Anda di halaman 1dari 33

BAB II LANDASAN TEORI

STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

2.1. Morfologi Sungai

orfologi sungai adalah bentuk permukaan fisik sungai yang terdiri dari
banyak komponen pembentuk seperti kontur sungai itu sendiri, pola alur
sungai, susunan topografi dan batimetri, karakteristik jenis tanahnya dan

sedimen.

Secara umum bentuk morfologi sungai secara sederhana bisa diilustrasikan dalam
bentuk Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1. Morfologi Sungai


Keterangan :
A = Bantaran sungai. B = tebing/jering sungai. C = badan sungai. D = batas tinggi air
semu. E = dasar sungai. F = vegetasi riparian.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Dalam susunan yang lebih komplek dan natural, morfologi sungai bisa dilihat pada
Gambar 2.2. berikut.

Gambar 2.2. Bentuk sungai meander di alam


Klasifikasi sungai dibedakan menjadi tiga tipe sungai, yaitu tipe sungai lurus
(straight), braided dan meandering sebagaimana diilustrasikan pada Gambar
2.3.berikut.

Gambar 2.3. Pola-pola aliran sungai alami.


Tipe sungai lurus (straight river) adalah sungai yang pola alirannya berosilasi secara
transversal atau membentuk aliran kesamping pada rejim aliran kecepatan rendah
(low flow channel). Akibatnya adalah terbentuknya pola aliran yang dibelokkan ke
kanan dan ke kiri tebing sungai dan menyebabkan terjadinya gerusaan di sisi sungai
dan endapan di sisi lainnya.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Tipe sungai kepang (braided river) adalah sungai yang banyak mengalami
pengendapan atau deposisi sedimen akibat dari adanya over supplay atau kelebihan
pasokan sedimen yang melampaui laju kapasitas angkutan sedimen total. Akibatnya
adalah terbentuk banyak saluran kecil di dalam saluran besarnya (multiple channel).
Tipe sungai meander adalah sungai dengan banyak tikungan atau kelokan (bends)
yang diakibatkan oleh proses erosi tebing pada sisi tikungan sungai sebelah luar
(outside of bends) dan oleh proses deposisi atau pengendapan pada sisi tikungan
tebing sungai sebelah dalam (inside of bends).

Gambar 2.4. Palung sungai (thalweg) dan potongan melintang sungai

Gambar 2.5. Tipe derajat meandering aliran sungai


Morfologi sungi seperti halnya pada pantai juga mengalami perubahan yang
ekstrim. Jika pada mulut muara sungai bisa mengalami penyumbatan akibat adanya
proses endapan material pasir atau yang dikenal dengan proses lidah pasir (sand
spit), maka di badan sungai juga bisa mengalami apa yang disebut dengan oxbow
lake. Fenomena oxbow lake bisa diilustrasikan pada Gambar 2.6. berikut.

BAB

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Gambar 2.6. Oxbow Lake


Penyebab fenomena oxbow lake adalah morfologi sungai pada bagian tikungan
(bends) mengalami laju perubahan yang tidak sama antara sisi tebing kanan dan
tebing kiri sungai akibat dari perbedaan dalam kemampuan tererosi (erodibility of the
banks) tebing sungai dan pola aliran bidang banjir (floodplain). Namun suatu saat,
tikungan sungai yang baru akan bisa terbentuk kembali.
2.2. Transpor Sedimen Sungai
Angkutan

sedimen

tidak

terlepas

dari

proses

sedimentasi.

Proses

sedimentasi itu sendiri merupakan rentetan dan interaksi dari adanya proses erosi,
proses angkutan sedimen, proses pengendapan (deposition) dan proses pemadatan
(compaction).
Sedimen sungai dapat dibedakan berdasarkan sumber asalnya dan
mekanisme transpornya. Berdasarkan sumber asalnya, sedimen yang terangkut oleh
aliran air dapat dibedakan menjadi angkutan material dasar dan wash load,
Berdasarkan mekanismenya, sedimen dapat dibedakan menjadi muatan dasar (bed
load) dan muatan melayang (suspended load).
Angkutan
material dasar

Bed Load
Berdasarkan
mekanisme
Transpor Sedimen

Berdasarkan
sumber asalnya
Wash load

Suspended
Load

Gambar 2.7. Pembagian sedimen berdasarkan sumber asal dan mekanisme


transpor (Kironoto, B.A. 1992)

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Ilustrasi klasifikasi dan distribusi angkutan sedimen sungai dapat dilihat pada
Gambar 2.8 di bawah ini.

a) Wash load

b) Suspended Load

c) Bed Load

Gambar 2.8. Klasifikasi dan distribusi angkutan sedimen sungai


Penjelasan dari klasifikasi dan distribusi masing-msing tipe angkutan sedimen
adalah sebagai berikut(dalam Kironoto, B.A. 1992):

a. Pada material wash load, sedimennya tidak berasal dari dasar sungai, dan
besarnya volume wash load tergantung pada kondisi lahan daerah aliran sungai
serta tidak tergantung pada kondisi hidrolis sungai.

b. Bed-load adalah partikel kasar yang bergerak di dasar sungai. Bed load
ditunjukkan oleh gerakan partikel di dasar sungai yang ukurannya besar;
gerakannya dapat bergeser, menggelinding atau meloncat-loncat, akan tetapi
tidak pernah lepas dari dasar sungai.

