Anda di halaman 1dari 35

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam
sub-spesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan menjadi satusatunya harimau terakhir yang dimiliki Indonesia setelah dua diantaranya yaitu,
harimau bali (Panthera tigris balica) dan harimau jawa (Panthera tigris sondaica)
dinyatakan punah masing-masing pada tahun 1940-an dan 1980-an (Nowell &
Jackson, 1996; Luo et al., 2004). Data terbaru diperkirakan jumlah harimau
sumatera yang tersisa di habitat alaminya hanya 400 500 ekor dan jumlahnya
akan terus berkurang apabila kerusakan hutan Sumatera terus berlanjut
(PANTHERA, 2013).
Satwa ini termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah
(critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam yang dikeluarkan
oleh Lembaga Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of
Nature) tahun 2006. Harimau sumatera termasuk dalam kategori appendix 1
dalam CITES (Convension on International Trade in Endengered Spesies of Wild
Fauna and Flora) yang berarti jenis ini dilarang untuk diperdagangkan dalam
bentuk apapun. Harimau sumatera termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999. Oleh karena itu harimau
sumatera ditetapkan sebagai salah satu spesies prioritas sangat tinggi untuk
dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 57/Menhut-II tahun
2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 20082018.
Keberadaan harimau sumatera saat ini semakin terjepit karena beberapa
penyebab yaitu penyusutan mangsa (Karanth et al., 1999), hilangnya dan
terfragmentasinya habitat alaminya yang tidak terkendali karena aktivitas
pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial (Linkie,
2003), perambahan oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan, perburuan,
perdagangan illegal, umur, kemampuan reproduksi serta konflik dengan
masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harimau sumatera (Imansyah, in press).

Padahal untuk konservasi harimau sumatera butuh habitat yang luas seperti
wilayah jelajahnya dan yang penting pula keberadaan satwa mangsa.
Dalam struktur piramida makanan, harimau merupakan top predator.
Satwa predator ini setiap hari harus mengkonsumsi 5 6 kg daging yang sebagian
besar (75%) terdiri atas hewan-hewan mangsa dari golongan rusa (Sunquist et al.,
1999). Pada kawasan Taman Nasional Way Kambas satwa mangsa yang disukai
harimau sumatera yaitu babi hutan, monyet ekor panjang dan rusa sambar.
Kepadatan populasi dugaan satwa mangsa yang terendah yaitu kijang dan kancil
(Lestari, 2006). Di daerah Ipuh Seblat satwa mangsa yang juga banyak
ditemukan antara lain kambing hutan, tapir, beruk, beruang madu,babi jenggot dan
kuau raya (Riansyah, 2007). Pada kawasan Taman Nasional Berbak tingkat
keanekaragaman satwa mangsa harimau sumatera cukup tinggi, terdapat 14 jenis
satwa potensial mangsa harimau. Satwa mangsa utama harimau sumatera yang
ditemukan adalah babi jenggot, napu, beruk dan tapir (Olviana, 2011) sedangkan
di kawasan hutan Blangraweu satwa mangsa utamanya adalah rusa sambar, kijang
dan babi jenggot (Andriana, 2011).
Analisis terkini status harimau sumatera secara global menetapkan 12
bentang alam konservasi harimau sumatera (Tiger Conservaton Landscape) yang
masih menawarkan substansial habitat untuk menyelamatkan populasi harimau
sumatera adalah: Tesso Nilo, Bukit Barisan Selatan, Bukit Tigapuluh, Kerinci
Seblat, Kuala Kerumutan, Bukit Balai Rejang-Selatan, Bukit Rimbang Baling,
Rimbo Panti-Batang Timur, Rimbo Panti-Batang Barat, Leuser, Berbak dan
Sibolga (World Wide Fund for Nature (WWF), 2008).
Terdapat dua status bentang alam konservasi harimau sumatera yaitu
global dan regional. Menurut Ramsar Convention Secretariat kawasan Taman
Nasional Sembilang mempunyai status konservasi global khususnya SPTN III dan
terdaftar sebagai Ramsar Site ke 1945. Wilayah SPTN III di Taman Nasional
Sembilang merupakan landscape dari Berbak Sembilang. Kawasan ini baru 4
tahun disahkan dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Sembilang dan
memang masih memerlukan survei intensif

untuk menentukan data harimau

maupun hewan mangsanya. Penelitian mengenai pola waktu aktivitas dan hewan
mangsanya ini sangat penting untuk mengetahui keberadaan harimau sumatera

dan hewan mangsanya. Sehingga dapat dilakukan suatu tindakan dalam upaya
pelestarian harimau sumatera baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Metode yang sering digunakan untuk mengamati populasi harimau
sumatera yang dilakukan hingga saat ini seperti metode perhitungan langsung,
metode perhitungan jejak, metode perkiraan, perhitungan dengan petak contoh
dan metode capture-recapture (camera trap). Akan tetapi, untuk jenis-jenis
dengan perilaku menghindar (elusive) saat bertemu dengan manusia dan
menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera sangat sulit untuk melakukan
perhitungan secara langsung. Metode yang direkomendasikan dan dapat dipercaya
untuk perhitungan populasi harimau di alam adalah dengan menggunakan camera
trap. Penggunaan kamera jebakan dalam pengembangan model capture-recapture
telah meningkatkan efektivitas metode survei dan pemantauan sebagian besar
satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols, 2002).
Penerapan camera trap untuk memonitoring keberadaan karnivora besar telah
banyak digunakan di dunia dan di Indonesia sendiri di antaranya adalah (Linkie
et al., 2007) di Kerinci Seblat dan (Hutajalu, 2007) di Tesso Nilo-Bukit Tiga
Puluh.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Menduga populasi harimau sumatera di wilayah SPTN III Taman Nasional
Sembilang
b) Mengidentifikasi salah satu komponen habitat harimau sumatera (satwa
mangsa) di wilayah SPTN III Taman Nasional Sembilang
c) Mengetahui pola waktu aktivitas harimau sumatera di wilayah SPTN III
Taman Nasional Sembilang
d) Mengetahui hubungan antara tingkat perjumpaan satwa mangsa dengan
pola waktu aktivitas harimau sumatera di wilayah SPTN III Taman
Nasional Sembilang.

1.3 Kegunaan Penelitian


Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Informasi terbaru mengenai populasi harimau sumatera di SPTN III Taman


Nasional Sembilang
2. Informasi terbaru mengenai kelimpahan dan jenis satwa mangsa harimau
sumatera di SPTN III Taman Nasional Sembilang
3. Sebagai dasar pertimbangan dalam upaya pelestarian populasi harimau
sumatera
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.4.1 Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah populasi, pola
waktu aktivitas harimau sumatera dan tingkat perjumpaan satwa mangsa
menggunakan kamera trap di (SPTN) Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah
III Taman Nasional Sembilang.
1.4.2 Hipotesis
Tingkat perjumpaan satwa mangsa mempengaruhi pola waktu aktivitas
harimau sumatera.

