Ekspektasi pelanggan bisa terbentuk dari pengalaman masa lalunya, pembicaraan dari
mulut ke mulut dan informasi yang diterima dari aktivitas promosi perusahaan jasa.
Dengan demikian adalah wajar jika pelanggan akan menentukan pilihan suatu jasa
berdasarkan informasi tersebut, dan mereka akan membandingkan mutu layanan yang
dirasakan dengan mutu layanan yang diharapkan. Implikasinya ialah ketika kualitas
layanan dirasakan memenuhi atau lebih baik dari kualitas layanan yang diharapkan, maka
mereka akan tetap menggunakan jasa tersebut, sebaliknya bila kualitas layanan yang
dirasakan berada dibawah kualitas layanan yang diharapkan, mereka tidak akan berminat
lagi untuk membeli jasa tersebut dan akan meninggalkannya (Zeithaml et al.,1996).
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui:
a) Layanan yang dianggap mampu memenuhi ekpektasi penerima layanan.
b) Pengukuran kualitas layanan yang disampaikan perusahaan (jasa) yang dapat
diimplementasikan.
c) Layanan yang bermutu yang bermanfaat bagi produsen dan konsumen.
2. Hasil Kajian dan Pembahasan
2.1 Perkembangan Konsep Dimensi Kualitas Layanan
Salah satu karakteristik jasa (layanan) adalah tidak kasat mata (intangible) dan
kualitas teknik layanan (outcome) tidak selalu dapat dievaluasi secara akurat, maka
pelanggan berusaha menilai kualitas layanan berdasarkan apa yang dirasakannya, yaitu
dengan cara memberikan penilaian terhadap atribut-atribut yang mewakili proses dan
kualitas layanan. Pada tataran implementasi di lapangan kualitas layanan diukur dari
dimensi ataupun indikator yang merefleksikan maupun yang membentuk mutu layanan.
Sejalan dengan pengembangan kebutuhan dan perubahan jaman, maka dimensi kualitas
layanan telah mengalami perubahan yang relevan dengan konteks implementasi di
lapang.
Pengembangan konsep dimensi kualitas layanan dimulai oleh Sasser et al., (1978)
dengan tujuh dimensi kualitas layanan meliputi: keamanan (security); konsistensi
(consistency); sikap (attitude); kelengkapan (completeness); kondisi (condition);
ketersediaan (availability); dan pelatihan (training). Pada dasarnya dimensi tersebut
dapat diklasifikasikan berdasarkan kelompok kualitas asset fisik, keandalan layanan; dan
kualitas dari proses penyampaian layanan. Selanjutnya Gronroos (1978; 1982; 1983;
1984; 1988; dan 2001) menyatakan tiga dimensi dalam kualitas layanan yakni kualitas
teknik dari keluaran (technical quality of outcome); kualitas fungsional terkait dengan
proses (functional quality of process); dan citra perusahaan (corporate image). Dimensidimensi tersebut mencakup semua dimensi sebagaimana yang disampaikan oleh Sasser et
al (1978), bahkan juga ditambahkan dimensi citra atau reputasi perusahaan.
Lehtinen dan Lehtinen (1982) menyatakan bahwa kualitas layanan dapat dilihat
dari tiga dimensi yaitu kualitas interaktif (interactive quality); kualitas fisik (physical
quality); dan kualitas perusahaan (corporate quality). Sesungguhnya apa yang
disampaikan tersebut memiliki kesamaan dengan dimensi kualitas dari Gronroos (2001).
Dalam kualitas interaktif berkaitan dengan kualitas proses penyampaian layanan dari
perusahaan kepada konsumen disini terjadi interaksi antara pihak penyedia jasa dengan
pihak pengguna jasa tersebut sehingga intensitas interaksi bergantung pada kualitas
layanan yang disampaikan artinya semakin berkualitas suatu layanan, maka semakin
sering konsumen membeli layanan tersebut. Kualitas fisik berkaitan dengan kualitas
sarana atau alat yang digunakan dalam penyampaian layanan tersebut, sedangkan kualitas
perusahaan adalah berkaitan dengan citra atau reputasi perusahaan dimata konsumen
artinya semakin baik reputasi perusahaan, maka citra perusahaan juga baik dan positif.
