IPHSS
IPHSS
Abstrak
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia yang masih menjadi perhatian adalah
masalah penanggulangan bahaya rokok. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan oleh
pemerintah untuk mengatasi permasalahan rokok. Menaikkan cukai rokok menjadi salah
satu kebijakan yang diambil. Kebijakan ini akan langsung berpengaruh pada naiknya
harga rokok di pasaran. Menurut hukum permintaan dalam ekonomi, semakin tinggi
harga suatu barang maka permintaannya akan menurun maka diharapkan permintaan
masyarakat terhadap rokok akan turun seiring naiknya harga rokok. Namun ada faktor
elastisitas yang juga akan mempengaruhi permintaan suatu barang terkait perubahan
harga. Elastisitas menggambarkan respon pasar terhadap perubahan harga suatu barang
sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas kebijakan menaikkan cukai rokok untuk
mengurangi permintaan dari masyarakat akan dipengaruhi oleh elastisitas dari barang
tersebut. Kebijakan menaikkan cukai rokok tidak dapat dijadikan satu-satunya jalan
untuk menanggulangi bahaya rokok namun harus disertai dengan langkah-langkah
strategis yang lain seperti promosi kesehatan, pembatasan iklan rokok hingga
pembatasan wilayah merokok.
Kata kunci : cukai, elastisitas, efektivitas, penanggulangan, rokok,
Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia harus menerima kenyataan pahit yakni
diselenggarakannya World Tobacco Asia untuk kedua kalinya di Jakarta. World
Tobacco Asia merupakan pameran serta konferensi seluruh produsen rokok dari seluruh
dunia untuk merumuskan tujuan bersama terkait masa depan industri rokok. Fakta
bahwa WTA telah kali kedua diselenggarakan di Indonesia semakin membuktikan
bahwa regulasi yang mengatur tentang industri rokok masih belum maksimal bahkan
terkesan lemah.
Perlu diketahui bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang tidak
meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan
kerangka kerja konvensi hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau
yang mempunyai kekuatan mengikat negara yang meratifikasinya. Indonesia yang saat
itu diwakilkan oleh Departemen Kesehatan, Depaartemen Luar Negeri, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan dan Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) turut terlibat aktif dalam perumusan FCTC namun kenyataannya
hingga detik ini, Indonesia belum menyetujui ratifikasi FCTC.
Beberapa poin yang diatur dalam FCTC yakni mengenai kebijakan harga dan cukai
rokok: iklan, sponsorsip dan promosi; pelabelan; hingga penyelundupan. Seluruh poin
dalam FCTC merupakan kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan oleh negaranegara yang telah meratifikasinya sebagai upaya penanggulangan masalah bahaya
rokok.
Salah satu poin penting dalam FCTC yang telah disebutkan adalah kebijakan mengenai
cukai rokok. Tidak dapat dipungkiri bahwa dari segi ekonomi, cukai rokok memberikan
kontribusi yang cukup signifikan. Menurut jurnal yang ditulis oleh Veranita
Prabaningrum dan Suci Wulansari dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan
Kebijakan Kesehatan Depkes RI disebutkan pada tahun 2004 bahwa cukai rokok
mencapai Rp 27 Triliun dan meningkat pada tahun 2007 mencapai Rp 38,53 Triliun.
Jumlah ini terus bertambah hingga pemerintah menargetkan cukai rokok mencapai Rp
44 Triliun pada tahun 2008. Selain itu, indsutri rokok juga menyerap sekitar 600 ribu
pekerja dari sektor pertanian dan tenaga kerja. Hal inilah yang selalu dijadikan alasan
klise saat isu untuk melaksanakan kebijakan penanggulangan bahaya rokok. Mindset
masyarakat Indonesia dibentuk untuk memaklumi industri rokok dan mengabaikan
bahaya yang ditimbulkan karena kontribusinya yang besar dalam perekonomian.
Akan tetapi, fakta yang tidak banyak diketahui oleh khalayak adalah bahwa terdapat
beban ekonomi yang jumlahnya lebih besar daripada pemasukan negara yang berasal
dari cukai rokok. Beban ekonomi ini meliputi biaya kesehatan baik secara langsung,
yakni penyakit akibat rokok, dan biaya tak langsung, yakni kerugian akibat penurunan
produktivitas. Belum lagi biaya kebutuhan sehari-hari yang harus dikorbankan untuk
membeli rokok. Misalnya di Jawa Tengah, Badan Pusat Statistik menyebutkan pada
tahun 2000 biaya kesehatan yang dikeluarkan karena konsumsi rokok mencapai 5-7 kali
lipat dari pemasukan cukai yang dihasilkan senilai Rp 27 triliun (Sumarno Sahid,
2011:1).