c. Suspended load adalah material dasar sungai (bed material) yang melayang di
dalam aliran dan terdiri dari butiran halus. Pada bagian sungai yang pendek di
alur sungai, suspended load dapat dianggap tetap konsentrasinya, tetapi pada
seluruh alur sungai, konsentrasi suspended load sangat bervariasi.
2.3. Penentuan angkutan sedimen
Untuk menentukan besaran debit angkutan sedimen suspended load, qs,
ditentukan dengan cara mengukur, karena tekni dengan cara hitungan dianggap
belum memuaskan. Sebaliknya, penghitungan besaran debit angkutan bed load, qb,
biasanya dilakukan dengan cara dihitung, dimana metode pengukuran (sampling)
masih dianggap belum mantap (dalam Kironoto, B.A. 1992).
Proses sedimentasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dasar sungai.
Misalnya suatu angkutan sedimen q, melewati ruas sungai yang dibatasi oleh
tampang 1 dan 2, apakah mengalami proses erosi atau proses pengendapan, akan
dapat dilihat dari besar kecilnya angkutan sedimen di antara dua tampang sungai
tersebut, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.9 dan Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Angkutan sedimen pada dua tampang sungai untuk erosi sedimen.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Angkutan sedimen, q
q1 = q2
q1 < q2
q1 > q2

Proses
Sedimen
Seimbang
erosi
pengendapan

Dasar
stabil
degradasi
agradasi

Sumber: Kironoto, B.A. 1992

Tampang 1
q1

Tampang 2
q2

Gambar 2.9. Angkutan sedimen pada suatu penampang sungai


2.4. Persamaan Kecepatan Aliran
Besar kecilnya angkutan sedimen sangat dipengaruhi oleh karakteristik
material sedimen/dasar sungai dan karaktersitik dari aliran yang terjadi. Beberapa
sifat sedimen, seperti: ukuran butiran sedimen, bentuk / faktor bentuk sedimen, rapat
massa sedimen, s, kecepatan endap, w, dan porositas, sangat berpengaruh
terhadap proses angkutan sediment (dalam Kironoto, B.A. 1992).
Beberapa sifat/karakteristik zat cair, seperti rapat massa, , viskositas, ,
dan variabel-variabel aliran seperti kecepatan dan tegangan gesek, juga diketahui
sangat berpengaruh terhadap proses angkutan sedimen. Berikut ini diberikan
beberapa rumusan untuk menentukan variabel aliran yang terkait dengan angkutan
sedimen, yaitu kecepatan dan tegangan gesek/seret (dalam Kironoto, B.A. 1992).
Pada aliran seragam turbulen, rumus distribusi kecepatan dan kecepatan
rata-rata dapat dibedakan untuk dinding hidraulik licin, dan dengan dinding hidraulik
kasar, sebagai berikut (dalam Kironoto, B.A. 1992):
a. Dinding hidraulik licin:

Distribusi kecepatan;

104 z
u z 5.75 u * log(
)

Kecepatan rata-rata,

b. Dinding Hidraulik kasar:

5,.75 u * log(

42h

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

33 z
)
k
12h
U 5.75 u * log(
)
Kecepatan rata-rata,
k
Dimana hubungan antara kecepatan dengan kekasaran dasar (koefisien Chezy)

Distribusi kecepatan,

u z 5.75 u * log(

dapat dirumuskan sebagai berikut:


12 R
C 18 log
k
Distribusi tegangan gesek secara vertikal untuk aliran uniform adalah sebagai
berikut.

h I

(1

z
)
h

Sementara tegangan gesek pada dasar, dirumuskan sebagai :


o = R I,

atau

o = h I = u * 2

dimana u*, kecepatan gesek, uz, kecepatan pada suatu titik yang berjarak z dari
dasar saluran, U , kecepatan rata-rata pada suatu vertikal, , tebal lapisan subviskous/ sub laminer, h, kedalaman aliran, R, jari-jari hidraulik, C, koefisien
kekasaran menurut Chezy, k, kekasaran dasar saluran, g, berat jenis air, dan S
kemiringan dasar saluran.
2.5. Angkutan Sedimen Dasar (Bed Load)
Rumus-rumus untuk angkutan sedimen dasar, didasarkan pada prinsip
bahwa kapasitas sungai untuk mengangkut sedimen di sepanjang dasar berbanding
lurus dengan perbedaan antara tegangan geser pada dasar dengan tegangan geser
kritik yang diperlukan untuk dapat menggerakkan partikel sedimen. Secara umum,
rumus - rumus angkutan sedimen yang ada di literatur diperoleh dengan 3 cara
berikut ini, yaitu :
1. rumus yang diperoleh dengan pendekatan empirik
2. rumus dengan pendekatan analisis dimensi
3. rumus yang diperoleh dengan pendekatan semi-teoritik.
Berdasarkan tiga cara pendekatan tersebut di atas, persamaan angkutan
sedimen yang sering digunakan adalah (dalam Kironoto, B.A. 1992) :
a. Persamaan Meyer Peter-Muller (1948),
b. persamaan Frijlink (1952),
c. persamaan Einstein (1950), dll.
Rumus-rumus yang disebutkan di atas, secara umum dikembangkan dari
penyelidikan di laboratorium dengan skala kecil dan dikembangkan untuk sungai-

BAB

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

sungai dengan range kemiringan dasar sungai yang kecil dan range diameter butiran
dasar yang juga kecil, sebagaimana karakteristik sungai landai pada umumnya.
Penerapan rumus-rumus tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi hidrolis
dan kesamaan material sedimen sebagaimana kondisi aslinya dimana persamaan
tersebut dikembangkan. Beberapa rumus yang sering dipergunakan untuk
memprediksi angkutan sedimen dasar (bed-load) adalah sebagai berikut :
1. Rumus Meyer-Peter & Muller (dalam Kironoto, B.A., 1992)
Rumus Meyer-Peter & Muller (MPM) dikembangkan untuk sedimen seragam
dan tidak seragam, dan sudah memperhitungan faktor gesek yang disebabkan oleh
pengaruh bentuk gelombang (form roughness) dan pengaruh ukuran butiran (grain
roughness). Persamaan Meyer-Peter & Mller adalah sebagai berikut.
Rh (

k 3/ 2
)
S 0.047 (
k'