II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio- Ekologi Harimau Sumatera
2.1.1 Taksonomi
Harimau merupakan salah satu jenis kucing besar selain singa, jaguar dan
macan tutul. Menurut Slater dan Alexander (1986) dalam Andriana (2011)
taksonomi dari hewan ini adalah :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

SubFilum

: Vertebrata

Class

: Mammalia

Subclass

: Eutheria

Ordo

: Carnivora

Subordo

: Fissipedia

Family

: Felidae

Subfamily

: Pantherina

Genus

: Panthera

Spesies

: Panthera tigris

Subspesies

: (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929)

Selanjutnya Grzimek (1975) dalam Riansyah (2007) menyatakan terdapat


delapan subspesies harimau Panthera tigris di dunia tetapi tiga diantaranya telah
dinyatakan punah. Subspesies tersebut antara lain:
1. Panthera tigris altaica (Temminck, 1845); Harimau siberia, disebut juga
harimau amur, terdapat di Rusia, Cina dan Korea Utara.
2. Panthera tigris amoyensis (Hilzheimer, 1905); Harimau cina, terdapat di Cina.
3. Panthera tigris corbetti (Mazak, 1968); Harimau indo cina, terdapat di
Thailand, Cina, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia.
4. Panthera tigris tigris (Linneaus, 1758); Harimau bengala, terdapat di India,
Nepal, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar.
5. Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929); Harimau sumatera, terdapat di
Pulau sumatera.
6. Panthera tigris sondaica (Temminck, 1845); Harimau jawa, terdapat di Pulau
Jawa, dinyatakan punah sekitar tahun 1980.
7. Panthera tigris balica (Schwarz, 1912); Harimau bali, terdapat di Pulau Bali,
dinyatakan punah pada tahun 1937.

8. Panthera tigris virgata (Illiger, 1815); Harimau kaspia, terdapat di Iran,


Afganistan, Turki dan Rusia, dinyatakan punah sekitar tahun 1950.

Harimau Siberia/amur (Sumber : Malene Thyssen)

(a)

Harimau bengala (Sumber : EA Kuttapan)

Harimau sumatera (Sumber : ZSL)

(b)

Harimau indocina (Sumber : Andy Rouse)

(c)

(d)

Harimau kaspia (Sumber : Wikipedia)

Harimau jawa (Sumber : Hoogerwerf, A)

(e)

(f)

Harimau cina (Sumber : www.5tigers.com)

(g)

Harimau bali (Sumber : www.5tiger.com)

(h)

Gambar 1. Delapan subspesies harimau di dunia


2.1.2 Morfologi
Harimau sumatera merupakan harimau terkecil dalam sub-spesies harimau
Pada umumnya, harimau jantan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan
dengan harimau betina (Jackson, 1990). Panjang harimau jantan dapat mencapai
2,2 2,5 m sedangkan betina 2,15 2,3 m. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk
rata-rata adalah 75 cm tetapi ada juga yang mencapai 80 90 cm dan berat 130
225 kg (Sunquist M & Sunquist F, 2002).
Harimau sumatera mempunyai bentuk dan warna tubuh yang sama tetapi
dari satu individu dan individu lainnya terdapat loreng yang berbeda dan menjadi
ciri khas seperti sidik jari pada manusia. Corak loreng pada harimau bervariasi
dalam jumlah loreng, ketebalan loreng, kepadatan loreng serta kecenderungan
untuk terpecah atau menjadi totol-totol. Warna loreng pada kebanyakan harimau
bervariasi dari coklat hingga hitam. Pada bagian dada, perut dan kaki sebelah
dalam berwarna agak keputihan. Telinga sebelah luar berwarna hitam dengan
noda putih di tengahnya. Ekor harimau relative panjang, bercincin warna hitam di
atas warna jingga, kuning atau kuning tua (Franklin et al., 1999).
Kaki depan harimau lebih pendek dibanding kaki belakangnya sehingga
memudahkan harimau untuk melompat tinggi dan jauh. Bahu dan kaki depan
lebih besar dan berotot dibanding kaki belakang. Kaki depan mempunyai lima jari
sedangkan kaki belakang hanya empat jari. Cakar pada kaki depan dilengkapi
dengan kuku yang panjang, runcing dan tajam yang panjangnya 80100 mm dan

digunakan untuk menangkap dan menggenggam mangsanya. Kuku-kuku ini dapat


disembunyikan atau ditarik (retractable) bila tidak digunakan (Jackson, 1990).
Susunan gigi harimau keras dan kuat, gigi seri tersusun berdekatan
berderet melintang dengan gigi bagian luar berukuran paling besar. Gigi taringnya
panjang sedangkan gigi premolar bagian pertama sangat kecil bahkan kadangkadang tidak ada, sedangkan bagian bawah agak lebih besar dengan tiga gigi
taring utama. Geraham bawah berderet dengan gusi, berukuran sangat kecil dan
terkadang tidak mencukupi. Pada rahang bawah, gerahamnya merupakan gigi
karnasial dengan pola yang sangat berbeda dengan premolar, yang mempunyai
satu gigi berukuran besar dengan gigi taring tengah dan tambahan gigi pada setiap
sisi (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Andriana 2011).
2.1.3 Populasi dan Distribusi
Menurut WWF Indonesia (2013) perkiraan angka populasi harimau
seluruh dunia pada tahun 2010 adalah 3200 individu. Jumlah tersebut telah
merosot tajam dibandingkan satu abad sebelumnya, yang diperkirakan masih
berjumlah sekitar 100 ribu individu. Angka populasi resmi yang disampaikan
pemerintah Indonesia dalam pertemuan puncak tentang harimau di St. Petersburg,
Rusia tahun 2010 adalah 325 individu. Dan tahun 2022 adalah tahun harimau
berikutnya menurut kalender Cina. Pada tahun itu, sesuai dengan komitmen yang
dibuat oleh para pemimpin dunia dari negara-negara pemilik harimau, populasi
harimau diharapkan sudah naik menjadi 2 kali lipat dibandingkan dengan
kondisinya pada tahun 2010. Harimau sumatera ditargetkan untuk meningkat
populasinya dari 325 menjadi 650 individu dewasa.
Pada tahun 1800 1900 jumlah harimau sumatera masih sangat banyak,
mencapai ribuan individu. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah
harimau sumatera adalah sekitar 1000 individu. Setelah itu Pulau Sumatera
mengalami perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang pertanian,
perkebunan dan kehutanan serta pembangunan pemukiman dan industri.
Akibatnya habitat harimau sumatera semakin menurun yang otomatis berakibat
pula pada populasinya. Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera sekitar
500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi utama 400 ekor dan di luar
kawasan konservasi 100 ekor hidup (Siswomartono et al., 1994).

