Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan kompos di lubang tanah dan ember selama dua
bulan, diperoleh hasil sebagai berikut :

MINGGU 2
LUBANG TANAH

EMBER

TEKSTUR

WARNA

BAU

pH

Sedikit remah,

Hitam

Dedaunan

lembab, sedikit

kecokelatan

agak

basah
Kurang remah,

Cokelat muda

menyengat
Dedaunan

lengket, tidak

menyengat

lembab
MINGGU 7
LUBANG TANAH
EMBER

Gembur

Cokelat

Tanah

Kasar, lembab

kehitaman
Cokelat

Tanah dan

kehitaman

daun

Berdasarkan hasil praktikum pengomposan anaerob pada lubang tanah dan


ember selama kurang lebih 2 bulan, dapat disimpulkan bahwa keduanya dinyatakan
berhasil. Hasil ini didapatkan dari perbandingan antara hasil praktik pengomposan
dengan teori pengomposan dengan membandingkan beberapa parameter utama yaitu

tekstur, warna, bau dan pH (derajat keasaman). Kompos yang ideal berwarna cokelat
tua hingga kehitaman diserta dengan tekstur yang remah dan tidak berbau (Djuarnani,
2005). Sofian (2006) pun menyatakan bahwa kriteria kematangan kompos dapat
diperhatikan dari bau yang tidak menyengat dan warna yang mencapai cokelat
kehitaman. Perbandingan antara teori pengomposan dengan hasil kompos lubang
tanah menunjukkan hasil yang berbanding lurus. Warna akhir yang dapat diamati baik
pada kompos lubang tanah maupun ember menunjukkan hasil serupa yaitu cokelat
kehitaman. Warna ini telah sesuai dengan kriteria hasil pengomposan yang baik.
Begitu pula dengan baunya, dimana keduanya tidak menunjukkan bau yang
menyengat atau busuk. Pengomposan pada lubang tanah dan ember menunjukkan bau
yang hampir serupa dengan tanah. Kompos yang baik memiliki aroma yang lemah
yaitu seperti bau tanah atau bau humus hutan, apabila tercium bau ammonia (NH 3)
yang kuat maka kompos kelebihan bahan yang mengandung unsur nitrogen (C/N
terlalu rendah) sedangkan bila tercium bau busuk maka kompos terlalu lembab atau
kelebihan kandungan air. Kompos lubang tanah dan ember dinyatakan berada pada
pH optimum yaitu 5 dan 7, sehingga termasuk kategori yang baik. Pada pH optimum,
bahan baku pengomposan akan terurai dengan sempurna oleh mikroorganisme yang
tumbuh melalui aktivitas metaboliknya sehingga akan mempercepat proses
pengomposan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tombe dan Sipayung (2010) yang
menyatakan bahwa kompos dapat dinyatakan baik apabila derajat keasaman pada
akhir pengomposan menunjukkan pH antara 4-8. Kompos yang memiliki pH terlalu
tinggi akan menyebabkan perubahan pada unsur nitrogen pada bahan kompos

