Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa dan
rahmatNya sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kami
juga berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam
penyusunan makalah ini.
Makalah Birokrasi Demokrasi pada kesempatan kali ini mengangkat topik mengenai
peran birokrasi dalam pembuatan kebijakan publik. Disini kami juga menghadirkan suatu
kasus mengenai kebijakan perda DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2005. Makalah ini berusaha
untuk menelusuri peran birokrasi di dalam pembuatan perda tersebut, dengan harapan dapat
memberikan informasi yang lebih jelas dan tepat.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan, kami mengakui bahwa makalah ini
masih banyak memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam isi, cara-cara pengutipan para
ahli, dan sebagainya. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari semua kalangan yang menaruh
minat pada makalah ini khususnya kepada pembimbing yang telah membantu kami dan
teman-teman sangatlah kami harapkan. Selain itu, masukan dan sumbang saran dari semua
pihak sangat berarti bagi perbaikan-perbaikan berikutnya. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi semua pihak. Terima kasih.

BAB I
PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang
Kebijakan publik tidak bisa dipisahkan dengan birokrasi. Jika kegiatan dan tugas

pemerintah bertambah luas dan banyak maka juga akan mengakibatkan bertambahnya
birokrasi. Hal ini berarti para penguasa politik mendapat tambahan beban dan kemudian
memikirkan perluasan infrastruktur birokrasi yang siap dilibatkan dalam kegiatan
perencanaan kebijakan publik di bidangnya masing-masing.
Pada masyarakat yang sudah berkembang, pada umumnya penguasa-penguasa politik
mendelegasikan berbagai urusan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pada pada birokrasi,
sedangkan penguasa-penguasa tersebut memusatkan perhatiannya pada urusan pemilihan
kebijakan. Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi saja melainkan dapat pula
dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung.
Walaupun dalam banyak hal kebijakan publik dibuat dalam arena politik tetapi hampir
semua perencanaan dan pelaksanaannya dalam arena birokrasi. Birokrasi banyak
mendominasi kebijakan publik dalam mengatasi masalah-masalah yang multidimensi dan
yang menyangkut bidang-bidang teknis yang menjadi tugas pokoknya. Masalah pendidikan,
keamanan dan pertahanan, pembangunan ekonomi, kesehatan, kependudukan, lingkungan,
keluarga berencana, transmigrasi, kesejahteraan sosial, dan sebagainya merupakan wilayah
kerja yang dihadapi setiap saat oleh birokrasi. Berbagai program yang berhubungan dengan
masalah-masalah kerja tersebut yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya adalah
birokrasi.
Usaha untuk melaksanakan suatu kebijakan membutuhkan keahlian dan keterampilan
menguasai persoalan yang dikerjakan. Itulah sebabnya kedudukan dan peran birokrasi dalam
hal ini menempati posisi yang strategis. Di samping itu birokrasi berkewajiban melaksanakan
kebijakan tersebut senantiasa mempunyai keharusan untuk memiliki keahlian dan
keterampilan yang tinggi.
I.2

Rumusan Masalah
1; Apa definisi birokrasi dan kebijakan publik?
2; Bagaimana peran demokrasi dalam setiap tahap pembentukan kebijakan publik?
3; Arti penting birokrasi dalam pembentukan kebijakan publik?

I.3

Tujuan Penulisan
1; Mengetahui peranan birokrasi di dalam proses pembentukan kebijakan publik.
2; Menelusuri lebih dalam masing-masing tahap dalam proses kebijakan publik,
diantaranya identifikasi masalah, formulasi, legitimasi, implementasi, dan evaluasi.
3; Menelaah lebih lanjut kasus mengenai Perda pelarangan merokok di tempat-tempat
umum.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1; Definisi Birokrasi

