PENDAHULUAN
Padahal untuk konservasi harimau sumatera butuh habitat yang luas seperti
wilayah jelajahnya dan yang penting pula keberadaan satwa mangsa.
Dalam struktur piramida makanan, harimau merupakan top predator.
Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 6 kg daging yang sebagian
besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa (Sunquist et al.,
1999). Pada kawasan Taman Nasional Way Kambas satwa mangsa yang disukai
harimau sumatera yaitu babi hutan, monyet ekor panjang dan rusa sambar.
Kepadatan populasi dugaan satwa mangsa yang terendah yaitu kijang dan kancil
(Lestari, 2006). Di daerah Ipuh Seblat satwa mangsa yang juga banyak
ditemukan antara lain kambing hutan, tapir, beruk, beruang madu,babi jenggot dan
kuau raya (Riansyah, 2007). Pada kawasan Taman Nasional Berbak tingkat
keanekaragaman satwa mangsa harimau sumatera cukup tinggi, terdapat 14 jenis
satwa potensial mangsa harimau. Satwa mangsa utama harimau sumatera yang
ditemukan adalah babi jenggot, napu, beruk dan tapir (Olviana, 2011) sedangkan
di kawasan hutan Blangraweu satwa mangsa utamanya adalah rusa sambar, kijang
dan babi jenggot (Andriana, 2011).
Analisis terkini status harimau sumatera secara global menetapkan 12
bentang alam konservasi harimau sumatera (Tiger Conservaton Landscape) yang
masih menawarkan substansial habitat untuk menyelamatkan populasi harimau
sumatera adalah: Tesso Nilo, Bukit Barisan Selatan, Bukit Tigapuluh, Kerinci
Seblat, Kuala Kerumutan, Bukit Balai Rejang-Selatan, Bukit Rimbang Baling,
Rimbo Panti-Batang Timur, Rimbo Panti-Batang Barat, Leuser, Berbak dan
Sibolga (World Wide Fund for Nature (WWF), 2008).
Terdapat dua status bentang alam konservasi harimau sumatera yaitu
global dan regional. Menurut Ramsar Convention Secretariat kawasan Taman
Nasional Sembilang mempunyai status konservasi global khususnya SPTN III dan
terdaftar sebagai Ramsar Site ke 1945. Wilayah SPTN III di Taman Nasional
Sembilang merupakan landscape dari Berbak Sembilang. Kawasan ini baru 4
tahun disahkan dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Sembilang dan
memang masih memerlukan survei intensif
maupun hewan mangsanya. Penelitian mengenai pola waktu aktivitas dan hewan
mangsanya ini sangat penting untuk mengetahui keberadaan harimau sumatera
dan hewan mangsanya. Sehingga dapat dilakukan suatu tindakan dalam upaya
pelestarian harimau sumatera baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Metode yang sering digunakan untuk mengamati populasi harimau
sumatera yang dilakukan hingga saat ini seperti metode perhitungan langsung,
metode perhitungan jejak, metode perkiraan, perhitungan dengan petak contoh
dan metode capture-recapture (camera trap). Akan tetapi, untuk jenis-jenis
dengan perilaku menghindar (elusive) saat bertemu dengan manusia dan
menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera sangat sulit untuk melakukan
perhitungan secara langsung. Metode yang direkomendasikan dan dapat dipercaya
untuk perhitungan populasi harimau di alam adalah dengan menggunakan camera
trap. Penggunaan kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture
telah meningkatkan efektivitas metode survei dan pemantauan sebagian besar
satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols, 2002).
