Agresi Dan Altruisme PDF
Agresi Dan Altruisme PDF
A. Pengertian Agresi
Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah,
bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan
verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada
kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal
yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa.
Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang
individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey,
Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan
sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain.
Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai
orang lain atau merusak milik orang lain.
Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara
fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991).
Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku
tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit akibat tindakan medis misalnya,
walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain
tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai perilaku agresi.
Pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat
objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Juga agresi adalah setiap bentuk keinginan
(drive-motivation) yang diarahkan pada tujuan untuk menyakiti atau melukai seseorang.
Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Perilaku yang secara tidak sengaja
menyebabkan bahaya atau sakit bukan merupakan agresi. Pengerusakan barang dan
perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi.
Dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku
yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi
dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Perilaku yang secara tidak sengaja menyebabkan
bahaya atau sakit bukan merupakan agresi. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif
lainnya juga termasuk dalam definisi agresi.
Agresi adalah fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah perilaku dari jenis
yang lebih khusus.
1
dan penghancuran (agresi). Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk
menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu
hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi.
c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan
faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu
eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan
beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen utama yang
memberikan ciri kelamin jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin
sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi
lembut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah
dikebiri (dipotong alat kelaminnya) akan menjadi jinak. Sedangkan pada
wanita yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu
estrogen dan progresteron menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita
melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan
bermusuhan. Selain itu banyak wanita yang melakukan pelanggaran hukum
(melakukan tindakan agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid ini.
3. Kesenjangan Generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang
tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan
seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini
sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. Permasalahan
generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih
banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan
narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
4. Lingkungan
a. Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi
mereka secara alami mengalami penguatan (Byod McCandless dalam Davidoff,
1991). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota
Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa
didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang berdatangan silih
berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka uang maka anda siap-siap di serbu
anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki
bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang,
4
terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar.
Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang
dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah
biasa saja.
Bila terjadi perkelahian dipemukiman kumuh, misalnya ada pemabuk yang
memukuli istrinya karena tidak memberi uang untuk beli minuman, maka pada saat
itu anak-anak dengan mudah dapat melihat model agresi secara langsung. Model
agresi ini seringkali diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dalam
mempertahankan hidup. Dalam situasi-situasi yang dirasakan sangat kritis bagi
pertahanan hidupnya dan ditambah dengan nalar yang belum berkembang optimal,
anak-anak seringkali dengan gampang bertindak agresi misalnya dengan cara
memukul, berteriak, dan mendorong orang lain sehingga terjatuh dan tersingkir dalam
kompetisi sementara ia akan berhasil mencapai tujuannya.
Hal yang sangat menyedihkan adalah dengan berlarut-larut terjadinya krisis
ekonomi & moneter menyebabkan pembengkakan kemiskinan yang semakin tidak
terkendali. Hal ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin besar dan
kesulitan mengatasinya lebih kompleks.
b. Anonimitas
Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan
berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa.
Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan
penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut.
Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif membuat dunia menjadi sangat
impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal
atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi
anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung
berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma
masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.
bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan
panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi.
Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi
memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada
tahun 1968 US Riot Comision pernah melaporkan bahwa dalam musim panas,
rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat
dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher et al, dalam Sarlito, Psikologi
Lingkungan,1992
meskipun
sedikit
pasti
akan
menimbulkan
rangsangan
dan
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat
berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering
menyaksikkan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan
orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di
lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan
rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya , semua itu dapat
memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di
toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak,
yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan
sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang.
Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di
pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada
mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di
Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena
memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan.
Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play
station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu
permainan yang mengasikkan.
6. Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu
tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat
dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan
yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali
tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, beberapa
waktu yang lalu di sebuah sekolah di Jerman terjadi penembakan guru-guru oleh
seorang siswa yang baru di skorsing akibat membuat surat ijin palsu. Hal ini
menunjukan anak tersebut merasa frustrasi dan penyaluran agresi dilakukan dengan
cara menembaki guru-gurunya.
Begitu pula tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor
frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa
7
tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu
luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan
ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian.
Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap
saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang
di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
langsung. Perbedaan antara verbal dan fisik adalah antara menyakiti secara fisik dan
menyerang dengan kata-kata; aktif atau pasif membedakan antara tindakan yang terlihat
dengan kegagalan dalam bertindak; perilaku agresi langsung berarti melakukan kontak
langsung dengan korban yang diserang, sedangkan perilaku agresi tidak langsung
dilakukan tanpa adanya kontak langsung dengan korban.
