Anda di halaman 1dari 26

MINI PAPER

PEMBUATAN KOMPOS

Disusun Oleh :

Dwi Putra Simamora (1903006)

Dosen : Sri Wahyuni SKM,M.K.M

INSTITUT KESEHATAN SUMATERA UTARA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

TAHUN PELAJARAN 2021/2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sampah adalah bahan padat buangan dari kegiatan rumah tangga, pasar,
perkantoran, rumah, penginapan, hotel, rumah makan, industri, atau aktivitas
manusia lainnya. Sampah merupakan hasil sampingan dari aktivitas manusia yang
sudah tidak terpakai.Sampah juga merupakan bagian terintim dari diri manusia
yang hingga saat ini masalahnya selalu menarik untuk dibicarakan tetapi
menakutkan untuk dijamah. Berawal dari keberadaan sampah tersebut maka
estetika akan berkurang nilainya jika sampah dibiarkan ada dimana-mana. Semua
riset mengatakan bahwa pertambahan jumlah sampah sama dengan pertambahan
jumlah penduduk sehingga, semakin banyak penduduk yang menghuni bumi
maka jumlah sampah juga akan semakin bertambah.

Kesadaran masyarakat tentang hidup bersih dan teratur perlu terus


ditumbuhkan, salah satunya dalam penanganan sampah dari skala rumah tangga
karena sampah juga merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat.
Untuk mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu
upaya yang dimulai secara individual di setiap rumah. Untuk menjaga lingkungan
bersih bebas dari sampah salah satu solusinya mengubah kebiasaan membuang
sampah untuk mengolah sampah menjadi kompos dimulai dari sampah rumah
tangga. Karena sebagiansampah yang dihasilkan merupakan sampah organik
(sampah basah), yaitu mencapai 60-70% dari total volume sampah, yang berasal
dari dapur dan halaman. Sampah organik ini, jika pengelolaannya tidak secara
benar maka akan memberikan bau busuk (H2S dan FeS) dan akan menjadi sumber
lalat, bahkan dapat menjadi sumber lebih dari 25 jenis penyakit.
Sampah organik yang masih mentah, apabila diberikan secara langsung ke
dalam tanah, justru akan berdampak menurunkan ketersediaan hara tanah,
disebabkan sampah organik langsung akan disantap oleh mikroba. Populasi
mikroba yang tinggi, justru akan memerlukan hara untuk tumbuh dan
berkembang, dan hara tadi diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh
tanaman, sehingga mikroba dan tanaman saling bersaing merebutkan hara yang
ada. Berdasarkan keadaan tersebut, justru akan terjadi gejala kekurangan hara
nitrogen (N) yang sering ditunjukan oleh daun berwarna kekuning-kuningan
(clorosis).

Alam memiliki andil besar dalam pengolahan sampah secara otomatis


terutama sampah organik. Akan tetapi kerja keras alam dalam pengolahan sampah
secara natural sangat tidak berimbang dibanding berjuta ton volume sampah yang
diproduksi. Selain itu sampah tidak selalu harus dibuang karena dengan sedikit
kreatifitas dan kerja keras manusia, sampah yang tidak layak pakai dapat berubah
menjadi barang kaya manfaat. Beragam jenis sampah, terutama sampah organik
dapat dengan mudah dan sederhana diaplikasikan menjadi bahan olahan.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengolahan sampah sederhana dengan cara pembuatan kompos


menggunakan bahan dasar sampah sayur secara anaerobik dan dengan
perlakuan pemberian biosin dan molase?

C. Tujuan

a. Mahasiswa mengetahui cara pengolahan sampah sederhana melalui


pembuatan kompos secara anaerobik dengan menggunakan bahan dasar
sampah sayur dengan perlakuan pemberian biosin dan molase.
b. Mahasiswa mampu mengaplikasikan sampah menjadi bahan yang bisa
dimanfaatkan yaitu proses pengomposan sebagai pupuk bagi tanaman.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kompos

Pupuk dapat diartikan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah


agar dapat menambah unsur hara atau zat makanan yang diperlukan tanah baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pupuk organik adalah bahan organik
yang umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan, ditambahkan ke dalam
tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen
yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Suriawiria (2003) menyatakan bahwa
pupuk organik mempunyai kandungan unsur hara, terutama N, P, dan K yang
relatif sedikit dibandingkan dengan pupuk anorganik, tetapi mempunyai peranan
lain yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan
kesehatan tanaman. Pengomposan menurut Yang (1997), merupakan suatu proses
biooksidasi yang menghasilkan produk organik yang stabil dan dapat
dikontribusikan secara langsung ke tanah serta digunakan sebagai pupuk. Harada
et al. (1993) menyatakan produk dari pengomposan berupa kompos apabila
diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun biologis tanah.