menjadi ammonia (NH3). Sebaliknya, kondisi terlalu asam mengakibatkan


mikrooganisme tidak dapat mentoleransi kondisi ini dan berakibat pada kematian.
Terdapat sedikit perbedaan tekstur antara pengomposan di ember dan lubang
tanah. Pengomposan pada lubang tanah memberikan tekstur akhir yang gembur
menyerupai tanah, sedangkan pada ember teskturnya lebih kasar dan kering.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan lokasi pengomposan, dimana pengomposan
pada tanah lebih optimal dan efektif karena dibantu oleh mikroorganismemikroorganisme yang terkandung dalam tanah sendiri dan juga dekomposer. Cacing
tanah merupakan dekomposer yang mengubah bahan organik menjadi humus atau
bahan organik sejenis tanah (Palungkun, 1999). Dengan bantuan organismeorganisme lain inilah, hasil pengomposan jauh lebih baik dengan tekstur yang serupa
dengan tanah. Berbeda dengan pengomposan pada ember yang berlangsung murni
oleh organisme yang berasal dari starter (StarDec) dan hasilnya kurang maksimal
karena masih ada bagian yang belum terdekomposisi dengan baik dan teksturnya
menjadi kasar.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Pengomposan anaerob pada lubang tanah terbukti lebih efektif dan optimal
dibandingkan pengomposan pada ember. Pengomposan pada ember menunjukkan
tekstur yang kasar dan relatif lebih kering dibandingkan dengan pengomposan di
lubang tanah. Tanah mengandung mikroorganisme-mikroorganisme lain yang dapat
membantu mempercepat proses pengomposan melalui aktivitas metaboliknya dengan
kelembaban, suhu, dan pH yang ideal. Selain itu, di dalam tanah juga terdapat
dekomposer yaitu cacing tanah yang mampu menguraikan bahan organik dalam
bahan baku pengomposan menjadi bahan organik sejenis humus yang aman
digunakan bagi tanaman. Hasil pengomposan di lubang tanah menunjukkan tekstur
yang gembur dan serupa dengan tanah dengan warna cokelat agak hitaman. pH
kompos tersebut berada pada angka 5. Pengomposan pada media ini tidak
menimbulkan bau menyengat. Bau yang timbul adalah murni bau tanah.
5.2 Saran
Praktikum pengomposan berjalan dengan cukup baik. Hal yang perlu
diperhatikan untuk praktikum selanjutnya adalah ketertiban dan tanggungjawab
praktikan dalam penyimpanan ember kompos agar tidak hilang selama masa
pengomposan.

3.2 METODE
Persiapkan seluruh alat dan bahan yang diperlukan untuk membuat kompos anaerob.
Setelah seluruh alat dan bahan lengkap barulah memulai pembuatan kompos.
Pengomposan dilakukan di 2 lokasi berbeda yaitu lubang tanah dan ember. Untuk
membuat lubang tanah, gali lah tanah sedalam 30 cm menggunakan cangkul. Setelah
itu, persiapkanlah bahan utama pengomposan yaitu daun kering. Daun kering tersebut
terlebih dahulu harus disobek kecil-kecil. Luas permukaan bahan yang kecil
mempermudah pengomposan karena mencegah adanya bagian yang tidak
terdegradasi atau terdekomposisi oleh mikroorganisme. Cara pengomposan ember
serupa dengan pengomposan di lubang tanah, yaitu dengan menaburkan sobekansobekan daun kering pada dasar wadah hingga mencapai ketinggian 2 cm lalu
ditambahkan abu dan stardec. Stardec berfungsi sebagai starter yang dapat
mempercepat proses pengomposan. Proses tersebut dilanjutkan dengan penambahan
kotoran sapi secukupnya, ditutup lagi dengan sobekan daun kering dan ditambahkan
abu serta stardec. Proses pengomposan berlapis ini berlanjut terus hingga mencapai
ketinggian 10 cm dari mulut wadah. Lubang tanah yang telah berisi bahan-bahan
kompos ditutup dengan plastik hitam besar lalu ditimbun dengan tanah.
Pengomposan di ember juga ditutup dengan plastik hitam lalu diikat kuat sehingga
mulut ember tertutup rapat.

DAFTAR PUSTAKA
Djuarnani, Nan, Kristian dan Budi Susilo S. 2005. Cara Cepat Membuat
Kompos. Jakarta : AgroMedia Pustaka.
Sofian. 2006. Sukses Membuat Kompos dari Sampah. Jakarta : AgroMedia
Pustaka.
Tombe, Mesak dan Hendra Sipayung. 2010. Kompos Biopestisida. Yogyakarta
: Penerbit Kanisius.
Palungkun, Rony. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricullus
rubellus. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya.

