Pendahuluan
Asfiksia masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru
lahir baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di negara maju angka kejadian
asfiksia berkisar antara 1 sampai 1,5 % dan berhubungan dengan masa gestasi dan berat lahir.
Di negara berkembang angka kejadian bayi asfiksia lebih tinggi dibandingkan di negara maju
karena pelayanan antenatal yang masih kurang memadai. Sebagian besar bayi asfiksia
tersebut tidak memperoleh penanganan yang adekuat sehingga banyak diantaranya
meninggal.
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Menurut WHO, asfiksia neonatorum adalah
kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sedangkan menurut Ikatan
Dokter Anak Indonesia, asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis.1 Keadaan tersebut biasanya disertai dengan hipoksia, hiperkapnia
dan berakhir dengan asidosis.
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau saat persalinan. Faktor risiko terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir terdiri dari faktor ibu, faktor janin dan faktor persalinan atau
kelahiran. Hal ini penting, karena dengan pengenalan faktor risiko tersebut maka persiapan
resusitasi bayi dapat dilakukan. Penilaian perinatal terhadap faktor risiko dan penanganan
perinatal yang baik pada kehamilan risiko tinggi sangat mutlak pada asfiksia.
Anamnesis
Dalam setiap melakukan pemeriksaan terhadap pasien, hal pertama yang harus
dilakukan adalah anamnesis atau tanya jawab dengan pasien tersebut. Hanya dengan
anamnesis yang terarah hampir 80-90% diagnosis sudah dapat di tentukan, dan mungkin akan
diperkuat dengan pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis bayi, perlu diketahui
berat lahir, masa gestasi, usia dalam jam, riwayat kehamilan dan persalinan ibu dari pasien,
penyakit ibu selama hamil, dan pemberian ASI.
Pada anamnesis diarahkan untuk mencari faktor resiko terhadap terjadinya asfiksia
neonatorum baik dari faktor neonatus, faktor ibu, dan faktor plasenta. Anamnesis yang kuat
dan menunjukkan tanda-tanda asfiksia meonatus ini dapat membanti dalam menegakkan
diagnosis.1
Pemeriksaan Fisik
Tujuan memeriksa neonates segera setelah lahir adalah untuk menemukan kelainan
yang segera memerlukan pertolongan dan sebagai dasar untuk pemeriksaan selanjutnya.
Sebelum memeriksa neonates sebaiknya kita mengetahui riwayat kehamilan dan persalinan.2
Sejumlah teknik akan membantu menilai tingkat perkembangan neonatus. Teknikteknik ini sering merupakan bagian dalam pemeriksaan fisik pediatrik yang terbatas untuk
skrining dan dilakukan segera sesudah bayi dilahirkan.
Pemeriksaan segera saat lahir, adaptasi terhadap kehidupan ekstrauteri. Pemeriksaan
neonatus yang dilakukan segera sesudah kelahirannya merupakan tindakan yang penting
untuk menentukan keadaan umum, status tumbuh-kembang, kelainan pada perkembangan
gestasionalnya, dan keberadaan anomaly kongenital. Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan
penyakit yang berasal dari jantung, system respiratorius, atau neurologia. Lakukan asukultasi
dengan stetoskop pada toraks anterior, kemudian lakukan palpatasi abdomen den inspeksi
kepala, wajah, rongga mulut, ekstremitas, genitalia, serta perineum.2
Virginia Apgar mengusulkan beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi
baru lahir. Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan keseimbangan
asam basa pada bayi. Disamping itu dapat pula memberikan gambaran beratnya perubahan
kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian secara Apgar ini juga mempunyai hubungan yang
bermakna dengan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Patokan klinisnya adalah (1)
menghitung frekuensi jantung, (2) melihat usaha bernafas, (3)menilai tonus otot, (4) menilai
refleks rangsangan, (5) memperhatikan warna kulit. Setiap kriteria diberi angka tertentu dan
penilaian itu disebut skor Apgar.3
Skor Apgar ini biasanya dinilai pada 1 menit setelah bayi lahir lengkap. Skor Apgar
pada 1 menit pertama ini menujukkan beratnya asfiksia yang diderita dan digunakan sebagai
pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit bayi
lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan mortalitas
neonatal.3
Tabel I. Apgar Skor
Sumber: Paulette SH. Asuhan neonatus: rujukan cepat. Jakarta: EGC; 2007.h.71.