B. Proses Pengomposan Anaerobik

Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada


struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara).
Proses tersebut merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi fluktuasi suhu,
seperti yang terjadi pada proses pengomposan aerobik. Proses pengomposan
secara anaerobik akan menghasilkan metana (alkohol), CO2, dan senyawa lain
seperti asam organik yang memiliki berat molekul rendah (asam asetat, asam
propionat, asam butirat, dan asam laktat).
Proses anaerobik umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil
pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60%
dengan warna cokelat gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses
pengomposan secara anaerobik sedikit, sehingga umumnya mempunyai
kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan secara aerobik
(Samekto, 2006

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan Anaerobik


1. Ukuran Bahan
Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang
menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi
karena peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak
(Gaur, 1983). Menurut Murbandono (1993), sampai batas tertentu semakin
kecil ukuran partikel bahan maka semakin cepat pula waktu pelapukannya
2. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)
Rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam
pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan
karbon untuk menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan
nitrogen yang berperan dalam memelihara dan membangun sel tubuhnya
(Triadmojo, 2001). Kisaran rasio C/N yang ideal adalah 20-40, dan rasio
yang terbaik adalah 30 (Center for policy and Implementation Study, 1992).
Rasio C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses berjalan lambat karena
kandungan nitrogen yang rendah, sebaliknya jika rasio C/N terlalu rendah
akan menyebabkan terbentuknya amoniak, sehingga nitrogen akan hilang ke
udara (Gunawan dan Surdiyanto, 2001)
3. Temperatur Pengomposan
Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu
optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono
(1993), suhu optimum pengomposan berkisar antara 35-55 oC, akan tetapi
setiap kelompok mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda
sehingga suhu optimum pengomposan merupakan integasi dari berbagai
jenis mikroorganisme.
4. Derajat Keasaman (pH)
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat
dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut
Center for Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH)
yang dituju adalah 6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi
tanaman. Hasil dekomposisi bahan organik ini menghasilkan kompos yang
bersifat netral sebagai akibat dari sifatsifat basa bahan organik yang
difermentasikan. Pada pengomposan pupuk organik padat nilai pH pada hari
ketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari ke-enam berkisar pada 8,66-9,08
(Nengsih, 2002).
5. Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan
Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada
permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan pada bahan
yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses
pengomposan (Indriyani, 1999). Populasi mikroorganisme selama
berlangsungnya proses pengomposan akan berfluktuasi. Berdasarkan
kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang terlibat dalam
pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan
termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup
pada suhu antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari
45 oC, maka proses pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu
tersebut (45-65 oC) mikroorganisme yang berperan adalah termofilik (Gaur,
1983 dan Center for Policy and Implementation Study, 1992).
Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992),
mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran
partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. Menurut
Gaur (1983), bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas
berfungsi untuk mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-
bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.
D. Aktivator

Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi


bahan organik. Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua cara,
cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif
dalam menghancurkan bahan organik (pada activator organic), kedua yaitu
meningkatkan kadar N yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme
tersebut

E. Kol

Kubis kepala alias kol (Brassica oleracea var capitata) adalah kol yang
dalam pertumbuhannya dapat membentuk bulatan seperti kepala atau telur.
Bentuk kepala atau telur ini juga lazim disebut krop. Semua kol yang baru tumbuh
umumnya memiliki hipokotil sepanjang 2 cm, bewarna merah. Kecuali kol
berkeping dua, berakar tunggang dan serabut. Daun pertama mempunyai tangkai
yang lebih panjang dari pada daun yang diatasnya. Kol dapat ditanam hampir di
semua jenis tanah. Tanah yang ideal yaitu tanah liat berpasir yang cukup bahan
organis.Pertumbuhan kol paling baik di daerah yang hawanya dingin. Temperatur
optimum pertumbuhan terletak antara 150C, sedang di atas temperatur 250C
pertumbuhan kol terhambat (Pracaya, 2001). Tanaman kol merupakan tanaman
dataran tinggi, tumbuh terbaik pada ketinggian tempat lebih dari 750 meter di atas
permukaan laut. Namun demikian sekarang sudah banyak kultivar yang dapat
ditanam pada dataran yang lebih rendah. Kol termasuk tanaman dwimusim,
namun dapat juga ditanam sebagai tanaman semusim. Titik tumbuh yang terletak
di ujung tanaman tertutup oleh daun-daun yang saling menutupi satu sama lain.
Warna daun bermacam-macam putih, hijau, ungu, dan sebagainya (Ashari, 1995).