Birokrasi sebagai suatu sistem infromasi formal diperkenalkan pertama kali oleh Mx
Weber pada tahun 1947 dengan pendapat bahwa birokrasi itu merupakan tipe ideal bagi
semua organisasi formal. Cita-cita utama dari sistem birokrasi adalah untuk pencapaian
efisiensi kerja yang seoptimal mungkin. Menurut Weber, organisasi birokrasi dapat digunakan
sebagai pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada
sasarannya. Sedangkan menurut Herbert M. Levine, birokrasi memainkan peranan aktif di
dalam proses politik di kebanyakan negara dan birokrasi menggunakan banyak aktifitas, salah
satu aspek yang paling penting yaitu berupa implementasi undang-undang, Persiapan
proposal legislatif, peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan masalah-masalah
professional dan membagi pelayanan kesejahteraan.
Birokrasi yang berkembang merupakan pokok penyelenggaraan pemerintahan dalam
berbagai bidang dan hubungan antar bangsa. Birokrasi sendiri berperan sebagai pengantar
berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan public dan berfungsi melakukan
pengelolaam pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif dan efisien.
Di sisi lain, brokrasi juga mengemban peranan penting sebagai faktor penentu kesuksesan
keseluruhan agenda pemerintahan termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Fungsi dan peran birokrasi secara umum :
-

Melaksanakan pelayanan publik


Pelaksana pembangunan yang professional
Perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan publik
Sebagai sarana pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan negara yang
netral dan bukan merupakan bagian dari kekuatan yang berkaitan degan kehidupan
politik.

2.2; Definisi Kebijakan Publik

Menurut Para Ahli :

Thomas R. Dye : Public Policy is whatever government choose to do or not to do.


Apapun yang dipilih pemerintah untuk bertindak untuk melakukan atau tidak
melakukan.
David Easton : Public Policy is the authoritative allocation of values for the whole
society. Kebijakan public adalah pengalokasian nilai-nilai secara paksa (sah) kepada
seluruh anggota masyarakat serta hanya pemerintah yang memiliki kekuasaan.
Harold D. Laswell and Abraham : A projected program of goals values and
practices. Kebijakan publik sebagai program pencapaian tujuan nilai-nilai dan
praktika-praktika yang terarah.
M. Irfan Islamy : Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Kebijakan publik secara umum dapat dijelaskan sebagai kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu yang
mengutamakan kepentingan masyarakat.
Proses dan tahap pembuatan kebijakan publik menurut Thomas R. Dye:
1; Problem Identification( Identifikasi Masalah)
2; Agenda Setting ( Prioritas Masalah)
3; Policy Formulation (Perumusan Kebijakan)
4; Policy Legitimation (Pengesahan Kebijakan)
5; Policy Implementation (Penerapan Kebijakan)
6; Policy Evaluation (Laporan Kebijakan & Pengawasan)

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan public anatara lain


perlunya dorongan dari berbagai kebijakan, situasi ekonomi yang berkaitan dengan dana,
sarana pendukung untuk para pelaksana, teknologi yang dapat mendukung implementasi
kebijakan serta perkiraan apakah kebijakan tersebut akan menimbulkan masalah baru atau
mengancam pertahanan dan keamanan negara.

2.3; Peran dan Pengaruh Birokrasi

Menurut Max Weber, birokrasi merupakan penyelenggara rasional yang melaksanakan


kebijakan public dan melayani kepentingan public sehingga harus memiliki unsur netralitas

yang kuat dalam pengertian pemisahan antara politik dan birokrasi. Peran birokrasi secara
umu di dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan antara lain sebagai faktor pendorong
seluruh komponen masyarakat untuk turut serta dalam pelaksanaan pembangunan melalui
kebijakan public, membantu menyeleksi norma- norma yang sudah tidak berlaku lagi dan
mengganti dasar bagi kebijakan publik tersebut dengan norma yang baru, memberikan suatu
dinamika akan sumber daya birokrat sebagai agen pelaksana kebijakan.
Birokrasi juga menyediakan ruang yang luas untuk bagi partisipasi masyarakat untuk
terlibat dalam kebijakan public, birokrasi bisa dikatakan sebagai jembatan masyarakat dengan
proses pembuatan kebijakan publik. Proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif
merupakan bagian yang menunjukkan karakteristik birokrasi yang baik. Melalui kebijakan
yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat maka setiap stakeholders akan dengan
mudah mengetahui maksud dari sebuah tindakan dan kebijakan publik yang diambil dan
ditetapkan oleh pemerintah sehingga akan mempengaruhi sikap dari masyarakat untuk
mendukung maupun menolak kebijakan tersebut. Maka dari itu pula, proses kebijakan ini
harus didukung oleh beberapa hal berupa akuntabilitas, transparansi, keadilan, responsifitas,
kesamaan dan kepastian hukum yang juga akan mempengaruhi perilaku dati aktor-aktor
yang terlibat dalam proses pengambilan dan pelaksanaan kebijakan. Peran birokrasi lebih
memfokuskan diri sebagai agen pembaharuan, bertindak sebagai motivator dan fasilitator
bagi tumbuh dan berkembangnya kompetensi di seluruh lapisan masyarakat.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Peran Birokrasi dalam setiap tahap pembentukan Kebijakan Publik

