Anda di halaman 1dari 18

Rumusan Rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia X

Jumat, 01/11/2013 - 07:21 indra


Hasil Kongres Bahasa Indonesia |

Jakarta |

Kongres |

Kongres Bahasa Indonesia |

Kongres Bahasa Indonesia X

Saat pembukaan Kongres Bahasa Indonesia X. (Foto: Faisal Harahap/Okezone)

Dalam Kongres Bahasa Indonesia (KBI) X, setelah mendengar dan memperhatikan sambutan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah.
Rekomendasi tersebut berdasarkan laporan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
serta paparan enam makalah pleno tunggal, di antaranya 16 makalah sidang pleno panel, 104 makalah
sidang kelompok yang tergabung dalam delapan topik diskusi panel, dan diskusi yang berkembang
selama persidangan, KBI X.
Ketua Tim Perumus Kongres Bahasa Indonesia X Prof. Dr. Gufron Ali Ibrahim, M.S. merumusan Kongres
bahasa Indonesia X tersebut, yaitu yang pertama pemerintah perlu memantapkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia melalui penerjemahan dan penebitan, baik nasional maupun internasional, untuk
mengejawantahkan konsep-konsep berbahasa Indonesia guna menyebarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi ke seluruh lapisan masyarakat.
"Kedua, Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa perlu berperan lebih aktif melakukan penelitian,
diskusi, penataran, penyegaran, simulasi, dan pendampingan dalam implementasi Kurikulum 2013 untuk
mata pelajaran Bahasa Indonesia," ujarnya dalam acara penutupan Kongres Bahasa Indonesia X, di
Ballroom, Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Kamis (31/10/2013).
Lebih lanjut, rekomendasi ketiga, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) perlu bekerja sama dalam upaya meningkatkan mutu pemakaian bahasa
dalam buku materi pelajaran. Keempat, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi hasil-hasil pembakuan
bahasa Indonesia untuk kepentingan pembelajaran bahasa Indonesia dalam rangka memperkukuh jati
diri dan membangkitkan semangat kebangsaan," ucapnya.
Gufron melanjutkan, kelima, pembelajaran bahasa Indonesia perlu dioptimalkan sebagai media
pendidikan karakter untuk menaikkan martabat dan harkat bangsa. Rekomendasi yang keenam,
pemerintah perlu memfasilitasi studi kewilayahan yang berhubungan dengan sejarah, persebaran, dan
pengelompokkan bahasa dan sastra untuk memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Ketujuh, pemerintah perlu menerapkan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) untuk menyeleksi
dan mempromosikan pegawai, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, guna memperkuat jati diri
dan kedaulatan NKRI, serta memberlakukan UKBI sebagai "paspor bahasa" bagi tenaga kerja asing di
Indonesia," ungkapnya.
Rekomendasi kedelapan, Gufron melanjutkan, pemerintah perlu menyiapkan formasi dan menempatkan
tenaga fungsional penyunting dan penerjemah bahasa di lembaga pemerintahan dan swasta.
Rekomendasi kesembilan, untuk mempromosikan jati diri dan kedaulatan NKRI dalam rangka misi
perdamaian dunia, pemerintah perlu memperkuat fungsi Pusat Layanan Bahasa (National Language
Center) yang berada di bawah tanggung jawab Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
"Rekomendasi ke-10, yaitu kualitas dan kuantitas kerjasama dengan berbagai pihak luar negeri untuk
menginternasionalkan bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan, baik di tingkat
komunitas ASEAN maupun dunia internasional, dengan dukungan sumber daya yang maksimal,"
tuturnya.
Lalu rekomendasi ke-11, pemerintah perlu melakukan "diplomasi total" untuk menginternasionalkan
bahasa Indonesia dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Rekomendasi ke-12, Presiden/Wakil
Presiden dan pejabat negara perlu melaksanakan secara konsekuen Undang-Undang (UU) RI Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dan Peraturan
Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam pidato Resmi Presiden
dan/atau Wapres serta Pejabat Negara lainnya.
"Rekomendasi ke-13, perlu ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan Pasal 38 UU
Nomor 24 Tahun 2009 sehubungan dengan kewajiban menggunakan bahasa Indonesia untuk nama dan
media informasi yang merupakan pelayanan umum," jelasnya.
Selanjutnya rekomendasi yang ke-14, pemerintah perlu menggiatkan sosialisasi kebijakan penggunaan
bahasa dan pemanfaatan sastra untuk mendukung berbagai bentuk industri kreatif. Rekomendasi ke-15,
pemerintah perlu lebih meningkatkan kerjasama dengan komunitas-komunitas sastra dalam membuat
model pengembangan industri kreatif berbasis tradisi lisan, program penulisan kreatif, dan penerbitan
buku sastra yang dapat diapresiasi siswa dan peminat sastra lainnya.
"Rekomendasi ke-16, pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan teknologi informatika dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia," katanya.
Rekomendasi ke-17, yaitu perlindungan bahasa-bahasa daerah dari ancaman kepunahan perlu dipayungi
dengan produk hukum di tingkat pemerintah daerah secara menyeluruh. Rekomendasi ke-18, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa perlu meningkatkan perencanaan dan penetapan korpus
bahasa daerah untuk kepentingan pemerkayaan dan peningkatan daya ungkap bahasa Indonesia
sebagai bahasa penjaga kemajemukan Indonesia dan pilar penting NKRI.
"Rekomendasi ke-19, pemerintah perlu memperkuat peran bahasa daerah pada jalur pendidikan formal
melalui penyediaan kurikulum yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan faktual daerah dan pada
jalur pendidikan nonformal atau informal melalui pembelajaran bahasa berbasis komunitas," katanya.
Lanjutnya, rekomendasi ke-20, yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa perlu meningkatkan
pengawasan penggunaan bahasa untuk menciptakan tertib berbahasa secara proporsional.
Rekomendasi ke-21, pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang mendukung eksistensi
karya sastra, termasuk produksi dan reproduksinya, yang menyentuh identitas budaya dan kelokalannya
untuk mengukuhkan jati diri bangsa Indonesia.