F. Limbah Sayuran

Limbah atau sampah merupakan zat-zat atau bahan-bahan yang sudah


tidak terpakai lagi. Mengelompokkan sampah atau limbah berdasarkan beberapa
faktor yaitu menurut bentuk dan sifatnya. Berdasarkan bentuknya, sampah
dibedakan menjadi sampah padat, cair dan gas. Berdasarkan sifatnya, sampah
dibedakan menjadi sampah yang mengandung senyawa organik yang berasal dari
tanaman, hewan dan mikroba dan sampah anorganik yaitu garbage (bahan yang
mudah membusuk) dan rubbish (bahan yang tidak mudah membusuk). Salah satu
sampah atau limbah yang banyak terdapat di sekitar kota adalah limbah pasar.
Limbah pasar merupakan bahanbahan hasil sampingan dari kegiatan manusia
yang berada di pasar dan banyak mengandung bahan organik. Sampah pasar yang
banyak mengandung bahan organik adalah sampah-sampah hasil pertanian seperti
sayuran, buah-buahan dan daun-daunan serta dari hasil perikanan dan peternakan.
Limbah sayuran adalah bagian dari sayuran atau sayuran yang sudah tidak dapat
digunakan atau dibuang.

Berdasarkan pengamatan di lapangan limbah yang terdapat di Pasar


Mrican terdiri dari limbah buah-buahan dan sayur-sayuran. Limbah buah-buahan
terdiri dari limbah buah semangka, melon, pepaya, jeruk, nenas dan lain-lain
sedangkan limbah sayuran terdiri dari limbah daun bawang, seledri, sawi hijau,
sawi putih, kol, limbah kecambah kacang hijau, klobot jagung, daun kembang kol
dan masih banyak lagi limbah-limbah sayuran lainnya. Namun yang lebih
berpeluang digunakan sebagai bahan pengganti hijauan untuk pakan ternak adalah
limbah sayuran karena selain ketersediaannya yang melimpah, limbah sayuran
juga memiliki kadar air yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan limbah
buahbuahan sehingga jika limbah sayuran dipergunakan sebagai bahan baku untuk
pakan ternak maka bahan pakan tersebut akan relatif tahan lama atau tidak mudah
busuk

G. Manfaat Kompos
Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan
meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos
memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik
tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan
kandungan air tanah. Aktifitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan
meningkat dengan penambahan kompos. Aktifitas mikroba ini membantu
tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang
dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktifitas mikroba tanah juga diketahui
dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk
dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman yang
dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya hasil panen lebih tahan disimpan, lebih
berat, lebih segar, dan lebih enak.

Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yakni
sebagai berikut (Isroi, 2008) :

1) Aspek Ekonomi
1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
2. Mengurangi volume/ukuran limbah
3. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya
2) Aspek Lingkungan
1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah
2. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan
3) Aspek bagi tanah/tanaman
1. Meningkatkan kesuburan tanah
2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
3. Meningkatkan kapasitas serap air tanah
4. Meningkatkan aktifitas mikroba tanah
5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman
7. Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
8. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah
Pada dasarnya kompos dapat meningkatkan kesuburan kimia dan fisik tanah
yang selanjutnya akan meningkatkan produksi tanaman. Pada tanaman
hortikultura (buah-buahan, tanaman hias, dan sayuran) atau tanaman yang sifatnya
perishable ini hampir tidak mungkin ditanam tanpa kompos. Demikian juga di
bidang perkebunan, penggunaan kompos terbukti dapat meningkatkan produksi
tanaman. Di bidang kehutanan, tanaman akan tumbuh lebih baik dengan kompos.
Sementara itu, pada perikanan, umur pemeliharaan ikan berkurang dan pada
tambak, umur pemeliharaan 7 bulan menjadi 5-6 bulan.