) d m 0.25 (

)1 / 3 (q B ' ) 2 / 3

dimana dm adalah diameter signifikan (representatif) yang bervariasi antara d50

d60,

Rh adalah jari-jari hidraulik, dan qB adalah berat angkutan sedimen dasar di dalam air
per satuan waktu per satuan lebar [kg/m.det].
Range data yang digunakan oleh Meyer-Peter & Mller adalah, kemiringan
dasar saluran, 4x10-4 So 2 x10-2, diameter butiran, 0.4 mm dm 30 mm,
kedalaman aliran, 1 cm h 120 cm, dan berat jenis spesifik, 1.25 s 4.22.
Melihat besarnya range data yang digunakan, dan relatif kecilnya penyebaran
(scatered) data terhadap persamaan, menjadikan persamaan Meyer-Peter & Mller
dapat diterima oleh banyak pihak.
Nilai [ ( k / k ' ) 3 / 2 S ] menggambarkan suatu kemiringan yang menunjukkan
bahwa hanya sebagian dari kemiringan energi total, S (yaitu kemiringan karena
pengaruh gesekan butiran, S ' ) yang berperan terhadap proses angkutan sedimen.
Nilai k/ k ' bervariasi antara 0.5 sampai dengan 1.0, dimana nilai k/ k ' =1 untuk
dasar rata, dan nilai k/ k ' = 0.5, untuk dasar sangat bergelombang. Parameter k/ k '
sering juga dikenal sebagai ripple factor, = (k/k')3/2, dengan :

k'

26
d 901 /

(10)

Untuk nilai angkutan dasar, qB = 0, persamaan MPM menjadi seperti berikut :

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

*cr

Rh S
0.047
( s ) d m

2. Rumus Einstein (dalam Kironoto, B.A., 1992)


Rumus Einstein adalah persamaan yang menghubungkan gerak bahan dasar
(bed load) dengan aliran setempat (local flow) dan menggambarkan keseimbangan
pertukaran butiran dasar sungai antara bed layer dengan dasarnya. Nilai * dapat
dihitung dengan berdasarkan karakteristik sedimen dasar dan kondisi aliran, dan nilai
* dapat diperoleh berdasarkan pada Grafik Einstein,. Grafik Einstein didasarkan
pada suatu fungsi :
F(*,*) = 0 (12)
dimana

d 35
RI

dan

qB

s 1 / 2 ( g d 35 ) 3 / 2

(13)
dengan parameter intensitas bed load, = (s - w)/w, s = rapat massa
sedimen, qB, angkutan dasar dalam (N/m.det), , R, jari-jari hidraulik akibat R dan R
(akibat kekasaran butiran dan konfigurasi dasar), i, kemiringan garis energi, dan ,
ripple factor.
3. Rumus Frijlink (dalam Kironoto, B.A., 1992)
Rumus Frijlink menghitung angkutan sedimen dengan memperhitungkan
pengaruh konfigurasi dasar sungai, dimana ripple factor dapat dirumuskan sebagai
berikut:

C 3/ 2
)
Cd90

12 R
dengan C 18 log
k

dan

12 R
C d 90 18 log
d 90

dimana C, koefisien Chezy total (butiran + konfigurasi dasar), Cd90 = koefisien Chezy
akibat kekasaran butiran dengan diameter representatif adalah d 90; untuk dasar rata,
C = Cd90 = 1. Korelasi antara dan dm/hS dapat dihitung menurut persaman
berikut ini.

q B d m

g RS e

0.27

dm
RS

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

dimana qB , Volume sedimen (padat) dalam (m3/m.det), dan dm, diameter median =
d50. Dengan berdasarkan persamaan 14 dan 15, Frijlink mengumpulkan beberapa
data laboratorium dan lapangan untuk ripple factor.
2.6. Hidrodinamika Sungai
Hidrodinamika sungai terdiri dari parameter seperti kecepatan aliran sungai,
debit aliran sungai, pasang surut serta karakteristik pola gelombang pada muara.
2.6.1. Kecepatan aliran
Gambar 2.10. di bawah ini merupakan ilustrasi garis-garis pola kecepatan
aliran (isovel) yang mengikuti kontur bentuk penampang saluran sungai atau
penampang saluran buatan.

Gambar 2.10. pola distribusi kecepatan pada berbagai tampang saluran


a. Aliran 2 dimensi
Bentuk aliran 2 dimensi adalah seperti ilustrasi di bawah ini yaitu mempunyai
kecepatan yang membesar dari dasar ke permukaan air (jika dipandang dari arah
2 dimensi vertikal). Sedangkan jika ditinjau secara 2 dimensi arah horisontal,
maka aliran yang ada ditengah penampang sungai mempunyai kecepatan aliran
yang lebih besar dibanding kecepatan aliran yang berada di tepi sungai. Namun
tidak kelihatan pola kecepatan aliran yang membesar dari dasar ke atas
permukaan.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

a) arah aliran 2D Vertikal

b) arah aliran 2D Horisontal

Gambar 2.11. Ilustrasi Aliran 2 dimensi


b. Aliran 3 dimensi
Aliran 3 dimensi memberikan ilustrasi yang lebih bagus dibanding gambaran
1 dimensi dan 2 dimensi. Gambar 3 dimensi dapat memperlihatkan pola aliran
dan karakteristik aliran pada arah vertikal dan pada arah horisontal.