96
97
Babakus dan Boller (1992) menyatakan hanya satu dimensi kualitas layanan
yakni kinerja (performance). Meskipun sederhana, penentuan satu dimensi ini mungkin
tidak menggambarkan secara benar ruang lingkup kualitas layanan, karena hal tersebut
untuk studi yang mengarah pada kasus yang sangat unik dengan karakteristik yang luar
biasa. Artinya apa yang disampaikan Babakus dan Boller tersebut sejalan dengan Cronin
dan Taylor (1992) bahwa kenyataan didalam praktek tidaklah sederhana seperti dalam
konsep karena berbicara kinerja sesungguhnya berkaitan dengan semua dimensi yang
menjadi sebab atau memengaruhi kinerja tersebut. Sebagai contoh kinerja seorang
pramuniaga dalam memberikan layanan pada konsumen atau calon konsumen tentu
dipengaruhi oleh seberapa luas pemahamannya (knowing/skills) terhadap konsumen
tersebut, meskipun demikian pemahaman tidaklah cukup berarti tanpa didukung oleh
sarana/prasarana lainnya misalnya: peralatan komunikasi, infomasi data, lingkungan
kerja dan sebagainya.
Ovretveit (1993), menyatakan tiga dimensi kualitas layanan antara lain: kualitas
klien atau konsumen (customer or client quality); kualitas teknik atau profesional
(professional or technical quality); kualitas manajemen (managemnt quality). Dimensi
ini merupakan pengembangan dari studi sebelumnya, hal yang baru dari dimensi tersebut
adalah kualitas manajemen yang menunjukkan aspek manajemen internal dan ekternal.
Artinya bahwa kualitas manajemen baik internal maupun ekternal merupakan aspek
penting dalam kualitas layanan. Sedangkan Johnston and Chestnut, (1996)
mengemukakan delapan belas dimensi kualitas layanan dimana sebagian besar dari
dimensi tersebut didasarkan dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh
Parasuraman et al (1985, 1988). Dengan demikian sejalan dengan studi sebelumnya yang
pernah dilakukan oleh Parasuraman et al yakni: reliability, responsiveness, competence,
access, courtesy, communication, credibility, security, understanding/knowing customer,
assurance, empathy.
Delapan dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin dan dapat digunakan
sebagai kerangka perencanaan strategis dan analisis adalah sebagai berikut: (1) kinerja
(performance), yaitu karakteristik operasi pokok produk inti; (2) ciri-ciri atau
keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap; (3)
kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal
dipakai; (4) kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to spesifications), yaitu sejauh
mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan
sebelumnya; (5) daya tahan (durability), berkaitan dengan seberapa lama suatu produk
dapat terus digunakan; (6) serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan,
mudah direparasi serta penangan keluhan yang memuaskan; (7) estetika, yaitu daya tarik
produk terhadap panca indera; dan (8) kualitas yang dipersepsikan (perceived quality),
yaitu citra dan reputasi produk/jasa serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya
(Garvin dalam Lovelock ,1994; serta Peppard dan Rowland, 1995 dalam Tjiptono, 1997).
Selanjutnya Harte dan Dale (1995) melakukan pemisahan dengan
mengungkapkan ada enam dimensi kualitas layanan antara lain: batas waktu (timelines);
empati (empathy); jaminan (assurance); imbalan (fees); berwujud (tangibles); dan
keandalan (reliability). Pada dasarnya pemisahan dimensi ini memiliki kesamaan dengan
SERVQUAL, dimana timelines merupakan pengembangan yang didalamnya termasuk
reliability. Artinya dimensi kualitas layanan yang disampaikan oleh Harte dan Dale
(1995) tidak jauh berbeda dengan SERVQUAL, hanya ada penambahan berkaitan dengan
waktu dan imbalan. Selanjutnya Buttle (1996) mengemukakan enam dimensi kualitas
98
layanan yang merupakan dimensi SERVQUAL ditambah dengan satu dimensi yang
mengindikasikan mengenai outcome, sebagaimana yang telah disebut oleh Gronroos
(1978, 1982, 1983, 1984, 1988) dan yang lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya Genestre dan Herbig (1996) menyatakan enam
dimensi kualitas layanan yang terdiri: SERVQUAL ditambah satu dimensi yaitu kualitas
produk, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Brown (1988). Kemudian Mels et al., (1997)
mengemukakan dua dimensi kualitas layanan yakni: kualitas ekstrinsik (extrinsic quality)
dan kualitas intrinsik (intrinsic quality). Pada dasarnya dua dimensi ini memiliki
kesamaan dengan kualitas teknik dan kualitas fungsional sebagaimana dikembangkan
oleh Gronroos (1978, 1982, 1983, 1984, 1988).
Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1996), menyatakan bahwa kualitas layanan
merupakan suatu konsep yang terdiri dari lima dimensi. Kelima dimensi tersebut antara
lain: tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Menurut konsep ini
kualitas layanan diukur melalui persepsi pelanggan terhadap lima dimensi kualitas
layanan tersebut. Penjelasan tentang lima dimensi kualitas layanan dari Zeithaml, Berry
dan Parasuraman (1996), adalah sebagai berikut: (1) dimensi pertama, tangibles adalah
tampilan berwujud yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti fasilitas fisik,
peralatan kantor, penampilan pegawai, dan sarana lainnya; (2) dimensi kedua reliability
adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara akurat dan
memuaskan; (3) dimensi ketiga, responsiveness adalah berkaitan dengan kemauan
karyawan untuk memberikan layanan secara baik dan kesediaan serta kemampuan
karyawan untuk membantu menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebutuhan karyawan pada saat menerima layanan; (4) dimensi keempat, assurance
adalah kemampuan karyawan terhadap bidang yang menjadi tugasnya, sehingga dengan
demikian bisa menimbulkan perasaan bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan
pelanggan; dan (5) dimensi kelima, empathy adalah berkaitan dengan sikap ramah dan
perilaku karyawan yang selalu menghargai, mendengar, dan memberikan perhatian
kepada pelanggan.
Untuk keperluan riset yang berkaitan dengan mutu layanan memerlukan
seperangkat instrumen yang diukur dengan skala tertentu. Pengembangan skala
SERVQUAL yang dilakukan oleh Zeithaml, Berry dan Parasuraman (1996), mencakup
pertanyaan tentang harapan konsumen terhadap kualitas layanan dan tentang persepsi
konsumen terhadap kualitas layanan yang mereka terima. Sedangkan Cronin dan Taylor
(1992), mengajukan pengukuran alternatif yang dikenal dengan istilah SERVPERF
(service performance) mencakup pertanyaan yang terkait dengan kinerja kualitas layanan
yang disampaikan perusahaan.
White dan Galbraith (2000) menyatakan tiga belas dimensi kualitas layanan
antara lain: keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), kompetensi
(competence), komitmen (commitment), akses (access), ketersediaan (availability),
komunikasi (communication), pemahaman (understanding), fleksibilitas (flexibility),
berwujud atau fungsional atau teknologi (tangible/functionality/technology), kredibilitas
atau
integritas
(credibility/integrity),
kehormatan
atau
persahabatan
(courtesy/friendliness), perhatian (helpfullness/care). Bila diperhatikan pada dasarnya
dimensi tersebut dapat diterima dan lebih komprehensif daripada SERVQUAL, dan
memiliki kesamaan dengan studi sebelumnya. Artinya dimensi kualitas layanan yang
disampaikan oleh White dan Galbraith (2000) lebih lengkap dari SERVQUAL.
99
Imrie et al., (2000) mengungkapkan tujuh dimensi kualitas layanan antara lain:
berwujud (tangibles), kehandalan (reliability), dayatanggap (responsiveness), jaminan
(assurance), kemurahan hati (generosity), kesopanan dan kehormatan (politeness and
courtesy), kesucian (sincerity). Selanjutnya tujuh dimensi kualitas layanan tersebut juga
dinyatakan oleh Lin et al (2000) yang kemudian Imrie et al (2002) menjadikan tiga
kelompok yang disebut hubungan interpersonal (interpersonal relation).
