Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS BESAR

ODS ASTIGMATISMA MIOPIA KOMPOSITUS


DAN ANISOMETROPIA

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior


Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus

: dr. Maharani,Sp. M(K)

Pembimbing

: dr. Kharisma Gyna Edhita

Dibacakan oleh

: Ahmad Fakhruddin

Dibacakan tanggal : 26 januari 2015

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus seorang anak perempuan 12 tahun dengan ODS Astigmatisma Miopia
Kompositus dan Anisometropia.
Penguji kasus

: dr. Maharani,Sp. M(K)

Pembimbing

: dr. Kharisma Gyna Edhita

Dibacakan oleh

: Ahmad Fakhruddin

Dibacakan tanggal: 26 januari 2015


Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, 23 Januari 2015

Mengetahui
Penguji kasus,

dr. Maharani,Sp. M(K)

Pembimbing,

dr. Kharisma Gyna Edhita

LAPORAN KASUS
ODS ASTIGMATISMA MIOPIA KOMPOSITUS DAN ANISOMETROPIA

Penguji kasus

: dr. Maharani,Sp. M(K)

Pembimbing

: dr. Kharisma Gyna Edhita

Dibacakan oleh

: Ahmad Fakhruddin

Dibacakan tanggal

: 26 januari 2015

I.

PENDAHULUAN
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media refrakta yang terdiri atas
kornea, humor aquos, lensa, corpus vitreum dan panjangnya bola mata. Pada orang
normal susunan pembiasan oleh media refrakta dan panjang bola mata demikian
seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan
tepat didaerah macula lutea. Mata normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya.1
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tidak jatuh tepat pada retina
(macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak seimbangan sistem optik pada
mata sehingga menghasilkan bayangan kabur. Dikenal istilah ametropia yang berarti
adanya kelainan refraksi seperti miopia, hipermetropia, astigmatisma.1,2
Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana sinar yang datang
sejajar dari jarak yang tak berhingga difokuskan di depan retina saat mata tidak
berakomodasi. Pasien dengan miopia atau rabun jauh melihat lebih jelas bila obyek
dekat sedangkan kabur bila melihat obyek yang jauh. Untuk mengoreksinya dipakai
lensa sferis negatif.1,2

Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada kurvatura kornea atau
lensa pada meridian yang berbeda yang mengakibatkan berkas cahaya tidak
difokuskan pada satu titik di retina. Untuk mengoreksinya dipakai lensa silinder.1,2
Anisometropia merupakan salah satu gangguan penglihatan dimana kedua mata
terdapat perbedaan kekuatan refraksi yang dapat mengakibatkan kelainan penglihatan
binokuler, dengan perbedaan minimal 1 D.3
Laporan ini menyajikan tentang anak perempuan berusia 12 tahun dengan ODS
astigmatisma miyopia kompositus

II.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: An. DS
Umur
: 12 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Semarang
Pekerjaan : Pelajar
No. CM : C516710

III.

ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 21 Januarii 2015 di Poliklinik Rawat Jalan Mata RSUP
Dr. Kariadi
Keluhan Utama
: Penglihatan kedua mata kabur
Riwayat Penyakit Sekarang
:
Sejak 3 minggu SMRS pasien mengeluh pandangan kedua mata kabur saat melihat
jauh, keluhan dirasakan terus-menerus, merah (-), nyeri (-), cekot-cekot (-), silau (-),
nerocos (-), gatal (-), kotoran mata (-), melihat dobel (-), melihat seperti tertutup
kabut (-). Aktivitas belajar terganggu sehingga pasien harus pindah kebangku
terdepan saat pelajaran. Pasien tidak pernah memakai kacamata ataupun lensa kontak
sebelumnya. Karena keluhan dirasakan cukup mengganggu kemudian pasien berobat
kepoliklinik rawat jalan mata RSUP Dr. Kariadi.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
- Riwayat trauma di mata disangkal
- Riwayat operasi pada mata disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat memakai kacamata dikeluarga tidak ada


Riwayat Sosial Ekonomi
-

Penderita adalah pelajar SMP yang hidupnya masih ditanggung kedua orang

tuanya
Tinggal dirumah dengan orang tuanya
Ayah bekerja swasta dan Ibu sebagai ibu ramah tangga
Biaya pengobatan BPJS non PBI

Kesan

IV.