Status harimau secara global menetapkan 12 bentang alam konservasi


harimau (Tiger Conservation Landscape) di Sumatera. Jika dipadukan dengan
beberapa hasil kajian terkini, saat ini populasi harimau sumatera terdapat
setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lain yang berstatus
sebagai hutan lindung dan hutan produksi, yang terpisah satu sama lain
(Soehartono et al., 2007).
Tabel 1. Data estimasi hasil survei populasi terbaru periode 1998 - 2007
Lokasi Penelahaan
Populasi
TNKS
Bukit Tiga Puluh
Kerumutan
Kompleks Hutan
Bukit Balai Rejang
Selatan
TNBBS
TNBG Bagian Barat
TNBG Bagian Timur
Kompleks Hutan
Tesso Nilo
Lansekap Rimbang
Baling
TNB
TNGL
Sibolga
TNBD
TNWK
SM Dangku
Ekosistem Ulu Masen
Sungai Meranti
Sungai Kapas
Senepis Buluhala

Luas Kawasan
(ha)

Perkiraan
Populasi

1.399.320
144.223
n/a

136
n/aa
n/a

Perkiraan
Kepadatan
(/100 km2)
0,05 11,25
n/a
1,27 55

388.400

n/aa

n/a

365.000
108.000
n/a
233.200

40 43
18 62
n/a
n/a

1,6
1,1 3,9
n/a
0,64 1,4

n/a

n/a

0,92 4,03

162.700
1.094.692
n/a
60.500
125.621
21.752
750.000
67.000

n/a
n/aa
n/a
1b
36
3b
n/aa
2b

n/a
n/a
n/a
n/a
1,6 4,3
n/a
n/a
n/a

106.000

21 42

24

Sumber
Linkie 2005
ZSL Indonesia 2007
WWF, PHKA, VA Tech
(Sunarto dkk)
WCSIP 2007
OBrien dkk 2003
Wibisono dkk 2007
WWF, PHKA, VA Tech
(Sunarto dkk)
WWF, PHKA, VA Tech
(Sunarto dkk)
WCSIP 2007
ZSL Indonesia 2007
Franklin dkk
ZSL Indonesia 2007
WCSIP 2007
ZSL Indonesia 2007
Well 2007

: Ditemukan bukti keberadaan harimau namun estimasi populasi belum dilakukan


b
: Estimasi populasi adalah jumlah minimum individu yang teridentifikasi melalui foto hasil kamera
pengintai
n/a: Tidak ada data

Menurut ZSL pada kawasan TN Sembilang data estimasi populasi harimau


sumatera belum diperkirakan jumlahnya karena TN Sembilang baru 4 tahun
disahkan dibawah pengelolaan Balai TN Sembilang. Survei yang pernah
dilakukan oleh ZSL yaitu berupa informasi mengenai keberadaan harimau
sumatera dari masyarakat dan petugas TN Sembilang. Maka dari itu tim dari ZSL
9

memutuskan untuk melakukan studi estimasi populasi di kawasan TN Sembilang


khusunya pada SPTN III yang wilayahnya mendekati landscape Berbak
Sembilang.
2.1.4 Habitat
Harimau sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini
mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan,
dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi (Dinata & Sugardjito, 2008).
Harimau sumatera dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan
pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0-2.000 meter diatas
permukaan laut (mdpl), tetapi kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari
2.400 mdpl. Hutan dataran rendah merupakan habitat utama harimau sumatera
dengan kepadatan 1-3 ekor per 100 km2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per
100 km2. Namun, tingginya kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (6580%) menyebabkan harimau bergerak ke atas menuju hutan perbukitan dan
pegunungan (Dinata & Sugardjito, 2008). Di Sumatera, harimau sumatera terdapat
di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, dan menghuni berbagai jenis
habitat, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut,
hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar (Soehartono et al., 2007).
2.1.5 Satwa Mangsa
Sebagai predator, harimau memangsa berbagai jenis hewan meliputi
mamalia, burung, reptil, amfibi, ikan dan bahkan hewan invertebrata. Keberadaan
hewan mangsa merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan Harimau
Sumatera (Dinata & Sugardjito, 2008).
Satwa mangsa harimau dapat dibedakan menjadi dua yaitu satwa mangsa
utama seperti rusa sambar (Cervus unicolor), babi (Sus spp.), kijang (Muntiacus
muntjak), kancil (Tragulus spp.), kerbau liar (Bubalus bubalis) dan mangsa
potensial seperti tapir (Tapirus indicus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), landak raya (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica),
beruang madu (Heralctos malayanus), jenis-jenis reptil, amfibi, berbagai jenis
burung, ikan, jenis-jenis satwa liar lainnya. Hewan peliharaan atau ternak yang
juga sering menjadi mangsa harimau adalah kerbau, kambing, domba, sapi, anjing
dan ayam (Karanth & Sunquist, 1995).

10

Satwa mangsa utama harimau sumatera dari kelas mamalia khususnya


ordo ungulata (Dinata & Sugardjito, 2008). Di kawasan hutan Blangraweu
Ekosistem Ulu Masen Provinsi Aceh satwa mangsa utamanya adalah rusa sambar,
kijang dan babi jenggot (Andriana, 2011) sedangkan di Taman Nasional Berbak
satwa mangsa utama harimau sumatera meliputi kijang, babi jenggot dan napu
(Olviana, 2011).
Tabel 2. Jenis satwa mangsa potensial harimau sumatera di Taman Nasional
Berbak
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Nama lokal
Beruk
Tapir
Monyet ekor panjang
Tikus tanah
Sempidan merah
Musang leher kuning
Simpai
Bambun ekor pendek
Beruang madu
Biawak
Kucing hutan
Kucing kepala datar

Nama Ilmiah

Famili

Macaca nemestrina
Tapirus indicus
Macaca fascicularis
Trichys fasciculate
Lophura erythrophthalma
Martes flavigulata
Presbytis melalophos
Herpestes brachyurus
Helarctos malayanus
Varanus salvator
Prionailurus bengalensis
Prionailurus planiceps

Cercopithecidae
Perissodactyla
Cercopithecidae
Hystricidae
Ardeidae
Viveridae
Cercopithecidae
Herpestidae
Ursidae
Varanidae
Felidae
Felidae

Sumber : Olviana (2011)

Pada kawasan Taman Nasional Way Kambas satwa mangsa yang di sukai
harimau sumatera yaitu babi hutan, monyet ekor panjang dan rusa sambar.
Kepadatan populasi dugaan satwa mangsa yang terendah yaitu kijang dan kancil
(Lestari, 2006). Di daerah Ipuh Seblat satwa mangsa yang juga banyak
ditemukan antara lain kambing hutan, tapir, beruk, beruang madu,babi jenggot dan
kuau raya. Satwa mangsa ini memiliki tingkat aktivitas tinggi pada siang hari
(diurnal) yaitu sebesar 72 % (Riansyah, 2007).
Di landscape Tesso Nilo Bukit Tiga Puluh pada siang hari, kemungkinan
harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas seperti babi hutan, beruk
dan kijang, dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap rusa dan kancil
(Hutajulu, 2007).
2.1.6 Wilayah Jelajah dan Teritori