Brady dan Cronin (2001) menyatakan tiga dimensi ditambah tiga sub-dimensi
dalam kualitas layanan meliputi: keluaran (outcome), interaksi (interaction), kualitas
lingkungan (environmental quality). Dimensi ini sesuai dengan model Gronroos (1978;
1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) yakni kualitas teknik dari luaran (technical quality of
outcome); kualitas fungsional terkait dengan proses (functional quality of process); dan
citra perusahaan (corporate image). Dimensi tersebut mencakup semua dimensi
sebagaimana yang disampaikan oleh Sasser et al., (1978), bahkan juga ditambahkan
dimensi citra atau reputasi perusahaan.
Aldlaigan dan Buttle (2002) menyampaikan empat dimensi kualitas layanan
antara lain: kualitas sistem layanan (service system quality), kualitas perilaku layanan
(behavioural service quality), akurasi traksaksi layanan (service transactional accuracy),
dan kualitas mesin layanan (machine service quality). Dimensi tersebut kemudian
diklasifikasikan kedalam dua dimensi Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan
2001) yakni kualitas fungsional layanan dan kualitas teknik layanan. Selanjutnya
Sureshchandar et al., (2002), menyampaikan lima dimensi kualitas layanan antara lain:
unsur manusia (human element), berwujud (tangibles), layanan inti (core service), unsur
bukan manusia (non-human element), dan tanggung jawab sosial (social responsibility).
Jika diperhatikan disini ada tiga dimensi yang baru yakni inti layanan lebih kurang
memiliki kesamaan dengan keluaran (outcome) atau merupakan dimensi produk;
kemudian unsur bukan manusia memiliki kesamaan fokus dengan kualitas manajemen,
sedangkan tanggung jawab sosial secara keseluruhan adalah sejalan dengan
konseptualisasi konstruk konsumen.
Santos (2003) menyatakan dua dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama
adalah incubative berkaitan dengan kemudahan dalam penggunaan (ease of use),
penampilan (appearance), keterkaitan (linkage), tata letak dan struktur (structure and lay
out), dan isi (content); dimensi kedua adalah active berkaitan dengan keandalan
(reliability), efisiensi (efficiency), dukungan (support), komunikasi (communication),
keamanan (security), dan insentif (incentives). Dimensi ini selanjutnya diklasifikasikan
kedalam dua dimensi Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) yakni kualitas
layanan fungsional dan kualitas layanan teknik (technical and functional service quality).
Sedangkan Jun et al., (2004) mengemukakan enam dimensi kualitas layanan
antara lain: dapat dipercaya (reliable/prompt response), akses (access), kemudahan dalam
penggunaan (ease of use), penuh perhatian (attentiveness), keamanan (security), dan
kredibilitas (credibility), demikian juga Yang et al., (2004) mengungkapkan enam
dimensi kualitas layanan antara lain: keandalan (responsiveness), kompetensi
(competences), kemudahan dalam penggunaan (ease of use), keamanan (security), dan
potofolio produk (product portofolio). Dari penjelasan tersebut nampak keduanya samasama mengemukakan enam dimensi dan hal tersebut merupakan pengembangan dari
dimensi SERVQUAL.
Kang dan James (2004) menyatakan tiga dimensi kualitas layanan sebagaimana
dalam model Gronroos yakni: teknik kualitas luaran (technical quality of outcome),
fungsi kualitas prosess (functional quality process), dan citra perusahaan (corporate
imange). Dimensi ini esensinya mengkonfirmasikan validitas dari model Gronroos dan
menemukan kesesuian dibanding SERVQUAL. Sedangkan Liu (2004) juga
100
mengemukakan tiga dimensi kualitas layanan antara lain: adanya interaksi antara
karyawan dengan konsumen (the customer-employee interaction), lingkungan dimana
layanan tersebut diberikan (the service environment), dan apa keluarannya (outcome).