Penerapan camera trap untuk memonitoring keberadaan karnivora besar telah
banyak digunakan di dunia dan di Indonesia sendiri di antaranya adalah (Linkie
et al., 2007) di Kerinci Seblat dan (Hutajalu, 2007) di Tesso Nilo-Bukit Tiga
Puluh.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Menduga populasi harimau sumatera di wilayah SPTN III Taman Nasional
Sembilang
b) Mengidentifikasi salah satu komponen habitat harimau sumatera (satwa
mangsa) di wilayah SPTN III Taman Nasional Sembilang
c) Mengetahui pola waktu aktivitas harimau sumatera di wilayah SPTN III
Taman Nasional Sembilang
d) Mengetahui hubungan antara tingkat perjumpaan satwa mangsa dengan
pola waktu aktivitas harimau sumatera di wilayah SPTN III Taman
Nasional Sembilang.
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio- Ekologi Harimau Sumatera
2.1.1 Taksonomi
Harimau merupakan salah satu jenis kucing besar selain singa, jaguar dan
macan tutul. Menurut Slater dan Alexander (1986) dalam Andriana (2011)
taksonomi dari hewan ini adalah :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
SubFilum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Subclass
: Eutheria
Ordo
: Carnivora
Subordo
: Fissipedia
Family
: Felidae
Subfamily
: Pantherina
Genus
: Panthera
Spesies
: Panthera tigris
Subspesies
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Luas Kawasan
(ha)
Perkiraan
Populasi
1.399.320
144.223
n/a
136
n/aa
n/a
Perkiraan
Kepadatan
(/100 km2)
0,05 11,25
n/a
1,27 55
388.400
n/aa
n/a
365.000
108.000
n/a
233.200
40 43
18 62
n/a
n/a
1,6
1,1 3,9
n/a
0,64 1,4
n/a
n/a
0,92 4,03
162.700
1.094.692
n/a
60.500
125.621
21.752
750.000
67.000
n/a
n/aa
n/a
1b
36
3b
n/aa
2b
n/a
n/a
n/a
n/a
1,6 4,3
n/a
n/a
n/a
106.000
21 42
24
Sumber
Linkie 2005
ZSL Indonesia 2007
WWF, PHKA, VA Tech
(Sunarto dkk)
WCSIP 2007
OBrien dkk 2003
Wibisono dkk 2007
WWF, PHKA, VA Tech
(Sunarto dkk)
WWF, PHKA, VA Tech
(Sunarto dkk)
WCSIP 2007
ZSL Indonesia 2007
Franklin dkk
ZSL Indonesia 2007
WCSIP 2007
ZSL Indonesia 2007
Well 2007
10
Nama lokal
Beruk
Tapir
Monyet ekor panjang
Tikus tanah
Sempidan merah
Musang leher kuning
Simpai
Bambun ekor pendek
Beruang madu
Biawak
Kucing hutan
Kucing kepala datar
Nama Ilmiah
Famili
Macaca nemestrina
Tapirus indicus
Macaca fascicularis
Trichys fasciculate
Lophura erythrophthalma
Martes flavigulata
Presbytis melalophos
Herpestes brachyurus
Helarctos malayanus
Varanus salvator
Prionailurus bengalensis
Prionailurus planiceps
Cercopithecidae
Perissodactyla
Cercopithecidae
Hystricidae
Ardeidae
Viveridae
Cercopithecidae
Herpestidae
Ursidae
Varanidae
Felidae
Felidae
Pada kawasan Taman Nasional Way Kambas satwa mangsa yang di sukai
harimau sumatera yaitu babi hutan, monyet ekor panjang dan rusa sambar.
Kepadatan populasi dugaan satwa mangsa yang terendah yaitu kijang dan kancil
(Lestari, 2006). Di daerah Ipuh Seblat satwa mangsa yang juga banyak
ditemukan antara lain kambing hutan, tapir, beruk, beruang madu,babi jenggot dan
kuau raya. Satwa mangsa ini memiliki tingkat aktivitas tinggi pada siang hari
(diurnal) yaitu sebesar 72 % (Riansyah, 2007).
Di landscape Tesso Nilo Bukit Tiga Puluh pada siang hari, kemungkinan
harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas seperti babi hutan, beruk
dan kijang, dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap rusa dan kancil
(Hutajulu, 2007).