: sosial ekonomi cukup

PEMERIKSAAN FISIK
(Tanggal 21 januari 2015)
Status Praesen
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
: compos mentis
Tanda vital: TD : 120/80 mmHg
Suhu : 36,5 C
Nadi : 84 x/menit
RR
: 20 x/menit
Pemeriksaan fisik : Kepala
: mesosefal
Thoraks
: cor : tidak ada kelainan
Paru : tidak ada kelainan
Abdomen
: tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan

Status Oftalmologi

Oculus Dexter
6/30
S 5,50 Cyl 1,00 Ax 160o
Tidak dilakukan
Gerak bola mata ke segala arah
baik
Tidak ada kelainan

VISUS
KOREKSI
SENSUS COLORIS
PARASE/PARALYSE

Oculus Sinister
6/60
S 1,25 Cyl 0,75 Ax 30
Tidak dilakukan
Gerak bola mata ke segala arah

SUPERCILIA

baik
Tidak ada kelainan

Edema (-), spasme (-)


Edema (-), spasme (-)
Injeksi (-), sekret (-), edema (-)

PALPEBRA SUPERIOR
PALPEBRA INFERIOR
CONJUNGTIVA

Edema (-), spasme (-)


Edema (-), spasme (-)
Injeksi (-), sekret (-), edema (-)

Injeksi (-), sekret (-), edema (-)


Injeksi (-), sekret (-)
Tidak ada kelainan
Jernih
Kedalaman cukup,

PALPEBRALIS
CONJUNGTIVA FORNICES
CONJUNGTIVA BULBI
SCLERA
CORNEA
CAMERA OCULI

Injeksi (-), sekret (-), edema(-)


Injeksi (-), sekret (-)
Tidak ada kelainan
Jernih
Kedalaman cukup,

tindal efek (-)


Kripte (+)
Bulat, central, regular,

ANTERIOR
IRIS
PUPIL

tindal efek (-)


Kripte (+)
Bulat, central, regular,

d : 3 mm, RP (+) N
Jernih

LENSA

d : 3 mm, RP (+) N
Jernih

(+) cemerlang
T(digital) normal
Tidak dilakukan

FUNDUS REFLEKS
TENSIO OCULI
SISTEM CANALIS

(+) cemerlang
T(digital) normal
Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

LACRIMALIS
TEST FLUORESCEIN

Tidak dilakukan

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan binokularitas:
Alternating Cover Test (+)

VOD = S 5,50 Cyl 1,00 Ax 160 6/6


VOS = S 1,25 Cyl 0,75 Ax 30 6/6

Distortion test (-)


Reading test J2
Pemeriksaan funduskopi :
Papil N. II : OD: bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,3
OS: bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,3
Vasa
: AVR 2/3, spasme arteri (-), crossing phenomena (-), copper wire (-),
Retina
Makula
V.

silver core (-), mikroaneurisma (-), neovaskularisasi (-)


: perdarahan (-), exudates (-), ablation (-)
: Reflek fovea (+) cemerlang, edema (-), exudate (-)

RESUME
Seorang anak perempuan 12 tahun datang ke Poli Mata RSDK dengan keluhan
penurunan visus pada ODS sejak 3 minggu yang lalu, mata hiperemis (-), nyeri (-),
fotofobia (-), lakrimasi (-), sekret mata (-), diplopia (-).
Pemeriksaan fisik :
Status praesen dan pemeriksaan fisik dalam batas normal
Status oftalmologi :

Oculus Dexter
6/30
S 5,50 Cyl 1,00 Ax 160

VISUS
KOREKSI

Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan binokularitas:
Alternating Cover Test (+)

Oculus Sinister
6/60
= S 1,25 Cyl 0,75 Ax 30

VOD = S 5,50 Cyl 1,00 Ax 160 6/6


VOS = S 1,25 Cyl 0,75 Ax 30 6/6

Distortion test (-)


Pemeriksaan funduskopi : normal
VI.

DIAGNOSIS KERJA
ODS Astigmatisma Miopia Kompositus
Diagnosis tambahan: Anisometropia

VII.

PROGNOSIS

Quo ad visam
Quo ad sanam
Quo ad vitam
Quo ad cosmeticam

OD
OS
Dubia ad bonam
Dubia ad bonam
ad bonam
ad bonam
ad bonam
ad bonam

VIII. TERAPI
Resep kacamata sesuai dengan koreksi
IX.

USUL
Kontrol pemeriksaan visus setiap 6 bulan

X.

EDUKASI
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien, terapi tentang
pentingnya memakai kacamata koreksi dan menjelaskan tentang komplikasi yang
akan terjadi bila tidak memakai kacamata, prognosis penyakit pasien, serta rutin
-

untuk kontrol pemeriksaan visus.