"Rekomendasi ke-22, Penggalian karya sastra harus terus digalakkan dengan dukungan dana dan
kemauan politik pemerintah agar karya sastra bisa dinikmati sesuai dengan harapan masyarakat
pendukungnya dan masyarakat dunia pada umumnya," katanya.
Rekomendasi ke-23, pemerintah perlu memberikan apresiasi dalam bentuk penghargaan kepada
sastrawan untuk meningkatkan dan menjamin keberlangsungan daya kreativitas sastrawan sehingga
sastra dan sastrawan Indonesia dapat sejajar dengan sastra dan sastrawan dunia. Rekomendasi ke-24,
lembaga-lembaga pemerintah terkait perlu bekerja sama mengadakan lomba-lomba atau festival
kesastraan, khususnya sastra tradisional, untuk memperkenalkan sastra Indonesia di luar negeri yang
dilakukan secara rutin dan terjadwal, selain mendukung festival-festival kesastraan tingkat internasional
yang sudah ada.
"Rekomendasi ke-25, peran media massa sebagai sarana pemartabatan bahasa dan sastra Indonesia di
kancah internasional perlu dioptimalkan," katanya.
Rekomendasi ke-26, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mengingatkan dan memberikan teguran
agar lembaga penyiaran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Rekomendasi ke 27, KPI
menerima usulan dari masyarakat untuk menyampaikan teguran kepada lembaga penyiaran yang tidak
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
"Rekomendasi ke-28, diperlukan kerjasama yang sinergis dari semua pihak, seperti pejabat negara,
aparat pemerintahan dari pusat sampai daerah, media massa, Dewan Pers, dan Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, demi terwujudnya bahasa media massa yang logis dan santun," katanya.
Selain itu, rekomendasi yang ke-29, yaitu literasi pada anak, khususnya sastra anak, perlu ditingkatkan
agar nilai-nilai karakter yang terdapat dalam sastra anak dipahami oleh anak. Rekomendasi ke-30, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus memperkuat unit yang bertanggung jawab terhadap
sertifikasi pengajar dan penyelenggara BIPA. Rekomendasi ke-31, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa berkoordinasi dengan para pakar pengajaran BIPA dan praktisi pengajar BIPA
mengembangkan kurikulum, bahan ajar, dan silabus yang standar, termasuk bagi Komunitas ASEAN.
"Dan rekomendasi yang terakhir, yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa memfasilitasi
pertemuan rutin dengan SEAMEO Qitep Language, SEAMOLEC, BPKLN, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), dan perguruan tinggi untuk menyinergikan penyelenggaraan pengajaran
BIPA. Dan pemerintah Indonesia harus mendukung secara moral dan material pendirian pusat studi atau
kajian bahasa Indonesia di luar negeri," tutupnya.

Daya Pikat Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional


Friday, 19 October 2012 (16:40) | Bahasa | 45975 pembaca | 41 komentar

Oleh: Sawali Tuhusetya

ebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia setelah RRC (

1.298.847.624 jiwa), India ( 1.065.070.607 jiwa), dan Amerika Serikat ( 293.027.571 jiwa),
Indonesia memiliki kekuatan dahsyat untuk menjadi negara besar yang sangat diperhitungkan
dalam kancah pergaulan global. Berdasarkan pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri,
sebagaimana disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, jumlah penduduk Indonesia
terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857 jiwa yang terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan
127.700.802perempuan (lihat nasional.kompas.com).
Jumlah penduduk sebesar itu sesungguhnya bisa dioptimalkan sebagai modal sosial untuk
menjadikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang memiliki pengaruh besar dalam ikut
membangun peradaban dunia yang bermartabat dan berbudaya. Tak hanya di bidang politik,
ekonomi, atau sosial, tetapi juga di bidang kebudayaan. Di ranah kebudayaan, misalnya, bangsa kita
mampu meningkatkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Penduduk
Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia bisa dimanfaatkan sebagai agen-agen budaya
untuk memperkenalkan dan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai sarana dialog kebudayaan
lintas-bangsa, sehingga secara bertahap bahasa Indonesia makin dikenal dan dipahami oleh
penduduk dunia. Tidak berlebihan apabila banyak kalangan menilai, sudah saatnya bahasa
Indonesia benar-benar didorong dan diberikan ruang seluas-luasnya untuk menjadi bahasa
internasional.
Wacana untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional semakin menguat
setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam pasal 44 disebutkan bahwa: (1) pemerintah
meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis,
dan berkelanjutan; (2) peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan; (3) ketentuan lebih
lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam konteks demikian, bahasa Indonesia secara faktual tidak hanya digunakan oleh ratusan juta
penduduk Indonesia, tetapi dukungan suprastrukturnya juga sudah cukup kuat, sehingga