2.1.6 Wilayah Jelajah dan Teritori
11
33 km,
terjauh adalah 65 km, sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina adalah
kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. Hal ini bukan berarti harimau tidak mampu
menjelajah lebih jauh. Daya jelajah harimau tergantung pada daya tahan hewan
tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harimau membutuhkan daerah
yang luas yang biasa disebut dengan daerah jelajah. Daerah jelajah harimau
sumatera betina dewasa berkisar antar 40-70 km2. Kemudian daerah jelajah
harimau sumatera jantan sangat bervariasi yaitu antara 180 km2 pada kisaran
ketinggian antara 100-600 mdpl, 274 km2 pada kisaran ketinggian antara 6001700 meter dpl, dan 380 km2 pada ketinggian 1700 meter dpl (Soehartono et al.,
2007).
2.1.7 Pola Aktivitas Harimau Sumatera
Beberapa ahli ekologi mengelompokkan pola aktivitas satwaliar menjadi
tiga tipe yaitu diurnal, nokturnal dan krepuskular. Diurnal yang berarti aktivitas
satwa liar tersebut sebagian besar dilakukan pada siang hari. Nokturnal
merupakan kebalikan dari diurnal dimana sebagian besar aktivitas satwa liar
dilakukan pada malam hari. Sedangkan krepuskular merupakan pola aktivitas
satwa yang aktif pada waktu menjelang senja dan subuh.
Pola aktivitas harimau sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas
satwa mangsa, yaitu krespuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan
dan napu) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut
berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau
sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak
beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan
perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama
12
13
melakukan perkawinan) yang cepat diikuti dengan pergi atau matinya harimau
muda (Sunquist M & Sunquist F, 2002).
Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua atau tiga ekor anak bahkan
hingga
empat
ekor.
Harimau
betina
mengasuh
sendiri
anaknya
dan
memisahkannya jika terluka atau sakit. Anak harimau hanya minum air susu
induknya selama delapan minggu pertama. Setelah itu mereka dapat mencoba
makanan padat, namun mereka masih menyusu selama lima atau enam bulan.
Anak harimau pertama kali meninggalkan sarang pada umur dua minggu dan
belajar berburu pada umur dua bulan (Sunquist M & Sunquist F, 2002).
2.1.10 Upaya Perlindungan dan Status Konservasi
Payung hukum kegiatan konservasi di Indonesia telah tertuang dan
dilindungi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi
harimau sumatera awalnya bernama Sumatra Tiger Project (STP) telah dimulai
tahun 1995 di Taman Nasional Way Kambas Propinsi Lampung. Saat ini kegiatan
yang bernama Program Konservasi Harimau Sumatera, juga dikembangkan di
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Propinsi Jambi, Riau dan Kawasan Konservasi
Harimau Senepis Buluhala Propinsi Riau (Siregar, 2010). Upaya konservasi
harimau sumatera sebenarnya bukan semata hanya bertujuan untuk menjaga
kelestarian harimau sumatera saja, tetapi juga melindungi spesies lainnya. Karena
harimau sumatera merupakan species payung (umbrella species) yang artinya
dengan melindungi spesies ini secara tidak langsung juga melindungi spesies
lainnya yang hidup di habitat yang sama.
Satwa ini dinyatakan terancam punah (Critically Endangered) oleh The
International Union for Conservation of Nature and Resources (IUCN) tahun
2006 atau Badan Internasional Pelestarian Alam dan Sumberdaya Alam). Menurut
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) termasuk Appendix I tahun 1975. Oleh karena itu harimau
sumatera ditetapkan sebagai salah satu spesies prioritas sangat tinggi untuk
dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 57/Menhut-II tahun
2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 20082018.
2.2 Teknologi Pendukung
14
15
berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga jalur-jalur yang ada di dalam
hutan dapat digunakan sebagai lokasi pemasangan kamera trap (Karanth &
Nichols, 2000).
2.2.2 Program Capture
Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa sofware komputer yang
dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi.
Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan
metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth dan Nichols
(2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad &
Burnham, 1991).
Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau
kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera jebakan tidak
mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap
periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data
capture-recapture populasi tertutup (closed population) secara demografi.
Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera jebakan atau periode
penangkapan tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau
yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut
dikategorikan terbuka dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al.,
1978 dalam Rexstad & Burnham 1991). Linkie et al., (2006) selanjutnya
menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup
yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen.
b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat
pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian
ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan
kanan harimau terlihat berbeda).
c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling,
kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah
individu untuk kemungkinan menghindari bias.
Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model
yang cocok untuk untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE
16
yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Pollock et al., 1990)
yaitu :
a) M , yaitu kemungkinan penangkapan seluruh harimau adalah sama dan tidak
0
terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t), atau heterogenitas individu (h).
b) M (Jackknife, N ), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada
h
h
masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan
penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon perangkap dan
waktu.
c) M (Zippin, N ) yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan
b
b
sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan
respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau
waktu.
d) M (Darroch, N ) yaitu kemungkinan penangkapan adalah sama untuk seluruh
t
t
individu harimau, tetapi bervariasi selama survey yang hanya disebabkan
faktor waktu spesifik.
17
yang terisi dengan formasi sedimen Palembang. Kawasan ini tergolong pada
formasi kuarter yang terdiri dari endapan alluvial (termasuk sedimen marin dan
sedimen organik di pesisir, dan deposit organik, biasanya sebagai kubah gambut
jauh di daratan) dan endapan rawa. Kubah gambut terdalam terdapat di antara
sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu. Elevasi kawasan TN Sembilang berkisar
antara 0 hingga 20 mdpl, dengan variasi pasang surut hingga 3,5 m. Jenis Tanah
umumnya terdiri dari histosol (termasuk typic haplohemists, typic hydraquents,
typic sulfaquents, histic sulfaquent, sodic psammaquents) dan inceptisol (termasuk
sulfic endoaquepts dan typic sulfaquepts).
3.3.3 Iklim
Kawasan TN Sembilang memiliki iklim tropis dengan rata-rata curah
hujan tahunan 2.455 mm. Temperatur udara 22 33 C. Musim kering biasanya
terjadi di bulan Mei hingga Oktober, sedangkan musim hujan dengan angin barat
daya yang kuat terjadi di bulan November hingga April. Iklim dapat dijabarkan
sesuai dengan Zona C : 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 3 bulan
atau kurang berturut-turut bulan kering.
19
3.3.4 Aksesibilitas
Dusun Sembilang merupakan pemukiman nelayan terbesar di pesisir TN
Sembilang. Jalur utama menuju Dusun Sembilang dapat dicapai dengan
transportasi air dari Palembang - Sungsang - Dusun Sembilang 3,5 jam dengan
speed boat 40PK. Kawasan TN Sembilang juga dapat dicapai dari Mentok Pulau
Bangka melalui Sungsang.
3.4 Ekologi Kawasan
3.4.1 Flora
Potensi flora Taman Nasional Sembilang terdiri dari kira kira 87.000 ha
hutan mangrove yang masih utuh. Meluas kearah darat hingga 35 km menjadikan
kawasan mangrove terluas di Indonesia bagian barat. Keseluruhannya terdapat 17
spesies mangrove yaitu 43% dari seluruh spesies mangrove di Indonesia yang
ditemukan, meliputi Sonneratia alba (Perepat), Avicennia marina (Api-api),
Rhizopora spp (Bakau), Bruguiera gymnorhiza (Putut) dan Xylocarpus granatum
(Nyiri
batu).
Pada
ekosistem
rawa
sekunder
didominasi
dari
jenis
20
21
IV.METODE PENELITIAN
22
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kerja skala 1:
150.000, battere Alkalin, silica gel serta kawasan Taman Nasional Sembilang
sebagai habitat harimau sumatera dan satwa mangsanya.