Dengan adanya fakta bahwa dalam penanggulangan bahaya rokok terdapat berbagai
aspek yang harus diperhatikan maka pemerintah merumuskan berbagai kebijakan untuk
mengurangi bahaya rokok yang mengancam rakyat Indonesia. Salah satu kebijakan
yang dilaksanakan adalah menaikkan bea cukai rokok.
Kebijakan yang mengatur kenaikan cukai rokok ini termaktub dalam peraturan Menteri
Keuangan (Menkeu) No 134/PMK-04/2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan
Menkeu No 43/PMK.04/2007 yakni penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil
tembakau. Kebijakan ini menuai berbagai protes dari pelaku industri rokok dengan
alasan klise yang telah dikemukakan. Mengingat jumlah perokok di Indonesia mencapai
angka yang fantastis yakni 65 juta sehingga Indonesia dinobatkan menjadi negara
dengan jumlah perokok ketiga tertinggi di dunia maka tidak heran apabila kebijakan ini
akan menuai beberapa penolakan terutama dari sisi perokok karena kebijakan ini akan
menaikkan harga rokok. Hal yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah efektivitas
kenaikan cukai rokok dalam menekan jumlah konsumsi rokok di Indonesia.
Rokok merupakan sebuah komoditi yang memiliki elastisitas dan eksternalitas. Dua hal
inilah yang akan menjadi perhatian dalam pelaksanaan kebijakan menaikkan cukai
rokok. Faktor pertama yang akan dibahas adalah mengenai eksternalitas.
Eksternalitas ini akan berhubungan dengan penetapan harga dan cukai rokok baik dari
perusahaan rokok maupun dari pemerintah. Cukai rokok yang dikenakan merupakan
bentuk kompensasi atas eksternalitas negatif yang telah ditimbulkan. Perusahaan
maupun pemerintah harus melakukan penghitungan secara seksama mengenai
eksternalitas negatif yang ditimbulkan. Eksternalitas negatif yang tidak dihitung dan
diintenalisasikan akan menimbulkan inefisiensi seperti tergambar dalam kurva berikut :
Garis D dalam kurva di atas menunjukkan permintaan barang sedangkan garis MPC dan
MPS merupakan kurva penawaran. Garis MPC merupakan kurva penawaran yang tidak
menginternalisasi biaya sosial. Sedangkan garis MPS adalah kurva penawaran yang
telah menginternalisasi biaya sosialnya. Dapat dilihat bahwa dengan kurva MPC,
produsen memproduksi barang sebesar 0Q1 dengan harga OP1. Sedangkan garis MPS
menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak menginternalisasikan biaya sosial akibat
eksternalitas negatif yang ditimbulkan akan memproduksi output sebanyak OQ2 dengan
harga OP2. Dapat disimpulkan dari kurva tersebut bahwa perusahaan yang tidak
menginternalisasi biaya sosialnya akan memproduksi output yang lebih banyak dari
seharusnya. Dengan kata lain, sumber daya yang digunakan pun akan lebih banyak
untuk memproduksi output yang lebih besar dan harga yang lebih murah. Hal inilah
yang disebut dengan inefisiensi dalam perekonomian.
Elastisitas merupakan sebuah fenomena ekonomi yang disebabkan oleh berbagai faktor,
yakni harga barang, harga barang subtitusi, pendapatan konsumen, populasi, pajak, dan
selera. Cukai rokok akan mempengaruhi demand rokok secara langsung melalui faktor
harga barang.
Elastisitas sangat mempengaruhi kebijakan dalam perubahan cukai suatu produk. Jika
pemerintah memiliki tujuan untuk mengurangi konsumsi rokok dengan menaikkan
cukai maka pemerintah harus mengetahui tingkat elastisitas harga rokok. Jika harga
rokok inelastis maka jumlah demand rokok tidak akan responsif terhadap perubahan
harga. Sebaliknya, semakin elastis harga rokok maka kenaikan harga rokok karena
cukai akan menurunkan demand rokok. Ditinjau penerimaan negara dari cukai, harga
rokok yang inelastis akan menaikkan penadapatan pemerintah karena tidak akan ada
penurunan demand yang signifikan. Sedangkan harga rokok yang elastis akan
menurunkan jumlah permintaannya.
Elastisitas produk rokok tidak akan sama antara konsumen satu dengan yang lain.
Konsumen dengan tingkat frekuensi merokok yang berbeda dapat memiliki elastisitas
yang berbeda pula. Hal ini juga harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan agar
kebijakan yang ditetapkan mengenai sasaran yang tepat dan mencapai tujuan yang
diinginkan.