peluang bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional benar-benar terbuka. Selain
itu, bahasa Indonesia juga telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam
maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang
telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah,
maupun di lembaga-lembaga kursus. Sementara itu di luar negeri, pengajaran Bahasa Indonesia
untuk Penutur Asing (BIPA) juga telah dilakukan di 46 negara yang tersebar di seluruh benua
dengan 179 lembaga penyelenggara.
Daya
Pikat
Bahasa
Indonesia
Semakin banyaknya penutur asing yang ingin belajar menggunakan bahasa Indonesiamenunjukkan
bahwa peran bahasa Indonesia dalam lingkup pergaulan antar-penduduk dunia semakin penting
dan diperhitungkan. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan atmosfer budaya dan kepariwisataan
di Indonesia yang menjadi salah satu pusat budaya dan wisata dunia. Indonesia, di mata dunia,
bagaikan magnet yang memiliki daya tarik dan daya pikat wisatawan mancanegara yang ingin
mengetahui lebih jauh kekayaan dan aset wisata Indonesia yang tidak pernah mereka saksikan di
negerinya masing-masing. Jika dilakukan upaya serius untuk mendorong bahasa Indonesia sebagai
bahasa internasional bukan mustahil mimpi semacam itu benar-benar akan terwujud.
Adakah keuntungannya buat bangsa kita seandainya bahasa Indonesia benar-benar menjadi bahasa
internasional? Menurut hemat saya, ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh. Pertama, ikatan
nilai nasionalisme dan
sikap
bangga
segenap
warga
bangsa
terhadap bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional kian kokoh dan kuat. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai
bahasa internasional, akar-akar nasionalisme yang selama ini tenggelam akibat dinamika global
yang kian deras menggerus sendi-sendikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan
kembali mencuat ke permukaan. Selain itu, sikap bangga setiap warga bangsa terhadap bahasa
nasional kian kokoh akibat menguatnya nilai-nilai primordialisme bangsa kita di tengah
percaturan masyarakat dunia. Rasa cinta terhadap bangsa dan negara makin mengagumkan.
Kedua, secara kultural, peradaban bangsa kita yang dikenal sangat santun, rendah hati, ramah, dan
luhur budi, juga semakin mendapatkan pengakuan dunia. Diakui atau tidak, akibat lemahnya dialog
budaya dan upaya diplomasi bangsa kita dalam memperkenalkan produk-produk budaya bangsa di
tengah kancah pergaulan masyarakat dunia, termasukbahasa Indonesia, nilai-nilai kearifan
dan keluhuran budi bangsa kita semakin tenggelam, bahkan sama sekali tidak dikenal oleh warga
negara asing. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional, potret budaya
bangsa yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal akan semakin dikenal secara luas oleh
masyarakat internasional.
Ketiga, posisi tawar bangsa kita akan semakin tinggi di mata dunia. Dengan diakuinyabahasa
Indonesia sebagai bahasa internasional, pamor bangsa kita akan semakin memancar kuat sehingga
peluang untuk ikut menjadi penentu sejarah dunia juga makin terbuka. Bukankah ini akan
membuka peluang bagi bangsa kita untuk ikut-serta mewujudkan perdamaian dunia secara nyata
sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara?
Keempat, pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional akan membuat bangsa kita
mampu memerankan dirinya sebagai aktor peradaban dunia menjadi lebih terhormat dan
bermartabat. Peradaban bangsa kita yang telah lama dikenal sebagai bangsa yang ramah dan
beradab bisa menjadi modal kultural yang sangat berharga, sehingga bisa ikut berkiprah dalam
mewujudkan tata kehidupan dan peradaban dunia yang lebih santun dan berbudaya.

Kelima, mendorong kemajuan bangsa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang selaras
dengan derap dan dinamika global. Dengan diakuinya bahasa Indonesia sebagai bahasa
internasional, dengan sendirinya bahasa Indonesia akan menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang
digunakan di banyak negara. Kondisi semacam ini jelas akan sangat menguntungkan bangsa kita
yang selama ini dinilai masih tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tentu masih banyak keuntungan lain yang bisa diperoleh bangsa kita seandainya bahasa
Indonesia benar-benar menjadi bahasa internasional. Bangsa kita tidak hanya mampu
memancarkan pamor yang kuat di tengah kancah pergaulan dunia, tetapi juga mampu
menghidupkan dan merevitalisasi nilai-nilai peradaban berbasis kearifan lokal yang selama ini
tenggelam
akibat
makin
kuatnya
gerusan
nilai-nilai
global
ke
dalam
sendisendikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hambatan
Serius
Untuk mewujudkan mimpi agar bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, jelas bukan
perkara mudah. Ada dua hal mendasar yang bisa menjadi hambatan serius untuk mewujudkan
mimpi semacam itu. Pertama, secara eksternal, bangsa kita belum mampu memainkan peran
strategis dalam melakukan dialog-budaya antarnegara. Diplomasibudaya bangsa kita yang
cenderung melemah dan posisi tawar yang rendah, membuat proses transformasi sosial dan budaya
kita di manca negara makin silang-sengkarut. Sistem dan pengelolaan pendidikan, kebudayaan, dan
diplomasi yang salah urus, diakui atau tidak, telah melahirkan sosok karbitan dan miskin
kemampuan sehingga gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Alih-alih memiliki
posisi tawar yang mengagumkan di mata dunia, diplomasi budaya antarnegara serumpun pun gagal
dilakukan dengan baik. Lihat saja, kasus Ambalat yang dipicu ketika Malaysia melakukan provokasi
atas wilayah perairan Indonesia di utara Kalimantan Timur dengan mengirim kapal-kapal
perangnya melewati perairan Indonesia di Blok Ambalat beberapa waktu yang silam atau ketika
Malaysia mengklaim lagu Rasa Sayange, batik, dan berbagai seni tradisi lainnya, sebagai bagian
dari karya-karya mereka! Bangsa kita gagal melakukan diplomasi budaya dengan baik. Jika kondisi
semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin upaya untuk mewujudkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa internasional akan semakin sulit terwujud.
Kedua, secara internal, bangsa kita mulai kehilangan sikap bangga terhadap bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional. Gejala semacam ini jelas terlihat dari maraknya orang Indonesia
yang merasa terpelajar, modern, dan prestisius ketika menyelipkan setumpuk kosakata asing dalam
tuturannya. Para elite bangsa dan figur publik yang seharusnya mampu memerankan dirinya sebagai
anutan sosial dalam berbahasa Indonesia dengan baik dan benar pun seringkali bersikap latah
dengan ikut-ikutan menggunakan kosakata asing dalam setiap tuturannya. Sikap rendah diri
terhadap bahasa nasionalnya sendiri, disadari atau tidak, telah melemahkan gengsi dan harga
diri bahasa Indonesia di mata dunia. Bagaimana bisa membuat mata dunia makin tertarik dan
menghargai keberadaanbahasa Indonesia dalam percaturan global kalau para pemangku budayanya bersikap abai dan miskin kepedulian?
Kondisi semacam itu diperparah dengan kebijakan politik pendidikan yang salah urus
ketika sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) atau SBI (Sekolah
Berstandar Nasional) bersikap latah melawan hukum dengan menjadikan bahasa asing (bahasa
Inggris) sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Kebijakan semacam ini tidak hanya
mengebiri fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi (negara) yang wajib digunakan sebagai
bahasa pengantar di lembaga pendidikan, tetapi juga makin meruntuhkan semangat generasi masa
depan negeri ini untuk mencintai budaya bangsanya sendiri.