4.3 Jenis Data yang Diambil
4.3.1 Data Primer
Adapun data primer yang dikumpulkan berupa data hasil foto harimau
sumatera dan mangsanya yang diperoleh dari kamera trap. Jenis data populasi dari
satwa mangsa harimau yang dicatat meliputi : nama lokasi pemasangan kamera
trap, posisi geografis lokasi, tanggal terdeteksi satwa tertangkap kamera dan
tanggal pemeriksaan.
4.3.2 Data Sekunder
a. Studi pustaka yaitu kegiatan awal yang dilakukan untuk objek penelitian
seperti jurnal dan artikel.
b. Wawancara yaitu kegiatan untuk mencari informasi mengenai objek
penelitian dari instansi instansi terkait seperti Balai Taman Nasional
Sembilang dan masyarakat.
4.4 Cara Pengumpulan Data
4.4.1 Kamera Trap
Data penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan perangkap
kamera (kamera trap). Data pada kamera mencetak foto dengan waktu, suhu dan
tanggal kejadian. Penempatan kamera dilakukan dari hasil orientasi peta dengan
program SIG dengan titik penempatan kamera secara purposive. Rancangan teknis
pemasangan kamera trap berdasarkan diskusi antara ZSL dengan Joon Goodrich
dan Joe Smith yaitu kamera trap dipasang sebanyak 192 unit dengan jarak antar
kamera rata rata 1 grid atau 3 km pada peta dari 96 grid cell size dan luas total
864 km2. Kamera trap dipasang pada batang pohon dengan ketinggian 45 cm di
atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 2,5 meter (Karanth &
Nichols, 2000). Setiap unit di program untuk merekam gambar satwa dengan
selang waktu 5 menit dan beroperasi selama 24 jam/hari. Pembongkaran kamera
dilakukan dalam periode 50 hari untuk pengambilan hasil. Pemasangan kamera
trap dilakukan berdasarkan pembagian grid 12 x 12 km. Selanjutnya grid tersebut
23
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. (a) alat studi ; (b) cara pemasangan kamera trap type panthera ; (c)
mengukur lebar dan tinggi foto ; (d) kamera siap beroperasi
Untuk menambah informasi mengenai keberadaan harimau sumatera dan
potensi mangsanya dilakukan juga dengan metode penemuan jejak. Pengamatan
ini merupakan pengamatan secara tidak langsung untuk mengamati keberadaan
satwa yang sulit ditemui secara langsung seperti harimau sumatera. Jejak
merupakan tanda-tanda yang ditinggalkan oleh satwa seperti tapak kaki, kotoran,
cakaran (scratch dan scrape), sisa makanan dan lain-lain. Pengamatan melalui
penemuan jejak dilakukan di jalur yang dilalui saat pemasangan dan pengecekan
kamera jebakan. Perjumpaan tak langsung tersebut dicatat ukurannya dan
keterangan lain yang berkaitan. Kontak tidak langsung yang dapat digunakan
sebagai penduga individu harimau yang berbeda adalah jejak kaki yang
ditinggalkan.
24
25
Keterangan :
D
AW
Keterangan :
27
di
Keterangan :
ER
28
29
DAFTAR PUSTAKA
Andriana. 2011. Potensi Populasi Dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) Di Hutan Blangraweu
Ekosistem Ulu Masen Provinsi Aceh. Skripsi. Departemen Konservasi
Sumber Daya Hutan Dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Buletin Sembilang. 2012. Ramsar Site Untuk Taman Nasional Sembilang dan
Implikasinya. Edisi 1/ 2012.
Dinata Y dan Sugardjito J. 2008. Keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae Pocock, 1929) dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat
Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Volume 9, Nomor 3
Halaman: 222-226.
Franklin N, Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, Manansang JD, Tilson R. 1999.
Harimau Terakhir Indonesia : Alasan Untuk Bersikap Optimis dalam
Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di Lingkungan yang
Didominasi Manusia. Ed. : J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson.
Cambridge University Press. London.