Gambar 2.12. Ilustrasi aliran 3 dimensi


2.6.2. Debit aliran sungai
Untuk dapat menghitung debit aliran pada penampang saluran sungai
dengan bentuk tidak beraturan dapat menggunakan persamaan berikut ini.

A1 2 / 3 A2 2 / 3 A3 2 / 3 1 / 2
R1
R2
R3 S 0
n2
n3
n1

Gambar 2.13. Penampang saluran campuran

BAB

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

2.7 Kecepatan Ijin Aliran Sungai.


Kecepatan

aliran

sungai

mempunyai

syarat

maksimal

agar

tidak

menyebabkan abrasi tebing sungai. Pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 adalah daftar
kecepatan aliran sungai untuk berbagai ukuran butiran untuk tanah non kohesif dan
tanah kohesif.
Tabel 2.2. Kecepatan arus rata-rata yang diijinkan untuk tanah yang non kohesif
Ukuran butiran
Bahan dasar sungai
Lumpur
Pasir halus
Pasir sedang
Pasir kasar
Kerikil kecil
Kerikil sedang
Kerikil kasar
Batu kecil
Batu sedang
Batu kasar
Batuh pecah
Batuh pecah
Batuh pecah
Batuh pecah

Kecepatan arus rata-rata (m/det)


(mm)
0,005
0,05
0,25
1,00
2,50
5,00
10,00
15,00
25,00
40,00
75,00
100,00
150,00
200,00

0,15
0,20
0,30
0,55
0,65
0,80
1,00
1,20
1,50
1,80
2,40
2,70
3,30
3,90

Tabel 2.3 kecepatan arus rata-rata yang diijinkan untuk tanah kohesif (m/det)
Bahan dasar sungai
Lepas
Agak padat Normal Amat padat
Angka pori
2,0 1,2
1,2 0,6
0,6 0,3
0,3 0,2
Lempung berpasir (pasir 50%)
0,45
0,90
1,30
1,80
Tanah amat kohesif
0,40
0,85
1,25
1,70
Lempung
0,35
0,80
1,20
1,65
Tanah agak kohesif
0,32
0,70
1,05
1,35

Tabel 2.4 koreksi kecepatan arus rata-rata yang diijinkan untuk kedalaman air
(tanah non-kohesif)
Kedalaman rata-rata
Koefisien koreksi
(m)
0,3
0,6
1,0

0,8
0,9
1,00

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

1,5
2,0
2,5
3,0

1,10
1,15
1,20
1,25

Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 adalah daftar kecepatan rata-rata aliran sungai untuk
tanah kohesif dan non kohesif untuk variasi kedalaman sungai. Sedangkan Tabel 2.6
adalah koreksi kecepatan arus rata-rata untuk kondisi belokan sungai, yaitu untuk
belokan yang rerlatif sungai lurus, belokan yang ringan, belokan sedang dan belokan
berat.
Tabel 2.5 koreksi kecepatan arus rata-rata yang diijinkan untuk kedalaman air
(tanah kohesif)
Kedalaman rata-rata
Koefisien koreksi
(m)
0,3
0,5
0,75
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0

0,8
0,9
0,95
1,0
1,1
1,1
1,2
1,2

Tabel 2.6 koreksi kecepatan arus rata-rata yang diijinkan pada belokan
Ketajaman belokan
Lurus
Ringan
Sedang
Berat

Koefisien koreksi
1,00
0,95
0,81
0,78

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

2.8. Bangunan Pengaman Tebing Sungai


Secara umum ada tiga jenis bangunan pengaman tebing, yaitu perkuatan tebing,
pangarah aliran dan peredam energi. Ketiga tipe tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.7 koreksi kecepatan arus rata-rata yang diijinkan pada belokan
No.
A.

Jenis Pengaman
Revetment

Tipe
1. Fleksibel
2. Kaku

B.

Bangunan Pengarah Aliran

C.

Bangunan Peredam Energi

Bangunan
a. Riprap
b. Bronjong (Gabion)
a. Retaining Wall
b. Sheet Pile
a. Krib (groin)
b. Spur
Chek Dam

Dalam mendesain suatu dinding pengaman (revetment) harus memperhatikan


beberapa faktor. Faktor-faktor ini yang akan mempengaruhi jenis dan ukuran
(desain) dari dinding pengaman. Faktor-faktor tersebut terdiri dari : 1. Debit desain 2.
Jenis aliran 3. Geometri penampang 4. Aliran di tikungan 5. Tahanan aliran (Flow
resistance) 6. Jenis pengamanan (revetment).
Pemilihan tipe perkuatan lereng, dipengaruhil oleh : karakteristik sungai yang
bersangkutan yang meliputi : dimensi sungai; kecepatan arus; profil
penampang melintang; kemiringan dasar; kedalaman air; jenis tanah pada
lereng sungai serta keadaan tanah pondasi. Tipe perkuatan lereng, meliputi :
a. tipe pondasi rendah; tipe ini dipergunakan pada sungai dengan tipe
mudah dalam pelaksanaan pengalihan aliran;
b. tipe pondasi tinggi; tipe ini dipergunakan untuk sungai dengan tipe
sukar dikeringkan;
c. tipe turap pancang baja;tipe ini akan digunakan jika kedua tipe di atas
tidak dapat dikerjakan;
d. tipe turap papan; dipergunakan untuk sungai yang relatif kecil dengan
pemancangan tiang-tiang kayu dengan jarak antara 1,0 1,5 m dan
diantara kedua tiang tersebut dipasang papan dan dibelakangnya
diurug dengan pasir koral
e. tipe turap beton; konstruksi pada tipe ini mirip dengan tipe turap
papan
f.

tipe turap pancang beton; tipe ini akan lebih awet dibandingkan
dengan pancang baja, tetapi ke depan yang didapat kurang;

BAB

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

g. perkuatan

lereng

darurat

atau

sementara;

2
dilakukan

dengan

menggunakan bronjong kawat silinder, hamparan bronjong kawat;


bronjong banbu dan lainlain.
Material perlindungan lereng meliputi : gebalan rumput; hamparan anyaman
dahan willow; hamparan anyaman ranting berisi batu; bronjong kawat
silinder; blok beton; pasangan batu; pasangan blok beton; beton berkisi.