Pada asfiksia neonatorum, biasanya bayi tidak bernafas atau menangis, denyut jantung
kurang dari 100 kali per menit, tonus otot menurun, bisa didapatkan cairan ketuban ibu
bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi, bayi lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR).1
3
Pada kasus didapatkan hasil pemeriksaan fisik yaitu nadi 80 x/menit, bayi tidak
menangis, bergerak, sedikit fleksi, dan sianosis. Berdasarkan perhitungan skor Apgar :
1. Frekuensi jantung : 80 x/menit kurang dari 100 x/menit nilainya 1
2. Usaha bernapas : tidak menangis tidak ada nilainya 0
3. Tonus otot : fleksi sedikit ekstremitas fleksi sedikit nilainya 1
4. Refleks : bergerak gerakan sedikit, sedikit mimikri nilainya 1
5. Warna : sianosis biru/pucat nilainya 0
Skor Apgar untuk bayi pada kasus adalah 3 dan tergolong asfiksia berat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan analisis gas darah pada bayi asfiksia didapatkan peningkatan kadar
PaCO2, penurunan pH, PaO2, bikarbonat dan gangguan pada defisit basa. Analisis gas darah
tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat.4
Tekanan oksigen (PaO2) kurang dari 50 mm H2O, tekanan CO2 (PaCO2) lebih dari 55
mm H2O, pH kurang dari 7,30. 4
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang
diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi seperti darah perifer lengkap, analisis gas darah
sesudah lahir, gula darah sewaktu, elektrolit darah, ureum kreatinin, rontgen, dan lain-lain.4
Diagnosis Banding
Mekonium Aspirasi (Pneumonia Aspirasi)
Hipoksia akut maupun kronik dapat mengakibatkan keluarnya mekonium intrauterin.
Sindrom aspirasi mekonium (meconium aspiration syndrome, MAS) disebabkan oleh aspirasi
cairan amnion yang mengandung mekonium. Aspirasi mekonium saat proses persalinan dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi.5
Derajat keparahan MAS berkaitan dengan derajat asfiksia dan jumlah mekonium yang
teraspirasi. Mekonium yang teraspirasi juga menyebabkan obstruksi jalan napas akut,
peningkatan resistensi jalan napas, atelektasis, dan hiperekspansi. Fase obstruksi diikuti
dengan fase inflamasi 12-24 jam sesudahnya yang mengakibatkan kerusakan lebih lanjut.
Aspirasi cairan lain (misalnya darah atau cairan amnion) mengakibatkan kerusakan yang
sama tetapi lebih ringan.5
Cairan amnion yang mengandung meconium dapat terjadi bila bayi dalam kandungan
menderita gawat janin. Kejadian ini merupakan 10 sampai 20% dari seluruh kehamilan.
4
Biasanya bayi lahir dengan asfiksia disertai riwayat resusitasi aktif.tanda sindrom gangguan
pernafasan mulai tampak dalam 24 jam pertama setelah lahir. Kadang-kadang terdengar pula
ronki pada kedua paru.3
Manifestasi klinis MAS bervariasi dan bergantung pada derajat hipoksia, jumlah serta
konsistensi mekonium yang teraspirasi.5
Bayi dengan MAS sering menunjukkan tanda postmaturitas, yaitu kecil masa
kehamilan, kuku panjang, kulit terkelupas, dan pewarnaan kuning-hijau pada kulit.
Obstruksi jalan napas. MAS dini akan bermanifestasi sebagai obstruksi saluran napas.
Gasping, apnu, dan sianosis dapat terjadi akibat mekonium kental yang menyumbat
saluran napas besar.
Distres pernapasan. Mekonium yang teraspirasi sampai ke saluran napas distal tetapi
tidak menyebabkan obstruksi total akan bermanifestasi sebagai distres pernapasan,
berupa takipnu, napas cuping hidung, retraksi interkostal, peningkatan diameter
anteroposterior dada, dan sianosis.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen toraks yang menunjukkan
gambaran infiltrasi kasar di kedua paru disertai dengan bagian yang mengalami emfisema.