1; Tahap Identifikasi

Tahap pertama dalam merumuskan suatu kebijakan publik adalah identifikasi atau
perumusan masalah (defining problem). Hal tersebut ditujukan untuk menemukan kasuskasus (alternatif-alternatif kebijakan) yang menyangkut kepentingan umum di dalam
masyarakat yang memerlukan regulasi. Mengenali dan merumuskan masalah merupakan
langkah yang paling fundamental dalam perumusan suatu kebijakan karena untuk dapat
merumuskan kebijakan dengan baik, masalah-masalah publik harus dikenali dan
didefinisikan dengan baik pula. Hal tersebut penting karena pada dasarnya kebijakan
publik dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat.
Masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatankesempatan yang tidak atau belum terealisir yang akan dapat dicapai dengan
mengaplikasikannya menjadi sebuah kebijakan. Identifikasi masalah menjadi sistem
penunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua
fase analisis kebijakan dewasa ini karena tahap identifikasi menjadi pintu pengantar
sebuah pembentukan kebijakan.
Dalam fase ini, para pejabat publik harus terjun secara langsung atau paling tidak
dekat dengan masyarakat untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi masalah publik
dan memerlukaan pemecahan regulasi kebijakan publik. Hal-hal tersebut misalnya
pendidikan, kesehatan, transportasi, sarana umum, pelayanan jasa, ketertiban umum,
perizinan, dll kemudian akan menjadi materi pokok (input) pembahasan pejabat publik
dalam penyusunan agenda kebijakan. Namun tidak semua masalah dapat diaplikasikan
menjadi kebijakan. Tugas identifikasi adalah mengumpulkan masalah-masalah tersebut
secara umum, lalu pada tahap selanjutnya akan ada penyeleksian dan penyusunan
prioritas masalah untuk menentukan masalah mana yang akan diangkat, dibahas, dan
dibuat kebijakannya.
Selama proses identifikasi masalah di masyarakat, pejabat publik harus bersikap
profesional dan objektif, melihat kasus yang ada di masyarakat sebagai kebutuhan
bersama yang memerlukan solusi terbaik serta memisahkannya dari kepentingankepentingan politis kelompok. Oleh karena itu seberapa besar kontribusi yang diberikan
oleh kebijakan public dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi
pertanyaan menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah
pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalahmasalah tersebut dirumuskan. Rushefky secara eksplisit menyatakan bahwa kita sering
gagal menemukan pemecahan masalah yang tepat dibandingkan menemukan masalah
yang tepat.
Kasus yang diangakat adalah kebijakan yang dibuat Pemprop DKI Jakarta, Perda
No.2 tahun 2005 pasal 13 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dijadikan dasar
pembentukan Perda No.75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Dalam Perda

no.75 tahun 2005 tersebut diatur tempat-tempat dan kawasan di mana orang-orang tidak
boleh merokok sembarangan karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Dibentuknya Perda tersebut karena muncul banyak keluhan dari masyarakat tentang
gangguan asap rokok di tempat umum, kurangnya kesadarn para perokok yang masih saja
seenaknya merokok di tempat-tempat umum tanpa memperhatikan aspek kenyamanan
dan dampak kesehatan bagi orang lain, serta meningkatnya tuntutan kesehatan dan
pengetahuan tentang dampak negatif asap rokok. Dari identifikasi Pemprov DKI Jakarta,
hal-hal tersebut ditangkap sebagai sebuah masalah publik yang memerlukan regulasi,
sehingga Pemprov DKI Jakarta menampung input tersebut dan mengaplikasikannya
menjadi sebuah kebijakan.