Gambar 1.13. Macam-macam pelindung tebing sungai

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Gambar 2.14. pelindung tebing sungai dari anyaman ranting diisi batu.

Gambar 2.15. pelindung tebing sungai dari bronjong kawat

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Gambar 2.16. pelindung tebing sungai dari blok beton rangkai

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Gambar 2.17. macam-macam pelindung tebing sungai dari blok beton

2.9. Pelindung tebing sungai tipe Rip Rap

Dasar-dasar desain untuk membuat riprap terdiri dari komponen berikut ini
a. Ukuran batuan
b. Gradasi batuan
c. Ketebalan lapisan riprap
d. Desain filter
e. Penanganan tepi riprap (ujung riprap)
f.

Stabilitas

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Gambar 2.18 : Ilustrasi desain rip rap


Kriteria ketebalan (Thickness) lapisan riprap :
- Tidak boleh kurang dari 350 mm;
- Tidak boleh kurang 1.5 x D50; and
- Tidak boleh kurang D100.
Stabilitas riprap merupakan fungsi dari ukuran batuan yang digunakan, yaitu
diameter dan berat batuan. Salah satu kegagalan riprap atau keruntuhan riprap
adalah erosi partikel. Erosi partikel adalah fenomena hidraulik yang dihasilkan ketika
gaya seret yang terjadi akibat aliran air yang melebihi gaya tahan batuan riprap.
Gradasi batuan riprap mempengaruhi ketahanan riprap terhadap penggerusan..
Batuan harus mempunyai gradasi yang baik dengan ketebalan riprap. Spesifikasi
batuan riprap harus berada pada batas kedua kurva gradasi. Gradasi batuan
sebaiknya dapat diatur sehingga tidak membuat biaya yang mahal. Tabel 2.8
merupakan salah satu panduan untuk menentukan batas gradasi. Sedangkan Tabel
2.9 menyajikan enam contoh kelas gradasi.
Tabel 2.8 Gradasi Batuan Rip Rap

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Tabel 2.9 Gradasi batuan untuk beberapa kelas riprap

2.9.1. Filter riprap


Filter adalah lapisan antara tanah dasar dengan riprap yang terdiri dari kerikil, batuan
kecil atau lapisan buatan (seperti geotextile). Filter mencegah perpindahan partikel
pasir dari tanah dasar ke riprap melalui ruang udara (void), menyebarkan beban
riprap agar terjadi penurunan tanah yang merata dan dapat melepaskan tekanan
hidrostatis yang berada dalam tanah. Untuk daerah diatas permukaan air, filter dapat
mencegah erosi. Filter seharusnya ditempatkan di tanah yang nonkohesif untuk
membuat drainase bawah permukaan.
Yang harus diperhatikan dalam desain dari filter yang terbuat dari kerikil dan lapisan
buatan (geotextile) adalah kestabilan tebing yang digunakan untuk riprap. Kalau
lubang filter terlalu besar, maka akan terjadi aliran piping yang berlebihan melalui
filter sehingga dapat menyebabkan erosi dan keruntuhan tanah di bawah filter. Jika
lubang filter terlalu kecil, maka akan terjadi tekanan hidrostatik di bawah filter yang
dapat menyebabkan bidang runtuh sepanjang filter.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Kriteria Filter.
Untuk riprap batuan, perbandingan antara filter ketebalan riprap sebesar 5 persen
atau kurang dapat menghasilkan keadaan yang stabil. Rasio perbandingan filter
adalah perbandingan antara 15 persen ukuran batuan kasar (riprap) (D15) dengan
85 persen ukuran pasir halus (D85). Persyaratan tambahan untuk stabilitas adalah
perbandingan 15 persen ukuran batuan kasar dengan 15 persen ukuran pasir halus
sebaiknya melebihi 5 tetapi kurang dari 40. Persyaratan ini dapat dituliskan secara
matematis sebagai berikut Kriteria filter harus memenuhi syarat berikut ini:

Pertidaksamaan sebelah kiri bertujuan untuk mencegah piping melalui filter, bagian
tengah agar permeabilitas dapat tercapai untuk struktur tanah dasar dan bagian
kanan untuk kriteria keseragaman.
Kalau satu lapisan tidak mencukupi, satu atau lebih lapisan diperlukan lagi. Bahan
filter ditempat di lapisan antara tanah dasar dan lapisan filter (blanket), atau filter bisa
diganti dengan bahan geotekstil diantara lapisan-lapisan filter kalau lebih dari satu
lapisan filter dan diantara lapisan filter dengan batuan riprap. Ketebalan dari lapisan
filter sebaiknya diantara 150 mm sampai 380 mm untuk lapisan tunggal atau dari 100
mm sampai 200 mm untuk satu lapisan dengan banyak lapisan filter (blanket). Ketika
kurva gradasi filter yang digunakan mendekati paralel, maka ketebalannya harus
minimum. Ketebalan dari satu lapisan filter sebaiknya ditingkatkan sampai batas
mininum ketika kurva gradasi material filter menjauhi dari kurva paralel.
Selain kerikil yang digunakan sebagai filter, ada juga filter buatan yang terdiri dari
buatan pabrik seperti geotekstil. Disini akan dibahas keuntungan dan kerugian
menggunakan filter buatan (filter sudah jadi). Keuntungan menggunakan filter buatan
(jadi) :
a. Pemasangan yang cepat dan hemat tenaga kerja
b. Filter buatan lebih ekonomis dibandingkan filter kerikil
c. Filter buatan mempunyai konsistensi dan bahan yang berkualitas baik
d. Filter buatan mempunyai kekuatan yang merata.
Kerugian menggunakan filter buatan (jadi) :
a. Pemasangan filter buatan agak sulit di bawah permukaan air.
b. Pemasangan filter buatan harus hati-hati agar tidak terkena sinar ultraviolet