Menyarankan dan menjelaskan pada pasien mengenai kebiasaan-kebiasaan yang
buruk bagi kesehatan mata, seperti tidak boleh membaca sambil tiduran, tidak
boleh membaca ditempat remang-remang/pencahayaan kurang, tidak boleh
menonton tv dalam jarak yang terlalu dekat agar penyakit pasien tidak bertambah
berat walaupun telah di koreksi menggunakan kacamata.

Kecocokan dengan kacamata yang diresepkan sekarang bisa berubah sewaktuwaktu karena pertambahan usia, perubahan struktur bola mata, maupun kebiasaan
buruk yang mempengaruhi kesehatan mata.

XI.

DISKUSI
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata yang
mengakibatkan bayangan tidak jatuh tepat pada retina. Hal ini diakibatkan oleh
kelainan pada media refraksi mata, yaitu: kornea, aqueous humor, lensa mata, dan
corpus vitreum atau pada panjangnya bola mata.1,2

1. Kornea
Adalah selaput bening mata yang tembus cahaya dan merupakan lapis
jaringan pelindung. Kornea merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan
refraksi sebesar +40 dioptri. Kornea terdiri dari lima lapis yaitu epitel,
membrane Bowman, stroma, membrana Descement, dan endotel.1,2
2. Aqueous Humor

Menyediakan medium optikal yang jernih untuk transmisi sinar pada jalur
visual. Cairan mata ini mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa.
Aqueous humor dibentuk oleh jaringan kapiler didalam korpus silisaris.
Ketidak seimbangan aliran aqueous humor akan menyebabkan peningkatan
tekanan intra ocular.1,2
3. Lensa
Adalah suatu struktur berbentuk lempeng cakram bikonveks, avaskuler,
transparan. Lensa dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi.
Kekuatan refraksi lensa normal adalah +20 D.1,2
4. Corpus Vitreus
Merupakan suatu gelatin avaskuler yang membentuk dua pertiga volume dan
berat mata. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa
keretina. Kebeningan badan vitreus disebabkan tidak terdapatnya pembuluh
darah dan sel.1,2
5. Panjang Bola Mata
Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang bola
mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar
oleh karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang
(lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat
berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma.4
AKOMODASI
Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina, demikian pula
bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat
difokuskan pada retina atau makula lutea.1 Dengan berakomodasi, maka benda pada jarak
yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk
mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan
lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan,
makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan
akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata
melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.2

PEMERIKSAAN REFRAKSI
Pemeriksaan refraksi brtujuan untuk mengukur kemampuan seseorang untuk melihat
suatu objek pada jarak tertentu. Pemeriksaan refraksi dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
Subyektif

: Optotipe dan Trial Lenses

Obyektif

: Oftalmoskop, Retinoskop, dan keratoskop (Oftalmometer).

Pemeriksaan visus dengan optotipe Snellen


Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan refraksi secara subyektif. Pemeriksaan refraksi
secara subyektif adalah suatu tindakan untuk memperbaiki penglihatan seseorang dengan
bantuan lensa yang ditempatkan didepan bola mata.
Alat-alat yang digunakan:
- Optotipe Snellen
- Trial lens set
Prosedur pemeriksaan terdiri dari dua langkah :
Langkah pertama : Pemeriksaan visus
Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari optotipe Snellen, salah satu mata pasien ditutup
kemudian disuruh membaca huruf terbesar sampai huruf terkecil.
Bila huruf terbesar tidak terbaca maka pasien diperiksa dengan hitung jari. Contoh : visus
= 1/60 (artinya pasien bisa membaca optotipe Snellen pada jakar 1 meter sedangkan
orang normal bisa membaca optotipe Snellen pada jarak 60 meter)
Bila hitung jari tidak bisa, maka pasien diperiksa dengan lambaian tangan pada jarak 1 m.
Pasien disuruh menyebutkan arah lambaian tangan. Hasilnya visus = 1/300
Bila lambaian tangan tidak bisa maka pasien diperiksa dengan menggunakan sinar, untuk
membedakan gelap-terang. Hasilnya visus = 1/~
Bila tidak bisa membedakan gelap dan terang, maka visus = 0. Pastikan dengan reflek
pupil direk dan indirek.
Langkah kedua : Koreksi visus
Koreksi visus dilakukan jika pasien dapat membaca huruf Snellen. Pemeriksaan
dilakukan dengan tehnik trial and error.
Pasang trial frame. Koreksi dilakukan bergantian, dengan cara menutup salah satu mata.