11

Masih sedikit informasi yang diketahui tentang cara harimau menjelajah


suatu daerah terutama cara mereka melintasi wilayah yang terpilah-pilah menjadi
beberapa bagian. Smith (1993) mengemukakan bahwa harimau jantan mampu
menjelajah tiga kali lebih jauh dari pada harimau betina, sebagian harimau betina
philopatric, lebih senang tinggal di dekat induknya. Lebih lanjut ia
mengemukakan, jarak jelajah untuk rata-rata harimau jantan adalah

33 km,

terjauh adalah 65 km, sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina adalah
kurang dari 10 km dan terjauh 33 km. Hal ini bukan berarti harimau tidak mampu
menjelajah lebih jauh. Daya jelajah harimau tergantung pada daya tahan hewan
tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harimau membutuhkan daerah
yang luas yang biasa disebut dengan daerah jelajah. Daerah jelajah harimau
sumatera betina dewasa berkisar antar 40-70 km2. Kemudian daerah jelajah
harimau sumatera jantan sangat bervariasi yaitu antara 180 km2 pada kisaran
ketinggian antara 100-600 mdpl, 274 km2 pada kisaran ketinggian antara 6001700 meter dpl, dan 380 km2 pada ketinggian 1700 meter dpl (Soehartono et al.,
2007).
2.1.7 Pola Aktivitas Harimau Sumatera
Beberapa ahli ekologi mengelompokkan pola aktivitas satwaliar menjadi
tiga tipe yaitu diurnal, nokturnal dan krepuskular. Diurnal yang berarti aktivitas
satwa liar tersebut sebagian besar dilakukan pada siang hari. Nokturnal
merupakan kebalikan dari diurnal dimana sebagian besar aktivitas satwa liar
dilakukan pada malam hari. Sedangkan krepuskular merupakan pola aktivitas
satwa yang aktif pada waktu menjelang senja dan subuh.
Pola aktivitas harimau sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas
satwa mangsa, yaitu krespuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan
dan napu) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut
berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau
sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak
beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan
perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama

12

(Hutajulu, 2007). Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga


kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak beraktivitas di
dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan perubahan kualitas
habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama (Karanth & Sunquist,
1995).
2.1.8 Perilaku Berburu
Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan taktik
perburuan individual, bersembunyi, mengejar, dan menyerang secara tiba-tiba lalu
membunuh mangsanya. Harimau selalu mengikuti mangsanya dalam jarak 10-25
meter sebelum menyerang dari samping atau belakang, menarik mangsanya
dengan cakar dan menggigit lehernya (Riansyah, 2007). Namun tidak semua
mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada beberapa mangsa yang diterkam
pada panggul belakangnya, ada yang diterkam pada bagian lehernya, dan ada pula
yang digigit secara mematikan pada bagian tenggorokannya atau pada bagian
belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran
atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan habitatnya, dan ada pula sifat
pemangsa yang berubah karena berdasarkan pengalaman (Sunquist et al.,1999).
Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 36 hari sekali
tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau membutuhkan sekitar 5-6 kg
daging per hari (Seidensticker et al, 1999). Untuk harimau betina dapat
membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor
sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu (Miguellle et al., 1999). Besarnya
jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari apakah harimau tersebut
mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi
makan anaknya (McMacDonald, 1986 dalam Hutabarat, 2005).

2.1.9 Perilaku Reproduksi


Populasi harimau dapat berkembang dengan pesat pada situasi yang
menguntungkan. Masa kehamilannya pendek yaitu hanya 103 hari, harimau betina
memasuki masa estrus (harimau betina mau menerima harimau jantan untuk

13

melakukan perkawinan) yang cepat diikuti dengan pergi atau matinya harimau
muda (Sunquist M & Sunquist F, 2002).
Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua atau tiga ekor anak bahkan
hingga

empat

ekor.

Harimau

betina

mengasuh

sendiri

anaknya

dan

memisahkannya jika terluka atau sakit. Anak harimau hanya minum air susu
induknya selama delapan minggu pertama. Setelah itu mereka dapat mencoba
makanan padat, namun mereka masih menyusu selama lima atau enam bulan.
Anak harimau pertama kali meninggalkan sarang pada umur dua minggu dan
belajar berburu pada umur dua bulan (Sunquist M & Sunquist F, 2002).
2.1.10 Upaya Perlindungan dan Status Konservasi
Payung hukum kegiatan konservasi di Indonesia telah tertuang dan
dilindungi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi
harimau sumatera awalnya bernama Sumatra Tiger Project (STP) telah dimulai
tahun 1995 di Taman Nasional Way Kambas Propinsi Lampung. Saat ini kegiatan
yang bernama Program Konservasi Harimau Sumatera, juga dikembangkan di
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Propinsi Jambi, Riau dan Kawasan Konservasi
Harimau Senepis Buluhala Propinsi Riau (Siregar, 2010). Upaya konservasi
harimau sumatera sebenarnya bukan semata hanya bertujuan untuk menjaga
kelestarian harimau sumatera saja, tetapi juga melindungi spesies lainnya. Karena
harimau sumatera merupakan species payung (umbrella species) yang artinya
dengan melindungi spesies ini secara tidak langsung juga melindungi spesies
lainnya yang hidup di habitat yang sama.
Satwa ini dinyatakan terancam punah (Critically Endangered) oleh The
International Union for Conservation of Nature and Resources (IUCN) tahun
2006 atau Badan Internasional Pelestarian Alam dan Sumberdaya Alam). Menurut
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) termasuk Appendix I tahun 1975. Oleh karena itu harimau
sumatera ditetapkan sebagai salah satu spesies prioritas sangat tinggi untuk
dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 57/Menhut-II tahun
2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 20082018.
2.2 Teknologi Pendukung

14

2.2.1 Kamera Trap


Salah satu metode atau teknik mutakhir yang mampu memberikan harapan
dunia konservasi adalah teknik pencacahan dan inventarisasi satwa dengan
menggunakan sistem kamera otomatis yang bekerja dengan sistem infra merah
(Karanth, 1995). Untuk melakukan monitoring mamalia besar dengan perilaku
menghindar (elusive) dan menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera digunakan
perangkap kamera (camera trap). Camera trap dapat memberikan data akurat di
antaranya keberadaan jenis, sebaran, aktivitias satwa, daerah jelajah dan
sebagainya (Hutajulu, 2007).
Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera trap merupakan
suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara lebih efektif dan
akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya untuk
pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karanth & Nichols, 2002). Generasi
kamera trap dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan
keefektifan dalam metode survey dan monitoring untuk sebagian besar satwa
terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols, 2002). Teknologi
berupa kamera trap telah banyak membantu usaha konservasi satwa liar di dunia
termasuk Indonesia. Dengan adanya sistem kamera trap dapat digunakan untuk
memantau populasi satwa liar yang terancam punah keberadaannya di alam liar.
Penggunaan metode kamera trap untuk memantau populasi karnivora besar
pertama kali dilakukan oleh Karanth (1995) di empat taman nasional di India.
Kamera trap bekerja dengan menggunakan sistem infra merah yang dapat
mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Setiap
satwa yang melintas akan terekam gambarnya oleh kamera. Gambar-gambar
tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan, bulan, tanggal dan
nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan di transformasikan kedalam
sofware komputer. Keberadaan set kamera tidak mempengaruhi aktivitas satwa
yang melintas didepan kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan hariannya.
Penempatan kamera diusahakan tidak pada celah yang lebar sehingga pada
saat harimau melintasi kamera trap akan mengaktifkan secara otomatis dan
menangkap gambar individu yang melintas (Karanth & Nichols, 2002). Seperti
manusia, kebanyakan satwa liar menggunakan jalur-jalur yang ada di hutan untuk