Kematian dapat terjadi pada hari-hari pertama karena kegagalan pernafasan atau asidosis
berat. Pada bayi yang mengalami perbaikan, biasanya gejala hiperpnu baru dapat menghilang
setelah beberapa hari dan kadang-kadang sampai beberapa minggu.3
Pengobatan yang dilakukan dapat dengan perawatan umum berupa pengaturan secara
adekuat suhu dan kelembaban lingkungan, pembersihan jalan nafas sebaik-baiknya dan bila
perlu dilakukan intubasi, seluruh cairan lambung harus segera dikeluarkan untuk
menghindarkan kemungkinan aspirasi ulangan. Tindakan tersebut seharusnya dikerjakan pada
setiap bayi yang lahir dengan cairan amnion yang mengandung mekonium.Pemberian oksigen
dan mengatur keseimbangan asam basa. Oksigen diberikan sampai sianosis menghilang.
Pemberian NaHCO3 untuk mengatur keseimbangan asam basa tubuh. 3
Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Segera setelah lahir, paru harus segera terisi oleh udara agar dapat terlaksana
pertukaran gas dalam darah. Pembuluh darah arteri paruharus segera terisi dan mengalirkan
darah. Sebagian besar cairan yang sebelumnya terdapat dalam paru (pada saat bayi belum
lahir) akan terkompresi keluar pada saat persalinan pervaginam. Sisanya akan diserap oleh
pembuluh limfe paru.6
Dibutuhkan surfaktan dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan alveoli tetap
terkembang. Surfaktan bertugas menurunkan tegangan permukaan, sehingga bisa mencegah
paru kolaps pada saat ekspirasi. Apabila jumlah surfaktan tidak cukup, terbentuk membrane
hialin pada bronchiolus distal dan alveoli. Karena itu, akan terjadi respiratory distress
syndrome (RDS).6
RDS pada umumnya terjadi pada bayi premature, tetai tidak menutup kemungkinan
terjadi pada bayi cukup bulan yang mengalami sepsis, aspirasi meconium, pneumotoraks,
gangguan jantung, dan malformasi struktur dada seperti hernia diaphragmatica.6
Gejala klinis bayi dengan RDS akan mengalami sesak napas (takipnea), retraksi
dinding dada, dan suara mengorok saat ekspirasi. Gambaran radiologis menunjukkan
infiltrate yang luas serta trakheobronkial berisi udara (air-filled tracheobronchial tree).6
Diagnosis Kerja
Asfiksia Neonatorum
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. Menurut WHO, asfiksia neonatorum adalah
kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.1
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia
dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfikisia ini merupakan
factor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan
ekstrauterin. Penilaian statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukkan
bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir.
Skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan
memperlihatkan angka kematian yang tinggi.3
Haupt memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan pada bayi sebagai
akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan kardiovaskular serta komplikasinya sebagai
akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir.
6
Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari
pertama setelah lahir. Penyelidikan patologi anatomi yang dilakukan oleh Larrhoce dan
Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat dan difus pada jaringan otak bayi yang
meninggal karena hipoksia. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis
sering ditemukan pada penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan
fisis dan mental bayi dikemudian hari. Untuk menghindari dan mengurangi kemungkinan
tersebut, perlu dipikirkan tindakan yang tepat dan rasional sesuai dengan perubahan yang
mungkin terjadi pada penderita asfiksia.3
Etiologi
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan
kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonates. Gangguan
ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian
besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian
janin selama masa kehamilan dan persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk
keselamatan bayi. Chamberlain mengemukakan bahwa asfiksia yang mungkin timbul dalam
masa kehamilan dapat dibatasi atau dicegah dengan melakukan pengawasan antenatal yang
adekuat dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi.
Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia
atau hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus.3
Towell mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi yang
terdiri dari:3
1. Faktor ibu
Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
lain-lain.
2. Faktor plasenta
7
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya
solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan
aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu
(a) pemakaian obat anastesia atau analgetika yang berlebihan pada ibu secara
langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin, (b) trauma yang terjadi
pada persalinan, misalnya perdarahan intracranial, (c) kelainan kongenital pada bayi
misalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan, hypoplasia
paru dan lain-lain.