Kompos membuat rasa buah-buahan dan sayuran lebih enak, lebih harum
dan lebih masif. Hal inilah yang mendorong perkembangan tanaman organik,
selain lebih sehat dan aman karena tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia
rasanya lebih baik, lebih getas, dan harum. Penggunaan kompos sebagai pupuk
organik saja akan menghasilkan produktivitas yang terbatas. Penggunaan pupuk
buatan saja (urea, SP, MOP, NPK) juga akan memberikan produktivitas yang
terbatas. Namun, jika keduanya digunakan saling melengkapi, akan terjadi sinergi
positif. Produktivitas jauh lebih tinggi dari pada penggunaan jenis pupuk tersebut
secara masing-masing.

Sampah organik secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis
mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini
memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok
kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4–6 minggu sudah jadi.
Apabila sampah organik ditimbun saja, baru berbulan-bulan kemudian menjadi
kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas karena aktifitas mikroba.
Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organik dan merubahnya menjadi
kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 450-
650C. Jika terlalu panas harus dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari (Nia,
Tanpa Tahun).
BAB III
METODE KERJA

A. Alat
1. Tong Plastik 60 liter
2. Ember Plastik
3. Pipa Paralon
4. Talenan
5. Pisau
6. Cetok
7. Sarung tangan Lateks
8. Karung Beras untuk Tempat Tanah
9. Gelas Ukur
10. Bambu 5 buah (10 cm)
11. Plastik yang dilubangi
12. Kawat yang dibulatkan
13. Alat ayakan
B. Bahan
1. Sampah Organik ±10 kg
2. Air Sumur
3. Biosin
4. Molase
5. Daun Kering
6. Tanah Kompos
A. Cara Kerja

No. Cara Kerja Gambar


Persiapan Alat Pengompos

Tong 60 liter disiapkan tanpa dibuang bagian


1.

Dilubangi bagian kanan dan kiri tong untuk sirkulasi

Persiapan Sampah Organik

Sampah organik yang mudah membusuk dicacah


ukuran
2.

Sampah organik yang sudah dicacah lalu ditimbang

Persiapan Larutan

Sampah ±10 kg bisa menggunakan tong ukuran 60

3. liter.
Pembuatan larutan berupa :
3 sendok biosin
3 sdm molase
Dilarutkan dengan 300 cc air
Pencampuran Sampah dengan Larutan Inokulan
Sampah yang sudah ditimbang, dicampur
4.
menggunakan larutan inokulan

Sampah siap digunakan


Pelaksanaan Pembuatan Kompos

5 batang bambu ukuran 10 cm dimasukkan ke


dalam tong dan disusun rapi, setelah itu
dimasukkan tanah setinggi bambu dan lalu diatas
5 tanah tersebut dimasukkan kawat yang sudah
dibulatkan seukuran tong dan diatas kawat
dimasukkan plastik yang sudah dibolongi. Lalu
dimasukkan pipa yang sudah dibolongi setinggi
tong secara berdiri

Diatas plastik diisi dengan sampah organik


setinggi 5 cm dan seterusnya diisi dengan dengan
daun kering setinggi 2 cm dan lalu dimasukkan
tanah setinggi 3cm

Dilakukan berulang sampai tong penuh

Tong kompos disimpan ditempat yang kurang


cahaya dan diperiksa sekali seminggu serta dicatat
suhu dan kelembapannya, tong kompos didiamkan
selama 3-4 minggu menunggu proses peguraian.
Kompos jadi

Jika sampah sudah tidak berbau busuk dan


ketinggian sampah menurun ± 50 cm, berarti
kompos sudah jadi

6. Kompos dibongkar dari tong dan diangin


anginkan selama ± 2 hari

Setelah kompos agak kering lalu diayak dan


disimpan di dalam karung
Kompos siap
dimanfaatkan
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Salah satu bentuk pengelolaan sampah rumah tangga adalah dengan


mengolah sampah menjadi pupuk kompos. Pengomposan adalah proses dimana
abahan organik mengalami penguraian secara biologis khususnya oleh mikroba
yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Proses pengomposan
berjalan secara aerobik pada kondisi lingkungan tertentu yang dsebut dengan
proses dekomposisi.