2; Tahap Formulasi

Tahap formulasi adalah tahap dimana para perumus kebijakan akan berhadapan
dengan alternatif-alternatif kebijakan sebagai pemecahan masalah yang ada. Tahap ini
ada setelah para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut dalam
agenda kebijakan. Kronologisnya masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan akan
dibahas oleh para pembuatan kebijakan Lalu Masalah-masalah yang ada didefinisikan
untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut
berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah
untuk masuk kedalam agenda kebijakan, jika dalam perumusan kebijakan masing-masing
alternatif
bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah. Namun Pada tahap formulasi masing-masing aktor akan
bermain untuk mengusulkan pemecahan terbaik. Misalnya pemerintah akan membuat
kebijakan larangan merokok ditempat-tempat umum. Maka pilihan kebijakannya
meliputi : Pertama ,larangan merokok ditempat umum ditetapkan karena memberikan
dampak positif dilihat dari perspektif kesehatan, lingkungan dan lain-lain. Kedua,larangan
merokok ditempat umum tidak ditetapkan karena memberikan dampak negatif pada
kondisi ekonomi Negara Indonesia. Alternatif kebijakan ini didasarkan atas beberapa
usulan dari Pemprop DKI Jakarta, Dinas kesehatan DKI Jakarta, LSM yang bergerak
pada bidang kesehatan masyarakat, Pengusaha, dinas pekerjaan umum dan lain-lain.
Pertama usulan Dinas kesehatan agar larangan merokok ditempat umum di tetapkan agar
mengurangi angka kematian melihat dampak rokok yang sangat berbahaya bagi kesehatan
yang dapat menyebabkan kanker serangan jantung serta ganguan janin namun yang
menjadi alasan terbesar rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan
dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat baik selaku
perokok aktif maupun perokok pasif, oleh sebab itu diperlukan perlindungan terhadap
bahaya rokok bagi kesehatan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Oleh
sebab itu dengan adanya larangan merokok ditempat umum akan memberikan efek yang

sangat positif di bidang kesehatan. Kedua dari Pengusaha dan dinas pekerjaan umum
berpendapat bahwa larangan merokok ditempat umum akan menimbulkan penurunan
jumlah perokok padahal keberadaan perokok bagi perusahaan merupakan hal yang sangat
menguntungkan. Dengan semakin banyaknya perokok, secara otomatis semakin banyak
pula laba yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dengan meningkatnya laba
perusahaan rokok, maka secara otomatis pendapatan negara dari sektor pajak juga
meningkat (pajak untuk rokok sebesar 36%). Dengan meningkatnya pendapatan negara
dari sektor pajak, maka kesejahteraan rakyat juga terangkat. Karena dengan penghasilan
dari pajak itulah pemerintah membiayai pembangunan negaranya. Selain itu, dengan
adanya perokok juga berarti pekerja pabrik rokok tetap bisa bekerja. Bisa dibayangkan
apabila satupun perokok. Maka dipastikan tidak ada pabrik rokok, yang berarti tidak ada
pekerja di pabrik rokok. Berarti pula meningkatnya jumlah pengangguran kerja.maka
mereka tidak setuju dengan adanya larangan tersebut. Ketiga Pemprop yang sangat
mendukung dengan adanya larangan merokok ditempat umum karena larangan tersebut
merupakan upaya Pengendalian Pencemaran Udara yang akan menciptakan udara yang
sehat dan bersih bagi lingkungan sekitar. Keempat dari LSM yang berpendapat
keberadaan perokok merupakan ancaman bagi generasi kita. Bukanlah rahasia apabila
banyak di antara remaja kita (siswa) yang merokok di tempat umum dengan masih
mengenakan seragam sekolah. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam
pergaulan. Maka dengan larangan merokok ditempat umum dan disertai sanksi yang tegas
maka upaya untuk menciptakan generasi muda yang bebas dari asap rokok dan memilki
perilaku yang baik akan terwujud.
Dalam tahap formulasi terjadi pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang
terlibat dalam perumusan kebijakan. Pertarungan terjadi antara LSM, Pemprop, dan dinas
kesehatan yang melihat sisi positif apabila diterapkan larangan tersebut. Dengan
perspektif ekonominya yang menganggap merugikan pemerintah dan pengusaha dalam
hal pendapatan. kondisi seperti ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada
kompromi dan negosiasi yang terjadi antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan tersebut.
Melihat manfaat yang akan didapat apabila larangan tersebut ditetapkan maka para
aktor pengambil kebijakan menyetujui ditetapkannya larangan tersebut. Sehingga untuk
proses lebih lanjut perlu diadakan legitimasi.
3; Tahap Legitimasi

Proses Legitimasi Kebijakan merupakan proses penetapan dari salah satu alternatif
kebijakan yang telah terpilih oleh para perumus kebijakan diseleksi dan diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan
peradilan.