Mimpi untuk mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional makin jauh panggang
dari api ketika bangsa kita gagal meredam perilaku anomali sosial, semacam korupsi,
manipulasi, kekerasan, tawuran antarpelajar dan mahasiswa, teror, penipuan, pembohongan publik,
dan berbagai perilaku merusak lainnya. Selain meruntuhkan animo wisatawan asing untuk datang
berkunjung ke Indonesia, secara tidak langsung, perilaku merusak semacam itu juga telah
membunuh sikap ramah, santun, terhormat, bermartabat, dan berbudaya yang selama ini menjadi
ikon bangsa kita. Bukankah nilai-nilai keluhuran budi dan kearifan hidup juga akan menjadi
penentu bisa tidaknya sebuah bahasa diakui sebagai bahasa internasional?
Mengacu berbagai fakta sosial yang terjadi di negeri ini, langkah untuk memosisikanbahasa
Indonesia sebagai bahasa internasional agaknya makin rumit dan kompleks. Perlu ada upaya serius
untuk merevitalisasi dan menghidupkan kembali sikap bangga terhadapbahasa nasional kepada
semua anak bangsa. Bulan Bahasa yang jatuh pada setiap bulan Oktober idealnya tidak terjebak
pada kegiatan seremonial belaka, tetapi perlu diimbangi dengan upaya serius untuk melakukan
sosialisasi berbagai kaidah bahasa Indonesiabeserta payung hukum-nya kepada masyarakat luas
sehingga secara bertahap penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar tidak terjebak
menjadi slogan belaka. Selain itu, Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan lebih lanjut
mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagai penjabaran
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta
Lagu Kebangsaan perlu segera diluncurkan. Yang tidak kalah penting, penegakan hukum yang adil
terhadap pelaku kejahatan di negeri ini perlu dilakukan secara serius untuk mendongkrak citra
bangsa yang selama ini merosot drastis akibat merajalelanya perilaku merusak yang telah menodai
marwah bangsa. ***
TAGS: BAHASA INDONESIA, NASIONALISME

Tulisan berjudul "Daya Pikat Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional" dipublikasikan
oleh Sawali Tuhusetya (19 October 2012 @ 16:40) pada kategori Bahasa. Anda bisa mengikuti respon
terhadap
tulisan
ini
melalui
feed
komentar RSS
2.0,
memberikan respon,
atau
melakukan trackback dari blog Anda. Terima kasih atas kunjungan, silaturahmi, saran, dan kritik
Anda selama ini. Salam budaya!

KOMPAS.com - Sejak diikrarkan sebagai bahasa Nasional pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928, dan ditetapkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia
hingga saat ini telah mengalami perkembangan sangat pesat. Seiring kemajuan yang dicapai
oleh bangsa Indonesia di era global saat ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa
juga telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting
di dunia.
Pada 2009 lalu, bahasa Indonesia secara resmi ditempatkan sebagai bahasa asing kedua oleh
pemerintah daerah Ho Chi Minh City, Vietnam. Kemudian, berdasarkan data Kementerian Luar
Negeri pada 2012, bahasa Indonesia memiliki penutur asli terbesar kelima di dunia, yaitu

sebanyak 4.463.950 orang yang tersebar di luar negeri. Bahkan, Ketua DPR RI dalam sidang
ASEAN Inter-Parliamentary assembly (AIPA) ke-32 pada 2011 mengusulkan bahasa Indonesia
sebagai salah satu bahasa kerja (working language) dalam sidang-sidang AIPA.
Fakta-fakta tersebut mendukung usaha peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional yang sedang digalang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
melalui Program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). BIPA adalah program
pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia (berbicara, menulis, membaca, dan
mendengarkan) bagi penutur asing.
"Kan ada salah satu tugas fungsi badan bahasa (Kemdikbud), yaitu menginternasionalisasikan
bahasa Indonesia. Fungsi itu tentu terkait dengan ikhtiar kita mengajar bahasa Indonesia pada
penutur asing," ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Mahsun.
Mahsun mengatakan, saat ini setidaknya ada 45 negara yang menjadi peserta BIPA, dengan
174 tempat pelaksanaan BIPA yang tersebar di negara-negara tersebut. Paling banyak di
Australia, katanya.
Antusiasme warga negara lain, terutama mahasiswa asing, terhadap bahasa Indonesia sangat
tinggi. Hal tersebut diakui Ketua Satgas Program Darmasiswa Republik Indonesia (DRI),
Pangesti Wiedarti. Pangesti mengatakan, dalam Program DRI, bahasa Indonesia menjadi
jurusan favorit para peserta (survei tahun 2012: 65% bahasa Indonesia; 30% seni-budaya,
culinary & tourism 3%, lain-lain 2%). Program DRI adalah program beasiswa bagi mahasiswa
asing yang negaranya memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, untuk belajar di
Indonesia. .
"BIPA dipelajari oleh semua mahasiswa Darmasiswa RI yang belajar di 46 hingga 59 universitas
di Indonesia. Tiap tahun ada sekitar 700 mahasiswa asing dari sekitar 77 negara yang belajar
seni, budaya, dan bahasa Indonesia juga bidang-bidang lain seperti tourism dan hospitality,
jelas Pangesti.
Pengajar BIPA tentu tidak boleh sembarang orang. Mahasiswa maupun dosen bisa menjadi
pengajar/tutor BIPA setelah memenuhi persyaratan tertentu.
Scheme for Academic Mobility and Exchange (SAME) khusus bidang Pengajaran BIPA yang
ditawarkan Ditjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud mensyaratkan dosen yang menjadi calon
pengajar BIPA harus menguasai metode dan teknik dan strategi pengajaran serta