15

berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga jalur-jalur yang ada di dalam
hutan dapat digunakan sebagai lokasi pemasangan kamera trap (Karanth &
Nichols, 2000).
2.2.2 Program Capture
Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa sofware komputer yang
dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi.
Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan
metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth dan Nichols
(2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad &
Burnham, 1991).
Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau
kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera jebakan tidak
mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap
periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data
capture-recapture populasi tertutup (closed population) secara demografi.
Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera jebakan atau periode
penangkapan tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau
yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut
dikategorikan terbuka dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al.,
1978 dalam Rexstad & Burnham 1991). Linkie et al., (2006) selanjutnya
menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup
yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen.
b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat
pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian
ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan
kanan harimau terlihat berbeda).
c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling,
kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah
individu untuk kemungkinan menghindari bias.
Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model
yang cocok untuk untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE

16

yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Pollock et al., 1990)
yaitu :
a) M , yaitu kemungkinan penangkapan seluruh harimau adalah sama dan tidak
0
terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t), atau heterogenitas individu (h).
b) M (Jackknife, N ), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada
h
h
masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan
penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon perangkap dan
waktu.
c) M (Zippin, N ) yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan
b
b
sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan
respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau
waktu.
d) M (Darroch, N ) yaitu kemungkinan penangkapan adalah sama untuk seluruh
t
t
individu harimau, tetapi bervariasi selama survey yang hanya disebabkan
faktor waktu spesifik.

17

III. KONDISI UMUM LOKASI

3.1 Sejarah dan Status


Taman Nasional Sembilang terdiri dari kurang lebih 77.500 ha hutan
mangrove yang merupakan hutan mangrove terluas di Indonesia bagian Barat.
Mangrove disini meluas jauh sampai 35 km ke arah daratan dengan 17 spesies
atau 43 dari seluruh spesies mangrove di Indonesia. Di bagian barat laut taman
nasional terdapat hutan rawa gambut. Gambut yang ada terutama dari tipe
ombrogen dengan ketebalan 0,5 meter. Taman nasional ini dicirikan oleh pola
drainase menjari lebih dari 30 sungai. Hampir semua sungai dalam kondisi alami
dengan kualitas air yang relatif baik.
Penunjukan kawasan Taman Nasional Sembilang berdasarkan pada
rekomendasi Gubernur Provinsi Sumatera Selatan (No 522/5459/BAPPEDAIV/1998 dan SK Menteri Kehutanan No. 76/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001)
tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Provinsi Sumatera
Selatan yang didalamnya tercantum penunjukan kawasan Sembilang menjadi
calon Taman Nasional. Kemudian ditindaklanjuti surat Gubernur Sumatera
Selatan No. 22/5128/I tanggal 23 Oktober 2001 yang meminta penetapan kawasan
calon Taman Nasional Sembilang seluas 205.750 ha. Berdasarkan Perda Sumatera
Selatan No. 5 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) kawasan seluas 205.750 ha yang ditunjuk sebagai calon Taman
Nasional ini merupakan penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa (SM)
Terusan Dalam (29.250 ha), Hutan Suaka Alam (HAS) Sembilang seluas 113.173
ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sungai Terusan Dalam seluas 45.500 ha dan
kawasan perairan di sekitarnya seluas 17.827 ha.
Selanjutnya pada tahun 2003, kawasan Taman Nasional Sembilang
ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No. 95/Kpts-II/2003 tanggal 19 Maret
2003 seluas 202.896,31 ha termasuk kawasan perairannya.
3.2 Letak dan Luas
Menurut wilayah administrasi pemerintahan Taman Nasional Sembilang
berada di Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera
18

Selatan, secara geografis TN Sembilang berada diantara 138 - 225 Lintang


Selatan (LS) dan 10412 - 10455 Bujur Timur (BT). Sebelah Barat Laut TN
Sembilang berbatasan langsung dengan TN Berbak yang berada di Provinsi
Jambi. Kawasan TN Sembilang memiliki luas 202.896,31 ha termasuk kawasan
perairannya berdasarkan SK Menteri Kehutanan.
3.3 Kondisi Fisik Kawasan
3.3.1 Topografi
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 1013 (skala 1 : 250.000)
yang diterbitkan Bakosurtanal, Kawasan TN Sembilang memiliki topografi datar,
dengan ketinggian antara 0 20 meter di atas permukaan laut.
3.3.2

Geologi dan Tanah


Taman Nasional Sembilang merupakan bagian dari daratan rawa terbesar

yang terisi dengan formasi sedimen Palembang. Kawasan ini tergolong pada
formasi kuarter yang terdiri dari endapan alluvial (termasuk sedimen marin dan
sedimen organik di pesisir, dan deposit organik, biasanya sebagai kubah gambut
jauh di daratan) dan endapan rawa. Kubah gambut terdalam terdapat di antara
sungai Terusan Dalam dan Sungai Benu. Elevasi kawasan TN Sembilang berkisar
antara 0 hingga 20 mdpl, dengan variasi pasang surut hingga 3,5 m. Jenis Tanah
umumnya terdiri dari histosol (termasuk typic haplohemists, typic hydraquents,
typic sulfaquents, histic sulfaquent, sodic psammaquents) dan inceptisol (termasuk
sulfic endoaquepts dan typic sulfaquepts).
3.3.3 Iklim
Kawasan TN Sembilang memiliki iklim tropis dengan rata-rata curah
hujan tahunan 2.455 mm. Temperatur udara 22 33 C. Musim kering biasanya
terjadi di bulan Mei hingga Oktober, sedangkan musim hujan dengan angin barat
daya yang kuat terjadi di bulan November hingga April. Iklim dapat dijabarkan
sesuai dengan Zona C : 5 hingga 6 bulan berturut-turut bulan basah dan 3 bulan
atau kurang berturut-turut bulan kering.