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

c. Ketahanan filter buatan di bawah tanah belum teruji sepanjang waktu proyek
rekayasa.
d. Aktivitas bakteri didalam tanah atau diatas filter dapat mempengaruhi sistem
hidraulik dari filter buatan
e. Bukti eksperimen menunjukkan bahwa ketika tebing terkena gelombang, tanah
nonkohesif akan berpindah ke bawah menuju saluran (sungai) dibawah filter
sedangkan pada filter kerikil tidak terjadi.
f.

Filter buatan dapat memberikan keruntuhan transional ketika digunakan pada


riprap yang dipasang pada tebing yang curam.

Gambar 2.19. Grafik Hubungan Ukuran batuan terhadap variasi kecapatan aliran dan
kedalaman sungai.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

2.2 Krib
2.2.1 Umum
Krib adalah bangunan yang dibuat mulai dari tebing sungai ke arah tengah
guna mengatur arus sungai dan tujuan utamanya adalah :
1. Mengatur arah arus sungai
2. Mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang tebing sungai, mempercepat
sedimentasi dan menjamin keamanan tanggul atau tebing sungai terhadap
gerusan
3. Mempertahan lebar dan kedalaman air pada alur sungai
4. Mengkonsentrasikan arus sungai dan memudahkan penyadapan.

Gambar 2.20. Contoh Krib Tiang Pancang


2.8.1 Klasifikasi krib
Secara garis besar, terdapat 3 tipe konstruksi krib yaitu : tipe permeable
(permeable type) dimana air sungai dapat mengalir melalui krib tersebut, tipe
impermeable (impermeable type) dimana air sungai tidak dapat mengalir melalui krib
tersebut dan tipe semi-permeabel (combined of both the permeable type and the
impermeable type). Berdasarkan formasinya, krib dapat diklasifikasikan ke dalam 2

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

tipe, yaitu tipe silang (transversal type) dan tipe memanjang (longitudinal type).
1. Krib permeable
Pada tipe permeable air dapat mengalir melalui krib (permeable spur). Krib
permeable tersebut melindungi tebing terhadap gerusan arus sungai dengan
cara meredam energy yang terkandung dalam aliran sepanjang tebing sungai
dan bersamaan dengan itu mengendapkan sedimen yang terkandung dalam
aliran tersebut.

Gambar 2.21 Krib permeable Tiang Pancang

Gambar 2.22 Krib permeable Tipe Rangka


2. Krib impermeable
Krib dengan konstruksi tipe impermeable yang disebut pula krib padat,

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

karena air sungai tidak dapat mengalir melalui tubuh krib. Krib tipe ini
dipergunakan untuk membelokan arah arus sungai dan karenanya sering
terjadi gerusan yang cukup dalam di depan ujung krib-krib tersebut atau
bagian sungai di sebelah hilirnya.
3. Krib semi-permeable
Krib ini berfungsi ganda yaitu sebagai krib permeable dan krib padat.
Biasanya bagian yang padat terletak di sebelah bawah dan berfungsi pula
sebagai pondasi, sedangkan bagian atasnya merupakan konstruksi yang
permeable disesuaikan dengan fungsi dan kondisi setempat.
2.3 Formasi krib
Terdapat 3 macam formasi krib yang umumnya diterapkan yaitu tegak lurus
arus, condong ke arah hulu dan condong ke arah hilir. Pada krib-krib permeable
yang formasinya tegak lurus arus sungai, apabila air sungai mengalir tubuh krib,
maka hubungan antara formasi krib dan penggerusan pengendapan secara kasar
seperti tertera pada gambar 2.23.

Gambar 2.23 Hubungan antara formasi krib dan proses penggerusan-pengendapan


pada dasar sungai
Pada krib-krib permeable yang condong ke hulu, turbulensi aliran akan terjadi
diujung depan krib tersebut, akan tetapi pengendapan umumnya terjadi dekat tebing
sungai aliran akan mengarah kea rah sungai, jadi krib dengan kondisi condong ke
hulu, merupakan krib yang sangat efektif untuk melindungi tebing sungai, sedangkan
pada krib-krib permeable yang condong ke hilir, aliran turbulensi diujung depan krib
cenderung berkurang karenanya dapat terjadi pengendapan disebelah hilir ujung
krib.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Akan tetapi kadang-kadang mulai terjadi gerusan pada bagian tebing sungai
dan karenannya krib-krib dengan formasi demikian kurang menguntungkan ditinjau
dari segi keamanan tebing sungai. Dan gerusan pada tebing sungai cendrung
meningkat

pada krib impermeable.