Berikut ini hasil pengomposan yang dilakukan oleh kelompok 10:

Tanggal Kegiatan Hasil


13 Maret Proses Kompos dibuat satu tong penuh kemudian ditutup
2016 Pengomposa dan disimpan.
n
21 Maret Pengukuran Suhu : 35,30 C
2016 suhu & Kelembaban : 71 %
Kelembaban Ketinggiaan kompos
dalam tong menurun,
seperempat tong

28 Maret Pengukuran Suhu : 34,60 C


2016 suhu & Kelembaban : 59 %
Kelembaban
31 Maret Pengukuran Suhu : 31,10C
2016 suhu & Kelembaban : 79%
Kelembaban Ketinggian tong kembali menurun seperempat tong

5 April Pengukuran Suhu :30,30C


2016 suhu dan Kelembapan : 74%
kelembaban

12 April Pembongkara Tekstur : Lembek, sedikit berair


2016 n Sampah Warna : hitam kecokelatan
Bau : menyengat
Pada kompos terdapat belatung, daun kering yang di
masukkan masih belum terurai sempurna

13 Mei Pengayakan Sebelum diayak, tekstur kompos keras maka dari itu
2016 dan perlu dihancurkan dengan diinjak-injak supaya
pembungkusa mudah dalam pengayakan.
n Kompos Hasil ayakan kompos mendapatkan kompos
sebanyak 5,5 kg

B. Pembahasan
Pengomposan dilakukan pada tanggal 13 Maret 2016, pengomposan
dilakukan di kampus FKM Universitas Diponegoro. Pada minggu pertama (Senin,
21 Maret 2016) ketinggian kompos turun menjadi seperempat tong. Dilakukan
perhitungan suhu dan kelembaban, dan didapatkan hasil suhu sebesar 35,3°C dan
kelembaban 71%. Pada minggu kedua (Senin, 28 Maret 2016), dilakukan hal yang
sama yaitu perhitungan suhu dan kelembapan. Didapatkan hasil suhu sebesar
34,6°C dan kelembaban sebesar 59%. Pada saat yang sama juga dilakukan
pemberian molase dan tanah secukupnya karena kompos menunjukkan
pertumbuhan belatung. Sedangkan pada minggu ketiga (31 Maret 2016) dilakukan
hal yang sama yaitu pemberian molase dan tanah untuk mengurangi keberadaan
belatung yang semakin banyak. Suhu pada minggu ini mengalami penurunan
yaitu sebesar 31,1 °C dan sedangkan kelembapan mengalam kenaikan yaitu
sebesar 79%. Pada tanggal (5 April 2016) dilakukan pengukuran suhu dan
kelembaban kembali. Didapatkan hasil pengukuran suhu sebesar 30,3°C,
sedangkan untuk kelembaban sebesar 74%. Selanjutnya pada bulan keempat (12
April 2016) dilakukan pembongkaran kompos, tekstur pada kompos menjadi
lembek dan sedikit berair, warnanya hitam kecokelatan dan baunya menyengat.
Kemudian dilakukan penjemuran (tidak dengan sinar matahari), penjemuran
kompos dilakukan pada 12 April 2016 hingga 13 Mei 2016. Waktu tersebut
melebihi standar yang harusnya hanya diangin-anginkan kurang lebih 2 hari. Hal
tersebut menyebabkan kompos memiliki tekstur yang keras, sehingga sebelum
dilakukan pengayakan perlu menghaluskan kompos dengan cara diinjak-injak
dahulu dan meremas remas gumpalan kompos agar lebih halus. Setelah itu
kompos bisa diayak, dibungkus dan ditimbang mendapatkan kompos sebanyak
5,5 kg.

Menurut hasil pengamatan yang telah dilakukan dari praktek pembuatan kompos
didapatkan karakteristik fisik kompos yang telah dibuat :

