harus dapat diterima dengan lapang dada, begitu pula dengan putusan yang di hasilkan pra
peradilan. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus mampu bekerja sama menampilkan
hukum yang pasti, jelas dan memadai. Kepastian hukum akan membuat keadaan negara
harmonis dan pencari keadilan merasa terlindungi.
Upaya dalam menganalisis kasus pra peradilan Komjen Budi Gunawan, 2 penulis
berupaya untuk mengasumsikan putusan pra peradilan untuk menjawab permasalahan yang
terjadi. Menanggapi permasalahan tersebut diatas, yaitu dimana putusan pra peradilan tersebut
mengabulkan sebagaian permohonan praperadilan dengan pertimbangan
bahwa surat perintah penyidikan (Sprindik) yang menetapkan Komjen Pol
Budi Gunawan oleh KPK tidak sah dan tak berdasarkan hukum dan
Penyidikan a-quo tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan sebagainnya lagi
di tolak. 3 Jika memang putusan pra peradilan tersebut pertimbangannya
demikian, maka sudah sepantasnyalah si tersangka tersebut harus
direhabilitasi nama baiknya, mengingat jabatannya yang sangat vital dan
jenjang kariernya selama bertahun-tahun.
Jika nama baiknya tidak direhabilitasi, maka dianggap telah
mengeyampingkan ketentuan undang-undang Hak Azasi manusia dalam hal
hak memperoleh Keadilan pada Pasal 17 yang menyatakan Setiap orang,
tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata,
maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan
yang adil dan benar. Dalam hal Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah
dalam Pasal 71 menyatakan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang2. http://www.komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999tentang-ham.
3 .Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas
Manusia Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya,
dan aspek kehidupan lainnya. Dan ayat 6 menyatakan Pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan
tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia.
Memang dalam kasus pra peradilan Komjen Budi Gunawan adalah
dimana putusan tersebut tak memiliki kekuatan eksekusi mengikat, akan
tetapi perlu diketahui dan ditegaskan bahwa putusan pra peradilan tersebut
harus dipatuh oleh kedua belah pihak, mengingat bahwa hakim dapat
bertindak sebagai prodak hukum apabila
didalam memeriksa,
mempertimbangkan dan memutus perkara tidak terdapat perundangundangan yang mengatur atau terdapat kekosongan hukum. Dalam Pasal 1
ayat 10 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a. sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasa tersangka, b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan c. permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi4 oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan tegas
menyatakan bahwa Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan b. ganti kerugian dan
atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan. Dimana dalam Pasal 77 ayat b adalah sebagai pasal solusi apabila pemohon
pra peradilan dikabulkan maka si pemohon pra peradilan harus mendapatkan hak-haknya yaitu
berupa ganti rugia dan rehabilitasi agar hak-haknya yang diatur oleh undang-undang Hak Asasi
Manusia terpenuh serta menghilangkan unsur dikriminasi terhadap manusia didalam
melaksanakan unsur berbangsa dan bernegara. Dalam Pasal 82 Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 ayat (4) menyatakan bahwa Ganti kerugian dapat diminta, yang
meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95. Penjelasan
Pasal 955 mengenai ganti rugi dan rehabilitasi, dimana Tersangka/terdakwa
4.Rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 yaitu dalam (1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi
apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, 2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
atau
terpidana
berhak
menuntut
ganti
kerugian
karena
ditangkap/ditahan/dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan dan harus mendapatkan putusan
pengadilan berupa penetapan (diataur dalam Pasal 96 ayat 1 dan ayat 2
Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana) begitu juga terhadap rebilitasi
harus diajukan ke pengadilan negeri tersebut. Seharusnya dalam kasus pra
peradilan yang telah dikabulkan, tersangka/pemohon pra peradilan
mengajukan gugata ganti rugi dan rehabilitasi namanya dan agar
mendapatkan kepastian hukum atas permohonan pra peradilan tersebut.