Sifat-sifat

krib tersebut kadang-kadang

dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan fungsi bangunan sadap pada sungaisungai dengan arusnya yang tidak deras atau untuk meningkatkan kedalaman air
pada jalur lalu lintas air yang dilalui perahu-perahu kecil.
Krib impermeable yang formasinya tegak lurus arus sungai, mempunyai sifatsifat yang sama dengan krib-krib impermeable baik dengan formasi condong ke hulu
maupun condong ke hilir dan pada tingkat-tingkat tertentu gerusan pada tebing
sungai tidak dapat dihindarkan. Biasanya krib dengan formasi tegak lurus arus baik
yang permeable maupun impermeable dapat berfungsi dengan baik pada bagian
sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan alirannya bolak-balik.
Sehubungan dengan krib yang condong ke hulu, telah banyak dilakukan
berbagai studi untuk mendapatkan sudut optimum dari krib tersebut terhadap garis
tegak lurus arus sungai dan sudut-sudut yang paling cocok untuk berbagai krib telah
diperoleh seperti yang tertera pada tabel 2.6.
2.4 penetapan tinggi krib
Umumnya akan lebih menguntungkan, apabila elevasi mercu krib dapat
dibuat serendah mungkin, ditinjau dari keamanan terhadap gaya-gaya yang berat
dari arus sungai.
Elevasi mercu ujung krib sebaiknya sekitar 0,5 1,0 m di atas elevasi rata-rata
permukaan air rendah dan pengalaman menunjukan, walaupun elevasi mercu
dinaikan secara menyolok, tetapi tidak akan banyak menaikan efetifitas fungsi krib
tersebut. Dari hasil pengamatan terhadap tinggi berbagai jenis krib yang telah
dibangun dan berfungsi dengan baik hingga saat ini, diperoleh angka perbandingan
antara tinggi krib dan kedalaman air banjir (angka h g/H) sekitar 0,2 0,3 (lihat
Gambar 2.24 ) dan sangat sedikit krib yang dibangun dengan ketinggian yang
melebihi perbandingan di atas.

BAB

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Tabel 2.10 Arah aliran dan sudut sumbu krib


Lokasi pembuatan krib di sungai

Arah aliran dan sudut sumbu krib

Bagian lurus

100-150

Belokan luar

50-150

Belokan dalam

00-100

Gambar 2.24 Hubungan antara tinggi krib dan kedalaman air sungai di saat
terjadinya banjir.
Pada sungai-sungai dengan arus yang deras, batu-batu besar kadang ikut hanyut
dan menghantam krib-krib, menyebabkan rusaknya krib-krib tersebut. Dalam
keadaan demikian, kirb-krib yang lebih tinggi akan mengalami kerusakan yang lebih
parah, karenanya pada sungai-sungai semacam ini penetapan tinggi krib,
merupakan tahap yang paling menentukan dalam perencanaan. Selanjutnya pada
sungai-sungai

yang

mempunyai

penampang

basah,

maka

sebaiknya

dipertimbangkan untuk dapat membuat krib-krib yang tidak terbenam. Selain itu
mercu krib biasanya dibuat dengan kemiringan 1/20 1/100 ke arah ujung.
2.5 Panjang dan jarak antara
Panjang krib-krib dan jarak antara satu krib dengan krib berikutnya ditetapkan
secara empiris(tanpa menggunakan aturan khusus), hanya menggunakan perkiraan
semata-mata

dan

didasarkan

pada

pengamatan

data-data

sungai

yang

bersangkutan, antara lain situasi sungai, lebar sungai, kemiringannya, debit banjir,
kedalaman airnya, debit normal, bahan yang terdapat di dasar sungai, kondisi
sekeliling sungai serta pengalaman-pengalaman pada sungai tersebut atau sungai
yang dimensi serta perilakunya hampir sama. Umumnya krib yang terlalu panjang
akan berakibat kurang baik terhadap kestabilan sungai, maka panjang krib yang

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

betul-betul memadai untuk suatu sungai haruslah ditetapkan dengan sangat hati-hati.
Berdasarkan hasil survey dan pengamatan pada krib-krib yang sudah
dibangun, maka perbandingan antara panjang krib (l) dan lebar sungai ummnya lebih
kecil dari 10% dan melebihi 25% hanya pada beberapa sungai saja (Gambar 2.6).
Interval krib yang telah dibangun dan setelah dilakukan pengamatan yang
sangat teliti di sungai Tone, maka diperoleh hubungan antara interval dan panjang
krib seperti pada Tabel 2.7.
Sebagaimana yang juga tertera pada Gambar 2.7 diperoleh hubungan D/l (D-interval
krib dan l-panjang krib) yang umumnya pada angka antara 1-4 dan setengah dari
padanya terletak di antara 2-3. Hanya sangat sedikit krib-krib yang dibangun dengan
D/l di atas angka 7 dan dibawah angka 1.

Gambar 2.25 Hubungan antara panjang

Gambar 2.26 Hubungan antara panjang dan

krib Dan lebar sungai

interval pemasangan krib-krib

Tabel 2.11 Hubungan antara panjang dan interval krib


Hubungan antara interval (D) dan
Lokasi pembuatan krib di sungai
panjang (l)
Bagian lurus

D = (1,7-2,3)l

Belokan luar

D = (1,4-1,8)l

Belokan dalam

D = (2,8-3,6)