1. Bau
Jika proses pembuatan kompos beralan dengan normal, maka tidak
menghasilkan bau yang menyengat. Walaupun demikian, dalam pembuatan
kompos tidak akan terbebas sama sekali dari adanya bau. Kompos yang sudah
matang dapat diketahui dari baunya yang seperti bau tanah. Berdasarkan hasil
pengamatan, kompos yang dihasilkan masih berbau sehingga dapat dikatakan
kompos masih belum matang.
2. Warna
Warna merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kematangan
kompos yaitu cokelat kehitam-hitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau
atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum
matang. dari hasil pengamatan, kompos yang dihasilkan berwarna coklat
kehitaman-hitaman sehingga dapat dikatakan kompos tersebut belum matang.
3. Tekstur
Ukuran partikel sampah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
kompos harus sekecil mungkin untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya
lebih mudah dicerna atau diuraikan oleh mikroorganisme. Semakin kecil
partikel, semakin luas permukaan yang dicerna sehingga pengurai dapat
berlangsung dengan cepat.Jika proses pembuatan kompos beralan dengan
normal, maka tekstur kompos remah dan tidak menggumpal. pada kompos
yang sudah matang, bentuk fisiknya menyerupau tanah yang berwarna
kehitaman. Menurut hasil pengamatan, kompos yang dihasilkan bertestur
lembek dan menggumpal. Bentuk fisik masih terlihat seperti cacahan sayur
sehingga dapat dikatakan bahwa kompos masih belum matang.
4. Waktu
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposkan, metode yang digunakan dan keberadaan aktivator pengomposan.
Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu
sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang. Menurut hasil
pengamatan, waktu pengomposan yang hanya dilakukan selama 1 bulan.
Waktu untuk pengomposan ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat
kompos matang apalagi dengan adanya penambahan aktivator seperti biosin
dan molase. Namun yang terjadi kompos belum semuanya matang dan
teksturnya juga lembek dan menggumpal serta ada belatung dalam proses
pengomposan. Mungkin terjadi karena pencampuran aktivator, dosis aktivator,
dan bahan baku sayuran yang mungkin dapat menyebabkan proses
pengomposan tidak berjalan sempurna
5. Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan dari kompos berbahan sayur ini dapat dilihat dari metode
pengomposan yang digunakan yaitu metode anaorob sehingga menimbulkan
bau selama proses pengomposan. Sedangkan kelebihan dalam pembuatan
kompos ini adalah bahan yang digunakan mudah didapat karena menggunakan
bahan baku sampah sayur.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengomposan antara lain :

1. Bahan baku
Kecepatan suatu bahan menjadi kompos dipengaruhi oleh nilai
perbandingan C/N dari bahan tersebut. Semakin mendekati C/N tanah maka
bahan tersebut akan lebih cepat menjadi kompos. Tanah pertanian yang baik
mengandung perbandingan unsur C dan N yang seimbang, yaitu C/N = 10/12.
Oleh karena itu, semua bahan dengan kadar C/N yang tinggi, misalnya kayu
dan biji-bijian yang keras harus dicampur dengan bahan-bahan yang berair,
seperti dedaunan dan sampah dapur. Luas permukaan bahan juga ikut
mempengaruhi kecepatan pengomposan. Semakin halus dan kecil bahan baku
kompos maka proses pengomposannya akan semakin cepat dan lebih banyak
hasilnya. Sebaliknya, bila bahan baku berukuran besar maka proses
pengomposannya akan semakin lama. Oleh karena itu, dianjurkan untuk
terlebih dahulu mencacah atau memotong kecil-kecil (sekitar 4— 5 cm) bahan
organik yang berukuran besar agar mempercepat proses pengomposan. Jenis
bahan baku organik juga akan menentukan kualitas produk akhir kompos.
Untuk bahan organik yang mengandung selulosa dan lignoselulosa biasanya
sulit untuk dirombak maka diperlukan mikroba yang mempunyai kemampuan
spesifik. Oleh karena itu, untuk menghasilkan kompos yang baik, beberapa
jenis bahan organik harus dicampur sehingga memberikan komposisi dan
parameter yang ideal.
2. Suhu
Proses pengomposan akan berjalan baik pada suhu ideal, yaitu 40—50oC.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan panas yang ideal
adalah dengan menimbun bahan sampai pada ketinggian tertentu (sekitar 1,25
—2 m). Jika timbunan terlalu pendek atau rendah maka akan menyebabkan
panas mudah menguap. Sebaliknya, timbunan bahan yang terlalu tinggi justru
akan membuat suhu menjadi terlalu tinggi dan udara di dasar timbunan
menjadi berkurang. Kondisi kekurangan udara tersebut cenderung akan
memacu pertumbuhan bakteri anaerob sehingga menimbulkan bau tidak enak.