19

3.3.4 Aksesibilitas
Dusun Sembilang merupakan pemukiman nelayan terbesar di pesisir TN
Sembilang. Jalur utama menuju Dusun Sembilang dapat dicapai dengan
transportasi air dari Palembang - Sungsang - Dusun Sembilang 3,5 jam dengan
speed boat 40PK. Kawasan TN Sembilang juga dapat dicapai dari Mentok Pulau
Bangka melalui Sungsang.
3.4 Ekologi Kawasan
3.4.1 Flora
Potensi flora Taman Nasional Sembilang terdiri dari kira kira 87.000 ha
hutan mangrove yang masih utuh. Meluas kearah darat hingga 35 km menjadikan
kawasan mangrove terluas di Indonesia bagian barat. Keseluruhannya terdapat 17
spesies mangrove yaitu 43% dari seluruh spesies mangrove di Indonesia yang
ditemukan, meliputi Sonneratia alba (Perepat), Avicennia marina (Api-api),
Rhizopora spp (Bakau), Bruguiera gymnorhiza (Putut) dan Xylocarpus granatum
(Nyiri

batu).

Pada

ekosistem

rawa

sekunder

didominasi

dari

jenis

Dipterocarpaceae (Meranti), Gluta renghas (Rengas), Dyera costulata (Jelutung),


Intsia palembanica (Merbau), Gonistylus bancanus (Ramin). Selain itu ditemukan
juga Nepenthes spp (Kantung semar), Cymbidium hartinahiahum (Anggrek
jamrud), Livistona spp ( Palem kipas sumatera) (Sacafirmansyah, in press).
Bentuk-bentuk kerusakan habitat yang terjadi dilapangan berupa illegal loging,
perambahan liar dan perburuan liar yang dapat mengancam keberadaan harimau
sumatera.
3.4.2 Fauna
Taman Nasional Sembilang memiliki 53 spesies mamalia. Dari 53 spesies
tersebut terdapat sedikitnya 5 spesies primata dan 7 spesies kucing, 16 spesies
reptil, 28 spesies burung air migran. Kawasan hutan pantainya, terutama di
Sembilang dan Semenanjung Banyuasin merupakan habitat harimau sumatera
(Panthera tigris sumatrae), kucing mas (Catopuma temminckii), tapir (Tapirus
indicus), rusa sambar (Cervus unicolor), siamang (Hylobates syndactylus), dan
babi hutan (Sus spp). Jenis burung yang ada diantaranya bangau bluwok

20

(Mycteria cinerea), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis cucuk besi


(Threskiornis melalochepalus), pecuk ular asia (Anhinga melanogaster), cangak
laut (Ardea sumatrana), cangak abu (Ardea cinerea), blekok asia (Limnodromus
semipalmatus), trinil tutul (Pseudototanus guttifer), undan putih (Pelecanus
onocrotalus), bluwok putih (Mycteria cinerea), dara laut sayap putih (Chlidonias
leucopter ), dara laut biasa (Sterna hirundo), gajahan (Numenius sp), dara laut
jambul (Sterna bergii), dan burung biru laut ekor hitam (Limosa limosa).
Jenis reptilnya yaitu buaya (Crocodylus porosus), biawak (Varanus
salvator), labi-labi besar (Chitra indica), dan ular punti masak (Boiga
dendrophyla).
Jenis ikan yang berada di kawasan tersebut yaitu ikan sembilang (Plotusus
caniu ), ikan toman (Channa micropeltes), dan ikan tapah (Wallago leerii)
(Sacafirmansyah, in press).

21

IV.METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini berada di kawasan Taman Nasional Sembilang,
Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan SPTN III RPTN VII, VIII
dan IX. Penelitian dilakukan mulai sampai 2014.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian SPTN III Taman Nasional Sembilang


4.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera trap
type panthera, kompas, Global Positioning System (GPS), Flashdisk, kamera
digital Sony 16,0 Megapixel, alat pencatat waktu (jam), program software Arc
GIS versi 9.3, program software CAPTURE dan Tally Shet.

22

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kerja skala 1:
150.000, battere Alkalin, silica gel serta kawasan Taman Nasional Sembilang
sebagai habitat harimau sumatera dan satwa mangsanya.
4.3 Jenis Data yang Diambil
4.3.1 Data Primer
Adapun data primer yang dikumpulkan berupa data hasil foto harimau
sumatera dan mangsanya yang diperoleh dari kamera trap. Jenis data populasi dari
satwa mangsa harimau yang dicatat meliputi : nama lokasi pemasangan kamera
trap, posisi geografis lokasi, tanggal terdeteksi satwa tertangkap kamera dan
tanggal pemeriksaan.
4.3.2 Data Sekunder
a. Studi pustaka yaitu kegiatan awal yang dilakukan untuk objek penelitian
seperti jurnal dan artikel.
b. Wawancara yaitu kegiatan untuk mencari informasi mengenai objek
penelitian dari instansi instansi terkait seperti Balai Taman Nasional
Sembilang dan masyarakat.
4.4 Cara Pengumpulan Data
4.4.1 Kamera Trap
Data penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan perangkap
kamera (kamera trap). Data pada kamera mencetak foto dengan waktu, suhu dan
tanggal kejadian. Penempatan kamera dilakukan dari hasil orientasi peta dengan
program SIG dengan titik penempatan kamera secara purposive. Rancangan teknis
pemasangan kamera trap berdasarkan diskusi antara ZSL dengan Joon Goodrich
dan Joe Smith yaitu kamera trap dipasang sebanyak 192 unit dengan jarak antar
kamera rata rata 1 grid atau 3 km pada peta dari 96 grid cell size dan luas total
864 km2. Kamera trap dipasang pada batang pohon dengan ketinggian 45 cm di
atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 2,5 meter (Karanth &
Nichols, 2000). Setiap unit di program untuk merekam gambar satwa dengan
selang waktu 5 menit dan beroperasi selama 24 jam/hari. Pembongkaran kamera
dilakukan dalam periode 50 hari untuk pengambilan hasil. Pemasangan kamera
trap dilakukan berdasarkan pembagian grid 12 x 12 km. Selanjutnya grid tersebut
23

dibagi menjadi 96 grid cell dengan ukuran 3 x 3 km/cell. Langkah kerja


pemasangan kamera trap pada Gambar 3.

(a)

(b)

(c)
(d)
Gambar 3. (a) alat studi ; (b) cara pemasangan kamera trap type panthera ; (c)
mengukur lebar dan tinggi foto ; (d) kamera siap beroperasi
Untuk menambah informasi mengenai keberadaan harimau sumatera dan
potensi mangsanya dilakukan juga dengan metode penemuan jejak. Pengamatan
ini merupakan pengamatan secara tidak langsung untuk mengamati keberadaan
satwa yang sulit ditemui secara langsung seperti harimau sumatera. Jejak
merupakan tanda-tanda yang ditinggalkan oleh satwa seperti tapak kaki, kotoran,
cakaran (scratch dan scrape), sisa makanan dan lain-lain. Pengamatan melalui
penemuan jejak dilakukan di jalur yang dilalui saat pemasangan dan pengecekan
kamera jebakan. Perjumpaan tak langsung tersebut dicatat ukurannya dan
keterangan lain yang berkaitan. Kontak tidak langsung yang dapat digunakan
sebagai penduga individu harimau yang berbeda adalah jejak kaki yang
ditinggalkan.

