Anda di halaman 1dari 2

JANJI MATAHARI

Pagi yang dingin. gumamku pada diri sendiri. Aku berjalan menyusuri trotoar yang basah
karena hujan pagi tadi. Angin berhembus pelan menusukkan hawa dingin dalam tubuhku.
Kurapatkan jaket kulit coklat muda yang membalut tubuh bagian atas. Kaki ini melangkah
perlahan menuju halte bis di depan sana.
Walaupun hujan sudah berhenti tiga puluh menit lalu, awan mendung masih tak mau berarak
pergi. Awan kelabu itu menghalangi matahari untuk membagi sinarnya. Aku mendongakkan
wajahku menatap kumpulan awan itu dan berharap mereka pergi dengan cepat.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Jam itu menunjukkan pukul
tujuh lewat lima belas menit. Itu berarti aku terlalu cepat ada di sini dan aku harus
menunggunya selama tiga perempat jam. Kami berjanji bertemu pukul delapan pagi. Janji
yang dibuat sebelum pertengkaran itu. Aku menghela nafas. Matahari, cepatlah muncul.
Jangan biarkan aku sendiri. kataku pelan. Berharap matahari di atas sana mendengarkanku.
Sudah empat hari aku tak melihatnya. Empat hari pula aku seperti kehilangan sesuatu. Kata
teman-temanku, aku seperti bulan yang kehilangan sinarnya. Redup. Tak bersemangat. Ya, itu
sepertinya benar. Semenjak dia menghilang entah kemana, aku seperti kehilangan sesuatu.
Aku tak menyangka bahwa apa yang diucapkannya waktu itu akan terjadi.
Luna, semisal kalau aku pergi ninggalin kamu, kamu bakal merasa kehilangan aku nggak?
tanyanya padaku waktu itu. Aku terdiam. Hmm, gimana ya, enggak tuh. Kenapa aku harus
merasa kehilangan kamu? Toh kamu juga bukan pacar aku, gurauku padanya. Tapi
sepertinya ia menganggapku serius. Ia memandangku lekat dan menanyakan hal itu lagi. Aku
tertawa dan mengulang jawabanku. Tetapi sebelum sempat aku selesai menjawab, ia
membentakku.
Luna, aku serius! Nada bicaranya meninggi dan itu adalah hal yang aku benci.
Kenapa kamu teriak? Aku membalas perkataannya dengan nada suara yang sama.
Aku butuh jawaban yang bener. Suaranya masih tinggi.
Aku kan udah jawab, itu jawabanku. Masih dengan suara tinggi aku membalasnya.
Jadi, kamu beneran nggak akan merasa kehilangan aku? Suaranya mulai melemah.

Ya! jawabku sambil memalingkan muka. Kenapa aku harus merasa kehilangan, toh kamu
bukan siapa-siapaku, lanjutku. Setelah itu kami mulai beradu mulut dan diakhiri dengan
kepergiannya sampai sekarang.
Langit biru sudah mulai terlihat. Aku melirik jam tanganku. Sudah jam delapan lebih,
kenapa ia belum datang? tanyaku pada diri sendiri. Aku mulai ragu apakah ia akan datang.
Sepertinya dia marah. Keraguanku semakin besar.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat di hadapanku. Sang pengemudi melepas
helmnya. Luna, ayo cepat, kita udah telat nih, kata pengemudi itu.
Aku tersentak kaget. Dani? kataku heran.
Dani menyodorkan helm padaku. Aku menerimanya dan memukul bahunya. Kemana aja
kamu? tanyaku.
Sudah, bicaranya nanti aja, cepat naik, pintanya. Aku ikuti pintanya.
Luna, maafin aku ya, kata Dani sesaat sebelum ia melajukan motornya.
Maaf untuk apa? tanyaku.
Untuk empat hari lalu. jawabnya.
Oke. seruku sambil tersenyum. Aku eratkan pegangan tanganku di pinggangnya. Janji kami
terpenuhi seiring dengan hangatnya sinar matahari yang sudah lepas dari kurungan awan
mendung.
Dani, Seharusnya aku yang meminta maaf. Aku ingin meralat jawabanku waktu itu. Karna
aku baru sadar Bulan tak akan bisa bersinar tanpa Matahari. Dan kamulah Matahariku.

Anda mungkin juga menyukai