Bentuk Agresi
Contoh
D. Teori-Teori Agresi
1. Teori Frustrasi Agresi
Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis)
berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan,
akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang
dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk
dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi
karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal,agresi tetap merupakan
dorongan yang harus disalurkan.
2. Teori Belajar Sosial
lebih memperhatikan
(dalam Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku
agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan
10
banyak
memberikan
keuntungan
pada
orang
lain
persahabatan,
kerjasama,
menolong,
menyelamatkan,
dan
tindakan
berdiam
diri
saja.
11
Tahap-tahap yang telah teruji bebeapa kali dan sampai saat ini masih banyak
digunakan meliputi:
a. Menyadari adanya keadaan darurat, atau tahap perhatian untuk sampai pada
perhatian terkadang sering terganggu oleh adanya hal-hal lain seperti
ketergesaan,
mendesaknya
kepentingan
lain
dan
sebagainya
(Faturochman, 2006).
b. Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat.
Bila pemerhati menginterpretasi suatu kejadian sebagai sesuatu yang membuat
orang
membutuhkan
pertolongan,
maka
kemungkinan
besar
akan
Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor yang
mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:
12
a. Self-gain
Yaitu
harapan
seseorang
untuk
memperoleh
atau
menghindari
kemampuan
seseorang
untuk
ikut
merasakan
perasaan
atau
Situasi sosial
Adanya korelasi negatif antara pemberian pertolongan dengan jumlah
pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang
memerlukan pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk
menolong.
Biaya menolong
Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada cost tertentu
yang harus dikeluarkan untuk menolong. Pengeluaran untuk menolong
13
bisa berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering adalah
pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih dan lainnya).
Mediator internal
Mood
Ada kecenderungan bahwa orang yang baru melihat kesedihan lebih
sedikit memberi bantuan daripada orang yang habis melihat hal-hal yang
menyenangkan. Penelitian yang dilakukan Myers (Faturochman, 2006)
menunjukkan adanya pengaruh mood terhadap perilaku membantu. Hal itu
sesuai dengan penjelasan Forgas maupun Isen & Baron (Baron & Byrne,
2003), disebabkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara
afek (suasana hati kita saat ini) dan kognisi (cara kita memproses,
menyimpan, mengingat, dan menggunakan informasi sosial).
Empati
Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan menolong.
Hubungan antara empati dengan perilaku menolong secara konsisten
ditemukan pada semua kelompok umur.
Arousal
Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan pertolongan orang
dihadapkan pada dilema menolong atau tidak menolong. Salah satu
pertimbangan yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak
menolong adalah biaya untuk menolong dibanding biaya tidak menolong.
Pertimbangan ini meliputi situasi saat terjadinya peristiwa, karakteristik orangorang yang ada di sekitar, karakteristik korban, dan kedekatan hubungan antar
korban dengan penolong.
14
Individu yang mempunyai orientasi sosial yang tinggi cenderung lebih mudah
memberi pertolongan, demikian juga orang yang memiliki tanggung jawab
sosial tinggi.
2.3 Altruisme
Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa
memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak
budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan
sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat
bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang
mementingkan diri sendiri.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban.
Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan
keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara
kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu, seperti
Tuhan, raja, organisasi khusus, seperti pemerintah, atau konsep abstrak, seperti
patriotisme, dsb. Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban,
sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan
ganjaran atau keuntungan.
Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan
akhir-akhir ini menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner),
sosiologi, biologi, dan etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan
dampak bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang-bidang ini
menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme. Berbagai penelitian
terhadap altruisme tercetus terutama saat pembunuhan Kitty Genovese tahun 1964,
yang ditikam selama setengah jam, dengan beberapa saksi pasif yang menahan diri
tidak menolongnya.
A. Definisi Altruisme
Kata altruisme pertama kali muncul pada abad ke-19 oleh sosiologis Auguste
Comte. Berasal dari kata yunani alteri yang berarti orang lain. Menurut Comte,
seseorang memiliki tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia sepenuhnya.
15
16
1. Social exchange
Pada teori ini, tindakan menolong dapat dijelaskan dengan adanya pertukaran sosial
timbal balik (imbalan-reward). Altruisme menjelaskan bahwa imbalan-reward yang
memotivasi adalah inner-reward (distress). Contohnya adalah kepuasan untuk
menolong atau keadaan yang menyulitkan (rasa bersalah) untuk menolong.