Pasang lensa sferis +0,5D. Setelah diberi lensa sferis +0,5D visus membaik, berarti
hipermetrop.
Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa sferis sampai
didapatkan visus 6/6.
Koreksi yang diberikan pada hipermetrope adalah koreksi lensa sferis positif terbesar
yang memberikan visus sebaik-baiknya.
Jika diberi lensa sferis positif bertambah kabur, berarti miopia. Maka lensa diganti
dengan lensa sferis negatif.
Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa sferis sampai
didapatkan visus 6/6
Koreksi yang diberikan pada miopia adalah koreksi lensa sferis negatif terkecil yang
memberikan visus sebaik-baiknya.
Jika visus tidak bisa mencapai 6/6, maka dicoba dengan memakai pinhole
Bila visus membaik setelah diberi pinhole, berarti terdapat astigmatisma maka
dilanjutkan dengan koreksi astigmatisma.
Setelah visus menjadi 6/6, kemudian dilakukan pemeriksaan binokularitas :
- Duke elder test
Pasien disuruh melihat optotipe snellen dengan menggunakan lensa koreksi, kemudian
ditaruh lensa sferis +0,25D pada kedua mata. Jika pasien merasa kabur berarti lensa
-

koreksi sudah tepat, apabila menjadi jelas berarti pasien masih berakomondasi.
Alternating cover test
Dilakukan dengan cara menutup kedua mata secara bergantian. Pasien membandingkan
kedua mata mana yang paling jelas. Pada mata miopia, mata yang paling jelas koreksinya
dikurangi. Pada mata hipermetrop, mata yang paling jelas koreksinya ditambah.

Distortion test
Pasien disuruh berjalan sambil memakai lensa koreksi. Jika saat berjalan lantai tidak

goyang-goyang dan tidak merasa pusing maka koreksi sudah tepat.


Setelah semua pemeriksaan selesai maka dibuatkan resep kaca mata dimana sebelumnya
telah diukur PD (pupil distance) dengan penggaris.
Pemeriksaan Astigmatisma
Uji pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka tajam penglihatannya dikaburkan
dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen,
misalnya dengan menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisi-kisi

juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring
pada 90 yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau
lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder
negatif ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat
vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama
jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian
pasien diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai
pasien melihat jelas.5

Pada mata dengan kelainan refraksi astigmatisma didapatkan 2 bidang utama dengan
kekuatan pembiasan pada satu bidang lebih besar dibandingkan dengan bidang yang lain.
Biasanya kedua bidang utama ini saling tegak lurus.
KELAINAN REFRAKSI
Yang dimaksud dengan kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tidak terfokus
pada retina (makula lutea). Pada orang normal, kornea dan lensa akan membelokan sinar
pada titik fokus yang tepat pada makula lutea. Pada kelainan refraksi sinar tidak
dapatdibiaskan pada makula lutea, tetapi dapat di depan, di belakang makula lutea, atau
tidak terletak pada satu titik yang tajam.5
Ametropia adalah keadaan dimana pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak
seimbang. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia, hipermetropia, dan
astigmatisma.4
Ametropia dibagi menjadi 3 yaitu: 4

a. Ametropia aksial
Ametropia yang terjadi karena sumbu optic bola mata lebih panjang/ pendek sehingga
bayangan yang difokuskan di depan/ belakang retina.
b. Ametropia refraktif
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar didalam mata. Bila daya bias kuat,
maka bayangan terletak di depan lensa dan bila daya bias kurang maka bayangan
benda akan terletak di belakang retina.
c. Ametropia kurvatura
Ametropia yang terjadi karena kecembungan kornea atau lensa yang tidak normal.
Pada miopia kurvatura kornea bertambah kelengkungannya seperti pada keratokonus.
Sedangkan pada hipermetropia kurvatura lensa dan kornea lebih kecil dari kondisi
normal.

MIOPIA
Adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar sumbu utama yang datang dari
jarak tak terhingga dibiaskan oleh mata istirahat di depan retina, sehingga pada retina
didapatkan bayangan kabur. Kemampuan melihat jauh berkurang, tetapi dapat melihat
dekat dengan baik.2

Dikenal beberapa bentuk miopia seperti:


-

Miopia aksial, Bertambah panjangnya diameter antero-posterior bola mata dari


normal. Pada orang dewasa penambahan panjang aksial bola mata 1 mm akan

menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri.