pembelajaran BIPA. Hal ini menjadi kewajiban, sebab mengajar BIPA berbeda sekali dengan
mengajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama/kedua. Selain itu, dosen juga harus
mempunyai pengalaman mengajar mata kuliah BIPA setidaknya dua tahun.
"Pengetahuan tentang multikultural Indonesia juga harus dikuasai. Para dosen ini harus
mendapat izin dari Kajur-Kaprodi, Dekan, dan Rektor untuk meninggalkan tugas di kampus
selama 4 bulan, dan semua ihwal administrasi harus diurus sebelum tes wawancara," ujar
Pangesti yang juga anggota tim SAME-Dikti BIPA.
Sementara untuk mahasiswa yang disiapkan menjadi pengajar/tutor BIPA, mereka harus
mempunyai pengetahuan kebahasaan dan keterampilan mengajar. Dalam mata kuliah BIPA,
mahasiswa belajar Pemahaman Lintas Budaya di mana mahasiswa harus aktif mencari
informasi tentang negara-negara tetangga dalam hal budaya dan bahasanya, yang pada
umumnya merujuk ke negara-negara yang bekerjasama dengan RI dalam Program Darmasiswa
RI. Mahasiswa juga harus mempelajari kurikulum, silabus, dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran BIPA serta Praktik Mengajar yang disebut Micro Teaching BIPA.
"Yang unik di sini adalah mahasiswa harus mengidentifikasi dirinya dalam kemampuan bahasa
asing mereka, setidaknya bahasa Inggris, dengan menggunakan Common European
Framework of Reference for Languages (CEFRL) yang terdiri atas kemampuan menyimak,
membaca, berbicara (produktif dan interaktif), dan menulis, baik secara global maupun rinci
dalamCan Do Statement," tutur Pangesti yang aktif sebagai dosen pengajar BIPA di Universitas
Negeri Yogyakarta.
Penutur asing yang sudah mengikuti Program BIPA akan diuji kompetensinya. Jika evaluasi bagi
penutur asli bahasa Indonesia adalah melalui Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI),
maka untuk menguji penutur asing diperlukan piranti tes tersendiri, umumnya bisa disebut Uji
Kompetensi BIPA (UKBIPA). UKBIPA dapat ditempuh mahasiswa asing setelah mahir
berbahasa Indonesia, setidaknya setelah satu semester belajar BIPA.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Mahsun, mengatakan, saat ini
Kemdikbud tengah menyiapkan bentuk evaluasi untuk penutur asing yang mengikuti Program
BIPA.
"Di samping ada materinya, kemudian ada evaluasi. Materi (BIPA) ini disampaikan, kemudian
sejauhmana ketersampaiannya kan perlu ada evaluasi," ujar Mahsun.

Ia menjelaskan, UKBIPA saat ini masih dalam tahap pengembangan karena akan disesuaikan
dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau KKNI.

A. Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pendidikan


Melihat sejarah sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 terdapat tiga panji yang sampai
hari ini masih didengungkan setiap memperingati hari sumpah pemuda. Panji-panji yang
dicetuskan oleh persatuan pemuda-pemuda Indonesia menjadi batu loncatan bangsa Indonesia
untuk bersatu padu menghadapi kolonialisme Belanda melalui bahasa persatuan yaitu bahasa
Indonesia.
Butir ketiga dari konsep sumpah pemuda yang berbunyi Kami poetra dan poetri
Indoenesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, menjadi alat pemersatu bagi
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam bahasa daerah. Bagaimana jadinya jika orang Sunda
berbicara dengan Orang Nusa Tenggara Barat yang masing memiliki bahasa daerah tersendiri.
Tentunya komunikasi antar dua orang tersebut tidak nyambung. Jadi sungguh luar biasa pemudapemuda Indonesia yang saat itu mampu menyatukan tekad dan visi untuk menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Hal ini bertolak belakang dengan negara tetangga Indonesia, yang selalu mengalami
kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh karenanya bahasa Indonesia menjadi
bagian dari ketahanan nasional yang harus dijaga. Seperti penjelasan sebelumnya, penulis akan
memaparkan penjelasa mengenai penerapan politik bahasa Indonesia dalam ketahanan nasional
dari perspektif pendidikan.
Ketahanan nasional ini meliputi politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Pendidikan merupakan bagian dari ketahanan nasional yang sangat dibutuhkan bagi suatu
negara, guna mencerdaskan masyarakat yang ada di dalam suatu negara. Bahasa Indonesia tidak
bisa dijauhkan dari institusi pendidikan. Salah satu hasil dari Perumusan Seminar Politik
Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975,
dikemukakan di dalamnya bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi di dalam
pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern[1].
Kadudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan pendidikan nasional
adalah :
- Sebagai mata pelajaran pokok
- Bahasa pengantar disemua jenis dan jenjang sekolah
B. Hal-hal yang Mempengaruhi Pengembangan Bahasa Indonesia
a. Kualifikasi tenaga pengajar yang dipertanyakan
Berdasarkan kegiatan kebahasaan yang penulis lakukan melalui MLI Komisariat daerah
Gorontalo bekerja sama dengan Dinas PDK Kotamadya dan Kabupaten Gorontalo, dapat diambil
simpulan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori daripada praktik berbahasa. Hal yang ingin
disarankan di sini, yakni mutu guru BI sebaiknya ditingkatkan. Selain itu, guru SD yang setiap
hari bertindak sebagai guru kelas sebaiknya ditinjau kembali[2].
Melihat data di atas keprofesionalan pengajar sahrusnya manjadi syarat utama untuk
keberlangsungan pendidikan Indonesia. Bukan hanya sekedar menyampaikan secara teori tapi
juga mempraktikan kepada siswa bagaimana menggunakan bahasa Indonesia secara benar.
Dengan mencontohkan kepada siswa maka bahasa Indonesia akan lebih tertanam dalam benak
siswa. Ini berlaku pada semua tenaga pengajar baik, TK, SD, SMP,SMA dan Perguruan Tinggi.