Legitimasi menghasilkan sumber informasi yang kuat dan relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang
telah diestimasikan melalui peramalan. Rekomendasi juga merupakan bagian dari proses
legitimasi yang merupakan suatu proses yang nantinya akan mengarah pada legitimasi
kemudian akan membantu mengestimasikan tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali
eksternalitas dan akibat yang ditimbulkan, menentukan kinerja dalam pembuatan pilihan,
dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
Dalam tahap legitimasi juga berlangsung proses penyeleksian proposal atas usulan
kebijakan tersebut, membangun dukungan politik serta mengabsahkannya menjadi
undang-undang. Dalam birokrasi yang teratur, pengeluaran publik dan kegiatan badan
legislative dapat ketahui berdasarkan standar kebijakan tersebut.
Birokrasi mempunyai peran dan posisi yang vital dalam proses pengelolaan kebijakan
termasuk pembuatan kebijakan publik. Birokrasi baik itu secara langsung maupun tidak
langsung sangat menentukan tingkat efisiensi dan kualitas pelayanan publik yang akan
diberikan kepada masyarakat serta efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah akan dapat
berjalan secara efektif apabila terdapat birokrasi yang sehat serta memiliki integritas dan
kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi dan
representatif dari masyarakat.
Peran penting yang dimiliki birokrasi dalamm proses pembuatan kebijakan publik
menimbulkan pengaruh lain. Birokrasi dan sistem politik menjadi berkaitan erat sehingga
mendorong birokrasi untuk turut campur dengan kehidupan politik sehingga netralitas
yang seharusnya dimiliki oleh birokrasi semakin berkurang. Birokrasi dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mencapai ataupun mempertahankan
kekuasaan pihak terkait.
Kebijakan publik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh birokrasi publik.
Lingkungan sekitar baik itu lingkungan internal maupun lingkungan eksternal
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik. Dari aspek eksternal
meliputi kesiapan dalam menerima setiap keputusan dalam pembuatan kebijakan publik
dari stakeholder yang bervariasi di masyarakat.
Berkaitan dengan diberlakukannya Perda No.75 Tahun 2005 tentang Kawasan
dilarang Merokok sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pemberlakuan Perda No.2 Tahun
2005 tentang Pengendalian Pencemaran udara, diketahui bahwa alternatif tersebut
dilegitimasi mengingat bahwa kebijakan ini bertujuan sebagai faktor pendukung dari
perda sebelumnya tentang pengendalian pencemaran udara di propinsi DKI Jakarta
dengan mempertimbangkan segala sebab dan akibat dari kebijakan tersebut. Namun,

setelah segala pertimbangan menuju kepada tahap legitimasi, hal ini menimbulkan pro
kontra antara pihak yang memiliki perbedaan kepentingan.
Di satu sisi amanat akan Perda tentang pengendalian pencemaran udara akan dibantu
dengan disahkannya Perda tentang kawasan dilarang merokok. Namun, di sisi lain hal ini
secara perlahan akan mengurangi aspek pendapatan negara karena sebagian sektor
pendapatan berasal dari produksi akan rokok itu sendiri. Akan tetapi dilihat dari berbagai
alternatif beserta konsekuensi dan manfaat yang akan ditimbulkan dari diberlakukannya
perda tentang kawasan larangan merokok ini maka perda ini tetap dipertahankan dengan
prosedur yang telah tertuang dan tidak lepas dari peran masyarakat atau lembaga dan
organisasi yang berkembang di masyarakat.