2.6 Konstruksi krib


1. Krib tiang pancang
Krib tiang pancang adalah salah satu krib permeable dan dapat
dipergunakan baik untuk krib memanjang maupun untuk krib melintang.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Selanjutnya konstruksinya sangat sederhana dan dapat meningkatkan proses


pengendapan serta sangat cocok untuk bagian sungai-sungai yang tidak
deras arusnya. Selain itu sudah sangat banyak dibangun krib tiang pancang
ini dan umumnya dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Bahan tiang pancang adalah kayu atau beton dengan diameter antara
15- 30 cm. sekurang-kurangnya dua baris pancangan dengan jarak antara
masing-masing tiang pancang antara 1-2 m sudah dapat berfungsi sebagai
krib dan biasanya dilengkapi dengan batu lapis lindung, matras ranting atau
bronjong kawat untuk melindungi dasar sungai disekitar krib tersebut
terhadap gerusan. Untuk memperkuat krib tiang pancang, maka kepala tiang
pancang dihubungkan dengan balok horizontal, baik memanjang, malintang
maupun diagonal. Tiang dapat berjajar-jajar secara beraturan atau secara
sembarangan. Selanjutnya harus diingat agar bagian ujung lebih rendah dari
pada bagian pangkalnya dengan kemiringan antara 1/20 1/200.

Gambar 2.27 Beberapa contoh formasi pemancangan pada krib tiap pancang

Gambar 2.28 Konstruksi krib tiang pancang

Gambar 2.29. Tiang Pancang/Lokasi


pekerjaan kering

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

2. Krib rangka
Krib rangka(skelton spur) adalah krib yang cocok untuk sungai-sungai
yang dasarnya terdiri dari lapisan batu atau kerikil yang sulit dipancang dank
rib rangka ini mempunyai kemampuan bertahan yang lebih besar terhadap
arus sungai dibandingkan dengan krib tiang pancang.
Balok kayu atau balok beton digunakan untuk bahan utama
pembuatan krib rangka ini yang dihubungkan sedemikian rupa membentuk
rangka pyramid atau rangka kotak yang berarti dengan bronjong kawat atau
di isi batu dank rib ini bersifat semi permeable. Salah satu krib rangka adalah
seperti yang tertera pada gambar dan yang paling umum digunakan adalah
krib rangka kotak segitiga (triangular frame skelton spur) bahan utama krib
rangka segitiga adalah dolos kayu atau balok beton yang dipasang
sedemikian rupa hingga berbentuk rangka pyramid dan didalamnya
diletakkan bronjong kawat silinder sebagai pemberat.

Gambar 2.30. Krib rangka segitiga

Gambar 2.31 Krib rangka piramid


3. Krib blok beton
Krib blok beton mempunyai kekuatan yang baik dan awet serta sangat
fleksibel dan umumnya dibangun pada bagian sungai yang arusnya deras.

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Bentuk dan denah krib serta berat masing-masing blok beton sangat
bervariasi tergantung dari kondisi setempat antara lain dimensi serta
kemiringan sungai dan penetapannya didasarkan pada contoh yang sudah
ada atau pengalaman-pengalaman pada krib-krib sejenis yang pernah
dibangun.
Beberap contoh krib pada sungai yang arusnya deras terlihat pada
gambar2 berikut. Merupakan contoh krib blok beton yang terdiri dari tiga baris
yang masing-masing mempunyai panjang 3 m, lebar 2 m dan tinggi 2,5 m,
sedang bentuk dan denah blok beton direncanakan khusus sedemikian rupa
sehingga tekanan arus sungai terbagi secara merata ke seluruh blok beton.

Gambar 2.32 Contoh krib blok beton

Gambar 2.33 Contoh krib blok beton


2.7 Pemilihan tipe krib
Tipe krib yang cocok untuk suatu lokasi haruslah ditentukan berdasarkan
resim sungai pada lokasi tersebut dengan memperhatikan tujuan pembuatabnya,

BAB

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

tingkat kesulitan dan jangka waktu pelaksanaannya.


Jadi hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipelajari adalah bentuk denah,
kemiringan memanjang dan bentuk penampang lintang krib, elevasi muka air, debit,
kecepatan arus, bahan dasar sungai dan arah pergeseran dasar sungai. Selanjutnya
tipe krib ditetapkan berdasarkan fungsi hidrolika dari krib, pengalaman-pengalaman
yang pernah ada dan contoh-contoh bangunan krib-krib yang dibuat di waktu-waktu
yang telah lalu.
Dalam proses penentuan tipe krib diperlukan perhatian khusus pada hal-hal
sebagai berikut :
1. Krib permeable yang rendah dengan konsolidasi pondasi biasanya cukup
memadai untuk melindungi tebing sungai.
2. Krib tidak cocok untuk sungai-sungai yang sempit alurnya atau untuk sungaisungai kecil.
3. Krib permeable bercelah besar (highly permeable groyne) seperti krib tiang
pancang sangat sesuai untuk sungai-sungai yang arusnya tidak deras.
4. Kombinasi krib tipe rangka dan konsolidasi pondasi tipe blok beton biasanya
cocok untuk sungai yang arusnya deras.

Tabel 2.12. Hubungan antara kemiringan dasar sungai dan krib efektif.
Kemiringan dasar sungai

1/50-

1/100-

1/200-

1/500-

1/1000-

1/100

1/200

1/500

1/1000

1/5000

Blok beton

Banguna kisi

15

Rangka pyramid 4 baris

Rangka pyramid 3 baris

Rangka dogi

1/5000

Total

18

27

Tiang

Krib tanah

15

20

Rangka sakugyu

Matras kayu(termasuk bronjong kayu)

16

12

29

Tian pancang

11

24

36

79

Rangka kotak segitiga

19

21

Tipe krippen

Jenis krib

BAB

BAB II LANDASAN TEORI


STUDI ARUS
LITERATUR
STUDI
SUNGAI KAPUAS UNTUK PENANGANAN PANTAI DI
KABUPATEN KAPUAS HULU

Total

21

63

54

2
77

229

Anda mungkin juga menyukai