Epidemiologi
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000 sampai 2003
asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak
diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran premature.1
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12,0%).1
Patofisiologi
Pernapasan spontan bayi baru lahir bergantung pada kondisi janin pada masa
kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia jaringan yang
bersifat sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk
merangsang kemoreseptor pusat pernapasan agar terjadi primary gasping yang kemudian
akan berlanjut dengan pernapasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk
karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.3
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan
atau persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi
sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi
ini dapat reversible atau tidak bergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Pada percobaan
binatang yang dilakukan oleh Dawes, ternyata bahwa asfiksia yang ditimbulkan pada
binatang percobaan memperlihatkan suatu pola klinis tertentu. Hal ini sesuai dengan
observasi klinis yang tampak pada bayi asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu
periode apnu (primary apnoea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya
bayi akan memperlihatkan usaha bernapas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernapasan
teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernapas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya
berada dalam periode apnu kedua (secondary apnoea). Pada tingkat ini disamping bradikardia
ditemukan pula penurunan tekanan darah.3
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan
perubahan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan
pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut,
dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen
tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh, terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Asam organik yang terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan timbulnya asidosis
metabolic. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan
oleh beberapa keadaan di antaranya: (a) hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan
mempengaruhi fungsi jantung, (b) terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan
menurunnya sel jaringan, termasuk otot jantung, sehingga menimbulkan kelemahan jantung,
(c) pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya
resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula ke sistem
sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskular yang
terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi
menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.3
Manifestasi Klinis
Secara klinis, tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari
160 kali per menit atau kurang dari 100 kali per menit, halus dan irregular, serta adanya
pengeluaran meconium.6
Diagnosis asfiksia neonatorum setelah bayi lahir dapat dilihat dari bayi tampak pucat
dan kebiru-biruan serta tidak bernafas. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka aka
nada gejala neurologik seperti kejang, nystagmus, dan menangis kurang baik atau bayi tidak
menangis.6
Pada kasus asfiksia yang terjadi selama kehamilan (in utero) dapat dilihat dari denyut
jantung janin (DJJ) irregular dan frekuensinya lebih dari 160 atau kurang dari 100 kali per
menit, terdapat meconium dalam air ketuban, analisa air ketuban (amnioskopi),
kardiotokografi dan ultrasonografi.6
Secara klinis dapat digunakan skor
mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat. Skor APGAR merupakan
metode obyektif untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan berguna untuk memberikan
informasi mengenai keadaan bayi secara keseluruhan dan keberhasilan tindakan resusitasi.
Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan
yang diberikan pada bayi adalah resusitasi bayi baru lahir.3
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:3
Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, perubahan
homeostasis yang timbul akan makin berat, resusitasi akan lebih sulit dan
10
11
aspirasi
mekonium.
Penghisapan
trakea
meliputi
langkah-langkah
VTP dalam waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan
selang orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan
ventilasi tekanan positif adalah hernia diafragma.1
3. Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60 kali per menit setelah
dilakukan VTP selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac massage) terdiri dari
kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah tulang belakang,
meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital
tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan
2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif, satu orang menekan dada dan yang
lainnya melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan frekuensi
jantung, dan suara napas selama VTP. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara
bergantian.1
Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar. Lokasi ibu jari atau
dua jari dalam memberikan tekanan diberikan pada 1/3 bawah tulang dada yang terletak
antara processus xiphoideus dan garis khayal yang menghubungkan kedua puting susu.
Diberikan tekanan yang cukup untuk menekan tulang dada sedalam kurang lebih 1/3
diameter anteroposterior dada, kemudian tekanan dilepaskan untuk memberi kesempatan
jantung terisi. Satu kompresi terdiri dari satu tekanan ke bawah dan satu pelepasan.
Lamanya tekanan ke bawah harus lebih singkat daripada lamanya pelepasan untuk
memberi curah jantung yang maksimal. Ibu jari atau ujung-ujung jari (tergantung metode
yang digunakan) harus tetap bersentuhan dengan dada selama penekanan dan pelepasan.1
13
Kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan aturan satu ventilasi
diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30 ventilasi dan 90 kompresi
permenit. Satu siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiri dari satu ventilasi dan tiga
kompresi.1
Setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung. Ventilasi dihentikan selama 6
detik. Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10. Jika
frekuensi jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan, namun ventilasi
diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika frekuensi jantung tetap kurang dari 60
x/menit, maka pemasangan kateter umbilikal untuk memasukkan obat dan pemberian
epinefrin harus dilakukan. Jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat
bernapas spontan, VTP dapat dihentikan, tetapi bayi masih mendapat oksigen alir bebas
yang kemudian secara bertahap dihentikan. Setelah observasi beberapa lama di kamar