Atas dasar alasan tersebut, 6 sudah seharusnya Kepala Negara
melantik Budi Gunawan menjadi kapolri., hal ini juga mengingat DPR telah
menyetujuinya dan terlepas apakah Budi Gunawan nantinya akan dituntut
kembali, hal tersebut dapat dipertimbangkan dalam waktu yang lain, yang
penting melaksanakan pelatikkan terlebih dahulu untuk menghindari
kekosongan hukum. Perlu kita ketahui pula bahwa terhadap kasus Budi
Gunawan atas kasus dugaan gratifikasi tersebut bahwa Putusan praperadilan
Budi Gunawan itu bersifat final dan mengikat, kedua belah pihak (antara
Budi Gunawan Vs KPK). Dan terhitung putusan praperadilan dibacakan,
kliennya saat ini sudah tidak lagi menyandang status tersangka. Dia juga
meminta agar KPK segera menghentikan proses hukum yang ada terkait
nama Budi Gunawan. Jika didalam Undang-Undang KPK tidak mengatur
tentang pencabutan (SP3), maka untuk menjaga agar tidak terjadi
kekosongan hukum, KPK harus merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Pasal 109 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Keplosian Republik Indonesia.7
atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli
warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan, (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian
tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang
sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan, dan (5) Pemeriksaan
terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan
6.http://www.koran-sindo.com/read/965363/149/jokowi-harus-lantik-budi-gunawan1424147796
7.Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):Dalam
hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,
maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
12. https://bungbens.wordpress.com/2010/04/22/upaya-hukum-terhadap-putusanpraperadilan.
dalam hal banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP,
penyidik atau penuntut umum harus mengajukan banding ke pengadilan
tinggi dalam waktu tujuh hari setelah putusan praperadilan. Pengadilan
tinggi dalam waktu tiga hari setelah menerima berkas perkara dari
pengadilan negeri, harus sudah menetapkan hari sidang, dan dalam waktu
tujuh hari terhitung tanggal sidang yang ditetapkan itu, harus sudah
memberikan putusannya. Antara penetapan hari sidang dan tanggal sidang
tidak boleh lebih dari tiga hari.
Selanjutnya, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan
kasasi. KUHAP sama sekali tidak mengatur tentang hal ini, akan tetapi dalam
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.
M.14.PW.07.03 Tahun 1983, poin 23, dengan judul Putusan Praperadilan
Dalam Hubungannya Dengan Kasasi dijelaskan bahwa untuk putusan
praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi. Alasan tidak dibenarkannya
putusan praperadilan dibanding atau kasasi, adalah adanya keharusan
penyelesaian secara cepat dari perkara-perkara praperadilan, yang jika hal
tersebut (upaya hukum) dimungkinkan, maka perkara praperadilan akan
berlarut-larut dan tidak akan diselesasikan secara cepat. Alasan lainnya
karena wewenang pengadilan negeri yang dilakukan dalam praperadilan
hanya dimaksudkan sebagai wewenang pengawasan horisontal dari
pengadilan negeri atas upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut
umum.
Timbul pertanyaan apakah terhadap putusan praperadilan itu dapat
diajukan upaya hukum luar biasa? Mengenai upaya hukum luar biasa dalam
praperadilan, KUHAP tidak mengatur secara tegas, karenanya diserahkan
kepada praktek peradilan melalui yurisprudensi untuk mengaturnya, dalam
hal ini hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat agar dapat mengisi kekosongan
13.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, BAB XVIII : UPAYA HUKUM LUAR BIASA, Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap, Dalam Pasal 263 menyatakan (1)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. (2) Permintaan
peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang
masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara
itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan
terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain; c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana
tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh
suatu pemidanaan. Pasal 264(1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang
telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas
alasannya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi
permintaan peninjauan kembalidst.
dikatakan bahwa aturan dalam putusan MK, secara sifat, lebih tinggi dari
SEMA yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam hal upaya Hukum Luar Biasa/Peninjauan Kembali, yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dimana dalam
KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), ketentuan mengenai hal ini
telah diatur secara jelas dan gamblang dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP,
dimana dinyatakan bahwa Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan
dari putusan tersebut. Dari pengaturan tersebut, sudah dapat menjawab
pertanyaan bahwa tidak benar pengajuan Peninjauan Kembali dapat
menunda eksekusi putusan pidana. Sehingga, pendapat yang menyatakan
bahwa Peninjauan Kembali berulang dapat menimbulkan ketidak pastian
hukum adalah salah, karena seperti ketentuan di atas, PK sendiri tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang dijatuhkan,
sehingga hal tersebut adalah suatu bentuk kepastian hukum sendiri. Mari
kita melihat kepada sifatnya serta aturan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP,
bahwa Peninjauan Kembali hanya bisa diajukan terhadap putusan yang
berkekuatan hukum tetap dalam arti, dengan proses Peninjauan Kembali
yang setelah proses upaya hukum kasasi, maka putusan kasasi adalah
putusan yang dapat dikatakan sebagai putusan berkekuatan hukum
tetap, dalam hal ada upaya hukum.
