Sejarah Civil Law Dan Common Law System Hubungannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia
Sejarah Civil Law Dan Common Law System Hubungannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan
digunakan dalam penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum
dihadapkan pada pilihan-pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah berdasar
norma-norma agama. Menjadi menarik karena semua cara penyelesaian tersebut
tidak jarang digunakan antara satu dengan lainnya di wilayah dengan budaya yang
berbeda, atau bahkan di wilayah yang sama untuk kasus sama dengan waktu dan
penduduk yang berbeda generasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
beragam kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pengakuan
hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain hukum negara.
Beberapa orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak
memiliki kejelasan arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki
peraturan perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah
terkodifikasi maupun parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan penganut
civil law. Namun pada pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan
eksistensinya tatkala dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat untuk
menerapkan hukum mereka sendiri atas persoalan-persoalan kemasyarakatan yang
dihadapi. Padahal perilaku hukum yang demikian merupakan ciri dari penerapan
sistem Common Law. Belum lagi dalam beberapa persoalan pembagian harta,
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dihadapkan pada pilihan pembagian
menurut peraturan negara ataukah secara agama yang penyelesaiannya tentu pada
ruang peradilan yang berbeda pula.
Barangkali beberapa orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas
konkordasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda
yang terkodifikasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek), menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi
oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut
lantas menjadikan sistem hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum tentu!
Karena pengaruh bukanlah identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.
B. Permasalahan
Dari uraian latar belakang di atas, tampak bahwa sistematika hukum di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh civil law system, namun dalam praktek di
beberapa masyarakat adat Indonesia yang majemuk juga tidak lepas dari karakteristik
common law system. Setidaknya ada lebih dari 23 sistem hukum adat di Indonesia,
diantaranya; Aceh, Gayo dan Batak, Nias, Minangkabau, Mentawai, Sumatra
Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), SangiheTalaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara,
Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali dan
Lombok, Jawa dan Madura, Jawa Mataraman, serta Jawa Barat (Sunda).
Hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan sebagai persoalan atas
sistematika hukum yang ada di Indonesia, yaitu: Sistem hukum apakah
sesungguhnya yang hidup dan berkembang di negara Indonesia?. Melalui makalah
ini kami akan menguraikan sejarah tentang civil law system, common law system, dan
hubungannya dalam perkembangan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
menciptakan kepastian hukum itu sendiri. Dan kepastian hukum hanya dapat
diwujudkan jika pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan
peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya
boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang
melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang
berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata).
Mengingat sifatnya yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty),
termasuk dalam menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum dalam
sistem Eropa Kontinental, meliputi:
1. Peraturan perundang-undangan, sebagai sumber hukum formal utama yang
dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif (Statutes), dan terbagi menjadi:
a. Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku dan
mengikat secara umum, bukan hanya ditujukan pada orang-orang tertentu.
b. Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang
hanya berlaku bagi orang atau peruntukan tertentu saja.
c. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan hukum
atas kasus konkret tertentu sebagai penyelesaian.
2. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat
selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Kebiasaan atau tradisi
merupakan sumber hukum tertua, yang digali sebagian dari hukum di luar
Undang-Undang.
Kebiasaan adalah pengulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap
kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama. Kebiasaan menjadi suatu hukum
apabila kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum
karena dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu
kebiasaan juga dapat menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim
dalam putusannya.
Persyaratan untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, adalah:
a. Syarat materiil berupa adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau
diulang, yaitu harus dapat ditunjukkan adanya suatu rangkaian perbuatan
yang sama dan berlangsung selama jangka waktu yang lama.
untuk
seluruh
penduduk
berdasarkan
teritorial
negara
2)
civil law system, yaitu: Albania, Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Brasil, Chili,
Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, Ekuador, Estonia, Finlandia,
Guatemala, Haiti, Hongaria, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kolombia, Kroasia,
Latvia, Lituania, Luxemburg, Makau, Malta (namun hukum publiknya juga
mendapat pengaruh common law system), Meksiko, Norwegia, Panama, Perancis,
Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Thailand,
Taiwan, Vietnam, dan Yunani1.
http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia
10
yang kemudian menjadikan sistem hukum ini disebut Common Law System atau Uri
Written Law (hukum tidak tertulis).
Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem
pemerintahan di Inggris bersifat feodalistis, dengan melakukan pembagian wilayahwilayah yang dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewanya kepada Lord
tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia dapat membentuk
pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court. Pengadilan ini
menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan hukum yang
ditetapkan oleh Lord sendiri. Akibatnya muncul kesewenangan dan berbagai
penyelewengan yang juga melahirkan pemberontakan-pemberontakan hingga
akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180).