2. Social Norms
Alasan menolong orang lain salah satunya karena didasari oleh sesuatu yang
mengatakan pada kita untuk harus menolong.sesuatu tersebut adalah norma
sosial. Pada altruisme, norma sosial tersebut dapat dijelaskan dengan adanya social
responsibility. Adanya tanggungjawab sosial, dapat menyebabkan seseorang
melakukan tindakan menolong karena dibutuhkan dan tanpa menharapkan imbalan di
masa yang akan datang.
3. Evolutionary Psychology
Pada teori ini, dijelaskan bahwa pokok dari kehidupan adalah mempertahankan
keturunan. Tingkah laku altruisme dapat muncul (dengan mudah) apabila orang lain
yang akan disejahterakan merupakan orang yang sama (satu karakteristik).
Contohnya: seseorang menolong orang yang sama persis dengan dirinya keluarga,
tetangga,
dan
sebagainya.
Dari penjelasan di atas, Myers (1996) menyimpulkan altruisme akan dengan mudah
terjadi dengan adanya :
17
3. Kin Selection, ada salah satu karakteristik dari korban yang hampir sama .
B. Karakteristik altruisme
Selain hal tersebut, Myer (1996) menjelaskan karakteristik dari tingkah laku
altruisme, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Emphaty, altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalamdiri seseorang.
Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka bertanggungjawab,
bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri,
dan termotivasi membuat kesan yang baik.
2. Belief on a just world, karakteristik dari tingkah laku altruisme adalah
percaya pada a just world, maksudnya adalah orang yang altruis percaya
bahwa dunia adalah tempat yang baik dan dapat diramalkan bahwa yang
baik selalu mendapatkan hadiah dan yang buruk mendapatkan
hukuman. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat denga mudah
menunjukkan tingkah laku menolong (yang dapat dikategorikan sebagai
yang baik).
3. Social responsibility, setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang
dilakukan oleh orang lain, sehingga ketika ada seseorang yang
membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya.
4. Internal LOC, karakteristik selanjutnya dari orang yang altruis adalah
mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya
dimotivasi oleh kontrol internal (misalnya kepuasan diri).
5. Low egocentricm, seorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah.
Dia mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan
kepentingan dirinya.
Dalam buku Positive Psychology (Carr, 2004), dijelaskan ada tiga (3) cara
meningkatkan altruisme, yaitu :
18
19
Menurut Wortman dkk. ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
memberikan pertolongan kepada orang lain.
1. Suasana hati.
Jika suasana hati sedang enak, orang juga akan terdorong untuk memberikan
pertolongan lebih banyak. Itu mengapa pada masa puasa, Idul Fitri atau
menjelang Natal orang cenderung memberikan derma lebih banyak.
Merasakan suasana yang enak itu orang cenderung ingin memperpanjangnya
dengan perilaku yang positif. Riset menunjukkan bahwa menolong orang lain
akan lebih disukai jika ganjarannya jelas. Semakin nyata ganjarannya, semakin
mau
orang
menolong
(Forgas
&
Bower).
Bagaimana dengan suasana hati yang buruk? Menurut penelitian Carlson &
Miller, asalkan lingkungannya baik, keinginan untuk menolong meningkat
pada orang yang tidak bahagia. Pada dasarnya orang yang tidak bahagia
mencari cara untuk keluar dari keadaan itu, dan menolong orang lain
merupakan pilihannya. Tapi pakar psikologi lain tidak meyakini peran suasana
hati yang negatif itu dalam altruisme.
2. Empati.
Menolong orang lain membuat kita merasa enak. Tapi bisakah kita menolong
orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri sendiri
(selfish)? Menurut Daniel Batson bisa, yaitu dengan empati (pengalaman
menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah mengalaminya
sendiri). Empati inilah yang menurut Batson akan mendorong orang untuk
melakukan pertolongan altruistis.
20
Secara
sepintas
perilaku
altruistis
memberi
kesan
kontraproduktif,
mengandung risiko tinggi termasuk terluka dan bahkan mati. Ketika orang
yang ditolong bisa selamat, yang menolong mungkin malah tidak selamat.
Perilaku seperti itu antara lain muncul karena ada proses adaptasi dengan
lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua. Selain itu, meskipun minimal, ada
pula peran kontribusi unsur genetik.
5. Faktor Situasional.
21
Hipotesis empati-altruisme
Pandangan dari dua aliran psikologi di atas merupakan pandangan yang
pesimistis mengenai kapasitas manusia untuk dapat bertindak altruistik. Di luar dua
aliran psikologi tradisional tersebut, terdapat pandangan lain yang lebih optimistis dari
beberapa tokoh psikologi sosial, yaitu Batson dkk.
22
23
PENUTUP
24
25