Hutchinson, J.M.C. & Waser, P.M. 2007. Use, misuse and extensions of ideal
gas models of animal encounter. Biological Reviews, 82, 335359.
Hutajulu, M.B. 2007. Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatra [Panthera
tigris sumatrae (Pocock, 1929)] Berdasarkan Camera Trap di Lansekap
Tesso Nilo Bukit Tiga Puluh, Riau. Tesis Program Pasca Sarjana
Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
Hutabarat, A. S. 2005. Perencanaan Tapak Pusat Konservasi Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Senepis, Propinsi Riau.
Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
IUCN. 2006. IUCN-Cat-Specialist-Group, Panthera tigris ssp. sumatrae in IUCN
Red
List
of
Threatened
Species-Carnivore
Conservation.
http://www.carnivoreconservation.org/site/redlist.htm.
Imansyah T. 2012. Menilik Keberadaan Harimau Sumatera Di Taman Nasional
Sembilang. Buletin Sembilang Pesona Situs Ramsar Sumatera Selatan
Edisi I/2012, hal. 35.
Jackson, P. 1990. Endangered Species Tigers. Chartwell Books, Inc. New
Jersey.UK.
Karanth K.U. 1995. Estimating Tiger Panthera tigris Populations From CameraTrap Data Using Capture-Recapture Models. Biological Conservation 71
(1995) 333-338.
30
Karanth K. U. dan Sunquist. 1995. Prey Selection By Tiger, Leopard and Dhole In
Tropical Forest, J. Animal Ecology
Karanth K.U. dan Nichols. 1998. Estimation of tiger densities in India using
photographic captures and recaptures. Ecology 79: 2852-2862.
Karanth K.U., Stith BM, J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. 1999.
Penyusutan mangsa sebagai faktor-faktor penting bagi kelangsungan hidup
populasi harimau dalam Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di
Lingkungan yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press.
London
Karanth K.U. dan Nichols. 2002. Monitoring Tiger and Their Prey; a Manual
research, managers and conservation in tropical Asia. Center For Wildlife
Studies. India.
Lestari NS. 2006. Studi Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae
Pocock, 1929) Di
Taman Nasional Way Kambas. Skripsi. Departemen
Konservasi Sumber Daya Hutan Dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Linkie M. 2003. Tigers, prey loss and deforestation patterns in Sumatra
[Disertasi]. [DICE] Durrell Institute of Conservation and Ecology
University of Kent. England
Linkie M. 2005. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di
TNKS. London : [DICE] Durel Institute Conservation and Ecology.
Linkie M, Chapron G, Martyr DJ, Holden J, Williams NL. 2006. Assessing the
viability of tiger subpopulations in a fragmented landscape. Journal
of Applied Ecology 43: 576-586.
Linkie M, Dinata Y, Nugroho A, Haidir IA. 2007. Estimating Occupancy of a Data
Deficient Mammalian Species Living in Tropical Rainforest : Sun Bears in
the Kerinci Seblat Region, Sumatera. Biological Conservation 137 : 20-27.
Luo SJ, Kim JH, Johnson WE, Walt J, Martenson J, Yuhki N, Miquelle D,
Uphyrkina O, Goodrich JM, Quigley HB, Tilson R, Brady G, Martelli P,
Subramaniam V, McDougal C, Hean S, Huang SQ, Pan W, Karanth KU,
Sunquist M, Smith JLD, OBrien SJ. 2004. Phylogeography and Genetic
Ancestry of Tigers (Panthera tigris). PLoS Biol 2 (12) : e442
Lynam A. J, T. Palasuwan, J. Ray and S. Galster. 2000. Tiger Survey Techniques
and Conservation Training Handbook. Bangkok-Thailand : Khao Yai
Forestry Training Center.
Miguellle D. Smirnov EN, Merril TW, Myslenkov AE, Quigley HB, Hornocker
MG, Schleyer B. 1999. Hierarchical Spatial analysis of Amur tiger
31
32
LAMPIRAN
33
34
35