Kerajaan Inggris lantas berinisiatif mengambil beberapa kebijaksanaan,
yaitu:
a. Disusunnya suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. Agar
mendapatkan kepastian hukum kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh
Glanvild chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus Angliae;
b. Diberlakukannya writ system, yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar
membuktikan bahwa hak-hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian
tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri;
c. Diadakannya sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi mendasarkan
pada hukum kebiasaan setempat melainkan pada Common Law, yang merupakan
suatu unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh hakim (yurisprudensi).
Hal ini menjadi langkah besar bagi kemajuan hukum di Inggris pada masa itu.
Akibat banyaknya perkara dan keterbatasan Royal Court dan sistem Writ
dalam mengadili, maka penduduk Inggris kemudian mencari keadilan kepada
pimpinan gereja atau Lord of Chancellor.
Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem hukum
Inggris tidaklah bertentangan, karena pada saat itu pengadilan Royal Court
didasarkan pada common law dan hakim-hakimnya bertindak atas nama raja (fons
iustitiae atau raja selaku sumber keadilan dan kelayakan). Sedangkan pengadilan
Court of Chancery didasarkan pada hukum gereja atau hukum kanonik dan hakimnya
adalah seorang rohaniawan. Sistem penyelesaian perkara di pengadilan ini dikenal
sebagai sistem equity, yakni sistem penyelesaian perkara yang didasarkan pada
11
hukum alam (ketuhanan) atau keadilan. Dengan semakin banyaknya minat dari
masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord of Chancellor menyebabkan
terbentuknya pengadilan tersendiri yaitu Court of Chancerry di samping Royal Court
yang telah ada.
Untuk keselarasan, maka pengadilan Inggris melakukan reorganisasi
(judicature act) pada tahun 1873-1875, yaitu meletakkan satu atap pengadilan Royal
Court dan Court of Chancerry. Penyelesaian-penyelesaian perkara tidak lagi
berbeda, yakni perkara-perkara Common Law (cases at Common Law) maupun
perkara-perkara Equity (cases at Equity) sama-sama diajukan ke salah satu
pengadilan tersebut.
Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara
Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan
kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Undang-undang nyaris
tidak memiliki pengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan tetapi common law
dalam artian ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris, karena di samping
peradilan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law,
yakni hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang
(legislatif).
Meski dalam common law dikenal adanya statute law, tetapi secara
fundamental berbeda dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum Eropa
Kontinental. Berkembang di daratan Inggris yang sejak abad X dikenal dengan
sebutan Anglo-Saxon (karena penduduknya yang berasal dari suku Angle, Saxon, dan
Jute), sistem common law dikenal pula dengan istilah sistem hukum Anglo-Saxon.
Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule
of Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok ukur:
1. Supremasi hukum (supremacy of law),
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law),dan
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on
individual rights).
Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan
dan hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan dalam
masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu menyesuaikan dengan
12
13
Pembentukan hukum melalui statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia
II akibat desakan perubahan peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan
dengan yurisprudensi yang dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh
Parlemen sebenarnya merupakan bentuk penyimpangan sistem common law,
yakni bentuknya yang berupa undang-undang (written law),dan dapat merubah
putusan pengadilan (yurisprudensi) dengan suatu undang-undang baru. Namun
tindakan parlemen untuk mengubah yurisprudensi ini dibatasi oleh pendapat
umum serta pendapat para sarjana hukum. Sehingga meski memiliki hukum
tertulis, masih dibatasi pendapat-pendapat umum maupun para sarjana hukum
secara obyektif yang didasarkan pada pengetahuan atas kebiasaan atau common
law yang telah ada.
3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris
sehingga menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta
membentuk norma-norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam
putusan pengadilan. Di Inggris dikenal dua macam custom, yaitu local custom
(kebiasaan setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang menyangkut
perdagangan).
4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber
hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap
perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma
hukum yang mampu memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang
diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law
ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma-norma
hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim
dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan keputusan.
Beberapa negara yang sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh common
law system, diantaranya: Amerika Serikat, Australia, Inggris (Britania), Hongkong,
India, Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, dan Selandia Baru. Khusus di India dan
Pakistan beberapa aspek hukum privat banyak dipengaruhi oleh Hukum Agama,
seperti Islam, dan Hindu.
Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo-Saxon di Amerika mengenal
juga pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang diberikan kepada
hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum
14
15
penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara
sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam
perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah
Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang
tersendiri, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja,
Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, atau Undang-undang
Rahasia Dagang.
Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami
berkali-kali perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme
pembentukan berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata,
KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh
karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran
terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi.
Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi
asing pada tahun 1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke
pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negaranegara maju. Akibatnya lambat laun pengaruh common law secara disadari atau tidak
menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.
Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian
atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai
perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru, hingga
pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common
Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam
sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi
anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common law adalah
dominan.
Dalam hukum ekonomi, perjanjian GATT (General Agreement on Tarif and
Trade), WTO (World Trade Organisation), TRIMs (Trade Related Investment
Measures) atau peraturan di bidang investasi yang berhubungan dengan
perdagangan, dan TRIPs (Trade Releted Intellectual Property Rights) atau peraturan
yang berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang-
16
undang di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Begitupun datangnya modal
asing yang dalam implementasinya melahirkan sistem seperti Joint Venture
Agreement, Franchise Agreement, maupun pola pinjaman jangka pendek dalam
sistem Commercial Paper (CP), semuanya merupakan bentuk-bentuk kontrak dalam
sistem common law.
Belum lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan
organisasi-organisasi lingkungan hidup internasional secara tidak langsung pada
ajaran Legal Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan masyarakat
terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai cara
dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris perseroan
terbatas atas nama perusahaan. Semua penyelesaian hukum tersebut sama sekali
tidak dikenal dalam sistem civil law.
Tampak dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme
hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang
kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman sistem hukum yang ada
menjadikan pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu
unifikasi hukum yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidangbidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana.
Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan
dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk
menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis.
Dalam dunia kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni
civil law, common law, dan socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua
model strategi pembangunan hukum, yaitu ortodoks (preventif) dan responsif.
Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri keterlibatan sangat
dominan lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan arah
pembangunan bagi masyarakat. Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara
dengan sistem hukum civil law dan socialist law. Sedangkan strategi pembangunan
hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan
partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam
menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini memungkinkan dihasilkannya
produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam
masyarakat. Dalam pengertian demikian, maka tradisi hukum kebiasaan dan hukum
17
adat dalam sistem common law adalah penganut strategi pembangunan hukum
responsif.
Mengamati perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat
dalam konstitusi negara UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika
dihubungkan dengan arah pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung
dogmatis dan pragmatis, maka sesungguhnya pada skala nasional di Indonesia yang
menganut civil law system antara civil law maupun common law dapat dikatakan
tidak ada lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman, dinyatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Dari rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan
bersikap aktif dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding dan
rechtsvorming). Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga merupakan unsur yang
cukup penting dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat
hukum baru. Kenyataan ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah
masuk ke dalam alam sistem hukum common law.
Sebagaimana dikemukakan dalam Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmaja, bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga
dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di
masyarakat.
Kata
asas
menggambarkan
bahwa
penggagas
memperhatikan
pandangan aliran hukum alam, karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-nilai moral
tertinggi, yaitu keadilan. Adapun kata kaidah menggambarkan bahwa Mochtar
memperhatikan pengaruh aliran Positivisme Hukum, karena kata kaidah mempunyai
sifat normatif. Kata lembaga menggambarkan bahwa teori tersebut memperhatikan
pandangan Mazhab Sejarah, karena yang dimaksud disini adalah lembaga hukum
adat.
18
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat lima sistem hukum di dunia, yaitu; sistem hukum sipil (civil law),
sistem hukum Anglo-Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum
adat, dan sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis). Dari kelima sistem
hukum tersebut, civil law system dan common law system merupakan dua sistem
hukum yang mendominasi sistem-sistem hukum di negara-negara belahan dunia.
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran
Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya
tertulis dalam sistematika hukumnya. Karena awal perkembangannya di daratan
Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental.
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastiam hukum. Prinsip utama
yang menjadi dasar sistem hukum Eropa kontinental adalah bahwa hukum
memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Dalam sistem Eropa
Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan peraturanperaturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim dalam
suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja. Sumber hukum dalam
sistem civil law, meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan yurisprudensi yakni
putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui
universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang secara turun
temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat.
19
yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturanperaturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai
pegangan bagi hakimhakim lain dalam memutuskan perkara sejenis, statute law
yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang
dalam sistem kontinental, custom yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama
berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat)
yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak
memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim
Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang
didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk
memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun
Indonesia juga memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya
berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum
Islam yang di beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun
pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. Akibatnya
di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil
Law dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Sehingga
perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama,
adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law,
common law, maupun hukum-hukum adat yang ada
20