Aturan ini tidak memberikan pengecualian dalam hal pemidanaan
tertentu,
maka pidana mati yang termasuk dalam salah satu bentuk
pemidanaan, yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, eksekusi atau
pelaksanaannya tidaklah dapat ditunda dengan adanya pengajuan
Peninjauan Kembali. Selain itu pula, dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP
dinyatakan apabila setelah Peninjauan Kembali diajukan (sebelum putusan),
pemohon Peninjauan Kembali
meninggal dunia, ahli waris dapat
menentukan apakah Peninjauan Kembali yang diajukan akan dilanjutkan atau
tidak. Selain itu, Pasal 263 ayat (1) KUHAP juga telah menjelaskan bahwa
ahli waris dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Sehingga, berdasarkan
hal-hal ini, pendapat yang mendasari terbitnya SEMA ini yang mendasarkan
kepada lambatnya eksekusi pidana mati beberapa gembong narkoba adalah
tidak tepat.
Seharusnya pengaturan Peninjauan Kembali dalam perkara
pidana,kita harus menguraikan dahulu dari permohonan yang diajukan
pemohon dalam perkara nomor 34/PUU-IX/2013, yang sebenarnya, pemohon
hanya meminta Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 268 ayat
(3) KUHAP bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan jika kita maknai adalah
tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya bukti baru
(novum)
berdasarkan
pemanfaatan
ilmu
pengetahuan
dan
tekhnologi, atau dengan kata lain, meminta Mahkamah Konstitusi
melakukan konstitusi dengan
bersyarat. (menurut analisa penulis).
Dengan demikian bahwa pada intinya, pemohon hanya meminta Peninjauan
Kemblai diperbolehkan lebih dari 1 kali dengan syarat jika ditemukan
keadaan baru (novum) yang selama persidangan belum dimanfaatkan atau
belum ditemukan, yaitu yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a KUH
Acara Pidana.
Mari kita menganalisa secara mendalam bahwa apabila seseorang
telah divonis bersalah, dan ternyata ada perkembangan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi, yang diduga kuat dapat dijadikan dasar untuk menjadikan
vonis atas dirinya berubah menjadi tidak bersalah, karena tidak ada lagi
upaya hukum luar biasa yang bisa diajukan, karena Peninjauan Kembali
hanya bisa diajukan 1 kali dan apa upaya yang dapat ditempuh oleh
terpidana mati dan/atau ahli warisnya ? yang ternyata dan sebenarnya
terpidana mati tidak bersalah..apakah ini sudah dapat dikatakan sebagai
penyanderaan terhadap nyawa manusia dan pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang dilakukan oleh penegak hukum.inilah yang harus kita hindari.agar
tidak terjadi kesalahan yang berulang-ulang.seperti kasus sengkon dan
karta.????? (lihat arsip dimedia cetak)
Jelaslah bahwa alasan yang timbul dari penolakan Peninjauan Kembali
berulang kali, banyak dihubungkan dengan eksekusi hukuman mati, dimana
ada anggapan bahwa Peninjauan Kembali berulang kali akan menimbulkan
ketidakpastian hukum atas terpidana, sehingga kejaksaan sebagai eksekutor
putusan akan selalu menunda eksekusi hukuman mati, sampai ada putusan
yang tidak diajukan upaya hukum lagi.Jaksa/Eksekutor merasa ragu untuk
mengeksekusi terpidana karena apabila nantinya sudah ada putusan
Peninjauan Kembali yang tetap menjatuhkan pidana mati kepada terpidana,
yang mana seharusnya dapat langsung dieksekusi, lalu terpidana dieksekusi,
lalu diajukan Peninjauan Kembali lagi oleh ahli warisnya, dan ternyata
terpidana tidak bersalah, maka bagaimana mengembalikan keadaan si
terpidana yang sudah dieksekusi karena merehabilitasi/mengembalikan
nyawa terpidana yang sudah mati adalah hal yang tidak mungkin, masalah
inilah yang perlu dipikirkan oleh institusi penegak hukum di Indonesia.