Disamping itu menurut Srikatanyoo dan Gnoth (2005) terdapat enam dimensi
kualitas layanan antara lain: tersedianya fasilitas pendukung dan akademik (academic
and supporting facilities), kinerja staff academik (academic staff performances), kondisi
lingkungan (environmental condition), permintaan yang masuk (entry requirements),
reputasi akademik dari negara (academic reputation of country), dan reputasi akademik
lembaga-lembaga yang ada didalam negeri (academic reputation of domestic
institutions). Dari enam dimensi tersebut sesungguhnya berasal dan merupakan direvasi
dari model Gronroos (1978; 1982; 1983; 1984; 1988; dan 2001) dan Parasuraman et al
(1996) yang secara spesifik digunakan dalam pendidikan internasional. Sedangkan
Fowdar (2005) mengemukakan tujuh dimensi kualitas layanan antara lain: lima dimensi
kualitas layanan dari SERVQUAL dan ditambah lagi dua dimensi kualitas layanan yakni
keluaran inti medis (core medical outcomes) dan profesionalisme/keakhlian atau
kompetensi (professionalism/skill/competence). Kalau diperhatikan dimensi yang
diungkapkan tersebut adalah berbasis pada SERVQUAL dan secara spesifik digunakan
pada dunia kesehatan.
Studi yang dilakukan Thai V.V (2008) adalah pengembangan konsep model
dimensi kualitas layanan pada sektor transportasi yang kemudian dikemukakan menjadi
enam dimensi yakni: sumberdaya (resources), keluaran (outcome), proses (process),
manajemen (management), citra (image), dan tanggung jawab sosial (social
responsibility), selanjutnya enam dimensi tersebut dikenal dengan nama ROPMIS
(resources, outcome, process, management, image, dan social responsibility). Dalam
penelitiannya di sektor transportasi laut Thai V.V (2008) melaporkan bahwa meski lebih
dari sepuluh dekade perbaikan kualitas layanan merupakan hal yang penting dan kritis
bagi para operator transportasi agar lebih mempunyai keunggulan bersaing. Namun
demikian menurut Thai V.V (2008) ditemukan bahwa dalam kenyataannya masih sedikit
sekali studi terhadap dimensi kualitas layanan di sektor transportasi yang mengekplorasi
dimensi ROPMIS, sedangkan studi terdahulu sebagian besar mengekplorasi dimensi
SERVQUAL dari Parasuraman et al., (1985).
Pengembangan dimensi kualitas layanan di sektor transportasi dimulai ketika
Pearson (1980) mengemukakan dua dimensi antara lain: dimensi pertama adalah
keluaran (outcome) dengan indikator kecepatan transit, keandalan, dan regulasi; dimensi
kedua adalah proses (process) dengan indikator fleksibilitas, dan dermaga. Kemudian
Brooks (1985, 1990) melakukan pengembangan dengan menambahkan menjadi empat
dimensi kualitas layanan antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resource) berkaitan
dengan kemampuan menjelajah, perwakilan penjualan; dimensi kedua keluaran
(outcome) berkaitan dengan frekuensi berlayar, waktu transit, pelayaran langsung,
ketepatan pengiriman, dan biaya jasa; dimensi ketiga adalah proses (process) berkaitan
dengan kerjasama antar karyawan, dan fleksibilitas dalam mengangkut; dimensi keempat
adalah citra atau reputasi (image/reputation) berkaitan dengan dengan reputasi untuk
diandalkan, pengalaman kerusakan dan kehilangan, informasi iklan, kelayakan untuk
mengangkut.
Selanjutnya Slack (1985) mengungkapkan tiga dimensi yakni: dimensi pertama
sumberdaya (resource) yang berkaitan dengan ukuran dermaga, perlengkapan dermaga,
dan kedekatan dermaga; dimensi kedua adalah keluaran (outcome) berkaitan dengan
keamanan dermaga, dan beban dermaga; sedangkan dimensi ketiga adalah manajemen
(management) dengan indikator banyaknya hambatan.
101
Sedangkan Murphy et al (1989, 1991, 1992) menyatakan bahwa tiga dimensi kualitas
layanan disektor tarsportasi antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resources) dengan
indikator ukuran keluasan daya angkut, keluasan volume pelayaran, penangan khusus,
tersedianya perlengkapan, dan informasi pelayaran; dimensi kedua adalah keluaran
(outcome) dengan indikator kehilangan dan kerusakan, pengangkutan dan pengiriman,
dan beban pengendalian, sedangkan dimensi ketiga adalah proses (process) dengan
indikator pengendalian keluhan atau klaim.