Myopia aksial disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
1. Menurut Plempius (1632), memanjangnya sumbu bolamata tersebut disebabkan oleh
adanya kelainan anatomis.
2. Menurut Donders (1864), memanjangnya tekanan otot pada saat konvergensi.7
- Miopia refraktif, Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada
katarak intumensen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih
kuat.
pada miopia refraktif, menurut Albert E. Sloane dapat terjadi karena beberapa macam
sebab, antara lain :
1. Kornea terlalu cembung (<7,7 mm)
2. Terjadinya hydrasi/penyerapan cairan pada lensa kristalina sehingga bentuk lensa
kristalina menjadi lebih cembung dan daya biasnya meningkat. Hal ini biasanya
terjadi pada penderita katarak stadium awal (imatur)
3. Terjadi peningkatan indeks bias pada cairan bolamata (biasanya terjadi pada penderita
diabetes melitus).7
Menurut derajatnya, miopia dibagi menjadi:
a. Miopia ringan, dimana myopia kecil daripada 1-3 dioptri
b. Miopia sedang, dimana myopia lebih antara 3-6 dioptri
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri
Menurut perjalanannya, miopia dikenal dalam bentuk:5,6
1. Miopia stationer/simpleks/fisiologik, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
Timbul pada umur masih muda, kemudian berhenti. Dimana tidak terlihat adanya
kelainan patologik dalam mata. Besar dioptrinya kurang dari 6 D. Tajam penglihatan
dengan koreksi yang sesuai dapat mencapai keadaan normal.
2. Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambahnya panjang bola mata. Dapat ditemukan pada semua umur dan mulai sejak
lahir. Kelainan mencapai puncaknya waktu masih remaja, bertambah terus sampai
umur 25 tahun atau lebih. Besar dioptrinya melebihi 6 D.

3. Miopia maligna, yaitu miopia progresif yang lebih ekstrim. Berjalan progresif dan
dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa,
miopia degenaratif. Biasanya miopia > 6 D.6
Koreksi
Untuk koreksi seorang miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negative
terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebab dengan lensa sferis
negative (lensa cekung) ia tanpa harus berakomodasi akan membiaskan sinar-sinar sejajar
tepat diretina.7

ASTIGMATISMA
Astigmatisma adalah suatu kelainan refraksi dimana terdapat perbedaan derajat refraksi
pada meridian yang berbeda. Sinar sejajar dengan garis pandang oleh mata tanpa
akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.4

Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut:5


1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media refrakta
yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea, yaitu mencapai

80% s/d 90% dari astigmatismus, sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin.
Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea
dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bolamata.
Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital,
kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan
kornea.
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin

bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin
berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat
menyebabkan astigmatismus.
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty
4. Trauma pada kornea
5. Tumor

KLASIFIKASI
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisma dibagi sebagai berikut:
A. Astigmatisma Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang saling
tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias
yang lebih kuat dari pada bidang yang lain. Astigmatisma jenis ini, jika mendapat koreksi
lensa cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam penglihatan normal. Tentunya
jika tidak disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma regular ini dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Astigmatisma With the Rule, yakni bila meridian vertikal lebih curam, , koreksi
silinder plus pada axis 90 atau koreksi silinder minus pada axis 180
2. Astigmatisma Against the Rule, yakni bila meridian horizontal lebih curam, koreksi
silinder plus pada axis 180 atau koreksi silinder minus pada axis 90
3. Astigmatisma oblique, yakni astigmatisma regular yang meridian utamanya tidak
pada 90 atau 180

Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisma reguler dibagi
sebagai berikut:
1. Astigmatisma Miopia Simpleks

Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat pada
retina (dimana titik A adalah titik fokus dari daya bias terkuat sedangkan titik B adalah
titik fokus dari daya bias terlemah).

2. Astigmatisma Hiperopia Simpleks


Astigmatisma jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di
belakang retina.

3. Astigmatisma Miopia Kompositus


Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di antara
titik A dan retina.

4. Astigmatisma Hiperopia Kompositus


Astigmatisma jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A berada di
antara titik B dan retina.

5. Astigmatisma Mixtus
Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada di
belakang retina.

B. Astigmatisma Irreguler
Terjadi akibat adanya iregularitas pada bidang median curvature sehingga tidak ada
satupun bentuk geometri yang dianut. Sebagai contoh, terjadi akibat sikatrik kornea.

Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri :


1. Astigmatismus Rendah
Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya astigmatis-mus rendah
tidak perlu menggunakan koreksi kacamata. Akan tetapi jika timbul keluhan pada
penderita maka koreksi kacamata sangat perlu diberikan.
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri. Pada
astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini sangat mutlak
diberikan kacamata koreksi.
Koreksi
Dengan menggunakan lensa yang mempunyai dua kekuatan berbeda. Astigmatisma
ringan tidak perlu diberi kaca mata, pada yang berat diberikan lensa silinder setelah
terlebih dahulu diperiksa tajam penglihatannya dengan kartu snellen.7
ANISOMETROPIA
Adalah suatu keadaan dimana terdapat perbedaan kekuatan refraksi pada kedua mata
yang disebabkan oleh kelainan status refraksi, trauma intraokuler pada mata dan operasi
intraokuler pada mata. Pada anisometropia dengan perbedaan lebih dari 2,5 D antara
kedua mata maka akan menghasilkan perbedaan bayangan sebesar 5 %. Pada umumnya
perbedaan sebesar 5% atau lebih akan menimbulkan aniseikonia.3
Ada 2 mekanisme patofisiologi yang dapat ditimbulkan anisometropia:3
a. Adanya perbedaan visus
Akibat dari adanya perbedaan visus maka akan mengakibatkan gangguan fusi pada
penderita, sehingga penderita, akan menggunakan mata yang lebih baik, sedangkan
mata yang kurang visusnya akan di supresi. Apabila hal ini terjadi pada nak-anak
yang masih mengalami perkembangan penglihatan binokuler dapat mengakibatkan
ambliopia. Apabila keadaan ini terus dibiarkan maka akan dapat terjadi strabismus.
b. Adanya perbedaan bayangan

Perbedaan ini meliputi ukuran dan bentuk bayangan. Adanya perbedaan bayangan ini
disebut aniseikonia. Pada keadaan ini selalu terjadi gangguan penglihatan binokuler.
Gangguan penglihatan binokuler ini diakibatkan oleh ketidaksamaan rangsangan
untuk penglihatan stereopsis. Pada awalnya akan terjadi distorsi spasial. Penderita
juga akan mengeluh melihat benda berbeda baik ukuran, ketajaman dan letak yang
berbeda dengan keadaan benda yang sebenarnya. Secara klinik praktis aniseikonia
yang terjadi akibat anisometropia dapat diukur dari kelainan distorsi dan stereopsis
yang muncul.

XII.

ANALISIS KASUS
Pada kasus ini didapatkan diagnosis astigmatisma miopia kompositus dan
anisometropia berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah
pada diagnosis tersebut.
Seorang anak perempuan 12 tahun datang ke Poli Mata RSDK dengan keluhan
penurunan visus pada ODS sejak 3 minggu yang lalu, mata hiperemis (-), nyeri (-),
fotofobia (-), lakrimasi (-), sekret mata (-), diplopia (-).
Pada pemeriksaan oftalmologi tidak didapatkan adanya tanda-tanda kekeruhan media
refrakta dan didapatkan visus awal OD 6/30 dan OS 6/60. Setelah dilakukan koreksi
visus OD = S 5,50 Cyl 1,00 Ax 160 , visus OS = S 1,25 Cyl 0,75 Ax 30
, dan visus kedua mata menjadi 6/6.
Pemberian terapi kacamata sesuai koreksi dilakukan untuk memperbaiki penglihatan
pasien dan mencegah penurunan visus yang signifikan akibat pemberian kacamata
yang tidak sesuai dengan koreksi. Pemeriksaan visus tiap 6 bulan disarakan untuk
memantau progresi dari miopia yang dideritanya. Edukasi yang diberikan kepada
pasien bertujuan untuk mencegah progresivitas miopia secara cepat dan
mempertahankan keadaan penglihatan sebaik mungkin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, edisi 3. Jakarta: Balai penerbit FK UI,2009
2. Vaughan DG, Taylor A, Paul R. Oftalmologi umum edisi 17. Jakarta : EGC,2009
3. Eko BW. Toleransi Anisometropia Pada Miopia. Universitas Diponegoro. 1999. Available
from : eprints.undip.ac.id
4. Ilyas S. Kelainan refraksi. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK
UI,2004
5. Ilyas S. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai penerbit FK UI,2004
6. Hartanto W, Inakawati S. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh di RSUP Dr. Kariadi
Semarang periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003. Media Medika Muda 4: 25-30,
2010.
7. Iiyas S. Optik dan refraksi. Dalam : Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan

mahasiswa kedokteran. Jakarta: Balai penerbit Sagung Seto,2002.

Anda mungkin juga menyukai