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampah adalah bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar,
perkantoran, ruamh penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau aktivitas
manusia lainnya. Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas
manusia yang sudah tidak terpakai (Nurhidayat, 2006).Sampah juga
merupakan bagian terintim dari diri manusia yang hingga saat ini
masalahnya selalu menarik untuk dibicarakan tetapi menakutkan untuk
dijamah. Berawal dari keberadaan sampah tersebut maka estetika akan
berkurang nilainya jika sampah dibiarkan ada dimana-mana. Semua riset
mengatakan bahwa pertambahan jumlah sampah sama dengan pertambahan
jumlah penduduk sehingga, semakin banyak penduduk yang menghuni
bumi maka jumlah sampah juga akan semakin bertambah (Ritapunto, 2009).
Kesadaran masyarakat tentang hidup bersih dan teratur perlu terus
ditumbuhkan, salah satunya dalam penanganan sampah dari skala rumah
tangga karena sampah juga merupakan bagian dari perilaku hidup bersih
dan sehat. Untuk mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi
mengelola sampah perlu upaya yang dimulai secara individual di setiap
rumah (Atmojo, 2007).Untuk menjaga lingkungan bersih bebas
dari sampah salah satu solusinya mengubah kebiasaan
membuang sampah untuk mengolah sampah menjadi kompos dimulai
dari sampah rumah tangga (Andriyeni, 2009). Karena sebagiansampah yang
dihasilkan merupakan sampah organik (sampah basah), yaitu mencapai 6070% dari total volume sampah, yang berasal dari dapur dan halaman.
Sampah organik ini, jika pengelolaannya tidak secara benar maka akan
memberikan bau busuk (H2S dan FeS) dan akan menjadi sumber lalat,
bahkan dapat menjadi sumber lebih dari 25 jenis penyakit (Atmojo, 2007).
Sampah organik yang masih mentah, apabila diberikan secara langsung ke
dalam tanah, justru akan berdampak menurunkan ketersediaan hara tanah,
disebabkan sampah organik langsung akan disantap oleh mikroba. Populasi
mikroba yang tinggi, justru akan memerlukan hara untuk tumbuh dan
berkembang, dan hara tadi diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan

oleh tanaman, sehingga mikroba dan tanaman saling bersaing merebutkan


hara yang ada. Berdasarkan keadaan tersebut, justru akan terjadi gejala
kekurangan hara nitrogen (N) yang sering ditunjukan oleh daun berwarna
kekuning-kuningan (clorosis) (Atmojo, 2007).
Alam memiliki andil besar dalam pengolahan sampah secara otomatis
terutama sampah organik. Akan tetapi kerja keras alam dalam
pengolahan sampah secara natural sangat tidak berimbang dibanding berjuta
ton volumesampah yang diproduksi. Selain itu sampah tidak selalu harus
dibuang karena dengan sedikit kreatifitas dan kerja keras
manusia, sampah yang tidak layak pakai dapat berubah menjadi barang kaya
manfaat. Beragam jenissampah, terutama sampah organik dapat dengan
mudah dan sederhana diaplikasikan menjadi bahan olahan (Andriyeni,
2009).

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


Sampah organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun
tumbuhan. Sampah organik sendiri dibagi sampah organik basah (kandungan air yang
cukup tinggi) contoh diantaranya kulit buah dan sisa sayuran, sedangkan sampah
organik kering (kandungan airnya kecil) contoh diantaranya kertas, kayu, atau ranting
pohon, dedaunan kering. Sampah organik inilah yg nantinya akan dibuat menjadi
pupuk kompos. Kompos yang ideal berwarna cokelat tua hingga kehitaman diserta
dengan tekstur yang remah dan tidak berbau (Djuarnani, 2005). Sofian (2006) pun
menyatakan bahwa kriteria kematangan kompos dapat diperhatikan dari bau yang
tidak menyengat dan warna yang mencapai cokelat kehitaman.

Anda mungkin juga menyukai