4; Tahap Implementasi

Kebijakan publik merupakan respons dari sebuah sistem politik terhadap tuntutan
maupun dukungan yang mengalir dari lingkungannya. Pemerintah sebagai pelaku utama
implementasi kebijakan publik memiliki dua fungsi yang berbeda, yakni fungsi politik
dan fungsi administratif. Fungsi politik merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat
kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana
kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power)
dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan para aktor lain juga harus
memainkan peran pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan itu.
Sebuah kebijakan publik akan disusun berdasarkan sebuah proses sebagai berikut:
identifikasi, formulasi, legitimasi, implementasi dan evaluasi. Khusus pada bagian ini,
akan dibahas mengenai implementasi kebijakan publik. Implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sedangkan
pada sisi lain implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat
dipahami sebagai proses, output maupun sebagai hasil.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saransaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Tahap ini terjadi
hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai
implementasi kebijakan tersebut.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2005. Perda ini berisi tentang pengendalian pencemaran udara yang menjadi dasar
larangan merokok di area publik atau tempat umum. Penerapan Peraturan Daerah Nomor

2 Tahun 2005 yang mengatur tentang kawasan dilarang merokok belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik. Berbagai kendala terutama terkait implementasi pemberian sanksi
terhadap pelaku, masih menjadi kesulitan utama di lapangan.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengaku perda larangan merokok di tempat
umum masih kurang efektif. Menurutnya, untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perda
tersebut pemprov akan lebih banyak melibatkan komponen masyarakat. Dalam
pelaksanaan peraturan daerah ini membutuhkan kerjasama masyarakat dalam mengawasi
pelaksanaan berbagai perda mengingat jumlah aparat yang terbatas.
Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah banyak warga masyarakat yang merupakan
perokok aktif banyak yang merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori
kawasan dilarang merokok. Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para
perokok, terkadang masih banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa
menghiraukan kenyamanan dan kesehatan orang lain.
Merokok merupakan hal yang sudah umum di kalangan masyarakat kita. Begitu
umum dan lumrahnya, anak yang secara emosional belum dewasa pun kerap kali
kedapatan merokok. Suatu kebanggaan, begitu kata mereka. Bahkan seringkali kedapatan
remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Sungguh, sebuah fenomena yang
menarik untuk dicermati.
Perda Nomor 2 tahun 2005 memiliki sanksi yang cukup berat, yakni berupa kurungan
badan selama enam bulan penjara atau denda uang sebesar Rp 50.000.000,-/ lima puluh
juta rupiah.
Karena tidak adanya ketegasan dari penerapan larangan merokok pada akhirnya
Pemprov DKI Jakarta akan mengajukan perda khusus yang berbentuk rokok dengan
sanksi tindak pidana ringan (tipiring). Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ibu Peni Susanti mengatakan penegakkan hukum akan
sangat sulit sebab memerlukan dana, sumber daya manusia, kapasitas, dan tentu saja
kinerja institusi yang tidak terbatas.
Oleh karena itu BPLHD akan bekerja sama dengan SIF (Swisscontact Indonesia
Foundation) akan mengkaji aspek legislasi pada peraturan daerah tersebut. khususnya
pasal 13 yang berbunyi sanksi minimal enam bulan penjara dan denda hingga Rp
50.000.000,-. Selain revisi sanksi, implementasi Kawasan Dilarang Merokok (KDM)
kemungkinan juga akan dirubah. Kalau pada awalnya KDM itu artinya adalah salah satu
ruangan khusus untuk merokok maka untuk selanjutnya berarti tidak akan ada ruangan
khusus untuk merokok juga untuk perokoknya. Lima kawasan yaitu sekolah, tempat
ibadah,sarana kesehatan,tempat bermain anak dan angkutan umum KDM akan total, tak
akan boleh ada asap rokok yang mengepul.
Kepala Bidang (Kabid) Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan
mengatakan penegakan kendala selama ini adalah pada jam penegakan di lapangan