Jurnal dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan
Depkes RI menyebutkan bahwa jumlah perokok lebih tinggi di negara dengan kondisi
ekonomi yang rendah sedangkan di negara maju jumlah perokok lebih rendah. Di
beberapa negara seperti Mesir, Bulgaria, Myanmar, Nepal, dan Indonesia opportunity
cost untuk dari rokok cukup tinggi. Hal ini menunjukkan inelastisitas dari produk rokok
di negara-negara tersebut. Berikut kurva kenaikan konsumsi rokok di Indonesia :
Perbedaan elastisitas juga terlihat dari kelompok konsumen dengan tingkat pendapatan
yang berbeda. Survei di beberapa negara yang telah disebutkan sebelumnya
menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan rendah menggunakan 5-15%
dari pendapatan bersihnya untuk konsumsi tembakau. Di Indonesia, Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan bahwa masyarakat miskin memiliki kecenderungan
mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan untuk rokok. Bahkan harus
mengorbankan alokasi untuk pendidikan atau kesehatan. Pada tahun 1999 hingga 2003,
proporsi belanja makanan pokok keluarga miskin turun dari 28% menjadi 19%. Pada
periode yang sama, proporsi belanja rokok keluarga miskin naik dari 8% menjadi 13 %.
Berdasarkan data yang diambil dari tesis berjudul Analisis Kebijakan Dampak
Kenaikan Terif Cukai terhadap Konsumsi Rokok (Hasiholan, 2004: 77), elastisitas
rokok kretek produksi mesin lebih besar daripada rokok kretek produksi tangan yang
secara logika konsumen rokok kretek produksi tangan adalah masyarakat tingkat
pendapatan rendah. Disebutkan bahwa elastisitas rokok kretek mesin adalah 1,644
terhadap kenaikan harga rokok dan 0,619 terhadap kenaikan tariff cukai sedangkan
elastisitas rokok kretek tangan adalah 0,372 terhadap kenaikan harga rokok yang
menunjukkan bahwa rokok kretek produksi tangan lebih inelastis.
kali lebih besar daripada pendidikan dan kesehatan. Data ini semakin menegaskan
bahwa memang ada perbedaan elastisitas antara kelompok konsumen yang memiliki
perbedaan tingkat pendapatan.
Respon konsumen di Indonesia terhadap kenaikan harga rokok memang relatif kecil.
Hal ini, disampaikan oleh Hasbullah Thabrany dan Budi Hidayat, terjadi karena
konsumen rokok di Indonesia sudah mengalami kecanduan miopik yang membuat
respon konsumen terhadap kenaikan harga menjadi tidak rasional.
Kesimpulan
Terlepas dari berbagai perbedaan elastisitas yang ada, kebijakan kenaikan cukai menjadi
salah satu pilihan kebijakan untuk mengurangi bahaya rokok. Kebijakan ini telah
dilaksanakan di Afrika Selatan pada tahun 1990 dan berhasil menurunkan tingkat
konsumsi rokok hingga 30% pada anak muda dan keluarga miskin. Namun tidak dapat
dimungkiri bahwa dengan tingkat elastisitas yang ada dan berbeda di tiap kelompok
konsumen, pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang lain untuk mendapatkan
penurunan angka konsumsi rokok yang signifikan. Kebijakan tersebut antara lain berupa
promosi kesehatan anti merokok, regulasi iklan dan sponsorship perusahaan rokok,
hingga pembatasan wilayah merokok.
Penutup
Rokok telah menjadi permasalahan yang tak kunjung terselesaikan di negeri ini. Tarik
ulur kepentingan mewarnai pengambilan kebijakan terkait rokok. Kini saatnya
pemerintah dan masyarakat bergerak dengan serius untuk menyelesaikan permasalahan
rokok. Salah satu kebijakan adalah melalui cukai rokok. Walaupun respon konsumen
tidak terlalu signifikan terhadap kenaikan cukai dan harga rokok, namun jika kebijakan
ini dilaksanakan dengan konsisten dan dibarengi dengan tindakan penanggulangan yang
lain, tujuan untuk mengurangi bahaya rokok di Indonesia akan tercapai. Asalkan
pemerintah mau menjalankan kebijakan dengan disiplin dan berorientasi pada
kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi.
Daftar Pustaka :
Hasiholan, Rudi. 2004. Analisis Kebijakan Dampak Kenaikan Tarif Cukai Terhadap
Konsumsi Rokok. Depok: Universitas Indonesia.
Maharendrani, Riana. 2009. Hubungan Anatara Faktor Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Merokok di Kabupaten Sragen. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Prabaningrum, Veranita dan Suci Wulansari. 2008. Upaya Penanggulangan Tambakau
dalam Pembangunan Kesehatan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sistem dan Kebijakan Kesehatan Depkes RI.
Biodata Penulis
Nama Lengkap
Nama
Fitri
Tempat/tgl lahir
Alamat
Universitas
Universitas Indonesia
Fakultas
Kesehatan Masyarakat
Angkatan
2010
Nomor HP