bersalin bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan. 1
4. Pemberian epinefrin.
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi
denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat
dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang volume
atau ke duanya dapat dilakukan.7
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak
boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan meningkatkan
beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,1-0,3 ml/kgBB
larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau melalui selang
endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila frekuensi jantung tidak
meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang
endotrakeal.1
5. Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah dan
frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya resusitasi
lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg,
dapat diulangi.7
6. Perawatan pasca resusitasi
14
Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai
risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat
tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan.7
2. Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100 kali per menit. Penghitungan bunyi jantung
dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga akan
dapat diketahui frekuensi jantung permenit.
3. Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah frekuensi
jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral yang menandakan
hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru menjadi kemerahan adalah
petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat.
Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu menandakan kadar oksigen rendah
sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral yang
memerlukan intervensi.
Pencegahan
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau
meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu
hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari.
Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan beberapa saat
setelah persalinan. Pencegahan berupa: 1
Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini
terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi.
16
Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari persalinan yang bersih dan
aman, stabilisasi suhu, inisiasi pernapasan spontan, inisiasi menyusu dini, pencegahan
infeksi dan pemberian imunisasi.
Komplikasi
Hampir 90 % bayi yang memerlukan resusitasi akan membaik setelah diberikan VTP
yang adekuat, sementara 10 % bayi memerlukan kompresi dada dan obat-obatan, atau
meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak membaik walau telah dilakukan resusitasi
mungkin mengalami komplikasi kelahiran atau komplikasi resusitasi.1
Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada sangat
mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi organ multipel
yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut, bayi dirawat di ruang rawat
lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan antisipasi terhadap komplikasi.16 Bayi
juga memerlukan nutrisi baik dengan cara pemberian oral atau parenteral tergantung
kondisinya. Bila bayi menderita asfiksia berat dapat diberikan nutrisi parenteral dengan
dextrosa 10%. Pemantauan terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti
darah rutin, kadar gula darah, elektrolit dan analisa gas darah juga perlu dilakukan.1
Tabel II: Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi
17
Prognosis
Prognosis tergantung pada kekurangan oksigen dan luasnya perdarahan dalam otak.
Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan kemungkinan
menderita cacat mental.6
Pada asfiksia ringan, prognosis tergantung dari kecepatan penatalaksanaan yang
diberikan. Sedangkan pada asfiksia berat dapat menimbulkan kematian pada hari-hari
pertama atau kelainan saraf. Asfiksia dengan pH 6,9 dapat menyebabkan kejang sampai koma
dan kelainan neurologis permanen, misalnya serebral palsi atau retardasi mental.
Penutup
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini
18
merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap
kehidupan ekstrauterin.
Etiologi asfiksia neonatus dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu faktor ibu, faktor
plasenta, faktor janin, dan faktor neonatus. Manifestasi klinis asfiksia neonatus dilihat
beradasarkan skor Apgar, skor 7-10 normal, 4-6 asfiksia ringan-sedang, dan 0-3 asfiksia berat.
Skor Apgar ini menujukkan beratnya asfiksia yang diderita dan digunakan sebagai pedoman
untuk menentukan cara resusitasi serta mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan
mortalitas neonatal. Resusitasi neonatus harus segera dilakukan untuk menangani bayi dengan
asfiksia terutama asfiksia berat.
Daftar Pustaka:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pencegahan dan penatalaksanaan asfiksia
neonatorum. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi 8. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.650-1.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
kesehatan anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.h.1072-81, 1088.
4. Asfiksia neonatorum. Diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/29132/3/Bab_2.pdf, 22
November 2014.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis. Edisi II. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.h.14-5.
6. Sofian A. Rustam Mochtar sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri
patologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2011.h.291-4.
7. Dharmasetiawani
N.
Resusitasi
neonatus.
Diunduh
dari
http://www.perinasia.com/post/116?title=Resusitasi+Neonatus+
%28Konsensus+2010%29, 23 November 2014.
19