Bukan hanya pada tataran praktis dan teori saja. Seorang tenaga pengajar juga bisa
menterjemahkan kalimat-kalimat bahasa asing ke bahasa Indonesia. Dengan kemampuan tenaga
pengajar yang mumpuni maka mata pelajaran bahasa Indonesia bisa tersalurkan dengan baik
kepada siswa. Jadi posisi guru dalam politik bahasa indonesia kaitannya dengan pendidikan
pengaruhnya sangat besar. Banyak sekali pengalaman yang kurang menyenangkan siswa, lebihlebih kalau pelaksanaan pengajaran dilakukan secara tradisional, sisiwa pada umumnya pasif
saja, dalam arti kata: duduk dengan sikap yang baik mendengarkan keterangan-keterangan guru,
mencatat keterangan-keterangan itu, mengingat-ingatnya, dan memberikan jawaban yang sama
betul dengan yang diterangkan jika ditanyakan guru. Sikap bosan yang sangat menghambat
mereka lancar dalam belajar Bahasa Indonesia[3].
b. Sarana Pendidikan
Selain peran guru yang sangat penting, tetapi perlu adanya fasilitas yang disediakan
lembaga sekolah guna menunjang metode pengajaran bahasa Indonesia, diantaranya:
1. Pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan Bahasa Indonesia
2. Pemanfaatan perpustakaan
3. Pendayagunaan ruangan-ruangan latihan ber-Bahasa Indoensia, seperti: Laboratorium BI,
ruang pentas keunggulan pemakaian bahasa, runag sastra Indonesia, dan sebagainya.
4.Penggunaan alat-alat teknologi modern, seperti : tape, radio, TV, LCD Proyektor dan
sebagainya[4].
Sarana pendidikan ini sangat mempengaruhi guru dalam menyampaikan materi bahasa
Indonesia dan siswa dalam menerima materi dari guru tersebut. Sayangnya hal ini juga menjadi
persoalan yang belum tuntas hingga saat ini, pasalnya masih banyak siswa yang harus melewati
sungai ketika berangkat, tidak jarang siswa juga harus belajar dengan kondisi bangunan yang
hampir roboh. Fenomena ini terjadi di daerah terpencil.
Inilah yang menghambat proses belajar sisiwa dalam memperdalam pengetahuannya
pada bahasa Indonesia. Sehingga mengakibatkan minat belajar sisiwa yang menurun.
c. Sikap apatis pelajar terhadap penggunaan bahasa indonesia dalam institusi pendidikan
Sikap apatis yaitu sikap kurang antusias, bahkan tidak tertarik terhadap suatu hal. Dalam
Bahasa Indonesia sikap apatis sering ditunjukkan dengan tidak menggunakan bahasa yang tidak
baik dan benar.
Bangsa Indonesia saat ini lebih melestarikan budaya negara lain ketimbang budaya
sendiri. Termasuk dalam penggunaan bahasa asing. Menjamurnya tempat kursus atau tempat les
bahasa Inggris. Ini mengindikasikan bahwa bahasa Inggris telah mendapat perhatian lebih
dibanding bahasa negara sendiri. Alhasil, penggunaan bahasa Indonesia yang diakui sebagai
bahasa nasional kini telah meredup oleh gemerlap bahasa asing. Sikap apatis terhadap bahasa
Indonesia semakin nampak.Orang-orang lebih senang mencampur adukkan bahasa Indonesia
dengan bahasa Inggris atau bahkan tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi. Penyebabnya, kebanyakan diantara kita berpikir bahasa Indonesia adalah bahasa
yang tidak gaul dan tidak keren.
Lembaga pendidikanpun berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan sebagai
sekolah bertaraf internasional. Dimana bahasa pengantar yang digunakan, menggunakan bahasa
Inggris. Sementara itu, dalam pola pikir siswa-siswi sekarang ini kedudukan bahasa Indonesia
sangatlah rendah jika dibanding dengan bahasa Inggris. Salah satu buktinya jam mengajar untuk
mata pelajaran bahasa Inggris acap kali ditemukan lebih banyak menelan waktu dibanding
mata pelajaran bahasa Indonesia.

di tengah Indonesia yang sedang ingin membangun citra sebagai negara yang kaya akan
bahasa, namun kebanggaan memakai bahasa Indonesia ternyata memalukan. Kita seolah-olah
tidak memiliki rasa bangga akan budaya kita sendiri. Bisa saja, kita tidak paham bahwa dengan
sikap seperti itu perlahan-lahan akan mematikan pemakaian bahasa Indonesi
Bahasa Indonesia adalah Penguat Nasionalisme, Bukti Kebudayaan. perkembangan
bahasa Indonesia menjadi bukti bahwa jiwa nasionalisme kita juga perlu dipertanyakan.
Sejumlah ahli membenarkan akan pernyataan tersebut. Salah satunya, Eli kedouri, berpendapat
bahwa persatuan bahasa juga sebagai landasan nasionalisme. Alasannya, dikarenakan bahasa
adalah media penyampai-dapat berupa gagasan dan lainnya-yang bisa menghubungkan dan
mengikat banyak orang dalam kesatuan (Eli kedourie, 1960: 19-20).
Solusi untuk meningkatkan pengembangan bahasa Indoensia
1. Peranan Pemerintah dalam Peningkatan Penggunaan Bahasa Indonesia. Menyadari peran
penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu
pendidikan. Apabila pola pendidikan terus mengikuti pola-pola lama, maka hasil dari
pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan berpengaruh banyak.
Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran
berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah.
2. Peranan perpustakaan sekolah perlu ditingkatkan dan buku-buku dilengkapi. Guru perllu
ditatar untuk menjadi guru pustakawan.
3. Meningkatkan pembinaan guru bahasa Indonesia, untuk mendapatkan guru dengan baik. Yaitu
dengan penataran dalam keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta
penggunaan metode dan sarana pengajaran.
4. Mengembangkan metode dan sarana pengajaran yang lebih baik.

Bahasa sebagai Pendidikan Karakter


Cece Sobarna

Pengantar
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting sepanjang hajat hidup manusia karena melalui
pendidikan dapat dihasilkan manusia yang handal dan bermartabat. Pendidikan turut menentukan
nasib dan masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu, sistem pendidikan harus terus menyesuaikan
dengan perkembangan zaman (baca pula Djohar, 2003). Mengingat peran pendidikan yang sangat
strategis, terlebih di era global sekarang ini, sudah seyogianya segenap potensi bangsa turut serta
berupaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Dampaknya dapat kita rasakan dalam
berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Perkembangan tersebut di
satu sisi berdampak positif, tetapi di sisi lain berdampak negatif. Dampak positif dapat kita rasakan
dalam hal kemudahan mendapatkan berbagai informasi melalui kehadiran dunia maya. Begitu pula