Dengan konstruksi terdakwa dinyatakan bersalah, apakah dengan
Peninjauan Kembali yang dilakukan hanya 1 kali menutup kemungkinan
bahwa terpidana ternyata tidak bersalah ? apakah ada peluang bagi
terdakwa untuk dinyatakan bahwa terpidana
tidak bersalah, apabila
ditemukan
novum
yang
menyatakan
bahwa
terdakwa
tidak
bersalah.Kemudian bagaimana dengan Peninjauan Kembali yang dibatasi
hanya dapat diajukan 1 kali dan bagaimana keluarga terdakwa mendapatkan
Saran :
- Sebaiknya, khususnya pada perkara Pra Peradilan yang telah diputus dan dinyatakan
mengabulkan permohonan gugatan Pra Peradilan, maka kedua belah pihak harus
mnghormatinya, sepanjang putusan pra peradilan dalam pertimbangannya obyektif dan
bijaksana serta berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat putusan
pra peradilan untuk mewujudkan acara cepat dan mewujudkan kepastian hukum dalam
waktu yang relatif singkat, karena dalam pasal 83 ayat (2) proses banding ke PT pun
merupakan upaya terakhir dan final serta tidak dikenal upaya kasasi pra peradilan ke
Mahkamah Agung (MA) dan perlunya diatur secara dalam RUU KUHAP terhadap pra
peradilan ini, agar tidak terjadi kesimpang siuran dan kepastian hukum di dalam beracara di
pengadilan.
- Dalam upaya penerapan hukum terhadap putusan pra peradilan yang sudah berkuatan
hukum, karena merupakan putusan dengan acara cepat dan terakhir maka menurut Pasal 71
KUHAP
yang menyatakan bahwa bahwa Pemerintah berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang yang
berlaku untuk.Karena dalam Pasal 1 ayat 10 Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa Praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini, tentang : a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka, b.
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan, dan c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan. Dan dalam Pasal 97 yaitu dalam (1) Seorang berhak memperoleh
rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, 2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus
dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (3)
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus
oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77. Hal ini untuk
menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari
keadilan.
- Sebaiknya unsu r yudikatif dan eksekutif bersama-sama dengan
pemerintah merevisi RUU KUHAP terutama pada pasal 77 KUHAP
dengan penambahan ayat yang mengatur ketentuan tersangka dan batas
waktu untuk dijadikan sebagai tersangka agar tercapainya kepastian
hukum dan rasa keadilan..
- Begitupula, sebaiknya terhadap penetapan tersangka yang dilakukan
institusi para penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK ) hanya
diperuntukan terhadap perkara atau kasus korupsi yang dilakukan pada
tahun-tahun saat ini atau minimal dua tahun dibelakangnya, bukannya
terhadap tindak pidana korupsi yang sudah lama yang dilakukan oleh
tersangka. Hal ini untuk menghindari unsur-unsur Politis yang akan
memutar balikkan fakta dengan kekuatan penyalah gunaan wewenang
dengan jabatan yang dimiliki.
-
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, Nurul, Ratna, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta: Akademika
Pressindo, Cetakan Pertama, 1986.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2010.
Andi Saputra, Lambatnya Eksekusi Gembong Narkoba Jadi Salah Satu
Alasan
Dikeluarkannya
SEMA,http://news.detik.com/read/2015/01/02/093852/2792201/10/la
mbatnya-eksekusi-gembong-narkoba-jadi-salah-satu-alasankeluarnya-sema?nd771104bcj, diakses pada Selasa, 6 Januari 2015,
pukul 12.00 WIB.
Andi Saputra, Eksekusi Mati Gembong Narkoba Lambat, Prof Krisna : SEMA
Itu
Jalan
Keluar,http://news.detik.com/read/2015/01/04/094953/2793412/10/e
ksekusi-mati-gembong-narkoba-lambat-prof-krisna-sema-itu-jalankeluar?n991104466, diakses pada Selasa, 6 Januari 2015, pukul 12.30
WIB.