3. Nitrogen

Nitrogen merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses


pembuatan kompos karena dibutuhkan bakteri untuk dapat tumbuh dan
berkembang biak. Timbunan bahan kompos yang kandungan nitrogennya
rendah tidak menghasilkan panas sehingga pembusukan bahan akan
berlangsung lama.
4. Kelembapan

Salah satu faktor yang tidak kalah penting dalam proses pembuatan
kompos adalah menjaga kelembapan agar tetap seimbang. Secara umum,
kelembapan timbunan yang seimbang adalah sekitar 40—60% atau keadaannya
selembap karet busa yang diperas. Jika timbunan bahan semakin basah maka
kegiatan mengaduk harus semakin sering dilakukan. Di daerah yang bercurah
hujan tinggi, timbunan kompos harus dijaga agar tidak terlalu becek.
Sebaliknya, di daerah yang bercurah hujan rendah dan cenderung kering,
timbunan bahan kompos dapat diairi tiap 4—5 hari sekali.

Usaha yang dapat dilakukan untuk menjaga timbunan kompos agar tidak
terlalu becek, yaitu dengan membuat puncak timbunan menyerupai atap dan
agak membulat agar dapat mengalirkan airnya. Namun, bila hujan masih sangat
deras, timbunan perlu ditutup dengan plastik atau kain terpal untuk menjaga
kelembapan. Apabila berbagai upaya telah dilakukan dan timbunan kompos
masih tetap terlalu basah (becek) maka perlu dilakukan pengadukan setiap hari.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kegiatan pembuatan kompos yang dilakukan dapat ditarik


kesimpulan sebagai berikut :

1. Metode pengomposan yang digunakan yaitu metode anaerob.


2. Hasil yang yang didapatkan berdasarkan faktor- faktor yang mempengaruhi
pembuatan kompos adalah kompos masih berbau, tekstur lembek dan
menggumpal, warna coklat kekuning-kuningan.
3. Kekurangan dari pembuatan kompos berbahan sayur ini adalah bau yang
ditimbulkan sedangkan kelebihannya adalah bahan baku kompos yang mudah
didapatkan.
4. Kompos yang dihasilkan belum sempurna atau bisa dikatakan belum matang.

B. Saran

Dalam pembuatan kompos ini, saran yang dapat diberikan antara lain:

1. Waktu pelaksanaan pembuatan kompos perlu diperhatikan mengingat


waktu yang dibutuhkan cukup lama tergantung dengan bahan dan metode
yang digunakan.
2. Dalam pencacahan bahan dasar kompos yaitu sampah sayur harus
dipotong dengan ukuran yang lebih kecil sehingga dapat memudahkan
proses pengomposan dan penguraiannya juga semakin mudah.
3. Perlunya memperhatikan lokasi penyimpanan kompos agar tidak
mengganggu lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

AgroMedia., 2007. Cara Praktis Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional (BSN)., 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah


Organik Domestik. SNI 19-7030-2004. http://www.bsn.go.id [30 Mei 2016]

Djaja, W., 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan
Sampah. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Djuarnani, N., Kristian., dan B. S. Setiawan., 2005. Cara Cepat Membuat


Kompos. Agromedia Pustaka, Jakarta

Eriyatno., 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.


IPB Press, Bogor

Gaspersz, V., 1992. Analisis Sistem Terapan. Penerbit Tarsiti, Bandung.

Ginting, R., 2007. Sistem Produksi. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Hasibuan, B.E., 2006. Ilmu Tanah. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Herjanto, E., 1999. Manajemen Produksi dan Operasi. PT Gramedia Widiasarana


Indonesia, Jakarta.

Indriani, Y. H., 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta.

Isroi dan N. Yuliarti. 2009. Kompos. Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Komaruddin, 1991. Asas-Asas Manajemen Produksi. Bumi Aksara, Jakarta.

Marsono dan P. Sigit. 2001. Pupuk Akar; Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Murbandono, L. 2009.Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.

Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi. Penebar


Swadaya, Jakarta.

Novizan., 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Render, B., dan Heizer, J., 2006. Manajemen Operasi. Penerbit Salemba Empat,
Jakarta.
LAMPIRAN

Foto bersama Proses penghalusan


setelah Kegiatan kompos dengan
Komposting diinjak
Proses pemisahan batu dan kompos
Kompos siap di packing

Anda mungkin juga menyukai