dampak negatifnya sekaligus dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain perubahan
tata nilai dan norma yang terjadi di masyarakat.
Hampir setiap saat kita menyaksikan tayangan yang berhubungan dengan tindakan anarkistis yang
dilakukan oleh sebagian masyakat kita. Sungguh kita sangat merindukan masyarakat yang memiliki
sifat (karakter) ramah, santun, dan toleran, sebagaimana diajarkan oleh para leluhur bangsa ini.
Oleh karena itulah, sangat relevan Kementerian Pendidikan Nasional dalam rangka memperingati
Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 mengusung tema Pendidikan Karakter sebagai Pilar
Kebangkitan Bangsa dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti.
Bahasa sebagai Pilar Utama Pendidikan Karakter
Sebagaimana kita ketahui bersama, sistem pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 623) karakter merupakan
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat;
watak. Dengan demikian, karakter (watak; tabiat) dapat dipahami sebagai sikap, tingkah laku, dan
perbuatan baik atau buruk yang berhubungan dengan norma sosial. Oleh karena itu, erat kaitan
antara karakter dan interaksi sosial.
Sebagai makhluk sosial manusia tentu melibatkan bahasa saat berinteraksi dengan sesamanya.
Bahasa merupakan unsur penting kebudayaan. Transformasi budaya selama ini berlangsung tiada
lain karena peran bahasa pula. Ungkapan bahasa menunjukkan bangsa telah terbukti. Melalui
bahasa kita dapat mengetahui budaya dan pola pikir suatu masyarakat. Karakter seseorang tampak
dari perilaku berbahasanya, sebagaimana ditegaskan oleh Effendi (2009: 75) bahwa cara berpikir
seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya. Jika cara berpikir seseorang itu teratur,
bahasa yang digunakannya pun teratur pula.
Melalui data kebahasaan, kita dapat mengetahui karakter bangsa ini. Secara umum masyarakat kita
sangat mementingkan kasih sayang terhadap sesamanya. Cermatilah muatan makna unsur yang
membentuk kata bilangan sebelas, yakni se- dan belas. Dalam bahasa daerah, seperti bahasa
Sunda dan Jawa, dikenal pula bilangan ini: sawelas/sabelas (Sunda), sewelas (Jawa). Penyebutan
bilangan ini berkaitan dengan karakter budaya masyarakat dahulu, terutama dalam hal jual-beli.
Sebagai wujud sayang (belas kasih) kepada sesama (pedagang kepada pembeli) jika seseorang
membeli sesuatu sebanyak sepuluh buah, penjual memberinya lebih (bonus) satu atau dua buah.
Tegasnya, beli sepuluh dapat satu. Bahkan, bagi sebagian masyarakat Indonesia, misalnya
masyarakat Sunda, cinta kasih menjadi dasar filosofi kehidupan sehari-harinya, kudu silih asih, silih
asah, jeung silih asuh yang berarti harus saling mengasihi, saling mengasah(meningkatkan), dan
saling mengasuh(mendidik) di antara sesama.
Masih banyak khazanah budaya daerah yang terkandung dalam bahasa dan belum tergali. Namun,
sayang tidak sedikit pula yang sudah hilang sehingga masyarakat sekarang tidak mengenalnya lagi.
Punahnya budaya tersebut, yang di antaranya menjadi ciri karakter masyarakat kita, seiring
punahnya bahasa yang bersangkutan. Sangat disayangkan jika hal ini terus dibiarkan terjadi karena
masih bersemayamnya anggapan keliru di benak sebagian masyarakat kita bahwa bahasa adalah
barang sehari-hari yang tidak memerlukan perhatian khusus. Padahal, sudah sepatutnyalah kita
mensyukuri kekayaan bahasa yang melimpah ini.

Situasi kebahasaan di Indonesia sangatlah kompleks. Namun, bahasa Indonesia tetap melaju ke
arah perkembangan yang pesat. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan bahasa Indonesia dalam
mengekspresikan konsep ilmu pengetahuan teknologi dan seni dewasa ini. Dalam rentang waktu
delapan puluh tahun lebih bahasa Indonesia berkembang ke arah kemantapan dan kedinamisan.
Kemantapan dapat diamati dengan adanya keajekan dalam kaidah, misalnya kata kesimpulan. Kini
disadari bahwa bentuk yang benar secara gramatikal adalah simpulan (hasil dari kegiatan
menyimpulkan). Bentukan simpulan ini diperoleh dari memperbandingkannya secara analogis
dengan bentuk yang sudah ada, seperti kata karangan (hasil dari kegiatan mengarang) dan tulisan
(hasil dari kegiatan menulis). Kedinamisan bahasa Indonesia menunjukkan adanya perubahan ke
arah pembaruan dalam gramatika. Hal ini sesuai dengan sifat bahasa yang dinamismengikuti
dinamika perubahan pada masyarakat penuturnya. Sebagai contoh, dulu hanya dikenal kata ratarata, dewasa ini dalam bidang eksakta digunakan kata rerata sebagai padanan kata dari bahasa
Inggris mean. Bentukan rerata merupakan bentukan baru hasil beranalogi dari, antara lain lelaki
(laki-laki) dan tetamu (tamu-tamu). Kenyataan tersebut membangkitkan rasa optimistis bahwa
bahasa Indonesia dapat digolongkan sebagai bahasa yang modern. Sebagai konsekuensinya,
dalam bahasa Indonesia mutakhir sering ditemukan kosakata baru sebagai imbangan kosakata
asing, seperti kata jaminan mutu yang merupakan padanan quality assurance, pemangku
kepentingan padanan untuk stakeholder, rencana induk padanan untuk master plan, dan pentas
lorong padanan untuk catwalk (lihat Arifin dkk. (Ed.), 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia tidak saja ditunjang oleh semakin banyaknya
pemakai dan wilayah bahasa Indonesia di dalam negeri Indonesia sendiri, tetapi juga di luar negeri.
Hal ini tentu menggembirakan dan sekaligus membanggakan pemilik bahasa Indonesia. Kenyataan
ini sudah selayaknya menjadi pendorong untuk terus meningkatkan kualitas bahasa Indonesia
sebagai bahasa yang modern. Untuk itu, kesadaran berbahasa yang baik dan benar para
pemakainya menjadi bagian penting dari pendidikan karakter bangsa.
Penutup
Bahasa sebagai wahana pendidikan karakter perlu direncanakan, dibina, dan dimodernkan. Strategi
yang efisien dan efektif untuk mewujudkannya tiada alin adalah melalui pendidikan dan
pembelajaran. Oleh karena itu, perencanaan pengajaran bahasa yang terpadu dan sinergis perlu
diupayakan.
Pemodernan melalui pengadopsian kata serapan dari bahasa asing sudah selayaknya diimbangi
dengan penggalian terhadap kosakata bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu sendiri sebagai
penyeimbang. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya akrab pada kata, misalnya intrinsik dan
ekstrinsik, tetapi dapat pula memanfaatkan kosakata daerah (misalnya bahasa Sunda) yang
memiliki muatan makna yang sama dengan kata tersebut, nyamuni dan nembrak. Terlebih lagi,
sebagai pengejewantahan karakter bangsa melalui sikap positif berbahasa dalam mengekspresikan
kekinian kita perlu mempertimbangkan kembali penggunaan kata-kata asing di tempat umum.