Pada perkembangan selanjutnya Frankel (1993) mengemukakan tiga dimensi
kualitas layanan di sektor transportasi antara lain: dimensi pertama adalah sumberdaya
(resources) dengan indikator kapasitas yang tersedia, pengawasan aliran muatan dan
jalan; dimensi kedua adalah keluaran (outcome) dengan indikator keandalan meberikan
layanan, waktu pengiriman dan pelayanan, pemeliharaan dan keamanan muatan,
ketepatan waktu, pengawasan biaya, periklanan dan manajemen; dan dimensi ketiga
adalah manajemen (management) dengan indikator proyeksi dan pengawasan status
layanan, dan manajemen antar modal. Sedangkan Lopez dan Poole (1998) menyatakan
dua dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama adalah keluaran (outcome) dengan
indikator ketepatan waktu, dan keamanan; dimensi kedua adalah manajemen
(management) dengan indikator efisiensi.
Durvasula et al (1999) dalam Thai V.V (2008) menyatakan tiga dimensi kualitas
layanan antara lain: dimensi pertama sumberdaya (resources) indikatornya adalah
berwujud; dimensi kedua adalah keluaran (outcomes) dengan indikator keandalan; dan
dimensi ketiga adalah proses (process) dengan indikator daya tanggap, jaminan, dan
empati. Selanjutnya Tongzon (2002) dalam Thai V.V (2008) mengemukakan lima
dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama sumberdaya (resources) dengan
indikator infrastruktur yang cukup, lokasi, dan frekuensi kunjungan pelayaran; dimensi
kedua adalah keluaran (outcome) dengan indikator kemampuan bersaing di dermaga;
dimensi ketiga adalah proses (process) dengan indikator kecepatan merespon kebutuhan
pengguna dermaga; dimensi keempat adalah manajemen (management) dengan indikator
efisiensi dermaga; dan dimensi kelima adalah citra atau reputasi (image/reputation)
dengan indikator reputasi dermaga atas kerusakan muatan.
Eliades (1992), Gratsos (1998), dan Ruiter (1999), dalam Thai (2008)
mengemukakan tiga dimensi kualitas layanan yakni: dimensi pertama adalah keluaran
(outcomes) dengan indikator keamanan dan keandalan dalam transportasi, dimensi kedua
adalah manajemen (management) dengan indikator efisiensi; dan dimensi ketiga adalah
tanggung jawab sosial (social responsibility) dengan indikator aktivitas dan perilaku yang
bertanggung jawab terhadap kemanan dan memperhatikan lingkungan. Sedangkan
Ugboma et al (2004) dalam Thai (2008) menyatakan empat dimensi kualitas layanan:
dimensi pertama adalah sumberdaya (resources) dengan indikator wujud yang terukur,
dimensi kedua adalah keluaran (outcomes) dengan indikator keandalan, dimensi ketiga
adalah proses (process) dengan indikator daya tanggap dan empati; dimensi kempat
adalah manajemen (management) dengan indikator jaminan.
102
Kontributor
1978
Sasser et al.
1988
Parasuraman et al.
1988
Haywood-Farmer et
al.
1988
Gronroos
1988
1988
1992
1992
1993
Brown
Babakus dan Boller
Cronin dan Taylor
Ovretveit
1995
Johnston
1995
1996
1996
1997
2000
Buttle
Genestre dan Herbig
Mels et al.
White dan Galbraith
2000
Lin et al
2002
Imrie et al.
2001
2002
2002
Sureshchandar et al.
2003
Santos
2004
Jun et al.
2004
Yang et al.
2004
2004
2005
Srikatanyoo dan
Gnoth
2005
Fowdar
2008
Thai
kualitas layanan yang didesain dan diimplementasikan secara memadai bukan hanya
memuaskan pelanggan tetapi juga dapat memberikan kepuasan kerja bagi karyawan.
Karyawan dapat menerima tuntutan untuk senantiasa memuaskan pelanggan, karena
dengan cara demikian ia dapat memajukan kondisi finansial dan ekspresi dirinya. Bagi
pelaku usaha jasa, kepuasan karyawan yang berhubungan langsung dengan pelanggan
memegang peranan penting dalam memelihara citra kualitas yang dibangun.
3. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan perkembangan konsep dimensi kualitas layanan, maka
dapat diberikan bebarapa simpulan sebagai berikut:
a) Suatu layanan dianggap berkualitas bila layanan tersebut mampu memenuhi
ekpektasi penerima layanan tersebut atau dengan kata lain layanan yang
berkualitas akan menciptakan kepuasan bagi penerima layanan tersebut.
b) Kualitas layanan yang disampaikan perusahaan (jasa) diukur dengan dimensi dan
indikator yang merefleksikan kualitas layanan tersebut. Pemilihan dimensi atau
indikator disesuaikan dengan konteks dimana kualitas layanan tersebut akan
diimplementasikan.
c) Layanan yang bermutu akan memberikan banyak manfaat bagi produsen dan
konsumen antara lain: pelayanan yang istimewa atau sangat memuaskan
konsumen, pelayanan yang istimewa membuka peluang untuk diversifikasi
produk dan harga, pelayanan yang memuaskan menciptakan loyalitas pelanggan,
dimana pelanggan yang loyal tidak hanya potensial untuk penjualan produk yang
sudah ada, tetapi juga untuk produk-produk baru dari perusahaan, pelanggan
yang terpuaskan merupakan sumber informasi positif dari perusahaan dan
produk-produknya bagi pihak luar, pelanggan yang puas merupakan sumber
informasi bagi perusahaan untuk kepentingan pemasaran dan pengembangan
pelayanan perusahaan pada umumnya, kualitas yang baik berarti menghemat
biaya-biaya seperti biaya untuk memperoleh pelanggan baru, untuk memperbaiki
pelanggaran dan kualitas layanan yang didesain dan diimplementasikan secara
memadai bukan hanya memuaskan pelanggan tetapi juga dapat memberikan
kepuasan kerja bagi karyawan.
105
Daftar Puataka
Aldlaigan, A.H. and Buttle, F.A, 2002, SYSTRA-SQ: a new mesuare of bank service
quality, International Journal of Service Industry, Vol. 13 No. 3-4, pp, 362-82.
Babakus, E. and Boller, G.W, 1992, An empirical assessment of the SERVQUAL
scale, Journal of Business Research, Vol. 24 No. 3, pp. 253-68.
Brown, M.B., 1988, Defining quality in service businesses, Quality, Vol. 27 No. 1, pp.
56-8.
Buttle, F., 1996, SERVQUAL: review, critique, research agenda, Journal of
Marketing, Vol. 30 No. 1, pp. 8-32.
Cronin, J.J. and Taylor, S.A., 1992 a, Measuring service quality: reconciling
performances based perception minus- expectations measurement industry,
Journal of Marketing Research, Vol. 24 No. 4, pp. 404-11.
Cronin, J.J. and Taylor, S.A., 1992 b, Measuring service quality: a reexamination and
extension, Journal of Marketing, Vol. 56 No. 2, pp. 55-68.
Fowdar, R. (2005), Identifying health care quality attributes, Journal of Health and
Human Services Administration, Vol. 27 No. 3-4, pp. 428-44.
Genestre, A. and Herbig, P., 1996, Service expectations and perceptions revisited:
adding product quality to SERVQUAL, Journal of Marketing Theory and
Practice, Vol. 4 No. 4, pp. 72-82.
Gronroos, C., 1978, A service oriented approach to marketing of service, European
Journal of Marketing, Vol. 12 No. 8, pp. 588-96.
Gronroos, C., 1982, Strategic management and marketing in the service sector,
Swedish School of Economics and Business Administration, Helsinki.
Gronroos, C., 1983, Strategic Management and Marketing in the Service Sector,
Marketing Science Institute, Cambridge.
Gronroos, C., 1984, Strategic Management and Marketing in the Service Sector,
Chartwell-Bratt, Bromley.
Gronroos, C., 1984, A service quality model and its marketing implications, European
Journal of Marketing, Vol. 18 No. 4, pp. 36-44.
Gronroos, C., 1988, The six criteria of good perceived quality service, Review of
Business, Vol. 9 No. 3, pp. 10-13.
Gronroos, C., 2000, Service Management and Marketing: A Customer Relationship
Management Approach, Wiley, New York, NY.
106
Gronroos, C., 2001, The perceived service quality concept-A mistake?, Managing
Service Quality, Vol. 11 No. 3, pp. 150-52.