24

4.4.2 Metode Capture Recapture


Metode capture recapture dengan menggunakan kamera trap digunakan
untuk menaksir kelimpahan harimau (Karanth & Nichols 1998, 2002), karena
harimau memiliki pola loreng yang berbeda satu sama lain (Karanth, 1995).
Setiap individu harimau dibedakan berdasarkan pola garis belang (ekor, pundak,
badan, kaki, kepala/face).
4.5 Analisis Data
4.5.1 Analilis Foto Untuk Identifikasi Individu Harimau dan Satwa Mangsa
Identifikasi foto harimau berdasarkan ciri-ciri morfologis , jenis kelamin ,
dimensi badan yang mendasar seperti pipi atau dahi jika gambar diambil dari arah
depan dan panjang tubuh juga berdasarkan pola loreng (Karanth & Nichols, 1995;
Franklin et al., 1999). Selanjutnya pengembangan data dasar (database) dilakukan
untuk memilih foto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau
yang telah diidentifikasi baik dari arah kanan atau kiri maupun dari arah depan
dan belakang serta penunjuk waktu. Kemudian identifikasi foto harimau dengan
membandingkan dua foto pada sisi yang sama dengan mencari sesuatu yang
spesifik seperti ukuran tubuh dan jenis kelamin.

Gambar 4. Contoh identifikasi pada dua individu harimau


Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua
foto individu harimau dapat dibedakan secara tepat (Franklin et al., 1999).
Individu harimau yang telah teridentifikasi dengan jelas berdasarkan ciri pola
loreng kemudian diberi nama pada setiap individu harimau sehingga individu
harimau yang telah teridentifikasi memiliki nama masing-masing. Data yang

25

diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE (Rexstad &


Burnham, 1991) dan untuk menentukan luas area contoh efektif (effective
sampling area) dilakukan analisis menggunakan Arc GIS 9.3.
Beberapa istilah penting dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk
standarisasi istilah yaitu:
1) Trap night merupakan lama hari aktual kamera jebakan beroperasi selama 24
jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu
lokasi kamera dengan memperhitungkan kamera jebakan yang tidak
beroperasi baik karena hilang atau rusak.
2) Trap night effective merupakan lama hari aktual kamera jebakan aktif
beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu kamera jebakan
yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan.
3) Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu
dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu
jenis adalah nol (0).
4) Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan
memiliki isi 36 frame.
5) Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu
(t).
6) Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu kamera
jebakan beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi.
7) Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada
suatu lokasi dan occassion tertentu.
8) Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara
berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah
disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari
individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto
berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film
dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu
berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau
jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto
independen ini merujuk pada OBrien et al., (2003).
4.5.2 Kepadatan Absolut Harimau
26

Analisis kepadatan absolut harimau (harimau/100 km2) digunakan dengan


mengetahui jumlah individu harimau yang telah diidentifikasi (N). Kemudian data
hasil identifikasi foto harimau yang diperoleh, digunakan untuk analisis capture
recapture untuk memperkirakan ukuran populasi harimau sumatera (N-hat ).
Melalui program CAPTURE (Rexstad & Burnham 1991) digunakan model Mh
untuk heterogenetik harimau dengan asumsi tertutup (closure test) (Karanth &
Nichols 2002). Analisis capture-recapture menggunakan model Mh dimana
populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup secara demografi
misalnya tidak ada kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi selama survei.

Keterangan :
D

: Estimasi kepadatan harimau (individu/100 km2)

: Jumlah individu yang telah diidentifikasi

AW

: Efektif sampling area ( km2)

4.5.3 Efektif Sampling Area


Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik
koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan
dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols 1998) yang didapatkan dari
Mean Maximum Distance Move (MMDV) (Karanth & Nichols 1998, 2002)
yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu
harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda
(Linkie, 2005).

Keterangan :

27

: Lebar garis batas (km)

: Jumlah recapture individu

: Rata-rata jarak individu recapture

di

: Jarak dari tiap individu recapture ke-i

4.5.4 Kepadatan Satwa Mangsa


Analisis kepadatan satwa mangsa (/100 km2) dapat menggunakan jumlah
foto independent dari satwa yang telah teridentifikasi. Estimasi kepadatan satwa
mangsa menurut Hutchinson & Waser (2007) sebagai berikut :
y = 2rtvD
Keterangan :
Y : Jumlah kontak satwa
r : Jari-jari zona deteksi
t : Waktu
v : Kecepatan satwa
D : Kepadatan
4.5.5 Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa
Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total
jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali 100. Faktor pembagi 100 hari
untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (Lynam et al., 2000).

Keterangan :
ER

: Tingkat perjumpaan (Encounter rate)

: Jumlah total foto harimau dan mangsa yang diperoleh

: Jumlah total hari operasi kamera

28

4.5.6 Analisis Statistik Logistic Regression


Analisis statistik menggunakan perangkat SPSS 16 logistic regression
yaitu untuk mengetahui hubungan tingkat perjumpaan satwa mangsa dengan
tingkat perjumpaan harimau. Dalam uji statistik logistic regression dengan asumsi
yaitu variabel bebas tidak harus membentuk hubungan linear dan tidak harus
terdistribusi normal dengan distribusi variabel terikat. Variabel bebas tidak harus
berhubungan satu sama lain, atau disebut juga kolinearitas.
4.5.7 Pola Waktu Aktivitas
Hasil foto dari kamera trap yang tercatat waktunya dapat digunakan untuk
mengetahui pola aktivitas harimau sumatera dan satwa mangsanya dengan cara
memasukan data yang tercetak pada foto ke dalam program excel. Melalui
program excel selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik, sehingga dapat
digolongkan apakah satwa tersebut memiliki aktivitas diurnal yang berarti
aktivitas satwaliar tersebut sebagian besar dilakukan pada siang hari, nokturnal
yaitu kebalikan dari diurnal dimana sebagian besar aktivitas satwaliar dilakukan
pada malam hari atau krepuskular yang berarti pola aktivitas satwa yang aktif
pada waktu menjelang senja dan subuh.