pihaknya harus berkoordinasi dengan aparat kehakiman dan harus melakukan


pemberkasan sebelum dijatuhkan sanksi. Nantinya sanksi revisi di perda baru
disederhanakan dan menjadi sanksi tipiring. Bentuknya seperti pengendara bermotor yang
melanggar akan ditilang dan wajib mengikuti persidangan. Selain sanksi pidana juga ada
sanksi administrasi seperti pencabutan izin operasi akan diakomodasi di revisi peraturan
daerah. Revisi perda biasanya dilaksanakan lima tahun sekali yang untuk selanjutnya
akan dilakukan pada tahun 2010.
BPLHD juga akan mengumumkan secara terbuka kepada pelanggar KDM Januari
2010 mengenai revisi perda tersebut, yang bertujuan untuk melindungi pekerja dan
pengunjung dari bahaya asap rokok.
BPLHD pun juga telah melakukan evaluasi kinerja terhadap penerapan Peraturan
Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Dari 120 kawasan perkantoran dan rumah sakit yang
dievaluasi antara lain terungkap sebanyak 36 persen diantaranya berkategori buruk dalam
menerapkan perda larangan merokok.
Sebagai tambahan, sebentar lagi kenikmatan para perokok akan lebih terganggu
karena perda tentang larangan merokok akan segera diberlakukan di sejumlah kota di
Indonesia, tidak hanya di DKI Jakarta. Perda larangan merokok di Indonesia diberlakukan
untuk tempat-tempat umum seperti perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, sekolah,
tempat ibadah, sarana kesehatan, tempat bermain anak dan angkutan umum, dan
sebagainya. Tetapi, perda ini masih harus disosialisasikan karena sebagian masyarakat
tidak mengetahui tentang perda ini.
5; Tahap Evaluasi

Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil
kebijakan. Evaluasi sebuah kebijakan publik tentunya melibatkan berbagai pihak,
diantaranya masyarakat sebagai objek dari pembangunan. Suatu kebijakan atau program
telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah
kebijakan dibuat jelas atau diatasi. Masyarakatlah yang berhadapan langsung dengan
pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Birokrasi, baik dalam berbagai jabatan pemerintah turut serta dalam memfasilitasi
pelayanan publik tersebut, agar sesuai dengan yang diharapkan, yakni efektif, efisien, dan
accountable. Evaluasi kebijakan seringkali dianggap sebagai tahap akhir penutup
perumusan kebijakan, padahal dalam mengevaluasi akan biasa ditemukan kesukaran.
Masyarakat pada dasarnya menginginkan perumusan kebijakan yang secara umum
demokratis dan juga arif seringkali menimbulkan kontradiktif. Evaluasi membuahkan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja
kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu

pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan


kebijakan.
Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah
terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai
yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali
masalah.
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan. Pertama, dan
yang terpenting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh
tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah dicapai. Peran birokrasi dalam evaluasi
kebijakan publik adalah dengan diterimanya setiap ada aduan dari rakyat apabila sebuah
kebijakan atau program pemerintah dinilai menyeleweng dari kepentingan rakyat atau
tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh rakyat. Di dalam keputusan perda Jakarta
mengenai larangan merokok di tempat umum memerlukan evaluasi apakah memang tepat
sasaran ataukah tidak.

BAB IV

PENUTUP
4.1

Kesimpulan
Dari hasil pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dan kebijakan public

memiliki kaitan erat dan tak terpisahkan. Peran birokrasi dalam pembentukan kebijakan
public adalah sebagai perantara atau kendaraan yang mengantarkan masalah-masalah public
untuk diolah menjadi kebijakan public sekaligus menjadi pelaksana dan pengawas kebijakan
public. Birokrasi memiliki andil dalam setiap tahap penyusunan kebijakan public yang di
setiap tahap tersebut akan berbeda-beda peranannya.

4.2

Daftar Pustaka

Lindblom, Charles E..(1986). Proses Penetapan Kebijakan. Terj.Ardian Syamsudin.


Jakarta: Erlangga.
Winarno, Budi.2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Benveniste, Guy.(1994). Birokrasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Hlm.110.
N. Dunn, William. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terj.Drs. Samodra
Wibawa, MA dkk Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Aisyah, Dara.(2003). Hubungan Birokrasi dengan Demokrasi. Dalam Perpustakaan
digital Universitas Sumatera Utara, Hlm.1-11
Harahap, Jumroh Abi.(2009). Peran Masyarakat dalam Mereformasi Kinerja
Birokrasi. stylesheet :www.analisadaily.com.
Anwar,AS.(2008). Kebijakan Publik dan Kinerja Birokrasi Pendidikan.
Adonisrama.(2008).Ringkasan Kebijakan Publik. stylesheet :www.scribd.com
AR, Mustopadidjaja.(2003). Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan
KKN, disampaikan pada seminar dan lokakarya Pembangunan Hukum Nasional III
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Anda mungkin juga menyukai