK UIN Jakarta


Tabel 2. Faktor Biotik Ekosistem Tanaman Obat di Utara FKIK UIN Jakarta

Bayam-bayaman

Manihot

Pohon katuk

Pace

Pohon cery

Benalu

paku-pakuan

Bufo sp

Ilalang

Pohon cabai

utilisima

Pohon Mangga

Mimosa pudica

daun mangkuk

pohon menjalar

Gambar 4. Ekosistem Kebun Karet di Kawasan Fakultas Pertanian UMJ


Tabel 3. Komponen Biotik Kebun Karet di Kawasan Fakultas Pertanian UMJ

pletekkan

Jamur

Sukun

Kangkung

Pohon pepaya

Pohon cery

Bambu kipas

Petai china

Pohon pisang

Ilalang

Pohon kecapi

Pohon karet

Mimosa pudica

Pohon bambu

Pohon ceremai

Bufo sp

.
asem kecil

Capung

Gambar 5. Ekosistem Kebun Rambutan di Selatan FKIK UIN Jakarta


Tabel 4. Faktor Biotik Ekosistem Tanaman Obat di Utara FKIK UIN Jakarta

Umbi-umbian

Rumput ilalang

Jambu air

Bufo sp.

Rumput gajah

Rambutan

Tabel 5. Alat Alat Pengukuran Factor Biotic Dan Abiotik Ekosistem

Thermometer

Soiltester

Lux meter

Sling psikrometer

Jangka sorong

Tabel 6. Data Hasil Pengamatab Faktor Biotik Ekosistem

Anemometer

Core sampler

Faktor Biotik
Ekosesitem A
Ekosesitem B
Ekosesitem C
Persentase kanopi
28 %
63%
84%
Ketinggian vegetasi
8,3 m
22,5 m
12,7 m
Kerapatan vegetasi
90%
85%
80 %
Spesies
tumbuhan Rumput, putri malu, Rumput
gajah, Ilalang, rumput gajah,
bawah

ilalang,

bayem

singkong,

liar, kacang-kacangan,

ubi-ubian,

benalu,

tumbuhan alang-alang, ilalang, rerumputan,

paku, alang-alang sp.1, keladi,jamur,


alang-alang sp.2, alang- kangkung,

mimosa

alang sp.3, tumbuhan pudica, pletekan, sp1,


bunga terompet, kacang sp2, sp3, sp4.
tanah, Sp.4,
sepatu,

bunga

katuk,

cabe,

boegenvil, jeruk nipis,


benalu, sp.5, dandelion,
Spesies pohon

jamur.
Mangga, trembesi, seri, Jati, pisang, crme, Rambutan,
sp.1,

rambutan, mangga,

belimbing,

mengkudu, belimbing, singkong,papaya,


bintaro

mangga,
jambu,

sawo.

ceri, pete cina, sukun,


karet, mahkota dewa,

Tanda-tanda hewan

Kupu-kupu,

kecapi.
jangkrik, Kupu-kupu, belalang, Kupu-kupu,

lebah, semut, cacing jangkrik,


tanah,

burung, kodok,

belalang, ulat, nyamuk, bekocot,


Organisme tanah

Burung

tikus, kodok,

semut,
belalang,

laba-laba, nyamuk, burung, ulat,


kumbang, tawon.

lalat, tikus, cicak.


tawon, kucing, kadal.
Semut hitam, cacing Semut,
semut Semut, cacing, semut
tanah, semut rang-rang

rangrang,

tikus, rangrang

Gereja, Wallet

cacing,
Wallet, gereja, sp1, Wallet, gereja, kutilang

Aktivitas manusia

Ada
Penanaman
Obat)

sp2
(Aktivitas Ada
Tanaman

Ada

Anda mungkin juga menyukai