29

DAFTAR PUSTAKA
Andriana. 2011. Potensi Populasi Dan Karakteristik Habitat Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) Di Hutan Blangraweu
Ekosistem Ulu Masen Provinsi Aceh. Skripsi. Departemen Konservasi
Sumber Daya Hutan Dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Buletin Sembilang. 2012. Ramsar Site Untuk Taman Nasional Sembilang dan
Implikasinya. Edisi 1/ 2012.
Dinata Y dan Sugardjito J. 2008. Keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae Pocock, 1929) dan Hewan Mangsanya di Berbagai Tipe Habitat
Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Volume 9, Nomor 3
Halaman: 222-226.
Franklin N, Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, Manansang JD, Tilson R. 1999.
Harimau Terakhir Indonesia : Alasan Untuk Bersikap Optimis dalam
Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di Lingkungan yang
Didominasi Manusia. Ed. : J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson.
Cambridge University Press. London.
Hutchinson, J.M.C. & Waser, P.M. 2007. Use, misuse and extensions of ideal
gas models of animal encounter. Biological Reviews, 82, 335359.
Hutajulu, M.B. 2007. Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatra [Panthera
tigris sumatrae (Pocock, 1929)] Berdasarkan Camera Trap di Lansekap
Tesso Nilo Bukit Tiga Puluh, Riau. Tesis Program Pasca Sarjana
Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia.
Hutabarat, A. S. 2005. Perencanaan Tapak Pusat Konservasi Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Senepis, Propinsi Riau.
Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
IUCN. 2006. IUCN-Cat-Specialist-Group, Panthera tigris ssp. sumatrae in IUCN
Red
List
of
Threatened
Species-Carnivore
Conservation.
http://www.carnivoreconservation.org/site/redlist.htm.
Imansyah T. 2012. Menilik Keberadaan Harimau Sumatera Di Taman Nasional
Sembilang. Buletin Sembilang Pesona Situs Ramsar Sumatera Selatan
Edisi I/2012, hal. 35.
Jackson, P. 1990. Endangered Species Tigers. Chartwell Books, Inc. New
Jersey.UK.
Karanth K.U. 1995. Estimating Tiger Panthera tigris Populations From CameraTrap Data Using Capture-Recapture Models. Biological Conservation 71
(1995) 333-338.

30

Karanth K. U. dan Sunquist. 1995. Prey Selection By Tiger, Leopard and Dhole In
Tropical Forest, J. Animal Ecology
Karanth K.U. dan Nichols. 1998. Estimation of tiger densities in India using
photographic captures and recaptures. Ecology 79: 2852-2862.
Karanth K.U., Stith BM, J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. 1999.
Penyusutan mangsa sebagai faktor-faktor penting bagi kelangsungan hidup
populasi harimau dalam Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di
Lingkungan yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press.
London
Karanth K.U. dan Nichols. 2002. Monitoring Tiger and Their Prey; a Manual
research, managers and conservation in tropical Asia. Center For Wildlife
Studies. India.
Lestari NS. 2006. Studi Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae
Pocock, 1929) Di
Taman Nasional Way Kambas. Skripsi. Departemen
Konservasi Sumber Daya Hutan Dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Linkie M. 2003. Tigers, prey loss and deforestation patterns in Sumatra
[Disertasi]. [DICE] Durrell Institute of Conservation and Ecology
University of Kent. England
Linkie M. 2005. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di
TNKS. London : [DICE] Durel Institute Conservation and Ecology.
Linkie M, Chapron G, Martyr DJ, Holden J, Williams NL. 2006. Assessing the
viability of tiger subpopulations in a fragmented landscape. Journal
of Applied Ecology 43: 576-586.
Linkie M, Dinata Y, Nugroho A, Haidir IA. 2007. Estimating Occupancy of a Data
Deficient Mammalian Species Living in Tropical Rainforest : Sun Bears in
the Kerinci Seblat Region, Sumatera. Biological Conservation 137 : 20-27.
Luo SJ, Kim JH, Johnson WE, Walt J, Martenson J, Yuhki N, Miquelle D,
Uphyrkina O, Goodrich JM, Quigley HB, Tilson R, Brady G, Martelli P,
Subramaniam V, McDougal C, Hean S, Huang SQ, Pan W, Karanth KU,
Sunquist M, Smith JLD, OBrien SJ. 2004. Phylogeography and Genetic
Ancestry of Tigers (Panthera tigris). PLoS Biol 2 (12) : e442
Lynam A. J, T. Palasuwan, J. Ray and S. Galster. 2000. Tiger Survey Techniques
and Conservation Training Handbook. Bangkok-Thailand : Khao Yai
Forestry Training Center.
Miguellle D. Smirnov EN, Merril TW, Myslenkov AE, Quigley HB, Hornocker
MG, Schleyer B. 1999. Hierarchical Spatial analysis of Amur tiger
31

relationship to habitat and prey dalam Menunggang Harimau : Pelestarian


Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Ed. : J. Seidensticker,
S. Christie and P. Jackson. Cambridge University Press. London
Nowell K dan Jackson P. 1996. Wild cats: Status survey and conservation action
plan. Gland, Switzerland: IUCN-World Conservation Union. 406 p.
OBrien T, Wibisono, H, Kinnaird, M.. 2003. Crouching tigers, hidden prey:
Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape.
Animal Conservation) 6, 131139 2003. The Zoological Society of
London.
Olviana EK. 2011. Pendugaan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae, Pocock 1929) Menggunakan Kamera Jebakan Di Taman
Nasional Berbak. Skripsi. Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan
Dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
PANTHERA. 2013. Harapan Untuk Kehidupan Harimau Di Sumatera. Diunduh
dari http : //sweller@panthera.org. (diakses 01Desember 2013).
Pollock KH, Nichols JD, Brownie C dan Hines JE. 1990. Statistical Inference For
Capture Recapture Experiments. WILDL MONOGR 107 : 1-97.
Rexstad E dan Burnham KP. 1991. Users guide for interactive program
CAPTURE. Abundance estimation of closed animal populations. Fort
Collins: Colorado State University.
Riansyah A. 2007. Kepadatan Dan Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) Di IpuhSeblat Seksi
Konservasi Wilayah II Bengkulu Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi.
Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan Dan Ekowisata. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sacafirmansyah. 2006. Taman Nasional Sembilang. Pusat Konservasi Alam
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. 50 Taman Nasional Indonesia. Bogor:
2006.
Seidensticker J., S Christie dan P Jackson. 1999. Menunggang Harimau;
Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Cambridge
University Press.
Siregar P. 2010. Konservasi Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae).
(diakses 10 Desember 2013).
Siswomartono, D., Samedi, N. Andalusi, F. I. Hardjanti. 1994. Strategi Konservasi
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Direktorat jendral

32

Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan


Republik Indonesia. Jakarta.
Soehartono T, Wibisono HT, Sunarto, Martyr D, Susilo HD, Maddox T dan
Priatna D. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae). Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Sunquist M, Karanth KU, Sunquist F. 1999. Ekologi, Perilaku dan Keuletan
Harimau Serta Perlunya Usaha Konservasi Harimau dalam Menunggang
Harimau : Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia.
Ed. : J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. Cambridge University
Press. London
Sunquist M dan Sunquist F. 2002. Wild Cats of the World. The University of
Chicago Press, Ltd. London.
Smith, J.L.D. 1993. The Role of Dispersal in Structuring the Chitawan Tiger
Population Behaviour.
The Tiger Information Centre. http://www.5tigers.org/. (diakses 23 Desember
2013).
World Wide Fund for Nature (WWF). 2008. Laporan Tiger Conservation
Landscape : Indonesia. Diunduh dari
http//sabdo2907@yahoo.com.
(diakses 01 Desember 2013).
WWF-Indonesia. 2013. Harimau Dalam Angka. (diakses 23 Desember 2013).

LAMPIRAN

33

Lampiran 1. Peta Kerja Berbak Sembilang Landscape

Lampiran 2. Peta Zonasi Taman Nasional Sembilang

34

35

Anda mungkin juga menyukai