Bahasa dan Pendidikan Karakter


OPINI | 25 September 2012 | 15:45

Dibaca: 291

Komentar: 0

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi dan memiliki peran
yang besar dalam komunikasi . Keunikan manusia dalam perbedaannya dari
makhluk lain ialah bahwa, di samping sebagai homo sapiens, manusia adalah juga
animal symbolicum. Antara pikiran dengan bahasa terdapat jalinan kait-mengait
yang erat. Sebagai homo sapiens, manusia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
sosial yang berhubungan dengan orang lain yang otomatis tidak dapat dapat lepas
pula dari bahasa sebagai penghubung antar manusia tersebut. Di sinilah peran
bahasa terlihat karena bahasa menjembatani hubungan antara manusia satu
dengan manusia yang lain. Melalui proses komunikasi ini pula, sesuai dengan fitrah
bahwa

bahasa

bersifat

dinamis,

perlahan

tetapi

pasti,

bahasa

mengalami

perkembangan atau bahkan perubahan (dinamika bahasa).


Apabila menilik kepada pembagian tujuh unsur kebudayaan universal, dapat
diketahui bahwa bahasa menjadi salah satu unsur kebudayaan universal. Bahasa
sebagai salah satu bagian dari kebudayaan memberikan ciri tertentu yang
merupakan

rekaman

perilaku

manusia

serta

mencerminkan

karakter

suatu

kelompok yang membedakannya dari kelompok lain. Bukan sekadar menjadi


sebuah alat komunikasi semata tetapi juga menjadi sebuah identitas yang tidak
dapat terpisahkan dari manusia tersebut. Hal tersebut juga berlaku bagi bahasa
Indonesia yang menjadi alat komunikasi bagi warga negara Indonesia sekaligus
menjadi identitas bangsa Indonesia. Undang-Undang nomor 24 tahun 2009
menjelaskan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan
Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa
yang

menjadi

simbol

kedaulatan

dan

kehormatan

Negara

sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


pasal 36.
Bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa berkembang yang kini sedang
membangun dalam upaya menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa maju, bahasa
Indonesia memegang peranan sangat penting. Sejak dikumandangkan sebagai
bahasa persatuan bangsa Indonesia pada 28 Oktober 1928 lalu, hingga kini
penggunaan bahasa Indonesia makin meluas ke berbagai sendi kehidupan, terlebih
lagi pada era globalisasi seperti saat ini.
Akibat bahasa yang semakin meluas muncullah berbagai ilmu terapan dalam
linguistik. Salah satunya yaitu sosiolinguistik. Sosiolinguistik sebagai salah satu ilmu
linguistik mikro mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat. Abdul Chaer dan
Leonel Agusta (1995: 3) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu
antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa itu di dalam masyarakat. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa
diperlukan manusia dalam kegiatan kemasyarakatan, yaitu mulai dari upacara
pemberian nama pada bayi yang baru lahir sampai upacara pemakaman jenazah.
Oleh karena itu, sosiolinguistik tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa
dengan kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan.
Variasi Bahasa
Akibat hubungan antara bahasa dan masyarakat muncul berbagai variasi
bahasa. Varasi bahasa muncul atas konsekuensi terapan linguistik dalam konteks
hubungan soial kemasayarakatan.
Salah

satunya

yang

menjadi

bahan

kajian

yaitu

register. Variasi

bahasa

berdasarkan segi pemakaian atau register menyangkut bahasa yang digunakan

untuk berbagai keperluan tertentu, misalnya dalam bidang sastra, jurnalistik,


militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan
kegiatan keilmuan lainnya, termasuk pada komunitas tertentu yang acapkali
memiliki bahasa-bahasa khusus.
Pendidikan Karakter
Lalu,

apakah

ada

kaitannya

variasi

bahasa

(baca:

register)

dengan

pendidikan karakter. Pendidikan karakter mulai didengungkan di era Mendikbud,


Muhammad

Nuh.

Menurutnya

pendidikan

di

Indonesia

mulai

melupakan

pembentukan karakter siswa. Atas dasar pemikiran itulah pendidikan saat ini harus
memuat pendidikan karakter.
Karakter

yang

diungkapkan

dalam

hal

ini

merujuk

pada

pedoman

Kementerian Pendidikan Nasional mengenai delapan belas karakter yang menjadi


petunjuk pendidikan karakter, diantaranya religius, jujur, disipilin, kerja keras,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung
jawab, rasa ingin tahu, gemar membaca. Kreatif, mandiri, demokratis, cinta damai,
menghargai prestasi, toleransi dan komunikatif.
Lalu bagaimana letak bahasa yang dalam hal ini register mampu mempunyai
hubungan dengan pendidikan karakter?
Pendidikan Karakter dalam Perspektif Bahasa
Bahasa mencerminkan bangsa. Itulah kira-kira gambaran bagaimana hubungan
bahasa dengan pendidikan karakter. Dalam beberapa literaur penelitian variasi
bahasa semacam register mampu menunjukkan karakter dan meningkatkan
karakter

penuturnya.

Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Handoko,

dkk

(2012)

menunjukkan register anggota Paskibra mampu membentuk karakter anggota


Paskibra itu sendiri. Register yang muncul seperti siap, turun, dan spirit of
destroyer mampu menunjukkan pendidikan karakter. Karakter yang muncul tak
lepas dari delapan belas karakter yang ditetapkan Kemendikbud. Penelitian lain
yang menunjukkan bahasa mampu menunjukkan karakter penelitian yang dilakukan
Sudaryanto (2012). Ia meneliti register anaka jalanan. Hasilnya terdapat register
khusus yang mampu membentuk karakter anak jalanan tersebut.
Lebih jauh bahasa yang notabene alat komunikasi mempunyai dampak yang besar
terhadap perilaku manusia. Hal tersebutlah yang meyakini setiap tuturan yang
diucapkan manusia mempunyai karakter tersendiri. Apabila kaum akademisi dan
masyarakat peka terhadap hal ini tentu saja kesusahan dalam mencari model
pendidikan karakter di sekolah dapat teratasi.

Anda mungkin juga menyukai