Imrie, B.C., Durden, G., Cadogan, J.W. and Mcnaughton, R., 2002, The service quality
construct on a global stage, Managing Service Quality, Vol. 12 No. 1, pp. 10-9.
Johnston, R., 1996, The determinants of service quality: satisfiers and dissatisfiers,
International Journal of Service Industry Management, Vol. 6 No. 5, pp. 53-71.
Jun, M., Yang, Z. and Kim, D., 2004, Customers perceptions of online retailing service
quality and their satisfaction, The International Journal of Quality and
Reliability Management, Vol. 21 No. 8, pp. 817-37.
Kang, G. and James, J., 2004, Service quality dimensions: an examination of Gronrooss
service quality model, Managing Service Quality, Vol. 14 No. 4, pp. 266-77.
Kotler, P., 1997, Principle of Marketing, Prentice Hall International Inc, Englewood
Cliffs W.J.
LeBlanc, G. and Nguyen, N., 1988, Customers perceptions of service quality in
financial institutions, International Journal of Bank Marketing, Vol. 6 No. 4, pp.
7-18.
Lehtinen, U. and Lehtinen, J.R., 1982, Service quality: a study of quality dimensions,
working paper, Service Management Institute, Helsinki.
Lin, C.Y., Durden, G.R., Imrie, B.C, and Cadogan, J.W, 2000, Towards the
conceptualization of service quality in an Asian context: a confirmatory study,
Proceedings of ANZMAC 2000: Visionary Marketing for the 21 st century: Facing
the
Challenge,
http://130.195.95.71:8081/www/ANZMAC2000/Cdsite/papers//Lin1.pdf.
Liu, C.-M. (2004), The multidimensional and hierarchical structure of perceived quality
and customer satisfaction, International Journal of Management, Vol. 22 No. 3,
pp. 426-37.
Mels, G., Boshoff, C. and Nel, D., 1997, The dimensions of service quality: the original
European perspective revisited, Service Industries Journal, Vol. 17 No. 1, pp.
173-89.
Ovretveit, J., 1993, Measuring Service Quality: Practical Guidelines, Technical
communications Publications, Ayelsbury.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L., 1988, SERVQUAL: a multiple-item
scale for measuring consumer perceptions of service quality, Journal of
Retailing, Vol. 64 No. 1, pp. 12-40.
Santos, J., 2003, From intangibility to tangibility on service quality perceptions: a
comparison study between consumers and service providers in four service
industries, Managing Service Quality, Vol. 12 No. 5, pp. 292-302.
107
Sasser, W.E., Olsen, R.P. and Wyckoff, D.D., 1978, Management of Service Operations:
Texts, Cases and Readings, Allyn and Bacon, Boston, MA.
Savitri, Dyah dan Halim, A., 2003, Bagaimana Membangun Kualitas Layanan Publik
(Suatu Tinjauan Dalam Instansi Pemerintah, Usahawan. No. 08, Tahun XXXII.
Agustus, hal. 40-46.
Srikatanyoo, N. and Gnoth, J., 2005, Quality dimensions in international tertiary
education: a Thai prospective students perspective, QualityManagement
Journal, Vol. 12 No. 1, pp. 30-41.
Sureshchandar, G.S., Rajendran, C. and Anantharaman, R.N., 2002, Determinants of
customerperceived service quality: a confirmatory factor analysis approach,
Journal of Services Marketing, Vol. 16 No. 1, pp. 9-32.
Thai. V.V, 2008: Service Quality in Maritime Transport: Conceptual Model and
Empirical Evidence. Asia Pasific Journal of marketing and Logistic, Vol 20, No.
4, 2008, pp. 493-518.
White, L. and Galbraith, M., 2000, Customer determinants of perceived service quality
in a business to business context: a study within the health services industry,
available at: http://www/papers/w/White1.PDF.
Yang, Z., Jun, M. and Peterson, R.T., 2004, Measuring customer perceived online
service quality: scale development and managerial implication, International
Journal of Operations and Production Management, Vol. 24 No. 11/12, pp. 114969.
Zeithaml, V.A., Berry, L.L. and Parasuraman, A., 1996, The behavioral consequences of
service quality, Journal of Marketing, Vol. 60 No. 2, pp. 31-46.
108